input
stringlengths
912
558k
output
stringlengths
234
2.18k
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/12/PBI/ 2004 TENTANG KREDIT INVESTASI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN DENGAN POLA PERUSAHAAN INTI RAKYAT YANG DIKAITKAN DENGAN PROGRAM TRANSMIGRASI (PIR-TRANS) PRA KONVERSI GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Kredit Investasi Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang dikaitkan dengan program Transmigrasi (PIR-Trans) yang pengelolaannya telah dialihkan kepada BUMN yang ditunjuk oleh Pemerintah, memberikan manfaat yang sangat besar bagi masyarakat petani khususnya dan perekonomian nasional pada umumnya; b. bahwa dalam pelaksanaan kredit dimaksud terdapat berbagai kendala di lapangan, sehingga diperlukan upaya penyelesaian masalah melalui penyempurnaan ketentuan-ketentuan yang mengatur Kredit Investasi Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang dikaitkan dengan program Transmigrasi (PIR-Trans); c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk melakukan penyesuaian ketentuan yang mengatur Kredit Investasi Pengembangan Perkebunan dengan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang Pola dikaitkan dengan … - 2 - dengan program Transmigrasi (PIR – Trans) dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang - undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang - undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 2. Peraturan Bank Indonesia No. 5/20/PBI/2003 tentang Pengalihan Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia dalam rangka Kredit Program (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4322); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KREDIT INVESTASI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN DENGAN POLA PERUSAHAAN INTI RAKYAT YANG DIKAITKAN DENGAN PROGRAM TRANSMIGRASI (PIR-TRANS) PRA KONVERSI. BAB I … - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah bank pelaksana Kredit Investasi Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang dikaitkan dengan program Transmigrasi (PIR-Trans), yaitu PT.Bank Rakyat Indonesia (Persero), PT.Bank Negara Indonesia (Persero) dan PT. Bank Mandiri (Persero). 2. Pola Perusahaan Inti Rakyat yang selanjutnya disebut Pola PIR adalah pola pelaksanaan pengembangan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat disekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan, utuh dan berkesinambungan. 3. Proyek Perusahaan Inti Rakyat Transmigrasi yang selanjutnya disebut Proyek PIR-Trans, merupakan suatu paket pengembangan wilayah yang utuh yang terdiri dari komponen utama yang meliputi pembangunan perkebunan inti, pembangunan kebun plasma dan unit pengolahannya, serta pembangunan pemukiman yang terdiri dari lahan pekarangan dan perumahan serta komponen penunjang yang meliputi prasarana umum, tidak termasuk proyek PIR-Trans Perkebunan atas dasar mekanisme Daftar Isian Pembiayaan Proyek. 4. Perusahaan Inti adalah perusahaan di bidang perkebunan yang dimiliki baik oleh negara maupun swasta yang membangun Kebun Inti dan Kebun Plasma berikut fasilitas pengolahan hasil kebun dimaksud, yang telah ditetapkan oleh Menteri Pertanian sebagai pelaksana proyek dalam Proyek PIR-Trans. 5. Kebun … - 4 - 5. Kebun Inti adalah kebun yang dibangun, dikembangkan dan dimiliki oleh Perusahaan Inti untuk tanaman perkebunan dalam rangka pelaksanaan Proyek PIR-Trans. 6. Kebun Plasma adalah kebun yang dibangun oleh Perusahaan Inti untuk tanaman perkebunan yang akan dialihkan kepada petani peserta Proyek PIR-Trans. 7. Petani peserta Proyek PIR -Trans yang selanjutnya disebut Petani adalah petani transmigran, penduduk setempat, petani lokal dan perambah hutan sebagaimana ditetapkan dalam Instruksi Presiden No. 1 tahun 1986 yang disesuaikan dengan Surat/Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 1094A.PR.01.31.2001 tanggal 14 Agustus 2001. 8. Biaya Proyek PIR-Trans adalah biaya yang diperlukan untuk pembangunan Kebun Inti beserta unit pengolahannya, dan Kebun Plasma, termasuk didalamnya bunga selama masa pembangunan, namun tidak termasuk biaya pembangunan pemukiman. 9. Biaya Satuan adalah biaya untuk pembangunan Kebun Plasma per hektar yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas setelah mempertimbangkan pendapat Menteri Pertanian, yang dapat ditinjau setiap tahun dan sejak tahun 1999/2000 ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat, sebagaimana diatur dalam Surat Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas No. S-688/MK.017/1998 S-7018/MK/12/1998 10. Kredit Trans Tanggal 31 Desember 1998. Investasi pra konversi perkebunan dengan Pola PIR- yang selanjutnya disebut Kredit Investasi (KI) adalah kredit yang diberikan … - 5 - diberikan oleh Bank kepada perusahaan inti dan diperuntukan bagi pembangunan Kebun Inti dan unit pengolahannya, serta Kebun Plasma, dengan sumber dana berasal dari Bank dan Bank Indonesia. 11. Kredit Likuiditas Bank Indonesia yang selanjutnya disebut KLBI adalah kredit likuiditas dari Bank Indonesia untuk pembiayaan Proyek PIR-Trans yang telah disetujui penyediaannya oleh Bank Indonesia. 12. Konversi adalah pengalihan kepemilikan Kebun Plasma yang telah memenuhi persyaratan dari Perusahaan Inti kepada Petani disertai dengan pengalihan KI untuk pembangunan Kebun Plasma yang semula merupakan beban Perusahaan Inti menjadi beban masing-masing Petani melalui KIK Pasca Konversi. 13. PT. Permodalan Nasional Madani (Persero) yang selanjutnya disebut PT. PNM adalah salah satu BUMN Koordinator yang menerima pengalihan pengelolaan KLBI, sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan No.487/KMK.017/1999 tanggal 13 Oktober 1999 Tentang Penunjukkan Badan Usaha Milik Negara Sebagai Koordinator Penyaluran Kredit Program. BAB II KETENTUAN KREDIT INVESTASI PROYEK PIR-TRANS Pasal 2 (1) Biaya Proyek PIR-Trans berasal dari dana Perusahaan Inti dan KI. (2) Pangsa pendanaan untuk Biaya Proyek PIR-Trans sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut : a. Untuk pembiayaan pembangunan Kebun Inti, minimal 35% (tiga puluh lima per seratus) berasal dari Perusahaan Inti dan selebihnya dibiayai dengan KI. b. Untuk …. - 6 - b. Untuk pembiayaan pembangunan Kebun Plasma, 100% (seratus per seratus) dibiayai dengan KI. Pasal 3 KI diberikan kepada Perusahaan Inti untuk membiayai Proyek PIR-Trans dengan ketentuan sebagai berikut: a. KI dipergunakan untuk membiayai pembangunan Kebun Inti termasuk unit pengolahannya dan pembangunan Kebun Plasma. b. Jenis tanaman perkebunan yang dapat dibiayai dengan KI adalah kelapa sawit dan kelapa hybrida. c. Pembangunan unit pengolahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang dapat dibiayai dengan KI adalah sebesar kapasitas maksimal yang diperlukan untuk menampung hasil produksi Kebun Plasma dan Kebun Inti yang bersangkutan. Pasal 4 Sumber pembiayaan KI berasal dari KLBI sebesar 55% (lima puluh lima per seratus) dan dana Bank sebesar 45% (empat puluh lima per seratus) dari kebutuhan KI. Pasal 5 Suku bunga KI untuk pertama kali ditetapkan sebesar 16% (enam belas per seratus) setahun dan dapat ditinjau kembali oleh Bank Indonesia. Pasal 6 … - 7 - Pasal 6 (1) Jangka waktu KI ditetapkan sesuai dengan kemampuan Proyek PIR-Trans yang tercermin dari proyeksi keuangan. (2) Jangka waktu KI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan paling lama 13 (tiga belas) tahun, tidak termasuk perpanjangan KI. Pasal 7 (1) Commitment fee dan provisi KI kepada Perusahaan Inti tidak dipungut. (2) Bea meterai dikenakan sesuai dengan ketentuan bea meterai yang berlaku. Pasal 8 (1) Jaminan KI dan pengikatan jaminan KI dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan wewenang Bank. BAB III TATA CARA PELAKSANAAN KREDIT INVESTASI PROYEK PIR-TRANS Pasal 9 (1) Perusahaan Inti yang dapat memperoleh KI adalah: a. Perusahaan milik negara yang telah mendapatkan izin Menteri Keuangan; b. Perusahaan Swasta Nasional; atau c. Perusahaan Penanaman Modal Asing dalam rangka Undang-Undang No. 1 tahun 1967 dan ketentuan perubahannya. (2) Perusahaan … - 8 - (2) Perusahaan Penanaman Modal Asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c hanya dapat mengajukan KI untuk membiayai pembangunan Kebun Plasma. (3) Perusahaan Inti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Memiliki Surat Keputusan Menteri Pertanian tentang rencana pelaksanaan proyek PIR-Trans; dan b. Memiliki Surat Persetujuan Menteri Keuangan mengenai rencana pembiayaan pembangunan proyek PIR - Trans yang bersifat jamak tahun (multi years). Pasal 10 Permohonan KI diajukan secara tertulis oleh Perusahaan Inti kepada Bank dan wajib dilengkapi dengan: a. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. b. Izin yang berkaitan dengan legalitas badan usaha dan kegiatan usaha. c. Studi kelayakan yang dibuat oleh konsultan independen. d. Laporan keuangan perusahaan 3 tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik bagi perusahaan lama dan sekurang-kurangnya neraca awal bagi perusahaan baru. Pasal 11 Bank wajib melakukan penilaian atas permohonan KI sesuai dengan azas pemberian kredit yang sehat dengan mengacu kepada prinsip kehati-hatian. Pasal 12 … - 9 - Pasal 12 (1) Perusahaan Inti melakukan pembayaran angsuran KI untuk Kebun Inti secara triwulanan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. (2) Pelunasan KI untuk Kebun Plasma dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan pelaksanaan Konversi. BAB IV KETENTUAN KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA Pasal 13 Suku bunga KLBI ditetapkan 6,5% (enam setengah per seratus) setahun dan dapat ditinjau kembali oleh Bank Indonesia. Pasal 14 Jangka waktu KLBI masing-masing Proyek PIR-Trans disesuaikan dengan jangka waktu KI. Pasal 15 (1) Jaminan KLBI adalah Surat Aksep yang diterbitkan dan ditandatangani oleh Bank. (2) Surat Aksep sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diperbaharui setiap tahun selama KLBI belum lunas. BAB V … - 10 - BAB V TATA CARA KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA Pasal 16 (1) Bank mengajukan permohonan KLBI kepada Bank Indonesia melalui PT. PNM setelah Bank melakukan penilaian terhadap permohonan KI sesuai dengan azas pemberian kredit yang sehat. (2) KLBI yang diajukan oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari KLBI untuk pembangunan Kebun Inti beserta unit pengolahannya (KLBI Kebun Inti) dan KLBI untuk pembangunan Kebun Plasma (KLBI Kebun Plasma). (3) Bank menyampaikan permohonan KLBI kepada Bank Indonesia melalui PT. PNM secara tertulis dengan melampirkan : a. Penilaian Bank terhadap KI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) b. Dokumen yang disampaikan Perusahaan Inti pada saat pengajuan KI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. Pasal 17 (1) Besarnya KLBI Kebun Plasma dihitung menurut kebutuhan atas dasar Biaya Satuan untuk tahun yang bersangkutan ditambah overhead cost dan jasa manajemen sebesar 15% (lima belas per seratus) dari total biaya. (2) Besarnya KLBI Kebun Inti dihitung menurut kebutuhan Proyek PIR-Trans termasuk biaya untuk pembangunan unit pengolahan. (3) Besarnya KLBI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) maksimum sebesar plafon KLBI dalam Surat Penegasan Kredit (SPK) yang telah disetujui Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 18 … - 11 - Pasal 18 (1) Pelimpahan KLBI dilaksanakan secara bertahap tiap triwulan atas dasar jadwal pelimpahan yang tercantum dalam proyeksi arus dana (cash flow). (2) Pelimpahan KLBI didasarkan atas rencana kebutuhan dana Proyek PIR- Trans dengan memperhatikan prestasi fisik dan Biaya Proyek PIR-Trans, sebagaimana dicantumkan dalam laporan pertanggungjawaban penggunaan KI, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Untuk pelimpahan pertama kali (tahun pertama) yaitu triwulan I dan II dapat dilaksanakan tanpa laporan pertanggungjawaban; b. Untuk pelimpahan triwulan III dilaksanakan setelah disampaikan laporan pertanggungjawaban triwulan I; c. Untuk triwulan IV dengan penyampaian laporan pertanggungjawaban triwulan II tahun pertama; d. Pelimpahan triwulan I tahun ke dua dengan penyampaian laporan pertanggungjawaban triwulan III tahun pertama; e. Pelimpahan triwulan II tahun kedua dengan penyampaian laporan pertanggungjawaban triwulan IV tahun pertama; f. Pelimpahan triwulan III tahun kedua dengan penyampaian laporan pertanggungjawaban triwulan I tahun kedua, demikian untuk seterusnya sampai dengan jadwal pelimpahan selesai. (3) Bank wajib memeriksa kebenaran atas laporan pertanggungjawaban penggunaaan KI tersebut di atas. (4) Bank Indonesia menetapkan batas akhir pelimpahan KLBI dan menyampaikannya secara tertulis kepada Bank. Pasal 19 … - 12 - Pasal 19 (1) Bank wajib merealisasikan seluruh KLBI kepada Proyek PIR-Trans. (2) Atas realisasi KLBI dimaksud, Bank wajib merealisasikan KI kepada Proyek PIR-Trans sesuai dengan ketentuan pangsa pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. (3) Bank wajib merealisasikan KI sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah KLBI dilimpahkan kepada Bank. (4) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia bukti realisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dalam 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelimpahan KLBI. Pasal 20 (1) Pembayaran angsuran KLBI Kebun Inti dilakukan secara triwulanan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan berdasarkan proyeksi arus dana (cash flow). (2) Pelunasan KLBI Kebun Plasma dilakukan secara bertahap sesuai dengan pelaksanaan Konversi. (3) Pelunasan KLBI sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan melalui pemberian KLBI atas beban kredit Petani. BAB VI PERIMBANGAN LUAS LAHAN Pasal 21 (1) Perimbangan luas lahan Kebun Inti dan Kebun Plasma ditetapkan Bank Indonesia dengan mengacu kepada ketetapan Menteri Pertanian. (2) Perimbangan … - 13 - (2) Perimbangan luas lahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah 20 : 80 (dua puluh berbanding delapan puluh) atau dapat disesuaikan dengan kondisi setempat. (3) Penyesuaian perimbangan luas lahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan sebagai berikut : a. Perusahaan Inti mengajukan permohonan penyesuaian perimbangan luas lahan kepada Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan untuk mendapatkan rekomendasi. b. Setelah memperoleh rekomendasi dari Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Perusahaan Inti mengajukan permohonan penyesuaian perimbangan luas lahan kepada Bank. c. Bank mengajukan permohonan penyesuaian perimbangan luas lahan kepada PT. PNM dengan disertai rekomendasi dari Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. d. PT PNM melakukan penilaian atas permohonan yang diajukan Bank, dan meneruskan hasil penilaian kepada Bank Indonesia untuk mendapatkan persetujuan. (4) Dalam hal Bank Indonesia menyetujui permohonan penyesuaian perimbangan luas lahan, maka: a. PT. PNM melakukan penyesuaian plafon KLBI yang telah disetujui Bank Indonesia sebelumnya. b. Dalam hal KLBI yang sudah dilimpahkan nilainya lebih kecil dari plafon KLBI yang telah disesuaikan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka kelonggaran tarik KLBI yang tersedia adalah selisih antara plafon KLBI yang telah disesuaikan dengan KLBI yang sudah dilimpahkan. c. Dalam … - 14 - c. Dalam hal KLBI yang sudah dilimpahkan nilainya lebih besar dari plafon KLBI yang telah disesuaikan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka Bank Indonesia melakukan penarikan atas kelebihan KLBI dimaksud. BAB VII KONVERSI KEBUN PLASMA Pasal 22 (1) Konversi dapat dilaksanakan setelah dipenuhinya persyaratan sebagai berikut: a. Budidaya tanaman telah dinilai oleh Departemen Pertanian sesuai dengan persyaratan atau kriteria yang ditetapkan dan disetujui oleh Bank. b. Aspek perbankan yang menyangkut jaminan kredit, administrasi Petani peserta, dan persyaratan lainnya yang ditetapkan oleh Bank telah dipenuhi. c. Petani telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Departemen Pertanian. (2) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah dipenuhi Perusahaan Inti dapat mengajukan permohonan Konversi kepada Bank dengan melampirkan bukti-bukti pemenuhan persyaratan. (3) Dalam hal Bank menyetujui permohonan Konversi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) maka Konversi dapat dilaksanakan. (4) Biaya Proyek PIR-Trans untuk membangun Kebun Plasma yang telah dikeluarkan oleh Perusahaan Inti dikonversi menjadi beban kredit Petani bersamaan dengan penyerahan pemilikan Kebun Plasma kepada Petani. (5) Kredit … - 15 - (5) Kredit Petani sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) disebut Kredit Investasi Kecil (KIK) Pasca Konversi dan selanjutnya tunduk kepada ketentuan KIK Pasca Konversi yang berlaku. Pasal 23 (1) Biaya Proyek PIR-Trans yang dikonversi menjadi KIK Pasca Konversi sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (4) adalah biaya yang dikeluarkan sejak tahap persiapan sampai dengan saat penyerahan Kebun Plasma, ditambah overhead cost dan jasa manajemen sebesar 15% (lima belas per seratus) dari total biaya termasuk bunga KI Kebun Plasma selama masa pembangunan . (2) Besarnya KIK Pasca Konversi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebesar 166,17% (seratus enam puluh enam tujuh belas perseratus) dikalikan dengan jumlah biaya selama periode pembangunan Kebun Plasma yang didasarkan pada Biaya Satuan. (3) Sumber dana untuk KIK Pasca Konversi kepada Petani tersebut berasal dari KLBI KIK Pasca Konversi sebesar 80% (delapan puluh perseratus) dan dana Bank sebesar 20% (dua puluh perseratus). Pasal 24 (1) Pelaksanaan Konversi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilakukan secara bertahap sesuai dengan kondisi masing-masing Proyek PIR-Trans, yang keseluruhan proyek harus dikonversikan paling lambat tahun 2008. (2) Dalam hal sampai batas akhir Konversi yang ditetapkan masih terdapat Kebun Plasma yang belum dilakukan Konversi dan masih terdapat baki debet ... - 16 - debet KLBI Kebun Plasma, maka ditetapkan hal-hal sebagai berikut : a. Kelonggaran tarik KLBI KIK Pasca Konversi yang belum dilimpahkan menjadi hangus. b. Baki debet KLBI Kebun Plasma ditarik oleh Bank Indonesia. c. Penyelesaian kepemilikan lahan yang belum dikonversi diserahkan kepada Tim Koordinasi PIR-Trans. Pasal 25 (1) Dalam hal salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Ayat (1) tidak dipenuhi sehingga Konversi tidak dapat dilaksanakan, maka Perusahaan Inti wajib segera memberitahukan hal tersebut kepada Tim Koordinasi PIR-Trans untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut. (2) Penerimaan hasil Kebun Plasma yang diperoleh Perusahaan Inti selama proses penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam sistem escrow account, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Perusahaan Inti menyetor dana penerimaan hasil Kebun Plasma ke dalam escrow account di Bank. b. Bank memberikan bunga atas dana escrow account, yang besarnya sama dengan suku bunga KIK Pasca Konversi yang dikenakan kepada Petani dalam rangka Konversi. c. Perusahaan Inti dapat menarik dana escrow account untuk membiayai pemeliharaan Kebun Plasma dan membayar kewajiban KI Kebun Plasma yang timbul atas dasar KI Kebun Plasma yang akan dialihkan kepada Petani yang bersangkutan. d. Dalam hal telah terjadi Konversi, maka dana escrow account sebagaimana …. - 17 - sebagaimana dimaksud dalam huruf a digunakan untuk membayar kewajiban Petani kepada Perusahaan Inti dan atau Bank. BAB VIII L A P O R A N Pasal 26 (1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada PT. PNM, laporan-laporan sebagai berikut : a. Laporan semesteran perkembangan Proyek PIR-Trans pada posisi bulan Juni dan Desember, yang disampaikan paling lambat 2 (dua) bulan setelah berakhirnya bulan yang bersangkutan. b. Laporan tahunan keuangan Perusahaan Inti yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan, dan disampaikan paling lambat 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun yang bersangkutan. c. Laporan bulanan posisi baki debet KI atas nama masing-masing Perusahaan Inti yang telah dikonsolidasikan oleh Kantor Pusat Bank dengan menggunakan format sebagaimana pada lampiran 1, dan diterima oleh Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. (2) Kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sampai dengan Konversi selesai dilaksanakan. BAB IX S A N K S I Pasal 27 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 19 ayat (2) sehingga menyebabkan porsi … - 18 - porsi KLBI yang dilimpahkan melebihi 55% (lima puluh lima per seratus) dari KI dikenakan sanksi penarikan kembali kelebihan KLBI dimaksud dan sanksi kewajiban membayar sebesar suku bunga deposito berjangka 3 (tiga) bulan yang berlaku di Bank yang bersangkutan pada saat tanggal pelimpahan KLBI dikalikan kelebihan KLBI dimaksud. (2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihitung sejak tanggal pelimpahan KLBI sampai dengan tanggal penarikan KLBI. Pasal 28 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 19 ayat (3) dikenakan sanksi penarikan kembali KLBI yang telah dilimpahkan dan sanksi kewajiban membayar sebesar suku bunga deposito berjangka 3 (tiga) bulan yang berlaku di Bank yang bersangkutan pada saat tanggal pelimpahan KLBI dikalikan jumlah KLBI yang telah dilimpahkan kepada Bank tersebut. (2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihitung sejak tanggal pelimpahan KLBI sampai dengan tanggal penarikan KLBI. Pasal 29 Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 19 ayat (4) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,- (satu juta rupiah). Pasal 30 Untuk setiap keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada Pasal 26 ayat (1) huruf a, b, dan c, Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar masing-masing sebesar Rp1.000.000,- (satu juta rupiah). BAB X … - 19 - BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 31 Persyaratan dan kondisi untuk KLBI PIR-Trans yang telah diberikan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tetap berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu masing-masing SPK yang bersangkutan. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 32 (1) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku untuk KLBI yang sudah disetujui oleh Bank Indonesia. (2) Bank Indonesia tidak menyediakan fasilitas KLBI baru untuk skim kredit yang diatur dengan Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 33 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka : 1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 19/14/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 19/3/UKU masing-masing tanggal 4 Juni 1986 tentang Ketentuan Kredit Investasi Pengembangan Perkebunan Dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat Yang Dikaitkan Dengan Program Transmigrasi; 2. Angka IV. 1 Surat Edaran Bank Indonesia No. 22/6/UKU tanggal 29 Januari 1990 tentang Kredit Investasi, 3. Ketentuan-ketentuan lain yang bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 34 … - 20 - Pasal 34 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 19 April 2004 GUBERNUR BANK INDONESIA BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 41 - 21 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6 /12/PBI/2004 TENTANG KREDIT INVESTASI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN DENGAN POLA PERUSAHAAN INTI RAKYAT YANG DIKAITKAN DENGAN PROGRAM TRANSMIGRASI (PIR-TRANS) PRA KONVERSI I. UMUM Penyediaan KLBI dalam rangka pengembangan perkebunan dengan pola perusahaan inti rakyat yang dikaitkan dengan program transmigrasi (PIR-Trans) pra konversi telah dilaksanakan sejak tahun 1986. Program PIR-Trans dimaksud telah memberikan manfaat yang sangat besar dalam upaya meningkatkan pendapatan petani dan menggairahkan kegiatan perekonomian. Mengingat program tersebut berjangka panjang, dalam perjalanannya, terdapat berbagai kendala dan permasalahan di lapangan, yang antara lain disebabkan oleh perubahan kondisi sosial yang mempengaruhi perilaku petani dan adanya otonomi daerah yang mempengaruhi kebijakan Pemerintah Daerah. Sehubungan dengan hal itu, dan dalam rangka kodifikasi ketentuan, dipandang perlu untuk melakukan penyesuaian dan penyempurnaan terhadap ketentuan yang mengatur kredit investasi pengembangan perkebunan dengan pola perusahaan inti rakyat yang dikaitkan dengan program transmigrasi (PIR- Trans) pra konversi dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. Ketentuan … - 22 - Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini hanya untuk mengatur KLBI yang masih berjalan dan telah disetujui sebelum berlakunya ketentuan Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Tidak terdapat penyediaan fasilitas KLBI baru dari Bank Indonesia atas dasar Peraturan ini. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 … - 23 - Pasal 6 Ayat (1) Bank menetapkan jangka waktu KI dengan mempertimbangkan proyeksi keuangan masing-masing Proyek PIR - Trans. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Penetapan dan pengikatan jaminan diserahkan kepada masing-masing Bank dengan tetap memperhatikan azas perkreditan yang sehat. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a … - 24 - Huruf a Yang dimaksud dengan Izin Menteri Keuangan adalah rekomendasi dari Menteri Keuangan (selaku Pemerintah) sebagai pemegang saham dari perusahaan milik negara untuk dapat mengikuti program PIR Trans. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Ayat (2) Perusahaan Penanaman Modal Asing dimaksud hanya dapat mengajukan KI untuk pembiayaan Kebun Plasma sepanjang perusahaan tersebut memiliki unit pengolahan yang dibiayai sendiri guna menampung hasil Kebun Plasma tersebut. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas Huruf b Rencana pembiayaan pembangunan PIR-Trans yang bersifat jamak tahun tersebut adalah berdasarkan saran Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Pasal 10 Huruf a Cukup jelas Huruf b … - 25 - Huruf b Yang dimaksud dengan izin tersebut diantaranya adalah Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) dan Surat Keputusan Tetap (SKPT) Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud perusahaan lama adalah perusahaan- perusahaan yang pada saat dimulainya program PIR- Trans merupakan perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki pengalaman dibidang perkebunan dengan pola PIR. Yang dimaksud perusahaan baru adalah perusahaan- perusahaan yang baru didirikan sehubungan dengan adanya program PIR-Trans. Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Jadwal ditetapkan berdasarkan proyeksi arus dana (cash flow). Pembayaran angsuran KI untuk Kebun Inti dilaksanakan setelah masa tenggang berakhir. Ayat (2) … - 26 - Ayat (2) Ketentuan dan tata cara pelunasan KI untuk Kebun Plasma diatur di Peraturan Bank Indonesia tentang KLBI KIK PIR- Trans Pasca Konversi. Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Jangka waktu KLBI ditetapkan dalam SPK masing-masing Proyek PIR - Trans. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) … - 27 - Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Dalam hal ini tidak dimungkinkan eskalasi dengan menggunakan KLBI. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Bank Indonesia menetapkan batas akhir pelimpahan KLBI atas dasar masukan dari Bank dan Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dalam merealisasikan KI kepada Proyek PIR-Trans, Bank harus menjaga agar proporsi KI dimaksud terdiri dari 55% (lima puluh lima per seratus) KLBI dan 45% (empat puluh lima per seratus) dana Bank. Ayat (3) … - 28 - Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Bukti realisasi tersebut agar disampaikan kepada Biro Kredit Bank Indonesia. Pasal 20 Ayat (1) Pembayaran angsuran KLBI Kebun Inti dilaksanakan setelah masa tenggang pembayaran angsuran berakhir. Ayat (2) Konversi untuk masing-masing Petani dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kesiapan masing-masing Proyek PIR-Trans. Ayat (3) KLBI yang diberikan atas beban kredit Petani tersebut selanjutnya disebut KLBI KIK PIR-Trans Pasca Konversi, yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang KLBI KIK PIR-Trans Pasca Konversi. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Penyesuaian perimbangan luas lahan adalah berdasarkan SK Menteri Pertanian No.353/Kpts/KB.5106/2003 tanggal 30 Juni … - 29 - Juni 2003, dan penyesuaian perimbangan luas lahan dimungkinkan sepanjang memenuhi kriteria yang diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan No.: 50/Kpts/KB.510/7/2003 tanggal 30 Juli 2003 dan ketentuan perubahannya. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Huruf a Penyesuaian plafon KLBI dimaksud dilakukan dalam SPK penyediaan KLBI secara proporsional. Huruf b Cukup jelas Huruf c Penarikan KLBI dilakukan oleh Bank Indonesia dengan mendebet rekening giro Bank di Bank Indonesia. Pasal 22 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan aspek perbankan yang menyangkut jaminan kredit di antaranya adalah sertifikat tanah. Huruf c … - 30 - Huruf c Pemenuhan syarat administrasi Petani dipersiapkan oleh Perusahaan Inti. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Penetapan besarnya kredit tersebut adalah agar besarnya beban kredit kepada setiap petani sama besarnya untuk setiap tahun tanam yang sama, yakni atas dasar rumus perhitungan X+15%X+(%BMPx115%X), dimana X adalah Biaya Satuan dan BMP adalah biaya bunga selama masa pembangunan. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 24 … - 31 - Pasal 24 Ayat (1) Batas akhir Konversi untuk setiap Proyek PIR-Trans ditetapkan oleh Bank Indonesia, atas dasar usulan dari Bank dan Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Yang dimaksud dengan Tim Koordinasi PIR Trans adalah sebagaimana ditetapkan dalam SK Mentan No. 183/ Kpts/KP.150/4/86 tanggal 5 April 1986 juncto Keputusan Menteri Pertanian No. 485/Kpts/KP.150/6/96 tentang Tim Koordinasi Pengembangan Perkebunan Dengan Pola PIR yang Dikaitkan Dengan Program Transmigrasi. Pasal 25 Ayat (1) Dalam hal ini penyebab Konversi tidak dapat dilaksanakan adalah bukan karena kesalahan Perusahaan Inti. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b … - 32 - Huruf b Bunga tersebut dihitung atas dasar saldo harian. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan Konversi selesai dilaksanakan adalah telah dilaksanakan Konversi kepada seluruh Petani. Pasal 27 Ayat (1) Pengenaan sanksi kepada Bank dilakukan dengan cara membebankan rekening giro Bank di Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 28 Ayat (1) Pengenaan sanksi kepada Bank dilakukan dengan cara membebankan rekening giro Bank di Bank Indonesia. Ayat (2) … - 33 - Ayat (2) Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Yang dimaksud persyaratan dan kondisi adalah sebagaimana yang tercantum dalam SPK masing-masing Proyek PIR-Trans. Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4384 BKr
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 6/12/PBI/2004 </reg_id> <reg_title> KREDIT INVESTASI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN DENGAN POLA PERUSAHAAN INTI RAKYAT YANG DIKAITKAN DENGAN PROGRAM TRANSMIGRASI (PIR-TRANS) PRA KONVERSI </reg_title> <set_date> 19 April 2004 </set_date> <effective_date> 19 April 2004 </effective_date> <replaced_reg> '22/6/UKU|SE-BI/1990 | Angka IV. 1', '19/14/KEP/DIR|SKDIR-BI/1986', '19/3/UKU|SE-BI/1986' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '5/20/PBI/2003', '3/UU/2004' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/4/PBI/2017 TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kondisi makroekonomi dan stabilitas sektor keuangan saat ini cukup terjaga dan perlu dipertahankan dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan khususnya perbankan syariah serta turut menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan syariah; b. bahwa dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan khususnya perbankan syariah dan turut menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan syariah, tetap diperlukan upaya untuk mengatasi kesulitan likuiditas jangka pendek; c. bahwa upaya untuk mengatasi kesulitan likuiditas jangka pendek tersebut merupakan salah satu cara pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan; d. bahwa upaya untuk mengatasi kesulitan likuiditas jangka pendek tersebut dapat ditempuh melalui penyediaan pembiayaan likuiditas jangka pendek kepada bank umum syariah; -2- e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Bank Indonesia. -3- 2. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut Bank adalah bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM adalah giro wajib minimum dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib minimum bank umum syariah. 5. Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek adalah keadaan yang dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar dalam rupiah yang dapat membuat Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM. 6. Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah yang selanjutnya disingkat PLJPS adalah pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia kepada Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek yang dialami oleh Bank. 7. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter syariah. 8. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau yang dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, dalam mata uang rupiah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. -4- 9. Aset Pembiayaan adalah aset Bank berupa pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, tidak termasuk pembiayaan dalam valuta asing. 10. Al-Muqaradhah bi Dhaman Ra’s al-Mal adalah akad PLJPS dalam bentuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia kepada Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek Bank, yang mewajibkan Bank untuk mengembalikan pembiayaan sesuai dengan komitmen (iltizam), dijamin dengan agunan, dan disertai nisbah bagi hasil. BAB II PERSYARATAN PLJPS Pasal 2 (1) Bank yang mengalami Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek dapat mengajukan permohonan PLJPS kepada Bank Indonesia. (2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memperoleh PLJPS apabila Bank memenuhi persyaratan: a. tergolong sebagai Bank solven; b. memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan Bank paling rendah 2 (dua); c. memiliki agunan berkualitas tinggi sebagai jaminan PLJPS yang memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini; dan d. diperkirakan mampu untuk mengembalikan PLJPS. (3) Bank mengajukan plafon PLJPS berdasarkan perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas sampai dengan Bank memenuhi GWM. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan Bank untuk memperoleh PLJPS diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. -5- Pasal 3 PLJPS yang diberikan Bank Indonesia kepada Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) menggunakan akad Al-Muqaradhah bi Dhaman Ra’s al-Mal. Pasal 4 (1) Agunan berkualitas tinggi sebagai jaminan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c berupa: a. surat berharga syariah; dan/atau b. Aset Pembiayaan. (2) Jenis surat berharga syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa: a. SBIS; b. SBSN; dan/ atau c. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan hukum lain yang memenuhi persyaratan: 1. memiliki peringkat paling rendah peringkat investasi; 2. aktif diperdagangkan; dan 3. memiliki sisa jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. merupakan pembiayaan dengan akad mudharabah, akad musyarakah, dan/atau akad ijarah nonjasa; b. kolektibilitas tergolong lancar selama 12 (dua belas) bulan terakhir berturut-turut; c. bukan merupakan pembiayaan konsumsi kecuali pembiayaan pemilikan rumah; d. dijamin dengan agunan tanah dan bangunan dan/atau tanah dengan nilai paling rendah 110% (seratus sepuluh persen) dari plafon pembiayaan; e. bukan merupakan pembiayaan kepada pihak terkait Bank; f. tidak pernah direstrukturisasi dalam waktu 3 (tiga) tahun terakhir; -6- g. sisa jangka waktu jatuh waktu pembiayaan paling singkat 9 (sembilan) bulan sejak tanggal penandatanganan perjanjian pemberian PLJPS; h. saldo pokok pembiayaan tidak melebihi batas maksimum penyaluran dana pada saat diberikan dan tidak melebihi plafon pembiayaan; i. memiliki akad pembiayaan serta pengikatan agunan yang mempunyai kekuatan hukum; j. telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik terhadap Bank paling lama 1 (satu) tahun terakhir; k. dalam akad pembiayaan antara Bank dan nasabah tercantum klausul bahwa pembiayaan dapat dialihkan kepada pihak lain; dan l. telah tercantum dalam laporan daftar Aset Pembiayaan terkini yang disampaikan secara berkala kepada Bank Indonesia. (4) Surat berharga syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c hanya dapat digunakan sebagai agunan PLJPS dalam hal: a. Bank tidak memiliki surat berharga syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b; atau b. Bank memiliki surat berharga syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan PLJPS. (5) Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat digunakan sebagai agunan PLJPS apabila pada saat permohonan PLJPS Bank tidak memiliki surat berharga syariah yang memenuhi persyaratan agunan PLJPS atau surat berharga syariah yang memenuhi persyaratan agunan PLJPS yang dimiliki oleh Bank tidak mencukupi untuk menjadi agunan PLJPS. (6) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta agunan lain setelah agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencukupi. -7- (7) Agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen yang terkait dengan agunan PLJPS. (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria agunan, mekanisme pengagunan, dan dokumen agunan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 5 (1) Nilai surat berharga syariah dan Aset Pembiayaan sebagai agunan PLJPS ditetapkan sebagai berikut: a. nilai agunan berupa SBIS ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari plafon PLJPS yang dihitung berdasarkan nilai nominal SBIS; b. nilai agunan berupa SBSN ditetapkan paling rendah sebesar 106,5% (seratus enam koma lima persen) dari plafon PLJPS yang dihitung berdasarkan nilai pasar SBSN; c. nilai agunan berupa surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan hukum lain ditetapkan paling rendah sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari plafon PLJPS yang dihitung berdasarkan nilai pasar surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan hukum lain tersebut; dan d. nilai agunan berupa Aset Pembiayaan ditetapkan paling rendah sebesar 200% (dua ratus persen) dari plafon PLJPS yang dihitung berdasarkan saldo pokok Aset Pembiayaan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai nilai agunan dan tata cara perhitungan nilai agunan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 6 (1) Agunan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus berada dalam kondisi bebas dari segala perikatan, sengketa, sitaan, dan tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain atau Bank Indonesia, yang dinyatakan dalam surat pernyataan kepada Bank Indonesia. -8- (2) Bank tidak dapat memperjualbelikan dan/atau menjaminkan kembali agunan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 yang masih dalam status sebagai agunan PLJPS. (3) Bank harus mengganti agunan PLJPS, apabila: a. agunan PLJPS tidak memenuhi kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2); b. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan hukum lain tidak lagi memenuhi persyaratan peringkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c; c. terdapat pelunasan pembiayaan yang menjadi agunan PLJPS oleh nasabah Bank; dan/atau d. Aset Pembiayaan yang diagunkan tidak lagi memenuhi persyaratan kolektibilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b, sehingga nilai agunan PLJPS mengalami penurunan dan secara keseluruhan tidak lagi memenuhi plafon PLJPS. (4) Penggantian agunan PLJPS diprioritaskan dengan agunan berupa surat berharga syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). (5) Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dapat digunakan sebagai pengganti agunan PLJPS apabila Bank tidak memiliki surat berharga syariah yang memenuhi persyaratan agunan PLJPS atau surat berharga syariah yang memenuhi persyaratan agunan PLJPS yang dimiliki oleh Bank tidak mencukupi untuk menjadi agunan PLJPS. (6) Selama Bank Indonesia memproses penggantian agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pada periode pemberian PLJPS Bank tetap dapat mengajukan pencairan PLJPS sepanjang terdapat plafon atau sisa plafon dan agunan PLJPS yang mencukupi. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggantian agunan PLJPS diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. -9- Pasal 7 (1) Bank harus memelihara dan menatausahakan daftar Aset Pembiayaan yang memenuhi persyaratan dan dialokasikan untuk menjadi agunan PLJPS. (2) Bank menyampaikan laporan daftar Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara berkala kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan setiap 6 (enam) bulan sekali untuk posisi akhir bulan Juni dan akhir bulan Desember. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan paling lambat tanggal 15 (lima belas) setelah posisi akhir bulan bersangkutan termasuk koreksi laporan. (5) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat mengajukan PLJPS dengan agunan Aset Pembiayaan. (6) Bank dapat memperbarui laporan daftar Aset Pembiayaan dengan ketentuan sebagai berikut: a. posisi akhir bulan Juni diperbarui dengan posisi akhir bulan September pada tahun yang bersangkutan; dan b. posisi akhir bulan Desember diperbarui dengan posisi akhir bulan Maret pada tahun berikutnya, disampaikan kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK paling lambat tanggal 15 (lima belas) setelah posisi akhir bulan bersangkutan termasuk koreksi laporan. (7) Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan dokumen pendukung dari Aset Pembiayaan yang dilaporkan dalam laporan daftar Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian laporan daftar Aset Pembiayaan serta dokumen pendukung diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. -10- Pasal 8 (1) Pengikatan agunan PLJPS dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan. (2) Bank Indonesia menatausahakan dokumen yang terkait dengan agunan PLJPS. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengikatan agunan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB III PERMOHONAN PLJPS Pasal 9 (1) Permohonan PLJPS diajukan oleh Bank secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK. (2) Permohonan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut: a. surat pernyataan Bank bahwa Bank mengalami Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek; b. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek; c. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJPS; d. daftar rekapitulasi Aset Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik yang dikeluarkan dan/atau ditandatangani oleh kantor akuntan publik yang melakukan pemeriksaan atau audit, dalam hal terdapat agunan PLJPS berupa Aset Pembiayaan; e. surat pernyataan Bank bahwa aset yang menjadi agunan PLJPS berada dalam kondisi bebas dari segala perikatan, sengketa, sitaan, dan tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain atau Bank Indonesia; f. surat pernyataan Bank bahwa Bank tidak akan memperjualbelikan dan/atau menjaminkan kembali agunan PLJPS yang masih dalam status sebagai agunan PLJPS; -11- g. surat pernyataan kesanggupan Bank untuk membayar segala kewajiban terkait PLJPS; h. surat persetujuan dari pihak yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank dan ketentuan peraturan perundang- undangan, mengenai permohonan PLJPS dan/atau penggunaan aset Bank sebagai agunan PLJPS; i. j. anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank, termasuk perubahannya; surat pernyataan Bank mengenai kebenaran data dan/atau dokumen yang disampaikan dan kesanggupan Bank untuk menyampaikan data dan/atau dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia; dan k. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia. (3) Bank wajib menjamin kebenaran data dan dokumen yang disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan PLJPS diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 10 (1) Bank Indonesia memberikan PLJPS untuk jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kalender untuk setiap periode pemberian PLJPS. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku efektif sejak tanggal aktivasi pemberian PLJPS oleh Bank Indonesia. (3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang secara berturut-turut untuk jangka waktu PLJPS keseluruhan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender. . Pasal 11 (1) Bank Indonesia berkoordinasi dengan OJK dalam rangka menindaklanjuti permohonan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1). -12- (2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka penilaian terhadap pemenuhan persyaratan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). BAB IV PERSETUJUAN DAN PENOLAKAN PERMOHONAN PLJPS Pasal 12 (1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1). (2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut: a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; b. kelengkapan dokumen permohonan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2); dan c. analisis mengenai perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas Bank. (3) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat kepada Bank dengan tembusan kepada OJK. (4) Berdasarkan surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank harus melakukan hal sebagai berikut: a. menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan PLJPS; b. menunjuk notaris; c. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta perjanjian pemberian PLJPS dan rancangan akta pengikatan agunan PLJPS; dan d. menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) dalam hal diperlukan. -13- (5) Bank Indonesia melakukan verifikasi dan/atau penilaian terhadap dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, huruf c, dan huruf d. (6) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dan/atau penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) agunan PLJPS memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka akan dilakukan penandatanganan terhadap akta perjanjian pemberian PLJPS dan akta pengikatan agunan PLJPS. (7) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dan/atau penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) nilai agunan tidak mencukupi plafon dan Bank tidak dapat menambah agunan PLJPS maka plafon PLJPS diturunkan sesuai dengan nilai agunan yang tersedia, sepanjang Bank mempunyai sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJPS. (8) Persetujuan atas permohonan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibatalkan oleh Bank Indonesia apabila: a. Bank tidak menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, huruf c, dan/atau huruf d; b. berdasarkan hasil verifikasi dan/atau penilaian Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (5) nilai agunan tidak mencukupi plafon, Bank tidak dapat menambah agunan PLJPS dan Bank tidak mempunyai sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJPS; dan/atau c. diketahui bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian persetujuan atau penolakan atas permohonan PLJPS diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. -14- Pasal 13 Berdasarkan pertimbangan tertentu sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia, Bank Indonesia dapat menolak permohonan PLJPS meskipun Bank telah memenuhi seluruh persyaratan PLJPS. BAB V PENCAIRAN PLJPS Pasal 14 (1) Bank dapat mengajukan pencairan PLJPS sejak tanggal aktivasi pemberian PLJPS oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2). (2) Pencairan PLJPS dilakukan paling banyak 1 (satu) kali dalam sehari sebesar perkiraan kebutuhan Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek. (3) Pengajuan pencairan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan dilampiri dokumen sebagai berikut: a. surat sanggup bayar sebesar pengajuan pencairan; dan b. proyeksi arus kas yang mencerminkan kebutuhan pencairan. (4) Pencairan PLJPS dilakukan melalui rekening giro rupiah Bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencairan PLJPS diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 15 (1) Bank Indonesia berwenang melakukan pembatasan pencairan PLJPS. (2) Pembatasan pencairan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal nilai agunan tidak mencukupi plafon dan Bank tidak dapat menambah dan/atau mengganti agunan PLJPS sehingga secara keseluruhan nilai agunan tidak mencukupi plafon. -15- (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatasan pencairan PLJPS diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 16 (1) Bank Indonesia berwenang menghentikan pencairan PLJPS sebelum jatuh waktu dalam hal Bank: a. tidak memenuhi persyaratan solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a; dan/atau b. tidak memenuhi persyaratan tingkat kesehatan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian pencairan PLJPS diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB VI PERPANJANGAN JANGKA WAKTU PLJPS Pasal 17 (1) Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK. (2) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut: a. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek; b. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJPS; c. daftar rekapitulasi Aset Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik yang dikeluarkan atau ditandatangani oleh kantor akuntan publik yang melakukan pemeriksaan atau audit, dalam hal terdapat penggantian dan/atau penambahan agunan; dan d. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia. -16- (3) Untuk keperluan perpanjangan jangka waktu PLJPS, Bank tetap dapat menggunakan agunan PLJPS pada periode pemberian PLJPS sebelumnya sepanjang masih memenuhi persyaratan dan kecukupan jumlah agunan PLJPS. (4) Dalam hal Bank memiliki surat berharga syariah yang memenuhi persyaratan agunan PLJPS pada saat permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS, Bank harus menyerahkan surat berharga syariah tersebut sebagai agunan untuk perpanjangan jangka waktu PLJPS. (5) Bank Indonesia berkoordinasi dengan OJK dalam rangka menindaklanjuti permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 18 (1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1). (2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut: a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; b. jangka waktu PLJPS secara keseluruhan belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender berturut-turut; dan c. Bank telah menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2). (3) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat kepada Bank dengan tembusan kepada OJK. (4) Berdasarkan surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank harus melakukan hal sebagai berikut: a. menyampaikan dokumen yang terkait dengan penambahan dan/atau penggantian agunan PLJPS; -17- b. menunjuk notaris; c. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan rancangan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS; d. melunasi bagi hasil atas PLJPS pada saat jatuh waktu; dan e. menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6), dalam hal diperlukan. (5) Bank Indonesia melakukan verifikasi dan/atau penilaian terhadap pemenuhan ketentuan agunan PLJPS, rancangan akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS, dan rancangan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS. (6) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dan/atau penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), agunan PLJPS memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka akan dilakukan penandatanganan terhadap akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS. (7) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dan/atau penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) nilai agunan tidak mencukupi plafon PLJPS maka Bank harus: a. menambah agunan PLJPS; dan/atau b. menyediakan sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJPS. (8) Persetujuan atas permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibatalkan oleh Bank Indonesia apabila: a. Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4); -18- b. berdasarkan verifikasi dan/atau penilaian Bank Indonesia nilai agunan tidak mencukupi plafon dan Bank tidak dapat menambah agunan PLJPS dan/atau Bank tidak menyediakan sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (7); dan/atau c. diketahui bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai perpanjangan jangka waktu PLJPS diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB VII PENAMBAHAN DAN PENURUNAN PLAFON PLJPS Pasal 19 (1) Bank dapat mengajukan permohonan penambahan plafon PLJPS secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK. (2) Permohonan penambahan plafon PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut: a. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek; b. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJPS; c. daftar rekapitulasi Aset Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik yang dikeluarkan atau ditandatangani oleh kantor akuntan publik yang melakukan pemeriksaan atau audit, dalam hal terdapat penggantian dan/atau penambahan agunan; dan d. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia. -19- (3) Bank Indonesia berkoordinasi dengan OJK dalam rangka menindaklanjuti permohonan penambahan plafon PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 20 (1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan penambahan plafon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1). (2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut: a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; b. jangka waktu PLJPS secara keseluruhan belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender berturut-turut; dan c. Bank telah menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2). (3) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat kepada Bank dengan tembusan kepada OJK. (4) Berdasarkan surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank harus melakukan hal sebagai berikut: a. menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan PLJPS, dalam hal terdapat tambahan agunan; b. menunjuk notaris; c. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS; dan d. menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) dalam hal diperlukan. PLJPS -20- (5) Bank Indonesia melakukan verifikasi dan/atau penilaian terhadap pemenuhan ketentuan agunan PLJPS, rancangan akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS, dan rancangan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS. (6) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dan/atau penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), agunan PLJPS memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka akan dilakukan penandatanganan terhadap akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS. (7) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dan/atau penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) nilai agunan tidak mencukupi plafon PLJPS maka Bank harus: a. menambah agunan PLJPS; dan/atau b. menyediakan sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJPS. (8) Persetujuan atas permohonan penambahan plafon PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibatalkan oleh Bank Indonesia apabila: a. Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4); b. berdasarkan verifikasi dan/atau penilaian Bank Indonesia, nilai tambahan agunan tidak mencukupi penambahan plafon PLJPS dan Bank tidak menyediakan sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (7); dan/atau c. diketahui bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). (9) Tambahan plafon PLJPS yang disetujui akan diakumulasikan dengan plafon PLJPS sebelumnya. -21- (10) Ketentuan lebih lanjut mengenai penambahan plafon PLJPS diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 21 (1) Bank dapat mengajukan permohonan penurunan plafon PLJPS secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penurunan plafon PLJPS diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB VIII LARANGAN DAN PEMBATASAN KEGIATAN BAGI BANK PENERIMA PLJPS Pasal 22 (1) Selama periode pemberian PLJPS atau selama Bank belum melunasi kewajiban PLJPS, Bank dilarang: a. melakukan penempatan dana; b. menyalurkan pembiayaan baru kepada pihak terkait Bank, kecuali untuk pemenuhan komitmen yang telah diperjanjikan sebelumnya; c. merealisasikan penarikan dana oleh pihak terkait Bank; dan d. melakukan pembagian dividen. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak meniadakan larangan lain yang telah dikeluarkan oleh OJK. Pasal 23 Selama periode pemberian PLJPS Bank hanya dapat mengikuti operasi moneter syariah Bank Indonesia yang bersifat ekspansi. -22- BAB IX BAGI HASIL Pasal 24 (1) Bank Indonesia memperoleh bagi hasil secara harian dari Bank atas saldo pokok PLJPS. (2) Dalam perhitungan bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan nisbah bagi hasil untuk Bank Indonesia sebesar 80% (delapan puluh persen). (3) Bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan nisbah bagi hasil untuk Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikalikan dengan tingkat realisasi imbalan deposito investasi mudharabah sebelum distribusi pada Bank yang menerima PLJPS. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan bagi hasil diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB X PELUNASAN DAN EKSEKUSI AGUNAN Pasal 25 (1) Bank wajib melakukan pelunasan PLJPS pada saat jatuh waktu sebesar saldo pokok dan bagi hasil PLJPS. (2) Bank yang belum melakukan pelunasan PLJPS pada saat jatuh waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapat menggunakan surat berharga sebagai pemenuhan prefund debit sejak tanggal jatuh waktu sampai dengan PLJPS lunas. Pasal 26 (1) Dalam hal Bank belum melunasi saldo pokok PLJPS pada saat jatuh waktu, Bank dikenakan kewajiban membayar (gharamah maliyah). (2) Pengenaan kewajiban membayar (gharamah maliyah) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan Bank melunasi saldo pokok PLJPS. -23- (3) Kewajiban membayar (gharamah maliyah) dihitung secara harian dari saldo pokok PLJPS yang belum dilunasi. (4) Dalam perhitungan kewajiban membayar (gharamah maliyah) ditetapkan nisbah bagi hasil untuk Bank Indonesia sebesar 80% (delapan puluh persen). (5) Kewajiban membayar (gharamah maliyah) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan nisbah bagi hasil untuk Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikalikan dengan tingkat realisasi imbalan deposito investasi mudharabah sebelum distribusi pada Bank yang menerima PLJPS. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan kewajiban membayar (gharamah maliyah) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 27 (1) Bank Indonesia mendebit rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia dalam hal: a. sebelum PLJPS jatuh waktu dan saldo rekening giro Bank di Bank Indonesia melebihi kewajiban GWM ditambah 10% (sepuluh persen) dari kewajiban GWM; b. Bank meminta pelunasan sebelum PLJPS jatuh waktu; dan/atau c. PLJPS jatuh waktu. (2) Bank Indonesia melakukan pendebitan rekening giro Bank secara harian sampai dengan kewajiban PLJPS lunas. (3) Dalam hal saldo rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk membayar saldo pokok dan bagi hasil PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) serta kewajiban membayar (gharamah maliyah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 maka Bank Indonesia melakukan penihilan rekening giro Bank dalam rupiah dan rekening giro Bank dalam valuta asing. -24- (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelunasan PLJPS diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 28 (1) Dalam hal kewajiban PLJPS belum lunas setelah dilakukan penihilan rekening giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), Bank Indonesia melakukan eksekusi agunan dengan didahului penyampaian surat pemberitahuan dan/atau peringatan kepada Bank. (2) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari kewajiban PLJPS maka Bank Indonesia mengembalikan kelebihan tersebut kepada Bank. (3) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih kecil dari kewajiban PLJPS maka Bank wajib melakukan pelunasan melalui setoran kekurangan kewajiban PLJPS kepada Bank Indonesia. (4) Dalam hal Bank tidak melakukan penyetoran kekurangan kewajiban PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau Bank melakukan penyetoran kekurangan kewajiban PLJPS namun tetap tidak mencukupi maka pelunasan diperoleh dari agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6). Pasal 29 (1) Dalam melaksanakan eksekusi agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), Bank Indonesia dapat berkoordinasi atau bekerja sama dengan OJK dan/atau pihak lain. (2) Bank harus bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk kelancaran pelaksanaan eksekusi agunan PLJPS. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai eksekusi agunan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. -25- BAB XI BIAYA Pasal 30 (1) Biaya yang timbul sehubungan dengan proses PLJPS menjadi beban Bank. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya yang timbul sehubungan dengan proses PLJPS diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB XII PELAPORAN Pasal 31 (1) Bank yang menerima PLJPS wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK yang meliputi: a. b. c. laporan penggunaan PLJPS; laporan kondisi likuiditas Bank; laporan perhitungan rasio kewajiban penyediaan modal minimum; d. laporan agunan dalam hal terdapat: 1. sukuk korporasi yang tidak memenuhi persyaratan peringkat yang ditetapkan Bank Indonesia; 2. pelunasan pembiayaan yang menjadi agunan PLJPS oleh nasabah Bank; dan/atau 3. Aset Pembiayaan yang mengalami penurunan kolektibilitas; e. rencana tindak perbaikan (remedial action plan) untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek; dan f. laporan lain yang diminta oleh Bank Indonesia. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian laporan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. -26- BAB XIII PENGAWASAN Pasal 32 (1) Pengawasan terhadap Bank yang menerima PLJPS dilakukan oleh OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memantau dan memastikan penggunaan dana PLJPS sesuai dengan peruntukannya dan pelaksanaan rencana pembayaran kembali PLJPS sesuai dengan perjanjian pemberian PLJPS. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dimaksudkan untuk memantau dan memastikan pemenuhan persyaratan PLJPS selama periode pemberian PLJPS. Pasal 33 (1) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap Bank yang menerima PLJPS. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah berkoordinasi dengan OJK. BAB XIV SANKSI Pasal 34 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), dan/atau Pasal 31 ayat (1), dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; b. PLJPS tidak dapat diperpanjang; dan/atau c. tidak dapat mengajukan permohonan PLJPS dalam jangka waktu tertentu. -27- (2) Bank yang tidak melakukan pelunasan PLJPS pada saat jatuh waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dikenakan sanksi berupa: a. b. teguran tertulis; tidak dapat mengajukan permohonan PLJPS dalam jangka waktu tertentu; dan c. penghentian sementara dari kepesertaan operasi moneter syariah. (3) Bank yang tidak melakukan pelunasan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) setelah eksekusi agunan dilakukan, dikenakan sanksi berupa: a. b. teguran tertulis; tidak dapat mengajukan permohonan PLJPS dalam jangka waktu tertentu; c. penghentian sementara dari kepesertaan operasi moneter syariah; d. penurunan status kepesertaan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI); e. penurunan status kepesertaan Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS); dan/atau f. penurunan status kepesertaan Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS). (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 35 Bank Indonesia menginformasikan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 kepada Bank dengan tembusan kepada OJK. -28- BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 36 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/24/PBI/2009 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 102, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5028); dan b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/20/PBI/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/24/PBI/2009 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 272, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5376), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 37 (1) Ketentuan mengenai persyaratan pencantuman Aset Pembiayaan dalam laporan daftar Aset Pembiayaan terkini yang disampaikan secara berkala kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l mulai berlaku untuk permohonan PLJPS yang diajukan setelah tanggal 15 Juli 2017. (2) Ketentuan mengenai persyaratan bahwa agunan berupa Aset Pembiayaan harus telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik terhadap Bank paling lama 1 (satu) tahun terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2018. Pasal 38 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. -29- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 11 April 2017 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 13 April 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 83 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/4/PBI/2017 TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH I. UMUM Terpeliharanya kondisi makroekonomi dan stabilitas sistem keuangan serta cukup kuatnya perbankan termasuk perbankan syariah dalam menghadapi tekanan memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan perekonomian. Namun dengan terbukanya pasar keuangan Indonesia dan meningkatnya pengaruh pasar global, risiko di sistem keuangan terutama perbankan termasuk perbankan syariah apabila tidak diatasi dapat memicu terjadinya krisis sistem keuangan. Risiko tersebut antara lain dapat tercermin dari kondisi likuiditas yang memburuk di sektor perbankan termasuk perbankan syariah. Kondisi tersebut perlu segera diatasi agar Bank tidak mengalami liquidity mismatch yang dapat mempengaruhi pemenuhan kewajiban GWM. Selain itu, liquidity mismatch dapat pula terjadi dalam kegiatan operasional suatu Bank meskipun secara umum kondisi likuiditas perbankan syariah tergolong normal. Oleh karena itu dalam rangka mengantisipasi memburuknya kondisi liquidity mismatch perbankan syariah tersebut dan untuk turut menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan syariah, perlu diberikan akses bagi Bank yang sementara waktu mengalami kesulitan likuiditas -2- untuk memperoleh PLJPS dari Bank Indonesia sebagai lender of the last resort. Akses Bank untuk memperoleh pembiayaan likuiditas tersebut juga merupakan upaya Bank Indonesia untuk turut serta mencegah dan menangani krisis sistem keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu untuk mengatur kembali PLJPS bagi Bank yang diharapkan dapat memelihara stabilitas sistem keuangan terutama perbankan termasuk perbankan syariah dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan syariah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “solven” adalah tingkat permodalan Bank yang tercermin dari rasio kewajiban penyediaan modal minimum bulan terkini yang memadai, paling rendah sama dengan rasio kewajiban penyediaan modal minimum berdasarkan profil risiko terakhir sesuai penilaian OJK sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum. Kewajiban penyediaan modal minimum bulan terkini merupakan kewajiban penyediaan modal minimum bulanan terkini sesuai penilaian OJK yang dilengkapi dengan informasi kondisi terakhir Bank berupa peristiwa setelah periode pelaporan (subsequent events) yang dapat mempengaruhi rasio kewajiban penyediaan modal minimum Bank. Huruf b Yang dimaksud dengan “peringkat komposit tingkat kesehatan Bank” adalah peringkat komposit tingkat kesehatan Bank sesuai penilaian OJK sebagaimana -3- dimaksud dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “mampu untuk mengembalikan PLJPS” adalah Bank memiliki sumber dana untuk mengembalikan PLJPS yang tercermin antara lain dari proyeksi arus kas Bank. Ayat (3) Perkiraan Bank atas jumlah kebutuhan likuiditas didasarkan pada proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan PLJPS. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b SBSN yang dapat digunakan sebagai agunan PLJPS adalah SBSN yang dapat diperdagangkan. Huruf c Yang dimaksud dengan "surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan hukum lain" adalah sukuk korporasi yang diterbitkan oleh badan hukum Indonesia selain Bank yang mengajukan permohonan PLJPS. Angka 1 Peringkat investasi atau investment grade mengacu pada hasil penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK. -4- Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “akad mudharabah” adalah akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Bank) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian. Yang dimaksud dengan “akad musyarakah” adalah akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing. Yang dimaksud dengan “akad ijarah nonjasa” adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri atau dengan opsi pemindahan kepemilikan barang. Huruf b Yang dimaksud dengan “kolektibilitas tergolong lancar” adalah kualitas tergolong lancar sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah. Huruf c Cukup jelas. -5- Huruf d Nilai agunan yang digunakan adalah nilai pasar berdasarkan hasil penilai independen paling lama 2 (dua) tahun terakhir sebelum tanggal permohonan PLJPS. Huruf e Yang dimaksud dengan "pihak terkait" adalah pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai batas maksimum penyaluran dana yang berlaku bagi bank umum syariah. Huruf f Yang dimaksud dengan “restrukturisasi” adalah restrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Batas maksimum penyaluran dana mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai batas maksimum penyaluran dana yang berlaku bagi bank umum syariah. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Yang dimaksud dengan “kantor akuntan publik” adalah kantor akuntan publik yang telah tercantum dalam daftar kantor akuntan publik yang diakui oleh OJK. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. -6- Ayat (6) Yang dimaksud dengan “agunan lain” antara lain: a. saham Bank yang menerima PLJPS milik pemegang saham pengendali; b. personal guarantee dan/atau corporate guarantee dari pemegang saham pengendali; dan/atau c. aset tetap milik Bank yang menerima PLJPS. Ayat (7) Yang dimaksud dengan "dokumen yang terkait dengan agunan PLJPS" antara lain akad pembiayaan antara Bank dengan nasabah, bukti pengikatan agunan, bukti kepemilikan atas aset yang menjadi agunan pembiayaan Bank dan dokumen pendukung lainnya. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan hukum lain" adalah sukuk korporasi yang diterbitkan oleh badan hukum Indonesia selain Bank yang mengajukan permohonan PLJPS. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. -7- Pasal 7 Ayat (1) Pemeliharaan dan penatausahaan daftar Aset Pembiayaan dilakukan terhadap Aset Pembiayaan yang akan dialokasikan oleh Bank sebagai agunan dalam rangka mengantisipasi kebutuhan PLJPS dengan agunan berupa Aset Pembiayaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Apabila tanggal batas waktu penerimaan laporan daftar Aset Pembiayaan jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, atau hari libur maka batas waktu penyampaian adalah hari kerja berikutnya. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” antara lain akad pembiayaan antara Bank dengan nasabah, bukti pengikatan agunan, bukti kepemilikan atas aset yang menjadi agunan pembiayaan Bank, laporan keuangan nasabah Bank, dan dokumen pendukung lainnya. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang- undangan" antara lain peraturan yang mengatur mengenai gadai dan fidusia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. -8- Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek” antara lain proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan PLJPS. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Surat persetujuan disampaikan apabila diatur dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. -9- Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Tanggal aktivasi pemberian PLJPS akan disampaikan oleh Bank Indonesia melalui surat yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian pemberian PLJPS. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Koordinasi antara Bank Indonesia dan OJK dilakukan dalam rangka melaksanakan ketentuan yang diatur dalam undang- undang yang mengatur mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan antara lain: a. permintaan informasi kepada OJK mengenai kondisi Bank yang mengajukan PLJPS, yang meliputi pemenuhan persyaratan: 1. solvabilitas; dan 2. tingkat kesehatan Bank; dan b. pelaksanaan penilaian bersama mengenai pemenuhan persyaratan agunan dan perkiraan kemampuan Bank untuk mengembalikan PLJPS. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. -10- Ayat (5) Bank Indonesia dapat menggunakan jasa pihak ketiga untuk melakukan verifikasi dan/atau penilaian terhadap dokumen yang terkait dengan agunan PLJPS. Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Sumber dana lain dibuktikan dengan tersedianya tambahan dana di rekening giro Bank di Bank Indonesia yang disertai dokumen dan/atau data pendukung. Ayat (8) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Informasi bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan antara lain diperoleh dari OJK dan/atau hasil verifikasi dan/atau penilaian bersama oleh Bank Indonesia dan OJK terhadap agunan PLJPS. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 13 Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” antara lain hasil simulasi kondisi Bank. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “surat sanggup bayar” atau promissory note adalah surat yang memuat kesanggupan dari Bank untuk membayar kepada Bank Indonesia atas -11- pencairan dana PLJPS. Surat sanggup bayar tersebut tidak dapat diperdagangkan di pasar uang. Huruf b Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 15 Dengan pembatasan pencairan PLJPS maka Bank hanya dapat mencairkan PLJPS paling banyak sebesar kelonggaran tarik yang didukung dengan kecukupan agunan. Pasal 16 Ayat (1) Meskipun pencairan PLJPS dihentikan sebelum jatuh waktu, pelunasan PLJPS tetap dilakukan pada saat jatuh waktu. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek” antara lain proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. -12- Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Penyerahan surat berharga syariah oleh Bank sebagai agunan untuk perpanjangan jangka waktu PLJPS tidak digantungkan pada kecukupan jumlah agunan PLJPS. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Bank Indonesia dapat menggunakan jasa pihak ketiga untuk melakukan verifikasi dan/atau penilaian terhadap dokumen yang terkait dengan agunan PLJPS. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Sumber dana lain dibuktikan dengan tersedianya tambahan dana di rekening giro Bank di Bank Indonesia yang disertai dokumen dan/atau data pendukung. Ayat (8) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. -13- Huruf c Informasi bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan antara lain diperoleh dari OJK dan/atau hasil verifikasi dan/atau penilaian bersama oleh Bank Indonesia dan OJK terhadap agunan PLJPS. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek” antara lain proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan penambahan plafon PLJPS. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. -14- Ayat (5) Bank Indonesia dapat menggunakan jasa pihak ketiga untuk melakukan verifikasi dan/atau penilaian terhadap dokumen yang terkait dengan agunan PLJPS. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Sumber dana lain dibuktikan dengan tersedianya tambahan dana di rekening giro Bank di Bank Indonesia yang disertai dokumen dan/atau data pendukung. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Permohonan penurunan plafon didasarkan pada kebutuhan likuiditas Bank sampai dengan Bank memenuhi GWM sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai giro wajib minimum, yang didukung dengan proyeksi arus kas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kewajiban PLJPS” adalah saldo pokok PLJPS, bagi hasil PLJPS, dan biaya lainnya terkait PLJPS. -15- Huruf a Yang dimaksud dengan “penempatan dana” antara lain penempatan dana pada pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah (PUAS) dan pembelian surat berharga syariah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 23 Operasi moneter syariah Bank Indonesia yang bersifat ekspansi antara lain transaksi repurchase agreement (repo) dalam rangka operasi pasar terbuka dan transaksi financing facility dalam rangka standing facilities. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Rumus perhitungan besarnya bagi hasil PLJPS adalah sebagai berikut: X = P x R x k x t/360 Keterangan: X : besarnya bagi hasil yang diterima Bank Indonesia. P : saldo pokok PLJPS. R : k : nisbah bagi hasil untuk Bank Indonesia. t : tingkat realisasi imbalan deposito investasi mudharabah sebelum distribusi pada Bank yang menerima PLJPS. jumlah hari kalender perhitungan bagi hasil. -16- Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “prefund debit” adalah prefund debit sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Rumus perhitungan besarnya kewajiban membayar (gharamah maliyah) PLJPS adalah sebagai berikut: G = P x R x k x t/360 Keterangan: G : besarnya kewajiban membayar (gharamah maliyah) yang diterima Bank Indonesia. P : saldo pokok PLJPS. R : tingkat realisasi imbalan deposito investasi mudharabah sebelum distribusi pada Bank yang menerima PLJPS. k : nisbah bagi hasil untuk Bank Indonesia. t : Ayat (6) Cukup jelas. jumlah hari kalender perhitungan kewajiban membayar (gharamah maliyah). -17- Pasal 27 Ayat (1) Huruf a Pendebitan saldo rekening giro Bank dilakukan sepanjang terdapat saldo pokok PLJPS, paling tinggi sebesar nilai terendah antara saldo pokok PLJPS dan kelebihan saldo rekening giro dari kewajiban GWM ditambah 10% (sepuluh persen) dari kewajiban GWM. Huruf b Pelunasan sebelum PLJPS jatuh waktu dilakukan dengan mendebit saldo rekening giro Bank sebesar saldo pokok dan bagi hasil PLJPS. Huruf c Apabila saat jatuh waktu PLJPS bertepatan pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur, atau pada hari kerja yang kemudian ditetapkan sebagai hari libur maka pendebitan saldo rekening giro Bank dilakukan pada hari kerja berikutnya, tanpa memperhitungkan bagi hasil PLJPS pada hari tersebut. Dalam hal Bank Indonesia beroperasi secara terbatas pada hari libur atau cuti bersama, dimana Bank Indonesia mengoperasikan sistem BI-RTGS dan SKNBI maka hari tersebut termasuk sebagai hari kerja. Ayat (2) Pelunasan kewajiban PLJPS merupakan transaksi high priority sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan setelmen dana seketika melalui sistem BI-RTGS, dan penyelesaiannya dilakukan mendahului penyelesaian transaksi lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. -18- Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Biaya yang timbul sehubungan dengan proses PLJPS berupa biaya jasa pihak ketiga untuk verifikasi dan/atau penilaian agunan, biaya notaris untuk pengikatan perjanjian dan pengikatan agunan, biaya dalam rangka eksekusi agunan, biaya penyimpanan dokumen terkait agunan, dan biaya terkait lain. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Pengawasan dilakukan dalam rangka melaksanakan ketentuan yang dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. -19- Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6045
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 19/4/PBI/2017 </reg_id> <reg_title> PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH </reg_title> <set_date> 11 April 2017 </set_date> <effective_date> 13 April 2017 </effective_date> <issued_date> 13 April 2017 </issued_date> <replaced_reg> '11/24/PBI/2009', '14/20/PBI/2012' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '9/UU/2016' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XIV' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7 / 44 / PBI / 2005 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/5/PBI/2003 TENTANG PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG RUPIAH DAN VALUTA ASING GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung pertumbuhan perekonomian nasional, perlu dilakukan pengembangan pasar keuangan rupiah termasuk pasar sekunder Surat Utang Negara ; b. bahwa salah satu cara untuk mendorong pengembangan pasar keuangan rupiah dan pengembangan pasar sekunder Surat Utang Negara adalah dengan memperluas, peranan perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing dalam memberikan jasa perantara dan dalam memberikan informasi pasar yang relevan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b dipandang perlu untuk melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/5/PBI/2003 tentang Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing; Mengingat... -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang - Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang 3. Undang-Undang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 7, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 4357); Nomor 24 Tahun 1999 tentang Tukar (Lembaran 67, Lalu Lintas Devisa dan Negara Republik Indonesia Sistem Nilai Tahun 1999 Nomor Tambahan Lembaran Negara Nomor 3844); 4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4236); 5. Peraturan Bank Indonesia nomor 5/5/PBI/2003 tentang Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4283) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No.7/20/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 67) MEMUTUSKAN... -3- MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERUBAHAN KEDUA INDONESIA ATAS PERATURAN BANK NOMOR 5/5/PBI/2003 TENTANG PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG RUPIAH DAN VALUTA ASING. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/5/PBI/2003 tentang Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 44) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/20/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 67) diubah sebagai berikut : 1. Ketentuan Pasal 1 angka 4 dan angka 6 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut : Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah perusahaan yang didirikan khusus untuk melakukan kegiatan jasa perantara bagi kepentingan nasabahnya di bidang pasar uang Rupiah dan valuta asing dengan memperoleh imbalan atas jasanya . 2. Bank adalah Bank Umum sebagaimana ditetapkan dalam Undang- undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998. 3. Pengguna... -4- 3. Pengguna jasa adalah pihak yang menggunakan jasa perusahaan pialang pasar uang Rupiah dan valuta asing. 4. Surat Utang Negara (SUN) adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara 5. Surat Perbendaharaan Negara adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto. 6. Obligasi Negara adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan / atau dengan pembayaran bunga secara diskonto. 7. Direksi adalah organ perusahaan pialang yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perusahaan untuk kepentingan dan tujuan perusahaan serta mewakili perusahaan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. 8. Komisaris adalah organ perusahaan pialang yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan perusahaan pialang. 9. Hari adalah hari kalender kecuali ditetapkan sebagai hari kerja. 2. Ketentuan Pasal 2 ayat (1a) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut : Pasal... -5- Pasal 2 (1) Kegiatan usaha yang dilakukan oleh Perusahaan Pialang adalah melakukan kegiatan jasa perantara bagi kepentingan nasabahnya di bidang pasar uang Rupiah dan valuta asing. (1a) Perusahaan Pialang dapat pula melakukan kegiatan jasa perantara dalam transaksi Surat Perbendaharaan Negara di pasar perdana dan di pasar sekunder, serta transaksi Obligasi Negara di pasar sekunder. (2) (3) Dalam melakukan kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) Perusahaan Pialang dapat memperoleh imbalan. Pengguna jasa Perusahaan Pialang dalam pasar valuta asing adalah Bank, sementara dalam pasar uang Rupiah pengguna jasa Perusahaan Pialang adalah Bank dan Non Bank. (4) Dalam hal diperlukan Bank Indonesia dapat menggunakan jasa Perusahaan Pialang. 3. Ketentuan Pasal 4 huruf c diubah sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut : Pasal 4 Perusahaan Pialang dilarang : a. melakukan transaksi di pasar uang Rupiah dan valuta asing atas namanya sendiri dan atau dananya sendiri ; b. melakukan transaksi di pasar uang Rupiah dan valuta asing atas nama pemilik Perusahaan Pialang dan atau dana pemilik Perusahaan Pialang yang bersangkutan ; c. memberikan … -6- c. memberikan jasa perantara di pasar modal, kecuali dalam transaksi Obligasi Negara di pasar sekunder ; d. melakukan penyelesaian transaksi (setelmen) untuk pengguna jasa ; dan e. memberikan informasi nama pengguna jasa sebelum transaksi disepakati. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 21 Oktober 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 109 DPD
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/44/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/5/PBI/2003 TENTANG PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG RUPIAH DAN VALUTA ASING </reg_title> <set_date> 21 Oktober 2005 </set_date> <effective_date> 21 Oktober 2005 </effective_date> <changed_reg> '5/5/PBI/2003' </changed_reg> <extension_of> '7/20/PBI/2005' </extension_of> <related_reg> '23/UU/1999', '5/5/PBI/2003', '3/UU/2004', '24/UU/1999', '7/20/PBI/2005', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/ 40 /PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peningkatan kegiatan masyarakat melakukan transaksi tunai, perlu didukung dalam dengan b. bahwa ketersediaan ketersediaan uang rupiah yang memadai dan mudah dikenali ciri-ciri keasliannya sebagai alat pembayaran; uang rupiah yang memadai dan mudah dikenali ciri-ciri keasliannya tersebut, dipandang perlu untuk meningkatkan unsur pengaman pada uang rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu); c. bahwa untuk meningkatkan unsur pengaman pada uang rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu), dipandang perlu untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang pengeluaran dan pengedaran uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) Tahun Emisi 2005. Mengingat ... -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tanggal 22 Juni 2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005. Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia. Pasal ... -3- Pasal 2 Macam uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan jenis uang kertas yang terbuat dari bahan serat kapas. Pasal 3 Harga uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mempunyai nilai nominal Rp10.000 (sepuluh ribu rupiah). Pasal 4 Ciri uang rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah : a. warna bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan ungu; b. gambar 1. bagian muka a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Badaruddin II dan di bawahnya dicantumkan tulisan “SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II”; b) di sebelah kiri gambar utama terdapat gambar ornamen daerah Palembang berbentuk lingkaran berwarna oranye yang memendar kuning di bawah sinar ultra violet; c) di sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan “SEPULUH RIBU RUPIAH”; d) di ... akan -4- d) di sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan di sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka nominal “10000”; e) di sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal “10000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; f) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi (latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi panjang berbentuk ornamen daerah Pelembang yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; g) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara Garuda Pancasila; h) di sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam bidang segi delapan yang dicetak dengan tinta khusus (optically variable ink) yang akan berubah warna dari hijau menjadi biru apabila dilihat dari sudut pandang berbeda; i) di sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun emisi “2005”, tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia (Burhanuddin Abdullah) beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia (Bun Bunan E.J. Hutapea) beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”; j) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis bergelombang, miring, dan rangkaian membentuk ornamen daerah Palembang; k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat di: 1) sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal “10000” berupa tulisan BI; 2) sebelah ... garis melengkung yang -5- 2) sebelah kiri gambar utama di atas dan bawah gambar saling isi (rectoverso) berupa angka 10000 yang membentuk garis vertikal; 3) sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berupa tulisan BANKINDONESIA sebagai latar belakang uang; 4) sebelah kanan gambar utama berupa tulisan BANKINDONESIA10000 yang tersusun diagonal membentuk warna dasar dan gambar ornamen daerah Palembang; l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa tulisan BI10000 yang berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda. 2. bagian belakang a) gambar utama berupa gambar Rumah Limas, Palembang; b) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA”; c) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SEPULUH RIBU RUPIAH”; d) di sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan di sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “10000”; e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak di sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet dan di INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet; f) di ... ESA, BANK INDONESIA sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK -6- f) di sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; g) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar siluet rumah limas yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; h) di sebelah kiri bawah gambar utama terdapat cetakan tidak kasat mata berupa angka nominal “10000” dalam kotak persegi panjang yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; i) di sebelah kanan atas dan bawah gambar utama terdapat angka 10000 yang membentuk warna dasar; j) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat di: 1) sebelah kanan di atas atap rumah limas berupa angka 10000 yang membentuk daun-daun pepohonan; 2) sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi nominal “10000” berupa tulisan BI; angka k) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di: 1) atas dan bawah tanda air berupa tulisan BANKINDONESIA yang berbentuk garis melengkung dengan ukuran teks berbeda; 2) sebelah kanan di atas tulisan BANK INDONESIA dan di bawah angka nominal “10000” berupa tulisan BANKINDONESIA yang membentuk lingkaran. c. bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut : 1. terbuat dari serat kapas; 2. ukuran panjang 145 mm dan lebar 65 mm; 3. warna ... -7- 3. warna ungu muda; 4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; 5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Badaruddin II dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah Palembang; 6. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan “BI10000” berulang-ulang dan akan memendar berwana merah di bawah sinar ultra violet. Pasal 5 Uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan mulai tanggal 20 Oktober 2005. Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 18 Oktober 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 100 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/40/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 </reg_title> <set_date> 18 Oktober 2005 </set_date> <effective_date> 18 Oktober 2005 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '6/14/PBI/2004' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 21/3/PBI/2019 TENTANG PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DARI KEGIATAN PENGUSAHAAN, PENGELOLAAN, DAN/ATAU PENGOLAHAN SUMBER DAYA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa devisa hasil ekspor dapat menjadi sumber dana yang berkesinambungan bagi pembangunan ekonomi nasional yang memberikan kontribusi optimal secara nasional serta dapat dimanfaatkan untuk mendukung terciptanya pasar keuangan yang lebih sehat dan upaya menjaga kestabilan nilai rupiah, dalam hal penempatannya dilakukan melalui perbankan di Indonesia; b bahwa pemantauan penerimaan devisa hasil ekspor yang diperoleh dari barang ekspor kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam perlu lebih ditingkatkan efektivitasnya guna mendukung optimalisasi pemanfaatan devisa hasil ekspor; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DARI KEGIATAN PENGUSAHAAN, PENGELOLAAN, DAN/ATAU PENGOLAHAN SUMBER DAYA ALAM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing yang selanjutnya disebut Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia namun tidak termasuk kantor cabang luar negeri dari bank yang berkantor pusat di Indonesia, yang memperoleh persetujuan dari otoritas - 3 - yang berwenang untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing. 2. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar. 3. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan. 4. Eksportir adalah orang perseorangan, badan hukum, atau badan lainnya yang tidak berbadan hukum yang melakukan Ekspor atas hasil kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam. 5. Perusahaan Jasa Titipan yang selanjutnya disingkat PJT adalah perusahaan yang menangani layanan kiriman secara ekspres atau peka waktu, memiliki izin penyelenggaraan jasa titipan dari instansi terkait, dan mendapatkan persetujuan untuk melaksanakan kegiatan kepabeanan dari kepala kantor pelayanan bea dan cukai. 6. Pemberitahuan Pabean Ekspor adalah pernyataan yang dibuat oleh orang untuk melaksanakan kewajiban pabean ekspor dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan. yang mengatur mengenai 7. Devisa Hasil Ekspor yang selanjutnya disingkat DHE adalah devisa dari hasil kegiatan Ekspor. 8. Devisa Hasil Ekspor dari Barang Ekspor Sumber Daya Alam yang selanjutnya disebut DHE SDA adalah DHE yang diperoleh dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai devisa hasil ekspor yang diperoleh dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam. - 4 - 9. Nasabah adalah nasabah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 10. Rekening Khusus DHE SDA yang selanjutnya disebut Reksus DHE SDA adalah rekening milik Nasabah di Bank dalam valuta rupiah atau valuta asing, yang digunakan khusus untuk penerimaan DHE SDA. 11. Perintah Transfer Dana adalah perintah transfer dana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai transfer dana. 12. Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) adalah transaksi lalu lintas devisa Nasabah berupa transfer dana keluar dalam valuta asing. 13. Nilai Ekspor adalah nilai Ekspor free on board (FOB) yang tercantum pada Pemberitahuan Pabean Ekspor. 14. Pihak yang Tunduk kepada Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut Pihak dalam Kontrak Migas adalah operator dan/atau pemegang participating interest beserta para penggantinya dari waktu ke waktu, yang tercatat di otoritas yang berwenang. 15. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia. BAB II KEWAJIBAN PENERIMAAN DAN PENGGUNAAN DHE SDA Pasal 2 (1) Seluruh DHE SDA wajib diterima melalui Bank pada Reksus DHE SDA. (2) Kewajiban penerimaan DHE SDA melalui Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. DHE SDA milik pemerintah yang diterima melalui Bank Indonesia; atau b. DHE SDA yang diterima dalam bentuk uang tunai di dalam negeri sepanjang dibuktikan dengan dokumen pendukung yang memadai. - 5 - Pasal 3 (1) Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berbentuk rekening giro, tabungan, atau rekening lainnya yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi. (2) Eksportir dapat membuka lebih dari 1 (satu) Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada 1 (satu) Bank atau lebih. (3) Pada saat mengajukan permohonan pembukaan Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Eksportir harus menyampaikan: a. dokumen pendukung yang dapat menunjukkan Ekspor atas hasil pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam; dan b. surat pernyataan. (4) Bank harus memastikan Nasabah yang akan melakukan pembukaan Reksus DHE SDA merupakan Eksportir. (5) Bank harus memberikan penanda khusus (flag) untuk setiap Reksus DHE SDA di sistem internal Bank. Pasal 4 (1) Eksportir dapat menempatkan dana dari Reksus DHE SDA ke dalam deposito DHE sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Bank wajib memastikan dana yang akan ditempatkan ke dalam deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari DHE SDA. (3) Bank harus memberikan penanda khusus (flag) untuk setiap deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 5 (1) Transfer dana masuk pada Reksus DHE SDA hanya dapat berasal dari: a. DHE SDA; b. dana dari pencairan deposito dan/atau pembayaran bunga deposito yang dananya bersumber dari Reksus DHE SDA milik Eksportir yang sama; dan - 6 - c. dana yang berasal dari Reksus DHE SDA lain milik Eksportir yang sama, baik di Bank lain maupun di Bank yang sama. (2) Bank harus memastikan transfer dana masuk pada Reksus DHE SDA hanya berasal dari sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Transfer dana masuk yang berasal dari DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan mekanisme: a. transfer terlebih dahulu melalui rekening selain Reksus DHE SDA milik Eksportir; atau b. transfer langsung ke Reksus DHE SDA. (4) Dalam hal terdapat transfer dana masuk ke Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung yang dapat membuktikan bahwa dana masuk tersebut merupakan DHE SDA. (5) Dalam hal terdapat transfer dana masuk ke Reksus DHE SDA selain dari sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Eksportir harus memindahkan dana dimaksud keluar dari Reksus DHE SDA. Pasal 6 (1) Penerimaan DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf b wajib dilakukan paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran Pemberitahuan Pabean Ekspor. (2) Penerimaan DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berasal dari cara pembayaran usance L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian, dan/atau collection, yang jatuh temponya melebihi atau sama dengan 3 (tiga) bulan setelah bulan pendaftaran Pemberitahuan Pabean Ekspor, wajib dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal jatuh tempo pembayaran yang bersangkutan. - 7 - (3) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh pada hari libur maka penerimaan DHE SDA dapat dilakukan pada Hari berikutnya. Pasal 7 (1) Eksportir yang menerima DHE SDA dengan cara pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) harus menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank untuk diteruskan kepada Bank Indonesia. (2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat tanggal 5 pada bulan berikutnya setelah bulan pendaftaran Pemberitahuan Pabean Ekspor. (3) Dalam hal batas akhir penyampaian dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hari libur maka penyampaian dokumen pendukung dapat dilakukan pada Hari berikutnya. Pasal 8 (1) Nilai DHE SDA yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf b harus sesuai dengan Nilai Ekspor. (2) Dalam hal nilai DHE SDA lebih kecil dari Nilai Ekspor dengan selisih kurang paling banyak ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) maka nilai DHE SDA yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor sehingga Eksportir tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung. (3) Dalam hal selisih kurang nilai DHE SDA dengan Nilai Ekspor lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) yang disebabkan oleh: a. selisih kurs, diskon/rabat, biaya administrasi, dan/atau biaya lainnya terkait perdagangan internasional, sehingga terdapat selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor paling banyak 10% (sepuluh persen) dari Nilai Ekspor; dan/atau - 8 - b. maklon, jasa perbaikan, operational leasing atau financial leasing, perbedaan harga barang, perbedaan kualitas barang, perbedaan komposisi barang, dan perbedaan kuantitas barang, nilai DHE SDA yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor apabila Eksportir menyampaikan dokumen pendukung yang memadai. (4) Untuk barang tambang, dalam hal nilai DHE SDA lebih kecil dari Nilai Ekspor dengan selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor yang disebabkan oleh perbedaan harga, kualitas, komposisi, dan kuantitas barang: a. paling banyak 10% (sepuluh persen) dari Nilai Ekspor maka nilai DHE SDA yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor dan Eksportir tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung; atau b. lebih besar dari 10% (sepuluh persen) dari Nilai Ekspor maka nilai DHE SDA yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor apabila Eksportir menyampaikan dokumen pendukung yang memadai. (5) Dalam hal selisih kurang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk DHE SDA yang diterima dalam bentuk uang tunai di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia. (6) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) huruf b disampaikan kepada Bank paling lambat tanggal 5 pada bulan berikutnya setelah DHE SDA diterima oleh Eksportir melalui Bank, untuk diteruskan kepada Bank Indonesia. (7) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 pada bulan berikutnya setelah bulan pendaftaran Pemberitahuan Pabean Ekspor. - 9 - Pasal 9 Dalam hal terdapat perbedaan antara data Pemberitahuan Pabean Ekspor yang disampaikan Eksportir dengan data Pemberitahuan Pabean Ekspor yang diterima Bank Indonesia dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai maka Bank Indonesia memutuskan data Pemberitahuan Pabean Ekspor yang dijadikan acuan dalam pemenuhan ketentuan Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 10 (1) Penerimaan nilai DHE SDA yang lebih kecil dari Nilai Ekspor yang disebabkan netting antara tagihan Ekspor dengan kewajiban Eksportir hanya diperbolehkan untuk netting dengan pembayaran impor barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan yang hanya melibatkan 2 (dua) pihak. (2) Dalam hal kegiatan Ekspor melibatkan lebih dari 2 (dua) pihak, netting antara tagihan Ekspor dengan kewajiban Eksportir dalam bentuk impor barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan, hanya diperbolehkan apabila pihak tersebut berada dalam 1 (satu) grup. (3) Eksportir harus menyampaikan surat pernyataan kepada Bank untuk diteruskan kepada Bank Indonesia bahwa: a. barang yang diimpor digunakan dalam proses menghasilkan barang Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan b. pihak yang melakukan netting antara tagihan Ekspor dengan kewajiban impor barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan berada dalam 1 (satu) grup, dalam hal netting melibatkan lebih dari 2 (dua) pihak. (4) Penerimaan DHE SDA yang berasal dari hasil netting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor apabila Eksportir menyampaikan bukti transaksi netting yang memadai. - 10 - Pasal 11 (1) Eksportir yang menerima nilai DHE SDA melalui Bank lebih kecil dari Nilai Ekspor, dengan selisih kurang lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) yang disebabkan importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan memaksa (force majeure), harus menyampaikan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank untuk diteruskan kepada Bank Indonesia. (2) Eksportir yang tidak menerima DHE SDA atau menerima DHE SDA dalam bentuk uang tunai lebih kecil dari Nilai Ekspor dengan selisih kurang lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), yang disebabkan importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan memaksa (force majeure), harus menyampaikan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia. (3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan paling lambat akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran Pemberitahuan Pabean Ekspor. (4) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk penerimaan DHE SDA yang berasal dari cara pembayaran usance L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian, dan/atau collection yang jatuh temponya melebihi atau sama dengan 3 (tiga) bulan setelah bulan pendaftaran Pemberitahuan Pabean Ekspor, harus disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal jatuh tempo pembayaran. Pasal 12 DHE SDA yang ditempatkan dalam Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) digunakan oleh Eksportir untuk Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) guna pembayaran: a. bea keluar dan pungutan lain di bidang ekspor; b. pinjaman; c. impor; - 11 - d. keuntungan atau deviden; dan/atau e. keperluan lain dari penanam modal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai penanaman modal. Pasal 13 (1) Dalam hal Eksportir melakukan Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) melalui Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dengan nilai setara di atas jumlah tertentu (threshold), Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank. (2) Bank hanya dapat melakukan pengaksepan Perintah Transfer Dana untuk Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang dilengkapi dengan dokumen pendukung. (3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diterima sebelum pelaksanaan penyelesaian transaksi. (4) Bank harus meneruskan informasi kepada Bank Indonesia mengenai penyampaian dokumen pendukung untuk Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Ketentuan mengenai mekanisme pengaksepan Perintah Transfer Dana, threshold, dan penyampaian dokumen pendukung untuk Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan nasabah. Pasal 14 (1) Eksportir harus menyampaikan kepada Bank: a. informasi untuk setiap transfer dana masuk dan/atau Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) melalui Reksus DHE SDA; dan b. informasi yang tercantum pada Pemberitahuan Pabean Ekspor terkait DHE SDA yang diterima. - 12 - (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia dalam: a. laporan rincian transaksi Ekspor; dan b. laporan Reksus DHE SDA, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan nasabah. (3) Untuk DHE SDA yang diterima dalam bentuk uang tunai di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia. (4) Keharusan menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku untuk Pemberitahuan Pabean Ekspor dengan nilai lebih besar dari USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya. Pasal 15 Dalam hal Eksportir tidak menyampaikan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (3), ayat (4) huruf b, dan ayat (5), Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 14 ayat (3), surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), serta bukti transaksi netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) maka nilai DHE SDA yang diterima Eksportir dianggap tidak sesuai dengan Nilai Ekspor dan Eksportir dianggap tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Pasal 16 (1) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, ketentuan bagi Eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf b, Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), dan Pasal 14 berlaku terhadap pemilik barang. - 13 - (2) PJT harus menyampaikan informasi terkait Pemberitahuan Pabean Ekspor kepada pemilik barang. Pasal 17 Dalam hal Ekspor sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf b, Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), dan Pasal 14 berlaku terhadap Eksportir dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas. Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penerimaan dan penggunaan DHE SDA melalui Reksus DHE SDA diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB III PENYAMPAIAN INFORMASI DAN LAPORAN Pasal 19 Untuk penerimaan DHE SDA, prosedur penyampaian oleh Bank kepada Bank Indonesia berupa: a. informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) dan Pasal 14 ayat (2); b. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, dan Pasal 11; c. surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3); dan d. bukti transaksi netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan nasabah. - 14 - BAB IV PENGAWASAN Pasal 20 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan kepada: a. Eksportir, pemilik barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas; dan b. Bank, terhadap pemenuhan kewajiban penerimaan DHE SDA melalui Reksus DHE SDA dan penggunaan DHE SDA. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengawasan tidak langsung; dan/atau b. pemeriksaan. (3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat: a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung, dengan atau tanpa melibatkan instansi terkait; dan b. melakukan kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (4) Dalam hal diperlukan, dalam melakukan pengawasan Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan penelitian kebenaran dokumen pendukung. Pasal 21 Bank, Eksportir, pemilik barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas harus memberikan penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung yang terkait guna pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Bank Indonesia. Pasal 22 Dalam hal Bank, Eksportir, pemilik barang, dan/atau Pihak Dalam Kontrak Migas tidak memberikan penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a, - 15 - laporan, keterangan, dan/atau data yang disampaikan dinyatakan tidak benar. Pasal 23 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan kepatuhan DHE SDA diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB V PENYAMPAIAN HASIL PENGAWASAN Pasal 24 Bank Indonesia menginformasikan hasil pengawasan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Eksportir, pemilik barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas terkait kewajiban penerimaan dan penggunaan DHE SDA kepada: a. Kementerian Keuangan; dan b. kementerian dan/atau lembaga teknis terkait, untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan masing- masing. Pasal 25 Pengenaan sanksi oleh otoritas yang berwenang sebagai tindak lanjut dari penyampaian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 tidak menggugurkan kewajiban penerimaan DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Pasal 26 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian hasil pengawasan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB VI SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 27 (1) Bank yang melakukan pelanggaran atas kewajiban terkait deposito khusus DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam - 16 - Pasal 4 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Bank yang melakukan pengaksepan Perintah Transfer Dana dari Eksportir, pemilik barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas untuk transaksi Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) tanpa dilengkapi dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dikenakan sanksi administratif. (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan nasabah. Pasal 28 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif atas pelanggaran kewajiban terkait DHE SDA diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 29 Ketentuan pengenaan sanksi terhadap Eksportir, pemilik barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas yang tidak memenuhi kewajiban terkait penerimaan dan penggunaan DHE SDA sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai devisa hasil ekspor dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam dan peraturan pelaksanaannya. BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 30 Dalam hal terdapat permasalahan terkait penerapan kewajiban penerimaan DHE SDA yang berdampak strategis, Bank Indonesia dapat mengambil kebijakan tertentu dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam - 17 - Peraturan Bank Indonesia ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 31 Ketentuan mengenai penerimaan DHE selain dari DHE SDA mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/23/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri, beserta peraturan pelaksanaannya. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 32 Pemenuhan kewajiban dan pengenaan sanksi terkait penerimaan DHE untuk Pemberitahuan Pabean Ekspor yang diterbitkan sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini sampai dengan tanggal 30 Juni 2019 tetap mengacu pada kewajiban penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/23/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 33 Ketentuan yang mengatur mengenai penerimaan, penggunaan, dan pengawasan DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam - 18 - Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 14 ayat (2) huruf b, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 mulai berlaku untuk Pemberitahuan Pabean Ekspor yang diterbitkan sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 34 (1) Penyampaian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 mulai berlaku untuk Pemberitahuan Pabean Ekspor yang diterbitkan sejak tanggal 1 Juli 2019. (2) Ketentuan mengenai pengenaan sanksi kepada Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) mulai berlaku untuk pemenuhan kewajiban yang timbul dari Pemberitahuan Pabean Ekspor yang diterbitkan sejak tanggal 1 Juli 2019. Pasal 35 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 19 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Januari 2019 GUBERNUR BANK INDONESIA, TTD PERRY WARJIYO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Januari 2019 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, TTD YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 8 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 21/3/PBI/2019 TENTANG PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DARI KEGIATAN PENGUSAHAAN, PENGELOLAAN, DAN/ATAU PENGOLAHAN SUMBER DAYA ALAM I. UMUM Pembangunan ekonomi nasional membutuhkan sumber dana yang memadai dan berkesinambungan, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Salah satu sumber pendanaan dari luar negeri yang relatif stabil dan berkesinambungan (sustainable) yaitu DHE yang juga penting untuk mendukung stabilitas nilai rupiah dan makroekonomi secara keseluruhan. Sejalan dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai devisa hasil ekspor yang diperoleh dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam dan untuk meningkatkan kualitas informasi yang diperoleh guna pemantauan DHE yang lebih efektif, perlu disusun ketentuan mengenai DHE SDA yang mengatur antara lain mengenai kewajiban penerimaan DHE SDA di Bank melalui Reksus DHE SDA. Penyesuaian pengaturan ini tetap berlandaskan pada sistem devisa bebas yang berlaku selama ini yaitu setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) DHE SDA diperoleh dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan. Sumber daya alam pertambangan merupakan sumber daya alam pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pertambangan mineral dan batubara serta Undang-Undang yang mengatur mengenai minyak dan gas bumi. Sumber daya alam perkebunan merupakan sumber daya alam perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perkebunan. Sumber daya alam kehutanan merupakan sumber daya alam kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai kehutanan. Sumber daya alam perikanan merupakan sumber daya alam perikanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perikanan. Wajib diterima melalui Bank tidak termasuk kewajiban menyimpan dalam jangka waktu tertentu dan/atau mengonversi ke dalam mata uang rupiah. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “diterima dalam bentuk uang tunai” adalah penerimaan DHE SDA dalam bentuk pembayaran uang kertas dan/atau uang logam. DHE SDA dikategorikan sebagai DHE SDA yang diterima dalam bentuk uang tunai apabila menurut Bank Indonesia - 3 - memenuhi aspek kewajaran untuk dilakukan pembayaran dengan menggunakan uang tunai, antara lain berdasarkan aspek jumlah dan jenis transaksinya. Pasal 3 Ayat (1) Rekening lainnya dapat berupa produk simpanan lainnya dari Bank yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Dokumen pendukung dapat berupa antara lain dokumen Pemberitahuan Pabean Ekspor, surat izin Ekspor dari instansi terkait, dan kontrak penjualan Ekspor. Termasuk dalam Pemberitahuan Pabean Ekspor yaitu Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB). Huruf b Surat pernyataan memuat pernyataan bahwa yang bersangkutan merupakan Eksportir. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. - 4 - Ayat (3) Huruf a Transfer dari rekening selain Reksus DHE SDA ke Reksus DHE SDA disertai dokumen pendukung yang dapat membuktikan dana masuk tersebut berasal dari DHE SDA. Huruf b Cukup jelas. Ayat (4) Dokumen pendukung dapat berupa antara lain dokumen Pemberitahuan Pabean Ekspor dan kontrak penjualan Ekspor. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Dokumen pendukung dapat berupa antara lain dokumen Pemberitahuan Pabean Ekspor, usance L/C, dan surat keterangan tentang penangguhan pembayaran dari importir. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “maklon” adalah pemberian jasa guna proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses - 5 - pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa atau disubkontrakkan, dan pengguna jasa menetapkan spesifikasi serta menyediakan bahan baku dan/atau barang setengah jadi dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya, dengan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa. Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan terjadinya selisih kurang antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor. Ayat (4) Huruf a Dokumen pendukung dapat berupa antara lain fotokopi invoice, certificate of analysis, dan SWIFT message. Yang dimaksud dengan “barang tambang” adalah minyak bumi, gas bumi, mineral, dan batubara. Yang dimaksud dengan “minyak bumi” adalah minyak bumi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai minyak dan gas bumi. Yang dimaksud dengan “gas bumi” adalah gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai minyak dan gas bumi. Yang dimaksud dengan “mineral” adalah mineral sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pertambangan mineral dan batubara. Yang dimaksud dengan “batubara” adalah batubara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pertambangan mineral dan batubara. Huruf b Cukup jelas. Ayat (5) Dokumen pendukung dapat berupa antara lain fotokopi kuitansi pembayaran terkait penerimaan DHE SDA dalam bentuk uang tunai di dalam negeri. Ayat (6) Cukup jelas. - 6 - Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pihak yang berada dalam 1 (satu) grup merupakan badan hukum atau badan lain yang memiliki hubungan berdasarkan kepemilikan dan/atau pemegang saham yang sama. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Bukti transaksi netting dapat berupa antara lain kesepakatan penyelesaian netting tagihan Ekspor dengan kewajiban impor barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan, laporan konsolidasi netting tagihan Ekspor dengan kewajiban impor barang, dan invoice. Bukti transaksi netting dinilai memadai apabila menurut penilaian Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan adanya netting yang diperbolehkan. Pasal 11 Ayat (1) Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan kondisi importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan memaksa (force majeure). Ayat (2) Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan kondisi importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan memaksa (force majeure). - 7 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Dokumen pendukung dapat berupa antara lain dokumen yang mendasari adanya kegiatan transaksi (underlying transaction) Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) dalam valuta asing, yaitu: a. tagihan dari penjual barang dan jasa di luar negeri; b. kontrak pinjaman atau dokumen lain yang menunjukkan adanya kewajiban pembayaran bunga dan/atau pokok pinjaman; c. kontrak atau dokumen lain yang menunjukkan adanya kewajiban membayar royalti dan kewajiban hak intelektual lainnya; d. dokumen rapat umum pemegang saham yang menunjukkan kewajiban pembagian deviden kepada pemegang saham di luar negeri; e. perjanjian kerja atau dokumen kepegawaian lainnya yang menunjukkan kewajiban membayar gaji dan penghasilan lainnya; f. dokumen likuidasi aset di dalam negeri yang merupakan hak pihak di luar negeri; dan/atau g. dokumen pengecualian atau penangguhan kewajiban penggunaan rupiah untuk transaksi valuta asing di dalam negeri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. - 8 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, threshold Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan nasabah yaitu USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan terjadinya penerimaan DHE SDA dalam bentuk uang tunai di dalam negeri. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pemilik barang” adalah pihak yang melakukan Ekspor melalui PJT. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. - 9 - Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. - 10 - Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Pemenuhan kewajiban Eksportir dan Bank yaitu kewajiban penerimaan DHE melalui Bank dan kewajiban pelaporan oleh Bank. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6303
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 21/3/PBI/2019 </reg_id> <reg_title> PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DARI KEGIATAN PENGUSAHAAN, PENGELOLAAN, DAN/ATAU PENGOLAHAN SUMBER DAYA ALAM </reg_title> <set_date> 18 Januari 2019 </set_date> <effective_date> 18 Januari 2019 </effective_date> <issued_date> 18 Januari 2019 </issued_date> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/18/PBI/2016 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah; b. bahwa dalam mencapai kestabilan nilai Rupiah diperlukan pasar keuangan yang likuid dan efisien, untuk dapat mendukung kegiatan ekonomi nasional; c. bahwa pasar keuangan yang likuid dan efisien dapat dicapai melalui pengembangan pasar valuta asing domestik secara menyeluruh, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian; d. bahwa dalam upaya pengembangan pasar valuta asing domestik perlu melakukan pengaturan yang komprehensif melalui pengayaan instrumen, pengembangan infrastruktur, kredibilitas pasar; dan peningkatan e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan serta Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri namun tidak termasuk kantor Bank Umum dan Bank Umum Syariah berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri. - 3 - 2. Nasabah adalah: a. perorangan yang memiliki kewarganegaraan Indonesia; atau b. badan usaha selain Bank yang berbadan hukum Indonesia, berdomisili di Indonesia, dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). 3. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah transaksi penjualan dan pembelian valuta asing terhadap Rupiah. 4. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai tukar valuta asing terhadap Rupiah, gabungan turunan dari nilai tukar valuta asing terhadap Rupiah dan suku bunga (valuta asing dan Rupiah), atau gabungan antarturunan dari nilai tukar valuta asing terhadap Rupiah. 5. Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari pembelian atau penjualan valuta asing terhadap Rupiah. 6. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli antara valuta asing terhadap Rupiah dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi, termasuk transaksi dengan penyerahan dana pada hari yang sama (today) atau dengan penyerahan dana 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi (tomorrow). 7. Call Spread Option adalah gabungan beli call option dan jual call option yang dilakukan secara simultan dalam satu kontrak transaksi dengan strike price yang berbeda dan nominal yang sama. - 4 - BAB II TRANSAKSI Bagian Kesatu Ruang Lingkup Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Pasal 2 (1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah meliputi: a. Transaksi Spot; dan b. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah. (2) Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. transaksi derivatif yang standar (plain vanilla), dalam bentuk forward, swap, option, dan cross currency swap (CCS); dan b. transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option. Bagian Kedua Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Pasal 3 (1) Bank dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan pihak domestik atas dasar suatu kontrak. (2) Dalam melakukan kegiatan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, Bank wajib: a. memenuhi ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai kategori Bank yang dapat melakukan kegiatan transaksi valuta asing; b. menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko Bank; c. memberikan edukasi tentang Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah kepada Nasabah - 5 - untuk pelaksanaan kegiatan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah; dan d. memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah. (3) Dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Nasabah, Bank wajib menggunakan kuotasi harga (kurs) valuta asing terhadap Rupiah yang ditetapkan oleh Bank. (4) Dalam hal Bank melakukan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, selain memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank juga wajib memenuhi ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan structured product bagi bank umum. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kontrak, edukasi kepada Nasabah, dan kuotasi harga (kurs) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 4 (1) Transaksi Spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dan transaksi derivatif yang standar (plain vanilla) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, yang dilakukan Bank dengan Nasabah di atas jumlah tertentu (threshold) wajib memiliki Underlying Transaksi. (2) Transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b wajib memiliki Underlying Transaksi. - 6 - (3) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi seluruh kegiatan: a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri; b. investasi berupa direct investment, portfolio investment, pinjaman, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri; dan/atau c. pemberian kredit atau pembiayaan Bank dalam valuta asing dan/atau dalam Rupiah untuk kegiatan perdagangan dan investasi. (4) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi juga perkiraan pendapatan dan biaya (income dan expense estimation). (5) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak termasuk: a. kegiatan penempatan dana pada Bank antara lain berupa tabungan, giro, deposito, dan sertifikat deposito (negotiable certificate of deposit); b. c. kegiatan pengiriman uang oleh perusahaan transfer dana; fasilitas pemberian kredit yang masih belum ditarik, antara lain berupa standby loan dan undisbursed loan; dan d. penggunaan Surat Berharga Bank Indonesia dalam valuta asing. (6) Khusus untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward oleh Nasabah kepada Bank, Underlying Transaksi juga meliputi kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri antara lain berupa tabungan, giro, deposito, dan sertifikat deposito (negotiable certificate of deposit). (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. - 7 - Bagian Ketiga Transaksi Spot antara Bank dengan Nasabah Pasal 5 (1) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Spot adalah USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah. (2) Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melebihi nominal Underlying Transaksi. (3) Dalam hal nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat). (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Keempat Transaksi Derivatif yang Standar (Plain Vanilla) antara Bank dengan Nasabah Pasal 6 (1) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui transaksi derivatif yang standar (plain vanilla) adalah USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah. - 8 - (2) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui transaksi forward adalah USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Nasabah. (3) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui transaksi option adalah USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Nasabah. (4) Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilarang melebihi nominal Underlying Transaksi. (5) Dalam hal nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nominal Underlying Transaksi tersebut dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). (6) Jangka waktu pembelian dan penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilarang melebihi jangka waktu Underlying Transaksi. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah tertentu (threshold) dan pembulatan kelipatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. - 9 - Pasal 7 Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (2) tidak berlaku untuk penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah awal yang dilakukan melalui: a. perpanjangan transaksi (roll over) sepanjang jangka waktu perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka waktu Underlying Transaksi awal; b. c. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau pengakhiran transaksi (unwind). Bagian Kelima Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antar-Bank Pasal 8 Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antar-Bank tidak wajib memiliki Underlying Transaksi. Bagian Keenam Transaksi Structured Product Valuta Asing Terhadap Rupiah Berupa Call Spread Option Pasal 9 (1) Bank dilarang melakukan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi Bank sebagai agen penjual (selling agent). (3) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option yang memenuhi persyaratan: a. didukung oleh Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 4 ayat (4); - 10 - b. nominal transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option tidak melebihi nominal Underlying Transaksi; dan c. jangka waktu transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option tidak melebihi jangka waktu Underlying Transaksi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 10 (1) Transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b wajib dilakukan secara dynamic hedging. (2) Transaksi dynamic hedging sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memastikan pelaku transaksi Call Spread Option tidak terekspos pada risiko nilai tukar akibat kurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread Option awal. (3) Transaksi dynamic hedging sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dengan persyaratan sebagai berikut: a. kisaran kurs tidak overlap dengan kisaran kurs transaksi Call Spread Option awal; b. kisaran kurs tidak memiliki gap dengan kisaran kurs transaksi Call Spread Option awal; c. menggunakan Underlying Transaksi yang sama dan belum jatuh waktu; d. nominal tidak bersifat kumulatif; e. jangka waktu: 1) paling kurang 6 (enam) bulan untuk transaksi Call Spread Option awal yang memiliki sisa jatuh waktu 6 (enam) bulan atau lebih; atau - 11 - 2) mengikuti sisa jatuh waktu transaksi Call Spread Option awal untuk transaksi Call Spread Option awal yang memiliki sisa jatuh waktu kurang dari 6 (enam) bulan; dan f. dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah kurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread Option awal. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dynamic hedging sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 11 (1) Transaksi Spot yang dilakukan dalam rangka transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option awal. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB III PENYELESAIAN TRANSAKSI Pasal 12 (1) Penyelesaian Transaksi Spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a antara Bank dengan Nasabah dan antar-Bank wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. (2) Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) antara Bank dengan Nasabah dan antar-Bank dapat dilakukan secara netting atau dengan pemindahan dana pokok secara penuh. - 12 - (3) Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Nasabah dan antar-Bank yang dapat dilakukan secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over), penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind). (4) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui transaksi forward dengan nominal transaksi paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. (5) Kewajiban pemindahan dana pokok secara penuh untuk penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui transaksi forward dengan nominal transaksi paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur sebagai berikut: a. pemindahan dana pokok secara penuh dilakukan pada saat jatuh waktu transaksi forward jual; b. dalam hal dilakukan perpanjangan transaksi (roll over) atau percepatan penyelesaian transaksi (early termination), penyelesaian dengan pemindahan dana pokok secara penuh dilakukan pada saat berakhirnya kontrak perpanjangan transaksi (roll over) atau percepatan penyelesaian transaksi (early termination); dan c. perpanjangan transaksi (roll over) atau percepatan penyelesaian transaksi (early termination) sebagaimana dimaksud pada huruf b, dapat dilakukan sepanjang didukung oleh Underlying Transaksi dari transaksi forward jual awal. percepatan - 13 - (6) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward dengan nominal paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud ayat (4), tidak dapat dilakukan melalui pengakhiran transaksi (unwind). (7) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui transaksi forward dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 13 (1) Penyelesaian Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan oleh penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing (KUPVA) dan travel agent untuk kepentingan nasabahnya wajib diselesaikan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan oleh penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing (KUPVA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 14 (1) Penyelesaian transaksi derivatif yang standar (plain vanilla) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a yang dilakukan antara Bank dengan Nasabah secara netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) untuk transaksi pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) - 14 - dapat dilakukan sepanjang didukung dengan Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah awal. (2) Penyelesaian transaksi option antara Bank dengan Nasabah secara netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) untuk transaksi penjualan valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dapat dilakukan sepanjang didukung dengan Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah awal. (3) Dalam hal pada saat penyelesaian Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Nasabah tidak dapat menyampaikan dokumen Underlying Transaksi maka penyelesaian Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah awal dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB IV DOKUMEN TRANSAKSI Bagian Kesatu Jenis Dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Pasal 15 (1) Jenis dokumen Underlying Transaksi untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Dokumen tagihan dalam valuta asing dari transaksi yang diwajibkan menggunakan Rupiah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah - 15 - Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat menjadi dokumen Underlying Transaksi untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jenis dokumen Underlying Transaksi dan dokumen tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 16 (1) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1), dan melakukan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Bank wajib memastikan Nasabah untuk menyampaikan dokumen sebagai berikut: a. dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dapat dipertanggungjawabkan baik yang bersifat final maupun berupa perkiraan; dan b. dokumen pendukung berupa: 1) fotokopi dokumen identitas Nasabah dan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan 2) pernyataan tertulis bermaterai cukup yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari Nasabah atau pernyataan tertulis yang authenticated dari Nasabah yang memuat informasi mengenai: a) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud pada huruf a dan penggunaan dokumen Underlying Transaksi untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal - 16 - Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia; dan b) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan. (2) Dalam hal Nasabah melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank melalui transaksi forward atau transaksi option di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3), Bank wajib memastikan Nasabah menyampaikan dokumen sebagai berikut: a. dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dapat dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun berupa perkiraan; dan b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis bermaterai cukup yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari Nasabah atau pernyataan tertulis yang authenticated dari Nasabah yang memuat informasi mengenai: 1) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud pada huruf a; 2) penggunaan dokumen Underlying Transaksi untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia; dan 3) sumber dana, jumlah penjualan, dan waktu penerimaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan. - 17 - (3) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1), Bank wajib memastikan Nasabah menyampaikan dokumen berupa pernyataan tertulis bermaterai cukup atau pernyataan tertulis yang authenticated dari Nasabah yang menyatakan bahwa pembelian valuta asing terhadap Rupiah tidak lebih dari jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1) dalam sistem perbankan di Indonesia. (4) Dalam hal Nasabah melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank melalui transaksi forward atau transaksi option paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3), tidak ada kewajiban bagi Nasabah untuk menyampaikan dokumen. (5) Dalam hal Nasabah melakukan penyelesaian transaksi secara netting untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi derivatif yang standar (plain vanilla) paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), Bank wajib memastikan Nasabah menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Dalam hal Nasabah melakukan penyelesaian transaksi secara netting untuk transaksi penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi option paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Bank wajib memastikan Nasabah menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai Underlying Transaksi, dokumen pendukung, dan penetapan jenis dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (5) dan ayat (6) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia - 18 - Bagian Kedua Penyampaian Dokumen Pasal 17 (1) Bank harus memastikan Nasabah menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk setiap transaksi pada tanggal transaksi. (2) Bank dapat menerima dokumen pendukung Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang disampaikan oleh Nasabah secara berkala dengan ketentuan sebagai berikut: a. dokumen Underlying Transaksi bersifat final; dan b. Bank telah mengetahui track record Nasabah dengan baik. (3) Bank dapat menerima dokumen pendukung Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah berupa pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) secara berkala. (4) Dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Transaksi Spot wajib diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal valuta. (5) Dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah wajib diterima oleh Bank paling lambat pada 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi. (6) Dalam hal Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memiliki jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi maka dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah wajib diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal jatuh waktu. - 19 - (7) Penyampaian dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung transaksi derivatif yang standar (plain vanilla) sampai dengan jumlah tertentu (threshold) yang akan diselesaikan secara netting wajib diterima oleh Bank paling lambat: a. pada tanggal valuta dalam hal pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Spot; b. 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah; atau c. pada tanggal jatuh waktu dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang memiliki jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi. (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian dan penerimaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 18 Bank wajib menatausahakan dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. BAB V PELAPORAN TRANSAKSI Pasal 19 Bank menyampaikan laporan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah melalui sistem pelaporan Bank Indonesia. - 20 - BAB VI PENGATURAN KREDIT Pasal 20 (1) Bank dilarang memberikan kredit atau pembiayaan dalam valuta asing dan/atau dalam Rupiah kepada Nasabah untuk kepentingan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai larangan memberikan kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 21 (1) Bank dilarang memberikan cerukan kepada Nasabah dalam rangka Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah. (2) Bank dilarang memberikan fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan cerukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah. BAB VII SANKSI Pasal 22 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c, Pasal 3 ayat (3), Pasal 16 ayat (3), dan/atau Pasal 18 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai kategori Bank yang dapat melakukan kegiatan transaksi valuta asing. - 21 - (3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko Bank. (4) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah. (5) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan structured product valuta asing terhadap Rupiah bagi bank umum. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 23 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), Pasal 6 ayat (6), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (3), Pasal 12 ayat (1), Pasal 12 ayat (4), Pasal 12 ayat (7), Pasal 13 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (2), Pasal 16 ayat (3), Pasal 16 ayat (5), Pasal 16 ayat (6), Pasal 17 ayat (4), Pasal 17 ayat (5), Pasal 17 ayat (6), Pasal 17 ayat (7), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), dan/atau Pasal 21 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari nominal transaksi yang dilanggar untuk setiap pelanggaran, dengan jumlah sanksi paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). - 22 - (2) Perhitungan nominal transaksi yang dilanggar untuk Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (2), Pasal 16 ayat (5), Pasal 16 ayat (6), Pasal 17 ayat (4), Pasal 17 ayat (5), Pasal 17 ayat (6) dan Pasal 17 ayat (7) diatur sebagai berikut: a. selisih antara total nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan jumlah tertentu (threshold) kewajiban pemenuhan Underlying Transaksi; atau b. total nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang tidak didukung dengan Underlying Transaksi dalam hal nominal transaksi di bawah jumlah tertentu (threshold) tetapi dilakukan penyelesaian transaksi secara netting. (3) Perhitungan nominal transaksi yang dilanggar untuk Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 21 ayat (2) diatur sebagai berikut: a. pelanggaran terhadap larangan pemberian kredit atau pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), dihitung dari nominal persetujuan kredit atau pembiayaan yang digunakan untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah; dan b. pelanggaran terhadap larangan pemberian cerukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan/atau fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan cerukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2), dihitung dari nominal cerukan dan/atau fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan cerukan yang diberikan Bank kepada Nasabah. (4) Penghitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada tanggal terjadinya pelanggaran. - 23 - (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 24 Bank yang telah melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan pihak domestik sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, tetap dapat meneruskan transaksi dimaksud sampai dengan jatuh waktu transaksi. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 25 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Pasal 7 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/31/PBI/2005 tentang Transaksi Derivatif sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/38/PBI/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/31/PBI/2005 tentang Transaksi Derivatif (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 199, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4946); b. Pasal 2 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/8/PBI/2013 tentang Transaksi Lindung Nilai Kepada Bank sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/18/PBI/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/8/PBI/2013 tentang Transaksi Lindung Nilai Kepada Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 214); - 24 - c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Domestik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 212 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5581); d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/6/PBI/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Domestik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 116 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5701); e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/13/PBI/2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Domestik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 201 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5736); dan f. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/15/PBI/2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Domestik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 223 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5743), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 26 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 25 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 September 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 September 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 183 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/18/ PBI/2016 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK I. UMUM Dalam rangka melaksanakan tugas Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, diperlukan upaya mempercepat tercapainya pasar keuangan yang likuid dan efisien, yang pada akhirnya dapat mendukung kegiatan ekonomi nasional. Untuk mencapai pasar keuangan yang likuid dan efisien salah satunya diperlukan adanya upaya pengembangan pasar valuta asing domestik yang dilakukan secara komprehensif dan menyeluruh. Upaya komprehensif dimaksud dapat dilakukan melalui pengayaan variasi instrumen sehingga menjadi alternatif bagi pelaku pasar dalam melakukan lindung nilai di pasar valuta asing domestik, dalam rangka pengelolaan utang luar negeri korporasi non-bank. Upaya pengembangan pasar valuta asing secara komprehensif juga dilakukan melalui antara lain pengembangan infrastruktur, peningkatan kredibilitas pasar dan peningkatan koordinasi, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati- hatian dalam bertransaksi di pasar valuta asing. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. - 2 - Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Pihak domestik meliputi Nasabah dan Bank. Yang dimaksud dengan “kontrak” adalah: a. konfirmasi tertulis berupa kontrak transaksi valuta asing (derivatif) yang lazim digunakan oleh pelaku pasar dan/atau diterbitkan oleh asosiasi terkait; dan/atau b. konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi yang antara lain berupa dealing conversation atau Society of Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). Ayat (2) Huruf a Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini diterbitkan, ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai kategori Bank yang dapat melakukan kegiatan transaksi valuta asing antara lain mengatur bahwa Bank yang dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, baik Transaksi Spot maupun transaksi derivatif yang plain vanilla (forward, swap, option, dan CCS) paling kurang adalah Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) 2 dan Bank yang dapat melakukan transaksi structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option paling kurang adalah Bank BUKU 3. Huruf b Ketentuan otoritas yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko Bank antara lain mengatur bahwa Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif yang paling kurang mencakup: 1. pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi; 2. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit; - 3 - 3. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan 4. sistem pengendalian intern yang menyeluruh. Huruf c Edukasi dilakukan dalam rangka memberikan pemahaman kepada Nasabah mengenai manfaat dan risiko Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini diterbitkan, ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai prinsip kehati- hatian dalam melaksanakan kegiatan structured product bagi bank umum mengatur antara lain: a. kewajiban Bank menerapkan manajemen risiko secara efektif dalam melakukan kegiatan structured product, paling sedikit mencakup: 1. pengawasan aktif direksi dan dewan komisaris; 2. kecukupan kebijakan dan prosedur; 3. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan sistem pengendalian intern, 4. b. larangan Bank menawarkan dan melakukan transaksi structured product dengan Nasabah yang diklasifikasikan sebagai Nasabah retail; c. larangan Bank menawarkan dan melakukan transaksi structured product dengan Nasabah eligible dalam hal: 1. dapat menimbulkan potensi kerugian melebihi pokok yang ditanamkan Nasabah; dan/atau 2. structured product merupakan penggabungan antara derivatif dengan derivatif, - 4 - d. kewajiban Bank menerapkan transparansi informasi dalam melakukan pemasaran, penawaran dan pelaksanaan transaksi structured product antara lain sebagai berikut: 1. mengungkapkan informasi yang lengkap, benar dan tidak menyesatkan kepada Nasabah; 2. memastikan pemberian informasi yang berimbang antara potensi manfaat yang mungkin diperoleh dengan risiko yang mungkin timbul bagi Nasabah dari transaksi structured product; dan 3. memastikan informasi yang disampaikan tidak menyamarkan, mengurangi, atau menutupi hal-hal yang penting terkait risiko yang mungkin timbul dari transaksi structured product, dan e. kewajiban Bank memberikan waktu kepada Nasabah untuk mempelajari penawaran dan dokumen yang disampaikan Bank kepada Nasabah, antara lain sebagai berikut: 1. pemberian waktu dilakukan dengan pemberian masa jeda (cooling off period) antara waktu disampaikannya penawaran oleh Bank dengan waktu Nasabah mengajukan permohonan untuk menerima atau menolak melakukan transaksi structured product; dan 2. jangka waktu masa jeda (cooling off period) yang diberikan paling sedikit 2 (dua) hari kerja setelah Nasabah perusahaan menerima dokumen penawaran. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. - 5 - Ayat (3) Huruf a Perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri antara lain berupa kegiatan usaha pedagang valuta asing. Huruf b Yang dimaksud dengan “direct investment” adalah investasi langsung Nasabah ke luar negeri. Yang dimaksud dengan “investasi lainnya” antara lain adalah investasi dan/atau transaksi yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan kebijakan pemerintah terkait perpajakan. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal perusahaan transfer dana menerima perintah nasabahnya untuk melakukan pembelian valuta asing untuk memenuhi kebutuhan transfer nasabahnya, perintah nasabah dimaksud tidak dapat menjadi Underlying Transaksi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. - 6 - Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "structured product valuta asing terhadap Rupiah" adalah instrumen yang merupakan gabungan antar derivatif nilai tukar valuta asing terhadap Rupiah, atau gabungan antara derivatif nilai tukar valuta asing terhadap Rupiah dan instrumen pasar uang, yang diperdagangkan di pasar valuta asing domestik. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal nominal Underlying Transaksi lebih besar dari nominal transaksi Call Spread Option maka Underlying Transaksi tersebut dapat digunakan sebagai Underlying Transaksi untuk transaksi Call Spread Option yang berbeda dan/atau Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah lainnya, sepanjang tidak melampaui nominal Underlying Transaksi. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. - 7 - Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dynamic hedging” adalah transaksi Call Spread Option yang dilakukan lebih dari satu kali, dan merupakan bagian dari transaksi Call Spread Option awal dalam satu kesatuan, untuk memastikan pelaku hedging tidak terekspos pada risiko nilai tukar. Ayat (2) Kurs pasar adalah kurs yang lazim digunakan dan disepakati oleh pelaku pasar, antara lain kurs yang tersedia pada Bloomberg dan Reuters. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “kisaran kurs tidak overlap” adalah kisaran kurs dynamic hedging yang tidak beririsan dengan kisaran kurs Call Spread Option awal. Huruf b Yang dimaksud dengan “kisaran kurs tidak memiliki gap” adalah kisaran kurs dynamic hedging yang tidak melampaui kisaran kurs Call Spread Option awal. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “nominal tidak bersifat kumulatif” adalah perhitungan nominal transaksi dynamic hedging hanya didasarkan pada nominal transaksi Call Spread Option awal. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. - 8 - Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pemindahan dana pokok secara penuh” adalah penyerahan dana secara riil untuk masing- masing transaksi jual dan/atau transaksi beli valuta asing terhadap Rupiah sebesar nilai penuh nominal transaksi atau ekuivalennya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) tidak dapat dilakukan melalui pengakhiran transaksi (unwind) karena akan mengakibatkan tidak terdapat pemindahan dana pokok secara penuh. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. - 9 - Pasal 16 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan mengalami perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu pemenuhan kebutuhannya. Huruf b Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) Dalam hal Nasabah merupakan badan usaha selain Bank, yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang” adalah pejabat yang mewakili badan usaha berdasarkan anggaran dasarnya atau pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan surat kuasa. Dalam hal Nasabah merupakan perorangan, yang dimaksud dengan ”pihak yang berwenang” adalah dirinya sendiri atau pihak yang diberi kuasa. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan mengalami perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu pemenuhan kebutuhannya. Huruf b Dalam hal Nasabah merupakan badan usaha selain Bank, yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang” adalah pejabat yang mewakili badan usaha berdasarkan anggaran dasarnya atau pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan surat kuasa. Dalam hal Nasabah merupakan perorangan, yang dimaksud dengan ”pihak yang berwenang” adalah dirinya sendiri atau pihak yang diberi kuasa. - 10 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan ”pernyataan tertulis yang authenticated” adalah pernyataan tertulis yang telah diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya secara sistem dan/atau nonsistem. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kredit atau pembiayaan” adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga atau imbalan, termasuk pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang dan pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain. Ayat (2) Cukup jelas. - 11 - Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "cerukan" adalah saldo negatif pada rekening giro Nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5926
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/18/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK </reg_title> <set_date> 5 September 2016 </set_date> <effective_date> 7 September 2016 </effective_date> <issued_date> 07 September 2016 </issued_date> <replaced_reg> '7/31/PBI/2005 | Pasal 7 Ayat (2)', '15/8/PBI/2013 | Pasal 2 Ayat (3)', '16/18/PBI/2014', '17/15/PBI/2015', '16/16/PBI/2014', '17/13/PBI/2015', '17/6/PBI/2015', '10/38/PBI/2008' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/13 /PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/16/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah; b. bahwa dalam rangka mendukung kestabilan nilai Rupiah diperlukan pasar valuta asing domestik yang memiliki daya tahan terhadap gejolak eksternal; c. bahwa perkembangan terkini kondisi pasar valuta asing domestik menyebabkan diperlukannya kebijakan untuk mewujudkan pasar valuta asing domestik yang sehat, dengan tetap memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendukung aktivitas ekonomi; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu melakukan perubahan kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank Dengan Pihak Domestik; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana… - 2 - sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844). MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/16/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank Dengan Pihak Domestik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5581) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/6/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank Dengan Pihak Domestik (Lembaran Negara Republik Indonesia… - 3 - Indonesia Tahun 2015 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5701) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 (1) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Spot adalah USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah. (2) Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melebihi nilai nominal Underlying Transaksi. (3) Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat). 2. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Spot dan/atau Transaksi Derivatif di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) tidak berlaku untuk penyelesaian Transaksi Derivatif awal yang dilakukan melalui: a. perpanjangan transaksi (roll over) sepanjang jangka waktu perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka waktu Underlying Transaksi awal; b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau c. pengakhiran transaksi (unwind). (2) Kewajiban… - 4 - (2) Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui transaksi forward atau option di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (2) tidak berlaku untuk penyelesaian Transaksi Derivatif awal yang dilakukan melalui: a. perpanjangan transaksi (roll over) sepanjang jangka waktu perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka waktu Underlying Transaksi awal; b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau c. pengakhiran transaksi (unwind). 3. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 (1) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1), Bank wajib memastikan Nasabah untuk menyampaikan dokumen sebagai berikut: a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan baik yang bersifat final maupun berupa perkiraan; dan b. dokumen pendukung berupa: 1. fotokopi dokumen identitas Nasabah dan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan 2. pernyataan tertulis bermaterai cukup yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari Nasabah atau pernyataan tertulis yang authenticated dari Nasabah yang memuat informasi mengenai: a) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan penggunaan dokumen Underlying Transaksi untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying… - 5 - Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia; dan b) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan. (2) Dalam hal Nasabah melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank melalui transaksi forward atau option di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (2), Bank wajib memastikan Nasabah menyampaikan dokumen sebagai berikut: a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun berupa perkiraan; dan b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis bermaterai cukup yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari Nasabah atau pernyataan tertulis yang authenticated dari Nasabah yang memuat informasi mengenai: 1. keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan 2. penggunaan dokumen Underlying Transaksi untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia; 3. sumber dana, jumlah penjualan, dan waktu penerimaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan. (3) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1), Bank wajib memastikan Nasabah menyampaikan dokumen berupa pernyataan tertulis bermaterai cukup atau pernyataan tertulis yang authenticated dari Nasabah yang menyatakan bahwa pembelian valuta asing terhadap Rupiah… - 6 - Rupiah tidak lebih dari jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) dalam sistem perbankan di Indonesia. (4) Dalam hal Nasabah melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank melalui transaksi forward atau option paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), tidak ada kewajiban bagi Nasabah untuk menyampaikan dokumen. (5) Dalam hal Nasabah melakukan penyelesaian transaksi secara netting untuk Transaksi Derivatif pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Bank wajib memastikan Nasabah menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Dalam hal Nasabah melakukan penyelesaian transaksi secara netting untuk transaksi penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward atau option paling banyak sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), Bank wajib memastikan Nasabah menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2). 4. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Bank memastikan Nasabah menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk setiap transaksi pada tanggal transaksi. (2) Dalam hal Bank telah mengetahui track record Nasabah dengan baik, dan Nasabah menyampaikan dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final, Bank dapat menerima dokumen pendukung Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang disampaikan oleh Nasabah secara berkala. (3) Bank… - 7 - (3) Bank dapat menerima dokumen pendukung Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah berupa pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) secara berkala. (4) Dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Transaksi Spot wajib diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal valuta. (5) Dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Transaksi Derivatif wajib diterima oleh Bank paling lambat pada 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi. (6) Dalam hal Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memiliki jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi maka dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi Derivatif wajib diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal jatuh waktu. (7) Penyampaian dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung Transaksi Derivatif sampai dengan jumlah tertentu (threshold) yang akan diselesaikan secara netting wajib diterima oleh Bank paling lambat: a. pada tanggal valuta dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Spot; b. 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif; atau c. pada tanggal jatuh waktu dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif yang memiliki jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi. Pasal II… - 8 - Pasal II 1. Transaksi pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank yang telah dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tetap tunduk pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank Dengan Pihak Domestik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/6/PBI/2015. 2. Ketentuan mengenai sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank Dengan Pihak Domestik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/6/PBI/2015 untuk pelanggaran atas ketentuan mengenai pembelian valuta asing terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam: a. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank Dengan Pihak Domestik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/6/PBI/2015; dan b. Pasal 4 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), dan Pasal 13 ayat (4) Peraturan Bank Indonesia ini, mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 2015, khusus untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot dengan jumlah di atas USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) sampai dengan USD100.000,00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). 3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar… - 9 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 Agustus 2015 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 25 Agustus 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 201 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/ 13 /PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/16/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK I. UMUM Perkembangan terkini kondisi pasar valuta asing domestik menimbulkan tantangan terhadap upaya mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Salah satu tantangan yang muncul adalah tingginya permintaan masyarakat terhadap valuta asing untuk kegiatan yang tidak terkait secara langsung dengan kegiatan perdagangan dan investasi. Tantangan ini menyebabkan diperlukannya kebijakan di pasar valuta asing domestik yang bersifat proaktif, untuk mendorong permintaan valuta asing yang sehat dan tetap memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendukung aktivitas ekonomi. Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia perlu melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan terkait dengan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Domestik. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 4 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 6 Cukup jelas. Angka 3… - 2 - Angka 3 Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan mengalami perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu pemenuhan kebutuhannya. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Dalam hal Nasabah merupakan badan usaha selain Bank, yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang” adalah pejabat yang mewakili badan usaha berdasarkan anggaran dasarnya atau pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan surat kuasa. Dalam hal Nasabah merupakan perorangan, yang dimaksud dengan ”pihak yang berwenang” adalah dirinya sendiri atau pihak yang diberi kuasa. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan mengalami perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu pemenuhan kebutuhannya. Huruf b Dalam hal Nasabah merupakan badan usaha selain Bank, yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang” adalah pejabat yang mewakili badan usaha berdasarkan anggaran dasarnya atau pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan surat kuasa. Dalam… - 3 - Dalam hal Nasabah merupakan perorangan, yang dimaksud dengan ”pihak yang berwenang” adalah dirinya sendiri atau pihak yang diberi kuasa. Ayat (3) Yang dimaksud dengan ”pernyataan yang authenticated” adalah pernyataan yang telah diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya secara sistem. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 13 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5736
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 17/13/PBI/2015 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/16/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK </reg_title> <set_date> 25 Agustus 2015 </set_date> <effective_date> 25 Agustus 2015 </effective_date> <issued_date> 25 Agustus 2015 </issued_date> <changed_reg> '16/16/PBI/2014' </changed_reg> <extension_of> '17/6/PBI/2015' </extension_of> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
- 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/ 18 /PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI, PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA, DAN SETELMEN DANA SEKETIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penguatan infrastruktur sistem pembayaran dan sistem keuangan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia, perlu dilakukan pengembangan sistem yang dapat mendukung pelaksanaan penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika; b. bahwa pengembangan sistem yang dapat mendukung pelaksanaan penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika dilakukan melalui implementasi penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform, Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System, dan Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement, yang terintegrasi agar lebih aman dan efisien; c. bahwa penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform, Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System, dan Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement, yang terintegrasi dilakukan dengan memperhatikan perkembangan penerapan prinsip-prinsip - 2 - yang berlaku secara internasional; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236); 3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4852); 4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5204); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI, PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA, DAN SETELMEN DANA SEKETIKA. - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Penyelenggara adalah Bank Indonesia yang menyelenggarakan sistem dalam kegiatan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen dana seketika. 2. Transaksi adalah Transaksi Dengan Bank Indonesia dan Transaksi Pasar Keuangan. 3. Transaksi Dengan Bank Indonesia adalah transaksi yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka kegiatan operasi moneter, operasi moneter syariah, dan/atau transaksi Surat Berharga Negara untuk dan atas nama Pemerintah, serta transaksi lainnya yang dilakukan dengan Bank Indonesia. 4. Transaksi Pasar Keuangan adalah transaksi Surat Berharga dan transaksi pinjam meminjam secara konvensional, atau yang dipersamakan berdasarkan prinsip syariah dalam rangka transaksi pasar uang dan/atau transaksi Surat Berharga di pasar sekunder. 5. Penatausahaan adalah kegiatan yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan Setelmen, serta pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan pokok/nominal atas hasil transaksi Surat Berharga dan hasil transaksi tanpa Surat Berharga. 6. Setelmen adalah proses penyelesaian akhir transaksi keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan Rekening Setelmen Dana, Rekening Surat Berharga, dan/atau rekening lainnya di Bank Indonesia. 7. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana Transaksi yang dilakukan secara elektronik. - 4 - 8. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana Penatausahaan Transaksi dan Penatausahaan Surat Berharga yang dilakukan secara elektronik. 9. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual. 10. Peserta adalah pihak yang telah memenuhi persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai peserta dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS. 11. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi Penatausahaan bagi kepentingan Peserta BI-SSSS. 12. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Penyelenggara sebagai Peserta BI-SSSS, untuk melakukan fungsi penatausahaan bagi kepentingan nasabah. 13. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disingkat FLI adalah fasilitas pendanaan yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Bank Peserta Sistem BI-RTGS baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah dalam rangka mengatasi kesulitan pendanaan yang terjadi selama jam operasional Sistem BI-RTGS dan/atau pada saat Setelmen dana atas hasil perhitungan dalam penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia. 14. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang Rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk pelaksanaan Setelmen dana. 15. Rekening Surat Berharga adalah rekening Peserta BI-SSSS dalam mata uang Rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia dalam rangka pencatatan kepemilikan dan Setelmen transaksi Surat - 5 - Berharga, Transaksi Dengan Bank Indonesia, dan/atau Transaksi Pasar Keuangan. 16. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, Pemerintah, dan/atau lembaga lain yang ditatausahakan pada BI-SSSS. 17. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara. 18. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah Surat Berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya. 19. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing. 20. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan Bank Umum Syariah termasuk Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 21. Keadaan Tidak Normal adalah situasi atau kondisi yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, aplikasi maupun sarana pendukung yang mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan Sistem BI- ETP, BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS. 22. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kekuasaan Penyelenggara dan/atau Peserta yang menyebabkan kegiatan operasional Sistem BI-ETP, BI- SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS tidak dapat diselenggarakan yang diakibatkan oleh, tetapi tidak - 6 - terbatas pada kebakaran, kerusuhan massa, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir yang dinyatakan oleh pihak penguasa atau pejabat yang berwenang setempat, termasuk Bank Indonesia. Pasal 2 Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen dana seketika dilakukan melalui 3 (tiga) sistem, yaitu: a. Sistem BI-ETP; b. BI-SSSS; dan c. Sistem BI-RTGS. BAB II PENYELENGGARA Pasal 3 (1) Dalam penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen dana seketika, Penyelenggara paling kurang melakukan hal-hal sebagai berikut: a. menetapkan ketentuan dan prosedur dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS; b. menyediakan sarana dan prasarana Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS; c. melaksanakan kegiatan operasional Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS; d. melakukan upaya untuk menjamin keandalan, ketersediaan, dan keamanan penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS; dan e. melakukan pemantauan kepatuhan Peserta terhadap Peraturan Bank Indonesia ini dan peraturan pelaksanaannya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. - 7 - BAB III KEPESERTAAN Bagian Kesatu Peserta Sistem BI-ETP Pasal 4 (1) Pihak yang dapat menjadi Peserta Sistem BI-ETP yaitu: a. Bank Indonesia; b. Kementerian Keuangan; c. Lembaga Penjamin Simpanan; d. Bank; e. perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing; f. perusahaan efek; dan g. lembaga lain yang disetujui oleh Penyelenggara. (2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki peran sebagai berikut: a. penerbit Surat Berharga; b. peserta operasi moneter atau peserta operasi moneter syariah; c. lembaga perantara dalam kegiatan operasi moneter atau operasi moneter syariah; d. peserta transaksi SBN di pasar perdana; e. peserta Transaksi Pasar Keuangan; dan/atau f. peran lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara. Pasal 5 (1) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dapat menjadi Peserta Sistem BI-ETP setelah memenuhi persyaratan dan memperoleh persetujuan dari Penyelenggara. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan menjadi Peserta Sistem BI-ETP diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. - 8 - Pasal 6 Dalam hal Peserta Sistem BI-ETP merupakan Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sekaligus melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam bentuk Unit Usaha Syariah maka kepesertaan dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP untuk kegiatan usaha secara konvensional harus terpisah dari kepesertaan untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Bagian Kedua Peserta BI-SSSS Pasal 7 (1) Pihak yang dapat menjadi Peserta BI-SSSS, yaitu: a. Bank Indonesia; b. Kementerian Keuangan; c. Bank; d. lembaga penyimpanan dan penyelesaian; e. perusahaan efek; dan f. lembaga lain yang disetujui oleh Penyelenggara. (2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki fungsi sebagai berikut: a. penerbit Surat Berharga; b. pemilik Surat Berharga di Central Registry; c. penatausahaan bagi kepentingan nasabah; dan/atau d. fungsi lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara. Pasal 8 (1) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dapat menjadi Peserta BI-SSSS setelah memenuhi persyaratan dan memperoleh persetujuan dari Penyelenggara. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan menjadi Peserta BI-SSSS diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. - 9 - Pasal 9 Dalam hal Peserta BI-SSSS merupakan Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sekaligus melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam bentuk Unit Usaha Syariah maka kepesertaan dalam penyelenggaraan BI-SSSS untuk kegiatan usaha secara konvensional harus terpisah dari kepesertaan untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Pasal 10 Peserta BI-SSSS yang memiliki fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a, huruf b, dan/atau huruf d namun juga memiliki fungsi penatausahaan bagi kepentingan nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c, kepesertaan dalam penyelenggaraan BI-SSSS harus terpisah dari kepesertaan sebagai Sub-Registry. Bagian Ketiga Peserta Sistem BI-RTGS Pasal 11 Pihak yang dapat menjadi Peserta Sistem BI-RTGS, yaitu: a. Bank Indonesia; b. Bank; c. penyelenggara kliring dan/atau penyelenggara setelmen; dan d. lembaga lain yang disetujui oleh Penyelenggara. Pasal 12 (1) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dapat menjadi Peserta Sistem BI-RTGS setelah memenuhi persyaratan dan memperoleh persetujuan dari Penyelenggara. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan menjadi Peserta Sistem BI-RTGS diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. - 10 - Pasal 13 Dalam hal Peserta Sistem BI-RTGS merupakan Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sekaligus melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam bentuk Unit Usaha Syariah maka kepesertaan dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS untuk kegiatan usaha secara konvensional harus terpisah dari kepesertaan untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Bagian Keempat Hubungan Hukum Pasal 14 Hubungan hukum antara Penyelenggara dengan Peserta dalam rangka penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini, dan perjanjian antara Penyelenggara dengan Peserta. BAB IV STATUS DAN PERUBAHAN STATUS PESERTA Bagian Kesatu Status Peserta Pasal 15 (1) Dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP berlaku 3 (tiga) jenis status kepesertaan, yaitu: a. aktif; b. dibekukan; atau c. ditutup. (2) Status kepesertaan dibekukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi Peserta Sistem BI-ETP yang memiliki fungsi sebagai penerbit Surat Berharga. - 11 - Pasal 16 (1) Dalam penyelenggaraan BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS berlaku 4 (empat) jenis status kepesertaan, yaitu: a. aktif; b. ditangguhkan; c. dibekukan; atau d. ditutup. (2) Status kepesertaan ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan status kepesertaan dibekukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak berlaku bagi Peserta Sistem BI-SSSS yang memiliki fungsi sebagai penerbit Surat Berharga dan Sub-Registry. Bagian Kedua Perubahan Status Peserta Pasal 17 (1) Penyelenggara dapat mengubah status kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16. (2) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan: a. dalam rangka pengenaan sanksi administratif oleh Penyelenggara; b. berdasarkan permintaan tertulis dari pihak yang berwenang melakukan pengawasan terhadap kegiatan Peserta; dan/atau c. berdasarkan permintaan tertulis dari Peserta yang bersangkutan. (3) Permintaan tertulis dari pihak yang berwenang melakukan pengawasan terhadap kegiatan Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan berdasarkan pertimbangan: a. adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang- undangan yang berlaku; b. tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadinya risiko yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Peserta; dan/atau - 12 - c. pembekuan kegiatan usaha Peserta, pencabutan izin usaha, putusan kepailitan, dan/atau likuidasi. (4) Perubahan status kepesertaan atas permintaan tertulis dari Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c antara lain dalam hal Peserta melakukan peleburan, penggabungan, pemisahan, self-liquidation yang telah disetujui oleh otoritas berwenang, dan pengunduran diri sebagai Peserta. Pasal 18 (1) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dan huruf b dalam Sistem BI-ETP dapat berupa perubahan status dari: a. aktif menjadi dibekukan; b. aktif menjadi ditutup; atau c. dibekukan menjadi ditutup. (2) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dan huruf b dalam BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS dapat berupa perubahan status dari: a. aktif menjadi ditangguhkan atau sebaliknya; b. aktif menjadi dibekukan; c. aktif menjadi ditutup; d. ditangguhkan menjadi dibekukan; atau e. dibekukan menjadi ditutup. (3) Perubahan status kepesertaan yang dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari Peserta yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c hanya dapat berupa permintaan perubahan status dari aktif menjadi ditutup. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan status kepesertaan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 19 (1) Dalam hal status Peserta berubah menjadi ditutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan ayat (2) huruf c dan huruf e, Peserta harus menyelesaikan seluruh kewajiban yang timbul - 13 - dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS. (2) Dalam rangka penyelesaian kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara dapat membuka rekening penampungan (escrow account) di Bank Indonesia atas nama Peserta. Pasal 20 (1) Bagi Peserta Sistem BI-ETP dan/atau Peserta BI-SSSS yang menjadi Peserta Sistem BI-RTGS, perubahan status kepesertaan pada Sistem BI-RTGS berdampak terhadap status kepesertaan pada Sistem BI-ETP dan/atau BI-SSSS. (2) Bagi Peserta Sistem BI-ETP yang menjadi Peserta BI-SSSS, perubahan status kepesertaan pada BI-SSSS berdampak terhadap status kepesertaan pada Sistem BI-ETP. BAB V KEWAJIBAN PESERTA Pasal 21 (1) Dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS, Peserta wajib: a. menjaga kelancaran dan keamanan dalam penggunaan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS; b. bertanggungjawab atas kebenaran Transaksi dan/atau instruksi Setelmen, serta seluruh informasi yang dikirim Peserta kepada Penyelenggara melalui Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS; c. melaksanakan kegiatan operasional terkait Sistem BI- ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS sesuai dengan perjanjian penggunaan sistem antara Penyelenggara dan Peserta, dan ketentuan yang mengatur mengenai penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS, serta ketentuan terkait lainnya; d. menginformasikan biaya transaksi melalui Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS kepada nasabah secara transparan; - 14 - e. memberikan data dan informasi terkait kegiatan operasional Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI- RTGS kepada Bank Indonesia; dan f. mematuhi ketentuan yang dikeluarkan oleh asosiasi terkait penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Peserta diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VI PENYELENGGARAAN SISTEM BI-ETP, BI-SSSS, DAN SISTEM BI-RTGS Bagian Kesatu Penyelenggaraan Sistem BI-ETP Pasal 22 (1) Pelaksanaan Transaksi melalui Sistem BI-ETP dilakukan secara lelang atau nonlelang. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Transaksi melalui Sistem BI-ETP diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 23 (1) Pelaksanaan Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dapat dilakukan secara langsung dan/atau menunjuk Peserta Sistem BI-ETP lain sebagai lembaga perantara (broker). (2) Dalam hal Peserta Sistem BI-ETP menunjuk Peserta Sistem BI-ETP lain sebagai lembaga perantara (broker) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta Sistem BI- ETP harus menetapkan batas paling tinggi nominal penawaran (broker bidding limit) per hari bagi lembaga perantara (broker) yang ditunjuk. (3) Penetapan batas paling tinggi nominal penawaran (broker bidding limit) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam: - 15 - a. perjanjian tersendiri antara Peserta Sistem BI-ETP dengan lembaga perantara (broker); atau b. prosedur internal Peserta Sistem BI-ETP. Bagian Kedua Penyelenggaraan BI-SSSS Paragraf 1 Penatausahaan Pasal 24 (1) Penatausahaan yang dilakukan oleh Penyelenggara dalam BI-SSSS meliputi: a. Penatausahaan Surat Berharga; dan b. Penatausahaan hasil Transaksi. (2) Penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronis dan tanpa warkat. Pasal 25 (1) Dalam Penatausahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Penyelenggara berfungsi sebagai Central Registry. (2) Dalam rangka mendukung Penatausahaan, Central Registry sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerjasama dengan Sub-Registry atau pihak lain guna mendukung Penatausahaan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penatausahaan dan kerja sama antara Central Registry dengan Sub-Registry diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 26 Penatausahaan dilakukan oleh: a. Central Registry untuk kepentingan Peserta BI-SSSS; dan b. Sub-Registry untuk kepentingan nasabah. Pasal 27 Pihak yang melakukan transaksi Surat Berharga namun tidak memiliki Rekening Surat Berharga harus menunjuk Sub- - 16 - Registry untuk melakukan penatausahaan Surat Berharga yang dimilikinya. Paragraf 2 Pencatatan Surat Berharga Pasal 28 (1) Pencatatan kepemilikan dan perpindahan kepemilikan Surat Berharga dilakukan secara book entry oleh Central Registry dan Sub-Registry. (2) Pencatatan kepemilikan Surat Berharga pada Central Registry dan Sub-Registry merupakan bukti kepemilikan yang sah atas Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 29 (1) Pencatatan kepemilikan Surat Berharga milik nasabah pada Rekening Surat Berharga Sub-Registry di Central Registry bersifat global (omnibus account). (2) Pencatatan kepemilikan Surat Berharga milik nasabah secara individual dilakukan dalam sistem internal Sub- Registry. (3) Sub-Registry wajib mencatat secara terpisah antara Surat Berharga milik nasabah dengan Surat Berharga milik Sub-Registry. (4) Sub-Registry dilarang memelihara Rekening Surat Berharga untuk dan atas nama sendiri, pengurus, pemegang saham, dan pengelola. (5) Sub-Registry bertanggung jawab atas kebenaran pencatatan dan laporan kepemilikan Surat Berharga atas nama nasabah. Pasal 30 (1) Sub-Registry wajib menyampaikan: a. laporan pencatatan kepemilikan Surat Berharga milik nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) kepada Central Registry; dan - 17 - b. laporan setelmen atas transaksi Surat Berharga milik nasabah Sub-Registry, sesuai batas waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Sub-Registry bertanggung jawab atas kebenaran laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal terdapat kesalahan atas laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sub-Registry wajib menyampaikan koreksi sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (4) Dalam hal Sub-Registry terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan koreksi atas laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Sub- Registry tetap wajib menyampaikan laporan berkala dalam batas waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (5) Sub-Registry dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan koreksi atas laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila Sub- Registry tidak memenuhi kewajiban penyampaian laporan sampai batas waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan batas waktu penyampaian laporan Sub-Registry diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Paragraf 3 Setelmen Pasal 31 Setelmen melalui BI-SSSS bersifat final. Pasal 32 (1) Setelmen melalui BI-SSSS dapat dilakukan dengan Setelmen dana atau tanpa Setelmen dana. (2) Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan apabila: a. Surat Berharga yang terdapat pada Rekening Surat Berharga; dan/atau - 18 - b. dana yang terdapat pada Rekening Setelmen Dana Peserta, mencukupi untuk pelaksanaan Setelmen. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Setelmen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 33 (1) Dalam rangka pelaksanaan Setelmen dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dan/atau pembayaran kewajiban lainnya melalui BI-SSSS, Peserta BI-SSSS yang bukan Peserta Sistem BI-RTGS harus menunjuk Bank Peserta Sistem BI-RTGS sebagai Bank penerima dan/atau Bank pembayar. (2) Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang ditunjuk sebagai Bank pembayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengelola batas Setelmen dana untuk setiap Peserta BI-SSSS yang menunjuk Bank pembayar. (3) Batas Setelmen dana yang dikelola oleh Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang ditunjuk sebagai Bank pembayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam: a. perjanjian tersendiri antara Bank pembayar dengan Peserta BI-SSSS yang menunjuk Bank pembayar dimaksud; dan/atau b. prosedur internal Bank pembayar. Pasal 34 Penyelenggara melakukan Setelmen melalui BI-SSSS berdasarkan: a. instruksi Setelmen yang dikirim Peserta BI-SSSS melalui BI-SSSS; b. c. instruksi Setelmen yang dikirim melalui Sistem BI-ETP; dan/atau instruksi Setelmen dari Peserta BI-SSSS penerbit Surat Berharga. - 19 - Pasal 35 (1) Penyelenggara tidak meneruskan instruksi Setelmen berdasarkan permintaan salah satu Peserta BI-SSSS, keputusan lembaga pengawas yang berwenang, keputusan lembaga arbitrase, dan/atau keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap. (2) Permintaan untuk tidak meneruskan instruksi Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk transaksi Surat Berharga yang memiliki 2 (dua) proses Setelmen yaitu Setelmen transaksi pertama (first leg) dan Setelmen transaksi kedua (second leg). (3) Penyelenggara tidak meneruskan instruksi Setelmen berdasarkan permintaan salah satu Peserta BI-SSSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila Peserta BI- SSSS dapat menunjukkan adanya pemberian kuasa kepada Peserta BI-SSSS dimaksud untuk membatalkan instruksi Setelmen dari Peserta BI-SSSS lawan transaksinya. (4) Peserta BI-SSSS yang mengajukan permintaan kepada Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas kebenaran pemberian kuasa pembatalan instruksi Setelmen. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tidak diteruskannya instruksi Setelmen diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 36 Sub-Registry wajib meneruskan hasil Setelmen kepada nasabah pada tanggal yang sama dengan tanggal pelaksanaan Setelmen. Paragraf 4 Pembayaran Kupon/Bunga atau Imbalan dan Pelunasan Pokok/Nominal Surat Berharga Pasal 37 Peserta BI-SSSS yang menerbitkan Surat Berharga harus memiliki dana yang mencukupi pada Rekening Setelmen Dana untuk membayar kupon/bunga atau imbalan dan melakukan - 20 - pelunasan pokok/nominal Surat Berharga pada saat jatuh waktu. Pasal 38 (1) Penyelenggara melakukan pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan pokok/nominal Surat Berharga pada saat jatuh waktu kepada pemilik Rekening Surat Berharga atas beban Rekening Setelmen Dana Peserta BI-SSSS yang menerbitkan Surat Berharga. (2) Penyelenggara dapat melakukan pembayaran pelunasan pokok/nominal Surat Berharga sebelum tanggal jatuh waktu dan accrued interest atas kupon/bunga atau bagian imbalan kepada pemilik Rekening Surat Berharga berdasarkan permintaan tertulis Peserta BI-SSSS yang menerbitkan Surat Berharga, sepanjang dana pada rekening milik penerbit Surat Berharga di Bank Indonesia mencukupi. (3) Sub-Registry harus meneruskan pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan pokok/nominal Surat Berharga kepada nasabah pemilik Surat Berharga pada tanggal yang sama dengan tanggal Sub-Registry menerima pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan pokok/nominal Surat Berharga dari penerbit Surat Berharga. (4) Sub-Registry harus memberikan jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah pemilik Surat Berharga, dalam hal Sub-Registry tidak meneruskan pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan nilai pokok/nominal Surat Berharga pada tanggal yang sama kepada nasabah pemilik Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembayaran kupon/bunga atau imbalan, pelunasan pokok/nominal Surat Berharga, dan jasa, bunga, atau kompensasi diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. - 21 - Paragraf 5 Pembebanan Rekening Surat Berharga Peserta dan/atau Rekening Setelmen Dana Pasal 39 Dalam rangka kegiatan Penatausahaan, Penyelenggara melakukan pendebitan Rekening Surat Berharga Peserta BI- SSSS, Rekening Setelmen Dana Peserta BI-SSSS, dan/atau Rekening Setelmen Dana Bank pembayar yang ditunjuk oleh Peserta BI-SSSS. Bagian Ketiga Penyelenggaraan Sistem BI-RTGS Paragraf 1 Transfer Dana dalam Sistem BI-RTGS Pasal 40 Transfer dana yang dilakukan melalui Sistem BI-RTGS meliputi layanan: a. single credit; b. multiple credit; dan c. single debit. Pasal 41 (1) Bank Indonesia sebagai Peserta Sistem BI-RTGS dapat menggunakan semua layanan transfer dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40. (2) Peserta Sistem BI-RTGS selain Bank Indonesia hanya dapat menggunakan layanan transfer dana single credit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a dan layanan transfer dana multiple credit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b. - 22 - Pasal 42 Transfer dana yang dapat dilakukan dalam layanan transfer dana single credit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a dan layanan transfer dana multiple credit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b meliputi: a. b. transfer dana dari Peserta Sistem BI-RTGS kepada Peserta Sistem BI-RTGS lainnya; transfer dana dari Peserta Sistem BI-RTGS kepada nasabah Peserta Sistem BI-RTGS lainnya dan sebaliknya; dan c. transfer dana dari nasabah Peserta Sistem BI-RTGS ke nasabah Peserta Sistem BI-RTGS lainnya. Pasal 43 Transfer dana yang dapat dilakukan dalam layanan transfer dana single debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf c meliputi: a. penyelesaian kewajiban Peserta Sistem BI-RTGS kepada Bank Indonesia; b. koreksi atas transaksi yang dikirim oleh Bank Indonesia; dan c. pelaksanaan Setelmen dana atas transaksi dan penyelesaian kewajiban lainnya sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia. Pasal 44 (1) Dalam pelaksanaan transfer dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, Penyelenggara menetapkan: a. jenis transaksi yang wajib dilakukan melalui Sistem BI-RTGS; b. pembatasan jenis transaksi melalui Sistem BI-RTGS yang dapat digunakan oleh Peserta Sistem BI-RTGS tertentu; dan/atau c. batas nilai nominal transfer dana yang dapat dilakukan melalui Sistem BI-RTGS. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis transaksi, pembatasan jenis transaksi, dan batas nilai nominal - 23 - transfer dana melalui Sistem BI-RTGS diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 45 (1) Peserta pengirim pada Sistem BI-RTGS harus membuat instruksi Setelmen dana sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Instruksi Setelmen dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menggunakan kode transaksi yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan dan pengiriman instruksi Setelmen serta penggunaan kode transaksi diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 46 (1) Peserta Sistem BI-RTGS pengirim harus mempersyaratkan kepada nasabah pengirim untuk mengisi perintah transfer dana secara lengkap dan benar dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku. (2) Peserta Sistem BI-RTGS pengirim wajib mengirimkan instruksi Setelmen dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya perintah transfer dana dari nasabah pengirim. (3) Instruksi Setelmen dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dikirim oleh Peserta Sistem BI-RTGS pengirim paling lama 1 (satu) jam sejak Peserta Sistem BI-RTGS pengirim melakukan pengaksepan atas perintah transfer dana dari nasabah. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak berlaku apabila memenuhi kondisi yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (5) Dalam hal Peserta Sistem BI-RTGS pengirim tidak mengirimkan instruksi Setelmen dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Peserta Sistem BI-RTGS pengirim wajib membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah pengirim. - 24 - (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perintah transfer dana, pengiriman instruksi Setelmen dana, penetapan kondisi tertentu, dan besarnya jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah pengirim diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Paragraf 2 Setelmen Dana Pasal 47 Setelmen dana melalui Sistem BI-RTGS bersifat final. Pasal 48 (1) Setelmen dana melalui Sistem BI-RTGS dilakukan dengan menggunakan dana yang terdapat pada Rekening Setelmen Dana. (2) Setelmen dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan apabila dana yang terdapat pada Rekening Setelmen Dana mencukupi untuk pelaksanaan Setelmen dana. (3) Penyelenggara menetapkan mekanisme Setelmen dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam hal dana tidak mencukupi untuk pelaksanaan Setelmen dana. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Setelmen dana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 49 (1) Dalam hal Peserta Sistem BI-RTGS penerima melakukan pengaksepan atas instruksi Setelmen dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), Peserta Sistem BI- RTGS penerima wajib meneruskan dana kepada nasabah penerima pada tanggal yang sama dengan tanggal Setelmen dana. (2) Penerusan dana kepada nasabah penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan sesegera mungkin atau paling lama 1 (satu) jam sejak instruksi Setelmen dana diterima oleh Peserta penerima. - 25 - (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak berlaku apabila memenuhi kondisi yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (4) Dalam hal Peserta Sistem BI-RTGS penerima tidak melakukan penerusan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta Sistem BI-RTGS penerima harus memberikan jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah penerima. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu penerusan dana hasil Setelmen dana, penetapan kondisi tertentu, dan besarnya jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah penerima diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 50 (1) Dalam Sistem BI-RTGS disediakan fasilitas pengelolaan risiko likuiditas dan risiko kredit untuk Peserta Sistem BI-RTGS. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis fasilitas pengelolaan risiko diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Paragraf 3 Pembebanan Rekening Setelmen Dana Pasal 51 Dalam rangka pelaksanaan Setelmen dana, Penyelenggara melakukan pendebitan Rekening Setelmen Dana. Paragraf 4 Fasilitas Likuiditas Intrahari Pasal 52 (1) Penyelenggara menyediakan FLI kepada Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang terdiri atas FLI RTGS dan FLI Kliring. (2) Penyelenggara menetapkan persyaratan penggunaan FLI yang harus dipenuhi oleh Bank Peserta Sistem BI-RTGS. - 26 - (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penggunaan FLI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 53 (1) Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang akan menggunakan FLI harus menyediakan Surat Berharga yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Penggunaan FLI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara repurchase agreement (repo) FLI RTGS dan/atau FLI Kliring atas Surat Berharga yang dimiliki oleh Bank Peserta Sistem BI-RTGS. (3) Surat Berharga yang telah disediakan untuk FLI Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat digunakan untuk FLI RTGS. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan Surat Berharga yang dapat digunakan untuk memperoleh FLI dan penggunaan FLI diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 54 (1) Penggunaan FLI RTGS dilakukan secara otomatis pada saat dana yang terdapat pada Rekening Setelmen Dana dalam Rupiah milik Bank Peserta Sistem BI-RTGS tidak mencukupi untuk melakukan Setelmen dana atas transaksi keluar (outgoing transaction). (2) Penggunaan FLI Kliring dilakukan secara otomatis pada saat dana yang terdapat pada Rekening Setelmen Dana dalam Rupiah milik Bank Peserta Sistem BI-RTGS tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban pada saat Setelmen dana atas hasil perhitungan dalam penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia. (3) Penggunaan FLI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan kecukupan nilai Surat Berharga yang tersedia pada rekening FLI RTGS dan rekening FLI Kliring yang ditetapkan oleh Penyelenggara. - 27 - Pasal 55 (1) Penyelenggara mengenakan biaya atas penggunaan FLI dan/atau biaya lainnya yang terkait dengan penggunaan FLI kepada Bank Peserta Sistem BI-RTGS. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya penggunaan FLI dan biaya lainnya yang terkait dengan penggunaan FLI diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 56 (1) Bank Peserta Sistem BI-RTGS wajib menyelesaikan penggunaan FLI sampai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Dalam hal Bank Peserta Sistem BI-RTGS tidak dapat menyelesaikan penggunaan FLI sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap penggunaan FLI yang tidak dapat diselesaikan diberlakukan sebagai transaksi lending/financing facility dengan Bank Indonesia. (3) Transaksi lending/financing facility sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter dan operasi moneter syariah. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian penggunaan FLI diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Keempat Data Transaksi dan Setelmen Pasal 57 (1) Penyelenggara mengirimkan data transaksi dan/atau data hasil Setelmen kepada masing-masing Peserta setiap akhir hari. (2) Dalam hal terdapat perbedaan antara data transaksi dan/atau data hasil Setelmen yang dimiliki oleh masing- masing Peserta dengan data transaksi dan/atau data hasil Setelmen yang dimiliki oleh Penyelenggara, data yang digunakan adalah data yang ada pada Penyelenggara. - 28 - Bagian Kelima Waktu Operasional Pasal 58 (1) Penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI- RTGS dilakukan pada waktu operasional yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Waktu operasional Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. hari operasional; dan b. jam operasional. (3) Waktu operasional BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. hari operasional; b. jam operasional; dan c. periode waktu kegiatan. (4) Peserta wajib melakukan kegiatan operasional terkait Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS sesuai dengan waktu operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), kecuali dalam kondisi yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (5) Penyelenggara dapat melakukan perubahan waktu operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3). (6) Peserta hanya dapat mengajukan permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan dalam BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu operasional dan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh Penyelenggara diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Keenam Biaya Pasal 59 (1) Penyelenggara menetapkan jenis dan besarnya biaya dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan - 29 - Sistem BI-RTGS. (2) Penyelenggara dapat membebaskan biaya dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI- RTGS apabila terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan besarnya biaya, pembebasan biaya, serta tata cara pembebanan biaya diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 60 (1) Penyelenggara dapat menetapkan batas biaya paling banyak yang dikenakan Peserta kepada nasabah dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS. (2) Penyelenggara dapat meminta kepada Peserta untuk menyampaikan informasi mengenai besarnya biaya yang dikenakan oleh Peserta kepada nasabah dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI- RTGS. (3) Penyelenggara dapat mengumumkan besarnya biaya yang dikenakan oleh Penyelenggara kepada Peserta dan biaya yang dikenakan oleh Peserta kepada nasabah dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada masyarakat. (4) Ketentuan lebih lanjut penetapan batas biaya paling banyak yang dikenakan Peserta kepada nasabah diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Ketujuh Penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat Pasal 61 (1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI- RTGS dan/atau Keadaan Darurat di lokasi Penyelenggara, Penyelenggara memberitahukan keadaan - 30 - tersebut kepada Peserta berikut langkah-langkah penanganan untuk mengatasi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat. (2) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di lokasi Peserta yang mengakibatkan Peserta tidak dapat mengirimkan Transaksi dan/atau instruksi Setelmen maka pengiriman Transaksi dan/atau instruksi Setelmen dapat dilakukan dengan menggunakan sarana yang disediakan oleh Penyelenggara. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan Keadaan Tidak Normal dan Keadaan Darurat diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VII PEMBEBASAN TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARA Pasal 62 Penyelenggara dibebaskan dari segala tuntutan atas kerugian Peserta atau pihak ketiga yang timbul dan/atau yang akan timbul akibat: a. keterlambatan atau tidak terlaksananya Transaksi, Setelmen, dan pembayaran kupon/bunga atau imbalan serta pelunasan pokok/nominal Surat Berharga, yang diakibatkan karena kelalaian Peserta, Keadaan Tidak Normal, dan/atau Keadaan Darurat; b. pengiriman Transaksi atau instruksi Setelmen dilakukan oleh pejabat yang tidak berwenang; c. kesalahan data Transaksi atau instruksi Setelmen yang dikirimkan oleh Peserta; dan/atau d. tidak diteruskannya instruksi Setelmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1). - 31 - BAB VIII PEMANTAUAN KEPATUHAN PESERTA Pasal 63 (1) Penyelenggara melakukan pemantauan kepatuhan Peserta terhadap ketentuan yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara langsung dan tidak langsung. (3) Dalam rangka pelaksanaan pemantauan kepatuhan Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Peserta wajib: a. menyampaikan laporan berkala dan laporan sewaktu-waktu; b. memberikan data, informasi, dan/atau dokumen yang diperlukan Penyelenggara terkait penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS; c. memberikan akses kepada Penyelenggara untuk melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap dokumen, sarana fisik, aplikasi pendukung yang terkait penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS, dan kegiatan operasional Peserta; dan d. menindaklanjuti hasil pemantauan yang dilakukan oleh Penyelenggara. (4) Dalam rangka pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara dapat meminta Peserta untuk melakukan pengujian terhadap infrastruktur Peserta yang digunakan dalam operasional penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemantauan kepatuhan Peserta, jenis laporan, dan tata cara penyampaian laporan dalam rangka pelaksanaan pemantauan kepatuhan Peserta diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. - 32 - Pasal 64 Pemantauan kepatuhan Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) termasuk pemantauan kepatuhan terhadap kegiatan penatausahaan yang dilakukan oleh Sub- Registry dan/atau pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2). Pasal 65 (1) Penyelenggara dapat menunjuk pihak lain untuk dan atas nama Penyelenggara dalam rangka melaksanakan pemantauan kepatuhan Peserta. (2) Pihak lain yang melaksanakan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan keterangan dan data yang diperoleh dalam pemantauan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan kepatuhan Peserta diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 66 (1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3) huruf a wajib disampaikan sesuai batas waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Dalam hal Peserta terlambat menyampaikan laporan berkala sesuai batas waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara, Peserta tetap wajib menyampaikan laporan berkala dalam batas waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (3) Peserta dinyatakan tidak menyampaikan laporan berkala apabila Peserta tidak menyampaikan laporan berkala sampai batas waktu sebagaimana yang ditetapkan pada ayat (2). BAB IX KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 67 (1) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang telah menjadi Peserta BI-SSSS berdasarkan Peraturan - 33 - Bank Indonesia Nomor 10/2/PBI/2008 tentang Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4809) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/12/PBI/2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5146) dan memiliki peran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), dinyatakan menjadi Peserta Sistem BI-ETP berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yang telah menjadi Peserta BI-SSSS berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/2/PBI/2008 tentang Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4809) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/12/PBI/2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5146) dan menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), dinyatakan menjadi Peserta BI-SSSS berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini. (3) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 yang telah menjadi Peserta Sistem BI-RTGS berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/6/PBI/2008 tentang Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4820), dinyatakan tetap menjadi Peserta BI-RTGS berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini. - 34 - BAB X SANKSI Pasal 68 (1) Peserta yang tidak memenuhi kewajiban menjaga kelancaran dan keamanan dalam penggunaan Sistem BI- ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Dalam hal Peserta tidak menindaklanjuti teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak teguran tertulis diterima, dapat dikenakan sanksi administratif berupa penurunan status kepesertaan. Pasal 69 Peserta yang tidak menginformasikan biaya transaksi dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI- RTGS kepada nasabah secara transparan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 70 (1) Sub-Registry yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan sejak batas waktu penyampaian pelaporan yang ditetapkan oleh Penyelenggara dengan jumlah paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (2) Sub-Registry yang terlambat dan/atau tidak menyampaikan koreksi laporan sesuai batas waktu yang ditetapkan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Dalam hal Sub-Registry tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 ayat (5), Sub-Registry - 35 - dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 71 Peserta Sistem BI-RTGS pengirim yang mengisi kode transaksi tidak sesuai dengan yang ditetapkan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per instruksi Setelmen dana, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dalam bulan berjalan. Pasal 72 (1) Dalam hal instruksi Setelmen dana dari Peserta Sistem BI-RTGS pengirim tidak dikirim oleh Peserta Sistem BI- RTGS pengirim sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3), Peserta Sistem BI- RTGS pengirim dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per instruksi Setelmen dana, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per 1 (satu) periode pemantauan. (2) Dalam hal Peserta Sistem BI-RTGS penerima tidak meneruskan dana kepada nasabah penerima sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2), Peserta Sistem BI-RTGS penerima dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per instruksi Setelmen dana, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per 1 (satu) periode pemantauan. Pasal 73 Peserta yang tidak menyampaikan: a. laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3) huruf a; dan/atau b. data, informasi, dan/atau dokumen terkait penyelenggaraan - 36 - Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3) huruf b; dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 74 (1) Peserta yang tidak memberikan akses kepada Penyelenggara untuk melakukan pemeriksaan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3) huruf c dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Dalam hal Peserta tidak menindaklanjuti teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak teguran tertulis diterima, dapat dikenakan sanksi administratif berupa penurunan status kepesertaan. Pasal 75 (1) Peserta yang tidak menindaklanjuti hasil pemantauan yang dilakukan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3) huruf d dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Dalam hal Peserta tidak menindaklanjuti teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikenakan sanksi administratif berupa penurunan status kepesertaan. Pasal 76 (1) Peserta yang terlambat menyampaikan laporan berkala sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). (2) Dalam hal Peserta tidak menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud pada Pasal 66 ayat (3), Peserta dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Peserta yang tidak menindaklanjuti teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 30 (tiga - 37 - puluh) hari sejak tanggal teguran tertulis dapat dikenakan sanksi administratif berupa penurunan status kepesertaan. Pasal 77 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 78 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 79 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/2/PBI/2008 tentang Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4809); b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/6/PBI/2008 tentang Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4820); c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/29/PBI/2008 tentang Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 174, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4922); d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/30/PBI/2009 tentang Fasilitas Likuiditas Intrahari Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5034); - 38 - e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/12/PBI/2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/2/PBI/2008 tentang Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5146); dan f. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/13/PBI/2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/29/PBI/2008 tentang Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5147), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 80 (1) Ketentuan mengenai batas biaya paling banyak yang dikenakan Peserta kepada nasabah dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2016. (2) Ketentuan mengenai kewajiban Peserta menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dan sanksi administratif atas kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 mulai berlaku untuk periode laporan tahun 2016. (3) Ketentuan mengenai sanksi administratif berupa kewajiban membayar atas: a. keterlambatan penyampaian laporan oleh Sub- Registry sebagaimana dimaksud dalam 70 ayat (1); b. pelanggaran pengisian kode transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 selain kode transaksi tertentu yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan setelmen dana seketika melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Grosss Settlement; c. pelanggaran batas waktu pengiriman instruksi Setelmen dana kepada Peserta Sistem BI-RTGS penerima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 - 39 - ayat (1); dan d. pelanggaran batas waktu penerusan dana kepada nasabah penerima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2), mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2016. Pasal 81 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 16 November 2015. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 November 2015 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 November 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 273 - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/ 18 /PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI, PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA, DAN SETELMEN DANA SEKETIKA I. UMUM Sistem BI-RTGS yang telah digunakan sejak tahun 2000 telah menjadi infrastruktur yang penting dalam sistem pembayaran, sistem keuangan, dan perekonomian Indonesia. Sistem tersebut telah menjadi muara berbagai transaksi keuangan di Indonesia, baik untuk transaksi ritel, transaksi pasar keuangan maupun transaksi pasar modal. Selain sebagai suatu infrastruktur utama dalam sistem keuangan Indonesia, Sistem BI-RTGS telah pula dikenal dan banyak digunakan untuk setelmen pembayaran antar bank dari berbagai transaksi ekonomi lainnya. Kondisi ini menyebabkan volume transaksi pembayaran antar bank yang diselesaikan melalui Sistem BI-RTGS semakin meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan volume transaksi pembayaran pada Sistem BI-RTGS tidak lepas dari kontribusi peningkatan volume transaksi surat berharga pada BI-SSSS. BI-SSSS merupakan sarana untuk transaksi operasi moneter, pemberian fasilitas pendanaan Bank Indonesia kepada Bank, pelaksanaan lelang dan perdagangan SBN serta penatausahaan Sertifikat Bank Indonesia dan SBN. Sejalan dengan peningkatan volume transaksi pembayaran pada Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS, dalam rangka meningkatkan pengelolaan likuiditas secara lebih efisien, Bank Indonesia memandang perlu untuk melakukan pengembangan atas Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS yang telah ada saat ini. - 2 - Selanjutnya dalam rangka mengakomodasi perkembangan transaksi operasi moneter dan transaksi di pasar keuangan, pengembangan sistem dimaksud tidak hanya terbatas pada pengembangan Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS, tetapi meliputi pula pengembangan Sistem BI-ETP. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, guna mewujudkan penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS yang lebih aman dan efisien serta agar lebih mudah mengintegrasikan dengan infrastruktur sistem keuangan lainnya baik domestik maupun lintas negara, pengembangannya dilakukan dengan mengintegrasikan Sistem BI-RTGS, BI-SSSS, dan Sistem BI-ETP yang mengacu pada Principles for Financial Market Infrastructures (PFMI’s) yang dikeluarkan oleh Committee on Payment and Financial Market Infrastructures dan International Organization of Securities Commission (CPMI-IOSCO). Selanjutnya, dalam rangka memberikan landasan hukum yang komprehensif dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS, diperlukan satu Peraturan Bank Indonesia yang mengatur tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Ketentuan dan prosedur penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS antara lain meliputi ketentuan dan prosedur penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS dalam keadaan normal, Keadaan Tidak Normal, dan/atau Keadaan Darurat. Huruf b Yang dimaksud dengan “sarana dan prasarana” antara lain - 3 - helpdesk, sistem informasi, dan sarana kontinjensi bagi Peserta. Huruf c Yang dimaksud “kegiatan operasional” antara lain melaksanakan kegiatan operasional penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Huruf d Upaya menjamin keandalan, ketersediaan, dan keamanan penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI- RTGS antara lain dilakukan dengan menyusun standar layanan minimum penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI- SSSS, dan Sistem BI-RTGS, serta prosedur penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat. Huruf e Pemantauan kepatuhan Peserta dilakukan berdasarkan ketentuan yang mengatur mengenai penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen dana seketika. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas Huruf e Yang dimaksud dengan “perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing” adalah perusahaan yang didirikan khusus untuk melakukan kegiatan jasa perantara bagi kegiatan nasabahnya di bidang pasar uang rupiah dan - 4 - valuta asing dengan memperoleh imbalan atas jasanya. Huruf f Yang dimaksud “perusahaan efek” adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek dan/atau manajer investasi. Huruf g Lembaga lain dapat menjadi Peserta Sistem BI-ETP dengan persetujuan Penyelenggara sepanjang kepesertaan lembaga lain tersebut antara lain didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau pertimbangan pengembangan pasar keuangan di Indonesia. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Penetapan peran lain bagi Peserta Sistem BI-ETP oleh Penyelenggara apabila dipandang perlu antara lain didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, pertimbangan pengembangan pasar keuangan di Indonesia dan/atau pertimbangan teknis. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) - 5 - Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “lembaga penyimpanan dan penyelesaian” adalah pihak yang menyelenggarakan kegiatan kustodian sentral bagi Bank kustodian, perusahaan efek, dan pihak lain, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Huruf e Yang dimaksud dengan “perusahaan efek” adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek dan/atau manajer investasi. Huruf f Lembaga lain dapat menjadi Peserta BI-SSSS dengan persetujuan Penyelenggara sepanjang kepesertaan lembaga lain tersebut antara lain didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, pertimbangan pengembangan pasar surat berharga di Indonesia, dan/atau pertimbangan teknis. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Penetapan fungsi lain sebagai Peserta BI-SSSS oleh Penyelenggara antara lain didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, pertimbangan pengembangan pasar keuangan di Indonesia dan/atau pertimbangan teknis. - 6 - Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Pemisahan kepesertaan dalam penyelenggaraan BI-SSSS atas nama diri sendiri dengan kepesertaan Sub-Registry dimaksudkan untuk memperjelas pemisahan kepemilikan aset Surat Berharga atas nama Peserta BI-SSSS yang bersangkutan dengan aset Surat Berharga atas nama nasabah. Pasal 11 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Penyelenggara kliring dan/atau penyelenggara setelmen antara lain penyelenggara kliring dan/atau penyelenggara penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu. Huruf d Lembaga lain dapat menjadi Peserta Sistem BI-RTGS dengan persetujuan Penyelenggara sepanjang kepesertaan lembaga lain tersebut antara lain untuk mendukung: a. penyelesaian transaksi pembayaran, transaksi surat berharga, dan transaksi pasar keuangan di Indonesia yang makin aman dan efisien; dan b. efektivitas operasi kebijakan moneter oleh Bank Indonesia. Pasal 12 Cukup jelas. - 7 - Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan status “aktif” adalah Peserta dapat melakukan seluruh fungsi dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP sesuai dengan hak akses Peserta yang bersangkutan. Huruf b Yang dimaksud dengan status “dibekukan” adalah Peserta dihentikan seluruh kegiatan transaksional dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP. Huruf c Yang dimaksud dengan status “ditutup” adalah Peserta dihentikan secara tetap kepesertaannya dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP dan tidak dapat diaktifkan kembali sebagai Peserta. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan status “aktif” adalah Peserta dapat melakukan seluruh fungsi dalam penyelenggaraan BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS sesuai dengan hak akses Peserta yang bersangkutan. Huruf b Yang dimaksud dengan status “ditangguhkan” adalah Peserta tidak dapat melakukan kegiatan transaksional tertentu dalam penyelenggaraan BI-SSSS dan Sistem BI- - 8 - RTGS sesuai dengan pembatasan yang dilakukan oleh Penyelenggara. Huruf c Yang dimaksud dengan status “dibekukan” adalah Peserta dihentikan seluruh kegiatan transaksional dalam penyelenggaraan BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS. Huruf d Yang dimaksud dengan status “ditutup” adalah Peserta dihentikan secara tetap kepesertaannya dalam penyelenggaraan BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS dan tidak dapat diaktifkan kembali sebagai Peserta. Ayat (2) Pengecualian ketentuan ini dimaksudkan antara lain untuk memberikan kepastian agar nasabah Sub-Registry dapat melakukan transaksi dan Setelmen atas Surat Berharga. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang melakukan pengawasan” antara lain Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas makroprudensial dan sistem pembayaran, serta Otoritas Jasa Keuangan sebagai otoritas pengawas mikroprudensial. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. - 9 - Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Rekening penampungan (escrow account) digunakan antara lain untuk menerima pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan nilai pokok/nominal Surat Berharga. Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “berdampak” antara lain: a. Perubahan status kepesertaan pada Sistem BI-RTGS menjadi ditangguhkan mengakibatkan status kepesertaan pada BI-SSSS menjadi ditangguhkan dan pada Sistem BI- ETP menjadi dibekukan. b. Perubahan status kepesertaan pada Sistem BI-RTGS menjadi dibekukan mengakibatkan status kepesertaan pada BI-SSSS dan Sistem BI-ETP menjadi dibekukan. c. Perubahan status kepesertaan pada Sistem BI-RTGS menjadi ditutup mengakibatkan status kepesertaan pada BI-SSSS dan Sistem BI-ETP menjadi ditutup. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “berdampak” antara lain: a. Perubahan status kepesertaan pada BI-SSSS menjadi ditangguhkan dan dibekukan mengakibatkan status kepesertaan pada Sistem BI-ETP menjadi dibekukan. b. Perubahan status kepesertaan pada BI-SSSS menjadi ditutup mengakibatkan status kepesertaan pada BI-ETP menjadi ditutup. Pasal 21 Ayat (1) Huruf a Contoh kegiatan yang dilakukan Peserta dalam menjaga kelancaran dan keamanan sistem yang digunakan dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI- RTGS antara lain dengan menyusun kebijakan dan prosedur tertulis dalam operasional penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS, melakukan - 10 - pemeriksaan internal, dan security audit. Huruf b Dalam rangka memastikan kebenaran Transaksi dan/atau instruksi Setelmen, pengiriman transaksi dan/atau instruksi Setelmen harus didasarkan pada dokumen pendukung. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “biaya transaksi” adalah biaya transaksi yang dibebankan oleh Penyelenggara kepada Peserta dan biaya transaksi yang dibebankan oleh Peserta kepada nasabah. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Peserta Sistem BI-ETP lain sebagai lembaga perantara (broker) adalah Peserta Sistem BI-ETP yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dan otoritas terkait yang meliputi antara lain: a. perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing, perusahaan efek sebagai peserta operasi moneter dan operasi moneter syariah; dan b. Bank dan perusahaan efek sebagai peserta transaksi SBN. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pengaturan dalam prosedur internal Peserta Sistem BI-ETP berlaku dalam hal Peserta Sistem BI-ETP yang menunjuk - 11 - dan Peserta Sistem BI-ETP yang ditunjuk sebagai perantara (broker) merupakan bagian dalam satu badan hukum yang sama. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam Penatausahaan untuk kepentingan nasabah, Sub- Registry menggunakan sistem internal Sub-Registry. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “book entry” adalah pencatatan kepemilikan dan perpindahan kepemilikan dalam suatu jurnal. Ayat (2) Pencatatan kepemilikan Surat Berharga hasil Setelmen transaksi repurchase agreement (repo) collateralized borrowing dan pengagunan tidak diperhitungkan sebagai milik pemberi pinjaman atau penerima agunan. Pasal 29 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “bersifat global (omnibus account)” adalah pencatatan yang tidak dilakukan secara individual dan rinci per nasabah. Pencatatan secara individual dan rinci per nasabah dilakukan oleh Sub-Registry. Ayat (2) Cukup jelas. - 12 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “pengelola” adalah pejabat yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan operasional Sub-Registry. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Yang dimaksud dengan “bersifat final” adalah Setelmen yang telah dilakukan tidak dapat dibatalkan. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Persyaratan kecukupan dana yang terdapat pada Rekening Setelmen Dana Peserta termasuk pula dalam rangka pembayaran untuk dan atas nama Peserta lain yang menunjuk Peserta dimaksud sebagai Bank pembayar. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pembayaran kewajiban lainnya” antara lain adalah pembayaran biaya penggunaan sistem. Ayat (2) Penetapan batas Setelmen dana dimaksudkan untuk memitigasi risiko dalam pelaksanaan Setelmen. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. - 13 - Huruf b Penetapan batas Setelmen dana dalam prosedur internal berlaku apabila Peserta BI-SSSS yang menunjuk dan Bank pembayar merupakan bagian dalam satu badan hukum yang sama. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Adanya pemberian kuasa pembatalan instruksi Setelmen dari Peserta lawan transaksi dibuktikan dalam bentuk klausula pemberian kuasa pembatalan dalam perjanjian atau surat kuasa tersendiri. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. - 14 - Pasal 40 Huruf a Yang dimaksud dengan “single credit” adalah transfer dana yang hanya berisi 1 (satu) instruksi Setelmen dana untuk diteruskan ke Rekening Setelmen Dana Peserta Sistem BI-RTGS penerima, baik untuk kepentingan Peserta Sistem BI-RTGS penerima maupun untuk kepentingan penerima dana yang disebutkan dalam instruksi Setelmen dana. Huruf b Yang dimaksud dengan “multiple credit” adalah transfer dana yang berisi lebih dari 1 (satu) dan paling banyak 10 (sepuluh) instruksi Setelmen dana untuk diteruskan ke beberapa rekening nasabah penerima pada 1 (satu) Peserta Sistem BI-RTGS penerima. Huruf c Yang dimaksud dengan “single debit” adalah transfer dana yang dilakukan oleh Bank Indonesia yang berisi 1 (satu) instruksi Setelmen dana untuk mendebit rekening Peserta Sistem BI- RTGS baik untuk kepentingan Bank Indonesia maupun untuk kepentingan penerima dana yang disebutkan dalam instruksi Setelmen dana. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah nasabah yang memiliki rekening di Peserta dan yang tidak memiliki rekening di Peserta. Huruf c Cukup jelas. - 15 - Pasal 43 Huruf a Yang dimaksud dengan “penyelesaian kewajiban Peserta Sistem BI-RTGS kepada Bank Indonesia” adalah pendebitan rekening giro oleh Bank Indonesia antara lain untuk pembebanan biaya atas layanan jasa yang disediakan Bank Indonesia dan pembebanan sanksi administratif berupa kewajiban membayar kepada Bank Indonesia atas pelanggaran terhadap ketentuan Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pelaksanaan Setelmen dana atas transaksi antara lain: a. Setelmen dana atas Transaksi; b. kewajiban membayar selisih kurang atas setoran kas; c. Setelmen hasil kliring; dan/atau d. Setelmen dana atas transaksi Surat Berharga Negara. Yang dimaksud dengan “penyelesaian kewajiban lainnya” antara lain pendebitan Rekening Setelmen Dana Peserta Sistem BI- RTGS oleh Bank Indonesia atas permintaan otoritas sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro di Bank Indonesia. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “ketentuan yang berlaku” antara lain peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana pencucian uang khususnya terkait dengan pemantauan atas transaksi yang mencurigakan, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai transfer dana. Ayat (2) Cukup jelas. - 16 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pengaksepan” adalah kegiatan yang dilakukan oleh Peserta Sistem BI-RTGS pengirim yang menunjukkan persetujuan untuk melaksanakan atau memenuhi perintah transfer dana yang diterima. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 47 Yang dimaksud dengan “bersifat final” adalah Setelmen dana yang telah dilakukan tidak dapat dibatalkan. Pasal 48 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kecukupan dana yang terdapat pada Rekening Setelmen Dana memperhitungkan pula FLI yang dimiliki oleh Peserta Sistem BI- RTGS. Ayat (3) Mekanisme penyelesaian Setelmen dana yang ditetapkan oleh Penyelenggara antara lain: a. mekanisme antrian yaitu pengaturan urutan instruksi Setelmen dana yang belum dapat dilakukan Setelmen. b. menetapkan tingkat prioritas pelaksanaan Setelmen dana. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pengaksepan” adalah kegiatan yang dilakukan oleh Peserta Sistem BI-RTGS penerima yang menunjukkan persetujuan untuk melaksanakan atau memenuhi - 17 - instruksi Setelmen dana yang diterima. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “FLI RTGS” adalah FLI yang digunakan untuk mengatasi kesulitan pendanaan yang terjadi selama jam operasional Sistem BI-RTGS. Yang dimaksud dengan “FLI Kliring” adalah FLI yang digunakan untuk mengatasi kesulitan pendanaan pada saat Setelmen dana atas hasil perhitungan dalam penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 53 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “repurchase agreement (repo)” adalah transaksi penjualan Surat Berharga, dengan kewajiban pembelian kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. - 18 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 54 Ayat (1) Penggunaan FLI RTGS secara otomatis dimaksudkan bahwa nilai atas Surat Berharga yang direpokan oleh Bank Peserta Sistem BI-RTGS, langsung digunakan untuk menutup ketidakcukupan dana yang terdapat pada Rekening Setelmen Dana. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Perbedaan data transaksi dan/atau data hasil Setelmen antara lain terjadi karena adanya gangguan teknis dan/atau gangguan jaringan komunikasi data. Pasal 58 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “hari operasional” adalah hari yang - 19 - ditetapkan oleh Penyelenggara sebagai hari diselenggarakannya operasional penyelenggaraan Sistem BI-ETP. Huruf b Yang dimaksud dengan “jam operasional” adalah jam yang ditetapkan Penyelenggara sebagai waktu diselenggarakannya operasional penyelenggaraan Sistem BI-ETP. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “hari operasional” adalah hari yang ditetapkan oleh Penyelenggara sebagai hari diselenggarakannya operasional penyelenggaraan BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS. Huruf b Yang dimaksud dengan “jam operasional” adalah jam yang ditetapkan Penyelenggara sebagai waktu diselenggarakannya operasional penyelenggaraan BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS pada setiap hari operasional. Huruf c Yang dimaksud dengan “periode waktu kegiatan” adalah periode waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara untuk melaksanakan kegiatan transaksional dalam penyelenggaraan BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS, seperti periode waktu kegiatan pengiriman instruksi Setelmen dana untuk kepentingan nasabah, periode waktu kegiatan pengiriman instruksi Setelmen atas Surat Berharga untuk kepentingan Peserta. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Perubahan waktu operasional antara lain disebabkan: a. adanya Keadaan Tidak Nomal dan/atau Keadaan Darurat di lokasi Penyelenggara; b. keterlambatan Setelmen dana hasil perhitungan dalam penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal; dan/atau - 20 - c. alasan lain dalam rangka menjaga kelancaran sistem pembayaran. Ayat (6) Alasan perpanjangan periode waktu kegiatan oleh Peserta antara lain disebabkan karena adanya Keadaan Tidak Nomal dan/atau Keadaan Darurat di lokasi Peserta. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 59 Ayat (1) Jenis biaya dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS antara lain biaya atas setiap pengiriman instruksi Setelmen, biaya perpanjangan periode waktu kegiatan, biaya penggunaan sistem di lokasi Penyelenggara, dan biaya administrative message. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “membebaskan biaya dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS” adalah membebaskan biaya tertentu pada saat Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 60 Ayat (1) Penetapan batas biaya paling banyak yang dikenakan Peserta kepada nasabah dilakukan dalam rangka perlindungan nasabah pengguna Sistem BI-RTGS. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pengumuman besarnya biaya kepada masyarakat dilakukan dalam rangka perlindungan nasabah pengguna Sistem BI-RTGS, antara lain melalui website Bank Indonesia. - 21 - Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pemantauan secara langsung dilakukan melalui kunjungan ke lokasi Peserta (onsite visit) secara periodik atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. Pemantauan tidak langsung dilakukan dengan mekanisme analisis dan evaluasi terhadap laporan yang disampaikan oleh Peserta kepada Penyelenggara, data dan/atau informasi yang diperoleh Penyelenggara baik dari Peserta, pihak lain, maupun data dan/atau informasi yang ada di Penyelenggara. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pengujian infrastruktur merupakan salah satu sarana dalam rangka memastikan infrastruktur utama dan cadangan yang digunakan oleh Peserta berfungsi dengan baik. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak yang memiliki keahlian antara lain di bidang pengembangan sistem dalam - 22 - penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS, jaringan komunikasi data, dan audit teknologi informasi. Ayat (2) Pihak lain yang wajib merahasiakan keterangan dan data yaitu seluruh komisaris, direksi, manajer, tenaga ahli, staf pengawas, dan staf pendukung lainnya yang terkait dengan pelaksanaan pemantauan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Yang dimaksud dengan “1 (satu) periode pemantauan” adalah satu siklus kegiatan dalam proses pelaksanaan pemantauan kepatuhan Peserta. Pasal 73 Cukup jelas. - 23 - Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5762
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 17/18/PBI/2015 </reg_id> <reg_title> PENYELENGGARAAN TRANSAKSI, PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA, DAN SETELMEN DANA SEKETIKA </reg_title> <set_date> 12 November 2015 </set_date> <effective_date> 16 November 2015 </effective_date> <issued_date> 12 November 2015 </issued_date> <replaced_reg> '10/6/PBI/2008', '11/30/PBI/2009', '10/2/PBI/2008', '12/12/PBI/2010', '12/13/PBI/2010', '10/29/PBI/2008' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '19/UU/2008', '24/UU/2002' </related_reg> <penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/ 19 /PBI/2000 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBERIAN PERINTAH ATAU IZIN TERTULIS MEMBUKA RAHASIA BANK GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, pemberian perintah atau izin tertulis membuka rahasia bank menjadi kewenangan Pimpinan Bank Indonesia; b. bahwa rahasia bank yang diperlukan sebagai salah satu faktor untuk menjaga kepercayaan nasabah penyimpan, dimungkinkan dibuka untuk kepentingan perpajakan, penyelesaian piutang bank, kepentingan peradilan dalam perkara pidana, dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah, dan permintaan ahli waris yang sah dari nasabah yang telah meninggal dunia; c. bahwa ... - 2 - c. bahwa berhubung dengan itu, dipandang perlu untuk menetapkan persyaratan dan tata cara pemberian perintah atau izin tertulis membuka rahasia bank dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBERIAN PERINTAH ATAU IZIN TERTULIS MEMBUKA RAHASIA BANK. Pasal 1 ... - 3 - Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak; 2. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada Bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; 3. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank; 4. Nasabah Penyimpan adalah Nasabah yang menempatkan dananya dalam bentuk Simpanan berdasarkan perjanjian Bank dengan Nasabah yang bersangkutan; 5. Nasabah Debitur adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian Bank dengan Nasabah yang bersangkutan; 6. Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanan Nasabah. Pasal 2 (1) Bank wajib merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanan Nasabah. (2) Keterangan ... - 4 - (2) Keterangan mengenai Nasabah selain Nasabah Penyimpan bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan oleh Bank. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi pihak terafiliasi. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku untuk : a. kepentingan perpajakan; b. penyelesaian piutang Bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara; c. kepentingan peradilan dalam perkara pidana; d. kepentingan peradilan dalam perkara perdata antara Bank dengan Nasabahnya; e. tukar menukar informasi antar Bank; f. permintaan, persetujuan atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis; g. permintaan ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan yang telah meninggal dunia. Pasal 3 (1) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a, huruf b, dan huruf c, wajib terlebih dahulu memperoleh perintah atau izin tertulis untuk membuka Rahasia Bank dari Pimpinan Bank Indonesia. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g, tidak memerlukan perintah atau izin tertulis untuk membuka Rahasia Bank dari Pimpinan Bank Indonesia. Pasal 4 ... - 5 - Pasal 4 (1) Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat pajak. (2) Perintah tertulis dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan berdasarkan permintaan tertulis dari Menteri Keuangan. (3) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan : a. nama pejabat pajak; b. nama Nasabah Penyimpan wajib pajak yang dikehendaki keterangannya; c. nama kantor Bank tempat Nasabah mempunyai Simpanan; d. keterangan yang diminta; dan e. alasan diperlukannya keterangan. Pasal 5 (1) Untuk keperluan penyelesaian piutang Bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/ Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin tertulis kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai Simpanan Nasabah Debitur. (2) Izin ... - 6 - (2) Izin tertulis dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan berdasarkan permintaan tertulis dari Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Ketua Panitia Urusan Piutang Negara. (3) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan : a. nama dan jabatan pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/ Panitia Urusan Piutang Negara b. nama Nasabah Debitur yang bersangkutan; c. nama kantor Bank tempat Nasabah Debitur mempunyai Simpanan; d. keterangan yang diminta; dan e. alasan diperlukannya keterangan. Pasal 6 (1) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin tertulis kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada Bank. (2) Izin tertulis dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia atau Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. (3) Permintaan dan pemberian izin untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana yang diproses di luar peradilan umum, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam ayat (2). (4) Permintaan ... - 7 - (4) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan : a. nama dan jabatan polisi, jaksa, atau hakim; b. nama tersangka atau terdakwa; c. nama kantor Bank tempat tersangka atau terdakwa mempunyai Simpanan; d. keterangan yang diminta; e. alasan diperlukannya keterangan; dan f. hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan. Pasal 7 (1) Bank wajib melaksanakan perintah atau izin tertulis dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh Bank dengan memberikan keterangan baik lisan maupun tertulis, memperlihatkan bukti-bukti tertulis, surat-surat, dan hasil cetak data elektronis, tentang keadaan keuangan Nasabah Penyimpan yang disebutkan dalam perintah atau izin tertulis tersebut. Pasal 8 Bank dilarang memberikan keterangan tentang keadaan keuangan Nasabah Penyimpan selain yang disebutkan dalam perintah atau izin tertulis dari Bank Indonesia. Pasal 9 (1) Permintaan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6, ditujukan kepada : Gubernur ... - 8 - Gubernur Bank Indonesia, up. Direktorat Hukum Bank Indonesia Gedung Tipikal Lantai 10 Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta 10110. (2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus ditandatangani dengan membubuhkan tandatangan basah oleh : a. Menteri Keuangan, untuk kepentingan perpajakan; b. Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Ketua Panitia Urusan Piutang Negara, untuk kepentingan penyelesaian piutang Bank yang telah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara; c. Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, atau Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana. Pasal 10 (1) Pemberian perintah atau izin tertulis membuka Rahasia Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 dilaksanakan oleh Gubernur Bank Indonesia dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah surat permintaan diterima secara lengkap oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. (2) Pemberian izin tertulis membuka Rahasia Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, dilaksanakan oleh Gubernur Bank Indonesia dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak surat permintaan diterima secara lengkap oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. (3) Gubernur ... - 9 - (3) Gubernur Bank Indonesia dapat menolak untuk memberikan perintah atau izin tertulis membuka Rahasia Bank apabila surat permintaan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 9. (4) Penolakan untuk memberikan perintah atau izin tertulis membuka Rahasia Bank oleh Gubernur Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus diberitahukan secara tertulis selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah surat permintaan diterima untuk permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6, dan 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak surat permintaan diterima untuk permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Pasal 11 (1) Perintah atau izin tertulis membuka Rahasia Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan oleh Deputi Gubernur Senior atau salah satu Deputi Gubernur. (2) Penolakan untuk memberikan perintah atau izin membuka Rahasia Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dapat dilakukan oleh Deputi Gubernur Senior atau salah satu Deputi Gubernur. Pasal 12 (1) Pemblokiran dan atau penyitaan Simpanan atas nama seorang Nasabah Penyimpan yang telah dinyatakan sebagai tersangka atau terdakwa oleh polisi, jaksa, atau hakim, dapat dilakukan sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku tanpa memerlukan izin dari Pimpinan Bank Indonesia. (2) Dalam … - 10 - (2) Dalam hal polisi, jaksa, atau hakim bermaksud memperoleh keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanan Nasabah yang diblokir dan atau disita pada Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 13 Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan Pasal 47 A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Bank Indonesia dapat mengenakan sanksi administratif terhadap Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8. Pasal 14 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/182/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang Persyaratan dan Tatacara Pemberian Izin atau Perintah Membuka Rahasia Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 15 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan … - 11 - Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 7 September 2000 a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA ANWAR NASUTION DEPUTI GUBERNUR SENIOR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 152 DHk - 12 - PENJELASAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/ 19 /PBI/2000 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBERIAN PERINTAH ATAU IZIN TERTULIS MEMBUKA RAHASIA BANK I. UMUM Bank sebagai lembaga intermediasi dalam melaksanakan kegiatan usahanya senantiasa bertumpu pada unsur kepercayaan masyarakat, terutama kepercayaan Nasabah Penyimpan yang menempatkan simpanannya di Bank. Sebagai lembaga kepercayaan, Bank wajib merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanan Nasabah yang berada pada Bank. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan maka ketentuan rahasia Bank yang semula mencakup nasabah kreditur (penyimpan dana) dan nasabah debitur (peminjam dana), telah dibatasi hanya menyangkut Nasabah Penyimpan. II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 … Pasal 2 - 13 - Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pemberian keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan Bank dengan tetap memperhatikan adanya kaitan yang erat antara keterangan yang diminta dengan peminta keterangan serta kepentingan penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Ayat (3) Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi adalah : a. anggota Dewan Komisaris, pengawas, Direksi atau kuasanya, pejabat, atau karyawan Bank; b. anggota pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat, atau karyawan Bank, khusus bagi Bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. pihak yang memberikan jasanya kepada Bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lainnya; d. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan Bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga Komisaris, keluarga pengawas, keluarga Direksi, keluarga Pengurus. Ayat (4) Huruf a sampai dengan huruf g Cukup jelas Pasal 3 … Pasal 3 - 14 - Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a sampai dengan huruf e Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a sampai dengan huruf e Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) … Ayat (2) - 15 - Cukup jelas Ayat (3) Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar permintaan izin untuk memperoleh keterangan dari Bank atas suatu perkara pidana yang diproses pada semua tingkatan di luar peradilan umum dilakukan dengan koordinasi antar instansi yang pelaksanaannya mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (4) Huruf a sampai dengan huruf f Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Termasuk dalam pengertian keterangan secara tertulis adalah pemberian foto copy bukti-bukti tertulis, foto copy surat-surat, dan hasil cetak data elektronis yang telah dinyatakan/diberi tanda “sesuai dengan aslinya” (certified) oleh pejabat yang berwenang pada Bank. Pemberian keterangan secara tertulis tersebut perlu dilakukan sedemikian rupa agar tidak mengganggu atau menghilangkan dokumen yang menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku seharusnya tetap diadministrasikan oleh Bank yang bersangkutan. Kata memperlihatkan dalam ketentuan ini tidak berarti bahwa pembawa perintah atau izin tertulis dari Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan Bank. Pasal 8 … Pasal 8 - 16 - Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a sampai dengan huruf c Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 12 … Pasal 12 - 17 - Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3998 - 18 -
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 2/19/PBI/2000 </reg_id> <reg_title> PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBERIAN PERINTAH ATAU IZIN TERTULIS MEMBUKA RAHASIA BANK </reg_title> <set_date> 7 September 2000 </set_date> <effective_date> 7 September 2000 </effective_date> <replaced_reg> '31/182/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal 13' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/19/PBI/2006 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DAN PEMBENTUKAN PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BANK PERKREDITAN RAKYAT GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kinerja dan kelangsungan usaha Bank Perkreditan Rakyat dipengaruhi oleh kualitas penyediaan dana pada aktiva produktif, termasuk kesiapan untuk menghadapi kerugian dari penyediaan dana tersebut; risiko b. bahwa dalam rangka mengembangkan usaha dan mengelola risiko, pengurus Bank Perkreditan Rakyat wajib menjaga kualitas aktiva produktif dan membentuk penyisihan penghapusan aktiva produktif; c. bahwa penyediaan dana Bank Perkreditan Rakyat pada aktiva produktif memiliki karakteristik yang berbeda dengan Bank Umum; d. bahwa … -2- d. bahwa oleh karena itu dipandang menyempurnakan ketentuan mengenai kualitas perlu untuk aktiva produktif dan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva produktif Bank Perkreditan Rakyat dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DAN PEMBENTUKAN PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PERKREDITAN RAKYAT. PRODUKTIF BANK BAB I … -3- BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR, adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional; 2. Aktiva Produktif adalah penyediaan dana BPR dalam Rupiah untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk Kredit, Sertifikat Bank Indonesia dan Penempatan Dana Antar Bank. 3. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara BPR dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. 4. Sertifikat Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut SBI, adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 5. Penempatan Dana Antar Bank adalah penanaman dana BPR pada bank lain dalam bentuk tabungan, deposito berjangka, sertifikat deposito, Kredit yang diberikan dan penanaman dana lainnya yang sejenis. 6. Penyisihan… -4- 6. Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif, yang selanjutnya disebut PPAP, adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu dari baki debet berdasarkan penggolongan kualitas Aktiva Produktif. 7. Pengurus BPR adalah anggota Direksi dan dewan Komisaris BPR sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Bank Perkreditan Rakyat. 8. Debitur adalah nasabah perorangan, perusahaan atau badan yang memperoleh satu atau lebih fasilitas penyediaan dana. 9. Restrukturisasi Kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan BPR dalam kegiatan perkreditan terhadap Debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya, yang dilakukan melalui: a. penjadualan kembali, yaitu perubahan jadual pembayaran kewajiban Debitur atau jangka waktu; b. persyaratan kembali, yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan Kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadual pembayaran, jangka waktu, dan/atau persyaratan lainnya sepanjang perubahan maksimum plafon Kredit; dan/atau tidak menyangkut c. penataan kembali, yaitu perubahan persyaratan Kredit yang menyangkut penambahan fasilitas Kredit dan konversi seluruh atau sebagian tunggakan angsuran bunga menjadi pokok Kredit baru yang dapat disertai dengan penjadualan kembali dan/atau persyaratan kembali. 10. Agunan… -5- 10. Agunan Yang Diambil Alih, yang selanjutnya disebut AYDA, adalah aktiva yang diperoleh BPR, baik melalui lelang atau diluar lelang berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan dan berdasarkan surat kuasa untuk menjual diluar lelang dari pemilik agunan dalam hal Debitur telah dinyatakan macet. BAB II KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF Pasal 2 (1) Penyediaan dana BPR pada Aktiva Produktif wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-hatian. (2) Dalam rangka melaksanakan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengurus BPR wajib menilai, memantau dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar kualitas Aktiva Produktif senantiasa Lancar. Pasal 3 (1) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Kredit ditetapkan dalam 4 (empat) golongan, yaitu Lancar, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet. (2) Penilaian terhadap Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketepatan membayar dan/atau kemampuan membayar kewajiban oleh Debitur. (3) Aktiva Produktif dalam bentuk Kredit diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis sebagai berikut: a. Kredit… -6- a. Kredit dengan angsuran, diluar Kredit Pemilikan Rumah, dengan masa angsuran: 1) kurang dari 1 (satu) bulan, atau 2) 1 (satu) bulan atau lebih. b. Kredit dengan angsuran, untuk Kredit Pemilikan Rumah; dan c. Kredit tanpa angsuran. Pasal 4 (1) Kualitas Kredit dengan masa angsuran kurang dari 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a angka 1) ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila: 1) tidak terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga, atau 2) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga tidak lebih dari 1 (satu) bulan dan Kredit belum jatuh tempo. b. Kurang Lancar, apabila: 1) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 1 (satu) bulan tetapi tidak lebih dari 3 (tiga) bulan; dan/atau 2) Kredit telah jatuh tempo tidak lebih dari 1 (satu) bulan. c. Diragukan, apabila: 1) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 3 (tiga) bulan tetapi tidak lebih dari 6 (enam) bulan; dan/atau 2). Kredit… -7- 2) Kredit telah jatuh tempo lebih dari 1 (satu) bulan tetapi tidak lebih dari 2 (dua) bulan. d. Macet, apabila: 1) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 6 (enam) bulan; 2) Kredit telah jatuh tempo lebih dari 2 (dua) bulan; 3) Kredit telah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang Negara (BUPN); dan/atau 4) Kredit telah diajukan penggantian ganti rugi kepada perusahaan asuransi Kredit. (2) Kualitas Kredit dengan masa angsuran 1 (satu) bulan atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a angka 2) ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila: 1) tidak terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga; atau 2) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga tidak lebih dari 3 (tiga) kali angsuran dan Kredit belum jatuh tempo. b. Kurang Lancar, apabila: 1) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 3 (tiga) kali angsuran tetapi tidak lebih dari 6 (enam) kali angsuran; dan/atau 2) Kredit telah jatuh tempo tidak lebih dari 1 (satu) bulan. c. Diragukan… -8- c. Diragukan, apabila: 1) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 6 (enam) kali angsuran tetapi tidak lebih dari 12 (dua belas) kali angsuran; dan/atau 2) Kredit telah jatuh tempo lebih dari 1 (satu) bulan tetapi tidak lebih dari 2 (dua) bulan. d. Macet, apabila: 1) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 12 (dua belas) kali angsuran; 2) Kredit telah jatuh tempo lebih dari 2 (dua) bulan; 3) Kredit telah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang Negara (BUPN); dan/atau 4) Kredit telah diajukan penggantian ganti rugi kepada perusahaan asuransi Kredit. Pasal 5 Kualitas Kredit dengan angsuran, untuk Kredit Pemilikan Rumah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila: 1) tidak terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga; atau 2) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga tidak lebih dari 6 (enam) kali angsuran dan Kredit belum jatuh tempo. b. Kurang… -9- b. Kurang Lancar, apabila: 1) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 6 (enam) kali angsuran tetapi tidak lebih dari 9 (sembilan) kali angsuran; dan/atau 2) Kredit telah jatuh tempo tidak lebih dari 1 (satu) bulan. c. Diragukan, apabila: 1) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 9 (sembilan) kali angsuran tetapi tidak lebih dari 30 (tiga puluh) kali angsuran; dan/atau 2) Kredit telah jatuh tempo lebih dari 1 (satu) bulan tetapi tidak lebih dari 2 (dua) bulan. d. Macet, apabila: 1) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 30 (tiga puluh) kali angsuran; 2) Kredit telah jatuh tempo lebih dari 2 (dua) bulan; 3) Kredit telah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang Negara (BUPN); dan/atau 4) Kredit telah diajukan penggantian ganti rugi kepada perusahaan asuransi Kredit. Pasal 6 Kualitas Kredit tanpa angsuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar… -10- a. Lancar, apabila: 1) tidak terdapat tunggakan angsuran bunga; atau 2) terdapat tunggakan angsuran bunga tidak lebih dari 3 (tiga) kali angsuran dan Kredit belum jatuh tempo. b. Kurang Lancar, apabila: 1) terdapat tunggakan angsuran bunga lebih dari 3 (tiga) kali angsuran tetapi tidak lebih dari 6 (enam) kali angsuran; dan/atau 2) Kredit telah jatuh tempo tidak lebih dari 1 (satu) bulan. c. Diragukan, apabila: 1) terdapat tunggakan angsuran bunga lebih dari 6 (enam) kali angsuran tetapi tidak lebih dari 12 (dua belas) kali angsuran; dan/atau 2) Kredit telah jatuh tempo lebih dari 1 (satu) bulan tetapi tidak lebih dari 2 (dua) bulan. d. Macet, apabila: 1) terdapat tunggakan angsuran bunga lebih dari 12 (dua belas) kali angsuran; 2) Kredit telah jatuh tempo lebih dari 2 (dua) bulan; 3) Kredit telah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang Negara (BUPN); dan/atau 4) Kredit telah diajukan penggantian ganti rugi kepada perusahaan asuransi Kredit. Pasal 7… -11- Pasal 7 Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk SBI ditetapkan Lancar. Pasal 8 Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Penempatan Dana Antar Bank ditetapkan dalam 3 (tiga) golongan sebagai berikut: a. Lancar, apabila tidak terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga; b. Kurang Lancar, apabila terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga paling lama 5 (lima) hari kerja; c. Macet, apabila: 1) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 5 (lima) hari kerja; 2) bank yang menerima Penempatan Dana Antar Bank telah ditetapkan dalam status pengawasan khusus; dan/atau 3) bank yang menerima Penempatan Dana Antar Bank telah dilikuidasi. Pasal 9 (1) Bagi BPR yang memberikan Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 dengan tenggang waktu pembayaran (grace period) maka tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga dihitung setelah tenggang waktu dimaksud berakhir. (2) Batas… -12- (2) Batas akhir tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam perjanjian Kredit antara BPR dengan Debitur. Pasal 10 Kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan oleh BPR dapat diturunkan oleh Bank Indonesia dengan professional judgement apabila terjadi kondisi sebagai berikut: a. Debitur tidak diketahui lagi keberadaannya; dan/atau b. usaha Debitur bangkrut. Pasal 11 (1) Dalam hal terjadi perbedaan penilaian kualitas Aktiva Produktif antara BPR dan Bank Indonesia maka kualitas Aktiva Produktif yang berlaku adalah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) BPR wajib melakukan penyesuaian kualitas Aktiva Produktif sesuai dengan penilaian kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam disampaikan kepada Bank Indonesia dan/atau laporan publikasi sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku, paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal pemberitahuan dari Bank Indonesia. laporan-laporan yang BAB III… -13- BAB III PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF Pasal 12 (1) BPR wajib membentuk PPAP berupa PPAP umum dan PPAP khusus. (2) PPAP umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling kurang sebesar 0,5% (lima permil) dari Aktiva Produktif yang memiliki kualitas Lancar, tidak termasuk Sertifikat Bank Indonesia. (3) PPAP khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling kurang sebesar: a. 10% (sepuluh perseratus) dari Aktiva Produktif dengan kualitas Kurang Lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan; b. 50% (lima puluh perseratus) dari Aktiva Produktif dengan kualitas Diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan c. 100% (seratus perseratus) dari Aktiva Produktif dengan kualitas Macet setelah dikurangi dengan nilai agunan. Pasal 13 (1) Nilai agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) ditetapkan sebesar: a. 100% (seratus perseratus) dari agunan yang bersifat likuid, berupa Sertifikat Bank Indonesia, tabungan dan deposito yang diblokir pada bank yang bersangkutan disertai dengan surat kuasa pencairan, emas dan logam mulia; b. 80% … -14- b. 80% (delapan puluh perseratus) dari nilai hak tanggungan untuk agunan berupa tanah, bangunan dan rumah bersertifikat hak milik (SHM) atau hak guna bangunan (SHGB) yang diikat dengan hak tanggungan; c. 60% (enam puluh perseratus) dari nilai jual obyek pajak untuk agunan berupa tanah, bangunan dan rumah bersertifikat hak milik (SHM) atau hak guna bangunan (SHGB), hak pakai tanpa hak tanggungan; d. 50% (lima puluh perseratus) dari nilai jual obyek pajak untuk agunan berupa tanah dengan bukti kepemilikan berupa Surat Girik (letter C) yang dilampiri surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT) terakhir; dan e. 50% (lima puluh perseratus) dari nilai pasar untuk agunan berupa kendaraan bermotor yang disertai bukti kepemilikan dan diikat sesuai ketentuan yang berlaku. (2) Agunan selain yang dimaksud pada ayat (1) tidak diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPAP. Pasal 14 (1) BPR wajib melakukan penilaian atas agunan untuk mengetahui nilai ekonomisnya. (2) Dalam hal penilaian agunan tidak dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka hasil penilaian agunan tidak diperhitungkan sebagai faktor pengurang PPAP. Pasal 15… -15- Pasal 15 (1) Bank Indonesia berwenang melakukan perhitungan kembali atas nilai agunan yang telah diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPAP apabila BPR tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14. (2) BPR wajib melakukan penyesuaian perhitungan PPAP sesuai dengan perhitungan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam laporan-laporan yang disampaikan kepada Bank Indonesia dan/atau laporan publikasi sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku, paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal pemberitahuan dari Bank Indonesia. BAB IV RESTRUKTURISASI KREDIT Pasal 16 BPR dapat melakukan Restrukturisasi Kredit terhadap Debitur yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. b. Debitur memiliki prospek usaha yang baik dan diperkirakan mampu memenuhi kewajiban setelah Kredit direstrukturisasi. Debitur mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga Kredit; dan Pasal 17… -16- Pasal 17 BPR dilarang melakukan Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, apabila bertujuan hanya untuk menghindari: a. penurunan kualitas Kredit; b. c. peningkatan pembentukan PPAP; dan/atau penghentian pengakuan pendapatan bunga secara akrual. Pasal 18 (1) Kualitas Kredit yang direstrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 adalah: a. setinggi-tingginya Kurang Lancar untuk b. Kredit yang direstrukturisasi memiliki kualitas Diragukan atau Macet; dan tidak berubah, untuk Kredit yang sebelum direstrukturisasi memiliki kualitas Lancar atau Kurang Lancar. (2) Kualitas Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi: a. Lancar, apabila tidak terjadi tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga selama 3 (tiga) kali periode pembayaran secara berturut-turut; dan b. sama dengan kualitas Kredit sebelum dilakukan Restrukturisasi Kredit, apabila Debitur tidak dapat memenuhi kondisi sebagaimana dimaksud pada huruf a. sebelum Pasal 19… -17- Pasal 19 BPR wajib menerapkan perlakuan akuntansi Restrukturisasi Kredit, termasuk namun tidak terbatas pada pengakuan kerugian yang timbul dalam rangka Restrukturisasi Kredit, sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan dan Prinsip Akuntansi Perbankan Indonesia yang berlaku. Pasal 20 (1) BPR wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Restrukturisasi Kredit. (2) Kebijakan Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Komisaris. (3) Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan kebijakan Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 21 Kualitas Kredit yang direstrukturisasi dengan pemberian tenggang waktu pembayaran (grace period) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. selama grace period, kualitas mengikuti kualitas Kredit sebelum dilakukan restrukturisasi, dan b. setelah grace period berakhir, kualitas Kredit mengikuti penetapan kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Pasal 22… -18- Pasal 22 Bank Indonesia berwenang melakukan koreksi terhadap penetapan kualitas Restrukturisasi Kredit, pembentukan PPAP dan pendapatan bunga yang telah diakui secara akrual, apabila: a. b. c. Debitur tidak melaksanakan perjanjian atau akad Restrukturisasi Kredit; dan/atau Restrukturisasi Kredit dilakukan secara berulang dengan tujuan hanya untuk memperbaiki kualitas Kredit tanpa memperhatikan prospek usaha Debitur. BAB V AGUNAN YANG DIAMBIL ALIH (AYDA) Pasal 23 (1) BPR dapat mengambilalih agunan, yang bersifat sementara, dalam rangka penyelesaian Kredit yang memiliki kualitas Macet. (2) BPR wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap AYDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak pengambilalihan. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) BPR tidak dapat menyelesaikan AYDA maka BPR wajib membiayakan AYDA tersebut. (4) BPR… Restrukturisasi Kredit menurut penilaian Bank Indonesia ternyata dilakukan dengan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; -19- (4) BPR wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian AYDA sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 24 (1) BPR wajib menilai AYDA pada saat pengambilalihan agunan untuk menetapkan net realizable value. (2) Penetapan nilai AYDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut: a. untuk AYDA dengan nilai sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dapat dilakukan oleh penilai intern BPR; dan b. untuk AYDA dengan nilai di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) wajib dilakukan oleh penilai independen. (3) Penetapan nilai AYDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperhitungkan untuk setiap agunan. BAB VI HAPUS BUKU DAN HAPUS TAGIH Pasal 25 (1) BPR wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai AYDA, hapus buku dan hapus tagih. (2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Komisaris. (3) Komisaris … -20- (3) Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 26 (1) Hapus buku dan/atau hapus tagih hanya dapat dilakukan terhadap penyediaan dana yang memiliki kualitas Macet. (2) Hapus buku tidak dapat dilakukan terhadap sebagian penyediaan dana (partial write off). (3) Hapus tagih dapat dilakukan terhadap sebagian atau seluruh penyediaan dana. (4) Hapus tagih terhadap sebagian penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dilakukan dalam rangka Restrukturisasi Kredit atau dalam rangka penyelesaian Kredit. Pasal 27 (1) Hapus buku dan/atau hapus tagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 hanya dapat dilakukan setelah BPR melakukan upaya untuk memperoleh kembali Aktiva Produktif yang diberikan. (2) BPR wajib mendokumentasikan upaya yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta dasar pertimbangan pelaksanaan hapus buku dan/atau hapus tagih. (3) Bank… -21- (3) Bank wajib mengadministrasikan data dan informasi mengenai Aktiva Produktif yang telah dihapus buku dan/atau dihapus tagih. BAB VII SANKSI Pasal 28 BPR yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (2), Pasal 17, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 23 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25, Pasal 26 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) dan Pasal 27, dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa: a. teguran tertulis; b. c. penurunan nilai kredit dalam perhitungan tingkat kesehatan; dan/atau pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. BAB VIII … -22- BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 29 Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/22/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif; dan b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/167/KEP/DIR tanggal 29 Maret 1994 tentang Penyempurnaan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/22/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 30 Peraturan Bank Indonesia ini tidak diberlakukan bagi Bank Perkreditan Rakyat eks Badan Kredit Desa (BKD) yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 dan Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9. Pasal 31 … -23- Pasal 31 Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal 1 Desember 2006. Ditetapkan di: Jakarta Pada tanggal : 5 Oktober 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 76 DPBPR PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 8/19/PBI/2006 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DAN PEMBENTUKAN PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BANK PERKREDITAN RAKYAT UMUM Sebagai lembaga yang melakukan kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, kinerja dan kelangsungan usaha Bank Perkreditan Rakyat sangat bergantung pada kualitas penyediaan dana pada aktiva produktif. Kondisi penyediaan dana pada aktiva produktif yang buruk akan mengakibatkan memburuknya kinerja bank dan dapat mempengaruhi kelangsungan usaha bank. Dalam rangka menjaga dan memelihara kelangsungan usahanya, Bank Perkreditan Rakyat wajib menilai, memantau dan menjaga agar penyediaan dana bank pada aktiva produktif senantiasa dalam kondisi lancar. Selain hal tersebut, untuk mengantisipasi kerugian yang mungkin timbul dikemudian hari atas penanaman dana bank pada aktiva produktif maka Bank Perkreditan Rakyat wajib membentuk penyisihan penghapusan aktiva produktif. Selanjutnya untuk meminimalkan potensi kerugian yang lebih besar akibat dari memburuknya kondisi Debitur, Bank Perkreditan Rakyat juga dapat melakukan… -2- melakukan restrukturisasi Kredit terhadap Debitur yang mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga, namun masih memiliki propek usaha cukup baik setelah dilakukan restrukturisasi. Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, dan dalam rangka mewujudkan tata cara penilaian kualitas aktiva produktif sesuai dengan prinsip kehati-hatian serta dengan memperhatikan perkembangan kondisi usaha Bank Perkreditan Rakyat maka perlu ditetapkan Peraturan Bank Indonesia ini. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Penyediaan dana BPR pada Aktiva Produktif didasarkan pada penilaian atas kondisi usaha dan kemampuan membayar Debitur, antara lain dengan memperhatikan faktor-faktor character, capital, capacity, condition of economy dan collateral. Ayat (2) Termasuk dalam langkah-langkah yang diperlukan adalah melakukan tindakan dan upaya pencegahan atas kemungkinan kegagalan dalam penyediaan dana. Pasal (3)… -3- Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a dan b Kredit dengan angsuran adalah Kredit yang pembayaran kembali pokok Kredit diatur secara bertahap menurut jadual waktu yang ditentukan dalam perjanjian Kredit. Pengertian angsuran yang seharusnya digunakan dalam penilaian kualitas Kredit adalah kesesuaian nilai antara angsuran yang diterima BPR dengan angsuran yang sebagaimana ditentukan dalam perjanjian Kredit. Contoh: Dalam perjanjian Kredit ditentukan bahwa angsuran pokok sebesar Rp1.000.000,00 dan angsuran bunga sebesar Rp150.000,00 per bulan. Kemudian… -4- Kemudian Debitur mengangsur sebagai berikut (dalam Rp): Angsuran Pokok Bunga bulan ke-1 1.000.000 150.000 bulan ke-2 500.000 50.000 bulan ke-3 600.000 50.000 bulan ke-4 1.000.000 75.000 bulan ke-5 700.000 50.000 Jumlah 3.800.000 375.000 Dengan demikian, sampai dengan bulan ke-5, yang diperhitungkan sebagai angsuran pokok adalah sebanyak 3 kali (menunggak 2 kali) dan angsuran bunga sebanyak 2 kali (menunggak 3 kali). Huruf c Yang dimaksud dengan Kredit tanpa angsuran adalah Kredit dimana Debitur hanya membayar angsuran bunga, sementara pembayaran kembali pokok kreditnya tidak diatur secara bertahap dalam perjanjian Kredit, termasuk: a. Kredit yang pencairannya dapat dilakukan secara bertahap atau sekaligus; dan b. Debitur dapat membayar sebagian atau seluruh pokok Kredit dan menarik dana kembali sepanjang fasilitas Kredit masih tersedia dan belum jatuh tempo. Pasal 4… -5- Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan tunggakan angsuran pokok adalah angsuran pokok Kredit yang belum dibayar setelah tanggal jatuh waktu pembayaran. Yang dimaksud dengan tunggakan angsuran bunga adalah angsuran bunga Kredit, baik Kredit dengan angsuran, maupun tanpa angsuran yang belum dibayar setelah jatuh waktu pembayarannya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan grace period dalam ayat ini adalah tenggang waktu pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga. Ayat (2) … -6- Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Yang dimaksud dengan usaha Debitur bangkrut adalah usaha Debitur yang mengalami kesulitan keuangan yang berat sehingga yang bersangkutan tidak dapat memenuhi kewajiban atau dinyatakan pailit sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Termasuk dalam pengertian pemberitahuan adalah pemberitahuan yang dilakukan oleh Bank Indonesia kepada BPR dalam pertemuan pembahasan hasil pemeriksaan (exit meeting). Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c… -7- Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah jaminan uang yang diperkirakan dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu aset pada tanggal penilaian setelah dikurangi biaya-biaya transaksi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan penilaian adalah taksiran dan pendapat oleh penilai intern BPR atas nilai ekonomis dari agunan berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta obyektif dan relevan menurut metode dan prinsip-prinsip yang berlaku umum. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … -8- Ayat (2) Termasuk dalam pengertian pemberitahuan adalah pemberitahuan yang dilakukan oleh Bank Indonesia kepada BPR dalam pertemuan pembahasan hasil pemeriksaan (exit meeting). Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Prosedur tertulis mengenai Restrukturisasi Kredit disetujui oleh Direksi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21… -9- Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Upaya penyelesaian antara lain dapat dilakukan dengan secara aktif memasarkan dan menjual AYDA. Ayat (3) Dilakukan dengan mencatat pos ”beban non operasional” sebagai rekening lawan AYDA. Ayat (4) Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi mengenai upaya pemasaran dan penjualan AYDA. Pasal 24 Ayat (1) Yang dimaksud dengan net realizable value adalah nilai pasar agunan dikurangi estimasi biaya yang dibutuhkan untuk menjual, dengan nilai maksimum sebesar baki debet Kredit yang akan diselesaikan dengan AYDA. Ayat (2) … -10- Ayat (2) Yang dimaksud dengan penilai independen adalah perusahaan penilai yang: a. tidak merupakan pihak terkait dengan BPR; b. tidak merupakan kelompok peminjam dengan Debitur BPR; c. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik profesi dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang; d. menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi penilaian yang diterbitkan oleh institusi yang berwenang; e. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk beroperasi sebagai perusahaan penilai; dan f. tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi anggota yang berwenang. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Prosedur tertulis mengenai AYDA, hapus buku dan hapus tagih disetujui oleh Direksi. Hapus buku adalah tindakan adminstratif BPR untuk menghapus buku Kredit yang memiliki kualitas Macet dari neraca sebesar kewajiban … -11- kewajiban Debitur tanpa menghapus hak tagih BPR kepada Debitur. Hapus tagih adalah tindakan BPR menghapus kewajiban Debitur yang tidak dapat diselesaikan. Kebijakan dan prosedur AYDA, hapus buku dan hapus tagih antara lain memuat kriteria, persyaratan, limit, kewenangan dan tanggung jawab serta tata cara hapus buku dan hapus tagih. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pelaksanaan hapus buku dilakukan terhadap seluruh penyediaan dana yang diberikan dan diikat dalam satu perjanjian. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Hapus tagih dalam rangka Restrukturisasi Kredit dan penyelesaian Kredit dimaksudkan untuk Debitur. Penyelesaian… kepentingan transparansi kepada -12- Penyelesaian Kredit dapat dilakukan melalui pengambilalihan agunan atau pelunasan oleh Debitur. Pasal 27 Ayat (1) Upaya yang dapat dilakukan antara lain dalam bentuk penagihan kepada Debitur, Restrukturisasi Kredit, meminta pembayaran dari pihak yang memberikan garansi atas Aktiva Produktif dimaksud, dan penyelesaian Kredit melalui pengambilalihan agunan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. -13- TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4645
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 8/19/PBI/2006 </reg_id> <reg_title> KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DAN PEMBENTUKAN PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title> <set_date> 5 Oktober 2006 </set_date> <effective_date> 1 Desember 2006 </effective_date> <replaced_reg> '26/22/KEP/DIR|SKDIR-BI/1993', '26/167/KEP/DIR|SKDIR-BI/1994' </replaced_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/31/PBI/2016 TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 5.000 (LIMA RIBU) TAHUN EMISI 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis, baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; b. bahwa guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar; c. bahwa untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank - 2 - Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan keandalannya; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Pecahan 5.000 (Lima Ribu) Tahun Emisi 2016; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 5.000 (LIMA RIBU) TAHUN EMISI 2016. Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 5.000 (lima ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. - 3 - Pasal 2 Macam uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciri tertentu. Pasal 3 Harga uang Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp5.000,00 (lima ribu rupiah). Pasal 4 Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang terdapat pada bagian depan dan bagian belakang meliputi: a. ciri umum; dan b. ciri khusus. Pasal 5 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, pada bagian depan terdapat: a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”; b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”; c. sebutan pecahan dalam angka “5000” dan tulisan “LIMA RIBU RUPIAH”; d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan “MENTERI KEUANGAN”; e. tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”; f. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Dr. K.H. Idham Chalid beserta tulisan “Dr. K.H. IDHAM CHALID”; g. gambar ornamen batik; dan h. gambar lingkaran-lingkaran kecil. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan cokelat; - 4 - b. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f; c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan “BI” dan angka “5” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; e. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan (tactile); f. gambar raster berupa tulisan “NKRI” yang tertulis utuh dan/atau sebagian; g. mikroteks yang memuat tulisan “BI5”, tulisan “BI5000”, dan angka “5”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan h. hasil cetak yang akan memendar apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah satunya berisi tulisan “BI”; 2. angka nominal “5000”; 3. ornamen batik; dan 4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 6 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, pada bagian belakang terdapat: a. angka nominal “5000”; b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka; c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI LIMA RIBU RUPIAH”; d. tulisan tahun cetak “TC 2016”; - 5 - e. gambar utama yaitu tari gambyong beserta tulisan “TARI GAMBYONG”, pemandangan alam Gunung Bromo beserta tulisan “Gunung Bromo”, dan bunga sedap malam; f. tulisan “BANK INDONESIA”; g. gambar ornamen batik; h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan i. tulisan “PERURI”. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan cokelat; b. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; c. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka “5000”; d. mikroteks yang memuat tulisan “BI5000”, tulisan “BANKINDONESIA5000”, dan angka “5000”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan e. hasil cetak yang akan memendar apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. gambar bunga sedap malam; 2. gambar sebagian pemandangan alam Gunung Bromo; 3. bidang persegi empat yang berisi tulisan “BI”; 4. bidang yang berisi rangkaian gambar belah ketupat; 5. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan 6. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka. (3) Angka dalam tulisan tahun cetak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d akan berubah sesuai dengan tahun cetak. - 6 - Pasal 7 Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri khusus sebagai berikut: a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi: 1. terbuat dari serat kapas; 2. berwarna krem; 3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet; 4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar Pahlawan Nasional Tjut Meutia; dan 5. terdapat benang pengaman yang memuat tulisan “BANK INDONESIA” secara berulang, yang akan memendar apabila dilihat dengan sinar ultraviolet; dan b. ukuran yaitu panjang 143 (seratus empat puluh tiga) milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter. Pasal 8 Uang Rupiah kertas pecahan 5.000 (lima ribu) tahun emisi 2001 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. Pasal 9 Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 7 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 215
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/31/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 5.000 (LIMA RIBU) TAHUN EMISI 2016 </reg_title> <set_date> 26 Oktober 2016 </set_date> <effective_date> 28 Oktober 2016 </effective_date> <issued_date> 28 Oktober 2016 </issued_date> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 9/18/PBI/2007 TENTANG PENCABUTAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NO. 31/153/KEP/DIR TANGGAL 20 NOVEMBER 1998 TENTANG KREDIT LIKUIDITAS KEPADA PERUSAHAAN UMUM PEGADAIAN MELALUI PT. BANK EKSPOR IMPOR INDONESIA (PERSERO), SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NO. 31/154/KEP/DIR TANGGAL 20 NOVEMBER 1998 TENTANG KREDIT LIKUIDITAS KEPADA PERUSAHAAN UMUM PEGADAIAN MELALUI PT. BANK BUMI DAYA (PERSERO), DAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NO. 31/155/KEP/DIR TANGGAL 20 NOVEMBER 1998 TENTANG KREDIT LIKUIDITAS KEPADA PERUSAHAAN UMUM PEGADAIAN MELALUI PT. BANK UMUM KOPERASI INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, Bank Indonesia tidak dapat lagi memberikan Kredit Likuiditas dalam rangka kredit program, termasuk kredit likuiditas kepada Perusahaan .... - 2 - Perusahaan Umum Pegadaian; b. bahwa Kredit Likuiditas kepada Perusahaan Umum Pegadaian telah jatuh tempo dan telah dilunasi; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b di atas, dipandang perlu untuk melakukan pencabutan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/153/KEP/DIR tanggal 20 November 1998 tentang Kredit Likuiditas Kepada Perusahaan Umum Pegadaian Melalui PT. Bank Ekspor Impor Indonesia (Persero), Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/154/KEP/DIR tanggal 20 November 1998 tentang Kredit Likuiditas Kepada Perusahaan Umum Pegadaian Melalui PT. Bank Bumi Daya (Persero), dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/155/KEP/DIR tanggal 20 November 1998 tentang Kredit Likuiditas Kepada Perusahaan Umum Pegadaian Melalui PT. Bank Umum Koperasi Indonesia; Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor.... - 3 - Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENCABUTAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NO. 31/153/KEP/DIR TANGGAL 20 NOVEMBER 1998 TENTANG KREDIT LIKUIDITAS KEPADA PERUSAHAAN UMUM PEGADAIAN MELALUI PT. BANK EKSPOR IMPOR INDONESIA (PERSERO), SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NO. 31/154/KEP/DIR TANGGAL 20 NOVEMBER 1998 TENTANG KREDIT LIKUIDITAS KEPADA PERUSAHAAN UMUM PEGADAIAN MELALUI PT. BANK BUMI DAYA (PERSERO), DAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NO. 31/155/KEP/DIR TANGGAL 20 NOVEMBER 1998 TENTANG KREDIT LIKUIDITAS KEPADA PERUSAHAAN UMUM PEGADAIAN MELALUI PT. BANK UMUM KOPERASI INDONESIA. Pasal 1 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/153/KEP/DIR tanggal 20 November 1998 tentang Kredit Likuiditas Kepada Perusahaan Umum Pegadaian Melalui PT. Bank Ekspor Impor Indonesia (Persero), Surat Keputusan Direksi Bank .... - 4 - Bank Indonesia No. 31/154/KEP/DIR tanggal 20 November 1998 tentang Kredit Likuiditas Kepada Perusahaan Umum Pegadaian Melalui PT. Bank Bumi Daya (Persero), dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/155/KEP/DIR tanggal 20 November 1998 tentang Kredit Likuiditas Kepada Perusahaan Umum Pegadaian Melalui PT. Bank Umum Koperasi Indonesia, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 17 Desember 2007 a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA, MIRANDA S. GOELTOM DEPUTI GUBERNUR SENIOR Diundangkan di Jakarta pada tanggal MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 164 BKr
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 9/18/PBI/2007 </reg_id> <reg_title> PENCABUTAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NO. 31/153/KEP/DIR TANGGAL 20 NOVEMBER 1998 TENTANG KREDIT LIKUIDITAS KEPADA PERUSAHAAN UMUM PEGADAIAN MELALUI PT. BANK EKSPOR IMPOR INDONESIA (PERSERO), SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NO. 31/154/KEP/DIR TANGGAL 20 NOVEMBER 1998 TENTANG KREDIT LIKUIDITAS KEPADA PERUSAHAAN UMUM PEGADAIAN MELALUI PT. BANK BUMI DAYA (PERSERO), DAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NO. 31/155/KEP/DIR TANGGAL 20 NOVEMBER 1998 TENTANG KREDIT LIKUIDITAS KEPADA PERUSAHAAN UMUM PEGADAIAN MELALUI PT. BANK UMUM KOPERASI INDONESIA </reg_title> <set_date> 17 Desember 2007 </set_date> <effective_date> 17 Desember 2007 </effective_date> <replaced_reg> '31/153/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '31/154/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '31/155/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA Nomor: 8/2/PBI/2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam melaksanakan kegiatan usahanya, bank harus mengelola risiko kredit dan meminimalkan potensi kerugian yaitu dengan menjaga kualitas aktiva dan membentuk penyisihan penghapusan aktiva yang memadai; b. bahwa dalam menjaga kualitas aktiva dan membentuk penyisihan penghapusan aktiva yang memadai bank melakukan penilaian terhadap kualitas aktiva dengan pendekatan penetapan kualitas yang sama terhadap aktiva produktif yang digunakan untuk membiayai satu debitur atau satu proyek yang sama (uniform classification), baik yang diberikan oleh 1 (satu) bank maupun lebih dari 1 (satu) bank; c. bahwa sebagai akibat kondisi ekonomi saat ini dan dalam rangka menjaga peran bank dalam melaksanakan fungsi intermediasi diperlukan langkah transisi dalam penerapan uniform classification; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf c, diperlukan perubahan terhadap … - 2 - terhadap Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4471); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM. Pasal I … - 3 - Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4471) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Bank wajib menetapkan kualitas yang sama terhadap Aktiva Produktif yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) debitur. (2) Penetapan kualitas yang sama terhadap Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap Aktiva Produktif yang digunakan untuk membiayai proyek yang sama. (3) Dalam hal terdapat perbedaan penetapan kualitas terhadap Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kualitas masing-masing Aktiva Produktif mengikuti kualitas Aktiva Produktif yang paling rendah. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikecualikan dalam hal Aktiva Produktif ditetapkan berdasarkan faktor penilaian yang berbeda. 2. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Penetapan kualitas yang sama terhadap Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) berlaku pula terhadap Aktiva … - 4 - Aktiva Produktif yang diberikan oleh lebih dari 1 (satu) Bank yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) debitur atau proyek yang sama. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk: a. Aktiva Produktif yang diberikan oleh setiap Bank dengan jumlah lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kepada 1 (satu) debitur atau proyek yang sama; dan/atau b. Aktiva Produktif yang diberikan kepada 1 (satu) debitur atau proyek yang sama berdasarkan perjanjian pembiayaan bersama. (3) Dalam hal terdapat perbedaan penetapan kualitas terhadap Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kualitas yang ditetapkan oleh setiap Bank terhadap Aktiva Produktif tersebut mengikuti kualitas Aktiva Produktif yang paling rendah. (4) Tidak termasuk dalam pengertian kualitas Aktiva Produktif yang paling rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah: a. kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan dengan menggunakan faktor penilaian tambahan berupa risiko negara (country risk) Republik Indonesia; dan/atau b. kualitas Aktiva Produktif yang telah dihapus tagih. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikecualikan dalam hal Aktiva Produktif ditetapkan berdasarkan faktor penilaian yang berbeda. 3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) Bank wajib menyesuaikan penilaian kualitas Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 paling kurang setiap 3 (tiga) bulan yaitu … - 5 - yaitu untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember. (2) Bank wajib menyampaikan informasi dan penjelasan secara tertulis kepada Bank Indonesia dalam hal terdapat perbedaan penetapan kualitas Aktiva Produktif yang disebabkan oleh faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) huruf a. (3) Informasi dan penjelasan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 13 (tiga belas) setelah posisi kewajiban penyesuaian penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan alamat: a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, JL. MH. Thamrin No.2, Jakarta 10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. 4. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 (1) Penetapan kualitas Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a dilakukan secara bertahap. (2) Penahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan klasifikasi debitur dan/atau batas jumlah (limit) Aktiva Produktif di setiap Bank yang diberikan kepada 1 (satu) debitur atau proyek yang sama. (3) Penahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal II … - 6 - Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 30 Januari 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 4 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA Nomor: 8/2/PBI/2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM UMUM Dalam rangka memelihara kelangsungan usahanya, bank perlu tetap mengelola eksposur risiko kredit pada tingkat yang memadai sehingga dapat meminimalkan potensi kerugian dari penyediaan dana. Berkaitan dengan hal tersebut, manajemen risiko kredit, termasuk menjaga kualitas aktiva dan pembentukan penyisihan penghapusan yang cukup, perlu dilakukan secara efektif. Secara umum, dalam penetapan kualitas aktiva produktif digunakan pendekatan uniform classification untuk aktiva produktif yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) debitur atau 1 (satu) proyek, baik yang diberikan oleh 1 (satu) bank maupun lebih dari 1 (satu) bank. Dalam hal terdapat perbedaan, maka kualitas yang digunakan mengikuti kualitas aktiva produktif yang paling rendah. Namun demikian, mengingat kondisi perekonomian yang mengalami gejolak yang cukup berarti pada akhir-akhir ini dan juga untuk dapat tetap menjaga peran bank dalam melaksanakan fungsi intermediasi, diperlukan langkah transisi dalam penerapan uniform classification khususnya untuk aktiva produktif … - 2 - produktif yang diberikan oleh lebih dari satu bank, yaitu dengan penahapan pelaksanaan uniform classification. Penahapan tersebut dilakukan berdasarkan klasifikasi debitur dan/atau batas jumlah (limit) aktiva produktif yang diberikan. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 5 Ayat (1) Debitur dalam ayat ini merupakan perseorangan atau badan usaha yang merupakan entitas tersendiri yang menghasilkan arus kas sebagai sumber dalam pembayaran kembali Aktiva Produktif. Ayat (2) Termasuk dalam pengertian proyek yang sama antara lain apabila: a. terdapat keterkaitan rantai bisnis secara signifikan dalam proses produksi yang dilakukan oleh beberapa debitur. Keterkaitan dianggap signifikan antara lain apabila proses produksi di suatu entitas tergantung kepada proses produksi entitas lain, misalnya adanya ketergantungan bahan baku dalam proses produksi. b. kelangsungan arus kas suatu entitas akan terganggu secara signifikan apabila arus kas entitas lain mengalami gangguan. Ayat (3) … - 3 - Ayat (3) Contoh 1: Bank B memberikan fasilitas Kredit investasi dan Kredit modal kerja kepada debitur A. Hasil penilaian yang dilakukan Bank B untuk masing-masing fasilitas tersebut adalah sebagai berikut: a. Dalam Perhatian Khusus, untuk Kredit investasi; dan b. Kurang Lancar, untuk Kredit modal kerja. Karena Kredit digunakan untuk membiayai 1 (satu) debitur, maka kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan Bank B untuk Kredit yang diberikan kepada debitur A mengikuti kualitas Aktiva Produktif yang paling rendah yaitu Kurang Lancar. Contoh 2: Bank B memberikan fasilitas Kredit kepada debitur A dan debitur C yang digunakan untuk membiayai proyek yang sama yaitu proyek D. Sumber utama pengembalian Kredit, baik oleh debitur A maupun debitur C berasal dari arus kas yang akan diperoleh dari proyek D. Hasil penilaian yang dilakukan Bank B untuk Kredit yang diberikan kepada debitur A dan debitur C adalah sebagai berikut: a. Dalam Perhatian Khusus, untuk debitur A; dan b. Kurang Lancar, untuk debitur C. Karena Kredit digunakan untuk membiayai proyek yang sama, maka kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan Bank … - 4 - Bank B untuk Kredit yang diberikan kepada debitur A dan debitur C mengikuti kualitas Aktiva Produktif yang paling rendah yaitu Kurang Lancar. Ayat (4) Contoh: Kualitas Kredit ditetapkan berdasarkan faktor penilaian berupa prospek usaha, kinerja (performance) debitur dan kemampuan membayar. Sedangkan kualitas Surat Berharga yang diakui berdasarkan harga perolehan ditetapkan berdasarkan faktor penilaian berupa peringkat, ketepatan pembayaran kupon atau kewajiban lainnya yang sejenis dan saat jatuh tempo. Oleh karena terdapat perbedaan faktor penilaian untuk penetapan kualitas Kredit dan Surat Berharga, maka kualitas Kredit dan Surat Berharga dapat ditetapkan secara berbeda meskipun untuk debitur atau proyek yang sama. Angka 2 Pasal 6 Ayat (1) Contoh 1: Bank B dan Bank C memberikan fasilitas Kredit kepada debitur A. Karena fasilitas diberikan kepada debitur yang sama maka kualitas yang ditetapkan untuk fasilitas Kredit tersebut, baik oleh Bank B maupun Bank C, wajib sama. Contoh 2: … - 5 - Contoh 2: Bank B dan Bank C masing-masing memberikan fasilitas Kredit kepada debitur D dan debitur E yang digunakan untuk membiayai proyek yang sama yaitu proyek A. Karena fasilitas diberikan kepada proyek yang sama maka kualitas yang ditetapkan untuk fasilitas Kredit tersebut, baik kepada debitur D oleh Bank B maupun kepada debitur E oleh Bank C, wajib sama. Ayat (2) Huruf a Batas jumlah (limit) sebagaimana dimaksud dalam pengaturan ini diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas yang diberikan kepada setiap debitur atau proyek, baik untuk debitur individual maupun Kelompok Peminjam dalam hal Aktiva Produktif digunakan untuk membiayai proyek yang sama. Aktiva Produktif yang diberikan oleh suatu Bank dengan jumlah lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kepada 1 (satu) debitur atau proyek yang sama tidak dipengaruhi oleh kualitas Aktiva Produktif yang diberikan oleh Bank lain kepada debitur atau proyek yang sama dengan jumlah sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Demikian pula sebaliknya. Huruf b … - 6 - Huruf b Termasuk dalam pengertian Aktiva Produktif yang diberikan berdasarkan perjanjian pembiayaan bersama adalah struktur pembiayaan seperti sindikasi. Dalam menetapkan kualitas yang sama terhadap Aktiva Produktif yang diberikan berdasarkan perjanjian pembiayaan bersama tidak terdapat batasan jumlah minimum. Dengan demikian, Aktiva Produktif yang diberikan kepada 1 (satu) debitur atau proyek yang sama berdasarkan perjanjian pembiayaan bersama wajib ditetapkan kualitas yang sama meskipun Aktiva Produktif yang diberikan oleh setiap Bank kurang dari atau sama dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Ayat (3) Contoh: Bank B dan Bank C memberikan fasilitas Kredit kepada debitur A, dengan hasil penilaian pada masing-masing Bank adalah sebagai berikut: a. Dalam Perhatian Khusus, pada Bank B; dan b. Kurang Lancar, pada Bank C Karena Kredit digunakan untuk membiayai 1 (satu) debitur, maka kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan untuk Kredit kepada debitur A mengikuti kualitas Kredit yang paling rendah yaitu Kurang Lancar. Ayat (4) … - 7 - Ayat (4) Huruf a Hasil penilaian kualitas Aktiva Produktif yang lebih rendah yang semata-mata disebabkan oleh penggunaan faktor penilaian tambahan berupa risiko negara (country risk) Republik Indonesia, tidak mempengaruhi hasil penilaian kualitas Aktiva Produktif yang diberikan kepada debitur atau proyek yang sama di Bank lain yang ditetapkan dengan faktor penilaian sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia yang berlaku tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. Namun, dalam hal kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan dengan faktor penilaian tambahan berupa risiko negara (country risk) Republik Indonesia memberikan hasil penilaian yang lebih baik dibandingkan penilaian Aktiva Produktif yang dinilai dengan faktor penilaian dalam Peraturan Bank Indonesia yang berlaku tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, maka kualitas Aktiva Produktif tetap mengikuti kualitas yang paling rendah yaitu kualitas yang ditetapkan berdasarkan faktor penilaian dalam Peraturan Bank Indonesia tersebut. Huruf b Cukup jelas. Ayat (5) … - 8 - Ayat (5) Contoh: Kualitas Kredit ditetapkan berdasarkan faktor penilaian berupa prospek usaha, kinerja (performance) debitur dan kemampuan membayar. Sedangkan kualitas Surat Berharga yang diakui berdasarkan harga perolehan ditetapkan berdasarkan faktor penilaian berupa peringkat, ketepatan pembayaran kupon atau kewajiban lainnya yang sejenis dan saat jatuh tempo. Oleh karena terdapat perbedaan faktor penilaian untuk penetapan kualitas Kredit dan Surat Berharga maka kualitas Kredit dan Surat Berharga dapat ditetapkan secara berbeda meskipun untuk debitur atau proyek yang sama. Angka 3 Pasal 7 Ayat (1) Dalam melakukan penyesuaian penilaian kualitas Aktiva Produktif, Bank perlu menatausahakan secara khusus perubahan kualitas Aktiva Produktif yang disebabkan oleh mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Selanjutnya Bank secara aktif melakukan monitoring untuk melihat perkembangan kualitas Aktiva Produktif debitur atau proyek dimaksud di Bank lain. Ayat (2) … - 9 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam hal tanggal 13 (tiga belas) jatuh pada hari libur, informasi dan penjelasan tertulis tersebut disampaikan paling lambat pada hari kerja sebelumnya. Angka 4 Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan klasifikasi debitur antara lain adalah 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank secara individual. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4598
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 8/2/PBI/2006 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM </reg_title> <set_date> 30 Januari 2006 </set_date> <effective_date> 30 Januari 2006 </effective_date> <changed_reg> '7/2/PBI/2005' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/2/PBI/2005', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 2/26/PBI/2000 TENTANG FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA Menimbang : a. bahwa untuk meminimalkan risiko dalam sistem pembayaran di Indonesia, khususnya risiko sistemik, yang dapat timbul sebagai akibat dari kegagalan pembayaran antar bank dalam sistem netting, perlu diterapkan sistem Real Time Gross Settlement (RTGS); b. bahwa sifat sistem RTGS mensyaratkan tersedianya likuiditas bank dalam jumlah cukup setiap saat pada rekening gironya di bank sentral untuk menghindarkan terjadinya kemacetan dalam sistem pembayaran (gridlock) yang dapat membahayakan stabilitas sistem keuangan; c. bahwa untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya gridlock, Bank Indonesia perlu menyediakan Fasilitas Likuiditas Intrahari bagi bank peserta sistem Bank Indonesia-RTGS di Indonesia; d. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk mengatur ketentuan mengenai Fasilitas Intrahari Bagi Bank dalam Peraturan Bank Indonesia; Likuiditas Mengingat: … -2- Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/20/PBI/2000 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3999); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- … -3- Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha perbankan konvensional; 2. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar bank dalam mata uang rupiah yang penyelesaiannya dilakukan per transaksi secara individual; 3. Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang selanjutnya disebut dengan Bank Peserta adalah Kantor Pusat Bank atau Kantor Cabang Bank di wilayah Kliring Lokal Jakarta bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Kliring Lokal Jakarta dan Kantor Cabang Bank Asing di wilayah Kliring Lokal Jakarta; 4. Kesulitan Pendanaan Jangka Sangat Pendek adalah keadaan yang dialami oleh Bank Peserta selama jam operasional Sistem BI-RTGS karena nilai transaksi keluar (outgoing transaction) melalui Sistem BI-RTGS pada saat tertentu lebih besar dibandingkan dengan saldo rekening giro Rupiah Bank Peserta di Bank Indonesia, yang disebabkan ketidaktepatan waktu transaksi masuk (incoming transaction) atau yang disebabkan nilai transaksi masuk (incoming transaction) pada saat tertentu lebih kecil daripada nilai transaksi keluar (outgoing transaction); 5. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disebut FLI adalah fasilitas pendanaan selama jam operasional Sistem BI-RTGS berupa suatu nilai maksimum tertentu yang disediakan oleh Bank Indonesia untuk Bank Peserta guna mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Sangat Pendek dalam rangka mendukung kelancaran sistem pembayaran nasional; 6. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek yang selanjutnya disebut FPJP adalah fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia kepada Bank sebagaimana diatur dalam … -4- dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum; 7. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut dengan SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek dan diperdagangkan dengan sistem diskonto; 8. Obligasi Pemerintah adalah Surat Utang Negara Republik Indonesia dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan dapat diperdagangkan; 9. Pasar Uang Antar Bank yang untuk selanjutnya disebut dengan PUAB adalah kegiatan pinjam-meminjam dana antara satu Bank dengan Bank lainnya. BAB II PERSYARATAN FLI Pasal 2 Setiap Bank Peserta yang memperkirakan mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Sangat Pendek dapat mengajukan permohonan FLI kepada Bank Indonesia. Pasal 3 (1) Bank Peserta yang mengajukan FLI wajib memenuhi persyaratan: a. ketentuan kewajiban penyediaan modal minimum yang berlaku; dan b. tingkat … -5- b. tingkat kesehatan Bank dalam waktu 3 (tiga) bulan terakhir berturut- turut sekurang-kurangnya cukup sehat sebagaimana tercantum dalam administrasi Bank Indonesia; dan c. tidak sedang dikenakan sanksi penangguhan (suspend) sebagai Bank Peserta; dan d. tidak sedang dikenakan sanksi tidak dapat memperoleh FPJP. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan ayat (1) huruf b mulai berlaku sejak 1 Januari 2002. Pasal 4 Permohonan FLI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib dijamin dengan agunan milik Bank berupa SBI dan/atau Obligasi Pemerintah yang memenuhi persyaratan sebagai agunan FPJP sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum. Pasal 5 (1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 yang diserahkan kepada Bank Indonesia harus bebas dari segala bentuk perikatan, sengketa, dan tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain dan/atau untuk fasilitas kredit lainnya dari Bank Indonesia. (2) Bank dilarang untuk memperjualbelikan dan/atau menjaminkan kembali surat berharga yang masih berada dalam status sebagai agunan FLI kecuali dalam rangka memperoleh FPJP. (3) Bank … -6- (3) Bank wajib mengganti agunan FLI apabila agunan yang telah diserahkan tidak memenuhi kondisi-kondisi sebagaimana diatur dalam ayat (1) dan ayat (2). Pasal 6 (1) Penetapan nilai maksimum FLI yang dapat diajukan oleh Bank Peserta didasarkan atas perkiraan transaksi keluar (outgoing transaction) yang menjadi kewajiban Bank Peserta. (2) Kriteria penetapan nilai maksimum FLI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 7 (1) Permohonan FLI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib diajukan secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan disertai: a. bukti kepemilikan SBI dan/atau Obligasi Pemerintah yang diagunkan; dan b. bukti perkiraan transaksi keluar (outgoing transaction) yang terbesar pada hari penggunaan FLI; dan c. Perjanjian Kredit Dalam Rangka Fasilitas Likuiditas Intrahari; dan d. Akta Pengikatan Agunan Secara Gadai. (2) Bank Indonesia menyetujui permohonan FLI yang diajukan oleh Bank Peserta berdasarkan kecukupan nilai agunan FLI berupa SBI dan/atau Obligasi Pemerintah dengan memperhatikan nilai maksimum FLI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Pasal 8 … -7- Pasal 8 (1) Dalam hal Bank Peserta menggunakan SBI sebagai agunan, maka nilai jual SBI sekurang-kurangnya 100% (seratus per seratus) dari nilai FLI pada hari pengajuan permohonan FLI. (2) Dalam hal Bank Peserta menggunakan Obligasi Pemerintah sebagai agunan, maka nilai pasar Obligasi Pemerintah sekurang-kurangnya 115% (seratus lima belas per seratus) dari nilai FLI pada hari pengajuan permohonan FLI. (3) Besarnya persentase nilai agunan, perhitungan nilai jual SBI dan nilai pasar Obligasi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tunduk pada Peraturan Bank Indonesia tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum. Pasal 9 (1) Nilai FLI yang disetujui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) merupakan nilai maksimum FLI yang dapat dipergunakan oleh Bank Peserta selama jam operasional Sistem BI-RTGS pada hari penggunaan FLI. (2) Penggunaan FLI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara otomatis oleh Sistem BI-RTGS pada saat saldo rekening giro Rupiah Bank Peserta di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk melakukan transaksi keluar (outgoing transaction). (3) Bank Indonesia dapat membatasi jenis-jenis untuk menggunakan FLI. transaksi yang diperkenankan (4) Ketentuan … -8- (4) Ketentuan mengenai pembatasan jenis-jenis transaksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditetapkan lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 10 (1) Bank Indonesia dapat mengenakan biaya bunga dan/atau biaya lainnya kepada Bank Peserta atas penggunaan FLI. (2) Ketentuan mengenai pengenaan dan besarnya biaya bunga dan/atau biaya lainnya atas penggunaan FLI ditetapkan lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB III PELUNASAN FLI Pasal 11 (1) Pelunasan FLI dilakukan secara otomatis oleh Sistem BI-RTGS setiap terdapat transaksi masuk (incoming transaction) yang mengkredit rekening giro Rupiah Bank Peserta yang bersangkutan di Bank Indonesia sampai dengan batas waktu pelunasan FLI. (2) Batas waktu pelunasan FLI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 12 (1) Bank Peserta wajib melunasi FLI sampai dengan batas waktu pelunasan FLI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2). (2) Dalam … -9- (2) Dalam hal Bank Peserta tidak melunasi nilai FLI sampai dengan batas waktu pelunasan FLI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), terhadap nilai FLI yang tidak dilunasi diberlakukan sebagai FPJP. Pasal 13 Dalam hal FLI diberlakukan sebagai FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), maka: a. Bank Peserta menundukkan diri pada ketentuan FPJP yang berlaku; dan b. agunan FLI diberlakukan sebagai agunan FPJP. Pasal 14 Dalam hal Bank Peserta tidak dapat melunasi FLI karena kegagalan Sistem BI- RTGS, maka pelunasan FLI dilakukan secara otomatis oleh Sistem BI-RTGS pada kesempatan pertama pada hari kerja berikutnya. BAB IV PENGAWASAN Pasal 15 Dalam rangka pengawasan atas penggunaan FLI, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap Bank Peserta. BAB V … -10- BAB V SANKSI Pasal 16 Dalam hal Bank Peserta tidak memenuhi ketentuan agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dan/atau mengajukan permohonan FLI berdasarkan bukti perkiraan transaksi terbesar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b yang tidak benar, maka Bank Peserta dimaksud dikenakan sanksi berupa: a. penangguhan (suspend) sebagai Bank Peserta selama waktu tertentu; dan b. kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah) untuk setiap pelanggaran; dan c. sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 17 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian FLI diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 18 … -11- Pasal 18 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 13 Desember 2000 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 232 -12- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/26/PBI/2000 TENTANG FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM UMUM Dalam kegiatan usaha, Bank sangat lazim mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek yang disebabkan ketidak-sesuaian pendanaan antara arus masuk dan arus keluar (mismatch). Dengan berlakunya penyelesaian transaksi melalui sistem Real Time Gross Settlement (RTGS) dimana transaksi pembayaran diselesaikan satu demi satu secara seketika (real time), Bank sangat mungkin mengalami kesulitan pendanaan dalam waktu yang sangat pendek. Kesulitan pendanaan dimaksud sebagai akibat terjadi ketidaksesuaian antara waktu dan/atau nilai transaksi yang dikirim (outgoing transaction) dengan transaksi yang diterima (incoming transaction). Apabila kesulitan yang dialami oleh Bank atau beberapa Bank tersebut tidak segera diatasi, dikhawatirkan dapat menyebabkan kemacetan pembayaran (gridlock) yang dapat mengganggu kelancaran sistem pembayaran yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakstabilan sistem keuangan secara keseluruhan. Untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek, Bank dapat mengupayakan dana yang berasal dari pasar uang antara lain dari Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Mengingat sumber dana dari PUAB untuk jangka sangat pendek belum berkembang di Indonesia dan ketersediaan dana dikhawatirkan tidak mencukupi kebutuhan, maka Bank Indonesia memandang perlu untuk memberikan … -13- memberikan pendanaan untuk jangka waktu yang sangat pendek selama waktu operasional Sistem RTGS dalam bentuk Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum. FLI dimaksud wajib dilunasi oleh Bank pada akhir hari yang sama. Pemberian FLI ini sejalan dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia untuk menjaga kelancaran sistem pembayaran sebagaimana ditetapkan dalam pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pemberian fasilitas tersebut wajib dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan sebagaimana diamanatkan dalam pasal 11 Undang-Undang yang sama. Dalam hal pelunasan FLI tidak dapat dilakukan pada hari yang sama, maka Bank dapat menggunakan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek yang bersifat overnight sesuai dengan ketentuan yang berlaku. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas (FLI) Pasal 4 … -14- Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Terhadap agunan pengganti berlaku pula semua ketentuan tentang agunan dalam peraturan ini. Pasal 6 Ayat (1) Penetapan nilai maksimum FLI oleh Bank Indonesia dimaksudkan untuk meminimalkan kemungkinan pemberian FLI yang melebihi kebutuhan Bank. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) … -15- Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Atas dasar nilai maksimum FLI yang sudah disetujui oleh Bank Indonesia, pada saat saldo giro Rupiah Bank Peserta di Bank Indonesia lebih kecil daripada outgoing transaction (terjadi mismatch) maka secara otomatis sistem BI-RTGS akan memberikan FLI sejumlah mismatch tersebut. Ayat (3) Pembatasan jenis transaksi dimaksudkan agar Bank Peserta tidak mempergunakan FLI sebagai sumber dana antara lain untuk pemenuhan kewajiban Bank Peserta kepada Bank Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 11 … -16- Pasal 11 Ayat (1) Sepanjang Bank masih menggunakan sebagian atau seluruh FLI, maka sistem BI-RTGS secara otomatis menggunakan dana yang masuk (incoming transaction) untuk terlebih dahulu melunasi FLI. Proses penggunaan dan pelunasan FLI berlangsung terus sampai dengan batas waktu pelunasan FLI. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Yang dimaksud dengan kegagalan Sistem BI-RTGS adalah kegagalan RTGS Central Computer (RCC) sehingga seluruh Bank Peserta dan/atau Bank Indonesia tidak dapat mengirimkan transaksi dari terminal RTGS (RT) ke RCC. Gangguan pada salah satu atau beberapa RT dan/atau gangguan pada jaringan RTGS yang mengakibatkan satu atau beberapa Bank Peserta tidak dapat mengirimkan transaksi ke RCC, tidak dianggap sebagai kegagalan Sistem BI-RTGS. Dalam hal terjadi gangguan dimaksud, Bank Peserta tetap wajib melunasi FLI sesuai batas waktu yang ditetapkan. Pasal 15 … -17- Pasal 15 Pemeriksaan terhadap Bank Peserta yang menerima FLI dapat dilakukan pada periode diterimanya atau setelah jatuh waktu FLI. Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4035 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 2/26/PBI/2000 </reg_id> <reg_title> FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 13 Desember 2000 </set_date> <effective_date> 13 Desember 2000 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '2/20/PBI/2000', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/11/PBI/2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung kelancaran pencapaian tujuan Bank Indonesia dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, diperlukan perluasan mengenai pihak ekstern yang dapat membuka Rekening Giro di Bank Indonesia; b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern; MEMUTUSKAN ... - 2 - MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN. Pasal I Mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern sebagai berikut : 1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut : “Pasal 2 Pihak yang dapat membuka Rekening Giro di Bank Indonesia adalah : a. Bank; b. Instansi pemerintah; c. Lembaga keuangan internasional; d. Lembaga lain yang menurut Bank Indonesia dipandang perlu untuk mempunyai Rekening Giro di Bank Indonesia.” 2. Diantara Pasal 4 dan 5 disisipkan satu pasal yakni Pasal 4A yang berbunyi sebagai berikut : “Pasal 4A (1) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat pula membuka Rekening Giro khusus. (2) Persyaratan … - 3 - (2) Persyaratan dan tata cara pembukaan serta penarikan Rekening Giro khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.” 3. Ketentuan Pasal 5 diubah dan ditambah satu ayat sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut : “Pasal 5 (1) Dalam hal permintaan pembukaan Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Rekening Giro khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A ayat (1) disetujui, maka Pemegang Rekening Giro dan Pemegang Rekening Giro khusus wajib membuat Spesimen Tanda Tangan. (2) Dalam hal terdapat persyaratan bahwa penarikan Rekening Giro khusus wajib memperoleh persetujuan dari instansi tertentu, maka pejabat dari Tangan.” 4. Ketentuan Pasal 13 ayat (2) diubah dan ditambah satu ayat, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut : “Pasal 13 (1) Pemegang Rekening Giro dapat mensyaratkan bahwa setiap penarikan Rekening Giro dengan menggunakan warkat pembukuan harus ditandatangani oleh lebih dari 1 (satu) orang. (2) Bank Indonesia tidak bertanggungjawab terhadap pemenuhan persyaratan tambahan yang ditetapkan oleh Pemegang Rekening Giro untuk pelaksanaan penarikan Rekening Giro. (3) Ketentuan … instansi tersebut wajib membuat Spesimen Tanda - 4 - (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku untuk penarikan Rekening Giro khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A.” Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 20 Juni 2001 GUBERNUR BANK INDONESIA, SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 79 DASP - 5 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/11/PBI/2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 2 Huruf a Bank yang dapat membuka Rekening Giro di Bank Indonesia adalah tingkatan kantor pusat dan kantor cabang. Dalam hal dilakukan sentralisasi Rekening Giro Bank maka hanya kantor pusat Bank yang dapat membuka Rekening Giro di Bank Indonesia. Khusus bagi Bank yang menjalankan kegiatan sebagai bank konvensional dan bank syariah, maka masing-masing unit usaha konvensional dan unit usaha syariah dapat membuka Rekening Giro baik Rekening Giro Rupiah maupun Rekening Giro Valas. Huruf b Yang dimaksud dengan instansi pemerintah meliputi pemerintah pusat dan pemerintah daerah sepanjang Rekening Giro yang bersangkutan digunakan untuk menampung dan atau mengelola dana yang terkait dengan ... - 6 - dengan pelaksanaan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD). Khusus untuk instansi pemerintah pusat terdiri dari departemen dan lembaga pemerintah non departemen serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalam pengertian instansi pemerintah ini tidak termasuk bendaharawan rutin dan bendaharawan proyek. Huruf c Lembaga keuangan internasional sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah lembaga- lembaga yang tujuan pembentukannya untuk meningkatkan kerjasama internasional di bidang ekonomi dan atau keuangan dimana Pemerintah Republik Indonesia atau Bank Indonesia menjadi anggota didalamnya, atau lembaga keuangan tersebut memberi bantuan keuangan kepada Pemerintah Republik Indonesia atau Bank Indonesia, dan lembaga tersebut mensyaratkan pembukaan rekening pada Bank Indonesia. Huruf d Lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini dapat membuka Rekening Giro di Bank Indonesia sepanjang : 1. Diperlukan dalam rangka transisi tugas Bank Indonesia di bidang perbankan, dan di bidang perkreditan ... - 7 - perkreditan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; 2. Terkait dengan tugas Bank Indonesia dalam bidang moneter, perbankan dan sistem pembayaran. Angka 2 Pasal 4 A Ayat (1) Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam ayat ini antara lain berupa Escrow Account dan Blocked Account. Escrow Account yaitu rekening yang dibuka secara khusus untuk tujuan tertentu guna menampung dana yang dipercayakan kepada Bank Indonesia berdasarkan persyaratan tertentu sesuai dengan perjanjian tertulis. Sedangkan yang dimaksud dengan Blocked Account yaitu rekening yang karena suatu hal untuk sementara diblokir dananya sehingga tidak dapat ditarik/dicairkan sampai diperoleh keputusan yang jelas. Ayat (2) Cukup Jelas Angka 3 Pasal 5 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Cukup Jelas Angka… - 8 - Angka 4 Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini antara lain adalah diperlukannya countersign dari pihak lain yang ditunjuk oleh Pemegang Rekening Giro atau yang ditetapkan oleh instansi lain yang berwenang. Dalam hal ini Pemegang Rekening Giro wajib mengupayakan pemenuhan persyaratan tersebut. Bank Indonesia dibebaskan dari tanggung jawab atas pelaksanaan penarikan yang tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Pemegang Rekening Giro maupun instansi lain yang berwenang tersebut. Ayat (3) Untuk Rekening Giro khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A, persyaratan tambahan dalam pelaksanaan penarikan Rekening Giro harus disampaikan kepada Bank Indonesia pada saat permohonan pembukaan rekening dimaksud. Selain itu ketentuan penarikan Rekening Giro khusus tetap tunduk pada persyaratan dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A ayat (2). TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4108 DASP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 3/11/PBI/2001 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN </reg_title> <set_date> 20 Juni 2001 </set_date> <effective_date> 20 Juni 2001 </effective_date> <changed_reg> '2/24/PBI/2000' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '2/24/PBI/2000', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/9/PBI/2016 TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong terpeliharanya stabilitas sistem keuangan dan stabilitas moneter, dibutuhkan sistem pembayaran yang lancar, aman, efisien, dan andal yang berkontribusi terhadap perekonomian, stabilitas moneter, dan stabilitas sistem keuangan dengan memperhatikan perluasan akses, perlindungan konsumen, dan kepentingan nasional; b. bahwa dalam rangka mendorong terpeliharanya stabilitas sistem keuangan dan stabilitas moneter, juga dibutuhkan pengelolaan uang Rupiah yang mampu memenuhi kebutuhan uang Rupiah di masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar serta aman dari upaya pemalsuan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan aspek perlindungan konsumen dan kepentingan nasional; c. bahwa pelaksanaan kebijakan di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah, perlu - 2 - didukung oleh kegiatan layanan uang yang sehat dengan tata kelola yang baik dan memenuhi peraturan perundang-undangan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pengaturan dan Pengawasan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5204); 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH. - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Pembayaran adalah sistem pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Bank Indonesia. 2. Pengelolaan Uang Rupiah adalah suatu kegiatan yang mencakup perencanaan, pencetakan, pengeluaran, pengedaran, pencabutan, dan penarikan, serta pemusnahan uang Rupiah yang dilakukan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. 3. Kegiatan Layanan Uang adalah kegiatan usaha yang menggunakan uang sebagai objek utama layanan. Pasal 2 (1) Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah. (2) Dalam rangka mendukung pengaturan dan pengawasan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan Kegiatan Layanan Uang. (3) Dalam melakukan pengaturan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan instansi dan/atau otoritas lain yang berwenang. Pasal 3 Pengaturan dan pengawasan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang didukung dengan pengaturan dan pengawasan Kegiatan Layanan Uang, didasarkan pada prinsip sebagai berikut: a. tata kelola yang baik (good governance); b. berorientasi pada manajemen risiko; - 4 - c. mengedepankan kepentingan nasional (national interest); dan d. memperhatikan peraturan perundang-undangan, standar, dan praktik internasional. BAB II PENGATURAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH Pasal 4 Pengaturan Sistem Pembayaran bertujuan untuk mendorong penyelenggaraan Sistem Pembayaran yang lancar, aman, efisien, dan andal dengan memperhatikan perluasan akses dan perlindungan konsumen. Pasal 5 (1) Pengaturan Sistem Pembayaran mencakup antara lain: a. instrumen pembayaran; b. kelembagaan; c. mekanisme penyelenggaraan Sistem Pembayaran; dan d. (2) infrastruktur. Pengaturan Sistem Pembayaran berlaku bagi setiap pihak yang melakukan kegiatan Sistem Pembayaran di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 6 Pengaturan Pengelolaan Uang Rupiah bertujuan untuk memenuhi kebutuhan uang Rupiah di masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar, serta aman dari upaya pemalsuan dengan memperhatikan perlindungan konsumen. Pasal 7 Pengaturan Pengelolaan Uang Rupiah mencakup antara lain: a. perencanaan; - 5 - b. pencetakan; c. pengeluaran; d. pengedaran; e. pencabutan dan penarikan; dan f. pemusnahan. Pasal 8 Pengaturan Kegiatan Layanan Uang bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya Kegiatan Layanan Uang yang aman dan sehat dengan memperhatikan perlindungan konsumen. Pasal 9 Jenis Kegiatan Layanan Uang meliputi: a. kegiatan penukaran valuta asing bukan bank; b. penyelenggaraan jasa pengolahan uang Rupiah; c. pembawaan uang kertas asing (UKA) ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia; dan d. Kegiatan Layanan Uang lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 10 Pengaturan Kegiatan Layanan Uang mencakup antara lain: a. jasa yang disediakan; b. penyelenggara; c. mekanisme penyelenggaraan Kegiatan Layanan Uang; dan d. infrastruktur. Pasal 11 Setiap pihak wajib mematuhi ketentuan Bank Indonesia di bidang Sistem Pembayaran, Pengelolaan Uang Rupiah, dan Kegiatan Layanan Uang. - 6 - BAB III PENGAWASAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH Pasal 12 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Sistem Pembayaran, Pengelolaan Uang Rupiah, dan Kegiatan Layanan Uang. (2) Pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: a. menilai kepatuhan perundang-undangan di bidang Pembayaran, Pengelolaan Uang Rupiah, dan Kegiatan Layanan Uang; b. memastikan penyelenggaraan Sistem Pembayaran dilakukan secara lancar, aman, efisien, dan andal dengan memperhatikan perluasan akses, perlindungan konsumen, dan kepentingan nasional serta mengacu pada peraturan perundang-undangan; c. memastikan penyelenggaraan Pengelolaan Uang Rupiah oleh bank atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia dilaksanakan secara aman dan akuntabel terhadap peraturan Sistem dengan memperhatikan perlindungan konsumen dan kepentingan nasional, serta memenuhi peraturan perundang- undangan dan kebijakan yang ditetapkan Bank Indonesia; dan d. memastikan Kegiatan Layanan Uang dilakukan dengan tata kelola yang baik dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan. Pasal 13 (1) Objek pengawasan Bank Indonesia di bidang Sistem Pembayaran antara lain mencakup: a. penyelenggaraan Sistem Pembayaran oleh Bank - 7 - Indonesia; b. kepesertaan Sistem Pembayaran Bank Indonesia; c. penyelenggaraan industri; dan Sistem Pembayaran oleh d. pihak-pihak yang bekerja sama dengan penyelenggara jasa Sistem Pembayaran. (2) Objek pengawasan Bank Indonesia di bidang Pengelolaan Uang Rupiah mencakup penyelenggaraan Pengelolaan Uang Rupiah yang dilakukan oleh bank atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. (3) Objek pengawasan Bank Indonesia atas Kegiatan Layanan Uang mencakup antara lain: a. penyelenggaraan kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank; b. penyelenggaraan jasa pengolahan uang Rupiah; c. pembawaan uang kertas asing (UKA) ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia; dan d. penyelenggaraan Kegiatan Layanan Uang lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 14 Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dilakukan melalui: a. pengawasan tidak langsung; dan b. pengawasan langsung. Pasal 15 (1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, setiap pihak yang menjadi objek pengawasan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib menyampaikan dokumen, data, informasi, laporan, keterangan, dan/atau penjelasan kepada Bank Indonesia. (2) Setiap pihak wajib bertanggung jawab atas kebenaran dokumen, data, informasi, laporan, keterangan, dan/atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat - 8 - (1). (3) Dokumen, data, informasi, laporan, keterangan, dan/atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan melalui pelaporan, pertemuan langsung, dan/atau sarana komunikasi lain yang ditetapkan Bank Indonesia. Pasal 16 (1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b, setiap pihak yang menjadi objek pengawasan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib memberikan kepada pengawas atau pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia antara lain: a. dokumen, data, informasi, dan/atau laporan yang diminta; b. keterangan dan/atau penjelasan baik lisan maupun tertulis; dan/atau c. akses terhadap sistem informasi, yang diperlukan dalam pengawasan langsung. (2) Setiap pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib bertanggung jawab atas kebenaran dokumen, data, informasi, laporan, keterangan, dan/atau penjelasan yang diberikan. Pasal 17 (1) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk melakukan pengawasan langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b. (2) Pihak yang ditugaskan melakukan pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga kerahasiaan dokumen, data, informasi, laporan, keterangan, dan/atau penjelasan yang diperoleh dari hasil pengawasan langsung. - 9 - BAB IV TINDAK LANJUT PENGAWASAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH Pasal 18 (1) Setiap pihak wajib melaksanakan tindak lanjut atas hasil pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. (2) Bank Indonesia melakukan monitoring dan evaluasi terhadap tindak lanjut hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi dan/atau rekomendasi hasil pengawasan kepada otoritas lain, dalam hal terdapat hasil pengawasan yang terkait dengan kewenangan otoritas lain. BAB V SANKSI Pasal 19 Pihak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 15, Pasal 16, dan/atau Pasal 18 ayat (1) dapat dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; b. denda atau sanksi kewajiban membayar; c. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan penyelenggaraan jasa Sistem Pembayaran; d. perubahan status kepesertaan Sistem Pembayaran Bank Indonesia; dan/atau e. pencabutan izin penyelenggaraan jasa Sistem Pembayaran, penyelenggara Pengelolaan Uang Rupiah, dan/atau penyelenggara Kegiatan Layanan Uang. Pasal 20 Pihak yang ditugaskan oleh Bank Indonesia untuk melakukan pengawasan langsung yang melanggar ketentuan dalam Pasal - 10 - 17 ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. rekomendasi untuk dikeluarkan dari daftar profesi yang memberikan jasa di sektor keuangan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang; dan/atau c. rekomendasi pencabutan izin usaha kepada instansi yang berwenang. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 21 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan dan pengawasan Sistem Pembayaran, Pengelolaan Uang Rupiah, dan Kegiatan Layanan Uang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Bank Indonesia. Pasal 22 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 11 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Mei 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Juni 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 106 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/9/PBI/2016 TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH I. UMUM Dalam rangka mencapai tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, dibutuhkan Sistem Pembayaran yang lancar, aman, efisien, dan andal dengan memperhatikan perluasan akses, perlindungan konsumen, dan kepentingan nasional. Sistem Pembayaran yang lancar, aman, efisien, dan andal merupakan prasyarat penting guna mewujudkan stabilitas sistem keuangan dan stabilitas moneter. Stabilitas sistem keuangan dan stabilitas moneter juga perlu didukung oleh Pengelolaan Uang Rupiah yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel dengan memastikan ketersediaan uang Rupiah dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar serta aman dari upaya pemalsuan. Dalam pelaksanaan kewenangan di bidang Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah, Bank Indonesia telah menerbitkan ketentuan dan melakukan pengawasan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah. Dalam rangka mendukung pengaturan dan pengawasan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah, Bank Indonesia juga melakukan pengaturan dan pengawasan Kegiatan Layanan Uang. - 2 - Pengaturan dan pengawasan Sistem Pembayaran, Pengelolaan Uang Rupiah, dan Kegiatan Layanan Uang tersebut didasarkan pada prinsip tata kelola yang baik (good governance), berorientasi pada manajemen risiko, mengedepankan kepentingan nasional (national interest), dan memperhatikan peraturan perundang-undangan, standar, dan praktik internasional. Dalam rangka memberikan kejelasan mengenai ruang lingkup pengaturan maupun pengawasan Sistem Pembayaran, Pengelolaan Uang Rupiah, dan Kegiatan Layanan Uang, perlu disusun ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pengaturan dan pengawasan Sistem Pembayaran, Pengelolaan Uang Rupiah, dan Kegiatan Layanan Uang yang dapat menjadi acuan bagi seluruh pemangku kepentingan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Selain melakukan pengaturan dan pengawasan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah, Bank Indonesia juga melakukan pengembangan, perizinan, dan pengenaan sanksi terkait penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Koordinasi meliputi antara lain pertukaran data dan/atau informasi antara Bank Indonesia dengan instansi dan/atau otoritas lain yang berwenang. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. - 3 - Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Pengaturan instrumen pembayaran mencakup antara lain: 1. atau jenis dan karakteristik instrumen pembayaran yang dapat diselenggarakan diterbitkan oleh penyelenggara jasa Sistem Pembayaran baik yang berbasis kertas, kartu, media elektronik, maupun media lainnya, antara lain cek, bilyet giro, cek pelawat (traveller’s cheque), international money order, kartu kredit, kartu Automated Teller Machine (ATM)/debit, uang elektronik, dan instrumen sejenis lainnya; 2. standar instrumen pembayaran; dan 3. jenis dan biaya layanan atas penggunaan instrumen pembayaran. Huruf b Pengaturan kelembagaan mencakup antara lain: 1. jenis dan kriteria lembaga yang dapat menjadi penyelenggara jasa Sistem Pembayaran, yaitu: a. penyelenggara Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan uang elektronik yang berperan sebagai penerbit, acquirer, prinsipal, penyelenggara penyelesaian akhir, dan penyelenggara kliring; b. penyelenggara transfer dana; c. penyelenggara kliring; d. penyelenggara penyelesaian akhir (settlement); e. penyelenggara sarana pemroses transaksi pembayaran; dan f. penyelenggara jasa Sistem Pembayaran lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 2. persyaratan perizinan calon penyelenggara jasa Sistem Pembayaran; 3. kriteria dan persyaratan kepesertaan pada layanan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, antara lain kepesertaan dalam Sistem Bank Indonesia-Real Time - 4 - Gross Settlement (BI-RTGS), Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), dan Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS); 4. pembatasan izin penyelenggaraan jasa Sistem Pembayaran; 5. ruang lingkup jasa Sistem Pembayaran yang dapat diselenggarakan oleh penyelenggara jasa Sistem Pembayaran; dan 6. bentuk dan persyaratan kerja sama penyelenggaraan jasa Sistem Pembayaran baik domestik maupun lintas negara (cross border payment system). Huruf c Pengaturan mekanisme penyelenggaraan Sistem Pembayaran mencakup antara lain: 1. interoperabilitas antar penyelenggara; 2. mekanisme penyelenggaraan kliring dan setelmen dana; 3. penetapan standar penyelenggaraan Sistem Pembayaran termasuk standar sistem yang aman dan andal; 4. setelmen dana dengan menggunakan rekening dana yang ada di bank sentral; 5. penerapan manajemen risiko, perlindungan konsumen, dan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme (APU PPT); 6. jenis dan biaya layanan jasa Sistem Pembayaran; dan 7. persyaratan dan tata cara pengajuan permohonan fasilitas likuiditas dalam layanan Sistem Pembayaran Bank Indonesia. Huruf d Pengaturan infrastruktur mencakup antara lain: 1. jenis infrastruktur Sistem Pembayaran termasuk karakteristiknya antara lain: a. sarana pemroses transaksi pembayaran seperti: 1) Automated Teller Machine (ATM); 2) Electronic Data Capture (EDC); 3) internet payment gateway; dan - 5 - 4) electronic banking (seperti SMS banking, mobile banking, dan internet banking); dan b. infrastruktur Sistem Pembayaran Bank Indonesia yang mencakup antara lain Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS), Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), dan Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS); 2. persyaratan penyelenggaraan infrastruktur; dan 3. standar infrastruktur. Ayat (2) Termasuk dalam pengertian “setiap pihak” adalah penyelenggara Sistem Pembayaran yang berkedudukan di luar negeri yang melakukan kerja sama dengan penyelenggara jasa Sistem Pembayaran di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ruang lingkup pengaturan Pengelolaan Uang Rupiah adalah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Pengelolaan Uang Rupiah. Termasuk dalam ruang lingkup pengaturan Pengelolaan Uang Rupiah adalah pengaturan mengenai pencegahan dan penanggulangan pemalsuan uang Rupiah. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Huruf a Pengaturan jasa yang disediakan mencakup antara lain: 1. ruang lingkup kegiatan atau jasa yang dapat - 6 - diselenggarakan oleh penyelenggara Kegiatan Layanan Uang; dan 2. bentuk dan persyaratan kerja sama penyelenggaraan Kegiatan Layanan Uang dengan pihak lain. Huruf b Pengaturan penyelenggara mencakup antara lain: 1. persyaratan perizinan calon penyelenggara Kegiatan Layanan Uang; dan 2. pembatasan izin penyelenggaraan Kegiatan Layanan Uang. Huruf c Pengaturan mekanisme penyelenggaraan Kegiatan Layanan Uang mencakup antara lain: 1. tata kelola (governance); 2. penerapan prinsip kehati-hatian; 3. penerapan perlindungan konsumen; dan 4. penerapan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme (APU PPT). Huruf d Pengaturan infrastruktur mencakup antara lain jenis, persyaratan, dan standar infrastruktur yang digunakan dalam penyelenggaraan Kegiatan Layanan Uang. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Dalam kegiatan transfer dana, istilah “pengawasan” disebut dengan istilah “pemantauan”. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “penyelenggaraan Sistem Pembayaran oleh Bank Indonesia” adalah Bank Indonesia - 7 - sebagai penyelenggara Sistem Pembayaran meliputi antara lain Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI- RTGS), Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), dan Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS). Pelaksanaan pengawasan terhadap penyelenggara Sistem Pembayaran oleh Bank Indonesia antara lain mengacu kepada Principles for Financial Market Infrastructures (PFMI) yang diterbitkan oleh Bank for International Settlement (BIS)-Committee on Payment and Settlement Systems (CPSS) dan Technical Committee of the International Organization of Securities Commissions (IOSCO). Huruf b Yang dimaksud dengan “kepesertaan Sistem Pembayaran Bank Indonesia” adalah hal-hal yang meliputi antara lain pemenuhan persyaratan dalam rangka memperoleh persetujuan sebagai peserta serta hak dan kewajiban peserta dalam penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS), Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), dan/atau Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS). Huruf c Yang dimaksud dengan “penyelenggaraan Sistem Pembayaran oleh industri" adalah: 1) penyelenggara Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan uang elektronik yang berperan sebagai prinsipal, penerbit, acquirer, penyelenggara kliring, dan penyelenggara penyelesaian akhir; 2) penyelenggara transfer dana; 3) penyelenggara kliring; 4) penyelenggara penyelesaian akhir (settlement); dan 5) penyelenggara jasa Sistem Pembayaran lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Huruf d Yang dimaksud dengan “pihak-pihak yang bekerja sama dengan penyelenggara jasa Sistem Pembayaran” antara lain adalah penyelenggara sarana pemroses transaksi - 8 - pembayaran seperti Automated Teller Machine (ATM), Electronic Data Capture (EDC), dan electronic banking, internet payment gateway, agen Layanan Keuangan Digital (LKD), perusahaan switching, dan perusahaan personalisasi kartu. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “penyelenggaraan Pengelolaan Uang Rupiah yang dilakukan oleh Bank” antara lain adalah penyelenggaraan kas titipan dan/atau layanan penukaran uang. Bank yang melakukan penyelenggaraan Pengelolaan Uang Rupiah adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “pembawaan uang kertas asing (UKA) ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia” adalah kegiatan pembawaan uang kertas asing sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai perizinan dan persyaratan pembawaan uang kertas asing ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia. huruf d Cukup jelas. Pasal 14 Huruf a Pengawasan tidak langsung dilakukan antara lain melalui monitoring, analisis, dan evaluasi dokumen, data, informasi, laporan, keterangan, dan/atau penjelasan yang disampaikan oleh penyelenggara jasa atau oleh sumber informasi lainnya. - 9 - Huruf b Pengawasan langsung dilakukan melalui pemeriksaan kepada penyelenggara jasa maupun pihak-pihak yang bekerja sama dengan penyelenggara jasa secara berkala dan/atau sewaktu- waktu. Termasuk dalam pengawasan langsung adalah pemeriksaan dokumen, sarana fisik, dan aplikasi yang digunakan oleh penyelenggara jasa. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Huruf a Dokumen, data, informasi, dan/atau laporan mencakup antara lain kebijakan, peraturan internal, standard operating procedures, data transaksi, dan risalah rapat terkait penyelenggaraan jasa Sistem Pembayaran baik dalam bentuk hardcopy, softcopy, atau bentuk lainnya. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “akses terhadap sistem informasi” antara lain adalah akses terhadap aplikasi, database, dan sistem pelaporan penyelenggara jasa. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Termasuk dalam tindak lanjut atas hasil pengawasan antara lain pelaksanaan komitmen perbaikan sesuai dengan hasil pengawasan. - 10 - Ayat (2) Monitoring dan evaluasi dimaksudkan untuk memastikan bahwa seluruh komitmen atas hasil pengawasan Bank Indonesia telah dilakukan dan diselesaikan sesuai tenggat waktu yang ditetapkan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5885
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/9/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> PENGATURAN DAN PENGAWASAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH </reg_title> <set_date> 31 Mei 2016 </set_date> <effective_date> 3 Juni 2016 </effective_date> <issued_date> 3 Juni 2016 </issued_date> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '7/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/16/PBI/2006 TENTANG KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat diperlukan langkah-langkah konsolidasi perbankan; b. bahwa dalam rangka mendorong konsolidasi perbankan perlu dilakukan penataan kembali struktur kepemilikan perbankan melalui penerapan kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia; c. bahwa disamping itu, kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung efektivitas pengawasan bank; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu untuk mengatur ketentuan tentang kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor … - 2 - Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA. Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tidak termasuk kantor cabang bank asing. 2. Kepemilikan Tunggal adalah suatu kondisi dimana suatu pihak hanya menjadi pemegang saham pengendali pada 1 (satu) Bank. 3. Pemegang … - 3 - 3. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum dan atau perorangan dan atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham Bank sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara; b. memiliki saham Bank kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian Bank baik secara langsung maupun tidak langsung. 4. Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) adalah badan hukum yang dibentuk dan atau dimiliki oleh Pemegang Saham Pengendali untuk mengkonsolidasikan dan mengendalikan secara langsung seluruh aktivitas Bank-bank yang merupakan anak perusahaannya. Pasal 2 (1) Setiap pihak hanya dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali pada 1 (satu) Bank. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi: a. Pemegang Saham Pengendali pada 2 (dua) Bank yang masing-masing melakukan kegiatan usaha dengan prinsip berbeda, yakni secara konvensional dan berdasarkan prinsip Syariah; b. Pemegang Saham Pengendali pada 2 (dua) bank yang salah satunya merupakan Bank Campuran (Joint Venture Bank); c. Bank Holding Company sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c. Pasal 3 … - 4 - Pasal 3 (1) Sejak mulai berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, pihak-pihak yang telah menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih dari 1 (satu) Bank wajib melakukan penyesuaian struktur kepemilikan sebagai berikut: a. mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah satu atau lebih Bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga yang bersangkutan hanya menjadi Pemegang Saham Pengendali pada 1 (satu) Bank; atau b. melakukan merger atau konsolidasi atas dikendalikannya; atau Bank-bank yang c. membentuk Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company), dengan cara : 1) mendirikan badan hukum baru sebagai Bank Holding Company; atau 2) menunjuk salah satu bank yang dikendalikannya sebagai Bank Holding Company. (2) Dalam hal setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pembelian saham Bank lain dan mengakibatkan yang bersangkutan memenuhi kriteria sebagai Pemegang Saham Pengendali Bank yang dibeli, maka yang bersangkutan wajib melakukan merger atau konsolidasi atas Bank dimaksud dengan Bank yang telah dimiliki sebelumnya. Pasal 4 (1) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali memilih untuk membentuk Bank Holding Company sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c … - 5 - huruf c, maka rencana pelaksanaan pembentukan Bank Holding Company dan pengalihan saham dari Pemegang Saham Pengendali kepada Bank Holding Company wajib disampaikan kepada Bank Indonesia dengan melampirkan dokumen-dokumen pendukung. (2) Bank Indonesia melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan (Fit and Proper Test) terhadap calon pengurus Bank Holding Company sesuai ketentuan yang berlaku. (3) Proses pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari ketentuan yang mengatur tentang Akuisisi Bank Umum dan Pembelian Saham Bank Umum. Pasal 5 (1) Bank Holding Company sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c angka 1) harus merupakan badan hukum Perseroan Terbatas yang didirikan di Indonesia dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. (2) Bank Holding Company sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c angka 1) dilarang melakukan kegiatan usaha lain selain menjadi pemegang saham Bank. Pasal 6 (1) Bank Holding Company sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c wajib memberikan arah strategis dan mengkonsolidasikan laporan keuangan Bank-bank yang merupakan anak perusahaannya. (2) Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap Bank Holding Company sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai bagian tak terpisahkan … - 6 - terpisahkan dari tugas pengaturan dan pengawasan Bank. (3) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia dapat meminta laporan dan melakukan pemeriksaan terhadap Bank Holding Company baik secara berkala maupun sewaktu- waktu apabila diperlukan. Pasal 7 (1) Penyesuaian struktur kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib dilakukan dalam jangka waktu paling lambat akhir Desember 2010. (2) Berdasarkan permintaan Pemegang Saham Pengendali dan Bank-bank yang dikendalikannya, Bank Indonesia dapat memberikan perpanjangan jangka waktu penyesuaian struktur kepemilikan apabila menurut penilaian Bank Indonesia kompleksitas permasalahan yang tinggi yang dihadapi Pemegang Saham Pengendali dan atau Bank-Bank yang dikendalikannya menyebabkan penyesuaian struktur kepemilikan tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 8 (1) Bank-bank dengan Pemegang Saham Pengendali yang sama wajib menyusun rencana penyesuaian struktur kepemilikan dan menyampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir Desember 2007. (2) Rencana penyesuaian struktur kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya cara penyesuaian struktur kepemilikan yang dipilih, rencana tindak dan jadwal waktu pelaksanaannya. (3) Rencana penyesuaian struktur kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disusun dan disampaikan oleh masing-masing Bank atau bersama … - 7 - bersama-sama oleh beberapa Bank dengan Pemegang Saham Pengendali yang sama dan wajib ditandatangani oleh Pemegang Saham Pengendali yang bersangkutan serta diketahui oleh Direksi dan Dewan Komisaris masing-masing Bank. (4) Bank-bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan perkembangan pelaksanaan penyesuaian struktur kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia setiap triwulan terhitung sejak 1 Januari 2008. Pasal 9 (1) Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang tidak melakukan penyesuaian struktur kepemilikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilarang melakukan pengendalian dan dilarang memiliki saham dengan hak suara pada masing-masing Bank lebih dari 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah saham Bank. (2) Bank-bank dengan Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. mencatat kepemilikan saham dengan hak suara bagi yang bersangkutan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah saham Bank; b. memberikan hak suara bagi yang bersangkutan dalam Rapat Umum Pemegang Saham paling tinggi sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah saham Bank. (3) Bank-bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menatausahakan jumlah kelebihan saham di atas 10% (sepuluh perseratus) milik Pemegang Saham Pengendali sebagai saham tanpa hak suara sampai dengan saham dimaksud dialihkan kepada pihak lain. Pasal 10 … - 8 - Pasal 10 Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) wajib mengalihkan saham tanpa hak suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) kepada pihak lain paling lambat 1 (satu) tahun setelah berakhirnya jangka waktu penyesuaian struktur kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. Pasal 11 Saham tanpa hak suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) tidak diperhitungkan dalam menentukan jumlah korum Rapat Umum Pemegang Saham yang harus dicapai sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan atau Anggaran Dasar. Pasal 12 Bank yang melanggar ketentuan dalam Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Pasal 13 (1) Pemegang Saham Pengendali yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dikenakan sanksi administratif berupa larangan menjadi Pemegang Saham Pengendali pada seluruh bank di Indonesia untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. (2) Pengenaan … - 9 - (2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban Pemegang Saham Pengendali dimaksud untuk tetap mengalihkan saham tanpa hak suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. Pasal 14 Bank Holding Company yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa penilaian kemampuan dan kepatutan (Fit and Proper Test) terhadap pengurus. Pasal 15 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 5 Oktober 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 73 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/16/PBI/2006 TENTANG KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA UMUM Konsolidasi perbankan merupakan salah satu prasyarat untuk mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat. Dengan konsolidasi perbankan diharapkan terjadi peningkatan economic of scale dari bank-bank di Indonesia dan peningkatan efektivitas pengawasan bank, khususnya melalui pengawasan bank secara terkonsolidasi. Langkah-langkah konsolidasi perbankan dilakukan antara lain melalui penataan kembali struktur kepemilikan pada perbankan Indonesia, khususnya melalui penerapan kebijakan kepemilikan tunggal (single presence policy). Pada prinsipnya kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia diberlakukan untuk kepemilikan saham Bank oleh Pemegang Saham Pengendali yang diperoleh setelah berlakunya ketentuan ini. Namun demikian untuk mendukung tercapainya tujuan dari kebijakan tersebut, maka Pemegang Saham Pengendali Bank yang telah mengendalikan lebih dari 1 (satu) Bank Umum pada saat mulai berlakunya ketentuan ini juga wajib melakukan penyesuaian struktur kepemilikan sahamnya pada Bank-bank yang dikendalikannya. Untuk … - 2 - Untuk melakukan penyesuaian struktur kepemilikan saham Bank dimaksud Pemegang Saham Pengendali dapat memilih dari beberapa alternatif cara penyesuaian yang disediakan oleh ketentuan ini. Beberapa alternatif cara penyesuaian tersebut diberikan dengan mengacu pada tujuan kebijakan kepemilikan tunggal, yakni konsolidasi perbankan dan peningkatan efektivitas pengawasan bank, dengan tetap memperhatikan kepentingan para Pemegang Saham Pengendali yang sudah menanamkan modalnya di perbankan Indonesia. Penerapan kebijakan kepemilikan tunggal, termasuk kewajiban penyesuaian struktur kepemilikan bagi pemegang saham pengendali yang telah mengendalikan lebih dari 1 (satu) bank, memberikan pengecualian bagi kantor cabang bank asing dan bank campuran, mengingat Indonesia terikat pada komitmen yang telah diberikan dalam perjanjian putaran Uruguay pada forum World Trade Organization untuk tetap menghargai kehadiran pihak asing dalam bentuk kantor cabang bank asing dan bank campuran (Joint Venture Bank). Demikian juga pengecualian diberikan bagi Pemegang Saham Pengendali yang mengendalikan 2 (dua) Bank yang masing-masing melakukan kegiatan usaha dengan prinsip yang berbeda, yakni secara konvensional dan berdasarkan prinisp Syariah, mengingat berdasarkan karakteristiknya, kedua jenis Bank dimaksud lebih tepat melakukan kegiatan usaha sebagai badan usaha yang terpisah. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 … - 3 - Pasal 2 Ayat (1) Sesuai ketentuan Bank Indonesia tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test), bagi Pemegang Saham Pengendali yang merupakan badan hukum, pengertian Pemegang Saham Pengendali adalah sampai dengan pemegang saham terakhir (ultimate shareholder) dari badan hukum yang bersangkutan. Sejalan dengan itu, pengertian mengenai telah melakukan pengendalian baik secara langsung maupun tidak langsung juga mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test). Ayat (2) Huruf a Berdasarkan ketentuan ini, apabila Pemegang Saham Pengendali memiliki lebih dari 2 (dua) Bank dan diantaranya terdapat beberapa Bank yang memiliki prinsip kegiatan usaha yang sama, maka kepemilikan atas Bank-bank dengan prinsip kegiatan usaha yang sama tersebut tidak memperoleh pengecualian. Sebagai contoh: Pemegang Saham Pengendali yang telah memiliki 1 (satu) Bank konvensional dan 1 (satu) Bank berdasarkan Prinsip Syariah yang kemudian mengakuisisi Bank berdasarkan Prinsip Syariah, maka Pemegang Saham Pengendali tersebut wajib melakukan merger atau konsolidasi atas kedua Bank berdasarkan Prinsip Syariah tersebut. Huruf b … - 4 - Huruf b Yang dimaksud dengan Bank Campuran dalam ketentuan ini adalah Bank yang didirikan dan dimiliki oleh bank yang berkedudukan di luar negeri dan Bank di Indonesia yang telah memperoleh izin usaha sebelum mulai berlakunya Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan pada saat mulai berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini komposisi pemegang saham masih tetap bank yang berkedudukan di luar negeri dan Bank di Indonesia. Sejalan dengan penjelasan dalam huruf a, apabila Pemegang Saham Pengendali Bank Campuran memiliki lebih dari 1 (satu) Bank lain bukan Bank Campuran, maka kepemilikan atas Bank- bank bukan Bank Campuran tersebut tidak memperoleh pengecualian. Sebagai contoh: Pemegang Saham Pengendali yang telah memiliki 1 (satu) Bank Campuran dan 1 (satu) Bank lain bukan Bank Campuran yang kemudian mengakuisisi Bank lain, maka Pemegang Saham Pengendali tersebut wajib melakukan merger atau konsolidasi atas kedua Bank yang bukan Bank Campuran tersebut. Huruf c Cukup jelas Pasal 3 … - 5 - Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Pihak lain sebagaimana dimaksud dalam ayat ini adalah pihak di luar kelompok usaha dan atau keluarga sampai dengan derajat kedua dari Pemegang Saham Pengendali. Pengalihan sebagian atau seluruh saham Pemegang Saham Pengendali kepada pihak lain dilakukan sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang Akuisisi Bank Umum dan Pembelian Saham Bank Umum. Huruf b Merger atau konsolidasi dilakukan sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang merger atau konsolidasi Bank Umum. Huruf c Dengan ketentuan ini maka Bank-bank yang dikendalikan oleh Pemegang Saham Pengendali tersebut tetap ada sebagaimana semula, namun saham yang semula dimiliki secara langsung atau tidak Ayat (2) Cukup jelas Pasal 4 Ayat (1) Dokumen pendukung yang Indonesia meliputi antara lain: a. Berita … wajib disampaikan kepada Bank langsung oleh Pemegang Saham Pengendali dialihkan kepemilikannya kepada Bank Holding Company. - 6 - a. Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham masing-masing Bank; b. Rancangan anggaran dasar dan daftar calon pengurus Bank Holding Company; c. Rancangan akta pengalihan saham Bank. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 7 … - 7 - Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Penyampaian rencana penyesuaian struktur kepemilikan dialamatkan kepada Bank Indonesia c.q. Direktorat Pengawasan Bank terkait. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Penyampaian perkembangan pelaksanaan rencana penyesuaian struktur kepemilikan dialamatkan kepada Direktorat Pengawasan Bank terkait. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam huruf ini tidak mempengaruhi pencatatan akuntansi maupun permodalan Bank. Huruf b … Bank Indonesia c.q. - 8 - Huruf b Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 10 Pihak lain sebagaimana dimaksud dalam ayat ini adalah pihak di luar kelompok usaha dan atau keluarga sampai dengan derajat kedua dari Pemegang Saham Pengendali yang bersangkutan. Pengalihan saham dari Pemegang Saham Pengendali kepada pihak lain dilakukan sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang Akuisisi Bank Umum dan Pembelian Saham Bank Umum. Pasal 11 Korum ditentukan berdasarkan jumlah saham dengan hak suara. Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Yang dimaksud dengan bank dalam Pasal ini adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998. Pasal 14 … - 9 - Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4642
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 8/16/PBI/2006 </reg_id> <reg_title> KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA </reg_title> <set_date> 5 Oktober 2006 </set_date> <effective_date> 5 Oktober 2006 </effective_date> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal 12', 'Pasal 13', 'Pasal 14' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/ 8 /PBI/2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/12/PBI/2009 TENTANG UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketentuan uang elektronik perlu diselaraskan dengan ketentuan transfer dana; b. bahwa untuk mendukung pertumbuhan industri uang elektronik yang sehat perlu adanya peningkatan keamanan teknologi dan efisiensi penyelenggaraan uang elektronik; c. bahwa dalam rangka mendukung keuangan inklusif diperlukan perluasan akses kepada masyarakat untuk memperoleh layanan jasa sistem pembayaran dan keuangan dengan meningkatkan penggunaan uang elektronik sebagai salah satu instrumen dalam layanan keuangan digital; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money); Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun … - 2 - Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5204); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/12/PBI/2009 TENTANG UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY). Pasal I … - 3 - Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5001) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, dan bank syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 2. Lembaga Selain Bank adalah badan usaha berbadan hukum Indonesia bukan Bank. 3. Uang Elektronik (Electronic Money) adalah alat pembayaran yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a. diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit; b. nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip; c. digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan merupakan penerbit uang elektronik tersebut; dan d. nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang- undang yang mengatur mengenai perbankan. 4. Nilai Uang Elektronik adalah nilai uang yang disimpan secara elektronik pada suatu media server atau chip yang dapat dipindahkan untuk kepentingan transaksi pembayaran dan/atau transfer dana. 5. Prinsipal adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang bertanggungjawab atas pengelolaan sistem dan/atau jaringan antar… - 4 - antar anggotanya yang berperan sebagai penerbit dan/atau acquirer, dalam transaksi Uang Elektronik yang kerja sama dengan anggotanya didasarkan atas suatu perjanjian tertulis. 6. Penerbit adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang menerbitkan Uang Elektronik. 7. Acquirer adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang: a. melakukan kerja sama dengan pedagang sehingga pedagang mampu memproses transaksi dari Uang Elektronik yang diterbitkan oleh pihak selain acquirer yang bersangkutan; dan b. bertanggungjawab atas penyelesaian pembayaran kepada pedagang. 8. Pemegang adalah pihak yang menggunakan Uang Elektronik. 9. Pedagang (merchant) adalah penjual barang dan/atau jasa yang menerima transaksi pembayaran dari Pemegang. 10. Pengisian Ulang (top up) adalah penambahan Nilai Uang Elektronik pada Uang Elektronik. 11. Dana Float adalah seluruh Nilai Uang Elektronik yang diterima Penerbit atas hasil penerbitan Uang Elektronik dan/atau Pengisian Ulang (top up) yang masih merupakan kewajiban Penerbit kepada Pemegang dan Pedagang. 12. Tarik Tunai adalah fasilitas penarikan tunai atas Nilai Uang Elektronik yang dapat dilakukan setiap saat oleh Pemegang. 13. Penyelenggara Kliring adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan perhitungan hak dan kewajiban keuangan masing-masing Penerbit dan/atau Acquirer dalam rangka transaksi Uang Elektronik. 14. Penyelenggara Penyelesaian Akhir adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan dan bertanggungjawab terhadap penyelesaian akhir atas hak dan kewajiban keuangan masing- masing Penerbit dan/atau Acquirer dalam rangka transaksi Uang Elektronik berdasarkan hasil perhitungan dari Penyelenggara Kliring. 15. Layanan Keuangan Digital yang selanjutnya disingkat LKD adalah kegiatan layanan jasa sistem pembayaran dan keuangan yang dilakukan … - 5 - dilakukan melalui kerja sama dengan pihak ketiga serta menggunakan sarana dan perangkat teknologi berbasis mobile maupun berbasis web dalam rangka keuangan inklusif. 16. Agen LKD adalah pihak ketiga yang bekerjasama dengan Penerbit dan bertindak untuk dan atas nama Penerbit dalam memberikan LKD. 2. Diantara Pasal 1 dan Pasal 2 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 1A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1A (1) Berdasarkan pencatatan data identitas Pemegang, Uang Elektronik dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu: a. Uang Elektronik yang data identitas Pemegangnya terdaftar dan tercatat pada Penerbit (registered); dan b. Uang Elektronik yang data identitas Pemegangnya tidak terdaftar dan tidak tercatat pada Penerbit (unregistered). (2) Fasilitas yang dapat diberikan oleh Penerbit jenis Uang Elektronik registered sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berupa: a. registrasi Pemegang; b. Pengisian Ulang (top up); c. pembayaran transaksi; d. pembayaran tagihan; e. transfer dana; f. Tarik Tunai; g. penyaluran program bantuan pemerintah kepada masyarakat; dan/atau h. fasilitas lain berdasarkan persetujuan Bank Indonesia. (3) Fasilitas yang dapat diberikan oleh Penerbit jenis Uang Elektronik unregistered sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berupa: a. Pengisian Ulang (top up); b. pembayaran transaksi; c. pembayaran tagihan; d. fasilitas … - 6 - d. fasilitas lain berdasarkan persetujuan Bank Indonesia. 3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Kegiatan sebagai Penerbit dapat dilakukan oleh Bank atau Lembaga Selain Bank. (2) Bank yang akan bertindak sebagai Penerbit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin sebagai Penerbit dari Bank Indonesia. (3) Lembaga Selain Bank yang akan bertindak sebagai Penerbit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin sebagai Penerbit dari Bank Indonesia jika: a. Dana Float yang dikelola telah mencapai nilai tertentu; atau b. Dana Float direncanakan akan mencapai nilai tertentu. (4) Dalam hal Lembaga Selain Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) akan menyediakan fasilitas transfer dana melalui Uang Elektronik yang diterbitkan maka Lembaga Selain Bank tersebut wajib memenuhi persyaratan sebagai Penerbit Uang Elektronik yang memiliki fasilitas transfer dana. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk memperoleh izin sebagai Penerbit sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), termasuk ketentuan mengenai nilai Dana Float sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 4. Diantara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 9A dan Pasal 9B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9A (1) Izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang diberikan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 berlaku untuk jangka waktu selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang oleh Bank Indonesia. (2) Selama … - 7 - (2) Selama berlakunya jangka waktu izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan evaluasi atas izin penyelenggaraan Uang Elektronik yang telah diberikan dengan mempertimbangkan paling kurang: a. tingkat optimalisasi dan perkembangan kegiatan penyelenggaraan Uang Elektronik; b. tingkat kepatuhan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir terhadap ketentuan yang berlaku; dan/atau c. aspek perlindungan konsumen. (3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar pertimbangan bagi Bank Indonesia untuk menetapkan kebijakan terkait izin yang telah diberikan. (4) Kebijakan terhadap izin yang diberikan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa: a. pencabutan izin; b. mempersingkat masa berlaku izin; dan/atau c. membatasi kegiatan penyelenggaraan Uang Elektronik. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perpanjangan izin, serta tata cara evaluasi perizinan penyelenggaraan Uang Elektronik diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 9B (1) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan pembatasan pemberian izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. (2) Dalam rangka kebijakan pembatasan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia berwenang menutup dan membuka kembali pemberian izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. (3) Kebijakan … - 8 - (3) Kebijakan pembatasan dan pembukaan kembali pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada pertimbangan antara lain menjaga efisiensi nasional, mendukung kebijakan nasional, menjaga kepentingan publik, menjaga pertumbuhan industri, dan menjaga persaingan usaha yang sehat. 5. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia hanya dapat bekerjasama dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia. (2) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir dapat bekerjasama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik. (3) Terhadap kerja sama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan dalam rangka penyediaan layanan umum, dilarang dilakukan secara eksklusif. 6. Diantara Pasal 11 dan Pasal 12 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 11A dan Pasal 11B, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11A (1) Kerja sama Penerbit dengan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dapat dilakukan dalam rangka: a. penyediaan fasilitas dalam Uang Elektronik berupa: 1. fasilitator registrasi Pemegang; 2. Pengisian Ulang (top up); 3. pembayaran tagihan; 4. Tarik Tunai; 5. penyaluran … - 9 - 5. penyaluran program bantuan pemerintah kepada masyarakat; dan 6. fasilitas lain berdasarkan persetujuan Bank Indonesia. b. penyediaan sarana dan infrastruktur pendukung penyelenggaraan Uang Elektronik. (2) Pihak lain yang bekerjasama dengan Penerbit dalam rangka penyediaan fasilitas Uang Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa: a. penyelenggara transfer dana; atau b. badan usaha berbadan hukum Indonesia. (3) Penyelenggara transfer dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut: a. telah memperoleh izin dari Bank Indonesia; b. menempatkan deposit pada Penerbit dengan jumlah sesuai yang ditetapkan Penerbit; dan c. lulus proses uji tuntas (due diligence) oleh Penerbit. (4) Badan usaha berbadan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut: a. memiliki kemampuan, reputasi, dan integritas di wilayah operasionalnya; b. telah melaksanakan kegiatan usaha paling kurang selama 2 (dua) tahun; c. menempatkan deposit pada Penerbit dengan jumlah sesuai yang ditetapkan Penerbit; dan d. lulus proses uji tuntas (due diligence) oleh Penerbit. (5) Penerbit wajib memastikan pemenuhan persyaratan pihak lain yang bekerjasama dengan Penerbit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4). (6) Pelaksanaan kerja sama Penerbit dengan pihak lain wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia. (7) Ketentuan … - 10 - (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme kerja sama Penerbit dengan pihak lain dan tata cara penyampaian laporan kepada Bank Indonesia diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 11B Dalam hal Penerbit bekerjasama dengan pihak lain untuk melakukan registrasi Pemegang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (1) huruf a angka 1, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. persetujuan registrasi Pemegang tetap menjadi wewenang dan tanggung jawab Penerbit; dan b. Penerbit dan pihak lain yang bekerjasama dengan Penerbit harus menerapkan prinsip-prinsip anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme, serta perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 7. Diantara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 12A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12A (1) Penerbit dapat mengenakan biaya layanan fasilitas Uang Elektronik kepada Pemegang. (2) Biaya layanan yang dapat dikenakan oleh Penerbit kepada Pemegang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. biaya penggantian media Uang Elektronik untuk penggunaan pertama kali atau penggantian media Uang Elektronik yang rusak atau hilang; b. biaya Pengisian Ulang (top up) melalui pihak lain yang bekerjasama dengan Penerbit atau menggunakan delivery channel pihak lain; c. biaya Tarik Tunai melalui pihak lain yang bekerjasama dengan Penerbit atau menggunakan delivery channel pihak lain; dan/atau d. biaya administrasi untuk Uang Elektronik yang tidak digunakan dalam jangka waktu tertentu. (3) Dalam … - 11 - (3) Dalam hal Penerbit akan mengenakan biaya layanan kepada Pemegang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Penerbit wajib menginformasikan secara jelas dan transparan kepada Pemegang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pengenaan biaya layanan dan besarnya biaya layanan maksimum yang dapat dikenakan oleh Penerbit kepada Pemegang diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 8. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Penerbit dilarang menerbitkan Uang Elektronik dengan Nilai Uang Elektronik yang lebih besar atau lebih kecil daripada nilai uang yang disetorkan kepada Penerbit. (2) Dalam hal Penerbit melakukan pengelolaan Nilai Uang Elektronik dan pengelolaan nilai yang setara dengan nilai uang, berlaku ketentuan: a. pencatatan dan/atau pengelolaan Nilai Uang Elektronik harus dipisahkan dari pencatatan dan/atau pengelolaan nilai yang setara dengan nilai uang lainnya; dan b. nilai yang setara dengan nilai uang tidak dapat dikonversikan menjadi Nilai Uang Elektronik. 9. Diantara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 13A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13A (1) Nilai uang yang disetorkan ke dalam Uang Elektronik harus dapat digunakan atau ditransaksikan seluruhnya sampai bersaldo nihil. (2) Penerbit Uang Elektronik dilarang: a. menetapkan minimum Nilai Uang Elektronik sebagai: 1. persyaratan penggunaan Uang Elektronik; dan/atau 2. persyaratan pengakhiran penggunaan Uang Elektronik (redeem); b. menahan … - 12 - b. menahan atau memblokir Nilai Uang Elektronik secara sepihak; dan/atau c. mengenakan biaya pengakhiran penggunaan Uang Elektronik (redeem). 10. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Uang Elektronik yang dapat menyediakan fasilitas transfer dana adalah Uang Elektronik registered dan diproses secara online. (2) Penerbit yang menyediakan fasilitas transfer dana melalui Uang Elektronik wajib menyediakan fasilitas Tarik Tunai. (3) Dalam rangka penyediaan fasilitas Tarik Tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penerbit dapat bekerjasama dengan tempat penguangan tunai sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai transfer dana. (4) Pelaksanaan kegiatan transfer dana melalui Uang Elektronik selain tunduk pada Peraturan Bank Indonesia ini wajib pula tunduk pada peraturan perundang-undangan terkait yang berlaku. 11. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib: a. menggunakan sistem yang aman dan andal; b. memelihara, meningkatkan keamanan teknologi Uang Elektronik, dan/atau mengganti infrastruktur dan sistem Uang Elektronik dengan yang lebih aman; c. memiliki kebijakan dan prosedur tertulis (standard operating procedure) penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik; dan d. menjaga keamanan dan kerahasiaan data. (2) Dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau … - 13 - dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib melaksanakan audit teknologi informasi secara berkala dan melaporkan hasil audit teknologi informasi tersebut kepada Bank Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keamanan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan audit dan tata cara pelaporan hasil audit teknologi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 12. Di antara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 24A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24A (1) Bank Indonesia berwenang meminta laporan kepada: a. penyelenggara Uang Elektronik yang belum memperoleh izin Bank Indonesia; dan b. penyelenggara alat pembayaran non tunai yang berupa stored value. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 13. Diantara Bab VI dan Bab VII disisipkan 1 (satu) Bab, yakni Bab VIA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB VIA PENYELENGGARAAN LAYANAN KEUANGAN DIGITAL Bagian Kesatu Penyelenggaraan Pasal 24B (1) Penerbit dapat menyelenggarakan LKD. (2) Penyelenggaraan LKD oleh Penerbit dilakukan melalui kerja sama dengan Agen LKD. Pasal 24C … - 14 - Pasal 24C Agen LKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24B ayat (2) dapat berupa: a. penyelenggara transfer dana atau badan usaha berbadan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (2); dan/atau b. individu. Bagian Kedua Persyaratan Penyelenggara LKD melalui Agen LKD Individu Pasal 24D (1) Penyelenggaraan LKD melalui Agen LKD individu hanya dapat dilakukan oleh Penerbit berupa Bank. (2) Penerbit berupa Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berbadan hukum Indonesia; b. kategori Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 sesuai penilaian periode terakhir oleh otoritas pengawasan Bank; c. telah menjadi Penerbit paling singkat selama 2 (dua) tahun; dan d. memenuhi persyaratan operasional yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Penerbit berupa Bank yang akan menyelenggarakan LKD melalui Agen LKD individu wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia rencana penyelenggaraan kegiatan LKD melalui Agen LKD individu. (4) Bank Indonesia memberikan penegasan terhadap rencana penyelenggaraan kegiatan LKD melalui Agen LKD individu yang disampaikan oleh Penerbit berupa Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Penegasan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan setelah mendapat pertimbangan dari otoritas pengawasan Bank. (6) Ketentuan … - 15 - (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, penyampaian rencana penyelenggaraan LKD melalui Agen LKD individu, dan penegasan Bank Indonesia diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Ketiga Agen LKD Individu Pasal 24E (1) Agen LKD individu harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut: a. memiliki kemampuan, reputasi, dan integritas di wilayah operasionalnya; b. memiliki usaha yang sedang berjalan dengan lokasi usaha tetap paling singkat 2 (dua) tahun; c. lulus proses uji tuntas (due diligence) oleh Penerbit berupa Bank; dan d. menempatkan deposit dengan jumlah sesuai yang ditetapkan Penerbit berupa Bank. (2) Uang Elektronik yang dapat digunakan dalam penyelenggaraan LKD melalui Agen LKD individu adalah Uang Elektronik registered dan diproses secara online. (3) Layanan yang dapat dilakukan oleh Agen LKD individu meliputi: a. fasilitator registrasi Pemegang; b. Pengisian Ulang (top up); c. pembayaran tagihan; d. Tarik Tunai; e. penyaluran program bantuan pemerintah kepada masyarakat; dan f. fasilitas lain berdasarkan persetujuan Bank Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan Agen LKD individu dan layanan yang dapat dilakukan oleh Agen LKD individu diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian … - 16 - Bagian Keempat Kewajiban dan Tanggung Jawab Penyelenggara LKD Pasal 24F (1) Penerbit yang akan menyelenggarakan LKD melalui Agen LKD harus menyampaikan kepada Bank Indonesia rencana penyelenggaraan kegiatan LKD melalui Agen LKD. (2) Penerbit wajib bertanggungjawab atas seluruh kegiatan yang dilakukan oleh Agen LKD. (3) Penerbit wajib memastikan pemenuhan persyaratan Agen LKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (3), Pasal 11A ayat (4), dan Pasal 24E ayat (1). Pasal 24G (1) Penerbit yang bekerjasama dengan Agen LKD wajib menyampaikan laporan mengenai kegiatan LKD kepada Bank Indonesia secara berkala. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 14. Diantara Pasal 25 dan Pasal 26 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 25A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25A Bank atau Lembaga Selain Bank yang mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia untuk memperoleh izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir harus terlebih dahulu memperoleh: a. izin atau persetujuan dari otoritas pengawas Bank bagi Bank; atau b. rekomendasi tertulis dari otoritas pengawas Lembaga Selain Bank bagi Lembaga Selain Bank. 15. Ketentuan … - 17 - 15. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 11A, Pasal 11B, Pasal 12, Pasal 12A ayat (3), Pasal 13, Pasal 13A, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 24, Pasal 24D, Pasal 24F, Pasal 24G, Pasal 29, dan/atau Pasal 50 dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran; b. denda; c. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan Uang Elektronik; dan/atau d. pencabutan izin penyelenggaraan Uang Elektronik. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi dan besarnya denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 16. Pasal 34 dihapus. 17. Pasal 35 dihapus. 18. Pasal 36 dihapus. 19. Pasal 37 dihapus. 20. Pasal 38 dihapus. 21. Pasal 40 dihapus. 22. Pasal 41 dihapus. 23. Pasal 42 dihapus. 24. Pasal … - 18 - 24. Pasal 43 dihapus. 25. Pasal 44 dihapus. 26. Pasal 45 dihapus. 27. Pasal 46 dihapus. 28. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47 (1) Selain dalam rangka penerapan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Bank Indonesia berwenang: a. meminta Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir untuk melakukan dan/atau tidak melakukan kegiatan tertentu; b. menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir; c. membatalkan izin yang telah diberikan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir; atau d. mencabut izin Uang Elektronik yang telah diberikan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. (2) Pelaksanaan kewenangan Bank Indonesia untuk melaksanakan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kondisi antara lain: a. hasil pengawasan Bank Indonesia yang menunjukkan bahwa Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir tidak dapat menyelenggarakan Uang Elektronik dengan baik; b. hasil evaluasi atas izin penyelenggaraan Uang Elektronik yang telah diberikan kepada Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara … - 19 - Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9A; c. terdapat permintaan pihak yang berwajib kepada Bank Indonesia untuk menghentikan sementara kegiatan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dalam rangka mendukung proses hukum yang berlaku; d. terdapat rekomendasi dari otoritas pengawas yang berwenang kepada Bank Indonesia untuk menghentikan sementara kegiatan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir; e. otoritas pengawas yang berwenang telah mencabut izin usaha dan/atau menghentikan kegiatan usaha Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir; atau f. adanya permohonan pembatalan dan/atau pencabutan izin yang diajukan sendiri oleh Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia. (3) Dalam rangka memastikan kebenaran laporan yang disampaikan dan memastikan pemenuhan ketentuan penyelenggaraan Uang Elektronik oleh Penerbit yang menyelenggarakan kegiatan LKD, Bank Indonesia dapat meminta laporan, keterangan, dan/atau data, termasuk melakukan pemeriksaan langsung (on site visit) terhadap Agen LKD. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kewenangan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal II … - 20 - Pasal II 1. Permohonan izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tunduk pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/11/DASP tanggal 13 April 2009 perihal Uang Elektronik (Electronic Money). 2. Izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang telah diberikan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, tetap berlaku dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. 3. Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang telah bekerjasama dengan pihak lain dalam rangka penyediaan layanan umum yang dilakukan secara eksklusif sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian kerja sama tersebut. 4. Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 5. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar … - 21 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 8 April 2014 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 8 April 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 69 DKSP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 16/8/PBI/2014 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/12/PBI/2009 TENTANG UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY) </reg_title> <set_date> 8 April 2014 </set_date> <effective_date> 8 April 2014 </effective_date> <issued_date> 8 April 2014 </issued_date> <changed_reg> '11/12/PBI/2009' </changed_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 15 Pasal 33 Ayat (1)' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 7 /PBI/2012 TENTANG PENGELOLAAN UANG RUPIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; b. bahwa dalam rangka melaksanakan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, Bank Indonesia berwenang melakukan pengelolaan uang Rupiah yang meliputi perencanaan, pencetakan, pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan, serta pemusnahan uang Rupiah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pengelolaan Uang Rupiah; Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang . . . -2- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELOLAAN UANG RUPIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Uang Rupiah adalah Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. 2. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah seluruh wilayah teritorial Indonesia, termasuk kapal dan pesawat terbang yang berbendera Republik Indonesia, Kedutaan Republik Indonesia . . . -3- Indonesia, dan kantor perwakilan Republik Indonesia lainnya di luar negeri. 3. Ciri Uang Rupiah adalah tanda tertentu pada setiap Uang Rupiah yang ditetapkan dengan tujuan untuk menunjukkan identitas, membedakan harga atau nilai nominal, dan mengamankan Uang Rupiah tersebut dari upaya pemalsuan. 4. Kertas Uang adalah bahan baku yang digunakan untuk membuat Uang Rupiah kertas yang mengandung unsur pengaman dan yang tahan lama. 5. Logam Uang adalah bahan baku yang digunakan untuk membuat Uang Rupiah logam yang mengandung unsur pengaman dan yang tahan lama. 6. Uang Rupiah Kertas adalah Uang Rupiah dalam bentuk lembaran yang terbuat dari Kertas Uang. 7. Uang Rupiah Logam adalah Uang Rupiah dalam bentuk koin yang terbuat dari Logam Uang. 8. Uang Rupiah Tidak Layak Edar adalah Uang Rupiah yang terdiri atas Uang Rupiah lusuh, Uang Rupiah cacat, dan Uang Rupiah rusak. 9. Uang Rupiah Lusuh adalah Uang Rupiah yang ukuran dan bentuk fisiknya tidak berubah dari ukuran aslinya, tetapi kondisinya telah berubah yang antara lain karena jamur, minyak, bahan kimia, atau coretan. 10. Uang Rupiah Cacat adalah Uang Rupiah hasil cetak yang spesifikasi teknisnya tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. 11. Uang Rupiah Rusak adalah Uang Rupiah yang ukuran atau fisiknya telah berubah dari ukuran aslinya yang antara lain karena terbakar, berlubang, hilang sebagian, atau Uang Rupiah yang ukuran . . . -4- ukuran fisiknya berbeda dengan ukuran aslinya, antara lain karena robek atau mengerut. 12. Uang Rupiah Khusus adalah Uang Rupiah yang dikeluarkan secara khusus untuk tujuan tertentu atau dalam rangka memperingati peristiwa yang bersifat nasional atau internasional dan memiliki nilai nominal yang berbeda dengan nilai jualnya. 13. Uang Rupiah Tiruan adalah suatu benda yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai Uang Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, atau diedarkan, tidak digunakan sebagai alat pembayaran dengan merendahkan kehormatan Uang Rupiah sebagai simbol negara. 14. Uang Rupiah Palsu adalah suatu benda yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai Uang Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, diedarkan, atau digunakan sebagai alat pembayaran secara melawan hukum. 15. Pengelolaan Uang Rupiah adalah suatu kegiatan yang mencakup Perencanaan, Pencetakan, Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah yang dilakukan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. 16. Perencanaan adalah suatu rangkaian kegiatan menetapkan besarnya jumlah dan jenis pecahan yang akan dicetak berdasarkan perkiraan kebutuhan Uang Rupiah dalam periode tertentu. 17. Pencetakan adalah suatu rangkaian kegiatan mencetak Uang Rupiah. 18. Pengeluaran adalah suatu rangkaian kegiatan menerbitkan Uang Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 19. Pengedaran adalah suatu rangkaian kegiatan mengedarkan atau mendistribusikan Uang Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 20. Pencabutan . . . -5- 20. Pencabutan dan Penarikan adalah rangkaian kegiatan yang menetapkan Uang Rupiah tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 21. Pemusnahan adalah suatu rangkaian kegiatan meracik, melebur, atau cara lain memusnahkan Uang Rupiah sehingga tidak menyerupai Uang Rupiah. 22. Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia. 23. Bank adalah Bank Umum sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank Umum Syariah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. BAB II MACAM DAN PECAHAN UANG RUPIAH Pasal 2 (1) Macam Uang Rupiah terdiri atas Uang Rupiah Kertas dan Uang Rupiah Logam. (2) Bank Indonesia menetapkan macam Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk setiap pecahan Uang Rupiah yang dikeluarkan. Pasal 3 (1) Harga Uang Rupiah merupakan nilai nominal yang tercantum pada setiap pecahan Uang Rupiah. (2) Bank Indonesia menetapkan pecahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB III . . . -6- BAB III CIRI, DESAIN, DAN BAHAN BAKU UANG RUPIAH Pasal 4 (1) Bank Indonesia menetapkan Ciri Uang Rupiah. (2) Ciri Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas ciri umum dan ciri khusus. (3) Ciri umum Uang Rupiah Kertas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat: a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”; b. frasa “Negara Kesatuan Republik Indonesia”; c. frasa “Bank Indonesia”; d. sebutan pecahan dalam angka dan huruf sebagai nilai nominalnya; e. tanda tangan Pemerintah dan Bank Indonesia; f. nomor seri pecahan; g. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI...”; dan h. tahun emisi dan tahun cetak. (4) Ciri umum Uang Rupiah Logam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat: a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”; b. frasa “Republik Indonesia”; c. frasa “Bank Indonesia”; d. sebutan pecahan dalam angka sebagai nilai nominalnya; dan e. tahun emisi. (5) Ciri khusus Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki fungsi sebagai pengaman yang terdapat pada desain, bahan, dan teknik cetak. (6) Ciri . . . -7- (6) Ciri khusus Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bersifat terbuka, semi tertutup, dan tertutup. Pasal 5 (1) Ciri Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) tidak memuat gambar orang yang masih hidup. (2) Gambar pahlawan nasional dan/atau Presiden dicantumkan sebagai gambar utama pada bagian depan Uang Rupiah. Pasal 6 (1) Bank Indonesia menetapkan desain Uang Rupiah yang terdiri atas ciri, tanda tertentu, ukuran, dan unsur pengaman. (2) Tanda tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup warna, gambar, ukuran, besar, bahan baku Uang Rupiah, dan tanda lainnya. (3) Unsur pengaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk di dalamnya ciri atau tanda yang dapat dipergunakan oleh tunanetra. Pasal 7 (1) Bank Indonesia menetapkan bahan baku Uang Rupiah yang terdiri atas Kertas Uang atau Logam Uang. (2) Kertas Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terbuat dari bahan kertas atau bahan lainnya. (3) Logam Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terbuat dari aluminium, aluminium bronze, kupronikel, baja, atau bahan logam lainnya. (4) Bank Indonesia melaksanakan pengadaan bahan baku Uang Rupiah dan jasa yang terkait dengan pengadaan bahan baku Uang Rupiah. (5) Pengadaan . . . -8- (5) Pengadaan bahan baku Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengutamakan produk dalam negeri dengan menjaga mutu, keamanan, dan harga yang bersaing. (6) Pelaksanaan pengadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai pengadaan di Bank Indonesia. BAB IV PENGELOLAAN UANG RUPIAH Pasal 8 (1) Bank Indonesia melakukan Pengelolaan Uang Rupiah yang meliputi tahapan: a. Perencanaan; b. Pencetakan; c. Pengeluaran; d. Pengedaran; e. Pencabutan dan Penarikan; dan f. Pemusnahan Uang Rupiah. (2) Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang melakukan Pengeluaran, Pengedaran, dan/atau Pencabutan dan Penarikan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e. (3) Bank Indonesia melaksanakan seluruh tahapan Pengelolaan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mengikuti prosedur pengamanan. BAB V . . . -9- BAB V PERENCANAAN UANG RUPIAH Pasal 9 (1) Bank Indonesia melakukan Perencanaan dan penentuan jumlah Uang Rupiah yang dicetak dengan memperhatikan antara lain asumsi tingkat inflasi, asumsi pertumbuhan ekonomi, rencana macam dan pecahan Uang Rupiah, serta perkiraan jumlah Uang Rupiah yang dimusnahkan. (2) Bank Indonesia menyediakan jumlah Uang Rupiah yang akan diedarkan. BAB VI PENCETAKAN UANG RUPIAH Pasal 10 (1) Bank Indonesia melakukan Pencetakan Uang Rupiah di dalam negeri dengan menunjuk badan usaha milik negara sebagai pelaksana Pencetakan Uang Rupiah. (2) Penunjukkan badan usaha milik negara sebagai pelaksana Pencetakan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia mengenai pengadaan jasa pencetakan Uang Rupiah di Bank Indonesia. (3) Dalam hal badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyatakan tidak sanggup melaksanakan Pencetakan Uang Rupiah, maka badan usaha milik negara tersebut dapat menunjuk lembaga lain untuk bekerja sama dalam pelaksanaan Pencetakan Uang Rupiah dengan memenuhi persyaratan Pencetakan Uang Rupiah yang disepakati sebelumnya antara badan usaha milik negara dan Bank Indonesia. (4) Penunjukan . . . -10- (4) Penunjukan lembaga lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh badan usaha milik negara melalui proses yang transparan dan akuntabel serta menguntungkan negara, dan harus memperoleh persetujuan Bank Indonesia. (5) Dalam hal badan usaha milik negara tidak dapat memenuhi persyaratan Pencetakan Uang Rupiah yang disepakati sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka Bank Indonesia dapat menetapkan kebijakan lain dalam rangka menjaga ketersediaan Uang Rupiah. (6) Badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan lembaga lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus menjaga mutu, keamanan, dan harga yang bersaing dalam melaksanakan Pencetakan Uang Rupiah untuk Bank Indonesia. BAB VII PENGELUARAN UANG RUPIAH Pasal 11 (1) Bank Indonesia menetapkan tanggal, bulan, dan tahun mulai berlakunya Uang Rupiah yang dikeluarkan sebagai alat pembayaran yang sah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2) Bank Indonesia mengeluarkan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Peraturan Bank Indonesia yang ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan diumumkan melalui media massa. (3) Uang Rupiah yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari bea materai. BAB VIII . . . -11- BAB VIII PENGEDARAN UANG RUPIAH Bagian Kesatu Pengedaran Uang Rupiah Pasal 12 (1) Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang mengedarkan Uang Rupiah kepada masyarakat. (2) Pengedaran Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia sesuai dengan kebutuhan jumlah uang beredar. (3) Bank Indonesia menentukan nomor seri Uang Rupiah Kertas dalam rangka Pengedaran Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Kedua Layanan Kas dan Distribusi Uang Rupiah Pasal 13 (1) Kegiatan Pengedaran Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dilakukan melalui kegiatan layanan kas dan distribusi Uang Rupiah. (2) Kegiatan layanan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari penyetoran, penarikan, dan penukaran. (3) Penyetoran dan penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Bank dan/atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank. (4) Bank dan/atau pihak lain yang melaksanakan penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib terlebih dahulu melakukan penyortiran dan penghitungan Uang Rupiah yang akan disetorkan kepada Bank Indonesia dengan benar. (5) Penyetoran . . . -12- (5) Penyetoran dan penarikan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme dan persyaratan penyetoran serta penarikan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 14 (1) Bank harus terlebih dahulu melakukan transaksi Uang Rupiah antar-Bank sebelum dapat memperoleh layanan penyetoran dan/atau penarikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2). (2) Dalam kondisi tertentu, Bank Indonesia dapat menetapkan Bank tidak harus melakukan transaksi Uang Rupiah antar-Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Mekanisme transaksi Uang Rupiah antar-Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam kesepakatan tertulis antar-Bank (bye-laws). (4) Dalam rangka pelaksanaan penyetoran dan penarikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), Bank wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis laporan serta mekanisme penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 15 Bank Indonesia melakukan kegiatan distribusi Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) yang meliputi distribusi Uang Rupiah: a. antarkantor. . . -13- a. antarkantor Bank Indonesia; b. ke lokasi penyimpanan Uang Rupiah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan/atau c. ke lokasi pihak lain yang melakukan kerjasama dengan Bank Indonesia dalam layanan kas. Bagian Ketiga Pengolahan Uang Rupiah oleh Bank dan/atau Pihak Lain yang Ditunjuk oleh Bank Pasal 16 (1) Dalam rangka menjaga kualitas Uang Rupiah yang beredar dan mencegah beredarnya Uang Rupiah Palsu di masyarakat, Bank dan/atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank wajib melakukan pengolahan Uang Rupiah dengan memenuhi ketentuan Bank Indonesia. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengolahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Keempat Penukaran Uang Rupiah Pasal 17 (1) Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia memberikan layanan penukaran Uang Rupiah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, dengan ketentuan sebagai berikut: a. penukaran Uang Rupiah dapat dilakukan dalam pecahan yang sama atau pecahan yang lain; dan/atau b. penukaran. . . -14- b. penukaran Uang Rupiah Lusuh, Uang Rupiah Cacat, dan/atau Uang Rupiah Rusak sebagian karena terbakar atau sebab lainnya diberikan penggantian sesuai dengan persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Bank Indonesia tidak memberikan penggantian atas Uang Rupiah yang hilang atau musnah karena sebab apapun. Pasal 18 (1) Bank Indonesia memberikan penggantian atas Uang Rupiah Lusuh atau Uang Rupiah Cacat dengan nilai yang sama nominalnya. (2) Penggantian atas Uang Rupiah Lusuh atau Uang Rupiah Cacat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Bank Indonesia apabila tanda keaslian Uang Rupiah tersebut masih dapat diketahui atau dikenali. Pasal 19 (1) Bank Indonesia memberikan penggantian atas Uang Rupiah Rusak dengan ketentuan sebagai berikut: a. Uang Rupiah Kertas 1. dalam hal fisik Uang Rupiah Kertas lebih besar dari 2/3 (dua pertiga) ukuran aslinya dan Ciri Uang Rupiah dapat dikenali keasliannya, diberikan penggantian sebesar nilai nominal dengan persyaratan: a) Uang Rupiah Kertas rusak masih merupakan satu kesatuan dengan atau tanpa nomor seri yang lengkap; atau b) Uang Rupiah Kertas rusak tidak merupakan satu kesatuan, dan kedua nomor seri pada Uang Rupiah Kertas rusak tersebut lengkap dan sama. 2. dalam. . . -15- 2. dalam hal fisik Uang Rupiah Kertas sama dengan atau kurang dari 2/3 (dua pertiga) ukuran aslinya, tidak diberikan penggantian. b. Uang Rupiah Logam 1. dalam hal fisik Uang Rupiah Logam lebih besar dari 1/2 (satu perdua) ukuran aslinya dan Ciri Uang Rupiah dapat dikenali keasliannya, diberikan penggantian sebesar nilai nominal; 2. dalam hal fisik Uang Rupiah Logam sama dengan atau kurang dari 1/2 (satu perdua) ukuran aslinya, tidak diberikan penggantian. c. Uang Rupiah Kertas yang terbuat dari bahan plastik (polimer) 1. dalam hal fisik Uang Rupiah Kertas mengerut dan masih utuh serta Ciri Uang Rupiah dapat dikenali keasliannya, diberikan penggantian sebesar nilai nominal; 2. dalam hal fisik Uang Rupiah Kertas mengerut dan tidak utuh, diberikan penggantian sebesar nilai nominal sepanjang Ciri Uang Rupiah masih dapat dikenali keasliannya dan fisik Uang Rupiah lebih besar dari 2/3 (dua pertiga) ukuran aslinya. (2) Uang Rupiah Lusuh atau Uang Rupiah Cacat dalam kondisi rusak sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan penggantian dengan nilai yang sama nominalnya. (3) Uang Rupiah Rusak sebagian karena terbakar diberikan penggantian dengan nilai yang sama nominalnya, sepanjang menurut penelitian Bank Indonesia masih dapat dikenali keasliannya dan memenuhi persyaratan untuk dapat diberikan penggantian. (4) Bank. . . -16- (4) Bank Indonesia tidak memberikan penggantian atas Uang Rupiah Rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila menurut Bank Indonesia kerusakan Uang Rupiah tersebut diduga dilakukan secara sengaja atau dilakukan secara sengaja. Pasal 20 (1) Bank yang beroperasi di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menyediakan layanan penukaran Uang Rupiah kepada masyarakat sesuai ketentuan penukaran Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan layanan penukaran Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Kelima Penyetoran Uang Rupiah ke Bank Pasal 21 Bank yang beroperasi di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menerima penyetoran Uang Rupiah dari nasabah dalam berbagai jumlah dan jenis pecahan. BAB IX PENCABUTAN DAN PENARIKAN Pasal 22 (1) Bank Indonesia menetapkan Uang Rupiah tidak sebagai alat pembayaran yang sah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan cara mencabut dan menarik Uang Rupiah dari peredaran. (2) Pencabutan . . . -17- (2) Pencabutan dan Penarikan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan Peraturan Bank Indonesia yang ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan diumumkan melalui media massa. (3) Bank Indonesia memberikan penggantian atas Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar nilai nominal yang sama. (4) Hak untuk memperoleh penggantian atas Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku setelah 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal pencabutan. (5) Jangka waktu penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diatur sebagai berikut: a. 5 (lima) tahun sejak tanggal pencabutan, penukaran dilakukan di Bank Indonesia, Bank yang beroperasi di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia; dan b. 5 (lima) tahun sejak berakhirnya jangka waktu penukaran sebagaimana dimaksud pada huruf a, penukaran dilakukan di Bank Indonesia. (6) Untuk Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dalam kondisi lusuh, cacat atau rusak, besarnya penggantian adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19. BAB X PEMUSNAHAN UANG RUPIAH Pasal 23 (1) Bank Indonesia melaksanakan Pemusnahan terhadap: a. Uang Rupiah Tidak Layak Edar; b. Uang . . . -18- b. Uang Rupiah yang masih layak edar yang dengan pertimbangan tertentu tidak lagi mempunyai manfaat ekonomis dan/atau kurang diminati oleh masyarakat; dan/atau c. Uang Rupiah yang sudah tidak berlaku. (2) Jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia secara periodik setiap 1 (satu) tahun sekali. BAB XI KOORDINASI DENGAN PEMERINTAH Pasal 24 (1) Pengelolaan Uang Rupiah yang meliputi Perencanaan, Pencetakan, dan Pemusnahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf f dilakukan oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah. (2) Pelaksanaan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam nota kesepahaman antara Bank Indonesia dan Pemerintah. (3) Pelaksanaan koordinasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam bentuk pemberitahuan dan tukar menukar informasi sebagai bahan pertimbangan Bank Indonesia. BAB XII PENENTUAN KEASLIAN UANG RUPIAH Pasal 25 (1) Bank Indonesia berwenang untuk menentukan keaslian Uang Rupiah. (2) Berdasarkan . . . -19- (2) Berdasarkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank Indonesia menyatakan Uang Rupiah yang tidak memenuhi Ciri Uang Rupiah sebagai Uang Rupiah tidak asli. (3) Uang Rupiah tidak asli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa Uang Rupiah Palsu atau Uang Rupiah Tiruan. (4) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia memberikan informasi dan pengetahuan mengenai tanda keaslian Uang Rupiah kepada masyarakat. (5) Dalam pelaksanaan pemberian informasi dan pengetahuan mengenai tanda keaslian Uang Rupiah kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia dapat bekerjasama dengan pihak lain. Pasal 26 (1) Masyarakat dapat meminta klarifikasi kepada Bank Indonesia tentang Uang Rupiah yang diragukan keasliannya. (2) Dalam hal berdasarkan hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Uang Rupiah tersebut dinyatakan asli, Bank Indonesia memberikan penggantian sebesar nilai nominal. (3) Dalam hal Uang Rupiah yang dinyatakan asli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam kondisi lusuh, cacat, atau rusak sebagian, besarnya penggantian sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19. (4) Dalam hal berdasarkan hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Uang Rupiah tersebut dinyatakan tidak asli, Bank Indonesia tidak memberikan penggantian dan Uang Rupiah tidak asli tersebut diproses sesuai ketentuan yang berlaku. Pasal 27 . . . -20- Pasal 27 (1) Bank harus menahan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya yang diterima dari masyarakat. (2) Terhadap Uang Rupiah yang diragukan keasliannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank meminta klarifikasi kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26. BAB XIII KERJASAMA PENANGGULANGAN UANG RUPIAH PALSU Pasal 28 Dalam rangka mendukung penanggulangan Uang Rupiah Palsu, Bank Indonesia melakukan kerjasama dengan badan yang mengoordinasikan pemberantasan Uang Rupiah Palsu dan/atau instansi yang berwenang. BAB XIV UANG RUPIAH KHUSUS Pasal 29 (1) Bank Indonesia dapat mengeluarkan Uang Rupiah Khusus baik atas inisiatif Bank Indonesia sendiri atau atas permohonan pihak lain. (2) Bank Indonesia menetapkan tanggal, bulan, dan tahun mulai berlakunya Uang Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal Uang Rupiah Khusus dikeluarkan atas permohonan pihak lain, Bank Indonesia mengenakan royalti atas pengeluaran Uang Rupiah Khusus dimaksud. (4) Macam Uang Rupiah Khusus yang dikeluarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari Uang Rupiah Kertas dan Uang Rupiah Logam. (5) Uang . . . -21- (5) Uang Rupiah Khusus memiliki Ciri Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4). (6) Uang Rupiah Kertas yang dikeluarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berbentuk Uang Rupiah Kertas bersambung (uncut banknotes). (7) Uang Rupiah Khusus yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia merupakan alat pembayaran yang sah dan dijamin oleh Bank Indonesia sebesar nilai nominal. (8) Pengeluaran Uang Rupiah Khusus dilakukan dengan Peraturan Bank Indonesia yang ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan diumumkan melalui media massa. (9) Uang Rupiah Khusus dikeluarkan oleh Bank Indonesia dalam jumlah terbatas. (10) Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia melakukan pengedaran Uang Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (11) Dalam hal pengeluaran Uang Rupiah Khusus dilakukan atas permohonan pihak lain, distribusi dan penjualan Uang Rupiah Khusus tersebut dapat dilakukan oleh pihak yang mengajukan permohonan pengeluaran Uang Rupiah Khusus dimaksud. BAB XV PENYEDIAAN SARANA SOSIALISASI UANG RUPIAH EMISI BARU DAN KRITERIA CONTOH UANG RUPIAH Pasal 30 (1) Bank Indonesia menyediakan sarana untuk mensosialisasikan setiap Uang Rupiah emisi baru dalam bentuk spesimen Uang Rupiah Kertas, visualisasi melalui teknologi informasi, dan/atau bentuk lainnya. (2) Spesimen . . . -22- (2) Spesimen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan alat pembayaran yang sah. Pasal 31 (1) Bank Indonesia menetapkan kriteria contoh Uang Rupiah atau benda yang menyerupai Uang Rupiah yang dapat digunakan untuk tujuan pendidikan dan/atau promosi. (2) Contoh Uang Rupiah atau benda yang menyerupai Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mencantumkan kata “spesimen”. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria contoh Uang Rupiah atau benda yang menyerupai Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB XVI PENGAWASAN Pasal 32 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Bank dan/atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank dalam melakukan pengolahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1). (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang lingkup dan tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB XVII SANKSI Pasal 33 Bank yang tidak melakukan penghitungan dan penyortiran Uang Rupiah yang akan disetorkan kepada Bank Indonesia dengan benar sebagaimana . . . -23- sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; b. kewajiban menjalani uji petik untuk setiap kegiatan penyetoran Uang Rupiah selama jangka waktu tertentu apabila Bank telah memperoleh 3 (tiga) kali teguran tertulis untuk jenis pelanggaran yang sama; c. penolakan terhadap kegiatan penyetoran Uang Rupiah dalam hal berdasarkan uji petik sebagaimana dimaksud pada huruf b, kegiatan penyetoran Uang Rupiah tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 34 (1) Dalam hal berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) terdapat Bank dan/atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank yang melanggar kewajiban pengolahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, dikenakan sanksi berupa teguran tertulis. (2) Selain teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan pembinaan kepada Bank dan/atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank, termasuk meminta komitmen untuk perbaikan. (3) Bank atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank yang telah memperoleh surat teguran dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang tidak melaksanakan perbaikan sesuai komitmen yang diberikan, dikenakan sanksi berupa larangan untuk melakukan kegiatan penyetoran Uang Rupiah dalam jangka waktu tertentu. Pasal 35 . . . -24- Pasal 35 Bank yang menolak menerima penyetoran Uang Rupiah dari nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. BAB XVIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 36 Ciri umum Uang Rupiah Kertas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 2014. Pasal 37 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, maka semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tanggal 22 Juni 2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007 tanggal 30 Agustus 2007 dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 38 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tanggal 22 Juni 2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah; dan b. Peraturan . . . -25- b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007 tanggal 30 Agustus 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tanggal 22 Juni 2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 39 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar . . . -26- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 27 Juni 2012 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 27 Juni 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 138 DPU PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 7 /PBI/2012 TENTANG PENGELOLAAN UANG RUPIAH I. UMUM Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat memiliki mata uang yang disebut Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengertian Rupiah dalam Peraturan Bank Indonesia ini adalah Uang Rupiah dalam arti fisik yaitu terbatas pada uang kartal berupa Uang Rupiah Kertas dan Uang Rupiah Logam. Dalam kehidupan perekonomian, peranan Uang Rupiah sangatlah penting karena Uang Rupiah mempunyai beberapa fungsi antara lain sebagai alat penukar atau alat pembayar dan pengukur harga sehingga dapat dikatakan bahwa Uang Rupiah merupakan salah satu alat utama perekonomian. Peranan Uang Rupiah dalam perekonomian akan mendukung tujuan bernegara yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur. Bank Indonesia sebagai bank sentral di Negara Kesatuan Republik Indonesia diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, memiliki kewenangan dan tugas Pengelolaan Uang Rupiah mulai dari Perencanaan, Pencetakan, Pengeluaran, Pengedaran, serta Pencabutan dan Penarikan, sampai dengan Pemusnahan Uang Rupiah. Dalam pelaksanaan kewenangan . . . -2- kewenangan dan tugas Pengelolaan Uang Rupiah dimaksud, Bank Indonesia juga melakukan koordinasi dengan Pemerintah dalam Perencanaan, Pencetakan, dan Pemusnahan Uang Rupiah. Secara garis besar materi muatan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini meliputi (i) pengaturan mengenai pecahan dan macam Uang Rupiah, ciri, desain dan bahan baku Uang Rupiah; (ii) pengaturan mengenai Pengelolaan Uang Rupiah; (iii) pengaturan mengenai koordinasi dengan Pemerintah dalam rangka perencanaan, pencetakan dan pemusnahan Uang Rupiah; (iv) pengaturan mengenai penentuan keaslian Uang Rupiah; (v) pengaturan mengenai kerjasama penanggulangan Uang Rupiah Palsu; (vi) pengaturan mengenai Uang Rupiah Khusus; (vii) pengaturan mengenai penyediaan sarana sosialisasi Uang Rupiah emisi baru dan kriteria contoh Uang Rupiah; (viii) pengaturan mengenai pengawasan; dan (ix) pengaturan mengenai sanksi. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) . . . -3- Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan “bersifat terbuka (overt)” adalah unsur pengaman yang dapat dideteksi tanpa bantuan alat. Yang dimaksud dengan “bersifat semi tertutup (semicovert)” adalah unsur pengaman yang dapat dideteksi dengan menggunakan alat yang sederhana seperti kaca pembesar dan lampu ultraviolet (UV). Yang dimaksud dengan “bersifat tertutup (covert/forensic)” adalah unsur pengaman yang hanya dapat dideteksi dengan menggunakan peralatan laboratorium/forensik. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pahlawan nasional” adalah pahlawan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “bagian depan Uang Rupiah” adalah sisi desain Uang Rupiah yang terdapat gambar lambang Negara “Garuda Pancasila”. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 . . . -4- Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “bahan lainnya” antara lain polimer, serat sintetis, atau campuran antara kertas dengan serat sintetis. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “jasa yang terkait dengan pengadaan bahan baku Uang Rupiah” antara lain jasa forwarding dan asuransi terkait kegiatan pengadaan bahan baku Uang Rupiah. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “mengutamakan produk dalam negeri” adalah dalam hal mutu telah sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, keamanan proses dan prosedur yang diterapkan oleh calon penyedia bahan baku Uang Rupiah telah sesuai dengan standar internasional dan/atau persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia maka: a. dalam hal harga negosiasi terakhir yang diajukan oleh 2 (dua) atau lebih calon penyedia bahan baku Uang Rupiah adalah sama, maka pengutamaan produk dalam negeri dilakukan berdasarkan besaran komponen dalam negeri pada bahan baku Uang Rupiah yang ditunjukkan dengan nilai tingkat komponen dalam negeri yang tertinggi; dan/atau b. dalam . . . -5- b. dalam hal terdapat calon penyedia bahan baku Uang Rupiah dalam negeri yang menawarkan produk dengan nilai tingkat komponen dalam negeri sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih, maka ditentukan harga evaluasi akhir berdasarkan harga negosiasi terakhir dengan memperhitungkan preferensi harga paling tinggi 15% (lima belas persen). Penentuan pemenang penyedia bahan baku Uang Rupiah dilakukan berdasarkan harga evaluasi akhir. Dalam hal terdapat 2 (dua) atau lebih calon penyedia bahan baku Uang Rupiah dengan harga evaluasi akhir yang sama maka pemenang ditentukan berdasarkan nilai tingkat komponen dalam negeri yang tertinggi. Nilai tingkat komponen dalam negeri mengacu pada daftar inventarisasi barang/jasa produksi dalam negeri yang diterbitkan oleh Kementerian yang membidangi urusan perindustrian. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Prosedur pengamanan dalam Pengelolaan Uang Rupiah mengikuti ketentuan Bank Indonesia sesuai dengan tahapan Pengelolaan Uang Rupiah yang menerapkan prinsip-prinsip good governance. Pasal 9 . . . -6- Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “tidak sanggup melaksanakan Pencetakan Uang Rupiah” adalah ketidaksanggupan yang disebabkan oleh keadaan kahar (force majeure) dan bencana sosial, seperti bencana alam, pemogokan, atau terjadinya suatu kondisi yang menyebabkan akan tidak terpenuhinya kewajiban Pencetakan Uang Rupiah sehingga dapat mengganggu persediaan Uang Rupiah. Yang dimaksud dengan “persyaratan Pencetakan Uang Rupiah yang disepakati sebelumnya antara Bank Indonesia dengan badan usaha milik negara” antara lain persyaratan spesifikasi, harga, volume, dan jadwal. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Kebijakan lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia antara lain Bank Indonesia dapat mensyaratkan cara pengadaan tertentu dalam penunjukkan lembaga lain. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 . . . -7- Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “sesuai dengan kebutuhan jumlah uang beredar” adalah sesuai dengan kebutuhan masyarakat terkait dengan jumlah nominal dan jenis pecahan Uang Rupiah tertentu. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “menentukan nomor seri” adalah menentukan susunan huruf dan/atau angka serta bentuk nomor seri untuk dicantumkan dalam desain Uang Rupiah Kertas sebagai salah satu unsur pengaman. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “penyetoran” adalah kegiatan Bank atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank untuk melakukan penyetoran Uang Rupiah ke Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan “penarikan” adalah kegiatan Bank atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank untuk melakukan penarikan Uang Rupiah dari Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan “penukaran” adalah kegiatan penerimaan Uang Rupiah oleh Bank Indonesia dari masyarakat dengan memberikan penggantian berupa Uang Rupiah yang masih layak edar dalam pecahan yang sama atau pecahan lainnya. Ayat (3) . . . -8- Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Kegiatan penyortiran merupakan kegiatan memilih dan memilah Uang Rupiah antara lain menurut keaslian, kelayakan edar, pecahan, dan tahun emisi. Dalam kegiatan penyortiran termasuk pula melakukan penyusunan gambar utama pada bagian depan dan bagian belakang Uang Rupiah, yang searah. Penyortiran dan penghitungan Uang Rupiah telah dilakukan oleh Bank dengan benar apabila tercampurnya Uang Rupiah Tidak Layak Edar dengan Uang Rupiah yang masih layak edar, selisih lebih atau kurang, dan/atau jumlah Uang Rupiah Palsu, tidak melebihi batas toleransi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “transaksi Uang Rupiah antar-Bank” adalah transaksi uang kartal antar-Bank. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” antara lain apabila berdasarkan pemantauan Bank Indonesia terdapat kelebihan atau kekurangan likuiditas Uang Rupiah layak edar di daerah tertentu, keadaan kahar (force majeure), dan/atau menjelang . . . -9- menjelang dan setelah hari besar keagamaan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Laporan yang disampaikan antara lain mengenai posisi kelebihan atau kekurangan likuiditas Uang Rupiah layak edar, transaksi uang kartal mingguan, dan proyeksi cash flow bulanan. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 15 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pihak lain yang melakukan kerjasama dengan Bank Indonesia dalam layanan kas antara lain pengelola kas titipan. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pengolahan Uang Rupiah” antara lain meliputi kegiatan penghitungan, penyortiran, pengemasan, pengangkutan, dan pengisian anjungan tunai mandiri. Kegiatan penyortiran merupakan kegiatan memilih dan memilah Uang Rupiah antara lain menurut keaslian, kelayakan edar, pecahan, dan tahun emisi. Dalam kegiatan penyortiran termasuk pula melakukan penyusunan gambar utama pada bagian depan dan bagian belakang Uang Rupiah, yang searah. Ayat (2) . . . -10- Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Uang Rupiah yang hilang atau musnah” adalah Uang Rupiah yang karena suatu sebab, fisik dan/atau tanda keasliannya telah hilang atau musnah. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Kerusakan Rupiah diduga dilakukan secara sengaja apabila tanda-tanda kerusakan fisik Uang Rupiah meyakinkan Bank Indonesia adanya dugaan unsur kesengajaan, misalnya terdapat bekas potongan dengan alat tajam atau alat lainnya, benang pengaman hilang seluruhnya atau sebagian karena dirusak, dan/atau jumlah Uang Rupiah yang ditukarkan relatif banyak dengan pola kerusakan yang sama. Kerusakan Uang Rupiah dilakukan secara sengaja apabila berdasarkan pembuktian melalui laboratorium dan/atau putusan pengadilan disimpulkan atau diputuskan bahwa Uang Rupiah dirusak secara sengaja. Pasal 20 . . . -11- Pasal 20 Ayat (1) Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan Uang Rupiah yang layak edar dan jenis pecahan yang sesuai, Bank menyediakan layanan penukaran Uang Rupiah. Sepanjang Bank masih memiliki persediaan Uang Rupiah yang layak edar yang dibutuhkan oleh masyarakat, maka Bank tersebut tidak boleh menolak permintaan penukaran Uang Rupiah dari masyarakat. Dalam pengertian “masyarakat” termasuk pula pihak-pihak yang tidak memiliki rekening di Bank yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 21 Nasabah melakukan penyetoran Uang Rupiah ke Bank dengan mengikuti prosedur dan tata cara yang ditetapkan oleh Bank. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Uang Rupiah yang sudah tidak berlaku” adalah Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran. Ayat (2) Jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia meliputi jenis pecahan, jumlah bilyet atau keping, dan nilai nominal. Data jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan yang ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia untuk periode 1 (satu) . . . -12- 1 (satu) tahun yaitu data dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Uang Rupiah tidak asli” adalah benda yang menyerupai Uang Rupiah tetapi tidak memenuhi ciri-ciri keaslian Uang Rupiah. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Bank harus menahan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya dalam rangka penanggulangan peredaran Uang Rupiah Palsu. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Uang Rupiah yang diragukan keasliannya” termasuk Uang Rupiah Rusak yang tidak merupakan satu kesatuan dan memiliki nomor seri berbeda. Pasal 28 . . . -13- Pasal 28 Kerjasama dilakukan antara lain dalam bentuk pertukaran data dan informasi, pelaksanaan pemberian informasi dan pengetahuan kepada masyarakat. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan “Uang Rupiah Kertas bersambung (uncut banknotes)” adalah lembaran Uang Rupiah Kertas yang terdiri dari 2 (dua) lembar (bilyet), 4 (empat) lembar (bilyet), atau lebih dan masih merupakan satu kesatuan. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Peraturan Bank Indonesia mengatur antara lain mengenai macam, harga, ciri, dan jumlah Uang Rupiah Khusus. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) . . . -14- Ayat (10) Yang dimaksud dengan “pengedaran Uang Rupiah Khusus” mencakup kegiatan antara lain pendistribusian dan penjualan Uang Rupiah Khusus. Ayat (11) Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Spesimen Uang Rupiah Kertas emisi baru disampaikan kepada Bank, bank sentral negara lain, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau pihak lain yang dipandang perlu oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 . . . -15- Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5323 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 14/7/PBI/2012 </reg_id> <reg_title> PENGELOLAAN UANG RUPIAH </reg_title> <set_date> 27 Juni 2012 </set_date> <effective_date> 27 Juni 2012 </effective_date> <issued_date> 27 Juni 2012 </issued_date> <replaced_reg> '6/14/PBI/2004', '9/10/PBI/2007' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XVII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 37 /PBI/2008 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah; b. bahwa kestabilan nilai rupiah memerlukan dukungan pasar keuangan yang sehat, khususnya pasar valuta asing domestik, untuk mendukung perekonomian nasional; c. bahwa peran Bank Indonesia diperlukan untuk mendorong perkembangan pasar valuta asing yang sehat melalui pengaturan yang strategis dan komprehensif, khususnya terkait dengan transaksi valuta asing terhadap rupiah; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk mengatur ketentuan mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan … -2- Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); M E M U T U S K A N Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH. BAB I … -3- BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah . 2. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah transaksi jual beli valuta asing terhadap rupiah dalam bentuk : a. transaksi spot, termasuk transaksi yang dilakukan dengan valuta today dan/atau valuta tomorrow; b. transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah yang standar (plain vanilla) dalam bentuk forward, swap, option, dan transaksi lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu; 3. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank. 4. Kegiatan Ekspor/Impor adalah: a. mengirimkan barang dan/atau jasa ke luar wilayah Indonesia (ekspor); b. memasukan barang dan/atau jasa ke dalam wilayah Indonesia (impor); dan/atau c. kegiatan perdagangan dalam negeri terkait dengan huruf a dan huruf b tersebut di atas. 5. Cerukan adalah saldo negatif pada rekening giro Nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari. BAB II … -4- BAB II PENGATURAN TRANSAKSI Pasal 2 (1) Bank dapat melakukan Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah dan/atau terhadap valuta asing lainnya untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah atas dasar suatu kontrak. (2) Dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, Bank wajib memiliki pedoman internal secara tertulis. Pasal 3 Dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Nasabah bukan Bank, Bank wajib menggunakan kuotasi harga (kurs) valuta asing terhadap rupiah yang ditetapkan oleh Bank. Pasal 4 (1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah wajib diselesaikan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. (2) Kewajiban penyelesaian Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan pemindahan dana pokok secara penuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan untuk : a. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan oleh Bank dan/atau Nasabah yang mengalami kejadian luar biasa (force majeure), berdasarkan penilaian Bank dan didukung dengan bukti dokumen yang memadai; b. Perpanjangan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk keperluan lindung nilai atas: 1. Kegiatan Ekspor/Impor yang mengalami force majeure, apabila jangka waktu Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah tersebut paling singkat 1 (satu) … -5- (satu) bulan dan dapat diperpanjang dengan frekuensi perpanjangan dan jangka waktu yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi; 2. dana usaha, modal disetor, laba ditahan, dan pinjaman sub-ordinasi Bank yang diperhitungkan dalam kewajiban pemenuhan modal minimum Bank, apabila jangka waktu Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah tersebut paling singkat 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang dengan frekuensi perpanjangan dan jangka waktu yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi; 3. kegiatan penyertaan langsung di sektor riil dengan jangka waktu paling singkat 1 (satu) tahun yang sumber dananya dalam valuta asing, apabila jangka waktu Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah tersebut paling singkat 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang dengan frekuensi perpanjangan dan jangka waktu yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi; 4. pinjaman luar negeri dalam valuta asing dengan jangka waktu paling singkat 1 (satu) tahun, apabila jangka waktu Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah tersebut paling singkat 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang dengan frekuensi perpanjangan dan jangka waktu yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi; 5. Surat Utang Negara, saham dan obligasi korporasi yang telah dimiliki paling singkat 3 (tiga) bulan, apabila jangka waktu Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah tersebut paling singkat 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang dengan frekuensi perpanjangan dan jangka waktu yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi; serta wajib didukung dengan bukti dokumen yang memadai. Pasal 5 (1) Bank dilarang melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah apabila transaksi atau potensi transaksi tersebut terkait dengan structured product. (2) Ketentuan … -6- (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Bank sebagai penerbit structured product maupun Bank sebagai agen penjual structured product (selling agent). Pasal 6 (1) Bank dilarang memberikan kredit dalam valuta asing dan/atau dalam rupiah kepada Nasabah untuk kepentingan transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah. (2) Pelarangan pemberian kredit valuta asing dan/atau rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan dalam rangka Kegiatan Ekspor/Impor. (3) Pemberian kredit valuta asing dan/atau rupiah untuk transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan dalam rangka Kegiatan Ekspor/Impor sebagaimana dimaksud ayat (2) wajib didukung dengan bukti dokumen yang memadai. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku untuk pihak asing. Pasal 7 (1) Bank dilarang memberikan Cerukan kepada Nasabah dalam rangka Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah. (2) Bank dilarang memberikan fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan Cerukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah. Pasal 8 Bank wajib melengkapi dan menatausahakan dokumen pendukung atas pelaksanaan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), dan Pasal 6. Pasal 9 … -7- Pasal 9 Dalam rangka pelaporan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, Bank berpedoman kepada ketentuan yang berlaku. Pasal 10 Selain wajib memenuhi ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini, Bank yang melakukan Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah wajib tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku lainnya yang terkait. BAB III SANKSI Pasal 11 Bank yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3 dan/atau Pasal 8 dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan Bank; c. pembekuan kegiatan usaha tertentu; d. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, pemegang saham dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemilik dan pengurus Bank; dan/atau e. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai rapat umum pemegang saham atau rapat anggota koperasi mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Bank Indonesia. Pasal 12 (1) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 dan/atau Pasal 7, dikenakan sanksi kewajiban membayar masing-masing sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari nilai nominal masing-masing transaksi yang dilanggar. (2) Perhitungan … -8- (2) Perhitungan nilai nominal transaksi yang dilanggar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. Pelanggaran terhadap kewajiban pemindahan dana pokok secara penuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dihitung dari nilai nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dimaksud; b. Pelanggaran terhadap Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dihitung dari nilai nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dimaksud; c. Pelanggaran terhadap larangan pemberian kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dihitung dari nilai persetujuan kredit yang digunakan untuk transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah; d. Pelanggaran terhadap larangan pemberian Cerukan dan/atau fasilitas yang lain yang dapat dipersamakan dengan Cerukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dihitung dari nilai Cerukan dan/atau fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan Cerukan yang diberikan Bank kepada Nasabah; (3) Total sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak sebesar Rp 27.000.000.000 (dua puluh tujuh milyar rupiah) dalam 1 (satu) tahun kalender. (4) Penghitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) menggunakan kurs tengah dari kurs transaksi Bank Indonesia pada tanggal terjadinya pelanggaran. BAB IV PERALIHAN Pasal 13 (1) Bank yang melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dalam rangka Kegiatan Ekspor/Impor atau yang terkait dengan Kegiatan Ekspor/Impor sebelum berlakunya … -9- berlakunya PBI ini dapat meneruskan transaksi dimaksud sampai dengan jatuh waktu kontrak. (2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang masih outstanding dalam suatu kontrak yang jatuh waktu setelah berlakunya PBI ini dapat diselesaikan tanpa pergerakan dana pokok antara lain melalui : a. Percepatan penyelesaian (early termination) atau penghentian (unwind) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah; b. Penyelesaian transaksi melalui restrukturisasi kontrak Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah; dan/atau c. Penyelesaian transaksi dengan menggunakan dana pinjaman dari Bank. (3) Penyelesaian transaksi dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan sepanjang terdapat kesepakatan tertulis antara pihak yang melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah. (4) Penyelesaian transaksi dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus menggunakan rupiah sepanjang memungkinkan. (5) Penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib dilengkapi dengan dokumen yang memadai. Pasal 14 Ketentuan yang mengatur mengenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berlaku pula terhadap Bank yang : a. melakukan penyelesaian transaksi bukan dalam rangka Kegiatan Ekspor/Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13; dan/atau b. melakukan penyelesaian Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang tidak didukung dengan dokumen yang memadai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3). BAB V … -10- BAB V PENUTUP Pasal 15 Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia Pasal 16 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 16 Desember 2008. GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 16 Desember 2008. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 198 DPD PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/ 37 /PBI/2008 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH I. UMUM Sebagai bank sentral yang diamanatkan undang-undang untuk mengemban tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia merumuskan berbagai kebijakan yang ditujukan bagi pencapaian tujuan tersebut. Sementara itu, pengembangan pasar valuta asing domestik yang maju dan sehat merupakan suatu langkah yang perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan peran pasar valuta asing domestik dalam pencapaian stabilitas nilai rupiah dan mendukung kegiatan perekonomian secara keseluruhan. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia perlu melakukan langkah-langkah penyempurnaan terhadap peraturan yang terkait dengan aktivitas transaksi valuta asing di pasar domestik melalui suatu pendekatan yang strategis dan komprehensif, sejalan dengan upaya untuk meminimalkan transaksi valuta asing terhadap rupiah yang bersifat spekulatif namun tetap mendukung aktivitas di sektor rill. Di samping itu, untuk meningkatkan kesadaran dan kehati-hatian Bank dalam melakukan transaksi valuta asing terhadap rupiah dalam bentuk transaksi derivatif, pengenaan sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi perlu dilakukan secara proporsional. II. PASAL … -2- II. PASAL DEMI PASAL BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Cukup jelas BAB II PENGATURAN TRANSAKSI Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kontrak adalah konfirmasi tertulis yang menunjukan terjadinya transaksi yang antara lain berupa dealing conversation, SWIFT/Telex/tested fax confirmation, atau konfirmasi tertulis lainnya Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Yang dimaksud dengan ”kuotasi harga (kurs) valuta asing terhadap rupiah” adalah harga (kurs) beli dan/atau harga (kurs) jual valuta asing terhadap rupiah yang ditetapkan oleh Bank dan menjadi dasar kesepakatan untuk melakukan transaksi. Pengertian Nasabah bukan Bank tidak termasuk Bank Indonesia. Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”pemindahan dana pokok secara penuh” untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah penyerahan dana secara riil untuk masing-masing transaksi jual dan/atau transaksi beli valuta asing … -3- asing terhadap Rupiah sebesar nilai penuh nominal transaksi atau ekuivalennya. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan ”kejadian luar biasa (force majeure)” adalah suatu keadaan yang menyebabkan Bank dan/atau Nasabah tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai dengan kontrak, yaitu: gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, angin topan, tanah longsor, kebakaran, kerusuhan masal, perang, aksi terorisme, pemogokan buruh, keterlambatan pengapalan/pengiriman barang, dan/atau kegagalan sistem yang digunakan dalam bertransaksi. Yang dimaksud dengan ”penilaian Bank” antara lain mencakup kewajaran atas akibat yang ditimbulkan dari force majeure yang dialami terhadap Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah. Bukti dokumen yang memadai antara lain berupa dokumen tertulis yang dikeluarkan oleh pemerintah, media massa atau media komunikasi lainnya. Huruf b Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Yang dimaksud dengan ”dana usaha, modal disetor, laba ditahan, dan pinjaman sub-ordinasi Bank yang diperhitungkan dalam kewajiban pemenuhan modal minimum Bank” adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum dan ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal … -4- modal minimum bank umum dengan memperhitungkan risiko pasar. Angka 3 Yang dimaksud dengan ”penyertaan langsung” adalah penanaman dana dalam bentuk saham pada perusahaan yang tidak melalui pasar modal. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Jangka waktu kepemilikan surat utang negara, saham dan obligasi korporasi paling singkat 3 (tiga) bulan didasarkan kepada perhitungan secara gabungan portofolio surat-surat berharga (basket of securities). Nilai nominal Surat Utang Negara, saham, dan/atau obligasi korporasi yang digunakan sebagai dasar (underlying) transaksi valuta asing terhadap rupiah dihitung berdasarkan harga perolehan. Surat Utang Negara terdiri dari obligasi negara dan surat perbendaharaan negara. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”structured product” adalah produk yang merupakan kombinasi berbagai instrumen dengan transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah, untuk tujuan mendapatkan tambahan income (return enhancement), yang dapat mendorong transaksi pembelian dan/atau penjualan valuta asing terhadap rupiah untuk tujuan spekulatif dan dapat menimbulkan ketidakstabilan nilai rupiah. Ayat (2) … -5- Ayat (2) Termasuk Bank sebagai agen penjual dalam hal ini adalah penjualan structured product luar negeri (offshore product) yang terkait dengan valuta asing terhadap rupiah. Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”kredit” adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang dan pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan ”pihak asing” adalah pihak asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit dalam valuta asing oleh Bank. Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 … -6- Pasal 9 Yang dimaksud dengan ”ketentuan yang berlaku” adalah ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum . Pasal 10 Yang dimaksud dengan ”ketentuan Bank Indonesia yang berlaku” antara lain ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta asing oleh Bank dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada Bank. BAB III SANKSI Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) … -7- Ayat (8) Kurs tengah Bank Indonesia dihitung dengan cara kurs jual transaksi ditambah kurs beli transaksi, dibagi 2 (dua). Pasal 12 Aturan pelaksanaan antara lain mencakup pengaturan tentang bukti dokumen. BAB IV PERALIHAN Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas BAB V PENUTUP Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4945
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/37/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH </reg_title> <set_date> 16 Desember 2008 </set_date> <effective_date> 16 Desember 2008 </effective_date> <issued_date> 16 Desember 2008 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2008', '23/UU/1999', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '2/PERPPU/2008' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III', 'BAB IV Pasal 14' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/22/PBI/2015 TENTANG KEWAJIBAN PEMBENTUKAN COUNTERCYCLICAL BUFFER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kecenderungan pertumbuhan kredit yang bersifat prosiklikal terhadap pertumbuhan ekonomi dapat menyebabkan penilaian risiko yang tidak proporsional; b. bahwa penilaian risiko yang tidak proporsional dapat menyebabkan peningkatan risiko sistemik; c. bahwa dalam rangka mencegah peningkatan risiko sistemik dari pertumbuhan kredit yang berlebihan dan untuk menyerap kerugian yang dapat ditimbulkan, diperlukan adanya tambahan modal sebagai penyangga berupa Countercyclical Buffer bagi bank; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Kewajiban Pembentukan Countercyclical Buffer; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 - 2 - Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/11/PBI/2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5546); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN PEMBENTUKAN COUNTERCYCLICAL BUFFER. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 2. Countercyclical Buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit dan/atau pembiayaan perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan. - 3 - BAB II KEWAJIBAN PEMBENTUKAN COUNTERCYLICAL BUFFER Pasal 2 Bank wajib membentuk Countercyclical Buffer. BAB III PENETAPAN COUNTERCYLICAL BUFFER Pasal 3 (1) Bank Indonesia menetapkan besaran dan waktu pemberlakuan Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Dalam menetapkan Countercyclical Buffer bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan kantor cabang dari Bank domestik yang berada di luar negeri, Bank Indonesia mengacu pada standar internasional mengenai industri perbankan atau kesepakatan antar otoritas. Pasal 4 (1) Besaran Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) ditetapkan dalam kisaran paling kurang sebesar 0% (nol persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari Aset Tertimbang Menurut Risiko. (2) Bank Indonesia dapat menetapkan besaran kisaran Countercyclical Buffer yang berbeda dari kisaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan perkembangan kondisi makroekonomi, sistem keuangan di Indonesia, dan/atau kondisi perekonomian global. - 4 - Pasal 5 (1) Untuk pertama kali, besarnya Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ditetapkan sebesar 0% (nol persen). (2) Kewajiban pembentukan Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016. (3) Perubahan besaran Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan waktu pemberlakuan Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 6 (1) Pembentukan Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib dipenuhi dengan komponen Modal Inti Utama (Common Equity Tier 1). (2) Bagi Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, pembentukan Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib dipenuhi dengan komponen pembentukan Capital Conservation Buffer yang berlaku bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. (3) Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperhitungkan setelah komponen Modal Inti Utama (Common Equity Tier 1) dialokasikan untuk memenuhi kewajiban penyediaan: a. modal inti utama minimum; b. modal inti minimum; dan c. modal minimum sesuai profil risiko. - 5 - BAB IV EVALUASI COUNTERCYLICAL BUFFER Pasal 7 (1) Bank Indonesia melakukan evaluasi besaran dan waktu pemberlakuan Countercyclical Buffer paling kurang 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan. (2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar untuk menetapkan besaran dan waktu pemberlakuan Countercyclical Buffer. (3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penetapan: a. tetap pada besaran Countercyclical Buffer yang berlaku; atau b. perlunya penyesuaian besaran Countercyclical Buffer. (4) Dalam hal berdasarkan evaluasi ditetapkan bahwa besaran Countercyclical Buffer tidak berubah maka Bank Indonesia mengeluarkan pengumuman di laman (website) Bank Indonesia. (5) Dalam hal berdasarkan evaluasi perlu ditetapkan perubahan Countercyclical Buffer maka Bank Indonesia menerbitkan Surat Edaran Bank Indonesia mengenai perubahan besaran dan waktu pemberlakuan Countercyclical Buffer. Pasal 8 (1) Bank Indonesia menetapkan penyesuaian Countercyclical Buffer sebagai berikut: a. kenaikan besaran Countercyclical Buffer; atau b. penurunan besaran Countercyclical Buffer. (2) Kenaikan besaran Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berlaku paling cepat 6 (enam) bulan dan paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak ditetapkan. - 6 - (3) Penurunan besaran Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berlaku paling cepat sejak ditetapkan. Pasal 9 Dalam menetapkan besaran dan waktu pemberlakuan Countercyclical Buffer, Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan. BAB V PENGAWASAN Pasal 10 Dalam melakukan pengawasan kewajiban pembentukan Countercyclical Buffer, Bank Indonesia berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 11 Bank Indonesia menginformasikan Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 5, dan Pasal 6 kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 7 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2015 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 373 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/22/PBI/2015 TENTANG KEWAJIBAN PEMBENTUKAN COUNTERCYCLICAL BUFFER I. UMUM Terdapat kecenderungan pertumbuhan kredit yang bersifat prosiklikal terhadap pertumbuhan ekonomi yaitu cenderung meningkat ketika perekonomian berada dalam fase ekspansi (boom) dan cenderung melambat ketika perekonomian menurun (bust). Perilaku prosiklikalitas pertumbuhan kredit terhadap pertumbuhan ekonomi tersebut dapat menyebabkan penilaian risiko yang tidak proporsional yaitu cenderung mengabaikan risiko pada fase ekspansi dan sebaliknya. Dalam rangka mencegah peningkatan risiko sistemik yang bersumber dari pertumbuhan kredit yang berlebihan dan agar bank dapat mengantisipasi kerugian yang dapat ditimbulkan, Basel Committee on Banking Supervision memperkenalkan tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) yang disebut Countercyclical Buffer. Countercyclical Buffer juga berfungsi untuk meningkatkan ketahanan perbankan, sehingga dapat meredam pertumbuhan kredit yang berlebihan pada fase ekspansi ekonomi dan menjadi pendukung pertumbuhan kredit pada fase kontraksi ekonomi. Risiko sistemik adalah potensi instabilitas sebagai akibat terjadinya gangguan yang menular (contagion) pada sebagian atau seluruh sistem keuangan karena interaksi dari faktor ukuran (size), kompleksitas usaha (complexity), dan keterkaitan antar institusi dan/atau pasar keuangan (interconnectedness), serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian - 2 - (procyclicality). II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “standar internasional yang mengatur industri perbankan” adalah Guidance for national authorities operating the countercyclical capital buffer yang diterbitkan Basel Committee on Banking Supervision. Dalam hal negara tertentu tidak tunduk pada standar internasional yang mengatur industri perbankan, penerapan Countercyclical Buffer mengacu pada kesepakatan antar otoritas. Pasal 4 Ayat (1) Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. - 3 - Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Modal Inti Utama (Common Equity Tier 1)” adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank. Ayat (2) Pembentukan Countercyclical Buffer tetap diwajibkan bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri meskipun home authority belum mewajibkan pembentukan Countercyclical Buffer di wilayah yurisdiksinya. Pembentukan Capital Conservation Buffer mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “kewajiban penyediaan modal inti utama minimum, modal inti minimum, dan modal minimum sesuai profil risiko” adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank. Countercyclical Buffer merupakan salah satu tambahan modal yang diwajibkan dalam ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pemberian waktu paling cepat 6 (enam) bulan dan paling lambat 12 (dua belas) bulan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada Bank dalam melakukan pembentukan tambahan modal. Ayat (3) Cukup jelas. - 4 - Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5813
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 17/22/PBI/2015 </reg_id> <reg_title> KEWAJIBAN PEMBENTUKAN COUNTERCYCLICAL BUFFER </reg_title> <set_date> 23 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 28 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2015 </issued_date> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '16/11/PBI/2014' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5 / 4 / PBI / 2003 TENTANG PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah ditunjuk oleh Pemerintah sebagai agen untuk melaksanakan lelang Surat Utang Negara di pasar perdana dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 66/KMK.01/2003 tanggal 10 Februari 2003; b. bahwa ketentuan pasar perdana telah ditetapkan oleh Pemerintah Keputusan Menteri Keuangan Nomor pelaksanaan lelang Surat Utang Negara di dengan 83/KMK.01/2003 tanggal 4 Maret 2003 tentang Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana; c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, serta untuk melaksanakan fungsi Bank Indonesia sebagai penatausaha Surat Utang Negara dan sebagai agen untuk pelaksanaan pembelian dan penjualan Surat Utang Negara di pasar sekunder, dipandang perlu untuk mengatur mekanisme lelang Surat Utang Negara yang transparan dan sistem penatausahaan Surat Utang Negara yang efisien, akurat dan terpercaya dalam Peraturan Bank Indonesia; efektif, Mengingat : … -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4236); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA. BAB I … -3- BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha perbankan konvensional. 2. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara. 3. Surat Perbendaharaan Negara adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto. 4. Obligasi Negara adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan atau dengan pembayaran bunga secara diskonto. 5. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan Surat Utang Negara untuk pertama kali. 6. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan Surat Utang Negara yang telah dijual di Pasar Perdana. 7. Peserta Lelang adalah Bank, Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Perusahaan Efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia untuk dapat ikut serta dalam Lelang Surat Utang Negara. 8. Diskonto … -4- 8. Diskonto adalah selisih antara harga pasar dengan nilai nominal. 9. Yield to Maturity atau Yield adalah tingkat imbal hasil (keuntungan) yang diharapkan oleh investor dalam persentase per tahun. 10. Penawaran Pembelian Kompetitif (competitive bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume dan tingkat diskonto atau tingkat imbal hasil (yield) yang diinginkan penawar. 11. Penawaran Pembelian Non-kompetitif (non-competitive bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume tanpa tingkat diskonto atau tingkat imbal hasil (yield) yang diinginkan penawar. 12. Lelang Surat Utang Negara adalah penjualan Surat Utang Negara dengan cara Peserta Lelang mengajukan Penawaran Pembelian Kompetitif dan Penawaran Pembelian Non-kompetitif dalam suatu periode waktu penawaran yang telah ditentukan dan diumumkan sebelumnya. 13. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi pencatatan kepemilikan surat berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan Bank, Sub-Registry, dan pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia. 14. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan kustodian yang ditunjuk Bank Indonesia untuk melakukan fungsi pencatatan kepemilikan surat berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan nasabah. 15. Delivery Versus Payment yang untuk selanjutnya disebut DVP adalah setelmen transaksi Surat Utang Negara dengan cara setelmen surat berharga dilakukan bersamaan dengan setelmen dana di Bank Indonesia. 16. Free of Payment yang untuk selanjutnya disebut FoP adalah setelmen transaksi Surat Utang Negara dengan cara setelmen surat berharga dilakukan di Central Registry, sedangkan setelmen dana dilakukan tidak secara bersamaan dengan setelmen surat berharga atau tanpa setelmen dana. atau BAB II … -5- BAB II FUNGSI BANK INDONESIA DALAM PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA Pasal 2 Dalam rangka membantu Pemerintah untuk mengelola Surat Utang Negara, Bank Indonesia melakukan hal-hal sebagai berikut : a. memberikan masukan dalam rangka menetapkan ketentuan dan persyaratan penerbitan Surat Utang Negara; b. bertindak sebagai agen lelang dalam penjualan Surat Utang Negara di Pasar Perdana yang antara lain mengusulkan kriteria dan persyaratan Peserta Lelang, melakukan seleksi calon Peserta Lelang, mengumumkan Peserta Lelang yang ditunjuk Menteri Keuangan Republik Indonesia, mengumumkan rencana Lelang Surat Utang Negara, melaksanakan Lelang Surat Utang Negara, dan mengumumkan keputusan hasil Lelang Surat Utang Negara; c. dapat bertindak sebagai agen dalam pembelian dan penjualan Surat Utang Negara di Pasar Sekunder untuk kepentingan dan atas permintaan Pemerintah; d. menatausahakan Surat Utang Negara yang mencakup pencatatan penerbitan dan kepemilikan, kliring dan setelmen, serta agen pembayar bunga (kupon) dan pokok Surat Utang Negara. BAB III KARAKTERISTIK SURAT UTANG NEGARA Pasal 3 Surat Utang Negara yang ditatausahakan oleh Bank Indonesia mempunyai karakteristik sebagai berikut : a. diterbitkan … -6- a. diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat (scripless); b. diterbitkan dalam bentuk yang diperdagangkan atau dalam bentuk yang tidak diperdagangkan di Pasar Sekunder; c. Surat Perbendaharaan Negara diterbitkan dengan jangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dan dengan pembayaran bunga secara Diskonto; d. Obligasi Negara diterbitkan dengan jangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon mengambang (variable rate), kupon tetap (fixed rate), dan atau pembayaran bunga secara Diskonto. Pasal 4 Menteri Keuangan Republik Indonesia menetapkan ketentuan dan persyaratan Surat Utang Negara. BAB IV LELANG SURAT UTANG NEGARA Pasal 5 (1) Menteri Keuangan Republik Indonesia menetapkan kriteria dan persyaratan Peserta Lelang. (2) Bank Indonesia melakukan seleksi calon Peserta Lelang berdasarkan kriteria dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Menteri Keuangan Republik Indonesia menunjuk Peserta Lelang berdasarkan hasil seleksi calon Peserta Lelang yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). (4) Bank Indonesia mengumumkan Peserta Lelang yang ditunjuk Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). Pasal 6 … -7- Pasal 6 (1) Orang perseorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi dapat membeli Surat Utang Negara di Pasar Perdana. (2) Pembelian Surat Utang Negara di Pasar Perdana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan mengajukan penawaran pembelian kepada Bank Indonesia melalui Peserta Lelang yang terdiri dari Bank, Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Perusahaan Efek. (3) Dalam Lelang Surat Utang Negara, Bank dan Perusahaan Efek dapat mengajukan penawaran pembelian untuk dan atas nama diri sendiri dan pihak lain sedangkan Perusahaan Pialang Pasar Uang hanya dapat mengajukan penawaran pembelian untuk dan atas nama pihak lain. Pasal 7 (1) Penawaran pembelian dalam Lelang Surat Utang Negara dapat dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif atau dengan cara kombinasi Penawaran Pembelian Kompetitif dan Penawaran Pembelian Non-kompetitif. (2) Dalam hal Peserta Lelang melakukan penawaran pembelian Surat Utang Negara untuk dan atas nama diri sendiri maka penawaran pembelian hanya dapat dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif. (3) Dalam hal Peserta Lelang melakukan penawaran pembelian Surat Utang Negara untuk dan atas nama pihak lain maka penawaran pembelian dapat diajukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif dan atau Penawaran Pembelian Non-kompetitif. (4) Menteri Keuangan Republik Indonesia menentukan alokasi Penawaran Pembelian Non-kompetitif sebelum pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara. Pasal 8 … -8- Pasal 8 (1) Bank Indonesia melakukan Lelang Surat Utang Negara sesuai kebutuhan Pemerintah dan atas permintaan Menteri Keuangan Republik Indonesia. (2) Bank Indonesia mengumumkan rencana Lelang Surat Utang Negara berdasarkan pemberitahuan Lelang Surat Utang Negara oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia. Pasal 9 (1) Menteri Keuangan Republik Indonesia menetapkan hasil dan pemenang Lelang Surat Utang Negara. (2) Penentuan pemenang Lelang Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan sistem penentuan hasil Lelang Surat Utang Negara dengan metode harga beragam (multiple price) atau dengan metode harga seragam (uniform price). (3) Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang Surat Utang Negara kepada Peserta Lelang yang memenangkan Lelang Surat Utang Negara pada hari pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara. (4) Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang Surat Utang Negara secara keseluruhan kepada publik pada hari pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara. Pasal 10 (1) Menteri Keuangan Republik Indonesia berhak menolak seluruh atau sebagian dari penawaran pembelian Surat Utang Negara. (2) Bank Indonesia mengumumkan penolakan seluruh atau sebagian penawaran pembelian Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). BAB V… -9- BAB V PEMBELIAN DAN PENJUALAN SURAT UTANG NEGARA DI PASAR SEKUNDER Pasal 11 (1) Menteri Keuangan Republik Indonesia dapat menunjuk Bank Indonesia sebagai agen untuk melaksanakan pembelian dan penjualan Surat Utang Negara di Pasar Sekunder. (2) Dalam hal Bank Indonesia ditunjuk sebagai agen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan pembelian dan penjualan Surat Utang Negara di Pasar Sekunder berdasarkan permintaan Menteri Keuangan Republik Indonesia. BAB VI PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA Pasal 12 (1) Bank Indonesia melakukan penatausahaan Surat Utang Negara secara elektronis. (2) Penatausahaan Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mencakup kegiatan pencatatan penerbitan dan kepemilikan, kliring dan setelmen transaksi baik di Pasar Perdana maupun di Pasar Sekunder, pembayaran bunga (kupon) dan pokok Surat Utang Negara yang jatuh waktu. (3) Bank Indonesia dapat menunjuk dan atau bekerjasama dengan pihak lain untuk mendukung penatausahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). (4) Bank Indonesia berwenang melakukan pengawasan terhadap pihak lain yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). BAB VII … -10- BAB VII PENCATATAN KEPEMILIKAN SURAT UTANG NEGARA Pasal 13 (1) Pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara dilakukan tanpa warkat (scripless) dan secara book entry. (2) Pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara dilakukan secara two-tier system oleh Central Registry dan Sub-Registry yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. (3) Catatan kepemilikan Surat Utang Negara secara elektronis pada sistem Central Registry dan Sub-Registry merupakan bukti kepemilikan yang sah. Pasal 14 (1) Central Registry melakukan pencatatan dan perubahan kepemilikan Surat Utang Negara untuk kepentingan Bank, Sub-Registry, dan pihak lain yang memiliki rekening surat berharga di Central Registry. (2) Pencatatan dan perubahan kepemilikan Surat Utang Negara yang dilakukan oleh Bank dan pihak lain yang tidak memiliki rekening surat berharga di Central Registry dilakukan melalui Sub-Registry. Pasal 15 (1) Sub-Registry hanya melakukan pencatatan dan perubahan kepemilikan Utang Negara untuk kepentingan nasabah. Surat (2) Pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara pada rekening surat berharga Sub- Registry di Central Registry bersifat global (omnibus account). (3) Pencatatan … -11- (3) Pencatatan kepemilikan nasabah secara individual ditatausahakan Sub-Registry secara book entry. (4) Pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara pada rekening surat berharga Sub- Registry di Central Registry sebagaimana dimaksud dalam ayat merupakan bukti kepemilikan Surat Utang Negara atas nama Sub-Registry. (2) bukan (5) Kepemilikan Surat Utang Negara atas nama nasabah wajib dicatat secara terpisah dari aset Sub-Registry. (6) Sub-Registry tidak diperbolehkan memelihara rekening Surat Utang Negara untuk dan atas nama diri sendiri, pengurus, pemegang saham dan pengelola serta pegawai. (7) Sub-Registry dapat mengenakan biaya administrasi kepada nasabah pemilik Surat Utang Negara. BAB VIII SETELMEN TRANSAKSI SURAT UTANG NEGARA Pasal 16 (1) Setelmen transaksi Surat Utang Negara di Pasar Perdana dilakukan sebagai berikut: a. Surat Perbendaharaan Negara pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah hari pelaksanaan lelang Surat Perbendaharaan Negara (T+1); b. Obligasi Negara selambat-lambatnya pada 5 (lima) hari kerja berikutnya setelah pengumuman hasil pemenang lelang Obligasi Negara (T+5). (2) Setelmen transaksi Surat Utang Negara baik di Pasar Perdana maupun di Pasar Sekunder terdiri dari setelmen surat berharga dan atau setelmen dana. (3) Setelmen … -12- (3) Setelmen transaksi Surat Utang Negara baik di Pasar Perdana maupun di Pasar Sekunder dilakukan atas dasar prinsip DVP atau FoP. (4) Setelmen transaksi Surat Utang Negara secara DVP dilakukan atas dasar sistem setelmen gross to gross dan atau setelmen gross to net. Pasal 17 (1) Dalam melakukan transaksi Surat Utang Negara, pihak yang tidak memiliki rekening surat berharga di Central Registry wajib menunjuk suatu Sub-Registry untuk melakukan setelmen surat berharga. (2) Dalam melakukan transaksi Surat Utang Negara, pihak yang melakukan setelmen transaksi Surat Utang Negara secara DVP dan tidak memiliki rekening giro Rupiah di Bank Indonesia wajib menunjuk suatu Bank untuk melakukan setelmen dana. (3) Pihak yang melakukan transaksi Surat Utang Negara di Pasar Sekunder wajib memiliki saldo yang mencukupi pada rekening surat berharga di Central Registry atau di Sub-Registry untuk memenuhi kewajiban setelmen surat berharga. (4) Bank yang melakukan transaksi Surat Utang Negara baik untuk dan atas nama diri sendiri maupun untuk dan atas nama pihak lain, wajib memiliki saldo yang mencukupi pada rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia untuk memenuhi kewajiban setelmen dana. (5) Dalam hal Bank atau pihak lain yang melakukan transaksi Surat Utang Negara tidak dapat memenuhi kewajiban untuk setelmen surat berharga dan atau setelmen dana maka setelmen Surat Utang Negara atas dinyatakan batal. transaksi yang bersangkutan Pasal 18 … -13- Pasal 18 Dalam rangka setelmen Surat Utang Negara, Bank Indonesia berwenang untuk : a. mendebet rekening surat berharga pemilik rekening di Central Registry, baik untuk dan atas nama diri sendiri maupun untuk dan atas nama pihak lain; b. mendebet rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia, baik untuk dan atas nama Bank yang bersangkutan maupun untuk dan atas nama pihak lain. BAB IX PEMBAYARAN BUNGA (KUPON) DAN PELUNASAN POKOK SURAT UTANG NEGARA JATUH WAKTU Pasal 19 (1) Bank Indonesia melakukan pembayaran bunga (kupon) dan pelunasan pokok Surat Utang Negara sebesar nilai nominal pada saat jatuh waktu atas beban Pemerintah. (2) Atas permintaan Pemerintah, Bank Indonesia melakukan pelunasan pokok Surat Utang Negara sebelum tanggal jatuh waktu atas beban Pemerintah. (3) Pembayaran pokok dan bunga (kupon) Surat Utang Negara dilakukan oleh Bank Indonesia berdasarkan posisi kepemilikan Surat Utang Negara yang tercatat di Central Registry. (4) Sub-Registry dan pemilik Surat Utang Negara yang tercatat di Central Registry namun tidak memiliki rekening giro Rupiah di Bank Indonesia wajib menunjuk suatu Bank untuk menerima pembayaran bunga (kupon) dan pokok jatuh waktu. BAB X … -14- BAB X BIAYA ADMINISTRASI Pasal 20 Bank Indonesia dapat mengenakan biaya administrasi atas pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara kepada Peserta Lelang dan biaya penatausahaan Surat Utang Negara kepada pemilik rekening surat berharga di Central Registry. BAB XI PELAPORAN Pasal 21 Bank Indonesia melaporkan kegiatan penatausahaan Surat Utang Negara secara berkala kepada Pemerintah. BAB XII SANKSI Pasal 22 (1) Dalam hal Peserta Lelang melakukan Penawaran Pembelian Non-kompetitif untuk dan atas nama diri sendiri sehingga tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Peserta Lelang dikenakan sanksi tidak boleh mengikuti Lelang Surat Utang Negara sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut. (2) Dalam hal Peserta Lelang yang memenangkan Lelang Surat Utang Negara tidak melunasi kewajiban sampai dengan batas akhir waktu setelmen akibat Bank yang melakukan setelmen dana tidak memiliki saldo yang mencukupi pada rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia maka seluruh hasil Lelang Surat Utang Negara yang setelmennya dilakukan melalui Bank tersebut dimaksud adalah batal. (3) Terhadap … -15- (3) Terhadap setiap transaksi batal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Peserta Lelang dikenakan sanksi tidak boleh mengikuti Lelang Surat Utang Negara sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut. Pasal 23 (1) Bank Indonesia dapat mengenakan sanksi kepada Sub-Registry yang ditunjuk atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa penghentian sementara atau pencabutan atas penunjukan sebagai Sub-Registry. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 24 Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 25 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/2/PBI/2000 tanggal 21 Januari 2000 tentang Penatausahaan dan Perdagangan Obligasi Pemerintah dinyatakan tidak berlaku. Pasal 26 … -16- Pasal 26 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 21 Maret 2003 GUBERNUR BANK INDONESIA Ttd SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 38 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5 / 4 / PBI / 2003 TENTANG PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA UMUM Dalam rangka membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam satu tahun anggaran dan mengelola portofolio utang negara, Pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara di dalam negeri. Sehubungan dengan penerbitan Surat Utang Negara tersebut di atas, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, Pemerintah menunjuk Bank Indonesia sebagai agen lelang yang dapat menyelenggarakan kegiatan penjualan Surat Utang Negara di Pasar Perdana (pasal 13), melakukan pembelian dan penjualan Surat Utang Negara di Pasar Sekunder atas nama Pemerintah dalam rangka pengelolaan portofolio utang negara (pasal 14), dan melakukan penatausahaan Surat Utang Negara yang mencakup pencatatan penerbitan dan kepemilikan, kliring dan setelmen baik di Pasar Primer maupun di Pasar Sekunder, serta agen pembayar bunga (kupon) dan pokok Surat Utang Negara (pasal 12). PASAL … -2- PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Huruf a Masukan ini dimaksudkan agar tercapai keselarasan antara kebijakan fiskal termasuk manajemen utang, dan kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas Huruf c Pelaksanaan pembelian dan penjualan di Pasar Sekunder mengikuti mekanisme yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia. Huruf d Cukup jelas Pasal 3 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d … -3- Huruf d Obligasi Negara yang diterbitkan tanpa kupon dan diperdagangkan berdasarkan sistem Diskonto disebut Zero coupon bond. Pasal 4 Ketentuan dan persyaratan Surat Utang Negara antara lain mencakup tanggal penerbitan, unit terkecil yang diterbitkan, jumlah nominal penerbitan, tanggal pembayaran kupon dan tanggal jatuh tempo Surat Utang Negara. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Pengumuman ditujukan kepada Peserta Lelang dan kepada publik. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan Perusahaan Pialang Pasar Uang adalah perusahaan yang memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan jasa perantara bagi kepentingan nasabah di bidang pasar uang dan di bidang pasar modal khusus untuk Surat Utang Negara. Yang … -4- Yang dimaksud dengan Perusahaan Efek adalah Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Kebutuhan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dituangkan dalam kalender penerbitan (calendar of issuance) yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia. Yang dimaksud dengan kalender penerbitan (calendar of issuance) adalah rencana penerbitan Surat Utang Negara oleh Pemerintah pada periode tertentu. Ayat (2) Pengumuman rencana Lelang Surat Utang Negara dilakukan melalui Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) dan atau sarana lainnya. Pengumuman … -5- Pengumuman rencana Lelang Surat Utang Negara memuat sekurang- kurangnya waktu pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara, jumlah indikatif yang ditawarkan, jangka waktu, tanggal penerbitan, tanggal setelmen, tanggal jatuh tempo, mata uang, sistem penentuan pemenang Lelang Surat Utang Negara, dan waktu pengumuman hasil Lelang Surat Utang Negara, serta alokasi Penawaran Pembelian Kompetitif dan Penawaran Pembelian Non-kompetitif. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan harga beragam adalah harga yang dibayarkan oleh masing-masing pemenang Lelang Surat Utang Negara sesuai dengan harga penawaran yang diajukannya. Yang dimaksud dengan harga seragam adalah harga yang dibayarkan oleh seluruh pemenang Lelang Surat Utang Negara dengan harga seragam. Sistem penentuan hasil pemenang Lelang Surat Utang Negara dapat dilakukan dengan sistem Stop-out Rate dan Cut-off Rate. Yang dimaksud dengan sistem Stop-out Rate adalah penjualan Surat Utang Negara berdasarkan target jumlah Surat Utang Negara yang akan dijual Pemerintah. Yang dimaksud dengan sistem Cut-off Rate adalah penjualan Surat Utang Negara berdasarkan target tingkat suku bunga (tingkat Diskonto atau Yield). Ayat (3) … -6- Ayat (3) Pengumuman hasil Lelang Surat Utang Negara kepada Peserta Lelang yang memenangkan Lelang Surat Utang Negara dilakukan melalui sarana lelang dan sekurang-kurangnya mencakup nama pemenang, nilai nominal yang dimenangkan dan tingkat Diskonto atau Yield yang diperoleh. Ayat (4) Pengumuman hasil Lelang Surat Utang Negara kepada publik dilakukan melalui Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) dan atau sarana lain yang sekurang-kurangnya mencakup jumlah Lelang Surat Utang Negara secara keseluruhan, rata-rata tertimbang tingkat Diskonto atau Yield hasil Lelang Surat Utang Negara, dan tingkat Diskonto atau Yield terendah dan tertinggi hasil Lelang Surat Utang Negara. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 12 … -7- Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan setelmen transaksi Surat Utang Negara adalah setelmen yang terdiri dari setelmen dana dan atau setelmen surat berharga. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan book entry adalah pencatatan kepemilikan dan perpindahan kepemilikan tanpa warkat (scripless) dalam suatu jurnal elektronis. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 15 … -8- Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Besarnya biaya yang dikenakan kepada nasabahnya diserahkan sesuai ketentuan masing-masing Sub-Registry. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) … -9- Ayat (4) Yang dimaksud dengan setelmen Gross to gross adalah setelmen Surat Utang Negara dimana setelmen surat berharga dan setelmen dana dilakukan berdasarkan transaksi per transaksi (trade by trade). Yang dimaksud dengan setelmen Gross to net adalah setelmen Surat Utang Negara dimana setelmen surat berharga dilakukan secara transaksi per transaksi (trade by trade) sedangkan setelmen dana secara netting sistem. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 18 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Pasal 19 … -10- Pasal 19 Ayat (1) Bank Indonesia hanya melakukan pembayaran bunga (kupon) dan pokok Surat Utang Negara sepanjang tersedianya dana yang cukup pada rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Pelaporan tersebut antara lain mencakup posisi Surat Utang Negara yang diterbitkan, posisi kepemilikan Surat Utang Negara, Diskonto yang dibayarkan, dan data transaksi perdagangan Surat Utang Negara. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 23 … -11- Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 24 Pokok-pokok ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia memuat antara lain : a. tata cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana; b. kriteria dan persyaratan Peserta Lelang; c. persyaratan dan tata cara penunjukan Sub-Registry; d. tata cara penatausahaan Surat Utang Negara; e. besarnya biaya administrasi atas pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara dan biaya administrasi atas penatausahaan Surat Utang Negara. Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4278
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 5/4/PBI/2003 </reg_id> <reg_title> PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA </reg_title> <set_date> 21 Maret 2003 </set_date> <effective_date> 21 Maret 2003 </effective_date> <replaced_reg> '2/2/PBI/2000' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/18/PBI/2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/8/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI LINDUNG NILAI KEPADA BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah; b. bahwa kestabilan nilai Rupiah yang salah satunya dipengaruhi oleh kestabilan nilai tukar Rupiah memerlukan dukungan pasar keuangan khususnya pasar valuta asing domestik yang dalam untuk menjaga kelangsungan kegiatan ekonomi nasional; c. bahwa dalam rangka menjaga kelangsungan kegiatan ekonomi nasional perlu dilakukan penguatan struktur pasar valuta asing domestik melalui peningkatan transaksi lindung nilai kepada bank; d. bahwa peran Bank Indonesia diperlukan untuk mendorong pendalaman pasar valuta asing domestik melalui harmonisasi pengaturan dengan cakupan yang komprehensif, khususnya terkait dengan transaksi lindung nilai kepada bank; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/8/PBI/2013 tentang Transaksi Lindung Nilai Kepada Bank; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … - 2 - Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/8/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI LINDUNG NILAI KEPADA BANK. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/8/PBI/2013 tentang Transaksi Lindung Nilai Kepada Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5451) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal … - 3 - Pasal 3 (1) Transaksi Lindung Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap Rupiah antara Bank dengan pihak domestik. (2) Dalam melakukan Transaksi Lindung Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Bank wajib memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi derivatif. (3) Dalam melakukan Transaksi Lindung Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Bank wajib menerapkan manajemen risiko sesuai dengan ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko Bank yang diterbitkan oleh otoritas yang berwenang. 2. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 (1) Transaksi Lindung Nilai wajib didukung dokumen underlying transaksi dan/atau dokumen pendukung sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap Rupiah antara Bank dengan pihak domestik. (2) Nilai nominal Transaksi Lindung Nilai paling banyak sebesar nilai nominal underlying transaksi yang tercantum di dalam dokumen underlying transaksi. (3) Jangka waktu Transaksi Lindung Nilai paling lama sama dengan jangka waktu underlying transaksi yang tercantum di dalam dokumen underlying transaksi. 3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 Penyelesaian Transaksi Lindung Nilai dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap Rupiah antara Bank dengan pihak domestik. 4. Ketentuan … - 4 - 4. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4 dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap Rupiah antara Bank dengan pihak domestik. (2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi derivatif. (3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko Bank yang diterbitkan oleh otoritas yang berwenang. (4) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum. 5. Di antara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 9A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9A Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/42/DPM tanggal 8 Oktober 2013 perihal Transaksi Lindung Nilai Kepada Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 10 November 2014. Agar … - 5 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 September 2014 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 September 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 214 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 16/18/PBI/2014 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/8/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI LINDUNG NILAI KEPADA BANK </reg_title> <set_date> 17 September 2014 </set_date> <effective_date> 10 November 2014 </effective_date> <issued_date> 17 September 2014 </issued_date> <changed_reg> '15/8/PBI/2013' </changed_reg> <replaced_reg> '15/42/DPM|SE-BI/2013' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 4 Pasal 8' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/ 8 /PBI/2000 TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyediakan sarana untuk penanaman dana atau pengelolaan dana berdasarkan prinsip syariah perlu diselenggarakan pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah; b. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan tentang pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang … - 2 - 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Konvensional adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional; 2. Bank Syariah adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk Unit Usaha Syariah; 3. Unit … - 3 - 3. Unit Usaha Syariah, yang untuk selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja di kantor pusat Bank Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah; 4. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang untuk selanjutnya disebut PUAS, adalah kegiatan investasi jangka pendek dalam rupiah antar peserta pasar berdasarkan prinsip Mudharabah; 5. Mudharabah adalah perjanjian antara penanam dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha guna memperoleh keuntungan, dan keuntungan tersebut akan dibagikan kepada kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya; 6. Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank, yang untuk selanjutnya disebut Sertifikat IMA, adalah sertifikat yang digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan dana dengan prinsip Mudharabah; 7. Pusat Informasi Pasar Uang, yang untuk selanjutnya disebut PIPU, adalah sistem otomasi yang menyediakan informasi pasar uang yang diatur oleh Bank Indonesia. BAB II PESERTA DAN PIRANTI PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH Pasal 2 (1) Peserta PUAS terdiri atas Bank Syariah dan Bank Konvensional. (2) Bank … - 4 - (2) Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat melakukan penanaman dana dan atau pengelolaan dana. (3) Bank Konvensional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat melakukan penanaman dana. Pasal 3 Dalam melakukan transaksi PUAS bank hanya dapat menggunakan Sertifikat IMA. BAB III PERSYARATAN SERTIFIKAT IMA Pasal 4 (1) Sertifikat IMA yang diterbitkan oleh bank pengelola dana memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sekurang-kurangnya mencantumkan: 1. Kata-kata “SERTIFIKAT INVESTASI MUDHARABAH ANTARBANK”; 2. Tempat dan tanggal penerbitan Sertifikat IMA; 3. Nomor seri Sertifikat IMA; 4. Nilai nominal investasi; 5. Nisbah bagi hasil; 6. Jangka waktu investasi; 7. Tingkat indikasi imbalan; 8. Tanggal pembayaran nilai nominal investasi dan imbalan; 9. Tempat … - 5 - 9. Tempat pembayaran; 10. Nama bank penanam dana; 11. Nama bank penerbit dan tanda tangan pejabat yang berwenang; b. berjangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari; c. diterbitkan oleh kantor pusat Bank Syariah atau UUS. (2) Format Sertifikat IMA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang- kurangnya mengikuti format sebagaimana terlampir. Pasal 5 (1) Nominal Sertifikat IMA harus ditulis dalam angka dan huruf. (2) Dalam hal terdapat perbedaan penulisan nominal antara angka dan huruf, maka yang berlaku adalah jumlah dalam huruf yang ditulis selengkap- lengkapnya. BAB IV MEKANISME TRANSAKSI SERTIFIKAT INVESTASI MUDHARABAH ANTARBANK Pasal 6 (1) Sertifikat IMA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diterbitkan oleh Bank Syariah pengelola dana dalam rangkap 3 (tiga). (2) Sertifikat … - 6 - (2) Sertifikat IMA yang diterbitkan oleh Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diserahkan kepada bank penanam dana sebagai bukti penanaman dana. Pasal 7 (1) Pembayaran Sertifikat IMA oleh bank penanam dana dapat dilakukan dengan menggunakan nota kredit melalui kliring atau bilyet giro Bank Indonesia dengan melampiri lembar kedua Sertifikat IMA, atau transfer dana secara elektronis. (2) Dalam hal pembayaran Sertifikat IMA dilakukan dengan menggunakan transfer dana secara elektronis, bank penanam dana wajib menyampaikan lembar kedua Sertifikat IMA kepada Bank Indonesia. Pasal 8 (1) Sertifikat IMA yang belum jatuh waktu dapat dipindahtangankan kepada bank lain. (2) Pemindahtanganan Sertifikat IMA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali. (3) Dalam hal terjadi pemindahtanganan Sertifikat IMA sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), bank terakhir pemegang Sertifikat IMA wajib memberitahukan kepada bank penerbit Sertifikat IMA. BAB V … - 7 - BAB V PENYELESAIAN TRANSAKSI Pasal 9 (1) Pada saat Sertifikat IMA jatuh waktu, bank penerbit membayar kepada bank pemegang Sertifikat IMA sebesar nilai nominal investasi. (2) Pembayaran oleh bank penerbit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan menggunakan nota kredit melalui kliring, menggunakan bilyet giro Bank Indonesia, atau transfer dana secara elektronis. BAB VI PERHITUNGAN IMBALAN Pasal 10 (1) Tingkat realisasi imbalan Sertifikat IMA mengacu pada tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah bank penerbit sesuai dengan jangka waktu penanaman. (2) Besarnya imbalan Sertifikat IMA dihitung berdasarkan jumlah nominal investasi, tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah sesuai dengan jangka waktu penanaman dana dan nisbah bagi hasil yang disepakati. (3) Realisasi pembayaran imbalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan pada hari kerja pertama bulan berikutnya. BAB VII … - 8 - BAB VII PELAPORAN Pasal 11 (1) Bank penerbit Sertifikat IMA wajib melaporkan kepada Bank Indonesia pada hari penerbitan Sertifikat IMA mengenai hal-hal sebagai berikut: a. nilai nominal investasi; b. nisbah bagi hasil; c. jangka waktu investasi; d. tingkat indikasi imbalan Sertifikat IMA. (2) Bank penerbit Sertifikat IMA wajib melaporkan kepada Bank Indonesia tingkat realisasi imbalan Sertifikat IMA pada hari kerja pertama setiap bulan. (3) Pada hari kerja pertama setiap bulan, Bank Syariah wajib melaporkan kepada Bank Indonesia tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah untuk semua periode jangka waktu. (4) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) disampaikan melalui sarana PIPU. (5) Dalam hal bank belum memiliki sarana PIPU atau mengalami kerusakan pada sarana PIPU, maka pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) disampaikan secara manual kepada: a. Direktorat Pengelolaan Moneter c.q. Bagian Operasi Pasar Uang, Bank Indonesia, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110, bagi Bank Syariah yang berkantor pusat di wilayah Jabotabek. b. Direktorat … - 9 - b. Direktorat Pengelolaan Moneter c.q. Bagian Operasi Pasar Uang, Bank Indonesia, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110, melalui Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank Syariah yang berkantor pusat di luar wilayah Jabotabek. Pasal 12 Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilakukan oleh Kantor Pusat Bank Syariah atau UUS penerbit Sertifikat IMA. BAB VIII PENYELESAIAN PERSELISIHAN Pasal 13 Dalam hal terjadi perselisihan, maka penyelesaian perselisihan dapat dilakukan melalui badan arbitrase berdasarkan prinsip syariah yang berkedudukan di Indonesia. BAB IX … - 10 - BAB IX PENUTUP Pasal 14 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Maret 2000. - 11 - Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 23 Februari 2000 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 23 DPM - 12 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/ 8 /PBI/2000 TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH I. UMUM Perbankan yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi antara pemilik dan pengelola dana dapat berpotensi mengalami kekurangan atau kelebihan likuiditas. Kekurangan likuiditas umumnya disebabkan oleh perbedaan jangka waktu antara sumber dan penanaman dana sedangkan kelebihan likuiditas dapat terjadi karena dana yang terhimpun belum dapat disalurkan kepada yang membutuhkan. Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, telah berdiri bank-bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Hal ini memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk menyimpan dana dan memperoleh pembiayaan serta jasa perbankan lainnya berdasarkan prinsip syariah. Dalam upaya untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan dana perlu diselenggarakan pasar uang berdasarkan prinsip syariah serta piranti yang dapat digunakan untuk menanamkan dana baik bagi Bank Konvensional maupun Bank Syariah, dan untuk memperoleh dana bagi Bank Syariah. II. PASAL … II. PASAL DEMI PASAL - 13 - Pasal 1 Butir 1 sampai dengan butir 7 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) dan ayat (3) Pada dasarnya PUAS dimaksudkan sebagai sarana investasi antar Bank Syariah sehingga Bank Syariah tidak dapat melakukan penanaman dana pada Bank Konvensional untuk menghindari pemanfaatan dana yang akan menghasilkan suku bunga, namun tidak tertutup kemungkinan bagi Bank Konvensional untuk melakukan investasi pada Bank Syariah. Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan tingkat indikasi imbalan adalah tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah (sebelum didistribusikan) pada bulan sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 5 … Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas - 14 - Ayat (2) Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Asli dan lembar kedua Sertifikat IMA diserahkan kepada bank penanam dana. Lembar kedua Sertifikat IMA digunakan oleh bank penanam dana sebagai lampiran pada pembayaran dengan nota kredit, atau bilyet giro Bank Indonesia, atau dikirim ke Bank Indonesia dalam hal pembayaran dengan transfer dana secara elektronis. Sedangkan lembar ketiga untuk arsip bank penerbit. Ayat (2) Penyerahan oleh bank penerbit dan diterimanya Sertifikat IMA oleh bank penanam dana menunjukkan adanya kesepakatan antara para pihak untuk mematuhi pernyataan-pernyataan yang tercantum dalam Sertifikat IMA tersebut. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 8 … Pasal 8 Ayat (1) - 15 - Pemindahtanganan Sertifikat IMA dapat dilakukan dengan menggunakan akta otentik baik dibawah tangan maupun notariil. Ayat (2) Pemindahtanganan Sertifikat IMA hanya dapat dilakukan oleh bank penanam dana pertama sedangkan bank penanam dana selanjutnya tidak diperkenankan memindahtangankan Sertifikat IMA kepada bank lainnya hingga berakhirnya jangka waktu sertifikat dimaksud. Ayat (3) Tujuan memberitahukan dari bank pemegang Sertifikat IMA terakhir kepada bank penerbit Sertifikat IMA adalah untuk memudahkan bank penerbit Sertifikat IMA dalam membayar nominal pada saat jatuh waktu dan pembayaran imbalan. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Tingkat realisasi imbalan Sertifikat IMA yang berjangka waktu: n sampai dengan 30 hari mengacu pada tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah (sebelum didistribusikan) dengan jangka waktu 1 (satu) bulan; § di atas … - 16 - n di atas 30 hari sampai dengan 90 hari mengacu pada tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah (sebelum didistribusikan) dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan. Yang dimaksud dengan tingkat realisasi imbalan Sertifikat IMA adalah tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah (sebelum didistribusikan) dikali nisbah bagi hasil untuk bank penanam dana. Ayat (2) Rumus perhitungan besarnya imbalan Sertifikat IMA sebagai berikut: X = P x R x t/360 x k Keterangan: X = Besarnya imbalan yang diberikan kepada bank penanam dana P = Nilai nominal investasi R = Tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah (sebelum didistribusikan) T = Jangka waktu investasi K = Nisbah bagi hasil untuk bank penanam dana atau X = P x t/360 x tingkat realisasi Imbalan Sertifikat IMA Contoh 1 … Contoh 1 - 17 - Bank A n n pada bulan Maret 2000, R deposito investasi Mudharabah 1 bulan = 8% dan 3 bulan = 8,5 %. pada bulan April 2000, R deposito investasi Mudharabah 1 bulan = 9 % dan 3 bulan = 10 %. Tanggal 3 Maret 2000: Bank B menanamkan dana pada Bank A dalam bentuk Sertifikat IMA sebesar Rp 10 miliar selama 10 hari dengan nisbah bagi hasil yang disepakati (70:30). Tanggal 15 Maret 2000: Bank C menanamkan dana pada Bank A dalam bentuk Sertifikat IMA sebesar Rp 20 miliar selama 40 hari dengan nisbah bagi hasil yang disepakati (75:25). Pengembalian nominal investasi: n n kepada Bank B sebesar Rp10 miliar pada tanggal 13 Maret 2000. kepada Bank C sebesar Rp20 miliar pada tanggal 24 April 2000. Pembayaran imbalan Sertifikat IMA: Tanggal 3 April 2000: n kepada Bank B sebesar Rp10 miliar x 8% x 10/360 x 0,7 = Rp15,55 juta. § kepada … n kepada Bank C sebesar Rp20 miliar x 8,5% x 16/360 x 0,75 = Rp56,67 juta. - 18 - Tanggal 1 Mei 2000: n kepada Bank C sebesar Rp20 miliar x 10% x 24/360 x 0,75 = Rp99,99 juta. Contoh 2 Bank A n n pada bulan Maret 2000, R deposito investasi Mudharabah 1 bulan = 8% dan 3 bulan = 8,5 %. pada bulan April 2000, R deposito investasi Mudharabah 1 bulan = 9 % dan 3 bulan = 10 %. Tanggal 3 Maret 2000: Bank B menanamkan dana pada Bank A dalam bentuk Sertifikat IMA sebesar Rp 10 miliar selama 10 hari dengan nisbah bagi hasil yang disepakati (70:30). Tanggal 10 Maret 2000: Bank B memindahtangankan Sertifikat IMA kepada Bank D yang selanjutnya membayarkan jumlah investasi kepada Bank B sesuai dengan jumlah yang disepakati. Tanggal 15 Maret 2000: Bank C menanamkan dana pada Bank A dalam bentuk Sertifikat IMA sebesar Rp 20 miliar selama 40 hari dengan nisbah bagi hasil yang disepakati (75:25). Tanggal 11 April 2000: Tanggal … Bank C memindahtangankan Sertifikat IMA kepada Bank E yang selanjutnya membayarkan jumlah investasi kepada Bank C sesuai dengan jumlah yang disepakati. - 19 - Pengembalian nominal investasi: n n kepada Bank D sebesar Rp10 miliar pada tanggal 13 Maret 2000. kepada Bank E sebesar Rp20 miliar pada tanggal 24 April 2000. Pembayaran imbalan Sertifikat IMA: Tanggal 3 April 2000: n kepada Bank D sebesar Rp10 miliar x 8% x 10/360 x 0,7 = Rp15,55 juta. n kepada Bank C sebesar Rp20 miliar x 8,5% x 16/360 x 0,75 = Rp56,67 juta. Tanggal 1 Mei 2000: n kepada Bank E sebesar Rp20 miliar x 10% x 24/360 x 0,75 = Rp99,99 juta. Dalam menghitung tingkat imbalan (R) dapat menggunakan 2 metode yaitu revenue sharing atau profit sharing. Dalam hal bank penerbit Sertifikat IMA menggunakan metode profit sharing, tingkat imbalan (R) dapat bernilai negatif bila bank penerbit mengalami kerugian. Dalam bank penanam hal R bernilai negatif, dana tidak akan memperoleh imbalan. Selanjutnya, sepanjang kerugian tersebut bukan disebabkan oleh kecurangan/kelalaian bank penerbit, bank penanam dana akan menanggung kerugian tersebut maksimum sebesar nilai nominal investasi. Ayat (3) Cukup jelas dana … - 20 - Pasal 11 Ayat (1) Yang dimaksud dengan tingkat indikasi imbalan Sertifikat IMA adalah tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah (sebelum didistribusikan) pada bulan sebelumnya dikali nisbah bagi hasil untuk bank penanam dana. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 … Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas - 21 - TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3936 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 2/8/PBI/2000 </reg_id> <reg_title> PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 23 Februari 2000 </set_date> <effective_date> 1 Maret 2000 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/39/PBI/2016 TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH LOGAM PECAHAN 100 (SERATUS) TAHUN EMISI 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis, baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; b. bahwa guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar; c. bahwa untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank - 2 - Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan keandalannya; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran Uang Rupiah Logam Pecahan 100 (Seratus) Tahun Emisi 2016; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH LOGAM PECAHAN 100 (SERATUS) TAHUN EMISI 2016. Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 100 (seratus) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. - 3 - Pasal 2 Macam uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan uang Rupiah logam yang memiliki ciri tertentu. Pasal 3 Harga uang Rupiah logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp100,00 (seratus rupiah). Pasal 4 Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang terdapat pada bagian depan dan bagian belakang meliputi: a. ciri umum; dan b. ciri khusus. Pasal 5 Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a yaitu: a. pada bagian depan terdapat: 1. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”; 2. frasa “REPUBLIK INDONESIA”; dan 3. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Prof. Dr. Ir. Herman Johannes beserta tulisan “Prof. Dr. Ir. HERMAN JOHANNES”; dan b. pada bagian belakang terdapat: 1. sebutan pecahan dalam angka “100”; 2. tulisan tahun emisi yaitu “2016”; 3. tulisan “BANK INDONESIA”; dan 4. tulisan “RUPIAH”. Pasal 6 Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b yang berupa desain, bahan, dan teknik cetak sebagai berikut: a. warna, dominan putih aluminium; b. bahan, terbuat dari aluminium; - 4 - c. berat, 1,79 (satu koma tujuh puluh sembilan) gram dengan toleransi ± (lebih kurang) 0,05 (nol koma nol lima) gram; d. diameter, 23,00 (dua puluh tiga) milimeter dengan toleransi ± (lebih kurang) 0,05 (nol koma nol lima) milimeter; dan e. tebal sisi, 2,00 (dua) milimeter dengan toleransi ± (lebih kurang) 0,10 (nol koma sepuluh) milimeter. Pasal 7 Uang Rupiah logam pecahan 100 (seratus) tahun emisi 1999 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. Pasal 8 Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 5 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 223
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/39/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH LOGAM PECAHAN 100 (SERATUS) TAHUN EMISI 2016 </reg_title> <set_date> 26 Oktober 2016 </set_date> <effective_date> 28 Oktober 2016 </effective_date> <issued_date> 28 Oktober 2016 </issued_date> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 12/ 5 /PBI/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/18/PBI/2005 TENTANG SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung kelancaran dan efisiensi sistem pembayaran perlu dilakukan penyempurnaan mekanisme penyelenggaraan kliring debet dalam Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/18/PBI/2005 tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor … -2- Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/18/PBI/2005 TENTANG SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA. Pasal … -3- Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia No.7/18/PBI/2005 Tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4516) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 4 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 4. Kliring adalah pertukaran data keuangan elektronik dan/atau warkat antar peserta kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah yang perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu. 2. Ketentuan Pasal 13 ayat (2) diubah, sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Penyelesaian Akhir pada penyelenggaraan Kliring Debet dan Kliring Kredit dilakukan oleh PKN berdasarkan hasil perhitungan secara net multilateral. (2) Penyelesaian Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip pembaruan utang (novasi) dengan memperhatikan kecukupan dana dari Peserta. (3) Penyelesaian Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final dan tidak dapat dibatalkan. (4) Penyelesaian Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip same day settlement. 3. Ketentuan … -4- 3. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) Perhitungan Kliring Debet dilakukan atas dasar DKE Debet yang diterima oleh PKL dan didukung dengan pendanaan awal (prefund) Peserta penerima yang cukup. (2) Dalam hal terdapat DKE Debet yang tidak didukung dengan pendanaan awal (prefund) Peserta penerima yang cukup pada jadwal penyelenggaraan Kliring di suatu PKL, maka PKL tidak memperhitungkan sebagian atau seluruh DKE Debet Peserta penerima di Wilayah Kliring dimaksud. (3) PKL tidak memperhitungkan sebagian atau seluruh DKE Debet Peserta penerima yang tidak didukung dengan pendanaan awal (prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan informasi dari PKN. (4) Dalam hal terdapat DKE yang tidak diperhitungkan dalam penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka Warkat Debet dari DKE tersebut harus diselesaikan antara Peserta penerima dan Peserta pengirim. (5) Ketentuan mengenai perhitungan Kliring Debet berdasarkan DKE Debet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 4. Pasal … -5- 4. Pasal 23 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 23 berbunyi sebagai berikut: Pasal 23 (1) PKN menyediakan informasi mengenai potensi kewajiban masing-masing Bank secara nasional yang harus dipenuhi dengan pendanaan awal (prefund) oleh Bank dalam Kliring penyerahan sesuai jadwal Kliring penyerahan pada masing-masing Wilayah Kliring. (2) Dalam hal potensi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar daripada total pendanaan awal (prefund) Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), maka Bank harus menambah kekurangan pendanaan awal (prefund) dalam bentuk dana tunai (cash prefund) dan/atau agunan (collateral prefund) sampai dengan batas waktu sesuai jadwal Kliring di masing-masing Wilayah Kliring. (3) Ketentuan mengenai mekanisme dan penetapan batas waktu penambahan pendanaan awal (prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 5. Ketentuan Pasal 24 ayat (2) huruf d dan Pasal 24 ayat (4) dihapus, sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 (1) Penyelesaian Akhir atas hasil perhitungan Kliring Debet secara nasional dilakukan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Kewajiban … -6- (2) Kewajiban Bank dalam Penyelesaian Akhir Kliring Debet secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipenuhi dari sumber dana dengan prioritas penggunaan sebagai berikut: a. Dana tunai (cash prefund) yang disediakan oleh Bank sampai dengan berakhirnya batas waktu penambahan pendanaan awal (prefund) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2); b. Dana yang tersedia pada rekening giro Bank di Bank Indonesia. c. Agunan (collateral prefund) yang tersedia pada rekening agunan FLI- Kliring atau rekening agunan FLIS-Kliring yang disediakan oleh Bank sampai dengan berakhirnya batas waktu penambahan pendanaan awal (prefund) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2); d. Dihapus (3) Mekanisme penggunaan dan penyelesaian agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai fasilitas likuiditas intrahari bagi Bank umum dan fasilitas likuiditas intrahari bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. (4) Dihapus. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme Penyelesaian Akhir atas hasil perhitungan Kliring Debet diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 6. Di antara … -7- 6. Di antara Pasal 88 dan Pasal 89 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni Pasal 88A, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88A (1) Penyelenggara Kliring Lokal dan Peserta dapat menyepakati pembentukan suatu forum yang bertujuan untuk mengatur sendiri hal-hal yang bersifat teknis dengan melaporkan rencana tertulis pembentukan forum tersebut kepada Bank Indonesia. (2) Aturan yang dikeluarkan oleh forum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Bank Indonesia dan tidak boleh bertentangan dengan aturan dan kebijakan Bank Indonesia. (3) Penyelenggara Kliring Lokal dan Peserta yang menjadi anggota dalam forum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengikuti dan tunduk dengan aturan yang telah dikeluarkan dan menjadi kesepakatan forum atau institusi tersebut. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 30 April 2010. Agar … -8- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 12 Maret 2010 Pjs.GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 12 Maret 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 49 DASP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 12/ 5 /PBI/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/18/PBI/2005 TENTANG SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA I. UMUM Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) mulai diimplementasikan secara bertahap sejak tahun 2005 di sebagian besar wilayah Indonesia. Selanjutnya, sejak tahun 2007 SKNBI telah dapat diimplementasikan di seluruh wilayah Indonesia. Sejalan dengan telah diimplementasikannya sistem tersebut secara penuh, dalam pelaksanaannya masih diperlukan beberapa penyempurnaan yang mengarah pada peningkatan efisiensi dan kelancaran penyelenggaraan kliring. Peningkatan efisiensi tersebut tidak hanya bagi peserta kliring tetapi diperlukan pula bagi penyelenggara kliring yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Dalam kaitan tersebut, peningkatan efisiensi oleh penyelenggara kliring dilakukan dengan menyempurnakan mekanisme kliring debet yang selama ini masih mengandung risiko kredit yang harus ditanggung oleh penyelenggara kliring sebagai akibat bank peserta tidak mampu menambah penyediaan pendanaan awal (prefund) yang telah disyaratkan dalam kegiatan kliring pada awal hari. Dengan penyempurnaan mekanisme kliring debet yang baru maka penyelenggara … -2- penyelenggara kliring hanya akan memperhitungkan data keuangan elektronik debet yang telah didukung dengan pendanaan awal (prefund) yang cukup. Dengan demikian, proses perhitungan kliring debet sama dengan penyelenggaraan kliring kredit yang telah terlebih dahulu menganut prinsip no money no game. Dengan mekanisme tersebut maka dapat dihindari risiko kredit bagi penyelenggara kliring yang berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan jika pelaksanaannya tidak dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang. Penyempurnaan mekanisme kliring debet yang baru juga diharapkan mendorong bank peserta kliring untuk melakukan pengelolaan likuiditasnya menjadi lebih efisien dan lebih baik. Bank peserta harus tetap menjaga kecukupan pendanaan awal (prefund) yang ada pada penyelenggara kliring agar tetap dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban tagihan warkat dari bank peserta lain. Sementara itu, warkat kliring yang tidak diperhitungkan oleh penyelenggara kliring akan tetap diminta untuk diselesaikan pembayarannya oleh bank tertagih sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar kepercayaan masyarakat terhadap Warkat Debet, perbankan, dan penyelenggara kliring tetap terjaga. Dalam penyelenggaraan kliring, para peserta kliring dapat menyepakati untuk membentuk suatu forum untuk mengatur dirinya sendiri (Self-Regulatory Organization/SRO … -3- Organization/SRO) atas hal-hal yang bersifat teknis guna melengkapi aturan yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Seluruh pengaturan/pedoman (Bye- Laws regulation/guidelines) yang telah dileluarkan oleh Komite Bye-Laws tetap berlaku sebagai pengaturan/pedoman bagi anggota/peserta forum sistem pembayaran. II. Pasal I Angka 1 Pasal 1 Angka 4 Cukup jelas Angka 2 Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pembaruan utang (novasi) terjadi karena PKN menggantikan kedudukan Peserta sebagai pihak yang memiliki hak dari Peserta lainnya atau kewajiban kepada Peserta lainnya dalam penyelenggaraan SKNBI. Dalam hal ini, PKN menggantikan kedudukan Peserta untuk melakukan perhitungan terhadap DKE dan/atau warkat Peserta yang didukung dana yang cukup. Ayat (3) … PASAL DEMI PASAL -4- Ayat (3) Prinsip ini merupakan pengecualian dari prinsip zero hour rules, sehingga apabila Peserta dicabut izin usaha dan dilikuidasi, atau nasabahnya dipailitkan, transaksi yang sudah dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan pencabutan izin usaha dan likuidasi atau pailit tidak menjadi batal. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “prinsip same day settlement” adalah prinsip Penyelesaian Akhir yang diterapkan pada tingkat Bank, yaitu: a. dalam penyelenggaraan Kliring Debet, Penyelesaian Akhir dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya DKE Debet dari Peserta oleh PKL; dan b. dalam penyelenggaraan Kliring Kredit, Penyelesaian Akhir dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya DKE Kredit oleh PKN dari Peserta atau PKL. Angka 3 Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … -5- Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Penyelesaian pembayaran Warkat Debet yang tidak diperhitungkan dalam penyelenggaraan kliring harus dilakukan segera antara Peserta penerima dan Peserta pengirim sepanjang memenuhi persyaratan warkat dan kecukupan dana dari nasabah Peserta penerima. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 23 Cukup jelas Angka 5 Pasal 24 Cukup jelas Angka 6 Pasal 88A Ayat (1) Pengaturan sendiri oleh forum (Self-Regulatory Organization/SRO) dimaksudkan untuk melengkapi aturan dan kebijakan Bank Indonesia. Komite Bye- Laws … -6- Laws yang saat ini telah ada akan menjadi bagian dari SRO. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5119
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 12/5/PBI/2010 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/18/PBI/2005 TENTANG SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 12 Maret 2010 </set_date> <effective_date> 30 April 2010 </effective_date> <issued_date> 12 Maret 2010 </issued_date> <changed_reg> '7/18/PBI/2005' </changed_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 11/ 11 /PBI/2009 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kejahatan terhadap alat pembayaran dengan menggunakan kartu telah semakin meningkat dan bervariasi sehingga diperlukan pengaturan yang lebih rinci tentang pemenuhan aspek keamanan dan keandalan sistem; b. bahwa dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik kepada para pemegang kartu diperlukan peran lebih aktif dari prinsipal, penerbit, acquirer, penyelenggara kliring dan penyelenggara penyelesaian akhir; c. bahwa karena pengaturan produk prabayar perlu diatur dalam pengaturan tersendiri maka pengaturan alat pembayaran dengan menggunakan kartu lebih difokuskan untuk mengatur kartu kredit, kartu ATM dan kartu debet; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, maka diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat … -2- Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); 4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843); 5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN … -3- M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia, dan Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Lembaga Selain Bank adalah badan usaha bukan Bank yang berbadan hukum dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia. 3. Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, yang selanjutnya disebut APMK, adalah alat pembayaran yang berupa kartu kredit, kartu automated teller machine (ATM) dan/atau kartu debet. 4. Kartu Kredit adalah APMK yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau untuk melakukan penarikan tunai, dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban untuk melakukan … -4- melakukan pembayaran pada waktu yang disepakati baik dengan pelunasan secara sekaligus (charge card) ataupun dengan pembayaran secara angsuran. 5. Kartu ATM adalah APMK yang dapat digunakan untuk melakukan penarikan tunai dan/atau pemindahan dana dimana kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada Bank atau Lembaga Selain Bank yang berwenang untuk menghimpun dana sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 6. Kartu Debet adalah APMK yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan, dimana kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada Bank atau Lembaga Selain Bank yang berwenang untuk menghimpun dana sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 7. Pemegang Kartu adalah pengguna yang sah dari APMK. 8. Prinsipal adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang bertanggung jawab atas pengelolaan sistem dan/atau jaringan antar anggotanya, baik yang berperan sebagai penerbit dan/atau acquirer, dalam transaksi APMK yang kerjasama dengan anggotanya didasarkan atas suatu perjanjian tertulis. 9. Penerbit adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang menerbitkan APMK. 10. Acquirer adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan kerjasama dengan pedagang, yang dapat memproses data APMK yang diterbitkan oleh pihak lain. 11. Pedagang (Merchant) adalah penjual barang dan/atau jasa yang menerima pembayaran dari transaksi penggunaan Kartu Kredit dan/atau Kartu Debet. 12. Perusahaan … -5- 12. Perusahaan Switching adalah perusahaan yang menyediakan jasa switching atau routing atas transaksi elektronik yang menggunakan APMK melalui terminal seperti ATM atau Electronic Data Captured (EDC) dalam rangka memperoleh otorisasi dari Penerbit. 13. Penyelenggara Kliring adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan perhitungan hak dan kewajiban keuangan masing-masing Penerbit dan/atau Acquirer dalam rangka transaksi APMK. 14. Penyelenggara Penyelesaian Akhir adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan dan bertanggungjawab terhadap penyelesaian akhir atas hak dan kewajiban keuangan masing-masing Penerbit dan/atau Acquirer dalam rangka transaksi APMK berdasarkan hasil perhitungan dari Penyelenggara Kliring. BAB II PRINSIPAL, PENERBIT, ACQUIRER, PENYELENGGARA KLIRING DAN/ATAU PENYELENGGARA PENYELESAIAN AKHIR Bagian Kesatu Perizinan Paragraf 1 Prinsipal Pasal 2 (1) Kegiatan sebagai Prinsipal dapat dilakukan oleh Bank atau Lembaga Selain Bank. (2) Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan bertindak sebagai Prinsipal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. (3) Dalam … -6- (3) Dalam hal Bank atau Lembaga Selain Bank akan bertindak sebagai Prinsipal Kartu Kredit, Prinsipal Kartu ATM dan/atau Prinsipal Kartu Debet maka kewajiban memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk masing-masing kegiatan sebagai Prinsipal APMK tersebut. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk memperoleh izin sebagai Prinsipal diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 3 (1) Dalam melaksanakan kegiatannya, Prinsipal wajib: a. menetapkan prosedur dan persyaratan yang obyektif dan transparan; dan b. melakukan pengawasan terhadap keamanan dan keandalan sistem dan/atau jaringan, kepada seluruh Penerbit dan/atau Acquirer yang menjadi anggota Prinsipal yang bersangkutan. (2) Pengawasan terhadap keamanan dan keandalan sistem dan/atau jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, harus dilakukan juga oleh Prinsipal terhadap pihak lain yang bekerjasama dengan Penerbit dan/atau Acquirer. Pasal 4 (1) Prinsipal wajib menghentikan kerjasama dengan Penerbit dan/atau Acquirer jika Bank Indonesia mengenakan sanksi pencabutan atas izin yang telah diberikan kepada Penerbit dan/atau Acquirer sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Penghentian … -7- (2) Penghentian kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan oleh Prinsipal paling lambat pada hari kerja berikutnya sejak tanggal diterimanya pemberitahuan tertulis dari Bank Indonesia mengenai pencabutan atas izin yang telah diberikan kepada Penerbit dan/atau Acquirer. (3) Pelaksanaan penghentian kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib diberitahukan secara tertulis oleh Prinsipal dan diterima oleh Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal pelaksanaan penghentian kerjasama. Paragraf 2 Penerbit Pasal 5 (1) Kegiatan sebagai Penerbit dapat dilakukan oleh Bank atau Lembaga Selain Bank. (2) Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan melakukan kegiatan sebagai Penerbit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. (3) Dalam hal Bank atau Lembaga Selain Bank akan bertindak sebagai Penerbit Kartu Kredit, Penerbit Kartu ATM dan/atau Penerbit Kartu Debet maka kewajiban memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk masing-masing kegiatan sebagai Penerbit APMK tersebut. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk memperoleh izin sebagai Penerbit diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal … -8- Pasal 6 (1) Lembaga Selain Bank yang dapat bertindak sebagai Penerbit Kartu Kredit yaitu Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai perusahaan pembiayaan yang dapat melakukan kegiatan usaha Kartu Kredit. (2) Lembaga Selain Bank yang dapat bertindak sebagai Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yaitu Lembaga Selain Bank yang mempunyai kewenangan untuk melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berdasarkan undang-undang yang mengatur mengenai Lembaga Selain Bank tersebut. Paragraf 3 Acquirer Pasal 7 (1) Kegiatan sebagai Acquirer dapat dilakukan oleh Bank atau Lembaga Selain Bank. (2) Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan melakukan kegiatan sebagai Acquirer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. (3) Dalam hal Bank atau Lembaga Selain Bank akan bertindak sebagai Acquirer Kartu Kredit, dan/atau Acquirer Kartu Debet maka kewajiban memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk masing-masing kegiatan sebagai Acquirer APMK tersebut. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk memperoleh izin sebagai Acquirer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal … -9- Pasal 8 (1) Acquirer wajib melakukan edukasi dan pembinaan terhadap Pedagang yang bekerjasama dengan Acquirer. (2) Acquirer wajib menghentikan kerja sama dengan Pedagang yang melakukan tindakan yang dapat merugikan. (3) Acquirer wajib melakukan tukar-menukar informasi atau data dengan seluruh Acquirer lainnya tentang Pedagang yang melakukan tindakan yang merugikan dan mengusulkan pencantuman nama Pedagang tersebut dalam daftar hitam Pedagang (merchant black list). (4) Ketentuan mengenai klausul minimum yang harus dicantumkan dalam perjanjian kerjasama antara Acquirer dan Pedagang diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Paragraf 4 Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir Pasal 9 (1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan melakukan kegiatan sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. (2) Dalam hal Bank atau Lembaga Selain Bank akan bertindak sebagai Penyelenggara Kliring dan Penyelenggara Penyelesaian Akhir, maka kewajiban memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk masing-masing kegiatan tersebut. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk memperoleh izin sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian … -10- Penyelesaian Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Kedua Pelaksanaan Kegiatan Sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir Pasal 10 (1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib melaksanakan kegiatannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Bank atau Lembaga Selain Bank wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia, apabila dalam jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut telah atau belum dapat melaksanakan kegiatannya. (3) Penetapan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara penyampaian pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Ketiga Bentuk Badan Hukum dan Kerjasama Pasal 11 Lembaga Selain Bank yang akan melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir di wilayah Republik Indonesia harus berbadan hukum Indonesia. Pasal … -11- Pasal 12 Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia hanya dapat bekerjasama dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia. Pasal 13 (1) Dalam hal Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir bekerjasama dengan pihak lain, maka Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib: a. melaporkan rencana dan realisasi kerjasama dengan pihak lain kepada Bank Indonesia; b. memiliki bukti mengenai keandalan dan keamanan sistem yang digunakan oleh pihak lain, yang antara lain dibuktikan dengan: 1. hasil audit teknologi informasi dari auditor independen; dan 2. hasil sertifikasi yang dilakukan oleh Prinsipal, jika dipersyaratkan oleh Prinsipal. c. mensyaratkan kepada pihak lain untuk menjaga kerahasiaan data. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan rencana dan realisasi kerjasama Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB … -12- BAB III PENYELENGGARAAN KEGIATAN Bagian Kesatu Penerbitan dan Manajemen Risiko Paragraf 1 Kartu Kredit Pasal 14 Pemberian Kartu Kredit oleh Penerbit Kartu Kredit wajib didasarkan atas permohonan yang telah ditandatangani calon Pemegang Kartu. Pasal 15 (1) Dalam penyelenggaraan Kartu Kredit, Penerbit dan Acquirer Kartu Kredit wajib menerapkan manajemen risiko sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai manajemen risiko. (2) Dalam menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penerbit Kartu Kredit wajib pula mengikuti ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan bank bagi Bank Umum termasuk penetapan persentase minimum pembayaran oleh Pemegang Kartu. (3) Penetapan persentase minimum pembayaran oleh Pemegang Kartu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 16 (1) Penerbit Kartu Kredit wajib memberikan informasi secara tertulis kepada Pemegang Kartu, paling kurang meliputi: a. prosedur … -13- a. prosedur dan tata cara penggunaan Kartu Kredit; b. hal-hal penting yang harus diperhatikan oleh Pemegang Kartu dalam penggunaan kartunya dan konsekuensi atau risiko yang mungkin timbul dari penggunaaan Kartu Kredit; c. hak dan kewajiban Pemegang Kartu; d. tata cara pengajuan pengaduan atas Kartu Kredit yang diberikan dan perkiraan lamanya waktu penanganan pengaduan tersebut; e. komponen dalam penghitungan bunga; f. g. komponen dalam penghitungan denda; dan jenis dan besarnya biaya administrasi yang dikenakan. (2) Penerbit Kartu Kredit wajib mencantumkan informasi dalam lembar penagihan yang disampaikan kepada Pemegang Kartu, paling kurang meliputi: a. besarnya minimum pembayaran oleh Pemegang Kartu; b. tanggal jatuh tempo pembayaran; c. besarnya persentase bunga per bulan dan persentase efektif bunga per tahun (annualized percentage rate) atas transaksi yang dilakukan, termasuk bunga atas transaksi pembelian barang atau jasa, penarikan tunai, dan manfaat lainnya dari Kartu Kredit apabila bunga atas masing-masing transaksi tersebut berbeda; d. besarnya denda atas keterlambatan pembayaran oleh Pemegang Kartu; dan e. nominal bunga yang dikenakan. (3) Dalam hal terjadi perubahan atas informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Penerbit Kartu Kredit wajib menyampaikan perubahan informasi tersebut secara tertulis kepada Pemegang Kartu. (4) Ketentuan … -14- (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian informasi tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pencantuman informasi dalam lembar penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 17 (1) Dalam memberikan kredit yang merupakan fasilitas Kartu Kredit, Penerbit Kartu Kredit wajib menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan perkreditan sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan bank bagi Bank Umum. (2) Penghitungan bunga dan/atau denda yang timbul atas transaksi Kartu Kredit wajib dilakukan sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku, dengan mempertimbangkan aspek keadilan dan kewajaran. (3) Dalam hal pemberian kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi kredit bermasalah, penyelesaian atas kredit bermasalah tersebut termasuk tagihan pokok, bunga dan/atau denda, wajib diselesaikan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan bank bagi Bank Umum. (4) Penghitungan kolektibilitas kredit Kartu Kredit dilakukan dengan ketentuan: a. Untuk Bank, wajib mengikuti ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kolektibilitas kredit Bank Umum. b. Untuk Lembaga Selain Bank, wajib mengikuti ketentuan yang mengatur mengenai kolektibilitas kredit Lembaga Selain Bank. (5) Penerbit Kartu Kredit wajib menjamin bahwa penagihan atas transaksi Kartu Kredit, baik yang dilakukan oleh Penerbit Kartu Kredit sendiri atau menggunakan … -15- menggunakan jasa pihak lain, dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 18 Penerbit Kartu Kredit dilarang memberikan fasilitas yang mempunyai dampak tambahan biaya kepada Pemegang Kartu dan/atau memberikan fasilitas lain di luar fungsi utama Kartu Kredit tanpa persetujuan tertulis dari Pemegang Kartu. Pasal 19 (1) Penerbit Kartu Kredit wajib melakukan tukar-menukar informasi atau data dengan seluruh Penerbit Kartu Kredit lainnya. (2) Informasi atau data yang wajib dipertukarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi data Pemegang Kartu berupa negative list. (3) Tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pusat pengelola informasi. (4) Penerbit Kartu Kredit dilarang memberikan informasi data Pemegang Kartu kepada pihak lain di luar kepentingan tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanpa persetujuan tertulis dari Pemegang Kartu. Pasal 20 (1) Penerbit Kartu Kredit yang akan menerbitkan produk baru Kartu Kredit harus melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan informasi yang paling kurang meliputi: a. rencana bisnis; dan b. penjelasan karakteristik produk baru Kartu Kredit. (3) Ketentuan … -16- (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 21 (1) Dalam hal Penerbit melakukan kerja sama dengan pihak-pihak di luar pihak lain sebagaimana diatur dalam Pasal 13, maka Penerbit bertanggung jawab atas kerja sama tersebut. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerjasama Penerbit dengan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Paragraf 2 Kartu ATM dan/atau Kartu Debet Pasal 22 (1) Dalam pemberian Kartu ATM dan/atau Kartu Debet, Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet wajib menerapkan manajemen risiko sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai manajemen risiko. (2) Dalam menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet wajib pula menerapkan persyaratan yang paling kurang meliputi: a. penetapan batas maksimum nilai transaksi; dan b. penetapan batas maksimum penarikan uang tunai. (3) Penetapan batas maksimum nilai transaksi dan penarikan uang tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal … -17- Pasal 23 Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet wajib memberikan informasi secara tertulis kepada Pemegang Kartu, paling kurang meliputi: a. prosedur dan tata cara penggunaan Kartu ATM dan/atau Kartu Debet, fasilitas yang melekat pada Kartu ATM dan/atau Kartu Debet, dan risiko yang mungkin timbul dari penggunaan Kartu ATM dan/atau Kartu Debet; b. hak dan kewajiban Pemegang Kartu ATM dan/atau Kartu Debet; dan c. tata cara pengajuan pengaduan permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan Kartu ATM dan/atau Kartu Debet sebagaimana dimaksud pada huruf a dan lamanya waktu penanganan pengaduan tersebut. Pasal 24 (1) Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang akan menerbitkan produk baru Kartu ATM dan/atau Kartu Debet harus melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi antara lain dengan: a. rencana bisnis; dan b. penjelasan karakteristik produk baru Kartu ATM dan/atau Kartu Debet. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian … -18- Bagian Kedua Penggunaan Uang Rupiah Pasal 25 Setiap perbuatan yang menggunakan uang atau mempunyai tujuan pembayaran atau pemenuhan kewajiban yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia dengan menggunakan Kartu Kredit dan/atau Kartu Debet, wajib menggunakan uang rupiah. BAB IV PERALIHAN PERIZINAN APMK Pasal 26 (1) Peralihan izin penyelenggaraan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK kepada pihak lain hanya dapat dilakukan oleh Bank atau Lembaga Selain Bank dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemisahan. (2) Peralihan izin penyelenggaraan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib terlebih dahulu memperoleh izin Bank Indonesia. (3) Dalam hal terjadi pengambilalihan, Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK wajib melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (4) Ketentuan … -19- (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penyampaian laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB V PENGAWASAN Pasal 27 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. (2) Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mengadakan pertemuan konsultasi (consultative meeting) dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. (3) Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib: a. menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia secara tertulis dan/atau on-line mengenai kegiatan APMK; b. memberikan keterangan dan/atau data yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan APMK sesuai dengan permintaan Bank Indonesia; c. memberikan kesempatan kepada Bank Indonesia melakukan pemeriksaan (on site visit) untuk memperoleh informasi yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan APMK. (4) Bank … -20- (4) Bank Indonesia dapat meminta kepada pihak-pihak yang bekerjasama dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (1), untuk menyampaikan laporan tertulis mengenai informasi tertentu. (5) Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat melakukan pembinaan dan/atau mengenakan sanksi administratif. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian dan jenis laporan yang disampaikan secara tertulis dan/atau on-line sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 28 Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan (on site visit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf c. BAB VI PENINGKATAN KEAMANAN TEKNOLOGI Pasal 29 (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK wajib: a. menggunakan sistem yang aman dan andal; b. memelihara dan meningkatkan keamanan teknologi APMK; c. memiliki kebijakan dan prosedur tertulis (standard operating procedure) penyelenggaraan kegiatan APMK; dan d. menjaga keamanan dan kerahasiaan data. (2) Dalam … -21- (2) Dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib melaksanakan audit teknologi informasi secara berkala dan melaporkan hasil audit teknologi informasi tersebut kepada Bank Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keamanan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan audit dan tata cara pelaporan hasil audit teknologi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VII LAIN-LAIN Pasal 30 Penyelenggaraan kegiatan APMK oleh Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah tunduk kepada Peraturan Bank Indonesia ini dengan tetap mengacu pada prinsip syariah yang berlaku. Pasal 31 (1) Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dapat menyelenggarakan kegiatan APMK sepanjang tidak dilarang dalam peraturan yang mengatur mengenai Bank Perkreditan Rakyat atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. (2) Dalam hal Bank Perkreditan Rakyat atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan kegiatan APMK maka seluruh ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku untuk Bank Perkreditan Rakyat atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Pasal … -22- Pasal 32 (1) Prinsipal, Penerbit, dan/atau Acquirer harus menyediakan sistem yang dapat dikoneksikan dengan sistem APMK yang lain. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai keharusan penyediaan sistem yang dapat dikoneksikan dengan sistem APMK yang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 33 (1) Dalam hal terdapat perubahan atas nama, alamat dan/atau informasi pada dokumen tertentu, Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK harus melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan perubahan atas nama, alamat dan/atau informasi pada dokumen tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 34 Setiap laporan, keterangan dan/atau data yang disampaikan oleh Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK wajib disampaikan secara lengkap, benar dan akurat. Pasal 35 (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK dan pihak lain yang terkait dengan penyelenggaraan APMK dapat menyepakati pembentukan suatu forum atau institusi yang bertujuan untuk mengatur sendiri hal-hal yang bersifat teknis dan … -23- dan mikro, dengan melaporkan secara tertulis keberadaan forum atau institusi tersebut kepada Bank Indonesia. (2) Aturan-aturan yang dikeluarkan oleh forum atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Bank Indonesia dan tidak boleh bertentangan dengan aturan dan kebijakan Bank Indonesia. (3) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK dan pihak lain yang menjadi anggota dalam forum atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengikuti dan tunduk dengan aturan yang telah dikeluarkan dan menjadi kesepakatan forum atau institusi tersebut. Pasal 36 Bank Indonesia mencantumkan daftar nama Bank dan Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin dan telah efektif melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK dalam website Bank Indonesia. BAB VIII S A N K S I Pasal 37 Bank atau Lembaga Selain Bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 2 ayat (3), Pasal 5 ayat (2), Pasal 5 ayat (3), Pasal 7 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 9 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), dan/atau Pasal 56 dikenakan sanksi administratif berupa: a. penghentian kegiatan APMK, bagi Bank; atau b. penghentian kegiatan APMK oleh instansi yang berwenang berdasarkan permintaan Bank Indonesia, bagi Lembaga Selain Bank. Pasal … -24- Pasal 38 (1) Prinsipal yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), dan/atau Pasal 4 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Prinsipal tidak memenuhi ketentuan Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), dan/atau Pasal 4 ayat (3), dikenakan teguran tertulis kedua. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Prinsipal tidak memenuhi ketentuan Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), dan/atau Pasal 4 ayat (3), Prinsipal dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Prinsipal. Pasal 39 (1) Acquirer yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (2), dan/atau Pasal 8 ayat (3), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Acquirer tidak memenuhi ketentuan Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (2), dan/atau Pasal 8 ayat (3), dikenakan teguran tertulis kedua. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Acquirer tidak memenuhi ketentuan Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (2), dan/atau Pasal 8 ayat (3), dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Acquirer. Pasal … -25- Pasal 40 (1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan/atau Pasal 10 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan/atau Pasal 10 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan/atau Pasal 10 ayat (2), dikenakan sanksi pembatalan izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. Pasal 41 (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK yang melanggar Pasal 12, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan perintah untuk menghentikan kerjasamanya dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir lain. (2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir tidak menghentikan kerjasamanya dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir, maka dikenakan teguran tertulis kedua. (3) Apabila … -26- (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK tidak menghentikan kerjasamanya dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir lain, maka dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK. Pasal 42 (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan perintah untuk menghentikan kerjasamanya dengan pihak lain. (2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir tidak menghentikan kerjasamanya, dikenakan teguran tertulis kedua dan perintah untuk menghentikan kerjasamanya dengan pihak lain. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir tidak menghentikan kerjasamanya maka dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. Pasal … -27- Pasal 43 (1) Penerbit Kartu Kredit yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (2), Pasal 16 ayat (3), Pasal 17 ayat (1), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (4), Pasal 17 ayat (5), Pasal 18, Pasal 19 ayat (1), dan/atau Pasal 19 ayat (4), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penerbit Kartu Kredit tidak mematuhi ketentuan Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (2), Pasal 16 ayat (3), Pasal 17 ayat (1), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (4), Pasal 17 ayat (5), Pasal 18, Pasal 19 ayat (1), dan/atau Pasal 19 ayat (4), maka Penerbit Kartu Kredit tersebut dikenakan teguran tertulis kedua. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penerbit Kartu Kredit tidak mematuhi ketentuan Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (2), Pasal 16 ayat (3), Pasal 17 ayat (1), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (4), Pasal 17 ayat (5), Pasal 18, Pasal 19 ayat (1), dan/atau Pasal 19 ayat (4), maka Penerbit Kartu Kredit tersebut dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Penerbit Kartu Kredit. Pasal 44 (1) Acquirer Kartu Kredit yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Apabila … -28- (2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Acquirer Kartu Kredit tidak memenuhi ketentuan Pasal 15 ayat (1), Acquirer Kartu Kredit tersebut dikenakan teguran tertulis kedua. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Acquirer Kartu Kredit tidak memenuhi ketentuan Pasal 15 ayat (1), Acquirer Kartu Kredit tersebut dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Acquirer Kartu Kredit. Pasal 45 (1) Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), dan/atau Pasal 23, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), dan/atau Pasal 23, Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet tersebut dikenakan teguran tertulis kedua. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), dan/atau Pasal 23, Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet tersebut dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet. Pasal … -29- Pasal 46 Pelanggaran atas ketentuan Pasal 25 dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009. Pasal 47 (1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang melanggar Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), dan/atau Pasal 26 ayat (3), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank atau Lembaga Selain Bank tetap melanggar Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), dan/atau Pasal 26 ayat (3), dikenakan teguran tertulis kedua. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank atau Lembaga Selain Bank tetap melanggar Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), dan/atau Pasal 26 ayat (3), dikenakan sanksi pencabutan izin atas kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. Pasal 48 (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban menyampaikan laporan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf a setelah berakhirnya batas waktu penyampaian laporan dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Apabila … -30- (2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir tetap melanggar Pasal 27 ayat (3) huruf a, dikenakan teguran tertulis kedua. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir tetap melanggar Pasal 27 ayat (3) huruf a, dikenakan sanksi pencabutan izin atas kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. (4) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban menyampaikan laporan secara online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf a, dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia tentang Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank. Pasal 49 (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf b, Pasal 29 ayat (1), dan/atau Pasal 29 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Apabila … -31- (2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf b, Pasal 29 ayat (1), dan/atau Pasal 29 ayat (2), dikenakan teguran tertulis kedua. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf b, Pasal 29 ayat (1), dan/atau Pasal 29 ayat (2), dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. Pasal 50 (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf c dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf c, dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. Pasal … -32- Pasal 51 (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban menyampaikan laporan on-line secara lengkap, benar dan akurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan kantor pusat Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia mengenai laporan penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank. (2) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban menyampaikan laporan tertulis secara lengkap, benar dan akurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 52 Bank atau Lembaga Selain Bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57, dikenakan sanksi teguran tertulis. Pasal 53 (1) Lembaga Selain Bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, dikenakan sanksi teguran tertulis. (2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Selain Bank tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, dikenakan teguran tertulis kedua. (3) Apabila … -33- (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga Selain Bank tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, dikenakan sanksi pencabutan izin atas kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. BAB IX PENGHENTIAN SEMENTARA, PEMBATALAN DAN PENCABUTAN IZIN Pasal 54 Selain dalam rangka penerapan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan/atau Pasal 53 Bank Indonesia dapat menghentikan sementara, membatalkan atau mencabut izin yang telah diberikan kepada Bank atau Lembaga Selain Bank sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir, antara lain dalam hal: a. terdapat putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang memerintahkan Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir untuk menghentikan kegiatannya; b. terdapat rekomendasi dari otoritas pengawas yang berwenang antara lain mengenai memburuknya kondisi keuangan dan/atau lemahnya manajemen risiko Bank atau Lembaga Selain Bank; c. terdapat permintaan tertulis atau rekomendasi dari otoritas pengawas yang berwenang kepada Bank Indonesia untuk menghentikan sementara kegiatan Prinsipal … -34- Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir; d. otoritas pengawas yang berwenang telah mencabut izin usaha dan/atau menghentikan kegiatan usaha Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir; atau e. adanya permohonan pembatalan yang diajukan sendiri oleh Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia. Pasal 55 (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir harus melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia apabila akan menghentikan kegiatannya. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sebelum Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir menghentikan kegiatannya. (3) Pelaksanaan penghentian kegiatan oleh Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir harus dilaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) hari kalender terhitung sejak tanggal penghentian kegiatan. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 56 Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian … -35- Penyelesaian Akhir APMK sebelum diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini dan belum memperoleh izin atau penegasan dari Bank Indonesia, wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 57 Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK sebelum diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini dan telah memperoleh izin atau penegasan dari Bank Indonesia, wajib melaporkan kegiatannya kepada Bank Indonesia dan melengkapi persyaratan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 58 Lembaga Selain Bank yang telah melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir di wilayah Republik Indonesia sebelum diberlakukannya ketentuan ini dan belum berbadan hukum Indonesia maka wajib telah berbadan hukum Indonesia dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 59 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/52/PBI/2005 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan … -36- Dengan Menggunakan Kartu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/8/PBI/2008 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 60 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 13 April 2009. GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 13 April 2009. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 64 DASPLEMBARAN PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 11/ 11 /PBI/2009 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU UMUM Dengan telah berjalannya waktu hampir lima tahun sejak ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu (APMK) pertama kali dikeluarkan pada akhir tahun 2004, banyak terdapat kemajuan di bidang teknologi yang berpengaruh terhadap APMK. Oleh karena itu dan sejalan pula dengan masukan dari industri maka dipandang perlu untuk melakukan beberapa penyelarasan ketentuan. Beberapa aspek yang diperlukan dalam penyesuaian tersebut antara lain adalah pemenuhan aspek keandalan, aspek keamanan dan efisiensi sistem yang digunakan para penyelenggara APMK serta aspek pengawasan yang lebih efektif baik melalui penyampaian laporan, pelaksanaan pengawasan dan penerapan pra pengawasan melalui proses perizinan. Upaya meningkatkan terciptanya efisiensi nasional sistem pembayaran melalui APMK dapat ditempuh dengan mengharuskan prinsipal, penerbit dan/atau acquirer APMK untuk memenuhi persyaratan tertentu seperti menggunakan sistem yang andal dan saling dapat membaca dengan sistem dari prinsipal, penerbit dan/atau acquirer yang lain. Dengan pemenuhan persyaratan tersebut dapat dihindari banyaknya sistem yang tidak saling terhubung sehingga dapat … -2- dapat dilakukan penghematan investasi perangkat teknologi, yang pada akhirnya biaya proses transaksi menjadi lebih murah dan efisien. Dalam kaitan pemenuhan persyaratan dan memudahkan dalam pengawasannya, maka prinsipal, penerbit, dan acquirer disyaratkan harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Bank Indonesia sebelum melakukan kegiatannya. Sementara itu dalam rangka pengefektifan pengawasan kepada penyelenggara APMK lainnya, seperti penyelenggara kliring dan penyelenggara penyelesaian akhir dalam transaksi APMK, maka kepada kedua penyelenggara tersebut juga telah dirinci persyaratan perolehan izin dan berbagai laporan yang harus disampaikan kepada Bank Indonesia. Untuk penyelenggara kegiatan personalisasi kartu APMK yang dalam aturan sebelumnya dipersyaratkan adanya izin, dalam pengaturan ini tidak lagi disyaratkan izin, karena lebih banyak terkait dengan kegiatan pendukung dalam penyelenggaraan APMK. Untuk pemenuhan aspek keandalan sistem dan kesanggupan menjaga rahasia data pemegang kartu yang harus dipenuhi oleh perusahaan personalisasi, hal tersebut menjadi tugas dan tanggung jawab penerbit APMK ketika penerbit APMK yang bersangkutan melakukan kerjasama dengan perusahaan personalisasi tersebut. Dari sisi aspek perlindungan kepada para pemegang APMK, beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh penerbit tidak mengalami perubahan dari peraturan APMK yang lama, namun terdapat beberapa penambahan penjelasan dan penyesuaian rumusan sesuai dengan perkembangan adanya peraturan perundangan yang baru di bidang informasi dan transaksi elektronik, seperti Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam beberapa hal dimungkinkan agar pengaturan-pengaturan yang sifatnya teknis dan mikro dapat diminta untuk diatur dan disepakati sendiri oleh industri untuk melengkapi aturan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia (Self-Regulation Organization/SRO). Namun … -3- Namun pengaturan yang dikeluarkan oleh SRO tersebut tidak boleh bertentangan dengan aturan yang bersifat kebijakan dan makro yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Selanjutnya, mengingat alat pembayaran dengan menggunakan produk prabayar telah berkembang pesat dan diperkirakan ke depan akan terus bervariasi pengembangan dan pemanfaatannya oleh industri dan masyarakat, tentu memerlukan perhatian khusus terutama dari sisi pengawasan dan ketersediaan peraturannya. Sehubungan dengan hal tersebut, pengaturan mengenai produk prabayar perlu diatur secara lebih lengkap dalam peraturan Bank Indonesia tersendiri yang terpisah dari pengaturan APMK. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Pada prinsipnya baik Bank maupun Lembaga Selain Bank mempunyai kesempatan yang sama untuk bertindak sebagai Prinsipal, seperti mempunyai tanggung jawab yang sama dalam pemenuhan keandalan sistem dan penetapan prosedur serta persyaratan yang fair dan obyektif jika jaringannya digunakan oleh Penerbit lain. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat … -4- Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”obyektif” adalah sesuai dengan persyaratan- persyaratan yang ditetapkan oleh Prinsipal dan menerapkan perlakuan yang setara (equal treatment) kepada seluruh Penerbit dan/atau Acquirer. Yang dimaksud dengan ”transparan” adalah harus tersedia informasi yang memadai kepada Penerbit dan/atau Acquirer terhadap proses penyusunan, pelaksanaan prosedur dan persyaratan yang ditetapkan oleh Prinsipal. Pengawasan yang dilakukan Prinsipal terhadap keamanan dan keandalan jaringan yang digunakan oleh Penerbit dan/atau Acquirer dilakukan secara efektif baik melalui pemantauan atau dengan pemeriksaan di lokasi Penerbit dan/atau Acquirer. Pelaksanaan pemeriksaan tersebut dapat dilakukan secara rutin atau insidentil tanpa harus menunggu adanya suatu kejadian atau jika Penerbit dan/atau Acquirer akan melakukan kerjasama dengan pihak lain. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pihak lain yang bekerjasama dengan Penerbit dan/atau Acquirer” adalah pihak selain Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir, seperti perusahaan switching, perusahaan personalisasi, perusahaan pencetakan kartu, dan/atau perusahaan yang menyediakan sarana pemrosesan transaksi APMK. Pasal … -5- Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pemberitahuan tertulis kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja dibuktikan dengan stempel tanggal dari perusahaan jasa pengiriman dokumen atau stempel tanggal terima dari Bank Indonesia. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Lembaga Selain Bank yang dapat melakukan penghimpunan dana sesuai dengan undang-undang yang mengatur mengenai Lembaga Selain Bank tersebut antara lain koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia yang mengatur mengenai koperasi. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal … -6- Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Termasuk dalam pengertian ”tindakan yang merugikan” adalah tindakan Pedagang yang merugikan Prinsipal, Penerbit, Acquirer dan/atau Pemegang Kartu, antara lain Pedagang diketahui telah melakukan kerjasama dengan pelaku kejahatan (fraudster), memproses penarikan/gesek tunai (cash withdrawal transaction) Kartu Kredit, atau memproses tambahan biaya transaksi (surcharge). Ayat (3) Kewajiban tukar menukar informasi dan data antar Acquirer, baik oleh Acquirer Kartu Kredit maupun Acquirer Kartu Debet, tentang nama dan data Pedagang ditindaklanjuti dengan mengusulkan nama Pedagang dalam suatu daftar hitam Pedagang (merchant black list). Pengelolaan informasi tentang merchant black list dapat dilakukan oleh asosiasi Acquirer dan/atau Penerbit Kartu Kredit atau Kartu Debet. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat … -7- Ayat (2) Bank atau Lembaga Selain Bank dinyatakan telah dapat melaksanakan kegiatannya sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir apabila jaringan atau sistemnya telah dapat dioperasikan dan produknya telah dapat digunakan oleh masyarakat luas sebagai APMK. Pemberitahuan tertulis mengenai belum dapat dilaksanakannya kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir harus disertai dengan bukti-bukti pendukung yang memperkuat penjelasan mengenai alasan dan kendala-kendala yang menyebabkan belum dapat dilaksanakannya kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang bekerjasama dalam Pasal ini adalah Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang beroperasi di wilayah Republik Indonesia. Pasal … -8- Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak selain Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir, seperti perusahaan switching, perusahaan personalisasi, perusahaan pencetakan kartu, dan/atau perusahaan yang menyediakan sarana pemrosesan transaksi APMK. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 Yang dimaksud dengan ”tanda tangan” dalam Pasal ini adalah tanda tangan basah atau tanda tangan elektronik. Tanda tangan basah dari calon Pemegang Kartu diperlukan bagi calon Pemegang Kartu yang untuk pertama kalinya mengajukan permohonan Kartu Kredit pada Penerbit, dan Penerbit tersebut sama sekali belum pernah mempunyai data tentang calon Pemegang Kartu tersebut (Customer Information File/CIF). Persyaratan tersebut diperlukan sebagai bagian dari perlindungan kepada calon Pemegang Kartu. Tanda tangan dalam bentuk lainnya seperti tanda tangan elektronik dapat dipersyaratkan jika Penerbit telah mempunyai data Pemegang Kartu misalnya untuk pemberian Kartu Kredit yang bersifat add-on, up-grade, atau conversion. Yang dimaksud dengan ”add-on” adalah pemberian kartu kredit yang kedua dan seterusnya kepada Pemegang Kartu yang sama. Yang dimaksud dengan ”up-grade” adalah peningkatan fasilitas kartu seperti dari silver ke gold. Yang dimaksud dengan ”conversion” adalah pengubahan fasilitas Kartu … -9- Kartu Kredit dari satu jenis fasilitas ke fasilitas lainnya, seperti dari silver card ke clear card. Dalam mengimplementasikan tanda tangan elektronik, Penerbit harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan Republik Indonesia mengenai informasi dan transaksi elektronik. Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”manajemen risiko” dalam ayat ini antara lain meliputi manajemen risiko likuiditas, manajemen risiko kredit, manajemen risiko operasional dan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi. Dalam penerapan manajemen risiko tersebut Penerbit atau Acquirer diharuskan juga memiliki kesiapan finansial untuk memenuhi kewajiban pembayaran yang mungkin timbul dalam hal terjadi kejahatan Kartu Kredit. Ketentuan yang mengatur manajemen risiko bagi Penerbit atau Acquirer Kartu Kredit yang berupa Bank, mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai manajemen risiko dan seluruh peraturan pelaksanaannya. Sementara itu khusus untuk penerapan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi bagi Penerbit atau Acquirer Kartu Kredit yang berupa Bank mengacu pada Peraturan Bank Indonesia tentang Manajemen Risiko Dalam Penggunaan Teknologi Informasi Pada Bank Umum Ketentuan yang mengatur manajemen risiko bagi Penerbit atau Aquirer Kartu Kredit yang berupa Lembaga Selain Bank mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai manajemen risiko Lembaga Selain Bank tersebut. Dalam hal belum terdapat ketentuan yang mengatur … -10- mengatur mengenai manajemen risiko Lembaga Selain Bank, maka penerapan manajemen risiko bagi Penerbit atar Acquirer yang berupa Lembaga Selain Bank dapat mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai manajemen risiko Bank termasuk manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi. Ayat (2) Dalam mengikuti ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan bank bagi Bank Umum termasuk memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat, yang sekurang-kurangnya memuat dan mengatur hal-hal pokok seperti prinsip kehati-hatian dalam perkreditan, organisasi dan manajemen perkreditan, kebijakan persetujuan kredit, dokumentasi dan administrasi kredit, pengawasan kredit, dan penyelesaian kredit bermasalah. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Ketentuan yang mengatur tentang penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan bagi Penerbit Kartu Kredit berupa Bank mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan Bank Umum. Ketentuan … -11- Ketentuan yang mengatur tentang penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan bagi Penerbit Kartu Kredit berupa Lembaga Selain Bank mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan bagi Lembaga Selain Bank tersebut. Dalam hal belum terdapat ketentuan yang mengatur mengenai penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan bagi Lembaga Selain Bank, maka penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan bagi Penerbit Kartu Kredit berupa Lembaga Selain Bank dapat mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan Bank Umum. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”aspek keadilan dan kewajaran” adalah bahwa Penerbit mengikuti kesepakatan tata cara perhitungan yang telah disepakati oleh industri dan terikat untuk menyampaikan secara transparan prinsip-prinsip perhitungan tersebut kepada Pemegang Kartu. Contoh mempertimbangkan asas keadilan dan kewajaran antara lain, Penerbit tidak mengenakan bunga atas tagihan yang telah dibayar sebelum tanggal cetak tagihan (early payment). Ayat (3) Kewajiban untuk tunduk pada ketentuan Bank Indonesia mengenai penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan Bank Umum, berlaku baik untuk Bank maupun Lembaga Selain Bank yang menerbitkan Kartu Kredit. Ayat … -12- Ayat (4) Untuk kepentingan internal, Penerbit Kartu Kredit dapat melakukan penghitungan kolektibilitas yang lebih hati-hati (prudent) daripada ketentuan Bank Indonesia atau ketentuan otoritas yang berwenang terhadap Lembaga Selain Bank, namun untuk kepentingan pelaporan kepada Bank Indonesia, Penerbit Kartu Kredit wajib melakukan penghitungan kolektibilitas kredit berdasarkan ketentuan Bank Indonesia mengenai pemberian kredit oleh Bank. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 18 Yang dimaksud dengan “fasilitas yang mempunyai dampak tambahan biaya” dalam pasal ini antara lain adalah program asuransi dan pemberian Kartu Kredit tambahan. Yang dimaksud dengan “fasilitas lain diluar fungsi utama Kartu Kredit” antara lain adalah memperlakukan kelebihan pembayaran tagihan Kartu Kredit sebagai tabungan yang benar-benar diperlakukan seperti simpanan biasa yang dapat digunakan untuk bertransaksi di luar transaksi Kartu Kredit misalnya transaksi transfer dana antar Bank. Yang dimaksud dengan “persetujuan tertulis dari Pemegang Kartu” adalah persetujuan yang diberikan oleh Pemegang Kartu melalui media komunikasi yang khusus dibangun oleh Penerbit Kartu Kredit untuk komunikasi Penerbit Kartu Kredit dengan nasabahnya termasuk email, faksimili, atau telepon yang kemudian dituangkan dalam catatan resmi Penerbit … -13- Penerbit Kartu Kredit yang bersangkutan baik dalam bentuk transkrip atau media elektronik. Pasal 19 Ayat (1) Pelaksanaan tukar-menukar informasi atau data tentang pemegang Kartu Kredit tetap memperhatikan ketentuan mengenai rahasia bank sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai perbankan. Ayat (2) Data Pemegang Kartu berupa negative list, antara lain berupa informasi mengenai identitas Pemegang Kartu Kredit, data transaksi Kartu Kredit dalam kurun waktu tertentu, kolektibilitas kredit, plafond kredit, dan saldo kredit. Ayat (3) Pusat pengelola informasi dalam ayat ini antara lain pusat pengelola informasi yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia, asosiasi Penerbit Kartu Kredit dan/atau suatu credit bureau. Ayat (4) Larangan pemberian informasi data Pemegang Kartu pada ayat ini misalnya pemberian informasi data Pemegang Kartu oleh Penerbit kepada pihak lain seperti Pedagang dan perusahaan asuransi. Yang dimaksud dengan “persetujuan tertulis dari Pemegang Kartu” adalah persetujuan yang diberikan oleh Pemegang Kartu melalui media komunikasi yang khusus dibangun oleh Penerbit Kartu Kredit untuk komunikasi Penerbit Kartu Kredit dengan nasabahnya termasuk e-mail, faksimili, atau telepon yang kemudian dituangkan dalam catatan … -14- catatan resmi Penerbit Kartu Kredit yang bersangkutan baik dalam bentuk transkrip atau media elektronik. Pasal 20 Ayat (1) Pelaporan produk baru Kartu Kredit dimaksudkan sebagai salah satu bentuk pengawasan sebelum kegiatan produk baru Kartu Kredit dilaksanakan. Produk baru Kartu Kredit antara lain berupa varian baru dari Kartu Kredit (silver, gold, platinum, co-branding, dan lain-lain) atau penambahan fungsi Kartu Kredit. Ayat (2) Penjelasan karakteristik produk baru Kartu Kredit antara lain meliputi alur transaksi, upaya peningkatan keamanan sistem, dan perbedaan produk baru dengan produk sebelumnya. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pihak-pihak di luar pihak lain” dalam ayat ini misalnya perusahaan jasa pengiriman dokumen, agen pemasaran (sales agent) atau jasa penagihan (debt collector). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal … -15- Pasal 22 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”manajemen risiko” dalam ayat ini antara lain meliputi manajemen risiko likuiditas, manajemen risiko operasional dan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi. Dalam penerapan manajemen risiko tersebut Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet juga diharuskan memiliki kesiapan finansial untuk memenuhi kewajiban pembayaran yang mungkin timbul dalam hal terjadi kejahatan Kartu ATM dan/atau Kartu Debet. Ketentuan yang mengatur manajemen risiko bagi Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang berupa Bank, mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai manajemen risiko dan seluruh peraturan pelaksanaannya. Sementara itu khusus untuk penerapan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi mengacu pada Peraturan Bank Indonesia tentang Manajemen Risiko Dalam Penggunaan Teknologi Informasi Pada Bank Umum Ketentuan yang mengatur manajemen risiko bagi Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang berupa Lembaga Selain Bank mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai manajemen risiko Lembaga Selain Bank tersebut. Dalam hal belum terdapat ketentuan yang mengatur mengenai manajemen risiko Lembaga Selain Bank, maka penerapan manajemen risiko bagi Penerbit yang berupa Lembaga Selain Bank dapat mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai manajemen risiko Bank termasuk manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat … -16- Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Pelaporan produk baru Kartu ATM dan/atau Kartu Debet dimaksudkan sebagai salah satu bentuk pengawasan sebelum kegiatan produk baru Kartu ATM dan/atau Kartu Debet dilaksanakan. Ayat (2) Penjelasan karakteristik produk baru Kartu ATM dan/atau Kartu Debet antara lain meliputi alur transaksi, upaya peningkatan keamanan sistem, dan perbedaan produk baru dengan produk sebelumnya. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 25 Penggunaan uang rupiah dalam kegiatan APMK sesuai dengan amanat Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009. Yang dimaksud menggunakan uang rupiah adalah satuan uang rupiah sebagaimana yang telah digunakan dalam transaksi pembayaran dengan alat pembayaran non tunai. Pelaksanaan … -17- Pelaksanaan transaksi menggunakan uang rupiah antara lain dapat ditunjukkan dengan adanya bukti transaksi dalam uang rupiah, seperti yang tercantum dalam sales draft atau bukti transaksi lainnya. Pasal 26 Ayat (1) Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Bank atau Lembaga Selain Bank atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Bank atau Lembaga Selain Bank lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Bank atau Lembaga Selain Bank yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Bank atau Lembaga Selain Bank yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Bank atau Lembaga Selain Bank yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Bank atau Lembaga Selain Bank atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan Bank atau Lembaga Selain Bank baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Bank atau Lembaga Selain Bank yang meleburkan diri dan status badan hukum Bank atau Lembaga Selain Bank yang meleburkan diri berakhir karena hukum. Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Bank atau Lembaga Selain Bank untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Bank atau Lembaga Selain Bank beralih karena hukum kepada dua atau lebih Bank atau Lembaga Selain Bank atau sebagian aktiva dan pasiva Bank atau Lembaga Selain Bank beralih karena hukum kepada satu atau lebih Bank atau Lembaga Selain Bank. Ayat … -18- Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambilalih saham Bank atau Lembaga Selain Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dalam memberikan kesempatan kepada Bank Indonesia untuk memperoleh informasi termasuk memberikan akses pada sistem teknologi informasi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat … -19- Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 28 Yang dimaksud dengan ”pihak lain” dalam pasal ini adalah pihak-pihak yang oleh Bank Indonesia dinilai memiliki kemampuan untuk melaksanakan pengawasan, antara lain akuntan publik dan konsultan teknologi informasi. Pengawasan oleh pihak lain dapat dilakukan sendiri atau bersama-sama dengan pengawas dari Bank Indonesia. Pasal 29 Ayat (1) Keamanan teknologi APMK meliputi keamanan dalam proses penerbitan kartu, pengelolaan data, keamanan pada kartu, dan keamanan pada seluruh sistem yang digunakan untuk memproses transaksi APMK. Yang dimaksud dengan ”aman” adalah sistem elektronik yang digunakan terlindungi secara fisik dan non fisik. Yang dimaksud dengan ”andal” adalah sistem elektronik memiliki kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan penggunaannya. Ayat (2) Pelaksanaan audit untuk teknologi informasi dapat dilakukan oleh auditor independen. Ayat … -20- Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Keharusan penyediaan sistem yang dapat dikoneksikan dengan sistem APMK yang lain antara lain dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dalam kegiatan APMK. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Perubahan informasi pada dokumen tertentu yang harus dilaporkan antara lain meliputi susunan pengurus atau pemilik dari badan usaha yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal … -21- Pasal 35 Ayat (1) Pengaturan sendiri oleh forum atau institusi (Self-Regulation Organization/SRO) dimaksudkan untuk melengkapi aturan dan kebijakan Bank Indonesia. Ayat (2) Untuk mencegah agar aturan yang dikeluarkan tidak bertentangan dengan aturan dan kebijakan Bank Indonesia, maka materi aturan yang akan dikeluarkan oleh forum atau institusi tersebut dikonsultasikan kepada Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 36 Pencantuman daftar nama Bank atau Lembaga Selain Bank dalam website Bank Indonesia dimaksudkan agar masyarakat luas dapat mengetahui Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia dalam penyelenggaran APMK. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal … -22- Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal … -23- Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Rekomendasi dari otoritas pengawas yang berwenang dapat berasal dari pengawas bank, pengawas sistem pembayaran atau pengawas dari Lembaga Selain Bank yang bersangkutan. Huruf c Cukup jelas. Huruf … -24- Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5000
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 11/11/PBI/2009 </reg_id> <reg_title> PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU </reg_title> <set_date> 13 April 2009 </set_date> <effective_date> 13 April 2009 </effective_date> <issued_date> 13 April 2009 </issued_date> <replaced_reg> '7/52/PBI/2005', '10/8/PBI/2008' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '40/UU/2007', '7/UU/1992', '21/UU/2008', '10/UU/1998', '11/UU/2008', '6/UU/2009' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
Administrator Peraturan ini mencabut; - PBI No.2/20/PBI/2000 Tgl.12.-09-2000 BANK INDONESIA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/ 15/PBI/2003 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek, Bank Indonesia sebagai lender of the last resort dapat memberikan kredit kepada bank umum yang djamin dengan agunan berkualitas tinggi dan mudah dicairkan; b. bahwa untuk menunjang efektivitas dalam pelaksanaan pemberian kredit dimaksud perlu diadakan penyesuaian dan penyempurnaan ketentuan yang berlaku. c. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Umum, Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790) 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); BANK INDONESIA 0 MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan . Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha perbankan konvensional. 2. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek yang selanjutnya disebut FPJP adalah fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia kepada Bank yang hanya dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek. . Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek adalah keadaan yang dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih keeil dibandingkan dengan arus dana keluar (nismatch). . Sertifikat Bank Indonesia yang untuk selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. Surat Utang Negara yang untuk selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya. 8-100P0 1A4B-207-2-2000-AM BANK INDONESIA 6. Pasar Uang Antar Bank yang untuk selanjutnya disebut PUAB adalah kegiatan pinjam meminjam dana antara satu Bank dengan Bank lainnya. Pasal 2 (1) Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek sehingga pada akhir hari tidak dapat menyelesaikan kewajibannya, dapat memperoleh FPJP dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) FPJP diberikan dengan jumlah maksimum sebesar kewajiban yang tidak dapat diselesaikan. BAB II PERSYARATAN DAN TATA CARA PERMOHONAN FPJP Pasal 3 Bank yang dapat mengajukan FPJP adalah Bank yang menurut penilaian Bank Indonesia memiliki tingkat kesehatan yang cukup baik. Pasal 4 (I) PPJP wajib dijamin dengan agunan milik Bank yang bersangkutan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. (2) Agunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa a. SBI: b. SUN; dan atau c. surat berharga dan atau tagihan lain. BANK INDONESIA (3) Persyaratan agunan berupa SBI dan SUN sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan huruf b diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (4) Penetapan jenis dan nilai agunan berupa surat berharga dan atau tagihan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf o diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 5 (1) Nilai agunan yang wajib diserahkan kepada Bank Indonesia ditetapkan sebagai berikut: dalam hal agunan berupa SBI, nilai agunan ditetapkan sebesar 100% (seratus perseratus) dari FPJP yang dihitung berdasarkan nilai jual SBI: b. dalam hal agunan berupa SUN, nilai agunan ditetapkan sebesar 1059 (seratus lima perseratus) dari FPJP yang dihitung berdasarkan nilai pasar SUN. (2) Nilai jual SBI dan nilai pasar SUN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 6 (1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus bebas dari Segala bentuk perikatan, Sengketa, dan tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain dan atau Bank Indonesia, yang dinyatakan dalam surat pemnyataan Bank kepada Bank Indonesia. (2) Bankal62z BANK INDONESIA (2) Bank yang telah memperoleh FPjp dilarang untuk memperjualbelikan dan atau menjaminkan kembali surat betharga yang masih dalam status sebagai aglinan FPJP. (3) Bank wajib mengganti agunan FPJP apabila tidak memenuhi kondisi- kondisi sebagaimana diatur dalam ayat (1) dan ayat (2). (4) Persyaratan agunan tidak sedang dijaminkan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila agunan dimaksud dijaminkan kembali kepada Bank Indonesia dalam rangka permohonan perpanjangan FPJP yang telah diperoleh Bank. (5) Larangan untuk menjaminkan kembali surat berharga yang masih dalam status sebagai agunan FPJP sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila agunan dimaksud dijaminkan kepada Bank Indonesia dalam rangka permohonan perpanjangan FPJP yang telah diperoleh Bank. Pasal 7 (1) Bank yang memerlukan FPJP wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan FPJP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan. (3) Tata cara permohonan dan dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 81- 100P810M8)-10-.2-2000-J Pasal 8 (1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bank Indonesia akan melakukan antara lain a. pengecekan atas kelengkapan dokumen permohonan FPJP, b. pengecekan atas pemenuhan persyaratan permohonan FPJP; c. pengecekan jumlah kewajiban jangka pendek yang tidak dapat diselesaikan pada hari itu dengan jumlah permohonan FPJP. (2) Apabila berdasarkan pengecekan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Bank Indonesia menyetujui permohonan FPJP, maka Bank Indonesia merealisasikan pemberian FPJP. (3) Perjanjan FPJP dibuat sesuai dengan format yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia tentang FPJP yang berlaku. (4) Pejanjan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib dilampiri dengan perjanjian pengikatan agunan. (5) Bank Indonesia memolak permohonan FPJP yang tidak sesuai dengan ketentuan, tatacara dan persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 9 (I) Jangka waktu setiap FPJP adalah 1 (satu) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang secara berturut-turut dengan jangka Waktu FPJP keseluruhannya maksimum 90 (sembilan puluh) hari. (3) Dalam hal permohonan perpanjangan FPJP menyebabkan penggunaan FPJP mnelebihi 90 (sembilan puluh) hari berturut-turut sebagaimana dimaksud dalam.4182 81-100 PAIAIB-207-2-2000- dalam ayat (2), Bank Indonesia menolak permohonan perpanjangan FPJP dimaksud. Pasal 10 (I) Perpanjangan EPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) hanya dapat dilakukan apabila a. bunga atas FPJP yang jatuh tempo dilunasi terlebih dahulu. b. saldo giro bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk melunasi FPJP yang jatuh tempo c. agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6. (2) Perpanjangan FPJP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan sebesar nominal FPJP yang telah jatuh tempo. (3) Dalam hal Bank tidak dapat membayar bunga atas FPJP yang jatuh tempo scbagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank dapat mengajukan perpanjangan FPJP scbesar nilai nominal FPJP yang telah jatuh tempo ditambah biaya bunga yang tidak dapat dilunasi sepanjang : agunran masih mencuikupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6; dan b. penggunaan FPJP belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari berturut- turut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2). Pasal 11 Dalam rangka perpanjangan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. Bank dapat mengajukan tambahan nilai FPJP yang dibutulkan untuk menutupi kewajiban..97682- kewajiban yang tidak dapat diselesaikan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) sepanjang a. agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6; dan . penggunaan FPJP belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari berturut-turut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Pasal 12 Dalam rangka perpanjangan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11, Bank dapat menggunakan agunan lama maupun agunan baru. BAB III PERHITUNGAN BUNGA Pasal 13 (1) Bank Indonesia mengenakan biaya bunga kepada Bank atas penggunaan FPJP. (2) Biaya bunga FPJP sebagaimana dimaksud dalam ayat (I) termasuk perpanjangannya ditetapkan sebesar nilai tertinggi dari: rata-rata tertimbang suku bunga PUAB overnight pada 1 (satu) hari sebelum permohonan FPJP atau perpanjangan FPJP ditambah madjin b. rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI jangka waktu 1 (satu) bulan pada lelang terakhir ditambah marjin tertentu. (3) Penetapan..90090- (3) Penetapan suku bunga PUAB, tata cara perhitungan rata rata tertimbang suku bunga PUAB, dan marjin tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat Bdaran Bank Indonesia. BAB IV PELUNASAN DAN EKSEKUSIAGUNAN Pasal 14 (1) Pada saat FPJP jatuh tempo, Bank Indonesia mendebet rekening giro Rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia sebesar nilai FPJP ditambah bunga FPJP. (2) Dalam hal PPJP jatuh tempo dan saldo giro Rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk membayar nilai nominal dan bunga FPJP dan Bank tidak lagi memenuhi persyaratan untuk memperoleh perpanjangan FPJP, maka Bank Indonesia mengeksekusi agunan FPJP. (3) Bank Indonesia tetap mengenakan biaya bunga sampai dengan eksekusi agunan selesai dilaksanakan. (4) Apabila nilai eksekusi agunan lebih kecil dibandingkan dengan total nilai FPJP dan kewajiban bunga yang harus dilunasi oleh Bank maka Bank wajib membayar kekurangannya kepada Bank Indonesia. (S) Apabila nilai cksekusi agunan lebih besar dibandingkan dengan total nilai FPJP dan kewajiban bunga yang hanus dilunasi oleh Bank maka Bank Indonesia mengembalikan kelebihan tersebut kepada Bank. BANK INDONESIA BAB V PENGAWASAN Pasal 15 Dalam rangka pengawasan atas penggunaan FPJP, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap Bank yang bersangkutan. BAB VI SANKSI Pasal 16 Dalam hal Bank melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan atau berdasarkan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diketabui adanya penyimpangan penggunaan FPJP, maka Bank dapat dikenakan sanksi berupa a. tidak dapat memperoleh FPJP dalam jangka waktu tertentu; dan b. sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) Undang.- undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 antara lain berupa teguran tertulis, larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring, pembekuan kegiatan usaha tertentu dan atau pemberhentian pengurus Bank. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 17 Ketentuan lebih lanjut mengenai FPJP diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 18..00282- 8-10 PBI IAB1-207-2.2000.A BANK INDONESIA Pasal 18 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/20/PBI/2000 tanggal 12 September 2000 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 19 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 14 Aguatus 2003. GUBERNUR BANK INDONESIAJ39. p BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 99 DPNP, DPM. PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/ 15 /PBI/2003 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM L. UMUM Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia dapat memberikan kredit kepada Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. Sejalan dengan hal tersebut, Bank Indonesia menyediakan fasilitas pendanaan dalam rangka mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek kepada Bank, dengan maksud agar kelangsungan kegiatan usaha Bank dan kelancaran sistem pembayaran dapat terpelihara. Pemberian kredit olehi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud di atas berupa penyediaan Fasilitas Pendanaam Jangka Pendek (FPJP) wajib dijamin dengan agunan berupa Sertifikat Bank Indonesia, Surat Utang Negara dan atau surat berharga dan atau tagihan lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. FPJP hanya diberikan kepada Bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek, sehingga perlu ditetapkan persyaratan tertentu terhadap bank-bank yang mengajukan permohonan FPJP. Dalam rangka efektivitas pelaksanaannya maka dalam Peraturan Bank Indonesia ini dilakukan penyempumaan mekanisme pelaksanaan pemberian FPJP tersebut. II. PASAL.90092 IT. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (I) Yang dimaksud dengan tidak dapat menyelesaikan kewajibannya adalah ketidakmampuan Bank dalam menyelesaikan kewajiban, baik yang terjadi melalui sistem kliring dan atau karena pemakaian fasilitas pendanaan dalam rangka Sistem BI-RTGS. Yang dimaksud dengan kewajiban adalah tidak termasuk kewajiban untuk memenuhi ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) yang borlaku. Ayat (2) Cukupjelas Pasal 3 Yang dimaksud dengan Bank yang memiliki tingkat kesehatan yang cukup baik adalah Dank yang masih beroperasi. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Hurufa Cukup jelas Hurufb..9182 N- 10OPO LAIB)- 207.2-2000.AJ BANK INDONESIA Huruf b Dalam hal agunan berupa SUN, harus merupakan SUN yang berada dalam portofolio perdagangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Huruf c Yang dimaksud dengan surat berharga dan atau tagihan lain adalah meliputi surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang kompeten dan sewaktu-waktu dengan mudah dapat dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 5 Ayat (I) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3).-9092 BI- 100P8104B-207-2-20000 Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (I) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5).00992 BI- 100P81IAB1- 207.2- 2000.A BANK INDONESIA Ayat (5) Cukupjelas Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan hari pada ayat ini adalah hari kalender. Apabila saat jatuh tempo FPJP bertepatan dengan hari Sabtu, Minggu atau hari libur, maka saat jatuh tempo FPJP adalah pada hari kerja berikutnya. Ayat (2) Jangka waktu setiap perpanjangan FPJP adalah 1 (satu) hari. Perhitungan jangka waktu FPJP keseluruhan maksimum 90 (sembilan puluh) hari adalah termasuk hari Sabtu, Minggu atau bari libur yang dihitung sejak pertama kali Bank memanfaatkan FPJP. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c.9118- Huruf c Dalam rangka pelaksanaan perpanjangan FPJP, agunan yang telah diagunkan Bank untuk menjamin FPJP yang diterima Bank sebelumnya akan dinilai kembali, sehingga Bank periu menyesuaikan jumlah agunan yang diseralkan untuk menjamin perpanjangan FPJP. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 11 Tambahan nilai FPJp yang diajukan akan diakumulasikan terhadap nilai FPJP yang belum dilunasi. Pasal 12 Yang dimaksud dengan agunan lama adalah agunan yang telah digunakan untuk menjamin FPJP yang masih dimanfaatkan Bank. Pasal 13 Ayat (1) Pengenaan biaya bunga HPJP dilakukan dengan rumus sebagai berikut (Jumlah FPJP)x(suku bunga PPJP)x(jangka waktu dalam hari) 360 Asat(2).97492 BANK INDONESIA Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan jatuh tempo adalah apabila Bank tidak mengajukan permohonan perpanjangan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 atau Pasal 11 dan atau Bank tidak lagi memenuhi persyaratan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3). Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 15 Pemeriksaan terhadap Bank yang menerima FPJP dapat dilakukan pada periode diterimanya atau setelah jatuh tempo FPJP. Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR .4942- 81.100 PB1 LAABI- 207-2-2000-
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 5/15/PBI/2003 </reg_id> <reg_title> FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 14 Agustus 2003 </set_date> <effective_date> 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal 14 Agustus 2003 </effective_date> <replaced_reg> '2/20/PBI/2000' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
Diubah dengan PBI No. 2/10/PBI/2000 tanggal 29 Maret 2000 PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1 / 10 /PBI/1999 TENTANG PORTOFOLIO OBLIGASI PEMERINTAH BAGI BANK UMUM PESERTA PROGRAM REKAPITALISASI GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka Program Rekapitalisasi Bank Umum, Pemerintah telah menerbitkan obligasi yang dapat diperdagangkan; b. bahwa untuk pelaksanaan perdagangan Obligasi Pemerintah tersebut diperlukan pengaturan tentang portofolio dan pencatatan obligasi yang dimiliki bank umum peserta program rekapitalisasi; c. bahwa sehubungan dengan itu perlu disusun ketentuan mengenai Portofolio Obligasi Pemerintah Bagi Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 3. Peraturan … - 2 - 3. Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1998 tentang Program Rekapitalisasi Bank Umum (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3799); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PORTOFOLIO OBLIGASI PEMERINTAH BAGI BANK UMUM PESERTA PROGRAM REKAPITALISASI. Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang ikut serta dalam Program Rekapitalisasi Bank Umum; 2. Obligasi Pemerintah yang selanjutnya disebut Obligasi adalah Surat Utang Negara Republik Indonesia dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam rangka Program Rekapitalisasi Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1998; 3. Portofolio Investasi (Investment Portfolio) adalah portofolio Obligasi yang dicatat dalam pembukuan Bank yang tidak dapat diperdagangkan; 4. Portofolio Perdagangan (Trading Portfolio) adalah portofolio Obligasi yang dicatat dalam pembukuan Bank yang dapat diperdagangkan. Pasal 2 (1) Bank dilarang memperdagangkan Obligasi yang dimilikinya sampai dengan 31 Januari 2000. (2). Bank … - 3 - (2) Bank wajib membukukan Obligasi yang tidak dapat diperdagangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Portofolio Investasi. Pasal 3 (1) Bank dapat memperdagangkan Obligasi sejak 1 Februari 2000, setinggi- tingginya 10% (sepuluh perseratus) dari nilai keseluruhan Obligasi yang dibeli pada saat Bank menerima penyertaan tunai dari Pemerintah sehubungan dengan Program Rekapitalisasi Bank Umum. (2) Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia jumlah Obligasi yang akan diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 21 Januari 2000. (3) Bank Indonesia menetapkan rincian jenis dan jangka waktu dari jumlah Obligasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan diberitahukan secara tertulis kepada Bank selambat-lambatnya 26 Januari 2000. Pasal 4 (1) Persentase Obligasi yang dapat diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dapat ditingkatkan oleh Bank Indonesia apabila dipandang perlu. (2) Peningkatan persentase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 5 (1) Bank yang memiliki Obligasi yang diterbitkan Pemerintah setelah 31 Januari 2000 sebagai penyertaan tunai Pemerintah dalam rangka Program Rekapitalisasi Bank Umum dapat memperdagangkan Obligasi setinggi- tingginya sebesar persentase yang berlaku, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 atau Pasal 4. (2) Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia jumlah Obligasi yang akan diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sebelum Obligasi diperdagangkan. (3). Bank … - 4 - (3) Bank Indonesia menetapkan rincian jenis dan jangka waktu dari jumlah Obligasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan diberitahukan secara tertulis kepada Bank. Pasal 6 (1) Bank wajib memindahbukukan Obligasi yang dapat diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (2) dari Portofolio Investasi ke dalam Portofolio Perdagangan. (2) Bank wajib membukukan Obligasi yang diperoleh dari perdagangan di pasar sekunder dalam Portofolio Perdagangan. (3) Bank dilarang memindahbukukan Obligasi yang tercatat dalam Portofolio Perdagangan kedalam Portofolio Investasi. Pasal 7 (1) Bank wajib membukukan Obligasi yang dicatat dalam Portofolio Investasi berdasarkan nilai nominal (Par Value). (2) Bank wajib membukukan Obligasi yang dicatat dalam Portofolio Perdagangan berdasarkan nilai wajar. Pasal 8 (1) Bank dapat mengagunkan Obligasi yang dicatat dalam Portofolio Perdagangan. (2) Bank dilarang mengagunkan Obligasi yang dicatat dalam Portofolio Investasi. Pasal 9 … - 5 - Pasal 9 (1) Sebelum masa perdagangan Obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berlaku, Bank diperkenankan mengagunkan Obligasi yang dimilikinya kepada pihak ketiga dengan persetujuan Bank Indonesia. (2) Persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan: a. Bank mengalami kesulitan likuiditas antara lain terjadinya pelanggaran ketentuan Giro Wajib Minimum yang ditetapkan Bank Indonesia; dan b. Bank telah mempunyai kewajiban antar bank jangka pendek sekurang- kurangnya sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari kewajiban segera yang dimiliki; dan c. Jangka waktu pinjaman yang diterima Bank dengan agunan Obligasi dimaksud sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan. (3) Jumlah yang dapat disetujui oleh Bank Indonesia untuk diagunkan adalah sebesar jumlah kesulitan likuiditas yang dialami sampai dengan setinggi- tingginya sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari nilai keseluruhan Obligasi yang dibeli pada saat Bank menerima penyertaan tunai dari Pemerintah sehubungan dengan Program Rekapitalisasi Bank Umum. (4) Obligasi yang diagunkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dibukukan dalam Portofolio Perdagangan. (5) Dana pinjaman yang diperoleh dengan mengagunkan Obligasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib segera dipergunakan untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dan memenuhi ketentuan Giro Wajib Minimum. (6) Bank wajib menyampaikan rencana dan realisasi penggunaan dana pinjaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (5). (7) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ini hanya berlaku sampai dengan 31 Januari 2000. Pasal 10 … - 6 - Pasal 10 (1) Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (1), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa: a. Teguran tertulis; dan/atau b. Pembekuan kegiatan perdagangan Obligasi sekurang-kurangnya selama 3 (tiga) bulan; dan/atau c. Pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela dibidang perbankan. Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 3 Desember 1999 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 211 DPNP - 7 - - 8 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1 / 10 /PBI/1999 TENTANG PORTOFOLIO OBLIGASI PEMERINTAH BAGI BANK UMUM PESERTA PROGRAM REKAPITALISASI UMUM Sebagai tindak lanjut dari program restrukturisasi perbankan, Pemerintah telah menerbitkan obligasi yang dapat diperdagangkan dalam rangka memperkuat struktur permodalan bank. Disamping itu, penerbitan obligasi juga dimaksudkan untuk membantu likuiditas perbankan, memberikan alternatif investasi bagi masyarakat dan sekaligus mendorong pengembangan aktivitas perdagangan surat-surat berharga di pasar sekunder. Perdagangan obligasi akan dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan perkembangan transaksi/perdagangan obligasi di pasar keuangan serta prinsip kehati-hatian operasional bank. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Cukup jelas Angka 3 … - 9 - Angka 3 Cukup jelas Angka 4 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Obligasi yang dimiliki oleh Bank adalah Obligasi yang dibeli pada saat Bank menerima penyertaan tunai dari Pemerintah sehubungan dengan Program Rekapitalisasi Bank Umum. Obligasi dimaksud tidak dapat diperdagangkan selama berlangsungnya masa tenggang (Lock-up Period) yaitu kurun waktu sejak dibelinya Obligasi sampai dengan 31 Januari 2000. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam hal Bank melaporkan jumlah Obligasi yang dapat diperdagangkan lebih rendah dari persentase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka jumlah yang dilaporkan tersebut adalah batasan jumlah Obligasi yang dapat diperdagangkan oleh Bank. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 … - 10 - Pasal 4 Ayat (1) Penetapan besarnya jumlah Obligasi yang dapat diperdagangkan dilakukan dengan memperhatikan perdagangan Obligasi di pasar sekunder. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Bank yang memiliki Obligasi yang diterbitkan Pemerintah setelah 31 Januari 2000 adalah Bank -Bank yang menerima penyertaan tunai Pemerintah dalam rangka Program Rekapitalisasi Bank Umum setelah tanggal tersebut. Ayat (2) Dalam hal Bank melaporkan jumlah Obligasi yang dapat diperdagangkan lebih rendah dari persentase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka jumlah yang dilaporkan tersebut adalah batasan jumlah Obligasi yang dapat diperdagangkan oleh Bank. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Obligasi yang dipindahbukukan harus sesuai dengan rincian jenis dan jangka waktu yang ditetapkan Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Pasal 7 … - 11 - Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Nilai wajar diukur dengan cara mengalikan volume obligasi yang dapat diperdagangkan (Portofolio Perdagangan) dengan harga pasar (Mark to Market) yang ditetapkan berdasarkan kuotasi rata-rata harga penutupan pada hari yang bersangkutan. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah kreditur di luar Bank Indonesia. Diperkenankannya Bank untuk memperoleh pinjaman dari pihak ketiga dengan mengagunkan Obligasi yang dimiliki selama masa tenggang (Lock-up Period), dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan penarikan dana oleh nasabah penyimpan dana dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang relatif bersamaan berkaitan dengan kekhawatiran terhadap permasalahan komputer tahun 2000. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b … - 12 - Huruf b Yang dimaksud dengan kewajiban segera yang dimiliki adalah pos kewajiban segera lainnya sebagaimana diatur dalam ketentuan tentang Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi yang berlaku. Huruf c Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 11 … - 13 - Pasal 11 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3917 DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 1/10/PBI/1999 </reg_id> <reg_title> PORTOFOLIO OBLIGASI PEMERINTAH BAGI BANK UMUM PESERTA PROGRAM REKAPITALISASI </reg_title> <set_date> 3 Desember 1999 </set_date> <effective_date> 3 Desember 1999 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '84/PP/1998', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal 10' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR:9/1/PBI/2007 TENTANG SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kesehatan suatu bank berdasarkan prinsip syariah merupakan kepentingan semua pihak yang terkait, baik pemilik dan pengelola bank, masyarakat pengguna jasa bank maupun Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan bank; b. bahwa dengan meningkatnya jenis produk dan jasa perbankan syariah berpengaruh pada peningkatan kompleksitas usaha dan profil risiko bank berdasarkan prinsip syariah; c. bahwa perubahan metodologi penilaian kondisi bank yang diterapkan secara internasional akan mempengaruhi sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank berdasarkan prinsip syariah yang saat ini berlaku; d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dipandang perlu untuk mengatur kembali Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum berdasarkan prinsip syariah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: … - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH BAB I … - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. 2. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja di kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah, atau unit kerja di Kantor Cabang Bank Asing yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Pembantu Syariah dan atau Unit Syariah. 3. Kantor Cabang Bank Asing adalah kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri 4. Direksi: a. bagi bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 5. Komisaris … - 4 - 5. Komisaris: a. bagi bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 6. Tingkat Kesehatan Bank adalah hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu Bank atau UUS melalui: a. Penilaian Kuantitatif dan Penilaian Kualitatif terhadap faktor-faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, sensitivitas terhadap risiko pasar; dan b. Penilaian Kualitatif terhadap faktor manajemen. 7. Peringkat Komposit adalah peringkat akhir hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank. 8. Penilaian Kuantitatif adalah penilaian terhadap posisi, perkembangan maupun proyeksi rasio-rasio keuangan Bank atau UUS. 9. Penilaian Kualitatif adalah penilaian terhadap faktor-faktor yang mendukung hasil Penilaian Kuantitatif, penerapan manajemen risiko, dan kepatuhan Bank atau UUS. 10. Manajemen Risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha Bank dan UUS. 11. Faktor … - 5 - 11. Faktor Finansial adalah salah satu faktor pembentuk Tingkat Kesehatan Bank yang terdiri dari faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, dan sesitivitas terhadap risiko pasar. 12. Peringkat Faktor Finansial adalah peringkat akhir hasil penilaian Faktor Finansial. Pasal 2 (1) Bank wajib melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah dalam rangka menjaga atau meningkatkan Tingkat Kesehatan Bank. (2) Komisaris dan Direksi Bank wajib memantau dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipenuhi. Pasal 3 Penilaian Tingkat Kesehatan Bank mencakup penilaian terhadap faktor-faktor sebagai berikut: a. permodalan (capital); b. kualitas aset (asset quality); c. manajemen (management); d. rentabilitas (earning); e. likuiditas (liquidity); dan f. sensitivitas terhadap risiko pasar (sensitivity to market risk). Pasal 4 (1) Penilaian terhadap faktor permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a … - 6 - huruf a meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. kecukupan, proyeksi (trend ke depan) permodalan dan kemampuan permodalan dalam mengcover risiko; b. kemampuan memelihara kebutuhan penambahan modal yang berasal dari keuntungan, rencana permodalan untuk mendukung pertumbuhan usaha, akses kepada sumber permodalan dan kinerja keuangan pemegang saham. (2) Penilaian terhadap faktor kualitas aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. kualitas aktiva produktif, perkembangan kualitas aktiva produktif bermasalah, konsentrasi eksposur risiko, dan eksposur risiko nasabah inti. b. kecukupan kebijakan dan prosedur, sistem kaji ulang (review) internal, sistem dokumentasi dan kinerja penanganan aktiva produktif bermasalah. (3) Penilaian terhadap faktor manajemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. kualitas manajemen umum, penerapan manajemen risiko terutama pemahaman manajemen atas risiko Bank atau UUS; b. kepatuhan Bank atau UUS terhadap ketentuan yang berlaku, komitmen kepada Bank Indonesia maupun pihak lain, dan kepatuhan terhadap prinsip syariah termasuk edukasi pada masyarakat, pelaksanaan fungsi sosial. (4) Penilaian terhadap faktor rentabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. kemampuan dalam menghasilkan laba, kemampuan laba mendukung ekspansi dan menutup risiko, serta tingkat efisiensi; b. diversifikasi pendapatan termasuk kemampuan bank untuk mendapatkan fee based income, dan diversifikasi penanaman dana, serta penerapan prinsip akuntansi dalam pengakuan pendapatan dan biaya. (5) Penilaian … - 7 - (5) Penilaian terhadap faktor likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. kemampuan memenuhi kewajiban jangka pendek, potensi maturity mismatch, dan konsentrasi sumber pendanaan; b. kecukupan kebijakan pengelolaan likuiditas, akses kepada sumber pendanaan, dan stabilitas pendanaan. (6) Penilaian terhadap faktor sensitivitas terhadap risiko pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f meliputi penilaian terhadap komponen- komponen sebagai berikut: a. kemampuan modal Bank atau UUS mengcover potensi kerugian sebagai akibat fluktuasi (adverse movement) nilai tukar; b. kecukupan penerapan manajemen risiko pasar. Pasal 5 (1) Penilaian peringkat komponen atau rasio keuangan pembentuk faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, dan sensitivitas terhadap risiko pasar dihitung secara kuantitatif. (2) Penilaian peringkat komponen pembentuk faktor manajemen dilakukan melalui analisis dengan mempertimbangkan indikator pendukung dan unsur judgement. (3) Peringkat setiap rasio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari peringkat 1, peringkat 2, peringkat 3, peringkat 4, dan peringkat 5. (4) Peringkat setiap komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari peringkat A, peringkat B, peringkat C, dan peringkat D. Pasal 6 … - 8 - Pasal 6 (1) Berdasarkan hasil penilaian peringkat setiap rasio dan komponen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ditetapkan peringkat setiap faktor. (2) Penilaian peringkat faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, dan sensitivitas terhadap risiko pasar ditentukan melalui analisis dengan mempertimbangkan indikator pendukung dan atau pembanding yang relevan (judgement) atas: a. peringkat rasio utama; dan b. peringkat rasio penunjang. (3) Penilaian peringkat faktor manajemen dilakukan dengan mempertimbangkan unsur judgement atas peringkat komponen pembentuk. Pasal 7 (1) Peringkat faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, dan sensitivitas terhadap risiko pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) ditetapkan dalam 5 (lima) peringkat, sebagai berikut: a. peringkat 1, b. peringkat 2, c. peringkat 3, d. peringkat 4, atau e. peringkat 5. (2) Penilaian peringkat faktor manajemen ditetapkan dalam 4 (empat) peringkat sebagai berikut: a. Peringkat manajemen A mencerminkan bahwa bank memiliki kualitas tata kelola (corporate governance) yang baik dengan kualitas manajemen risiko dan kepatuhan yang tinggi terhadap peraturan yang berlaku dan prinsip syariah … - 9 - syariah; b. Peringkat manajemen B mencerminkan bahwa bank memiliki kualitas tata kelola (corporate governance) yang cukup baik dengan kualitas manajemen risiko dan kepatuhan yang cukup tinggi terhadap peraturan yang berlaku dan prinsip syariah; c. Peringkat manajemen C mencerminkan bahwa bank memiliki kualitas tata kelola (corporate governance) yang kurang baik dengan kualitas manajemen risiko dan atau kepatuhan yang rendah terhadap peraturan yang berlaku dan atau prinsip syariah; atau d. Peringkat manajemen D mencerminkan bahwa bank memiliki kualitas tata kelola (corporate governance) yang tidak baik dengan kualitas manajemen risiko dan atau kepatuhan sangat rendah terhadap peraturan yang berlaku dan atau prinsip syariah. Pasal 8 (1) Berdasarkan hasil penilaian peringkat faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) ditetapkan Peringkat Faktor Finansial. (2) Proses penilaian Peringkat Faktor Finansial dilaksanakan dengan pembobotan atas nilai peringkat faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, dan sensitivitas terhadap risiko pasar. (3) Peringkat Faktor Finansial ditetapkan sebagai berikut: a. Peringkat Faktor Finansial 1, mencerminkan bahwa kondisi keuangan Bank atau UUS tergolong sangat baik dalam mendukung perkembangan usaha dan mengantisipasi perubahan kondisi perekonomian dan industri keuangan. b. Peringkat Faktor Finansial 2, mencerminkan bahwa kondisi keuangan Bank atau UUS tergolong baik dalam mendukung perkembangan usaha dan mengantisipasi … - 10 - mengantisipasi perubahan kondisi perekonomian dan industri keuangan. c. Peringkat Faktor Finansial 3, mencerminkan bahwa kondisi keuangan Bank atau UUS tergolong cukup baik dalam mendukung perkembangan usaha namun masih rentan/lemah dalam mengantisipasi risiko akibat perubahan kondisi perekonomian dan industri keuangan. d. Peringkat Faktor Finansial 4, mencerminkan bahwa kondisi keuangan Bank atau UUS tergolong kurang baik dan sensitif terhadap perubahan kondisi perekonomian dan industri keuangan. e. Peringkat Faktor Finansial 5, mencerminkan bahwa kondisi keuangan Bank atau UUS yang buruk dan sangat sensitif terhadap pengaruh negatif kondisi perekonomian, serta industri keuangan. Pasal 9 (1) Berdasarkan hasil penilaian Peringkat Faktor Finansial dan penilaian peringkat faktor manajemen, ditetapkan Peringkat Komposit. (2) Peringkat Komposit ditetapkan sebagai berikut: a. Peringkat Komposit 1, mencerminkan bahwa Bank dan UUS tergolong sangat baik dan mampu mengatasi pengaruh negatif kondisi perekonomian dan industri keuangan. b. Peringkat Komposit 2, mencerminkan bahwa Bank dan UUS tergolong baik dan mampu mengatasi pengaruh negatif kondisi perekonomian dan industri keuangan namun Bank dan UUS masih memiliki kelemahan- kelemahan minor yang dapat segera diatasi oleh tindakan rutin. c. Peringkat Komposit 3, mencerminkan bahwa Bank dan UUS tergolong cukup baik namun terdapat beberapa kelemahan yang dapat menyebabkan peringkat komposit memburuk apabila Bank dan UUS tidak segera melakukan … - 11 - melakukan tindakan korektif. d. Peringkat Komposit 4, mencerminkan bahwa Bank dan UUS tergolong kurang baik dan sensitif terhadap pengaruh negatif kondisi perekonomian dan industri keuangan atau Bank dan UUS memiliki kelemahan keuangan yang serius atau kombinasi dari kondisi beberapa faktor yang tidak memuaskan, yang apabila tidak dilakukan tindakan yang efektif berpotensi mengalami kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha. e. Peringkat Komposit 5, mencerminkan bahwa Bank dan UUS sangat sensitif terhadap pengaruh negatif kondisi perekonomian, industri keuangan, dan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha. (3) Proses penilaian Peringkat Komposit dilaksanakan melalui agregasi atas Peringkat Faktor Finansial dan peringkat faktor manajemen menggunakan tabel konversi dengan mempertimbangkan indikator pendukung dan unsur judgement. BAB II MEKANISME DAN TINDAK LANJUT HASIL PENILAIAN Pasal 10 Bank wajib melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini secara triwulanan, untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Pasal 11 (1) Dalam rangka melaksanakan pengawasan bank, Bank Indonesia melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara triwulanan, untuk posisi akhir bulan Maret … - 12 - Maret, Juni, September, dan Desember. (2) Penilaian Tingkat Kesehatan Bank dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan, laporan berkala yang disampaikan bank, dan atau informasi lain yang diketahui secara umum seperti hasil penilaian oleh otoritas atau lembaga lain yang berwenang. (3) Dalam rangka memperoleh hasil penilaian tingkat kesehatan yang sesuai dengan kondisi bank yang sesungguhnya, Bank Indonesia dapat meminta informasi dan penjelasan dari bank. (4) Bank Indonesia melakukan penyesuaian terhadap penilaian Tingkat Kesehatan Bank apabila diketahui terdapat data dan informasi yang mempengaruhi kondisi bank secara signifikan pada posisi setelah posisi penilaian (subsequent events). (5) Apabila terdapat perbedaan hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang dilakukan oleh bank, maka yang berlaku adalah hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia. (6) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank diluar waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 12 (1) Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Bank Indonesia dapat meminta Direksi, Komisaris, dan atau Pemegang Saham untuk menyampaikan action plan yang memuat langkah-langkah perbaikan yang wajib dilaksanakan oleh bank terhadap permasalahan signifikan dengan target waktu penyelesaian selama periode tertentu. (2) Apabila diperlukan Bank Indonesia dapat meminta bank untuk melakukan penyesuaian … - 13 - penyesuaian terhadap action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 13 (1) Bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah pelaksanaan action plan. (2) Dalam hal pelaksanaan action plan dilakukan secara bertahap, bank wajib melaporkan pelaksanaan tahapan action plan dimaksud paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah pelaksanaan setiap tahapan action plan dimaksud. Pasal 14 Apabila diperlukan Bank Indonesia melakukan pemeriksaan khusus terhadap hasil pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Pasal 15 Dalam penilaian tingkat kesehatan UUS dari Kantor Cabang Bank Asing, apabila diperlukan Bank Indonesia meminta data atau informasi mengenai peringkat kantor pusat bank asing. BAB III SANKSI Pasal 16 Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 10, Pasal 12, dan Pasal 13 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun … - 14 - Tahun 1998 berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan atau c. pencantuman pengurus dan atau pemegang saham bank dalam daftar orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus bank. BAB IV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 17 Pelaksanaan sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini mulai diterapkan untuk penilaian data bulan Desember 2007. Pasal 18 Dalam rangka persiapan penerapan sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara efektif, bank harus melaksanakan uji coba penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sejak posisi bulan September 2007. Pasal 19 Sebelum dilaksanakannya sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, penilaian Tingkat Kesehatan Bank oleh Bank Indonesia dilakukan berdasarkan: a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum; b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/277/KEP/DIR tanggal 19 Maret 1998 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/11/KEP/DIR … - 15 - 30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 20 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini akan ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 21 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka: a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/81/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank; b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum; c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/277/KEP/DIR tanggal 19 Maret 1998 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum; d. Surat Edaran Bank Indonesia No. 31/9/UPPB tgl 12 Nov 1998 ttg Perubahan SK Dir No. 26/20/KEP/Dir tanggal 29 Mei 1993 ttg KPMM. dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan Desember 2007. Pasal 22 … - 16 - Pasal 22 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 24 Januari 2007 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 31 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR:9/1/PBI/2007 TENTANG SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH UMUM Kesehatan atau kondisi keuangan dan non keuangan bank berdasarkan prinsip syariah merupakan kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, pengelola (manajemen) bank, masyarakat pengguna jasa bank, Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan bank maupun pihak lainnya. Kondisi bank tersebut dapat digunakan oleh pihak-pihak tersebut untuk mengevaluasi kinerja bank dalam menerapkan prinsip kehati-hatian, kepatuhan terhadap prinsip syariah, kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku dan manajemen risiko. Meningkatnya produk dan jasa perbankan syariah yang semakin kompleks dan beragam akan meningkatkan eksposur risiko yang dihadapi bank berdasarkan prinsip syariah. Perubahan eksposur risiko dan penerapan manajemen risiko akan mempengaruhi profil risiko yang selanjutnya berakibat pada kondisi bank berdasarkan prinsip syariah secara keseluruhan. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan penilaian manajemen risiko dibedakan namun terdapat perpotongan antara keduanya. Dalam penilaian tingkat kesehatan telah memasukkan risiko yang melekat pada aktivitas bank (inherent risk) yang merupakan bagian dari proses penilaian manajemen risiko. Perkembangan … - 2 - Perkembangan metodologi penilaian kondisi bank yang bersifat dinamis mendorong pengaturan kembali sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank berdasarkan prinsip syariah agar dapat memberikan gambaran tentang kondisi saat ini dan di waktu mendatang. Pengaturan kembali penilaian tingkat kesehatan bank berdasarkan prinsip syariah dilakukan melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif serta penambahan faktor penilaian. Bagi perbankan, hasil akhir penilaian kondisi bank tersebut dapat digunakan sebagai salah satu sarana dalam menetapkan strategi usaha di waktu yang akan datang sedangkan bagi Bank Indonesia, antara lain digunakan sebagai sarana penetapan dan implementasi strategi pengawasan Bank dan UUS. Agar pada waktu yang ditetapkan bank berdasarkan prinsip syariah dapat menerapkan sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, maka perbankan perlu melakukan langkah-langkah persiapan dalam menerapkan sistem tersebut. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Penilaian permodalan merupakan penilaian terhadap kecukupan modal Bank … - 3 - Bank dan UUS untuk mengcover eksposur risiko saat ini dan mengantisipasi eksposur risiko di masa datang. Huruf b Penilaian kualitas aset merupakan penilaian terhadap kondisi aset Bank atau UUS dan kecukupan manajemen risiko pembiayaan. Huruf c Penilaian manajemen merupakan penilaian terhadap kemampuan manajerial pengurus bank untuk menjalankan usaha, kecukupan manajemen risiko, dan kepatuhan bank terhadap ketentuan yang berlaku serta komitmen kepada Bank Indonesia dan atau pihak lainnya. Huruf d Penilaian rentabilitas merupakan penilaian terhadap kondisi dan kemampuan Bank dan UUS untuk menghasilkan keuntungan dalam rangka mendukung kegiatan operasional dan permodalan. Huruf e Penilaian likuiditas merupakan penilaian terhadap kemampuan bank untuk memelihara tingkat likuiditas yang memadai. Huruf f Penilaian sensitivitas terhadap risiko pasar merupakan penilaian terhadap kemampuan modal Bank dan UUS untuk mengcover risiko yang ditimbulkan oleh perubahan nilai tukar. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 4 - Ayat (3) Huruf a Pemahaman manajemen bank atas risiko bank dapat dinilai berdasarkan pengamatan pengawas atas pernyataan manajemen dan kinerja bank. Huruf b Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Perhitungan kuantitatif risiko yang melekat pada aktivitas bank (inherent risk) didasarkan pada hasil perhitungan masing-masing rasio keuangan pembentuk komponen. Ayat (2) Judgement merupakan pengambilan kesimpulan yang dilakukan secara obyektif dan independen berdasarkan hasil analisis yang didukung oleh fakta, data, dan informasi yang memadai serta terdokumentasi dengan baik guna memperoleh hasil penilaian yang mencerminkan kondisi bank yang sebenarnya. Ayat (3) Urutan peringkat yang lebih rendah mencerminkan kondisi yang lebih baik … - 5 - baik. Ayat (4) Peringkat A mencerminkan kondisi paling patuh dan peringkat D mencerminkan kondisi paling tidak patuh. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan rasio utama adalah rasio sebagai pembentuk nilai peringkat faktor. Yang dimaksud dengan rasio penunjang adalah rasio sebagai penambah atau pengurang nilai peringkat faktor. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Urutan peringkat yang lebih rendah mencerminkan kondisi yang lebih baik. Ayat (2) Huruf a Dalam peringkat ini bank memiliki kualitas tata kelola yang baik, manajemen risiko yang efisien dan efektif, serta tingkat kepatuhan yang tinggi terhadap pelaksanaan ketentuan kehati-hatian dan prinsip syariah Huruf b Dalam peringkat ini bank memiliki kualitas tata kelola yang cukup baik, … - 6 - baik, manajemen risiko yang cukup efisien dan efektif, serta tingkat kepatuhan yang cukup tinggi terhadap pelaksanaan ketentuan kehati-hatian dan prinsip syariah. Huruf c Dalam peringkat ini bank memiliki kualitas tata kelola yang kurang baik, manajemen risiko yang kurang efisien dan efektif, serta tingkat kepatuhan yang rendah terhadap pelaksanaan ketentuan kehati- hatian dan prinsip syariah. Huruf d Dalam peringkat ini bank memiliki kualitas tata kelola yang tidak baik (buruk), manajemen risiko yang tidak efisien dan efektif, serta tingkat kepatuhan yang sangat rendah terhadap pelaksanaan ketentuan kehati-hatian dan prinsip syariah. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Dalam peringkat ini Bank atau UUS memiliki kemampuan keuangan yang kuat dalam mendukung rencana pengembangan usaha dan pengendalian risiko apabila terjadi perubahan yang signifikan pada industri perbankan. Huruf b Dalam peringkat ini Bank atau UUS memiliki kemampuan keuangan … - 7 - keuangan yang memadai dalam mendukung rencana pengembangan usaha dan pengendalian risiko apabila terjadi perubahan yang signifikan pada industri perbankan. Huruf c Dalam peringkat ini Bank atau UUS memiliki kemampuan keuangan untuk mendukung rencana pengembangan usaha namun dinilai belum memadai untuk pengendalian risiko apabila terjadi kesalahan dalam kebijakan dan perubahan yang signifikan pada industri perbankan. Huruf d Dalam peringkat ini Bank atau UUS mengalami kesulitan keuangan yang berpotensi membahayakan kelangsungan usaha. Huruf e Dalam peringkat ini Bank atau UUS mengalami kesulitan keuangan yang membahayakan kelangsungan usaha dan tidak dapat diselamatkan. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Dalam peringkat ini Bank dan UUS mampu mengendalikan usahanya apabila terjadi perubahan yang signifikan pada industri perbankan. Huruf b Kelemahan minor dalam huruf ini dapat berupa kelemahan administratif … - 8 - administratif dan operasional yang tidak mempengaruhi kondisi Bank dan UUS secara signifikan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 12 … - 9 - Pasal 12 Ayat (1) Bank Indonesia dapat meminta Direksi, Komisaris, dan atau Pemegang Saham untuk menyampaikan action plan apabila hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank menunjukkan satu atau lebih faktor penilaian memiliki peringkat 4 dan atau peringkat C. Ayat (2) Action plan yang disampaikan diperlakukan sebagai komitmen bank kepada Bank Indonesia. Pasal 13 Ayat (1) Laporan pelaksanaan action plan yang disampaikan bank antara lain memuat bukti pelaksanaan dan dokumen pendukung terkait. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Penilaian peringkat kantor pusat bank asing dilakukan oleh lembaga pemeringkat internasional antara lain Standard & Poor, Moody’s, dan Fitch. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mempersiapkan bank dalam menilai … - 10 - menilai Tingkat Kesehatan Bank sebelum sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini diberlakukan secara efektif. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4699
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 9/1/PBI/2007 </reg_id> <reg_title> SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 24 Januari 2007 </set_date> <effective_date> 24 Januari 2007 </effective_date> <replaced_reg> '31/9/UPPB|SE-BI/1998', '30/11/KEP/DIR|SKDIR-BI/1997', '26/20/KEP/Dir|SKDIR-BI/1993', '23/81/KEP/DIR|SKDIR-BI/1991', '30/277/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/2/PBI/2001 TENTANG PEMBERIAN KREDIT USAHA KECIL GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peranan Perbankan Nasional perlu ditingkatkan sesuai dengan fungsinya dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dengan tetap memperhatikan pembiayaan kepada usaha kecil; b. bahwa sejalan dengan perkembangan yang terjadi di bidang sosial dan ekonomi, perlu dilakukan penyesuaian kebijakan penyaluran Kredit Usaha Kecil (KUK) yang didasarkan pada kemampuan masing- masing bank; c. bahwa dalam rangka pemantauan dan keterbukaan (transparansi) dalam penyaluran KUK, bank mengumumkan jumlah KUK yang disalurkan tersebut secara periodik kepada masyarakat; d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, penyesuaian kebijakan KUK ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat … dimaksud perlu Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3472); sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara RI Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara RI Tahun 1998); 2. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil (Lembaran Negara RI Tahun 1995 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3611); 3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMBERIAN KREDIT USAHA KECIL. Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. 2. Kredit … 2. Kredit Usaha Kecil adalah kredit atau pembiayaan dari Bank untuk investasi dan atau modal kerja, yang diberikan dalam Rupiah dan atau Valuta Asing kepada nasabah usaha kecil dengan plafon kredit keseluruhan maksimum Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk membiayai usaha yang produktif, selanjutnya disebut KUK. 3. 4. Usaha kecil adalah usaha yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Usaha Produktif adalah dalam menghasilkan barang dan atau jasa. Pasal 2 Bank dianjurkan menyalurkan sebagian dananya melalui pemberian KUK. Pasal 3 Bank yang melaksanakan pemberian KUK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, wajib : a. mencantumkan rencana pemberian KUK dalam Rencana Kerja Anggaran Tahunan Bank;. b. melaporkan pelaksanaan pemberian KUK dalam Laporan Bulanan Bank Umum; c. mengumumkan pencapaian pemberian KUK kepada masyarakat melalui Laporan Keuangan Publikasi. Pasal 4 Bank yang menyalurkan KUK dapat meminta bantuan teknis dari Bank Indonesia. Pasal 5 ... usaha yang dapat memberikan nilai tambah Pasal 5 Ketentuan pelaksanaan dalam Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 6 (1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka : a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/4/KEP/DIR tanggal 4 April 1997 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil; dan b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/55/KEP/DIR tanggal 8 Agustus 1997 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil untuk Mendukung Program Kemitraan Terpadu dan Pengembangan Koperasi; dinyatakan tidak berlaku. (2) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini untuk pertama kali diberlakukan terhadap pengajuan RKAT tahun 2001. (3) Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 4 Januari 2001 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 3 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/2/PBI/2001 TENTANG PEMBERIAN KREDIT USAHA KECIL I. UMUM Dalam rangka pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan bank, kepada Bank Indonesia diberikan wewenang untuk menetapkan peraturan dan perizinan bagi kelembagaan dan kegiatan usaha Bank serta mengenakan sanksi terhadap Bank sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sejalan dengan perubahan tugas dan fungsi Bank Indonesia, yang hanya bertugas menjaga stabilitas nilai rupiah, dipandang perlu untuk menyesuaikan pengaturan kredit kepada usaha kecil yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam Paket Januari 1990 dengan mewajibkan kepada perbankan untuk menyediakan 20% dari total kreditnya kepada usaha kecil dan diubah dengan ketentuan terakhir pada bulan April 1997 menjadi sebesar 22,5% atau 25% dari ekspansi kredit netto. Perubahan kebijakan tersebut selain dengan memperhatikan tugas dan fungsi Bank Indonesia saat ini, dalam pelaksanaannya juga dengan mempertimbangkan adanya perbedaan kemampuan dan kebijakan pemberian Kredit Usaha Kecil masing-masing Bank dan kebijakan perekonomian yang diarahkan kepada mekanisme pasar. Dengan memperhatikan hal tersebut di atas, besarnya pemberian KUK tiap bank diserahkan kepada kebijakan dan kemampuan masing-masing Bank. Dalam hal ini Bank hanya diwajibkan untuk mencantumkan rencana pemberian KUK dalam RKAT serta melaporkan realisasi KUK tersebut melalui mekanisme Laporan Bulanan Bank Umum. Selain... Selain itu, sejalan dengan era keterbukaan dan dalam rangka meningkatkan peran masyarakat dalam pengawasan pelaksanaan pemberian KUK oleh Bank, Bank diwajibkan mencantumkan rencana pemberian KUK dalam RKAT dan mengumumkan pencapaian pemberian KUK kepada masyarakat. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Dalam rangka membantu program Pemerintah Bank dianjurkan tetap menyediakan sebagian kredit untuk disalurkan kepada usaha kecil. Pasal 3 Butir a. Yang dimaksud dengan Rencana Kerja Anggaran Tahunan adalah rencana kegiatan dan anggaran tahunan sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/117/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995 tentang Penyampaian Rencana Kerja Bank dan Laporan Pelaksanaannya. Mengingat kemampuan dan kebijakan bank dalam pemberian KUK berbeda maka besarnya rencana pemberian KUK yang dicantumkan dalam RKAT disesuaikan dengan kondisi masing-masing bank. Dalam hal terjadi perubahan rencana pemberian KUK dalam RKAT, perubahan tersebut hendaknya disertai alasannya dan wajib disampaikan kepada Bank Indonesia. Butir b ... Butir b Tata cara penyampaian laporan pelaksanaan pemberian dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/21/PBI/2000 tanggal 19 September 2000 tentang Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum. Butir c Dalam rangka keterbukaan kepada masyarakat Bank diwajibkan mengumumkan pencapaian pemberian KUK dalam media massa bersamaan dengan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/40/KEP/DIR tanggal 9 Januari 1998 tentang Laporan Keuangan Publikasi. Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4072
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 3/2/PBI/2001 </reg_id> <reg_title> PEMBERIAN KREDIT USAHA KECIL </reg_title> <set_date> 4 Januari 2001 </set_date> <effective_date> 4 Januari 2001 </effective_date> <replaced_reg> '30/4/KEP/DIR|SKDIR-BI/1997', '30/55/KEP/DIR|SKDIR-BI/1997' </replaced_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '9/UU/1995', '23/UU/1999' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/7/PBI/2008 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI PERUSAHAAN BUKAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pinjaman luar negeri merupakan salah satu faktor penting yang dapat berpengaruh positif maupun negatif terhadap neraca pembayaran, kestabilan moneter dan kesinambungan pembangunan; b. bahwa untuk mengurangi dampak negatif pada huruf a diatas, pinjaman luar negeri perlu dikelola dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian dan kepentingan perekonomian nasional serta menjaga kepercayaan pasar keuangan internasional; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, maka dipandang perlu untuk mengatur ketentuan tentang pinjaman luar negeri perusahaan bukan bank dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik ... Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI PERUSAHAAN BUKAN BANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank yang untuk selanjutnya disebut PLN Perusahaan adalah semua bentuk pinjaman perusahaan dari bukan penduduk dalam valuta asing maupun rupiah, surat berharga dalam valuta asing yang diterbitkan oleh perusahaan, dan kewajiban lain kepada bukan penduduk dalam valuta asing maupun rupiah, termasuk juga yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. 2. Prinsip syariah adalah prinsip-prinsip yang didasarkan atas ajaran islam yang penetapannya dilakukan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. 3. Perusahaan ... 3. Perusahaan Bukan Bank yang selanjutnya disebut Perusahaan adalah: a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN); b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); c. Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) yang meliputi: 1) Perusahaan Publik ; 2) Emiten; 3) Perusahaan Penanaman Modal Asing; 4) BUMS lainnya dengan aset atau penjualan bruto selama 1 (satu) tahun paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). 4. Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang Badan Usaha Milik Negara yang berlaku. 5. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disebut BUMD adalah badan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang Badan Usaha Milik Daerah yang berlaku. 6. Perusahaan Publik adalah perseroan dengan jumlah pemegang saham dan modal disetor tertentu sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan tentang Pasar Modal yang berlaku. 7. Emiten adalah pihak yang melakukan penawaran umum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang Pasar Modal yang berlaku. 8. Perusahaan Penanaman Modal Asing adalah perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh Bukan Penduduk paling rendah 10% (sepuluh per seratus). 9. Bukan Penduduk adalah orang, badan hukum atau badan lainnya yang tidak berdomisili di Indonesia atau tidak berencana berdomisili di Indonesia 10. Kreditur atau penyedia dana adalah orang, badan hukum atau badan lainnya yang memberi pinjaman atau menyediakan dana atau yang dapat dipersamakan dengan itu, kepada perusahaan untuk jangka waktu tertentu dengan terms and conditions yang telah disepakati. 11. PLN Perusahaan Jangka Pendek adalah PLN Perusahaan dengan jangka waktu ... waktu sampai dengan 1 (satu) tahun, baik langsung dari kreditur atau pasar keuangan maupun tidak langsung melalui pihak lain yang merupakan afiliasi maupun non afiliasi. 12. PLN Perusahaan Jangka Panjang adalah PLN Perusahaan dengan jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun baik langsung dari kreditur atau pasar keuangan maupun tidak langsung melalui pihak lain yang merupakan afiliasi maupun non afiliasi. 13. Pihak Lain Afiliasi adalah Pihak Lain yang memiliki hubungan kepemilikan modal atau saham pada Perusahaan paling rendah 10% (sepuluh per seratus) atau termasuk dalam satu grup. 14. Pihak Lain Non Afiliasi adalah Pihak Lain yang tidak memiliki hubungan kepemilikan modal atau saham atau memiliki hubungan kepemilikan modal atau saham lebih rendah dari 10% (sepuluh per seratus) pada Perusahaan atau tidak termasuk dalam satu grup. 15. Tahun adalah tahun kalender yang dimulai dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember. 16. Penerbitan Surat Utang Melalui Penawaran Umum adalah penerbitan surat utang yang tercatat maupun tidak tercatat di bursa sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Pasar Modal yang berlaku. 17. Penerbitan Surat Utang Melalui Private Placement adalah penerbitan surat utang yang dilakukan selain melalui penawaran umum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Pasar Modal yang berlaku. BAB II RUANG LINGKUP Pasal 2 Perusahaan melakukan PLN Perusahaan Jangka Pendek maupun Jangka Panjang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 3 ... Pasal 3 Jenis PLN Perusahaan meliputi: 1. Pinjaman dalam rupiah maupun valuta asing yang dilakukan berdasarkan perjanjian pinjaman (Loan Agreement) dengan Bukan Penduduk. 2. Surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan di pasar keuangan international melalui penawaran umum. 3. Surat utang dalam rupiah maupun valuta asing yang diterbitkan melalui private placement kepada Bukan Penduduk. 4. Surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan di pasar keuangan dalam negeri melalui penawaran umum. 5. Surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan melalui private placement kepada penduduk. 6. Kewajiban lainnya kepada Bukan Penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah selain PLN Perusahaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 5. BAB III PRINSIP KEHATI-HATIAN PLN PERUSAHAAN Pasal 4 Perusahaan yang akan melakukan PLN Perusahaan jangka pendek maupun jangka panjang, harus menerapkan fungsi Manajemen Risiko yang meliputi: a. Risiko Pasar ; b. Risiko Kredit ; c. Risiko Likuiditas. Pasal 5 ... Pasal 5 (1). Perusahaan yang berencana memperoleh PLN Perusahaan Jangka Panjang, harus memiliki penilaian rating (peringkat) dari lembaga pemeringkat nasional atau internasional. (2). Ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1) tidak berlaku untuk PLN yang akan diperoleh : a. BUMS secara langsung dari perusahaan induk (pemegang saham); b. BUMN dan BUMD dengan aset atau penjualan bruto selama 1 tahun kurang dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). BAB IV KEWAJIBAN PELAPORAN Pasal 6 (1). Perusahaan yang berencana memperoleh PLN Perusahaan Jangka Panjang wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia secara benar dan lengkap yang meliputi: a. Rasio keuangan; b. Laporan keuangan; c. Penilaian rating (peringkat); d. Laporan Rencana PLN Perusahaan untuk 1 (satu) tahun; dan e. Hasil analisis manajemen risiko perusahaan (2). Perusahaan yang memiliki posisi PLN Perusahaan Jangka Pendek dan/atau Jangka Panjang wajib menyampaikan laporan secara benar dan lengkap kepada Bank Indonesia mengenai: a. Rasio keuangan; dan b. Laporan keuangan. Pasal 7 ... Pasal 7 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf a dan huruf b disampaikan setiap 6 (enam) bulan (per semester), yaitu paling lambat tanggal 10 April dan tanggal 10 September atau hari kerja berikutnya apabila tanggal tersebut jatuh pada hari libur. (2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, huruf d dan huruf e disampaikan paling lambat tanggal 10 Maret pada tahun yang bersangkutan atau hari kerja berikutnya apabila tanggal tersebut jatuh pada hari libur. Pasal 8 (1) Dalam hal terjadi perubahan rencana PLN Perusahaan Jangka Panjang dan/atau perubahan hasil analisis manajemen risiko perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d dan huruf e maka Perusahaan wajib melaporkan perubahan dimaksud kepada Bank Indonesia. (2) Laporan perubahan rencana PLN Perusahaan Jangka Panjang dan/atau perubahan hasil analisis manajemen risiko perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat pada tanggal 1 Juli tahun yang bersangkutan atau hari kerja berikutnya apabila tanggal tersebut jatuh pada hari libur dengan menjelaskan penyebab perubahan. Pasal 9 Perusahaan dianggap tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 8 ayat (1), dalam hal laporan tidak diterima oleh Bank Indonesia 30 hari (tiga puluh) hari setelah batas waktu yang ditetapkan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 ayat (2) dan/atau laporan diterima oleh Bank Indonesia sesuai jangka waktu yang ditetapkan namun tidak lengkap sebagaimana diatur dalam pasal 6. Pasal 10 .... Pasal 10 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 8 ayat (1) bersifat rahasia. Pasal 11 Direksi Perusahaan bertanggung jawab atas kebenaran laporan yang disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 8 ayat (1). BAB V SANKSI Pasal 12 (1) Perusahaan yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa surat peringatan. (2) Perusahaan yang tidak menyampaikan laporan termasuk laporan yang tidak lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dikenakan sanksi administratif berupa surat peringatan, dan/atau pemberitahuan kepada otoritas yang berwenang dan/atau publikasi di media nasional dan internasional. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 13 Ketentuan mengenai pengenaan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010. Pasal 14 ... Pasal 14 Pengaturan lebih lanjut dalam peraturan Bank Indonesia ini akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 15 Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 19 Februari 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA BURHANUDDIN ABDULLAH Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 19 Februari 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 33 DInt PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA Nomor : 10/ 7 /PBI/2008 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI PERUSAHAAN BUKAN BANK UMUM Sebagai salah satu sumber pembiayaan, Pinjaman Luar Negeri (PLN) memiliki peranan penting bagi pertumbuhan dunia usaha dan perekonomian nasional yang sangat mempengaruhi kesinambungan pembangunan. Namun, PLN yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan fluktuasi berlebihan pada nilai tukar, ketidaksinambungan neraca pembayaran dan ketidakstabilan moneter. Kondisi tersebut pada gilirannya dapat menjadi salah satu pemicu terjadinya krisis perekonomian. Mengingat PLN Perusahaan berpotensi memberikan dampak negatif terhadap stabilitas moneter, maka Bank Indonesia perlu mengatur PLN Perusahaan dengan seksama agar PLN tersebut dikelola dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian. Hal ini sesuai dengan salah satu tugas Bank Indonesia sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 dan diubah dengan UU No.3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. PLN Perusahaan yang dikelola secara berhati-hati dapat mengurangi berbagai risiko seperti risiko pasar dan risiko kredit. Prinsip kehati-hatian dalam PLN Perusahaan antara lain dilakukan melalui penerapan manajemen risiko dalam pengelolaan PLN Perusahaan dan peningkatan transparansi sebagaimana ditetapkan dalam peraturan Bank Indonesia ini. PASAL ... PASAL DEMI PASAL Pasal 1 angka 1 Cukup jelas angka 2 Cukup jelas angka 2 Cukup jelas angka 3 Cukup jelas angka 4 Cukup jelas angka 5 Cukup jelas angka 6 Cukup jelas angka 7 Cukup jelas angka 8 Cukup jelas angka 9 Cukup jelas angka 10 Cukup jelas angka 11 Cukup jelas angka 12 Cukup jelas angka 13 ... angka 13 Cukup jelas angka 14 Cukup jelas angka 15 Cukup jelas angka 16 Cukup jelas angka 17 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 angka 1 Cukup jelas angka 2 Cukup jelas angka 3 Cukup jelas angka 4 Cukup jelas angka 5 Cukup jelas angka 6 Yang dimaksud kewajiban lainnya meliputi antara lain sub ordinated loan dan sejenisnya yang dicatat sebagai bagian dari komponen modal. Pasal 4 ... Pasal 4 Yang dimaksud dengan risiko pasar adalah risiko nilai tukar dan risiko tingkat bunga. Upaya untuk mengelola risiko ini dapat dilakukan antara lain dengan memperhitungkan dampak pergerakan nilai tukar dan suku bunga terhadap kemampuan membayar kembali kewajiban dan melakukan lindung nilai (hedging). Yang dimaksud dengan risiko kredit adalah kemampuan membayar kembali seluruh kewajiban. Upaya untuk mengelola risiko ini dapat dilakukan antara lain dengan menyesuaikan jangka waktu pinjaman dengan periode pengunaannya. Yang dimaksud dengan risiko likuiditas adalah risiko ketidaktersediaan dana yang diperlukan. Upaya untuk mengelola risiko ini dapat dilakukan antara lain dengan mempertimbangkan reputasi kreditur atau penyedia dana. Dalam rangka menerapkan manajemen risiko Perusahaan dapat memperhatikan indikator micro dan macro yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dalam melakukan PLN Perusahaan. Yang dimaksud dengan indikator micro adalah indikator yang digunakan dalam rangka menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan PLN Perusahaan per sektor ekonomi yang diformulasikan dalam bentuk rata-rata atau kisaran indeks rasio keuangan baik jangka panjang maupun jangka pendek, meliputi antara lain: Rasio Likuiditas, Rasio Solvabilitas, Rasio Profitabilitas, dan Rasio pendapatan terhadap pembayaran dalam valuta asing. Yang dimaksud dengan indikator macro adalah indikator yang digunakan dalam rangka menerapkan prinsip kehati-hatian atas exposure PLN Perusahaan dalam skala makro (nasional) khususnya perspektif moneter yang diformulasikan dalam bentuk debt indicator ratio, yang meliputi antara lain private external debt to total external dan debt to Gross Domestic Product. Pasal 5 ... Pasal 5 ayat (1) Yang dimaksud dengan penilaian peringkat adalah penilaian peringkat kredit perusahaan yang dilakukan oleh lembaga pemeringkat nasional maupun internasional kepada Perusahaan yang menggambarkan kemampuan dan kemauan Perusahaan tersebut untuk membayar kewajiban finansialnya sesuai dengan terms & conditions yang dipersyaratkan Ayat (2) Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Laporan yang disampaikan pada tanggal 10 April adalah neraca posisi per 31 Desember dan laporan rugi laba periode Juli sampai dengan Desember tahun sebelumnya. Laporan yang disampaikan pada tanggal 10 September adalah neraca posisi per 30 Juni dan laporan rugi laba periode Januari sampai dengan Juni tahun yang bersangkutan Ayat (2) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 9 ... Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 4821
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/7/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> PINJAMAN LUAR NEGERI PERUSAHAAN BUKAN BANK </reg_title> <set_date> 19 Februari 2008 </set_date> <effective_date> 19 Februari 2008 </effective_date> <issued_date> 19 Februari 2008 </issued_date> <related_reg> '24/UU/1999', '3/UU/2004', '23/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V', 'BAB VI Pasal 13' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/21/PBI/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kondisi perekonomian nasional yang stabil perlu tetap dijaga antara lain melalui stabilitas moneter; b. bahwa stabilitas moneter dapat dicapai melalui pengendalian uang beredar yang antara lain dilakukan melalui pengaturan likuiditas perbankan termasuk penetapan giro wajib minimum; c. bahwa pengaturan mengenai giro wajib minimum yang berlaku perlu disesuaikan dengan kondisi likuiditas perbankan dari waktu ke waktu; d. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah ... - 2 - diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan ... - 3 - melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk bank dan kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan juga melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; 2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh surat penunjukan dari Bank Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing; 3. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja di kantor pusat bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah; 4. Dana Pihak Ketiga Bank, yang kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam rupiah dan valuta asing; 5. Pembiayaan Bank, yang selanjutnya disebut Pembiayaan, adalah aktiva Bank dalam bentuk pembiayaan mudharabah, pembiayaan musyarakah, piutang, dan ijarah; 6. Giro Wajib Minimum (statutory reserve), yang selanjutnya disebut GWM, adalah simpanan minimum yang harus dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK; 7. Rekening ... selanjutnya disebut DPK, adalah - 4 - 7. Rekening Giro adalah rekening pihak eksternal tertentu di Bank Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat; 8. Rekening Giro dalam Rupiah, yang selanjutnya disebut Rekening Giro Rupiah, adalah Rekening Giro dalam mata uang rupiah yang penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan Cek Bank Indonesia, Bilyet Giro Bank Indonesia, atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern; 9. Rekening Giro dalam Valuta Asing, yang selanjutnya disebut Rekening Giro Valas, adalah Rekening Giro dalam valuta asing yang penarikannya dapat dilakukan dengan cara pemindahbukuan atau sarana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern; 10. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang selanjutnya disebut PUAS, adalah kegiatan investasi jangka pendek dalam rupiah antar peserta pasar berdasarkan prinsip mudharabah; 11. Tingkat Indikasi Imbalan PUAS adalah rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan sertifikat investasi mudharabah antarbank yang terjadi di PUAS, yang tercatat pada PIPU; 12. Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank, yang selanjutnya disebut Sertifikat IMA, adalah sertifikat yang digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan dana dengan prinsip mudharabah; 13. Pusat Informasi Pasar Uang, yang selanjutnya disebut PIPU, adalah suatu sistem otomasi yang menyediakan informasi yang meliputi namun tidak terbatas ... - 5 - terbatas pada pasar uang rupiah dan valuta asing serta informasi lainnya yang terkait dengan pasar keuangan bagi anggota, pelanggan, dan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Pusat Informasi Pasar Uang. Pasal 2 (1) Bank wajib memelihara GWM dalam rupiah. (2) Bank Devisa selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga wajib memelihara GWM dalam valuta asing. Pasal 3 (1) GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib dipenuhi oleh setiap Bank yang besarnya ditetapkan sebesar 5% (lima perseratus) dari DPK dalam rupiah. (2) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank yang memiliki rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam rupiah kurang dari 80% dan: a. memiliki DPK lebih besar dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) wajib memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 1% (satu perseratus) dari DPK dalam rupiah; b. memiliki DPK dalam rupiah lebih besar dari Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) sampai dengan Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah) wajib memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 2% (dua perseratus) dari DPK dalam rupiah; c. memiliki ... - 6 - c. memiliki DPK dalam rupiah lebih besar dari Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah) wajib memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 3% (tiga perseratus) dari DPK dalam rupiah. (3) Bagi Bank: a. yang memiliki rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam rupiah sebesar 80% atau lebih; dan/atau b. yang memiliki DPK dalam Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah); rupiah sampai dengan tidak dikenakan kewajiban tambahan GWM sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). Pasal 4 GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat ditetapkan sebesar 3% (tiga perseratus) dari DPK dalam valuta asing. Pasal 5 Persentase GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 4 dapat disesuaikan dari waktu ke waktu dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan arah kebijakan Bank Indonesia. (2) BAB II REKENING GIRO BANK PADA BANK INDONESIA Pasal 6 (1) Setiap Bank wajib memelihara Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. (2). Bank ... - 7 - (2) Bank Devisa selain wajib memelihara Rekening Giro Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga wajib memelihara Rekening Giro Valas pada Bank Indonesia. (3) Tata cara pembukuan, penyetoran, penarikan dan penutupan Rekening Giro Rupiah dan Rekening Giro Valas Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan berdasarkan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern. Pasal 7 Bank Indonesia tidak memberikan jasa giro atas kewajiban memelihara Rekening Giro Rupiah dan Rekening Giro Valas pada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2). BAB III TATA CARA PEMELIHARAAN DAN PERHITUNGAN GIRO WAJIB MINIMUM Pasal 8 (1) Bank wajib memelihara GWM secara harian. (2) Kewajiban pemeliharaan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 4 dihitung dengan membandingkan jumlah saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia setiap hari dalam satu masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya. (3) Informasi ... - 8 - (3) Informasi mengenai DPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperoleh dari data DPK yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia, sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia tentang Laporan Berkala Bank Umum. (4) Informasi mengenai saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperoleh dari sistem akunting Bank Indonesia. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku untuk GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing. Pasal 9 Saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) masing-masing terdiri dari: a. saldo Rekening Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia; b. saldo Rekening Giro Valas Bank pada Bank Indonesia. Pasal 10 (1) DPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) terdiri dari: a. jumlah DPK dalam rupiah pada seluruh kantor Bank di Indonesia; b. jumlah DPK dalam valuta asing pada seluruh kantor Bank di Indonesia. (2) DPK dalam rupiah meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri dari: a. giro; b. simpanan berjangka; c. tabungan ... - 9 - c. tabungan; dan d. kewajiban-kewajiban lainnya. (3) DPK dalam valuta asing meliputi kewajiban dalam valuta asing kepada pihak ketiga, termasuk bank di Indonesia, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri dari: a. giro; b. simpanan berjangka; dan c. kewajiban-kewajiban lainnya. BAB IV TATA CARA PERHITUNGAN RASIO PEMBIAYAAN DALAM RUPIAH TERHADAP DANA PIHAK KETIGA DALAM RUPIAH Pasal 11 (1) Rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam rupiah dihitung dengan membandingkan jumlah Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam rupiah pada akhir masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya. (2) Informasi mengenai Pembiayaan dalam rupiah dan DPK dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari data Pembiayaan dan DPK yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia tentang Laporan Berkala Bank Umum. BAB V ... - 10 - BAB V PELAPORAN Pasal 12 Bank wajib menyampaikan laporan mengenai DPK dan pos-pos neraca mingguan, dalam rupiah dan valuta asing, secara berkala kepada Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Laporan Berkala Bank Umum. BAB VI SANKSI Pasal 13 Bank dinyatakan melanggar GWM apabila saldo harian Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia lebih kecil dari saldo harian Rekening Giro Bank yang wajib dipelihara untuk pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 4. Pasal 14 (1) Dalam hal terjadi pelanggaran GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Rekening Giro Rupiah Bank dimaksud bersaldo positif, maka Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 125% (seratus dua puluh lima perseratus) dari Tingkat Indikasi Imbalan PUAS pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap kekurangan GWM dalam rupiah, untuk setiap hari pelanggaran. (2) Dalam hal terjadi pelanggaran GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Rekening Giro Rupiah Bank dimaksud bersaldo negatif, maka Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar: a. 125% ... - 11 - a. 125% (seratus dua puluh lima perseratus) dari Tingkat Indikasi Imbalan PUAS pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap GWM yang wajib dipelihara; ditambah dengan b. 150% (seratus lima puluh perseratus) dari Tingkat Indikasi Imbalan PUAS pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap saldo negatif, untuk setiap hari pelanggaran. Pasal 15 Dalam hal data Tingkat Indikasi Imbalan PUAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 tidak tersedia, pengenaan sanksi dihitung berdasarkan rata-rata tingkat imbalan deposito investasi mudharabah berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan, pada bulan sebelumnya dari seluruh Bank. Pasal 16 (1) Dalam hal terjadi pelanggaran GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, maka Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,04% per hari kerja, yang dihitung dari selisih antara saldo harian Rekening Giro Valas Bank pada Bank Indonesia yang wajib dipelihara dengan saldo harian Rekening Giro Valas Bank yang dicatat pada sistem akunting Bank Indonesia. (2) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan dalam valuta rupiah dengan menggunakan kurs transaksi Bank Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran. Pasal 17 ... - 12 - Pasal 17 (1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 16 dilaksanakan dengan pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia. (2) Pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada hari kerja berikutnya setelah terjadinya pelanggaran. (3) Apabila pada saat pendebetan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi maka seluruh sanksi kewajiban membayar tersebut diperhitungkan sebagai kewajiban yang masih harus diselesaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia. (4) Terhadap selisih antara sanksi kewajiban membayar dengan saldo Rekening Giro Rupiah Bank, Bank dikenakan tambahan kewajiban membayar sebesar 150% (seratus lima puluh perseratus) dari Tingkat Indikasi Imbalan PUAS. (5) Dalam hal data Tingkat Indikasi Imbalan PUAS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak tersedia, kewajiban membayar dihitung sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. Pasal 18 Selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 16, Bank yang tidak memenuhi kewajiban pemeliharaan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), dan/atau Pasal 4, dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB VII ... - 13 - BAB VII PENUTUP Pasal 19 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/7/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2000, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3935 Tahun 2000) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 20 Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal 1 September 2004. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 3 Agustus 2004 GUBERNUR BANK INDONESIA BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 73 DPbS - 14 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/21/PB1/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH I. UMUM Terciptanya stabilitas moneter, antara lain melalui pengendalian tingkat inflasi, merupakan hal yang sangat diperlukan dalam rangka mewujudkan kondisi perekonomian yang stabil. Upaya pengendalian tingkat inflasi antara lain dilakukan dengan menyeimbangkan jumlah penawaran uang dengan permintaan uang yang sesuai dengan kondisi dan arah perekonomian. Salah satu piranti moneter yang dapat digunakan Bank Indonesia untuk menyeimbangkan permintaan dan penawaran uang penerapan giro wajib minimum yang merupakan perbandingan antara saldo giro bank yang wajib ditempatkan pada Bank Indonesia terhadap dana pihak ketiga yang dimiliki bank. Mengingat perkembangan kondisi perekonomian yang dinamis maka penerapan kebijakan giro wajib minimum dapat disesuaikan dari waktu ke waktu sejalan dengan arah kebijakan Bank Indonesia. Mengingat ... tersebut adalah dengan mengendalikan likuiditas perbankan melalui - 15 - Mengingat karakteristik operasional bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah berbeda dengan bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional maka ketentuan mengenai giro wajib minimum bagi bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah tetap harus mempertimbangkan karakteristik operasionalnya dan kesesuaian dengan kaedah-kaedah fiqih. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Kewajiban pemeliharaan GWM bagi setiap Bank merupakan salah satu cara pengendalian uang beredar dalam rangka melaksanakan tugas Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara stabilitas moneter. Ayat (2) Kewajiban pemeliharaan GWM bagi setiap Bank merupakan salah satu cara pengendalian uang beredar dalam rangka melaksanakan tugas Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara stabilitas moneter. Pasal 3 ... - 16 - Pasal 3 Ayat (1) Pemenuhan GWM tersebut dilakukan tanpa memperhatikan rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam rupiah dan jumlah DPK dalam rupiah yang dimiliki Bank. Ayat (2) Huruf a Sebagai contoh: Bank memiliki rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam rupiah sebesar 75% dan jumlah DPK dalam rupiah Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah). Bank wajib memelihara GWM dalam rupiah sebesar: a. 5% (lima perseratus) dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah); ditambah dengan b. 1% (satu perseratus) dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah). Huruf b Sebagai contoh: Bank memiliki rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam rupiah sebesar 75% dan jumlah DPK dalam rupiah Rp25.000.000.000.000,00 (dua puluh lima triliun rupiah). Bank wajib memelihara GWM dalam rupiah sebesar: a. 5% (lima perseratus) dari Rp25.000.000.000.000,00 (dua puluh lima triliun rupiah); ditambah dengan b. 2% (dua perseratus) dari Rp25.000.000.000.000,00 (dua puluh lima triliun rupiah). Huruf c ... - 17 - Huruf c Sebagai contoh: Bank memiliki rasio Pembiayaan terhadap DPK sebesar 75% dan jumlah DPK Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah). Bank wajib memelihara GWM dalam rupiah sebesar: a. 5% (lima perseratus) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah); ditambah dengan b. 3% (tiga perseratus) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah). Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) ... - 18 - Ayat (3) Sehubungan dengan pemeliharaan Giro Wajib Minimum dalam valuta asing pada Bank Indonesia, penyetoran dan penarikan Rekening Giro Valas Bank hanya dapat dilakukan melalui pemindahbukuan dengan menggunakan sarana berupa SWIFT atau warkat standar intern Bank Indonesia yang didasarkan atas teleks atau surat permintaan transfer dari Bank. Apabila Bank menyetor valuta asing dengan pemindahbukuan melalui bank koresponden di luar negeri, maka Bank memerintahkan bank koresponden untuk mendebet rekening gironya untuk untung rekening Bank Indonesia pada The Federal Reserve Bank of New York, New York (FRB). Selanjutnya Bank Indonesia akan mengkredit Rekening Giro Valas Bank pada tanggal valutanya atas dasar sarana SWIFT atau warkat standar intern Bank Indonesia yang didasarkan atas teleks dari pemegang Rekening Giro tersebut selambat-lambatnya pukul 14:00 WIB pada tanggal valuta tersebut. Apabila pengkreditan rekening Bank Indonesia pada FRB melampaui tanggal valuta yang diberitahukan, maka Bank Indonesia akan membebankan biaya atas keterlambatan tersebut. Pembebanan biaya tersebut akan dilakukan pada Rekening Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia, dengan mengacu kepada suku bunga Federal Funds Rate dengan kurs jual USD/IDR Bank Indonesia pada tanggal pengkreditan. Penarikan Rekening Giro Valas Bank hanya dapat dilakukan menggunakan sarana SWIFT atau teleks. Permintaan penarikan Rekening Giro Valas Bank dapat dilaksanakan apabila permintaan dimaksud ... - 19 - dimaksud telah diterima oleh Bank Indonesia selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal valuta. Biaya pelaksanaan transaksi dimaksud di atas dibebankan pada Rekening Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Formula perhitungan persentase GWM adalah sebagai berikut: Jumlah harian saldo Rekening Giro Bank yang tercatat di Bank Indonesia setiap hari dalam 1 (satu) masa laporan Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya. Persentase GWM Bank dalam rupiah atau valuta asing sebagaimana dimaksud di atas didasarkan pada DPK Bank sebagai berikut: a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan 7 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata DPK dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 bulan sebelumnya; b. GWM ... - 20 - b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata DPK dalam masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan akhir bulan sebelumnya; c. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata DPK dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan yang sama; d. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata DPK dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan yang sama. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 9 Bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan juga melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, saldo Rekening Giro Bank adalah saldo Rekening Giro UUS. Pasal 10 ... - 21 - Pasal 10 Ayat (1) Bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan juga melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, DPK adalah DPK yang dilaporkan UUS. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan giro dalam rupiah adalah komponen giro sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum. Huruf b Yang dimaksud dengan simpanan berjangka dalam rupiah adalah komponen simpanan berjangka sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum. Huruf c Yang dimaksud dengan tabungan dalam rupiah adalah komponen tabungan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum. Huruf d ... - 22 - Huruf d Yang dimaksud dengan kewajiban-kewajiban lainnya dalam rupiah adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan giro dalam valuta asing adalah komponen giro sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Valuta Asing dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum. Huruf b Yang dimaksud dengan simpanan berjangka dalam valuta asing adalah komponen simpanan berjangka sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Valuta Asing dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum. Huruf c Yang dimaksud dengan kewajiban-kewajiban lainnya dalam valuta asing adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada pihak ketiga termasuk bank sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Valuta Asing ... - 23 - Asing dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum. Pasal 11 Ayat (1) Formula perhitungan rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam rupiah adalah sebagai berikut: Jumlah Pembiayaan dalam rupiah pada akhir masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya x 100% Jumlah DPK dalam rupiah pada akhir masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya Rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam rupiah sebagaimana dimaksud di atas didasarkan pada Pembiayaan dan DPK Bank sebagai berikut: a. Penentuan persentase GWM dalam rupiah untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 menggunakan rasio yang diperoleh dari Pembiayaan dalam rupiah dan DPK dalam rupiah tanggal 23 bulan sebelumnya; b. Penentuan persentase GWM dalam rupiah untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 menggunakan rasio yang ... - 24 - yang diperoleh dari Pembiayaan dalam rupiah dan DPK dalam rupiah pada akhir bulan sebelumnya; c. Penentuan persentase GWM dalam rupiah untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 menggunakan rasio yang diperoleh dari Pembiayaan dalam rupiah dan DPK dalam rupiah tanggal 7 bulan yang sama; dan d. Penentuan persentase GWM dalam rupiah untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan menggunakan rasio yang diperoleh dari Pembiayaan dalam rupiah dan DPK dalam rupiah tanggal 15 bulan yang sama. Ayat (2) Data Pembiayaan diperoleh dari pos “Kredit yang diberikan“ pada Laporan Berkala Bank Umum yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan hari adalah hari kerja. Data ... - 25 - Data mengenai Tingkat Indikasi Imbalan PUAS yang digunakan adalah rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan Sertifikat IMA yang tercatat pada PIPU. Perhitungan sanksi kewajiban membayar kekurangan GWM dalam rupiah yaitu: Kekurangan GWM x 125% x Tingkat Indikasi Imbalan PUAS x hari pelanggaran 360 x 100 Contoh 1 perhitungan sanksi: Bank A memiliki rasio Pembiayaan terhadap DPK sebesar 75% dan rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah). GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar: a. 5% (lima perseratus) dari Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) yaitu sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); ditambah dengan b. 1% ... - 26 - b. 1% (satu perseratus) dari Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) yaitu sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2). Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) atau 5% dari DPK dalam rupiah, sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). Tingkat Indikasi Imbalan PUAS tanggal 24 Januari sebesar 5% (lima perseratus). Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 Januari adalah sebagai berikut: Kekurangan GWM x 125% x Tingkat Indikasi Imbalan PUAS x hari pelanggaran 360 x 100 yaitu Rp20.000.000.000,00 x 1,25 x 5 x 1 360 x 100 Contoh ... - 27 - Contoh 2 perhitungan sanksi: Bank B memiliki rasio Pembiayaan terhadap DPK sebesar 85% dan rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari sebesar Rp800.000.000.000,00 (delapan ratus miliar rupiah). GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar 5% (lima perseratus) dari Rp800.000.000.000,00 (delapan ratus miliar rupiah) yaitu sebesar Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1). Saldo Rekening Giro Rupiah Bank B pada Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau 2,5% dari DPK dalam rupiah, sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). Tingkat Indikasi Imbalan PUAS tanggal 24 Januari sebesar 5% (lima perseratus). Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM rupiah untuk Bank B pada tanggal 24 Januari adalah sebagai berikut: Kekurangan GWM x 125% x Tingkat Indikasi Imbalan PUAS x hari pelanggaran 360 x 100 yaitu ... - 28 - yaitu Rp20.000.000.000,00 x 1,25 x 5 x 1 360 x 100 Ayat (2) Contoh 1 perhitungan sanksi: Bank A memiliki rasio Pembiayaan terhadap DPK sebesar 75% dan rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah). GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar: a. 5% (lima perseratus) dari Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) yaitu sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); ditambah dengan b. 1% (satu perseratus) dari Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) yaitu sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2). Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah sebesar -Rp100.000.000.000,00 (minus seratus miliar rupiah), sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM yang wajib dipelihara sebesar Rp120.000.000.000,00 (seratus dua ... - 29 - dua puluh miliar rupiah) dan saldo negatif sebesar Rp100.000.000.000,00 (minus seratus miliar rupiah). Tingkat Indikasi Imbalan PUAS tanggal 24 Januari sebesar 5% (lima perseratus). Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 Januari adalah sebagai berikut: Kekurangan GWM x 125% x Tingkat Indikasi Imbalan PUAS x hari pelanggaran 360 x 100 yaitu Rp120.000.000.000,00 x 1,25 x 5 x 1 360 x 100 ditambah dengan perkalian jumlah saldo negatif Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia dengan 150% dikali Tingkat Indikasi Imbalan PUAS dengan rumus sebagai berikut: Saldo negatif ... - 30 - Saldo negatif x 150% x Tingkat Indikasi Imbalan PUAS x hari pelanggaran 360 x 100 yaitu Rp100.000.000.000,00 x 1,50 x 5 x 1 360 x 100 Pasal 15 Data mengenai tingkat imbalan deposito investasi mudharabah berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan yang digunakan adalah rata- rata tertimbang tingkat imbalan deposito mudharabah berjangka waktu 1(satu) bulan sebelum didistribusikan yang tercatat pada PIPU. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan kurs transaksi adalah kurs jual ditambah dengan kurs beli dibagi dua. Pasal 17 ... - 31 - Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup Jelas Ayat (3) Cukup Jelas Ayat (4) Data mengenai Tingkat Indikasi Imbalan PUAS yang digunakan adalah rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan Sertifikat IMA yang tercatat pada PIPU. Contoh: Tanggal 2 September 2004: Saldo rekening giro rupiah Bank A sebesar Rp100. Sanksi kewajiban membayar kekurangan GWM Rp 120. Maka jumlah tambahan kewajiban membayar adalah : (120-100) X 150% X Tingkat Indikasi Imbalan PUAS X (1/360) Tanggal 3 September 2004: Saldo rekening giro rupiah Bank A sebesar Rp 80. Sanksi kewajiban membayar kekurangan GWM Rp 130. Maka jumlah tambahan kewajiban membayar pada tanggal 3 September 2004 hanya sebesar : (130-80) ... - 32 - (130-80) X 150% X Tingkat Indikasi Imbalan PUAS X (1/360) tanpa memperhitungkan jumlah tambahan kewajiban membayar pada tanggal 2 September 2004 yang belum dapat dipenuhi oleh bank yang bersangkutan. Ayat (5) Cukup Jelas Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4404
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 6/21/PBI/2004 </reg_id> <reg_title> GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 3 Agustus 2004 </set_date> <effective_date> 1 September 2004 </effective_date> <replaced_reg> '2/7/PBI/2000' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 11/ 6 /PBI/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/40/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender); b. bahwa untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada desain uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) sebagai legal tender di Negara Kesatuan Republik Indonesia, diperlukan penyempurnaan desain uang rupiah antara lain mengenai penandatanganan pada uang, penempatan letak tahun pengeluaran atau tahun emisi, dan tahun pencetakan uang; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2005; Mengingat . . . -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4762); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/40/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS . . . -3- KERTAS RUPIAH PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/40/PBI/2005 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 100) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 Ciri uang rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah: 1. Warna bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan ungu; 2. Gambar a. bagian muka 1) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Badaruddin II dan dibawahnya dicantumkan tulisan ”SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II”; 2) pada sebelah kiri gambar utama terdapat gambar ornamen daerah Palembang berbentuk lingkaran berwarna oranye yang akan memendar kuning di bawah sinar ultra violet; 3) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat tulisan ”BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan ”SEPULUH RIBU RUPIAH”; 4) pada . . . -4- 4) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka nominal ”10000”; 5) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal ”10000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; 6) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi (latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi panjang berbentuk ornamen daerah Palembang yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; 7) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila; 8) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam bidang segi delapan yang dicetak dengan tinta khusus (optically variable ink) yang akan berubah warna dari hijau menjadi biru apabila dilihat dari sudut pandang berbeda; 9) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun pencetakan “2009” (angka 2009 akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”; 10) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang membentuk ornamen daerah Palembang; 11) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat pada: a) sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal ”10000” berupa tulisan BI; b) sebelah . . . -5- b) sebelah kiri gambar utama di atas dan bawah gambar saling isi (rectoverso) berupa angka 10000 yang membentuk garis vertikal; c) sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berupa tulisan ”BANKINDONESIA” sebagai latar belakang uang; d) sebelah kanan gambar utama berupa tulisan ”BANKINDONESIA10000” yang tersusun diagonal membentuk warna dasar dan gambar ornamen daerah Palembang; 12) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa tulisan “BI10000” yang berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda. b. bagian belakang 1) gambar utama berupa gambar Rumah Limas, Palembang; 2) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan ”BANK INDONESIA”; 3) di bawah gambar utama terdapat tulisan ”DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SEPULUH RIBU RUPIAH”; 4) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal ”10000”; 5) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan ”BANK INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet; 6) pada . . . -6- 6) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; 7) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal “10000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP” dan angka tahun pengeluaran atau tahun emisi “2005”; 8) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar siluet Rumah Limas yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; 9) pada sebelah kiri bawah gambar utama terdapat cetakan tidak kasat mata berupa angka nominal ”10000” dalam kotak persegi panjang yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; 10) pada sebelah kanan atas dan bawah gambar utama terdapat angka nominal “10000” yang membentuk warna dasar; 11) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat pada: a) sebelah kanan di atas atap Rumah Limas berupa angka 10000 yang membentuk daun-daun pepohonan; b) sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi angka nominal ”10000” berupa tulisan “BI”; 12) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat: a) di atas dan bawah tanda air berupa tulisan “BANKINDONESIA” yang berbentuk garis melengkung dengan ukuran teks yang berbeda; b) pada sebelah kanan di atas tulisan “BANKINDONESIA” dan di bawah angka nominal ”10000” berupa tulisan “BANKINDONESIA” yang membentuk lingkaran. 3. Bahan . . . -7- 3. Bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut: a. terbuat dari serat kapas; b. ukuran panjang 145 mm dan lebar 65 mm; c. warna ungu muda; d. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; e. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Badaruddin II dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah Palembang; f. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan ”BI10000” berulang-ulang dan akan memendar berwarna merah di bawah sinar ultra violet. 2. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 5 A, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 A Uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan . . . -8- Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 3 Maret 2009. GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 3 Maret 2009. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 43 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 11/6/PBI/2009 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/40/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 </reg_title> <set_date> 3 Maret 2009 </set_date> <effective_date> 3 Maret 2009 </effective_date> <issued_date> 3 Maret 2009 </issued_date> <changed_reg> '7/40/PBI/2005' </changed_reg> <related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/14/PBI/2004', '23/UU/1999', '9/10/PBI/2007', '6/UU/2009' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/11/PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dilakukan melalui pertumbuhan kredit perbankan; b. bahwa pertumbuhan kredit perbankan masih tergantung dengan pertumbuhan dana pihak ketiga sebagai sumber utama pendanaan perbankan; c. bahwa guna memperluas sumber pendanaan bagi perbankan sekaligus mendukung pendalaman pasar keuangan serta mendorong penyaluran kredit diperlukan penyesuaian kebijakan terkait giro wajib minimum; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional; Mengingat: … - 2 - Mengingat: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN : Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 235, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5478) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan … - 3 - 1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing adalah bank yang memperoleh persetujuan dari otoritas yang berwenang untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing. 3. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 4. Dana Pihak Ketiga Bank yang selanjutnya disingkat DPK adalah kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam Rupiah dan valuta asing. 5. Rekening Giro adalah rekening pihak ekstern tertentu di Bank Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat. 6. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut Rekening Giro Rupiah adalah Rekening Giro dalam mata uang Rupiah yang penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan cek Bank Indonesia, Bilyet Giro Bank Indonesia, atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern. 7. Rekening … - 4 - 7. Rekening Giro dalam valuta asing yang selanjutnya disebut Rekening Giro Valas adalah Rekening Giro dalam valuta asing yang penarikannya dapat dilakukan dengan cara pemindahbukuan atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern. 8. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM adalah jumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh Bank yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK. 9. GWM Primer adalah simpanan minimum dalam Rupiah yang wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK. 10. GWM Sekunder adalah cadangan minimum dalam Rupiah yang wajib dipelihara oleh Bank berupa Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Deposito Bank Indonesia, Surat Berharga Negara, dan/atau Excess Reserve, yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK. 11. Loan to Funding Ratio yang selanjutnya disingkat LFR adalah rasio kredit yang diberikan kepada pihak ketiga dalam Rupiah dan valuta asing, tidak termasuk kredit kepada bank lain, terhadap: a. dana pihak ketiga yang mencakup giro, tabungan, dan deposito dalam Rupiah dan valuta asing, tidak termasuk dana antar bank; dan b. surat-surat berharga dalam Rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu yang diterbitkan oleh Bank untuk memperoleh sumber pendanaan. 12. LFR … - 5 - 12. LFR Target adalah kisaran LFR yang dibatasi oleh batas bawah dan batas atas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam rangka perhitungan GWM LFR. 13. GWM LFR adalah simpanan minimum dalam Rupiah yang wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK yang dihitung berdasarkan selisih antara LFR yang dimiliki oleh Bank dengan LFR Target. 14. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disingkat JIBOR adalah JIBOR sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai suku bunga penawaran antarbank. 15. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 16. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antar Bank. 17. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat berharga yang terdiri dari Surat Utang Negara dalam mata uang Rupiah dan Surat Berharga Syariah Negara dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. 18. Excess Reserve adalah kelebihan saldo Rekening Giro Rupiah Bank dari GWM Primer dan GWM LFR yang wajib dipelihara di Bank Indonesia. 19. Rasio … - 6 - 19. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya disingkat KPMM adalah rasio antara modal terhadap aset tertimbang menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum. 20. KPMM Insentif adalah KPMM yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam rangka perhitungan GWM LFR. 21. Parameter Disinsentif Bawah adalah parameter pengali yang digunakan dalam perhitungan GWM LFR bagi Bank yang memiliki LFR kurang dari batas bawah LFR Target. 22. Parameter Disinsentif Atas adalah parameter pengali yang digunakan dalam perhitungan GWM LFR bagi Bank yang memiliki LFR lebih dari batas atas LFR Target. 23. Total Kredit adalah seluruh kredit yang diberikan oleh Bank kepada Bank dan bukan Bank dalam Rupiah dan valuta asing. 24. Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disebut Kredit UMKM adalah kredit UMKM sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank umum dan bantuan teknis dalam rangka pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah, termasuk kredit atau pembiayaan untuk produk ekspor non migas yang diberikan oleh kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan bank campuran. 25. Rasio Kredit UMKM adalah perbandingan antara jumlah Kredit UMKM terhadap Total Kredit. 26. Rasio non performing loan Total Kredit yang selanjutnya disebut Rasio NPL Total Kredit adalah rasio antara jumlah Total Kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet, terhadap Total Kredit. 27. Rasio … - 7 - 27. Rasio non-performing loan Kredit UMKM yang selanjutnya disebut Rasio NPL Kredit UMKM adalah rasio antara jumlah Kredit UMKM dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet, terhadap Kredit UMKM. 2. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 (1) Bank wajib memenuhi GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 5 secara harian pada setiap hari kerja termasuk dalam hal Bank Indonesia beroperasi secara terbatas. (2) Dalam hal wilayah tertentu ditetapkan libur secara fakultatif, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Dalam hal kantor Bank Indonesia di wilayah tersebut tutup maka Bank yang berkantor pusat di wilayah tersebut tidak diwajibkan memenuhi GWM. b. Dalam hal kantor Bank Indonesia di wilayah tersebut tetap beroperasi maka: 1) Bank tetap diwajibkan memenuhi GWM apabila Bank yang berkantor pusat di wilayah tersebut tetap beroperasi. 2) Bank tidak diwajibkan memenuhi GWM apabila Bank yang berkantor pusat di wilayah tersebut tutup dan Bank telah menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian pemberitahuan tertulis kepada Bank Indonesia diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 3. Ketentuan … - 8 - 3. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 (1) Besaran dan parameter yang digunakan dalam perhitungan GWM LFR ditetapkan sebagai berikut: a. Batas bawah LFR Target sebesar 78% (tujuh puluh delapan persen). b. Batas atas LFR Target sebesar 92% (sembilan puluh dua persen). c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen). d. Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 (nol koma satu). e. Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma dua). (2) Batas atas LFR Target untuk Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 94% (sembilan puluh empat persen) dalam hal Bank: a. memenuhi Rasio Kredit UMKM lebih cepat dari target waktu tahapan pencapaian Rasio Kredit UMKM sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank umum dan bantuan teknis dalam rangka pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah; b. memenuhi Rasio NPL Total Kredit secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen); dan c. memenuhi Rasio NPL Kredit UMKM secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen). (3) Bank Indonesia sewaktu-waktu dapat mengubah besaran dan parameter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila diperlukan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan GWM LFR diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 4. Ketentuan … - 9 - 4. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) DPK dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan huruf b, Pasal 12, dan Pasal 17 ayat (2) serta DPK dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diperoleh dari Laporan DPK Rupiah dan Valuta Asing pada Laporan Berkala Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai laporan berkala bank umum. (2) Kredit, DPK, dan surat berharga yang diterbitkan untuk perhitungan LFR Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c dan Pasal 12 diperoleh dari: a. Neraca Mingguan pada Laporan Berkala Bank Umum yang disampaikan Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum, untuk data kredit dan DPK; dan b. Laporan Surat Berharga Yang Diterbitkan yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia secara berkala, untuk data surat berharga. (3) KPMM Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c dan Pasal 11 adalah KPMM triwulanan. (4) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK dengan hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh Bank maka yang berlaku adalah KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK. (5) Kredit UMKM untuk perhitungan Rasio Kredit UMKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a diperoleh dari: a. Daftar Rincian Kredit yang Diberikan dalam Laporan Bulanan Bank Umum posisi 2 (dua) masa laporan sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai laporan bulanan bank umum; dan b. Laporan … - 10 - b. Laporan Realisasi Pemberian Kredit Atau Pembiayaan UMKM Melalui Kerja Sama Pola Executing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank umum dan bantuan teknis dalam rangka pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah. (6) Total Kredit untuk perhitungan Rasio Kredit UMKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a diperoleh dari Daftar Rincian Kredit yang Diberikan dalam Laporan Bulanan Bank Umum posisi 2 (dua) masa laporan sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai laporan bulanan bank umum. (7) Non-performing loan Total Kredit untuk perhitungan Rasio NPL Total Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b diperoleh dari Daftar Rincian Kredit yang Diberikan dalam Laporan Bulanan Bank Umum posisi 2 (dua) masa laporan sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai laporan bulanan bank umum. (8) Non-performing loan Kredit UMKM untuk perhitungan Rasio NPL Kredit UMKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c diperoleh dari: a. Daftar Rincian Kredit yang Diberikan dalam Laporan Bulanan Bank Umum posisi 2 (dua) masa laporan sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai laporan bulanan bank umum; dan b. Laporan Realisasi Pemberian Kredit Atau Pembiayaan UMKM Melalui Kerja Sama Pola Executing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank umum dan bantuan teknis dalam rangka pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah. 5. Di antara … - 11 - 5. Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 16A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16A (1) Pemenuhan GWM bagi Bank yang melakukan merger atau konsolidasi: a. Perhitungan GWM dalam Rupiah dan valuta asing tetap dilakukan secara terpisah sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan merger atau konsolidasi. b. Sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan merger atau konsolidasi, pemenuhan GWM dalam Rupiah dan valuta asing hanya dihitung untuk bank hasil merger atau konsolidasi. c. Perhitungan pemenuhan GWM dalam Rupiah dan valuta asing untuk bank hasil merger atau konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilakukan dengan menggunakan data gabungan Bank yang melakukan merger atau konsolidasi sampai dengan data bank hasil merger atau konsolidasi tersedia. d. Data gabungan Bank sebagaimana dimaksud dalam huruf c meliputi DPK, Kredit, KPMM, saldo rekening surat berharga yang terdapat pada sisi aset Bank, saldo surat berharga yang diterbitkan Bank yang terdapat pada sisi kewajiban Bank, saldo Rekening Giro Rupiah, saldo Rekening Giro Valas, Total Kredit, Kredit UMKM, non-performing loan untuk Total Kredit, dan non-performing loan untuk Kredit UMKM. e. Data KPMM sebagaimana dimaksud dalam huruf d diperoleh dari Bank yang melakukan merger atau konsolidasi berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh … - 12 - oleh Bank atas penggabungan data yang digunakan dalam perhitungan KPMM masing-masing Bank sebelum tanggal efektif pelaksanaan merger atau konsolidasi. f. Dalam hal Bank Indonesia memberikan jasa giro atau mengenakan sanksi kepada bank yang menggabungkan diri atau bank yang meleburkan diri setelah tanggal efektif pelaksanaan merger atau konsolidasi maka pemberian jasa giro atau pengenaan sanksi ditujukan kepada bank hasil merger atau konsolidasi. (2) Pemenuhan GWM bagi Bank yang melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi bank umum syariah dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Bank harus memenuhi GWM dalam Rupiah dan valuta asing yang berlaku bagi Bank umum konvensional sampai dengan 1 (satu) hari kerja sebelum pelaksanaan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. b. Perhitungan GWM bagi Bank yang telah melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dilakukan dengan menggunakan data saat Bank belum melaksanakan kegiatan usaha sebagai bank umum syariah sampai dengan data bank setelah melaksanakan kegiatan usaha sebagai bank umum syariah tersedia. (3) Perhitungan GWM dalam valuta asing untuk Bank yang mendapatkan izin melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing berlaku sejak tersedianya data untuk dapat melakukan perhitungan GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan GWM terhadap Bank yang melakukan merger atau konsolidasi, Bank yang melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi bank umum … - 13 - umum syariah, dan Bank yang mendapatkan izin melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 6. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 17A dan Pasal 17B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17A (1) Bank dikenakan pengurangan jasa giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, apabila: a. Bank tidak memenuhi Rasio Kredit UMKM sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank umum dan bantuan teknis dalam rangka pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah; b. Rasio NPL Total Kredit secara bruto (gross) lebih dari atau sama dengan 5% (lima persen); atau c. Rasio NPL Kredit UMKM secara bruto (gross) lebih dari atau sama dengan 5% (lima persen). (2) Perhitungan Rasio Kredit UMKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menggunakan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) dan ayat (6). (3) Perhitungan Rasio NPL Total Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menggunakan data sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (6) dan ayat (7). (4) Perhitungan Rasio NPL Kredit UMKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c menggunakan data sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (5) dan ayat (8). (5) Pengurangan jasa giro dilakukan sebagai berikut: a. Dalam hal Bank memenuhi pencapaian Rasio Kredit UMKM sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank umum dan bantuan teknis dalam rangka … - 14 - rangka pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah namun memiliki Rasio NPL Total Kredit dan/atau Rasio NPL Kredit UMKM lebih dari atau sama dengan 5% (lima persen) maka Bank dikenakan pengurangan jasa giro sebesar 0,5% (nol koma lima persen). b. Dalam hal Bank tidak memenuhi pencapaian Rasio Kredit UMKM sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank umum dan bantuan teknis dalam rangka pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah maka Bank dikenakan pengurangan jasa giro sebesar 0,5% (nol koma lima persen) ditambah hasil perkalian antara 0,1 (nol koma satu) dengan selisih pencapaian target Rasio Kredit UMKM. Pasal 17B (1) Bank Indonesia dapat menetapkan untuk tidak mengenakan pengurangan jasa giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17A terhadap Bank dalam status pengawasan tertentu yang sedang dikenakan pembatasan kegiatan usaha oleh OJK terkait dengan penyaluran Kredit UMKM. (2) Penetapan untuk tidak mengenakan pengurangan jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas dasar permintaan OJK. 7. Di antara BAB VI dan BAB VII disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB VIA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB VIA PELAPORAN Pasal 19A (1) Bank wajib menyampaikan Laporan Surat Berharga Yang Diterbitkan … - 15 - Diterbitkan oleh Bank kepada Bank Indonesia secara berkala sebagai dasar perhitungan GWM LFR. (2) Surat berharga yang digunakan sebagai dasar perhitungan GWM LFR dan dilaporkan ke Bank Indonesia adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. diterbitkan dalam bentuk Medium Term Notes (MTN), Floating Rate Notes (FRN), dan obligasi selain obligasi subordinasi; b. ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum (public offering); c. memiliki peringkat yang diterbitkan lembaga pemeringkat paling kurang setara dengan peringkat investasi; d. dimiliki bukan Bank baik penduduk dan bukan penduduk; dan e. ditatausahakan di lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek. (3) Bank Indonesia dapat mengubah kriteria surat berharga yang dapat digunakan sebagai dasar perhitungan GWM LFR sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Bank yang tidak menerbitkan surat berharga atau menerbitkan surat berharga namun tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diwajibkan menyampaikan Laporan Surat Berharga Yang Diterbitkan oleh Bank dengan laporan nihil. (5) Laporan Surat Berharga Yang Diterbitkan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan. (6) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila Bank … - 16 - Bank menyampaikan laporan setelah batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sampai dengan 5 (lima) hari kerja berikutnya. (7) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila Bank belum menyampaikan laporan sampai dengan berakhirnya batas waktu keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (8) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) disampaikan melalui email kepada Bank Indonesia. (9) Dalam hal penyampaian laporan melalui email sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak dapat dilakukan, Bank menyampaikan laporan dalam bentuk softcopy dan hardcopy kepada Bank Indonesia. (10) Bank dapat melakukan koreksi atas laporan yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia. (11) Bank Indonesia dapat menghentikan kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) dengan surat pemberitahuan kepada Bank. (12) Laporan Surat Berharga Yang Diterbitkan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) pertama kali disampaikan kepada Bank Indonesia untuk posisi bulan Juni 2015. (13) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara penyampaian Laporan Surat Berharga Yang Diterbitkan oleh Bank diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 8. Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 20A dan Pasal 20B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20A (1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19A ayat (6) dikenakan sanksi berupa teguran … - 17 - teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan. (2) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19A ayat (7) dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Pasal 20B Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A ayat (2) tidak menghilangkan kewajiban Bank untuk menyampaikan Laporan Surat Berharga Yang Diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19A ayat (1) dan ayat (4). Pasal II 1. Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku semua penyebutan Bank Devisa dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional beserta peraturan pelaksanaannya dibaca sebagai Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing. 2. Semua penyebutan loan to deposit ratio atau LDR dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional beserta peraturan pelaksanaannya dibaca sebagai Loan to Funding Ratio atau LFR sejak tanggal 3 Agustus 2015. 3. Perhitungan GWM LFR mulai berlaku pada tanggal 3 Agustus 2015. 4. Perhitungan jasa giro sebagaimana dimaksud pada Pasal 17A mulai berlaku pada tanggal 1 Februari 2016. 5. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar … - 18 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 Juni 2015 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 Juni 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 152 DKMP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/11/PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL I. UMUM Pertumbuhan ekonomi berpotensi tumbuh lebih rendah dari perkiraan semula yang diiringi dengan pertumbuhan kredit perbankan yang menunjukkan perlambatan sejak tahun 2013 sehingga berada di bawah kisaran perkiraan pertumbuhan kredit di tahun 2014. Ditengah perlambatan pertumbuhan kredit, terdapat peningkatan kerentanan baik yang bersumber dari pasar keuangan global dan domestik. Situasi tersebut berpotensi meningkatkan risiko stabilitas sistem keuangan. Dalam kondisi demikian, kebijakan moneter yang cenderung ketat masih dipandang perlu untuk dipertahankan, sehingga dibutuhkan alternatif kebijakan makroprudensial yang diharapkan dapat mendorong proses intermediasi perbankan, pendalaman pasar keuangan dan penyaluran kredit. Peningkatan penyaluran kredit tersebut diharapkan juga dapat disalurkan ke sektor produktif. Salah satu kebijakan makroprudensial yang diharapkan dapat mengakomodir tujuan tersebut adalah melalui penyesuaian kebijakan GWM. Penyesuaian dilakukan dengan memasukkan surat-surat berharga (SSB) yang diterbitkan bank dalam perhitungan Loan to Deposit Ratio (LDR) dalam kebijakan GWM-LDR. Sejalan dengan masuknya SSB yang diterbitkan bank dalam perhitungan LDR maka istilah LDR diganti menjadi Loan to Funding Ratio (LFR). Dalam upaya untuk mendorong Kredit UMKM, Bank Indonesia juga akan memperlonggar batas atas LFR bagi bank yang sudah memenuhi pencapaian tertentu Kredit UMKM dengan kualitas kredit yang baik. Selain itu, bagi bank yang belum memenuhi pencapaian tertentu kredit UMKM dimaksud akan mendapatkan … - 2 - mendapatkan penyesuaian jasa giro. Dengan adanya kebijakan tersebut, perlu dilakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Perhitungan pemenuhan GWM secara harian dilakukan berdasarkan posisi akhir hari. Ayat (2) Contoh: Pada tanggal 1 September 2015, Pemerintah Daerah X memutuskan tanggal tersebut sebagai hari libur di wilayah tersebut. Namun, Kantor Perwakilan Bank Indonesia di wilayah tersebut tetap beroperasi. Dalam hal terdapat: a. Bank yang berkantor pusat di wilayah tersebut beroperasi, maka Bank tersebut tetap dikenakan kewajiban pemenuhan GWM. b. Bank yang berkantor pusat di wilayah tersebut tutup, maka Bank tersebut tidak dikenakan kewajiban pemenuhan GWM apabila telah menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal … - 3 - Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penetapan persentase LFR Target, KPMM Insentif, Parameter Disinsentif Bawah, dan Parameter Disinsentif Atas dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia dengan memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi, moneter, dan sistem keuangan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kredit, DPK, dan surat berharga yang diterbitkan untuk perhitungan LFR Bank yang digunakan sebagai dasar perhitungan GWM LFR didasarkan pada: a. Neraca Mingguan pada Laporan Berkala Bank Umum untuk data kredit dan DPK posisi akhir tanggal laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya, yaitu: 1) LFR Bank yang digunakan sebagai dasar perhitungan GWM LFR harian untuk tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 didasarkan pada data DPK dan kredit pada akhir masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 bulan sebelumnya; 2) LFR Bank yang digunakan sebagai dasar perhitungan GWM LFR harian untuk tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 didasarkan pada data DPK dan kredit pada akhir … - 4 - akhir masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya; 3) LFR Bank yang digunakan sebagai dasar perhitungan GWM LFR harian untuk tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 didasarkan pada data DPK dan kredit pada akhir masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan yang sama; 4) LFR Bank yang digunakan sebagai dasar perhitungan GWM LFR harian sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan didasarkan pada data DPK dan kredit pada akhir masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan yang sama. b. Laporan Surat Berharga Yang Diterbitkan untuk data surat berharga posisi 2 (dua) masa laporan sebelumnya. Contoh: 1) LFR Bank yang digunakan sebagai dasar perhitungan GWM LFR harian untuk bulan Januari didasarkan pada data surat berharga yang dilaporkan pada posisi bulan November tahun sebelumnya. 2) LFR Bank yang digunakan sebagai dasar perhitungan GWM LFR harian untuk bulan Agustus didasarkan pada data surat berharga yang dilaporkan pada posisi bulan Juni tahun yang sama. Ayat (3) KPMM triwulanan yang digunakan sebagai dasar perhitungan GWM LFR merupakan hasil olahan sistem aplikasi yang diterima oleh Bank Indonesia dari OJK dalam rangka pengawasan terhadap Bank yang bersangkutan, untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember, yaitu: a. KPMM pada posisi akhir bulan Maret digunakan untuk perhitungan GWM LFR harian untuk bulan Juni, Juli, dan Agustus. b. KPMM … - 5 - b. KPMM pada posisi akhir bulan Juni digunakan untuk perhitungan GWM LFR harian untuk bulan September, Oktober, dan November. c. KPMM pada posisi akhir bulan September digunakan untuk perhitungan GWM LFR harian untuk bulan Desember, Januari, dan Februari. d. KPMM pada posisi akhir bulan Desember digunakan untuk perhitungan GWM LFR harian untuk bulan Maret, April, dan Mei. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 16A Ayat (1) Huruf a Tanggal efektif adalah tanggal pelaksanaan peralihan operasional dari Bank yang menggabungkan diri kepada Bank yang menerima penggabungan atau dari Bank yang meleburkan diri kepada Bank yang didirikan. Huruf b Contoh perhitungan GWM Primer untuk bank yang melakukan merger: Bank A dan Bank B melakukan merger menjadi Bank A yang berlaku efektif pada tanggal 1 September 2015 (Selasa), … - 6 - (Selasa), perhitungan GWM Primer dilakukan sebagai berikut: 1) Periode sebelum tanggal efektif pelaksanaan merger a) Sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan merger, yaitu tanggal 28 Agustus 2015 (Jumat), pemenuhan GWM Primer untuk Bank A dan Bank B dihitung secara terpisah masing-masing untuk Bank A dan Bank B sesuai dengan tata cara perhitungan sebagaimana diatur dalam Pasal 9. b) Pada 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan merger, pemenuhan GWM Primer untuk tanggal 31 Agustus 2015 (Senin) hanya wajib dipenuhi oleh Bank A mengingat saldo Rekening Giro Rupiah Bank B pada tanggal tersebut telah bersaldo nihil karena dipindahkan ke Rekening Giro Rupiah Bank A. 2) Periode setelah tanggal efektif pelaksanaan merger a) Sejak tanggal 1 (satu) sampai dengan 7 September 2015, pemenuhan GWM Primer untuk Bank A sebagai bank hasil merger dihitung dengan membandingkan: (1) Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A sebagai bank hasil merger pada Bank Indonesia; terhadap (2) Rata-rata harian DPK Rupiah Bank A sebagai bank hasil merger yang diperoleh dari penjumlahan rata-rata harian DPK Rupiah Bank A dan rata-rata harian DPK Rupiah Bank B pada masa laporan tanggal 16 sampai 23 Agustus 2015. b) Sejak … - 7 - b) Sejak tanggal 8 sampai dengan 15 September 2015, pemenuhan GWM Primer untuk Bank A sebagai bank hasil merger dihitung dengan membandingkan: (1) Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A sebagai bank hasil merger pada Bank Indonesia; terhadap (2) Rata-rata harian DPK Rupiah Bank A sebagai bank hasil merger yang diperoleh dari penjumlahan rata-rata harian DPK Rupiah Bank A dan rata-rata harian DPK Rupiah Bank B pada masa laporan tanggal 24 sampai 31 Agustus 2015. c) Sejak tanggal 16 September 2015, pemenuhan GWM Primer untuk Bank A sebagai bank hasil merger dihitung sesuai tata cara perhitungan sebagaimana diatur dalam Pasal 9. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Contoh perhitungan GWM bagi Bank yang telah melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagai berikut: Bank … - 8 - Bank A melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah efektif pada tanggal 1 Oktober 2015. Perhitungan GWM Bank A sebagai bank umum syariah sejak tanggal 1 sampai dengan 15 Oktober 2015 menggunakan data rata- rata harian jumlah DPK saat Bank A belum efektif sebagai bank umum syariah. Perhitungan GWM Bank A dengan menggunakan data sebagai bank umum syariah mulai dihitung sejak tanggal 16 Oktober 2015 dengan menggunakan rata-rata harian jumlah DPK untuk masa laporan tanggal 1 sampai dengan 7 Oktober 2015. Ayat (3) Contoh perhitungan GWM dalam valuta asing terhadap Bank yang mendapatkan izin melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing sebagai berikut: Bank A mendapatkan izin untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing efektif pada tanggal 1 Oktober 2015. Dengan demikian, kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing untuk Bank A mulai dihitung sejak tanggal 16 Oktober 2015 dengan menggunakan rata-rata harian jumlah DPK dalam valuta asing untuk masa laporan tanggal 1 sampai dengan 7 Oktober 2015. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 17A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat … - 9 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Contoh: Pada tanggal 24 Maret 2016, Bank A telah memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam Rupiah yang meliputi GWM Primer, GWM Sekunder, dan GWM LFR sehingga Bank A memperoleh jasa giro untuk bagian tertentu dari saldo Rekening Giro Rupiah yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban GWM Primer. Berdasarkan data pada bulan Desember 2015, pencapaian Rasio Kredit UMKM Bank A adalah sebesar 6% (enam persen). Rasio NPL Kredit UMKM dan Rasio NPL Total Kredit Bank A masing-masing sebesar 5,5% (lima koma lima persen) dan 4% (empat persen). Jasa giro yang diperoleh Bank A adalah sebesar jasa giro yang berlaku yaitu 2,5% (dua koma lima persen) dan dikenakan pengurangan jasa giro sebesar 0,5% (nol koma lima persen) sehingga Bank A mendapatkan jasa giro 2% (dua persen). Huruf b Pengurangan jasa giro dilakukan dengan memperhatikan target pencapaian Rasio Kredit UMKM sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, dengan perhitungan sebagai berikut: 1) Mulai tanggal 1 Februari 2016 sampai dengan tanggal 31 Januari 2017 Dalam hal Rasio Kredit UMKM Bank kurang dari 5% (lima persen) jasa giro dikurangi sebesar 0,5% (nol koma lima persen) ditambah hasil perkalian antara 0,1 (nol koma … - 10 - koma satu) dengan selisih target pencapaian 5% (lima persen) dengan realisasi Rasio Kredit UMKM Bank. Formula perhitungan sebagai berikut: Jasa giro = 2,5% - [0,5% + {0,1 x (5% - Rasio Kredit UMKM Bank)}]. 2) Mulai tanggal 1 Februari 2017 sampai dengan tanggal 31 Januari 2018 Dalam hal Rasio Kredit UMKM Bank kurang dari 10% (sepuluh persen) jasa giro dikurangi sebesar 0,5% (nol koma lima persen) ditambah hasil perkalian antara 0,1 (nol koma satu) dengan selisih target pencapaian 10% (sepuluh persen) dengan realisasi Rasio Kredit UMKM Bank. Formula perhitungan sebagai berikut: Jasa giro = 2,5% - [0,5% + {0,1 x (10% - Rasio Kredit UMKM Bank)}]. 3) Mulai tanggal 1 Februari 2018 sampai dengan tanggal 31 Januari 2019 Dalam hal Rasio Kredit UMKM Bank kurang dari 15% (lima belas persen) jasa giro dikurangi sebesar 0,5% (nol koma lima persen) ditambah hasil perkalian antara 0,1 (nol koma satu) dengan selisih target pencapaian 15% (lima belas persen) dengan realisasi Rasio Kredit UMKM Bank. Formula perhitungan sebagai berikut: Jasa giro = 2,5% - [0,5% + {0,1 x (15% - Rasio Kredit UMKM Bank)}]. 4) Sejak tanggal 1 Februari 2019 Dalam hal Rasio Kredit UMKM Bank kurang dari 20% (dua puluh persen) jasa giro dikurangi sebesar 0,5% (nol koma lima persen) ditambah hasil perkalian antara 0,1 (nol koma satu) dengan selisih target pencapaian 20% (dua puluh persen) dengan realisasi Rasio Kredit UMKM Bank. … - 11 - Bank. Formula perhitungan sebagai berikut: Jasa giro = 2,5% - [0,5% + {0,1 x (20% - Rasio Kredit UMKM Bank)}]. Contoh: Bank A memiliki data sebagai berikut: a. rata-rata harian total DPK dalam Rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan 15 Maret 2016 sebesar Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah); b. LFR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan 15 Maret 2016 sebesar 97% (sembilan puluh tujuh persen); c. KPMM Bank posisi akhir bulan Desember 2015 sebesar 12% (dua belas persen); dan d. pencapaian Rasio Kredit UMKM Bank A pada posisi 31 Desember 2015 sebesar 3% (tiga persen). Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), batas bawah LFR Target ditetapkan sebesar 78% (tujuh puluh delapan persen) dan batas atas LFR Target sebesar 92% (sembilan puluh dua persen) sehingga LFR Bank berada di atas kisaran LFR Target. Dengan demikian GWM LFR harian Bank untuk tanggal 24 sampai dengan 31 Maret 2016 adalah sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam Rupiah yang diperoleh dari Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma dua) dikali selisih antara LFR Bank dan batas atas LFR Target yaitu 97% (sembilan puluh tujuh persen) dikurangi 92% (sembilan puluh dua persen). Untuk tanggal 24 sampai dengan 31 Maret 2016, Bank A wajib memenuhi GWM dalam Rupiah harian sebagai berikut: a. GWM … - 12 - a. GWM Primer sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam Rupiah, yaitu Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah); b. GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam Rupiah, yaitu Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah); dan c. GWM LFR sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam Rupiah, yaitu sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah). GWM Primer dan GWM LFR sebesar 9% (sembilan persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp4.500.000.000.000,00 (empat triliun lima ratus miliar rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. Sedangkan GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk SBI, SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve. Pada tanggal 24 Maret 2016, saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia adalah sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah) dan Bank A memiliki SBI, SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve sebesar Rp2.100.000.000.000,00 (dua triliun seratus miliar rupiah), sehingga Bank telah memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam Rupiah dan dapat memperoleh jasa giro untuk bagian tertentu dari saldo Rekening Giro Rupiah yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban GWM Primer. Mengingat pencapaian Rasio Kredit UMKM Bank A pada tanggal 31 Desember 2015 adalah sebesar 3% (tiga persen) maka jasa giro yang diperoleh Bank A adalah sebesar: = 2,5% - [0,5% + {0,1 x (5%-3%)}] = 1,8%. Bagian … sebesar sebesar - 13 - Bagian saldo Rekening Giro Rupiah yang mendapat jasa giro ditetapkan sebesar 3% (tiga persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar: = 3% x Rp50.000.000.000.000,00 = Rp1.500.000.000.000,00. Perhitungan jasa giro dengan tingkat bunga 1,8% (satu koma delapan persen) per tahun untuk tanggal 24 Maret 2016 adalah sebagai berikut: = [(1 + 1,8%)(1/360) – 1] x Rp1.500.000.000.000,00 = Rp74.334.834,03. Pasal 17 B Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dalam status pengawasan tertentu” adalah pengawasan di luar pengawasan normal. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 19A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Peringkat dan lembaga pemeringkat adalah peringkat dan lembaga pemeringkat yang diakui oleh otoritas pengawas Bank sesuai ketentuan yang berlaku. Huruf d Cukup jelas. Huruf … - 14 - Huruf e Yang dimaksud dengan lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek adalah Kustodian Sentral Efek Indonesia atau lembaga berwenang lainnya. Ayat (3) Penetapan kriteria surat berharga yang dapat digunakan sebagai dasar perhitungan GWM LFR dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia dengan memperhatikan antara lain kondisi perbankan dan pasar keuangan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Koreksi laporan dapat dilakukan atas inisiatif Bank atau permintaan dari Bank Indonesia. Ayat (11) Penghentian laporan dilakukan apabila Bank Indonesia sudah dapat menerima laporan surat berharga yang diterbitkan oleh Bank dari Kustodian Sentral Efek Indonesia atau lembaga berwenang lainnya. Ayat (12) Cukup jelas. Ayat … - 15 - Ayat (13) Cukup jelas. Pasal 20 A Cukup jelas. Pasal 20 B Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5712
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 17/11/PBI/2015 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL </reg_title> <set_date> 25 Juni 2015 </set_date> <effective_date> 26 Juni 2015 </effective_date> <issued_date> 26 Juni 2015 </issued_date> <changed_reg> '15/15/PBI/2013' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 8 Pasal 20A' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 29 /PBI/2008 TENTANG FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung kelancaran sistem pembayaran di Indonesia, Bank Indonesia telah mengimplementasikan Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS) dan sistem kliring nasional Bank Indonesia; b. bahwa untuk menghindari terjadinya kemacetan dalam sistem pembayaran (gridlock) dalam Sistem BI-RTGS, yang dapat membahayakan stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan Fasilitas Likuiditas Intrahari kepada Bank Umum peserta Sistem BI-RTGS; c. bahwa untuk mengantisipasi kemungkinan kegagalan Bank dalam memenuhi kewajibannya sebagai peserta dalam sistem kliring nasional Bank Indonesia, di samping untuk tujuan sebagaimana dimaksud pada huruf b, penyediaan Fasilitas Likuiditas Intrahari juga dimaksudkan untuk penyelesaian akhir kliring debet kepada Bank Umum; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat … - 2 - Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/6/PBI/2008 tentang Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4820); 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/18/PBI/2005 tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4516); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM Pasal … - 3 - Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement. 3. Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya dan penatausahaan surat berharga secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System. 4. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SKNBI adalah sistem kliring yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem kliring nasional Bank Indonesia. 5. Kliring Debet adalah kegiatan dalam SKNBI untuk transfer debet sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem kliring nasional Bank Indonesia. 6. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disebut FLI adalah penyediaan pendanaan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam kedudukan Bank sebagai peserta Sistem BI-RTGS dan peserta SKNBI, yang dilakukan dengan cara repurchase agreement (repo) surat berharga yang harus diselesaikan pada hari yang sama dengan hari penggunaan. 7. FLI … - 4 - 7. FLI dalam rangka RTGS yang selanjutnya disebut FLI-RTGS adalah FLI untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank yang terjadi selama jam operasional Sistem BI-RTGS. 8. FLI dalam rangka Kliring yang selanjutnya disebut FLI-Kliring adalah FLI untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank yang terjadi pada saat penyelesaian akhir atas hasil Kliring Debet. 9. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 10. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. Pasal 2 (1) Bank dapat memperoleh FLI, baik dalam bentuk FLI-RTGS maupun FLI- Kliring, setelah menandatangani Perjanjian Penggunaan FLI dan menyampaikan dokumen pendukung yang dipersyaratkan kepada Bank Indonesia. (2) Bank dapat menggunakan FLI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. memiliki surat berharga yang dapat direpokan kepada Bank Indonesia berupa SBI dan/atau SUN; b. tidak sedang dikenakan sanksi penangguhan sebagai Bank peserta BI- RTGS dan/atau penghentian sebagai Bank peserta kliring; dan c. berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS. Pasal … - 5 - Pasal 3 Bank Indonesia berwenang untuk menolak atau menghentikan penggunaan FLI dalam hal Bank tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c. Pasal 4 (1) Pelaksanaan repo atas surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dalam rangka penggunaan FLI-RTGS dan/atau FLI-Kliring dilakukan melalui BI-SSSS yang diatur sebagai berikut: a. Untuk FLI-RTGS, Bank harus memindahkan surat berharga ke rekening FLI-RTGS di BI-SSSS selama jam operasional Sistem BI-RTGS pada saat Bank menilai adanya kebutuhan FLI (self asessment) untuk kelancaran transaksi di Sistem BI-RTGS; dan b. Untuk FLI-Kliring, Bank harus memindahkan surat berharga ke rekening FLI-Kliring di BI-SSSS dalam rangka penyediaan pendanaan awal (prefund) sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem kliring nasional Bank Indonesia. (2) Surat berharga yang telah dipindahkan ke rekening FLI-Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat digunakan untuk FLI-RTGS. Pasal 5 (1) Perhitungan nilai jual SBI dan nilai pasar SUN yang digunakan Bank dalam rangka FLI tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai transaksi repo dengan Bank Indonesia di pasar sekunder. (2) Nilai maksimum FLI yang dapat digunakan Bank adalah sebesar nilai surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah dipindahkan Bank ke rekening FLI-RTGS dan FLI-Kliring di BI-SSSS. Pasal … - 6 - Pasal 6 (1) Penggunaan FLI-RTGS dilakukan secara otomatis pada saat saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk melakukan transaksi keluar (outgoing transaction). (2) Penggunaan FLI-Kliring dilakukan secara otomatis pada saat saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban Bank atas penyelesaian akhir Kliring Debet. (3) Penggunaan FLI-RTGS dan FLI-Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan masing-masing berdasarkan kecukupan nilai surat berharga untuk FLI yang tersedia di rekening FLI-RTGS dan FLI-Kliring. (4) Dalam hal nilai surat berharga untuk FLI-Kliring tidak cukup untuk menutup kewajiban penyelesaian akhir Kliring Debet sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) maka nilai surat berharga untuk FLI-RTGS yang tersedia di rekening FLI-RTGS secara otomatis digunakan untuk menutup kewajiban penyelesaian akhir Kliring Debet. Pasal 7 Bank Indonesia dapat membatasi jenis-jenis transaksi yang diperkenankan untuk menggunakan FLI. Pasal 8 Bank Indonesia dapat mengenakan biaya atas penggunaan FLI dan/atau biaya lainnya yang terkait dengan penggunaan FLI kepada Bank. Pasal 9 (1) Penyelesaian FLI dilakukan secara otomatis oleh Sistem BI-RTGS setiap terdapat transaksi masuk (incoming transaction) yang mengkredit rekening giro … - 7 - giro rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia sampai dengan batas waktu penyelesaian FLI. (2) Bank wajib menyelesaikan FLI sampai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Dalam hal Bank tidak dapat menyelesaikan penggunaan FLI sampai dengan batas waktu yang ditetapkan maka terhadap nilai FLI yang tidak dapat diselesaikan diberlakukan sebagai transaksi repo dengan Bank Indonesia dengan jangka waktu 1 (satu) hari. Pasal 10 (1) Bank dapat memindahkan kembali surat berharga dari rekening FLI-RTGS dan FLI-Kliring ke rekening perdagangan di BI-SSSS dalam hal : a. FLI telah diselesaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); b. surat berharga yang telah dipindahkan ke rekening FLI-RTGS tidak sedang digunakan untuk FLI. (2) Pemindahan kembali surat berharga dari rekening FLI-Kliring ke rekening perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kepentingan FLI- Kliring tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem kliring nasional Bank Indonesia. Pasal 11 Dalam hal FLI diberlakukan sebagai transaksi repo dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) maka Bank tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai transaksi repo dengan Bank Indonesia di pasar sekunder. Pasal … - 8 - Pasal 12 Dalam hal Bank tidak dapat menyelesaikan FLI karena kegagalan Sistem BI-RTGS dan/atau BI-SSSS maka penyelesaian FLI dilakukan secara otomatis jika terdapat transaksi masuk (incoming transaction) segera setelah sistem BI-RTGS dan/atau BI-SSSS berfungsi kembali. Pasal 13 Bank yang pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini telah menandatangani Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan FLI harus mengganti dengan Perjanjian Penggunaan FLI sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 14 Bank peserta kliring yang berada di wilayah Kliring yang belum menerapkan SKNBI dapat menggunakan FLI-RTGS untuk penyelesaian akhir kliring yang terjadi sebelum cut-off warning Sistem BI-RTGS. Pasal 15 Ketentuan lebih lanjut mengenai FLI diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 16 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/22/PBI/2005 tanggal 3 Agustus 2005 tentang Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 17 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 14 November 2008. Agar … - 9 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 14 November 2008. GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 14 November 2008. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 174 DPM, DASP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/ 29 /PBI/2008 TENTANG FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM UMUM Dalam kegiatan usaha, Bank sangat lazim mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek yang disebabkan ketidaksesuaian pendanaan antara arus masuk dan arus keluar (mismatch). Dengan berlakunya penyelesaian transaksi melalui sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) dimana transaksi pembayaran diselesaikan satu demi satu secara seketika (real time), Bank sangat mungkin mengalami kesulitan pendanaan dalam waktu yang sangat pendek. Kesulitan pendanaan dimaksud sebagai akibat terjadi ketidaksesuaian antara waktu dan atau nilai transaksi yang dikirim (outgoing transaction) dengan transaksi yang diterima (incoming transaction). Apabila kesulitan yang dialami oleh Bank atau beberapa Bank tersebut tidak segera diatasi, dikhawatirkan dapat menyebabkan kemacetan pembayaran (gridlock) yang dapat mengganggu kelancaran sistem pembayaran yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakstabilan sistem keuangan secara keseluruhan. Untuk mengatasi timbulnya kemacetan pembayaran diatas maka Bank Indonesia menyediakan fasilitas pendanaan untuk jangka waktu yang sangat pendek selama waktu operasional Sistem BI-RTGS dalam bentuk Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) Bagi Bank Umum yang wajib diselesaikan oleh Bank pada akhir hari yang sama. Selain penyediaan FLI untuk mengatasi gridlock dalam Sistem BI-RTGS, penyediaan FLI juga diperlukan untuk mengatasi timbulnya kewajiban penyelesaian …. - 2 - penyelesaian akhir kliring debet yang ditanggung oleh Bank Indonesia sebagai penyelenggara sistem kliring. Berkenaan dengan hal tersebut maka Bank Indonesia memandang perlu untuk menerapkan suatu kebijakan yang mewajibkan peserta dalam Kliring Debet untuk menyediakan pendanaan awal (prefund) dalam bentuk dana (cash) dan atau surat berharga (collateral) pada setiap awal hari sebelum kliring debet dimulai. Berkenaan dengan penyediaan setoran awal dalam bentuk surat berharga tersebut maka mekanisme penyediaan, penggunaan dan penyelesaiannya akan diberikan dalam bentuk Fasilitas Likuiditas Intrahari khusus kliring sebagaimana Fasilitas Likuiditas Intrahari yang sebelumnya telah disediakan oleh Bank Indonesia untuk transaksi Sistem BI-RTGS. Pemberian FLI ini sejalan dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia untuk menjaga kelancaran sistem pembayaran sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Pengajuan FLI dan penatausahaan surat berharga dalam rangka pengajuan FLI telah menggunakan sarana Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) yang terhubung langsung dengan Sistem BI-RTGS. Dengan menggunakan sarana BI-SSSS diharapkan dapat mempercepat proses pengajuan FLI dan meminimalkan resiko setelmen. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Dokumen …. - 3 - Dokumen pendukung yang disertakan antara lain meliputi fotokopi Anggaran Dasar Bank atau kuasa (power of attorney) dari kantor cabang Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri yang telah dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Bank. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Kriteria pengenaan sanksi penangguhan (suspend) tunduk pada Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement yang berlaku dan/atau Peraturan Bank Indonesia tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia. Huruf c Yang dimaksud dengan kriteria aktif adalah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf …. - 4 - Huruf b Yang dimaksud dengan pendanaan awal (prefund) adalah penyediaan dana dan/atau surat berharga oleh Bank peserta SKNBI pada awal hari sebelum kegiatan kliring debet dimulai. Dalam ketentuan ini, penyediaan pendanaan awal yang diatur adalah dalam bentuk surat berharga. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Penggunaan FLI-RTGS secara otomatis dimaksudkan bahwa nilai atas surat berharga yang direpokan yang dilakukan Bank langsung digunakan untuk menutup ketidakcukupan saldo rekening giro Rupiah di Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal …. - 5 - Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Besarnya biaya penggunaan FLI dan biaya lainnya yang terkait penggunaan FLI ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 9 Ayat (1) Sepanjang Bank masih menggunakan FLI maka Sistem BI-RTGS secara otomatis menggunakan dana yang berasal dari transaksi masuk (incoming transaction) untuk terlebih dahulu menyelesaikan FLI tersebut. Proses penggunaan dan penyelesaian FLI berlangsung terus sampai dengan batas akhir waktu penyelesaian FLI. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal …. - 6 - Pasal 12 Yang dimaksud dengan kegagalan Sistem BI-RTGS adalah kegagalan RTGS Central Computer (RCC) sehingga seluruh Bank Peserta BI-RTGS dan/atau Bank Indonesia tidak dapat mengirimkan transaksi dari terminal RTGS (RT) ke RCC. Gangguan pada salah satu atau beberapa RT dan/atau gangguan pada jaringan RTGS yang mengakibatkan satu atau beberapa Bank Peserta BI- RTGS tidak dapat mengirimkan transaksi ke RCC, tidak dianggap sebagai kegagalan Sistem BI-RTGS. Yang dimaksud dengan kegagalan Sistem BI-SSSS adalah kegagalan System Central Computer (SCC) pada sarana BI-SSSS sehingga seluruh Bank dan/atau Bank Indonesia tidak dapat mengirimkan transaksi dari terminal (System Terminal/ST) ke SCC. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Pokok-pokok ketentuan yang akan diatur dalam SE BI meliputi antara lain: 1. Tata cara penyampaian Perjanjian Penggunaan FLI; 2. Batas akhir waktu penggunaan dan penyelesaian FLI; 3. Tata cara pemindahan surat berharga dari rekening perdagangan ke rekening FLI-RTGS dan FLI-Kliring dan sebaliknya; 4. Tata …. - 7 - 4. Tata cara perhitungan dan pembebanan biaya penggunaan FLI dan/atau biaya lainnya terkait penggunaan FLI. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4922 DPM, DASP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/29/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 14 November 2008 </set_date> <effective_date> 14 November 2008 </effective_date> <issued_date> 14 November 2008 </issued_date> <replaced_reg> '7/22/PBI/2005' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '10/6/PBI/2008', '2/PERPPU/2008', '7/18/PBI/2005', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
- 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6 /31/PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KHUSUS PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2004 DALAM BENTUK UANG KERTAS BELUM DIPOTONG GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa uang kertas berfungsi sebagai alat pembayaran, dan sekaligus merupakan sarana bagi perkembangan numismatika di Indonesia; b. bahwa dalam rangka mendorong perkembangan numismatika (koleksi uang) di Indonesia, dipandang perlu untuk mengeluarkan uang kertas yang memiliki keunikan; c. bahwa dalam upaya tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah khusus pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 dalam bentuk uang kertas belum dipotong; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang pengeluaran dan pengedaran uang rupiah khusus pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 dalam bentuk uang kertas belum dipotong; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor … - 2 - Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tanggal 22 Juni 2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KHUSUS PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2004 DALAM BENTUK UANG KERTAS BELUM DIPOTONG. Pasal 1 (1) Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah khusus pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 dalam bentuk uang kertas belum dipotong. (2) Setiap lembaran uang kertas belum dipotong terdiri dari 2 (dua) lembar (bilyet) atau 4 (empat) lembar (bilyet) uang kertas yang masih merupakan satu kesatuan. Pasal 2 Uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan paling banyak : a. 5.000 (lima ribu) lembaran yang terdiri dari 2 (dua) lembar (bilyet); dan b. 5.000 (lima ribu) lembaran yang terdiri dari 4 (empat) lembar (bilyet). Pasal 3 … - 3 - Pasal 3 (1) Setiap lembar (bilyet) uang dalam uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) mempunyai nilai nominal sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). (2) Setiap lembaran uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) terdiri dari : a. 2 (dua) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah); atau b. 4 (empat) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar Rp400.000,00 (empat ratus ribu rupiah). Pasal 4 (1) Jenis lembaran uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 terdiri dari : a. lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet) dalam bentuk persegi panjang dan berukuran 151 mm x 130 mm; b. lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet) dalam bentuk persegi panjang dan berukuran 302 mm x 130 mm. (2) Setiap lembaran uang rupiah khusus dilengkapi dengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia. (3) Bahan dan ciri setiap lembar uang yang terdapat pada uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah: a. warna bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan merah; b. gambar… - 4 - b. gambar 1. bagian muka a) gambar utama berupa gambar Proklamator dan di bawahnya dicantumkan tulisan “DR. IR. SOEKARNO” dan “DR. H. MOHAMMAD HATTA”; b) di antara gambar Proklamator terdapat tulisan “Teks Proklamasi Republik Indonesia” dengan latar belakang Bendera Negara Republik Indonesia; c) di sebelah kiri gambar utama terdapat gambar Gedung Proklamasi; d) di sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan “SERATUS RIBU RUPIAH”; e) di sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan di sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka nominal “100000”; f) di atas bagian kiri gambar Gedung Proklamasi terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; g) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara Garuda Pancasila; h) di sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam bidang segi lima yang dicetak dengan tinta khusus (optical variable ink) yang akan berubah warna dari warna kuning keemasan menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu; i) di sebelah kanan gambar utama terdapat angka tahun emisi “2004”, tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia (Burhanuddin Abdullah) beserta tulisan “GUBERNUR”, dan… - 5 - dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia (Aulia Pohan) beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”; j) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis bergelombang, miring, dan membentuk ornamen tertentu; k) mikroteks dengan tulisan “Bank Indonesia” atau “BI” dan hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat di : 1) tepi kiri atas, tepi kiri tengah dan tepi kiri bawah yang membentuk pola dasar uang dengan warna teks yang berbeda; 2) bagian tengah, di bawah teks proklamasi berbentuk lengkungan; 3) sebelah kanan gambar Proklamator DR. H. Mohammad Hatta yang membentuk gambar bunga teratai; 4) sebelah kanan atas di sekitar gambar burung garuda dan di sebelah kanan di bawah tanda tangan Dewan Gubernur berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda yaitu dari besar ke kecil; 5) tepi kanan atas, tepi kanan tengah dan tepi kanan bawah yang membentuk pola dasar uang dengan warna teks yang berbeda. 2. bagian belakang a) gambar utama berupa gambar Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; b) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA”; c) di sebelah atas gambar utama terdapat gambar Peta Kepulauan Indonesia yang akan memendar kekuningan di bawah sinar ultra violet; d) di sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN… rangkaian garis melengkung yang - 6 - MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SERATUS RIBU RUPIAH”; e) di sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan di sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “100000”; f) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak di sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar kehijauan di bawah sinar ultra violet dan di sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar kekuningan di bawah sinar ultra violet; g) di sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; h) di sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal “100000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP. 2004”; i) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar gedung MPR/DPR yang akan memendar kemerahan di bawah sinar ultra violet; j) di sebelah kiri atas gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa angka nominal “100000” yang akan memendar kuning kehijauan di bawah sinar ultra violet; k) mikroteks dengan tulisan “Bank Indonesia” atau “BI” dan hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat di : 1) tepi kiri tengah yang berbentuk lengkungan; 2) sebelah kiri atas dan bawah masing-masing berada di belakang angka nominal dan di bawah gedung MPR/DPR RI berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda yaitu dari besar ke kecil; 3) bagian… - 7 - 3) bagian kanan atas atap gedung MPR/DPR RI yang membentuk pola dasar uang; 4) tepi kanan tengah yang berbentuk lengkungan. c. bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut : 1. terbuat dari serat kapas; 2. ukuran panjang 151 mm dan lebar 65 mm; 3. warna merah muda; 4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; 5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman dan electrotype berupa ornamen; 6. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan mikro “BI 100000” yang utuh atau terpotong sebagian; 7. jenis pigmen tertentu berbentuk dua garis tanpa celah akan berubah warna dari merah tembaga menjadi hijau dan warna biru berubah menjadi kuning keemasan apabila dilihat dari sudut pandang tertentu. Pasal 5 Harga uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) adalah sebagai berikut : a. lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet) mempunyai harga sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per lembaran; b. lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet) mempunyai harga sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per lembaran. Pasal 6 (1) Pengedaran uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 kepada masyarakat… - 8 - masyarakat dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. (2) Pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara penjualan secara langsung dengan harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. (3) Dalam keadaan tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan penjualan secara lelang dengan harga penawaran tertinggi dari harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. (4) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain meliputi : a. penjualan perdana (diawal periode pengeluaran); b. apabila terjadi kelebihan permintaan; c. kondisi tertentu yang memungkinkan penjualan secara lelang untuk tujuan penggalangan dana guna sumbangan sosial. (5) Pelaksanaan penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Pasal 7 Uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dijamin oleh Bank Indonesia sebesar nilai nominal. Pasal 8 (1) Uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia. (2) Dalam hal uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 digunakan sebagai alat pembayaran maka setiap lembar (bilyet) bernilai sebesar nilai nominal. Pasal 9… - 9 - Pasal 9 (1) Uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yang dalam kondisi rusak dapat dimintakan penggantian kepada Bank Indonesia. (2) Penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk uang rupiah bukan uang rupiah khusus. (3) Besarnya penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung atas dasar ukuran dari masing-masing lembar (bilyet) dengan mengacu kepada ketentuan yang berlaku. Pasal 10 Uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan mulai tanggal 29 Desember 2004. Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 28 Desember 2004 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 167 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 6/31/PBI/2004 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KHUSUS PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2004 DALAM BENTUK UANG KERTAS BELUM DIPOTONG </reg_title> <set_date> 28 Desember 2004 </set_date> <effective_date> 28 Desember 2004 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '6/14/PBI/2004' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/42/PBI/2016 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DI BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia sebagai lembaga negara dan badan hukum publik berwenang menetapkan peraturan dalam batas kewenangannya; b. bahwa pembentukan peraturan di Bank Indonesia harus dilakukan sesuai dengan prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan dan asas umum pemerintahan yang baik; c. bahwa pembentukan peraturan di Bank Indonesia perlu didukung dengan prosedur dan metode yang baku sebagai pedoman dalam pembentukan peraturan di Bank Indonesia; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pembentukan Peraturan di Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah - 2 - beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DI BANK INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Peraturan adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia melalui prosedur yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan mengikat publik dan/atau pihak internal Bank Indonesia. 2. Peraturan Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat PBI adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan mengikat setiap orang atau badan dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 3. Peraturan Dewan Gubernur yang selanjutnya disingkat PDG adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Dewan Gubernur yang memuat aturan intern Bank Indonesia. 4. Peraturan Anggota Dewan Gubernur yang selanjutnya disingkat PADG adalah ketentuan hukum yang - 3 - ditetapkan oleh Anggota Dewan Gubernur sebagai peraturan pelaksanaan PBI dan mengikat setiap orang atau badan. 5. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Intern yang selanjutnya disebut PADG Intern adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Anggota Dewan Gubernur yang memuat aturan intern Bank Indonesia sebagai peraturan pelaksanaan PBI dan/atau PDG. 6. Satuan Kerja adalah entitas dalam organisasi Bank Indonesia yang dibentuk untuk melaksanakan fungsi dalam rangka melaksanakan tugas Bank Indonesia. 7. Satuan Kerja Pemrakarsa adalah Satuan Kerja yang karena fungsi dan tugasnya dan/atau sesuai penugasan Dewan Gubernur memprakarsai pembentukan Peraturan. BAB II TUJUAN DAN PRINSIP Pasal 2 Tujuan pengaturan pembentukan Peraturan adalah untuk: a. menciptakan Peraturan yang baik melalui prosedur dan metode yang baku; dan b. memperjelas fungsi, tugas, dan wewenang dalam pembentukan Peraturan. Pasal 3 Pembentukan Peraturan dilakukan berdasarkan prinsip: a. memperhatikan penerapan asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan asas umum pemerintahan yang baik; b. dilaksanakan sesuai fungsi, tugas, dan wewenang yang dimiliki; dan c. memenuhi akuntabilitas publik. - 4 - BAB III PERATURAN DI BANK INDONESIA Bagian Kesatu Jenis Pasal 4 Jenis Peraturan meliputi: a. PBI; b. PDG; c. PADG; dan d. PADG Intern. Bagian Kedua Materi Muatan Pasal 5 Materi muatan PBI berisi: a. materi yang diperintahkan oleh undang-undang untuk diatur dengan PBI; dan/atau b. materi untuk menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang Bank Indonesia. Pasal 6 (1) Materi muatan PDG berisi: a. materi yang diperintahkan oleh undang-undang untuk diatur dengan PDG; dan/atau b. materi yang bersifat internal untuk menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang Bank Indonesia. (2) Materi muatan PDG tidak boleh bertentangan dengan materi muatan PBI. - 5 - Pasal 7 (1) Materi muatan PADG berisi: a. materi yang didelegasikan oleh PBI; b. materi yang bersifat teknis untuk melaksanakan PBI; dan/atau c. materi penjelasan lebih lanjut dari ketentuan PBI. (2) Materi muatan PADG tidak boleh bertentangan dengan materi muatan PBI dan PDG. Pasal 8 (1) Materi muatan PADG Intern berisi: a. materi yang didelegasikan oleh PDG; b. materi yang bersifat teknis untuk melaksanakan PBI dan/atau PDG di internal Bank Indonesia; dan/atau c. materi penjelasan lebih lanjut dari ketentuan PBI dan/atau PDG untuk internal Bank Indonesia. (2) Materi muatan PADG Intern tidak boleh bertentangan dengan materi muatan PBI, PDG, dan PADG. Bagian Ketiga Tahapan Pembentukan Peraturan Pasal 9 (1) Tahapan pembentukan PBI meliputi: a. perencanaan; b. penyusunan; c. pembahasan; d. penetapan; e. pengundangan; dan f. penyebarluasan. (2) Tahapan pembentukan PDG, PADG, dan PADG Intern meliputi: a. perencanaan; b. penyusunan; c. pembahasan; d. penetapan; dan e. pengumuman dan/atau penyebarluasan. - 6 - Paragraf 1 Perencanaan Pasal 10 (1) Rencana pembentukan Peraturan ditetapkan dalam program kerja Satuan Kerja Pemrakarsa. (2) Rencana pembentukan Peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Satuan Kerja Pemrakarsa kepada Satuan Kerja yang melaksanakan fungsi hukum pada awal tahun. Pasal 11 (1) Dalam keadaan tertentu, pembentukan Peraturan dapat dilakukan di luar program kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. (2) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. adanya kebutuhan yang bersifat penting dan segera; atau b. keadaan luar biasa atau bencana alam. (3) Pembentukan peraturan di luar program kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan berdasarkan: a. usulan Satuan Kerja; dan/atau b. arahan Anggota Dewan Gubernur atau arahan Dewan Gubernur kepada Satuan Kerja. (4) Usulan Satuan Kerja untuk membentuk Peraturan di luar program kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a paling kurang harus mendapatkan persetujuan dari Anggota Dewan Gubernur yang membawahkan Satuan Kerja. - 7 - Paragraf 2 Penyusunan Pasal 12 (1) Dalam rangka pembentukan Peraturan, Satuan Kerja Pemrakarsa menyusun: a. kajian akademik atas materi pengaturan yang akan dituangkan dalam konsep rancangan PBI dan rancangan PDG; atau b. pokok pikiran atas materi pengaturan yang akan dituangkan dalam konsep rancangan PADG dan rancangan PADG Intern. (2) Satuan Kerja Pemrakarsa dapat mengundang Satuan Kerja terkait dalam rangka penyusunan kajian akademik atau pokok pikiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam kondisi tertentu, kajian atas materi pengaturan yang akan dituangkan dalam konsep rancangan PBI dan rancangan PDG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dibuat dalam bentuk pokok pikiran. (4) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi: a. keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2); b. PBI atau PDG yang diterbitkan hanya untuk melakukan perubahan yang bersifat sederhana atas PBI atau PDG dan/atau merupakan dampak dari perubahan PBI atau PDG yang lain; c. PBI yang diterbitkan hanya untuk mempublikasikan sesuatu dan sifatnya rutin; dan/atau d. PBI atau PDG yang diterbitkan hanya untuk mencabut PBI atau PDG lainnya. (5) Format kajian akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bank Indonesia ini. - 8 - Pasal 13 (1) Satuan Kerja Pemrakarsa menyusun: a. pokok pengaturan PBI atau pokok pengaturan PDG sesuai kajian akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a atau pokok pikiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau b. pokok pengaturan PADG atau pokok pengaturan PADG Intern sesuai pokok pikiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b. (2) Satuan Kerja Pemrakarsa mengundang Satuan Kerja terkait untuk membahas pokok pengaturan dalam rancangan PBI, rancangan PDG, rancangan PADG, dan/atau rancangan PADG Intern. Paragraf 3 Pembahasan Pasal 14 (1) Satuan Kerja Pemrakarsa mengajukan pokok pengaturan PBI atau pokok pengaturan PDG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dalam Rapat Dewan Gubernur untuk memperoleh persetujuan. (2) Mekanisme dan persyaratan pengajuan pokok pengaturan rancangan PBI atau rancangan PDG dalam Rapat Dewan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan Rapat Dewan Gubernur. Pasal 15 (1) Satuan Kerja Pemrakarsa menyusun rancangan PBI atau rancangan PDG sesuai dengan pokok pengaturan yang telah disetujui Rapat Dewan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1). (2) Satuan Kerja Pemrakarsa menyampaikan rancangan PBI atau rancangan PDG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Satuan Kerja yang melaksanakan fungsi - 9 - hukum untuk dilakukan pembahasan dalam forum legal review. (3) Penyampaian rancangan PBI atau rancangan PDG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan persetujuan Rapat Dewan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1). Pasal 16 Satuan Kerja Pemrakarsa mengajukan pokok pengaturan PADG atau pokok pengaturan PADG Intern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b kepada Anggota Dewan Gubernur yang membawahkan Satuan Kerja Pemrakarsa untuk memperoleh persetujuan. Pasal 17 (1) Satuan Kerja Pemrakarsa menyusun rancangan PADG sesuai dengan pokok pengaturan yang telah disetujui Anggota Dewan Gubernur yang membawahkan Satuan Kerja Pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (2) Satuan Kerja Pemrakarsa menyampaikan rancangan PADG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Satuan Kerja yang melaksanakan fungsi hukum untuk dilakukan pembahasan dalam forum legal review. (3) Penyampaian rancangan PADG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan persetujuan Anggota Dewan Gubernur yang membawahkan Satuan Kerja Pemrakarsa. Pasal 18 Dalam forum legal review, Satuan Kerja yang melaksanakan fungsi hukum melakukan penelaahan atas rancangan PBI atau rancangan PDG yang disampaikan oleh Satuan Kerja Pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan rancangan PADG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dengan memperhatikan aspek: a. pemenuhan prinsip pembentukan Peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; - 10 - b. harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan; c. kesesuaian dengan persetujuan: 1. Rapat Dewan Gubernur untuk rancangan PBI dan rancangan PDG; atau 2. Anggota Dewan Gubernur yang membawahkan Satuan Kerja Pemrakarsa untuk rancangan PADG; dan d. teknik penyusunan, bentuk, dan format Peraturan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 19 (1) Forum legal review sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dihadiri oleh Satuan Kerja Pemrakarsa. (2) Selain dihadiri oleh Satuan Kerja Pemrakarsa, forum legal review sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihadiri oleh Satuan Kerja yang terkait. Pasal 20 Satuan Kerja yang melaksanakan fungsi hukum menyampaikan rancangan PBI, rancangan PDG, dan rancangan PADG hasil pembahasan dalam forum legal review kepada Satuan Kerja Pemrakarsa disertai penjelasan hasil pembahasan. Pasal 21 Satuan Kerja Pemrakarsa melakukan finalisasi rancangan PBI, rancangan PDG, atau rancangan PADG sesuai dengan hasil pembahasan dalam forum legal review sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20. Pasal 22 (1) Satuan Kerja Pemrakarsa menyusun rancangan PADG Intern sesuai dengan pokok pengaturan yang telah disetujui Anggota Dewan Gubernur yang membawahkan - 11 - Satuan Kerja Pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (2) Satuan Kerja Pemrakarsa dapat menyampaikan rancangan PADG Intern kepada Satuan Kerja yang melaksanakan fungsi hukum untuk memperoleh masukan dari aspek hukum. (3) Satuan Kerja yang melaksanakan fungsi hukum menyampaikan masukan dari aspek hukum atas rancangan PADG Intern kepada Satuan Kerja Pemrakarsa disertai penjelasan yang diperlukan. Paragraf 4 Penetapan Pasal 23 (1) Satuan Kerja Pemrakarsa menyampaikan naskah final rancangan PBI atau rancangan PDG kepada Satuan Kerja yang melaksanakan fungsi hukum guna dilakukan penelitian akhir khususnya mengenai kesesuaian dengan hasil pembahasan dalam forum legal review. (2) Dalam hal Satuan Kerja Pemrakarsa melakukan perubahan atau penyesuaian atas rancangan PBI atau rancangan PDG hasil pembahasan dalam forum legal review, Satuan Kerja Pemrakarsa harus menginformasikan secara tertulis kepada Satuan Kerja yang melaksanakan fungsi hukum mengenai perubahan atau penyesuaian dimaksud dilengkapi dengan pertimbangan dan/atau dokumen pendukung. (3) Dalam hal perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sangat mendasar atau signifikan yang memerlukan telaahan aspek hukum lebih lanjut maka perubahan tersebut dapat dibahas kembali dalam forum legal review. (4) Satuan Kerja yang melaksanakan fungsi hukum menyampaikan hasil penelitian akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Satuan Kerja Pemrakarsa. - 12 - (5) Penyampaian hasil penelitian akhir oleh Satuan Kerja yang melaksanakan fungsi hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan naskah final rancangan PBI atau rancangan PDG. Pasal 24 (1) Satuan Kerja Pemrakarsa menyampaikan naskah final rancangan PBI dan rancangan PDG kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi PBI dan PDG. (2) Satuan Kerja Pemrakarsa menyampaikan naskah final rancangan PADG dan rancangan PADG Intern kepada Anggota Dewan Gubernur yang membawahkan untuk ditetapkan menjadi PADG dan PADG Intern. (3) Penetapan rancangan PBI dan rancangan PDG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan rancangan PADG dan rancangan PADG Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan: a. penandatanganan oleh Gubernur Bank Indonesia pada PBI dan PDG setelah pembubuhan paraf oleh Anggota Dewan Gubernur yang membawahkan Satuan Kerja Pemrakarsa; atau b. penandatanganan oleh Anggota Dewan Gubernur pada PADG dan PADG Intern setelah pembubuhan paraf oleh Pemimpin Satuan Kerja Pemrakarsa. (4) Satuan Kerja Pemrakarsa menyampaikan laporan penetapan PADG dan PADG Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada seluruh Anggota Dewan Gubernur. Paragraf 5 Pengundangan, Pengumuman, dan Penyebarluasan Pasal 25 (1) PBI diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. - 13 - (2) Bank Indonesia menyebarluaskan PBI melalui web Bank Indonesia, sarana informasi hukum internal Bank Indonesia, dan/atau media lain. Pasal 26 Bank Indonesia mengumumkan PADG dalam Berita Negara Republik Indonesia dan menyebarluaskan PADG melalui web Bank Indonesia, sarana informasi hukum internal Bank Indonesia, dan/atau media lain. Pasal 27 Bank Indonesia menyebarluaskan PDG dan PADG Intern melalui sarana informasi hukum internal Bank Indonesia. BAB IV PARTISIPASI MASYARAKAT Pasal 28 (1) Dalam rangka penyusunan rancangan PBI dan rancangan PADG, Satuan Kerja Pemrakarsa mengundang instansi, lembaga, atau pihak lain yang terkait untuk memperoleh masukan secara lisan dan/atau tertulis. (2) Permintaan masukan kepada instansi, lembaga, atau pihak lain yang terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebelum: a. b. rancangan PBI dimintakan persetujuan RDG; atau rancangan PADG dimintakan persetujuan Anggota Dewan Gubernur yang membawahkan Satuan Kerja Pemrakarsa. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk penyusunan rancangan PBI dan rancangan PADG yang memuat kebijakan Bank Indonesia yang bersifat rahasia dan/atau yang berdampak negatif apabila diketahui oleh publik sebelum kebijakan tersebut dikeluarkan oleh Bank Indonesia. - 14 - BAB V TEKNIK PENYUSUNAN, BENTUK, DAN FORMAT PERATURAN Pasal 29 (1) Penyusunan rancangan Peraturan dilakukan sesuai dengan: a. teknik penyusunan Peraturan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bank Indonesia ini; dan b. bentuk dan format Peraturan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Dalam hal terdapat perubahan mengenai teknik penyusunan Peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau bentuk dan format Peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, perubahan tersebut diatur dengan PADG. BAB VI ATURAN KEBIJAKAN Pasal 30 Dalam hal diperlukan, untuk melaksanakan PBI, PDG, PADG, atau PADG Intern, Satuan Kerja dapat membentuk aturan kebijakan yang bersifat sangat teknis dalam bentuk petunjuk teknis. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 31 (1) Semua Surat Edaran Bank Indonesia yang bersifat mengatur ekstern yang sudah ada sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, harus dimaknai sebagai PADG. - 15 - (2) Semua Surat Edaran Bank Indonesia yang bersifat mengatur intern yang sudah ada sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, harus dimaknai sebagai PADG Intern. Pasal 32 (1) Semua Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia yang bersifat mengatur ekstern, yang sudah ada sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, harus dimaknai sebagai PBI. (2) Semua Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia yang bersifat mengatur intern, yang sudah ada sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, harus dimaknai sebagai PDG. Pasal 33 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Peraturan Dewan Gubernur Nomor 1/1/PDG/1999 tanggal 18 Mei 1999 tentang Tata Tertib Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Bank Indonesia; dan b. ketentuan mengenai jenis dokumen Bank Indonesia yang bersifat pengaturan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/38/INTERN tanggal 29 Juni 2009 perihal Pengaturan Dokumen Bank Indonesia, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/72/INTERN tanggal 27 November 2015 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/38/INTERN tanggal 29 Juni 2009 perihal Pengaturan Dokumen Bank Indonesia, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 34 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2017. - 16 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 November 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 November 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 257 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/42/PBI/2016 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DI BANK INDONESIA I. UMUM Kedudukan Bank Indonesia sebagai badan hukum publik dan lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang yang mengatur mengenai Bank Indonesia, membawa konsekuensi yuridis logis bahwa Bank Indonesia berwenang menerbitkan Peraturan di Bank Indonesia yang merupakan pelaksanaan atau amanat dari undang-undang yang mengatur mengenai Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia secara langsung maupun tidak langsung. Dalam rangka menyempurnakan ketentuan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, undang-undang telah mengatur prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan dan asas umum pemerintahan yang baik. Sejalan dengan hal tersebut, ketentuan yang mengatur mengenai Peraturan mulai dari proses dan tata cara pembentukan sejak tahap perencanaan sampai dengan penerbitannya, serta materi yang diatur perlu pula dilakukan penyempurnaan. Selain itu, untuk membentuk Peraturan yang baik, diperlukan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan asas, prinsip dasar, tata cara penyiapan dan pembahasan, teknik penyusunan, dan pemberlakuannya. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Pembentukan Peraturan perlu secara optimal dan konsisten memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan mencerminkan asas materi muatan peraturan perundang-undangan sesuai dengan undang-undang yang berlaku dengan menyesuaikan pada kebutuhan pelaksanaan tugas Bank Indonesia serta memperhatikan asas umum pemerintahan yang baik. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pembentukan Peraturan dilakukan dengan tata cara dan prosedur yang baik dan benar dengan mempertimbangkan kebutuhan hukum dan dapat dilaksanakan, agar setiap Peraturan dapat dipertanggungjawabkan kepada pemangku kepentingan Bank Indonesia. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Yang dimaksud dengan “materi muatan PBI” antara lain: a. ketentuan yang bersifat memberikan kewajiban, memberikan hak, dan/atau fasilitas kepada pihak tertentu; b. persyaratan dan/atau proses pokok perizinan; c. pengawasan dan pelaporan; dan d. sanksi administratif yang berlaku dan mengikat publik. - 3 - Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “materi muatan PDG” antara lain: a. ketentuan yang bersifat memberikan kewajiban, memberikan hak, dan/atau fasilitas kepada Anggota Dewan Gubernur dan pegawai; b. pemberian wewenang kepada Anggota Dewan Gubernur dan pegawai tertentu di Bank Indonesia; dan c. sanksi administratif yang berlaku dan mengikat intern. Ayat (2) Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa secara hierarki PBI lebih tinggi dari PDG, namun dimaksudkan untuk menjadi pedoman penerapan dalam hal terdapat suatu kondisi untuk hal yang sama terjadi pengaturan yang berbeda antara PBI dan PDG. Dalam hal ini PBI lebih diutamakan karena PBI mengikat pihak eksternal. Pasal 7 Ayat (1) Contoh materi muatan PADG yaitu tata cara dan mekanisme perizinan dan tata cara pengenaan sanksi administratif. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Contoh materi muatan PADG Intern yaitu tata cara dan mekanisme perizinan dan tata cara pengenaan sanksi administratif yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan tugas di internal Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. - 4 - Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penyampaian rencana pembentukan peraturan yang dilakukan pada awal tahun mencakup pembentukan peraturan yang telah tercantum dalam kontrak kinerja Satuan Kerja Pemrakarsa maupun yang tidak tercantum tetapi telah direncanakan oleh Satuan Kerja Pemrakarsa. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “penting dan segera” antara lain: 1. suatu keadaan yang memerlukan respon kebijakan segera di bidang moneter, sistem pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah, dan/atau stabilitas sistem keuangan, khususnya makroprudensial; 2. suatu keadaan yang apabila tidak segera diatur memiliki potensi risiko mengganggu efektivitas pelaksanaan tugas dan kewenangan Bank Indonesia; 3. suatu keadaan yang memiliki potensi risiko terhadap personil, sistem operasional, dan/atau aset Bank Indonesia yang dapat menyebabkan terganggunya pelaksanaan tugas Bank Indonesia; dan/atau 4. dalam hal terdapat pemberlakuan undang-undang yang diundangkan kemudian, yang menurut pertimbangan Bank Indonesia memerlukan penerbitan PBI, PDG, PADG, dan/atau PADG Intern oleh Bank Indonesia. Huruf b Yang dimaksud dengan “keadaan luar biasa” adalah suatu keadaan antara lain perang, kerusuhan massa, konflik, terorisme, dan sabotase. Yang dimaksud dengan “bencana alam” adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang - 5 - disebabkan oleh alam antara lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor, yang memiliki potensi risiko terhadap: 1. sistem moneter, sistem pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah, dan/atau stabilitas sistem keuangan, khususnya makroprudensial sehingga membutuhkan pengaturan segera oleh Bank Indonesia untuk mengantisipasinya; atau 2. personil, sistem operasional, dan/atau aset Bank Indonesia sehingga menyebabkan terhentinya atau terganggunya kegiatan operasional Bank Indonesia dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai bank sentral. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “kajian akademik” adalah uraian mengenai konsepsi dan penjelasan atas substansi atau pokok pengaturan dan keterkaitan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain, yang akan dituangkan dalam PBI dan PDG berdasarkan hasil penelitian atau pengkajian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah sesuai dengan format penyusunan yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Huruf b Yang dimaksud dengan “pokok pikiran” adalah uraian tentang substansi atau pokok pengaturan dan keterkaitan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain, yang akan dituangkan dalam PADG dan PADG Intern berdasarkan hasil penelitian atau pengkajian yang dapat dipertanggungjawabkan. Bentuk pokok pikiran dapat - 6 - mengacu pada format penyusunan kajian akademik yang disesuaikan dengan kebutuhan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Masukan dari Satuan Kerja terkait dilakukan antara lain dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi dengan ketentuan lain dan/atau pemberian pendapat dari aspek perancangan peraturan. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. - 7 - Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Masukan dari aspek hukum oleh Satuan Kerja yang melaksanakan fungsi hukum tidak dilakukan dalam forum legal review. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dokumen pendukung perubahan atau penyesuaian naskah final rancangan PBI atau rancangan PDG hasil pembahasan dalam forum legal review antara lain keputusan RDG terkait dengan substansi perubahan atau penyesuaian PBI atau PDG yang bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Hasil penelitian akhir antara lain memuat informasi bahwa naskah final rancangan PBI atau rancangan PDG telah: a. diharmonisasikan dengan berbagai ketentuan lain yang terkait; dan b. disusun sesuai dengan kaidah legal drafting sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (5) Naskah final rancangan PBI atau rancangan PDG yang disampaikan oleh Satuan Kerja yang melaksanakan fungsi - 8 - hukum merupakan naskah final rancangan PBI atau rancangan PDG yang telah disesuaikan dengan hasil penelitian akhir. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) PADG dan PADG Intern dilaporkan kepada seluruh anggota Dewan Gubernur karena penetapan PADG dan PADG Intern hanya ditetapkan oleh Anggota Dewan Gubernur yang membawahkan Satuan Kerja Pemrakarsa. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Yang dimaksud dengan “Berita Negara Republik Indonesia” adalah Berita Negara Republik Indonesia yang diterbitkan oleh Perum Percetakan Negara Republik Indonesia. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pihak lain yang terkait” antara lain asosiasi, badan, komisi, atau perorangan yang dinilai kompeten memberikan masukan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. - 9 - Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Aturan kebijakan (beleidsregel) dapat berupa pedoman yang memuat petunjuk teknis untuk pelaksanaan suatu kegiatan di satuan kerja atau unit kerja tertentu. Walaupun aturan kebijakan (beleidsregel) bukan merupakan aturan hukum dan tidak termasuk sebagai jenis peraturan sebagaimana dimaksud dalam PBI ini, aturan kebijakan (beleidsregel) tersebut harus dipedomani oleh setiap pihak yang terkait agar pelaksanaan tugas dapat berjalan tertib. Contoh muatan petunjuk teknis adalah pedoman penyusunan nota kesepahaman dan perjanjian kerja sama di Bank Indonesia. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Surat Edaran Bank Indonesia Intern yang sudah ada sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sifatnya mengatur oleh karena itu dimaknai sebagai “Peraturan”. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5954
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/42/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> PEMBENTUKAN PERATURAN DI BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 28 November 2016 </set_date> <effective_date> 2 Januari 2017 </effective_date> <issued_date> 30 November 2016 </issued_date> <replaced_reg> '17/72/INTERN|SE-BI/2015', '11/38/INTERN|SE-BI/2009', '1/1/PDG/1999' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '12/UU/2011' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/ 29 /PBI/2004 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2004 GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peningkatan kegiatan masyarakat dalam melakukan transaksi tunai, perlu didukung dengan ketersediaan uang rupiah yang memadai dan mudah dikenali ciri-ciri keasliannya sebagai alat pembayaran yang sah; b. bahwa ketersediaan uang rupiah yang memadai dan mudah dikenali ciri-ciri keasliannya tersebut, dipandang perlu untuk meningkatkan unsur pengaman pada uang rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu); c. bahwa untuk meningkatkan unsur pengaman pada uang rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu), dipandang perlu untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 20.000 (dua puluh ribu) Tahun Emisi 2004; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia..... Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tanggal 22 Juni 2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2004. Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia. Pasal 2 Macam uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan jenis uang kertas yang terbuat dari bahan serat kapas. Pasal 3 ..... Pasal 3 Harga uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mempunyai nilai nominal Rp20.000,00 (dua puluh ribu rupiah). Pasal 4 Ciri uang rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah : a. warna bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan hijau; b. gambar 1. bagian muka a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional, dan di bawahnya dicantumkan tulisan “OTO ISKANDAR DI NATA”; b) di sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan di sebelah kanan dengan arah vertikal, terdapat angka nominal “20000”; c) di sebelah kiri gambar utama atau tepat di bawah angka nominal “20000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; d) di sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan tepat di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan “DUA PULUH RIBU RUPIAH”; e) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara Garuda Pancasila; f) di sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam bidang segi lima yang dicetak dengan tinta khusus (optical variable ink) yang akan berubah ..... akan berubah warna dari warna magenta menjadi warna hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu; g) di sebelah kanan gambar utama terdapat angka tahun emisi “2004”, tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia (Burhanuddin Abdullah) beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia (R.Maulana Ibrahim) beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”; h) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung membentuk ornamen tertentu; yang i) mikroteks dengan tulisan “Bank Indonesia” yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar yang terdapat di : 1) sebelah kanan gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata yang berbentuk garis vertikal dari atas ke bawah; 2) sebelah kanan atas di sekitar gambar burung garuda dan di sebelah kanan bawah tanda tangan Dewan Gubernur berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda yaitu dari besar ke kecil. 2. bagian belakang a) gambar utama berupa gambar Pemetik Teh; b) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA”; c) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI DUA PULUH RIBU RUPIAH”; ESA, BANK INDONESIA d) di sebelah ..... d) di sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan di sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “20000”; e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak di sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar kehijauan di bawah sinar ultra violet dan di sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar kekuningan di bawah sinar ultra violet; f) di sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; g) di sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal “20000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP. 2004”; h) di sebelah kiri bawah tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar sehelai daun teh yang memendar kehijauan di bawah sinar ultra violet ; i) di sebelah kiri atas gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa angka nominal “20000” yang akan memendar kuning kehijauan di bawah sinar ultra violet; j) mikroteks dengan tulisan “Bank Indonesia” yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar yang terdapat di : 1) sebelah kiri atas dan bawah, berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda yaitu dari besar ke kecil; 2) tepi bagian atas dan bawah pada sisi sebelah kiri dan kanan uang yang berbentuk diagonal. c. bahan ..... c. bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut : 1. terbuat dari serat kapas; 2. ukuran panjang 147 mm dan lebar 65 mm; 3. warna hijau muda; 4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; 5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata; 6. benang pengaman berbentuk anyaman. Pasal 5 Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan mulai tanggal 29 Desember 2004. Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 17 Desember 2004 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 163 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 6/29/PBI/2004 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2004 </reg_title> <set_date> 17 Desember 2004 </set_date> <effective_date> 17 Desember 2004 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '6/14/PBI/2004' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/23/PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NO.5/3/PBI/2003 TANGGAL 4 FEBRUARI 2003 TENTANG FASILITAS PEMBIAYAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa fasilitas untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek dapat diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank sepanjang memiliki agunan berlaku; sesuai dengan ketentuan yang Mengingat: b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai fasilitas pembiayaan jangka pendek bagi Bank Syariah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang..... -2- 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang No.3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NO.5/3/PBI/2003 TANGGAL 4 FEBRUARI 2003 TENTANG FASILITAS PEMBIAYAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK SYARIAH. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/3/PBI/2003 tanggal 4 Februari 2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4261) diubah sebagai berikut: 1. Pasal 4 dihapus. 2. Pasal 5 ayat (2) huruf b diubah sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 5 (1) FPJPS wajib dijamin dengan agunan milik bank yang bersangkutan, yang berkualitas tinggi, mudah dicairkan, prinsip syariah dan tercatat di Bank Indonesia. tidak bertentangan dengan (2) Agunan……. -3- (2) Agunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa: a. SWBI yang mempunyai sisa jangka waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari kerja pada saat FPJPS jatuh waktu; dan atau b. surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah. (3) Pengaturan surat berharga dan atau tagihan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b ditetapkan kemudian dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal: 3 Agustus 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 70 DPbS -4- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK NDONESIA NOMOR: 7/23/PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NO.5/3/PBI/2003 TANGGAL 4 FEBRUARI 2003 TENTANG FASILITAS PEMBIAYAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, UMUM Dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 tidak lagi ditentukan secara jelas persyaratan tingkat kesehatan bagi bank pemohon FPJPS melainkan persyaratan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang diterbitkan oleh Pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang kompeten dan sewaktu-waktu dengan mudah dapat dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai, sehingga peraturan Bank Indonesia yang mengatur FPJPS perlu melakukan penyesuaian. Selain itu dalam rangka mendukung efektifitas pelaksanaan Sistem Kliring Nasional maka diperlukan harmonisasi ketentuan Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) yang sangat terkait dengan ketentuan FPJPS dimana ketentuan dalam FLI tidak lagi mensyaratkan tingkat kesehatan bank pemohon. PASAL ........ -5- PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Cukup jelas Pasal II Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4520
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/23/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NO.5/3/PBI/2003 TANGGAL 4 FEBRUARI 2003 TENTANG FASILITAS PEMBIAYAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK SYARIAH </reg_title> <set_date> 3 Agustus 2005 </set_date> <effective_date> 3 Agustus 2005 </effective_date> <changed_reg> '5/3/PBI/2003' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/13/PBI/2005 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka mewujudkan sistem perbankan yang sehat dan mampu bersaing secara nasional dan internasional, maka diperlukan penyesuaian struktur permodalan yang sejalan dengan karakteristik kegiatan usaha bank umum berdasarkan prinsip Syariah yang mengarah kepada penerapan standar internasional; b. bahwa ketentuan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang telah ada belum sepenuhnya sejalan dengan karakteristik kegiatan usaha bank umum berdasarkan prinsip Syariah; c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum berdasarkan prinsip Syariah dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun … -2 - Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah. 2. Unit … -3 - 2. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja di kantor pusat konvensional yang berfungsi bank umum yang melaksanakan kegiatan sebagai kantor usaha secara induk dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah, atau unit kerja di Kantor Cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Pembantu Syariah dan atau Unit Syariah. 3. Risiko Penyaluran Dana (credit risk) adalah risiko kerugian yang diderita bank akibat tidak dapat memperoleh kembali tagihannya atas pinjaman yang diberikan atau investasi yang dilakukan Bank. 4. Risiko Pasar (market risk) adalah risiko kerugian pada posisi neraca dan rekening administratif akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar. 5. Risiko Nilai Tukar (foreign exchange risk) adalah risiko kerugian akibat perubahan nilai tukar mata uang termasuk perubahan harga emas dari posisi Bank dalam Banking Book. 6. Banking Book adalah semua elemen/posisi lainnya yang dinilai dari harga perolehan dan ditujukan untuk investasi atau dicairkan pada saat jatuh tempo (held to maturity). Pasal 2 (1) Bank wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% (delapan perseratus) dari aktiva tertimbang menurut risiko. (2) UUS wajib menyediakan modal minimum dari aktiva tertimbang menurut risiko dari kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah. (3) Dalam … -4 - (3) Dalam hal modal minimum UUS kurang dari 8% (delapan perseratus) dari aktiva tertimbang menurut risiko maka kantor konvensional pusat bank umum dari UUS wajib menambah kekurangan modal minimum sehingga mencapai 8% (delapan perseratus) dari aktiva tertimbang menurut risiko, sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) adalah Risiko Penyaluran Dana dan Risiko Pasar (market risk). (5) Risiko Pasar yang diperhitungkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini adalah Risiko Nilai Tukar (foreign exchange risk). BAB II ASPEK PERMODALAN Pasal 3 (1) Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, bagi Bank terdiri dari: a. modal inti (tier 1); b. modal pelengkap (tier 2); dan c. modal pelengkap tambahan (tier 3). pelengkap (tier 2) (2) Modal sebagaimana dan modal dimaksud pada ayat (1) pelengkap tambahan (tier 3) huruf b dan c hanya dapat diperhitungkan setinggi-tingginya sebesar 100% (seratus perseratus) dari modal inti. (3) Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b diperhitungkan dengan faktor pengurang yang berupa seluruh penyertaan yang dilakukan Bank. (4) Modal … -5 - (4) Modal bagi UUS dari bank yang berkantor pusat di dalam negeri dan di luar negeri adalah dana yang disisihkan oleh kantor pusat bank untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah. Pasal 4 (1) Modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a terdiri dari: a. modal disetor, dan b. cadangan tambahan modal (disclosed reserve). (2) Modal inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperhitungkan dengan faktor pengurang berupa pos goodwill. (3) Cadangan tambahan modal (disclosed reserve) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari: a. Faktor Penambah, yaitu: 1. Agio saham; 2. Modal Sumbangan; 3. Cadangan Umum; 4. Cadangan Tujuan; 5. Laba tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan pajak; 6. Laba tahun berjalan setelah diperhitungkan taksiran pajak sebesar 50% (lima puluh perseratus); 7. Selisih lebih penjabaran laporan keuangan kantor cabang luar negeri; 8. Dana setoran modal; b. Faktor Pengurang, yaitu: 1. Disagio; 2. Rugi tahun-tahun lalu; 3. Rugi … -6 - 3. Rugi tahun berjalan; 4. Selisih kurang penjabaran laporan keuangan kantor cabang luar negeri; dan 5. Penurunan nilai penyertaan pada portofolio yang tersedia untuk dijual. (4) Dalam perhitungan laba atau rugi tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dikeluarkan pengaruh perhitungan pajak tangguhan (deferred tax). (5) Modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b terdiri dari: a. Selisih penilaian kembali aktiva tetap; b. Cadangan umum dari penyisihan penghapusan aktiva produktif setinggi- tingginya 1,25% (seratus dua puluh lima per sepuluhribu) dari aktiva tertimbang menurut risiko; c. Modal pinjaman yang memenuhi kriteria Bank Indonesia yaitu pinjaman yang didukung oleh instrumen atau warkat yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. berdasarkan prinsip Qardh; 2. tidak 3. dijamin oleh bank penerbit (issuer) dan sifatnya dipersamakan dengan modal serta telah dibayar penuh; tidak dapat dilunasi atau ditarik atas inisiatif pemilik, tanpa persetujuan Bank Indonesia; dan 4. mempunyai kedudukan yang sama dengan modal dalam hal jumlah kerugian bank melebihi saldo laba dan cadangan-cadangan yang termasuk modal inti, meskipun bank belum dilikuidasi. d. Investasi … -7 - d. Investasi Subordinasi setinggi-tingginya sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari modal inti dengan memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. berdasarkan prinsip mudharabah atau musyarakah; 2. ada perjanjian tertulis antara bank dengan investor; 3. mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia, dalam hubungan ini pada saat Bank mengajukan permohonan persetujuan, Bank harus menyampaikan program pembayaran kembali investasi subordinasi tersebut; 4. tidak dijamin oleh Bank yang bersangkutan dan telah disetor penuh; 5. minimal berjangka waktu 5 (lima) tahun; 6. pelunasan sebelum jatuh tempo harus mendapat persetujuan dari Bank Indonesia, dan dengan pelunasan tersebut permodalan Bank tetap sehat; dan 7. dalam hal terjadi likuidasi hak tagihnya berlaku paling akhir dari segala pinjaman yang ada (kedudukannya sama dengan modal). e. Peningkatan nilai penyertaan pada portofolio yang tersedia untuk dijual setinggi-tingginya sebesar 45% (empat puluh lima perseratus). Pasal 5 (1) Modal pelengkap tambahan (tier 3) dalam perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum hanya dapat digunakan untuk memperhitungkan Risiko Pasar. (2) Modal pelengkap tambahan (tier 3) dalam perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum adalah investasi subordinasi jangka pendek yang memenuhi kriteria Bank Indonesia sebagai berikut : a. berdasarkan … -8 - a. berdasarkan prinsip mudharabah atau musyarakah; b. tidak dapat dibayar tidak dijamin oleh Bank yang bersangkutan dan telah disetor penuh; c. memiliki jangka waktu perjanjian sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; d. perjanjian pinjaman dengan persetujuan Bank Indonesia; e. terdapat klausula yang mengikat (lock-in clausule) yang menyatakan bahwa tidak dapat dilakukan penarikan angsuran pokok, termasuk pembayaran saat sebelum jadwal waktu yang ditetapkan dalam jatuh tempo, apabila pembayaran dimaksud dapat f. menyebabkan kewajiban penyediaan modal minimum Bank tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; terdapat perjanjian penempatan termasuk jadwal pelunasannya; dan g. memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. (3) Modal pelengkap tambahan (tier 3) untuk memperhitungkan Risiko Pasar hanya dapat digunakan dengan memenuhi kriteria sebagai berikut: a. tidak melebihi 250% (dua ratus lima puluh perseratus) dari bagian modal inti yang dialokasikan untuk memperhitungkan Risiko Pasar; b. jumlah modal pelengkap (tier 2) dan modal pelengkap tambahan (tier 3) setinggi-tingginya sebesar 100% (seratus perseratus) dari modal inti. (4) Modal pelengkap (tier 2) yang tidak digunakan dapat ditambahkan untuk modal pelengkap tambahan (tier 3) dengan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); (5) Investasi subordinasi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (5) huruf d yang melebihi 50% (lima puluh perseratus) modal inti, dapat digunakan sebagai komponen … investasi subordinasi yang jelas -9 - komponen modal pelengkap tambahan (tier 3) dengan tetap memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). BAB III ASPEK RISIKO PENYALURAN DANA Pasal 6 Aktiva tertimbang menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri dari: a. aktiva neraca yang diberikan bobot sesuai kadar risiko penyaluran dana yang melekat pada setiap pos aktiva, yaitu : 1. kas, emas, penempatan pada Bank Indonesia dan commemorative coins diberi bobot 0% (nol perseratus); b. beberapa pos 2. penempatan pada bank lain diberi bobot 20% (dua puluh perseratus); 3. persediaan, aktiva ijarah, nilai bersih aktiva tetap dan inventaris, antar kantor aktiva, dan rupa-rupa aktiva diberi bobot 100% (seratus persen). dalam daftar kewajiban komitmen dan kontinjensi (off- balancesheet account) yang diberikan bobot dan sesuai dengan kadar risiko penyaluran dana yang melekat pada setiap pos setelah terlebih dahulu diperhitungkan dengan bobot faktor konversi yaitu : 1. L/C yang masih berlaku (tidak termasuk standby L/C) diberi bobot 20% (dua puluh perseratus);. jaminan bank yang 2. diterbitkan bukan dalam rangka pemberian pembiayaan dan atau piutang, dan fasilitas pembiayaan yang belum digunakan yang disediakan kepada nasabah sampai dengan akhir tahun untuk … -10 - untuk tahun takwim yang berjalan diberi bobot 50% (lima puluh perseratus); 3. jaminan (termasuk standby L/C) dan risk sharing dalam rangka pemberian pembiayaan, serta endosemen atau aval surat-surat berharga berdasarkan prinsip syariah diberi bobot 100% (seratus perseratus). Pasal 7 (1) Aktiva tertimbang menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 untuk aktiva produktif dibedakan sebagai berikut : a. penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif yang sumber dananya berasal dari dana pihak ketiga dengan prinsip mudharabah muthlaqah berdasarkan sistem bagi untung atau rugi (profit and loss sharing method) diberikan bobot sebesar 1% (satu perseratus); b. penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif yang beragunan yang sumber dananya berasal dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip wadiah, qardh dan mudharabah muthlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (revenue sharing) yang dibedakan sebagai berikut: 1. diberikan atau dijamin oleh pemerintah atau bank sentral diberikan bobot sebesar 0% (nol perseratus); 2. diberikan atau dijamin oleh bank lain diberikan bobot sebesar 20% (dua puluh perseratus); 3. diberikan atau dijamin oleh swasta penetapan bobot berdasarkan peringkat (rating) yang bersangkutan. dimiliki oleh perusahaan yang c. penyaluran … -11 - c. penyaluran dana dalam bentuk piutang untuk kepemilikan rumah yang dijamin oleh hak tanggungan pertama dan bertujuan untuk dihuni yang sumber dananya berasal dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip wadiah, qardh dan mudharabah muthlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (revenue sharing) diberikan bobot sebesar 35% (tiga puluh lima perseratus); d. penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif yang tidak beragunan (venture capital) yang sumber dananya dari wadiah, modal sendiri, qardh dan mudharabah muthlaqah diberikan bobot sebesar 150% (seratus lima puluh perseratus); (2) Peringkat (rating) yang menjadi dasar pemberian bobot risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 3 atau setara diklasifikasikan sebagai berikut: a. perusahaan dengan peringkat AAA sampai dengan AA- diberikan bobot sebesar 20% (dua puluh perseratus); b. perusahaan dengan peringkat A+ sampai dengan A- diberikan bobot sebesar 50% (lima puluh perseratus); c. perusahaan dengan peringkat BBB+ sampai dengan BBB- diberikan bobot sebesar 100% (seratus perseratus); d. perusahaan dengan peringkat BB+ sampai dengan B- diberikan bobot sebesar 100% (seratus perseratus); e. perusahaan dengan peringkat dibawah B- diberikan bobot sebesar 150% (seratus lima puluh perseratus); f. perusahaan yang tidak memiliki peringkat (unrated) diberikan bobot sebesar 100% (seratus perseratus). Pasal 8 … -12 - Pasal 8 Peringkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dilakukan oleh lembaga pemeringkat (rating agency) yang diakui oleh Bank Indonesia. Pasal 9 Surat berharga Syariah yang termasuk dalam Banking Book ditetapkan bobot ATMR sebagai berikut: a. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) atau Surat Berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah, ditetapkan sebesar 0% (nol perseratus); b. Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank (Sertifikat IMA), ditetapkan sebesar 20% (dua puluh perseratus); dan c. Surat berharga lainnya berdasarkan prinsip Syariah diberikan berdasarkan peringkat (rating) yang dimiliki sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (2). bobot oleh perusahaan penerbit BAB IV ASPEK RISIKO PASAR Pasal 10 (1) Bank wajib menyusun dan menerapkan kebijakan dan pedoman risiko pasar sebagai bagian dari kebijakan dan pedoman manajemen risiko Bank. (2) Kebijakan dan pedoman risiko pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diterapkan secara konsisten dan tidak bertentangan dengan prinsip Syariah. Pasal 11 … -13 - Pasal 11 Sertifikat Wadiah Bank Indonesia yang dimiliki Bank tidak diperhitungkan dalam Risiko Pasar. Pasal 12 (1) Bank hanya dapat memiliki surat berharga Syariah untuk tujuan investasi. (2) Dalam hal bank mengalami kesulitan likuiditas, surat berharga Syariah yang dimiliki Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijual sebelum jatuh tempo. Pasal 13 Bank wajib memperhitungkan Risiko Pasar (market risk) dalam kewajiban penyediaan modal minimum dengan menggunakan metode standar (standard method). Pasal 14 (1) Perhitungan risiko nilai tukar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dilakukan terhadap seluruh aktiva Bank yang tercatat dalam Banking Book; (2) Pembebanan modal dalam rangka perhitungan Risiko Nilai Tukar dilakukan sebesar 8% (delapan perseratus) dari posisi devisa neto yang dimiliki. Pasal 15 Bank dilarang melakukan distribusi modal atau laba yang dapat mengakibatkan kondisi permodalan Bank tidak mencapai rasio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). BAB V … -14 - BAB V PELAPORAN Pasal 16 (1) Bank wajib melaporkan perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum sesuai ketentuan ini secara bulanan sesuai dengan format yang ditetapkan oleh Bank Indonesia terlampir. (2) Pelaporan sebagaimana diatur pada ayat (1) harus sudah disampaikan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya tanggal 21 pada bulan berikutnya setelah bulan laporan yang bersangkutan. (3) Alamat penyampaian laporan kepada Bank Indonesia sebagai berikut: a. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. MH Thamrin No.2 Jakarta 10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; BAB VI SANKSI Pasal 17 (1) Bagi Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan dengan maksimum sanksi sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah); (2) Bank … sebesar -15 - (2) Bank yang telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetap diwajibkan untuk menyampaikan laporan dimaksud; tidak memenuhi kewajiban yang penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia ini dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa teguran tertulis dan ketentuan tindak lanjut pengawasan dan penetapan status bank. (4) Bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), Peraturan Bank Indonesia ini dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa teguran tertulis dan atau penghentian ekspansi pembukaan kantor Bank. (5) Bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia ini dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa teguran tertulis, penurunan tingkat kesehatan, penggantian pengurus, dan atau terkait dengan pembekuan kegiatan usaha atau pencabutan izin usaha (exit policy). (3) Bank BAB VII … -16 - BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 18 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Bank sampai dengan periode laporan bulan November 2005, tetap diwajibkan untuk memenuhi kewajiban penyediaan modal minimum sebesar 8% sesuai ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/21/PBI/2001 tanggal 13 Desember 2001 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4158) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/12/PBI/2003 tanggal 17 Juli 2003 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Dengan Memperhitungkan Risiko Pasar (Market Risk) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4306). BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 19 Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 20 (1) Peraturan Bank Indonesia ini diberlakukan sejak pelaporan data bulan Desember 2005 yang disampaikan pada bulan Januari 2006 . (2) Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/21/PBI/2001 tanggal 13 Desember 2001 tentang Kewajiban … -17 - Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4158) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/12/PBI/2003 tanggal 17 Juli 2003 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Dengan Memperhitungkan Risiko Pasar (Market Risk) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4306) dinyatakan tidak berlaku bagi bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. (3) Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal : 10 Juni 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 47 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK NDONESIA NOMOR: 7/13/PBI/2005 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH UMUM Pengaturan rasio kewajiban modal minimum untuk bank umum berdasarkan prinsip Syariah ditetapkan dengan mempertimbangkan karakteristik yang khas dari bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah, perubahan standar akuntansi keuangan yang berlaku dan adanya perubahan yang terjadi dalam standar internasional risiko terbesar dengan menggunakan metode yang distandarisasi dalam perhitungan risiko penyaluran dana (standard approach). Mengingat dalam perbankan nasional adalah risiko penyaluran dana maka pada saat ini rasio penyediaan kewajiban modal minimum bank umum berdasarkan prinsip Syariah disamping memperhitungkan faktor risiko penyaluran dana juga memperhitungkan faktor risiko lainnya seperti risiko pasar (market risk) dan pada waktunya juga risiko operasional (operasional risk) pada perhitungan rasio kewajiban penyediaan modal minimum. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 … -2 - Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Perhitungan modal minimum bagi UUS hanya dipergunakan sebagai observed factor dalam rangka pengawasan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penyertaan Bank merupakan faktor pengurang dalam perhitungan modal yang berarti bahwa seluruh kegiatan penyertaan Bank harus seluruhnya didukung dengan modal Bank. Hal ini dilakukan mengingat perhitungan modal Bank belum dilakukan secara konsolidasi. Dengan diperhitungkannya Penyertaan Bank sebagai pengurang pada Modal Bank maka nilai Penyertaan tidak diperhitungkan lagi dalam perhitungan … -3 - perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko yaitu dengan diberi bobot risiko sebesar 0% (nol perseratus). Dalam pengertian Penyertaan Bank, tidak termasuk penyertaan modal sementara yang berasal dari restrukturisasi pembiayaan. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "dana yang disisihkan" termasuk modal kerja yang disisihkan oleh kantor pusat Bank sebagai modal kerja untuk Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, dan atau Unit Syariah. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Di dalam komponen modal disetor pemegang saham tidak termasuk pengakuan modal yang dipesan (subscribed capital stock) yang berasal dari piutang Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 21 tentang Akuntansi Ekuitas. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Angka 1 sampai dengan Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 dan Angka 6 Yang … sebagaimana dimaksud dalam -4 - Yang dimasukkan dalam komponen laba tahun-tahun lalu dan laba tahun berjalan adalah nilai setelah diperhitungkan taksiran pajak, melakukan kompensasi kerugian kecuali apabila diperbolehkan sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku. Kekurangan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva produktif oleh Bank merupakan komponen biaya yang dibebankan pada laba tahun berjalan. Angka 7 Selisih lebih penjabaran laporan keuangan Kantor Cabang dapat terjadi karena perbedaan mata dipergunakan dalam laporan keuangan. Angka 8 Yang dimaksud dengan “dana setoran modal” adalah dana yang telah disetor penuh untuk tujuan penambahan modal namun belum didukung dengan kelengkapan persyaratan untuk dapat digolongkan sebagai modal untuk uang yang disetor seperti pelaksanaan rapat umum pemegang saham maupun pengesahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang. Untuk dapat diperhitungkan sebagai dana setoran modal maka dana tersebut harus ditempatkan pada rekening khusus (escrow account) dan tidak boleh ditarik kembali oleh Pemegang Saham dan harus disetujui Bank Indonesia. Dalam hal dana setoran modal berasal dari calon pemilik Bank maka jika berdasarkan penelitian Bank Indonesia, calon … -5 - calon pemilik Bank atau dana tersebut tidak memenuhi syarat sebagai pemegang saham atau modal, maka dana tersebut tidak dapat dianggap sebagai komponen modal, dan dapat ditarik kembali oleh calon pemilik. Huruf b Angka 1 sampai dengan Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Selisih kurang penjabaran laporan keuangan Kantor Cabang dapat terjadi karena perbedaan mata dipergunakan dalam laporan keuangan. Angka 5 Sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku, pencatatan dalam pos ini dilakukan berdasarkan nilai pasar (mark to market). Dengan demikian pos ini merupakan selisih kurang antara harga pasar dengan nilai perolehan atas Penyertaan Bank pada perusahaan yang sahamnya tercatat di Pasar Modal. Ayat (4) Pajak tangguhan (deferred tax) merupakan transaksi yang timbul sebagai akibat penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan. Dengan dikeluarkannya dampak pajak tangguhan dari perhitungan laba atau rugi tahun berjalan maka aktiva pajak yang ditangguhkan tidak diperhitungkan … uang yang -6 - diperhitungkan dalam perhitungan aktiva tertimbang menurut yaitu dengan diberi bobot risiko sebesar 0% (nol perseratus). risiko Ayat (5) Huruf a Selisih penilaian kembali aktiva tetap tidak dapat dikapitalisasi ke dalam modal disetor dan atau dibagikan sebagai saham bonus dan atau dividen. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Investasi Subordinasi dalam Laporan bulanan bank Syariah disebut sebagai pinjaman subordinasi. Huruf e Sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku, pencatatan dalam pos ini dilakukan berdasarkan nilai pasar (mark to market). Dengan demikian pos ini merupakan selisih lebih antara harga pasar dengan nilai perolehan atas Penyertaan Bank pada perusahaan yang sahamnya tercatat di Pasar Modal. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … -7 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan: “aktiva produktif” adalah penanaman dana Bank baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, piutang, pinjaman dengan prinsip qardh, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen dan kontinjensi pada transaksi rekening administratif serta Sertifikat Wadiah Bank Indonesia; “mudharabah muthlaqah” adalah prinsip Syariah dalam perjanjian antara penanam dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya dimana Bank diberikan kebebasan oleh pihak pemilik dana untuk menanamkan dananya; “wadiah” … -8 - “wadiah” adalah prinsip Syariah dalam perjanjian penitipan dana antara pemilik dana dengan pihak yang dipercaya untuk menjaga dana penitipan tersebut; “qardh” adalah prinsip Syariah dalam perjanjian pinjam meminjam dana antara bank Syariah sebagai pemberi pinjaman dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam melakukan pembayaran pokok pinjaman dengan cara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 11 Sertifikat Wadiah Bank Indonesia tidak diperhitungkan dalam Risiko Pasar karena Sertifikat Wadiah Bank Indonesia merupakan bukti penitipan dana wadiah sehingga tidak dapat diperjual belikan (non negotiable). Pasal (12) … -9 - Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “tujuan investasi” adalah surat berharga Syariah dimiliki Bank sampai dengan jatuh tempo (held to maturity). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan posisi devisa neto adalah posisi devisa neto sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang posisi devisa neto bank umum. Pasal 15 Yang dimaksud dengan distribusi modal atau laba antara lain pembayaran dividen, pembelian kembali saham Bank (treasury stock) dan pembayaran bonus kepada pengurus (management fee). Apabila dalam periode kepengurusan yang bersangkutan Bank menunjukkan kinerja yang membaik namun kondisi permodalan tidak memungkinkan untuk membayar bonus kepada pengurus (management fee), maka pembayaran bonus dapat ditunda sampai dengan kondisi permodalan Bank memungkinkan untuk dilakukan pembayaran bonus (management fee). Pasal 16 … -10 - Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Sanksi administratif dalam pengawasan khusus merujuk kepada PBI No.6/9/PBI/2004 tanggal 26 Maret Pengawasan dan Penetapan Status Bank 2004 tentang Tindak Lanjut Ayat (4) Yang dimaksud dengan “Bank” pada ayat ini adalah bank konvensional yang merupakan kantor pusat dari UUS. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 … -11 - Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4501
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/13/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 10 Juni 2005 </set_date> <effective_date> 10 Juni 2005 </effective_date> <replaced_reg> '3/21/PBI/2001', '5/12/PBI/2003' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/ 3 /PBI/2001 TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Bank Indonesia mempunyai tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta mengatur dan mengawasi bank untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah; b. bahwa sistem devisa bebas yang diterapkan di Indonesia telah mempercepat perkembangan dan terintegrasinya pasar keuangan Indonesia dengan pasar keuangan global termasuk meningkatkan transaksi rupiah antara bank dengan warga negara asing, badan hukum asing atau badan asing lainnya, warga negara Indonesia yang memiliki status permanen residen negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, perwakilan negara asing dan lembaga internasional di Indonesia, dan kantor Bank atau badan hukum Indonesia di luar negeri; c. bahwa transaksi rupiah antara bank dengan pihak-pihak sebagaimana disebut dalam huruf b di atas, yang dilakukan melalui transaksi derivatif dan pemberian kredit serta diikuti dengan kegiatan spekulasi dapat menimbulkan gejolak nilai tukar rupiah, sehingga menghambat pencapaian nilai rupiah dan sistem keuangan; kestabilan d. bahwa… -2- d. bahwa untuk mengurangi gejolak nilai tukar rupiah dan sebagai langkah kehati-hatian dalam upaya menjamin integritas dan stabilitas sistem keuangan Indonesia yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan maka diperlukan pengaturan mengenai pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta asing oleh bank dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembar-an Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3844); MEMUTUSKAN : Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK BAB I … -3- BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998; 2. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan secara tunai baik dalam rupiah maupun valuta asing, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga; 3. Penempatan Dana adalah penempatan dana pada Bank lain dalam bentuk giro, call money, deposito berjangka, sertifikat deposito dan penempatan lainnya, serta penempatan pada lembaga keuangan bukan bank baik untuk kepentingan bank maupun nasabah; 4. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang; 5. Transaksi Antar Kantor adalah semua tagihan (aktiva) yang dimiliki Bank terhadap kantor pusat atau kantor cabang di luar negeri baik untuk kepentingan bank maupun nasabah; 6. Penyertaan adalah penanaman dana bank dalam bentuk saham pada perusahaan tidak melalui pasar modal, serta dalam bentuk sementara pada perusahaan debitur untuk mengatasi kegagalan kredit; 7. tranksaksi ….. penyertaan modal -4- 7. Transaksi Derivatif adalah suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari yaitu suku bunga dan nilai tukar dalam bentuk transaksi forward, swap dan option valuta asing terhadap rupiah dan transaksi lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu; 8. Transaksi Forward adalah suatu kontrak untuk melakukan transaksi pembelian atau penjualan valuta asing terhadap rupiah yang penyerahannya dilakukan dalam waktu lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi; 9. Transaksi Swap adalah suatu kontrak untuk melakukan transaksi pertukaran valuta asing terhadap rupiah melalui pembelian tunai dengan penjualan kembali secara berjangka, atau penjualan tunai dengan pembelian kembali secara berjangka; 10. Transaksi Option adalah suatu kontrak yang memberikan hak dan bukan kewajiban untuk membeli atau menjual valuta asing terhadap rupiah di masa yang akan datang dengan harga yang telah ditentukan pada saat transaksi dilakukan. BAB II PELARANGAN DAN PEMBATASAN TRANSAKSI Pasal 2 (1) Bank dilarang melakukan transaksi-transaksi tertentu dengan: a. warga negara asing; b. badan hukum asing atau badan asing lainnya; c. warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap (permanent resident) negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia; d. perwakilan …. -5- d. perwakilan negara asing dan lembaga internasional di Indonesia; e. kantor Bank/badan hukum Indonesia di luar negeri. (2) Transaksi-transaksi tertentu yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a. Pemberian Kredit, cerukan, dalam rupiah dan atau valuta asing kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1); b. Penempatan Dana dalam rupiah kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), termasuk transfer rupiah ke bank di luar negeri; c. Pembelian Surat-surat Berharga dalam rupiah yang diterbitkan oleh pihak- pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1); d. Transaksi Antar Kantor dalam rupiah; e. Penyertaan dalam rupiah kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Bank dilarang melakukan tindakan-tindakan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2 ini. Pasal 3 (1) Bank hanya dapat melakukan Transaksi Derivatif valuta asing terhadap rupiah dengan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) sampai batas maksimum nominal tertentu setiap saat, baik untuk setiap transaksi individual maupun posisi (outstanding) Transaksi Derivatif per Bank. (2) Batas maksimum nominal baik untuk setiap transaksi individual maupun posisi (outstanding) Transaksi Derivatif per Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan sebesar USD 3.000.000,- (tiga juta US dolar) atau ekivalen dan apabila diperlukan perubahan atas batas maksimum nominal tersebut akan ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (3) Jenis ... -6- (3) Jenis Transaksi Derivatif yang dibatasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a. Transaksi forward jual, termasuk transaksi valuta tomorrow dan spot yang di-rollover dan disintetiskan sebagai forward jual valuta asing; b. Transaksi swap jual termasuk di dalamnya overnite swap dan tom next; dan atau c. Transaksi option untuk jual valuta asing call atau beli valuta asing put terhadap rupiah. (4) Pembatasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila dilakukan untuk keperluan lindung-nilai (hedging) dalam rangka investasi di Indonesia oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (5) Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) wajib disertai dengan dokumen-dokumen pendukung kegiatan investasi yang bersangkutan secara lengkap. (6) Nilai Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) hanya dapat dilakukan dengan nilai maksimum sebesar nilai yang tercantum dalam dokumen pendukung. (7) Dokumen pendukung transaksi yang dipergunakan dalam rangka investasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) wajib disimpan oleh Bank guna kepentingan pemeriksaan di kemudian hari (post audit) oleh Bank Indonesia. (8) Bank dilarang melakukan tindakan-tindakan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 3 ini. BAB III… -7- BAB III PELAPORAN Pasal 4 (1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) selambat-lambatnya pukul 23.30 WIB pada hari yang bersangkutan melalui Sistem Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) dengan lengkap dan benar. (2) Bank bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan isi laporan serta ketepatan waktu penyampaian laporan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Dalam hal terjadi kesalahan pada laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka Bank wajib menyampaikan koreksi terhadap laporan selambat- lambatnya pukul 16.00 WIB pada 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah tanggal laporan. (4) Dalam hal batas akhir penyampaian koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) jatuh pada hari libur maka penyampaian laporan dilakukan pada hari kerja berikutnya. BAB IV SANKSI Pasal 5 (1) Bank yang melakukan pelanggaran atas ketentuan larangan untuk melakukan transaksi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan atau pelanggaran atas ketentuan pembatasan Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebagai berikut: a. untuk... -8- a. untuk 1 (satu) kali pelanggaran dikenakan kewajiban membayar sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari nilai pelanggaran; b. untuk 2 (dua) kali pelanggaran dikenakan kewajiban membayar sebesar 20% (dua puluh perseratus) dari nilai pelanggaran; c. untuk 3 (tiga) kali pelanggaran dikenakan kewajiban membayar sebesar 35% (tiga puluh lima perseratus) dari nilai pelanggaran; d. untuk 4 (empat) kali pelanggaran dikenakan kewajiban membayar sebesar 60% (enam puluh perseratus) dari nilai pelanggaran; e. untuk 5 (lima) kali pelanggaran atau lebih dikenakan kewajiban membayar sebesar 100% (seratus perseratus) dari nilai pelanggaran. (2) Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan frekuensi 25 (dua puluh lima) kali atau lebih dalam 1 (satu) bulan dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e ditambah dengan pembekuan sementara kegiatan usaha tertentu Bank. (3) Frekuensi pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diperhitungkan secara gabungan untuk setiap transaksi yang melanggar larangan transaksi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan atau melanggar pembatasan Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2). Pasal 6 Pelanggaran terhadap ketentuan larangan untuk melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (8) dikenakan sanksi pemberhentian pengurus Bank. Pasal 7… -9- Pasal 7 (1) Keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) masing-masing dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan. (2) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) masing-masing dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). (3) Keterlambatan penyampaian koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan. (4) Bank yang menyampaikan laporan dengan tidak benar atau tidak lengkap dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) per item kesalahan atau ketidaklengkapan maksimum Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 8 (1) Bank yang pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini masih memiliki posisi (outstanding) dari transaksi Penempatan Dana dan Pembelian Surat-surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilarang memperpanjang (roll over) transaksi dimaksud. (2) Bank yang pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini masih memiliki posisi (outstanding) dari Transaksi Antar Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib menihilkan transaksi dengan dimaksud selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. (3) Bank... -10- (3) Bank yang pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini masih memiliki posisi (outstanding) dari Penyertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib menihilkan transaksi dimaksud selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. (4) Bank yang pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini masih memiliki posisi (outstanding) Transaksi Derivatif dengan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang bukan dalam rangka investasi di Indonesia dan melampaui batas maksimum yang diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dilarang melakukan transaksi baru dan dilarang memperpanjang transaksi dimaksud sampai posisinya tidak melebihi batas maksimum yang diperbolehkan. (5) Bank yang pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini masih memiliki posisi (outstanding) Transaksi Derivatif dengan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dalam rangka investasi di Indonesia dan melampaui batas maksimum yang diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6), dilarang memperpanjang transaksi dimaksud. Pasal 9 (1) Selama sistem PIPU belum dapat menampung pelaporan seluruh Transaksi Derivatif secara lengkap sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1), maka bank wajib menyampaikan laporan Transaksi Derivatif harian dengan menggunakan format pada Lampiran 1 sampai 4 dalam bentuk hardcopy secara mingguan. (2) Selama sistem PIPU belum dapat menampung pelaporan seluruh Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka ketentuan tentang sanksi atas pelaporan Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 tidak diberlakukan. (3) Selain … -11- (3) Selain pelaporan dengan hard copy sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kewajiban pelaporan Transaksi Derivatif Bank melalui sistem PIPU yang selama ini berlaku tetap dilaksanakan sampai dengan sistem PIPU dapat menampung seluruh Transaksi Derivatif sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1). (4) Mulai berlakunya pelaporan dengan menggunakan sistem PIPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ketentuan tentang sanksi atas pelaporan Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 akan diberitahukan dengan Surat Edaran Bank Indonesia dengan menyebutkan masa tenggang waktu pemberlakuannya. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 10 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka, - Surat Edaran kepada Direksi Bank No. 6/28/UPK, No. 6/29/UPK dan No. 6/30/UPK tanggal 13 September 1973 perihal Pemberian Kredit kepada Perorangan/Perusahaan yang Tidak Berdomisili di Indonesia; - Surat Edaran kepada Semua Bank di Indonesia No. 8/28/UPK tanggal 27 November 1975 perihal Pemberian Kredit kepada Perorangan ataupun Para Pengusaha yang Tidak Berkedudukan di Indonesia; - Surat Edaran kepada Semua Bank di Indonesia No. 11/3/UPK tanggal 22 April 1978 perihal Pemberian Kredit kepada Perusahaan Asing dalam Bidang Perdagangan; - Surat… -12- - Surat Edaran Bank Indonesia kepada Semua Peserta Kliring di Jakarta No. 28/182/UPG tanggal 28 Maret 1996 perihal Penjelasan tentang Penggunaan Fasilitas Transaksi Pasar Uang antar Bank Sehubungan dengan Perubahan Jadwal Kliring; dinyatakan tidak berlaku. Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal 12 Januari 2001 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 7 DPD, DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/3/PBI/2001 TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK UMUM Dalam rangka pembangunan ekonomi diperlukan tabungan dalam negeri baik yang bersumber dari pemerintah maupun dari masyarakat. Mengingat kelangkaan sumber-sumber dana dalam negeri maka mobilisasi dana terutama dana rupiah seyogyanya ditujukan untuk keperluan pembangunan ekonomi di dalam negeri. Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara stabilitas nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia bertugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yang dilakukan antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga. Efektifitas pelaksanaan tugas ini memerlukan dukungan sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman dan andal yang merupakan sasaran dari pelaksanaan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman dan andal tersebut memerlukan sistem perbankan yang sehat, yang merupakan sasaran tugas mengatur dan mengawasi bank. Selanjutnya sistem perbankan yang sehat akan mendukung pengendalian moneter mengingat pelaksanaan kebijakan moneter terutama dilakukan melalui sistem perbankan. Penerapan sistem devisa bebas di Indonesia telah mempercepat perkembangan dan integrasi pasar keuangan Indonesia dengan pasar keuangan dunia. Perkembangan pasar keuangan tercermin pada bertambahnya keanekaragaman produk jasa keuangan hasil berbagai inovasi di industri keuangan dunia. Integrasi pasar keuangan antara lain terlihat pada penggunaan mata uang domestik baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pada awalnya mata uang domestik di dalam negeri digunakan pula oleh warga negara asing dan badan-badan asing, namun selanjutnya penggunaan tersebut meluas ke luar negeri baik oleh warga negara Indonesia dan badan-badan hukum Indonesia maupun oleh warga negara asing dan badan-badan asing. Sebagai akibat perkembangan dan integrasi pasar keuangan di atas, peningkatan transaksi rupiah antara bank dengan warga negara asing dan badan-badan asing yang terjadi dewasa ini dalam perkembangannya turut memberikan kontribusi terhadap berbagai persoalan moneter dalam negeri, khususnya tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan upaya untuk mengurangi tekanan yang lebih dalam atas kondisi moneter Indonesia dengan menetapkan Pembatasan…. pembatasan-pembatasan yang diperlukan. Oleh karena itu, untuk mengurangi dampak fluktuatif terhadap nilai rupiah, perlu dilakukan pengaturan terhadap transaksi rupiah antara bank dengan warga negara asing, badan hukum asing atau badan asing lainnya, warga negara Indonesia yang memiliki status permanen residen negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, perwakilan negara asing dan lembaga internasional di Indonesia, dan kantor Bank atau badan hukum Indonesia di luar negeri serta pengaturan pemberian kredit valuta asing oleh bank kepada pihak-pihak tersebut. Pembatasan transaksi rupiah antara bank dengan pihak-pihak tersebut sebagai langkah kehati-hatian dalam melindungi integritas dan stabilitas sistem keuangan Indonesia pada dasarnya tidak bertentangan baik dengan ketentuan sistem devisa bebas maupun ketentuan-ketentuan internasional yang lazim berlaku. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Dalam pengertian Bank, termasuk pula kantor cabang bank asing di Indonesia. Angka 2 Yang dimaksud dalam pengertian pihak lain adalah perorangan dan bank termasuk lembaga keuangan bukan bank. Angka 3 Cukup jelas Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Bagi kantor cabang bank asing, tagihan (aktiva) adalah dari kantor cabang bank asing di Indonesia terhadap kantor pusat dan atau kantor cabang lain di luar negeri. Bagi bank yang berkantor pusat di Indonesia, tagihan (aktiva) adalah dari kantor pusat dan atau kantor cabang bank di Indonesia terhadap kantor cabang di luar negeri. Angka 6… Angka 6 Cukup jelas Angka 7 Cukup jelas Angka 8 Cukup jelas. Angka 9 Cukup jelas. Angka 10 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Huruf a sampai dengan huruf d Cukup jelas Huruf e Dalam pengertian kantor Bank termasuk kantor perwakilan Bank. Ayat (2) Huruf a Dalam pengertian Kredit tidak termasuk kartu kredit dan kredit non-tunai seperti garansi (jaminan). Dalam pengertian cerukan meliputi pemberian kredit dan penarikan simpanan termasuk fasilitas cerukan intra-hari. Huruf b sampai dengan huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2)… Ayat (2) Yang dimaksud dengan posisi (outstanding) Transaksi Derivatif per Bank adalah posisi bruto setiap saat. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang termasuk dalam kegiatan investasi di Indonesia meliputi penyertaan langsung, pemberian kredit dan pembelian surat-surat berharga. Ayat (5) Dokumen pendukung untuk kepentingan investasi : (a) Dalam rangka penyertaan langsung sekurang-kurangnya meliputi bukti penyertaan lengkap termasuk nominal, identitas penyetor, identitas yang menerima penyertaan. (b) Dalam rangka pemberian kredit sekurang-kurangnya meliputi perjanjian kredit antara warga negara asing, badan hukum asing atau badan asing lainnya, warga negara Indonesia yang memiliki status permanen residen negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, perwakilan negara asing dan lembaga internasional di Indonesia, dan kantor Bank atau badan hukum Indonesia di luar negeri dengan Warga Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia. (c) Dalam rangka pembelian surat-surat berharga sekurang- kurangnya meliputi : - Bukti setoran ke perusahaan pialang pasar modal - Surat perjanjian dengan perusahaan pialang pasar modal - Laporan rekening pada perusahaan pialang pasar modal - Bukti pembelian saham/obligasi Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) … Ayat (8) Cukup jelas Pasal 4 Ayat (1) Keterangan dan data transaksi derivatif yang wajib dilaporkan oleh Bank sekurang-kurangnya meliputi : - tanggal transaksi; - lawan transaksi; - tujuan transaksi; - jangka waktu; - jenis transaksi ; - jumlah nominal transaksi ; dan - posisi (outstanding) transaksi derivatif bank. Laporan dinyatakan lengkap apabila telah mencakup seluruh data tersebut di atas. Laporan dinyatakan tidak benar/tidak akurat apabila dari hasil pengawasan Bank Indonesia ditemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan data yang dilaporkan. Laporan transaksi derivatif wajib disampaikan oleh kantor pusat bank atau kantor cabang bank asing di Indonesia yang merupakan laporan konsolidasi dari seluruh kantor operasionalnya di Indonesia. Laporan dimaksud wajib disampaikan setiap hari secara on-line kepada Bank Indonesia melalui sarana Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU). Dalam hal terjadi kerusakan pada on-line system bank atau PIPU, bank wajib melaporkan dalam bentuk hard copy selambat-lambatnya 2 (dua) hari berikutnya pada jam kerja Bank Indonesia. Laporan dalam bentuk hard copy disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Direktorat Pengelolaan Devisa. Bank … Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila laporan yang bersangkutan diterima oleh Bank Indonesia dalam waktu 3 (tiga) hari sejak berakhirnya batas waktu penyampaian laporan. Dalam hal Bank Indonesia belum menerima laporan yang bersangkutan setelah batas waktu tersebut maka Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan. Contoh: Laporan tanggal 5 Maret 2001 selambat-lambatnya disampaikan melalui PIPU pukul 23.30 WIB pada hari yang sama. Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila laporan disampaikan setelah pukul 23.30 WIB tanggal yang bersangkutan sampai dengan tanggal 8 Maret 2001. Dalam hal Bank Indonesia belum menerima laporan setelah tanggal 8 Maret 2001 maka Bank dianggap tidak menyampaikan laporan. Dalam hal terjadi kerusakan pada on-line system Bank atau PIPU, Bank wajib menyampaikan laporan dimaksud secara hardcopy selambat-lambatnya tanggal 7 Maret 2001. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi laporan Transaksi Derivatif apabila laporan koreksi yang bersangkutan diterima oleh Bank Indonesia dalam waktu 3 (tiga) hari sejak berakhirnya batas waktu penyampaian koreksi laporan. Dalam hal Bank Indonesia belum menerima koreksi laporan yang bersangkutan setelah batas waktu tersebut maka Bank dinyatakan tidak menyampaikan koreksi laporan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Frekuensi pelanggaran diperhitungkan dalam 1 (satu) tahun kalender. Nilai pelanggaran diperhitungkan dalam rupiah. Dalam hal terjadi pelanggaran dalam valuta asing harus dikonversi ke dalam rupiah dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada saat tanggal transaksi dilakukan. Ayat (2)… Ayat (2) Yang dimaksud dengan pembekuan sementara kegiatan usaha tertentu Bank meliputi pembekuan kegiatan pengelolaan dana (treasury) termasuk penutupan sementara dealing room Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Yang dimaksud dengan pengurus Bank adalah Direktur Bank yang bertanggung jawab untuk Bank yang berkantor pusat di Indonesia atau pimpinan kantor cabang untuk kantor cabang bank asing di Indonesia. Sanksi pemberhentian pengurus Bank dimaksud tidak perlu didahului dengan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. Setelah tindakan pemberhentian pengurus Bank oleh Bank Indonesia selanjutnya Bank Indonesia menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) ….. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Laporan mingguan adalah data dari hari Senin sampai dengan hari Jumat disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Pengelolaan Devisa selambat-lambatnya pada hari Jumat minggu berikutnya. Contoh : Data tanggal tanggal 5 Maret 2001 sampai dengan 9 Maret 2001 disampaikan dalam bentuk hard copy selambat-lambatnya tanggal 16 Maret 2001. Untuk pertama kalinya laporan disampaikan untuk periode transaksi minggu kedua setelah Peraturan Bank Indonesia ini ditetapkan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4074 Lampiran PBI No. 3/3 /PBI/2001 tgl. 12 Januari 2001 --------------------------------------------------------------- Lampiran 1 BANK ….. LAPORAN MINGGUAN TRANSAKSI FORWARD JUAL BANK DENGAN PIHAK-PIHAK TERTENTU TANGGAL ……s.d…….BULAN: ……. (dalam ribu USD) Tanggal No Counterparty ... 1. 2. ... 1. 2. ... KETERANGAN 1. Kolom Tanggal diisi tanggal transaksi. 2. Kolom Counterparty diisi dengan nama pihak lawan transaksi. 3. Kolom Tujuan Transaksi diisi dengan: a. Investasi (dirinci Penyertaan Langsung, Pemberian Kredit, dan Pembelian Surat-surat Berharga) atau. b. Bukan Investasi 4. Kolom Jangka Waktu diisi dengan tenor transaksi. 5. Kolom Jumlah diisi dengan nilai individual transaksi. 4. Ekivalen valuta asing menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal transaksi dilakukan. 5. Pihak-pihak tertentu adalah WNA, badan hukum asing atau badan asing lainnya, WNI yang memiliki permanen residen negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, perwakilan negara asing dan lembaga internasional di Indonesia atau kantor Bank/badan hukum Indonesia di luar negeri. Tujuan Transaksi Jangka Waktu Jumlah ... ... ... Lampiran PBI No. 3/3/PBI/2001 tgl. 12 Januari 2001 --------------------------------------------------------------- Lampiran 2 BANK ….. LAPORAN MINGGUAN TRANSAKSI SWAP JUAL BANK DENGAN PIHAK-PIHAK TERTENTU TANGGAL ……s.d……..BULAN: ……. (dalam ribu USD) Tanggal No ... 1. 2. ... 1. 2. ... KETERANGAN 1. Kolom Tanggal diisi tanggal transaksi. 2. Kolom Counterparty diisi dengan nama pihak lawan transaksi. 3. Kolom Tujuan Transaksi diisi dengan: a. Investasi (dirinci Penyertaan Langsung, Pemberian Kredit, dan Pembelian Surat-surat Berharga) atau. b. Bukan Investasi 4. Kolom Jangka Waktu diisi dengan tenor transaksi. 5. Kolom Jumlah diisi dengan nilai individual transaksi. 6. Ekivalen valuta asing menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal transaksi dilakukan. 7. Pihak-pihak tertentu adalah WNA, badan hukum asing atau badan asing lainnya, WNI yang memiliki permanen residen negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, perwakilan negara asing dan lembaga internasional di Indonesia atau kantor Bank/badan hukum Indonesia di luar negeri. Counterparty Tujuan Transaksi Jangka Waktu Jumlah ... ... ... Lampiran PBI No. 3/3/PBI/2001 tgl. 12 Januari 2001 --------------------------------------------------------------- Lampiran 3 BANK ….. LAPORAN MINGGUAN TRANSAKSI OPTION BANK DENGAN PIHAK-PIHAK TERTENTU TANGGAL …..s.d……BULAN: ……. (dalam ribu USD) Tanggal No Counterparty ... 1. 2. ... 1. 2. ... KETERANGAN 1. Kolom Tanggal diisi tanggal transaksi. 2. Kolom Counterparty diisi dengan nama pihak lawan transaksi. 3. Kolom Tujuan Transaksi diisi dengan: a. Investasi (dirinci Penyertaan Langsung, Pemberian Kredit, dan Pembelian Surat-surat Berharga) atau. b. Bukan Investasi 4. Kolom Jangka Waktu diisi dengan tenor transaksi. 5. Kolom Jumlah diisi dengan nilai individual transaksi. 6. Ekivalen valuta asing menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal transaksi dilakukan. 7. Pihak-pihak tertentu adalah WNA, badan hukum asing atau badan asing lainnya, WNI yang memiliki permanen residen negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, perwakilan negara asing dan lembaga internasional di Indonesia atau kantor Bank/badan hukum Indonesia di luar negeri. Tujuan Transaksi Jangka Waktu Jumlah ... ... ... Lampiran PBI No. 3/3/PBI/2001 tgl. 12 Januari 2001 --------------------------------------------------------------- Lampiran 4 BANK ….. LAPORAN MINGGUAN REKAPITULASI TRANSAKSI DERIVATIF BANK DENGAN PIHAK -PIHAK TERTENTU PER JENIS TRANSAKSI DAN TUJUAN TRANSAKSI TANGGAL …..s/d……..BULAN ……………. (dalam ribu USD) Forward Tgl Invest asi ... ... Bukan Investasi ... Swap Invest asi ... Bukan Investasi ... Option Invest asi ... Bukan Investasi ... TOTAL Invest asi ... Bukan Investasi ... POSISI Bukan Investasi … KETERANGAN 1. Kolom Tanggal diisi tanggal transaksi. 2. Kolom Posisi diisi dengan Posisi (outstanding) transaksi Bukan Investasi sampai dengan tanggal yang bersangkutan.Cara perhitungan: Posisi awal hari (+/-) mutasi hari ybs = Posisi akhir hari 3. Ekivalen valuta asing menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal transaksi dilakukan. 4. Pihak-pihak tertentu adalah WNA, badan hukum asing atau badan asing lainnya, WNI yang memiliki permanen residen negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, perwakilan negara asing dan lembaga internasional di Indonesia atau kantor Bank/badan hukum Indonesia di luar negeri.
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 3/3/PBI/2001 </reg_id> <reg_title> PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK </reg_title> <set_date> 12 Januari 2001 </set_date> <effective_date> 12 Januari 2001 </effective_date> <replaced_reg> '6/30/UPK|SE-BI/1973', '28/182/UPG|SE-BI/1996', '8/28/UPK|SE-BI/1975', '6/28/UPK|SE-BI/1973', '11/3/UPK|SE-BI/1978', '6/29/UPK|SE-BI/1973' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '24/UU/1999', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 12/16/PBI/2010 TENTANG SISTEM MONITORING TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa integrasi pasar keuangan domestik dengan pasar keuangan global memunculkan berbagai tantangan dan risiko bagi Bank Indonesia sebagai otoritas moneter; b. bahwa dalam menghadapi tantangan dan memitigasi risiko dibutuhkan respon kebijakan nilai tukar yang antisipatif dan responsif dari Bank Indonesia; c. bahwa salah satu upaya untuk mewujudkan respon kebijakan yang cepat dan tepat sesuai dengan perkembangan pasar adalah dengan melakukan monitoring kegiatan di pasar valuta asing domestik secara real time; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu untuk mengatur ketentuan mengenai sistem monitoring transaksi valuta asing terhadap rupiah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana … - 2 - sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SISTEM MONITORING TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH. Pasal 1 … - 3 - Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh surat penunjukan dari Bank Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing. 3. Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah yang selanjutnya disebut SISMONTAVAR adalah sistem pemantauan transaksi valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan antarbank secara real time. 4. Sistem Transaksi Valuta Asing (dealing system) adalah sistem yang digunakan oleh Bank untuk melakukan transaksi valuta asing terhadap rupiah. 5. Prosedur Konfirmasi adalah prosedur pengiriman informasi transaksi valuta asing terhadap rupiah secara elektronis ke aplikasi SISMONTAVAR. 6. Pialang Pasar Uang adalah pialang pasar uang yang memperoleh izin dari Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing. Pasal 2 (1) Bank Indonesia menerapkan SISMONTAVAR atas transaksi valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan antarbank. (2) Penerapan SISMONTAVAR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Bank Devisa yang telah menggunakan Sistem Transaksi Valuta Asing. Pasal 3 … - 4 - Pasal 3 (1) Bank Devisa harus menyediakan perangkat pendukung SISMONTAVAR. (2) Bank Devisa wajib memelihara aplikasi SISMONTAVAR dalam kondisi on-line pada saat Bank melakukan transaksi valuta asing terhadap rupiah. (3) Bank Devisa wajib melakukan Prosedur Konfirmasi pada Sistem Transaksi Valuta Asing yang terhubung dengan aplikasi SISMONTAVAR segera setelah transaksi valuta asing terhadap rupiah selesai dilakukan (deal is done). (4) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku pula untuk transaksi valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan dengan menggunakan jasa Pialang Pasar Uang. (5) Dalam hal terdapat kesalahan dalam informasi transaksi setelah Prosedur Konfirmasi dilakukan, Bank Devisa menyampaikan kepada Bank Indonesia koreksi atas informasi transaksi segera setelah diketahui adanya kesalahan. Pasal 4 (1) Bank Devisa yang tidak memelihara aplikasi SISMONTAVAR dalam kondisi online pada saat melakukan transaksi valuta asing terhadap rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Bank Devisa yang tidak segera melakukan Prosedur Konfirmasi setelah transaksi valuta asing terhadap rupiah selesai dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 5 Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 tidak berlaku dalam kondisi: a. aplikasi SISMONTAVAR terkendala; b. jaringan … - 5 - b. jaringan data terganggu; c. kegagalan Sistem Transaksi Valuta Asing; dan/atau d. kejadian luar biasa (force majeure). Pasal 6 (1) Bagi Bank Devisa yang telah menggunakan Sistem Transaksi Valuta Asing namun pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini aplikasi SISMONTAVAR belum terpasang, tidak berlaku kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4). (2) Bagi Bank Devisa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) mulai berlaku pada saat aplikasi SISMONTAVAR terpasang. Pasal 7 … - 6 - Pasal 7 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 September 2010. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 30 Agustus 2010 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 30 Agustus 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 106 DPD PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 12/16/PBI/2010 TENTANG SISTEM MONITORING TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH I. UMUM Integrasi pasar keuangan domestik dengan pasar keuangan global yang berjalan cukup cepat dewasa ini memunculkan sejumlah tantangan dan risiko bagi para pelaku pasar. Bank Indonesia selaku otoritas moneter berupaya untuk memitigasi segala risiko tersebut dengan memberikan respon kebijakan nilai tukar yang antisipatif dan responsif sesuai dengan perkembangan pasar valuta asing domestik. Dalam kerangka tersebut, perlu dilakukan penyempurnaan mekanisme monitoring kegiatan di pasar valuta asing domestik sejalan dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan informasi pasar yang cepat dan akurat. Penyempurnaan dimaksud berupa penerapan suatu pendekatan baru untuk mendapatkan informasi tentang transaksi valuta asing antarbank melalui suatu sistem jaringan on-line. Langkah kebijakan tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap tugas Bank Indonesia dalam rangka menjaga stabilitas moneter. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 … - 2 - Pasal 2 Ayat (1) Transaksi valuta asing terhadap rupiah tidak termasuk jual beli uang kertas asing. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Perangkat pendukung SISMONTAVAR antara lain berupa personal computer. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kondisi on-line” adalah kondisi dimana sistem terhubung melalui jaringan komunikasi data dengan Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Koreksi transaksi yang disampaikan kepada Bank Indonesia dapat dilakukan melalui media faksimile. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Huruf a Yang dimaksud dengan “aplikasi SISMONTAVAR terkendala” adalah kendala yang dialami oleh aplikasi SISMONTAVAR di Bank dan/atau di Bank … - 3 - di Bank Indonesia yang menyebabkan informasi transaksi tidak dapat tersampaikan kepada Bank Indonesia. Huruf b Yang dimaksud dengan “jaringan data terganggu” antara lain adalah gangguan pada jaringan telekomunikasi yang menyebabkan aplikasi SISMONTAVAR tidak dapat terhubung secara on-line dengan Bank Indonesia. Huruf c Yang dimaksud dengan “kegagalan Sistem Transaksi Valuta Asing” adalah sistem Transaksi Valuta Asing tidak dapat dioperasikan. Huruf d Yang dimaksud dengan “kejadian luar biasa (force majeure)” adalah suatu keadaan yang menyebabkan Bank tidak dapat memenuhi kewajibannya, yaitu: gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, angin topan, tanah longsor, kebakaran, kerusuhan massal, perang, aksi terorisme, dan/atau pemogokan buruh. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5153
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 12/16/PBI/2010 </reg_id> <reg_title> SISTEM MONITORING TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH </reg_title> <set_date> 30 Agustus 2010 </set_date> <effective_date> 1 September 2010 </effective_date> <issued_date> 30 Agustus 2010 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal 4', 'Pasal 5' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 21/5/PBI/2019 TENTANG PENYELENGGARA SARANA PELAKSANAAN TRANSAKSI DI PASAR UANG DAN PASAR VALUTA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui stabilitas moneter yang didukung oleh stabilitas sistem keuangan dan dilakukan dengan cara menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, yang salah satunya didukung oleh pasar keuangan yang berintegritas, adil, teratur, transparan, likuid, dan efisien; b. bahwa untuk mewujudkan pasar keuangan yang berintegritas, adil, teratur, transparan, likuid, dan efisien, diperlukan penyelenggara sarana pelaksanaan transaksi di pasar uang dan pasar valuta asing yang memiliki tata kelola yang baik serta manajemen risiko yang efektif sehingga dapat mengurangi risiko sistemik di pasar keuangan, yang untuk itu diperlukan peran Bank Indonesia untuk mengatur dan mengawasi penyelenggara sarana pelaksanaan transaksi di pasar uang dan pasar valuta asing; - 2 - c. bahwa Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/5/PBI/2003 tentang Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing sebagaimana beberapa kali telah diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/44/PBI/2005 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/5/PBI/2003 tentang Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum yang ada; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana beberapa kali telah diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENYELENGGARA SARANA PELAKSANAAN TRANSAKSI DI PASAR UANG DAN PASAR VALUTA ASING. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang selanjutnya disebut Penyelenggara Transaksi adalah badan usaha yang menyediakan teknologi dan menyelenggarakan sarana untuk melaksanakan transaksi di pasar uang dan pasar valuta asing yang sudah memperoleh izin dari Bank Indonesia. 2. Pasar Uang adalah pasar uang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang. 3. Pasar Valuta Asing adalah bagian dari sistem keuangan yang berkaitan dengan kegiatan penjualan dan/atau pembelian valuta asing terhadap rupiah. 4. Penyedia Electronic Trading Platform yang selanjutnya disebut Penyedia ETP adalah badan usaha yang didirikan khusus untuk menyediakan sarana tertentu yang digunakan dalam melakukan interaksi dan/atau transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing. 5. Electronic Trading Platform yang selanjutnya disingkat ETP adalah sistem elektronik yang digunakan oleh pelaku pasar sebagai sarana untuk melakukan transaksi pasar keuangan. 6. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik berbasis teknologi komputasi dan telekomunikasi. 7. Pelaku Pasar adalah pelaku Pasar Uang dan pelaku Pasar Valuta Asing. - 4 - 8. Pelaku Pasar Uang adalah pelaku pasar uang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang. 9. Pelaku Pasar Valuta Asing adalah pihak yang melakukan kegiatan transaksi di Pasar Valuta Asing. 10. Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah badan usaha yang didirikan khusus untuk menyediakan sarana tertentu bagi kepentingan transaksi pengguna jasa dan memperoleh imbalan atas jasanya. 11. Pengguna Jasa adalah pihak yang menggunakan jasa yang ditawarkan oleh Penyelenggara Transaksi. 12. Telephone Trading Information System yang selanjutnya disingkat TTIS adalah alat komunikasi yang digunakan untuk keperluan transaksi dan dilengkapi dengan fitur tertentu. 13. Systematic Internalisers adalah bank yang menyediakan sarana tertentu yang digunakan dalam melakukan transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing atas akun milik sendiri dengan Pengguna Jasa. 14. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk unit usaha syariah. 15. Penyelenggara Bursa adalah bursa berjangka sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perdagangan berjangka komoditi, yang menyediakan sarana tertentu bagi Pengguna Jasa untuk melakukan transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing. 16. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum, perorangan, dan/atau kelompok usaha yang memiliki saham Penyelenggara Transaksi sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang - 5 - dikeluarkan Penyelenggara Transaksi dan mempunyai hak suara atau memiliki saham Penyelenggara Transaksi kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan Penyelenggara Transaksi dan mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian Penyelenggara Transaksi baik secara langsung maupun tidak langsung. BAB II TUJUAN Pasal 2 Bank Indonesia mengatur dan mengawasi Penyelenggara Transaksi dengan tujuan: a. menjaga integritas Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing; b. mendorong terciptanya Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang adil, teratur, transparan, likuid, dan efisien; dan c. menata infrastruktur pasar keuangan yang terintegrasi dan sejalan dengan praktik standar internasional, untuk mendukung tercapainya stabilitas moneter. BAB III PENYELENGGARA TRANSAKSI, SARANA PELAKSANAAN TRANSAKSI, DAN PENGGUNA JASA Bagian Kesatu Penyelenggara Transaksi Pasal 3 (1) Penyelenggara Transaksi terdiri atas: a. Penyedia ETP; b. Perusahaan Pialang; c. Systematic Internalisers; dan d. Penyelenggara Bursa. (2) Penyelenggara Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyediakan sarana tertentu yang - 6 - digunakan dalam melakukan interaksi dan/atau transaksi secara: a. bilateral, yaitu antara 2 (dua) Pelaku Pasar; dan/atau b. multilateral, yaitu antara lebih dari 2 (dua) Pelaku Pasar secara bersamaan. Bagian Kedua Sarana Pelaksanaan Transaksi Pasal 4 (1) Sarana pelaksanaan transaksi yang disediakan oleh Penyelenggara Transaksi berupa: a. Penyedia ETP, yaitu ETP, messaging services, dan/atau jenis sarana pelaksanaan transaksi lainnya; b. Perusahaan Pialang, yaitu TTIS dengan atau tanpa ETP dan/atau jenis sarana pelaksanaan transaksi lainnya; c. Systematic Internalisers, yaitu ETP dan/atau jenis sarana pelaksanaan transaksi lainnya; dan d. Penyelenggara Bursa, yaitu ETP dan/atau jenis sarana pelaksanaan transaksi lainnya. (2) Sarana pelaksanaan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki fungsi paling sedikit untuk: a. pemantauan harga, nilai tukar, dan/atau suku bunga terbaik dan terkini; dan b. memublikasikan order dan kuotasi. (3) Selain memiliki fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sarana pelaksanaan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki salah satu fungsi untuk: a. pelaksanaan negosiasi; b. pelaksanaan konfirmasi transaksi; c. pelaksanaan eksekusi transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing; atau d. pelaksanaan lelang secara langsung dan/atau tidak langsung. - 7 - Bagian Ketiga Pengguna Jasa Pasal 5 (1) Pengguna Jasa terdiri atas: a. Pelaku Pasar Uang; dan/atau b. Pelaku Pasar Valuta Asing. (2) Bank Indonesia mengatur Pengguna Jasa untuk setiap Penyelenggara Transaksi dalam penyelenggaraan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa untuk Penyelenggara Transaksi berupa Perusahaan Pialang diatur dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB IV PERIZINAN Bagian Kesatu Perizinan Penyelenggara Transaksi Pasal 6 (1) Pihak yang menyediakan teknologi dan menyelenggarakan sarana pelaksanaan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) bagi Pengguna Jasa untuk melakukan transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing wajib memiliki izin sebagai Penyelenggara Transaksi dari Bank Indonesia. (2) Izin sebagai Penyelenggara Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. b. izin usaha; dan izin operasional. (3) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diberikan kepada: a. Penyelenggara Transaksi berupa Penyedia ETP; dan b. Penyelenggara Transaksi berupa Perusahaan Pialang. - 8 - (4) Izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberikan kepada: a. Penyelenggara Transaksi berupa Systematic Internalisers; dan b. Penyelenggara Transaksi berupa Penyelenggara Bursa. (5) Izin sebagai Penyelenggara Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat informasi yang meliputi: a. jenis sarana pelaksanaan transaksi; dan b. jenis instrumen dan/atau jenis transaksi yang dapat diselenggarakan oleh Penyelenggara Transaksi. (6) Pihak yang telah memperoleh izin sebagai Penyelenggara Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan pada laman resmi Bank Indonesia. Pasal 7 Pelaku Pasar dilarang menggunakan jasa penyelenggara sarana pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang tidak memiliki izin dari Bank Indonesia. Bagian Kedua Perizinan Penyedia ETP Pasal 8 (1) Pemberian izin kepada pihak yang mengajukan permohonan sebagai Penyelenggara Transaksi berupa Penyedia ETP dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu: a. persetujuan prinsip; dan b. izin usaha. (2) Pihak yang mengajukan permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki akta pendirian dan anggaran dasar atau rancangan akta pendirian dan anggaran dasar bagi pihak yang belum berbadan hukum perseroan terbatas; - 9 - b. memiliki rancangan kepemilikan saham dan calon pengurus; c. memiliki rancangan struktur organisasi dan sumber daya manusia; d. memiliki rancangan rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama yang memuat paling sedikit: 1. studi kelayakan; 2. potensi ekonomi; 3. rencana pengembangan jenis produk; 4. rencana pengembangan sistem; dan 5. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik; dan e. memenuhi persyaratan administratif lainnya. (3) Bank Indonesia memberikan persetujuan prinsip atas pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Pihak yang mengajukan permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki persetujuan prinsip dari Bank Indonesia; b. berbadan hukum perseroan terbatas dengan persyaratan kepemilikan tertentu; c. memiliki modal disetor paling sedikit Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah); d. memiliki infrastruktur yang andal dan aman; e. memenuhi persyaratan integritas, kompetensi, dan/atau aspek keuangan bagi Pemegang Saham Pengendali, anggota dewan komisaris, dan anggota direksi; f. memiliki rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama yang memuat paling sedikit: 1. studi kelayakan; 2. potensi ekonomi; 3. rencana pengembangan jenis produk; 4. rencana pengembangan sistem; dan 5. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik; - 10 - g. memiliki kesiapan penerapan manajemen risiko teknologi informasi yang efektif; h. memiliki tata kelola yang baik; dan i. memenuhi persyaratan administratif lainnya. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, dokumen pendukung, serta tata cara pengajuan persetujuan prinsip dan izin usaha Penyedia ETP diatur dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 9 (1) Persyaratan kepemilikan tertentu bagi perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf b yaitu: a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; atau b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing, dengan batasan kepemilikan warga negara asing dan/atau badan hukum asing paling banyak 49% (empat puluh sembilan persen) dari modal disetor. (2) Perhitungan kepemilikan warga negara asing dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi kepemilikan secara langsung dan secara tidak langsung sesuai dengan penilaian Bank Indonesia. Pasal 10 (1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a diajukan paling sedikit oleh salah satu anggota direksi dalam hal pihak yang mengajukan izin sebagai Penyelenggara Transaksi berupa Penyedia ETP sudah berbentuk perseroan terbatas. (2) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a diajukan paling sedikit oleh salah satu calon pemegang saham dalam hal pihak yang mengajukan izin sebagai - 11 - Penyelenggara Transaksi berupa Penyedia ETP belum berbentuk perseroan terbatas. Pasal 11 (1) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) yang telah memperoleh persetujuan prinsip harus mengajukan permohonan izin usaha paling lambat 270 (dua ratus tujuh puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip dikeluarkan oleh Bank Indonesia. (2) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling sedikit oleh salah satu anggota direksi. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pihak yang telah mendapatkan persetujuan prinsip belum mengajukan permohonan izin usaha maka persetujuan prinsip yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia dinyatakan tidak berlaku. Bagian Ketiga Perizinan Perusahaan Pialang Pasal 12 (1) Pemberian izin kepada pihak yang mengajukan permohonan sebagai Penyelenggara Transaksi berupa Perusahaan Pialang dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu: a. persetujuan prinsip; dan b. izin usaha. (2) Pihak yang mengajukan permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki akta pendirian dan anggaran dasar atau rancangan akta pendirian dan anggaran dasar bagi pihak yang belum berbadan hukum perseroan terbatas; b. memiliki rancangan kepemilikan saham dan calon pengurus; - 12 - c. memiliki rancangan struktur organisasi dan sumber daya manusia; d. memiliki rancangan rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama yang memuat paling sedikit: 1. studi kelayakan; 2. potensi ekonomi; dan 3. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik; dan e. memenuhi persyaratan administratif lainnya. (3) Bank Indonesia memberikan persetujuan prinsip atas pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Pihak yang mengajukan permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki persetujuan prinsip dari Bank Indonesia; b. berbadan hukum perseroan terbatas dengan persyaratan kepemilikan tertentu; c. memiliki modal disetor paling sedikit Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah); d. memiliki infrastruktur yang andal dan aman; e. memenuhi persyaratan integritas, kompetensi, dan/atau aspek keuangan bagi Pemegang Saham Pengendali, anggota dewan komisaris, dan anggota direksi; f. memiliki sumber daya manusia yang kompeten; g. memiliki rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama yang memuat paling sedikit: 1. studi kelayakan; 2. potensi ekonomi; dan 3. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik; h. memiliki kesiapan penerapan manajemen risiko yang efektif; i. j. memiliki tata kelola yang baik; dan memenuhi persyaratan administratif lainnya. - 13 - (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, dokumen pendukung, serta tata cara pengajuan persetujuan prinsip dan izin usaha Perusahaan Pialang diatur dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 13 (1) Persyaratan kepemilikan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) huruf b yaitu: a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; atau b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing, dengan batasan kepemilikan warga negara asing dan/atau badan hukum asing paling banyak 49% (empat puluh sembilan persen) dari modal disetor. (2) Perhitungan kepemilikan warga negara asing dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi kepemilikan secara langsung dan secara tidak langsung sesuai dengan penilaian Bank Indonesia. Pasal 14 (1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a diajukan paling sedikit oleh salah satu anggota direksi dalam hal pihak yang mengajukan izin sebagai Penyelenggara Transaksi berupa Perusahaan Pialang sudah berbentuk perseroan terbatas. (2) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a diajukan paling sedikit oleh salah satu calon pemegang saham dalam hal pihak yang mengajukan izin sebagai Penyelenggara Transaksi berupa Perusahaan Pialang belum berbentuk perseroan terbatas. - 14 - Pasal 15 (1) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) yang telah memperoleh persetujuan prinsip harus mengajukan permohonan izin usaha paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip dikeluarkan oleh Bank Indonesia. (2) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling sedikit oleh salah satu anggota direksi. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pihak yang telah mendapatkan persetujuan prinsip belum mengajukan permohonan izin usaha maka persetujuan prinsip yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia dinyatakan tidak berlaku. Bagian Keempat Perizinan Systematic Internalisers Pasal 16 (1) Pihak yang mengajukan permohonan izin operasional sebagai Penyelenggara Transaksi berupa Systematic Internalisers harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berbentuk Bank; b. memiliki infrastruktur yang andal dan aman; c. memiliki sumber daya manusia yang kompeten; d. memiliki kondisi finansial yang sehat sesuai dengan ketentuan otoritas yang berwenang; e. memiliki rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama yang memuat paling sedikit: 1. studi kelayakan; 2. potensi ekonomi; dan 3. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik; f. memiliki kesiapan penerapan manajemen risiko yang efektif sesuai dengan ketentuan otoritas yang berwenang; - 15 - g. memiliki tata kelola yang baik sesuai dengan ketentuan otoritas yang berwenang; h. memperoleh keterangan pendaftaran atau i. persetujuan atas penambahan instrumen dan/atau transaksi dari otoritas yang berwenang; dan memenuhi persyaratan administratif lainnya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, dokumen pendukung, dan tata cara pengajuan izin operasional Systematic Internalisers diatur dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Kelima Perizinan Penyelenggara Bursa Pasal 17 (1) Pihak yang mengajukan permohonan izin operasional sebagai Penyelenggara Transaksi berupa Penyelenggara Bursa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berbentuk perseroan terbatas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perdagangan berjangka komoditi; b. memiliki infrastruktur yang andal dan aman; c. memiliki kondisi finansial yang sehat; d. memiliki rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama yang memuat paling sedikit: 1. studi kelayakan; 2. potensi ekonomi; dan 3. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik; e. memiliki kesiapan penerapan manajemen risiko teknologi informasi yang efektif sesuai dengan ketentuan otoritas yang berwenang; f. memiliki tata kelola yang baik sesuai dengan ketentuan otoritas yang berwenang; g. memperoleh persetujuan atau rekomendasi dari otoritas yang berwenang terkait penambahan instrumen dan/atau transaksi di Pasar Uang dan - 16 - Pasar Valuta Asing dan/atau pengembangan sistem; dan h. memenuhi persyaratan administratif lainnya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, dokumen pendukung, dan tata cara pengajuan izin operasional Penyelenggara Bursa diatur dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Keenam Persetujuan atas Perubahan Sarana, Instrumen, Transaksi, Sistem Elektronik, Struktur Kepemilikan, Nama Badan Usaha, Susunan Dewan Komisaris, dan Susunan Direksi Pasal 18 (1) Penyelenggara Transaksi wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia dalam hal akan melakukan perubahan atas: a. layanan berupa jenis sarana pelaksanaan transaksi; b. jenis instrumen dan/atau transaksi, dan/atau c. Sistem Elektronik secara signifikan menimbulkan risiko terganggunya transaksi Pengguna Jasa. (2) Penyelenggara Transaksi berupa Penyedia ETP dan Perusahaan Pialang wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia dalam hal akan melakukan perubahan atas: a. struktur kepemilikan badan usaha; dan/atau b. nama badan usaha, susunan dewan komisaris dan/atau susunan direksi. (3) Penyelenggara Transaksi berupa Penyedia ETP dan Perusahaan Pialang wajib memperoleh persetujuan atau izin usaha baru dari Bank Indonesia dalam hal akan melakukan aksi korporasi meliputi penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, dan aksi korporasi lainnya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, dokumen pendukung, dan tata cara permohonan persetujuan atas yang - 17 - perubahan sarana, instrumen, transaksi, Sistem Elektronik, struktur kepemilikan, nama badan usaha, susunan dewan komisaris, dan susunan direksi diatur dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 19 (1) Penyelenggara Transaksi berupa Perusahaan Pialang yang mengajukan permohonan persetujuan penambahan sarana pelaksanaan transaksi berupa ETP kepada Bank Indonesia harus memenuhi persyaratan sebagai Penyedia ETP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. (2) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi pihak yang mengajukan permohonan sebagai Penyelenggara Transaksi berupa Perusahaan Pialang dengan TTIS dan ETP sebagai sarana pelaksanaan transaksi. Pasal 20 Penyelenggara Transaksi yang mengajukan permohonan persetujuan atas perubahan jenis instrumen dan/atau transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki infrastruktur yang andal dan aman untuk mendukung perubahan jenis instrumen dan/atau transaksi; b. memperbarui rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama sejak rencana perubahan instrumen dan/atau transaksi yang memuat paling sedikit: 1. studi kelayakan; dan 2. potensi ekonomi; c. memiliki kesiapan penerapan manajemen risiko yang efektif; d. menyampaikan hasil uji coba implementasi perubahan sistem, dalam hal terdapat pengembangan sistem; dan e. memenuhi persyaratan administratif lainnya. - 18 - Pasal 21 (1) Penyelenggara Transaksi yang akan melakukan perubahan Sistem Elektronik secara signifikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c harus melaporkan rencana perubahan Sistem Elektronik paling lambat 1 (satu) tahun sebelum implementasi perubahan kepada Bank Indonesia. (2) Penyelenggara Transaksi wajib mengajukan permohonan persetujuan atas perubahan Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lambat 6 (enam) bulan sebelum implementasi perubahan. (3) Penyelenggara Transaksi yang mengajukan permohonan persetujuan atas perubahan Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c harus menyampaikan dokumen persyaratan sebagai berikut: a. alasan dan deskripsi perubahan Sistem Elektronik; b. analisis dan mitigasi risiko perubahan Sistem Elektronik; dan c. persyaratan administratif lainnya. Pasal 22 Dalam hal Penyelenggara Transaksi berupa Penyedia ETP dan Perusahaan Pialang mengajukan permohonan persetujuan atas perubahan struktur kepemilikan badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a, Pemegang Saham Pengendali harus memenuhi persyaratan kompetensi, dan/atau aspek keuangan. Pasal 23 (1) Dalam hal Penyelenggara Transaksi mengajukan permohonan persetujuan atas perubahan nama badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b, Penyelenggara Transaksi harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas. integritas, - 19 - (2) Dalam hal Penyelenggara Transaksi mengajukan permohonan persetujuan atas perubahan susunan dewan komisaris dan/atau susunan direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b maka anggota dewan komisaris dan/atau anggota direksi harus memenuhi persyaratan integritas, kompetensi, dan/atau aspek keuangan. Bagian Ketujuh Kebijakan Pembatasan Perizinan Pasal 24 (1) Bank Indonesia dapat menetapkan kebijakan pembatasan perizinan berdasarkan pertimbangan: a. terpeliharanya kestabilan moneter serta integritas Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing; b. mendorong terciptanya Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang likuid dan efisien; dan/atau c. penilaian Bank Indonesia atas pemilik saham tidak langsung sampai dengan pemegang saham akhir. (2) Penetapan kebijakan pembatasan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk: a. penolakan permohonan izin sebagai Penyelenggara Transaksi; b. pembatasan jenis instrumen dan/atau transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang dapat ditawarkan oleh Penyelenggara Transaksi; atau c. pembatasan Pengguna Jasa. Bagian Kedelapan Pencabutan Izin di Luar Pengenaan Sanksi Pasal 25 (1) Bank Indonesia melakukan pencabutan izin Penyelenggara Transaksi dalam hal: a. Penyelenggara Transaksi dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; atau - 20 - b. adanya permintaan pemegang saham Penyelenggara Transaksi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencabutan izin di luar pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB V JENIS INSTRUMEN DAN TRANSAKSI Pasal 26 (1) Jenis instrumen dan/atau transaksi yang dapat ditawarkan oleh Penyelenggara Transaksi mencakup: a. instrumen moneter baik konvensional dan/atau dengan prinsip syariah; b. transaksi di Pasar Uang baik dalam rupiah dan/atau valuta asing termasuk dengan prinsip syariah; c. transaksi di Pasar Valuta Asing yaitu transaksi spot, swap, forward, dan option valuta asing terhadap rupiah; d. instrumen dan/atau transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing lainnya, sesuai dengan persetujuan Bank Indonesia; dan/atau e. instrumen dan/atau transaksi keuangan lainnya, sesuai dengan persetujuan Bank Indonesia. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis instrumen dan/atau transaksi yang dapat ditawarkan oleh Penyelenggara Transaksi diatur dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 21 - BAB VI KEWAJIBAN DAN LARANGAN Bagian Kesatu Kewajiban Penyelenggara Transaksi Pasal 27 (1) Penyelenggara Transaksi wajib menyampaikan informasi kepada Bank Indonesia dalam hal: a. dikenakan sanksi oleh otoritas terkait di dalam dan/atau di luar negeri; b. terdapat perjanjian pertukaran informasi yang telah disepakati antara Penyelenggara Transaksi dengan pihak lain atau kewajiban penyampaian informasi kepada otoritas yang berwenang di dalam dan/atau di luar negeri; c. d. terdapat indikasi manipulasi pasar yang dilakukan oleh Pengguna Jasa; terdapat kejadian yang berpotensi memengaruhi kelancaran operasional; e. melakukan penghentian sementara kegiatan sebagai Penyelenggara Transaksi; f. terjadi perselisihan antara Penyelenggara Transaksi dengan Pengguna Jasa; dan/atau g. terdapat informasi lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Penyelenggara Transaksi wajib menyampaikan informasi kepada Bank Indonesia dalam hal terdapat anggota dewan komisaris dan/atau anggota direksi yang terbukti tidak dapat menjalankan fungsinya atau berhalangan tetap. (3) Berdasarkan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara Transaksi wajib mengganti anggota dewan komisaris dan/atau anggota direksi yang bersangkutan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian informasi kepada Bank Indonesia diatur dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 22 - Pasal 28 (1) Penyedia ETP wajib memelihara total ekuitas sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Penyedia ETP yang mengalami kerugian dan mengakibatkan penurunan total ekuitas di bawah Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) wajib memenuhi kekurangan total ekuitas tersebut paling lambat 2 (dua) tahun sejak penurunan total ekuitas. (3) Penyedia ETP yang memiliki total ekuitas di bawah Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menyampaikan rencana penambahan kekurangan total ekuitas tersebut kepada Bank Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan total ekuitas diatur dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 29 (1) Perusahaan Pialang wajib memelihara total ekuitas sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Perusahaan Pialang yang mengalami kerugian dan mengakibatkan penurunan total ekuitas di bawah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) wajib memenuhi kekurangan total ekuitas tersebut paling lambat 2 (dua) tahun sejak penurunan total ekuitas. (3) Perusahaan Pialang yang memiliki total ekuitas di bawah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menyampaikan rencana penambahan kekurangan total ekuitas tersebut kepada Bank Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan total ekuitas diatur dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 23 - Bagian Kedua Konektivitas dengan Sistem Bank Indonesia Pasal 30 Sistem Elektronik Penyelenggara Transaksi wajib terkoneksi dengan sistem Bank Indonesia dan/atau infrastruktur lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bagian Ketiga Kewajiban Terkait Data Transaksi Pasal 31 (1) Penyelenggara Transaksi wajib mengelola, memproses, dan menyimpan data transaksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Penyelenggara Transaksi wajib menjaga kerahasiaan data transaksi yang dilakukan oleh Pengguna Jasa. (3) Penyelenggara Transaksi wajib menyediakan dan/atau memastikan tersedianya akses serta memberikan data transaksi untuk kepentingan pengawasan dan/atau penegakan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Penyelenggara Transaksi wajib memelihara dan mendokumentasikan basis data transaksi dan/atau rekaman percakapan yang dapat didengar dan/atau dibaca ulang oleh Bank Indonesia dengan jangka waktu retensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Bagian Keempat Prinsip Kehati-hatian dan Manajemen Risiko Pasal 32 (1) Penyelenggara Transaksi wajib menerapkan prinsip kehati- hatian dan manajemen risiko secara efektif. - 24 - (2) Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas: a. pedoman etika bisnis sebagai Penyelenggara Transaksi atau pedoman lain yang sejenis; b. transparansi dan keterbukaan informasi; c. mekanisme penyelesaian sengketa; dan d. perlindungan konsumen. (3) Dalam menerapkan manajemen risiko yang efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara Transaksi wajib memiliki: a. perencanaan keberlangsungan bisnis; b. rencana pemulihan bencana; dan c. jaringan komunikasi yang memenuhi prinsip kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan. (4) Selain menerapkan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Penyelenggara Transaksi yang menggunakan Sistem Elektronik wajib menerapkan manajemen risiko terkait teknologi informasi. (5) Penyelenggara Transaksi wajib memiliki buku pedoman. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko diatur dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Kelima Pelaporan Pasal 33 (1) Penyelenggara Transaksi wajib menyampaikan laporan berkala dan laporan insidental kepada Bank Indonesia. (2) Laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. laporan transaksi bulanan; b. laporan keuangan triwulanan; c. laporan keuangan tahunan yang telah diaudit; dan d. laporan audit sistem. - 25 - (3) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas kewajiban penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2). (4) Penyelenggara Transaksi berupa Systematic Internalisers dan Penyelenggara Bursa dikecualikan dari kewajiban penyampaian laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c. (5) Penyelenggara Transaksi berupa Perusahaan Pialang yang hanya menggunakan sarana pelaksanaan transaksi TTIS dikecualikan dari kewajiban penyampaian laporan audit sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d. (6) Laporan Penyelenggara Transaksi disampaikan secara offline dalam hal sistem pelaporan secara online belum tersedia. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan Penyelenggara Transaksi diatur dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Keenam Larangan Pasal 34 (1) Penyelenggara Transaksi dilarang: a. memberikan jasa di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang tidak sesuai dengan izin Bank Indonesia; b. memberikan saran dan/atau nasihat investasi; c. melakukan transaksi atas namanya sendiri dan/atau dananya sendiri; d. melakukan transaksi atas nama pemegang saham dan/atau dana pemegang saham; e. melakukan penyelesaian transaksi atau setelmen untuk Pengguna Jasa; f. memberikan informasi nama Pengguna Jasa sebelum transaksi disepakati; dan/atau - 26 - g. melakukan publikasi atas informasi yang bukan didasarkan atas informasi Pengguna Jasa yang akan melakukan transaksi. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk Systematic Internalisers. Pasal 35 Pemegang Saham Pengendali pada 1 (satu) Penyelenggara Transaksi dilarang menjadi Pemegang Saham Pengendali pada Penyelenggara Transaksi lainnya. BAB VII PENGAWASAN Pasal 36 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Penyelenggara Transaksi. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengawasan tidak langsung; dan/atau b. pemeriksaan. (3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas lain yang berwenang. (4) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. (5) Pihak lain yang ditugaskan melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperoleh dari hasil pemeriksaan. (6) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap penyedia teknologi yang melakukan kerja sama dengan Penyelenggara Transaksi. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan diatur dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 27 - Pasal 37 (1) Bank Indonesia melakukan evaluasi atas izin yang diberikan kepada Penyelenggara Transaksi berdasarkan hasil pengawasan dan informasi dari otoritas lain. (2) Bank Indonesia dapat melakukan pencabutan izin Penyelenggara Transaksi berdasarkan hasil evaluasi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria pencabutan izin berdasarkan hasil evaluasi Bank Indonesia diatur dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 38 Bank Indonesia dapat meminta data dan/atau informasi yang diperlukan kepada Penyelenggara Transaksi untuk kepentingan perizinan, pengawasan, dan/atau evaluasi izin. BAB VIII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 39 (1) Pihak yang menyediakan teknologi dan menyelenggarakan sarana pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing tanpa memiliki izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Pelaku Pasar yang melakukan pelanggaran atas larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Pihak lain yang ditugaskan melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) yang melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. (4) Penyelenggara Transaksi yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 21 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 30, Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), - 28 - Pasal 32 ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 33 ayat (1), dan/atau Pasal 34 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. (5) Penyelenggara Transaksi yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa teguran tertulis untuk: a. pelanggaran ketentuan yang sama sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun kalender; atau b. pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sebanyak 5 (lima) kali dalam jangka waktu 1 (satu) tahun kalender, dikenai sanksi penghentian sementara atas kegiatan sebagai Penyelenggara Transaksi. (6) Penyelenggara Transaksi dikenai sanksi pencabutan izin apabila tidak melaksanakan sanksi penghentian sementara atas kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 40 (1) Penyelenggara Transaksi yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan total ekuitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan/atau Pasal 29 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Penyelenggara Transaksi yang tetap tidak memenuhi kewajiban pemenuhan total ekuitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dan/atau Pasal 29 ayat (2) dikenai sanksi pencabutan izin. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi bagi Penyelenggara Transaksi yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan total ekuitas diatur dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 29 - Pasal 41 (1) Pemegang Saham Pengendali yang melakukan pelanggaran atas larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban Pemegang Saham Pengendali untuk mengalihkan sahamnya hingga menjadi Pemegang Saham Pengendali pada 1 (satu) Penyelenggara Transaksi. (3) Pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak Pemegang Saham Pengendali dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali tidak melaksanakan pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia mengenakan sanksi penghentian sementara atas kegiatan Penyelenggara Transaksi yang dikendalikan oleh Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali tidak melakukan pengalihan saham dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak pengenaan sanksi penghentian sementara, Bank Indonesia mencabut izin Penyelenggara Transaksi yang dikendalikan oleh Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi bagi Pemegang Saham Pengendali diatur dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 42 (1) Izin sebagai Perusahaan Pialang yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku. - 30 - (2) Perusahaan Pialang yang telah memiliki izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memelihara total ekuitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1). (3) Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang memiliki total ekuitas di bawah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) wajib memenuhi kekurangan total ekuitas dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Peraturan Bank Indonesia ini berlaku. (4) Kepemilikan warga negara asing dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dikecualikan bagi Perusahaan Pialang yang telah memiliki izin dari Bank Indonesia sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku. (5) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak berlaku dalam hal Perusahaan Pialang melakukan aksi korporasi. (6) Pemegang saham yang telah menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih dari 1 (satu) Perusahaan Pialang pada saat Peraturan Bank Indonesia ini berlaku tetap dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali pada Perusahaan Pialang tersebut. (7) Pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali pada Penyelenggara Transaksi lainnya. Pasal 43 (1) Pihak yang menyelenggarakan kegiatan sebagai systematic internalisers dan telah beroperasi pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, tetap dapat melakukan kegiatan penyelenggaraan sarana pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing, sepanjang memenuhi persyaratan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari kalender sejak Peraturan Bank Indonesia ini berlaku. (2) Pihak yang menyelenggarakan kegiatan sebagai penyedia ETP di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dan telah - 31 - beroperasi pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, tetap dapat melakukan kegiatan penyelenggaraan sarana pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing, sepanjang memenuhi persyaratan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Bank Indonesia ini berlaku. (3) Pihak yang menyelenggarakan kegiatan sebagai systematic internalisers dan penyedia ETP yang tidak dapat memenuhi persyaratan perizinan Bank Indonesia dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang melakukan kegiatan penyelenggaraan sarana pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing. Pasal 44 Bagi Perusahaan Pialang yang telah memiliki izin berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/5/PBI/2003 tentang Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing sebagaimana beberapa kali telah diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/44/PBI/2005 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/5/PBI/2003 tentang Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing, untuk kewajiban pelaporan, wajib menyesuaikan dengan ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 45 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/5/PBI/2003 tentang Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4283); b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/20/PBI/2005 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor - 32 - 5/5/PBI/2003 tentang Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 67); dan c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/44/PBI/2005 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/5/PBI/2003 tentang Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 109), dan semua peraturan pelaksanaannya dicabut dan dinyatakan tidak belaku pada tanggal 31 Juli 2019. Pasal 46 Ketentuan yang mengatur mengenai Penyedia ETP dan Systematic Internalisers mulai berlaku pada tanggal 31 Oktober 2019. Pasal 47 Ketentuan yang mengatur mengenai Penyelenggara Bursa mulai berlaku pada tanggal 31 Januari 2020. Pasal 48 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Juli 2019. - 33 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 April 2019 GUBERNUR BANK INDONESIA, TTD PERRY WARJIYO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 April 2019 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, TTD YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 72 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 21/5/PBI/2019 TENTANG PENYELENGGARA SARANA PELAKSANAAN TRANSAKSI DI PASAR UANG DAN PASAR VALUTA ASING I. UMUM Untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui stabilitas moneter yang didukung oleh stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia memerlukan dukungan pasar keuangan yang berintegritas, adil, teratur, transparan, likuid, dan efisien dalam pelaksanaan kebijakan moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. Pasar keuangan yang berintegritas, adil, teratur, transparan, likuid, dan efisien dapat terwujud antara lain dengan adanya infrastruktur pasar keuangan yang andal dan terintegrasi. Salah satu bentuk infrastruktur pasar keuangan yaitu sarana pelaksanaan transaksi yang merupakan tempat terbentuknya harga dan bertemunya Pelaku Pasar. Pihak yang berperan sebagai penyedia teknologi dan penyelenggara sarana pelaksanaan transaksi perlu memperhatikan tata kelola yang baik dan manajemen risiko yang efektif sehingga dapat mendorong terciptanya Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang berintegritas, adil, teratur, transparan, likuid, dan efisien. Perwujudan dari tata kelola yang baik antara lain dengan pemenuhan market code of conduct, perlindungan terhadap Pengguna Jasa, dan peningkatan transparansi harga. - 2 - Sarana pelaksanaan transaksi berkembang dengan pesat seiring dengan meningkatnya kemajuan teknologi. Dampaknya, terdapat beberapa alternatif sarana pelaksanaan transaksi berbasis Sistem Elektronik yang digunakan oleh Pelaku Pasar dalam bertransaksi selain jenis sarana pelaksanaan transaksi yang telah digunakan selama ini. Dengan mempertimbangkan pesatnya perkembangan teknologi dalam sarana penyelenggara transaksi, pentingnya menjaga tata kelola, dan mendorong manajemen risiko yang efektif maka perlu dilakukan pengaturan terhadap Penyelenggara Transaksi dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan “integritas Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing” adalah penyelenggaraan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang berlandaskan nilai kode etik serta kejujuran. Huruf b Yang dimaksud dengan “Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang adil” adalah pasar dengan karakteristik antara lain praktik perdagangan yang sepatutnya, tidak ada diskriminasi terkait akses kepada fasilitas dan informasi, serta tidak berpihak kepada Pelaku Pasar tertentu. Yang dimaksud dengan “Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang teratur” adalah pasar yang kuat (robust) serta memiliki prosedur dan sistem yang andal sehingga setelmen transaksi dapat terlaksana sekaligus meminimalkan risiko tidak berjalannya pasar dengan baik (market failure). Salah satu wujud dari transparansi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yaitu adanya keterbukaan informasi harga, nilai tukar, dan/atau suku bunga pasar. Indikator dari Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang likuid antara lain kemudahan Pelaku Pasar untuk menjual atau membeli suatu instrumen atau melakukan transaksi di Pasar Uang dan - 3 - Pasar Valuta Asing tanpa memengaruhi harga, nilai tukar, dan/atau suku bunga pasar secara signifikan. Indikator dari Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang efisien antara lain berlangsungnya proses interaksi antara bid-offer secara baik dan kompetitif tanpa adanya hambatan. Huruf c Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “messaging services” adalah alat telekomunikasi yang digunakan sebagai sarana untuk melakukan interaksi dan/atau transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing yang dapat menampilkan data dan informasi keuangan serta dapat diintegrasikan dengan sistem di middle office dan/atau back office yang dimiliki oleh Pengguna Jasa. Middle office antara lain melakukan fungsi pengukuran dan pengawasan risiko transaksi. Back office antara lain melakukan fungsi setelmen, kliring, pemeliharaan rekaman, akuntansi, dan/atau jasa teknologi informasi. Huruf b Fitur dari TTIS antara lain multiline, panggilan cepat, konferensi, handsfree, riwayat panggilan, buku telepon, dan voice broker. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. - 4 - Huruf b Contoh memublikasikan order melalui ETP yaitu melakukan input jual dan/atau beli pada tingkat harga, nilai tukar, dan/atau suku bunga (bid-offer) dengan volume tertentu yang disampaikan oleh Pelaku Pasar secara langsung dan/atau tidak langsung melalui Perusahaan Pialang. Contoh memublikasikan kuotasi melalui ETP yaitu melakukan input penawaran harga, nilai tukar, dan/atau suku bunga (bid-offer) dengan volume tertentu kepada Pelaku Pasar lainnya yang dilakukan secara langsung oleh Pelaku Pasar dan/atau tidak langsung melalui Perusahaan Pialang. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “pelaksanaan negosiasi” adalah proses tawar-menawar antar-Pelaku Pasar terhadap harga, nilai tukar, dan/atau suku bunga atas instrumen atau transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing. Huruf b Yang dimaksud dengan “pelaksanaan konfirmasi transaksi” adalah proses penegasan, pengesahan, atau pembenaran atas transaksi yang dilakukan oleh para Pelaku Pasar yang melakukan transaksi. Huruf c Yang dimaksud dengan “pelaksanaan eksekusi transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing” adalah kesepakatan transaksi jual beli di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing pada tingkat harga, nilai tukar, dan/atau suku bunga dengan volume tertentu sebelum dilakukan tahapan setelmen berupa perpindahan dana atau instrumen keuangan. Huruf d Yang dimaksud dengan “pelaksanaan lelang secara langsung” adalah Pelaku Pasar melakukan input sendiri atas penawaran (bidding) harga, nilai tukar, dan/atau suku bunga pada sarana pelaksanaan transaksi. Yang dimaksud dengan “pelaksanaan lelang secara tidak langsung” adalah Pelaku Pasar meminta pihak lain seperti Perusahaan Pialang untuk melakukan input penawaran - 5 - (bidding) harga, nilai tukar, dan/atau suku bunga atas nama Pelaku Pasar tersebut ke dalam suatu sarana pelaksanaan transaksi. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “persetujuan prinsip” adalah persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian sebagai calon Penyelenggara Transaksi. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Rencana pengembangan jenis produk mencakup pengembangan jenis instrumen dan/atau transaksi. - 6 - Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “infrastruktur yang andal dan aman” antara lain Sistem Elektronik dengan jumlah unit atau kapasitas yang cukup dan teknologi yang tidak obsolet. Huruf e Pemenuhan persyaratan integritas, kompetensi, dan/atau aspek keuangan bagi Pemegang Saham Pengendali, anggota dewan komisaris, dan anggota direksi dilakukan antara lain melalui penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Bank Indonesia, serta mempertimbangkan hasil penilaian otoritas lain dan rekam jejak. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. - 7 - Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh kepemilikan langsung dan tidak langsung yaitu: PT “ABC” dimiliki oleh PT “X” sebesar 30% (tiga puluh persen), PT “Y” sebesar 20% (dua puluh persen), dan PT “Z” sebesar 50% (lima puluh persen). PT “X” dimiliki oleh PT “QRS” sebesar 40% (empat puluh persen). Kepemilikan PT “X” pada PT. “ABC” dikategorikan sebagai kepemilikan secara langsung, sedangkan kepemilikan PT “QRS” pada PT “ABC” dikategorikan sebagai kepemilikan secara tidak langsung. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “persetujuan prinsip” adalah persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian sebagai calon Penyelenggara Transaksi. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. - 8 - Huruf d Rencana bisnis juga dapat mencakup rencana pengembangan sistem dan aspek lainnya. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “infrastruktur yang andal dan aman” antara lain Sistem Elektronik dan/atau perangkat komunikasi dengan jumlah unit atau kapasitas yang cukup dan teknologi yang tidak obsolet. Huruf e Pemenuhan persyaratan integritas, kompetensi, dan/atau aspek keuangan bagi Pemegang Saham Pengendali, anggota dewan komisaris, dan anggota direksi dilakukan antara lain melalui penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Bank Indonesia, serta mempertimbangkan hasil penilaian otoritas lain dan rekam jejak. Huruf f Yang dimaksud dengan “sumber daya manusia yang kompeten” antara lain telah memiliki sertifikat tresuri untuk sumber daya manusia yang bertindak sebagai dealer sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sertifikasi tresuri. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. - 9 - Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh kepemilikan langsung dan tidak langsung yaitu: PT “ABC” dimiliki oleh PT “X” sebesar 30% (tiga puluh persen), PT “Y” sebesar 20% (dua puluh persen), dan PT “Z” sebesar 50% (lima puluh persen). PT “X” dimiliki oleh PT “QRS” sebesar 40% (empat puluh persen). Kepemilikan PT “X” pada PT “ABC” dikategorikan sebagai kepemilikan secara langsung, sedangkan kepemilikan PT “QRS” pada PT “ABC” dikategorikan sebagai kepemilikan secara tidak langsung. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “infrastruktur yang andal dan aman” antara lain Sistem Elektronik dengan jumlah unit atau kapasitas yang cukup dan teknologi yang tidak obsolet. Huruf c Yang dimaksud dengan “sumber daya manusia yang - 10 - kompeten” antara lain telah memiliki sertifikasi tresuri untuk sumber daya manusia yang bertindak sebagai dealer sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sertifikasi tresuri. Huruf d Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah Otoritas Jasa Keuangan. Huruf e Yang dimaksud dengan “rencana bisnis” adalah rencana bisnis terkait dengan penyelenggara sarana pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing. Rencana bisnis juga dapat mencakup rencana pengembangan jenis produk yang terdiri atas instrumen dan/atau transaksi, rencana pengembangan sistem, dan aspek lainnya, yang terkait transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing. Huruf f Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah Otoritas Jasa Keuangan. Huruf g Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah Otoritas Jasa Keuangan. Huruf h Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah Otoritas Jasa Keuangan. Huruf i Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “infrastruktur yang andal dan aman” antara lain Sistem Elektronik dengan jumlah unit atau - 11 - kapasitas yang cukup dan teknologi yang tidak obsolet. Huruf c Kondisi finansial yang sehat antara lain dibuktikan dengan hasil audit kantor akuntan publik. Huruf d Yang dimaksud dengan “rencana bisnis” adalah rencana bisnis terkait dengan penyelenggara sarana pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing. Rencana bisnis juga dapat mencakup rencana pengembangan sistem, yang terkait transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing. Huruf e Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi. Huruf f Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi. Huruf g Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Huruf a Contoh melakukan perubahan atas layanan yaitu: Perusahaan Pialang yang menyediakan sarana pelaksanaan transaksi berupa TTIS akan menambah sarana pelaksanaan transaksi berupa ETP untuk transaksi spot. Kombinasi sarana pelaksanaan transaksi berupa TTIS dan ETP tersebut merupakan model bisnis hybrid. Huruf b Contoh melakukan perubahan atas jenis instrumen dan/atau transaksi yaitu: - 12 - Penyedia ETP yang menyelenggarakan transaksi spot dengan sistem multilateral akan menambah layanannya untuk transaksi swap dengan sistem multilateral. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “rencana bisnis” adalah rencana bisnis terkait dengan penyelenggara sarana pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Persyaratan integritas, kompetensi, dan/atau aspek keuangan bagi Pemegang Saham Pengendali dilakukan antara lain melalui penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Bank Indonesia, serta mempertimbangkan hasil penilaian otoritas lain dan rekam jejak. - 13 - Pasal 23 Ayat (1) Ketentuan yang dipenuhi terkait perubahan nama badan usaha antara lain adanya persetujuan dalam rapat umum pemegang saham. Ayat (2) Persyaratan integritas, kompetensi, dan/atau aspek keuangan bagi anggota dewan komisaris dan/atau anggota direksi dilakukan antara lain melalui penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Bank Indonesia, serta mempertimbangkan hasil penilaian otoritas lain dan rekam jejak. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Contoh pembatasan jenis instrumen dan/atau transaksi yaitu: Penyelenggara Transaksi berupa Penyedia ETP menyediakan sistem multilateral untuk transaksi spot. Selanjutnya, Penyedia ETP mengajukan permohonan persetujuan kepada Bank Indonesia untuk menambah jenis transaksi yang dapat diselenggarakan yaitu untuk menyelenggarakan transaksi repurchase agreement (repo). Berdasarkan hal tersebut, Bank Indonesia dapat menolak permohonan perluasan izin tersebut. Huruf c Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. - 14 - Pasal 26 Ayat (1) Huruf a Instrumen moneter antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI) termasuk SBI dengan prinsip syariah, Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI), dan Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI) dalam valuta asing. Huruf b Transaksi di Pasar Uang antara lain transaksi di Pasar Uang Antar Bank (PUAB), Pasar Uang Antar Bank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS), dan jenis transaksi lainnya yang telah distandardisasi antara lain dari aspek tenor, minimum volume dan/atau kelipatan volume, dan tanggal setelmen. Huruf c Transaksi di Pasar Valuta Asing termasuk juga jenis transaksi yang telah distandardisasi antara lain dari aspek tenor, minimum volume dan/atau kelipatan volume, dan tanggal setelmen. Transaksi spot mencakup transaksi today dan tomorrow. Huruf d Instrumen Pasar Uang antara lain transaksi jual beli sertifikat deposito (negotiable certificate of deposit) dan surat berharga komersial (commercial paper) berbentuk scripless. Transaksi di Pasar Valuta Asing antara lain derivatif valuta asing terhadap rupiah yang merupakan transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai tukar valuta asing terhadap rupiah serta suku bunga valuta asing dan rupiah atau gabungan antarturunan dari nilai tukar valuta asing terhadap rupiah. Huruf e Instrumen dan/atau transaksi keuangan lainnya antara lain currency futures dan/atau interest rate futures serta transaksi Surat Berharga Negara dengan mengacu pada ketentuan otoritas terkait. Ayat (2) Cukup jelas. - 15 - Pasal 27 Ayat (1) Huruf a Contoh menyampaikan informasi dalam hal dikenakan sanksi yaitu: Penyelenggara Transaksi yang merupakan perusahaan global dan beroperasi di berbagai negara pada suatu waktu diberi sanksi oleh otoritas negara lain maka Penyelenggara Transaksi tersebut wajib melaporkan hal tersebut kepada Bank Indonesia. Huruf b Perjanjian pertukaran informasi dengan pihak lain atau kewajiban penyampaian informasi kepada otoritas lain meliputi data transaksi domestik. Contoh penyampaian informasi kepada otoritas lain yaitu: Penyelenggara Transaksi berupa Penyedia ETP yang merupakan perusahaan global dan beroperasi di berbagai negara melaporkan seluruh transaksi yang terjadi dalam ETP termasuk transaksi di pasar domestik kepada otoritas negara lain maka Penyelenggara Transaksi wajib melaporkan hal tersebut kepada Bank Indonesia. Huruf c Yang dimaksud dengan “manipulasi pasar” antara lain: 1. layering and spoofing, yaitu memasukkan penawaran secara berulang pada satu sisi (bid atau offer) untuk selanjutnya melakukan eksekusi transaksi atas sisi yang berlawanan; 2. manipulation of benchmarks, yaitu mengirimkan informasi palsu atau menyesatkan, melakukan input yang salah atau menyesatkan, atau aktivitas setara lainnya dengan sengaja untuk memanipulasi perhitungan benchmark harga, suku bunga, atau nilai tukar; 3. momentum ignition, yaitu memasukkan order atau order berseri yang bertujuan memulai atau memperburuk tren dan mendorong Pelaku Pasar mengakselerasi atau - 16 - memperpanjang tren sehingga menciptakan kesempatan atau peluang bagi Pelaku Pasar tersebut untuk melakukan unwind atau membuka posisi pada tingkat harga yang diinginkan; 4. price flashing, yang merupakan salah satu bentuk strategi manipulasi yang serupa dengan spoofing, antara lain melakukan distribusi harga atau order ke dalam suatu ETP dalam jangka waktu singkat pada frekuensi tertentu dimana risiko eksekusi minimal atau tidak ada dan memberikan kesan yang keliru terkait harga dan likuiditas di pasar; atau 5. quote stuffing, yaitu Pelaku Pasar memasukkan sejumlah besar pesanan dan/atau pembatalan atau pembaruan pesanan sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi Pelaku Pasar lainnya, memperlambat proses transaksi, dan untuk menyamarkan strategi mereka sendiri. Huruf d Kejadian yang berpotensi memengaruhi kelancaran operasional antara lain: 1. Penyelenggara Transaksi melakukan pemeliharaan sistem dan/atau jaringan Sistem Elektronik; dan/atau 2. Penyelenggara Transaksi mengalami gangguan koneksi dan/atau serangan virus, sehingga mengganggu layanan kepada Pengguna Jasa. Huruf e Contoh penghentian sementara yaitu Penyelenggara Transaksi melakukan penghentian sementara layanan transaksi melalui ETP untuk pemulihan ETP. Huruf f Contoh perselisihan yaitu Penyelenggara Transaksi melakukan penghentian sementara layanan terhadap salah satu Pengguna Jasa dan Pengguna Jasa tersebut mengajukan keberatan dan/atau gugatan kepada Penyelenggara Transaksi. Huruf g Cukup jelas. - 17 - Ayat (2) Contoh tidak dapat menjalankan fungsi atau berhalangan tetap antara lain meninggal dunia, mengalami cacat fisik, cacat mental, dan/atau kondisi lain yang tidak memungkinkan yang bersangkutan untuk melakukan tugasnya dengan baik. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “total ekuitas” antara lain modal disetor ditambah dengan saldo laba (rugi) beserta komponen total ekuitas lainnya. Ayat (2) Penurunan total ekuitas antara lain total ekuitas sebagaimana tercatat dalam laporan keuangan terakhir Penyedia ETP. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “total ekuitas” antara lain modal disetor ditambah dengan saldo laba (rugi) beserta komponen total ekuitas lainnya. Ayat (2) Penurunan total ekuitas antara lain total ekuitas sebagaimana tercatat dalam laporan keuangan terakhir Perusahaan Pialang. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. - 18 - Pasal 30 Sistem Bank Indonesia antara lain Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah (Sismontavar). Infrastruktur lain yang ditetapkan Bank Indonesia antara lain central counterparty (CCP). Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Basis data merupakan sekumpulan data komprehensif dan tersusun secara sistematis, dapat diakses oleh Pengguna Jasa sesuai dengan kewenangan masing-masing, dan dikelola oleh administrator basis data. Ketentuan yang mengatur mengenai jangka waktu retensi antara lain Undang-Undang yang mengatur mengenai dokumen perusahaan. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Salah satu bentuk pedoman etika bisnis yang dapat diacu yaitu market code of conduct yang diterbitkan oleh komite pasar antara lain Indonesia Foreign Exchange Market Committee (IFEMC) dan/atau Bank for International Settlement (BIS). Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. - 19 - Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “perencanaan keberlangsungan bisnis” adalah kebijakan dan prosedur yang memuat rangkaian kegiatan yang terencana dan terkoordinasi mengenai langkah pengurangan risiko, penanganan dampak gangguan atau bencana, dan proses pemulihan agar kegiatan operasional Penyelenggara Transaksi dan pelayanan kepada Pengguna Jasa tetap dapat berjalan. Huruf b Yang dimaksud dengan “rencana pemulihan bencana” adalah dokumen yang berisikan rencana dan langkah untuk menggantikan dan/atau memulihkan kembali akses data, perangkat keras, dan perangkat lunak yang diperlukan, agar Penyelenggara Transaksi dapat menjalankan kegiatan operasional yang kritikal setelah adanya gangguan dan/atau bencana. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Manajemen risiko terkait teknologi informasi antara lain manajemen risiko keamanan siber (cyber security). Ayat (5) Buku pedoman berisi antara lain aturan mengenai transparansi dan keterbukaan informasi, mekanisme penyelesaian sengketa, tata cara pendaftaran Pengguna Jasa, penghentian layanan kepada Pengguna Jasa, dan struktur biaya yang dikenakan kepada Pengguna Jasa. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. - 20 - Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Termasuk dalam pengawasan Bank Indonesia antara lain pengawasan terhadap sarana pelaksanaan transaksi yang digunakan oleh Penyelenggara Transaksi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pihak lain yang ditugaskan antara lain auditor independen yang memiliki sertifikasi dan kompetensi di bidang keuangan dan/atau teknologi informasi. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Hasil pengawasan yang digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan evaluasi atas izin antara lain: a. implementasi rencana bisnis; b. komitmen Penyelenggara Transaksi pada pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing di Indonesia; dan/atau c. aspek lain yang diperlukan. Ayat (2) Cukup jelas. - 21 - Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Contoh pengenaan sanksi terkait Pemegang Saham Pengendali yang melakukan pelanggaran yaitu: PT “ABC” menjadi Pemegang Saham Pengendali pada PT “PPU” (Penyelenggara Transaksi berupa Perusahaan Pialang). Kemudian, PT “ABC” membeli saham PT “ETP” (Penyelenggara Transaksi berupa Penyedia ETP) dan sekaligus menjadi Pemegang Saham Pengendali PT “ETP”. Berdasarkan hal tersebut, Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Ayat (2) Contoh tidak menghilangkan kewajiban Pemegang Saham Pengendali yaitu: PT “ABC” harus mengalihkan kepemilikan sahamnya di PT “PPU” atau PT “ETP” sehingga PT “ABC” hanya menjadi Pemegang Saham Pengendali pada 1 (satu) Penyelenggara Transaksi. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh pengenaan sanksi terkait tidak melaksanakan pengalihan saham yaitu: PT “ABC” menjadi Pemegang Saham Pengendali pada PT “PPU” dan PT “ETP” dan tidak melakukan pengalihan saham dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak mendapatkan teguran tertulis maka - 22 - Bank Indonesia mengenakan sanksi penghentian sementara kegiatan PT “PPU” dan PT “ETP”. Ayat (5) Contoh pencabutan izin usaha terkait tidak melakukan pengalihan saham yaitu: PT “ABC” menjadi Pemegang Saham Pengendali pada PT “PPU” dan PT “ETP” dan tidak melakukan pengalihan saham dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dikenakan sanksi penghentian sementara maka Bank mencabut izin PT “PPU” dan PT “ETP” sebagai Penyelenggara Transaksi. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6336
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 21/5/PBI/2019 </reg_id> <reg_title> PENYELENGGARA SARANA PELAKSANAAN TRANSAKSI DI PASAR UANG DAN PASAR VALUTA ASING </reg_title> <set_date> 26 April 2019 </set_date> <effective_date> 31 Juli 2019 </effective_date> <issued_date> 29 April 2019 </issued_date> <replaced_reg> '5/5/PBI/2003', '7/20/PBI/2005', '7/44/PBI/2005' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 8/8/PBI/2006 TENTANG PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/1/PBI/2001 TANGGAL 4 JANUARI 2001 TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/16/PBI/2003 TANGGAL 28 AGUSTUS 2003 BESERTA PERATURAN PELAKSANAANNYA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004, Bank Indonesia tidak diperkenankan lagi memberikan Kredit Likuiditas Bank Indonesia termasuk penerusan yang berasal dari luar negeri; b. bahwa untuk pemanfaatan dana relending Proyek Kredit Mikro yang ada di Bank Indonesia dan pengelolaan baki debet pinjaman yang ada pada lembaga peserta atau debitur, Bank Indonesia dan Pemerintah telah sepakat mengalihkan pengelolaan Proyek Kredit Mikro kepada PT Bank Mandiri (persero) Tbk; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, Bank Indonesia perlu mencabut ketentuan mengenai Proyek Kredit Mikro sebagaimana diatur ….. pula pinjaman - 2 - diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/1/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001 tentang Proyek Kredit Mikro sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/16/PBI/2003 tanggal 28 Agustus 2003 beserta peraturan pelaksanaannya; Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/1/PBI/2001 TANGGAL 4 JANUARI 2001 TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/16/PBI/2003 TANGGAL 18 AGUSTUS 2003 BESERTA PERATURAN PELAKSANAANYA. Pasal 1 Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/1/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001 tentang Proyek Kredit Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4071) sebagaimana telah ….. - 3 - telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/16/PBI/2003 tanggal 28 Agustus 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4318) beserta peraturan pelaksanaannya yaitu Surat Edaran Nomor 3/3/BKr tanggal 16 Januari 2001 tentang Proyek Kredit Mikro sebagaimana telah diubah terakhir dengan Surat Edaran Nomor 3/22/BKr tanggal 16 Oktober 2001 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 9 Mei 2006. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 9 Mei 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 40 BKr
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 8/8/PBI/2006 </reg_id> <reg_title> PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/1/PBI/2001 TANGGAL 4 JANUARI 2001 TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/16/PBI/2003 TANGGAL 28 AGUSTUS 2003 BESERTA PERATURAN PELAKSANAANNYA </reg_title> <set_date> 9 Mei 2006 </set_date> <effective_date> 9 Mei 2006 </effective_date> <replaced_reg> '3/3/BKr|SE-BI/2001', '3/22/BKr|SE-BI/2001', '5/16/PBI/2003', '3/1/PBI/2001' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/10/PBI/2009 TENTANG UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan jasa perbankan syariah kepada masyarakat diperlukan jumlah kantor bank syariah yang semakin banyak yang dapat menjangkau masyarakat secara luas termasuk memperkuat keberadaan unit usaha syariah pada bank umum konvensional; b. bahwa unit usaha syariah harus berkembang secara sehat dan dikelola secara profesional sehingga diperlukan dukungan dari manajemen dan modal yang cukup agar dapat tumbuh secara sehat dan tangguh (sustainable); c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b maka diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai unit usaha syariah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti … -2- Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901) sebagaimana telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG UNIT USAHA SYARIAH. BAB I … -3- BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disebut BUK adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, termasuk kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri; 2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut BUS adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; 3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja dari BUK yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah; 4. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan syariah berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia; 5. Kantor Cabang Syariah yang selanjutnya disebut KCS adalah kantor cabang UUS yang bertanggung jawab kepada UUS yang bersangkutan … -4- bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KCS tersebut melakukan usahanya, termasuk kantor cabang pembantu syariah dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri; 6. Kantor di bawah Kantor Cabang Syariah adalah kantor cabang pembantu syariah dan kantor kas syariah; 7. Kantor Cabang Pembantu Syariah yang selanjutnya disebut KCPS adalah kantor cabang pembantu UUS yang kegiatan usahanya membantu KCS induknya, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KCPS tersebut melakukan usahanya, termasuk kantor di bawah kantor cabang pembantu syariah atau kantor kas syariah dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri; 8. Kantor Kas Syariah yang selanjutnya disebut sebagai KKS adalah kantor kas UUS yang kegiatan usahanya membantu KCS atau KCPS induknya, kecuali memberikan pembiayaan, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KKS tersebut melakukan usahanya; 9. Layanan Syariah yang selanjutnya disebut LS adalah kegiatan penghimpunan dana, pembiayaan dan pemberian jasa perbankan lainnya berdasarkan Prinsip Syariah yang dilakukan di kantor cabang konvensional atau kantor cabang pembantu konvensional untuk dan atas nama KCS pada bank yang sama; 10. Kegiatan Perbankan Elektronis adalah kegiatan pelayanan jasa bank syariah yang dilakukan dengan menggunakan sarana mesin elektronis yang dimanfaatkan untuk pembayaran melalui pemindahbukuan, transfer antar bank dan/atau memperoleh informasi … -5- informasi mengenai saldo/mutasi rekening nasabah, antara lain termasuk internet banking dan mobile banking; 11. Kegiatan Pelayanan Kas Syariah adalah kegiatan kas dalam rangka melayani pihak yang telah menjadi nasabah UUS meliputi antara lain: a. Kas Keliling yaitu kegiatan pelayanan kas secara berpindah- pindah dengan menggunakan alat transportasi atau pada lokasi tertentu secara tidak permanen antara lain kas mobil, kas terapung atau counter bank non permanen; b. Payment Point yaitu kegiatan dalam bentuk penerimaan pembayaran melalui kerjasama antara BUK yang memiliki UUS dengan pihak lain pada suatu lokasi tertentu, seperti untuk penerimaan pembayaran tagihan telepon, tagihan listrik dan/atau penerimaan setoran dari pihak ketiga; c. Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yaitu kegiatan kas atau non kas yang dilakukan secara elektronis untuk memudahkan nasabah antara lain dalam rangka menarik atau menyetor secara tunai atau melakukan pembayaran melalui pemindahbukuan, transfer antar bank dan/atau memperoleh informasi mengenai saldo/mutasi rekening nasabah, termasuk ATM yang dilakukan dengan pemanfaatan teknologi melalui kerja sama dengan pihak lain; 12. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disebut DPS adalah dewan yang bertugas memberikan nasehat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan UUS agar sesuai dengan Prinsip Syariah; 13. Pejabat … -6- 13. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur UUS dan/atau mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional bank seperti kepala divisi, atau pemimpin KCS; 14. Pemisahan (spin-off) adalah pemisahan usaha dari satu BUK menjadi dua badan usaha atau lebih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 15. Hari adalah hari kalender. BAB II PERIZINAN Bagian Kesatu Pembukaan Unit Usaha Syariah Pasal 2 (1) BUK yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib membuka UUS. (2) Rencana pembukaan UUS harus dicantumkan dalam rencana bisnis BUK. Pasal 3 (1) Pembukaan UUS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk izin usaha. Pasal 4 … -7- Pasal 4 (1) Modal kerja UUS ditetapkan dan dipelihara paling kurang sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah). (2) Modal kerja UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disisihkan dalam bentuk tunai. Bagian Kedua Persetujuan Izin Usaha Pasal 5 (1) Permohonan izin usaha UUS diajukan oleh BUK disertai dengan antara lain: a. rancangan perubahan anggaran dasar yang paling kurang memuat kegiatan usaha UUS; b. identitas dan dokumen pendukung Direktur yang akan bertanggung jawab penuh terhadap UUS, calon anggota DPS dan calon Pejabat Eksekutif; c. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi; dan d. rencana bisnis (business plan) UUS untuk tahun pertama dan jangka menengah. (2) BUK yang mengajukan permohonan izin usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan penjelasan mengenai keseluruhan rencana pembukaan UUS. Pasal 6 … -8- Pasal 6 (1) BUK yang telah mendapat izin usaha UUS wajib melakukan kegiatan usaha paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal izin usaha diberikan. (2) UUS wajib melaporkan pelaksanaan kegiatannya paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan kegiatan usaha. (3) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal izin usaha diberikan BUK belum melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, maka izin usaha yang telah diberikan menjadi tidak berlaku. Pasal 7 BUK yang telah mendapatkan izin usaha UUS wajib mencantumkan secara jelas frase “Unit Usaha Syariah” setelah nama BUK dan logo iB pada kantor UUS yang bersangkutan. BAB III DIREKTUR UNIT USAHA SYARIAH, DEWAN PENGAWAS SYARIAH DAN PEJABAT EKSEKUTIF Bagian Kesatu Direktur Unit Usaha Syariah Pasal 8 (1) Penunjukan dan/atau penggantian Direktur yang bertanggung jawab penuh terhadap UUS (Direktur UUS) wajib dilaporkan oleh BUK paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pengangkatan dan/atau penggantian efektif. (2) Direktur … -9- (2) Direktur UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat merangkap tugas BUK lainnya sepanjang tidak menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest). (3) Direktur UUS wajib memiliki kompetensi dan komitmen dalam pengembangan UUS. (4) Direktur UUS wajib mengikuti proses wawancara. (5) Dalam hal Direktur UUS dinilai kurang memiliki kompetensi dan komitmen dalam pengembangan UUS, maka penunjukan tersebut wajib ditinjau kembali. Bagian Kedua Dewan Pengawas Syariah Pasal 9 (1) BUK yang memiliki UUS wajib membentuk DPS yang berkedudukan di kantor UUS. (2) Anggota DPS harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. integritas, yang paling kurang mencakup: 1. memiliki akhlak dan moral yang baik; 2. memiliki komitmen untuk mematuhi ketentuan perbankan syariah dan ketentuan peraturan perundang- undangan lain yang berlaku; 3. memiliki komitmen terhadap pengembangan perbankan syariah yang sehat dan tangguh (sustainable); dan 4. tidak termasuk dalam Daftar Kepatutan dan Kelayakan (Daftar Tidak Lulus) sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. b. kompetensi … -10- b. kompetensi, yang paling kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah mu’amalah dan pengetahuan di bidang perbankan dan/atau keuangan secara umum; dan c. reputasi keuangan, yang paling kurang mencakup: 1. tidak termasuk dalam daftar kredit macet; dan 2. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi pemegang saham, anggota Dewan Komisaris, atau anggota Direksi suatu perseroan dan/atau anggota pengurus suatu badan usaha yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dan/atau badan usaha dinyatakan pailit, dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan. Pasal 10 (1) DPS bertugas dan bertanggungjawab memberikan nasihat dan saran kepada Direktur UUS serta mengawasi kegiatan UUS agar sesuai dengan Prinsip Syariah. (2) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain: a. menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah dalam pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan UUS; b. mengawasi proses pengembangan produk baru UUS sejak awal sampai dengan dikeluarkannya produk tersebut; c. memberikan opini syariah terhadap produk baru dan/atau pembiayaan yang direstrukturisasi; d. meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional untuk produk baru UUS yang belum ada fatwanya; e. melakukan … -11- e. melakukan review secara berkala atas pemenuhan Prinsip Syariah terhadap mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank; dan f. meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari satuan kerja UUS dalam rangka pelaksanaan tugasnya. (3) Pedoman pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 11 (1) Jumlah anggota DPS paling kurang 2 (dua) orang dan paling banyak 3 (tiga) orang. (2) DPS dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk dari salah satu anggota DPS. (3) Anggota DPS dapat merangkap jabatan sebagai anggota DPS paling banyak pada 4 (empat) lembaga keuangan syariah lain. Pasal 12 (1) Calon anggota DPS wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebelum diangkat dan menduduki jabatannya. (2) Pengajuan calon anggota DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat rekomendasi Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia. Pasal 13 … -12- Pasal 13 (1) Pengangkatan calon anggota DPS wajib dilaporkan oleh UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pengangkatan. (2) Dalam hal calon DPS tidak diangkat oleh rapat umum pemegang saham dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal persetujuan diberikan maka persetujuan terhadap calon anggota DPS dimaksud menjadi tidak berlaku. Pasal 14 Pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota DPS wajib dilaporkan oleh UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah pemberhentian dan/atau pengunduran diri efektif. Bagian Ketiga Pejabat Eksekutif Pasal 15 (1) Pejabat Eksekutif UUS baik yang berasal dari BUK maupun dari sumber lain harus memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. (2) Pengangkatan, penggantian atau pemberhentian Pejabat Eksekutif UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal pengangkatan, penggantian atau pemberhentian efektif. (3) Apabila menurut penilaian dan penelitian Bank Indonesia, Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Daftar Kepatutan dan Kelayakan (Daftar Tidak Lulus) … -13- Lulus), Daftar Kredit Macet atau terdapat informasi lain yang menunjukkan tidak terpenuhinya aspek integritas dan kompetensi, maka pengangkatan Pejabat Eksekutif tersebut wajib dibatalkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia. Bagian Keempat Tenaga Kerja Asing Pasal 16 BUK yang memiliki UUS yang memanfaatkan tenaga kerja asing wajib memenuhi persyaratan dan tata cara pemanfaatan tenaga kerja asing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. BAB IV KEGIATAN USAHA Pasal 17 UUS wajib melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perbankan Syariah dengan menerapkan Prinsip Syariah dan prinsip kehati-hatian. Pasal 18 UUS dapat melakukan kegiatan usaha perbankan syariah dalam bidang devisa dengan izin Bank Indonesia. BAB V… -14- BAB V PEMBUKAAN KANTOR UNIT USAHA SYARIAH Bagian Kesatu Pembukaan Kantor di Dalam Negeri Paragraf 1 Pembukaan Kantor Cabang Syariah Pasal 19 (1) Pembukaan KCS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) Rencana pembukaan KCS harus dicantumkan dalam rencana bisnis UUS. (3) Pembukaan KCS dapat beralamat yang sama dengan kantor cabang atau kantor cabang pembantu BUK, sepanjang memenuhi persyaratan, antara lain: a. terdapat pemisahan kantor antara KCS dengan kantor cabang atau kantor cabang pembantu BUK; dan b. tidak menimbulkan risiko operasional dan risiko reputasi bagi KCS. Pasal 20 (1) UUS wajib melaksanakan pembukaan KCS dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal izin diberikan. (2) Pelaksanaan pembukaan KCS wajib dilaporkan oleh UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan. (3) Dalam hal UUS tidak melaksanakan pembukaan KCS dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal izin diberikan … -15- diberikan maka izin pembukaan KCS yang telah diberikan menjadi tidak berlaku. Paragraf 2 Pembukaan Kantor Dibawah Kantor Cabang Syariah Pasal 21 (1) Pembukaan KCPS dan KKS hanya dapat dilakukan setelah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. (2) Rencana pembukaan KCPS dan KKS harus dicantumkan dalam rencana bisnis UUS. (3) Pembukaan KCPS dan KKS hanya dapat dilakukan dalam satu wilayah kerja kantor Bank Indonesia dimana lokasi KCS induknya berada. (4) Pembukaan KCPS dan KKS dapat bertempat di alamat yang sama dengan kantor BUK dan/atau kantor lain sepanjang memenuhi persyaratan, antara lain: a. terdapat pemisahan kantor antara KCPS dan KKS dengan kantor BUK dan/atau kantor lain; dan b. tidak menimbulkan risiko operasional dan risiko reputasi bagi BUK yang memiliki UUS. (5) Laporan keuangan KCPS dan KKS wajib digabungkan secara otomasi dan online dengan laporan keuangan KCS induknya pada hari yang sama. Pasal 22… -16- Pasal 22 (1) UUS wajib melaksanakan pembukaan KCPS dan KKS dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal penegasan dikeluarkan. (2) Pelaksanaan pembukaan KCPS dan KKS wajib dilaporkan oleh UUS kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan. (3) Dalam hal UUS tidak melaksanakan pembukaan KCPS dan KKS dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal penegasan dikeluarkan maka penegasan pembukaan KCPS dan KKS yang telah diberikan menjadi tidak berlaku. Paragraf 3 Kegiatan Perbankan Elektronik Pasal 23 (1) Kegiatan Perbankan Elektronik hanya dapat dilakukan setelah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. (2) Rencana Kegiatan Perbankan Elektronik harus dicantumkan dalam rencana bisnis UUS. (3) Pelaksanaan Kegiatan Perbankan Elektronik wajib dilaporkan oleh UUS kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan. Paragraf 4 … -17- Paragraf 4 Kegiatan Pelayanan Kas Syariah Pasal 24 (1) Rencana Kegiatan Pelayanan Kas Syariah harus dicantumkan dalam rencana bisnis UUS. (2) Pembukaan, pemindahan alamat dan penutupan Kegiatan Pelayanan Kas Syariah wajib dilaporkan oleh UUS kepada Bank Indonesia secara semesteran untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah akhir bulan laporan. Paragraf 5 Layanan Syariah Pasal 25 (1) Rencana pelaksanaan Layanan Syariah harus dicantumkan dalam rencana bisnis UUS. (2) Layanan Syariah dapat dilaksanakan di kantor cabang atau kantor cabang pembantu BUK dengan persyaratan sebagai berikut: a. lokasi Layanan Syariah berada dalam satu wilayah dengan KCS induknya, yaitu: 1. dalam satu wilayah propinsi; atau 2. dalam satu wilayah kerja kantor Bank Indonesia dalam hal wilayah kerja kantor Bank Indonesia melebihi satu wilayah propinsi; b. menggunakan … -18- b. menggunakan sumber daya manusia yang telah memiliki pengetahuan mengenai produk dan jasa bank syariah; dan c. didukung oleh teknologi sistem informasi yang memadai. (3) Kegiatan Layanan Syariah wajib tercatat secara otomasi dan online dengan laporan keuangan KCS induknya pada hari kerja yang sama. Pasal 26 (1) Pembukaan, pemindahan alamat dan penutupan Kegiatan Layanan Syariah wajib dilaporkan oleh UUS kepada Bank Indonesia secara semesteran untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah akhir bulan laporan. Bagian Kedua Pembukaan Kantor di Luar Negeri Pasal 27 (1) Pembukaan KCS dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) Rencana pembukaan KCS dan jenis-jenis kantor lainnya harus dicantumkan dalam rencana bisnis UUS. (3) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila: a. UUS telah memiliki izin untuk melakukan kegiatan dibidang devisa; dan b. UUS … -19- b. UUS memenuhi persyaratan tingkat kesehatan, kecukupan modal kerja dan profil risiko yang paling kurang moderate. Pasal 28 (1) Pelaksanaan pembukaan KCS dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri wajib dilaporkan oleh UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan. (2) Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah tanggal persetujuan Bank Indonesia diberikan pembukaan kantor di luar negeri belum dilaksanakan, maka UUS wajib memberikan penjelasan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak batas waktu 6 (enam) bulan berakhir. BAB VI PENINGKATAN DAN PENURUNAN STATUS KANTOR UNIT USAHA SYARIAH Pasal 29 Peningkatan status KCPS dan KKS menjadi KCS wajib dilakukan dengan cara memenuhi ketentuan pembukaan KCS. Pasal 30 Penurunan status KCS menjadi KCPS atau KKS wajib dilaporkan oleh UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan. BAB VII … -20- BAB VII PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR UNIT USAHA SYARIAH Bagian Kesatu Pemindahan Alamat Kantor di Dalam Negeri Paragraf 1 Kantor Unit Usaha Syariah dan Kantor Cabang Syariah Pasal 31 (1) Pemindahan alamat kantor UUS dan KCS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) Pemindahan alamat kantor UUS dan KCS harus mempertimbangkan kepentingan nasabah. (3) Rencana pemindahan alamat kantor UUS dan KCS harus dicantumkan dalam rencana bisnis UUS. Pasal 32 (1) Pemindahan alamat kantor UUS dan KCS wajib diumumkan oleh UUS dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan kantor UUS atau KCS paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan pemindahan alamat kantor. (2) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor UUS dan KCS wajib dilaporkan oleh UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pemindahan alamat. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal izin diberikan, UUS tidak melaksanakan pemindahan alamat kantor, maka izin pemindahan kantor UUS atau KCS yang telah diberikan akan ditinjau kembali. Paragraf 2 … -21- Paragraf 2 Kantor Di bawah Kantor Cabang Syariah Pasal 33 (1) Pemindahan alamat KCPS dan KKS hanya dapat dilakukan setelah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. (2) Pemindahan alamat KCPS dan KKS hanya dapat dilakukan dalam satu wilayah kerja kantor Bank Indonesia dimana lokasi KCS induknya berada. (3) Pemindahan alamat KCPS dan KKS harus mempertimbangkan kepentingan nasabah. Pasal 34 (1) Pemindahan alamat KCPS dan KKS wajib diumumkan di lokasi lama oleh UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan. (2) Pelaksanaan pemindahan alamat KCPS atau KKS wajib dilaporkan oleh UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan. Bagian Kedua Pemindahan Alamat Kantor di Luar Negeri Pasal 35 Pelaksanaan pemindahan alamat KCS dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri wajib dilaporkan oleh UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pemindahan alamat. BAB VIII … -22- BAB VIII PENUTUPAN KANTOR UNIT USAHA SYARIAH Bagian Kesatu Penutupan Kantor di Dalam Negeri Paragraf 1 Kantor Cabang Syariah Pasal 36 Penutupan KCS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. Pasal 37 (1) UUS yang telah memperoleh izin penutupan KCS wajib untuk: a. menyelesaikan seluruh kewajiban KCS; b. mengumumkan rencana penutupan KCS dalam surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan KCS paling lambat 3 (tiga) hari sebelum tanggal pelaksanaan penutupan; dan c. menghentikan seluruh kegiatan usaha pada KCS dimaksud. (2) Pelaksanaan penutupan KCS wajib dilaporkan oleh UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan. Paragraf Kedua Kantor Di bawah Kantor Cabang Syariah Pasal 38 Pelaksanaan penutupan KCPS dan KKS wajib dilaporkan oleh UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penutupan. Bagian … -23- Bagian Kedua Penutupan Kantor di Luar Negeri Pasal 39 Pelaksanaan penutupan KCS dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri wajib dilaporkan oleh UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan penutupan. BAB IX PEMISAHAN UNIT USAHA SYARIAH Bagian Kesatu Pemisahan Unit Usaha Syariah Dari Bank Umum Konvensional Pasal 40 (1) BUK yang memiliki UUS wajib memisahkan UUS menjadi BUS apabila: a. nilai aset UUS telah mencapai 50% (lima puluh persen) dari total nilai aset BUK induknya; atau b. paling lambat 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. (2) BUK yang memiliki UUS dapat memisahkan UUS sebelum terpenuhinya kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 41 … -24- Pasal 41 (1) Pemisahan UUS dari BUK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dapat dilakukan dengan cara: a. mendirikan BUS baru; atau b. mengalihkan hak dan kewajiban UUS kepada BUS yang telah ada. (2) Pendirian BUS hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan oleh 1 (satu) atau lebih BUK yang memiliki UUS. (3) Pemisahan UUS dengan cara pengalihan kepada BUS yang telah ada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan kepada BUS yang mempunyai hubungan kepemilikan dengan BUK yang memiliki UUS. (4) BUS hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan BUS penerima Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi paling kurang rasio kewajiban pemenuhan modal minimum (KPMM) minimal 8% (delapan persen). (5) Dalam hal Pemisahan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan BUS hasil Pemisahan atau BUS penerima Pemisahan memiliki rasio Non Performing Financing (NPF) netto lebih dari 5% (lima persen) dan/atau mengakibatkan pelampauan Batas Maksimum Penyaluran Dana, maka BUS hasil Pemisahan atau BUS penerima Pemisahan tersebut wajib menyelesaikannya dalam waktu 1 (satu) tahun. Pasal 42 … -25- Pasal 42 Pemisahan UUS dari BUK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 43 (1) BUK yang tidak melakukan Pemisahan UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) akan dikenakan pencabutan izin usaha UUS. (2) BUK yang memiliki UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyelesaikan hak dan kewajiban UUS dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal pencabutan izin usaha UUS. (3) Dengan dicabutnya izin usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka BUK yang memiliki UUS dilarang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, kecuali dalam rangka penyelesaian hak dan kewajiban UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 44 (1) BUK yang memiliki UUS wajib mengumumkan pencabutan izin usaha UUS dalam surat kabar yang mempunyai peredaran nasional paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal pencabutan izin usaha UUS diberikan. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat paling kurang: a. penghentian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; dan b. penyelesaian… -26- b. penyelesaian seluruh hak dan kewajiban UUS. (3) Penyelesaian seluruh hak dan kewajiban UUS wajib dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah penyelesaian. Bagian Kedua Pemisahan Unit Usaha Syariah Dengan Cara Pendirian Bank Umum Syariah Pasal 45 (1) Pendirian BUS hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) Modal disetor pendirian BUS hasil Pemisahan ditetapkan paling kurang sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus milyar rupiah). (3) Apabila jumlah modal disetor tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka penambahan atas kekurangan modal disetor tersebut harus dilakukan dalam bentuk tunai dan/atau tanah dan gedung yang akan digunakan untuk operasional BUS hasil Pemisahan. (4) Modal disetor BUS hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib ditingkatkan secara bertahap menjadi paling kurang sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu trilyun rupiah) paling lambat 10 (sepuluh) tahun setelah izin usaha BUS diberikan. Pasal 46 … -27- Pasal 46 Pemberian izin pendirian BUS hasil Pemisahan dilakukan dalam 2 (dua) tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian BUS hasil Pemisahan; dan b. izin usaha, yaitu izin yang diberikan setelah BUS hasil Pemisahan siap melakukan kegiatan operasional. Pasal 47 (1) Permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf a diajukan oleh BUK yang memiliki UUS disertai dengan antara lain rancangan akta pendirian BUS hasil Pemisahan, yang memuat paling kurang: a. nama dan tempat kedudukan BUS hasil Pemisahan; b. kegiatan usaha sebagai BUS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. modal disetor paling kurang sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus milyar rupiah); d. ketentuan syarat, jumlah, tugas, kewenangan, tanggung jawab, serta hal lain yang menyangkut Dewan Komisaris, Direksi, dan DPS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; e. ketentuan pengangkatan anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan anggota DPS dengan memperoleh persetujuan Bank Indonesia terlebih dahulu; f. ketentuan rapat umum pemegang saham BUS yang menetapkan tugas manajemen, remunerasi Dewan Komisaris dan … -28- dan Direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan hal-hal lainnya yang ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia; dan g. ketentuan rapat umum pemegang saham yang harus dipimpin oleh Presiden Komisaris atau Komisaris Utama. (2) BUK yang memiliki UUS yang mengajukan permohonan persetujuan prinsip harus memberikan penjelasan mengenai keseluruhan rencana pendirian BUS hasil Pemisahan. Pasal 48 (1) Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip diberikan, BUK yang telah mendapat izin prinsip belum mengajukan izin usaha BUS hasil Pemisahan, maka persetujuan prinsip yang telah diberikan menjadi tidak berlaku. (2) BUK yang memiliki UUS wajib mengumumkan rencana pengalihan hak dan kewajiban UUS dalam surat kabar yang memiliki peredaran nasional paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal persetujuan prinsip diberikan. (3) Pengalihan hak dan kewajiban UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan apabila izin usaha BUS hasil Pemisahan telah diberikan. Pasal 49 Permohonan izin usaha BUS hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf b diajukan oleh BUK yang telah memperoleh persetujuan … -29- persetujuan prinsip disertai dengan antara lain akta pendirian BUS hasil Pemisahan. Pasal 50 (1) BUS hasil Pemisahan wajib melakukan kegiatan usaha paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal izin usaha diberikan. (2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) BUS hasil Pemisahan belum melakukan kegiatan usaha, maka izin usaha yang telah diberikan akan ditinjau kembali. (4) Dalam hal izin usaha BUS hasil Pemisahan dibatalkan, maka seluruh kewajiban UUS wajib diselesaikan oleh BUK yang memiliki UUS paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal izin usaha BUS hasil Pemisahan dibatalkan. Pasal 51 BUK yang memiliki UUS wajib mengajukan permohonan pencabutan izin usaha UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah hak dan kewajiban UUS dialihkan kepada BUS hasil Pemisahan. Bagian … -30- Bagian Ketiga Pemisahan Unit Usaha Syariah Dengan Cara Pengalihan Hak dan Kewajiban Kepada Bank Umum Syariah Pasal 52 (1) Pengalihan hak dan kewajiban UUS kepada BUS penerima Pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Bank Indonesia. (2) Rencana pengalihan wajib diumumkan oleh BUK yang memiliki UUS dalam surat kabar yang memiliki peredaran nasional paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal persetujuan. Pasal 53 (1) BUK yang memiliki UUS wajib mengalihkan hak dan kewajiban UUS kepada BUS paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah persetujuan pengalihan diberikan. (2) Pelaksanaan pengalihan hak dan kewajiban UUS kepada BUS penerima Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan. (3) BUS penerima Pemisahan wajib melaporkan kondisi keuangannya setelah menerima pengalihan hak dan kewajiban UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan. (4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengalihan hak dan kewajiban UUS kepada BUS penerima Pemisahan belum dilakukan, maka persetujuan pengalihan yang telah diberikan akan ditinjau kembali. (5) Dalam … -31- (5) Dalam hal persetujuan pengalihan dibatalkan, maka seluruh kewajiban UUS wajib diselesaikan oleh BUK yang memiliki UUS paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal persetujuan pengalihan dibatalkan. Pasal 54 BUK yang memiliki UUS wajib mengajukan permohonan pencabutan izin usaha UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah hak dan kewajiban UUS dialihkan kepada BUS. BAB XI PENCABUTAN IZIN USAHA UNIT USAHA SYARIAH ATAS PERMINTAAN BANK UMUM KONVENSIONAL Pasal 55 Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha UUS atas permintaan BUK yang memiliki UUS. Pasal 56 (1) BUK yang telah memperoleh persetujuan pencabutan izin usaha UUS wajib untuk: a. menghentikan seluruh kegiatan usaha UUS; b. mengumumkan rencana penghentian kegiatan izin usaha UUS dan rencana penyelesaian kewajiban UUS dalam 2 (dua) surat kabar harian yang salah satunya mempunyai peredaran nasional paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal surat persetujuan pencabutan izin usaha UUS; dan c. menyelesaikan… … -32- c. menyelesaikan seluruh kewajiban BUK yang tercatat dalam laporan keuangan UUS. (2) Pelaksanaan penghentian kegiatan UUS wajib dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penghentian. BAB XII AKUNTANSI Pasal 57 (1) BUK yang memiliki UUS wajib menggunakan teknologi sistem informasi secara otomasi dan online yang dapat memisahkan secara jelas laporan keuangan UUS dengan laporan keuangan BUK. (2) Penyusunan laporan keuangan UUS wajib mengikuti perlakuan akuntansi yang diatur dalam pedoman akuntansi perbankan syariah Indonesia yang berlaku. BAB XIII KANTOR UNIT USAHA SYARIAH TIDAK BEROPERASI PADA HARI KERJA Pasal 58 Rencana kantor UUS untuk tidak beroperasi pada hari kerja wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. Pasal 59 … -33- Pasal 59 (1) UUS wajib mengajukan permohonan persetujuan atas rencana untuk tidak beroperasi pada hari kerja paling lambat 15 (lima belas) hari sebelum tanggal pelaksanaan tidak beroperasi. (2) Rencana kantor UUS untuk tidak beroperasi pada hari kerja wajib diumumkan kepada masyarakat oleh UUS paling lambat 3 (tiga) hari sebelum tanggal tidak beroperasi. BAB XIV PENCANTUMAN STATUS DAN LOGO PADA KANTOR UNIT USAHA SYARIAH Pasal 60 (1) UUS wajib mencantumkan secara jelas nama dan jenis status kantor pada masing-masing kantornya. (2) UUS wajib mencantumkan logo iB pada masing-masing kantor, Layanan Syariah dan Kegiatan Pelayanan Kas Syariah. BAB XV SUMBER DAYA MANUSIA Pasal 61 UUS wajib memelihara dan meningkatkan kompetensi sumber daya manusia yang dimiliki. BAB XVI … -34- BAB XVI SANKSI Pasal 62 (1) BUK yang memiliki UUS yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 8 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), Pasal 9 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 15 ayat (3), Pasal 16, Pasal 19 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), ayat (3) dan ayat (5), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 27 ayat (1),Pasal 29, Pasal 31 ayat (1), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 36, Pasal 37 ayat (1) huruf a dan huruf c, Pasal 40 ayat (1), Pasal 41 ayat (5), Pasal 42, Pasal 43 ayat (2), Pasal 44 ayat (2), Pasal 45 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 48 ayat (3), Pasal 50 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 52 ayat (1), Pasal 53 ayat (1) dan (5), Pasal 56 ayat (1) huruf a dan huruf c, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 60, Pasal 61, dan Pasal 64, dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. (2) BUK yang memiliki UUS yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2), Pasal 8 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 15 ayat (2), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (2), Pasal 23 ayat (3), Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 26, Pasal 28, Pasal 30, Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 34, Pasal 35, Pasal 37 ayat (1) huruf b dan ayat (2), Pasal 38, Pasal 39, Pasal 44 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 48 ayat (2), Pasal 50 ayat (2), Pasal 51, Pasal 52 ayat (2), Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 54, Pasal 56 ayat (1) huruf b dan ayat (2), dan Pasal 59, dapat dikenakan sanksi … -35- sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa: a. teguran tertulis dan denda uang sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja kelambatan untuk setiap laporan dan/atau pengumuman dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah); b. teguran tertulis dan denda uang paling banyak sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) apabila BUK atau UUS tidak menyampaikan laporan dan/atau pengumuman. (3) BUK yang memiliki UUS dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b apabila BUK yang memiliki UUS belum menyampaikan laporan atau BUK yang memiliki UUS tidak menyampaikan laporan secara lengkap, dan/atau belum melaksanakan pengumuman setelah 30 (tiga puluh) hari sejak batas akhir penyampaian laporan dan/atau pengumuman. (4) Pengenaan sanksi teguran tertulis dan kewajiban membayar karena dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menghapus kewajiban BUK yang memiliki UUS untuk menyampaikan laporan dan/atau pelaksanaan pengumuman. (5) Dalam hal penyampaian laporan dan/atau pelaksanaan pengumuman dilakukan secara gabungan maka apabila BUK yang memiliki UUS dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sanksi dimaksud dihitung per jumlah laporan dan/atau … -36- dan/atau pengumuman sebagaimana tercantum dalam laporan/pengumuman gabungan. (6) BUK yang memiliki UUS yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 17 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah berupa pencabutan izin usaha UUS. BAB XVII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 63 UUS yang telah berdiri sebelum berlakunya ketentuan ini ditetapkan telah memiliki izin usaha sebagai UUS berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 64 UUS yang belum memenuhi ketentuan mengenai: a. modal kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1); dan b. ketentuan rangkap jabatan anggota DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3); wajib memenuhi ketentuan dimaksud paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. BAB XVIII … -37- BAB XVIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 65 Ketentuan lebih lanjut mengenai Unit Usaha Syariah diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 66 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/3/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional; b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/7/PBI/2007 tanggal 4 Mei 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/3/PBI/2006 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional; dinyatakan tidak berlaku bagi Unit Usaha Syariah. Pasal 67 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar … -38- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 19 Maret 2009. GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di : Jakarta Pada tanggal : 19 Maret 2009. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 55 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/10/PBI/2009 TENTANG UNIT USAHA SYARIAH UMUM Pembangunan nasional memerlukan kontribusi dan partisipasi dari semua elemen masyarakat. Salah satu bentuk penggalian potensi dan wujud kontribusi masyarakat dalam perekonomian nasional tersebut adalah pengembangan sistem ekonomi berdasarkan Prinsip Syariah dalam perbankan syariah. Untuk meningkatkan layanan perbankan syariah kepada masyarakat diperlukan jaringan kantor yang semakin luas dan menyebar di seluruh wilayah tanah air. Dengan jumlah dan jaringan kantor Bank Umum Syariah yang masih relatif terbatas diperlukan kebijakan pengembangan perluasan jaringan kantor perbankan syariah, antara lain dengan pembukaan Unit Usaha Syariah pada Bank Umum Konvensional. Perluasan dan kemudahan dalam pengembangan jaringan kantor Unit Usaha Syariah pada Bank Umum Konvensional memerlukan pengaturan kelembagaan yang komprehensif dan transparan sehingga dapat menjadi acuan dalam pelaksanaan dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, terdapat beberapa perubahan ketentuan yang terkait Unit Usaha Syariah, antara lain perizinan, kegiatan usaha dan batas waktu perubahan Unit Usaha Syariah menjadi Bank Umum Syariah. Sehubungan dengan perubahan kelembagaan Unit … - 2 - Unit Usaha Syariah tersebut maka perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan Unit Usaha Syariah. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 sampai dengan angka 15 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “izin usaha” adalah izin untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. Pemberian izin usaha UUS oleh Bank Indonesia berdasarkan pada antara lain: a. penilaian terhadap komitmen BUK dalam pendirian UUS; b. analisis terhadap studi kelayakan pendirian UUS; c. analisis yang mencakup antara lain tingkat kejenuhan jumlah BUS dan UUS serta pemerataan pembangunan ekonomi nasional; dan d. wawancara terhadap calon Direktur UUS dan calon anggota DPS. Pasal 4 … - 3 - Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “modal kerja” adalah dana bersih yang ditempatkan BUK pada UUS setelah dikurangi dengan penempatan UUS pada BUK, yang diperlakukan sebagai komponen modal untuk UUS. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “tunai” adalah setoran dalam bentuk kas, bukan dalam bentuk tanah, gedung atau bentuk sejenis lainnya. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Hal-hal yang harus dijelaskan melalui presentasi di Bank Indonesia antara lain: a. tujuan dan alasan pembukaan UUS; b. target pasar penghimpunan dan penyaluran dana; c. rencana bisnis jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang; d. sistem teknologi informasi (IT); dan e. struktur organisasi dan personalia. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Contoh pencantuman frase “Unit Usaha Syariah” adalah PT Bank XYZ Unit Usaha Syariah. Pasal 8 … - 4 - Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Tim pewawancara terhadap Direktur UUS mayoritas berasal dari pihak eksternal Bank Indonesia (independent). Ayat (5) Yang dimaksud dengan “ditinjau kembali” adalah diganti apabila yang bersangkutan dinilai kurang memiliki komitmen dalam pengembangan UUS atau diminta untuk menambah pengetahuan dan pemahaman tentang kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah apabila yang bersangkutan dinilai kurang memiliki kompetensi di bidang perbankan syariah. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 … - 5 - Angka 3 Yang dimaksud dengan “memiliki komitmen” antara lain kesediaan untuk menyediakan waktu yang cukup kepada Bank dalam rangka melaksanakan tugasnya secara efektif. Angka 4 Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Angka 1 Yang dimaksud dengan “daftar kredit macet” adalah daftar kredit macet sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem Informasi Debitur. Angka 2 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penunjukan ketua DPS dapat dilakukan oleh BUK yang memiliki UUS, Direktur UUS atau kesepakatan diantara para anggota DPS. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 … - 6 - Pasal 12 Ayat (1) Persetujuan atas permohonan calon anggota DPS diberikan berdasarkan pada antara lain: a. penilaian terhadap komitmen calon anggota DPS dalam pengawasan kegiatan usaha UUS dan ketersediaan waktu; dan b. wawancara terhadap calon anggota DPS. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS. Ayat (2) Pengangkatan DPS dapat dilakukan oleh Komisaris BUK sepanjang telah diberikan kewenangan oleh rapat umum pemegang saham. Persetujuan Bank Indonesia terhadap anggota DPS berlaku setelah mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham atau Komisaris BUK sepanjang telah diberikan kewenangan oleh rapat umum pemegang saham. Pasal 14 Yang dimaksud dengan tanggal pemberhentian dan/atau pengunduran diri efektif adalah tanggal setelah pemberhentian dan/atau pengunduran diri yang bersangkutan mendapat persetujuan dari rapat umum pemegang saham, serah terima jabatan, atau mekanisme lainnya sebagaimana diatur dalam anggaran dasar. Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS. Pasal 15 … - 7 - Pasal 15 Ayat (1) Salah satu Pejabat Eksekutif UUS adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur UUS. Pejabat Eksekutif UUS yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur UUS tersebut memiliki tingkat jabatan sama dengan pejabat BUK yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur BUK. Ayat (2) Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS. Ayat (3) Yang dimaksud dengan ”informasi lain yang menunjukkan tidak terpenuhinya aspek integritas” antara lain informasi track record yang berasal dari hasil pengawasan Bank Indonesia atau sumber-sumber lainnya. Pasal 16 Yang dimaksud dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Pasal ini antara lain adalah: a. Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan dan aturan-aturan pelaksanaannya; b. Undang-Undang tentang Keimigrasian dan aturan-aturan pelaksanaannya; dan c. Peraturan Bank Indonesia tentang Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan Program Alih Pengetahuan di Sektor Perbankan. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 … - 8 - Pasal 18 Pemberian izin kegiatan dibidang devisa diberikan apabila UUS telah memenuhi persyaratan antara lain: a. memiliki sistem informasi teknologi yang memadai; b. memiliki sumber daya manusia yang memahami aspek syariah dalam kegiatan dibidang devisa; c. memiliki daftar calon nasabah yang akan melakukan kegiatan devisa. Pasal 19 Ayat (1) Persetujuan atas permohonan pembukaan KCS diberikan berdasarkan pada antara lain: a. penilaian terhadap kesiapan operasional KCS; b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh BUK yang memiliki UUS; c. analisis atas kinerja keuangan UUS, termasuk tingkat kesehatan; d. pemenuhan persyaratan modal kerja minimal UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1); dan e. tidak sedang dalam pengawasan intensif, antara lain karena: • • terdapat pelampauan dan/atau pelanggaran Batas Maksimum Penyaluran Dana; rasio Non Performing Financing (NPF) netto diatas 5%; • dalam keadaan rugi yang semakin besar; dan • memiliki peringkat komposit 4 atau 5 dalam penilaian tingkat kesehatan UUS. Ayat (2) … - 9 - Ayat (2) Rencana bisnis UUS harus disajikan dan dilaporkan tersendiri yang dapat merupakan bagian atau lampiran dari rencana bisnis BUK. Ayat (3) Huruf a Pemisahan dimaksudkan agar nasabah dapat membedakan dengan jelas antara kantor syariah dengan kantor konvensional. Pemisahan dapat dilakukan dengan cara antara lain pembedaan warna ruangan, pembuatan sekat (partisi) dan/atau pemisahan ruangan. Huruf b Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Surat penegasan dapat berupa persetujuan atau penolakan yang didasarkan pada antara lain: a. penilaian terhadap kesiapan operasional KCPS atau KKS; b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh BUK yang memiliki UUS; dan c. pemenuhan … - 10 - c. pemenuhan persyaratan modal kerja minimal UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). Ayat (2) Rencana bisnis UUS harus disajikan dan dilaporkan tersendiri yang dapat merupakan bagian atau lampiran dari rencana bisnis BUK. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Pemisahan dimaksudkan agar nasabah dapat membedakan dengan jelas antara kantor syariah dengan kantor konvensional. Pemisahan dapat dilakukan dengan cara antara lain pembedaan warna ruangan, pembuatan sekat (partisi) dan/atau pemisahan ruangan. Yang dimaksud dengan “kantor” adalah antara lain kantor cabang, kantor cabang pembantu dan kantor kas. Yang dimaksud dengan “kantor lain“ adalah kantor dari bank lain atau perusahaan lain. Huruf b Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan ditandatangani oleh Pemimpin KCS. Ayat (3) … - 11 - Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Surat penegasan dapat berupa persetujuan atau penolakan yang didasarkan pada antara lain: a. penilaian terhadap kesiapan sistem teknologi informasi; dan b. penilaian terhadap sistem pengendalian risiko atas Kegiatan Perbankan Elektronik. Ayat (2) Rencana bisnis UUS harus disajikan dan dilaporkan tersendiri yang dapat merupakan bagian atau lampiran dari rencana bisnis BUK. Ayat (3) Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS. Pasal 24 Ayat (1) Tidak termasuk dalam KPKS adalah kegiatan pameran yang dilakukan dalam rangka promosi, tidak bersifat permanen dan hanya menerima setoran awal/titipan kas sesuai persyaratan setoran minimal pembukaan rekening tabungan. Rencana bisnis UUS harus disajikan dan dilaporkan tersendiri yang dapat merupakan bagian atau lampiran dari rencana bisnis BUK. Ayat (2) Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS. Ayat (3) … - 12 - Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Rencana bisnis UUS harus disajikan dan dilaporkan tersendiri yang dapat merupakan bagian atau lampiran dari rencana bisnis BUK. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “teknologi sistem informasi yang memadai” adalah teknologi sistem informasi yang memungkinkan adanya pencatatan transaksi nasabah syariah secara otomasi dan online dan terpisah dengan pencatatan kantor konvensional. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 27 … - 13 - Pasal 27 Ayat (1) Persetujuan atas permohonan pembukaan KCS dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri diberikan berdasarkan pada antara lain: a. penilaian terhadap kesiapan operasional KCS; b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan; dan c. analisis atas kemampuan UUS, tingkat kesehatan, kecukupan modal kerja dan profil risiko. Ayat (2) Rencana bisnis UUS harus disajikan dan dilaporkan tersendiri yang dapat merupakan bagian atau lampiran dari rencana bisnis BUK. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Pembukaan KCS dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat izin dari otoritas di negara setempat. Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 29 Dengan diterbitkannya izin pembukaan KCS maka status kantor UUS berubah dari Kantor Dibawah KCS menjadi KCS tanpa perlu memenuhi ketentuan penutupan Kantor Dibawah KCS. Pasal 30 … - 14 - Pasal 30 Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS. Pasal 31 Ayat (1) Persetujuan atas permohonan izin pemindahan alamat kantor UUS dan KCS diberikan berdasarkan antara lain: a. alasan pemindahan kantor; b. kesiapan operasional kantor UUS dan KCS; dan c. hasil analisis atas kinerja pada lokasi kantor lama dan studi kelayakan usaha pada lokasi kantor yang baru. Ayat (2) Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan antara lain: a. jarak lokasi kantor lama dengan yang baru; b. jumlah nasabah yang telah dibiayai; dan c. infrastruktur penunjang pada lokasi kantor yang baru Ayat (3) Rencana bisnis UUS harus disajikan dan dilaporkan tersendiri yang dapat merupakan bagian atau lampiran dari rencana bisnis BUK. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS. Ayat (3) … - 15 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan “ditinjau kembali” adalah izin pemindahan dibatalkan apabila BUK yang memiliki UUS tidak dapat menyampaikan alasan yang relevan atas keterlambatan pelaksanaan pemindahan kantor atau diperpanjang apabila penundaan disebabkan oleh hal-hal yang tidak dapat dihindari (force majeur) oleh BUK atau pertimbangan lain yang dapat diterima. Pasal 33 Ayat (1) Surat penegasan dapat berupa persetujuan atau penolakan yang didasarkan pada antara lain: a. alasan pemindahan kantor; b. kesiapan operasional kantor KCPS dan KKS; dan c. hasil analisis atas kinerja pada lokasi kantor lama dan studi kelayakan usaha pada lokasi kantor yang baru. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan antara lain: a. jarak lokasi kantor lama dengan yang baru; b. jumlah nasabah yang telah dibiayai; dan c. infrastruktur penunjang pada lokasi kantor yang baru. Pasal 34 … - 16 - Pasal 34 Ayat (1) Pengumuman dapat dilakukan antara lain dengan menempelkan pengumuman di lokasi kantor yang lama. Ayat (2) Laporan ditandatangani oleh Pimpinan KCS induknya. Pasal 35 Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penyampaian laporan ditandatangani oleh Direktur UUS. Pasal 38 Laporan ditandatangani oleh Pimpinan KCS induknya. Pasal 39 Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 … - 17 - Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Perhitungan rasio KPMM berdasarkan pada perhitungan Bank Indonesia. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 42 Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku” adalah antara lain Undang-undang tentang Perseroan Terbatas. Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “menyelesaikan” adalah menyelesaikan seluruh hak dan kewajiban UUS dengan cara antara lain dialihkan menjadi hak dan kewajiban BUK yang memiliki UUS, dijual kepada pihak lain atau dilunasi. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 44 … - 18 - Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS. Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh : UUS Bank XYZ memiliki modal kerja sebesar Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh milyar rupiah), maka penambahan modal sebesar Rp350.000.000.000,00 (tiga ratus lima puluh milyar rupiah) yang dilakukan untuk mencapai Rp500.000.000.000,00 (lima ratus milyar rupiah) harus dilakukan dalam bentuk tunai dan/atau tanah dan gedung yang akan digunakan untuk operasional BUS hasil Pemisahan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 46 … - 19 - Pasal 46 Huruf a Persetujuan atas permohonan persetujuan prinsip pendirian BUS hasil Pemisahan diberikan berdasarkan pada antara lain: a. pemenuhan aspek legal mengenai tahapan persiapan Pemisahan UUS yang dilakukan oleh BUK; b. analisis atas proforma laporan keuangan BUS hasil Pemisahan; dan c. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon pemegang saham pengendali, calon Dewan Komisaris dan calon Direksi, serta wawancara terhadap DPS. Huruf b Persetujuan atas permohonan izin usaha pendirian BUS hasil Pemisahan diberikan berdasarkan pada antara lain: a. pemenuhan aspek legal baik dalam pemisahan hak dan kewajiban UUS maupun dalam pendirian BUS hasil Pemisahan; b. analisis terhadap kesiapan operasional BUS hasil Pemisahan; c. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon pemegang saham pengendali, calon Dewan Komisaris dan calon Direksi, serta wawancara terhadap DPS, apabila terjadi perubahan. Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Hal-hal yang harus dijelaskan melalui presentasi di Bank Indonesia antara lain: a. tujuan dan alasan pendirian BUS hasil Pemisahan; b. sumber … - 20 - b. sumber permodalan dan kepemilikan; c. pangsa utama penghimpunan dan penyaluran dana; dan d. rencana struktur organisasi dan personalia. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Surat pengajuan ditandatangani oleh Direktur UUS. Yang dimaksud dengan “akta pendirian” adalah akta pendirian yang telah mendapat persetujuan dari instansi yang berwenang. Pasal 50 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha” adalah kegiatan usaha BUS sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pasal 19 termasuk kegiatan usaha UUS dari hasil Pemisahan. BUS hasil Pemisahan dapat membuka kantor pelayanan syariah di kantor BUK yang memiliki hubungan kepemilikan dengan BUS hasil Pemisahan setelah mendapat penegasan dari Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “ditinjau kembali” adalah: a. diperpanjang ... - 21 - a. diperpanjang apabila keterlambatan operasional disebabkan oleh hal- hal yang tidak dapat dihindari (force majeur) atau pertimbangan lain yang dapat diterima; atau b. dibatalkan apabila BUS hasil Pemisahan tidak dapat menyampaikan alasan yang relevan atas keterlambatan pelaksanaan kegiatan usaha. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “kewajiban“ adalah kewajiban kepada nasabah penyimpan, nasabah investor, nasabah penerima fasilitas UUS baik yang tercatat pada neraca (on balance sheet) atau pada rekening administratif (off balance sheet) serta kewajiban lainnya seperti gaji karyawan Bank dan pajak terutang. Pasal 51 Surat pengajuan ditandatangani oleh Direktur UUS. Pasal 52 Ayat (1) Persetujuan atas permohonan pengalihan hak dan kewajiban UUS kepada BUS penerima Pemisahan diberikan berdasarkan pada antara lain: a. pemenuhan aspek legal Pemisahan UUS; b. analisis rencana pengalihan hak dan kewajiban UUS; dan c. analisis atas proforma laporan keuangan BUS penerima Pemisahan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 53 … - 22 - Pasal 53 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “ditinjau kembali” adalah: a. diperpanjang apabila keterlambatan pengalihan disebabkan oleh hal- hal yang tidak dapat dihindari (force majeur) atau pertimbangan lain yang dapat diterima; atau b. dibatalkan apabila BUK yang memiliki UUS tidak dapat menyampaikan alasan yang relevan atas keterlambatan pengalihan. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “kewajiban“ adalah kewajiban kepada nasabah penyimpan, nasabah investor, nasabah penerima fasilitas UUS baik yang tercatat pada neraca (on balance sheet) atau pada rekening administratif (off balance sheet) serta kewajiban lainnya seperti gaji karyawan bank dan pajak terutang. Pasal 54 Surat pengajuan ditandatangani oleh Direktur UUS. Pasal 55 Persetujuan atau penolakan atas permintaan pencabutan izin usaha UUS didasarkan pada antara lain hasil analisis terhadap penjelasan yang disampaikan oleh … - 23 - oleh BUK yang memiliki UUS mengenai alasan penutupan kegiatan usaha UUS dan/atau dampaknya terhadap masyarakat. Penjelasan rencana penutupan kegiatan usaha UUS dilakukan oleh BUK yang memiliki UUS melalui presentasi di Bank Indonesia. Pasal 56 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “kewajiban“ adalah kewajiban kepada nasabah penyimpan, nasabah investor, nasabah penerima fasilitas UUS baik yang tercatat pada neraca (on balance sheet) atau pada rekening administratif (off balance sheet) serta kewajiban lainnya seperti gaji karyawan bank dan pajak terutang. Ayat (2) Penyampaian laporan ditandatangani oleh Direktur UUS. Pasal 57 Ayat (1) Yang dimaksud dengan laporan keuangan paling kurang mencakup neraca dan rekening administratif dan perhitungan laba rugi. Ayat (2) … - 24 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan perlakuan akuntansi meliputi Pengakuan, Pengukuran, Penyajian dan Pengungkapan atas transaksi keuangan yang dilakukan. Untuk perlakuan akuntansi atas transaksi-transaksi yang belum diatur dalam pedoman akuntansi perbankan syariah Indonesia wajib mengikuti ketentuan akuntansi syariah yang lazim berlaku secara umum (Generally Accepted Islamic Accounting Principles). Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Ayat (1) Surat pengajuan ditandatangani oleh pimpinan kantor UUS. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 60 Ayat (1) Kantor UUS yang dimaksud meliputi kantor UUS, KCS, KCPS dan KKS. Pencantuman nama dan jenis kantor UUS dapat dilakukan antara lain melalui papan nama dan/atau pada dinding atau kaca depan jaringan kantor UUS agar mudah terlihat oleh nasabah. Contoh: 1. Penulisan KCS PT Bank XXX Kantor … - 25 - Kantor Cabang Syariah YYY 2. Penulisan KCPS PT Bank XXX Kantor Cabang Pembantu Syariah YYY. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 61 Peningkatan kompetensi dapat dilakukan antara lain melalui pendidikan sertifikasi sesuai dengan tingkat jabatan. Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia apabila telah disampaikan secara lengkap dengan memuat data, informasi dan/atau dokumen yang dipersyaratkan sesuai jenis laporannya. Tanggal penerimaan laporan oleh Bank Indonesia adalah tanggal: a. stempel pos (time stamp), apabila laporan dikirimkan melalui P.T. Pos Indonesia; atau b. penerimaan laporan, apabila laporan disampaikan secara langsung oleh BUK atau UUS atau dikirimkan melalui perusahaan jasa pengiriman selain P.T. Pos Indonesia. Huruf a Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung sebagai berikut: Jumlah kewajiban membayar = jumlah … - 26 - jumlah hari kerja keterlambatan x Rp1.000.000,00 x jumlah laporan/ pengumuman. Huruf b Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung sebagai berikut: Jumlah kewajiban membayar = Rp30.000.000,00 x jumlah laporan/ pengumuman. BUK atau UUS yang dikenakan sanksi tidak menyampaikan laporan/pengumuman, tidak dikenakan sanksi keterlambatan penyampaian laporan/pengumuman. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Bagi BUK yang sedang mengajukan permohonan izin usaha UUS sebelum diberlakukannya ketentuan ini wajib menyesuaikan ketentuan modal kerja dan ketentuan rangkap jabatan anggota DPS paling lambat 2 (dua) tahun setelah izin usaha diberikan. Pasal 65 … - 27 - Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4992 DPbS
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 11/10/PBI/2009 </reg_id> <reg_title> UNIT USAHA SYARIAH </reg_title> <set_date> 19 Maret 2009 </set_date> <effective_date> 19 Maret 2009 </effective_date> <issued_date> 19 Maret 2009 </issued_date> <replaced_reg> '9/7/PBI/2007', '8/3/PBI/2006' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '40/UU/2007' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XVI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 22/2/PBI/2020 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/10/PBI/2018 TENTANG TRANSAKSI DOMESTIC NON-DELIVERABLE FORWARD DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, dapat dicapai salah satunya dengan kegiatan lindung nilai melalui transaksi domestic non-deliverable forward; b. bahwa untuk mendorong kegiatan lindung nilai melalui transaksi domestic non-deliverable forward, diperlukan jenis underlying transaksi yang lebih bervariasi untuk memberikan keleluasaan bertransaksi bagi pelaku pasar dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/10/PBI/2018 tentang Transaksi Domestic Non-Deliverable Forward; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/10/PBI/2018 tentang Transaksi Domestic Non-Deliverable Forward (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6252) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/7/PBI/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/10/PBI/2018 tentang Transaksi Domestic Non- Deliverable Forward (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6353); - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/10/PBI/2018 TENTANG TRANSAKSI DOMESTIC NON- DELIVERABLE FORWARD. Pasal I Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/10/PBI/2018 tentang Transaksi Domestic Non-Deliverable Forward (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6252) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/7/PBI/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/10/PBI/2018 tentang Transaksi Domestic Non-Deliverable Forward (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6353) diubah sebagai berikut: Ketentuan Pasal 3 ayat (2) ditambah 1 (satu) huruf, yakni huruf d sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Transaksi DNDF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dan Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b wajib memiliki Underlying Transaksi. (2) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh kegiatan: a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri; b. investasi berupa direct investment, portfolio investment, pinjaman, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri; - 4 - c. pemberian kredit atau pembiayaan Bank dalam valuta asing untuk kegiatan perdagangan dan investasi, khusus untuk transaksi antara Bank dengan Nasabah; dan/atau d. kepemilikan rekening rupiah oleh Pihak Asing. (3) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk: a. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; b. penempatan dana; c. d. dokumen penjualan valuta asing terhadap rupiah; e. kegiatan pengiriman uang oleh perusahaan transfer dana; kredit antarnasabah (intercompany loan); dan g. kegiatan usaha perdagangan valuta asing. (4) Kewajiban kepemilikan f. Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi DNDF oleh Nasabah atau Pihak Asing dengan nilai nominal paling banyak USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi untuk setiap Nasabah atau setiap Pihak Asing. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. fasilitas pemberian kredit atau pembiayaan Bank yang belum ditarik; - 5 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Maret 2020 GUBERNUR BANK INDONESIA, TTD PERRY WARJIYO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 Maret 2020 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, TTD YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 79 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 22/2/PBI/2020 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/10/PBI/2018 TENTANG TRANSAKSI DOMESTIC NON-DELIVERABLE FORWARD I. UMUM Dalam melaksanakan tugas Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia telah mengimplementasikan kebijakan Transaksi DNDF di pasar valuta asing domestik. Transaksi DNDF ini merupakan bagian dari upaya pengayaan instrumen lindung nilai yang dapat digunakan oleh para pelaku pasar yang memiliki risiko nilai tukar. Sebagai salah satu upaya untuk menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan di tengah ketidakpastian ekonomi global, khususnya untuk Transaksi DNDF, Bank Indonesia melakukan pengembangan Transaksi DNDF melalui perluasan jenis Underlying Transaksi bagi Pihak Asing sehingga dapat memberikan alternatif dan fleksibilitas untuk lindung nilai atas kepemilikan rupiah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. -2- Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “investasi lainnya” antara lain investasi dan/atau transaksi yang dilakukan untuk pelaksanaan kebijakan Pemerintah terkait perpajakan. Huruf c Yang dimaksud dengan “kredit atau pembiayaan” adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga atau imbalan, termasuk: 1. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; 2. pengambilalihan tagihan dalam kegiatan anjak piutang; atau 3. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain. Huruf d Yang dimaksud dengan “kepemilikan rekening rupiah oleh Pihak Asing” adalah seluruh rekening dana rupiah dalam bentuk cash (cash account) milik Pihak Asing pada Bank, antara lain berbentuk tabungan, giro, dan/atau deposito untuk tujuan investasi, menampung hasil investasi, dan/atau tujuan lainnya. Ayat (3) Huruf a Surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia antara lain Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Berharga Bank Indonesia dalam valuta asing. -3- Huruf b Penempatan dana antara lain berupa tabungan, giro, deposito, dan sertifikat deposito (negotiable certificate of deposit). Huruf c Yang dimaksud dengan “kredit atau pembiayaan” adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga atau imbalan, termasuk: 1. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; 2. pengambilalihan tagihan dalam kegiatan anjak piutang; atau 3. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain. Fasilitas pemberian kredit atau pembiayaan yang belum ditarik antara lain berupa kredit atau pembiayaan siaga (standby loan) dan kredit atau pembiayaan yang belum dicairkan (undisbursed loan). Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Kredit antarnasabah (intercompany loan) antara lain berupa pemberian kredit dalam satu grup perusahaan atau antarperusahaan yang terafiliasi. Huruf g Cukup jelas. -4- Ayat (4) Contoh: Investor AN melakukan investasi di Indonesia namun belum memutuskan aset rupiah yang akan dibeli. Investor AN memutuskan untuk melakukan penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi DNDF sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) kepada Bank A. Transaksi ini dapat dilakukan tanpa didukung Underlying Transaksi karena masih dalam batasan penjualan Transaksi DNDF sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat). Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6482
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 22/2/PBI/2020 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/10/PBI/2018 TENTANG TRANSAKSI DOMESTIC NON-DELIVERABLE FORWARD </reg_title> <set_date> 19 Maret 2020 </set_date> <effective_date> 19 Maret 2020 </effective_date> <issued_date> 19 Maret 2020 </issued_date> <changed_reg> '20/10/PBI/2018' </changed_reg> <extension_of> '21/7/2019' </extension_of> <related_reg> '2/PERPPPU/2008', '20/10/PBI/2018', '23/UU/1999', '21/7/PBI/2019', '24/UU/1999', '6/UU/2009' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/43/PBI/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/29/PBI/2006 TENTANG DAFTAR HITAM NASIONAL PENARIK CEK DAN/ATAU BILYET GIRO KOSONG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sehubungan dengan perubahan ketentuan mengenai bilyet giro dan dalam rangka memelihara dan meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam penggunaan cek dan/atau bilyet giro, Bank Indonesia perlu menyesuaikan ketentuan mengenai daftar hitam nasional penarik cek dan/atau bilyet giro kosong; b. bahwa untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam penggunaan cek dan/atau bilyet giro sebagai instrumen pembayaran, perlu penguatan aspek keamanan, kehati-hatian, dan perlindungan bagi pengguna melalui penyempurnaan tata cara penatausahaan dan pengawasan dalam penggunaan cek dan/atau bilyet giro; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/29/PBI/2006 tentang Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong; - 2 - Mengingat : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847:23) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1971 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1971 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2959); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5204); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/29/PBI/2006 TENTANG DAFTAR HITAM NASIONAL PENARIK CEK DAN/ATAU BILYET GIRO KOSONG. - 3 - Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/29/PBI/2006 tentang Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4669) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan bank umum syariah termasuk Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 2. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit kerja dari kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah. 3. Kantor Cabang Syariah adalah kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dari bank umum konvensional. 4. Cek adalah cek sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. 5. Bilyet Giro adalah bilyet giro sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai bilyet giro. - 4 - 6. Penarik adalah Pemilik Rekening yang menerbitkan Cek dan/atau Bilyet Giro. 7. Pemilik Rekening adalah orang atau badan yang memiliki Rekening Giro atau memiliki fasilitas Rekening Khusus pada Bank. 8. Rekening Giro adalah rekening giro Rupiah yang dananya dapat ditarik setiap saat dengan menggunakan Cek dan/atau Bilyet Giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan. 9. Rekening Giro Gabungan (joint account) adalah Rekening Giro yang dimiliki oleh lebih dari satu Pemilik Rekening, yang dapat terdiri atas gabungan badan dan/atau perorangan. 10. Rekening Khusus adalah rekening yang khusus dibuka dan disediakan oleh Bank Tertarik bagi Penarik yang memiliki Rekening Giro yang telah ditutup atas permintaan sendiri atau karena dikenai sanksi berupa pencantuman identitas Pemilik Rekening dalam DHN yang berlaku, dan hanya dapat digunakan untuk menampung Dana guna memenuhi kewajiban pembayaran atau pemindahbukuan atas Cek dan/atau Bilyet Giro yang masih beredar. 11. Dana adalah saldo efektif pada Rekening Giro atau Rekening Khusus Penarik, termasuk fasilitas cerukan dari Bank Tertarik. 12. Bank Tertarik adalah Bank yang diperintahkan oleh Penarik untuk melakukan pembayaran atau pemindahbukuan sejumlah Dana dengan menggunakan Cek dan/atau Bilyet Giro. 13. Pemegang adalah Nasabah: a. pemegang Cek yang memperoleh pembayaran atau pemindahbukuan Dana; atau b. penerima Bilyet Giro yang memperoleh pemindahbukuan Dana, dari Bank Tertarik sebagaimana diperintahkan oleh Penarik kepada Bank Tertarik. - 5 - 14. Perjanjian Pembukaan Rekening Giro adalah dokumen tertulis dalam rangka pembukaan Rekening Giro yang mendasari hubungan hukum antara Bank dengan Pemilik Rekening. 15. Penarikan adalah setiap kegiatan penerbitan Cek dan/atau Bilyet Giro oleh Penarik. 16. Tanggal Penarikan adalah tanggal yang tercantum pada Cek atau Bilyet Giro dan merupakan tanggal diterbitkannya Cek atau Bilyet Giro. 17. Pengunjukan adalah penyerahan Cek dan/atau Bilyet Giro oleh Pemegang kepada Bank Tertarik baik melalui Kliring oleh Bank Penagih maupun melalui loket Bank Tertarik (over the counter). 18. Bank Penagih adalah Bank yang menerima Cek dan/atau Bilyet Giro dan melakukan penagihan kepada Bank Tertarik melalui Kliring. 19. Daftar Hitam Individual Bank yang selanjutnya disingkat DHIB adalah daftar yang dibuat dan ditetapkan oleh Bank yang mencantumkan data Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong. 20. Kantor Pengelola Daftar Hitam Nasional yang selanjutnya disingkat KPDHN adalah kantor yang ditetapkan oleh Bank Tertarik untuk mengelola daftar hitam untuk seluruh kantor Bank yang bersangkutan secara nasional. 21. Daftar Hitam Nasional yang selanjutnya disingkat DHN adalah informasi mengenai data Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong, yang dikompilasi oleh Bank Indonesia sesuai dengan DHIB yang disampaikan oleh KPDHN. 22. Tenggang Waktu Pengunjukan adalah jangka waktu selama 70 (tujuh puluh) hari sejak Tanggal Penarikan Cek atau Bilyet Giro. 23. Tanggal Efektif adalah tanggal yang tercantum pada Bilyet Giro dan merupakan tanggal mulai berlakunya perintah pemindahbukuan. - 6 - 24. Tenggang Waktu Efektif adalah jangka waktu yang disediakan oleh Penarik kepada Penerima untuk meminta pelaksanaan perintah dalam Bilyet Giro kepada Bank Tertarik. 25. Kliring adalah proses perhitungan atas tagihan sejumlah dana yang dilakukan antarpeserta Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dalam layanan kliring warkat debit dari satu pengirim tagihan kepada satu penerima tagihan yang disertai dengan fisik warkat debit. 26. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank, termasuk pihak yang tidak memiliki rekening namun memanfaatkan jasa Bank untuk melakukan transaksi keuangan. 27. Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong adalah Cek dan/atau Bilyet Giro yang ditolak pembayaran atau pemindahbukuannya oleh Bank Tertarik dengan alasan penolakan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. 28. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang terjadi diluar kekuasaan Pemilik Rekening yang diakibatkan oleh tetapi tidak terbatas pada kebakaran, kerusuhan massa, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir yang dinyatakan oleh pihak penguasa atau pejabat yang berwenang setempat, termasuk Bank Indonesia. 2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Bank dapat memberikan Cek dan/atau Bilyet Giro kepada Nasabah yang telah memenuhi persyaratan dalam pembukaan Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). - 7 - (2) Bank wajib menatausahakan Cek dan/atau Bilyet Giro yang telah diberikan kepada Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 (1) Penarik wajib telah menyediakan Dana yang cukup pada Bank Tertarik, dengan ketentuan: a. untuk Cek, pada saat diunjukkan kepada Bank Tertarik; dan b. untuk Bilyet Giro, sejak Tanggal Efektif sampai dengan berakhirnya Tenggang Waktu Pengunjukan. (2) Ketentuan tentang kewajiban penyediaan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. Cek yang diunjukkan telah dibatalkan oleh Penarik; b. Cek yang diunjukkan telah daluwarsa; dan/atau c. Bilyet Giro yang diunjukkan tidak dalam Tenggang Waktu Efektif. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penyediaan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Penarik tidak dapat membatalkan Cek dan/atau Bilyet Giro selama Tenggang Waktu Pengunjukan. (2) Pembatalan Cek oleh Penarik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a hanya dapat dilakukan setelah Tenggang Waktu Pengunjukan berakhir. - 8 - (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembatalan Cek diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 5. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 (1) Cek dan/atau Bilyet Giro wajib ditolak pembayarannya jika memenuhi alasan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Cek dan/atau Bilyet Giro yang ditolak pembayarannya oleh Bank Tertarik dengan alasan Dana tidak cukup, Rekening Giro telah ditutup, atau Rekening Khusus telah ditutup dikategorikan sebagai Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong. (3) Kategori Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal: a. unsur Cek atau syarat formal Bilyet Giro tidak dipenuhi; b. Cek telah daluwarsa; c. Cek dibatalkan setelah Tenggang Waktu Pengunjukan berakhir; d. pencantuman Tanggal Efektif Bilyet Giro tidak dalam Tenggang Waktu Pengunjukan; e. Bilyet Giro diunjukkan tidak dalam Tenggang Waktu Efektif; atau f. Cek dan/atau Bilyet Giro diduga palsu atau dimanipulasi. (4) Kategori Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong terhadap Cek dan/atau Bilyet Giro yang diblokir pembayarannya ditetapkan oleh Bank Indonesia. - 9 - (5) Dalam hal Bank Tertarik menolak pembayaran atau pemindahbukuan Cek dan/atau Bilyet Giro dengan alasan selain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Tertarik harus dapat mempertanggungjawabkan penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro tersebut dan melaporkannya kepada Bank Indonesia. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai: a. alasan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta tata cara penolakannya; b. pengecualian kategori Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong sebagaimana dimaksud pada ayat (3); c. pengkategorian Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong terhadap Cek dan/atau Bilyet Giro yang diblokir pembayarannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4); dan d. tata cara pelaporan penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 6. Diantara Pasal 11 dan Pasal 12 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 11A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11A (1) Bank Tertarik yang melakukan penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro dengan alasan diduga palsu atau dimanipulasi wajib menahan dan menunda pembayaran Cek dan/atau Bilyet Giro. (2) Penahanan dan penundaan pembayaran Cek dan/atau Bilyet Giro wajib ditindaklanjuti dengan verifikasi paling lama sampai dengan 1 (satu) hari kerja berikutnya. (3) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menunjukkan bahwa indikasi pemalsuan tidak terbukti, Cek dan/atau Bilyet Giro diproses sesuai dengan ketentuan. - 10 - (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penahanan dan penundaan pembayaran Cek dan/atau Bilyet Giro diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 7. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 (1) Bank Tertarik wajib memberitahukan secara tertulis alasan penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan/atau penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (1) kepada Pemegang atau Bank Penagih. (2) Bank Tertarik wajib memberitahukan secara tertulis alasan penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) kepada Penarik. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan alasan penolakan dan/atau penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 8. Ketentuan BAB X diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB X PENGAWASAN KEPATUHAN Pasal 26 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan kepatuhan Bank terhadap Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Pengawasan kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. (3) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank wajib: a. menyampaikan laporan berkala; b. menyampaikan laporan insidental; - 11 - c. memberikan data, informasi, dan/atau dokumen yang diperlukan terkait dengan penatausahaan DHN Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong; d. memberikan akses kepada Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaan terhadap dokumen, sarana fisik, dan aplikasi pendukung, yang terkait dengan penatausahaan DHN Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong; dan e. menindaklanjuti hasil pengawasan kepatuhan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan kepatuhan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 26A (1) Kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) huruf a dan huruf b dilakukan sesuai dengan tata cara dan batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Dalam hal Bank tidak menyampaikan laporan berkala sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank tetap wajib menyampaikan laporan berkala paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan batas waktu penyampaian laporan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 9. Di antara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 28A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28A (1) Bank yang terlambat atau tidak menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan sejak - 12 - batas waktu penyampaian laporan dan paling banyak sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). (2) Dalam hal Bank tidak menyampaikan laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A ayat (3) huruf b, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. 10. Di antara Pasal 31 dan Pasal 32 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 31A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31A Bank yang melakukan pelanggaraan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. 11. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 (1) Bank harus melakukan pembinaan terhadap seluruh Pemilik Rekening di Bank yang bersangkutan dalam rangka penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro. (2) Dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank berwenang membekukan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro termasuk melakukan penutupan Rekening Giro, meskipun identitas Pemilik Rekening tidak tercantum dalam DHN. (3) Pembekuan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro atau penutupan Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal: a. Bank meragukan kredibilitas Pemilik Rekening; b. terdapat permintaan dari Pemilik Rekening; atau c. terdapat permintaan dari pihak yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. - 13 - (4) Pelaksanaan pembekuan atau penutupan Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan secara tertulis kepada Pemilik Rekening. Pasal II 1. Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, alasan penolakan terhadap Cek dan/atau Bilyet Giro serta penatausahaan Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, tetap diproses dengan mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/29/PBI/2006 tentang Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong dan ketentuan pelaksanaannya. 2. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2017. - 14 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Desember 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 296
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/43/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/29/PBI/2006 TENTANG DAFTAR HITAM NASIONAL PENARIK CEK DAN/ATAU BILYET GIRO KOSONG </reg_title> <set_date> 22 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 1 April 2017 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date> <changed_reg> '8/29/PBI/2006' </changed_reg> <related_reg> '4/UU/1971', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '23/KUHD STBLD/1847' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 9 Pasal 28A', 'Pasal I Angka 10 Pasal 31A' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/22/PBI/2016 TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis, baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; b. bahwa guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar; c. bahwa untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank - 2 - Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan keandalannya; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Pecahan 50.000 (Lima Puluh Ribu) Tahun Emisi 2016; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016. Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. - 3 - Pasal 2 Macam uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciri tertentu. Pasal 3 Harga uang Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). Pasal 4 Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang terdapat pada bagian depan dan bagian belakang meliputi: a. ciri umum; dan b. ciri khusus. Pasal 5 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, pada bagian depan terdapat: a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”; b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”; c. sebutan pecahan dalam angka “50000” dan tulisan “LIMA PULUH RIBU RUPIAH”; d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan “MENTERI KEUANGAN”; e. f. gambar tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”; utama yaitu Pahlawan Nasional Ir. H. Djuanda Kartawidjaja beserta tulisan “Ir. H. DJUANDA KARTAWIDJAJA”; g. gambar ornamen batik; dan h. gambar lingkaran-lingkaran kecil. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan biru; - 4 - b. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f; c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan “BI” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; e. gambar tersembunyi (latent image) multiwarna berupa angka “50” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; f. gambar perisai yang di dalamnya berisi logo Bank Indonesia yang akan berubah warna apabila dilihat dari sudut pandang berbeda (colour shifting); g. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan (tactile); h. gambar raster berupa tulisan “NKRI” yang tertulis utuh dan/atau sebagian; i. mikroteks yang memuat tulisan “BI50”, tulisan “BI50000”, dan angka “50”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan j. hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau beberapa warna apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah satunya berisi tulisan “BI”; 2. angka nominal “50000”; 3. ornamen batik; dan 4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 6 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, pada bagian belakang terdapat: a. angka nominal “50000”; b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka; - 5 - c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI LIMA PULUH RIBU RUPIAH”; d. tulisan tahun cetak “TC 2016”; e. gambar utama yaitu tari legong beserta tulisan “TARI LEGONG”, pemandangan alam Taman Nasional Komodo beserta tulisan “Taman Nasional Komodo”, dan bunga jepun bali; f. tulisan “BANK INDONESIA”; g. gambar ornamen batik; h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan i. tulisan “PERURI”. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan biru; b. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf f; c. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada gambar tari legong, tulisan “TARI LEGONG”, dan tulisan “Taman Nasional Komodo”; d. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; e. gambar tersembunyi (latent image) berupa angka “50” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; f. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka “50000”; g. mikroteks yang memuat tulisan “BANKINDONESIA”, tulisan “BI50000”, dan angka “50000”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan - 6 - h. hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau beberapa warna apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. gambar bunga jepun bali; 2. gambar burung jalak bali; 3. bidang persegi empat yang berisi tulisan “BI”; 4. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan 5. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka. (3) Angka dalam tulisan tahun cetak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d akan berubah sesuai dengan tahun cetak. Pasal 7 Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri khusus sebagai berikut: a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi: 1. terbuat dari serat kapas; 2. berwarna biru muda; 3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet; 4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan ornamen tertentu; dan 5. terdapat benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan “BI 50000” secara berulang, yang akan berubah warna apabila dilihat dari sudut pandang berbeda (colour shifting); dan b. ukuran yaitu panjang 149 (seratus empat puluh sembilan) milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter. Pasal 8 Uang Rupiah kertas pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2005 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat - 7 - pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. Pasal 9 Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 205
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/22/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016 </reg_title> <set_date> 25 Oktober 2016 </set_date> <effective_date> 27 Oktober 2016 </effective_date> <issued_date> 27 Oktober 2016 </issued_date> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 1 /PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/5/PBI/2006 TENTANG MEDIASI PERBANKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan mediasi perbankan diperlukan guna menyelesaikan sengketa antara nasabah dengan bank yang apabila tidak dilaksanakan berpotensi merugikan kepentingan nasabah dan mempengaruhi reputasi bank; b. bahwa lembaga mediasi perbankan yang seharusnya dibentuk oleh asosiasi perbankan untuk menyelenggarakan alternatif penyelesaian sengketa melalui cara mediasi belum dapat direalisasikan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b dipandang perlu untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia tentang Mediasi Perbankan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik ... - 2 - Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872); 5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4476); 6. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4601); MEMUTUSKAN ….. - 3 - M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/5/PBI/2006 TENTANG MEDIASI PERBANKAN. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4601) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 3 ayat (2) dihapus sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Mediasi di bidang perbankan dilakukan oleh lembaga Mediasi perbankan independen yang dibentuk asosiasi perbankan. (2) Dihapus. (3) Dalam pelaksanaan tugasnya lembaga Mediasi perbankan independen melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia. (4) Sepanjang lembaga Mediasi perbankan independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dibentuk, fungsi Mediasi perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia. 2. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 … - 4 - Pasal 15 Pengajuan penyelesaian Sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 disampaikan kepada Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan, Bank Indonesia, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 29 Januari 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 10 DPNP/DPbS/DPBPR PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 1 /PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/5/PBI/2006 TENTANG MEDIASI PERBANKAN UMUM Mediasi perbankan sebagai alternatif penyelesaian sengketa perbankan merupakan cara yang sederhana, murah, dan cepat untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi antara nasabah dengan bank. Selain itu, hasil mediasi yang merupakan kesepakatan antara nasabah dan bank dipandang merupakan bentuk penyelesaian permasalahan yang efektif karena kepentingan nasabah maupun reputasi bank dapat dijaga. Penyelenggaraan mediasi perbankan idealnya dilaksanakan oleh kalangan industri perbankan sendiri yang dalam hal ini dapat diwakili oleh asosiasi perbankan. Namun demikian, pembentukan lembaga mediasi perbankan yang akan mewadahi penyelenggaraan mediasi perbankan sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan belum dapat direalisasikan karena adanya kendala-kendala seperti aspek pendanaan dan sumber daya manusia. Mengingat penyelenggaraan mediasi perbankan sangat diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dalam pelaksanaan transaksi keuangan melalui bank, maka untuk sementara waktu fungsi mediasi perbankan tetap dilaksanakan oleh Bank Indonesia. PASAL ... - 2 - PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dihapus. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Bank Indonesia hanya melaksanakan kegiatan Mediasi perbankan dan tidak membentuk lembaga khusus untuk keperluan tersebut. Angka 2 Pasal 15 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4808
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/1/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/5/PBI/2006 TENTANG MEDIASI PERBANKAN </reg_title> <set_date> 29 Januari 2008 </set_date> <effective_date> 29 Januari 2008 </effective_date> <changed_reg> '8/5/PBI/2006' </changed_reg> <related_reg> '8/5/PBI/2006', '23/UU/1999', '8/UU/1999', '3/UU/2004', '30/UU/1999', '7/7/PBI/2005', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/13/PBI/2018 TENTANG TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA RUPIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, diperlukan pasar keuangan yang likuid dan efisien untuk mendukung kegiatan ekonomi nasional; b. bahwa pasar keuangan yang likuid dan efisien dapat dicapai melalui pengembangan pasar derivatif suku bunga rupiah secara menyeluruh, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian; c. bahwa dalam upaya pengembangan pasar derivatif suku bunga rupiah perlu melakukan pengaturan yang komprehensif melalui pengayaan instrumen, pengembangan infrastruktur, dan peningkatan kredibilitas pasar; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah; - 2 - Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA RUPIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah adalah transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari suku bunga rupiah. 2. Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, tidak termasuk kantor bank umum berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri. 3. Nasabah adalah perorangan yang memiliki kewarganegaraan Indonesia atau badan hukum selain Bank yang berdomisili di Indonesia dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. 4. Pihak Asing adalah: a. warga negara asing; b. badan hukum asing atau lembaga asing lainnya; - 3 - c. warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap (permanent resident) negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia; d. kantor bank umum berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri; atau e. kantor perusahaan di luar negeri dari perusahaan yang berbadan hukum Indonesia. 5. Indonesia Overnight Index Average yang selanjutnya disebut IndONIA adalah indeks suku bunga atas transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan yang dilakukan antarbank untuk jangka waktu overnight di Indonesia. 6. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disebut JIBOR adalah rata-rata dari suku bunga indikasi pinjaman tanpa agunan yang ditawarkan dan dimaksudkan untuk ditransaksikan oleh bank kontributor kepada bank kontributor lain untuk meminjamkan rupiah untuk jangka waktu tertentu di Indonesia. BAB II TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA RUPIAH Bagian Kesatu Cakupan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah Pasal 2 (1) Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah meliputi: a. transaksi interest rate swap; b. c. d. transaksi forward rate agreement; transaksi interest rate option; transaksi interest rate futures; dan e. Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah lainnya. (2) Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan transaksi derivatif yang bersifat standar (plain vanilla). - 4 - (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Kedua Pelaku Pasal 3 (1) Bank yang dapat melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah mengacu pada ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai kegiatan usaha bank umum berdasarkan modal inti. (2) Bank dapat melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah dengan: a. Nasabah yang memenuhi klasifikasi tertentu; b. Pihak Asing; dan/atau c. Bank lainnya. (3) Klasifikasi tertentu bagi Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk badan hukum selain Bank, memiliki modal paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan telah melakukan kegiatan usaha paling sedikit 12 (dua belas) bulan berturut-turut; dan b. untuk Nasabah perorangan, memiliki portofolio aset berupa kas, giro, tabungan, dan/atau deposito paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Nasabah yang memenuhi klasifikasi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Ketiga Kontrak Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah Pasal 4 (1) Bank yang melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah dengan Nasabah, Pihak Asing, dan/atau Bank - 5 - lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib didasarkan atas suatu kontrak. (2) Kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. kontrak utama transaksi yang lazim digunakan oleh pelaku pasar dan/atau diterbitkan oleh asosiasi terkait; dan b. konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi, yang paling sedikit memuat: 1. nomor kontrak; 2. 3. nilai nominal transaksi; 4. nama counterparty; 5. mata uang; dan 6. reference rate. (3) Kewajiban penggunaan kontrak utama transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikecualikan untuk transaksi: a. antara Bank dengan kantor cabangnya; b. antarkantor cabang Bank; dan c. antara kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri dengan kantor pusatnya atau kantor cabang lainnya di luar negeri. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengecualian penggunaan kontrak utama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Keempat Konvensi Pasar Pasal 5 (1) Dalam melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah, Bank harus mengikuti konvensi pasar. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai konvensi pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. tanggal transaksi, periode setelmen, dan tanggal jatuh waktu transaksi; - 6 - Bagian Kelima IndONIA dan JIBOR Pasal 6 (1) Bank yang melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah berupa transaksi overnight index swap dapat mengacu pada IndONIA. (2) Bank yang melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah selain transaksi overnight index swap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengacu pada JIBOR. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan IndONIA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penggunaan JIBOR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Keenam Nilai Nominal dan Tenor Pasal 7 (1) Bank melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah dengan nilai nominal dan tenor tertentu. (2) Nilai nominal tertentu Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (3) Tenor tertentu Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjangka waktu 1 (satu) minggu, 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, 9 (sembilan) bulan, 12 (dua belas) bulan, atau tenor lainnya. (4) Dalam hal terdapat perubahan terhadap nilai nominal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tenor tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), perubahan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 7 - Bagian Ketujuh Analisis Kebutuhan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah Pasal 8 (1) Bank yang melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah dengan Nasabah dan/atau Pihak Asing, yang dilakukan untuk kepentingan Nasabah dan/atau Pihak Asing, wajib melakukan analisis kebutuhan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah paling sedikit 1 (satu) kali sebelum melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah. (2) Analisis kebutuhan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. klasifikasi Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3); b. tujuan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah; c. kegiatan ekonomi yang melandasi kebutuhan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah; jenis Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah; d. e. nominal maksimum Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah; dan f. jangka waktu maksimum Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah. (3) Kegiatan ekonomi yang melandasi kebutuhan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi kegiatan: a. investasi berupa deposito, sertifikat deposito (negotiable certificate of deposit), surat berharga komersial, obligasi, dan investasi lainnya dalam rupiah di dalam negeri; b. pinjaman berupa kredit dalam rupiah dan/atau surat berharga yang diterbitkan dalam rupiah; c. posisi aset dan/atau kewajiban; dan/atau d. kegiatan ekonomi lainnya. - 8 - (4) Analisis kebutuhan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah yang dilakukan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan dokumen yang relevan. (5) Bank wajib menatausahakan analisis Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah beserta dokumen pendukung lainnya. Pasal 9 Kewajiban melakukan analisis kebutuhan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dikecualikan dalam hal: a. Bank melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah atas inisiatif Bank; atau b. Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah dilakukan antar- Bank. Pasal 10 Bank wajib melakukan evaluasi (review) terhadap analisis kebutuhan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) secara periodik paling sedikit 1 (satu) tahun sekali. Pasal 11 Ketentuan lebih lanjut mengenai analisis kebutuhan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 9 - BAB III PENYELESAIAN TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA RUPIAH Pasal 12 (1) Penyelesaian Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah dapat dilakukan dengan memperhitungkan selisih kewajiban pembayaran (netting) oleh masing-masing pihak yang melakukan transaksi untuk setiap periode pembayaran. (2) Penyelesaian Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah oleh masing-masing pihak untuk setiap periode pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menggunakan rupiah. (3) Dalam hal terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak yang bertransaksi, penyelesaian Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah dapat dilakukan secara close-out netting sepanjang dipersyaratkan atau diperjanjikan dalam kontrak dan dilakukan sebelum adanya pernyataan putusan pailit oleh pengadilan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyelesaian Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah akibat wanprestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB IV PRINSIP KEHATI-HATIAN DAN MANAJEMEN RISIKO Pasal 13 (1) Bank yang melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah wajib menerapkan prinsip kehati-hatian. (2) Kewajiban penerapan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa: a. etika bertransaksi (market code of conduct) atau pedoman lain yang sejenis; - 10 - b. transparansi dan keterbukaan informasi; c. perlindungan konsumen; dan d. mekanisme penyelesaian sengketa (dispute resolution). (3) Dalam menerapkan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank mengacu pada ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang dan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Bank wajib memberikan edukasi tentang Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah kepada Nasabah dan/atau Pihak Asing. (5) Pegawai atau staf Bank yang melakukan aktivitas tresuri wajib memiliki sertifikasi tresuri dari lembaga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 14 Dalam melakukan kegiatan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah, Bank harus menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bank. BAB V INFRASTRUKTUR TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA RUPIAH Pasal 15 (1) Infrastruktur Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah terdiri atas: a. sarana pelaksanaan transaksi; b. sarana penyelesaian dana; dan c. sarana pengelolaan data dan informasi. (2) Sarana pelaksanaan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan menggunakan sistem Bank Indonesia Electronic Trading Platform (BI-ETP) atau sarana pelaksanaan transaksi lainnya yang digunakan di pasar uang. - 11 - (3) Sarana penyelesaian dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan melalui pemindahbukuan (overbooking), transfer antar-Bank, atau sarana penyelesaian dana menggunakan sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia. (4) Sarana pengelolaan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan melalui sistem pelaporan transaksi Bank Indonesia atau sistem lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. BAB VI PELAPORAN Pasal 16 (1) Bank yang memenuhi kriteria untuk melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib menyampaikan laporan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah melalui sistem pelaporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Ketentuan mengenai mekanisme pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem pelaporan Bank Indonesia. BAB VII PENGAWASAN Pasal 17 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah yang dilakukan oleh Bank. (2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas lain yang berwenang. - 12 - (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengawasan tidak langsung; dan/atau b. pemeriksaan. (4) Untuk pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib menyediakan dan menyampaikan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan oleh Bank Indonesia. (5) Bank wajib bertanggung jawab atas kebenaran data, informasi, dan/atau keterangan yang disampaikan kepada Bank Indonesia. (6) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b. (7) Pihak yang ditugaskan melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib menjaga kerahasiaan data, informasi, dan keterangan yang diperoleh dari hasil pemeriksaan. BAB VIII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 18 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan rupiah. (2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sertifikasi tresuri dan penerapan kode etik pasar. (3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem pelaporan Bank Indonesia. - 13 - Pasal 19 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (5), Pasal 10, Pasal 13 ayat (1), Pasal 13 ayat (4), Pasal 17 ayat (4), Pasal 17 ayat (5), dan/atau Pasal 21 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Pihak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (7) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Bank yang telah mendapat 3 (tiga) kali teguran tertulis dalam kurun waktu 1 (satu) tahun atas pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), direkomendasikan kepada otoritas perbankan untuk dikenai sanksi berupa penghentian sementara dalam melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah yang baru selama 6 (enam) bulan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 20 Bank Indonesia dapat memberitahukan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan/atau Pasal 19 ayat (2) secara tertulis kepada otoritas perbankan dan/atau lembaga terkait lainnya. BAB IX KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 21 (1) Dalam hal Bank akan mengeluarkan produk baru berupa structured product terkait dengan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah, Bank wajib menyampaikan informasi kepada Bank Indonesia setelah mendapat pernyataan efektif dari otoritas perbankan. - 14 - (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. nama structured product; b. tenor; c. target nasabah; d. standar notional amount; e. reference rate; f. payout; g. komponen transaksi; dan h. mekanisme settlement. (3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada Bank Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah mendapatkan pernyataan efektif dari otoritas perbankan. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 22 (1) Bank yang telah melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, tetap dapat meneruskan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah sampai dengan jatuh waktu. (2) Dalam hal Bank melakukan perpanjangan dan/atau Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah yang baru maka Bank wajib tunduk pada Peraturan Bank Indonesia ini. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 23 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 15 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 November 2018 GUBERNUR BANK INDONESIA, TTD PERRY WARJIYO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 14 November 2018 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, TTD YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 201 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/13/PBI/2018 TENTANG TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA RUPIAH I. UMUM Dalam melaksanakan tugas Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, diperlukan upaya mempercepat tercapainya pasar keuangan yang likuid dan efisien, yang dapat mendukung kegiatan ekonomi nasional. Untuk mencapai pasar keuangan yang likuid dan efisien diperlukan adanya upaya pengembangan pasar derivatif suku bunga rupiah secara menyeluruh, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian melalui pengayaan variasi instrumen, pengembangan infrastruktur, dan peningkatan kredibilitas pasar. Untuk itu diperlukan pengaturan mengenai Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. -2- Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “transaksi interest rate swap” adalah kontrak/perjanjian antara 2 (dua) pihak untuk mempertukarkan aliran suku bunga dalam rupiah secara periodik selama masa kontrak atau di akhir masa kontrak berdasarkan suatu jumlah nosional (principal) tertentu. Transaksi interest rate swap mencakup transaksi yang menggunakan suku bunga tenor overnight sebagai suku bunga untuk penentuan harga (pricing) atau yang disebut transaksi overnight index swap. Transaksi overnight index swap merupakan kontrak/perjanjian antara 2 (dua) pihak untuk mempertukarkan aliran suku bunga dalam rupiah secara periodik selama masa kontrak atau di akhir masa kontrak berdasarkan suatu jumlah nosional (principal) tertentu yang perhitungannya menggunakan basis bunga harian (daily compounding). Transaksi overnight index swap merupakan transaksi interest rate swap yang perhitungannya menggunakan basis bunga harian. Huruf b Yang dimaksud dengan “transaksi forward rate agreement” adalah kontrak/perjanjian antara 2 (dua) pihak untuk mempertukarkan exposure suku bunga dengan jumlah nosional tertentu dalam rupiah pada suatu waktu tertentu di masa yang akan datang atau untuk jangka waktu tertentu dengan tingkat bunga yang telah disepakati pada saat inisiasi kontrak. Huruf c Yang dimaksud dengan “transaksi interest rate option” adalah kontrak/perjanjian antara 2 (dua) pihak yang memberikan hak dan bukan kewajiban kepada pembeli untuk menukarkan aliran suku bunga dalam rupiah yang disepakati saat inisiasi kontrak, dimana pembeli dapat -3- memilih untuk menggunakan haknya pada akhir atau di suatu waktu tertentu selama masa kontrak. Huruf d Yang dimaksud dengan “transaksi interest rate futures” adalah kontrak/perjanjian antara 2 (dua) pihak untuk mempertukarkan exposure suku bunga dalam rupiah pada suatu waktu tertentu di masa yang akan datang, yang dicerminkan oleh selisih harga dari underlying asset yang pergerakannya dipengaruhi oleh suku bunga tertentu, pada suatu harga yang telah disepakati saat inisiasi kontrak. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pihak Asing yang merupakan warga negara asing yaitu orang yang memiliki kewarganegaraan selain Indonesia, termasuk yang memiliki izin menetap atau izin tinggal di Indonesia. Pihak Asing yang merupakan badan hukum asing atau lembaga asing lainnya yaitu badan hukum atau lembaga asing yang didirikan di luar negeri, namun tidak termasuk: 1. kantor cabang dari bank berkedudukan di luar negeri; 2. perusahaan penanaman modal asing (PMA); atau 3. badan hukum asing yang memiliki kegiatan yang bersifat nirlaba. Huruf c Cukup jelas. -4- Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “modal” adalah ekuitas sebagaimana dimaksud dalam standar akuntansi keuangan. Minimum modal untuk badan hukum selain Bank diperhitungkan pada saat Bank melakukan analisis kebutuhan transaksi Nasabah untuk pertama kalinya. Huruf b Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Contoh kontrak utama transaksi yang lazim digunakan oleh pelaku pasar antara lain diterbitkan oleh International Swaps and Derivatives Association (ISDA) Master Agreement, Perjanjian Induk Derivatif Indonesia (PIDI), counterparty agreement, atau kontrak lainnya. Huruf b Konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi antara lain berupa dealing conversation atau Society of Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “konvensi pasar” adalah hal teknis terkait Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah yang disusun dan telah disepakati pelaku pasar melalui asosiasi pelaku pasar, antara lain Indonesia Foreign Exchange Market Committee. -5- Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) IndONIA dapat digunakan antara lain sebagai harga fixing dari transaksi overnight index swap atau penentuan kuotasi overnight index swap. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “posisi aset dan/atau kewajiban” adalah aset dan/atau kewajiban yang terekspos suku bunga rupiah. Huruf d Yang dimaksud dengan “kegiatan ekonomi lainnya” adalah kegiatan ekonomi yang terekspos suku bunga rupiah. Ayat (4) Contoh dokumen yang relevan yaitu laporan keuangan, perjanjian kredit, bukti kepemilikan obligasi, neraca, proyeksi kebutuhan -6- pendanaan atau investasi terkait kegiatan ekonomi tertentu (feasibility study), dan/atau dokumen lainnya. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 9 Huruf a Yang dimaksud dengan “atas inisiatif Bank” adalah Bank melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah untuk meneruskan (pass on) transaksi yang dilakukan dengan Nasabah, Pihak Asing, atau Bank lainnya, atau untuk kebutuhan lindung nilai aset dan/atau kewajiban Bank. Huruf b Cukup jelas. Pasal 10 Evaluasi (review) dilakukan untuk penerapan prinsip kehati-hatian. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “close-out netting” adalah proses pengakhiran seluruh Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah dengan menghitung nilai bersih (netting) dari nilai/jumlah hak atau kewajiban dengan pihak yang mengalami wanprestasi (defaulting party). Ayat (4) Cukup jelas. -7- Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam menerapkan prinsip kehati-hatian, Bank mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan konsumen, arbitrase, alternatif penyelesaian sengketa, dan ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Kewajiban Bank menerapkan transparansi informasi dalam melakukan pemasaran, penawaran, dan pelaksanaan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah antara lain sebagai berikut: 1. mengungkapkan informasi yang lengkap, benar, dan tidak menyesatkan kepada Nasabah; 2. memastikan pemberian informasi yang berimbang antara potensi manfaat yang mungkin diperoleh dengan risiko yang mungkin timbul bagi Nasabah dari Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah; dan 3. memastikan informasi yang disampaikan tidak menyamarkan, mengurangi, atau menutupi hal yang penting terkait risiko yang mungkin timbul dari Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah. Huruf c Upaya perlindungan konsumen oleh Bank antara lain melalui penerapan tata kelola yang baik dalam penelaahan pihak yang melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah dengan Bank. Huruf d Mekanisme penyelesaian sengketa dapat dituangkan dalam kontrak dan/atau prosedur internal. Ayat (3) Cukup jelas. -8- Ayat (4) Edukasi dilakukan untuk memberikan informasi kepada Nasabah mengenai manfaat dan risiko Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “pegawai atau staf yang melakukan aktivitas tresuri” adalah pegawai atau staf Bank yang melaksanakan fungsi di front office yaitu penjualan (sales), pelaksanaan transaksi (trader), dan/atau manajemen. Pasal 14 Ketentuan otoritas yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko Bank antara lain mengatur bahwa Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif yang paling sedikit memuat: a. pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi; b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit; c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Sistem pelaporan Bank Indonesia antara lain laporan harian bank umum, laporan bulanan bank umum, dan laporan kantor pusat bank umum. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. -9- Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6261
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 20/13/PBI/2018 </reg_id> <reg_title> TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA RUPIAH </reg_title> <set_date> 9 November 2018 </set_date> <effective_date> 14 November 2018 </effective_date> <issued_date> 14 November 2018 </issued_date> <related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 12/ 13 /PBI/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/29/PBI/2008 TENTANG FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung kelancaran sistem pembayaran dan pengembangan pasar keuangan, Bank Indonesia perlu memperluas surat berharga yang dapat digunakan untuk memperoleh fasilitas likuiditas intrahari bagi bank umum; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/29/PBI/2008 tentang Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran ... -2- Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236); 5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4852); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/29/PBI/2008 TENTANG FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/29/PBI/2008 tentang Fasilitas Likuiditas Intrahari bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 174, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4922) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 10 diubah dan ditambah 2 (dua) angka setelah angka 10, yakni angka 11 dan angka 12, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement. 3. Bank ... -3- 3. Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya dan penatausahaan surat berharga secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System. 4. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SKNBI adalah sistem kliring yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem kliring nasional Bank Indonesia. 5. Kliring Debet adalah kegiatan dalam SKNBI untuk transfer debet sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem kliring nasional Bank Indonesia. 6. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disebut FLI adalah penyediaan pendanaan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam kedudukan Bank sebagai peserta Sistem BI-RTGS dan peserta SKNBI, yang dilakukan dengan cara repurchase agreement (repo) surat berharga yang harus diselesaikan pada hari yang sama dengan hari penggunaan. 7. FLI dalam rangka RTGS yang selanjutnya disebut FLI-RTGS adalah FLI untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank yang terjadi selama jam operasional Sistem BI-RTGS. 8. FLI dalam rangka Kliring yang selanjutnya disebut FLI-Kliring adalah FLI untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank yang terjadi pada saat penyelesaian akhir atas hasil Kliring Debet. 9. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI, adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 10. Surat Utang Negara, yang selanjutnya disebut SUN, adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang berlaku. 11. Surat Berharga Syariah Negara, yang selanjutnya disebut SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang berlaku. 12. Surat ... -4- 12. Surat Berharga Negara, yang selanjutnya disebut SBN, adalah SUN dan SBSN. 2. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf a diubah sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 1. Bank dapat memperoleh FLI, baik dalam bentuk FLI-RTGS maupun FLI- Kliring, setelah menandatangani Perjanjian Penggunaan FLI dan menyampaikan dokumen pendukung yang dipersyaratkan kepada Bank Indonesia. 2. Bank dapat menggunakan FLI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki surat berharga yang dapat direpokan kepada Bank Indonesia berupa SBI, SBN dan/atau surat berharga lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; b. c. tidak sedang dikenakan sanksi penangguhan sebagai Bank peserta BI- RTGS dan/atau penghentian sebagai Bank peserta kliring; dan berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS. 3. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) diubah sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Perhitungan nilai SBI, SBN dan/atau surat berharga lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang digunakan Bank dalam rangka FLI ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Nilai maksimum FLI yang dapat digunakan Bank adalah sebesar nilai surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah dipindahkan Bank ke rekening FLI-RTGS dan FLI-Kliring di BI-SSSS. 4. Ketentuan Pasal 11 dihapus. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 4 Agustus 2010. Ditetapkan ... -5- Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 4 Agustus 2010 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 4 Agustus 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 94 DASP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 12/ 13 /PBI/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/29/PBI/2008 TENTANG FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2 Ayat (1) Dokumen pendukung yang disertakan antara lain meliputi fotokopi Anggaran Dasar Bank atau kuasa (power of attorney) dari kantor cabang Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri yang telah dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Bank. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Kriteria pengenaan sanksi penangguhan (suspend) tunduk pada Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement yang berlaku dan/atau Peraturan Bank Indonesia tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia. Huruf c Yang dimaksud dengan kriteria aktif adalah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ... -2- Indonesia tentang Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System. Angka 3 Pasal 5 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5147
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 12/13/PBI/2010 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/29/PBI/2008 TENTANG FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 4 Agustus 2010 </set_date> <effective_date> 4 Agustus 2010 </effective_date> <issued_date> 4 Agustus 2010 </issued_date> <changed_reg> '10/29/PBI/2008' </changed_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '19/UU/2008', '23/UU/1999', '8/UU/1995', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998' </related_reg>
BANK INDONESIA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/ 13 /PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang a. bahwa dalam perhitungan permodalan bank perha mempertimbangkan risiko kredit maupun risiko pasar; b. bahwa dalam rangka memperhitungkan risiko pasar dalam permodalan bank, perlu dilakukan langkah- langkal persiapan agar pada waktunya dapat memenuhi kewajiban permodalan dengan memperhitungkan risiko pasar; c. bahwa dengan diperhitungkannya risiko pasar dalam kewajiban penyediaan modal minimum maka Posisi Devisa Neto Bank Umum perlu disesuaikan; d. bahwa selubungan dengan itu dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia ..2n92. 8- 1O PAI CAD1. 207-2-2000.-43 BANK INDONESIA Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843): 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/ 12 /PBI/2003 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar (Market Risk) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 83 ,Tambahan Lembaran Negara Nomor MEMUTUSKAN Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM. Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta 2. Modal .. Anga- 81-100PB AND- 207-2-2000.00 BANK INDONESIA 2. Modal adalah modal Bank sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia No. 3/21/PBI/2001 tanggal 13 Desember 2001 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. 3. Kurs Penutupan adalah kurs tengah (niddle rate) berdasarkan Reuters pada pukul 16.00 WIB setiap hari yang dapat dilihat di Pusat Informasi Pasar Uang. Pasal 2 (1) Bank wajib memelihara Posisi Devisa Neto pada setiap akhir hari kerja Sctinggi-tingginya 20% (dua puluh perseratus) dari Modal. (2) Posisi Devisa Neto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah angka yang merupakan penjumlahan dari nilai absolut untuk jumlah dari: a. selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca untuk setiap valuta asing ditambah dengan b. selisih bersih tagihan dan kewajiban baik yang merupakan komitmen maupun kontinjensi dalam rekening administratif untuk setiap valuta asing, yang semuanya dinyatakan dalam Rupiah. (3) Aktiva valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a terdiri dari kas, emas, giro (termasuk giro pada Bank Indonesia), deposit on call, deposito berjangka, sertifikat deposito, margin deposi, surat berharga, kredit yang diberikan, nilai bersih wesel ekspor yang telah diambilalih, rekening antar kantor aktiva dan tagihan lainnya, dalam valuta asing baik kepada penduduk maupun bukan penduduk. (4) Pasiva ...7082- B1- 10001401-207-2-3000-40 BANK INDONESIA (4) Pasiva valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a terdiri dari giro, deposit on call, deposito berjangka, sertifikat deposito, margin deposit, pinjaman yang diterima, jaminan impor, rekening antar kantor pasiva dan kewajiban lainnya dalam valuta asing baik terhadap penduduk maupun bukan penduduk. (5) Rekening administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b adalah rekening dalam valuta asing yang dapat menimbulkan tagihan dan atau kewajiban di masa mendatang yang merupakan komitmen dan kontinjensi yang mencakup bank garansi maupun L/C yang dipastikan menjadi kewajiban Bank setelah dikurangi margin deposit, spot, serta transaksi derivatif antara lain transaksi forward, option dan fiture, maupun produk-produk lain yang sejenis baik terhadap penduduk maupun bukan penduduk. Pasal 3 (I) Bagi Bank yang telah memenuhi kriteria untuk wajib memenuhi Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dengan memperhitungkan Risiko Pasar sesuai ketentuan berlaku, kewajiban memelihara Posisi Devisa Neto pada setiap akhir hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (I) ditetapkan setinggi-tingginya 30% (tiga puluh perseratus) dari Modal. (2) Sepanjang ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dengan memperhitungkan Risiko Pasar belum berlaku efektif maka bagi Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap wajib memenuhi perhitungan Posisi Devisa Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) Bank 292- 10000-20 BANK INDONESIA (3) Bank wajib memelihara Posisi Devisa Neto sepanjang hari (intraday) berdasarkan prinsip kehati-hatian. Pasal 4 (1) Dalam rangka menghitung Posisi Devisa Neto, bagi Bank yang tidak dapat menghitung nilai delta dari posisi option (delta based equhalent), posisi option yang dipethitungkan hanya posisi option yang diterbitkan Bank. (2) Seluruh atau sebagian posisi option yang diterbitkan Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan saling hapus dengan posisi option lainnya sepanjang identik. (3) Proses saling hapus untuk posisi aption yang identik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah posisi option yang diterbitkan Bank dengan pos lawan posisi option yang dibeli Bank, yang memiliki persyaratan sama dalam a. tanggal pelaksanaan (exercise date); b. harga yang disepakati (strike price); c. jenis valuta; d. transaksi yang mendasari (underlying transaction); dan e. jenis option. Pasal 5 (1) Bagi Bank yang dapat menghitung nilai delta dari posisi option (delia based equivalent), posisi option yang diperhitungkan adalah seluruh posisi option Bank. (2) Perhitungan .779L BANK INDONESIA (2) Perhitungan nilai delta dari posisi option sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (3) Selumh atau sebagian posisi option Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat saling hapus dengan posisi option lainnya sepanjang simetris. (4) Proses saling hapus untuk posisi option yang simetris sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) hanya dapat dilakukan dengan perhitungan nilai delta dari posisi option (delta based equivalent). Pasal 6 (1) Bank dapat mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia untuk dapat mengecualikan posisi struktural dalam valuta asing dari perhitungan Posisi Devisa Neto. (2) Posisi struktural sebagaimana dimaksud dalam ayat (I) adalah posisi yang sekurang-kurangnya memenuhi kriteria a. bagian dari investasi strategis dan penting untuk operasional Bank atau posisi yang diwajibkan oleh otoritas; b. posisi tersebut merupakan investasi jangka memengah atau jangka panjang dan tidak digunakan untuk tujuan spekulatif; c. posisi terscbut telah disetujui oleh Direksi Bank. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis oleh Bank kepada Bank Indonesia, dengan alamat a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, JI. MH. Thamrin No.2 Jakarta 10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di Iuar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. (4) Dalam .angz 31- 100981W4B1-10 7.2-200.A BANK INDONESIA (4) Dalam hal permohonan Bank untuk mengecualikan posisi struktural dalam valuta asing pada perhitungan Posisi Devisa Neto disetujui oleh Bank Indonesia maka Bank wajib menerapkan pengecualian posisi straktural dimaksud secara konsisten. Pasal 7 (1) Bank wajib menyampaikan laporan secara berkala dan benar kepada Bank Indonesia mengenai Posisi Devisa Neto. ) Tata cara mengenai penyusunan dan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (I1) mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum. (3) Bank wajib menyesuaikan Penyusunan Laporan Berkala Bank Umum untuk Laporan Posisi Devisa Neto sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 8 (i) Bank wajib menyusun laporan Posisi Devisa Neto dengan menggunakan Kurs Penutupan. (2) Dalam hal Kurs Penutupan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk valuta asing tertentu tidak tersedia, Bank dapat menggunakan crossing rate pada waktu yang sama dengan Kurs Penutupan yang terjadi. BANK INDONESIA Pasal 9 Bagi Bank yang melanggar kewajiban memelihara Posisi Devisa Neto Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) sebagai akibat perubahan cakupan aktiva valuta asing, pasiva valuta asing, dan rekening administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), yang berkaitan dengan posisi struktural diberikan waktu untuk menyelesaikan pelanggaran Posisi Devisa Neto dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 10 Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2 ayat (D, Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (4) dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. mempengaruhi penilaian tingkat keschatan Bank; c. pembekuan kegiatan usaha tertentu; d. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, pemegang saham dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemilik dan pengurus Bank; e. pemberhentian Penguras Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Bank Indonesia. Pasal 11.2782 RI- TO PEICNDI- 20 7-2- 000.A BANK INDONESIA Pasal 11 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/178/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 17 Juli 2003 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 84 DPNP 81-00 PAI IAB1-20-2-20000 BANK INDONESIA. PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/ 13 /PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM L UMUM Arah kebijakan Bank Indonesia untuk menerapkan perhitungan risiko dalam permodalan Bank akan terus disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi secara intemasional. Sehubungan dengan itu pada waktu yang telah ditetapkan Bank Indonesia akan menerapkan perhitungan risiko pasar dalam permodalan Bank bagi Bank yang telah memenuhi kriteria untuk wajib memenuhi peraturan risiko pasar dalam Kewajiban Penyediaan Modal Minimum. Dengan diperhitungkannya risiko pasar dalam permodalan bagi Bank yang telah memenuhi kriteria tertentu maka Posisi Devisa Neto Bank tersebut perlu disesuaikan. Hal ini mengingat sebagian dari risiko nilai tukar yang ada telah diperhitungkan dengan modal Bank. Selain itu, Bank Indonesia juga memperkenankan seluruh Bank untuk mengecualikan posisi struktural dalam valuta asing pada pethitungan Posisi Devisa Neto. Pengecualian tersebut dilakukan melalui prosedur permohonan oleh Bank dan apabila telah disetujui maka pengecualian posisi struktural dalam perhitungan Posisi Devisa Neto harus diterapkan secara konsisten. 81-100P810M81- 307-2-2000-4 BANK INDONESIA 0 II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka l sampai dengan angka 3 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (I) Bagi Bank yang berbadan hukum Indonesia pemeliharaan Posisi Devisa Neto dihitung secara gabungan yaitu mencakup seluruh kantor cabang di dalam negeri maupun di luar negeri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Nilai aktiva yang diperhitungkan adalah sebesar nilai buku yaitu nilai setelah diperhitungkan dengan penyisihan penghapusan yang dibentuk dalam valuta yang sama. Termasuk dalam pengertian tagihan lainnya antara lain adalah penyertaan dalam valuta asing, aktiva tetap kantor cabang di luar negeri (setelah dikurangi depresiasi), pendapatan bunga yang masih harus diterima (acerued Interest), tagihan akseptasi, transaksi reverse repo dan tagihan derivatif. Rekening antar kantor aktiva bagi kantor cabang bank asing adalah seluruh rekening antar kantor aktiva dengan kantor di luar negeri, termasuk yang diperhitungkan dalam komponen modal (Dana Usaha). Avat (4) .29- 12 BANK INDONESIA3 Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh saling hapus untuk posisi yang identik antara lain posisi penjualan (sell) call option dengan posisi pembelian (buo) call option apabila keduanya memiliki persyaratan sama. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan seluruh posisi option adalah posisi option yang diterbitkan Bank (Bank sebagai writer) dan posisi option yang dibeli Bank (Bank sebagai holder). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh posisi yang bersifat simetris, antara lain apabila Bank menerbitkan (sell) call option maka posisi simetris adalah posisi 1. pembelian (biry) call option;, atau 2. penerbitan (sell) put option. Ayat (4) Cukup jelas. 81-10 781461-207-2-200-AJ BANK INDONESIA Pasal 6 Ayat (1) Pengajuan permohonan termasuk perubahan atas posisi struktural yang disebabkan penambahan atau pengurangan posisi struktural. Perubahan akibat depresiasi dilaporkan setiap 1 (satu) tahun. Tata cara pengajuan permohonan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Ayat (2) Termasuk posisi dalam ayat ini antara lain a. penempatan dana yang bersifat permanen di kantor cabang di luar negeri yang diwajibkan oleh otoritas setempat; b. pembelian aktiva tetap untuk kantor cabang Bank di luar negeri; c. penyertaan dalam valuta asing, tidak termasuk penyertaan dalam rangka penyelamatan kredit; d. posisi lindung nilai yang dilakukan untuk melindungi nilai Modal yang ditempatkan dalam mata uang asing: e. posisi lindung nilai terhadap penempatan dana yang bersifat permanen di kantor cabang luar negeri; f. Dana Usaha kantor cabang bank asing di Indonesia yang diperhitungkan sebagai Modal; g. Pinjaman Subordinasi dan Modal Pinjaman yang dipethitungkan sebagai Modal. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) 2n91 8-1008 0 00 BANK INDONESIA Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Dengan ketentuan ini pelanggaran Posisi Devisa Neto akibat adanya perubahan ketentuan yang terkait dengan posisi struktural tidak dikenakan sanksi pelanggaran sampai dengan 3 (tiga) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 10 .anga. 81-100P810A81-201-2-2000-40 Pasal 10 Huruf a Termasuk dalam sanksi berupa teguran tertulis adalah pencabutan persetujuan pengecualian posisi struktural sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Huruf b sampai dengan buruf e Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4907. 81- 100PA IAAD1-207-2-2000-00
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 5/13/PBI/2003 </reg_id> <reg_title> POSISI DEVISA NETO BANK UMUM </reg_title> <set_date> 17 Juli 2003 </set_date> <effective_date> 17 Juli 2003 </effective_date> <replaced_reg> '31/178/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '5/12/PBI/2003', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal 10' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/12/PBI/2017 TENTANG PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI FINANSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perkembangan teknologi dan sistem informasi terus melahirkan berbagai inovasi, khususnya yang berkaitan dengan teknologi finansial untuk memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat termasuk akses terhadap layanan finansial dan pemrosesan transaksi; b. bahwa perkembangan teknologi finansial di satu sisi terbukti membawa manfaat bagi konsumen, pelaku usaha maupun perekonomian nasional, namun di sisi lain memiliki potensi risiko yang apabila tidak dimitigasi secara baik dapat mengganggu sistem keuangan; c. bahwa ekosistem teknologi finansial perlu terus dimonitor dan dikembangkan untuk mendukung terciptanya stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, serta sistem pembayaran yang efisien, lancar, aman, dan andal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan dan inklusif; - 2 - d. bahwa penyelenggaraan teknologi finansial harus menerapkan prinsip perlindungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian dengan tetap memperhatikan perluasan akses, kepentingan nasional, serta standar dan praktik internasional yang berlaku; e. bahwa respons kebijakan Bank Indonesia terhadap perkembangan teknologi finansial harus tetap sinkron, harmonis, dan terintegrasi dengan kebijakan Bank Indonesia lainnya seperti penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran dan gerbang pembayaran nasional (national payment gateway) serta perlu dikoordinasikan dengan otoritas terkait; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 - 3 - Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952); 3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5204); 4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); Menetapkan : PERATURAN MEMUTUSKAN: BANK INDONESIA PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI FINANSIAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Teknologi Finansial adalah penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran. 2. Penyelenggara Teknologi Finansial adalah setiap pihak yang menyelenggarakan kegiatan Teknologi Finansial. 3. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran adalah penyelenggara jasa sistem pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. 4. Regulatory Sandbox adalah suatu ruang uji coba terbatas yang aman untuk menguji Penyelenggara Teknologi Finansial beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya. TENTANG - 4 - BAB II TUJUAN DAN RUANG LINGKUP Pasal 2 Bank Indonesia mengatur penyelenggaraan Teknologi Finansial untuk mendorong inovasi di bidang keuangan dengan menerapkan prinsip perlindungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian guna tetap menjaga stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan sistem pembayaran yang efisien, lancar, aman, dan andal. Pasal 3 (1) Penyelenggaraan Teknologi Finansial dikategorikan ke dalam: a. sistem pembayaran; b. pendukung pasar; c. manajemen investasi dan manajemen risiko; d. pinjaman, pembiayaan, dan penyediaan modal; dan e. jasa finansial lainnya. (2) Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kriteria: a. bersifat inovatif; b. dapat berdampak pada produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis finansial yang telah eksis; c. dapat memberikan manfaat bagi masyarakat; d. dapat digunakan secara luas; dan e. kriteria lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 4 Ruang lingkup pengaturan penyelenggaraan Teknologi Finansial mencakup: a. pendaftaran; b. Regulatory Sandbox; c. perizinan dan persetujuan; dan d. pemantauan dan pengawasan. - 5 - BAB III PENDAFTARAN Bagian Kesatu Kewajiban Melakukan Pendaftaran Pasal 5 (1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang akan atau telah melakukan kegiatan yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib melakukan pendaftaran pada Bank Indonesia. (2) Kewajiban pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi: a. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia; dan/atau b. Penyelenggara Teknologi Finansial yang berada di bawah kewenangan otoritas lain. (3) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tetap harus menyampaikan informasi kepada Bank Indonesia mengenai produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru yang memenuhi kriteria Teknologi Finansial. (4) Penyelenggara Teknologi Finansial yang berada di bawah kewenangan otoritas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b yang menyelenggarakan Teknologi Finansial di bidang sistem pembayaran wajib melakukan pendaftaran kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 6 (1) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus merupakan badan usaha. (2) Untuk Penyelenggara Teknologi Finansial berupa lembaga selain bank yang memenuhi kategori sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran, Penyelenggara Teknologi Finansial tersebut harus merupakan badan usaha yang berbadan hukum Indonesia. - 6 - Bagian Kedua Tata Cara Pendaftaran Pasal 7 (1) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan permohonan tertulis kepada Bank Indonesia oleh pihak yang berwenang mewakili Penyelenggara Teknologi Finansial. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dokumen berupa: a. salinan akta pendirian badan hukum atau badan usaha; b. data kepemilikan pada badan hukum atau badan usaha; c. daftar susunan pengurus; d. gambaran umum perusahaan; e. penjelasan singkat secara tertulis mengenai produk, layanan, teknologi yang disediakan, dan/atau model bisnis yang telah berjalan dan/atau akan dikembangkan yang memenuhi kriteria Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2); dan f. data dan informasi lainnya yang terkait dengan kegiatan Teknologi Finansial. (3) Bank Indonesia melaksanakan pendaftaran Penyelenggara Teknologi Finansial kelengkapan dan kesesuaian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. dengan mempertimbangkan - 7 - Pasal 8 (1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank Indonesia wajib: a. menerapkan prinsip perlindungan konsumen sesuai dengan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang dijalankan; b. menjaga kerahasiaan data dan/atau informasi konsumen termasuk data dan/atau informasi transaksi; c. menerapkan prinsip manajemen risiko dan kehati- hatian; d. menggunakan rupiah dalam setiap transaksi yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai mata uang; e. menerapkan prinsip anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme; dan f. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. (2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara Teknologi Finansial dilarang melakukan kegiatan sistem pembayaran dengan menggunakan virtual currency. (3) Penyelenggara Teknologi Finansial wajib menyampaikan surat pernyataan kepatuhan atas kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak Penyelenggara Teknologi Finansial terdaftar di Bank Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai prinsip manajemen risiko dan kehati-hatian diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 8 - Pasal 9 (1) Bank Indonesia mengumumkan Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) pada laman resmi Bank Indonesia secara berkala. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengumuman Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank Indonesia diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 10 Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban Penyelenggara Teknologi Finansial dan tanggung jawab Penyelenggara Teknologi Finansial. BAB IV REGULATORY SANDBOX Pasal 11 (1) Guna memberi ruang bagi Penyelenggara Teknologi Finansial untuk memastikan lebih lanjut bahwa produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya telah memenuhi kriteria Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Bank Indonesia menyelenggarakan Regulatory Sandbox. (2) Bank Indonesia menetapkan Penyelenggara Teknologi Finansial beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya untuk diuji coba dalam Regulatory Sandbox. (3) Penyelenggara Teknologi Finansial beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya yang dapat ditetapkan masuk dalam Regulatory Sandbox harus merupakan Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) atau telah menyampaikan informasi kepada - 9 - Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3). Pasal 12 (1) Bank Indonesia menetapkan jangka waktu tertentu bagi Penyelenggara Teknologi Finansial untuk melakukan uji coba dalam Regulatory Sandbox sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. (2) Setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, Bank Indonesia menetapkan status hasil uji coba Penyelenggara Teknologi Finansial berupa: a. berhasil; b. tidak berhasil; atau c. status lain yang ditetapkan Bank Indonesia. (3) Dalam hal uji coba dinyatakan berhasil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya termasuk Teknologi Finansial kategori sistem pembayaran maka Penyelenggara Teknologi Finansial dilarang memasarkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang diujicobakan sebelum terlebih dahulu mengajukan permohonan izin dan/atau persetujuan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. (4) Dalam hal uji coba dinyatakan tidak berhasil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya termasuk Teknologi Finansial kategori sistem pembayaran maka Penyelenggara Teknologi Finansial dilarang memasarkan produk dan/atau layanan serta menggunakan teknologi dan/atau model bisnis yang diujicobakan. (5) Dalam hal produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya termasuk Teknologi Finansial selain kategori sistem pembayaran, Bank Indonesia dapat menyampaikan status hasil uji coba Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada otoritas yang berwenang. - 10 - Pasal 13 (1) Selama proses uji coba dalam Regulatory Sandbox, Bank Indonesia dapat menetapkan kebijakan tertentu bagi Penyelenggara Teknologi Finansial. (2) Penetapan kebijakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan karakteristik produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang diuji coba. Pasal 14 Ketentuan lebih lanjut mengenai Regulatory Sandbox diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB V PERIZINAN DAN PERSETUJUAN Pasal 15 (1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang termasuk kategori Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran harus memperoleh izin dari Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. (2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi Penyelenggara Teknologi Finansial yang termasuk kategori Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran, harus memenuhi aspek kelayakan. (3) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru yang merupakan: a. pengembangan kegiatan jasa sistem pembayaran; dan/atau b. pengembangan produk dan/atau aktivitas jasa sistem pembayaran, - 11 - namun tidak memenuhi kriteria Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), sebelum melanjutkan pemasaran produk dan/atau layanan serta menggunakan teknologi dan/atau model bisnisnya, harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. BAB VI PEMANTAUAN DAN PENGAWASAN Pasal 16 (1) Bank Indonesia melakukan pemantauan terhadap Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank Indonesia. (2) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan data dan/atau informasi yang diminta oleh Bank Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan dan tata cara penyampaian data dan/atau informasi diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 17 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Penyelenggara Teknologi Finansial berupa Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah memperoleh izin dan/atau persetujuan dari Bank Indonesia. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. - 12 - BAB VII KERJA SAMA PENYELENGGARA JASA SISTEM PEMBAYARAN DENGAN PENYELENGGARA TEKNOLOGI FINANSIAL Pasal 18 (1) Kerja sama Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dengan Penyelenggara Teknologi Finansial yang terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. (2) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dilarang bekerja sama dengan Penyelenggara Teknologi Finansial yang tidak melakukan pendaftaran dan/atau perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) atau ayat (2). BAB VIII KOORDINASI DAN KERJA SAMA Pasal 19 (1) Untuk melaksanakan Peraturan Bank Indonesia ini, Bank Indonesia berkoordinasi dan/atau bekerja sama dengan: a. b. otoritas lain di dalam negeri; dan/atau otoritas di negara lain, organisasi internasional, dan/atau lembaga internasional. (2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup: a. pertukaran data dan informasi terkait kelembagaan, transaksi, produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis; b. pembahasan mengenai isu yang sedang berkembang terkait dengan Teknologi Finansial; dan/atau c. hal lain yang dipandang perlu oleh Bank Indonesia dan otoritas lain. - 13 - BAB IX SANKSI Pasal 20 (1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan/atau Pasal 5 ayat (4) dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; b. penghentian kegiatan usaha; c. tindakan tertentu terkait penyelenggaraan kegiatan sistem pembayaran; dan/atau d. rekomendasi kepada otoritas yang berwenang untuk mencabut izin usaha yang diberikan oleh otoritas yang berwenang dimaksud. (2) Penyelenggara Teknologi Finansial yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (2), Pasal 8 ayat (3), Pasal 12 ayat (3), Pasal 12 ayat (4), dan/atau Pasal 16 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; dan/atau b. penghapusan dari daftar Penyelenggara Teknologi Finansial di Bank Indonesia. (3) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan/atau Pasal 26 dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. denda; c. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan jasa sistem pembayaran; dan/atau d. pencabutan izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran. Pasal 21 Dalam hal Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan/atau Pasal 20 ayat (2) merupakan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat - 14 - (1) dan/atau Pasal 20 ayat (2) juga dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Pasal 22 Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan/atau Pasal 26, selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) juga dapat dikenakan sanksi berupa perintah untuk menghentikan kerja samanya. BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 23 Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi dan/atau rekomendasi kepada otoritas yang berwenang dalam hal Penyelenggara Teknologi Finansial melanggar Peraturan Bank Indonesia ini atau ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 24 (1) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan untuk penyelenggaraan Teknologi Finansial. (2) Penetapan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada pertimbangan: a. perkembangan inovasi tertentu terkait dengan penyelenggaraan Teknologi Finansial; dan/atau b. perkembangan ekosistem Teknologi Finansial untuk mendukung perekonomian nasional. Pasal 25 Pelaksanaan tugas di Bank Indonesia terkait penyelenggaraan Teknologi Finansial dilakukan oleh unit kerja yang melaksanakan fungsi pengelolaan Teknologi Finansial. - 15 - BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 26 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran wajib melakukan identifikasi adanya kerja sama dengan Penyelenggara Teknologi Finansial; dan b. dalam hal terdapat kerja sama dengan Penyelenggara Teknologi Finansial yang belum terdaftar, Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran wajib memastikan kerja sama tersebut memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Peraturan Bank Indonesia ini berlaku. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 27 Ketentuan mengenai kewajiban pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mulai berlaku 1 (satu) bulan terhitung sejak Peraturan Bank Indonesia ini diundangkan. Pasal 28 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 16 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 November 2017 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 November 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 245 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/ 12 /PBI/2017 TENTANG PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI FINANSIAL I. UMUM Inovasi teknologi dan penetrasinya dengan fitur finansial terus berlangsung dan menandai munculnya momentum transformasi di dunia finansial. Era digitalisasi ekonomi memicu penggunaan teknologi internet, telepon pintar, dan big data hingga ke level konsumen akhir secara lebih efisien, baik dari segi waktu, akses, maupun biaya. Dalam konteks tersebut, arus digitalisasi ekonomi termasuk di dalamnya Teknologi Finansial memiliki potensi yang besar untuk mendorong alokasi sumber daya ekonomi secara lebih efisien dan pada gilirannya mendorong peningkatan produktivitas serta memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat. Di sisi lain, peleburan inovasi teknologi dengan fitur finansial juga membawa risiko tersendiri. Fungsi konvensional cenderung tereduksi perannya bahkan seringkali tergusur oleh fungsi baru yang diperkenalkan oleh inovasi teknologi yang cenderung bersifat mengganggu (disruptive). Pemain baru bermunculan karena berkurangnya halangan untuk masuk (barriers to entry) di industri keuangan. Pemain baru ini umumnya menjangkau segmen masyarakat dan/atau dunia usaha yang rata-rata tidak atau belum tersentuh oleh sektor keuangan formal, baik yang disebabkan oleh keterbatasan kapasitas jangkauan sektor keuangan formal maupun belum atau tidak memenuhi kriteria manajemen risiko yang dipersyaratkan secara baku oleh sektor keuangan formal. - 2 - Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna pelaksanaan tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang moneter, menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang stabilitas sistem keuangan termasuk makroprudensial, serta menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang sistem pembayaran, Bank Indonesia perlu menetapkan pengaturan, pengawasan, dan pemantauan terhadap penyelenggaraan Teknologi Finansial. Pengaturan, pengawasan, dan pemantauan ini penting agar penyelenggaraan Teknologi Finansial dimonitor dan diarahkan dengan baik sehingga manfaat dari Teknologi Finansial dapat lebih dinikmati oleh masyarakat dan berbagai risiko termasuk potensi muncul dan berkembangnya transaksi perekonomian yang tidak terawasi (shadow economy) dapat termitigasi dengan baik. Selain itu, pengaturan dan pengawasan ini penting untuk terus mendorong pengembangan ekosistem Teknologi Finansial agar semakin dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Seiring dengan semakin diadopsinya Teknologi Finansial oleh masyarakat, menjadi krusial bagi Bank Indonesia untuk mewajibkan Penyelenggara Teknologi Finansial tetap menerapkan prinsip perlindungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Sistem pembayaran mencakup otorisasi, kliring, penyelesaian akhir, dan pelaksanaan pembayaran. Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori sistem pembayaran antara lain penggunaan teknologi blockchain atau distributed ledger untuk penyelenggaraan transfer dana, uang elektronik, dompet elektronik, dan mobile payments. - 3 - Huruf b Yang dimaksud dengan “pendukung pasar” adalah Teknologi Finansial yang menggunakan teknologi informasi dan/atau teknologi elektronik untuk memfasilitasi pemberian informasi yang lebih cepat dan lebih murah terkait dengan produk dan/atau layanan jasa keuangan kepada masyarakat. Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori pendukung pasar (market support) antara lain penyediaan data perbandingan informasi produk atau layanan jasa keuangan. Huruf c Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori manajemen investasi dan manajemen risiko antara lain penyediaan produk investasi online dan asuransi online. Huruf d Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori pinjaman (lending), pembiayaan (financing atau funding), dan penyediaan modal (capital raising) antara lain layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (peer-to-peer lending) serta pembiayaan atau penggalangan dana berbasis teknologi informasi (crowd-funding). Huruf e Yang dimaksud dengan “jasa finansial lainnya” adalah Teknologi Finansial selain kategori sistem pembayaran, pendukung pasar, manajemen investasi dan manajemen risiko, serta pinjaman, pembiayaan, dan penyediaan modal. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Dalam melakukan pendaftaran, Bank Indonesia memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kegiatan usaha Penyelenggara Teknologi Finansial. Contoh ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait - 4 - antara lain ketentuan mengenai layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (peer-to-peer lending). Pendaftaran dimaksudkan agar penyelenggaraan kegiatan Teknologi Finansial dapat dipantau oleh Bank Indonesia untuk pelaksanaan tugas di bidang moneter, stabilitas sistem keuangan, dan sistem pembayaran. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Contoh Penyelenggara Teknologi Finansial yang berada di bawah kewenangan otoritas lain yaitu penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (peer-to- peer lending). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Pihak yang berwenang mewakili Penyelenggara Teknologi Finansial antara lain: a. bagi Penyelenggara Teknologi Finansial berbadan hukum perseroan terbatas yaitu direksi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perseroan terbatas; dan b. bagi Penyelenggara Teknologi Finansial berbadan hukum koperasi yaitu pengurus sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perkoperasian. - 5 - Ayat (2) Huruf a Termasuk salinan akta pendirian badan hukum yaitu anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang dan perubahannya apabila ada. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Contoh data dan informasi lainnya antara lain fotokopi bukti pendaftaran dan/atau perizinan dari otoritas pengawas, sebaran wilayah terkait transaksi dan pengguna, potensi bisnis, volume dan nilai transaksi, peluang pasar, serta target pasar. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “menerapkan prinsip perlindungan konsumen” adalah Penyelenggara Teknologi Finansial menerapkan prinsip sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan konsumen. Huruf b Menjaga kerahasiaan data dan/atau informasi konsumen termasuk data dan/atau informasi transaksi antara lain dilakukan dengan mengelola dan menatausahakan dokumen transaksi dan/atau konsumen secara baik dan tertib serta - 6 - tidak memberikan data dan/atau informasi transaksi dan/atau konsumen kepada pihak lain kecuali atas persetujuan tertulis dari konsumen atau diwajibkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf c Yang dimaksud dengan “menerapkan prinsip manajemen risiko” adalah Penyelenggara Teknologi Finansial telah melakukan identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian atas risiko yang mungkin timbul dalam kegiatan usahanya. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Penerapan prinsip anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai prinsip anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme termasuk peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga pengawas dan pengatur yang terkait dengan kegiatan usaha dan/atau keberadaan dari Penyelenggara Teknologi Finansial yang bersangkutan. Huruf f Contoh ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya antara lain peraturan mengenai pendirian badan hukum serta penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “virtual currency” adalah uang digital yang diterbitkan oleh pihak selain otoritas moneter yang diperoleh dengan cara mining, pembelian, atau transfer pemberian (reward). Larangan melakukan kegiatan sistem pembayaran dengan menggunakan virtual currency karena virtual currency bukan merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. - 7 - Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Kewajiban Penyelenggara Teknologi Finansial antara lain kewajiban untuk mengajukan permohonan pendaftaran, perizinan, atau persetujuan kepada otoritas terkait. Tanggung jawab Penyelenggara Teknologi Finansial antara lain tanggung jawab terhadap penyelenggaraan Teknologi Finansial termasuk kewajiban menerapkan prinsip perlindungan konsumen, manajemen risiko, kehati-hatian, dan hubungan hukum antara Penyelenggara Teknologi Finansial dengan pengguna jasa dan/atau pihak lainnya. Pasal 11 Ayat (1) Implementasi Regulatory Sandbox merupakan salah satu upaya Bank Indonesia untuk terus mendorong inovasi Teknologi Finansial dengan tetap menerapkan prinsip perlindungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Contoh status lain yang ditetapkan Bank Indonesia antara lain apabila pada saat dan/atau setelah diujicobakan, - 8 - produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis bukan termasuk kategori sistem pembayaran. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Penyampaian kepada otoritas yang berwenang dimaksudkan agar ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang termasuk Teknologi Finansial selain kategori sistem pembayaran. Pasal 13 Ayat (1) Kebijakan tertentu antara lain pembatasan tertentu seperti batasan wilayah, jumlah pengguna dan/atau jangka waktu tertentu, dan/atau kemudahan untuk menyelenggarakan kegiatan Teknologi Finansial selama proses uji coba melalui Regulatory Sandbox. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cakupan aspek kelayakan meliputi: a. legalitas dan profil perusahaan; b. hukum; c. kesiapan operasional; d. keamanan dan keandalan sistem; e. kelayakan bisnis; - 9 - f. kecukupan manajemen risiko; dan g. perlindungan konsumen. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Pemantauan dilakukan untuk mendeteksi secara dini adanya potensi dampak negatif dari perkembangan Teknologi Finansial yang terlalu ekspansif terhadap pelaksanaan kebijakan moneter, kebijakan stabilitas sistem keuangan termasuk makroprudensial, dan kebijakan sistem pembayaran untuk tetap menjaga stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, serta sistem pembayaran yang efisien, lancar, aman, dan andal. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Guna memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia, Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran menyampaikan informasi mengenai produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis dari Penyelenggara Teknologi Finansial kepada Bank Indonesia Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. - 10 - Huruf b Koordinasi dan/atau kerja sama dengan otoritas di negara lain, organisasi internasional, dan/atau lembaga internasional dilakukan dengan memperhatikan prinsip seperti kepentingan nasional, resiprokalitas, kerahasiaan data dan/atau informasi. Ayat (2) Huruf a Data dan informasi termasuk data dan informasi Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar dan/atau diberikan izin oleh otoritas lain di dalam negeri. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pengenaan sanksi berupa penghentian kegiatan usaha dilakukan oleh Bank Indonesia atau bekerja sama dengan otoritas/pihak yang berwenang. Huruf c Yang dimaksud dengan tindakan tertentu antara lain larangan untuk mengajukan permohonan izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. serta - 11 - Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Kebijakan penyelenggaraan Teknologi Finansial ditujukan bagi Penyelenggara Teknologi Finansial yang berada di bawah kewenangan Bank Indonesia dengan ruang lingkup antara lain aspek kelembagaan dan kepemilikan Penyelenggara Teknologi Finansial serta penggunaan inovasi teknologi tertentu. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6142
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 19/12/PBI/2017 </reg_id> <reg_title> PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI FINANSIAL </reg_title> <set_date> 29 November 2017 </set_date> <effective_date> 30 November 2017 </effective_date> <issued_date> 30 November 2017 </issued_date> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '7/UU/2011', '11/UU/2008', '19/UU/2016' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
- 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/11/PBI/2013 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka peningkatan ketahanan, daya saing, dan efisiensi perbankan nasional, perlu dilakukan penataan terhadap pengaturan penyediaan dana dalam bentuk penyertaan modal sebagai salah satu kegiatan usaha bank; b. bahwa seiring dengan perkembangan kegiatan usaha bank dan dinamika global, dibutuhkan keleluasaan pada beberapa aspek dalam kegiatan penyertaan modal; c. bahwa sejalan dengan beberapa ketentuan Bank Indonesia yang terkait dengan penyertaan modal dan perkembangan standar internasional, perlu dilakukan harmonisasi ketentuan mengenai prinsip kehati-hatian dalam kegiatan penyertaan modal; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang Prinsip Kehati-hatian Dalam Kegiatan Penyertaan Modal; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik … - 2 - Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL BAB I … - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Modal Bank adalah modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal minimum Bank. 3. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi wajib (mandatory convertible bonds) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan. 4. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal oleh Bank, Unit Usaha Syariah atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dalam bentuk saham pada perusahaan debitur untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5. Perusahaan yang Bergerak di Bidang Keuangan adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dan perusahaan di bidang keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan. 6. Investee … - 4 - 6. Investee adalah Perusahaan yang Bergerak di Bidang Keuangan tempat Bank melakukan Penyertaan Modal. 7. Perusahaan Anak adalah perusahaan anak sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi dan publikasi laporan Bank. 8. Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha yang selanjutnya disebut BUKU adalah pengelompokan Bank berdasarkan kegiatan usaha yang disesuaikan dengan modal inti yang dimiliki sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti Bank. 9. Batas Maksimum Pemberian Kredit yang selanjutnya disingkat BMPK adalah persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap Modal Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai batas maksimum pemberian kredit Bank. BAB II RUANG LINGKUP DAN PERSYARATAN PENYERTAAN MODAL Pasal 2 Kegiatan Penyertaan Modal wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-hatian. Pasal 3 (1) Bank hanya dapat melakukan Penyertaan Modal pada Perusahaan yang Bergerak di Bidang Keuangan. (2) Bank Umum Syariah hanya dapat melakukan Penyertaan Modal pada Perusahaan yang Bergerak di Bidang Keuangan berdasarkan prinsip syariah. (3) Unit Usaha Syariah dan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri hanya dapat melakukan kegiatan Penyertaan Modal Sementara. Pasal 4 … - 5 - Pasal 4 (1) Bank wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk setiap kali melakukan Penyertaan Modal. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib pula diperoleh untuk setiap Penyertaan Modal lanjutan pada Investee yang sama (subsequent investment). (3) Penyertaan Modal yang berasal dari dividen saham tidak memerlukan persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 5 (1) Penyertaan Modal dapat dilakukan secara langsung atau melalui pasar modal. (2) Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk investasi jangka panjang dan tidak dimaksudkan untuk jual beli saham. Pasal 6 (1) Jumlah seluruh portofolio Penyertaan Modal ditetapkan paling tinggi sebesar Penyertaan Modal sesuai pengelompokan Bank berdasarkan BUKU. (2) Jumlah seluruh portofolio Penyertaan Modal sebagaimana pada ayat (1) termasuk peningkatan Penyertaan Modal dan dividen saham. Pasal 7 Bank dilarang melakukan Penyertaan Modal melebihi batas penyediaan dana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai BMPK. Pasal 8 (1) Dalam hal Bank telah menerapkan manajemen risiko secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak maka: a. Penyertaan … - 6 - a. Penyertaan Modal pada Perusahaan Anak tidak diperhitungkan sebagai penyediaan dana dalam perhitungan BMPK. b. peningkatan Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal yang berasal dari dividen saham pada Perusahaan Anak yang sama dikecualikan dari batas Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7. (2) Peningkatan Penyertaan Modal yang berasal dari akumulasi laba pada Investee yang menggunakan metode ekuitas dikecualikan dari batas Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7, sepanjang tidak melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun sejak akhir tahun buku Investee. Pasal 9 (1) Kegiatan Penyertaan Modal pada Investee di luar negeri hanya dapat dilakukan oleh Bank sesuai pengelompokan Bank berdasarkan BUKU. (2) Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dalam valuta asing. Pasal 10 (1) Bank yang akan melakukan Penyertaan Modal paling kurang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. rencana Penyertaan Modal telah dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank (RBB); b. memenuhi rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sesuai profil risiko sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal minimum Bank; c. memiliki tingkat kesehatan dengan peringkat komposit 1 (satu) atau 2 (dua) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank, selama: 1. 3 (tiga) … - 7 - 1. 3 (tiga) periode penilaian berturut-turut; atau 2. 4 (empat) periode penilaian berturut-turut apabila calon Investee merupakan perusahaan baru dan/atau perusahaan di luar negeri; d. tidak mengganggu kelangsungan usaha Bank dan tidak meningkatkan profil risiko Bank secara signifikan; e. memiliki kebijakan dan prosedur tertulis yang dibuat oleh Direksi Bank dan disetujui oleh Dewan Komisaris Bank; dan f. memiliki sistem pengendalian intern yang memadai untuk kegiatan Penyertaan Modal, paling kurang untuk memastikan bahwa terdapat: 1. analisis yang dilakukan secara komprehensif; 2. prosedur pelaksanaan yang sesuai dengan prinsip manajemen risiko; 3. dokumentasi dan pemantauan secara periodik; dan 4. prosedur akuntansi dan valuasi yang tepat. (2) Dalam hal belum terdapat ketentuan yang mengatur mengenai KPMM sesuai profil risiko bagi bank umum syariah maka rasio KPMM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan paling kurang sebesar 10% (sepuluh persen). BAB III TATA CARA PENGAJUAN DAN PERSETUJUAN PENYERTAAN MODAL Pasal 11 (1) Bank wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh persetujuan Penyertaan Modal kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum Penyertaan Modal dilakukan, dengan melampirkan paling kurang: a. hasil … - 8 - a. hasil analisis kondisi dan proyeksi keuangan Bank, termasuk proyeksi kecukupan permodalan sebelum dan sesudah Penyertaan Modal; b. hasil analisis profil risiko Bank, sebelum dan sesudah Penyertaan Modal, baik secara individual maupun konsolidasi; c. sistem pengelolaan risiko Penyertaan Modal; d. sumber pendanaan Bank untuk melakukan Penyertaan Modal; e. surat pernyataan dari Direksi Bank yang menyatakan bahwa Penyertaan Modal yang dilakukan adalah dalam rangka investasi jangka panjang dan tidak dimaksudkan untuk jual beli saham; sistem pengendalian internal dan sistem informasi akuntansi; f. g. Penyertaan Modal dan/atau rencana Penyertaan Modal yang dilakukan oleh pihak terkait dengan Bank pada Investee yang sama; h. hasil analisis mengenai profil usaha Investee, termasuk dukungan dan manfaat usaha Investee terhadap perkembangan usaha Bank; i. j. k. laporan keuangan tahun terakhir dan laporan keuangan interim triwulan terakhir, serta proyeksi keuangan Investee; struktur kepemilikan dan kepengurusan terakhir Investee; identitas dari pemegang saham mayoritas atau pihak yang melakukan pengendalian terhadap Investee atau pihak lain yang akan melakukan Penyertaan Modal bersama-sama dengan Bank; l. perjanjian dan/atau konsep perjanjian yang ada: 1. antar pemegang saham Investee; dan/atau 2. antara Bank dengan pemegang saham Investee yang menjual saham kepada Bank; dan m. fotokopi akta pendirian badan hukum dan anggaran dasar Investee. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i tidak berlaku bagi Investee berupa perusahaan baru. (3) Dalam … - 9 - (3) Dalam hal Investee merupakan perusahaan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank wajib menyampaikan dokumen mengenai: a. tujuan pendirian perusahaan; b. studi kelayakan mengenai perkiraan usaha (business forecasting) dan peluang pasar Investee; dan c. dokumentasi pengajuan pendirian kepada atau persetujuan pendirian perusahaan baru dari otoritas yang berwenang. (4) Bagi Bank yang melakukan Penyertaan Modal sebesar 20% (dua puluh persen) atau lebih dari modal Investee atau memenuhi kriteria pengendalian, selain menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan dokumen berupa: a. studi kelayakan mengenai perkiraan usaha (business forecasting) dan peluang pasar Investee; b. informasi mengenai kompetensi dan integritas dari anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan pejabat eksekutif serta integritas pemegang saham mayoritas dari Investee; c. rencana penerapan manajemen risiko secara konsolidasi; dan d. surat keterangan dari otoritas yang berwenang yang mengawasi kegiatan usaha Investee beserta pernyataan tidak keberatan bahwa Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan kepada Investee. (5) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3) dan/atau ayat (4), Bank menyampaikan hasil due dilligence terhadap Investee dan/atau dokumen pendukung lainnya, apabila diminta oleh Bank Indonesia. Pasal 12 Bank wajib menyampaikan surat pernyataan yang menjamin kebenaran dokumen dan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (3) dan/atau ayat (4) yang disampaikan dalam rangka permohonan persetujuan Penyertaan Modal kepada Bank Indonesia. Pasal 13 … - 10 - Pasal 13 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 akan diberikan setelah mempertimbangkan kelengkapan dokumen dan analisis kemampuan Bank serta kelayakan dan kesesuaian kegiatan Penyertaan Modal yang akan dilakukan oleh Bank. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan, Bank Indonesia dapat meminta Bank dan/atau Investee untuk memberikan komitmen tertulis. Pasal 14 Dalam hal terdapat pelanggaran terhadap komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), Bank Indonesia akan memerintahkan Bank untuk melakukan tindakan tertentu. Pasal 15 (1) Bank harus merealisasikan rencana Penyertaan Modal paling lama 6 (enam) bulan sejak persetujuan Penyertaan Modal diberikan oleh Bank Indonesia. (2) Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal persetujuan diberikan oleh Bank Indonesia, Bank tidak merealisasikan Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka persetujuan Bank Indonesia menjadi tidak berlaku. (3) Bank Indonesia berdasarkan permohonan Bank, dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dengan mempertimbangkan faktor tertentu. (4) Bank wajib menyampaikan laporan realisasi Penyertaan Modal paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah Penyertaan Modal efektif dilakukan. BAB IV … - 11 - BAB IV PELAMPAUAN BATASAN PENYERTAAN MODAL SESUAI BUKU Pasal 16 (1) Bank wajib menyampaikan rencana tindak dalam hal jumlah seluruh portofolio Penyertaan Modal melampaui batasan Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) selama 3 (tiga) bulan berturut-turut, yang disebabkan oleh: a. penurunan modal inti; b. peningkatan Penyertaan Modal pada Investee; dan/atau c. penurunan Modal Bank. (2) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa rencana tindak dalam rangka: a. pemenuhan persyaratan modal inti dan/atau Modal Bank; atau b. penyesuaian jumlah Penyertaan Modal. (3) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan keempat sejak terjadinya pelampauan batasan Penyertaan Modal. (4) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia dan penyelesaian rencana tindak dimaksud paling lama 1 (satu) tahun sejak persetujuan dari Bank Indonesia. BAB V DIVESTASI PENYERTAAN MODAL DAN PENYERTAAN MODAL SEMENTARA Pasal 17 (1) Bank wajib melakukan divestasi Penyertaan Modal apabila: a. Penyertaan Modal yang dilakukan mengakibatkan atau diperkirakan mengakibatkan penurunan permodalan Bank dan/atau peningkatan profil risiko Bank secara signifikan; atau b. atas … - 12 - b. atas rekomendasi dari otoritas Perusahaan Anak dan/atau perintah dari Bank Indonesia. (2) Bank wajib menyampaikan rencana divestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum divestasi Penyertaan Modal dilakukan. Pasal 18 (1) Bank dapat melakukan divestasi Penyertaan Modal atas inisiatif sendiri dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. divestasi ditujukan untuk menyesuaikan dengan strategi bisnis Bank; b. Penyertaan Modal telah dilakukan paling singkat selama 5 (lima) tahun; c. dicantumkan dalam RBB untuk tahun yang sama dengan tahun pengajuan permohonan; d. divestasi dilakukan paling kurang sebesar 50% (lima puluh persen) dari saham yang dimiliki; e. divestasi dilakukan melalui suatu transaksi yang wajar (arm’s length transaction); f. divestasi tidak semata-mata ditujukan untuk memperoleh keuntungan (capital gain); dan g. telah mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk divestasi pada Investee yang dinyatakan pailit atau dalam proses likuidasi. (3) Bank wajib mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia untuk memperoleh persetujuan divestasi atas inisiatif sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum divestasi dilakukan dengan melampirkan informasi dan dokumen paling kurang: a. latar belakang dan tujuan divestasi; b. analisis … - 13 - b. analisis dampak divestasi terhadap kinerja Bank; dan c. informasi mengenai calon pemegang saham baru dan analisis dampak divestasi pada Investee dalam hal divestasi dilakukan atas sebagian Penyertaan Modal pada Investee dimaksud. (4) Dalam hal batas waktu pengajuan permohonan persetujuan divestasi atas inisiatif sendiri jatuh pada hari libur maka pengajuan permohonan persetujuan divestasi atas inisiatif sendiri disampaikan pada hari kerja berikutnya. (5) Dalam hal divestasi atas inisiatif sendiri dilakukan pada Perusahaan Anak, selain persyaratan informasi dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank wajib menyampaikan hasil keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Persetujuan Dewan Komisaris yang memuat rencana divestasi Penyertaan Modal Bank pada Perusahaan Anak. (6) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta dokumen pendukung selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau ayat (5). Pasal 19 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan divestasi Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) diberikan setelah mempertimbangkan kelengkapan dokumen, analisis kewajaran dan kesesuaian rencana divestasi atas insiatif sendiri. (2) Bank harus merealisasikan rencana divestasi Penyertaan Modal atas inisiatif sendiri paling lama 6 (enam) bulan sejak persetujuan diberikan oleh Bank Indonesia. (3) Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal persetujuan diberikan oleh Bank Indonesia, Bank tidak merealisasikan divestasi Penyertaan Modal atas inisiatif sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka persetujuan Bank Indonesia menjadi tidak berlaku. Pasal 20 … - 14 - Pasal 20 (1) Divestasi atas Penyertaan Modal Sementara wajib dilakukan apabila Penyertaan Modal Sementara telah melebihi jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun atau perusahaan debitur tempat Penyertaan Modal Sementara telah memperoleh laba kumulatif. (2) Dalam hal jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan berakhir dan perusahaan debitur tempat Penyertaan Modal Sementara belum memperoleh laba, dalam rangka persiapan divestasi, Bank wajib menyampaikan rencana pelaksanaan divestasi kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum jangka waktu tersebut berakhir. (3) Dalam hal batas waktu penyampaian rencana pelaksanaan divestasi Penyertaan Modal Sementara jatuh pada hari libur maka rencana pelaksanaan divestasi Penyertaan Modal Sementara disampaikan pada hari kerja berikutnya. Pasal 21 Bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan divestasi Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 19 dan Pasal 20 paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah pelaksanaan divestasi. BAB VI PENYERTAAN MODAL OLEH PERUSAHAAN ANAK Pasal 22 (1) Dalam hal Perusahaan Anak melakukan penyertaan modal, Bank harus memastikan hal-hal sebagai berikut: a. penyertaan modal hanya dapat dilakukan pada Perusahaan yang Bergerak di Bidang Keuangan dan/atau di perusahaan penunjang jasa keuangan dan dalam bentuk saham; b. Perusahaan … - 15 - b. Perusahaan Anak menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang memadai atas penyertaan modal yang akan dilakukan; dan c. penyertaan modal dilakukan dengan memperhatikan ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas Perusahaan Anak. (2) Bank wajib melakukan pemantauan perhitungan kecukupan modal secara konsolidasi sampai dengan perusahaan yang dikendalikan oleh Perusahaan Anak. (3) Perusahaan Anak yang melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip syariah hanya dapat melakukan penyertaan modal pada perusahaan yang kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Pasal 23 (1) Perusahaan penunjang jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf (a) merupakan perusahaan yang didirikan atau kegiatan usahanya ditujukan hanya untuk menunjang kegiatan usaha Bank melalui sistem pembayaran, meliputi perusahaan yang melakukan kegiatan usaha sebagai berikut: a. prinsipal alat pembayaran menggunakan kartu (APMK) atau uang elektronik; b. penerbit APMK atau uang elektronik; c. acquirer APMK atau uang elektronik; d. penyelenggara kliring APMK atau uang elektronik; e. penyelenggara penyelesaian akhir APMK atau uang elektronik; f. penyelenggara transfer dana; g. penyelenggara switching; h. pelaksanaan sertifikasi sistem pembayaran; i. penyedia jaringan sistem pembayaran; j. pengelola standar APMK atau uang elektronik; k. penyedia … - 16 - k. penyedia perangkat pembayaran; dan/atau l. pelaksana personalisasi. (2) Pelaksanaan kegiatan usaha perusahaan penunjang jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mematuhi ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan/atau Otoritas Jasa Keuangan. BAB VII ALAMAT PELAPORAN Pasal 24 Permohonan persetujuan Penyertaan Modal dan pelaporan terkait dengan pelaksanaan Penyertaan Modal dalam Peraturan Bank Indonesia ini disampaikan kepada: a. Departemen Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, bagi Bank Umum Konvensional atau Bank Umum Syariah yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. BAB VIII PERLAKUAN AKUNTANSI DAN KUALITAS PENYERTAAN MODAL DAN PENYERTAAN MODAL SEMENTARA Pasal 25 Perlakuan akuntansi atas Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. Pasal 26 … - 17 - Pasal 26 Kualitas dan penyisihan penghapusan aset atas Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian kualitas aset Bank. BAB IX TRANSPARANSI DAN PENGELOLAAN PENYERTAAN MODAL DAN PENYERTAAN MODAL SEMENTARA Pasal 27 Bank wajib mengungkapkan kegiatan Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara dalam Laporan Tahunan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi dan publikasi laporan Bank. Pasal 28 (1) Bank wajib menerapkan manajemen risiko dalam mengelola kegiatan Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum atau penerapan manajemen risiko bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah. (2) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup: a. pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi; b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit manajemen risiko; c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh. (3) Bank … - 18 - (3) Bank wajib memantau jumlah seluruh portofolio Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) termasuk peningkatan Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal yang berasal dari dividen saham pada Perusahaan Anak yang sudah dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b. (4) Bank Indonesia dapat memerintahkan Bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu dalam rangka mengendalikan risiko Penyertaan Modal berdasarkan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). BAB X LAIN-LAIN Pasal 29 Bank dilarang: a. menerima penyertaan saham dari Investee atau melakukan Penyertaan Modal pada perusahaan pemegang saham Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung; dan b. melakukan Penyertaan Modal yang mengakibatkan Bank memiliki kewajiban yang tidak terbatas pada Investee. Pasal 30 Penyertaan Modal pada Investee berupa Bank, selain tunduk pada ketentuan ini juga mengacu pada ketentuan antara lain mengenai pembelian saham Bank, kepemilikan saham Bank, dan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia, serta merger, konsolidasi dan akuisisi Bank. Pasal 31 … - 19 - Pasal 31 (1) Bank Indonesia dapat memerintahkan Bank untuk mengambil langkah-langkah perbaikan (corrective actions) dan/atau merekomendasikan kepada otoritas yang berwenang untuk melakukan tindakan perbaikan atau pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan Investee. (2) Perintah dan/atau rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia kegiatan Investee: a. mencerminkan kondisi keuangan dan non keuangan yang tidak sehat; dan/atau b. mengganggu kondisi keuangan dan non keuangan Bank. Pasal 32 (1) Bank Indonesia berdasarkan pertimbangan tertentu dapat memerintahkan Bank untuk melakukan divestasi Penyertaan Modal atau menolak permohonan Penyertaan Modal atau divestasi atas inisiatif sendiri. (2) Pertimbangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain sebagai berikut: a. Penyertaan Modal atau divestasi atas inisiatif sendiri dapat berdampak negatif terhadap kondisi perekonomian nasional atau tidak sejalan dengan kepentingan nasional; b. Penyertaan Modal atau divestasi atas inisiatif sendiri tidak sejalan dengan arah kebijakan pengembangan perbankan di Indonesia; dan/atau c. Penyertaan Modal atau rencana Penyertaan Modal Bank pada perusahaan yang berlokasi di dalam maupun di luar negeri menyebabkan atau diindikasikan akan menyebabkan kesulitan pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia. BAB XI … - 20 - BAB XI SANKSI Pasal 33 Bank yang melanggar ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 ayat (2), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28 dan/atau Pasal 29 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998 atau Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 34 Permohonan persetujuan Penyertaan Modal yang telah diajukan sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, wajib disesuaikan dengan persyaratan dalam Peraturan Bank Indonesia ini kecuali persyaratan tentang tingkat kesehatan Bank. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 35 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/10/PBI/2003 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 66 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4296) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 36 … - 21 - Pasal 36 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 22 November 2013 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 22 November 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 187 DPNP/DPbS/DKSP - 22 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/11/PBI/2013 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL I. UMUM Kegiatan Penyertaan Modal oleh Bank merupakan salah satu bagian dari kegiatan penanaman dana Bank disamping kegiatan lainnya seperti penyaluran kredit, penanaman dana dalam bentuk surat-surat berharga dan kegiatan pasar uang antar Bank. Sebagai kegiatan penanaman dana, Bank disamping menerima manfaat berupa pendapatan hasil Penyertaan Modal, juga berpotensi terpapar risiko dari kegiatannya tersebut. Untuk meningkatkan daya tahan Bank, dilakukan penataan ulang terhadap persyaratan Penyertaan Modal, penerapan manajeman risiko, dan jumlah maksimum Penyertaan Modal yang dapat dilakukan sesuai dengan kapasitas permodalan yang dimilikinya. Selain itu, dalam rangka menerapkan prinsip kehati- hatian dan aspek pengawasan terhadap kegiatan Penyertaan Modal oleh Bank, Bank Indonesia menetapkan persyaratan tingkat kesehatan yang harus dipenuhi oleh Bank sebelum melakukan Penyertaan Modal. Dengan adanya dinamika industri perbankan, Bank perlu menyesuaikan kegiatan Penyertaan Modalnya sesuai dengan rencana strategisnya ke depan. Dengan demikian, perlu dibuka kemungkinan bagi Bank untuk melakukan divestasi atas Penyertaan Modalnya dengan inisiatif sendiri, disamping divestasi yang memang wajib dilakukan karena ketentuan. Selanjutnya, perlu ditetapkan persyaratan agar divestasi yang dilakukan atas inisiatif sendiri tidak dimanfaatkan Bank untuk melakukan kegiatan investment banking. Dalam … - 23 - Dalam rangka menghasilkan laporan keuangan yang wajar, kegiatan Penyertaan Modal dan/atau Penyertaan Modal Sementara Bank harus disajikan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku di Indonesia. Standar akuntansi tersebut telah mempertimbangkan dinamika standar akuntansi keuangan yang berlaku secara internasional. Selain itu, seiring dengan dinamika pengaturan perbankan yang berdampak pada pengaturan Penyertaan Modal dan/atau Penyertaan Modal Sementara diperlukan harmonisasi dengan ketentuan mengenai kualitas aset, penerapan manajemen risiko secara konsolidasi bagi bank yang melakukan pengendalian terhadap perusahaan anak, dan kegiatan usaha dan jaringan kantor bank berdasarkan modal inti. Sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, Bank hanya dapat melakukan Penyertaan Modal pada Perusahaan yang Bergerak di Bidang Keuangan atau melakukan Penyertaan Modal Sementara pada perusahaan debitur dalam rangka restrukturisasi kredit. Namun demikian, seiring dengan semakin berkembangnya peran pihak lain dalam mendukung pelaksanaan transaksi perbankan, diperlukan upaya tertentu agar pengendalian pelaksanaan transaksi perbankan lebih terintegrasi. Salah satu upaya adalah dengan membuka peluang bagi Bank melalui Penyertaan Modal kepada perusahaan penunjang jasa keuangan melalui Perusahaan Anak. Peluang ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh Bank dalam memperluas kegiatan Penyertaan Modalnya sehingga memberikan keuntungan bagi Bank dalam rangka meningkatkan daya saingnya. Namun demikian, perlu disadari bahwa peluang perluasan kegiatan Penyertaan Modal harus diimbangi dengan peningkatan kualitas manajemen risiko dalam rangka mengantisipasi risiko eksternal yang dapat timbul dari Perusahaan Anak dan perusahaan penunjang jasa keuangan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi profil risiko Bank. II. Pasal … - 24 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Unit Usaha Syariah adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai persyaratan dan tata cara pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar negeri. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh Penyertaan Modal lanjutan: Bank A memiliki Penyertaan Modal berupa saham pada PT. XYZ sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Kemudian … - 25 - Kemudian Bank A berencana untuk membeli mandatory convertible bonds yang diterbitkan oleh PT. XYZ sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Dengan demikian pembelian tersebut merupakan Penyertaan Modal lanjutan sehingga Penyertaan Modal Bank A pada PT. XYZ menjadi sebesar Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Ayat (3) Dividen saham adalah bagian laba yang dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk saham. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) “Peningkatan Penyertaan Modal” terjadi karena akumulasi laba dan/atau perubahan nilai tukar dan/atau nilai wajar sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 26 - Ayat (2) Investee dalam ayat ini dapat berupa Perusahaan Anak yang belum menerapkan manajemen risiko secara konsolidasi dengan Bank atau bukan Perusahaan Anak. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Rencana Penyertaan Modal dalam RBB paling kurang memuat mengenai bidang usaha, perkiraan jumlah dana yang akan ditanamkan dan persentase kepemilikan termasuk aspek pengendalian. Huruf b Rasio KPMM adalah rasio KPMM periode bulan terakhir sebelum pengajuan permohonan persetujuan Penyertaan Modal maupun sebelum realisasi Penyertaan Modal. Huruf c Penilaian tingkat kesehatan yang digunakan adalah penilaian tingkat kesehatan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Angka 1 Yang dimaksud dengan periode penilaian adalah penilaian yang dilakukan secara berkala setiap semester sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank. Angka 2 … - 27 - Angka 2 Yang dimaksud “perusahaan baru” adalah perusahaan yang sedang dalam proses pendirian atau telah berjalan kurang dari 1 (satu) tahun. Huruf d Yang dimaksud dengan “mengganggu kelangsungan usaha Bank” adalah penurunan kondisi keuangan Bank secara signifikan antara lain dari aspek likuiditas dan solvabilitas. Profil risiko Bank tercermin dari risiko yang melekat (inherent risk) pada seluruh bidang usaha Bank dan kualitas penerapan manajemen risiko. Profil risiko Bank meningkat secara signifikan apabila peningkatannya menyebabkan perubahan peringkat profil risiko. Huruf e Kebijakan dimaksud antara lain meliputi kebijakan dalam pengelolaan risiko dan pengendalian intern dalam kegiatan Penyertaan Modal. Prosedur tertulis memuat antara lain: 1. evaluasi secara berkala; 2. laporan berkala dari Investee; dan 3. tindakan Bank apabila terjadi penurunan nilai Penyertaan Modal (contigency plan). Huruf f Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 … - 28 - Angka 3 Dokumentasi dapat berupa hardcopy maupun secara elektronik, dengan tujuan untuk memudahkan dilakukannya jejak audit (audit trail). Angka 4 Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan pihak terkait dengan Bank adalah pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai BMPK. Huruf h Dalam melakukan analisis, Bank mempertimbangkan faktor-faktor antara lain: 1. karakteristik … - 29 - 1. karakteristik usaha Investee; 2. Penyertaan Modal yang telah dan/atau akan dilakukan oleh Investee; dan 3. kesesuaian kegiatan usaha Investee dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Dalam hal Investee adalah perusahaan baru persyaratan dalam huruf ini dapat berupa rancangan struktur kepemilikan dan kepengurusan. Huruf k Dalam hal Investee adalah perusahaan baru persyaratan dalam huruf ini dapat berupa identitas dari calon. Huruf l Termasuk perjanjian atau konsep perjanjian adalah perjanjian jual beli saham atau konsep perjanjian lain yang merujuk pada Anggaran Dasar Investee. Huruf m Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud “perkiraan usaha” adalah perkiraan usaha dari aspek keuangan termasuk proyeksi laporan keuangan, dan aspek non keuangan dari Investee, sedangkan “peluang pasar” adalah peluang dalam industri/pasar lembaga keuangan. Huruf c … - 30 - Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “modal Investee” adalah modal disetor Investee. Kriteria pengendalian mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi dan publikasi laporan Bank. Huruf a Yang dimaksud “perkiraan usaha” adalah perkiraan usaha dari aspek keuangan termasuk proyeksi laporan keuangan, dan aspek non keuangan dari Investee, sedangkan peluang pasar adalah peluang dalam industri/pasar lembaga keuangan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Manajemen risiko konsolidasi diperlukan dalam hal Investee merupakan Perusahaan Anak. Huruf d Surat keterangan dari otoritas yang berwenang antara lain menjelaskan kinerja dan/atau kondisi keuangan dan non keuangan dari Investee. Surat pernyataan tidak keberatan untuk melakukan pemeriksaan diperlukan dalam hal Investee berkedudukan di luar negeri dan belum terdapat nota kesepahaman terkait dengan cross border supervision. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 … - 31 - Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Komitmen tertulis antara lain dapat berupa komitmen Bank bahwa Investee tidak akan melakukan kegiatan tertentu yang diperkirakan berdampak negatif terhadap kondisi keuangan dan non keuangan Bank. Pasal 14 Termasuk dalam tindakan tertentu antara lain berupa perintah divestasi. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Faktor tertentu antara lain penyebab terlampauinya jangka waktu seperti faktor eksternal yang tidak dapat dikendalikan oleh Bank, dan/atau hambatan yang timbul untuk memenuhi kebijakan atau ketentuan otoritas Investee. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “efektif” adalah: a. pada saat memperoleh persetujuan dari otoritas yang terkait, untuk perusahaan yang perubahan kepemilikannya harus memperoleh persetujuan otoritas; b. pada saat terjadi perubahan kepemilikan saham di kustodian, untuk saham yang diperdagangkan di pasar modal dan perubahan kepemilikan atas Investee tidak perlu mendapatkan persetujuan dari otoritas; atau c. pada … - 32 - c. pada saat menyampaikan laporan kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, untuk perusahaan yang tidak perlu mendapatkan persetujuan dari otoritas dan saham tidak diperdagangkan di pasar modal. Pasal 16 Ayat (1) Huruf a Penurunan modal inti yang mengakibatkan perubahan kategori BUKU sehingga menurunkan batasan Penyertaan Modal yang diperbolehkan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Penyebab penurunan Modal Bank antara lain karena bank mengalami kerugian. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Contoh penyesuaian jumlah Penyertaan Modal dilakukan melalui divestasi saham pada Investee. Ayat (3) Contoh batas waktu penyampaian rencana tindak adalah sebagai berikut: Bank X dengan modal inti sebesar Rp 5.050.000.000.000,00 (lima triliun lima puluh miliar rupiah) (BUKU 3) dan Modal Bank Rp 8.500.000.000.000,00 (delapan triliun lima ratus miliar rupiah) pada bulan Januari 2014, mempunyai total Penyertaan Modal pada Bank Y dan Lembaga Keuangan Z sebesar Rp 1.700.000.000.000,00 (satu triliun tujuh ratus miliar rupiah) setara dengan 20% (dua puluh persen) dari Modal Bank. Pada … - 33 - Pada posisi bulan Februari, Maret dan April 2014, modal inti Bank X mengalami penurunan menjadi: Bulan Februari Maret April Modal Inti Rp 4.950.000.000.000,00 Rp 4.910.000.000.000,00 Rp 4.880.000.000.000,00 Dengan demikian Bank X berubah menjadi BUKU 2 dan harus menyampaikan rencana tindak kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan Mei 2014. Rencana tindak tersebut dapat berupa: a. rencana peningkatan modal inti untuk pemenuhan persyaratan modal inti dari BUKU 2 menjadi BUKU 3, atau b. rencana penurunan Penyertaan Modal dari 20% (dua puluh persen) dari Modal Bank menjadi paling tinggi 15% (lima belas persen) dari Modal Bank. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “divestasi” adalah pelepasan atau pengurangan Penyertaan Modal pada Investee, baik yang dilakukan secara langsung maupun melalui pasar modal. Huruf a Yang dimaksud dengan “penurunan permodalan Bank secara signifikan” adalah apabila penurunan permodalan dimaksud mengakibatkan jumlah Modal Bank lebih rendah dari kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai … - 34 - mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bagi Bank. Profil risiko Bank meningkat secara signifikan apabila peningkatannya menyebabkan perubahan peringkat profil risiko. Peningkatan ini dapat disebabkan antara lain oleh meningkatnya risiko reputasi dan/atau risiko hukum yang mempengaruhi kelangsungan usaha Investee. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “laba kumulatif” adalah laba perusahaan setelah diperhitungkan dengan kerugian tahun-tahun sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Divestasi Penyertaan Modal mencakup divestasi wajib atau divestasi atas inisiatif sendiri. Pasal 22 … - 35 - Pasal 22 Ayat (1) Huruf a Termasuk dalam bentuk saham adalah penanaman dalam bentuk surat utang konversi wajib (mandatory convertible bonds). Huruf b Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko” adalah penerapan manajemen risiko sebagaimana diatur dalam ketentuan bagi Perusahaan Anak, antara lain: 1. ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum, apabila Perusahaan Anak berupa bank umum; atau 2. ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah, apabila Perusahaan Anak berupa bank umum syariah. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf l mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai: a. alat pembayaran menggunakan kartu; b. uang elektronik; c. transfer dana; dan/atau d. ketentuan … - 36 - d. ketentuan Bank Indonesia terkait lainnya di bidang sistem pembayaran. Ayat (2) Ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan/atau Otoritas Jasa Keuangan yang dimaksud dalam ayat ini antara lain ketentuan mengenai perijinan dan kegiatan usaha perusahaan penunjang jasa keuangan. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Perlakuan akuntansi mencakup pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Larangan ini dimaksudkan agar bank terhindar dari eksposur Penyertaan Modal pada perusahaan yang memiliki open-ended liability, seperti adanya letter of undertaking yang mengikat Investee secara akuntansi maupun secara hukum kepada pihak lain sedemikian rupa sehingga bank memiliki tanggung jawab yang tidak terbatas. Pasal 30 … - 37 - Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Termasuk dalam tindakan perbaikan (corrective actions) antara lain perbaikan good corporate governance dan/atau manajemen risiko Perusahaan Anak, dan/atau divestasi seluruh atau sebagian Penyertaan Modal. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Penyertaan Modal dimaksud adalah Penyertaan Modal yang sudah berjalan atau Penyertaan Modal yang sedang diajukan permohonannya. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Indikasi kesulitan pengawasan antara lain: 1. kesulitan otoritas pengawas dalam akses terhadap data dan informasi Investee; 2. kesulitan dalam pelaksanaan pemeriksaan terhadap Investee; 3. kurang efektifnya atau tidak adanya otoritas pengawas Investee di tempat kedudukan Investee; dan/atau 4. Investee digunakan sebagai media untuk melakukan rekayasa keuangan. Pasal 33 ... - 38 - Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5466
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 15/11/PBI/2013 </reg_id> <reg_title> PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL </reg_title> <set_date> 22 November 2013 </set_date> <effective_date> 22 November 2013 </effective_date> <issued_date> 22 November 2013 </issued_date> <replaced_reg> '5/10/PBI/2003' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 21/1/PBI/2019 TENTANG UTANG LUAR NEGERI BANK DAN KEWAJIBAN BANK LAINNYA DALAM VALUTA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa utang luar negeri bank dan kewajiban bank lainnya dalam valuta asing merupakan salah satu sumber pembiayaan perekonomian nasional yang perlu dikelola dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian sebagai upaya menjaga stabilitas perekonomian makro dan sistem keuangan; b. bahwa pengaturan kegiatan utang luar negeri bank dan kewajiban bank lainnya dalam valuta asing, baik yang berjangka panjang maupun pendek, harus sejalan dengan perkembangan perekonomian dan perbankan nasional serta pasar keuangan domestik; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Utang Luar Negeri Bank dan Kewajiban Bank Lainnya dalam Valuta Asing; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG UTANG LUAR NEGERI BANK DAN KEWAJIBAN BANK LAINNYA DALAM VALUTA ASING. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan bank umum syariah serta unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri serta kantor bank umum dan bank umum syariah berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri. 2. Utang Luar Negeri Bank yang selanjutnya disebut ULN Bank adalah utang Bank kepada bukan penduduk dalam - 2 - valuta asing dan/atau rupiah, termasuk di dalamnya pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. 3. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar. 4. Kewajiban Jangka Pendek adalah kewajiban Bank berupa ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing, yang berjangka waktu asal (original maturity) sampai dengan 1 (satu) tahun. 5. Kewajiban Jangka Panjang adalah kewajiban Bank berupa ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing, yang berjangka waktu asal (original maturity) lebih dari 1 (satu) tahun. 6. Surat Utang Valuta Asing Domestik yang selanjutnya disebut Surat Utang Valas Domestik adalah surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan Bank di bursa dalam negeri maupun dijual secara private placement kepada Penduduk. 7. Transaksi Partisipasi Risiko yang selanjutnya disingkat TPR adalah transaksi pengalihan risiko atas individual kredit dan/atau fasilitas lainnya berdasarkan perjanjian induk transaksi partisipasi risiko (master risk participation agreement). 8. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 9. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia. 10. Operasi Moneter adalah operasi moneter sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. 11. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara dan surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. - 2 - BAB II RUANG LINGKUP Pasal 2 (1) Bank dapat memiliki ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing. (2) Kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. Surat Utang Valas Domestik; dan b. TPR. (3) ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan jangka waktu terdiri atas: a. Kewajiban Jangka Pendek; dan b. Kewajiban Jangka Panjang. (4) Bank yang memiliki ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menerapkan prinsip kehati-hatian. Pasal 3 ULN Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi: a. ULN Bank berdasarkan perjanjian pinjaman (loan agreement); b. ULN Bank berdasarkan surat utang (debt securities); c. ULN Bank dalam bentuk giro, deposito, tabungan, dan call money; dan d. ULN Bank dalam bentuk lainnya. Pasal 4 (1) TPR yang termasuk kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b yaitu TPR yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. dilakukan oleh Bank sebagai grantor dengan pihak lain bukan Penduduk sebagai participant; - 2 - b. disertai dengan aliran dana dari pihak lain bukan Penduduk sebagai participant kepada Bank sebagai grantor saat transaksi mulai berlaku (funded); dan c. tanpa pengalihan hak tagih dari Bank sebagai grantor kepada pihak lain bukan Penduduk sebagai participant. (2) TPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang kemudian dialihkan hak tagihnya kepada pihak lain bukan Penduduk sebagai participant diperlakukan sebagai utang luar negeri milik debitur Bank kepada participant. (3) Bank wajib melaporkan pengalihan hak tagih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Bank Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan pengalihan hak tagih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB III PRINSIP KEHATI-HATIAN TERHADAP KEWAJIBAN JANGKA PENDEK Pasal 5 (1) Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian terhadap Kewajiban Jangka Pendek dengan membatasi posisi saldo harian Kewajiban Jangka Pendek paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari modal Bank. (2) Kewajiban Jangka Pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. ULN Bank jangka pendek; b. Surat Utang Valas Domestik jangka pendek; dan c. TPR jangka pendek. (3) Kewajiban Bank untuk membatasi posisi saldo harian Kewajiban Jangka Pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi Kewajiban Jangka Panjang yang jangka waktunya diperpendek sehingga jangka waktu asal (original maturity) kewajiban tersebut menjadi sampai dengan 1 (satu) tahun. - 2 - Pasal 6 (1) Bank Indonesia dapat memberikan pengecualian terhadap kewajiban Bank untuk membatasi posisi saldo harian Kewajiban Jangka Pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dalam hal Bank sangat memerlukan Kewajiban Jangka Pendek untuk mengatasi permasalahan Bank yang mendesak dan/atau untuk memenuhi ketentuan otoritas berdasarkan informasi dan/atau rekomendasi otoritas terkait. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pemberian pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 7 (1) Kewajiban Bank untuk membatasi posisi saldo harian Kewajiban Jangka Pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), dikecualikan terhadap: a. ULN Bank jangka pendek dari pemegang saham pengendali untuk mengatasi kesulitan likuiditas Bank; b. ULN Bank jangka pendek dari pemegang saham pengendali untuk penyaluran kredit ke sektor riil; c. dana usaha kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri sampai dengan 100% (seratus persen) dari dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha); d. kewajiban Bank kepada bukan Penduduk yang timbul dari transaksi lindung nilai; e. giro, tabungan, dan deposito milik perwakilan negara asing dan lembaga internasional, termasuk anggota staf perwakilan negara asing dan lembaga internasional; f. giro milik bukan Penduduk yang digunakan untuk kegiatan investasi di Indonesia yang meliputi penyertaan langsung, pembelian saham, pembelian - 2 - obligasi korporasi Indonesia, pembelian SBN, dan/atau pembelian surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; g. giro milik bukan Penduduk yang menampung dana hasil penjualan kembali atau divestasi atas penyertaan langsung, pembelian saham, pembelian obligasi korporasi Indonesia, pembelian SBN, dan/atau pembelian surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; h. giro milik bukan Penduduk nonpemegang saham pengendali yang digunakan untuk penyaluran kredit ke proyek infrastruktur; i. giro milik bukan Penduduk yang menampung dana hasil penerbitan obligasi berdenominasi rupiah oleh lembaga supranasional untuk pembiayaan proyek infrastruktur; dan/atau j. giro atau deposito milik bukan Penduduk yang diperuntukkan sebagai penyimpanan sementara dana setoran modal Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK. (2) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan bukti yang memadai. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bukti yang memadai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 8 (1) Kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri wajib menginformasikan hasil penetapan dan perubahan dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) kepada Bank Indonesia. (2) Kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri wajib memelihara posisi harian dana usaha paling rendah 90% (sembilan puluh persen) dari jumlah dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 2 - (3) Kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri dapat memelihara posisi harian dana usaha lebih dari 100% (seratus persen) dari dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Kelebihan dana usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diperhitungkan sebagai Kewajiban Jangka Pendek. BAB IV PRINSIP KEHATI-HATIAN TERHADAP KEWAJIBAN JANGKA PANJANG Pasal 9 (1) Bank yang akan masuk pasar untuk memperoleh Kewajiban Jangka Panjang wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan rencana masuk pasar dari Bank Indonesia. (2) Kewajiban memperoleh persetujuan rencana masuk pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi Kewajiban Jangka Pendek yang jangka waktunya diperpanjang lebih dari 1 (satu) tahun. (3) Kewajiban Jangka Panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. ULN Bank jangka panjang; b. Surat Utang Valas Domestik jangka panjang; dan c. TPR jangka panjang. (4) Bank dilarang menerima Kewajiban Jangka Panjang melebihi jumlah yang tertera dalam rencana masuk pasar yang telah disetujui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Bank yang mengajukan permohonan persetujuan rencana masuk pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu mencantumkan rencana masuk pasar dalam rencana bisnis Bank. - 2 - (6) Ketentuan pencantuman rencana masuk pasar dalam rencana bisnis Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak berlaku bagi: a. permohonan persetujuan masuk pasar untuk Kewajiban Jangka Panjang dalam bentuk pinjaman subordinasi (subordinated loan) yang dilakukan atas dasar rekomendasi OJK. b. permohonan persetujuan rencana masuk pasar untuk Kewajiban Jangka Panjang yang sangat diperlukan dalam mengatasi permasalahan Bank yang mendesak dan/atau memenuhi ketentuan otoritas terkait, yang dilakukan atas dasar informasi dan/atau rekomendasi otoritas terkait. Pasal 10 (1) Bank yang akan masuk pasar menyampaikan permohonan persetujuan rencana masuk pasar kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK. (2) Permohonan persetujuan rencana masuk pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen pendukung. Pasal 11 (1) Bank Indonesia dapat menyetujui atau menolak permohonan persetujuan rencana masuk pasar yang diajukan oleh Bank. (2) Bank Indonesia menyetujui atau menolak permohonan persetujuan masuk pasar setelah mempertimbangkan hal sebagai berikut: a. kelengkapan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2); b. syarat dan ketentuan Kewajiban Jangka Panjang; c. kondisi ekonomi makro dan pasar keuangan; d. kondisi sistem keuangan; e. kondisi keuangan Bank; dan f. hal lainnya yang dianggap penting oleh Bank Indonesia. - 2 - (3) Dalam melakukan proses persetujuan masuk pasar, Bank Indonesia berkoordinasi dengan OJK untuk memperoleh data dan informasi mengenai kondisi Bank, termasuk memperoleh rekomendasi OJK. Pasal 12 Ketentuan lebih lanjut mengenai prinsip kehati-hatian terhadap Kewajiban Jangka Panjang Bank berupa permohonan persetujuan rencana masuk pasar diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 13 (1) Persetujuan masuk pasar yang diberikan oleh Bank Indonesia berlaku untuk jangka waktu selama 3 (tiga) bulan sejak tanggal persetujuan masuk pasar. (2) Dalam hal Bank belum masuk pasar sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Bank tetap berencana masuk pasar, Bank harus mengajukan kembali permohonan persetujuan rencana masuk pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1). (3) Persetujuan masuk pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum direalisasikan dapat menjadi tidak berlaku dalam hal Bank melakukan aksi korporasi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai keberlakuan persetujuan masuk pasar bagi Bank yang melakukan aksi korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 14 (1) Bank wajib menyampaikan laporan realisasi masuk pasar paling lambat: a. 7 (tujuh) Hari Kerja setelah tanggal masuk pasar, untuk ULN Bank dalam bentuk perjanjian pinjaman, ULN Bank dalam bentuk surat utang yang diterbitkan melalui private placement, Surat Utang Valas - 2 - Domestik yang diterbitkan melalui private placement, dan TPR; dan b. 7 (tujuh) Hari Kerja setelah tanggal penyelesaian transaksi, untuk ULN Bank dalam bentuk surat utang dan Surat Utang Valas Domestik, yang diterbitkan melalui bursa. (2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan realisasi masuk pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila laporan disampaikan melampaui batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan 10 (sepuluh) Hari Kerja setelah batas waktu tersebut. (3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan realisasi masuk pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila laporan tidak disampaikan sampai dengan 10 (sepuluh) Hari Kerja setelah batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK. (5) Dalam hal terdapat perbedaan syarat dan ketentuan Kewajiban Jangka Panjang pada saat sebelum dan sesudah masuk pasar, Bank wajib menjelaskan penyebab perbedaan tersebut dalam laporan realisasi masuk pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara memadai. (6) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan informasi penyaluran dana ULN Bank jangka panjang dan Surat Utang Valas Domestik jangka panjang. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan realisasi masuk pasar diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 15 Bank Indonesia dapat menetapkan pagu atas jumlah Kewajiban Jangka Panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 untuk individu Bank dengan mempertimbangkan debt sustainability analysis, keseimbangan neraca pembayaran, kestabilan - 2 - kondisi moneter, kecukupan cadangan devisa, dan hal lainnya yang dianggap penting oleh Bank Indonesia. BAB V PENGAWASAN Pasal 16 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan kepatuhan Bank atas pemenuhan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan OJK. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengawasan tidak langsung; dan/atau b. pemeriksaan. Pasal 17 (1) Dalam melakukan kegiatan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Bank Indonesia dapat meminta data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan dari Bank. (2) Bank wajib menyediakan dan menyampaikan data, informasi, dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Bank bertanggung jawab atas kebenaran data, informasi, dan/atau keterangan yang disampaikan kepada Bank Indonesia. BAB VI SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 18 Bank yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; - 2 - b. kewajiban membayar; c. larangan mengajukan permohonan persetujuan rencana masuk pasar; dan/atau d. pembatasan keikutsertaan dalam Operasi Moneter. Pasal 19 (1) Bank yang tidak menyampaikan laporan pengalihan hak tagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Bank yang tidak menginformasikan hasil penetapan dan perubahan dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Bank yang tidak memberikan penjelasan mengenai penyebab perbedaan syarat dan ketentuan Kewajiban Jangka Panjang pada saat sebelum dan sesudah masuk pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) atau telah memberikan penjelasan, namun dinyatakan tidak memadai oleh Bank Indonesia, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. (4) Bank yang tidak menyediakan dan menyampaikan data, informasi, dan/atau keterangan yang diminta oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 20 (1) Bank yang melanggar kewajiban pembatasan posisi saldo harian Kewajiban Jangka Pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari jumlah kelebihan per hari dengan jumlah total sanksi kewajiban membayar paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Bank yang melanggar kewajiban memelihara posisi harian dana usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) - 2 - dikenai sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari jumlah kekurangan per hari dengan jumlah total sanksi kewajiban membayar paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (3) Bank yang terlambat menyampaikan laporan realisasi masuk pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per Hari Kerja keterlambatan. (4) Bank yang tidak menyampaikan laporan realisasi masuk pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (5) Sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak menghilangkan kewajiban Bank untuk tetap menyampaikan laporan realisasi masuk pasar. Pasal 21 (1) Bank yang menerima Kewajiban Jangka Panjang melebihi jumlah yang tertera dalam persetujuan rencana masuk pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari kelebihan jumlah yang telah disetujui oleh Bank Indonesia dengan jumlah sanksi kewajiban membayar paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Bank yang menerima Kewajiban Jangka Panjang melebihi jumlah yang tertera dalam persetujuan rencana masuk pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) untuk kedua kalinya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun dikenai sanksi administratif berupa berupa: a. sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari kelebihan jumlah yang telah disetujui oleh Bank - 2 - Indonesia dengan jumlah sanksi kewajiban membayar paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan b. sanksi larangan mengajukan permohonan persetujuan rencana masuk pasar selama jangka waktu 1 (satu) tahun. Pasal 22 (1) Bank yang masuk pasar tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan rencana masuk pasar dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa berupa: a. kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari jumlah Kewajiban Jangka Panjang yang diperjanjikan dengan jumlah sanksi kewajiban membayar paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan b. pembatasan keikutsertaan dalam Operasi Moneter selama 3 (tiga) bulan, yaitu hanya dapat mengikuti Operasi Moneter pada instrumen lelang repo SBN 1 minggu dan lending facility/ financing facility. (2) Bank yang masuk pasar tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan rencana masuk pasar dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) untuk kedua kalinya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun dikenai sanksi administratif berupa berupa: a. kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari jumlah Kewajiban Jangka Panjang yang diperjanjikan dengan jumlah sanksi kewajiban membayar paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); b. pembatasan keikutsertaan dalam Operasi Moneter selama 3 (tiga) bulan, yaitu hanya dapat mengikuti - 2 - Operasi Moneter pada instrumen facility/financing facility; dan c. lending larangan mengajukan permohonan persetujuan rencana masuk pasar selama 1 (satu) tahun. (3) Masa pengenaan sanksi administratif berupa pembatasan keikutsertaan dalam Operasi Moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b dapat dihentikan apabila Bank menunjukkan bukti pembatalan transaksi Kewajiban Jangka Panjang yang dinyatakan cukup oleh Bank Indonesia. Pasal 23 Bank Indonesia dapat mempertimbangkan untuk memberikan keringanan atau pembebasan sanksi administratif berupa larangan mengajukan permohonan persetujuan rencana masuk pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b dan Pasal 22 ayat (2) huruf c dalam hal Bank sedang dalam proses penyehatan berdasarkan informasi dan/atau rekomendasi dari otoritas terkait. Pasal 24 Bank Indonesia memberitahukan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 kepada Bank secara tertulis dengan tembusan kepada OJK. Pasal 25 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 26 (1) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini tidak berlaku untuk kewajiban Bank dalam perdagangan internasional sepanjang kewajiban tersebut didukung oleh - 2 - bukti transaksi yang mendasarinya (underlying transaction) secara memadai. (2) Kewajiban Bank dalam perdagangan internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk fasilitas pembiayaan preshipment. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 27 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4467); b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/20/PBI/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4905); c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/7/PBI/2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5193); d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/6/PBI/2013 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5442); dan e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/7/PBI/2014 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor - 2 - 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5523), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7. Pasal 28 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 2019. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Januari 2019 GUBERNUR BANK INDONESIA, TTD PERRY WARJIYO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 Januari 2019 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 2 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 21/1/PBI/2019 TENTANG UTANG LUAR NEGERI BANK DAN KEWAJIBAN BANK LAINNYA DALAM VALUTA ASING I. UMUM Kewajiban Bank berupa ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing merupakan salah satu sumber pendanaan dalam pengembangan kegiatan usaha perbankan nasional. Sebagai lembaga intermediasi, sumber pendanaan yang berasal dari ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing tersebut akan membiayai berbagai kegiatan usaha untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kapasitas perekonomian nasional. Sebagai otoritas yang berwenang, Bank Indonesia melakukan pengaturan ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing, baik yang berjangka panjang maupun pendek, sebagai bentuk kebijakan pengelolaan aliran modal (capital flows management) yang merupakan bagian dari kebijakan moneter. Kebijakan pengelolaan aliran modal bertujuan memengaruhi aliran modal untuk menjaga stabilitas perekonomian makro dan sistem keuangan. Kegiatan ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing tersebut juga harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip kehati- hatian sehingga dapat memitigasi berbagai risiko yang dapat timbul, agar tidak menimbulkan kerentanan terhadap sektor eksternal Indonesia. Selain itu, pengaturan mengenai ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing perlu selaras dengan perkembangan berbagai produk dan kegiatan perbankan terkini. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” adalah kegiatan pengelolaan risiko yang mencakup risiko pasar, risiko kredit, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko kepatuhan, dan risiko lainnya. Pasal 3 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “surat utang (debt securities)” antara lain letter of credit (L/C), impor yang diakseptasi oleh Bank (banker’s acceptance), obligasi, commercial papers (CP), promissory notes (PN), dan medium term notes (MTN). Huruf c Yang dimaksud dengan “call money” adalah penempatan atau peminjaman dana antar-Bank dalam hitungan hari. Huruf d Yang dimaksud dengan “ULN Bank dalam bentuk lainnya” adalah ULN lain yang dicatat dalam neraca (on balance sheet), tidak termasuk kewajiban lainnya antarkantor bank. - 3 - Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “grantor” adalah pihak yang menjual risiko. Yang dimaksud dengan “participant” adalah pihak yang membeli atau menerima risiko. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, pengalihan hak tagih diberitahukan kepada debitur Bank. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “modal Bank” adalah a. modal inti dan modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum, bagi Bank yang berkantor pusat di Indonesia; dan b. dana usaha, bagi kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri. Perhitungan dana usaha sebagai komponen modal bagi kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri dilakukan sebagai berikut: a. dalam hal posisi dana usaha yang sebenarnya (actual dana usaha) lebih besar dari dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha), dana usaha yang digunakan yaitu dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha); dan b. dalam hal posisi dana usaha yang sebenarnya (actual dana usaha) lebih kecil dari dana usaha yang dinyatakan (declared - 4 - dana usaha), dana usaha yang digunakan yaitu dana usaha yang sebenarnya (actual dana usaha). Ayat (2) Huruf a Giro, deposito, dan tabungan milik bukan Penduduk juga termasuk dalam ULN Bank jangka pendek tanpa memperhitungkan jangka waktunya. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Nilai TPR yang diperhitungkan dalam posisi saldo harian Kewajiban Jangka Pendek yaitu sebesar nilai kredit dan/atau fasilitas lainnya yang dipartisipasikan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “jangka waktu asal (original maturity)” adalah jangka waktu dari sejak timbulnya kewajiban Bank sampai dengan jatuh waktu. Pasal 6 Ayat (1) Pengecualian terhadap kewajiban Bank untuk membatasi posisi saldo harian Kewajiban Jangka Pendek untuk mengatasi permasalahan Bank yang mendesak antara lain untuk penyehatan Bank. Yang termasuk otoritas terkait yaitu LPS atau OJK. LPS dapat memberikan informasi kepada Bank Indonesia dalam hal Bank dalam resolusi dan LPS sebagai pemegang saham. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “pemegang saham pengendali” adalah pemegang saham pengendali sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai pemegang saham pengendali. - 5 - Yang dimaksud dengan “kesulitan likuiditas” adalah kesulitan memenuhi kewajiban jangka pendek yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) baik valuta asing maupun rupiah, tidak termasuk untuk kegiatan ekspansi usaha. Huruf b Yang dimaksud dengan “penyaluran kredit ke sektor riil” adalah penyaluran kredit secara langsung dari Bank kepada sektor riil. Yang dimaksud dengan “sektor riil” adalah kegiatan usaha suatu entitas di Indonesia yang menghasilkan barang dan jasa, tidak termasuk di dalamnya kegiatan usaha di sektor keuangan. Huruf c Yang dimaksud dengan “dana usaha” adalah dana usaha sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai dana usaha. Huruf d Yang dimaksud dengan “kewajiban Bank kepada bukan Penduduk yang timbul dari transaksi lindung nilai” adalah kewajiban Bank yang muncul akibat kegiatan mark-to- market transaksi derivatif Bank dan tercatat di on balance sheet. Transaksi derivatif merupakan transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasarinya seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti, dan indeks, baik yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau instrumen, tidak termasuk transaksi derivatif kredit. Transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah tunduk kepada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah antara bank dengan pihak asing. Yang dimaksud dengan “lindung nilai” adalah cara atau teknik untuk mengurangi risiko yang timbul maupun yang - 6 - diperkirakan akan timbul akibat adanya fluktuasi harga di pasar keuangan. Transaksi lindung nilai yang dilakukan Bank mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi lindung nilai Bank. Huruf e Yang dimaksud dengan “giro, tabungan, dan deposito milik perwakilan negara asing dan lembaga internasional” adalah giro, tabungan, dan deposito yang digunakan untuk kegiatan operasional. Giro, tabungan, dan deposito anggota staf perwakilan negara asing dan lembaga internasional merupakan giro, tabungan, dan deposito milik pribadi anggota staf perwakilan negara asing dan lembaga internasional. Perwakilan negara asing mencakup juga perwakilan pemerintah daerah negara asing yang mewakili secara resmi pemerintah daerah negara asing tersebut dalam melakukan tugasnya. Yang dimaksud dengan “lembaga internasional” adalah lembaga dengan keanggotaan, cakupan pekerjaan, dan/atau keberadaan yang bersifat internasional yang kegiatan utamanya bersifat nirlaba, seperti International Monetary Fund (IMF) dan Islamic Development Bank (IDB). Huruf f Kegiatan investasi di Indonesia termasuk di dalamnya reksa dana saham, reksa dana obligasi, dan kombinasi keduanya. Deposito, tabungan, dan lainnya yang sejenis di luar giro milik bukan Penduduk yang digunakan untuk kegiatan investasi tidak termasuk yang dikecualikan. Yang dimaksud dengan “surat berharga yang diterbitkan Bank Indonesia” adalah surat berharga yang diterbitkan Bank Indonesia, yang dapat dimiliki oleh bukan Penduduk antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan/atau Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). Huruf g Hasil penjualan kembali atau divestasi meliputi pokok dan imbal hasil. - 7 - Deposito, tabungan, dan lainnya yang sejenis di luar giro milik bukan Penduduk yang digunakan untuk menampung dana hasil penjualan kembali atau divestasi tidak termasuk yang dikecualikan. Yang dimaksud dengan “surat berharga yang diterbitkan Bank Indonesia” adalah surat berharga yang diterbitkan Bank Indonesia, yang dapat dimiliki oleh bukan Penduduk antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan/atau Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). Huruf h Penggunaan giro milik bukan Penduduk nonpemegang saham pengendali Bank dalam penyaluran kredit ke proyek infrastruktur meliputi: 1. untuk menampung sementara dana sebelum disalurkan oleh pemilik rekening giro tersebut kepada debitur di proyek infrastruktur; dan 2. untuk menerima pembayaran dari debitur di proyek infrastruktur, tidak termasuk kredit yang diberikan secara two step loan. Cakupan proyek infrastruktur mengacu pada ketentuan otoritas terkait yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur. Huruf i Yang dimaksud dengan “lembaga supranasional” adalah lembaga keuangan multilateral yang dibentuk oleh 2 (dua) atau lebih negara dan dalam kegiatannya menyediakan pembiayaan, hibah, dan/atau bantuan teknis untuk mendorong pembangunan ekonomi negara anggotanya. Contoh lembaga supranasional antara lain Asian Development Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB), dan World Bank Group yang terdiri atas International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dan International Finance Corporation (IFC). Cakupan proyek infrastruktur mengacu pada ketentuan otoritas terkait yang mengatur mengenai tata cara - 8 - pelaksanaan kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur. Huruf j Yang dimaksud dengan “ketentuan OJK” adalah ketentuan OJK yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum. Giro atau deposito dapat berada di Bank yang akan menerima setoran modal atau Bank lain yang ditunjuk oleh OJK. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “masuk pasar” adalah: a. untuk ULN Bank dalam bentuk perjanjian pinjaman, yaitu pada saat perjanjian pinjaman ditandatangani oleh kedua belah pihak; b. untuk surat utang yang diterbitkan di bursa, yaitu pada saat dimulainya penawaran resmi di pasar (public expose); c. untuk surat utang yang diterbitkan melalui private placement, yaitu pada saat tanggal penerbitan surat utang; dan d. untuk TPR, yaitu pada saat tanggal efektif perjanjian TPR antara participant dan grantor atas pengalihan risiko individual kredit dan/atau fasilitas lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. - 9 - Ayat (5) Yang dimaksud dengan “rencana bisnis Bank” adalah rencana bisnis sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai rencana bisnis bank. Rencana masuk pasar yang dicantumkan dalam rencana bisnis Bank termasuk rencana Kewajiban Jangka Pendek yang jangka waktunya diperpanjang lebih dari 1 (satu) tahun sehingga menjadi Kewajiban Jangka Panjang. Ayat (6) Huruf a Yang dimaksud dengan “pinjaman subordinasi (subordinated loan)” adalah pinjaman yang dinyatakan memenuhi kriteria subordinasi oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum. Huruf b Permohonan persetujuan rencana masuk pasar untuk Kewajiban Jangka Panjang yang sangat diperlukan dalam mengatasi permasalahan Bank yang mendesak antara lain untuk penyehatan bank. Yang termasuk otoritas terkait yaitu LPS atau OJK. LPS dapat memberikan informasi kepada Bank Indonesia dalam hal Bank dalam resolusi dan LPS sebagai pemegang saham. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Syarat dan ketentuan (terms and condition) meliputi: 1. untuk ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing selain TPR, antara lain mata uang, jumlah - 10 - kewajiban, bentuk kewajiban, nama kreditur, hubungan dengan kreditur, maturity profile untuk pokok dan bunga, suku bunga atau kupon indikatif, biaya terkait, dan debt covenant; dan 2. untuk TPR antara lain nama participant, hubungan dengan participant, nama debitur, informasi pinjaman yang menjadi dasar TPR, suku bunga TPR, dan dana partisipasi yang diperjanjikan. Khusus untuk kewajiban Bank berupa surat utang, juga memperhatikan pembeli potensial atau target pembeli dan underwriter atau lead manager. Huruf c Kondisi ekonomi makro antara lain berupa beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang terhadap penerimaan transaksi berjalan (debt service ratio) Indonesia, kondisi solvabilitas secara nasional, komposisi utang Indonesia, dan perkembangan perekonomian nasional. Kondisi pasar keuangan antara lain berupa perkembangan tingkat suku bunga, yield, nilai tukar, sovereign rating, dan risiko. Huruf d Kondisi sistem keuangan antara lain tren leverage sektor perbankan. Huruf e Yang dimaksud dengan “kondisi keuangan Bank” adalah hasil analisis mengenai kondisi Bank yang mencerminkan kemampuan dalam memenuhi kewajiban Bank kepada pihak lainnya serta ketahanan permodalan, antara lain kondisi likuiditas, solvabilitas, dan profitabilitas bank. Huruf f Cukup jelas. Ayat (3) Rekomendasi OJK antara lain terkait profil risiko, analisis proyeksi arus kas, dan kondisi keuangan Bank. Pasal 12 Cukup jelas. - 11 - Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “aksi korporasi” adalah penggabungan, peleburan, pemisahan, atau pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “tanggal penyelesaian transaksi” adalah tanggal pada saat transfer dana dan surat utang telah diselesaikan oleh para pihak yang melakukan transaksi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “perbedaan syarat dan ketentuan” antara lain perbedaan pada bentuk kewajiban, mata uang, jumlah kewajiban, suku bunga atau kupon, maturity profile pada pokok dan bunga, biaya terkait, dan debt covenants. Penjelasan penyebab perbedaan syarat dan ketentuan Kewajiban Jangka Panjang pada saat sebelum dan sesudah masuk pasar dapat disertai dengan dokumen pendukung. - 12 - Ayat (6) Informasi penyaluran dana meliputi sektor usaha penerima dana, jangka waktu, pihak penerima dana, tujuan penggunaan oleh penerima dana, dan informasi lainnya. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari pada saat Kantor Bank Indonesia menyelenggarakan kegiatan kliring dan Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlment. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari pada saat Kantor Bank Indonesia menyelenggarakan kegiatan kliring dan Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlment. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. - 13 - Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Perhitungan pelanggaran kedua kalinya dalam 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal pelanggaran yang pertama. Tanggal pelanggaran yaitu tanggal tercatatnya Kewajiban Jangka Panjang dalam neraca Bank. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Masa sanksi larangan mengajukan permohonan persetujuan rencana masuk pasar selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal pengenaan sanksi tersebut. Ayat (3) Pembuktian telah dibatalkannya perjanjian yang mendasari masuk pasar dilakukan oleh Bank dengan cara menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia. Bukti pembatalan transaksi Kewajiban Jangka Panjang antara lain berupa voucher pembatalan pencatatan transaksi dalam General Ledger bank atau bukti lain yang dianggap memadai oleh Bank Indonesia. Pasal 23 Yang dimaksud dengan “otoritas terkait” adalah OJK dan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). - 14 - Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Kewajiban Bank dalam perdagangan internasional antara lain berupa letter of credit (L/C), usance L/C, red clause L/C, stand by L/C, dan dokumen lainnya yang sejenis. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “fasilitas pembiayaan preshipment” adalah fasilitas pembiayaan yang diberikan kepada eksportir sebelum pengiriman barang dilakukan. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6297
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 21/1/PBI/2019 </reg_id> <reg_title> UTANG LUAR NEGERI BANK DAN KEWAJIBAN BANK LAINNYA DALAM VALUTA ASING </reg_title> <set_date> 7 Januari 2019 </set_date> <effective_date> 1 Maret 2019 </effective_date> <issued_date> 9 Januari 2019 </issued_date> <replaced_reg> '16/7/PBI/2014', '13/7/PBI/2011', '7/1/PBI/2005', '10/20/PBI/2008', '15/6/PBI/2013' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 9/3/PBI/2007 TENTANG LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah ditunjuk oleh Pemerintah sebagai agen untuk melaksanakan lelang Surat Utang Negara di pasar perdana; b. bahwa Dealer Utama yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan memperoleh hak eksklusif untuk mengikuti lelang Surat Utang Negara di pasar perdana dan lelang pembelian kembali Obligasi Negara; c. bahwa Pemerintah telah mengubah ketentuan pelaksanaan lelang Surat Utang Negara di pasar perdana dan lelang pembelian kembali Obligasi Negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu untuk menyusun Peraturan Bank Indonesia tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Utang Negara; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 ... -2- 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. Bank ... -3- 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Perusahaan Efek adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek, dan/atau manajer investasi. 3. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara. 4. Surat Perbendaharaan Negara adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto. 5. Obligasi Negara adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto. 6. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan Surat Utang Negara untuk pertama kali. 7. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan Surat Utang Negara yang telah dijual di Pasar Perdana. 8. Dealer Utama adalah lembaga keuangan (Bank dan Perusahaan Efek) yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia untuk menjalankan kewajiban tertentu baik di Pasar Perdana maupun Pasar Sekunder Surat Utang Negara dalam mata uang Rupiah dengan imbalan/hak (rights) tertentu. 9. Peserta Lelang adalah Dealer Utama yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia untuk mengikuti lelang Surat Utang Negara dan sedang tidak dikenakan sanksi tidak boleh mengikuti lelang Surat Utang Negara. 10. Yield ... -4- 10. Yield to Maturity atau Yield adalah tingkat imbal hasil (keuntungan) yang diharapkan oleh investor dalam persentase per tahun. 11. Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume dan tingkat imbal hasil (Yield) yang diinginkan penawar. 12. Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive Bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume tanpa tingkat imbal hasil (Yield) yang diinginkan penawar. 13. Lelang Surat Utang Negara adalah penjualan Surat Utang Negara yang diikuti oleh Peserta Lelang dan Bank Indonesia atau hanya diikuti oleh Peserta Lelang, dengan cara mengajukan Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non- competitive Bidding) dalam suatu periode waktu penawaran yang telah ditentukan dan diumumkan sebelumnya. 14. Lelang Pembelian Kembali Obligasi Negara (Buyback) adalah pembelian kembali Obligasi Negara di Pasar Sekunder oleh Pemerintah sebelum jatuh tempo dengan cara tunai dan/atau dengan cara penukaran (debt switching), dalam suatu masa penawaran yang telah ditentukan dan diumumkan sebelumnya. 15. Fasilitas Peminjaman Surat Utang Negara adalah fasilitas yang diberikan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia kepada Dealer Utama untuk melakukan peminjaman Surat Utang Negara sesuai tata cara yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku. 16. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi penatausahaan surat berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan Bank, Sub- Registry dan pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia. 17. Sub-Registry ... -5- 17. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan kustodian, yang disetujui Bank Indonesia untuk melakukan fungsi penatausahaan surat berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan nasabah. 18. Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System yang untuk selanjutnya disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya dan penatausahaan surat berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara peserta BI-SSSS, penyelenggara BI- SSSS dan Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (BI-RTGS). 19. Delivery Versus Payment yang untuk selanjutnya disebut DVP adalah setelmen transaksi Surat Utang Negara dengan cara setelmen surat berharga melalui BI-SSSS dilakukan bersamaan dengan setelmen dana di Bank Indonesia melalui Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (BI- RTGS). 20. Free of Payment yang untuk selanjutnya disebut FoP adalah setelmen transaksi Surat Utang Negara dengan cara setelmen surat berharga dilakukan melalui BI-SSSS, sedangkan setelmen dana dilakukan tidak secara bersamaan dengan setelmen surat berharga atau tanpa setelmen dana. BAB II FUNGSI BANK INDONESIA DALAM LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA Pasal 2 Dalam rangka membantu Pemerintah untuk mengelola Surat Utang Negara, Bank Indonesia melakukan hal-hal sebagai berikut : a. memberikan masukan dalam rangka menetapkan ketentuan dan persyaratan penerbitan Surat Utang Negara; b. bertindak ... -6- b. bertindak sebagai agen lelang dalam penjualan Surat Utang Negara di Pasar Perdana yang antara lain mengumumkan rencana Lelang Surat Utang Negara, melaksanakan Lelang Surat Utang Negara, menyampaikan hasil penawaran Lelang Surat Utang Negara, serta mengumumkan keputusan hasil Lelang Surat Utang Negara; c. menatausahakan Surat Utang Negara. BAB III KARAKTERISTIK SURAT UTANG NEGARA Pasal 3 Surat Utang Negara yang ditatausahakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c mempunyai karakteristik sebagai berikut : a. Surat Perbendaharaan Negara : 1. diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat (scripless); 2. diterbitkan dalam bentuk yang diperdagangkan atau dalam bentuk yang tidak diperdagangkan di Pasar Sekunder; 3. diterbitkan dengan jangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dan pembayaran bunga secara diskonto. b. Obligasi Negara: 1. diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat (scripless); 2. diterbitkan dalam bentuk yang diperdagangkan atau dalam bentuk yang tidak diperdagangkan di Pasar Sekunder; 3. diterbitkan dengan jangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon mengambang (variable rate), kupon tetap (fixed rate), dan/atau pembayaran bunga secara diskonto. BAB IV ... -7- BAB IV LELANG SURAT UTANG NEGARA DI PASAR PERDANA Pasal 4 (1) Orang perseorangan, atau kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum, atau Bank Indonesia dapat membeli Surat Utang Negara di Pasar Perdana. (2) Pembelian Surat Utang Negara di Pasar Perdana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain oleh Bank Indonesia, dilakukan dengan mengajukan penawaran pembelian melalui Peserta Lelang kepada Bank Indonesia sebagai agen lelang. (3) Dalam Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana, Peserta Lelang mengajukan penawaran pembelian untuk dan atas nama diri sendiri dan/atau atas nama pihak lain. Pasal 5 (1) Bank Indonesia dapat membeli Surat Utang Negara di Pasar Perdana hanya untuk jenis Surat Perbendaharaan Negara. (2) Pembelian Surat Perbendaharaan Negara di Pasar Perdana oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan persyaratan sebagai berikut: a. Penawaran pembelian dilakukan secara langsung tanpa melalui Peserta Lelang; dan b. Pembelian dilakukan secara Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non- competitive Bidding). Pasal 6 ... -8- Pasal 6 Bank Indonesia sebagai agen lelang melaksanakan Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana setelah menerima pemberitahuan dari Menteri Keuangan Republik Indonesia mengenai: a. Rencana Lelang Surat Utang Negara yang mencakup tanggal dan waktu pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara, jenis dan jangka waktu Surat Utang Negara, target indikatif Surat Utang Negara yang ditawarkan, tanggal penerbitan, tanggal setelmen, tanggal jatuh tempo, mata uang, waktu pengumuman hasil Lelang Surat Utang Negara dan persentase alokasi Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitif Bidding) Surat Utang Negara yang akan ditawarkan, dan informasi Peserta Lelang; b. Keputusan hasil Lelang Surat Utang Negara yang mencakup kuantitas Lelang Surat Utang Negara secara keseluruhan, nama pemenang, nilai nominal, dan tingkat diskonto atau Yield; c. Penolakan seluruh atau sebagian dari penawaran pembelian Surat Utang Negara yang masuk selama pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara. Pasal 7 (1) Penawaran pembelian dalam Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dapat dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) atau dengan cara kombinasi Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive Bidding). (2) Dalam hal Peserta Lelang melakukan penawaran pembelian Surat Utang Negara baik secara langsung maupun melalui Peserta Lelang lain untuk dan atas nama diri sendiri maka penawaran pembelian hanya dapat dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding). (3) Dalam ... -9- (3) Dalam hal Peserta Lelang melakukan penawaran pembelian Surat Perbendaharaan Negara untuk dan atas nama pihak lain selain Bank Indonesia maka penawaran pembelian hanya dapat diajukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding). (4) Dalam hal Peserta Lelang melakukan penawaran pembelian Obligasi Negara untuk dan atas nama pihak lain maka penawaran pembelian dapat diajukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive Bidding). Pasal 8 (1) Bank Indonesia melakukan Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana sesuai kebutuhan Pemerintah dan atas permintaan Menteri Keuangan Republik Indonesia. (2) Bank Indonesia melakukan lelang Surat Utang Negara secara elektronis dengan menggunakan sarana BI-SSSS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (3) Bank Indonesia mengumumkan rencana Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana berdasarkan pemberitahuan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a. (4) Pengumuman rencana Lelang Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui sarana BI-SSSS, Laporan Harian Bank Umum dan atau sarana lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 9 ... -10- Pasal 9 (1) Penetapan harga Surat Utang Negara bagi pemenang Lelang Surat Utang Negara dengan Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dilakukan dengan metode harga beragam (multiple price). (2) Penetapan harga Surat Utang Negara bagi pemenang Lelang Surat Utang Negara dengan Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive Bidding) dilakukan berdasarkan harga rata-rata tertimbang (weighted average price) hasil Lelang Surat Utang Negara dengan Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding). Pasal 10 (1) Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana kepada Peserta Lelang berdasarkan pemberitahuan Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b. (2) Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana secara keseluruhan kepada Peserta Lelang dan publik pada hari pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara yang mencakup paling kurang kuantitas lelang secara keseluruhan dan rata-rata tertimbang tingkat diskonto atau Yield. (3) Bank Indonesia mengumumkan penolakan seluruh atau sebagian penawaran pembelian Surat Utang Negara berdasarkan pemberitahuan Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c. BAB V PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA Pasal 11 (1) Bank ... -11- (1) Bank Indonesia melakukan penatausahaan Surat Utang Negara secara elektronis dengan menggunakan sarana BI-SSSS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (2) Penatausahaan Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen, serta agen pembayar bunga (kupon) dan pokok Surat Utang Negara. Pasal 12 (1) Pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara dilakukan tanpa warkat (scripless) dan secara book entry. (2) Pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara dilakukan secara two tier system yang terdiri dari : a. Central Registry yang melakukan pencatatan dan perubahan kepemilikan Surat Berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan Bank, Sub-Registry dan pihak lain yang disetujui Bank Indonesia; dan b. Sub-Registry yang melakukan pencatatan dan perubahan kepemilikan Surat Berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan nasabah. (3) Catatan kepemilikan Surat Utang Negara pada Central Registry dan Sub- Registry merupakan bukti kepemilikan yang sah. Pasal 13 (1) Setelmen transaksi Surat Perbendaharaan Negara di Pasar Perdana dilakukan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah hari pelaksanaan lelang Surat Perbendaharaan Negara (T+1). (2) Setelmen ... -12- (2) Setelmen transaksi Obligasi Negara di Pasar Perdana dilakukan paling lambat pada 5 (lima) hari kerja berikutnya setelah pengumuman hasil pemenang lelang Obligasi Negara (T+5). (3) Setelmen Lelang Pembelian Kembali Obligasi Negara (Buyback) dilakukan pada 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah hari pelaksanaan Lelang Pembelian Kembali Obligasi Negara (T+3). (4) Setelmen transaksi Surat Utang Negara baik di Pasar Perdana maupun di Pasar Sekunder dilakukan atas dasar prinsip DVP atau FoP. (5) Setelmen transaksi Surat Utang Negara secara DVP dilakukan atas dasar sistem setelmen gross to gross atau kombinasi setelmen gross to gross dan setelmen gross to net. Pasal 14 (1) Bank Indonesia melakukan setelmen atas pemberian Fasilitas Peminjaman Surat Utang Negara oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia kepada Dealer Utama. (2) Setelmen Fasilitas Peminjaman Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada 2 (dua) hari kerja berikutnya setelah permohonan Dealer Utama disetujui oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia (T+2). (3) Setelmen pengembalian Fasilitas Peminjaman Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada saat berakhirnya batas waktu peminjaman. Pasal 15 (1) Dalam rangka setelmen hasil Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana, Bank Indonesia berwenang untuk : a. mendebet ... -13- a. mendebet rekening giro Rupiah Bank dan/atau Bank pembayar di Bank Indonesia dalam rangka pembelian Surat Utang Negara baik untuk dan atas nama diri sendiri maupun untuk dan atas nama pihak lain; b. mendebet rekening Surat Utang Negara milik Pemerintah dalam rangka setelmen penjualan Surat Utang Negara. (2) Dalam rangka setelmen hasil Lelang Pembelian Kembali Obligasi Negara (Buyback), Bank Indonesia berwenang untuk : a. mendebet rekening surat berharga pemilik rekening di Central Registry yang melakukan penjualan Surat Utang Negara baik untuk dan atas nama diri sendiri maupun untuk dan atas nasabah, dan/atau rekening giro Rupiah Bank atau Bank Pembayar dalam rangka pembayaran selisih tunai; b. mendebet rekening Surat Utang Negara milik Pemerintah dalam rangka setelmen Obligasi Negara penukar, dan/atau mendebet rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia dalam rangka pelunasan Surat Utang Negara secara tunai atau pembayaran selisih tunai. (3) Dalam rangka setelmen Fasilitas Peminjaman Surat Utang Negara, Bank Indonesia berwenang untuk: a. mendebet rekening surat berharga Dealer Utama pemilik rekening di Central Registry atau Sub-Registry atas nama Dealer Utama yang melakukan peminjaman Surat Utang Negara; b. mendebet rekening Surat Utang Negara milik Pemerintah yang memberikan fasilitas peminjaman Surat Utang Negara. (4) Dalam rangka pembebanan biaya Fasilitas Peminjaman Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia dapat mendebet rekening giro Rupiah Bank dan/atau Bank pembayar di Bank Indonesia. Pasal 16 ... -14- Pasal 16 (1) Peserta Lelang yang memenangkan Lelang Surat Utang Negara harus menjamin kecukupan dana pada rekening giro Rupiah Bank dan/atau Bank pembayar yang ditunjuk sampai dengan batas akhir waktu setelmen dana yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Dalam hal Peserta Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melunasi seluruh kewajibannya sampai dengan batas akhir waktu setelmen atau saldo giro rupiah Bank dan/atau Bank yang ditunjuk sebagai Bank pembayar di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk setelmen, Utang Negara yang setelmennya dilakukan melalui Bank tersebut dinyatakan batal. Pasal 17 (1) Peserta Lelang yang memenangkan Lelang Pembelian Kembali Obligasi Negara (Buyback) harus menjamin kecukupan nilai Obligasi Negara sampai dengan batas akhir waktu setelmen surat berharga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Dalam hal Peserta Lelang yang memenangkan Lelang Pembelian Kembali Obligasi Negara (Buyback) tidak dapat menyerahkan Obligasi Negara sampai dengan batas akhir waktu setelmen surat berharga maka Peserta Lelang harus menyelesaikan transaksi yang gagal tersebut selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja setelah tanggal setelmen awal. (3) Dalam hal Peserta Lelang yang memenangkan Lelang Pembelian Kembali Obligasi Negara (Buyback) tidak dapat menyelesaikan transaksi selama 2 (dua) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka transaksi tersebut dinyatakan batal. seluruh hasil Lelang Surat Pasal 18 ... -15- Pasal 18 (1) Dealer Utama yang disetujui oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia untuk memperoleh Fasilitas Peminjaman Surat Utang Negara harus menjamin kecukupan nilai Surat Utang Negara yang dijaminkan. (2) Dealer Utama yang memperoleh Fasilitas Peminjaman Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus membayar biaya peminjaman kepada Pemerintah. (3) Dealer Utama yang memperoleh Fasilitas Peminjaman Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengembalikan Surat Utang Negara yang dipinjam sesuai batas waktu peminjaman. (4) Dalam hal Dealer Utama tidak dapat mengembalikan Surat Utang Negara yang dipinjam sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka Bank Indonesia melakukan setelmen penyelesaian Surat Utang Negara yang dijaminkan berdasarkan permintaan Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang. Pasal 19 (1) Bank Indonesia melakukan pembayaran bunga (kupon) dan pelunasan pokok Surat Utang Negara sebesar nilai nominal pada saat jatuh waktu atas beban Pemerintah. (2) Atas permintaan Pemerintah, Bank Indonesia melakukan pelunasan pokok Surat Utang Negara sebelum tanggal jatuh waktu atas beban Pemerintah. (3) Pembayaran pokok dan bunga (kupon) Surat Utang Negara dilakukan oleh Bank Indonesia berdasarkan posisi kepemilikan Surat Utang Negara yang tercatat di Central Registry. (4) Dalam ... -16- (4) Dalam rangka pembayaran bunga (kupon) dan pelunasan pokok Surat Utang Negara, Bank Indonesia berwenang : a. mendebet rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia untuk melakukan pembayaran bunga (kupon) dan/atau pelunasan pokok Surat Utang Negara; b. mendebet rekening surat berharga pemilik rekening di Central Registry terhadap Surat Utang Negara yang telah dinyatakan lunas oleh Pemerintah. Pasal 20 (1) Bank Indonesia dapat bekerjasama dengan pihak lain dalam rangka penatausahaan Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. (2) Bank Indonesia melakukan pengawasan langsung dan/atau tidak langsung kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). BAB VI BIAYA Pasal 21 Bank Indonesia mengenakan biaya atas : a. pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara kepada Peserta Lelang; dan b. biaya penatausahaan Surat Utang Negara kepada pemilik rekening Surat Utang Negara di Central Registry. BAB VII ... -17- BAB VII PELAPORAN Pasal 22 Bank Indonesia melaporkan kegiatan penatausahaan Surat Utang Negara secara berkala kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia. BAB VIII SANKSI Pasal 23 Peserta Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Lelang Pembelian Kembali Obligasi Negara (Buyback) yang transaksinya dinyatakan batal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (3), dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 24 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 25 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/19/PBI/2005 tanggal 25 Juli 2005 tentang Penerbitan, Penjualan dan Pembelian serta Penatausahaan Surat Utang Negara dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 26 ... -18- Pasal 26 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 16 Maret 2007 a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA, MIRANDA S. GOELTOM LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 45 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 9/3/ PBI /2007 TENTANG LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA UMUM Dalam rangka membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam satu tahun anggaran dan/atau mengelola portofolio utang negara, Pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara di dalam negeri. Untuk mendukung kesinambungan penerbitan Surat Utang Negara, Pemerintah memandang perlu untuk menerapkan sistem Dealer Utama yang berfungsi untuk memperlancar penyerapan penerbitan Surat Utang Negara di Pasar Perdana juga untuk mendorong pengembangan pasar sekunder Surat Utang Negara. Sehubungan dengan penerbitan Surat Utang Negara tersebut di atas, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, Pemerintah menunjuk Bank Indonesia sebagai agen lelang yang dapat menyelenggarakan kegiatan penjualan Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan melakukan penatausahaan Surat Utang Negara yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen, serta agen pembayar bunga (kupon) dan pokok Surat Utang Negara. Dalam rangka efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas Bank Indonesia yang terkait dengan lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan penatausahaan Surat Utang … -2- Utang Negara, Bank Indonesia menggunakan Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Huruf a Masukan ini dimaksudkan agar tercapai keselarasan antara kebijakan fiskal termasuk manajemen utang dengan kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Pasal 3 Huruf a Cukup jelas Huruf b Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Cukup jelas Angka 3 Obligasi Negara dengan pembayaran bunga secara diskonto (zero coupon bond) adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dan pembayaran bunganya tercermin secara … -3- secara implisit di dalam selisih antara harga pada saat penerbitan dan nilai nominal yang diterima pada saat jatuh tempo. Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Kebutuhan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dituangkan dalam kalender penerbitan (calendar of issuance) yang diumumkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia. Yang dimaksud dengan kalender penerbitan (calendar of issuance) adalah rencana penerbitan Surat Utang Negara oleh Pemerintah pada periode tertentu. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 9 … -4- Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan harga beragam (multiple price) adalah harga yang dibayarkan oleh masing-masing pemenang Lelang Surat Utang Negara sesuai dengan harga penawaran yang diajukannya. Ayat (2) Yang dimaksud dengan harga rata-rata tertimbang (weighted average price) adalah harga yang dihitung dari hasil bagi antara jumlah dari perkalian masing-masing volume Surat Utang Negara dengan harga yang dimenangkan dan total volume Surat Utang Negara yang terjual. Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan setelmen transaksi Surat Utang Negara adalah setelmen yang terdiri dari setelmen surat berharga dan/atau setelmen dana. Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud dengan book entry adalah pencatatan kepemilikan dan perpindahan kepemilikan tanpa warkat (scripless) dalam suatu jurnal elektronis. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 13 … -5- Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Setelmen transaksi Surat Berharga secara FoP di Pasar Perdana dan di Pasar Sekunder hanya dilakukan untuk perpindahan kepemilikan Surat Utang Negara dalam rangka hibah, warisan, pelunasan kewajiban dari dan kepada Bank Indonesia atau Pemerintah, dan atau tujuan lainnya. Ayat (5) Yang dimaksud dengan setelmen gross to gross adalah setelmen Surat Utang Negara dimana setelmen surat berharga dan setelmen dana dilakukan berdasarkan transaksi per transaksi (trade by trade). Yang dimaksud dengan setelmen gross to net adalah setelmen Surat Utang Negara dimana setelmen surat berharga dilakukan secara transaksi per transaksi (trade by trade) sedangkan setelmen dana secara netting sistem. Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 … -6- Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) Bank Indonesia hanya melakukan pembayaran bunga (kupon) dan pokok Surat Utang Negara yang jatuh waktu sepanjang tersedianya dana yang cukup pada rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Biaya yang dimaksud adalah antara lain biaya komunikasi penggunaan sistem BI-SSSS dan biaya administrasi penatausahaan Surat Utang Negara Pasal 22 Pelaporan antara lain mencakup posisi Surat Utang Negara yang diterbitkan, posisi kepemilikan Surat Utang Negara, kupon atau diskonto yang dibayarkan, dan data transaksi perdagangan Surat Utang Negara. Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 … -7- Pasal 24 Pokok-pokok ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia memuat antara lain tata cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana, serta tata cara persyaratan Sub-Registry dalam penatausahaan Surat Utang Negara. Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4710 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 9/3/PBI/2007 </reg_id> <reg_title> LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA </reg_title> <set_date> 16 Maret 2007 </set_date> <effective_date> 16 Maret 2007 </effective_date> <replaced_reg> '7/19/PBI/2005' </replaced_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '8/UU/1995', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '24/UU/2002' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 7 /PBI/2011 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dinamika perekonomian global terkini telah berdampak terhadap kondisi pasar keuangan domestik; b. bahwa perkembangan di pasar keuangan domestik perlu disikapi secara tepat agar stabilitas pasar keuangan domestik dan ketahanan ekonomi tetap terjaga; c. bahwa ketentuan mengenai pinjaman luar negeri bank perlu disesuaikan dengan perkembangan perbankan dan pasar keuangan domestik dengan mengedepankan prinsip kehati- hatian; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk melakukan perubahan kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank. Mengingat … - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN … - 3 - M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4467) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/20/PBI/2008 (Lembaran Negara Republik Tahun 2008 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4905) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 1 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut : Pasal 1 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabangnya di luar negeri dan kantor cabang Bank asing di Indonesia, serta Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Pinjaman Luar Negeri Bank yang untuk selanjutnya disebut PLN adalah semua bentuk pinjaman atau kewajiban Bank kepada Bukan Penduduk dalam valuta asing maupun rupiah dan surat berharga dalam valuta asing yang diterbitkan oleh Bank. 3. Bukan Penduduk adalah orang, badan hukum atau badan lainnya yang tidak berdomisili di Indonesia atau berdomisili di Indonesia kurang dari 1 (satu) … - 4 - (satu) tahun dan kegiatan utamanya tidak di Indonesia. 4. PLN Jangka Pendek adalah PLN dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun, serta giro, deposito, tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. 5. PLN Jangka Panjang adalah PLN dengan jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun. 6. Modal Bank adalah: a. modal inti dan modal pelengkap bagi Bank yang berkantor pusat di Indonesia; atau b. dana bersih kantor pusat dan kantor lainnya di luar negeri (Net Head Office Fund) bagi kantor cabang Bank asing, sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. 7. Dana Usaha adalah dana bersih kantor pusat Bank asing pada kantor cabangnya di Indonesia yang merupakan komponen modal untuk kantor cabang Bank asing sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Persyaratan dan Tatacara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu dan Kantor Perwakilan dari Bank Asing. 2. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 2 (dua) pasal yakni Pasal 3 A dan 3 B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 A Bank wajib membatasi posisi saldo harian PLN Jangka Pendek paling tinggi 30% (tiga puluh perseratus) dari Modal Bank. Pasal 3 B (1) Kewajiban Bank untuk membatasi posisi saldo harian PLN Jangka Pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 A, dikecualikan terhadap : a. PLN … - 5 - a. PLN Jangka Pendek dari pemegang saham pengendali dalam rangka mengatasi kesulitan likuiditas Bank dan penyaluran kredit ke sektor riil; b. Dana Usaha kantor cabang Bank asing di Indonesia sampai dengan paling tinggi 100% (seratus perseratus) dari Dana Usaha yang dinyatakan (declared Dana Usaha); c. giro, tabungan dan deposito milik perwakilan negara asing serta lembaga internasional, termasuk anggota stafnya; d. giro milik Bukan Penduduk yang digunakan untuk kegiatan investasi di Indonesia, yang meliputi penyertaan langsung, pembelian saham dan/atau obligasi korporasi Indonesia serta Surat Berharga Negara (SBN). (2) PLN Jangka Pendek yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didukung dengan bukti-bukti yang memadai dan ditatausahakan oleh Bank. 3. Ketentuan Pasal 14 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut : Pasal 14 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu perseratus) per tahun dari jumlah kelebihan per hari. (2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu perseratus) per tahun dari jumlah kekurangan per hari. (3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 2%0 perseribu) dari jumlah pinjaman yang diterima. (dua (4) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) … - 6 - ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 2%0 (dua perseribu) dari kelebihan jumlah yang telah disetujui oleh Bank Indonesia. (5) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja dan setinggi-tingginya Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). (6) Apabila menurut Bank Indonesia terdapat perubahan yang mendasar berkaitan dengan terms and conditions sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan Bank tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai, maka Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa: a. surat teguran; dan/atau b. larangan melakukan PLN untuk jangka waktu tertentu. 4. Diantara Pasal 17 dan pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 17 A yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 17 A (1) Dalam hal Bank memiliki posisi saldo harian PLN Jangka Pendek melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 A, Bank tidak dapat menambah posisi saldo harian PLN Jangka Pendek dan harus menurunkan posisi saldo harian PLN Jangka Pendek menjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 A paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal mulai berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Jangka waktu penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap perjanjian/perikatan PLN Jangka Pendek yang telah ditandatangani sebelum tanggal mulai berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini sampai dengan perjanjian/perikatan tersebut berakhir. Pasal II … - 7 - Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 28 Januari 2011 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 28 Januari 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 14 DInt/ DPNP - 8 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 7 /PBI/2011 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK I. UMUM Dinamika perekonomian global terkini telah berdampak terhadap perkembangan dan kondisi pasar keuangan domestik, sehingga perlu disikapi secara tepat agar stabilitas pasar keuangan domestik dan ketahanan ekonomi tetap terjaga. Oleh karena itu, diperlukan normalisasi kebijakan dalam bentuk penyesuaian ketentuan Pinjaman Luar Negeri Bank dengan perkembangan perbankan dan pasar keuangan domestik yang mengedepankan prinsip kehati-hatian. Dalam hal ini, penyesuaian dilakukan dengan menerapkan kembali batasan posisi saldo harian PLN Jangka Pendek terhadap Modal Bank, yang tetap memberikan ruang untuk mendorong kegiatan perekonomian. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas Angka 2 … - 9 - 2 Angka 2 Pasal 3 A PLN Jangka Pendek yang diperpanjang sampai dengan 1 (satu) tahun tetap diperlakukan sebagai PLN Jangka Pendek. PLN Jangka Pendek yang diperpanjang lebih dari 1 (satu) tahun diperlakukan sebagai PLN Jangka Panjang baru dan harus mengikuti prosedur pengajuan masuk pasar PLN Jangka Panjang. Penarikan dan pelunasan PLN Jangka Panjang dalam jangka waktu kurang dari 1 (satu) tahun dikategorikan sebagai PLN Jangka Pendek. Pasal 3 B Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “pemegang saham pengendali” adalah pemegang saham pengendali sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Bank Umum dan Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Yang dimaksud dengan “kesulitan likuiditas” adalah kesulitan memenuhi kewajiban jangka pendek karena arus dana masuk lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) baik valuta asing maupun rupiah. Yang dimaksud dengan “penyaluran kredit ke sektor riil” adalah pemberian pinjaman kepada debitur entitas Indonesia dalam rangka mendukung … - 3 - - 10 - mendukung/mengembangkan usaha di Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Giro, tabungan dan deposito milik perwakilan negara asing digunakan untuk pembiayaan operasional, bersifat sementara, jumlahnya tidak signifikan dan penempatan dana tidak untuk memperoleh keuntungan. Perwakilan pemerintah daerah negara asing yang mewakili secara resmi pemerintah daerah negara asing tersebut dalam melakukan tugasnya dianggap sebagai perwakilan negara asing. Yang dimaksud dengan “lembaga internasional” adalah lembaga internasional yang kegiatannya bersifat nirlaba, seperti IMF dan IDB. Huruf d Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan “bukti pendukung yang memadai” adalah: a. untuk pinjaman pemegang saham pengendali dalam rangka mengatasi kesulitan likuiditas Bank antara lain berupa laporan proyeksi arus kas dan laporan posisi likuiditas. b. untuk pinjaman pemegang saham pengendali dalam rangka penyaluran kredit ke sektor riil antara lain berupa analisa … - 4 - - 11 - analisa pemberian kredit Bank, bukti mutasi penerimaan dana dan realisasi kredit. c. untuk penempatan Dana Usaha dari kantor pusat Bank asing pada kantor cabangnya di Indonesia antara lain berupa bukti penempatan/transfer dan laporan keuangan Bank. d. untuk giro, tabungan dan deposito milik perwakilan negara asing serta lembaga internasional termasuk anggota stafnya paling kurang berupa fotokopi identitas pemilik rekening. e. untuk penyertaan langsung paling kurang meliputi bukti penyertaan lengkap termasuk nominal, identitas penyetor dan identitas penerima penyertaan. f. untuk pembelian surat-surat berharga paling kurang meliputi bukti pembelian saham/obligasi yang tercatat di lembaga kustodian/bursa efek. g. untuk pembelian SBN paling kurang telah tercatat pada BI-Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS). Angka 3 Pasal 14 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 17 A Yang dimaksud dengan “perjanjian/perikatan PLN Jangka Pendek berakhir” tidak termasuk perpanjangan (roll over) atas perjanjian/perikatan dimaksud Pasal II … - 12 - - 5 - Pasal II Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5193
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 13/7/PBI/2011 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK </reg_title> <set_date> 28 Januari 2011 </set_date> <effective_date> 28 Januari 2011 </effective_date> <issued_date> 28 Januari 2011 </issued_date> <changed_reg> '7/1/PBI/2005' </changed_reg> <extension_of> '10/20/PBI/2008' </extension_of> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '24/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 3 Pasal 14' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 2/ 5 /PBI/2000 TENTANG PENYEDIAAN DANA OLEH BANK YANG DIJAMIN BANK LAIN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menggerakkan perekonomian nasional diperlukan adanya penyediaan dana oleh bank-bank; b. bahwa dalam rangka mengurangi risiko kredit, bank wajib melaksanakan prinsip kehati-hatian secara sungguh-sungguh dalam penyediaan dana; c. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk mengatur ketentuan tentang Penyediaan Dana oleh Bank Yang Dijamin Bank Lain dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN: MEMUTUSKAN … -2- Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENYEDIAAN DANA OLEH BANK YANG DIJAMIN BANK LAIN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing; 2. Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) adalah prosentase perbandingan batas maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal Bank; 3. Modal adalah modal Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum; 4. Peringkat Investasi (Investment Grade) adalah peringkat yang diberikan oleh lembaga pemeringkat terkemuka; 5. Penyediaan Dana adalah penanaman dana Bank baik dalam Rupiah maupun valuta asing, dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antarbank, termasuk komitmen dan kontinjensi. Pasal 2 (1) Bagian Penyediaan Dana kepada pihak terkait untuk setiap peminjam atau kelompok peminjam yang dijamin oleh bank lain tidak diperhitungkan dalam ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit dengan jumlah setinggi-tingginya sebesar 90% (sembilan puluh perseratus) dari Modal Bank. (2) Bagian Penyediaan Dana kepada pihak tidak terkait untuk setiap peminjam atau kelompok peminjam yang dijamin oleh bank lain tidak diperhitungkan dalam ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit dengan jumlah setinggi-tingginya sebesar : Setinggi- … -3- a. 70% (tujuh puluh perseratus) dari Modal Bank sampai dengan akhir tahun 2001; b. 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari Modal Bank selama tahun 2002; c. 80% (delapan puluh perseratus) dari Modal Bank sejak tanggal 1 Januari 2003. (3) Bank lain yang menjamin Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) wajib memenuhi persyaratan memiliki: a. Peringkat Investasi; dan b. total aset yang termasuk dalam peringkat 200 (dua ratus) besar dunia. Pasal 3 (1) Jaminan yang diberikan oleh bank lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. bersifat irrevocable; b. harus dapat dicairkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diajukannya klaim; c. mempunyai jangka waktu sekurang-kurangnya sama dengan jangka waktu Penyediaan Dana; dan d. tidak dijamin oleh Bank. (2) Bank wajib mengajukan klaim terhadap jaminan yang diterima selambat- lambatnya : a. 90 hari sejak terjadi tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga dan/atau tagihan lainnya walaupun Penyediaan Dana belum jatuh tempo; atau b. pada saat tidak diterimanya pembayaran pokok dan/atau bunga dan/atau tagihan lainnya pada saat Penyediaan Dana jatuh tempo. Pasal 4 Pasal 4 … (1) Penyediaan Dana berupa penempatan pada bank lain yang tidak menjadi peserta program penjaminan Pemerintah, tidak diperhitungkan dalam Batas Maksimum Pemberian Kredit dengan jumlah setinggi-tingginya sebesar Modal Bank. -4- (2) Bank lain yang menerima penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan memiliki: a. Peringkat Investasi; dan b. total aset yang termasuk dalam peringkat 200 (dua ratus) besar dunia. Pasal 5 Peringkat Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan Pasal 4 ayat (2) huruf a ditetapkan dengan predikat minimal : a. BBB atau setara dari lembaga pemeringkat Standard & Poors; dan b. Baa atau setara dari lembaga pemeringkat Moody’s; atau c. Setara dengan huruf a dan huruf b dari lembaga pemeringkat lain yang disetujui Bank Indonesia. Pasal 6 Penetapan mengenai Peringkat Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan peringkat total aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dan Pasal 4 ayat (2) huruf b dapat diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 7 (1) Bank yang memiliki Penyediaan Dana yang dijamin oleh bank lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib melaporkan kepada Bank Indonesia setiap bulan sesuai dengan format dalam Lampiran 1 dan Lampiran 2. (2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib ditandatangani oleh seorang pejabat yang berwenang, anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris. Indonesia… (3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diterima oleh Bank Indonesia sebagai satu kesatuan dengan laporan Batas Maksimum Pemberian Kredit. Pasal 8 -5- (1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit yang berlaku. (2) Pelanggaran terhadap ketentuan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dikenakan sanksi yang sama dengan sanksi penyampaian laporan sebagaimana diatur dalam ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit. Pasal 9 Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan melebihi Batas Maksimum Pemberian Kredit dikenakan sanksi pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit. Pasal 10 Pasal 10 … Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal Februari 2000 GUBERNUR BANK INDONESIA -6- SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 18 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 2/ 5 /PBI/2000 TENTANG -7- PENYEDIAAN DANA OLEH BANK YANG DIJAMIN BANK LAIN UMUM Bahwa lembaga perbankan berperan dalam fungsi intermediasi yaitu menghimpun dana dan menyalurkan dana kepada sektor usaha. Penyediaan dana perbankan, antara lain melalui penyaluran kredit, secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan usaha sektor riil yang memerlukan pembiayaan tersebut. Penyediaan dana yang diterima oleh sektor usaha tersebut diharapkan digunakan untuk kegiatan usaha produktif sehingga dapat memberikan sumbangan dalam menggerakkan perekonomian nasional. Namun demikian penyediaan dana oleh perbankan harus tetap dilakukan berdasarkan prinsip kehati- hatian dan asas pengelolaan yang sehat. Untuk mencapai hal tersebut maka lembaga perbankan dapat melakukan penyediaan dana dengan cara penyebaran risiko kredit yang mungkin timbul dengan bank-bank lain yang mempunyai Peringkat Investasi. Peringkat Investasi tersebut ditentukan berdasarkan hasil peringkat yang diberikan oleh lembaga pemeringkat terkemuka. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 PASAL ... Angka 1 Ketentuan mengenai Bank Umum berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Bank Umum, dan ketentuan Bank Indonesia tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. -8- Ketentuan mengenai kantor cabang bank asing berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu dan Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri. Angka 2 Ketentuan mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit. Angka 3 Cukup jelas Angka 4 Yang dimaksud dengan lembaga pemeringkat terkemuka antara lain Moody’s, Standard & Poors, atau lembaga pemeringkat lain yang disetujui oleh Bank Indonesia. Angka 5 Yang dimaksud komitmen dan kontinjensi berupa warkat penerbitan jaminan, akseptasi/endosemen, penjualan surat berharga dengan syarat repo, letter of credit (L/C) yang masih berjalan, stand-by L/C dan garansi lainnya serta risiko kredit dari transaksi derivatif. Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) Jaminan yang diterima dari bank lain dapat berasal lebih dari satu bank penjamin. Contoh ... Contoh perhitungan : a. Penyediaan Dana kepada pihak terkait Kasus 1 : - Modal Bank = Rp.100 Milyar - Jumlah Penyediaan Dana = Rp.105 Milyar - Jaminan yang diterima = Rp.97 Milyar Ayat (2) … -9- - Jaminan yang diperhitungkan (maksimum 90%) = Rp. 90 Milyar - BMPK Pihak Terkait (10%) = Rp. 10 Milyar - Kelebihan limit BMPK = Rp.105 Milyar - (Rp.90 Milyar+Rp.10 Milyar) = Rp. 5 Milyar Kasus 2 : - Modal Bank = Rp.100 Milyar - Jumlah Penyediaan Dana = Rp.105 Milyar - Jaminan yang diterima = Rp.40 Milyar - Jaminan yang diperhitungkan (maksimum 90%) = Rp. 40 Milyar - BMPK Pihak Terkait (10%) = Rp. 10 Milyar - Kelebihan limit BMPK = Rp.105 Milyar - (Rp.40 Milyar + Rp.10 Milyar) = Rp. 55 Milyar b. Penyediaan Dana kepada pihak tidak terkait Kasus 1 : - Modal Bank = Rp.100 Milyar - Jumlah Penyediaan Dana = Rp.105 Milyar - Jaminan yang diterima = Rp.103 Milyar - Jaminan yang diperhitungkan (maksimum 70%) = Rp.70 Milyar BMPK ... - BMPK Pihak Tidak Terkait (30%) = Rp.30 Milyar - Kelebihan limit BMPK = Rp.105 Milyar - (Rp.70 Milyar + Rp. 30 Milyar) = Rp. 5 Milyar Kasus 2. : - Modal Bank = Rp.100 Milyar -10- - Jumlah Penyediaan Dana = Rp.105 Milyar - Jaminan yang diterima = Rp.40 Milyar - Jaminan yang diperhitungkan (maksimum 70%) = Rp.40 Milyar - BMPK Pihak Tidak Terkait (30%) = Rp.30 Milyar - Kelebihan limit BMPK = Rp.105 Milyar - (Rp.40 Milyar + Rp. 30 Milyar) = Rp. 35 Milyar. Ayat (3) Penentuan total aset 200 (dua ratus) besar di dunia didasarkan atas peringkat yang disusun oleh The Bankers' Almanac edisi tahun terakhir yang telah tersedia. Pasal 3 Ayat (1) Jaminan yang diterbitkan oleh bank lain adalah dalam bentuk Stand- by Letter of Credit berdasarkan Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) yang berlaku atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu sepanjang disetujui oleh Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia, Jl.M.H.Thamrin No.2 Jakarta 10110. Ayat (2) Pengajuan klaim didasarkan pada kejadian yang terjadi lebih dahulu antara huruf a dan huruf b. Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan penempatan adalah penanaman dana Bank pada bank lainnya berupa giro, call money, deposito berjangka, sertifikat deposito, kredit yang diberikan dan penempatan lainnya. Contoh Perhitungan : Pasal 4 ... -11- a. Modal Bank = Rp.100 Milyar b. Penyediaan Dana: - Kredit yang diberikan kepada pihak terkait Rp.100 Milyar dengan jaminan bank lain sebesar Rp.97 Milyar; - Surat-surat Berharga yang dimiliki dari pihak terkait Rp.5 Milyar; - Penempatan pada bank lain yang merupakan pihak terkait Rp.110 Milyar. c. Jaminan yang diperhitungkan (maksimum 90%) = Rp.90 Milyar d. BMPK Pihak Terkait (10%) = Rp.10 Milyar e. Perhitungan pelanggaran BMPK= Jumlah Penyediaan Dana - (Penempatan yang tidak diperhitungkan + Jaminan yang diperhitungkan + BMPK ) = Rp.215 Milyar - (Rp.100 Milyar + Rp.90 Milyar + Rp.10 Milyar) = Rp.15 Milyar Ayat (2) Penentuan total aset 200 (dua ratus) besar di dunia didasarkan atas peringkat yang disusun oleh The Bankers' Almanac edisi tahun terakhir yang telah tersedia. Pasal 5 Pasal 5 ... Peringkat Investasi yang digunakan adalah didasarkan atas jenis dan jangka waktu Penyediaan Dana. Apabila jangka waktu penyediaan dana bersifat jangka pendek, maka peringkat yang digunakan adalah Peringkat Investasi jangka pendek. Permohonan persetujuan penggunaan pemeringkat lain diajukan kepada Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia, Jl.M.H.Thamrin No.2 Jakarta 10110. -12- Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Laporan Batas Maksimum Pemberian Kredit adalah laporan Bank kepada Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit adalah dapat berupa sanksi Pelanggaran atau Pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit Ayat (2) Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas -13- TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3932 DPNP -14- LAPORAN PENYEDIAAN DANA OLEH BANK YANG DIJAMIN BANK LAIN Nama Bank Bulan laporan : : (dalam juta Rp.) Penyediaan Dana Yang Dijamin No Nama Debitur Jenis Penyediaan Dana (1) (2) Terkait (3) Baki Debet/ Outstandin g (4) Jangka Waktu Kualitas Bank Penerbit Jaminan (5) (6) (7) Peringkat/ Pemeringkat/ Tanggal Pemeringkata n (8) (9) Nilai Jaminan yang diterima Tidak Terkait Total ............................, ........................... ........... Mengetahui, Ttd. Anggota Dewan Komisaris ............................................ Nama Ttd. Anggota Direksi ............................................ Nama Keterangan Kolom: 1. Kolom (3) diisi dengan jenis penyediaan dana yang diberikan, seperti kredit, surat berharga, penempatan dana antarbank, komitmen dan kontinjensi. 2. Kolom (4) diisi dengan baki debet/outstanding pada akhir bulan laporan. 3. Kolom (5) diisi dengan tanggal awal dan tanggal jatuh tempo penyediaan dana. 4. Kolom (6) diisi dengan kualitas Penyediaan Dana sesuai dengan ketentuan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva Produktif. 5. Kolom (8) diisi dengan peringkat bank penerbit jaminan, lembaga yang melakukan pemeringkat dan tanggal pemeringkatan dilakukan. 6. Kolom (10) diisi dengan tanggal dimulainya penjaminan dan tanggal berakhirnya penjaminan. Ttd. Pejabat Bank ............................................ Nama dan Jabatan -15- LAPORAN REALISASI JAMINAN Nama Bank Bulan laporan : : (dalam juta Rp.) Penyediaan Dana Yang Dijamin No Nama Debitur (1) (2) Terkait Jenis Penyediaan Dana (3) Baki Debet (4) Jangka Waktu (5) Kualitas Bank Penerbit Jaminan (6) (7) Nilai Pencairan (8) Tanggal Pencairan (9) Realisasi Jaminan Tidak Terkait ............................, ........................... ........... Mengetahui, Ttd. Anggota Dewan Komisaris ............................................ Nama Ttd. Anggota Direksi ............................................ Nama Keterangan Kolom: 1. Kolom (3) diisi dengan jenis penyediaan dana yang diberikan, seperti kredit, surat berharga, penempatan dana antarbank, komitmen dan kontinjensi yang akan direalisasikan jaminannya. 2. Kolom (4) diisi dengan baki debet/outstanding pada saat sebelum realisasi penjaminan. 3. Kolom (5) diisi dengan tanggal awal dan tanggal jatuh tempo penyediaan dana. 4. Kolom (6) diisi dengan kualitas Penyediaan Dana sesuai dengan ketentuan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva Produktif. Ttd. Pejabat Bank ............................................ Nama dan Jabatan -16-
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 2/5/PBI/2000 </reg_id> <reg_title> PENYEDIAAN DANA OLEH BANK YANG DIJAMIN BANK LAIN </reg_title> <set_date> Februari 2000 </set_date> <effective_date> Februari 2000 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB I Pasal 8', 'BAB I Pasal 9' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA per NOMOR: 7/50/PBI/2005 pas TENTANG pa PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA pa NOMOR 3/22/PBI/2001 TENTANG TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka mengakomodasi karakteristik bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yaitu adanya Dewan Pengawas Syariah dalam struktur organisasi bank yang berfungsi melakukan pengawasan dan memastikan bahwa produk dan kegiatan operasional bank telah memenuhi prinsip syariah ; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai Transparansi Kondisi Keuangan Bank dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia … - 2 - Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN:pass Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/22/PBI/2001 TENTANG TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK Pasal I Passa Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 3/22/PBI/2001 tanggal 13 Desember 2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4159) diubah sebagai berikut : 1. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 19 (1) Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik yang melakukan audit terhadap Laporan Keuangan Tahunan Bank wajib : a. melakukan … - 3 - a. melakukan audit sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik, serta perjanjian kerja dan ruang lingkup audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ; b. memberitahukan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak ditemukannya : 1) pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang keuangan dan perbankan ; dan 2) keadaan atau perkiraan keadaan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Bank ; c. menyampaikan laporan hasil audit dan Management letter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf f angka 1) dan angka 2) kepada Bank Indonesia ; dan d. memenuhi ketentuan rahasia Bank sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. (2) Bagi Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik yang melakukan audit terhadap Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga wajib memperoleh pendapat dari Dewan Pengawas Syariah mengenai ketaatan Bank terhadap pelaksanaan prinsip syariah sebelum menerbitkan Laporan Audit atas Laporan Keuangan Bank. (3) Dewan Pengawas Syariah harus memberikan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Akuntan Publik. 2. Pasal 39 … - 4 - 2. Pasal 39 ayat (2) diubah sehingga Pasal 39 berbunyi sebagai berikut : Pasal 39 (1) Akuntan Publik atau Kantor Akuntan Publik yang secara material melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 berupa : a. penghapusan nama Akuntan Publik dari Daftar Akuntan Publik di Bank Indonesia ; b. penghapusan Kantor Akuntan Publik dari daftar Kantor Akuntan Publik di Bank Indonesia, apabila pelanggaran dilakukan oleh 2 (dua) orang Akuntan Publik yang bertanggung jawab (partner in charge) dalam audit Bank dari Kantor Akuntan Publik yang sama, kecuali untuk instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ; dan c. penyampaian usul kepada instansi yang berwenang untuk mencabut atau membatalkan izin usaha sebagai pemberi jasa bagi Bank sesuai dengan ketentuan atau kode etik yang berlaku. (2) Akuntan Publik atau Kantor Akuntan Publik yang tidak memenuhi ketentuan rahasia Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf d, selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana … - 5 - sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Pasal II pasal (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) mulai berlaku untuk laporan keuangan tahunan posisi akhir tahun 2006. (2) Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal : 29 November 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 135 DPNP/DPbS - 6 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/50/PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/22/PBI/2001 TENTANG TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK UMUM Salah satu pilar penting dalam pencapaian Good Corporate Governance di perbankan Indonesia adalah aspek transparansi kondisi keuangan Bank kepada publik. Bagi bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah terdapat aspek tanggung jawab untuk memberikan keyakinan kepada stakeholders bahwa produk dan kegiatan operasional usahanya telah dilaksanakan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan baik pemenuhan prinsip manajemen usaha perbankan umum maupun pemenuhan prinsip syariah, sehingga tidak ada keraguan bagi masyarakat untuk menyimpan dana dan menyerahkan pengelolaan dananya kepada bank. Oleh karena itu diperlukan adanya pihak yang dapat mengawasi dan memastikan kesesuaian kegiatan operasional bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dengan prinsip syariah Sehubungan dengan hal tersebut, maka diperlukan penyesuaian ketentuan yang mengatur tentang transparansi kondisi keuangan bank agar dapat mengakomodasi peran Dewan Pengawas Syariah dalam bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. PASAL … - 2 - PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Angka 1) Cukup jelas Angka 2) Keadaan atau perkiraan keadaan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Bank termasuk namun tidak terbatas pada : 1. kekurangan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum; 2. kekurangan pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang material; 3. pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit; 4. kekurangan Giro Wajib Minimum; 5. kecurangan (fraud) yang bernilai material. Huruf c … - 3 - Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Pasal 19 Ayat (2) Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah dewan yang melakukan pengawasan terhadap prinsip syariah dalam kegiatan usaha Bank. Dalam mengeluarkan pendapat mengenai ketaatan Bank terhadap prinsip syariah, Dewan Pengawas Syariah harus mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia tentang tugas dan peran Dewan Pengawas Syariah. Pendapat dari Dewan Pengawas Syariah ini merupakan bukti audit dan tidak mempengaruhi pendapat Akuntan Publik memberikan pendapat. dalam Angka 2 Pasal 39 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b … - 4 - Huruf b Perhitungan pelanggaran ketentuan oleh 2 (dua) orang Akuntan Publik yang bertanggung jawab (partner in charge) dapat dilakukan pada periode yang sama maupun pada periode yang berbeda Huruf c Instansi yang berwenang dalam ayat ini adalah Departemen Keuangan dan Ikatan Akuntan Indonesia Pasal 39 Ayat (2) Cukup jelas Pasal II Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4573
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/50/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/22/PBI/2001 TENTANG TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK </reg_title> <set_date> 29 November 2005 </set_date> <effective_date> 29 November 2005 </effective_date> <changed_reg> '3/22/PBI/2001' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 2 Pasal 39' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 9/12/PBI/2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/17/PBI/2006 TENTANG INSENTIF DALAM RANGKA KONSOLIDASI PERBANKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka upaya percepatan konsolidasi perbankan diperlukan tambahan insentif bagi Bank agar dapat lebih mendorong Bank melakukan Merger atau Konsolidasi; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu untuk menyempurnakan ketentuan mengenai insentif dalam rangka konsolidasi perbankan dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-undang … - 2 - 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Peraturan Bank Indonesia No. 7/15/PBI/2005 tanggal 1 Juli 2005 tentang Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4507); 4. Peraturan Bank Indonesia No. 8/14/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Tahun 2006 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4640); 5. Peraturan Bank Indonesia No. 8/17/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Insentif Dalam Rangka Konsolidasi Perbankan (Lembaran Negara Republik Tahun 2006 Nomor Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4643); MEMUTUSKAN … - 3 - M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/17/PBI/2006 TENTANG INSENTIF DALAM RANGKA KONSOLIDASI PERBANKAN. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/17/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Insentif Dalam Rangka Konsolidasi Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4643) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 (1) Bank Indonesia memberikan insentif kepada Bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi. (2) Bentuk insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. Kemudahan dalam pemberian izin menjadi bank devisa; b. Kelonggaran sementara atas kewajiban pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah; c. Perpanjangan jangka waktu penyelesaian pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang timbul sebagai akibat Merger atau Konsolidasi; d. Kemudahan dalam pemberian izin pembukaan kantor cabang bank; e. Penggantian … - 4 - e. Penggantian sebagian biaya konsultan pelaksanaan due diligence; dan atau f. Kelonggaran sementara atas pelaksanaan beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Good Corporate Governance bagi Bank Umum. 2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Kemudahan pemberian izin menjadi bank devisa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a berlaku dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak berlakunya izin Merger atau Konsolidasi, dengan ketentuan sebagai berikut : a. Bank hasil Merger atau Konsolidasi telah memiliki modal inti paling kurang sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah); dan b. Bank hasil Merger atau Konsolidasi memiliki peringkat komposit sekurang-kurangnya 2 (dua) dengan peringkat faktor manajemen sekurang-kurangnya 3 (tiga) pada 2 (dua) posisi penilaian terakhir. (2) Apabila Bank hasil Merger atau Konsolidasi tidak dapat memenuhi persyaratan menjadi bank devisa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam kurun waktu 2 (dua) tahun sejak berlakunya izin Merger atau Konsolidasi, maka untuk menjadi Bank devisa Bank harus memenuhi persyaratan sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai persyaratan Bank umum bukan bank devisa menjadi bank umum devisa. (3) Persyaratan … - 5 - (3) Persyaratan lain untuk menjadi bank devisa tetap mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai persyaratan bank umum bukan bank devisa menjadi bank umum devisa. (4) Berlakunya izin Merger atau Konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) yaitu sejak: a. Tanggal persetujuan perubahan Anggaran Dasar atau Akta pendirian termasuk Anggaran Dasar oleh instansi yang berwenang; atau b. Tanggal pendaftaran Akta Merger dan perubahan Anggaran Dasar dalam Daftar Perusahaan apabila perubahan Anggaran Dasar tidak memerlukan persetujuan instansi berwenang. 3. Diantara Pasal 7 dan Pasal 8, disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 7A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7A (1) Kelonggaran sementara atas pelaksanaan beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Good Corporate Governance bagi Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf f berupa: a. Penundaan pemenuhan komposisi 50% (lima puluh perseratus) anggota Komisaris Independen, dengan syarat wajib memiliki paling kurang 1 (satu) orang Komisaris Independen. b. Pemberian kelonggaran ketentuan rangkap jabatan bagi Komisaris Independen sebagai ketua pada 3 (tiga) Komite. c. Penundaan pemenuhan Pihak Independen dalam keanggotaan komite audit dan komite pemantau risiko. (2) Kelonggaran pemenuhan ketentuan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 6 (enam) bulan sejak: a. Tanggal … - 6 - a. Tanggal persetujuan perubahan Anggaran Dasar atau Akta pendirian termasuk Anggaran Dasar oleh instansi yang berwenang; atau b. Tanggal pendaftaran Akta Merger dan perubahan Anggaran Dasar dalam Daftar Perusahaan apabila perubahan Anggaran Dasar tidak memerlukan persetujuan instansi berwenang. 4. Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 8 (1) Bank yang merencanakan Merger atau Konsolidasi wajib menyampaikan permohonan rencana pemanfaatan insentif yang diajukan oleh salah satu Bank peserta Merger atau Konsolidasi dan ditandatangani oleh Direktur Utama seluruh Bank peserta Merger atau Konsolidasi. (2) Rencana pemanfaatan insentif oleh Bank wajib disampaikan kepada Bank Indonesia sebelum Merger atau Konsolidasi dengan alamat : a. Direktorat Pengawasan Bank terkait bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. 5. Pasal 9 dihapus. Pasal II Ketentuan Peralihan Bank yang sudah mengajukan rencana pemanfaatan insentif sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, dapat mengajukan tambahan rencana pemanfaatan insentif sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal III… - 7 - Pasal III Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 21 September 2007 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 120 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 9/12/PBI/2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/17/PBI/2006 TENTANG INSENTIF DALAM RANGKA KONSOLIDASI PERBANKAN UMUM Dalam rangka mempercepat konsolidasi perbankan sebagai salah satu upaya memperkuat struktur dan permodalan bank, Bank Indonesia telah memberikan insentif bagi bank-bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi. Sebagai upaya dalam rangka lebih mendorong bank-bank untuk melakukan Merger atau Konsolidasi, khususnya dalam rangka memenuhi modal inti minimum, Bank Indonesia menganggap perlu memberikan tambahan insentif bagi bank-bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 2 - Ayat (2) Cukup jelas. Angka 2 Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai persyaratan bank umum bukan bank devisa menjadi bank umum devisa, bank harus memenuhi persyaratan tingkat kesehatan, modal disetor, rasio modal (capital adequacy ratio/CAR) dan persiapan pelaksanaan kegiatan usaha dalam valuta asing untuk menjadi bank umum devisa. Peraturan Bank Indonesia No. 8/17/PBI/2006 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia ini mengecualikan persyaratan modal disetor dan tingkat kesehatan, sementara persyaratan lain untuk mendapatkan izin menjadi bank umum devisa tetap harus dipenuhi. Persyaratan lain tersebut adalah persyaratan rasio modal (CAR) dan persiapan pelaksanaan kegiatan usaha dalam valuta asing sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai persyaratan bank umum bukan bank devisa menjadi bank umum devisa. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 3 … - 3 - Angka 3 Pasal 7A Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pemberian kelonggaran ketentuan rangkap jabatan hanya dapat diberikan kepada bank hasil Merger atau Konsolidasi yang hanya memiliki 1 (satu) orang Komisaris Independen. Jabatan yang dapat dirangkap oleh Komisaris Independen tersebut adalah sebagai Ketua pada Komite Audit, Komite Pemantau Risiko dan Komite Remunerasi dan Nomisasi. Huruf c Pihak Independen anggota komite yang karena proses Merger atau Konsolidasi menjadi tidak memenuhi kriteria sebagai pihak yang independen, diberikan kelonggaran penundaan pemenuhan kriteria tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengajuan rencana pemanfaatan insentif yang disampaikan kepada Bank Indonesia sebelum melakukan Merger atau Konsolidasi… - 4 - Konsolidasi, dilakukan dengan mempertimbangkan kewajaran waktu. Angka 5 Cukup jelas. Pasal II Cukup Jelas Pasal III Cukup Jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4766 DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 9/12/PBI/2007 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/17/PBI/2006 TENTANG INSENTIF DALAM RANGKA KONSOLIDASI PERBANKAN </reg_title> <set_date> 21 September 2007 </set_date> <effective_date> 21 September 2007 </effective_date> <changed_reg> '8/17/PBI/2006' </changed_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/15/PBI/2005', '8/14/PBI/2006', '8/4/PBI/2006', '8/17/PBI/2006' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/17/PBI/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/4/PBI/2017 TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menerbitkan surat berharga berupa Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen operasi moneter; b. bahwa dengan penerbitan Sukuk Bank Indonesia tersebut, Bank Indonesia perlu menambahkan cakupan agunan berkualitas tinggi dalam pemberian pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah berupa Sukuk Bank Indonesia; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/4/PBI/2017 tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah bagi Bank Umum Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali -2- diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/4/PBI/2017 tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah bagi Bank Umum Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6045); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/4/PBI/2017 TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH. -3- Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/4/PBI/2017 tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah bagi Bank Umum Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6045) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 diubah dan ditambahkan 1 (satu) angka baru, yakni angka 11 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai Bank Indonesia. 2. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut Bank adalah bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM adalah giro wajib minimum dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. 5. Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek adalah keadaan yang dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar dalam rupiah yang dapat -4- membuat Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM. 6. Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah yang selanjutnya disingkat PLJPS adalah pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia kepada Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek yang dialami oleh Bank. 7. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. 8. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau yang dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, dalam mata uang rupiah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. 9. Aset Pembiayaan adalah aset Bank berupa pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, tidak termasuk pembiayaan dalam valuta asing. 10. Al-Muqaradhah bi Dhaman Ra’s al-Mal adalah akad PLJPS dalam bentuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia kepada Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek Bank, yang mewajibkan Bank untuk mengembalikan pembiayaan sesuai dengan komitmen (iltizam), dijamin dengan agunan, dan disertai nisbah bagi hasil. 11. Sukuk Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SukBI adalah Sukuk Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. -5- 2. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (4) diubah serta penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf h diubah sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 (1) Agunan berkualitas tinggi sebagai jaminan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c berupa: a. surat berharga syariah; dan/atau b. Aset Pembiayaan. (2) Jenis surat berharga syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa: a. SBIS; b. SukBI; c. SBSN; dan/ atau d. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan hukum lain yang memenuhi persyaratan: 1. memiliki peringkat paling rendah peringkat investasi; 2. aktif diperdagangkan; dan 3. memiliki sisa jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. merupakan pembiayaan dengan akad mudharabah, akad musyarakah, dan/atau akad ijarah nonjasa; b. kolektibilitas tergolong lancar selama 12 (dua belas) bulan terakhir berturut-turut; c. bukan merupakan pembiayaan konsumsi kecuali pembiayaan pemilikan rumah; d. dijamin dengan agunan tanah dan bangunan dan/atau tanah dengan nilai paling rendah 110% (seratus sepuluh persen) dari plafon pembiayaan; -6- e. bukan merupakan pembiayaan kepada pihak terkait Bank; f. g. tidak pernah direstrukturisasi dalam waktu 3 (tiga) tahun terakhir; sisa jangka waktu jatuh waktu pembiayaan paling singkat 9 (sembilan) bulan sejak tanggal penandatanganan perjanjian pemberian PLJPS; h. saldo pokok pembiayaan tidak melebihi batas maksimum penyaluran dana pada saat diberikan dan tidak melebihi plafon pembiayaan; i. j. memiliki akad pembiayaan serta pengikatan agunan yang mempunyai kekuatan hukum; telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik terhadap Bank paling lama 1 (satu) tahun terakhir; k. dalam akad pembiayaan antara Bank dan nasabah tercantum klausul bahwa pembiayaan dapat dialihkan kepada pihak lain; dan l. telah tercantum dalam laporan daftar Aset Pembiayaan terkini yang disampaikan secara berkala kepada Bank Indonesia. (4) Surat berharga syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d hanya dapat digunakan sebagai agunan PLJPS dalam hal: a. Bank tidak memiliki surat berharga syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf c; atau b. Bank memiliki surat berharga syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf c, namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan PLJPS. (5) Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat digunakan sebagai agunan PLJPS apabila pada saat permohonan PLJPS Bank tidak memiliki surat berharga syariah yang memenuhi persyaratan agunan PLJPS atau surat berharga syariah yang memenuhi persyaratan agunan PLJPS -7- yang dimiliki oleh Bank tidak mencukupi untuk menjadi agunan PLJPS. (6) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta agunan lain setelah agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencukupi. (7) Agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen yang terkait dengan agunan PLJPS. (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria agunan, mekanisme pengagunan, dan dokumen agunan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. 3. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) diubah sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Nilai surat berharga syariah dan Aset Pembiayaan sebagai agunan PLJPS ditetapkan sebagai berikut: a. nilai agunan berupa SBIS ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari plafon PLJPS yang dihitung berdasarkan nilai nominal SBIS; b. nilai agunan berupa SukBI ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari plafon PLJPS yang dihitung berdasarkan nilai jual SukBI; c. nilai agunan berupa SBSN ditetapkan paling rendah sebesar 106,5% (seratus enam koma lima persen) dari plafon PLJPS yang dihitung berdasarkan nilai pasar SBSN; d. nilai agunan berupa surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan hukum lain ditetapkan paling rendah sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari plafon PLJPS yang dihitung berdasarkan nilai pasar surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan hukum lain tersebut; dan e. nilai agunan berupa Aset Pembiayaan ditetapkan paling rendah sebesar 200% (dua ratus persen) -8- dari plafon PLJPS yang dihitung berdasarkan saldo pokok Aset Pembiayaan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai nilai agunan dan tata cara perhitungan nilai agunan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. 4. Ketentuan Pasal 6 ayat (3) diubah sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Agunan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus berada dalam kondisi bebas dari segala perikatan, sengketa, sitaan, dan tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain atau Bank Indonesia, yang dinyatakan dalam surat pernyataan kepada Bank Indonesia. (2) Bank tidak dapat memperjualbelikan dan/atau menjaminkan kembali agunan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 yang masih dalam status sebagai agunan PLJPS. (3) Bank harus mengganti agunan PLJPS, apabila: a. agunan PLJPS tidak memenuhi kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2); b. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan hukum lain tidak lagi memenuhi persyaratan peringkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d angka 1; c. terdapat pelunasan pembiayaan yang menjadi agunan PLJPS oleh nasabah Bank; dan/atau d. Aset Pembiayaan yang diagunkan tidak lagi memenuhi persyaratan kolektibilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b, sehingga nilai agunan PLJPS mengalami penurunan dan secara keseluruhan tidak lagi memenuhi plafon PLJPS. -9- (4) Penggantian agunan PLJPS diprioritaskan dengan agunan berupa surat berharga syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). (5) Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dapat digunakan sebagai pengganti agunan PLJPS apabila Bank tidak memiliki surat berharga syariah yang memenuhi persyaratan agunan PLJPS atau surat berharga syariah yang memenuhi persyaratan agunan PLJPS yang dimiliki oleh Bank tidak mencukupi untuk menjadi agunan PLJPS. (6) Selama Bank Indonesia memproses penggantian agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pada periode pemberian PLJPS, Bank tetap dapat mengajukan pencairan PLJPS sepanjang terdapat plafon atau sisa plafon dan agunan PLJPS yang mencukupi. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggantian agunan PLJPS diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. -10- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2018 GUBERNUR BANK INDONESIA, TTD PERRY WARJIYO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2018 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, TTD YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 264 ./. PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/17/PBI/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/4/PBI/2017 TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH I. UMUM Untuk memperkuat kerangka operasi moneter, Bank Indonesia menerbitkan SukBI sebagai salah satu instrumen operasi moneter. Sebagai instrumen operasi moneter, SukBI memenuhi kriteria sebagai salah satu jenis surat berharga syariah berkualitas tinggi yang dapat digunakan sebagai agunan untuk PLJPS. Sehubungan dengan penerbitan SukBI tersebut, Bank Indonesia perlu menyesuaikan cakupan agunan berkualitas tinggi sebagai jaminan dalam pemberian PLJPS yang berupa surat berharga syariah yaitu dengan menambahkan SukBI sebagai agunan PLJPS. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/4/PBI/2017 tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah bagi Bank Umum Syariah. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c SBSN yang dapat digunakan sebagai agunan PLJPS yaitu SBSN yang dapat diperdagangkan. Huruf d Yang dimaksud dengan "surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan hukum lain" adalah sukuk korporasi yang diterbitkan oleh badan hukum Indonesia selain Bank yang mengajukan permohonan PLJPS. Angka 1 Peringkat investasi atau investment grade mengacu pada hasil penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “akad mudharabah” adalah akad kerja sama suatu usaha antara pihak - 3 - pertama (malik, shahibul mal, atau Bank) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian. Yang dimaksud dengan “akad musyarakah” adalah akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing. Yang dimaksud dengan “akad ijarah nonjasa” adalah akad penyediaan dana untuk memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri atau dengan opsi pemindahan kepemilikan barang. Huruf b Yang dimaksud dengan “kolektibilitas tergolong lancar” adalah kualitas tergolong lancar sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Nilai agunan yang digunakan yaitu nilai pasar berdasarkan hasil penilai independen paling lama 2 (dua) tahun terakhir sebelum tanggal permohonan PLJPS. - 4 - Huruf e Yang dimaksud dengan "pihak terkait" adalah pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai batas maksimum penyaluran dana yang berlaku bagi bank umum syariah. Huruf f Yang dimaksud dengan “restrukturisasi” adalah restrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Batas maksimum penyaluran dana mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai batas maksimum penyaluran dana yang berlaku bagi bank umum syariah. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Yang dimaksud dengan “kantor akuntan publik” adalah kantor akuntan publik yang telah tercantum dalam daftar kantor akuntan publik yang diakui oleh OJK. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. - 5 - Ayat (6) Yang dimaksud dengan “agunan lain” antara lain: a. saham Bank yang menerima PLJPS milik pemegang saham pengendali; b. personal guarantee dan/atau corporate guarantee dari pemegang saham pengendali; dan/atau c. aset tetap milik Bank yang menerima PLJPS. Ayat (7) Yang dimaksud dengan "dokumen yang terkait dengan agunan PLJPS" antara lain akad pembiayaan antara Bank dengan nasabah, bukti pengikatan agunan, bukti kepemilikan atas aset yang menjadi agunan pembiayaan Bank, dan dokumen pendukung lainnya. Ayat (8) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan "surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan hukum lain" adalah sukuk korporasi yang diterbitkan oleh badan hukum Indonesia selain Bank yang mengajukan permohonan PLJPS. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. - 6 - Angka 4 Pasal 6 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6290
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 20/17/PBI/2018 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/4/PBI/2017 TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH </reg_title> <set_date> 27 Desember 2018 </set_date> <effective_date> 31 Desember 2018 </effective_date> <issued_date> 31 Desember 2018 </issued_date> <changed_reg> '19/4/PBI/2017' </changed_reg> <related_reg> '2/PERPPU/2008', '19/4/PBI/2017', '23/UU/1999', '6/UU/2009', '9/UU/2016' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/24/PBI/2016 TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menandai suatu era baru dalam pengeluaran seluruh pecahan uang Rupiah kertas sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang maka perlu dikeluarkan uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung; b. bahwa pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari upaya Bank Indonesia untuk mengembangkan kegiatan numismatika; c. bahwa uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Bersambung Pecahan 50.000 (Lima Puluh Ribu) Tahun Emisi 2016; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016. Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 2 Macam uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan uang Rupiah kertas khusus yang memiliki ciri tertentu. - 3 - Pasal 3 (1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berbentuk uang Rupiah kertas bersambung yang meliputi: a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 1 (satu) lembaran yang memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet), yang masing-masing lembaran merupakan satu kesatuan. (2) Bentuk lembaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah persegi panjang dengan ukuran sebagai berikut: a. panjang 149 (seratus empat puluh sembilan) milimeter dan lebar 130 (seratus tiga puluh) milimeter untuk lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. panjang 298 (dua ratus sembilan puluh delapan) milimeter dan lebar 130 (seratus tiga puluh) milimeter untuk lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. panjang 745 (tujuh ratus empat puluh lima) milimeter dan lebar 585 (lima ratus delapan puluh lima) milimeter untuk lembaran yang memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet). Pasal 4 (1) Harga setiap lembar (bilyet) uang Rupiah dalam lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). (2) Dalam hal uang Rupiah kertas khusus digunakan sebagai alat transaksi maka harga setiap lembar (bilyet) sebesar nilai nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 4 - Pasal 5 Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang terdapat pada bagian depan dan bagian belakang setiap lembar (bilyet) dari uang Rupiah kertas bersambung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) meliputi: a. ciri umum; dan b. ciri khusus. Pasal 6 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, pada bagian depan terdapat: a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”; b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”; c. sebutan pecahan dalam angka “50000” dan tulisan “LIMA PULUH RIBU RUPIAH”; d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan “MENTERI KEUANGAN”; e. tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”; f. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Ir. H. Djuanda Kartawidjaja beserta tulisan “Ir. H. DJUANDA KARTAWIDJAJA”; g. gambar ornamen batik; dan h. gambar lingkaran-lingkaran kecil. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan biru; b. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f; c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan “BI” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; - 5 - e. gambar tersembunyi (latent image) multiwarna berupa angka “50” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; f. gambar perisai yang di dalamnya berisi logo Bank Indonesia yang akan berubah warna apabila dilihat dari sudut pandang berbeda (colour shifting); g. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan (tactile); h. gambar raster berupa tulisan “NKRI” yang tertulis utuh dan/atau sebagian; i. mikroteks yang memuat tulisan “BI50”, tulisan “BI50000”, dan angka “50”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan j. hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau beberapa warna apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah satunya berisi tulisan “BI”; 2. angka nominal “50000”; 3. ornamen batik; dan 4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 7 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, pada bagian belakang terdapat: a. angka nominal “50000”; b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka; c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI LIMA PULUH RIBU RUPIAH”; d. tulisan tahun cetak “TC 2016”; e. gambar utama yaitu tari legong beserta tulisan “TARI LEGONG”, pemandangan alam Taman Nasional - 6 - Komodo beserta tulisan “Taman Nasional Komodo”, dan bunga jepun bali; f. tulisan “BANK INDONESIA”; g. gambar ornamen batik; h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan i. tulisan “PERURI”. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan biru; b. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf f; c. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada gambar tari legong, tulisan “TARI LEGONG”, dan tulisan “Taman Nasional Komodo”; d. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; e. gambar tersembunyi (latent image) berupa angka “50” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; f. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka “50000”; g. mikroteks yang memuat tulisan “BANKINDONESIA”, tulisan “BI50000”, dan angka “50000”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan h. hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau beberapa warna apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. gambar bunga jepun bali; 2. gambar burung jalak bali; 3. bidang persegi empat yang berisi tulisan “BI”; 4. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan 5. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka. - 7 - Pasal 8 Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri khusus sebagai berikut: a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi: 1. terbuat dari serat kapas; 2. berwarna biru muda; 3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet; 4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan ornamen tertentu; dan 5. terdapat benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan “BI 50000” secara berulang, yang akan berubah warna apabila dilihat dari sudut pandang berbeda (colour shifting); dan b. ukuran yaitu panjang 149 (seratus empat puluh sembilan) milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter. Pasal 9 Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak: a. 5.000 (lima ribu) lembaran yang masing-masing memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 5.000 (lima ribu) lembaran yang masing-masing memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet). Pasal 10 Harga jual lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh Bank Indonesia. - 8 - Pasal 11 Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilengkapi dengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia. Pasal 12 (1) Pengedaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dengan cara menjual secara langsung atau secara lelang kepada masyarakat. (2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Pasal 13 (1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat ditukarkan kepada Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. (2) Penukaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan penggantian untuk masing-masing lembar (bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnya yang bukan uang Rupiah khusus. (3) Besarnya nilai penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penukaran uang Rupiah. Pasal 14 Uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. Pasal 15 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 9 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 207
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/24/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016 </reg_title> <set_date> 25 Oktober 2016 </set_date> <effective_date> 27 Oktober 2016 </effective_date> <issued_date> 27 Oktober 2016 </issued_date> <related_reg> '23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011' </related_reg>
-1- PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/12/PBI/2009 TENTANG UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perkembangan alat pembayaran berupa uang elektronik yang sebelumnya diatur sebagai kartu prabayar tidak hanya diterbitkan dalam bentuk kartu namun juga telah berkembang dalam bentuk lainnya; b. bahwa seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, alat pembayaran berupa uang elektronik yang diterbitkan oleh bank maupun lembaga selain bank saat ini semakin berkembang; c. bahwa untuk meningkatkan kelancaran dan keamanan bagi seluruh pihak dalam penyelenggaraan uang elektronik diperlukan pengaturan yang lebih lengkap; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu mengatur ketentuan mengenai uang elektronik (electronic money) dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor … -2- Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4191) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4324); 4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); 5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); M E M U T U S K A N: … -3- M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY). BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia dan Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Lembaga Selain Bank adalah badan usaha bukan Bank yang berbadan hukum dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia. 3. Uang Elektronik (Electronic Money) adalah alat pembayaran yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a. diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu oleh pemegang kepada penerbit; b. nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media seperti server atau chip; c. digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan merupakan penerbit uang elektronik tersebut; dan d. nilai … -4- d. nilai uang elektronik yang disetor oleh pemegang dan dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan. 4. Nilai Uang Elektronik adalah nilai uang yang disimpan secara elektronik pada suatu media yang dapat dipindahkan untuk kepentingan transaksi pembayaran dan/atau transfer dana. 5. Prinsipal adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang bertanggung jawab atas pengelolaan sistem dan/atau jaringan antar anggotanya, baik yang berperan sebagai penerbit dan/atau acquirer, dalam transaksi Uang Elektronik yang kerjasama dengan anggotanya didasarkan atas suatu perjanjian tertulis. 6. Penerbit adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang menerbitkan Uang Elektronik. 7. Acquirer adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan kerja sama dengan pedagang, yang dapat memproses data Uang Elektronik yang diterbitkan oleh pihak lain. 8. Pemegang adalah pihak yang menggunakan Uang Elektronik. 9. Pedagang (merchant) adalah penjual barang dan/atau jasa yang menerima transaksi pembayaran dari Pemegang. 10. Pengisian Ulang adalah penambahan Nilai Uang Elektronik pada Uang Elektronik. 11. Dana Float adalah seluruh Nilai Uang Elektronik yang diterima Penerbit atas hasil penerbitan Uang Elektronik dan/atau Pengisian Ulang yang masih merupakan kewajiban Penerbit kepada Pemegang dan Pedagang. 12. Tarik Tunai adalah fasilitas penarikan tunai atas Nilai Uang Elektronik yang dapat dilakukan setiap saat oleh Pemegang. 13. Penyelenggara … -5- 13. Penyelenggara Kliring adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan perhitungan hak dan kewajiban keuangan masing-masing Penerbit dan/atau Acquirer dalam rangka transaksi Uang Elektronik. 14. Penyelenggara Penyelesaian Akhir adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan dan bertanggungjawab terhadap penyelesaian akhir atas hak dan kewajiban keuangan masing-masing Penerbit dan/atau Acquirer dalam rangka transaksi Uang Elektronik berdasarkan hasil perhitungan dari Penyelenggara Kliring. BAB II PRINSIPAL, PENERBIT, ACQUIRER, PENYELENGGARA KLIRING DAN/ATAU PENYELENGGARA PENYELESAIAN AKHIR Bagian Kesatu Perizinan Paragraf 1 Prinsipal Pasal 2 (1) Kegiatan sebagai Prinsipal dapat dilakukan oleh Bank atau Lembaga Selain Bank. (2) Bank dan Lembaga Selain Bank yang akan bertindak sebagai Prinsipal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk memperoleh izin sebagai Prinsipal diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal … -6- Pasal 3 (1) Dalam melaksanakan kegiatannya, Prinsipal wajib: a. menetapkan prosedur dan persyaratan yang obyektif dan transparan; dan b. melakukan pengawasan terhadap keamanan dan keandalan sistem dan/atau jaringan, kepada seluruh Penerbit dan/atau Acquirer yang menjadi anggota Prinsipal yang bersangkutan. (2) Pengawasan terhadap keamanan dan keandalan sistem dan/atau jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, harus dilakukan juga oleh Prinsipal terhadap pihak lain yang bekerjasama dengan Penerbit dan/atau Acquirer. Pasal 4 (1) Prinsipal wajib menghentikan kerjasama dengan Penerbit dan/atau Acquirer jika Bank Indonesia mengenakan sanksi pencabutan atas izin yang telah diberikan kepada Penerbit dan/atau Acquirer sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Penghentian kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan oleh Prinsipal paling lambat pada hari kerja berikutnya sejak tanggal diterimanya pemberitahuan tertulis dari Bank Indonesia mengenai pencabutan atas izin yang telah diberikan kepada Penerbit dan/atau Acquirer. (3) Pelaksanaan penghentian kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib diberitahukan secara tertulis oleh Prinsipal dan diterima oleh Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal pelaksanaan penghentian kerjasama. Paragraf … -7- Paragraf 2 Penerbit Pasal 5 (1) Kegiatan sebagai Penerbit dapat dilakukan oleh Bank atau Lembaga Selain Bank. (2) Bank yang akan bertindak sebagai Penerbit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin sebagai Penerbit dari Bank Indonesia. (3) Lembaga Selain Bank yang akan bertindak sebagai Penerbit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin sebagai Penerbit dari Bank Indonesia jika: a. Dana Float yang dikelola telah mencapai nilai tertentu; atau b. Dana Float direncanakan akan mencapai nilai tertentu. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk memperoleh izin sebagai Penerbit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), termasuk ketentuan mengenai nilai Dana Float sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Paragraf 3 Acquirer Pasal 6 (1) Kegiatan sebagai Acquirer dapat dilakukan oleh Bank atau Lembaga Selain Bank. (2) Bank dan Lembaga Selain Bank yang akan melakukan kegiatan sebagai Acquirer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. (3) Ketentuan … -8- (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk memperoleh izin sebagai Acquirer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 7 (1) Acquirer wajib melakukan edukasi dan pembinaan terhadap Pedagang yang bekerjasama dengan Acquirer. (2) Acquirer wajib menghentikan kerjasama dengan Pedagang yang melakukan tindakan yang merugikan. (3) Acquirer dapat melakukan tukar-menukar informasi atau data dengan Acquirer lainnya tentang Pedagang yang melakukan tindakan yang merugikan dan dapat mengusulkan pencantuman nama Pedagang tersebut dalam suatu daftar hitam Pedagang (merchant black list). (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai klausul minimum yang harus dicantumkan dalam perjanjian kerjasama antara Acquirer dan Pedagang diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Paragraf 4 Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir Pasal 8 (1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan melakukan kegiatan sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. (2) Dalam hal Bank atau Lembaga Selain Bank akan bertindak sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir, maka kewajiban memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk masing-masing kegiatan tersebut. (3) Ketentuan … -9- (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk memperoleh izin sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Kedua Kegiatan Sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir Pasal 9 (1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib melaksanakan kegiatannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Bank atau Lembaga Selain Bank wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia, apabila dalam jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut telah atau belum dapat melaksanakan kegiatannya. (3) Penetapan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara penyampaian pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Ketiga Bentuk Badan Hukum dan Kerjasama Pasal 10 Lembaga Selain Bank yang akan melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang … -10- yang beroperasi di wilayah Republik Indonesia harus berbadan hukum Indonesia dalam bentuk perseroan terbatas. Pasal 11 Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia hanya dapat bekerjasama dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia. Pasal 12 (1) Dalam hal Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir bekerjasama dengan pihak lain, maka Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib: a. melaporkan rencana dan realisasi kerjasama dengan pihak lain kepada Bank Indonesia; b. memiliki bukti mengenai keandalan dan keamanan sistem yang digunakan oleh pihak lain dalam penyelenggaraan Uang Elektronik yang antara lain dibuktikan dengan adanya: 1. hasil audit teknologi informasi dari auditor independen; dan 2. hasil sertifikasi yang dilakukan oleh Prinsipal, jika dipersyaratkan oleh Prinsipal. c. mensyaratkan kepada pihak lain dalam penyelenggaraan Uang Elektronik untuk menjaga kerahasiaan data. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan rencana dan realisasi kerjasama Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara … -11- Penyelenggara Penyelesaian Akhir dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB III PENYELENGGARAAN KEGIATAN Bagian Kesatu Penerbitan dan Manajemen Risiko Pasal 13 Penerbit dilarang menerbitkan Uang Elektronik dengan Nilai Uang Elektronik yang lebih besar atau lebih kecil daripada nilai uang yang disetorkan oleh Pemegang kepada Penerbit. Pasal 14 (1) Bank Indonesia menetapkan batas paling banyak Nilai Uang Elektronik yang disimpan pada media elektronik dan batas paling banyak total nilai transaksi Uang Elektronik dalam periode tertentu. (2) Penerbit wajib mematuhi batas paling banyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas paling banyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 15 Dalam hal media Uang Elektronik mempunyai masa berlaku (expiry date) maka Penerbit dilarang untuk menghapus atau menghilangkan Nilai Uang Elektronik ketika masa berlaku media Uang Elektronik tersebut berakhir. Pasal … -12- Pasal 16 (1) Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin sebagai Penerbit dan akan menyediakan fasilitas transfer dana melalui Uang Elektronik wajib memperoleh izin sebagai penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang. (2) Fasilitas Tarik Tunai hanya dapat diberikan oleh Penerbit yang menyediakan fasilitas transfer dana melalui Uang Elektronik. (3) Dalam hal Penerbit yang menyediakan fasilitas transfer dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan kerjasama dengan pihak lain untuk penyediaan fasilitas Tarik Tunai, maka Penerbit hanya dapat bekerjasama dengan pihak lain yang telah memperoleh izin sebagai penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang. (4) Dalam hal Penerbit menyediakan fasilitas transfer dana melalui Uang Elektronik maka Penerbit wajib mencatat data identitas Pemegang. (5) Penyediaan fasilitas transfer dana melalui Uang Elektronik oleh Penerbit selain tunduk pada ketentuan ini wajib pula tunduk pada ketentuan terkait lainnya. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas transfer dana dan Tarik Tunai melalui Uang Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 17 (1) Penerbit wajib mencatat identitas Pedagang yang bekerjasama dengan Penerbit dan mengadministrasikan seluruh dokumen yang terkait dengan Pedagang. (2) Penerbit wajib menerapkan manajemen risiko operasional dan risiko keuangan. (3) Dalam … -13- (3) Dalam rangka penerapan manajemen risiko keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penerbit wajib: a. menempatkan Dana Float dalam bentuk aset yang aman dan likuid; b. menggunakan Dana Float sebagaimana dimaksud pada huruf a hanya untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang dan Pedagang; dan c. memenuhi kewajiban kepada Pemegang dan Pedagang secara tepat waktu. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan manajemen risiko operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penempatan Dana Float sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 18 (1) Penerbit wajib memberikan informasi secara tertulis kepada Pemegang mengenai produk Uang Elektronik yang diterbitkannya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian informasi secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 19 (1) Dalam hal Penerbit telah memperoleh izin dari Bank Indonesia dan akan menerbitkan Uang Elektronik dengan jenis atau nama yang berbeda dan/atau penambahan fasilitas baru, maka penerbitannya harus dilaporkan secara tertulis oleh Penerbit kepada Bank Indonesia. (2) Laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan informasi yang paling kurang meliputi: a. rencana … -14- a. rencana bisnis; dan b. penjelasan karakteristik tentang jenis atau nama yang berbeda dan/atau penambahan fasilitas baru Uang Elektronik. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Kedua Penggunaan Uang Rupiah Pasal 20 (1) Uang Elektronik yang diterbitkan wajib menggunakan uang rupiah. (2) Uang Elektronik yang digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib menggunakan uang rupiah. BAB IV PERALIHAN IZIN PENYELENGGARAAN KEGIATAN UANG ELEKTRONIK Pasal 21 (1) Peralihan izin penyelenggaraan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir kepada pihak lain hanya dapat dilakukan oleh Bank atau Lembaga Selain Bank dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemisahan. (2) Peralihan izin penyelenggaraan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia. (3) Dalam … -15- (3) Dalam hal terjadi pengambilalihan, Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penyampaian laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB V PENGAWASAN Pasal 22 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. (2) Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mengadakan pertemuan konsultasi (consultative meeting) dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. (3) Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib: a. menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia secara tertulis dan/atau on-line mengenai kegiatan Uang Elektronik; b. memberikan … -16- b. memberikan keterangan dan/atau data yang terkait dengan penyelenggaraan Uang Elektronik sesuai dengan permintaan Bank Indonesia; c. memberikan kesempatan kepada Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaaan (on site visit) guna memperoleh informasi yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik; (4) Bank Indonesia dapat meminta kepada pihak lain yang bekerjasama dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), untuk menyampaikan laporan tertulis mengenai informasi tertentu. (5) Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank Indonesia dapat melakukan pembinaan dan/atau mengenakan sanksi administratif. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian dan jenis laporan yang disampaikan secara tertulis dan/atau on-line sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 23 Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan (on site visit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) huruf c. BAB … -17- BAB VI PENINGKATAN KEAMANAN TEKNOLOGI Pasal 24 (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib: a. menggunakan sistem yang aman dan andal; b. memelihara dan meningkatkan keamanan teknologi Uang Elektronik; c. memiliki kebijakan dan prosedur tertulis (standard operating procedure) penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik; dan d. menjaga keamanan dan kerahasiaan data. (2) Dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib melaksanakan audit teknologi informasi secara berkala dan melaporkan hasil audit teknologi informasi tersebut kepada Bank Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keamanan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan audit dan tata cara pelaporan hasil audit teknologi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VII LAIN-LAIN Pasal 25 Penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik oleh Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah tunduk kepada Peraturan Bank Indonesia ini dengan tetap mengacu pada prinsip syariah yang berlaku. Pasal … -18- Pasal 26 (1) Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dapat menyelenggarakan kegiatan Uang Elektronik sepanjang tidak dilarang dalam peraturan yang mengatur mengenai Bank Perkreditan Rakyat atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. (2) Dalam hal Bank Perkreditan Rakyat atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan kegiatan Uang Elektronik maka seluruh ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku untuk Bank Perkreditan Rakyat atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Pasal 27 (1) Prinsipal, Penerbit, dan/atau Acquirer harus menyediakan sistem yang dapat dikoneksikan dengan sistem Uang Elektronik yang lain. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai keharusan penyediaan sistem yang dapat dikoneksikan dengan sistem Uang Elektronik yang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 28 (1) Dalam hal terdapat perubahan atas nama, alamat, dan/atau informasi pada dokumen tertentu, Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir Uang Elektronik harus melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan perubahan atas nama, alamat dan/atau informasi pada dokumen tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal … -19- Pasal 29 Setiap laporan, keterangan dan/atau data yang disampaikan oleh Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib disampaikan secara lengkap, benar dan akurat. Pasal 30 (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir dan pihak lain yang terkait dengan penyelenggaraan Uang Elektronik dapat menyepakati pembentukan suatu forum atau institusi yang bertujuan untuk mengatur sendiri hal-hal yang bersifat teknis dan mikro, dengan melaporkan secara tertulis keberadaan forum atau institusi tersebut kepada Bank Indonesia. (2) Aturan-aturan yang dikeluarkan oleh forum atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Bank Indonesia dan tidak boleh bertentangan dengan aturan dan kebijakan Bank Indonesia. (3) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir dan pihak lain yang menjadi anggota dalam forum atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengikuti dan tunduk dengan aturan yang telah dikeluarkan dan menjadi kesepakatan forum atau institusi tersebut. Pasal 31 Bank Indonesia mencantumkan daftar nama Bank dan Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin dan telah efektif melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir dalam website Bank Indonesia. BAB … -20- BAB VIII S A N K S I Pasal 32 Bank atau Lembaga Selain Bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (2), Pasal 8 ayat (1), dan/atau Pasal 48, dikenakan sanksi administratif berupa: a. penghentian kegiatan Uang Elektronik, bagi Bank; atau b. penghentian kegiatan Uang Elektronik oleh instansi yang berwenang berdasarkan permintaan Bank Indonesia, bagi Lembaga Selain Bank. Pasal 33 (1) Prinsipal yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), dan/atau Pasal 4 ayat (3), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Prinsipal tidak memenuhi ketentuan Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), dan/atau Pasal 4 ayat (3), dikenakan teguran tertulis kedua. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Prinsipal tidak memenuhi ketentuan Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), dan/atau Pasal 4 ayat (3), dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Prinsipal. Pasal 34 (1) Penerbit yang melanggar ketentuan atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14 ayat (2), Pasal 15, Pasal 16 ayat … -21- ayat (1), Pasal 16 ayat (3), Pasal 16 ayat (4), Pasal 16 ayat (5), Pasal 17 ayat (1), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 18 ayat (1), dan/atau Pasal 20 ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penerbit melanggar ketentuan atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14 ayat (2), Pasal 15, Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (3), Pasal 16 ayat (4), Pasal 16 ayat (5), Pasal 17 ayat (1), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 18 ayat (1), dan/atau Pasal 20 ayat (1), dikenakan teguran tertulis kedua. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penerbit melanggar ketentuan atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14 ayat (2), Pasal 15, Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (3), Pasal 16 ayat (4), Pasal 16 ayat (5), Pasal 17 ayat (1), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 18 ayat (1), dan/atau Pasal 20 ayat (1), dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Penerbit. Pasal 35 (1) Acquirer yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan/atau Pasal 7 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Acquirer tidak memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan/atau Pasal 7 ayat (2), dikenakan teguran tertulis kedua. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Acquirer tidak … -22- tidak memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan/atau Pasal 7 ayat (2), dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Acquirer. Pasal 36 (1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau Pasal 9 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan/atau Pasal 9 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan/atau Pasal 9 ayat (2), dikenakan sanksi pembatalan izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. Pasal 37 (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang melanggar Pasal 11, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan perintah untuk menghentikan kerjasamanya dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir lain. (2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prinsipal, Penerbit … -23- Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir tidak menghentikan kerjasamanya dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dikenakan teguran tertulis kedua. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir tidak menghentikan kerjasamanya dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir lain, dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. Pasal 38 (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang melanggar Pasal 12 ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan perintah untuk menghentikan kerjasamanya dengan pihak lain. (2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir tidak menghentikan kerjasamanya dengan pihak lain, dikenakan teguran tertulis kedua. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir tidak menghentikan kerjasamanya dengan pihak lain, dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. Pasal … -24- Pasal 39 Pelanggaran atas ketentuan Pasal 20 ayat (2), dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009. Pasal 40 (1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang melanggar ketentuan atau tidak memenuhi kewajiban Pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), dan/atau Pasal 21 ayat (3), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank atau Lembaga Selain Bank melanggar ketentuan atau tidak memenuhi kewajiban Pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), dan/atau Pasal 21 ayat (3), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank atau Lembaga Selain Bank melanggar ketentuan atau tidak memenuhi kewajiban Pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), dan/atau Pasal 21 ayat (3), dikenakan sanksi pencabutan izin atas kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. Pasal 41 (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban menyampaikan laporan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) huruf a setelah berakhirnya batas waktu penyampaian laporan, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Apabila … -25- (2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir melanggar Pasal 22 ayat (3) huruf a, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir melanggar Pasal 22 ayat (3) huruf a, dikenakan sanksi pencabutan izin atas kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. (4) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban menyampaikan laporan secara on-line sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) huruf a, dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia tentang Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank. Pasal 42 (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) huruf b, Pasal 24 ayat (1), dan/atau Pasal 24 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Apabila … -26- (2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) huruf b, Pasal 24 ayat (1), dan/atau Pasal 24 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) huruf b, Pasal 24 ayat (1), dan/atau Pasal 24 ayat (2), dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. Pasal 43 (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) huruf c, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) huruf c, dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. Pasal 44 (1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban menyampaikan … -27- menyampaikan laporan on-line secara lengkap, benar dan akurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan kantor pusat Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia mengenai laporan penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank. (2) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban menyampaikan laporan tertulis secara lengkap, benar dan akurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 45 Bank atau Lembaga Selain Bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, dikenakan sanksi teguran tertulis. Pasal 46 (1) Lembaga Selain Bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Selain Bank tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga Selain Bank tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, dikenakan sanksi pencabutan izin atas kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit … -28- Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. BAB IX PENGHENTIAN SEMENTARA, PEMBATALAN DAN PENCABUTAN IZIN Pasal 47 Selain dalam rangka penerapan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan/atau Pasal 46, Bank Indonesia dapat menghentikan sementara, membatalkan atau mencabut izin yang telah diberikan kepada Bank atau Lembaga Selain Bank sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir, antara lain dalam hal: a. terdapat putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang memerintahkan Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir untuk menghentikan kegiatannya; b. terdapat rekomendasi dari otoritas pengawas yang berwenang antara lain mengenai memburuknya kondisi keuangan dan/atau lemahnya manajemen risiko Bank atau Lembaga Selain Bank; c. terdapat permintaan tertulis atau rekomendasi dari otoritas pengawas yang berwenang kepada Bank Indonesia untuk menghentikan sementara kegiatan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir; d. otoritas pengawas yang berwenang telah mencabut izin usaha dan/atau menghentikan kegiatan usaha Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir; atau e. adanya permohonan pembatalan yang diajukan sendiri oleh Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia. BAB … -29- BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 48 Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir sebelum diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini dan belum memperoleh izin atau penegasan dari Bank Indonesia, wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 49 Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir sebelum diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini dan telah memperoleh izin atau penegasan dari Bank Indonesia, wajib melaporkan kegiatannya kepada Bank Indonesia dan melengkapi persyaratan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 50 Lembaga Selain Bank yang telah melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir di wilayah Republik Indonesia sebelum diberlakukannya ketentuan ini dan belum berbadan hukum Indonesia yang berbentuk perseroan terbatas maka wajib telah berbadan hukum Indonesia yang berbentuk perseroan terbatas dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 51 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar … -30- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 13 April 2009. GUBERNUR BANK INDONESIA BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 13 April 2009. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 65 DASP -1- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 11/ 12 /PBI/2009 TENTANG UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY) I. UMUM Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini telah mendorong perkembangan Uang Elektronik yang sebelumnya diatur sebagai kartu prabayar berkembang tidak hanya dalam bentuk kartu namun juga dalam bentuk lainnya. Di sisi lain, perkembangan Uang Elektronik dapat digunakan sebagai alternatif alat pembayaran non tunai yang dapat menjangkau masyarakat yang selama ini belum mempunyai akses kepada sistem perbankan. Berdasarkan media penyimpanannya, saat ini Uang Elektronik dibedakan atas dua jenis: 1. Uang Elektronik yang Nilai Uang Elektroniknya selain dicatat pada media elektronik yang dikelola oleh Penerbit juga dicatat pada media elektronik yang dikelola oleh Pemegang. Media elektronik yang dikelola oleh Pemegang dapat berupa chip yang tersimpan pada kartu, stiker, atau harddisk yang terdapat pada personal computer milik Pemegang. Dengan sistem pencatatan seperti ini, maka transaksi pembayaran dengan menggunakan Uang Elektronik dapat dilakukan secara off-line dengan mengurangi secara langsung Nilai Uang Elektronik … -2- Elektronik pada media elektronik yang dikelola oleh Pemegang. Sementara rekonsiliasi Nilai Uang Elektronik pada media elektronik yang dikelola oleh Penerbit dilakukan kemudian pada saat terjadi penagihan oleh Pedagang kepada Penerbit. 2. Uang Elektronik yang Nilai Uang Elektroniknya hanya dicatat pada media elektronik yang dikelola oleh Penerbit. Dalam hal ini Pemegang diberi hak akses oleh Penerbit terhadap penggunaan Nilai Uang Elektronik tersebut. Dengan sistem pencatatan seperti ini, maka transaksi pembayaran dengan menggunakan Uang Elektronik ini hanya dapat dilakukan secara on-line dimana Nilai Uang Elektronik yang tercatat pada media elektronik yang dikelola Penerbit akan berkurang secara langsung. Mengingat Uang Elektronik memiliki fungsi seperti uang, maka untuk memberikan perlindungan kepada Pemegang, meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap instrumen pembayaran Uang Elektronik, dan mendukung kelancaran tugas Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas moneter, Bank Indonesia menetapkan persyaratan yang wajib dipenuhi oleh Bank dan Lembaga Selain Bank dalam menyelenggarakan Uang Elektronik. Selain itu untuk mendukung upaya pemerintah dalam mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang dan pendanaan teroris, Bank Indonesia menetapkan batasan-batasan tertentu dalam Uang Elektronik, antara lain nilai nominal yang dapat disimpan dalam Uang Elektronik dan penerapan prinsip mengenal nasabah (know your customer principles). Penerbitan Uang Elektronik wajib menggunakan satuan uang rupiah. Disamping itu, setiap penggunaan Uang Elektronik di wilayah Republik Indonesia wajib menggunakan uang rupiah. Kewajiban penggunaan uang rupiah ini merupakan amanat dari Undang-Undang tentang Bank Indonesia. Selain … -3- Selain itu, kewajiban penggunaan satuan uang rupiah didasarkan pada pertimbangan bahwa Nilai Uang Elektronik harus dapat dikonversi secara penuh (fully convertible) sehingga nilai satu rupiah pada Nilai Uang Elektronik harus sama dengan satu rupiah pada uang tunai. Nilai Uang Elektronik yang disetorkan terlebih dahulu oleh Pemegang kepada Penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perbankan dan Undang-Undang tentang Perbankan Syariah. Konsekuensi dari pengkategorian Nilai Uang Elektronik bukan sebagai simpanan harus diketahui dari awal oleh Pemegang sehingga membawa kewajiban Penerbit untuk memberitahukan kepada Pemegang. Disamping itu, karena tidak termasuk simpanan maka Uang Elektronik yang dimiliki oleh Pemegang tidak termasuk yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Untuk mendukung upaya Bank Indonesia dalam meningkatkan efisiensi nasional, Prinsipal dan/atau Penerbit diharapkan dari awal tahap pengembangan sudah mempersiapkan sistemnya agar dapat terkoneksi dengan sistem Prinsipal dan/atau Penerbit lain. Selain hal-hal tersebut di atas, untuk mendukung keamanan dan kelancaran penyelenggaran Uang Elektronik, Bank Indonesia juga mengatur kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh seluruh penyelenggara Uang Elektronik seperti kewajiban penerapan manajemen risiko, pelaporan, dan keamanan sistem dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Dalam beberapa hal dimungkinkan agar pengaturan-pengaturan yang sifatnya teknis dan mikro dapat diatur dan disepakati sendiri oleh industri untuk memberikan kesempatan agar industri dapat mengatur sendiri guna melengkapi aturan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia (Self- Regulation Organization/SRO). Namun pengaturan yang dikeluarkan oleh SRO tersebut tidak boleh bertentangan dengan aturan yang bersifat makro dan kebijakan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. II. PASAL … -4- II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Pada prinsipnya baik Bank maupun Lembaga Selain Bank mempunyai kesempatan yang sama untuk bertindak sebagai Prinsipal, seperti mempunyai tanggung jawab yang sama dalam pemenuhan keandalan sistem dan penetapan prosedur serta persyaratan yang fair atau obyektif jika jaringannya digunakan oleh Penerbit lain. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “obyektif” adalah sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh Prinsipal dan menerapkan perlakuan yang setara (equal treatment) kepada seluruh Penerbit dan/atau Acquirer. Yang dimaksud dengan “transparan” adalah harus tersedia informasi yang memadai kepada Penerbit dan/atau Acquirer terhadap … -5- terhadap proses penyusunan, pelaksanaan prosedur dan persyaratan yang ditetapkan oleh Prinsipal. Pengawasan yang dilakukan Prinsipal terhadap keamanan dan keandalan jaringan yang digunakan oleh Penerbit dan/atau Acquirer dilakukan secara efektif baik melalui pemantauan secara on-line atau dengan pemeriksaan di lokasi Penerbit dan/atau Acquirer. Pelaksanaan pemeriksaan tersebut dapat dilakukan secara rutin atau insidental tanpa harus menunggu adanya suatu kejadian atau jika Penerbit dan/atau Acquirer akan melakukan kerjasama dengan pihak lain. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pihak lain yang bekerjasama dengan Penerbit dan/atau Acquirer” pada ayat ini adalah pihak selain Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir, seperti perusahaan personalisasi dan/atau perusahaan yang menyediakan sarana pemrosesan transaksi Uang Elektronik. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pemberitahuan tertulis kepada Bank Indonesia paling lambat … -6- lambat 10 (sepuluh) hari kerja dapat dibuktikan dengan stempel tanggal dari perusahaan jasa pengiriman dokumen atau stempel tanggal terima dari Bank Indonesia. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “Dana Float yang direncanakan akan mencapai nilai tertentu” adalah apabila Lembaga Selain Bank merencanakan akan mengelola atau meningkatkan nilai Dana Float hingga mencapai nilai tertentu walaupun pada saat mengajukan permohonan nilai Dana Float belum mencapai nilai tertentu tersebut. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal … -7- Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Termasuk dalam pengertian ”tindakan yang merugikan” adalah tindakan Pedagang yang merugikan Prinsipal, Penerbit, Acquirer dan/atau Pemegang, antara lain Pedagang diketahui telah melakukan kerjasama dengan pelaku kejahatan (fraudster). Ayat (3) Kegiatan tukar-menukar informasi antar Acquirer tentang nama dan data Pedagang dapat ditindaklanjuti dengan mengusulkan nama Pedagang dalam suatu daftar hitam Pedagang (merchant black list). Daftar hitam Pedagang dikelola oleh Acquirer atau asosiasi Acquirer. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat … -8- Ayat (2) Bank atau Lembaga Selain Bank dinyatakan telah dapat melaksanakan kegiatannya sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir jika jaringan atau sistemnya telah dapat dioperasikan dan produknya telah dapat digunakan oleh masyarakat luas sebagai Uang Elektronik. Pemberitahuan tertulis mengenai belum dapat dilaksanakannya kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir harus disertai dengan bukti-bukti pendukung yang memperkuat penjelasan mengenai alasan dan kendala-kendala yang menyebabkan belum dapat dilaksanakannya kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang bekerjasama dalam pasal ini adalah Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang beroperasi di Indonesia. Pasal … -9- Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pihak lain” pada ayat ini adalah pihak selain Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir, seperti perusahaan yang menyediakan sarana pemrosesan transaksi Uang Elektronik. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Larangan bagi Penerbit untuk menerbitkan Uang Elektronik dengan Nilai Uang Elektronik yang lebih besar daripada nilai uang yang disetorkan oleh Pemegang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penerbitan Uang Elektronik dengan pemberian potongan harga Uang Elektronik yang berpotensi terhadap penciptaan uang yang tidak terkendali. Sebagai contoh bentuk potongan harga Uang Elektronik: suatu Uang Elektronik dengan Nilai Uang Elektronik sebesar Rp 100.000,00 dijual oleh Penerbit melalui penyetoran uang/dana dari Pemegang kepada Penerbit sebesar Rp 90.000,00. Disamping itu, larangan penerbitan Uang Elektronik dengan Nilai Uang Elektronik yang lebih kecil daripada nilai uang yang disetorkan oleh Pemegang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan Pemegang. Contoh: Nilai Uang Elektronik sebesar Rp 100.000,00 dijual oleh Penerbit melalui penyetoran uang/dana dari Pemegang kepada Penerbit sebesar Rp 110.000,00. Pasal … -10- Pasal 14 Ayat (1) Pembatasan Nilai Uang Elektronik dan total nilai transaksi dimaksudkan karena Uang Elektronik pada prinsipnya digunakan untuk pembayaran yang bersifat ritel dan untuk mencegah penyalahgunaan Uang Elektronik seperti untuk tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. Pasal 15 Karena masalah teknis, media penyimpan Uang Elektronik mempunyai keterbatasan usia teknis yang harus diperbaharui dengan penggantian media penyimpan Uang Elektronik tersebut. Mengingat dalam penggantian media penyimpan tersebut terdapat kemungkinan masih tersimpan Nilai Uang Elektronik dari Pemegang maka penggantiannya tidak boleh menghapus atau menghilangkan Nilai Uang Elektronik yang masih tersisa dan merupakan kewajiban Penerbit atau masih merupakan milik Pemegang. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan transfer dana dalam ketentuan ini adalah transfer Nilai Uang Elektronik antar Pemegang dan tidak … -11- tidak termasuk pembayaran dari Pemegang kepada Pedagang. Penerbit dari Bank yang akan menyediakan fasilitas transfer dana melalui Uang Elektronik tidak memerlukan izin dari Bank Indonesia sebagai penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang mengingat kegiatan pengiriman uang telah merupakan kegiatan usaha Bank sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan pihak lain pada ayat ini seperti Pedagang, agen Penerbit atau pihak sebagai koresponden di dalam penyelenggaraan kegiatan pengiriman uang. Ayat (4) Pencatatan data identitas Pemegang dimaksudkan untuk memenuhi prinsip mengenal nasabah (know your customer principles) dan memudahkan dalam pelaksanaan kegiatan pengiriman uang. Data identitas yang wajib dicatat sekurang- kurangnya nama, alamat, tanggal lahir dan data lainnya sebagaimana yang tercantum pada bukti identitas Pemegang (fully registered). Ayat (5) Ketentuan terkait lainnya antara lain ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan usaha pengiriman uang dan/atau transfer dana, prinsip mengenal nasabah (know your customer principles) dan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Ayat … -12- Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Kewajiban mencatat identitas Pedagang dimaksudkan agar Penerbit mempunyai data untuk kepentingan pembayaran maupun pemenuhan klaim kepada Pedagang setelah dilakukannya transaksi antara Pedagang dan Pemegang. Pencatatan identitas Pedagang sekurang-kurangnya meliputi informasi mengenai nama, alamat, bentuk badan usaha, dan bidang usaha dari Pedagang serta informasi nomor rekening Pedagang untuk menampung kepentingan pembayaran. Kepentingan pencatatan identitas Pedagang tersebut terkait pula dengan kegiatan Penerbit dan penggunaan sistem Penerbit jika Penerbit melakukan kerjasama dengan Pedagang seperti untuk kegiatan Pengisian Ulang Uang Elektronik, kegiatan Tarik Tunai dalam rangka mengakhiri penggunaan Uang Elektronik (redeem), dan kegiatan Tarik Tunai dalam rangka transfer dana. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf … -13- Huruf b Kewajiban kepada Pemegang antara lain berupa pengembalian seluruh Nilai Uang Elektronik yang tersisa pada Uang Elektronik pada saat Pemegang mengakhiri penggunaan Uang Elektronik (redeem), penarikan tunai dan kewajiban kepada Pedagang atas transaksi pembayaran dari Pemegang kepada Pedagang. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Kewajiban memberikan informasi secara tertulis pada ayat ini dimaksudkan agar Penerbit menerapkan prinsip transparansi produk dan melakukan edukasi kepada Pemegang. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Yang dimaksud Uang Elektronik dengan jenis atau nama yang berbeda dalam ketentuan ini antara lain penerbitan Uang Elektronik … -14- Elektronik dengan menggunakan media yang berbeda dengan yang diterbitkan sebelumnya termasuk jika terdapat perubahan nama produk. Ayat (2) Penjelasan karakteristik produk baru Uang Elektronik antara lain meliputi alur transaksi, upaya peningkatan keamanan sistem, dan perbedaan produk baru dengan produk sebelumnya. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud menggunakan uang rupiah adalah satuan uang rupiah sebagaimana yang telah digunakan dalam transaksi pembayaran dengan alat pembayaran non tunai. Ayat (2) Penggunaan satuan uang rupiah dalam Nilai Uang Elektronik sejalan dengan amanat Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009. Selain itu kewajiban penggunaan satuan uang rupiah didasarkan pada pertimbangan bahwa Nilai Uang Elektronik harus dapat dikonversi secara penuh (fully convertible) sehingga nilai satu rupiah pada Nilai Uang Elektronik harus sama dengan satu rupiah pada uang tunai. Penggunaan … -15- Penggunaan Uang Elektronik di wilayah Republik Indonesia dengan uang rupiah antara lain dapat ditunjukkan dengan adanya bukti transaksi dalam uang rupiah, seperti yang tercantum dalam sales draft atau bukti transaksi lainnya. Pasal 21 Ayat (1) Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Bank atau Lembaga Selain Bank atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Bank atau Lembaga Selain Bank lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Bank atau Lembaga Selain Bank yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Bank atau Lembaga Selain Bank yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Bank atau Lembaga Selain Bank yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Bank atau Lembaga Selain Bank atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan Bank atau Lembaga Selain Bank baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Bank atau Lembaga Selain Bank yang meleburkan diri dan status badan hukum Bank atau Lembaga Selain Bank yang meleburkan diri berakhir karena hukum. Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Bank atau Lembaga Selain Bank untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Bank atau Lembaga Selain Bank beralih karena hukum kepada dua atau lebih Bank atau Lembaga Selain Bank atau sebagian aktiva dan … -16- dan pasiva Bank atau Lembaga Selain Bank beralih karena hukum kepada satu atau lebih Bank atau Lembaga Selain Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambilalih saham Bank atau Lembaga Selain Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf … -17- Huruf c Dalam memberikan kesempatan kepada Bank Indonesia untuk memperoleh informasi termasuk memberikan akses pada sistem teknologi informasi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 23 Yang dimaksud dengan ”pihak lain” dalam pasal ini adalah pihak- pihak yang oleh Bank Indonesia dinilai memiliki kemampuan untuk melaksanakan pengawasan, antara lain Akuntan Publik dan Konsultan Teknologi Informasi. Pengawasan oleh pihak lain dapat dilakukan sendiri atau bersama-sama dengan pengawas dari Bank Indonesia. Pasal 24 Ayat (1) Keamanan teknologi Uang Elektronik meliputi keamanan dalam proses penerbitan Uang Elektronik, pengelolaan data, keamanan pada Uang Elektronik, dan keamanan pada seluruh sistem … -18- sistem yang digunakan untuk memproses transaksi Uang Elektronik. Yang dimaksud dengan ”aman” adalah sistem elektronik yang digunakan terlindungi secara fisik dan non fisik. Yang dimaksud dengan ”andal” adalah sistem elektronik memiliki kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan penggunaannya. Ayat (2) Pelaksanaan audit untuk teknologi informasi dapat dilakukan oleh auditor independen. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Keharusan penyediaan sistem yang dapat dikoneksikan dengan sistem Uang Elektronik yang lain antara lain dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dalam kegiatan Uang Elektronik. Ayat … -19- Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Perubahan informasi pada dokumen tertentu yang harus dilaporkan antara lain meliputi susunan pengurus atau pemilik dari badan usaha yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Pengaturan sendiri oleh forum atau institusi (Self-Regulation Organization/SRO) dimaksudkan untuk melengkapi atas aturan yang bersifat makro dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Untuk mencegah agar aturan yang dikeluarkan tidak bertentangan dengan aturan dan kebijakan Bank Indonesia, maka materi aturan yang akan dikeluarkan oleh forum atau institusi tersebut dikonsultasikan kepada Bank Indonesia. Ayat … -20- Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 31 Pencantuman daftar nama Bank atau Lembaga Selain Bank dalam website Bank Indonesia dimaksudkan agar masyarakat luas mengetahui Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia dalam penyelenggaraan Uang Elektronik. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal … -21- Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal … -22- Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Rekomendasi dari otoritas pengawas yang berwenang dapat berasal dari pengawas bank, pengawas sistem pembayaran, atau pengawas dari Lembaga Selain Bank yang bersangkutan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal … -23- Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5001
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 11/12/PBI/2009 </reg_id> <reg_title> UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY) </reg_title> <set_date> 13 April 2009 </set_date> <effective_date> 13 April 2009 </effective_date> <issued_date> 13 April 2009 </issued_date> <related_reg> '25/UU/2003', '23/UU/1999', '40/UU/2007', '7/UU/1992', '21/UU/2008', '10/UU/1998', '6/UU/2009', '15/UU/2002' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/23/PBI/2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/10/PBI/2001 TENTANG PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLES) GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penerapan Peraturan Bank Indonesia tentang Prinsip Mengenal Nasabah secara lebih efektif, dipandang perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan yang berlaku; b. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas perlu dilakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles); Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang … - 2 - 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4107); M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/10/PBI/2001 TENTANG PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLES). Pasal I 1. Judul Bab V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : “BAB V PENERAPAN DAN PELAPORAN” 2. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: “Pasal 13 … - 3 - “Pasal 13 Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan sebagai berikut : a. Menyusun kebijakan dan prosedur Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang dituangkan dalam Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dengan mengacu kepada Pedoman Standar Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia; b. Menetapkan dan menyampaikan Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini; c. Setiap perubahan terhadap Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkannya perubahan tersebut; d. Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam huruf b, Bank wajib menerapkan kebijakan mengenal Nasabah bagi Nasabah baru sejak ditetapkannya pedoman tersebut oleh Bank; e. Menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Nasabah yang sudah ada, termasuk pengkinian database Nasabah, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini; f. Melaksanakan … - 4 - f. Melaksanakan program pelatihan kepada karyawan Bank mengenai penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf e, selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini; g. Menerapkan sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini.” 3. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut : “Pasal 18 (1) Keterlambatan penyampaian pedoman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b dan huruf c serta laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 berupa kewajiban membayar sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). (2) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 huruf a, huruf d, huruf e, huruf f dan huruf g, dan Pasal 16 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b, huruf c, huruf e, huruf f, dan atau huruf g Undang- undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998.” 4. Ketentuan … - 5 - 4. Ketentuan Pasal 19 dihapus. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 13 Desember 2001 GUBERNUR BANK INDONESIA Ttd SYAHRIL SABIRIN - 6 - LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 151 DPNP - 7 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/23/PBI/2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/10/PBI/2001 TENTANG PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLES) PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 13 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c … - 8 - Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Nasabah yang sudah ada, termasuk meminta dan melengkapi dokumen- dokumen Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup Jelas Pasal II Cukup Jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 4160 DPNP - 9 -
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 3/23/PBI/2001 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/10/PBI/2001 TENTANG PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLES) </reg_title> <set_date> 13 Desember 2001 </set_date> <effective_date> 13 Desember 2001 </effective_date> <changed_reg> '3/10/PBI/2001' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '3/10/PBI/2001', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 3 Pasal 18' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/9/PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN IZIN USAHA BANK UMUM MENJADI IZIN USAHA BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM RANGKA KONSOLIDASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka mencapai sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan diperlukan perbankan yang kuat; b. bahwa dalam rangka menciptakan struktur perbankan yang ideal dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam jangka panjang, dipandang perlu untuk mempercepat proses konsolidasi perbankan di bidang permodalan bank yang mengarahkan bahwa kegiatan usaha (operasional) bank harus diimbangi atau disesuaikan dengan kemampuan permodalan yang dimiliki sehingga operasional bank dapat berjalan sesuai dengan besar modal dan karakteristiknya; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk mengatur ketentuan mengenai perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam rangka konsolidasi dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat… - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/15/PBI/2005 tanggal 1 Juli 2005 tentang Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4507) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/16/PBI/2007 tanggal 3 Desember 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 145, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4786); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN IZIN USAHA BANK UMUM MENJADI IZIN USAHA BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM RANGKA KONSOLIDASI. BAB I … - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah, tidak termasuk kantor cabang bank asing. 2. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR, adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. 3. Kantor Cabang Bank adalah kantor Bank yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas dimana Kantor Cabang tersebut melakukan usahanya. 4. Direksi: a. bagi Bank Umum berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank Umum berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. 5.Komisaris … - 4 - 5. Komisaris: a. bagi Bank Umum berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank Umum berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. 6. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum, orang perseorangan dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham perusahaan atau Bank Umum atau BPR sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; b. memiliki saham perusahaan atau Bank Umum atau BPR kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian perusahaan atau Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung. BAB II PERUBAHAN IZIN USAHA BANK UMUM MENJADI IZIN USAHA BPR Pasal 2 (1) Perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR hanya dapat dilakukan dengan izin dari Gubernur Bank Indonesia. (2) Perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara sukarela atau mandatory. (3) Perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR secara sukarela sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan apabila terdapat permohonan dari … - 5 - dari pemegang saham Bank Umum dengan modal inti di bawah Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) atau pemegang saham Bank Umum yang masih wajib membatasi kegiatan usaha. (4) Perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR secara mandatory sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan kepada: a. Bank Umum yang pada tanggal 31 Desember 2010 tidak memenuhi modal inti minimum Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); b. Bank Umum yang pada tanggal 31 Desember 2010 masih wajib membatasi kegiatan usaha dan tidak mengajukan permohonan perubahan izin usaha menjadi BPR secara sukarela; atau c. Bank Umum yang telah mengajukan permohonan perubahan izin usaha menjadi BPR secara sukarela namun sampai dengan tanggal 31 Desember 2010 belum menyelesaikan penyesuaian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2). BAB III PERUBAHAN IZIN USAHA BANK UMUM MENJADI IZIN USAHA BPR SECARA SUKARELA Bagian Kesatu Rencana dan Tahapan Perubahan Izin Usaha Bank Umum Menjadi Izin Usaha BPR Secara Sukarela Pasal 3 Rencana perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) harus dicantumkan dalam rencana bisnis Bank Umum. Pasal 4 … - 6 - Pasal 4 Pemberian persetujuan perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR secara sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dilakukan dalam 2 (dua) tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan perubahan kegiatan usaha; dan b. persetujuan perubahan izin usaha, yaitu persetujuan untuk melakukan kegiatan usaha sebagai BPR setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilaksanakan. Bagian Kedua Persetujuan Prinsip Pasal 5 Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, diajukan oleh Direksi Bank Umum kepada Gubernur Bank Indonesia, dan harus disertai dengan: a. notulen Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang memutuskan perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR; b. rencana penyelesaian dan/atau pengalihan hak dan kewajiban Bank Umum terhadap nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah BPR, pengumuman perubahan kegiatan usaha dari Bank Umum menjadi BPR, serta rencana sosialisasi perubahan kepada nasabah; c. laporan keuangan terakhir; d. alasan perubahan izin usaha menjadi BPR dan rencana kerja setelah menjadi BPR; e. rancangan akta perubahan anggaran dasar; f. Daftar … - 7 - f. daftar anggota Direksi dan dewan Komisaris, disertai dengan dokumen paling kurang: 1. surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai BPR atau BPR Berdasarkan Prinsip Syariah (BPRS); 2. surat pernyataan dari anggota Direksi mengenai kesediaan untuk tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai BPR atau BPRS; 3. surat pernyataan dari anggota dewan Komisaris mengenai kesediaan untuk tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai BPR atau BPRS; 4. surat pernyataan dari anggota dewan Komisaris mengenai kesediaan untuk mempresentasikan hasil pengawasan terhadap BPR kepada Bank Indonesia. g. Khusus bagi Bank Umum yang berubah menjadi BPRS wajib menambah surat pernyataan dari calon anggota Dewan Pengawas Syariah bahwa yang bersangkutan tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai BPRS; h. Rencana struktur organisasi dan susunan personalia; i. Rencana sistem dan prosedur kerja; dan j. Daftar pemegang saham: 1. dalam hal perorangan harus dilampiri dengan dokumen paling kurang surat penyataan dari Pemegang Saham Pengendali yang menyatakan kesediaannya untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi BPR dalam menjalankan usahanya. 2. dalam hal badan hukum harus dilampiri dengan dokumen paling kurang: a) surat pernyataan dari pengurus badan hukum yang menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi BPR dalam … - 8 - dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam hal badan hukum tersebut merupakan Pemegang Saham Pengendali BPR; b) surat pernyataan dari Pemegang Saham Pengendali terakhir (ultimate shareholder) yang menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi BPR dalam menjalankan kegiatan usahanya; dan c) surat pernyataan dari pengurus badan hukum yang menyatakan bahwa yang bersangkutan telah menyampaikan informasi secara benar dan lengkap mengenai struktur kelompok usaha BPR sampai dengan pemilik terakhir, dalam hal badan hukum tersebut merupakan Pemegang Saham Pengendali BPR. Pasal 6 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diberikan paling lambat 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, Direksi, dan Komisaris, dalam hal terdapat perubahan; dan c. penilaian terhadap analisis atas potensi dan kelayakan perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR, dalam hal terdapat perubahan lokasi usaha Kantor Pusat atau perubahan prinsip usaha dari Bank Umum Konvensional menjadi BPRS. (3) Pihak-pihak … - 9 - (3) Pihak-pihak yang mengajukan permohonan persetujuan prinsip harus melakukan presentasi kepada Bank Indonesia mengenai keseluruhan rencana penyesuaian kegiatan usahanya menjadi BPR. Pasal 7 (1) Bank Umum yang telah mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), harus menyesuaikan kegiatan usahanya menjadi BPR. (2) Penyesuaian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup beberapa aspek sebagai berikut: a. perangkat hukum; b. jenis kegiatan usaha; c. infrastruktur; d. pelaporan dan pemenuhan ketentuan pengawasan; e. jaringan kantor; dan f. kesiapan operasional. (3) Bank Umum yang telah mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilarang melakukan kegiatan usaha dengan mengatasnamakan diri sebagai BPR sebelum mendapat persetujuan perubahan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b. Pasal 8 Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip. Bagian Ketiga Persetujuan Perubahan Izin Usaha Pasal 9 (1) Pengajuan … - 10 - (1) Pengajuan permohonan perubahan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b diajukan oleh Direksi Bank Umum kepada Gubernur Bank Indonesia sebelum jangka waktu persetujuan prinsip berakhir. (2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank belum mengajukan permohonan perubahan izin usaha kepada Bank Indonesia maka persetujuan prinsip yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku. (3) Permohonan perubahan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan: a. laporan penyesuaian kegiatan usaha dari Bank Umum menjadi BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2); b. akta perubahan anggaran dasar badan hukum yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang; c. daftar susunan anggota Direksi dan Dewan Komisaris, struktur organisasi dan susunan personalia, serta sistem dan prosedur kerja, dalam hal terjadi perubahan; dan d. bukti kesiapan operasional yang paling kurang mencakup: 1. daftar aktiva tetap dan inventaris; 2. bukti penguasan gedung kantor berupa bukti kepemilikan atau perjanjian sewa menyewa gedung kantor yang didukung oleh bukti kepemilikan dari pihak yang menyewakan; 3. contoh formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional BPR. Pasal 10 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diberikan paling lambat 25 (dua puluh lima) hari kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (2) Dalam … - 11 - (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. pemeriksaan terhadap bank yang bersangkutan untuk memastikan ketaatan terhadap ketentuan penyesuaian kegiatan usaha dari Bank Umum menjadi BPR sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2). Pasal 11 (1) Bank Umum yang telah mendapat persetujuan perubahan izin usaha wajib melaksanakan kegiatan usaha BPR paling lambat 1 (satu) hari setelah tanggal izin kegiatan usaha diberlakukan. (2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Direksi BPR kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal dimulainya pelaksanaan kegiatan usaha BPR. Pasal 12 Bank Umum yang telah mendapat persetujuan perubahan izin usaha menjadi BPR harus mencantumkan bentuk badan hukum dan kata “Bank Perkreditan Rakyat” atau disingkat “BPR” atau mencantumkan secara jelas kata “Syariah” sesudah kata BPR atau disingkat “BPRS”, sesuai dengan anggaran dasar BPR pada penulisan namanya. Pasal 13 Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 9 disampaikan melalui surat yang ditujukan kepada Gubernur Bank Indonesia c.q. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, Bank Indonesia dengan alamat Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta. 10350. BAB IV… - 12 - BAB IV PERUBAHAN IZIN USAHA BANK UMUM MENJADI IZIN USAHA BPR SECARA MANDATORY Pasal 14 (1) Perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) ditetapkan dalam Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia yang akan diberitahukan kepada Bank Umum. (2) Bagi Bank Umum yang telah terdaftar di pasar modal, salinan surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Badan Pengawas Pasar Modal. (3) Bank Umum yang ditetapkan menjadi BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) guna memutuskan pelaksanaan perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR; b. melaksanakan penyesuaian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) ; dan c. menghentikan transaksi produk dan jasa Bank Umum yang dilarang dilakukan oleh BPR, kecuali dalam rangka penyelesaian. Pasal 15 (1) Jangka waktu pelaksanaan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf a wajib dilakukan paling lambat 2 (dua) bulan sejak tanggal Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia mengenai perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR. (2) Jangka waktu pelaksanaan penyesuaian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf b wajib dilakukan paling lambat 12 (dua belas) bulan … - 13 - bulan sejak tanggal perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR dari Gubernur Bank Indonesia. (3) Jangka waktu penghentian transaksi produk dan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf c wajib dilakukan sejak tanggal Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia mengenai perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR. BAB V SANKSI Pasal 16 Bank yang melampaui batas waktu pelaksanaan kegiatan usaha sebagai BPR sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1), dan Bank yang melampaui batas waktu pelaksanaan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Bank yang melampaui batas waktu pelaksanaan penyesuaian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) serta Bank yang melanggar pasal 15 ayat (3) dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 berupa: a. kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,- (lima juta rupiah) per hari sampai dengan Bank memenuhi ketentuan ini; dan atau b. pembekuan kegiatan usaha tertentu. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 17 Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR dalam rangka konsolidasi diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 18 … - 14 - Pasal 18 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 22 Februari 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 22 Februari 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 35 DPNP/DPbS/DPBPR PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/9/PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN IZIN USAHA BANK UMUM MENJADI IZIN USAHA BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM RANGKA KONSOLIDASI UMUM Dalam rangka mencapai sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan, Bank Indonesia telah melakukan upaya-upaya percepatan konsolidasi perbankan dan memberikan insentif bagi bank-bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi. Dalam rangka menciptakan struktur perbankan yang ideal dipandang perlu untuk mempercepat proses konsolidasi perbankan di bidang permodalan bank yang mengarahkan bahwa kegiatan usaha bank harus disesuaikan dengan kemampuan permodalan yang dimiliki sehingga operasional bank dapat berjalan sesuai dengan karateristiknya. Salah satu upaya yang ditempuh oleh Bank Indonesia untuk mencapai hal tersebut adalah dengan mengharuskan Bank Umum yang tidak dapat memenuhi modal inti sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah) pada tanggal 31 Desember 2010 dan Bank yang terkena kewajiban pembatasan kegiatan usaha untuk menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Disamping itu, bagi Bank Umum yang belum memenuhi ketentuan modal inti dan Bank yang terkena kewajiban pembatasan kegiatan usaha juga diberikan opsi untuk menjadi BPR secara sukarela yang diajukan sebelum tanggal 31 Desember 2010. PASAL … - 2 - PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Yang dimaksud dengan “rencana bisnis” adalah sebagaimana dimaksud pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku yang mengatur mengenai rencana bisnis Bank Umum. Pasal 4 Huruf a Cukup jelas Huruf b Persiapan perubahan kegiatan usaha dikatakan telah selesai apabila Bank telah melakukan penyesuaian kegiatan usaha menjadi BPR, antara lain: 1. memiliki akta perubahan anggaran dasar badan hukum yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang; 2. menghentikan transaksi produk dan jasa Bank Umum yang dilarang dilakukan oleh BPR, menyelesaikan kewajiban kepada kreditur/nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah BPR, menyediakan dana sebesar kewajiban bank yang belum diselesaikan; 3. menyelesaikan perubahan sistem dan prosedur kerja, teknologi informasi, struktur organisasi dan susunan personalia; 4. menyelesaikan persiapan pelaporan Sistem Informasi Debitur, LBU dan laporan lain ke Bank Indonesia yang mengacu pada ketentuan yang berlaku bagi BPR; 5. menyelesaikan … - 3 - 5. menyelesaikan penutupan jaringan kantor yang berada di luar provinsi Kantor Pusat bank sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai BPR; 6. menyelesaikan persiapan beberapa dokumen seperti daftar aktiva tetap, bukti penguasaan kantor, contoh formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional BPR. Pasal 5 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Laporan keuangan bulan terakhir sebelum pengajuan permohonan perubahan izin usaha dari Bank Umum menjadi BPR. Huruf d Cukup jelas Huruf e Rancangan akta perubahan anggaran dasar hanya memuat hal-hal yang mengalami perubahan, misalnya: 1. nama yang menegaskan adanya perubahan dari Bank Umum menjadi BPR dan tempat kedudukan, contoh PT Bank “A” menjadi PT BPR “A”. 2. penegasan adanya perubahan kegiatan usaha dari kegiatan usaha Bank Umum menjadi kegiatan usaha BPR bahwa Bank akan mengubah kegiatan dan izin usahanya menjadi BPR. Huruf f Angka 1 Cukup jelas Angka 2 … - 4 - Angka 2 Cukup jelas Angka 3 Cukup jelas Angka 4 Ketentuan ini dimaksudkan agar anggota Komisaris secara sungguh-sungguh memenuhi fungsinya dalam mengawasi BPR. Huruf g Cukup jelas Huruf h Rencana struktur organisasi dan susunan personalia antara lain meliputi bagan organisasi, garis tanggung jawab horizontal dan vertikal, serta jabatan paling rendah sampai dengan tingkatan Pejabat Eksekutif. Huruf i Cukup jelas Huruf j Angka 1 Dalam hal tidak terdapat Pemegang Saham Pengendali maka surat pernyataan ditandatangani oleh pemegang saham yang mewakili pemegang saham lain sehingga jumlah kepemilikan saham paling sedikit mencapai 51% (lima puluh perseratus). Angka 2 Huruf a) Dalam hal tidak terdapat badan hukum yang merupakan Pemegang Saham Pengendali maka surat pernyataan ditandatangani oleh para pengurus yang mewakili badan hukum tersebut sehingga jumlah kepemilikan saham paling sedikit … - 5 - sedikit mencapai 51% (lima puluh perseratus). Surat pernyataan dari badan hukum Pemerintah Daerah dibuat oleh Gubernur, Bupati, atau Walikota. Huruf b) Surat pernyataan dibuat oleh pihak-pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia mengendalikan secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh kelompok usaha. Huruf c) Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Penilaian terhadap analisis atas potensi dan kelayakan perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR antara lain tingkat persaingan yang sehat dan tingkat kejenuhan. Yang dimaksud dengan perubahan lokasi usaha Kantor Pusat adalah pemindahan alamat Kantor Pusat yang bersifat lintas propinsi. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Cukup … - 6 - Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Penyesuaian kegiatan usaha dalam aspek perangkat hukum mencakup antara lain dengan memastikan akta perubahan anggaran dasar badan hukum telah disahkan oleh instansi yang berwenang. Huruf b Penyesuaian kegiatan usaha dalam aspek jenis kegiatan usaha mencakup antara lain dengan transaksi produk dan jasa Bank Umum yang dilarang dilakukan oleh BPR (seperti transaksi giro, transaksi Pasar Uang Antar Bank (PUAB), valuta asing (valas), promes, surat utang, dan lain-lain), menyelesaikan kewajiban kepada kreditur/nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah BPR serta menyediakan dana sebesar kewajiban bank yang belum diselesaikan. Huruf c Penyesuaian kegiatan usaha dalam aspek infrastruktur mencakup antara lain dengan mempersiapkan perubahan sistem dan prosedur kerja, teknologi informasi, struktur organisasi dan susunan personalia. Huruf d Penyesuaian kegiatan usaha dalam aspek pelaporan dan pemenuhan ketentuan pengawasan mencakup antara lain dengan mempersiapkan pelaporan Sistem Informasi Debitur, LBU dan laporan lain ke Bank Indonesia yang mengacu pada ketentuan yang berlaku bagi BPR seperti mempersiapkan konversi penghitungan kolektibilitas, Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA) … - 7 - (PPA), Non Performing Loan menjadi Kualitas Aktiva Produktif, Tingkat Kesehatan, Giro Wajib Minimum menjadi cash ratio, Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (Capital Adequacy Ratio), dan sebagainya. Huruf e dengan melakukan penutupan jaringan kantor yang berada di luar provinsi Kantor Pusat bank sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai BPR. Huruf f dengan mempersiapkan beberapa dokumen seperti diantaranya daftar aktiva tetap, bukti penguasaan kantor, contoh formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional BPR. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d … - 8 - Huruf d Angka 1 Yang dimaksud dengan aktiva tetap dan inventaris adalah aktiva berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dibangun lebih dahulu, yang digunakan dalam kegiatan operasional dan tidak dimaksudkan untuk dijual. Daftar aktiva tetap dan inventaris disertai dengan harga perolehan. Angka 2 Cukup jelas Angka 3 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia tersebut, status Bank Umum berubah dan oleh karena itu hanya dapat beroperasi sebagai BPR dan dilarang melakukan kegiatan-kegiatan usaha sebagai Bank Umum seperti transaksi kliring, devisa, operasional kantor cabang di luar provinsi, kecuali sebatas penyelesaian atas transaksi dimaksud. Ayat (2) … - 9 - Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) ditujukan antara lain untuk memutuskan perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR. Huruf b Cukup jelas Huruf c Antara lain menghentikan transaksi giro, transaksi Pasar Uang Antar Bank (PUAB), valuta asing (valas), promes, surat utang, dan lain-lain. Pasal 15 Ayat (1) Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) ditujukan untuk memutuskan pula perubahan anggaran dasar dan ditindaklanjuti dengan pengajuan perubahan anggaran dasar kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk dimintakan pengesahan. Ayat (2) Kewajiban lain yang harus diselesaikan terkait dengan transaksi terdahulu sebagai Bank Umum antara lain meliputi: 1. penyelesaian kewajiban giro, sertifikat deposito, kliring, devisa; 2. penyesuaian pelaporan & pemenuhan ketentuan; 3. penutupan jaringan kantor yang berada di luar provinsi tempat kedudukan kantor pusat BPR; 4. penyampaikan neraca akhir Bank Umum posisi Desember 2010; 5. perubahan Neraca akhir Bank Umum menjadi neraca awal BPR. Ayat (3) … - 10 - Ayat (3) Terhitung sejak tanggal Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia tersebut, status Bank Umum berubah dan oleh karena itu hanya dapat beroperasi sebagai BPR dan dilarang melakukan kegiatan-kegiatan usaha sebagai Bank Umum, kecuali sebatas penyelesaian atas transaksi dimaksud. Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4823 DPNP/DPbS/DPBPR
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/9/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN IZIN USAHA BANK UMUM MENJADI IZIN USAHA BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM RANGKA KONSOLIDASI </reg_title> <set_date> 22 Februari 2008 </set_date> <effective_date> 22 Februari 2008 </effective_date> <issued_date> 22 Februari 2008 </issued_date> <related_reg> '7/15/PBI/2005', '23/UU/1999', '9/16/PBI/2007', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/18/PBI/2006 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK PERKREDITAN RAKYAT GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan Bank Perkreditan Rakyat yang sehat, kuat, produktif dan berdaya saing, diperlukan penguatan terhadap permodalan. b. bahwa penguatan permodalan Bank Perkreditan Rakyat dilakukan antara lain melalui penyesuaian terhadap komponen modal dan bobot risiko, sesuai dengan praktik dan perkembangan kegiatan perbankan c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Perkreditan Rakyat dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: … -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK PERKREDITAN RAKYAT. Pasal 1 … -3- Pasal 1 Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR dalam Peraturan Bank Indonesia ini adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. Pasal 2 BPR wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% (delapan perseratus) dari aktiva tertimbang menurut risiko. Pasal 3 (1) Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri dari: a. modal inti; dan b. modal pelengkap. (2) Modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperhitungkan setinggi-tingginya sebesar 100% (seratus perseratus) dari modal inti. Pasal 4 (1) Modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a terdiri dari: a. modal disetor; b. agio … -4- b. agio; c. dana setoran modal; d. modal sumbangan; e. cadangan umum; f. cadangan tujuan; g. laba ditahan setelah diperhitungkan pajak; h. laba tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan pajak; dan i. laba tahun berjalan, diperhitungkan sebesar 50% (lima puluh perseratus) setelah taksiran pajak. (2) Modal inti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperhitungkan dengan faktor pengurang berupa pos: a. goodwill; b. disagio; c. rugi tahun-tahun lalu; dan d. rugi tahun berjalan; (3) Dalam perhitungan laba atau rugi untuk pos-pos sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus dikeluarkan pengaruh perhitungan pajak tangguhan (deferred tax). Pasal 5 ... -5- Pasal 5 Modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b terdiri dari: a. cadangan revaluasi aktiva tetap; b. PPAP umum, setinggi-tingginya sebesar 1,25% (seratus dua puluh lima per sepuluh ribu) dari aktiva tertimbang menurut risiko; c. modal pinjaman (hybrid/quasi capital), dengan persyaratan: 1) tidak dijamin oleh BPR yang bersangkutan, dipersamakan dengan modal dan telah dibayar penuh; 2) tidak dapat dilunasi atau ditarik atas inisiatif pemilik, tanpa persetujuan Bank Indonesia; 3) mempunyai kedudukan yang sama dengan modal dalam hal jumlah kerugian BPR melebihi laba yang ditahan dan cadangan-cadangan yang termasuk modal inti, meskipun BPR belum dilikuidasi; dan 4) pembayaran bunga dapat ditangguhkan apabila BPR dalam keadaan rugi atau labanya tidak mendukung untuk membayar bunga tersebut. d. pinjaman subordinasi, setinggi-tingginya sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari modal inti, dengan persyaratan: 1) terdapat perjanjian tertulis antara BPR dengan pemberi pinjaman; 2) mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. Dalam hubungan ini pada saat BPR mengajukan permohonan persetujuan, BPR harus ... -6- harus menyampaikan program pembayaran kembali pinjaman subordinasi tersebut; 3) tidak dijamin oleh BPR yang bersangkutan dan telah dibayar penuh; 4) paling singkat berjangka waktu 5 (lima) tahun; 5) pelunasan sebelum jatuh tempo harus mendapat persetujuan dari Bank Indonesia dan dengan pelunasan tersebut permodalan BPR tetap sehat; dan 6) hak tagihnya dalam hal terjadi likuidasi berlaku paling akhir dari segala pinjaman yang ada (kedudukannya sama dengan modal). Pasal 6 (1) BPR dapat melakukan tambahan setoran modal dalam bentuk aktiva tetap berdasarkan persetujuan Bank Indonesia. (2) Permohonan persetujuan setoran modal dalam bentuk aktiva tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan dilampiri dokumen sebagai berikut: a. hasil penilaian aktiva tetap oleh lembaga penilai independen; b. persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota; dan c. bukti pengumuman paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian. (3) Hasil penilaian oleh lembaga penilai independen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling sedikit disertai rincian yang memuat nilai atau harga, jenis atau macam, status dan tempat kedudukan. (4) Jumlah… -7- (4) Jumlah aktiva tetap setelah tambahan setoran modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ditambah dengan inventaris, tunduk kepada ketentuan yang berlaku mengenai BPR. Pasal 7 BPR dilarang melakukan distribusi laba jika distribusi dimaksud mengakibatkan kondisi permodalan BPR tidak mencapai rasio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 8 Aktiva tertimbang menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri dari aktiva neraca BPR yang diberikan bobot sesuai dengan kadar risiko yang melekat pada setiap pos aktiva. Pasal 9 (1) BPR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (2) BPR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan … -8- b. penurunan nilai kredit dalam perhitungan tingkat kesehatan; dan/atau c. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak- pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 10 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia ini tidak diberlakukan bagi BPR eks Badan Kredit Desa (BKD) yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 dan Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9. Pasal 12 Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/20/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku bagi BPR. Pasal 13 … -9- Pasal 13 Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal 1 Desember 2006 Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 5 Oktober 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 75 DPBPR PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/18/PBI/2006 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK PERKREDITAN RAKYAT UMUM Dalam rangka mendorong serta meningkatkan kemampuan dalam menyediakan pelayanan bagi masyarakat, khususnya usaha mikro dan kecil, perlu dilakukan upaya memperkuat permodalan Bank Perkreditan Rakyat antara lain melalui pemenuhan kecukupan modal sesuai dengan risiko usahanya. Sejalan dengan hal tersebut, perlu dilakukan penyesuaian terhadap struktur permodalan BPR yang lebih mencerminkan kondisi permodalan yang sehat, untuk mendukung kegiatan usaha di sektor riil dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 … -2- Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam hal modal inti negatif maka modal pelengkap diperhitungkan sebesar 0 (nol). Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan modal disetor adalah modal yang telah disetor secara riil dan efektif oleh pemiliknya serta telah disetujui Bank Indonesia. Bagi BPR yang berbentuk hukum Koperasi, modal disetor terdiri atas simpanan pokok, simpanan wajib dan hibah sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai Perkoperasian. Didalam komponen modal disetor tidak termasuk pengakuan modal yang dipesan (subscribed capital stock) yang berasal dari … -3- dari piutang pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang berlaku. Huruf b Yang dimaksud dengan agio adalah selisih lebih tambahan modal yang diterima BPR sebagai akibat harga saham yang melebihi nilai nominalnya. Huruf c Yang dimaksud dengan dana setoran modal adalah dana yang telah disetor secara riil ke rekening BPR di bank umum dan diblokir untuk tujuan penambahan modal, namun belum didukung dengan kelengkapan persyaratan untuk dapat digolongkan sebagai modal disetor seperti Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota maupun pengesahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang. Penggunaan dana setoran modal harus mendapat persetujuan Bank Indonesia. Dalam hal berdasarkan penelitian Bank Indonesia: a. dana setoran modal yang berasal dari pemilik dan/atau calon pemilik tidak memenuhi syarat, dan/atau b. calon pemilik tidak memenuhi syarat sebagai pemegang saham, maka … -4- maka dana tersebut tidak dapat dianggap sebagai komponen modal dan dapat ditarik kembali. Huruf d Yang dimaksud dengan modal sumbangan adalah modal yang diperoleh kembali dari sumbangan saham, termasuk modal yang berasal dari donasi pihak luar yang diterima oleh bank yang berbentuk hukum koperasi. Huruf e Yang dimaksud dengan cadangan umum adalah cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yang ditahan atau dari laba setelah dikurangi pajak, dan mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Huruf f Yang dimaksud dengan cadangan tujuan adalah bagian laba setelah dikurangi pajak yang disisihkan untuk tujuan tertentu dan telah mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Huruf g Yang dimaksud dengan laba ditahan setelah diperhitungkan pajak adalah saldo laba setelah dikurangi pajak, yang oleh Rapat … -5- Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota diputuskan untuk tidak dibagikan. Huruf h Yang dimaksud dengan laba tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan pajak adalah laba tahun-tahun lalu dikurangi pajak kecuali apabila diperkenankan untuk dikompensasi dengan kerugian sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku dan belum ditetapkan penggunaannya oleh Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota. Dalam hal BPR mempunyai saldo rugi tahun-tahun lalu, maka seluruh kerugian tersebut menjadi faktor pengurang dari modal inti. Huruf i Yang dimaksud dengan laba tahun berjalan adalah laba setelah diperhitungkan dengan kekurangan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva produktif. Perhitungan taksiran hutang pajak dikecualikan apabila diperkenankan untuk dikompensasi dengan kerugian sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku. Ayat (2) … -6- Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan goodwill adalah aktiva tidak berwujud yang merupakan selisih antara nilai perolehan dengan nilai aktiva suatu perusahaan. Huruf b Yang dimaksud dengan disagio adalah selisih kurang tambahan modal yang diterima BPR sebagai akibat harga saham yang dibawah nilai nominalnya. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan rugi tahun berjalan adalah rugi setelah diperhitungkan dengan kekurangan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva produktif. Ayat (3) Pajak tangguhan (deferred tax) merupakan transaksi yang timbul sebagai akibat penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) tentang Akuntansi Pajak Penghasilan. Dengan dikeluarkannya dampak pajak tangguhan dari perhitungan laba atau rugi maka aktiva pajak tangguhan tidak diperhitungkan dalam … -7- dalam perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko yaitu dengan diberi bobot risiko sebesar 0% (nol perseratus). Pasal 5 Huruf a Yang dimaksud dengan cadangan revaluasi aktiva tetap adalah cadangan yang dibentuk dari selisih penilaian kembali aktiva tetap yang telah mendapat persetujuan Direktorat Jenderal Pajak Cadangan revaluasi aktiva tetap tidak dapat dikapitalisasi ke dalam modal disetor dan atau dibagikan sebagai saham bonus dan atau dividen. Huruf b Yang dimaksud dengan PPAP umum adalah PPAP yang memiliki kualitas Lancar sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Rakyat. Perkreditan Huruf c Cukup jelas. Huruf d Jangka waktu 5 (lima) tahun sebagai syarat pinjaman subordinasi merupakan jangka waktu paling singkat pinjaman dapat digunakan secara penuh dan efektif. Pinjaman … -8- Pinjaman subordinasi yang dapat diperhitungkan sebagai modal adalah pinjaman subordinasi dikurangi amortisasi yang dihitung dengan menggunakan metode garis lurus (prorata). Pinjaman subordinasi yang direstrukturisasi diperhitungkan sebesar nilai wajar setelah restrukturisasi. Dampak restrukturisasi tersebut diakui sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku. Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan aktiva tetap adalah aktiva berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dengan dibangun terlebih dahulu, yang dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan usaha BPR dan mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. Ayat (2) Yang dimaksud dengan penilai independen adalah perusahaan penilai yang: a. tidak merupakan pihak terkait dengan BPR; b. tidak merupakan kelompok peminjam dengan debitur BPR; c. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik profesi dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan berwenang; d. menggunakan … digunakan untuk kegiatan usaha BPR, tidak oleh institusi yang -9- d. menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi penilaian yang diterbitkan oleh institusi yang berwenang; e. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk beroperasi sebagai perusahaan penilai; dan f. tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi yang berwenang. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 7 Yang dimaksud dengan distribusi laba antara lain pembayaran dividen, pembagian bonus kepada pengurus dan pembayaran insentif yang sifatnya non operasional. Contoh: Apabila dalam suatu periode kepengurusan BPR menunjukkan kinerja yang membaik namun kondisi permodalan tidak memungkinkan untuk membayar bonus kepada pengurus maka pembayaran bonus tidak dapat dilakukan sampai dengan kondisi permodalan BPR memungkinkan untuk dilakukannya pembayaran bonus. Pasal 8 … -10- Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Termasuk dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku antara lain ketentuan mengenai penilaian tingkat kesehatan BPR dan tindak lanjut penanganan terhadap BPR dalam pengawasan khusus. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4644
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 8/18/PBI/2006 </reg_id> <reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title> <set_date> 5 Oktober 2006 </set_date> <effective_date> 1 Desember 2006 </effective_date> <replaced_reg> '26/20/KEP/DIR|SKDIR-BI/1993' </replaced_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal 9' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/3/PBI/2013 TENTANG TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK PERKREDITAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka menciptakan transparansi kondisi keuangan dan kinerja Bank Perkreditan Rakyat, Bank Perkreditan Rakyat mengumumkan laporan keuangan dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; b. bahwa untuk meningkatkan transparansi kondisi keuangan dan kinerja Bank Perkreditan Rakyat, diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara publikasi kondisi keuangan Bank Perkreditan Rakyat dan informasi lainnya kepada publik secara berkala, akurat, dan benar; c. bahwa penyusunan laporan keuangan tahunan dan laporan keuangan publikasi Bank Perkreditan Rakyat sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan untuk Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik bagi Bank Perkreditan ... -2- Perkreditan Rakyat dan Pedoman Akuntansi Bank Perkreditan Rakyat; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat; Mengingat: a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang–Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik ... -3- Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK PERKREDITAN RAKYAT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perbankan. 2. Laporan Tahunan adalah laporan lengkap mengenai kinerja suatu BPR dalam kurun waktu 1 (satu) tahun yang berisi Laporan Keuangan Tahunan dan informasi umum. 3. Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku bagi BPR adalah Standar Akuntansi Keuangan bagi Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) dan Pedoman Akuntansi BPR (PA BPR). 4. Laporan Keuangan Tahunan adalah laporan keuangan akhir tahun BPR yang disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku bagi BPR. 5. Laporan ... -4- 5. Laporan Keuangan Publikasi adalah laporan keuangan BPR yang disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku bagi BPR dan dipublikasikan setiap triwulan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. 6. Akuntan Publik adalah Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Akuntan Publik. 7. Kantor Akuntan Publik adalah Kantor Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Akuntan Publik. 8. 9. Tahun Buku adalah tahun takwim atau tahun yang dimulai dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember. Surat Komentar (Management Letter) adalah komentar tertulis dari Akuntan Publik kepada manajemen bank mengenai hasil kaji ulang terhadap struktur pengendalian intern, pelaksanaan Standar Akuntansi Keuangan atau masalah lain yang ditemui dalam pelaksanaan audit, beserta saran-saran perbaikannya. Pasal 2 (1) BPR wajib menyusun dan menyajikan laporan keuangan dengan bentuk dan cakupan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang terdiri dari: a. Laporan Tahunan; dan b. Laporan Keuangan Publikasi (2) Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun dalam Bahasa Indonesia. BAB II ... -5- BAB II LAPORAN TAHUNAN Pasal 3 (1) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a paling kurang memuat: a. informasi umum yang meliputi antara lain: 1. kepengurusan; 2. kepemilikan; 3. perkembangan usaha BPR; 4. strategi dan kebijakan manajemen; dan 5. laporan manajemen; b. Laporan Keuangan Tahunan yang terdiri dari: 1. Neraca; 2. Laporan Laba Rugi; 3. Laporan Perubahan Ekuitas; 4. Laporan Arus Kas; dan 5. Catatan atas laporan keuangan, termasuk informasi tentang Komitmen dan Kontinjensi; c. opini dari Akuntan Publik atas Laporan Keuangan Tahunan BPR yang diaudit oleh Akuntan Publik; d. Seluruh ... -6- d. seluruh aspek transparansi dan informasi yang diwajibkan untuk Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b; e. seluruh aspek pengungkapan (disclosure) sebagaimana diwajibkan dalam Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku bagi BPR. (2) Laporan Keuangan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib disusun untuk 1 (satu) Tahun Buku dan disajikan dengan perbandingan 1 (satu) Tahun Buku sebelumnya. (3) Cakupan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 4 (1) BPR wajib menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a kepada Bank Indonesia. (2) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditandatangani paling kurang oleh 1 (satu) anggota Direksi BPR dengan mencantumkan nama secara jelas. (3) Dalam hal seluruh anggota Direksi berhalangan, Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditandatangani oleh anggota Dewan Komisaris atau Pejabat yang ditunjuk oleh Rapat Umum Pemegang Saham atau sesuai Anggaran Dasar, dengan mencantumkan nama dan jabatan secara jelas. (4) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib disampaikan paling lambat akhir bulan April setelah Tahun Buku berakhir. Pasal 5 ... -7- Pasal 5 (1) Bagi BPR yang mempunyai total aset lebih besar dari atau sama dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), Laporan Keuangan Tahunan yang disampaikan dalam Laporan Tahunan wajib diaudit terlebih dahulu oleh Akuntan Publik. (2) Bagi BPR yang mempunyai total aset lebih kecil dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), Laporan Keuangan Tahunan yang disampaikan dalam Laporan Tahunan adalah Laporan Keuangan Tahunan yang telah dipertanggungjawabkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota. (3) Dalam hal Laporan Keuangan Tahunan BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diaudit oleh Akuntan Publik, Laporan Keuangan Tahunan yang disampaikan dalam Laporan Tahunan adalah Laporan Keuangan Tahunan yang diaudit. (4) Dalam hal pelaksanaan audit oleh Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melewati batas waktu penyampaian Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), maka selain menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), BPR tetap menyampaikan Laporan Keuangan Tahunan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik paling lambat 1 (satu) bulan setelah diterimanya hasil audit atas Laporan Keuangan. (5) Laporan Keuangan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disusun sesuai Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku bagi BPR. Pasal 6 ... -8- Pasal 6 BPR yang telah menyampaikan Laporan Tahunan namun: a. Laporan Keuangan Tahunan BPR tidak diaudit oleh Akuntan Publik dan/atau Kantor Akuntan Publik yang terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1); atau b. Laporan Keuangan Tahunan BPR belum dipertanggungjawabkan oleh Direksi atau Pengurus kepada Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), dinyatakan belum menyampaikan Laporan Tahunan. Pasal 7 (1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Tahunan, apabila BPR menyampaikan Laporan Tahunan kepada Bank Indonesia setelah batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), sampai dengan paling lama 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan. (2) BPR dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Tahunan, apabila BPR belum menyampaikan Laporan Tahunan dalam kurun waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) BPR yang tidak menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diwajibkan untuk menyampaikan Laporan Tahunan sebelum tahun buku berikutnya. BAB III ... -9- BAB III LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI Pasal 8 (1) BPR wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi triwulanan untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September dan Desember sesuai dengan bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Laporan Keuangan Publikasi untuk posisi bulan Desember disusun berdasarkan Laporan Keuangan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 (3) Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b paling kurang memuat: a. laporan keuangan yang terdiri dari: 1. Neraca; 2. Laporan Laba Rugi; 3. Laporan Komitmen dan Kontinjensi b. informasi lainnya yang paling kurang terdiri dari: 1. Kualitas Aktiva Produktif (KAP) untuk: a) penempatan pada bank lain; b) kredit yang diberikan, baik kepada pihak terkait maupun pihak tidak terkait; 2. rasio keuangan, yang terdiri dari: a) Kewajiban Penyediaan Modal Minimum; b. Non Performing ... -10- b) Non Performing Loans (NPL) dan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif; c) Return on Asset (ROA) dan Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO); d) Cash Ratio; dan e) Loan to Deposit Ratio (LDR) c. Susunan Pengurus dan komposisi Pemegang Saham, termasuk Pemegang Saham Pengendali. (4) Laporan Keuangan Publikasi triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disajikan dalam bentuk perbandingan dengan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan tahun sebelumnya. Pasal 9 (1) BPR yang mempunyai total aset lebih besar dari atau sama dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) wajib: a. mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Maret, Juni, dan September dalam surat kabar harian lokal atau menempelkannya pada papan pengumuman atau media lainnya yang mudah dibaca oleh publik; dan b. mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember dalam surat kabar harian lokal dan menempelkannya pada papan pengumuman atau media lainnya yang mudah dibaca oleh publik. (2) BPR yang mempunyai total aset lebih kecil dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi ... -11- Publikasi posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember pada surat kabar lokal atau menempelkannya pada papan pengumuman atau media lainnya yang mudah dibaca oleh publik. (3) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dilakukan paling lambat: a. akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan untuk Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Maret, Juni, dan September; dan b. akhir bulan keempat setelah berakhirnya bulan laporan untuk Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember. Pasal 10 (1) Dalam hal BPR mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi dengan menempelkan pada papan pengumuman atau media lainnya yang mudah dibaca oleh publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 maka Laporan Keuangan Publikasi wajib: a. ditempelkan di seluruh kantor BPR; dan b. terus menerus ditempelkan sampai dengan jangka waktu pelaporan berikutnya. (2) BPR yang tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan belum mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi. Pasal 11 (1) BPR dinyatakan terlambat mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi, apabila mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi setelah batas akhir waktu pengumuman laporan sebagaimana dimaksud … -12- dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) sampai dengan paling lama 1 (satu) bulan sejak batas akhir pengumuman laporan. (2) BPR dinyatakan tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi, apabila BPR belum mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi dalam kurun waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Apabila BPR telah mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi posisi bulan Desember, namun: a. Laporan Keuangan Tahunan untuk Laporan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) tidak diaudit oleh Akuntan Publik dan/atau Kantor Akuntan Publik yang terdaftar di Bank Indonesia; atau b. Laporan Keuangan Tahunan untuk Laporan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) belum dipertanggungjawabkan oleh Direksi atau Pengurus kepada Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota, BPR dinyatakan belum mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi posisi bulan Desember. Pasal 12 (1) Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 wajib ditandatangani paling kurang oleh 1 (satu) anggota Direksi BPR dengan mencantumkan nama secara jelas. (2) Dalam hal seluruh anggota Direksi berhalangan, Laporan Keuangan Publikasi ditandatangani oleh anggota Dewan Komisaris atau Pejabat yang ditunjuk oleh Rapat Umum Pemegang Saham atau sesuai Anggaran Dasar … -13- Anggaran Dasar, dengan mencantumkan nama dan jabatan secara jelas. (3) Bagi BPR yang laporan keuangannya di audit oleh Akuntan Publik, Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember, selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) juga wajib mencantumkan nama Akuntan Publik yang bertanggung jawab dalam audit (partner in charge) dan nama Kantor Akuntan Publik yang mengaudit Laporan Keuangan Tahunan. Pasal 13 BPR wajib menyampaikan bukti pengumuman kepada Bank Indonesia, berupa: a. b. fotokopi Laporan Keuangan Publikasi yang ditempelkan pada papan pengumuman atau media lainnya, paling lambat tanggal 14 setelah batas akhir pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3). Pasal 14 (1) BPR wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia rekaman data Laporan Keuangan Publikasi secara on-line, paling lambat tanggal 14, setelah batas akhir pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3). halaman surat kabar yang memuat Laporan Keuangan Publikasi; dan/atau (2) Dalam … -14- (2) Dalam hal BPR tidak dapat menyampaikan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi secara on-line sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena: a. BPR berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas jaringan telekomunikasi; b. BPR baru beroperasi dengan batas waktu paling lama 2 (dua) bulan setelah melakukan kegiatan operasional; c. BPR mengalami gangguan teknis; dan/atau d. terjadi kerusakan dan/atau gangguan pada database atau jaringan telekomunikasi di Bank Indonesia, BPR menyampaikan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi secara off-line. Pasal 15 (1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), apabila BPR menyampaikan bukti pengumuman atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi setelah batas akhir waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) sampai dengan paling lama 1 (satu) bulan sejak batas akhir penyampaian. (2) BPR dinyatakan tidak menyampaikan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), apabila BPR belum menyampaikan bukti pengumuman atau rekaman data … -15- data Laporan Keuangan Publikasi dalam kurun waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Apabila BPR telah menyampaikan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi namun datanya tidak sesuai dengan Laporan Keuangan Publikasi yang diumumkan maka BPR dinyatakan belum menyampaikan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi. BAB IV HUBUNGAN ANTARA BPR, AKUNTAN PUBLIK DAN BANK INDONESIA Pasal 16 (1) Dalam memberikan penugasan audit terhadap Laporan Keuangan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, BPR wajib menunjuk Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik yang memenuhi kriteria: a. terdaftar di Bank Indonesia; dan b. tidak memiliki keterkaitan dengan BPR. (2) Penugasan atau penunjukan Akuntan Publik dan/atau Kantor Akuntan Publik yang sama oleh BPR hanya dapat dilakukan untuk paling lama 3 (tiga) tahun buku berturut-turut. Pasal 17 (1) Penunjukan atau penugasan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik dalam rangka audit Laporan Keuangan Tahunan BPR wajib dilakukan dengan perjanjian kerja. (2) Perjanjian … -16- (2) Perjanjian kerja antara BPR dan Kantor Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup: a. nama Kantor Akuntan Publik; b. Akuntan Publik yang bertanggung jawab terhadap audit (partner in charge); c. kewajiban Akuntan Publik untuk melakukan audit sesuai Standar Profesional Akuntan Publik, kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Akuntan Publik; d. pernyataan dari BPR untuk mengizinkan Kantor Akuntan Publik menyampaikan secara langsung kepada Bank Indonesia: 1) laporan hasil audit; 2) Surat Komentar (Management Letter); 3) informasi yang dibutuhkan oleh Bank Indonesia setiap saat apabila diperlukan; dan 4) informasi mengenai temuan audit terkait dengan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan di bidang keuangan dan/atau perbankan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha BPR; 5) ruang lingkup audit; 6) Jangka waktu penyelesaian audit; 7) kewajiban Akuntan Publik yang bertanggung jawab dalam melakukan audit untuk melapor kepada Bank Indonesia sebelum pelaksanaan audit; dan 8) kewajiban Kantor Akuntan Publik dan Akuntan Publik untuk tidak menggunakan atau mengungkapkan data atau informasi kepada … -17- kepada pihak lain tanpa seizin BPR sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (3) Ruang lingkup audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d paling sedikit mencakup: a. penilaian atas penggolongan kualitas aktiva produktif dan kecukupan penyisihan penghapusan aktiva produktif yang dibentuk BPR; b. penilaian terhadap aset lain-lain dan agunan yang diambil alih BPR; c. pendapat mengenai kewajaran atas transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa maupun transaksi yang dilakukan dengan perlakuan khusus; d. jumlah dan kualitas penyediaan dana kepada pihak terkait; e. rincian pelanggaran batas maksimum pemberian kredit yang meliputi nama nasabah, kualitas penyediaan dana, persentase dan jumlah pelanggaran batas maksimum pemberian kredit; f. rincian pelanggaran batas maksimum pemberian kredit yang meliputi nama nasabah, kualitas penyediaan dana, persentase dan jumlah pelanggaran batas maksimum pemberian kredit; g. perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM); h. Loan to Deposit Ratio (LDR); i. Perbandingan jumlah kredit bermasalah terhadap total kredit yang diberikan serta penyebab utamanya. j. Return on Asset (ROA) dan Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO). k. keandalan … -18- k. keandalan sistem pelaporan BPR kepada Bank Indonesia dan pengujian terhadap keandalan laporan-laporan yang disampaikan oleh BPR kepada Bank Indonesia; dan l. hal-hal lain yang diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, termasuk catatan atas Laporan Keuangan. (4) Fotokopi perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan BPR kepada Bank Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pelaksanaan audit. Pasal 18 Akuntan Publik dan/atau Kantor Akuntan Publik wajib memberikan data dan informasi yang diminta Bank Indonesia terkait dengan BPR yang diaudit, meskipun perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) telah berakhir. Pasal 19 Akuntan Publik yang melakukan audit terhadap Laporan Keuangan Tahunan BPR wajib: a. melakukan audit sesuai dengan standar profesional Akuntan Publik, kode etik profesi, dan ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai Akuntan Publik, serta perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17. b. memberitahukan adanya pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan di bidang keuangan dan/atau perbankan yang dapat ... -19- dapat membahayakan kelangsungan usaha BPR kepada Bank Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditemukannya pelanggaran; c. menyampaikan laporan hasil audit dan Surat Komentar (Management Letter) kepada Bank Indonesia paling lambat 4 (empat) bulan setelah berakhirnya tahun buku yang bersangkutan; dan d. mematuhi ketentuan rahasia bank sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Perbankan dan kerahasiaan informasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Akuntan Publik dan ketentuan perundang-undangan lainnya serta perjanjian kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) huruf h. BAB V TANGGUNG JAWAB LAPORAN KEUANGAN Pasal 20 Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab Direksi atau pengurus BPR. BAB VI KEADAAN MEMAKSA Pasal 21 (1) BPR yang mengalami keadaan memaksa yang dampaknya terhadap BPR melampaui batas waktu seharusnya mengumumkan dan/atau menyampaikan … -20- menyampaikan laporan, dikecualikan dari kewajiban mengumumkan dan/atau menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), Pasal 9 ayat (3), Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1). (2) Untuk memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPR harus menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya keadaan memaksa yang dialami dan disertai keterangan pejabat yang berwenang dari instansi terkait di daerah setempat. (3) BPR yang memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mengumumkan dan/atau menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), Pasal 9 ayat (3), Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1), setelah BPR kembali melakukan kegiatan operasional secara normal. (4) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) hanya diberikan hingga keadaan memaksa atau berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia telah dapat teratasi. BAB VII SANKSI Bagian Kesatu Laporan Tahunan Pasal 22 (1) BPR yang terlambat menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban membayar … -21- membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan. (2) BPR yang tidak menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). (3) BPR yang tidak menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hingga periode penyampaian Laporan Tahunan berikutnya dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain : a. penurunan tingkat kesehatan bank; dan/atau b. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai uji kemampuan dan kepatutan. Pasal 23 (1) BPR yang menyampaikan Laporan Tahunan yang penyusunan dan penyajiannya tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 dan/atau Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku bagi BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) dikenakan: a. sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) apabila setelah diberi surat peringatan sebanyak 2 (dua) kali oleh… -22- kali oleh Bank Indonesia dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu untuk setiap surat peringatan, BPR tidak memperbaiki dan tidak menyampaikan laporan dimaksud; dan b. sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain: 1) penurunan tingkat kesehatan bank; dan/atau 2) pencantuman pengurus dalam daftar pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai uji kemampuan dan kepatutan. (2) BPR yang menyampaikan Laporan Tahunan yang isinya secara material tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 selain dikenakan sanksi kewajiban membayar dan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, pegawai BPR maupun pihak terafiliasi lainnya dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 Undang- Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Bagian kedua … -23- Bagian Kedua Laporan Keuangan Publikasi Pasal 24 (1) BPR yang terlambat mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi pada surat kabar lokal dan/atau menempelkannya pada papan pengumuman atau media lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), masing-masing dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan. (2) BPR yang tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi pada surat kabar lokal dan/atau menempelkannya pada papan pengumuman atau media lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), masing-masing dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Pasal 25 (1) BPR yang terlambat menyampaikan bukti pengumuman dan/atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), masing-masing dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan. (2) BPR … -24- (2) BPR yang tidak menyampaikan bukti pengumuman dan/atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), masing-masing dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Bagian Ketiga Hubungan Antara BPR, Akuntan Publik dan Bank Indonesia Pasal 26 BPR yang tidak menyampaikan fotokopi perjanjian kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa teguran tertulis. Pasal 27 Akuntan Publik dan/atau Kantor Akuntan Publik yang melanggar ketentuan dalam Pasal 18 dan/atau Pasal 19 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa: a. penghapusan … -25- a. penghapusan nama Akuntan Publik dan/atau Kantor Akuntan Publik dari daftar Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik yang terdaftar di Bank Indonesia; dan/atau b. penyampaian usulan kepada instansi yang berwenang untuk mencabut atau membatalkan izin usaha sebagai pemberi jasa bagi bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB VII LAIN-LAIN Pasal 28 BPR yang telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 dan Pasal 25, tetap diwajibkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 29 Pembebanan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 dan Pasal 25, dilakukan dengan cara transfer atau tunai kepada Bank Indonesia. Pasal 30 Apabila batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), Pasal 5 ayat (4), Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) . . . -26- dan ayat (2), Pasal 17 ayat (4), dan Pasal 19 jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka batas waktu kewajiban jatuh pada hari kerja berikutnya. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 31 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 32 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/20/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4646), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku bagi BPR. Pasal 33 Peraturan Bank Indonesia ini tidak diberlakukan bagi Bank Perkreditan Rakyat eks Badan Kredit Desa (BKD) yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 dan Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9. Pasal 34 … -27- Pasal 34 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan September 2013 dan Laporan Tahunan posisi akhir tahun 2013. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 21 Mei 2013 GUBERNUR BANK INDONESIA DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 94 DKBU PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/3/PBI/2013 TENTANG TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK PERKREDITAN RAKYAT UMUM Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Bank Perkreditan Rakyat wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia dan mengumumkan laporan keuangan dalam bentuk neraca, laporan laba rugi, dan penjelasannya, serta laporan berkala lainnya dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat melalui penerapan Good Corporate Governance, yang mana salah satu aspek pentingnya adalah transparansi kondisi keuangan kepada publik, maka laporan keuangan yang diumumkan harus diyakini dapat diakses dengan mudah oleh para stakeholders untuk dapat melindungi kepentingan masyarakat penyimpan dana, investor dan/atau pengguna lainnya sehingga akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap perbankan nasional. Agar laporan keuangan dapat memberikan informasi yang akurat dan benar serta dapat diperbandingkan maka laporan keuangan harus disusun ... -2- disusun sesuai dengan standar akuntansi serta pedoman pencatatan dan pelaporan yang berlaku bagi Bank Perkreditan Rakyat. Dalam kaitan dengan kewajiban untuk diaudit oleh akuntan publik, perlu penyempurnaan terhadap aturan mengenai ruang lingkup audit, materi perjanjian antara akuntan publik dan Bank Perkreditan Rakyat serta komunikasi akuntan publik dengan Bank Indonesia. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan Keuangan Tahunan yang telah dipertanggungjawabkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota dibuktikan dengan penyampaian ... -3- penyampaian risalah Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Contoh: Penyampaian Laporan Tahunan 2012 yang wajib diaudit oleh Akuntan Publik dinyatakan terlambat apabila disampaikan dalam kurun waktu 1 Mei sampai dengan 31 Mei 2013. Ayat (2) Contoh: Laporan Tahunan 2012 yang wajib diaudit oleh Akuntan Publik dinyatakan tidak disampaikan apabila disampaikan setelah tanggal 31 Mei 2013. Ayat (3) ... -4- Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “surat kabar harian lokal” adalah surat kabar yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR. Yang dimaksud dengan “media lainnya” termasuk segala sarana yang digunakan oleh BPR untuk menempelkan laporan keuangan, misalnya dinding depan gedung BPR. Yang dimaksud dengan “mudah dibaca oleh publik” adalah Laporan Keuangan Publikasi yang ditempelkan pada papan pengumuman atau media lain di kantor BPR yang langsung dapat dilihat dan dibaca oleh masyarakat umum. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Contoh: Laporan ... -5- Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2013 ditempelkan pada papan pengumuman/media lainnya hingga masuk periode pengumuman Laporan Keuangan Publikasi bulan Juni 2013 Yang dimaksud dengan kantor BPR adalah Kantor Pusat, Kantor Cabang dan Kantor Kas Ayat (2) Contoh: Pada saat Pemeriksaan bulan Agustus 2013, BPR tidak menempelkan Laporan Keuangan Publikasi pada papan pengumuman/media lainnya yang mudah dibaca oleh Publik pada salah satu kantor BPR untuk posisi akhir Juni 2013, maka BPR akan dikenakan sanksi tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi pada periode Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir Juni 2013. Pasal 11 Ayat (1) Contoh: Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2013, BPR dinyatakan terlambat mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi jika diumumkan dalam kurun waktu 1 Mei sampai dengan 31 Mei 2013. Ayat (2) Contoh: Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2013, BPR dinyatakan tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi jika diumumkan setelah tanggal 31 Mei 2013. Ayat (3) ... -6- Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Contoh: Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir Maret 2013 wajib diumumkan paling lambat tanggal 30 April 2013. Selanjutnya, BPR wajib menyampaikan guntingan surat kabar dan/atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan rekaman data Laporan Publikasi paling lambat tanggal 14 Mei 2013. Pasal 14 Ayat (1) Penyampaian rekaman data Laporan Keuangan Publikasi secara online dilakukan dengan cara mengirim atau mentransfer rekaman data secara langsung melalui fasilitas ekstranet Bank Indonesia atau sarana teknologi lainnya. Ayat (2) Penyampaian rekaman data Laporan Keuangan Publikasi secara off-line dilakukan dengan cara antara lain seperti mengirimkan USB, compact disk, atau sarana rekaman atau transfer data lainnya. Huruf a Yang dimaksud dengan “daerah yang belum tersedia fasilitas jaringan telekomunikasi” adalah daerah yang tidak mempunyai sarana jaringan telekomunikasi ... -7- telekomunikasi sesuai dengan sarana jaringan telekomunikasi yang digunakan untuk sistem Laporan Keuangan Publikasi kepada Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan yang mengakibatkan BPR pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan Keuangan Publikasi secara on-line, antara lain gangguan pada jaringan telekomunikasi, kebakaran atau pemadaman listrik. Huruf d Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Contoh: Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2013, BPR dinyatakan terlambat menyampaikan halaman surat kabar dan/atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi, jika disampaikan dalam kurun waktu 15 Mei sampai dengan 14 Juni 2013. Ayat (2) Contoh: Untuk ... -8- Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2013, BPR dinyatakan tidak menyampaikan halaman surat kabar atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi yang ditempelkan pada papan pengumuman dan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi, jika disampaikan setelah tanggal 14 Juni 2013. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keterkaitan dengan BPR” adalah keterkaitan kepemilikan, kepengurusan dan/atau keuangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit BPR. Ayat (2) Pembatasan penugasan atau penunjukan dimaksudkan dalam rangka meningkatkan independensi dalam pelaksanaan audit Laporan Keuangan Tahunan BPR. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b ... -9- Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pihak yang mempunyai hubungan istimewa adalah pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku bagi BPR. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan penyebab kredit bermasalah adalah kredit yang berpengaruh secara signifikan terhadap NPL BPR. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Pengujian terhadap keandalan laporan termasuk penilaian Akuntan Publik mengenai laporan yang disampaikan ke Bank Indonesia telah disusun dan sesuai dengan data yang ada di BPR. Laporan ... -10- Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf ini termasuk laporan bulanan BPR dan laporan batas maksimum pemberian kredit. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan di bidang keuangan dan/atau perbankan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha BPR”, antara lain: a. kekurangan kewajiban penyediaan modal minimum; b. kekurangan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva produktif yang material; c. pelanggaran batas maksimum pemberian kredit; dan/atau d. kecurangan (fraud) yang bernilai material. Huruf c Laporan Hasil Audit dan Surat Komentar (Management Letter) yang disampaikan kepada Bank Indonesia adalah Laporan ... -11- Laporan Hasil Audit dan Surat Komentar yang telah ditandatangani oleh Akuntan Publik yang in charge. Huruf d Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) adalah keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan BPR tidak dapat mengumumkan dan/atau menyampaikan laporan, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. Contoh: Apabila BPR mengalami kebakaran di bulan Februari 2013 yang menyebabkan BPR mengalami kerusakan infrastruktur dan kehilangan data dan/atau informasi secara permanen, sehingga tidak dapat menyampaikan laporan atau mengumumkan laporan posisi Desember 2012 sampai dengan batas waktu penyampaian Laporan Tahunan dan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi, dikecualikan dari penyampaian pelaporan/pengumuman. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas ... -12- Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Contoh: a. Apabila BPR mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi sesuai ketentuan untuk posisi Maret 2013 pada tanggal 7 Mei 2013, maka BPR tersebut dikenakan denda keterlambatan selama 6 hari senilai Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) b. Untuk BPR dengan total aset lebih besar atau sama dengan RP10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember 2012 pada papan pengumuman atau media lainnya dan surat kabar lokal. Apabila BPR mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember 2012 pada tanggal 6 Mei 2013 baik di surat kabar lokal maupun pada papan pengumuman, maka BPR tersebut dikenakan denda sebesar Rp 500,000,00 (lima ratus ribu rupiah) dengan rincian sebagai berikut: 1) Keterlambatan ... -13- 1) Keterlambatan mengumumkan pada papan pengumuman selama 5 hari sebesar Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah); dan 2) Keterlambatan mengumumkan pada surat kabar lokal selama 5 hari sebesar Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) Ayat (2) Contoh: a. Apabila BPR mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi sesuai ketentuan untuk posisi akhir bulan Maret 2013 pada tanggal 5 Juni 2013, maka BPR tersebut dikenakan denda tidak mengumumkan laporan keuangan publikasi posisi akhir bulan Maret 2013 sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) b. Untuk BPR dengan total aset lebih besar atau sama dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember 2012 pada papan pengumuman atau media lainnya dan surat kabar lokal. Apabila BPR mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember 2012 pada tanggal 20 Juni 2013, maka BPR tersebut dikenakan denda sebesar Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dengan rincian sebagai berikut: 1) Denda tidak mengumumkan pada papan pengumuman sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah); dan 2) Denda ... -14- 2) Denda tidak mengumumkan pada surat kabar lokal sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Pasal 25 Ayat (1) Contoh: a. Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2013, BPR menyampaikan bukti pengumuman laporan keuangan publikasi atau guntingan surat kabar dan rekaman data sesuai ketentuan untuk pada tanggal 21 Mei 2013, maka BPR tersebut dikenakan denda keterlambatan menyampaikan bukti pengumuman fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan rekaman data senilai Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) yang terdiri dari: 1) Denda keterlambatan penyampaian bukti pengumuman Laporan Keuangan Publikasi selama 6 hari senilai Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah); dan 2) Denda keterlambatan menyampaikan rekaman data selama 6 hari senilai Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) b. Khusus untuk BPR dengan total aset lebih besar atau sama dengan RP10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) wajib menyampaikan bukti pengumuman Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember 2012 pada papan pengumuman atau media lainnya, surat kabar lokal dan rekaman data. Apabila BPR menyampaikan bukti pengumuman Laporan Keuangan Publikasi, guntingan ... -15- guntingan surat kabar, dan rekaman data posisi akhir bulan Desember 2012 pada tanggal 21 Mei 2013, maka BPR tersebut dikenakan denda 6 hari keterlambatan sebesar Rp 900,000,00 (sembilan ratus ribu rupiah) dengan rincian sebagai berikut : 1) Denda keterlambatan penyampaian bukti pengumuman Laporan Keuangan Publikasi selama 6 hari senilai Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah); 2) Denda keterlambatan penyampaian guntingan halaman surat kabar selama 6 hari senilai Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah); 3) Denda keterlambatan menyampaikan rekaman data selama 6 hari senilai Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) Ayat (2) Contoh: a. Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2013, apabila BPR menyampaikan bukti pengumuman Laporan Keuangan Publikasi atau guntingan surat kabar pada tanggal 20 Juni 2013, maka BPR tersebut dikenakan denda tidak menyampaikan bukti pengumuman fotokopi Laporan Keuangan Publikasi atau guntingan surat kabar dan rekaman data senilai Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) yang terdiri dari: 1) Denda tidak menyampaikan bukti pengumuman Laporan Keuangan Publikasi senilai Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah); dan 2) Denda ... -16- 2) Denda tidak menyampaikan rekaman data senilai Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). b. Khusus BPR dengan total aset lebih besar atau sama dengan RP10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Desember 2012, apabila BPR menyampaikan bukti pengumuman laporan keuangan publikasi, guntingan halaman surat kabar, dan rekaman data sesuai ketentuan untuk posisi Desember 2012 pada tanggal 20 Juni 2013 maka BPR tersebut dikenakan denda sebesar Rp9.000.000,00 (Sembilan juta rupiah) yang terdiri dari: 1) Denda tidak menyampaikan bukti pengumuman Laporan Keuangan Publikasi senilai Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah); 2) Denda tidak menyampaikan guntingan halaman surat kabar senilai Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah); dan 3) Denda tidak menyampaikan rekaman data senilai Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup Jelas ... -17- Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5418
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 15/3/PBI/2013 </reg_id> <reg_title> TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title> <set_date> 21 Mei 2013 </set_date> <effective_date> sejak Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan September 2013 dan Laporan Tahunan posisi akhir tahun 2013 </effective_date> <replaced_reg> '8/20/PBI/2006' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII', 'BAB VII Pasal 29' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/15/PBI/2005 TENTANG JUMLAH MODAL INTI MINIMUM BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan serta mendorong pertumbuhan perekonomian nasional yang berkesinambungan, dibutuhkan dukungan perbankan yang kuat khususnya dari sisi permodalan; b. bahwa penguatan permodalan bank merupakan salah satu upaya untuk memperkuat struktur perbankan Indonesia sesuai dengan tujuan yang ditetapkan dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API); c. bahwa permodalan yang kuat diperlukan antara lain untuk menyerap potensi kerugian (risiko) yang dihadapi dan mengembangkan infrastruktur dalam rangka ekspansi usaha bank serta mengantisipasi penerapan Basel Accord II diwaktu yang akan datang; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu untuk mengatur jumlah modal inti minimum Bank Umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat … - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG JUMLAH MODAL INTI MINIMUM BANK UMUM. Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tidak termasuk kantor cabang bank asing. 2. Modal … - 3 - 2. Modal Inti adalah modal disetor dan cadangan tambahan modal (disclosed reserves) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. Pasal 2 (1) Bank wajib memenuhi jumlah Modal Inti paling kurang sebesar Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah) pada tanggal 31 Desember 2007. (2) Bank yang telah memenuhi jumlah Modal Inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selanjutnya wajib memenuhi jumlah Modal Inti paling kurang sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) pada tanggal 31 Desember 2010. Pasal 3 (1) Bagi Bank yang pada saat mulai berlakunya ketentuan ini belum memenuhi jumlah Modal Inti minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Direksi Bank wajib menyusun rencana pemenuhan Modal Inti minimum dengan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham. (2) Rencana pemenuhan jumlah Modal Inti minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam bentuk action plans pemenuhan Modal Inti minimum dan disampaikan kepada Bank Indonesia lambat: a. 6 (enam) bulan untuk Bank yang belum go public dan b. 8 (delapan) bulan untuk Bank yang go public setelah berlakunya ketentuan ini. paling (3) Rencana … - 4 - (3) Rencana pemenuhan jumlah Modal Inti minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana bisnis Bank. (4) Action plans sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl.M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. Pasal 4 Bank yang tidak memenuhi jumlah Modal Inti minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, wajib membatasi kegiatan usahanya sebagai berikut : a. tidak melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Umum devisa; b. membatasi penyediaan dana per debitur dan atau per kelompok peminjam dengan plafon atau baki debet paling tinggi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), tidak termasuk Sertifikat Bank Indonesia, penyediaan dana kepada Pemerintah dan Bank; c. membatasi jumlah maksimum dana pihak ketiga yang dapat dihimpun Bank sebesar 10 (sepuluh) kali Modal Inti; dan d. menutup seluruh jaringan kantor Bank yang berada di luar wilayah propinsi kantor pusat Bank. Pasal 5 Pemenuhan kewajiban melakukan pembatasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, wajib dilakukan paling lambat: a. Tanggal … - 5 - a. Tanggal 31 Desember 2008, bagi Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); b. Tanggal 31 Desember 2011, bagi Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). Pasal 6 (1) Bank yang tidak menyampaikan action plans sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari sampai dengan Bank memenuhi ketentuan ini, dengan maksimum Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 antara lain berupa: a. kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per hari sampai dengan Bank memenuhi ketentuan ini; b. pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan atau c. larangan turut serta dalam kegiatan kliring. Pasal 7 Bank yang dikenakan kewajiban pembatasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, hanya dapat melakukan kegiatan usaha tanpa pembatasan dimaksud sepanjang memenuhi modal disetor paling kurang: a. sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah) bagi Bank melakukan kegiatan usaha secara konvensional; b. sebesar … yang - 6 - b. sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) bagi Bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Pasal 8 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 1 Juli 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 53 DPNP/DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/15/PBI/2005 TENTANG JUMLAH MODAL INTI MINIMUM BANK UMUM UMUM guna menciptakan kestabilan Dalam rangka mendukung industri perbankan yang sehat, kuat dan efisien sistem keuangan, dibutuhkan permodalan perbankan yang sehat dan kuat. Permodalan perbankan yang sehat dan kuat tersebut sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional dalam rangka menggerakkan kegiatan usaha di sektor riil. Sampai saat ini, industri perbankan nasional masih belum sepenuhnya mampu mendukung pertumbuhan ekonomi seperti yang diharapkan. Salah satu faktor yang menjadi penghambat belum optimalnya peran perbankan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi maupun kegiatan usahanya disebabkan karena masih lemahnya struktur permodalan Bank yang ada sekarang. Sementara itu, dengan jenis dan kompleksitas kegiatan usaha Bank yang semakin meningkat berpotensi menyebabkan semakin tingginya risiko yang dihadapi oleh Bank. Peningkatan risiko ini perlu diikuti oleh peningkatan modal yang diperlukan oleh Bank untuk menanggung kemungkinan kerugian yang timbul. Di sisi lain kebutuhan peningkatan modal Bank tersebut juga sejalan dengan rencana penerapan Basel Accord II di waktu yang akan datang yang mempersyaratkan kecukupan modal Bank sesuai dengan tingkat risiko yang dihadapi. Sehubungan … - 2 - Sehubungan dengan itu Bank Indonesia menganggap perlu bahwa peningkatan modal khususnya Modal Inti merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Oleh karena itu, Bank wajib memiliki minimum Modal Inti yang mendukung kegiatan usahanya. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Rencana bisnis adalah rencana bisnis sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur tentang Rencana Bisnis Bank Umum. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 4 … (Tier 1) bagi perbankan nasional dipersyaratkan untuk - 3 - Pasal 4 Huruf a Bank Indonesia akan mencabut izin sebagai Bank Umum devisa bagi Bank yang telah memperoleh izin sebagai Bank Umum devisa tetapi tidak memenuhi persyaratan jumlah Modal Inti minimum sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini. Bank tersebut di atas tidak dapat mengajukan permohonan izin menjadi Bank Umum devisa walaupun jumlah modalnya telah memenuhi persyaratan untuk menjadi Bank Umum devisa. Huruf b Ketentuan dalam huruf ini tidak mengurangi kewajiban Bank untuk memenuhi ketentuan kehati-hatian dalam penyediaan dana seperti ketentuan mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit. Huruf c Yang dimaksud dengan ”dana pihak ketiga” adalah dana pihak ketiga sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum. Huruf d Yang dimaksud dengan “jaringan kantor” adalah Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, Kantor Kas dan Kegiatan Kas di luar kantor Bank. Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 … - 4 - Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4507
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/15/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> JUMLAH MODAL INTI MINIMUM BANK UMUM </reg_title> <set_date> 1 Juli 2005 </set_date> <effective_date> 1 Juli 2005 </effective_date> <related_reg> '3/UU/2004', '7/UU/1992', '23/UU/1999', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal 6' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/17/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah; b. bahwa kestabilan nilai Rupiah yang salah satunya dipengaruhi oleh kestabilan nilai tukar Rupiah memerlukan dukungan pasar keuangan yang sehat khususnya pasar valuta asing domestik untuk menjaga kelangsungan kegiatan ekonomi nasional; c. bahwa untuk menjaga kelangsungan kegiatan ekonomi nasional dibutuhkan upaya pendalaman pasar valuta asing domestik dengan memberikan fleksibilitas bagi pelaku ekonomi, termasuk pihak asing, dalam melakukan transaksi valuta asing terhadap Rupiah; d. bahwa peran Bank Indonesia diperlukan untuk mendorong pendalaman pasar valuta asing melalui pengaturan yang komprehensif, khususnya terkait dengan transaksi valuta asing terhadap Rupiah yang dilakukan antara Bank dengan pihak asing; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing; Mengingat … - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank Umum … - 3 - Umum Syariah serta Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, termasuk kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri namun tidak termasuk kantor Bank Umum dan Bank Umum Syariah berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri. 2. Pihak Asing adalah: a. warga negara asing; b. badan hukum asing atau lembaga asing lainnya; c. warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap (permanent resident) negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia; d. kantor Bank di luar negeri dari Bank yang berkantor pusat di Indonesia; e. kantor perusahaan di luar negeri dari perusahaan yang berbadan hukum Indonesia. 3. Warga negara asing adalah orang yang memiliki kewarganegaraan selain Indonesia, termasuk yang memiliki izin menetap atau izin tinggal di Indonesia. 4. Badan Hukum Asing atau Lembaga Asing lainnya adalah badan hukum atau lembaga asing yang didirikan di luar negeri, namun tidak termasuk: a. kantor cabang Bank asing di Indonesia; b. perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA); c. badan hukum asing atau lembaga asing yang memiliki kegiatan yang bersifat nirlaba. 5. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah transaksi jual beli valuta asing terhadap Rupiah dalam bentuk: a. b. transaksi derivatif valuta asing terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla) dalam bentuk forward, swap, option, dan transaksi lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. 6. Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari pembelian atau penjualan valuta asing terhadap Rupiah. 7. Kredit … transaksi spot, termasuk transaksi yang dilakukan dengan valuta today dan/atau valuta tomorrow; - 4 - 7. Kredit atau Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga atau imbalan, termasuk: a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; atau c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain. 8. Transfer Rupiah adalah pemindahan sejumlah dana Rupiah yang ditujukan kepada penerima dana untuk kepentingan Bank ataupun nasabah Bank, baik melalui setoran tunai maupun pemindahbukuan antar rekening pada Bank yang sama atau Bank yang berbeda, yang menyebabkan bertambahnya saldo rekening Rupiah penerima dana. 9. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang, termasuk obligasi yang diterbitkan oleh lembaga multilateral atau supranasional yang seluruh dana hasil penerbitan obligasi tersebut digunakan untuk kepentingan pembiayaan kegiatan ekonomi di Indonesia, termasuk surat berharga yang berdasarkan prinsip syariah. 10. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli antara valuta asing terhadap Rupiah dengan penyerahan dananya dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. Termasuk dalam pengertian Transaksi Spot adalah transaksi dengan penyerahan valuta pada hari yang sama (today) atau dengan penyerahan 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi (tomorrow). 11. Transaksi Derivatif adalah transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai tukar dalam bentuk transaksi forward, swap, option valuta asing terhadap Rupiah, dan transaksi lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. 12. Prime … - 5 - 12. Prime Bank adalah bank yang memiliki peringkat investasi tertentu dari lembaga pemeringkat dan total aset yang termasuk dalam 200 (dua ratus) besar dunia berdasarkan informasi yang tercantum dalam Banker’s Almanac. BAB II TRANSAKSI Bagian Kesatu Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Pasal 2 (1) Bank dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Pihak Asing atas dasar suatu kontrak. (2) Dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib memiliki pedoman internal tertulis. Pasal 3 (1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan Bank dengan Pihak Asing di atas jumlah tertentu (threshold) wajib memiliki Underlying Transaksi. (2) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh kegiatan: a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri; dan/atau b. investasi berupa foreign direct investment, portfolio investment, pinjaman, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri. (3) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk: a. penggunaan … - 6 - a. penggunaan Sertifikat Bank Indonesia untuk Transaksi Derivatif; dan b. penempatan dana pada Bank (vostro) antara lain berupa tabungan, giro, deposito, dan Negotiable Certificate of Deposit (NCD). Bagian Kedua Transaksi Spot antara Bank dengan Pihak Asing Pasal 4 (1) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank melalui Transaksi Spot adalah USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) per bulan per Pihak Asing atau ekuivalennya. (2) Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melebihi nilai nominal Underlying Transaksi. (3) Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Bagian Ketiga Transaksi Derivatif antara Bank dengan Pihak Asing Pasal 5 (1) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) untuk Transaksi Derivatif jual antara Bank dengan Pihak Asing dan Transaksi Derivatif beli antara Bank dengan Pihak Asing adalah USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) baik per transaksi per Pihak Asing maupun per posisi (outstanding) masing-masing Transaksi … - 7 - Transaksi Derivatif jual dan Transaksi Derivatif beli per Bank atau ekuivalennya. (2) Transaksi Derivatif jual antara Bank dengan Pihak Asing dan Transaksi Derivatif beli antara Bank dengan Pihak Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melebihi nilai nominal Underlying Transaksi. (3) Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). (4) Jangka waktu Transaksi Derivatif dilarang melebihi jangka waktu Underlying Transaksi. Pasal 6 (1) Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank melalui Transaksi Spot di atas USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) per bulan per Pihak Asing atau ekuivalennya tidak berlaku untuk penyelesaian Transaksi Derivatif awal yang dilakukan melalui: a. perpanjangan transaksi (roll over), sepanjang jangka waktu perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka waktu Underlying Transaksi awal; b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau c. pengakhiran transaksi (unwind). (2) Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk Transaksi Derivatif antara Bank dengan Pihak Asing di atas USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) per transaksi per Pihak Asing atau ekuivalennya tidak berlaku untuk penyelesaian Transaksi Derivatif awal yang dilakukan melalui: a. perpanjangan transaksi (roll over), sepanjang jangka waktu perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka waktu Underlying Transaksi awal; b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau c. pengakhiran … - 8 - c. pengakhiran transaksi (unwind). Pasal 7 Dalam hal Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif berupa investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b maka Transaksi Derivatif wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. terdapat realisasi investasi; b. nilai Transaksi Derivatif untuk investasi paling banyak sebesar nilai realisasi investasi yang tercantum dalam dokumen Underlying Transaksi; c. penghasilan dari investasi yang akan diterima (future income) yang belum dapat dipastikan jumlah dan waktu penerimaannya, tidak dapat digunakan sebagai Underlying Transaksi; dan d. jangka waktu Transaksi Derivatif paling singkat 1 (satu) minggu yang dihitung berdasarkan tanggal dimulainya Transaksi Derivatif sampai dengan tanggal jatuh waktu Transaksi Derivatif dan paling lama sama dengan jangka waktu investasi. Pasal 8 (1) Persyaratan Transaksi Derivatif dengan jangka waktu paling singkat 1 (satu) minggu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d dikecualikan untuk transaksi forward beli valuta asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing dalam rangka penyelesaian transaksi kegiatan investasi. (2) Transaksi forward beli valuta asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing dalam rangka penyelesaian transaksi kegiatan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. jangka waktu transaksi forward beli valuta asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing sama dengan jangka waktu penyelesaian transaksi kegiatan investasi; dan b. tanggal … - 9 - b. tanggal dimulainya transaksi forward beli valuta asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing maupun berakhirnya transaksi forward beli dimaksud sama dengan tanggal dimulainya dan berakhirnya penyelesaian transaksi kegiatan investasi. Pasal 9 Penghasilan dari investasi meliputi penghasilan yang telah diterima dan penghasilan yang akan diterima (future income). Pasal 10 Dalam hal terdapat penghasilan dari investasi yang akan diterima (future income) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 yang jumlah dan waktu penerimaannya dapat dipastikan maka apabila dilakukan Transaksi Derivatif wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Transaksi Derivatif hanya dapat dilakukan melalui transaksi forward jual valuta asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing; b. transaksi forward jual valuta asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing atas penghasilan dari investasi yang telah diterima oleh Pihak Asing hanya dapat dilakukan dengan jangka waktu paling singkat 1 (satu) minggu; c. transaksi forward jual valuta asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing atas penghasilan dari investasi yang akan diterima (future income) oleh Pihak Asing hanya dapat dilakukan dengan jangka waktu paling singkat 1 (satu) minggu dan paling lama sesuai dengan jangka waktu penerimaan penghasilan; dan d. nilai transaksi forward jual valuta asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing atas penghasilan dari investasi paling banyak sebesar nilai penghasilan dari investasi yang tercantum dalam dokumenUnderlying Transaksi. Pasal … - 10 - Pasal 11 (1) Dalam hal penghasilan dari investasi yang akan diterima (future income) yang belum dapat dipastikan jumlah dan waktu penerimaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c berupa dividen, terhadap dividen dimaksud dapat dilakukan Transaksi Derivatif sebelum adanya kepastian jumlah dan waktu penerimaan. (2) Dalam hal Transaksi Derivatif dilakukan atas future income berupa dividen yang belum dapat dipastikan jumlah dan waktu penerimaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Transaksi Derivatif wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Transaksi Derivatif hanya dapat dilakukan melalui transaksi forward jual valuta asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing; b. nilai Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud pada huruf a paling banyak sebesar nilai estimasi dividen yang akan diterima Pihak Asing berdasarkan dokumen Underlying Transaksi; c. memiliki jangka waktu paling singkat 1 (satu) minggu dan paling lama sampai dengan jangka waktu penerimaan dividen; d. dalam hal selama periode Transaksi Derivatif terdapat keputusan manajemen perusahaan yang dapat memberikan kepastian mengenai jumlah dan waktu pembayaran dividen yang akan diterima Pihak Asing, Bank memastikan bahwa Pihak Asing melakukan penyesuaian atas jumlah Transaksi Derivatif Pihak Asing menjadi paling banyak sesuai dengan jumlah dividen yang sudah pasti akan diterima oleh Pihak Asing dan jangka waktu Transaksi Derivatif menjadi sesuai dengan tanggal pembayaran dividen; dan e. Bank memastikan bahwa Pihak Asing tidak melakukan penjualan saham yang dividennya digunakan sebagai Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif sampai dengan batas waktu saham masih memiliki hak atas dividen yang dijadikan Underlying Transaksi. Pasal … - 11 - Pasal 12 Transaksi Derivatif dapat pula dilakukan oleh Bank dengan Pihak Asing dalam rangka cover hedging Bank. Bagian Keempat Larangan Transaksi Bagi Bank Pasal 13 Bank dilarang melakukan transaksi tertentu dengan Pihak Asing yang meliputi: a. pemberian Kredit atau Pembiayaan dalam Rupiah dan/atau valuta asing; b. penempatan dalam Rupiah; c. pembelian Surat Berharga dalam Rupiah yang diterbitkan oleh Pihak Asing; d. e. tagihan antar kantor dalam Rupiah; tagihan antar kantor dalam valuta asing dalam rangka pemberian Kredit atau Pembiayaan di luar negeri; dan f. penyertaan modal dalam Rupiah; Pasal 14 (1) Bank dilarang melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah apabila transaksi atau potensi transaksi tersebut terkait dengan structured product. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Bank sebagai penerbit structured product maupun Bank sebagai agen penjual (selling agent) structured product. Pasal 15 (1) Larangan terhadap pemberian Kredit atau Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a tidak berlaku terhadap: a. Kredit … - 12 - a. Kredit atau Pembiayaan non tunai atau garansi yang terkait dengan kegiatan investasi di Indonesia yang memenuhi persyaratan berikut: 1. memperoleh counter guaranty (kontra garansi) dari Prime Bank yang bukan merupakan: a) kantor cabang Bank di luar negeri; dan b) kantor cabang bank asing baik di dalam maupun di luar negeri; atau 2. adanya jaminan setoran sebesar 100% (seratus persen) dari nilai garansi yang diberikan. b. Kredit atau Pembiayaan dalam bentuk sindikasi yang memenuhi persyaratan berikut: 1. mengikutsertakan Prime Bank sebagai lead bank; 2. diberikan untuk pembiayaan proyek di sektor riil untuk usaha produktif yang berada di wilayah Indonesia; dan 3. kontribusi bank asing sebagai anggota sindikasi lebih besar dibandingkan dengan kontribusi Bank di dalam negeri. c. kartu kredit; d. Kredit atau Pembiayaan konsumsi yang digunakan di dalam negeri; e. cerukan intrahari dalam Rupiah atau valuta asing yang didukung oleh dokumen-dokumen yang bersifat authenticated yang menunjukkan konfirmasi akan adanya dana masuk ke rekening bersangkutan pada hari yang sama dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia; f. cerukan dalam Rupiah atau valuta asing karena pembebanan biaya administrasi; dan g. pengambilalihan tagihan dari badan yang ditunjuk pemerintah untuk mengelola aset-aset Bank dalam rangka restrukturisasi perbankan Indonesia oleh Pihak Asing yang pembayarannya dijamin oleh Prime Bank. (2) Prime Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki peringkat investasi yang diberikan oleh lembaga pemeringkat paling kurang: 1. BBB- … - 13 - 1. BBB- dari lembaga pemeringkat Standard & Poors; 2. Baa3 dari lembaga pemeringkat Moody’s; 3. BBB- dari lembaga pemeringkat Fitch; atau 4. setara dengan angka 1, angka 2, dan/atau angka 3 berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat terkemuka lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; berdasarkan penilaian terhadap prospek usaha jangka panjang (long term outlook) Bank tersebut; dan b. memiliki total aset yang termasuk dalam 200 (dua ratus) besar dunia berdasarkan informasi yang tercantum dalam Banker’s Almanac. Pasal 16 Larangan pembelian Surat Berharga dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c tidak berlaku terhadap: a. pembelian Surat Berharga yang berkaitan dengan kegiatan ekspor barang dari Indonesia dan impor barang ke Indonesia serta perdagangan dalam negeri; dan b. pembelian bank draft dalam Rupiah yang diterbitkan oleh bank di luar negeri untuk kepentingan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri dan dana Rupiah tersebut diterima di dalam negeri oleh bukan Pihak Asing. Bagian Kelima Transfer Rupiah Pasal 17 Bank dilarang melakukan Transfer Rupiah ke luar negeri. Pasal 18 (1) Bank dapat melakukan Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki Pihak Asing dan/atau yang dimiliki secara gabungan (joint account) antara … - 14 - antara Pihak Asing dengan bukan Pihak Asing pada Bank di dalam negeri apabila: a. nilai nominal Transfer Rupiah sampai dengan ekuivalen USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) per hari per Pihak Asing; atau b. dilakukan antar rekening Rupiah yang dimiliki oleh Pihak Asing yang sama. (2) Dalam hal Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki Pihak Asing yang berasal dari selain Transaksi Derivatif dengan nilai nominal di atas ekuivalen USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) per hari per Pihak Asing, Bank penerima Transfer Rupiah wajib memastikan bahwa Pihak Asing memiliki Underlying Transaksi. (3) Dalam hal Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki Pihak Asing dalam rangka penyelesaian Transaksi Derivatif awal melalui: a. perpanjangan transaksi (roll over), sepanjang jangka waktu perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka waktu Underlying Transaksi awal; b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau c. pengakhiran transaksi (unwind), Bank tidak wajib memintaUnderlying Transaksi kepada Pihak Asing. (4) Bank penerima dari suatu Transfer Rupiah yang ditujukan kepada Pihak Asing wajib melakukan verifikasi terhadap status pihak penerima dana. BAB III PENYELESAIAN TRANSAKSI Pasal 19 (1) Penyelesaian Transaksi Spot antara Bank dengan Pihak Asing wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. (2) Penyelesaian Transaksi Derivatif antara Bank dengan Pihak Asing dapat dilakukan secara netting atau dengan pemindahan dana pokok secara penuh. (3) Penyelesaian … - 15 - (3) Penyelesaian Transaksi Derivatif antara Bank dengan Pihak Asing yang dapat dilakukan secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind). (4) Penyelesaian untuk penyesuaian Transaksi Derivatif atas pembayaran dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d dapat dilakukan secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Jangka waktu Transaksi Derivatif untuk penyelesaian perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dalam rangka investasi paling singkat 1 (satu) minggu yang dihitung berdasarkan tanggal dimulainya Transaksi Derivatif sampai dengan tanggal jatuh waktu Transaksi Derivatif, dan paling lama sama dengan jangka waktu investasi. Pasal 20 (1) Penyelesaian Transaksi Derivatif antara Bank dengan Pihak Asing secara netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) dengan nilai nominal paling banyak sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dapat dilakukan sepanjang didukung dengan Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif awal. (2) Dalam hal pada saat penyelesaian Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pihak Asing tidak dapat menyampaikan dokumen Underlying Transaksi maka penyelesaian Transaksi Derivatif dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. BAB … - 16 - BAB IV DOKUMEN TRANSAKSI Bagian Kesatu Jenis Dokumen Underlying Transaksi Pasal 21 (1) Jenis dokumen Underlying Transaksi ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Penetapan jenis dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Kedua Dokumen Transaksi Spot antara Bank dengan Pihak Asing Pasal 22 (1) Dalam hal Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank melalui Transaksi Spot dengan nilai nominal di atas USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) per bulan per Pihak Asing atau ekuivalennya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Bank wajib memastikan Pihak Asing untuk menyampaikan dokumen sebagai berikut: a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun yang berupa perkiraan; dan b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang authenticated dari Pihak Asing yang berisi informasi mengenai: 1. keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan 2. penggunaan dokumen Underlying Transaksi untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia. 3. jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi … - 17 - Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan. (2) Dalam hal Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank melalui Transaksi Spot paling banyak sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) per bulan per Pihak Asing atau ekuivalennya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Bank wajib memastikan Pihak Asing untuk menyampaikan dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang authenticated yang menyatakan bahwa pembelian valuta asing terhadap Rupiah tidak lebih dari USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) per bulan per Pihak Asing atau ekuivalennya dalam sistem perbankan di Indonesia. Bagian Ketiga Dokumen Transaksi Derivatif antara Bank dengan Pihak Asing Pasal 23 (1) Dalam hal Bank melakukan Transaksi Derivatif dengan Pihak Asing di atas USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) per transaksi per Pihak Asing atau ekuivalennya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Bank wajib memastikan Pihak Asing untuk menyampaikan dokumen sebagai berikut: a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun yang berupa perkiraan; dan b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang authenticated dari Pihak Asing yang berisi informasi mengenai: 1. keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan 2. penggunaan dokumen Underlying Transaksi untuk Transaksi Derivatif paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia. 3. jumlah … - 18 - 3. jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan pembelian valuta asing terhadap Rupiah. 4. sumber dana, jumlah penjualan, dan tanggal tersedianya valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan penjualan valuta asing terhadap Rupiah. (2) Dalam hal Pihak Asing melakukan penyelesaian Transaksi Derivatif dengan nilai nominal paling banyak sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) secara netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) maka Pihak Asing wajib menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Keempat Dokumen Transfer Rupiah Pasal 24 Dalam hal terdapat Transfer Rupiah kepada Pihak Asing yang berasal dari selain Transaksi Derivatif di atas ekuivalen USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) per hari per Pihak Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), Bank penerima Transfer Rupiah dimaksud wajib memastikan Pihak Asing untuk menyampaikan dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan. Bagian Kelima Penyampaian Dokumen Pasal 25 (1) Bank memastikan Pihak Asing menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Transaksi … - 19 - Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 pada tanggal transaksi untuk setiap transaksi; (2) Dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Transaksi Spot wajib diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal valuta. (3) Dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Transaksi Derivatif wajib diterima oleh Bank paling lambat pada 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi. (4) Dalam hal Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memiliki Underlying Transaksi berupa kegiatan perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a yang memiliki tanggal jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi, dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung Transaksi Derivatif dimaksud wajib diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal jatuh waktu. (5) Dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung Transaksi Derivatif sampai dengan jumlah tertentu (threshold) yang penyelesaiannya akan dilakukan secara netting wajib diterima oleh Bank paling lambat: a. pada tanggal valuta dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Spot; b. 5 (lima) hari kerja sejak tanggal transaksi dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif; atau c. pada tanggal jatuh waktu dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif yang memiliki Underlying Transaksi berupa kegiatan perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri yang memiliki tanggal jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja. (6) Dokumen … - 20 - (6) Dokumen Underlying Transaksi dalam rangka Transfer Rupiah sebagaimana dimaksud pada Pasal 24 wajib diterima oleh Bank paling lambat pada saat terjadinya penambahan dana Rupiah Pihak Asing. Pasal 26 (1) Bank dapat menerima dokumen pendukung Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang disampaikan oleh Pihak Asing secara berkala dengan ketentuan sebagai berikut: a. Dokumen Underlying Transaksi bersifat final; dan b. Bank telah mengetahui track record Pihak Asing dengan baik. (2) Dalam hal Bank melakukan fungsi kustodian dan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokumen pendukung dapat diterima dari Pihak Asing paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun kalender. (3) Dalam hal Bank tidak melakukan fungsi kustodian dan Pihak Asing memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokumen pendukung dapat diterima paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan kalender. (4) Bank dapat menerima dokumen pendukung yang disampaikan oleh Pihak Asing atas pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot paling banyak sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) per bulan per Pihak Asing atau ekuivalennya paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. Pasal 27 (1) Bank wajib menatausahakan dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24. (2) Penatausahaan dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari pedoman internal tertulis Bank dalam melakukan Transaksi Valuta … - 21 - Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). BAB V PELAPORAN TRANSAKSI Pasal 28 Dalam rangka pelaporan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, Bank berpedoman kepada ketentuan yang mengatur mengenai laporan harian bank umum. BAB VI SANKSI Pasal 29 Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 22 ayat (2), dan Pasal 27 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 30 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 5 ayat (4), Pasal 7, Pasal 8 ayat 2, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18 ayat (2), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24, Pasal 25 ayat (2), Pasal 25 ayat (3), Pasal 25 ayat (4), Pasal 25 ayat (5), dan/atau Pasal 25 ayat (6) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk setiap pelanggaran, dengan jumlah sanksi paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Perhitungan … - 22 - (2) Perhitungan nilai nominal transaksi yang dilanggar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. selisih antara total nilai nominal transaksi valuta asing terhadap Rupiah dengan jumlah tertentu (threshold) kewajiban pemenuhan Underlying Transaksi; atau b. total nilai nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang tidak didukung dengan Underlying Transaksi dalam hal nilai nominal transaksi di bawah jumlah tertentu (threshold) tetapi dilakukan netting. (3) Penghitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada tanggal terjadinya pelanggaran. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 31 (1) Bank yang telah melakukan Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah dengan Pihak Asing sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, tetap dapat meneruskan transaksi dimaksud sampai dengan jatuh waktu transaksi. (2) Transaksi Derivatif yang dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dan jatuh waktu setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, penyelesaiannya dapat dilakukan secara netting untuk: a. perpanjangan transaksi (roll over), sepanjang jangka waktu perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka waktu Underlying Transaksi awal; b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau c. pengakhiran transaksi (unwind). (3) Pengaturan penyelesaian transaksi secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada Peraturan Bank Indonesia ini. BAB … - 23 - BAB VIII PENUTUP Pasal 32 Peraturan Pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 33 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 50 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4504); b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/10/PBI/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 157 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5335); c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/9/PBI/2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 70 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5525); dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 34 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 10 November 2014. Agar … - 24 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 September 2014 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 September 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 213 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/17/ PBI/ 2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING I. UMUM Sebagai bank sentral yang diamanatkan undang-undang untuk mengemban tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, Bank Indonesia merumuskan berbagai kebijakan yang ditujukan bagi pencapaian tujuan tersebut termasuk upaya untuk mendorong pendalaman pasar keuangan khususnya pasar valuta asing domestik. Pendalaman pasar valuta asing domestik merupakan suatu langkah yang perlu dilakukan melalui pemberian panduan transaksi yang lebih jelas dan fleksibilitas bagi pelaku ekonomi dalam melakukan transaksi valuta asing untuk mendukung kegiatan ekonomi nasional. Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia perlu melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan terkait dengan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Domestik, melalui pengaturan yang komprehensif untuk meminimalkan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang bersifat spekulatif dan dengan tetap mendukung kelancaran aktivitas di sektor riil. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kontrak” adalah konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi yang antara lain berupa … - 2 - berupa dealing conversation, SWIFT, atau konfirmasi tertulis lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri antara lain berupa kegiatan usaha pedagang valuta asing. Huruf b Yang dimaksud dengan “foreign direct investment” adalah investasi langsung Nasabah ke luar negeri. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Huruf a Yang dimaksud dengan “realisasi investasi” adalah terjadinya aliran dana dari Pihak Asing untuk penyelesaian kegiatan investasi, termasuk investasi yang dalam proses penyelesaian. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang … - 3 - Yang dimaksud dengan “future income” antara lain capital gain, dividen, kupon, dan bunga. Huruf d Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Penghasilan dari investasi yang telah diterima dan penghasilan yang akan diterima antara lain capital gain, dividen, kupon, dan bunga. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas. Huruf e Untuk saham yang diperdagangkan di bursa saham, yang dimaksud dengan “batas waktu saham masih memiliki hak atas dividen” adalah cum date, yaitu akhir periode perdagangan saham di bursa dengan hak dividen. Pasal 12 Yang dimaksud dengan “cover hedging” adalah apabila Bank melakukan hedging kepada Pihak Asing berupa bank di luar negeri atas hedging yang telah dilakukan nasabah Bank kepada Bank … - 4 - Bank yang bersangkutan dengan Underlying Transaksi yang dimiliki oleh nasabah Bank dimaksud. Pasal 13 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “penempatan” adalah penanaman dana Bank pada Bank lain dalam bentuk giro, interbank call money, deposito berjangka, sertifikat deposito, Kredit atau Pembiayaan, dan penanaman dana lainnya yang sejenis. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “tagihan antar kantor” adalah semua tagihan yang dimiliki Bank terhadap kantor pusat atau kantor cabang di luar negeri baik untuk kepentingan Bank maupun nasabah, yaitu: 1. bagi kantor cabang bank asing di Indonesia, tagihan adalah dari kantor cabang bank asing di Indonesia terhadap kantor pusat dan/atau kantor cabang lain di luar negeri; 2. bagi bank yang berkantor pusat di Indonesia, tagihan adalah dari kantor pusat dan/atau kantor cabang di Indonesia terhadap kantor cabang di luar negeri. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan “penyertaan modal” adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada Bank dan perusahaan di bidang keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti perusahaan sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, termasuk penanaman dalam … - 5 - dalam bentuk surat utang konversi (convertible bond) dengan opsi saham (equity option) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada Bank dan/atau perusahaan yang bergerak di bidang keuangan lainnya. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan structured product adalah produk yang dikeluarkan oleh Bank yang merupakan kombinasi berbagai instrumen dengan Transaksi Derivatif valuta asing terhadap Rupiah untuk tujuan mendapatkan tambahan income (return enhancement) yang dapat mendorong Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk tujuan spekulatif dan dapat menimbulkan ketidakstabilan nilai Rupiah. Ayat (2) Termasuk Bank sebagai agen penjual structured product luar negeri (offshore product) yang terkait dengan valuta asing terhadap Rupiah. Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b 1. Yang dimaksud dengan “lead bank” adalah bank yang berperan sebagai koordinator bagi anggota sindikasi; 2. Yang dimaksud dengan “sektor riil” adalah sektor produksi dan perdagangan barang dan jasa, namun tidak termasuk sektor jasa keuangan seperti kegiatan jual beli Surat Berharga. 3. Cukup jelas. Huruf c Termasuk … - 6 - Termasuk jenis kartu kredit untuk pembelian barang produksi (procurement card). Huruf d Yang dimaksud dengan “Kredit atau Pembiayaan konsumsi” yaitu pemberian Kredit atau Pembiayaan untuk keperluan konsumsi di dalam negeri dengan cara membeli, menyewa, atau dengan cara lain, termasuk di dalamnya Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Rumah, Apartemen, Ruko, dan Rukan serta Kredit atau Pembiayaan pembelian kendaraan. Huruf e Yang dimaksud dengan dokumen yang bersifat authenticated adalah dokumen yang identitas pihak pengirim, isi pesan atau perintah, serta kode rahasia dokumen dimaksud telah disepakati para pihak sehingga hanya dapat dikonfirmasi atau diverifikasi oleh pihak penerima pesan atau penerima perintah secara individual. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Ketentuan ini tunduk kepada ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang mengenai prinsip kehati-hatian dalam rangka pembelian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 16 Huruf a Yang dimaksud dengan “pembelian Surat Berharga yang berkaitan dengan kegiatan ekspor barang dari Indonesia dan impor barang ke Indonesia” adalah pembelian Wesel Ekspor dan Banker’s Acceptance atas dasar transaksi Letter of Credit (L/C) maupun non-L/C. Yang … - 7 - Yang dimaksud dengan “pembelian Surat Berharga yang berkaitan dengan perdagangan dalam negeri” adalah pembelian wesel atau Banker’s Acceptance atas dasar transaksi Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN). Huruf b Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “status pihak penerima dana” adalah status penerima dana sebagai Pihak Asing atau bukan Pihak Asing. Pasal 19 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pemindahan dana pokok secara penuh” untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah penyerahan dana secara riil untuk masing-masing transaksi jual dan/atau transaksi beli valuta asing terhadap Rupiah sebesar nilai penuh nominal transaksi atau ekuivalennya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup … - 8 - Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan mengalami perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu pemenuhan kebutuhannya. Huruf b Yang dimaksud dengan ”pernyataan yang authenticated” adalah pernyataan yang telah diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya secara sistem. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”pernyataan yang authenticated” adalah pernyataan yang telah diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya secara sistem. Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan mengalami perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu pemenuhan kebutuhannya. Huruf b Yang dimaksud dengan ”pernyataan yang authenticated” adalah pernyataan yang telah diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya secara sistem. Ayat (2) Cukup … - 9 - Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup Jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5582
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 16/17/PBI/2014 </reg_id> <reg_title> TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING </reg_title> <set_date> 17 September 2014 </set_date> <effective_date> 10 November 2014 </effective_date> <issued_date> 17 September 2014 </issued_date> <replaced_reg> '16/9/PBI/2014', '7/14/PBI/2005', '14/10/PBI/2012' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 9/6/PBI/2007 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka mendorong pergerakan sektor riil, diperlukan peran yang lebih besar dari perbankan melalui pembiayaan kepada dunia usaha; b. bahwa dalam melaksanakan pembiayaan dimaksud, bank harus tetap mengelola risiko kredit dan meminimalkan potensi kerugian yaitu dengan menjaga kualitas aktiva dan membentuk penyisihan penghapusan aktiva yang memadai; c. bahwa penilaian kualitas aktiva bank dalam rangka mendorong pergerakan sektor riil perlu dilakukan dengan mempertimbangkan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit, pemenuhan rasio kewajiban penyediaan modal minimum, dan peringkat komposit tingkat kesehatan bank; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, diperlukan perubahan terhadap … - 2 - terhadap Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4471) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/2/PBI/2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4598); MEMUTUSKAN … - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4471) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/2/PBI/2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4598) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 6 ayat (2) diubah sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Penetapan kualitas yang sama terhadap Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) berlaku pula terhadap Aktiva Produktif yang diberikan oleh lebih dari 1 (satu) Bank yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) debitur atau 1 (satu) proyek yang sama. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk: a. Aktiva … - 4 - a. Aktiva Produktif yang diberikan oleh setiap Bank dengan jumlah lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) kepada 1 (satu) debitur atau 1 (satu) proyek yang sama; b. Aktiva Produktif yang diberikan oleh setiap Bank dengan jumlah lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) kepada 1 (satu) debitur, yang merupakan 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank tersebut; dan/atau c. Aktiva Produktif yang diberikan berdasarkan perjanjian pembiayaan bersama kepada 1 (satu) debitur atau 1 (satu) proyek yang sama. (3) Dalam hal terdapat perbedaan penetapan kualitas terhadap Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kualitas yang ditetapkan oleh setiap Bank terhadap Aktiva Produktif tersebut mengikuti kualitas Aktiva Produktif yang paling rendah. (4) Tidak termasuk dalam pengertian kualitas Aktiva Produktif yang paling rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah: a. kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan dengan menggunakan faktor penilaian tambahan berupa risiko negara (country risk) Republik Indonesia; dan/atau b. kualitas Aktiva Produktif yang telah dihapus tagih. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikecualikan dalam hal Aktiva Produktif ditetapkan berdasarkan faktor penilaian yang berbeda. 2. Diantara Pasal 6 dan Pasal 7, disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 6A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6A … - 5 - Pasal 6A (1) Bank dapat tidak menetapkan kualitas yang sama untuk Aktiva Produktif yang diberikan kepada 1 (satu) debitur yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) sepanjang debitur memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut: a. debitur memiliki beberapa proyek yang berbeda; dan b. terdapat pemisahan yang tegas antara arus kas (cash flow) dari masing-masing proyek. (2) Bank yang tidak menetapkan kualitas yang sama untuk Aktiva Produktif yang diberikan kepada 1 (satu) debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. menginformasikan kepada Bank Indonesia daftar yang memuat nama debitur beserta rincian masing-masing debitur yang meliputi proyek yang dibiayai, plafon dan baki debet Aktiva Produktif, kualitas yang ditetapkan oleh Bank, kualitas yang ditetapkan oleh Bank lain, dan alasan penetapan kualitas yang berbeda; dan b. mendokumentasikan hal-hal yang terkait dengan penetapan kualitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Apabila berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia, diketahui bahwa penilaian yang dilakukan Bank tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penilaian yang digunakan adalah penilaian sesuai ketentuan yang berlaku. 3. Penjelasan … - 6 - 3. Penjelasan Pasal 7 ayat (1) diubah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan, dan ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (4) sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) Bank wajib menyesuaikan penilaian kualitas Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 paling kurang setiap 3 (tiga) bulan yaitu untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember. (2) Bank wajib menyampaikan informasi dan penjelasan secara tertulis kepada Bank Indonesia dalam hal terdapat perbedaan penetapan kualitas Aktiva Produktif yang disebabkan oleh faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) huruf a. (3) Informasi dan penjelasan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (2) disampaikan paling lambat tanggal 13 (tiga belas) setelah posisi kewajiban penyesuaian penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Informasi dan penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. MH. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. 4. Pasal 8 dihapus. 5. Ketentuan … - 7 - 5. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 (1) Kualitas Surat Berharga yang diterbitkan atau diendos oleh bank lain ditetapkan sebagai berikut: a. untuk Surat Berharga yang memiliki peringkat dan atau aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, ditetapkan berdasarkan kualitas yang terendah antara: 1) hasil penilaian berdasarkan ketentuan kualitas Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; atau 2) hasil penilaian berdasarkan ketentuan kualitas Penempatan pada bank penerbit atau bank pemberi endosemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1). b. untuk Surat Berharga yang berdasarkan karakteristiknya tidak aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan tidak memiliki peringkat, ditetapkan berdasarkan ketentuan kualitas Penempatan pada bank penerbit atau bank pemberi endosemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1). (2) Dalam hal Surat Berharga yang diterbitkan oleh bank lain berbentuk Surat Berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari maka Bank tetap harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. 6. Pasal 23 dihapus. 7. Ketentuan Pasal 24 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat baru yakni ayat (2), sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 … - 8 - Pasal 24 (1) Kualitas Penempatan ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila: 1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan 2) tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga. b. Kurang Lancar, apabila: 1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan 2) terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga sampai dengan 5 (lima) hari kerja. c. Macet, apabila: 1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM kurang dari ketentuan yang berlaku; 2) bank yang menerima Penempatan telah ditetapkan dan diumumkan sebagai bank dengan status dalam pengawasan khusus (special surveillance) atau bank telah dikenakan sanksi pembekuan seluruh kegiatan usaha; 3) bank yang menerima Penempatan ditetapkan sebagai bank dalam likuidasi; dan atau 4) terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga lebih dari 5 (lima) hari kerja. (2) Kualitas Penempatan berupa Kredit kepada Bank Perkreditan Rakyat dalam rangka Linkage Program dengan pola executing ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar … - 9 - a. Lancar, apabila: 1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga. 2) b. Kurang Lancar, apabila: 1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan 2) terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga sampai dengan 30 (tiga puluh) hari. c. Macet, apabila: 1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM kurang dari ketentuan yang berlaku; 2) bank yang menerima Penempatan telah ditetapkan dan diumumkan sebagai bank dengan status dalam pengawasan khusus (special surveillance) atau bank telah dikenakan sanksi pembekuan seluruh kegiatan usaha; 3) bank yang menerima Penempatan ditetapkan sebagai bank dalam likuidasi; dan atau 4) terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga lebih dari 30 (tiga puluh) hari. 8. Ketentuan Pasal 25 huruf a diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 Kualitas Tagihan Akseptasi ditetapkan berdasarkan: a. ketentuan kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah bank lain; atau b. ketentuan … - 10 - b. ketentuan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah debitur. 9. Ketentuan Pasal 26 ayat (2) huruf a diubah sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 (1) Tagihan atas Surat Berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali ditetapkan berdasarkan kualitas dari pihak yang menjual Surat Berharga dengan janji dibeli kembali. (2) Kualitas dari pihak yang menjual Surat Berharga dengan janji dibeli kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan: a. ketentuan kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) apabila pihak yang menjual Surat Berharga adalah bank lain; atau b. ketentuan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 apabila pihak yang menjual Surat Berharga adalah bukan bank. (3) Tagihan atas Surat Berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali dengan aset yang mendasari berupa SBI dan atau SUN ditetapkan memiliki kualitas Lancar. 10. Ketentuan Pasal 27 huruf a diubah sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut: Pasal 27 Kualitas Tagihan Derivatif ditetapkan berdasarkan: a. ketentuan … - 11 - a. ketentuan penetapan kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) apabila pihak lawan transaksi (counterparty) adalah bank lain; atau b. ketentuan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 apabila pihak lawan transaksi (counterparty) adalah bukan bank. 11. Ketentuan Pasal 31 huruf a diubah sehingga Pasal 31 berbunyi sebagai berikut: Pasal 31 Kualitas Transaksi Rekening Administratif ditetapkan berdasarkan: a. ketentuan penetapan kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) apabila pihak lawan transaksi (counterparty) Transaksi Rekening Administratif tersebut adalah bank lain; atau b. ketentuan penetapan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 apabila pihak lawan transaksi (counterparty) Transaksi Rekening Administratif tersebut adalah debitur. 12. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 (1) Penetapan kualitas dapat hanya didasarkan atas ketepatan pembayaran pokok dan atau bunga, untuk: a. Kredit dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap Bank kepada 1 (satu) debitur atau 1 (satu) proyek dengan jumlah kurang dari atau sama dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); b. Kredit … - 12 - b. Kredit dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap Bank kepada debitur Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan jumlah: 1) Lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah) bagi Bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a) memiliki predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control system) untuk risiko kredit “sangat memadai” (strong); b) memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan c) memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan Bank paling kurang 3 (PK-3). 2) Lebih dari Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) bagi Bank yang yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a) memiliki predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit “dapat diandalkan” (acceptable); b) memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan c) memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan Bank paling kurang 3 (PK-3); c. Kredit … - 13 - c. Kredit dan penyediaan dana lain kepada debitur dengan lokasi kegiatan usaha berada di daerah tertentu dengan jumlah kurang dari atau sama dengan Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2) Predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit, rasio KPMM, dan peringkat komposit tingkat kesehatan Bank yang digunakan dalam penilaian kualitas Kredit dan penyediaan dana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b didasarkan pada penilaian Bank Indonesia yang diberitahukan kepada Bank pada tiap semester. (3) Penggunaan predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit, rasio KPMM, dan peringkat komposit tingkat kesehatan Bank dalam penilaian kualitas Kredit dan penyediaan dana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan sebagai berikut: a. penilaian kualitas Kredit dan penyediaan dana lainnya bulan Januari sampai dengan Juni menggunakan predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit, rasio KPMM, dan peringkat komposit tingkat kesehatan Bank selambat-lambatnya posisi bulan September; dan b. penilaian kualitas Kredit dan penyediaan dana lainnya bulan Juli sampai dengan Desember menggunakan predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit, rasio KPMM, dan peringkat komposit tingkat kesehatan Bank selambat-lambatnya posisi bulan Maret. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diberlakukan untuk Kredit dan penyediaan dana lainnya yang diberikan … - 14 - diberikan kepada 1 (satu) debitur Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan jumlah lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) yang merupakan: a. Kredit yang direstrukturisasi; dan atau b. Penyediaan dana kepada 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank. (5) Penetapan kualitas kredit yang direstrukturisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a tetap dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 57, Pasal 58, dan Pasal 59. (6) Dalam hal terdapat penyimpangan yang signifikan dalam prinsip perkreditan yang sehat, Bank Indonesia dapat menetapkan penilaian kualitas Aktiva Produktif yang diberikan oleh Bank kepada debitur Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berdasarkan faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. 13. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46 Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA ditetapkan sebagai berikut: a. Surat Berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia atau memiliki peringkat investasi dan diikat secara gadai; tanah, gedung, dan rumah tinggal yang diikat dengan hak tanggungan; b. c. mesin yang merupakan satu kesatuan dengan tanah dan diikat dengan hak tanggungan; d. pesawat udara atau kapal laut dengan ukuran di atas 20 (dua puluh) meter kubik yang diikat dengan hipotek; e. kendaraan … - 15 - e. kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia; dan atau f. resi gudang yang diikat dengan hak jaminan atas resi gudang. 14. Ketentuan Pasal 48 ayat (1) diubah sehingga Pasal 48 berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 (1) Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA ditetapkan sebagai berikut: a. Surat Berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia atau memiliki peringkat investasi, paling tinggi sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari nilai yang tercatat di bursa efek pada akhir bulan; b. tanah, gedung, rumah tinggal, mesin yang dianggap sebagai satu kesatuan dengan tanah, pesawat udara, kapal laut, kendaraan bermotor, persediaan, dan resi gudang, paling tinggi sebesar: 1) 70% (tujuh puluh perseratus) dari penilaian, apabila penilaian dilakukan dalam 12 (dua belas) bulan terakhir; 2) 50% (lima puluh perseratus) dari penilaian, apabila penilaian yang dilakukan telah melampaui jangka waktu 12 (dua belas) bulan namun belum melampaui 18 (delapan belas) bulan; 3) 30% (tiga puluh perseratus) dari penilaian, apabila penilaian yang dilakukan telah melampaui jangka waktu 18 (delapan belas) bulan namun belum melampaui 24 (dua puluh empat) bulan; 4) 0% … - 16 - 4) 0% (nol perseratus) dari penilaian, apabila penilaian yang dilakukan telah melampaui jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan. (2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh penilai independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (7) atau penilai intern Bank, sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. (3) Bank wajib menggunakan nilai yang terendah apabila terdapat beberapa nilai dari penilai independen atau penilai intern. 15. Penjelasan Pasal 57 ayat (2) diubah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan, dan ketentuan Pasal 57 ayat (5) diubah, serta ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (6), sehingga Pasal 57 berbunyi sebagai berikut: Pasal 57 (1) Kualitas Kredit setelah dilakukan restrukturisasi ditetapkan sebagai berikut: a. b. kualitas tidak berubah untuk Kredit yang sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong Lancar, Dalam Perhatian Khusus atau Kurang Lancar. (2) Kualitas Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat: a. menjadi Lancar, apabila tidak terdapat tunggakan selama 3 (tiga) kali periode pembayaran angsuran pokok dan atau bunga secara berturut-turut sesuai dengan perjanjian Restrukturisasi Kredit; atau b. kembali … setinggi-tingginya Kurang Lancar untuk Kredit yang sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet; - 17 - b. kembali sesuai dengan kualitas Kredit sebelum dilakukan Restrukturisasi Kredit atau kualitas yang sebenarnya apabila lebih buruk sesuai dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 jika debitur tidak memenuhi kriteria dan atau syarat- syarat dalam perjanjian Restrukturisasi Kredit dan atau pelaksanaan Restrukturisasi Kredit tidak didukung dengan analisis dan dokumentasi yang memadai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56. (3) Dalam hal periode pembayaran angsuran pokok dan atau bunga kurang dari 1 (satu) bulan, peningkatan kualitas menjadi Lancar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilakukan secepat-cepatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak dilakukan Restrukturisasi Kredit. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku juga untuk restrukturisasi ulang terhadap Kredit. (5) Kualitas tambahan Kredit sebagai bagian dari paket Restrukturisasi Kredit ditetapkan sama dengan kualitas Kredit yang direstrukturisasi. (6) Penetapan kualitas Kredit yang direstrukturisasi sampai dengan jumlah Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) didasarkan atas ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga. 16. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59 (1) Penilaian kualitas Kredit yang telah direstrukturisasi wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak penetapan kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) dan Pasal 58 huruf b. (2) Penilaian … - 18 - (2) Penilaian kualitas Kredit yang tidak memenuhi kriteria dan atau syarat- syarat dalam perjanjian Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf b wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. 17. Penjelasan Pasal 60 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan sehingga Pasal 60 berbunyi sebagai berikut: Pasal 60 Penetapan kualitas Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 6A berlaku pula bagi Kredit yang direstrukturisasi. 18. Penjelasan Pasal 70 ayat (4) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan sehingga Pasal 70 berbunyi sebagai berikut: Pasal 70 (1) Hapus buku dan atau hapus tagih hanya dapat dilakukan terhadap penyediaan dana yang memiliki kualitas Macet. (2) Hapus buku tidak dapat dilakukan terhadap sebagian penyediaan dana (partial write off). (3) Hapus tagih dapat dilakukan baik untuk sebagian atau seluruh penyediaan dana. (4) Hapus tagih terhadap sebagian penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dilakukan dalam rangka Restrukturisasi Kredit atau dalam rangka penyelesaian Kredit. 19. Ketentuan ayat (1) diubah sehingga Pasal 73 berbunyi sebagai berikut: Pasal 73 … - 19 - Pasal 73 (1) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 22, Pasal 33 ayat (3), Pasal 34, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 47, Pasal 49, Pasal 50 ayat (2), Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64 ayat (2), Pasal 65, Pasal 66, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71 dan Pasal 72 dapat dikenakan sanksi administratif antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan kegiatan usaha tertentu; c. pencantuman pengurus dan atau pemegang saham Bank dalam daftar orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus Bank, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. (2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 17 dan Pasal 18 wajib membentuk PPA sebesar 100% (seratus perseratus) terhadap Aktiva dimaksud. Pasal II Bank Indonesia dapat mengatur kembali ketentuan Pasal I angka 1, angka 2, dan angka 12 dengan memperhatikan perkembangan kondisi perekonomian dan perkembangan kinerja perbankan. Pasal III … - 20 - Pasal III Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 2 April 2007. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 30 Maret 2007 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 54 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 9/6/PBI/2006 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM UMUM Sebagai suatu lembaga yang fungsi utamanya adalah menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, peran perbankan untuk menunjang pergerakan sektor riil melalui pembiayaan sangat diharapkan. Dalam melaksanakan pembiayaan dimaksud, bank perlu tetap mengelola eksposur risiko kredit pada tingkat yang memadai sehingga dapat meminimalkan potensi kerugian dari penyediaan dana. Berkaitan dengan hal tersebut, penerapan manajemen risiko kredit pada setiap tahapan penyediaan dana, termasuk menjaga kualitas aktiva dan pembentukan penyisihan penghapusan yang cukup, perlu dilakukan secara efektif. Dalam rangka mengoptimalkan peran pembiayaan oleh perbankan dan melihat perkembangan kondisi yang terjadi dewasa ini, dipandang perlu untuk memberikan keringanan sementara terhadap beberapa ketentuan dalam penilaian kualitas aktiva bank. Keringanan ini diharapkan dapat membantu percepatan pergerakan penyaluran dana ke sektor riil. Namun demikian keringanan ini diberikan dengan tetap memperhatikan faktor penerapan prinsip kehati-hatian dan … - 2 - dan manajemen risiko pada bank. Faktor-faktor tersebut antara lain sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit, pemenuhan rasio kewajiban penyediaan modal minimum, dan peringkat komposit tingkat kesehatan bank. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 6 Ayat (1) Contoh 1: Bank B dan Bank C memberikan fasilitas Kredit kepada debitur A. Karena fasilitas diberikan kepada debitur yang sama maka kualitas yang ditetapkan untuk fasilitas Kredit tersebut, baik oleh Bank B maupun Bank C, wajib sama. Contoh 2: Bank B dan Bank C masing-masing memberikan fasilitas Kredit kepada debitur D dan debitur E yang digunakan untuk membiayai proyek yang sama yaitu proyek A. Karena fasilitas diberikan kepada proyek yang sama maka kualitas yang ditetapkan untuk fasilitas Kredit tersebut, baik kepada debitur D oleh Bank B maupun kepada debitur E oleh Bank C, wajib sama. Ayat (2) Huruf a Batas jumlah (limit) sebagaimana dimaksud dalam pengaturan … - 3 - pengaturan ini diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas yang diberikan (plafon) kepada setiap debitur atau setiap proyek, baik untuk debitur individual maupun Kelompok Peminjam dalam hal Aktiva Produktif digunakan untuk membiayai proyek yang sama. Aktiva Produktif yang diberikan oleh setiap Bank dengan jumlah lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) kepada 1 (satu) debitur atau 1 (satu) proyek yang sama, tidak dipengaruhi oleh kualitas Aktiva Produktif yang diberikan oleh Bank lain kepada debitur atau proyek yang sama dengan jumlah kurang dari atau sama dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). Huruf b Yang dimaksud dengan 50 (lima puluh) debitur terbesar adalah 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank secara individual. Batas jumlah (limit) sebagaimana dimaksud dalam pengaturan ini diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas yang diberikan (plafon) kepada setiap debitur. Aktiva Produktif yang diberikan oleh Bank dengan jumlah lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) kepada 1 (satu) debitur yang merupakan … - 4 - merupakan 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank tersebut, tidak dipengaruhi oleh kualitas Aktiva Produktif yang diberikan oleh Bank lain kepada debitur atau proyek yang sama dengan jumlah kurang dari atau sama dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). Huruf c Termasuk dalam pengertian Aktiva Produktif yang diberikan berdasarkan perjanjian pembiayaan bersama adalah struktur pembiayaan seperti sindikasi. Dalam menetapkan kualitas yang sama terhadap Aktiva Produktif yang diberikan berdasarkan perjanjian pembiayaan bersama tidak terdapat batasan jumlah minimum. Dengan demikian, Aktiva Produktif yang diberikan kepada 1 (satu) debitur atau 1 (satu) proyek yang sama berdasarkan perjanjian pembiayaan bersama wajib ditetapkan kualitas yang sama meskipun Aktiva Produktif yang diberikan oleh setiap Bank kurang dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). Ayat (3) Contoh: Bank B dan Bank C memberikan fasilitas Kredit kepada debitur A, dengan hasil penilaian pada masing-masing Bank adalah sebagai berikut: a. Dalam … - 5 - a. Dalam Perhatian Khusus, pada Bank B; dan b. Kurang Lancar, pada Bank C Karena Kredit digunakan untuk membiayai 1 (satu) debitur, maka kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan untuk Kredit kepada debitur A mengikuti kualitas Kredit yang paling rendah yaitu Kurang Lancar. Ayat (4) Huruf a Hasil penilaian kualitas Aktiva Produktif yang lebih rendah yang semata-mata disebabkan oleh penggunaan faktor penilaian tambahan berupa risiko negara (country risk) Republik Indonesia, tidak mempengaruhi hasil penilaian kualitas Aktiva Produktif yang diberikan kepada debitur atau proyek yang sama di Bank lain yang ditetapkan dengan faktor penilaian sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia yang berlaku tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. Namun, dalam hal kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan dengan faktor penilaian tambahan berupa risiko negara (country risk) Republik Indonesia memberikan hasil penilaian yang lebih baik dibandingkan penilaian Aktiva Produktif yang dinilai dengan faktor penilaian dalam Peraturan Bank Indonesia yang berlaku tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, maka kualitas Aktiva Produktif … - 6 - Produktif tetap mengikuti kualitas yang paling rendah yaitu kualitas yang ditetapkan berdasarkan faktor penilaian dalam Peraturan Bank Indonesia tersebut. Huruf b Cukup jelas. Ayat (5) Contoh: Kualitas Kredit ditetapkan berdasarkan faktor penilaian berupa prospek usaha, kinerja (performance) debitur, dan kemampuan membayar. Sedangkan kualitas Surat Berharga yang diakui berdasarkan harga perolehan ditetapkan berdasarkan faktor penilaian berupa peringkat, ketepatan pembayaran kupon atau kewajiban lainnya yang sejenis dan saat jatuh tempo. Oleh karena terdapat perbedaan faktor penilaian untuk penetapan kualitas Kredit dan Surat Berharga maka kualitas Kredit dan Surat Berharga dapat ditetapkan secara berbeda meskipun untuk debitur atau proyek yang sama. Angka 2 Pasal 6A Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b … - 7 - Huruf b Termasuk dalam pengertian pemisahan yang tegas antara arus kas dari masing-masing proyek adalah tidak terdapat keterkaitan yang signifikan dalam arus kas antar proyek. Keterkaitan arus kas dianggap signifikan antara lain apabila kelangsungan arus kas suatu proyek akan terganggu secara signifikan apabila arus kas proyek lain mengalami gangguan. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dokumentasi antara lain mencakup dokumen pendukung yang menjelaskan kondisi debitur sehingga tidak perlu melakukan penetapan kualitas yang sama dengan Bank lain. Dokumen pendukung tersebut merupakan data atau informasi yang mendukung penilaian dari aspek prospek usaha, kinerja maupun kemampuan membayar debitur serta pertimbangan Bank dalam melakukan penilaian, yang dapat berupa namun tidak terbatas pada dokumen mengenai sumber dana/cash flow. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 7 Ayat (1) … - 8 - Ayat (1) Penyesuaian penilaian kualitas Aktiva Produktif untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember dilakukan dengan mengacu pada penilaian kualitas bulan sebelumnya. Dalam melakukan penyesuaian penilaian kualitas Aktiva Produktif, Bank yang mengikuti penetapan kualitas yang lebih rendah di bank lain (Bank follower) perlu menatausahakan secara khusus perubahan kualitas Aktiva Produktif yang disebabkan oleh mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Selanjutnya Bank follower secara aktif melakukan monitoring setiap bulan terhadap kualitas Aktiva Produktif yang ditatausahakan secara khusus tersebut untuk melihat perkembangan kualitas Aktiva Produktif debitur atau proyek dimaksud di Bank lain (Bank initiator). Bank yang tidak perlu melakukan penyesuaian kualitas debitur (Bank initiator) dengan kualitas debitur yang sama di Bank lain karena kualitas debitur tersebut sama atau lebih buruk dengan kualitas di Bank lain dan kemudian kondisi debitur dimaksud membaik pada bulan berikutnya, maka Bank dimaksud harus segera memperbaiki kualitas debitur tersebut tanpa perlu menunggu penilaian kualitas debitur di Bank lain posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Untuk … - 9 - Untuk posisi akhir bulan selain akhir bulan Maret, Juni, September dan Desember, Bank follower dapat melakukan perubahan kualitas kredit yang telah disesuaikan karena penerapan UCS mengikuti perbaikan kualitas aktiva yang telah dilakukan penyesuaian oleh Bank initiator, sepanjang kualitas tersebut memang sesuai dengan kualitas aktiva di Bank follower. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Dalam hal tanggal 13 (tiga belas) jatuh pada hari libur, informasi dan penjelasan tertulis tersebut disampaikan paling lambat pada hari kerja sebelumnya. Informasi dan penjelasan serta laporan hanya wajib disampaikan apabila terdapat penilaian kualitas Aktiva Produktif yang tidak disamakan dengan penilaian di Bank lain Ayat (4) Cukup jelas. Angka 4 Cukup Jelas. Angka 5 Pasal 20 Ayat (1) Huruf a … - 10 - Huruf a Cukup jelas. Huruf b Surat Berharga yang berdasarkan karakteristiknya tidak aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan tidak memiliki peringkat antara lain adalah medium term notes dan pengambilalihan wesel ekspor. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 6 Cukup Jelas. Angka 7 Pasal 24 Rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) sesuai dengan ketentuan yang berlaku adalah rasio KPMM yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk bank di dalam negeri atau otoritas yang berwenang untuk bank di luar negeri. Rasio KPMM didasarkan pada laporan keuangan publikasi terakhir sesuai dengan periode yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk bank di dalam negeri atau otoritas yang berwenang untuk bank di luar negeri. Apabila laporan keuangan publikasi terakhir atau data KPMM pada laporan keuangan publikasi terakhir tidak tersedia, bank dianggap memiliki KPMM kurang dari ketentuan yang berlaku. Yang … - 11 - Yang dimaksud dengan Linkage Program adalah kerja sama antara Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam menyalurkan kredit kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil. Linkage Program dengan pola executing adalah pinjaman yang diberikan dari Bank Umum kepada BPR dalam rangka pembiayaan untuk diteruspinjamkan kepada nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil. Angka 8 Pasal 25 Cukup jelas. Angka 9 Pasal 26 Ayat (1) Surat Berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repurchase agreement) adalah pembelian Surat Berharga dari pihak lain yang dilengkapi dengan perjanjian untuk menjual kembali kepada pihak lain tersebut pada akhir periode dengan harga atau imbalan yang telah disepakati sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 10 … - 12 - Angka 10 Pasal 27 Sesuai ketentuan yang berlaku, transaksi derivatif yang diperkenankan adalah yang berkaitan dengan suku bunga atau valuta asing. Angka 11 Pasal 31 Cukup jelas. Angka 12 Pasal 35 Ayat (1) Batas jumlah (limit) sebagaimana dimaksud dalam pengaturan ini diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas yang diberikan (plafon) kepada setiap debitur atau proyek, baik untuk debitur individual maupun Kelompok Peminjam dalam hal Kredit dan penyediaan dana lainnya digunakan untuk membiayai proyek yang sama. Huruf a Yang dimaksud dengan penyediaan dana lainnya adalah penerbitan jaminan dan atau pembukaan letter of credit. Termasuk sebagai Kredit dan penyediaan dana lainnya adalah semua jenis Kredit atau penyediaan dana lainnya yang diberikan kepada semua golongan debitur. Huruf b … - 13 - Huruf b Pengertian Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Definisi Usaha Kecil saat ini antara lain diatur dalam Undang-Undang No.9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil, yaitu usaha yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah); c. milik Warga Negara Indonesia; d. berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar; e. berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi. Adapun definisi Usaha Menengah saat ini antara lain diatur dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia … - 14 - Indonesia No.10 tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah, yaitu usaha yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; b. milik warga negara Indonesia; c. berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, dan berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha besar; d. berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum dan atau badan usaha yang berbadan hukum. Angka 1) Huruf a) Kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control system) meliputi: a. pengawasan aktif Komisaris dan Direksi Bank; b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit; c. kecukupan … - 15 - c. kecukupan identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan sistem informasi manajemen risiko; dan d. sistem pengendalian intern yang komprehensif, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum. Secara umum, predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit yang sangat memadai (strong) dicerminkan melalui penerapan seluruh komponen sistem pengendalian risiko tersebut di atas terhadap seluruh risiko kredit yang efektif untuk memelihara kondisi internal Bank yang sehat. Apabila terdapat kelemahan dalam penerapan pengendalian intern, kelemahan tersebut tidak bersifat material terhadap risiko kredit dan dapat segera dilakukan tindakan korektif sehingga tidak menimbulkan pengaruh yang signifikan terhadap kondisi Bank. Huruf b) Cukup Jelas. Huruf c) … - 16 - Huruf c) Peringkat komposit adalah peringkat komposit sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Angka 2) Huruf a) Kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control system) meliputi: a. pengawasan aktif Komisaris dan Direksi Bank; b. kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan limit; c. kecukupan identifikasi, pengukuran, pemantauan dan sistem informasi manajemen risiko; dan d. sistem pengendalian intern yang komprehensif, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum. Secara umum, predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit dapat diandalkan (acceptable) … - 17 - (acceptable) dicerminkan melalui penerapan seluruh komponen sistem pengendalian risiko tersebut di atas terhadap seluruh risiko kredit yang cukup efektif untuk memelihara kondisi internal Bank yang sehat. Apabila terdapat kelemahan dalam penerapan pengendalian intern terhadap risiko kredit, kelemahan tersebut tidak bersifat material terhadap risiko kredit dan apabila tidak segera dilakukan tindakan korektif dapat menimbulkan pengaruh yang signifikan terhadap kondisi Bank. Huruf b) Cukup Jelas. Huruf c) Peringkat komposit adalah peringkat komposit sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Huruf c Kredit dan penyediaan dana lain kepada debitur dengan lokasi kegiatan usaha berada di daerah tertentu adalah Kredit atau penyediaan dana lain dari Bank untuk investasi dan atau modal kerja … - 18 - kerja di daerah tertentu yang menurut penilaian Bank Indonesia memerlukan penanganan khusus untuk mendorong pembangunan ekonomi di daerah yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain adalah penerbitan jaminan atau pembukaan letter of credit. Batas pemberian fasilitas Kredit dan penyediaan dana lain akan diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas yang diterima oleh setiap debitur baik untuk debitur individual maupun kelompok peminjam yang diterima dari satu Bank. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan 50 (lima puluh) debitur terbesar adalah 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank secara individual. Aktiva Produktif yang diberikan oleh Bank dengan jumlah lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) kepada 1 (satu) debitur yang merupakan … - 19 - merupakan 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank tidak dipengaruhi oleh kualitas Aktiva Produktif yang diberikan oleh Bank lain kepada debitur atau proyek yang sama dengan jumlah kurang dari atau sama dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). Ayat (5) Cukup Jelas. Ayat (6) Cukup Jelas. Angka 13 Pasal 46 Huruf a Kriteria aktif diperdagangkan di bursa efek adalah terdapat volume transaksi yang signifikan dan wajar (arms length transaction) di bursa efek di Indonesia dalam 10 (sepuluh) hari kerja terakhir. Peringkat investasi didasarkan pada peringkat yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat dalam satu tahun terakhir. Apabila peringkat yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat dalam satu tahun terakhir tidak tersedia maka Surat Berharga dianggap tidak memiliki peringkat. Huruf b Pengikatan agunan secara hak tanggungan harus sesuai dengan ketentuan dan prosedur dalam peraturan perundang-undangan … - 20 - perundang-undangan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi terhadap agunan dimaksud. Huruf c Pengikatan agunan secara hak tanggungan harus sesuai dengan ketentuan dan prosedur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi terhadap agunan dimaksud. Pemasangan hak tanggungan atas tanah beserta mesin yang berada diatasnya harus dicantumkan dengan jelas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Huruf d Pengikatan agunan secara hipotek harus sesuai dengan ketentuan dan prosedur dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi terhadap agunan dimaksud. Huruf e Pengikatan agunan secara fidusia harus sesuai dengan ketentuan dan prosedur dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi terhadap agunan dimaksud. Huruf f … - 21 - Huruf f Yang dimaksud dengan resi gudang adalah resi gudang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang dan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak jaminan atas resi gudang adalah hak jaminan yang dibebankan pada resi gudang untuk pelunasan utang, yang memberikan kedudukan untuk diutamakan bagi penerima hak jaminan terhadap kreditor yang lain, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang dan peraturan perundang- undangan lainnya. Angka 14 Pasal 48 Yang dimaksud dengan penilaian adalah pernyataan tertulis dari penilai independen atau penilai intern Bank mengenai taksiran dan pendapat atas nilai ekonomis dari agunan berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta obyektif dan relevan menurut metode dan prinsip-prinsip yang berlaku umum yang ditetapkan oleh asosiasi dan atau institusi yang berwenang. Angka 15 Pasal 57 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 22 - Ayat (2) Peningkatan kualitas Kredit dari Kurang Lancar hanya dapat dilakukan apabila tidak terdapat tunggakan selama 3 (tiga) kali periode pembayaran angsuran pokok dan atau bunga secara berturut-turut sesuai dengan perjanjian Restrukturisasi Kredit. Apabila periode dimaksud belum terpenuhi, kualitas Kredit tidak dapat ditingkatkan meskipun debitur telah membayar satu atau dua kali angsuran. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Kredit yang direstrukturisasi mencakup Kredit kepada UKM maupun Non UKM. Angka 16 Pasal 59 Cukup jelas. Angka 17 Pasal 60 Kredit yang direstrukturisasi dengan jumlah lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak dipengaruhi … - 23 - dipengaruhi oleh kualitas Kredit yang diberikan oleh Bank lain kepada debitur atau proyek yang sama dengan jumlah kurang dari atau sama dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). Angka 18 Pasal 70 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pelaksanaan hapus buku dilakukan terhadap seluruh penyediaan dana yang diberikan dan diikat dalam satu perjanjian. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Hapus tagih dalam rangka Restrukturisasi Kredit dan penyelesaian Kredit dimaksudkan untuk kepentingan transparansi kepada debitur. Restrukturisasi Kredit dengan skema hapus tagih terhadap sebagian penyediaan dana hanya dapat dilakukan untuk Kredit yang sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong kualitas macet. Penyelesaian Kredit dapat dilakukan melalui pengambilalihan agunan atau pelunasan oleh debitur. Angka 19 … - 24 - Angka 19 Pasal 73 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. Pasal III Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4716
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 9/6/PBI/2007 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM </reg_title> <set_date> 30 Maret 2007 </set_date> <effective_date> 2 April 2007 </effective_date> <changed_reg> '7/2/PBI/2005' </changed_reg> <extension_of> '8/2/PBI/2006' </extension_of> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '8/2/PBI/2006', '7/2/PBI/2005', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 19 Pasal 73' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/31/PBI/2005 TENTANG TRANSAKSI DERIVATIF GUBERNUR BANK INDONESIA Menimbang: a. bahwa dalam rangka mendukung upaya Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah diperlukan perbankan dan pasar keuangan yang sehat; b. bahwa sistem devisa bebas yang diterapkan di Indonesia telah mempercepat perkembangan dan terintegrasinya pasar keuangan Indonesia dengan pasar keuangan global, termasuk kegiatan transaksi derivatifnya; c. bahwa transaksi derivatif valuta asing margin trading yang mengandung unsur spekulatif dapat menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pergerakan nilai tukar rupiah; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta memperhatikan prinsip kehati-hatian bank, dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai transaksi derivatif oleh Bank dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 … - 2 - Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4292); M E M U T U S K A N Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI DERIVATIF. Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang … - 3 - Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia. 2. Transaksi Derivatif adalah transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti dan indeks, baik yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau instrumen, namun tidak termasuk transaksi derivatif kredit. 3. Margin Trading adalah Transaksi Derivatif tanpa pergerakan dana pokok (notional amount) sehingga yang bergerak hanya margin yang merupakan hasil perhitungan notional amount dengan selisih kurs dan atau selisih suku bunga yang mempersyaratkan atau tidak mempersyaratkan adanya margin deposit untuk menjamin pelaksanaan transaksi tersebut. 4. Margin Deposit adalah dana yang khusus dicadangkan untuk menutup kerugian-kerugian yang mungkin timbul karena Transaksi Margin Trading selama berlakunya kontrak Transaksi Margin Trading. 5. Maintenance Margin adalah jumlah Margin Deposit minimum yang tetap harus dipelihara selama berlakunya kontrak Transaksi Margin Trading. 6. Margin Call adalah pemberitahuan mengenai tambahan setoran untuk memenuhi margin deposit minimum yang telah disepakati dalam kontrak. 7. Modal adalah modal inti dan modal pelengkap sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum 8. Posisi Terbuka (Open Position) adalah posisi valuta dasar ( base currency ) Transaksi Derivatif yang masih terbuka. 9. Mark to … - 4 - 9. Mark to market adalah cara perhitungan yang didasarkan atas kurs pasar yang telah disepakati pada setiap akhir hari kerja secara konsisten bagi posisi terbuka untuk menentukan kerugian atau keuntungan. 10. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank. Pasal 2 (1) Bank dapat melakukan Transaksi Derivatif baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah. (2) Dalam melakukan Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib melakukan Mark to Market. Pasal 3 Dalam melakukan Transaksi Derivatif Bank wajib menerapkan manajemen risiko sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Penerapan Manajemen Risiko Bank Umum. Pasal 4 (1) Bank wajib memberikan penjelasan secara lengkap kepada nasabah yang akan melakukan Transaksi Derivatif . (2) Penjelasan secara lengkap kepada nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi penjelasan atas : a. risiko kredit (credit risk), b. risiko penyelesaian (settlement risk), dan c. risiko pasar (market risk). d. adanya … - 5 - d. adanya kemungkinan saldo Margin Deposit dapat menjadi nihil dan bahkan negatif sehingga Bank dapat meminta nasabah untuk menambah Margin Deposit apabila nasabah akan melanjutkan atau menutup transaksi Margin Trading. (3) Transaksi Derivatif untuk kepentingan nasabah wajib berdasarkan kontrak. (4) Kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib mencakup paling sedikit : a. pagu transaksi derivatif: b. base currency yang digunakan; c. jenis valuta atau instrumen yang dipertukarkan; d. penyelesaian transaksi derivatif (settlement); e. pembukuan laba atau rugi Transaksi Derivatif yang dilakukan; f. pencatatan atas posisi laba atau rugi; g. metode atau cara transaksi derivatif; h. besarnya komisi; i. penggunaan kurs konversi; j. advis dan konfirmasi transaksi derivatif; k. kerahasiaan; dan l. domisili dan hukum yang berlaku. (5) Khusus untuk kontrak transaksi Margin Trading, selain mencakup materi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) juga wajib memuat hal-hal sebagai berikut : a. jumlah …. - 6 - a. jumlah Margin Deposit; b. Maintenance Margin yang ditentukan; dan c. hak dan kewajiban nasabah. (6) Kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) wajib dicetak dalam ukuran huruf yang besar sehingga mudah dibaca. Pasal 5 (1) Bank dilarang memelihara posisi atas Transaksi Derivatif yang dilakukan oleh pihak terkait dengan Bank. (2) Bank dianggap memelihara posisi atas Transaksi Derivatif yang dilakukan oleh pihak terkait dengan Bank apabila Bank tidak meneruskan (pass-on) transaksi pihak terkait dengan Bank pada waktu dan jumlah yang sama secara simultan kepada Bank lain yang bukan pihak terkait. (3) Pihak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengacu pada pengertian Pihak Terkait dengan Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Pasal 6 Bank dilarang memberikan fasilitas kredit dan atau cerukan (overdraft) untuk keperluan Transaksi Derivatif kepada Nasabah termasuk pemenuhan Margin Deposit dalam rangka Transaksi Margin Trading . Pasal 7… - 7 - Pasal 7 (1) Bank hanya dapat melakukan Transaksi Derivatif yang merupakan turunan dari valuta asing dan atau suku bunga. nilainya (2)Transaksi Derivatif yang nilainya merupakan turunan dari valuta asing dan atau suku bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi, namun tidak terbatas pada : a. transaksi forward, swap, option, currency futures, dan transaksi dengan valuta today dan tomorrow yang disintetiskan sebagai Transaksi Derivatif ; dan atau b. interest rate swap, interest rate option, FRAs, dan interest rate futures. (3) Bank rupiah baik dilarang melakukan Margin Trading valuta untuk nasabah dan melakukan Transaksi sebagaimana dimaksud di pada ayat (1). Pasal 8 (1) Kerugian Bank karena Transaksi Derivatif paling banyak 10% (sepuluh perseratus) dari Modal Bank secara kumulatif dalam tahun berjalan. (2) Perhitungan batas kerugian Bank paling banyak 10% sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk kerugian dari Transaksi Derivatif yang belum di set-off dengan keuntungan transaksi non derivatif yang langsung terkait dengan Transaksi Derivatif dimaksud. 3. Dalam hal … asing terhadap kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Derivatif luar transaksi - 8 - (3) Dalam hal kerugian Bank mencapai lebih dari 10% (sepuluh perseratus) dari Modal Bank, Bank dilarang melakukan Transaksi Derivatif baru serta wajib melapor kepada Bank Indonesia mengenai tindakan yang akan dilakukan untuk mengatasi kerugian paling lambat pada hari kerja berikutnya. Pasal 9 (1) Bank yang melakukan Transaksi Margin Trading untuk kepentingan nasabah tanpa diikuti pergerakan dana atau instrumen wajib meminta nasabah untuk memenuhi: a. Margin Deposit paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari pagu Transaksi Margin Trading;dan b. Maintenance Margin paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari Margin Deposit; (2) Bank wajib melakukan Margin Call kepada nasabah dalam hal Margin Deposit telah mencapai Maintenance Margin. (3) Bank wajib menghentikan kegiatan Transaksi Derivatif untuk kepentingan nasabah apabila setelah dilakukan Margin Call nasabah tidak melakukan setoran tambahan paling lambat pada hari berikutnya. kerja (4) Bank wajib memberikan laporan kepada nasabah secara mingguan mengenai posisi Transaksi Derivatif nasabah dan laporan khusus pada saat posisi nasabah dianggap cukup membahayakan, yaitu apabila Nasabah menghadapi kemungkinan kerugian, sehingga dapat mengakibatkan … - 9 - mengakibatkan Margin Deposit yang tersedia tidak dapat menutup kerugian. Pasal 10 (1) Bank wajib menyampaikan laporan mingguan kepada Bank Indonesia mengenai Transaksi Derivatif sesuai dengan Format Laporan Transaksi Derivatif Bank-Bank sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 dan 2 yang mencakup : a. kerugian/keuntungan; dan b. posisi Transaksi Derivatif, baik untuk kepentingan bank sendiri maupun untuk kepentingan nasabah. (2) Laporan mingguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan periode sebagai berikut : a. masa laporan minggu pertama mulai tanggal 1 (satu) sampai dengan tanggal 7 (tujuh). b. masa laporan minggu kedua mulai tanggal 8 (delapan) sampai dengan tanggal 15 (lima belas). c. masa laporan minggu ketiga mulai tanggal 16 (enam belas) sampai dengan tanggal 23 (dua puluh tiga). d. masa laporan minggu keempat mulai tanggal 24 (dua puluh empat) sampai dengan akhir bulan. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya periode laporan. (4) Batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk masa untuk menyampaikan koreksi laporan. Pasal 11… - 10 - Pasal 11 (1) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari nilai nominal transaksi yang dilanggar. (2) Total kewajiban membayar untuk transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak sebesar Rp.27.000.000.000 (dua puluh tujuh milyar rupiah) dalam 1 tahun kalender. Pasal 12 Bank yang pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini masih memiliki posisi (outstanding) Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan belum jatuh tempo, maka 1 (satu) bulan setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini Bank wajib menihilkan posisi tersebut. Pasal 13 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.28/119/KEP/DIR tanggal 29 Desember 1995 tentang Transaksi Derivatif dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 14 … - 11 - Pasal 14 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 15 September 2005. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 13 September 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 85 DPD
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/31/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> TRANSAKSI DERIVATIF </reg_title> <set_date> 13 September 2005 </set_date> <effective_date> 15 September 2005 </effective_date> <replaced_reg> '28/119/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '5/8/PBI/2003', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal 11' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/ 15 /PBI/2014 TENTANG KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. d. bahwa penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing sebagai penunjang sektor keuangan memiliki peranan strategis dalam mendukung pencapaian stabilitas nilai Rupiah; bahwa untuk menciptakan tata kelola yang baik dan mencegah dimanfaatkannya kegiatan usaha penukaran valuta asing sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme, perlu dilakukan pemurnian dan penguatan kegiatan usaha penukaran valuta asing yang dilakukan oleh penyelenggara bukan Bank; bahwa dalam rangka memberikan kepastian dan perlindungan kepada masyarakat, perlu dilakukan penataan kembali terkait dengan perizinan dan pengawasan kegiatan usaha penukaran valuta asing yang dilakukan oleh penyelenggara bukan Bank; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia mengenai kegiatan usaha penukaran valuta asing yang dilakukan oleh penyelenggara bukan Bank; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia … - 2 - Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164); 4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406); MEMUTUSKAN … - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Uang Kertas Asing (banknotes) yang selanjutnya disingkat UKA adalah uang kertas dalam valuta asing yang resmi diterbitkan oleh suatu negara di pembayaran yang sah negara yang bersangkutan (legal tender). 2. Cek Pelawat (traveller’s cheque) adalah cek perjalanan dalam valuta asing yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran. 3. Perseroan Terbatas adalah badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Perseroan Terbatas. 4. Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing yang selanjutnya disingkat KUPVA adalah kegiatan jual dan beli UKA, dan pembelian Cek Pelawat. 5. Penyelenggara KUPVA Bukan Bank adalah perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas bukan Bank yang melakukan KUPVA (money changer). 6. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. 7. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai Perseroan Terbatas. 8. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Perseroan Terbatas. luar Indonesia yang diakui sebagai alat BAB … - 4 - BAB II PENYELENGGARA KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK Pasal 2 (1) Kegiatan usaha yang dilakukan oleh Penyelenggara KUPVA Bukan Bank meliputi: a. kegiatan penukaran yang dilakukan dengan mekanisme jual dan beli UKA; dan b. pembelian Cek Pelawat. (2) Transaksi jual dan beli UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur sebagai berikut: a. penyerahan UKA wajib dilakukan secara fisik; dan b. penyerahan Rupiah dilakukan secara fisik atau melalui transfer intrabank atau antarbank sepanjang berasal dari atau ditujukan kepada rekening Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. (3) Dalam melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib menerapkan ketentuan mengenai anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. (4) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib melakukan pencatatan transaksi sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku. (5) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib menyimpan dokumen dan warkat yang berhubungan dengan pencatatan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 3 Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dilarang: a. bertindak sebagai agen penjual Cek Pelawat; b. melakukan kegiatan margin trading, spot, forward, swap, dan transaksi derivatif lainnya baik untuk kepentingan Nasabah maupun kepentingan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank; c. melakukan … - 5 - c. melakukan transaksi jual dan beli UKA serta pembelian Cek Pelawat dengan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang tidak memiliki izin dari Bank Indonesia; d. melakukan kegiatan penyelenggaraan transfer dana atau kegiatan usaha pengiriman uang; dan e. melakukan kegiatan usaha lainnya di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Pasal 4 (1) Selain larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dilarang: a. menjadi pemilik penyelenggara KUPVA tidak berizin; b. melakukan kerja sama dengan penyelenggara KUPVA tidak berizin; dan c. melakukan kegiatan usaha melalui penyelenggara KUPVA tidak berizin. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula untuk Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. Pasal 5 Selain larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dilarang: a. melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) untuk kepentingan pribadi dengan menggunakan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank sebagai sarana; dan/atau b. melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) untuk kepentingan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dengan atas nama pribadi. Pasal … - 6 - Pasal 6 Dalam melakukan kegiatannya, Penyelenggara KUPVA Bukan Bank menetapkan kurs jual dan beli UKA, dan kurs beli Cek Pelawat sesuai dengan mekanisme pasar. BAB III PERIZINAN PENYELENGGARA KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK Pasal 7 (1) Badan usaha bukan Bank yang akan melakukan kegiatan usaha sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia. (2) Direksi, Dewan Komisaris, dan pemegang saham dari badan usaha bukan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (3) Untuk memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan usaha bukan Bank harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berbadan hukum Perseroan Terbatas yang seluruh sahamnya dimiliki oleh: 1. warga negara Indonesia; dan/atau 2. badan usaha yang seluruh sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia; b. mencantumkan dalam anggaran dasar perseroan bahwa maksud dan tujuan perseroan adalah melakukan kegiatan jual beli UKA dan pembelian Cek Pelawat; c. memenuhi jumlah modal disetor yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan d. modal disetor tidak berasal dari dan/atau untuk tujuan pencucian uang (money laundering). (4) Permohonan izin sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis oleh Direksi. (5) Ketentuan … - 7 - (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara permohonan izin sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 8 (1) Dalam menerbitkan izin sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank, Bank Indonesia melakukan: a. penelitian pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3); b. pemeriksaan lokasi tempat usaha pemohon izin; dan c. penyuluhan ketentuan kepada Direksi, Dewan Komisaris, dan pemegang saham pemohon izin. (2) Pemeriksaan lokasi tempat usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah pemohon izin memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3). (3) Penyuluhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan setelah lokasi tempat usaha dinyatakan layak oleh Bank Indonesia berdasarkan pemeriksaan lokasi tempat usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. (4) Penyuluhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c juga dilakukan dalam rangka pemberian persetujuan atas perubahan Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan lokasi tempat usaha dan penyuluhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 9 (1) Direksi, Dewan Komisaris, dan pemegang saham pemohon izin sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank harus mengikuti penyuluhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c. (2) Dalam … - 8 - (2) Dalam hal Direksi, Dewan Komisaris, dan pemegang saham pemohon izin tidak menghadiri penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia maka pemohon izin dinyatakan membatalkan permohonannya. Pasal 10 Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan pembatasan perizinan sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. Pasal 11 Izin sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang telah diperoleh dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dilarang dialihkan kepada pihak lain atau digunakan oleh pihak lain. Pasal 12 (1) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) wajib melaksanakan kegiatannya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberian izin. (2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Direksi kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal dimulainya pelaksanaan kegiatan usaha. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank belum melaksanakan kegiatan usaha maka izin yang telah diberikan oleh Bank Indonesia menjadi batal dan dinyatakan tidak berlaku. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin dan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB … - 9 - BAB IV PENYELENGGARAAN KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK Bagian Kesatu Direksi, Dewan Komisaris, dan Pemegang Saham Pasal 13 Direksi dan Dewan Komisaris Penyelenggara KUPVA Bukan Bank harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. tidak tercatat dalam daftar hitam nasional penarik cek dan/atau bilyet giro kosong; c. d. tidak memiliki kredit bermasalah sesuai data dalam sistem informasi kredit; tidak sedang dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang perbankan dan keuangan dalam 2 (dua) tahun terakhir berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; e. tidak sedang dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme dalam 2 (dua) tahun terakhir berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; f. tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris dari suatu Perseroan Terbatas dengan kegiatan usaha KUPVA yang dicabut izin usahanya oleh Bank Indonesia karena pelanggaran dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum tanggal pengajuan permohonan; g. telah mengikuti penyuluhan ketentuan terkait dengan KUPVA yang diadakan oleh Bank Indonesia; dan h. memiliki komitmen untuk melaksanakan tugas dan kewajiban dalam menjalankan kegiatan usaha berdasarkan ketentuan mengenai kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan Bank dan perundang- undangan lain yang berlaku. Pasal … - 10 - Pasal 14 Pemegang saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; b. tidak tercatat dalam daftar hitam nasional penarik cek dan/atau bilyet giro kosong; c. d. tidak memiliki kredit bermasalah sesuai data dalam sistem informasi kredit; tidak sedang dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang perbankan dan keuangan dalam 2 (dua) tahun terakhir berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; e. tidak sedang dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme dalam 2 (dua) tahun terakhir berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; f. tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris dari suatu Perseroan Terbatas dengan kegiatan usaha KUPVA yang dicabut izin usahanya oleh Bank Indonesia karena pelanggaran dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum tanggal pengajuan permohonan; g. telah mengikuti penyuluhan ketentuan terkait dengan KUPVA yang diadakan oleh Bank Indonesia; dan h. memiliki komitmen untuk mematuhi ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan Bank dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Pasal 15 (1) Dalam hal Penyelenggara KUPVA Bukan Bank akan melakukan perubahan terhadap Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham maka calon Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham … - 11 - saham wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. (2) Calon Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14. (3) Pengangkatan Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan persetujuan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 16 (1) Pemegang saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib melakukan penggantian Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang terlibat tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme, dan/atau tindak pidana di bidang perbankan dan keuangan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. (2) Pemegang saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib mengalihkan sahamnya kepada pihak lain, dalam hal pemegang saham terlibat tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme, dan/atau tindak pidana di bidang perbankan dan keuangan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. (3) Penggantian Direksi dan/atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Bagian … - 12 - Bagian Kedua Kewajiban Penyelenggara KUPVA Bukan Bank Pasal 17 (1) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib memasang: a. logo Penyelenggara KUPVA berizin yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia; b. sertifikat izin usaha yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; dan c. tulisan “Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Berizin” (“Authorized Money Changer”), dan nama Perseroan Terbatas Penyelenggara KUPVA, di tempat yang mudah terlihat pada lokasi usaha. (2) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib menggunakan tulisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dalam setiap bentuk dokumen, korespondensi, maupun bentuk lainnya. (3) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dapat menggunakan nama dagang dengan ketentuan sebagai berikut: a. hanya memiliki 1 (satu) nama dagang; dan b. nama dagang mencerminkan nama Perseroan Terbatas dari Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. Bagian Ketiga Pembukaan Kantor Cabang dan Gerai (Counter) Pasal 18 (1) Pembukaan kantor cabang Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Bank Indonesia. (2) Pembukaan kantor cabang Penyelenggara KUPVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan permodalan, kelayakan lokasi, dan kesiapan pembukaan kantor cabang serta pemenuhan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku. (3) Ketentuan … - 13 - (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara permohonan, serta prosedur pemberian persetujuan diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 19 (1) Pembukaan gerai (counter) di luar kantor Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib terlebih dahulu dilaporkan kepada Bank Indonesia untuk memperoleh penegasan. (2) Pembukaan gerai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk jangka waktu dan tujuan tertentu. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan, jangka waktu, dan tujuan pembukaan gerai oleh Penyelenggara KUPVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Keempat Pemindahan Alamat Kantor Pasal 20 (1) Pemindahan alamat kantor Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Bank Indonesia. (2) Pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan kelayakan lokasi dan kesiapan pemindahan alamat kantor. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan persetujuan, persyaratan kelayakan lokasi, dan kesiapan pemindahan alamat kantor diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian … - 14 - Bagian Kelima Perubahan Nama dan Modal Pasal 21 (1) Perubahan nama dan modal Perseroan Terbatas Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia setelah perubahan tersebut memperoleh persetujuan dari otoritas yang berwenang. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan perubahan nama dan modal Penyelenggara KUPVA Bukan Bank diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Keenam Penghentian Kegiatan Usaha Kantor Pusat dan/atau Penutupan Kantor Cabang Pasal 22 (1) Penghentian kegiatan usaha kantor pusat dan/atau penutupan kantor cabang Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dapat dilakukan atas: a. permintaan Bank Indonesia; atau b. permintaan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank, berdasarkan alasan tertentu. (2) Penghentian kegiatan usaha kantor pusat dan/atau penutupan kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Bank Indonesia. (3) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara KUPVA Bukan Bank menyampaikan permohonan yang disertai dengan alasan penghentian kegiatan usaha kantor pusat dan/atau penutupan kantor cabang dan dilengkapi paling kurang dengan: a. fotokopi risalah Rapat Umum Pemegang Saham mengenai penghentian kegiatan usaha kantor pusat dan/atau keputusan Direksi mengenai penutupan kantor cabang; b. pernyataan … - 15 - b. pernyataan dari pemegang saham bahwa Penyelenggara KUPVA Bukan Bank telah menyelesaikan seluruh kewajiban dan akan bertanggung jawab terhadap tuntutan di kemudian hari; c. logo Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia; dan d. sertifikat izin usaha Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dan persetujuan pembukaan kantor cabang Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. (4) Atas penghentian kegiatan usaha kantor pusat dan/atau penutupan kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka izin usaha Penyelenggara KUPVA Bukan Bank atau persetujuan pembukaan kantor cabang Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. BAB V PELAPORAN PENYELENGGARA KUPVA BUKAN BANK Pasal 23 (1) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia yang meliputi: a. laporan berkala; dan b. laporan insidental. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan secara online melalui sistem aplikasi pelaporan Bank Indonesia. (4) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan kepada Bank Indonesia secara tertulis dan ditandatangani oleh Direksi. (5) Dalam hal terdapat gangguan terhadap sistem aplikasi pelaporan atau terdapat alasan tertentu yang menyebabkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat disampaikan secara online … - 16 - online, Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia secara tertulis dan ditandatangani oleh Direksi. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu dan tata cara penyampaian laporan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VI PENGAWASAN PENYELENGGARA KUPVA BUKAN BANK Pasal 24 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. (2) Pengawasan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengawasan langsung; dan b. pengawasan tidak langsung. (3) Dalam melakukan pengawasan terhadap Penyelenggara KUPVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia berwenang memberikan surat pembinaan dan mengenakan sanksi. (4) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib menindaklanjuti surat pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 25 (1) Dalam melaksanakan pengawasan langsung terhadap Penyelenggara KUPVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a, Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaan terhadap Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. (2) Pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. menjaga kerahasiaan data dan informasi yang diperoleh dari hasil pemeriksaan; dan b. menyampaikan … - 17 - b. menyampaikan laporan hasil pemeriksaan kepada Bank Indonesia. BAB VII PERMINTAAN INFORMASI Pasal 26 Dalam rangka memastikan pemenuhan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini, Bank Indonesia berwenang meminta informasi kepada otoritas atau instansi yang terkait. BAB VIII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 27 (1) Pihak-pihak yang selama ini telah melakukan kegiatan penukaran valuta asing tanpa izin Bank Indonesia, wajib mengajukan izin sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dengan mengacu pada Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Pengajuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan paling lambat tanggal 1 Januari 2015. (3) Dalam hal Bank Indonesia mengetahui adanya Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang tidak memiliki izin dari Bank Indonesia, Bank Indonesia dapat merekomendasikan kepada otoritas yang berwenang untuk: a. mencabut izin usaha; dan/atau b. menghentikan kegiatan usaha. BAB IX SANKSI Pasal 28 (1) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang melanggar ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 7 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12, Pasal … - 18 - Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 23, dan/atau Pasal 24 ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. denda; c. pembatalan izin; d. penghentian kegiatan usaha; dan/atau e. pencabutan izin. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 29 (1) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dikenakan sanksi berupa pencabutan izin. (2) Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), dikenakan sanksi berupa larangan untuk menjadi Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 30 (1) Pedagang Valuta Asing Bukan Bank yang telah memperoleh izin berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/22/PBI/2010 tentang Pedagang Valuta Asing, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. izin sebagai Pedagang Valuta Asing Bukan Bank tetap berlaku dan dinyatakan sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank; dan b. tetap … - 19 - b. tetap dapat melakukan kegiatan sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank sesuai Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Pedagang Valuta Asing Bukan Bank yang telah memperoleh izin sebagai penyelenggara Transfer Dana sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. memisahkan kegiatan sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dengan kegiatan sebagai penyelenggara Transfer Dana; atau b. menghentikan kegiatan sebagai penyelenggara Transfer Dana atau kegiatan sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. (3) Pemisahan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dengan membentuk badan usaha baru untuk melakukan kegiatan sebagai penyelenggara Transfer Dana. (4) Penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b mengacu pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (5) Pemisahan atau penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan paling lambat tanggal 1 Januari 2015. (6) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang tidak melakukan pemisahan atau penghentian salah satu kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), maka izin sebagai penyelenggara Transfer Dana dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 31 Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 32 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka : a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/22/PBI/2010 tentang Pedagang Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor … - 20 - Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5177) sepanjang mengatur mengenai Pedagang Valuta Asing Bukan Bank, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. b. Semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/22/PBI/2010 tentang Pedagang Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5177), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 33 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 11 September 2014 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 11 September 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 206 DKSP AMIR SYAMSUDIN PENJELASAN PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/ 15 /PBI/2014 TENTANG KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK I. UMUM Dalam rangka kesinambungan pengaturan terhadap pedagang valuta asing yang meliputi kegiatan pemberian izin usaha, pengawasan, dan pembinaan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sejak tahun 1967 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1965 tentang Tata Tjara Penggunaan, Pembebanan dan Pemindahan Hak Atas Devisa Jang Tidak Diharuskan Untuk Diserahkan Kepada Dana Devisa (Devisa Pelengkap), dan upaya melindungi kepentingan publik agar tidak terjadi distorsi (market failure) dalam kegiatan perekonomian nasional khususnya transaksi jual beli uang kertas asing, Bank Indonesia mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia mengenai Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing (KUPVA), yang dahulu dikenal dengan kegiatan pedagang valuta asing. Dalam rangka untuk lebih memfokuskan kegiatan penukaran valuta asing sehingga dapat lebih mendukung pencapaian stabilisasi nilai Rupiah perlu dilakukan pemurnian kegiatan penukaran valuta asing. Pemurnian kegiatan tersebut pada gilirannya dapat menciptakan iklim usaha yang sehat dalam mendukung pertumbuhan industri penukaran valuta asing dan meningkatkan efektifitas pengawasan sistem pembayaran yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Proses pemurnian kegiatan usaha Penyelenggara KUPVA Bukan Bank tersebut diberikan masa transisi sampai dengan tanggal 31 Desember 2014. Selain itu, masa transisi tersebut ditujukan pula kepada seluruh pihak yang melakukan kegiatan penukaran valuta asing tanpa izin dari Bank Indonesia untuk melakukan proses perizinan sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. II. PASAL … - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan mengenai anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme antara lain adalah Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme pada pedagang valuta asing bukan Bank dan peraturan perundang- undangan lainnya mengenai penerapan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “margin trading” adalah transaksi jual beli mata uang (valuta) tanpa diikuti pergerakan dana, melainkan hanya marjin selisih kurs. Yang dimaksud dengan “spot” adalah transaksi jual beli tunai antara 2 (dua) mata uang (valuta) dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. Yang dimaksud dengan “forward” adalah transaksi jual beli berjangka antara 2 (dua) mata uang (valuta) dengan penyerahan dana … - 3 - dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. Yang dimaksud dengan “swap” adalah transaksi pertukaran antara 2 (dua) mata uang (valuta) melalui pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau pembelian secara berjangka (forward) yang dilakukan secara bersamaan. Yang dimaksud “transaksi derivatif” adalah transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti, dan indeks, baik yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau instrumen. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha lainnya” antara lain kegiatan transaksi jual dan beli emas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Larangan untuk melakukan kegiatan usaha meliputi kegiatan usaha yang dilakukan oleh Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank baik secara langsung maupun tidak langsung. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Cukup … - 4 - Cukup jelas. Huruf b Pemeriksaan lokasi tempat usaha pemohon izin antara lain dilihat dari kesiapan sarana dan prasarana, serta mekanisme dan prosedur dalam melakukan kegiatan usaha. Huruf c Penyuluhan ketentuan yang terkait dengan KUPVA bertujuan untuk: 1. menginformasikan ketentuan mengenai penyelenggara KUPVA dan perundang-undangan terkait lainnya yang berlaku; dan 2. meningkatkan pemahaman calon pelaku usaha dalam menerapkan ketentuan dan menjalankan kegiatan usaha. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Pembatasan perizinan KUPVA Bukan Bank didasarkan pada pertimbangan antara lain efisiensi industri, menjaga kepentingan publik, menjaga pertumbuhan industri yang sehat, dan/atau persaingan usaha yang sehat. Pembatasan tersebut dapat dilakukan dalam batas waktu tertentu dan/atau wilayah tertentu. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal … - 5 - Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “kredit bermasalah” adalah kredit yang memiliki kualitas kurang lancar, diragukan, atau macet. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 14 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “kredit bermasalah” adalah kredit yang memiliki kualitas kurang lancar, diragukan, atau macet. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf … - 6 - Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Pemindahan alamat kantor Penyelenggara KUPVA Bukan Bank meliputi pemindahan alamat kantor pusat dan/atau kantor cabang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Penutupan kantor cabang tidak mempengaruhi kegiatan kantor pusat penyelenggara KUPVA. Penutupan kantor pusat secara otomatis akan menghentikan juga seluruh kegiatan kantor cabang penyelenggara KUPVA yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat … - 7 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Laporan berkala antara lain berupa Laporan bulanan penyelenggaraan KUPVA Bukan Bank. Huruf b Laporan insidental antara lain berupa laporan perubahan Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham, laporan pemindahan alamat kantor, dan laporan lainnya yang sewaktu-waktu diminta Bank Indonesia misalnya laporan kurs valuta asing dan laporan transaksi keuangan tertentu. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Pengawasan … - 8 - Pengawasan langsung antara lain dilakukan melalui pemeriksaan secara umum dan/atau khusus terhadap Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. Huruf b Pengawasan tidak langsung antara lain dilakukan melalui kegiatan analisis terhadap laporan, keterangan, dan penjelasan yang disampaikan oleh Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dan/atau sumber atau pihak lain. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain kantor akuntan publik. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” antara lain instansi pemerintah atau aparat penegak hukum. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal … - 9 - Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5577
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 16/15/PBI/2014 </reg_id> <reg_title> KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK </reg_title> <set_date> 11 September 2014 </set_date> <effective_date> 11 September 2014 </effective_date> <issued_date> 11 September 2014 </issued_date> <replaced_reg> '12/22/PBI/2010' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '9/UU/2013', '8/UU/2010' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/ 42 /PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peningkatan kegiatan masyarakat dalam melakukan transaksi tunai, perlu didukung dengan ketersediaan uang rupiah yang memadai dan mudah dikenali ciri-ciri keasliannya sebagai alat pembayaran; b. bahwa ketersediaan uang rupiah yang memadai dan mudah dikenali ciri-ciri keasliannya tersebut, dipandang perlu untuk meningkatkan unsur pengaman pada uang rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu); c. bahwa untuk meningkatkan unsur pengaman pada uang rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu), dipandang perlu untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2005; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang pengeluaran dan pengedaran uang kertas rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) Tahun Emisi 2005. Mengingat … -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tanggal 22 Juni 2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005. Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2005 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia. Pasal … -3- Pasal 2 Macam uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan jenis uang kertas yang terbuat dari bahan serat kapas. Pasal 3 Harga uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mempunyai nilai nominal Rp50.000 (lima puluh ribu rupiah). Pasal 4 Ciri uang rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah: a. warna bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan biru; b. gambar 1. bagian muka a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan di bawahnya dicantumkan tulisan “I GUSTI NGURAH RAI”; b) di sebelah kiri gambar utama dengan arah vertikal terdapat gambar ornamen daerah Bali berwarna biru yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet; c) di sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan “LIMA PULUH RIBU RUPIAH”; d) di … -4- d) di sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan di sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka nominal “50000”; e) di sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal “50000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; f) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi (latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi panjang berbentuk ornamen daerah Bali yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; g) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara Garuda Pancasila; h) di sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam bidang segi empat yang dicetak dengan tinta khusus (optically variable ink) yang akan berubah warna dari magenta menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang berbeda; i) di sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun emisi “2005”, tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia (Burhanuddin Abdullah) beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia (Maman H. Somantri) beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”; j) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis bergelombang, miring, dan rangkaian membentuk ornamen daerah Bali; k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat di: 1) sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal “50000” berupa tulisan BI; 2) sebelah … garis melengkung yang -5- 2) sebelah kiri gambar utama berupa tulisan BI sebagai latar belakang ornamen daerah Bali; 3) tepi kiri ornamen daerah Bali berupa tulisan BI dan tepi kanan ornamen daerah Bali berupa angka 50000 yang keduanya membentuk garis vertikal; 4) sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berbentuk kotak-kotak dengan kombinasi tulisan BI dan BI50000 yang tersusun horizontal dan BANKINDONESIA dan BI50000 yang tersusun diagonal; 5) sebelah kanan gambar utama berupa tulisan BI yang membentuk warna dasar dan gambar relief daerah Bali; 6) tepi kiri atas dan bawah serta tepi kanan atas dan bawah berupa logo BI yang membentuk pola dasar uang; l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa tulisan BANKINDONESIA50000 yang berbentuk lengkungan dengan warna dan ukuran teks yang berbeda. 2. bagian belakang a) gambar utama berupa gambar Danau Beratan, Bedugul, Bali; b) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA”; c) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI LIMA PULUH RIBU RUPIAH”; d) di sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan di sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “50000”; e) nomor … -6- e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak di sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet dan di sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet; f) di sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; g) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar siluet penari Bali yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; h) di bagian kiri bawah gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa angka nominal “50000” dalam kotak persegi panjang yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; i) di tepi kiri dan kanan bagian tengah uang, terdapat gambar ornamen daerah Bali yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet; j) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat di: 1) tepi kiri atas dan bawah serta tepi kanan atas dan bawah berbentuk kotak-kotak berupa tulisan BI yang tersusun horizontal serta tulisan BI50000 dan BANKINDONESIA yang tersusun diagonal; 2) tepi kiri gambar utama berupa tulisan BANKINDONESIA yang membentuk garis vertikal; 3) bagian kiri atas gambar utama berupa tulisan BI yang membentuk ornamen daerah Bali; 4) sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi angka nominal “50000” berupa tulisan BI; k) miniteks … -7- k) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa angka 50000 yang berbentuk garis melengkung dengan ukuran teks yang berbeda. c. bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut: 1. terbuat dari serat kapas; 2. ukuran panjang 149 mm dan lebar 65 mm; 3. warna biru muda; 4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; 5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah Bali; 6. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan “BI50000” berulang-ulang dan terbaca utuh atau terpotong sebagian serta akan berubah warna dari magenta menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang berbeda. Pasal 5 Uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan mulai tanggal 20 Oktober 2005. Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan … -8- Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 18 Oktober 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 102 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/42/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 </reg_title> <set_date> 18 Oktober 2005 </set_date> <effective_date> 18 Oktober 2005 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '6/14/PBI/2004' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/14/PBI/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/10/PBI/2009 TENTANG UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pengelolaan kelembagaan unit usaha syariah yang baik merupakan salah satu faktor penting dalam mewujudkan terciptanya industri perbankan yang sehat, kuat, dan dipercaya masyarakat; b. bahwa setiap pemenuhan sumber daya manusia, pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor unit usaha syariah perlu menerapkan tata kelola yang baik (good corporate governance); c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b maka perlu dilakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti … - 2 - Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/10/PBI/2009 TENTANG UNIT USAHA SYARIAH. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4992) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah Bank Umum Konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Bank… - 3 - 2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 4. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan syariah berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia. 5. Kantor Cabang Syariah yang selanjutnya disingkat KCS adalah kantor cabang UUS yang bertanggung jawab kepada UUS pada BUK, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KCS tersebut melakukan usahanya, termasuk kantor cabang pembantu syariah dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri. 6. Kantor Cabang Pembantu Syariah yang selanjutnya disingkat KCPS adalah kantor UUS yang kegiatan usahanya membantu KCS induknya, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KCPS tersebut melakukan usahanya, termasuk kantor di bawah kantor cabang pembantu syariah atau kantor kas dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri. 7. Kantor Kas Syariah yang selanjutnya disingkat KKS adalah kantor UUS yang kegiatan usahanya membantu KCS atau KCPS induknya, kecuali melakukan penyaluran dana, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KKS tersebut melakukan usahanya. 8. Kantor Fungsional Syariah yang selanjutnya disingkat KFS adalah kantor UUS yang melakukan kegiatan operasional atau non operasional secara terbatas dalam 1 (satu) kegiatan fungsional. 9. Layanan Syariah yang selanjutnya disingkat LS adalah kegiatan penghimpunan dana, pembiayaan, dan pemberian jasa perbankan lainnya berdasarkan Prinsip Syariah yang dilakukan di kantor cabang… - 4 - cabang konvensional atau kantor cabang pembantu konvensional untuk dan atas nama KCS pada bank yang sama. 10. Kegiatan Pelayanan Kas Syariah yang selanjutnya disingkat KPKS adalah kegiatan kas dalam rangka melayani pihak yang telah menjadi nasabah UUS meliputi antara lain: a. Kas Keliling yaitu kegiatan pelayanan kas secara berpindah- pindah dengan menggunakan alat transportasi atau pada lokasi tertentu secara tidak permanen, antara lain kas mobil, kas terapung, atau counter bank non permanen; b. Payment Point yaitu kegiatan dalam bentuk penerimaan pembayaran melalui kerjasama antara BUK yang memiliki UUS dengan pihak lain pada suatu lokasi tertentu, seperti untuk penerimaan pembayaran tagihan telepon, tagihan listrik dan/atau penerimaan setoran dari pihak ketiga; c. Perangkat Perbankan Elektronis yang selanjutnya disingkat PPE yaitu kegiatan pelayanan kas atau non kas yang dilakukan dengan menggunakan sarana mesin elektronis yang berlokasi baik di dalam maupun di luar kantor UUS, yang dapat melakukan pelayanan antara lain penarikan atau penyetoran secara tunai, pembayaran melalui pemindahbukuan, transfer antar bank dan/atau memperoleh informasi mengenai saldo/mutasi rekening nasabah, baik menggunakan jaringan dan/atau mesin milik BUK yang memiliki UUS sendiri maupun melalui kerja sama BUK yang memiliki UUS dengan pihak lain, antara lain Anjungan Tunai Mandiri (ATM) termasuk dalam hal ini adalah Automatic Deposit Machine (ADM), dan Electronic Data Capture (EDC). 11. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah dewan yang bertugas memberikan nasehat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan UUS agar sesuai dengan Prinsip Syariah. 12. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur UUS dan/atau mempunyai pengaruh terhadap kebijakan… - 5 - kebijakan dan operasional UUS, antara lain kepala divisi, kepala KCS, kepala KFS yang kedudukannya paling kurang setara dengan kepala KCS, dan/atau pejabat lainnya yang setara. 13. Pemisahan (spin-off) adalah pemisahan usaha dari satu BUK menjadi dua badan usaha atau lebih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Ketentuan Pasal 3 ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Pembukaan UUS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk izin usaha. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain: a. penilaian terhadap komitmen BUK dalam pendirian UUS; b. analisis terhadap studi kelayakan pendirian UUS; c. analisis yang mencakup antara lain tingkat kejenuhan jumlah BUS dan UUS; d. wawancara terhadap calon Direktur UUS dan calon anggota DPS; e. analisis terhadap kemampuan permodalan BUK; dan f. analisis terhadap pemenuhan aspek hukum pemisahan UUS menjadi BUS. 3. Ketentuan BAB III Bagian Ketiga diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Ketiga… - 6 - Bagian Ketiga Pejabat Eksekutif Pasal 15 BUK yang memiliki UUS wajib melakukan penelitian terhadap calon Pejabat Eksekutif sebelum melakukan pengangkatan atau penggantian Pejabat Eksekutif. Pasal 15A (1) Pejabat UUS harus memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. (2) BUK yang memiliki UUS harus mengangkat paling kurang 1 (satu) Pejabat Eksekutif UUS yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur UUS dan memiliki tingkat jabatan sama dengan Pejabat Eksekutif BUK yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur BUK. (3) Pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pejabat Eksekutif wajib dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. (4) Bank Indonesia berwenang memerintahkan BUK yang memiliki UUS untuk membatalkan pengangkatan Pejabat Eksekutif apabila berdasarkan penelitian dan penilaian Bank Indonesia, Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memiliki rekam jejak negatif. (5) BUK yang memiliki UUS wajib membatalkan pengangkatan Pejabat Eksekutif yang memiliki rekam jejak negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat penegasan Bank Indonesia. (6) Rekam jejak negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi sebagai berikut: a. termasuk dalam daftar tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test); b. memiliki … - 7 - b. memiliki kredit atau pembiayaan macet; dan/atau c. tercatat pada data dan informasi negatif yang dimiliki oleh Bank Indonesia yang berasal dari hasil pengawasan Bank Indonesia atau sumber lainnya. (7) BUK yang memiliki UUS wajib menatausahakan dokumen pengangkatan, pemberhentian, dan/atau penggantian Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pengangkatan, pemberhentian, dan/atau penggantian Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 15B Bank Indonesia berwenang meminta dokumen pengangkatan, pemberhentian, dan/atau penggantian Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A ayat (7). 4. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) UUS hanya dapat melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing apabila memperoleh izin Bank Indonesia. (2) UUS dapat melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dengan memenuhi persyaratan paling kurang: a. BUK yang memiliki UUS telah mendapat persetujuan untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing; b. memiliki sistem informasi teknologi yang memadai; c. memiliki sumber daya manusia yang memahami aspek syariah terkait kegiatan usaha dalam valuta asing; dan d. memiliki daftar calon nasabah yang akan melakukan transaksi dalam valuta asing. 5. Di… - 8 - 5. Di antara BAB IV dan BAB V disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB IVA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB IVA RENCANA PEMBUKAAN, PERUBAHAN STATUS, PEMINDAHAN ALAMAT, DAN/ATAU PENUTUPAN KANTOR UNIT USAHA SYARIAH Pasal 18A (1) BUK yang memiliki UUS wajib mencantumkan rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor UUS setahun ke depan dalam rencana bisnis UUS. (2) Rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dengan kajian yang paling kurang memuat: a. analisis kondisi keuangan, kesesuaian dengan strategi bisnis dan dampak terhadap proyeksi keuangan; b. mekanisme pengawasan dan penilaian kinerja kantor UUS; c. analisis secara menyeluruh mencakup antara lain kondisi perekonomian nasional, analisis risiko, dan analisis keuangan; dan d. rencana persiapan operasional antara lain sumber daya manusia, teknologi informasi, dan sarana penunjang lainnya. (3) Dalam rangka pembukaan, perubahan status, dan/atau pemindahan alamat kantor, UUS wajib memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 18B Bank Indonesia berwenang memerintahkan BUK yang memiliki UUS untuk menunda rencana pembukaan, perubahan status, dan/atau pemindahan alamat kantor UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A… - 9 - 18A ayat (1) apabila menurut penilaian Bank Indonesia antara lain terdapat penurunan tingkat kesehatan, penurunan kondisi keuangan, dan/atau peningkatan profil risiko UUS, serta mempertimbangkan stabilitas sistem keuangan dan/atau kepentingan perekonomian nasional. 6. Ketentuan BAB V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB V PEMBUKAAN KANTOR UNIT USAHA SYARIAH Bagian Kesatu Pembukaan Kantor di Dalam Negeri Paragraf 1 Pembukaan Kantor Cabang Syariah Pasal 19 (1) Pembukaan KCS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) KCS dapat beralamat yang sama dengan kantor cabang atau kantor cabang pembantu BUK yang memiliki UUS, sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. terdapat pemisahan kantor antara KCS dengan kantor cabang atau kantor cabang pembantu BUK yang memiliki UUS; b. c. tidak menimbulkan risiko operasional dan risiko reputasi bagi UUS; dan terdapat pengaturan yang jelas dalam pemanfaatan sarana dan prasarana kerja serta penggunaan fasilitas gedung kantor, yang memungkinkan adanya pembebanan biaya masing- masing kantor dapat dilakukan dengan tepat. (3) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain: a. kelengkapan… - 10 - a. kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh BUK yang memiliki UUS; c. analisis atas kemampuan BUK yang memiliki UUS termasuk tingkat kesehatan dan kecukupan permodalan, serta profil risiko UUS; dan d. analisis atas kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A ayat (2). (5) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan atas kebenaran dokumen yang disampaikan dan persiapan pembukaan kantor. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 20 (1) Pelaksanaan pembukaan KCS wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal izin dari Bank Indonesia diterbitkan. (2) Pelaksanaan pembukaan KCS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BUK yang memiliki UUS tidak melaksanakan pembukaan KCS, maka izin pembukaan KCS yang telah diberikan menjadi tidak berlaku. Paragraf 2 Pembukaan Kantor Cabang Pembantu Syariah Pasal 21 (1) Pembukaan KCPS hanya dapat dilakukan apabila rencana pembukaan telah dilaporkan dan mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. (2) Pembukaan… - 11 - (2) Pembukaan KCPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam 1 (satu) wilayah kerja kantor Bank Indonesia yang sama dengan dengan KCS induknya, kecuali dengan persetujuan Bank Indonesia. (3) KCPS dapat beralamat yang sama dengan kantor BUK yang memiliki UUS dan/atau kantor lain sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. terdapat pemisahan kantor antara KCPS dengan kantor BUK yang memiliki UUS dan/atau kantor lain; b. c. tidak menimbulkan risiko operasional dan risiko reputasi bagi UUS; dan terdapat pengaturan yang jelas dalam pemanfaatan sarana dan prasarana kerja serta penggunaan fasilitas gedung kantor, yang memungkinkan adanya pembebanan biaya masing- masing kantor dapat dilakukan dengan tepat. (4) Laporan keuangan KCPS wajib digabungkan secara otomasi dan online pada hari yang sama dengan laporan keuangan KCS yang menjadi induknya. Pasal 21A (1) BUK yang memiliki UUS menyampaikan laporan rencana pembukaan KCPS kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (2) Surat penegasan atas laporan rencana pembukaan KCPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain: a. kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh BUK yang memiliki UUS; c. analisis atas kemampuan BUK yang memiliki UUS, termasuk tingkat kesehatan dan kecukupan permodalan; dan d. analisis atas kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A ayat (2). (3) Pelaksanaan… - 12 - (3) Pelaksanaan pembukaan KCPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia. (4) Pelaksanaan pembukaan KCPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Paragraf 3 Pembukaan Kantor Kas Syariah Pasal 22 (1) Pembukaan KKS hanya dapat dilakukan apabila rencana pembukaan telah dilaporkan dan mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. (2) Pembukaan KKS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam 1 (satu) wilayah kerja kantor Bank Indonesia yang sama dengan dengan KCS induknya, kecuali dengan persetujuan Bank Indonesia. (3) KKS dapat beralamat yang sama dengan kantor BUK yang memiliki UUS dan/atau kantor lain sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. b. c. terdapat pemisahan kantor antara KKS dengan kantor BUK yang memiliki UUS dan/atau kantor lain; tidak menimbulkan risiko operasional dan risiko reputasi bagi UUS; dan terdapat pengaturan yang jelas dalam pemanfaatan sarana dan prasarana kerja serta penggunaan fasilitas gedung kantor, yang memungkinkan adanya pembebanan biaya masing- masing kantor dapat dilakukan dengan tepat. (4) Laporan… - 13 - (4) Laporan keuangan KKS wajib digabungkan secara otomasi dan online pada hari yang sama dengan laporan keuangan KCS yang menjadi induknya. Pasal 22A (1) BUK yang memiliki UUS menyampaikan rencana pembukaan KKS kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (2) Surat penegasan atas laporan rencana pembukaan KKS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain: a. kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh BUK yang memiliki UUS; c. analisis atas kemampuan BUK yang memiliki UUS, termasuk tingkat kesehatan dan kecukupan permodalan; dan d. analisis atas kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A ayat (2). (3) Pelaksanaan pembukaan KKS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia. (4) Pelaksanaan pembukaan KKS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Paragraf 4 Pembukaan Kegiatan Pelayanan Kas Syariah Pasal 23 (1) Pembukaan KPKS hanya dapat dilakukan dalam 1 (satu) wilayah kerja kantor Bank Indonesia yang sama dengan KCS induknya, kecuali dengan persetujuan Bank Indonesia. (2) Laporan… - 14 - (2) Laporan keuangan KPKS wajib digabungkan secara otomasi dan online pada hari yang sama dengan laporan keuangan KCS yang menjadi induknya, kecuali untuk kegiatan PPE. (3) Kegiatan pemasaran yang dilakukan dalam rangka promosi, tidak bersifat permanen, dan hanya menerima setoran awal/titipan kas sesuai persyaratan setoran minimal pembukaan rekening tidak termasuk KPKS. (4) Pelaksanaan pembukaan KPKS wajib dilaporkan BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. Paragraf 5 Pembukaan Kantor Fungsional Syariah Pasal 24 (1) Pembukaan KFS hanya dapat dilakukan apabila rencana pembukaan telah dilaporkan dan mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. (2) Jenis KFS terdiri atas: a. KFS yang melakukan kegiatan operasional; atau b. KFS yang melakukan kegiatan non operasional. (3) Laporan keuangan dari KFS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib digabungkan secara otomasi dan online pada hari yang sama dengan laporan keuangan: a. KCS yang berada dalam 1 (satu) wilayah kerja kantor Bank Indonesia; b. KCS terdekat atau kantor yang menjadi induk kegiatan usaha UUS, apabila dalam wilayah kerja kantor Bank Indonesia dimana KFS tersebut berada tidak terdapat KCS, dengan persetujuan Bank Indonesia. (4) Laporan… - 15 - (4) Laporan keuangan KFS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib digabungkan secara otomasi dan online pada hari yang sama dengan laporan keuangan kantor yang menjadi induk kegiatan usaha UUS. (5) KFS dapat beralamat yang sama dengan kantor BUK yang memiliki UUS dan/atau kantor lain sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. terdapat pemisahan kantor antara KFS dengan kantor BUK yang memiliki UUS dan/atau kantor lain; b. c. tidak menimbulkan risiko operasional dan risiko reputasi bagi UUS; dan terdapat pengaturan yang jelas dalam pemanfaatan sarana dan prasarana kerja serta penggunaan fasilitas gedung kantor, yang memungkinkan adanya pembebanan biaya masing- masing kantor dapat dilakukan dengan tepat. Pasal 24A (1) BUK yang memiliki UUS menyampaikan rencana pembukaan KFS kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (2) Pelaksanaan pembukaan KFS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia. (3) Pelaksanaan pembukaan KFS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Paragraf 6… - 16 - Paragraf 6 Layanan Syariah Pasal 25 (1) Kegiatan LS dapat dilaksanakan di kantor cabang atau kantor cabang pembantu BUK yang memiliki UUS dengan persyaratan sebagai berikut: a. lokasi kegiatan LS berada dalam 1 (satu) wilayah dengan KCS yang menjadi induk LS, yaitu: 1. dalam 1 (satu) wilayah provinsi; atau 2. dalam 1 (satu) wilayah kerja kantor Bank Indonesia dalam hal wilayah kerja kantor Bank Indonesia melebihi 1 (satu) wilayah provinsi; b. menggunakan sumber daya manusia yang telah memiliki pengetahuan mengenai produk dan jasa bank syariah; dan c. didukung oleh teknologi sistem informasi yang memadai. (2) Laporan keuangan kegiatan LS wajib digabungkan secara otomasi dan online pada hari yang sama dengan laporan keuangan KCS yang menjadi induknya. Pasal 26 Pelaksanaan pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan LS wajib dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. Bagian Kedua Pembukaan Kantor di Luar Negeri Pasal 27 (1) Pembukaan KCS dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dalam waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak izin dari Bank Indonesia diterbitkan, dan dapat diperpanjang dengan persetujuan Bank Indonesia. (3) Pembukaan… - 17 - (3) Pembukaan KCS dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri hanya dapat dilakukan oleh BUK yang memiliki UUS sesuai pengelompokan BUK yang memiliki UUS berdasarkan Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti. (4) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila: a. UUS telah memiliki izin untuk melakukan kegiatan dalam valuta asing; dan b. BUK yang memiliki UUS memenuhi persyaratan tingkat kesehatan, kecukupan permodalan, dan profil risiko UUS. (5) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (6) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain: a. kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis yang mencakup hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh BUK yang memiliki UUS; c. analisis atas kemampuan BUK yang memiliki UUS, termasuk tingkat kesehatan dan kecukupan permodalan, serta profil risiko UUS; dan d. analisis atas kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A ayat (2). (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 28 (1) Pembukaan kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 wajib memperoleh izin dari otoritas di negara setempat. (2) Pelaksanaan… - 18 - (2) Pelaksanaan pembukaan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. (3) BUK yang memiliki UUS wajib menyampaikan salinan atau fotokopi izin pembukaan kantor dari otoritas di negara setempat paling lama 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan kantor. 7. Ketentuan BAB VI diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB VI PERUBAHAN STATUS KANTOR UNIT USAHA SYARIAH Pasal 29 (1) Peningkatan status KCPS atau KKS menjadi KCS wajib memenuhi ketentuan mengenai pembukaan KCS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20. (2) Peningkatan status KKS menjadi KCPS wajib memenuhi ketentuan mengenai pembukaan KCPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 21A. Pasal 30 (1) Penurunan status KCS menjadi KCPS atau KKS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) Penurunan status KCPS menjadi KKS hanya dapat dilakukan apabila telah dilaporkan dan mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. (3) Permohonan persetujuan penurunan status kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau pelaporan rencana penurunan status kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (4) Pelaksanaan penurunan status kantor yang telah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau surat penegasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaksanakan… - 19 - dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal persetujuan atau surat penegasan perubahan status. (5) Pelaksanaan penurunan status kantor wajib dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 30A (1) Perubahan status kantor dari KFS menjadi KCS wajib memenuhi ketentuan mengenai pembukaan KCS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20. (2) Perubahan status kantor dari KFS menjadi KCPS wajib memenuhi ketentuan mengenai pembukaan KCPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 21A. (3) Perubahan status kantor dari KFS menjadi KKS dilakukan dengan mengacu pada tata cara penurunan KCPS menjadi KKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, kecuali ayat (1). (4) Perubahan status kantor dari KCS menjadi KFS dilakukan dengan mengacu pada tata cara penurunan KCS menjadi KCPS atau KKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, kecuali ayat (2). (5) Perubahan status kantor dari KCPS menjadi KFS dilakukan dengan mengacu pada tata cara penurunan KCPS menjadi KKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, kecuali ayat (1). 8. Ketentuan BAB VII diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB VII PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR UUS Pasal 31 (1) Pemindahan alamat kantor yang menjadi induk kegiatan usaha UUS dan/atau KCS di dalam negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) Pemindahan… - 20 - (2) Pemindahan alamat KCS yang dilakukan ke luar wilayah kerja kantor Bank Indonesia tempat kedudukan awal KCS, wajib memenuhi ketentuan penutupan KCS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 37 serta ketentuan pembukaan KCS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20. Pasal 32 (1) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) diajukan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain: a. kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh BUK yang memiliki UUS; dan c. analisis atas kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A ayat (2). (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak berlaku untuk permohonan pemindahan alamat KCS yang dilakukan dalam kota atau kabupaten yang sama dengan tempat kedudukan awal KCS. (4) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan atas kebenaran dokumen yang disampaikan dan persiapan pemindahan alamat kantor yang menjadi induk kegiatan usaha UUS dan/atau KCS. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 33 (1) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor yang menjadi induk kegiatan usaha UUS atau KCS di dalam negeri wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal izin dari Bank Indonesia diterbitkan. (2) Pemindahan… - 21 - (2) Pemindahan alamat kantor yang menjadi induk kegiatan usaha UUS dan KCS wajib diumumkan oleh BUK yang memiliki UUS dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan kantor UUS atau KCS paling lama 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan pemindahan alamat kantor. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BUK yang memiliki UUS tidak melaksanakan pemindahan alamat kantor, maka izin pemindahan alamat kantor yang telah diberikan menjadi tidak berlaku. (4) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor yang menjadi induk kegiatan usaha UUS atau KCS wajib dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. Pasal 34 (1) Pemindahan alamat: a. KCPS, KKS, dan KFS di dalam negeri; atau b. KCS dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri, hanya dapat dilakukan apabila rencana pemindahan telah dilaporkan dan mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. (2) BUK yang memiliki UUS menyampaikan rencana pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (3) Pemindahan alamat KCPS, KKS, atau KFS, yang dilakukan ke luar wilayah kerja kantor Bank Indonesia tempat kedudukan awal kantor UUS, wajib memenuhi ketentuan penutupan KCPS, KKS atau KFS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan ketentuan pembukaan KCPS, KKS, atau KFS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 21A, Pasal 22, Pasal 22A, Pasal 24, dan Pasal 24A. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 35… - 22 - Pasal 35 (1) Pelaksanaan pemindahan alamat KCPS, KKS, dan KFS, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia. (2) Pelaksanaan pemindahan alamat KCPS, KKS, dan KFS yang melakukan kegiatan operasional wajib diumumkan oleh BUK yang memiliki UUS dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan kantor induknya paling lama 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan pemindahan alamat kantor. (3) Pelaksanaan pemindahan alamat: a. KCPS, KKS, dan KFS di dalam negeri; atau b. KCS dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) wajib dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. (4) BUK yang memiliki UUS wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia salinan atau fotokopi izin otoritas negara setempat bagi pelaksanaan pemindahan alamat KCS dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b paling lama 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pemindahan alamat. Pasal 35A Pemindahan alamat KPKS wajib dilaporkan BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. 9. Ketentuan… - 23 - 9. Ketentuan BAB VIII diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB VIII PENUTUPAN KANTOR UNIT USAHA SYARIAH Bagian Kesatu Penutupan Kantor di Dalam Negeri Paragraf 1 Penutupan Kantor Cabang Syariah Pasal 36 (1) Penutupan KCS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) Pemberian izin penutupan KCS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam 2 (dua) tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan penutupan KCS; dan b. persetujuan penutupan, yaitu persetujuan untuk melakukan penutupan KCS. (3) Permohonan untuk memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diajukan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung berupa penjelasan mengenai langkah-langkah yang akan ditempuh dalam rangka penyelesaian seluruh kewajiban KCS kepada nasabah dan pihak lainnya. (4) Permohonan untuk memperoleh persetujuan penutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diajukan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia setelah seluruh kewajiban KCS kepada nasabah dan pihak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselesaikan dan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah BUK yang memiliki UUS memperoleh persetujuan prinsip, disertai dengan dokumen pendukung. (5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) BUK yang memiliki UUS tidak mengajukan permohonan persetujuan penutupan KCS, maka persetujuan prinsip yang telah diberikan menjadi tidak berlaku. (6) Bank… - 24 - (6) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan kepada BUK yang memiliki UUS terkait dengan penyelesaian seluruh kewajiban KCS yang akan ditutup. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 37 (1) Pelaksanaan penutupan KCS wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal persetujuan penutupan dari Bank Indonesia. (2) Pelaksanaan penutupan KCS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diumumkan oleh BUK yang memiliki UUS dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan KCS paling lama 10 (sepuluh) hari setelah tanggal persetujuan penutupan dari Bank Indonesia. (3) Pelaksanaan penutupan KCS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. Paragraf 2 Penutupan Kantor Cabang Pembantu Syariah, Kantor Kas Syariah, Kantor Fungsional Syariah, dan Kantor Pelayanan Kas Pasal 38 (1) Penutupan KCPS, KKS, dan KFS hanya dapat dilakukan apabila rencana penutupan telah dilaporkan dan mendapat surat penegasan Bank Indonesia. (2) Rencana penutupan KCPS, KKS, dan KFS dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung berupa penjelasan mengenai langkah- langkah yang akan ditempuh dalam rangka penyelesaian seluruh kewajiban KCPS, KKS, dan KFS kepada nasabah dan pihak lainnya. (3) Pelaksanaan… - 25 - (3) Pelaksanaan penutupan KCPS, KKS, dan KFS wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia. (4) Pelaksanaan penutupan KCPS, KKS, KFS, dan KPKS wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. (5) Bank wajib menyampaikan dokumen penutupan KCPS, KKS, dan KFS paling lama 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penutupan. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dokumen penutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Kedua Penutupan Kantor di Luar Negeri Pasal 39 (1) Penutupan KCS dan jenis-jenis kantor lainnya hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) Permohonan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (3) Penutupan kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari otoritas di negara setempat. (4) Pelaksanaan penutupan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. (5) Dalam rangka penutupan KCS dan jenis-jenis kantor lainnya, BUK yang memiliki UUS wajib menyampaikan dokumen penutupan kepada Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan penutupan. (6) Ketentuan… - 26 - (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dokumen penutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 10. Ketentuan BAB XI diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB XI PENCABUTAN IZIN USAHA UNIT USAHA SYARIAH ATAS PERMINTAAN BANK UMUM KONVENSIONAL YANG MEMILIKI UNIT USAHA SYARIAH Pasal 55 Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha UUS atas permintaan BUK yang memiliki UUS. Pasal 56 (1) Pencabutan izin usaha atas permintaan BUK yang memiliki UUS dilakukan dalam 2 (dua) tahap: a. Persetujuan persiapan pencabutan izin usaha; dan b. Keputusan pencabutan izin usaha. (2) Permohonan persetujuan persiapan pencabutan izin usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diajukan oleh Direksi BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui, Bank Indonesia menerbitkan surat persetujuan persiapan pencabutan izin usaha UUS, dan mewajibkan BUK yang memiliki UUS untuk: a. menghentikan seluruh kegiatan usaha UUS; b. mengumumkan rencana penghentian kegiatan UUS dan penyelesaian kewajiban UUS dalam 2 (dua) surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas paling lama 10 (sepuluh) hari sejak tanggal surat persetujuan persiapan pencabutan izin usaha UUS; c. menyelesaikan seluruh kewajiban UUS; dan d. menunjuk… - 27 - d. menunjuk kantor akuntan publik untuk melakukan verifikasi atas penyelesaian kewajiban UUS. (4) Permohonan pencabutan izin usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Direksi BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia, setelah seluruh kewajiban UUS diselesaikan, disertai dengan dokumen pendukung. (5) Berdasarkan permohonan pencabutan izin usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank Indonesia menerbitkan surat keputusan pencabutan izin usaha UUS. (6) Kewajiban UUS yang belum diselesaikan dan ditemukan dikemudian hari menjadi tanggung jawab BUK yang memiliki UUS. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 11. Ketentuan BAB XIII diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB XIII KEGIATAN OPERASIONAL DI LUAR HARI KERJA OPERASIONAL DAN/ATAU PADA HARI LIBUR SERTA TIDAK BEROPERASI PADA HARI KERJA Pasal 58 (1) Rencana UUS dan/atau sebagian kantor UUS untuk melakukan kegiatan operasional di luar hari kerja operasional, pada hari libur dan/atau tidak beroperasi pada hari kerja wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari sebelum pelaksanaan. (2) Rencana UUS untuk tidak beroperasi pada hari kerja wajib diumumkan kepada masyarakat. Pasal 59 Dihapus. 12. Di… - 28 - 12. Di antara BAB XV dan BAB XVI disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB XVA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB XVA LAIN-LAIN Pasal 61A (1) Permohonan izin atau laporan yang disampaikan BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia wajib menggunakan Bahasa Indonesia. (2) Petunjuk pelaksanaan dan dokumen operasional UUS wajib ditulis paling kurang dalam Bahasa Indonesia. Pasal 61B (1) BUK yang memiliki UUS wajib menatausahakan dokumen pendukung: a. pembukaan kantor UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3), Pasal 21A ayat (1), Pasal 22A ayat (1), Pasal 24A ayat (1), Pasal 27 ayat (5), Pasal 28 ayat (3); b. perubahan status kantor UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3); c. pemindahan alamat kantor UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (2), Pasal 35 ayat (2), Pasal 35 ayat (4); dan d. penutupan kantor UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 39 ayat (2) dan ayat (5). (2) Bank Indonesia berwenang meminta dokumen pendukung pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 61C Dalam rangka memberikan persetujuan, penolakan dan penegasan atas permohonan pembukaan UUS serta permohonan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor UUS… - 29 - UUS, Bank Indonesia mempertimbangkan stabilitas sistem keuangan dan keselarasan dengan arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional. Pasal 61D Pelaksanaan pembukaan, pemindahan alamat, perubahan status, dan penutupan KFS wajib dilaporkan secara offline setiap bulan paling lama 5 (lima) hari kerja pada awal bulan laporan berikutnya selama belum dapat dilaporkan secara online melalui laporan kantor pusat bank umum. 13. Ketentuan Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2) diubah sehingga Pasal 62 berbunyi sebagai berikut: Pasal 62 (1) BUK yang memiliki UUS yang melanggar ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 8 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), Pasal 9 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 15, Pasal 15A ayat (7), Pasal 16, Pasal 18 ayat (1), Pasal 18A ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4), Pasal 21A ayat (3), Pasal 22 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4), Pasal 22A ayat (3), Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 24 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 24A ayat (2), Pasal 25 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 29, Pasal 30 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4), Pasal 30A, Pasal 31, Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), Pasal 37 ayat (1), Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 39 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 40 ayat (1), Pasal 41 ayat (5), Pasal 42, Pasal 43 ayat (2), Pasal 44 ayat (2), Pasal 45 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 48 ayat (3), Pasal 50 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 52 ayat (1), Pasal 53 ayat (1) dan (5), Pasal 57, Pasal 58 ayat (2), Pasal 60, Pasal 61, Pasal 61A, Pasal 61B ayat (1), dan/atau Pasal 61D dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. (2) BUK… - 30 - (2) BUK yang memiliki UUS yang melanggar ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2), Pasal 8 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 15A ayat (5), Pasal 28 ayat (3), Pasal 33 ayat (2), Pasal 35 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (5), Pasal 39 ayat (5), Pasal 44 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 48 ayat (2), Pasal 50 ayat (2), Pasal 51, Pasal 52 ayat (2), Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 54, dan/atau Pasal 58 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis dan denda uang sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kelambatan untuk setiap laporan dan/atau pengumuman dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah); b. teguran tertulis dan denda uang paling banyak sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) apabila BUK atau UUS tidak menyampaikan laporan dan/atau pengumuman. (3) BUK yang memiliki UUS dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b apabila BUK yang memiliki UUS belum menyampaikan laporan atau BUK yang memiliki UUS tidak menyampaikan laporan secara lengkap, dan/atau belum melaksanakan pengumuman setelah 30 (tiga puluh) hari sejak batas akhir penyampaian laporan dan/atau pengumuman. (4) Pengenaan sanksi teguran tertulis dan denda uang karena dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menghapus kewajiban BUK yang memiliki UUS untuk menyampaikan laporan dan/atau pelaksanaan pengumuman. (5) Dalam hal penyampaian laporan dan/atau pelaksanaan pengumuman dilakukan secara gabungan maka apabila BUK yang memiliki UUS dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sanksi dimaksud dihitung per jumlah laporan dan/atau pengumuman sebagaimana tercantum dalam laporan atau pengumuman gabungan. (6) BUK… - 31 - (6) BUK yang memiliki UUS yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 17 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah berupa pencabutan izin usaha UUS. Pasal II 1. Permohonan izin atau pelaporan rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan jaringan kantor yang diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini ditindaklanjuti dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah. 2. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 24 Desember 2013 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 24 Desember 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 234 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/14/PBI/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/10/PBI/2009 TENTANG UNIT USAHA SYARIAH I. UMUM Salah satu faktor penting dalam mewujudkan terciptanya industri perbankan yang sehat, kuat dan dipercaya masyarakat adalah terciptanya pengelolaan kelembagaan UUS secara profesional baik dalam pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia maupun dalam perencanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor UUS sehingga mampu mendukung pertumbuhan usaha secara sehat. Untuk mencapai maksud tersebut maka UUS perlu menerapkan prinsip tata kelola yang baik (good corporate governance) guna memitigasi berbagai risiko yang mungkin terjadi serta memastikan pemenuhan terhadap ketentuan yang berlaku. Disamping itu, dalam upaya untuk senantiasa meningkatkan efektivitas dan efisiensi, maka dipandang perlu untuk memanfaatkan perkembangan teknologi informasi sehingga laporan pengangkatan, penggantian atau pemberhentian Pejabat Eksekutif dan laporan pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor UUS disampaikan secara online melalui mekanisme laporan kantor pusat bank umum. II. PASAL… - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “izin usaha” adalah izin untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Analisis terhadap permodalan BUK antara lain bertujuan untuk mengukur kemampuan modal BUK dalam rangka penyertaan modal pada BUS hasil Pemisahan (spin off) UUS yang harus dilakukan paling lambat Juli 2023. Huruf f Pemenuhan aspek hukum antara lain mempertimbangkan ketentuan pemisahan usaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor… - 3 - Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Angka 3 Pasal 15 Penelitian terhadap calon Pejabat Eksekutif yang dilakukan oleh BUK yang memiliki UUS mencakup antara lain meminta informasi, referensi dari tempat kerja sebelumnya dan informasi mengenai kredit atau pembiayaan macet. Pasal 15A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Direktur UUS” adalah anggota Direksi BUK yang memiliki UUS yang bertanggungjawab penuh terhadap UUS. Ayat (3) Termasuk dalam pengertian pemberhentian adalah pemberhentian Pejabat Eksekutif atas perintah Bank Indonesia karena yang bersangkutan memiliki rekam jejak negatif. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Huruf a Pengertian “daftar tidak lulus” mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Huruf b… - 4 - Huruf b Pengertian “memiliki kredit atau pembiayaan macet” mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Huruf c Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 15B Cukup jelas. Angka 4 Pasal 18 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 18A Ayat (1) Kantor UUS meliputi: a. kantor UUS di dalam negeri antara lain berupa KCS, KCPS, KFS, KKS, KPKS, dan kegiatan LS; dan b. kantor UUS di luar negeri berupa KCS dan jenis-jenis kantor lainnya. Pencantuman rencana penutupan kantor UUS dalam rencana bisnis UUS tidak termasuk penutupan kantor UUS yang dilakukan karena pengenaan sanksi dari Bank Indonesia. Rencana… - 5 - Rencana bisnis UUS disajikan dan dilaporkan tersendiri yang merupakan bagian atau lampiran dari rencana bisnis BUK yang memiliki UUS. Ayat (2) Kajian ini merupakan pendukung rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor sebagaimana yang dalam rencana bisnis UUS. Kajian dalam rangka rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor UUS dapat digabungkan dengan kajian pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor BUK yang memiliki UUS. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Kondisi perekonomian nasional antara lain perimbangan pembangunan daerah, perluasan lapangan kerja, prioritas pengembangan sektor ekonomi, perluasan akses keuangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan produktif (financial Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup Jelas Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 18B… keberpihakan kepada kepentingan nasional. inclusion), dan - 6 - Pasal 18B Persyaratan pemenuhan tingkat kesehatan dan kecukupan permodalan didasarkan pada penilaian tingkat kesehatan BUK yang memiliki UUS. Angka 6 Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Pemisahan dimaksudkan agar nasabah dapat membedakan dengan jelas antara kantor syariah dengan kantor konvensional. Pemisahan dapat dilakukan dengan cara antara lain pembedaan warna ruangan, pembuatan sekat (partisi) dan/atau pemisahan ruangan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Dokumen pendukung yang disampaikan antara lain hasil studi kelayakan pembukaan kantor. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21… - 7 - Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “kantor BUK yang memiliki UUS” antara lain kantor cabang atau kantor cabang pembantu. Yang dimaksud dengan “kantor lain“ adalah kantor dari bank lain atau perusahaan lain. Huruf a Pemisahan dimaksudkan agar nasabah dapat membedakan dengan jelas antara kantor syariah dengan kantor konvensional. Pemisahan dapat dilakukan dengan cara antara lain pembedaan warna ruangan, pembuatan sekat (partisi) dan/atau pemisahan ruangan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 21A Ayat (1) Dokumen pendukung yang disampaikan antara lain hasil studi kelayakan pembukaan kantor. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4)… - 8 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “kantor BUK yang memiliki UUS” antara lain kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor kas. Yang dimaksud dengan “kantor lain“ adalah kantor dari bank lain atau perusahaan lain. Huruf a Pemisahan dimaksudkan agar nasabah dapat membedakan dengan jelas antara kantor syariah dengan kantor konvensional. Pemisahan dapat dilakukan dengan cara antara lain pembedaan warna ruangan, pembuatan sekat (partisi) dan/atau pemisahan ruangan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 22A Ayat (1) Dokumen pendukung yang disampaikan antara lain hasil studi kelayakan pembukaan kantor. Ayat (2)… - 9 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Kegiatan pemasaran yang dilakukan dalam rangka promosi, tidak bersifat permanen, dan hanya menerima setoran awal atau titipan kas sesuai persyaratan setoran minimal pembukaan rekening tidak termasuk dalam KPKS sehingga tidak perlu dilaporkan kepada Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan “tidak bersifat permanen” adalah kegiatan pemasaran yang dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari secara berturut-turut. Apabila kegiatan pemasaran dilakukan lebih dari 30 (tiga puluh) hari berturut-turut maka kegiatan tersebut digolongkan sebagai KPKS. Contoh: Dalam hal persyaratan setoran awal minimal dalam pembukaan rekening tabungan adalah sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), maka setoran awal yang boleh diterima UUS adalah sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Apabila UUS menerima… - 10 - menerima setoran awal lebih besar dari Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) maka kegiatan tersebut tidak dapat digolongkan sebagai kegiatan pemasaran, tetapi sebagai KPKS. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Kegiatan operasional yang dilakukan oleh KFS meliputi kegiatan penghimpunan dana dan/atau penyaluran dana secara terbatas. Contoh KFS yang melakukan kegiatan operasional adalah penyaluran pembiayaan kepada nasabah Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Huruf b Contoh KFS yang melakukan kegiatan non operasional adalah kantor perwakilan pemasaran. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “kantor BUK yang memiliki UUS” antara lain kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor kas. Yang dimaksud dengan “kantor lain“ adalah kantor dari bank lain atau perusahaan lain. Huruf a… - 11 - Huruf a Pemisahan dimaksudkan agar nasabah dapat membedakan dengan jelas antara kantor syariah dengan kantor konvensional. Pemisahan dapat dilakukan dengan cara antara lain pembedaan warna ruangan, pembuatan sekat (partisi) dan/atau pemisahan ruangan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 24A Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “teknologi sistem informasi yang memadai” adalah teknologi sistem informasi yang memungkinkan adanya pencatatan transaksi nasabah syariah secara otomasi dan online dan terpisah dengan pencatatan kantor konvensional. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27… - 12 - Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Dokumen pendukung yang disampaikan antara lain hasil studi kelayakan pembukaan kantor. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 29 Ayat (1) Peningkatan status KCPS atau KKS menjadi KCS dilakukan tanpa diikuti dengan penutupan KCPS atau KKS. Ayat (2) Peningkatan status KKS menjadi KCPS dilakukan tanpa diikuti dengan penutupan KKS. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 30A… - 13 - Pasal 30A Ayat (1) Perubahan status kantor KFS menjadi KCS dilakukan tanpa diikuti dengan penutupan KFS. Ayat (2) Perubahan status kantor KFS menjadi KCPS dilakukan tanpa diikuti dengan penutupan KFS. Ayat (3) Perubahan status kantor KFS menjadi KKS dilakukan tanpa diikuti dengan penutupan KFS. Ayat (4) Perubahan status kantor KCS menjadi KFS dilakukan tanpa diikuti dengan penutupan KCS. Ayat (5) Perubahan status kantor KCPS menjadi KFS dilakukan tanpa diikuti dengan penutupan KCPS. Angka 8 Pasal 31 Ayat (1) Pemindahan alamat KCS perlu mempertimbangkan kepentingan nasabah antara lain: a. jarak lokasi kantor lama dengan yang baru; b. jumlah nasabah yang telah dibiayai; dan c. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Dokumen pendukung yang disampaikan oleh BUK yang memiliki UUS antara lain hasil studi kelayakan pemindahan… infrastruktur penunjang pada lokasi kantor yang baru - 14 - pemindahan alamat di tempat kedudukan yang baru. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 35A Cukup jelas. Angka 9 Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Penyelesaian kewajiban KCS kepada nasabah dan pihak lainnya dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor UUS lainnya dari UUS tersebut atau pihak lain dengan persetujuan nasabah atau pihak lainnya. Ayat (5)… - 15 - Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Dokumen penutupan antara lain dokumen terkait penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya. Penyelesaian kewajiban tersebut dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor UUS atau pihak lain. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)… - 16 - Ayat (3) Pengajuan permohonan izin kepada otoritas di negara setempat dilakukan setelah adanya izin dari Bank Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 10 Pasal 55 Persetujuan atau penolakan atas permintaan pencabutan izin usaha UUS diberikan oleh Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain hasil analisis terhadap penjelasan yang disampaikan oleh BUK yang memiliki UUS mengenai alasan penutupan kegiatan usaha UUS dan/atau dampaknya terhadap masyarakat. Penjelasan rencana penutupan kegiatan usaha UUS dilakukan oleh BUK yang memiliki UUS melalui presentasi di Bank Indonesia. Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c… - 17 - Huruf c Yang dimaksud dengan “kewajiban UUS“ adalah kewajiban pembayaran gaji kepada karyawan UUS, kewajiban pajak terutang, dan kewajiban kepada nasabah penyimpan, nasabah investor, nasabah penerima fasilitas UUS baik yang tercatat pada neraca (on balance sheet) atau pada rekening administratif (off balance sheet). Huruf d Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Surat keputusan pencabutan izin usaha UUS diterbitkan dengan memperhatikan hasil pemeriksaan terhadap UUS yang bersangkutan untuk memastikan terpenuhinya persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Ayat (6) Yang dimaksud dengan “kewajiban UUS“ adalah kewajiban pembayaran gaji kepada karyawan UUS, kewajiban pajak terutang, dan kewajiban kepada nasabah penyimpan, nasabah investor, nasabah penerima fasilitas UUS baik yang tercatat pada neraca (on balance sheet) atau pada rekening administratif (off balance sheet). Ayat (7) Cukup jelas. Angka 11 Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59… - 18 - Pasal 59 Cukup jelas. Angka 12 Pasal 61A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Sesuai dengan ayat ini maka petunjuk dan dokumen operasional UUS dapat ditulis dengan lebih dari 1 (satu) bahasa dimana salah satunya adalah Bahasa Indonesia. Pasal 61B Cukup jelas. Pasal 61C Arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional antara lain terkait dengan upaya pengembangan ekonomi daerah, perluasan lapangan kerja, kesesuaian dengan prioritas sektor pembangunan, perluasan akses keuangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan produktif (financial inclusion), dan keberpihakan kepada kepentingan nasional. Pasal 61D Cukup jelas. Angka 13 Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia apabila telah disampaikan secara lengkap dengan memuat… - 19 - memuat data, informasi dan/atau dokumen yang dipersyaratkan sesuai jenis laporannya. Tanggal penerimaan laporan oleh Bank Indonesia adalah tanggal: a. Stempel pos (time stamp), apabila laporan dikirimkan melalui P.T. Pos Indonesia atau jasa pengiriman lainnya; atau b. Penerimaan laporan di kantor Bank Indonesia, apabila laporan disampaikan secara langsung kepada Bank Indonesia. Huruf a Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung sebagai berikut: Jumlah kewajiban membayar =jumlah hari keterlambatan x Rp1.000.000,00 x jumlah laporan atau pengumuman. Huruf b Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung sebagai berikut: Jumlah kewajiban membayar =Rp30.000.000,00 x jumlah laporan atau pengumuman. BUK atau UUS yang dikenakan sanksi tidak menyampaikan laporan atau pengumuman, tidak dikenakan sanksi keterlambatan penyampaian laporan atau pengumuman. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6)… - 20 - Ayat (6) Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5477
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 15/14/PBI/2013 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/10/PBI/2009 TENTANG UNIT USAHA SYARIAH </reg_title> <set_date> 24 Desember 2013 </set_date> <effective_date> 24 Desember 2013 </effective_date> <issued_date> 24 Desember 2013 </issued_date> <changed_reg> '11/10/PBI/2009' </changed_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '40/UU/2007' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 13 Pasal 62 Ayat (1)', 'Pasal I Angka 13 Pasal 62 Ayat (2)', 'Pasal I Angka 13 Pasal 62 Ayat (4)', 'Pasal I Angka 13 Pasal 62 Ayat (5)', 'Pasal I Angka 13 Pasal 62 Ayat (6)' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 11/ 16 /PBI/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/25/PBI/2000 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender); b. bahwa untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada desain uang kertas rupiah pecahan 1.000 (seribu) sebagai legal tender di Negara Kesatuan Republik Indonesia, diperlukan penyempurnaan desain uang rupiah antara lain mengenai penandatanganan pada uang, penempatan letak tahun pengeluaran atau tahun emisi, dan tahun pencetakan uang; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Rupiah Pecahan 1.000 (Seribu) Tahun Emisi 2000; Mengingat . . . -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4762); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/25/PBI/2000 TENTANG PENGELUARAN ... -3- PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2000. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/25/PBI/2000 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Rupiah Pecahan 1.000 (Seribu) Tahun Emisi 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 207) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 Ciri uang rupiah pecahan 1.000 (seribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah: 1. Warna a. bagian muka dicetak dengan warna biru, jingga, violet merah, dan hijau; b. bagian belakang dicetak dengan warna biru kemerahan, hijau, kuning, biru, dan violet. 2. Gambar a. bagian muka 1) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Kapitan Pattimura, dan dibawahnya dicantumkan tulisan ”KAPITAN PATTIMURA”; 2) pada sebelah kiri gambar utama terdapat angka nominal “1000” arah horizontal, sebagian gambar rectoverso yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo “BI”, embossed latent image yang memuat angka “1000” dan tulisan “BI” negatif atau ... -4- atau positif, tulisan “BANK INDONESIA”, dan tulisan “SERIBU RUPIAH”; 3) pada sebelah kanan gambar utama terdapat cetakan latent image memuat logo ”BI” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu, tulisan mikro “BI” yang disusun secara miring ke kiri dan ke kanan bergantian membentuk garis-garis horizontal, gambar Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila, angka nominal “1000” arah vertikal, angka tahun pencetakan “2009” (angka 2009 akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”, dan tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP”, dan angka tahun pengeluaran atau tahun emisi “2000”; 4) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari: a) garis-garis lengkung yang membentuk hiasan; b) garis-garis halus guilloche; c) garis-garis vertikal dan horizontal yang membentuk hiasan anak tangga; d) belah ketupat yang membentuk hiasan teratai; e) ornamen Maluku yang terpahat pada batu peninggalan zaman Megalithicum; b. bagian belakang 1) gambar utama berupa gambar Pulau Maitara dan Tidore, dan di tengahnya terdapat gambar nelayan yang sedang menebarkan jala ikan yang terbentuk dari tulisan modulasi “BI” yang utuh atau terpotong sebagian; 2) pada ... -5- 2) pada sebelah atas gambar utama terdapat tulisan “PULAU MAITARA DAN TIDORE”, tulisan “BANK INDONESIA”, tulisan mikro “BANKINDONESIA” yang berulang-ulang tanpa spasi, dan nomor seri berwarna merah (terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka) yang akan memendar merah kekuningan di bawah sinar ultra violet; 3) pada sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan ”DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SERIBU RUPIAH”, angka nominal “1000” arah horizontal, dan tulisan mikro “BANKINDONESIA” yang berulang tanpa spasi; 4) pada sebelah kiri gambar utama terdapat angka nominal “1000” arah vertikal, dan nomor seri berwarna hitam (terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka) yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; 5) pada sebelah kanan gambar utama terdapat sebagian gambar rectoverso yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo “BI”; 6) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari: a) garis-garis halus guilloche; b) hiasan roset; c) garis-garis bergelombang, bulatan-bulatan dan titik-titik, garis vertikal dan horizontal yang membentuk hiasan; d) roncean bunga membentuk pagar. 3. Bahan Jenis bahan terbuat dari 100% (seratus persen) serat kapas, dan memiliki spesifikasi sebagai berikut: a. ukuran panjang 141 mm dan lebar 65 mm; b. warna ... -6- b. warna krem (putih kekuning-kuningan); c. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; d. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Cut Nyak Meutia; e. benang pengaman terbuat dari plastik tembus pandang yang memuat tulisan mikro berwarna hitam “BANK INDONESIA” yang utuh atau terpotong sebagian, dan memendar merah di bawah sinar ultra violet. 2. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 5 A, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 A Uang kertas rupiah pecahan 1.000 (seribu) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan ... -7- Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 29 April 2009. GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 29 April 2009. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 70 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 11/16/PBI/2009 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/25/PBI/2000 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2000 </reg_title> <set_date> 29 April 2009 </set_date> <effective_date> 29 April 2009 </effective_date> <issued_date> 29 April 2009 </issued_date> <changed_reg> '2/25/PBI/2000' </changed_reg> <related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/14/PBI/2004', '23/UU/1999', '9/10/PBI/2007', '6/UU/2009' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/ 41 /PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KHUSUS PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 DALAM BENTUK UANG KERTAS BELUM DIPOTONG GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa uang kertas berfungsi sebagai alat pembayaran, dan sekaligus merupakan sarana bagi perkembangan numismatika di Indonesia; b. bahwa dalam rangka mendorong perkembangan numismatika (koleksi uang) di Indonesia, dipandang perlu untuk mengeluarkan uang kertas yang memiliki keunikan; c. bahwa dalam upaya tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang khusus pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 dalam bentuk uang kertas belum dipotong; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang pengeluaran dan pengedaran uang khusus pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 dalam bentuk uang kertas belum dipotong; Mengingat … -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tanggal 22 Juni 2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KHUSUS PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 DALAM BENTUK UANG UANG KERTAS BELUM DIPOTONG. Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Uang adalah uang rupiah. 2. Uang Khusus adalah Uang yang dikeluarkan secara khusus dalam rangka memperingati peristiwa atau tujuan tertentu dan memiliki nilai nominal yang berbeda dengan nilai jualnya. 3. Uang … -3- 3. Uang Kertas Belum Dipotong adalah uang bersambung atau lembaran Uang terdiri dari 2 (dua) lembar (bilyet) atau 4 (empat) lembar (bilyet) atau 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet) dan masih merupakan satu kesatuan. Pasal 2 (1) Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan Uang Khusus pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 dalam bentuk Uang Kertas Belum Dipotong. (2) Setiap lembaran Uang Khusus terdiri dari 2 (dua) lembar (bilyet) atau 4 (empat) lembar (bilyet) atau 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet) uang kertas yang masih merupakan satu kesatuan. Pasal 3 Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikeluarkan dan diedarkan paling banyak: a. 1.700 (seribu tujuh ratus) lembaran yang terdiri dari 2 (dua) lembar (bilyet); b. 900 (sembilan ratus) lembaran yang terdiri dari 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 20 (dua puluh) lembaran yang terdiri dari 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet). Pasal 4 (1) Setiap lembar (bilyet) Uang dalam Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mempunyai nilai nominal sebesar Rp10.000 (sepuluh ribu rupiah). (2) Setiap lembaran Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang terdiri dari : a. 2 (dua) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar Rp20.000 (dua puluh ribu rupiah); b. 4 (empat) … -4- b. 4 (empat) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar Rp40.000 (empat puluh ribu rupiah); c. 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar Rp450.000 (empat ratus lima puluh ribu rupiah). Pasal 5 (1) Jenis lembaran Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri dari: a. lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet) dalam bentuk persegi panjang dan berukuran 145 mm x 130 mm; b. lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet) dalam bentuk persegi panjang dan berukuran 290 mm x 130 mm; c. lembaran yang memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet) dalam bentuk persegi panjang dan berukuran 725 mm x 585 mm. (2) Setiap lembaran Uang Khusus dilengkapi dengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia. (3) Bahan dan ciri setiap lembar uang yang terdapat pada Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah : a. warna bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan ungu; b. gambar 1. bagian muka a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Badaruddin II dan di bawahnya dicantumkan tulisan “SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II”; b) di sebelah kiri gambar utama terdapat gambar ornamen daerah Palembang berbentuk lingkaran berwarna oranye yang akan memendar kuning di bawah sinar ultra violet; c) di … -5- c) di sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan “SEPULUH RIBU RUPIAH”; d) di sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan di sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka nominal “10000”; e) di sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal “10000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; f) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi (latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi panjang berbentuk ornamen daerah Pelembang yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; g) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara Garuda Pancasila; h) di sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam bidang segi delapan yang dicetak dengan tinta khusus (optically variable ink) yang akan berubah warna dari hijau menjadi biru apabila dilihat dari sudut pandang berbeda; i) di sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun emisi “2005”, tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia (Burhanuddin Abdullah) beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia (Bun Bunan E.J. Hutapea) beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”; j) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang membentuk ornamen daerah Palembang; k) mikroteks … -6- k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat di; 1) sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal “10000” berupa tulisan BI; 2) sebelah kiri gambar utama di atas dan bawah gambar saling isi (rectoverso) berupa angka 10000 yang membentuk garis vertikal; 3) sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berupa tulisan BANKINDONESIA sebagai latar belakang uang; 4) sebelah kanan gambar utama berupa tulisan BANKINDONESIA10000 yang tersusun diagonal membentuk warna dasar dan gambar ornamen daerah Palembang; l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa tulisan BI10000 yang berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda. 2. bagian belakang a) gambar utama berupa gambar Rumah Limas, Palembang; b) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA”; c) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SEPULUH RIBU RUPIAH”; d) di sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan di sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “10000”; e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak di sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna … -7- berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet dan di sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet; f) di sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; g) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar siluet dari rumah limas yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; h) di sebelah kiri bawah gambar utama terdapat cetakan tidak kasat mata berupa angka nominal “10000” dalam kotak persegi panjang yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; i) di sebelah kanan atas dan bawah gambar utama terdapat angka 10000 yang membentuk warna dasar; j) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat di: 1) sebelah kanan di atas atap rumah limas berupa angka 10000 yang membentuk daun-daun pepohonan; 2) sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi nominal “10000” berupa tulisan BI; angka k) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di: 1) atas dan bawah tanda air berupa tulisan BANKINDONESIA yang berbentuk garis melengkung dengan ukuran teks berbeda; 2) sebelah kanan di atas tulisan BANK INDONESIA dan di bawah angka nominal “10000” berupa tulisan BANKINDONESIA yang membentuk lingkaran. c. bahan … -8- c. bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut : 1. terbuat dari serat kapas; 2. ukuran panjang 145 mm dan lebar 65 mm; 3. warna ungu muda; 4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; 5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Badaruddin II dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah Palembang; 6. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan “BI10000” berulang-ulang dan akan memendar berwana merah di bawah sinar ultra violet. Pasal 6 Harga Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) adalah sebagai berikut: a. lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet) mempunyai harga sebesar Rp70.000,00 (tujuh puluh ribu rupiah) per lembaran; b. lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet) mempunyai harga sebesar Rp140.000,00 (seratus empat puluh ribu rupiah) per lembaran; c. lembaran yang memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet) mempunyai harga sebesar Rp1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) per lembaran. Pasal 7 (1) Pengedaran Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kepada masyarakat dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara penjualan secara langsung atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. (2) Pengedaran … -9- (2) Pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara penjualan secara langsung, dilakukan dengan harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. (3) Dalam keadaan tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan penjualan secara lelang dengan harga penawaran tertinggi dari harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. (4) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain meliputi: a. penjualan perdana (diawal periode pengeluaran); b. apabila terjadi kelebihan permintaan; c. kondisi tertentu untuk tujuan penggalangan dana guna sumbangan sosial. (5) Pelaksanaan penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Pasal 8 Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dijamin oleh Bank Indonesia sebesar nilai nominal. Pasal 9 (1) Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia. (2) Dalam hal Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 digunakan sebagai alat pembayaran maka nilai setiap lembar (bilyet) bernilai sebesar nilai nominal. Pasal … -10- Pasal 10 (1) Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dalam kondisi rusak dapat dimintakan penggantian kepada Bank Indonesia. (2) Penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk uang bukan Uang Khusus. (3) Besarnya penggantian sebagaimana ayat (1) dihitung atas dasar ukuran dari masing-masing lembar (bilyet) dengan mengacu kepada ketentuan yang berlaku. Pasal 11 Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikeluarkan dan diedarkan mulai tanggal 20 Oktober 2005. Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 18 Oktober 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 101 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/41/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KHUSUS PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 DALAM BENTUK UANG KERTAS BELUM DIPOTONG </reg_title> <set_date> 18 Oktober 2005 </set_date> <effective_date> 18 Oktober 2005 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '6/14/PBI/2004' </related_reg>
-1- PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/5/PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/6/PBI/2003 TENTANG SURAT KREDIT BERDOKUMEN DALAM NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas di bidang moneter, perbankan dan sistem pembayaran perlu didukung oleh ketersediaan informasi yang dapat dijadikan dasar penetapan kebijakan moneter, perbankan dan sistem pembayaran yang tepat, efektif dan terukur; b. bahwa dengan implementasi Laporan Kantor Pusat Bank yang terintegrasi secara On-Line dapat mendukung ketersediaan informasi yang disampaikan bank secara akurat, benar, dan lengkap yang dapat diakses secara simultan; c. bahwa ketentuan pelaporan tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri yang berlaku saat ini perlu disesuaikan agar sejalan dengan ketentuan mengenai laporan kantor pusat bank yang berlaku; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan mengenai Surat Kredit Berdokumen … -2- Berdokumen Dalam Negeri, dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/6/PBI/2003 tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4289); 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/3/PBI/2008 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4810); MEMUTUSKAN … -3- MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/6/PBI/2003 TENTANG SURAT KREDIT BERDOKUMEN DALAM NEGERI. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/6/PBI/2003 tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4289) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27 Bank wajib menyampaikan laporan SKBDN setiap bulan dengan berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Laporan Kantor Pusat Bank Umum yang berlaku. 2. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 Bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Laporan Kantor Pusat Bank Umum yang berlaku. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar … -4- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 15 Februari 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 15 Februari 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 31 DInt/UKMI PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/5/PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/6/PBI/2003 TENTANG SURAT KREDIT BERDOKUMEN DALAM NEGERI UMUM Dalam menjalankan tugas sebagai otoritas moneter, pengawasan bank, dan sistem pembayaran nasional sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No. 23 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 tahun 2004, diperlukan dukungan ketersediaan data dan informasi yang akurat dan tepat waktu yang dapat dijadikan Bank Indonesia sebagai dasar penetapan kebijakan moneter, perbankan, dan sistem pembayaran yang tepat, efektif, dan terukur. Data dan informasi dimaksud berupa kondisi keuangan bank yang disajikan dalam bentuk laporan keuangan maupun kegiatan usaha bank. Sejalan dengan upaya meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan informasi di Bank Indonesia, maka diperlukan suatu sistem pelaporan bank yang didukung oleh infrastruktur sistem informasi yang lebih memadai melalui Sistem Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU). Implementasi sistem LKPBU membawa konsekuensi pada perubahan metode penyampaian laporan yang selama ini disampaikan bank secara manual dalam bentuk hardcopy. Salah satu laporan tersebut adalah laporan transaksi Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN). Dengan… -2- Dengan mempertimbangkan hal tersebut, Bank Indonesia menganggap perlu untuk menyempurnakan Peraturan Bank Indonesia tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri khususnya terkait dengan aturan penyampaian laporan berikut pengenaan sanksinya. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 27 Format laporan SKBDN mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai Laporan Kantor Pusat Bank Umum yang berlaku, sehingga Lampiran 1 mengenai Laporan Transaksi SKBDN dan Lampiran 2 mengenai Laporan Pengambilalihan “Wesel SKBDN” yang dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/6/PBI/2003 tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri tidak digunakan lagi. Angka 2 Pasal 28 Cukup jelas Pasal II Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4819.... DInt/UKMI
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/5/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/6/PBI/2003 TENTANG SURAT KREDIT BERDOKUMEN DALAM NEGERI </reg_title> <set_date> 15 Februari 2008 </set_date> <effective_date> 15 Februari 2008 </effective_date> <issued_date> 15 Februari 2008 </issued_date> <changed_reg> '5/6/PBI/2003' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '10/3/PBI/2008', '3/UU/2004', '5/6/PBI/2003', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 2 Pasal 28' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 22/1/PBI/2020 TENTANG JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2019 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu tugas Bank Indonesia dalam pengelolaan uang rupiah yaitu melakukan pemusnahan terhadap uang rupiah; b. bahwa sesuai dengan amanat Pasal 18 ayat (2) Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, jumlah dan nilai nominal uang rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Jumlah dan Nilai Nominal Uang Rupiah yang Dimusnahkan Tahun 2019; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/10/PBI/2019 tentang Pengelolaan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6378); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2019. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Uang Rupiah adalah rupiah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai mata uang. 2. Uang Rupiah Tidak Layak Edar adalah Uang Rupiah yang terdiri atas Uang Rupiah lusuh, Uang Rupiah cacat, dan Uang Rupiah rusak. - 3 - 3. Pemusnahan adalah suatu rangkaian kegiatan meracik, melebur, atau cara lain memusnahkan Uang Rupiah sehingga tidak menyerupai Uang Rupiah. BAB II PEMUSNAHAN UANG RUPIAH Pasal 2 Uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia meliputi: a. Uang Rupiah Tidak Layak Edar; dan b. Uang Rupiah yang sudah tidak berlaku. Pasal 3 Pemusnahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Uang Rupiah kertas diracik dengan menggunakan mesin yang memiliki fungsi untuk meracik Uang Rupiah kertas sehingga tidak lagi menyerupai Uang Rupiah kertas; dan b. Uang Rupiah logam dilebur sehingga tidak lagi menyerupai Uang Rupiah logam. Pasal 4 (1) Jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. (2) Data jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis pecahan, jumlah bilyet atau keping, dan nilai nominal. (3) Data jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk periode tanggal 1 Januari 2019 sampai dengan 31 Desember 2019 tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bank Indonesia ini. - 4 - BAB III KETENTUAN PENUTUP Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Januari 2020 GUBERNUR BANK INDONESIA, TTD PERRY WARJIYO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Januari 2020 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, TTD YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 36
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 22/1/PBI/2020 </reg_id> <reg_title> JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2019 </reg_title> <set_date> 29 Januari 2020 </set_date> <effective_date> 30 Januari 2020 </effective_date> <issued_date> 30 Januari 2020 </issued_date> <related_reg> '21/10/PBI/2019', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/ 17 /PBI/2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/12/PBI/2009 TENTANG UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan penggunaan uang elektronik sekaligus mendukung keuangan inklusif, penggunaan uang elektronik melalui penyelenggaraan layanan keuangan digital perlu ditingkatkan dan diperlancar; b. bahwa untuk meningkatkan dan memperlancar penyelenggaraan layanan keuangan digital perlu dilakukan penyempurnaan pengaturan mengenai pihak yang dapat menyelenggarakan layanan keuangan digital; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money); Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik - 2 - Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164); 5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5204); 6. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406); - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/12/PBI/2009 TENTANG (ELECTRONIC MONEY). Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5001) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5524) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 24D diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24D (1) Penyelenggaraan LKD melalui Agen LKD individu hanya dapat dilakukan oleh Penerbit berupa Bank. (2) Penerbit berupa Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berbadan hukum Indonesia; b. merupakan bank umum yang memenuhi kriteria: 1. Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan 4; atau 2. Bank Pembangunan Daerah kategori Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 1 dan 2 yang memiliki sistem teknologi informasi yang memadai, serta profil UANG ELEKTRONIK - 4 - mandat penyaluran program bantuan sosial; dan c. memenuhi persyaratan operasional yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Penerbit berupa Bank yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang akan menyelenggarakan LKD melalui Agen LKD individu wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia rencana penyelenggaraan kegiatan LKD melalui Agen LKD individu. (4) Bank Indonesia memberikan persetujuan terhadap rencana penyelenggaraan kegiatan LKD melalui Agen LKD individu yang disampaikan oleh Penerbit berupa Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, penyampaian rencana penyelenggaraan LKD melalui Agen LKD individu, dan persetujuan Bank Indonesia diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 2. Di antara Pasal 24G dan Pasal 25 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni Pasal 24H yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 24H (1) Penerbit dalam menyelenggarakan LKD wajib paling kurang menerapkan prosedur Customer Due Diligence (CDD) yang lebih sederhana. (2) Penerapan prosedur Customer Due Diligence (CDD) yang lebih sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pencatatan data identitas Pemegang Uang Elektronik registered yang disederhanakan. (3) Pencatatan data identitas Pemegang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling kurang mencakup informasi: a. nama; b. tempat dan tanggal lahir; c. alamat; - 5 - d. nomor dokumen identitas; dan e. nama ibu kandung. (4) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib didukung dengan dokumen identitas atau dokumen lainnya sebagai pengganti dokumen identitas yang dapat memberikan keyakinan kepada Penerbit tentang profil calon Pemegang. (5) Apabila dalam menyelenggarakan LKD, Penerbit menemukan kondisi: a. terdapat ketidaksesuaian profil calon Pemegang; b. terdapat calon Pemegang yang merupakan Politically Exposed Person (PEP); dan/atau c. terdapat dugaan terjadi transaksi pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme, Penerbit wajib melaksanakan prosedur Customer Due Diligence (CDD) sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal II 1. Penyampaian rencana penyelenggaraan LKD yang telah dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tunduk pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5001) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5524) sampai dengan persetujuan diberikan oleh Bank Indonesia. 2. Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 6 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Agustus 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Agustus 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 179 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/ 17 /PBI/2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/12/PBI/2009 TENTANG UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY) I. UMUM Dalam rangka meningkatkan penggunaan Uang Elektronik sekaligus mendukung keuangan inklusif di Indonesia, Bank Indonesia memandang perlu untuk melakukan penyesuaian terhadap ketentuan Uang Elektronik khususnya yang terkait dengan penyelenggaraan LKD. Penyelenggaraan LKD yang dimulai sejak tahun 2014 dinilai masih dapat ditingkatkan. Peningkatan penyelenggaraan LKD dilakukan melalui relaksasi terhadap beberapa ketentuan terkait LKD antara lain perluasan terhadap pihak yang dapat menyelenggarakan LKD melalui Agen LKD individu, kemudahan operasionalisasi penyelenggaraan LKD, dan harmonisasi dengan ketentuan lainnya yang terkait dengan keuangan inklusif. Masih cukup tingginya jumlah masyarakat Indonesia yang belum tersentuh jasa layanan keuangan menunjukkan bahwa penetrasi penyelenggaraan LKD perlu ditingkatkan, salah satunya dengan memperluas penyelenggara LKD melalui Agen LKD individu. Penyelenggaraan LKD melalui Agen LKD individu kini tidak hanya dapat dilakukan oleh Penerbit berupa Bank yang termasuk kategori Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4, namun juga dapat dilakukan oleh Penerbit berupa Bank yang termasuk kategori Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 3, dan Bank Pembangunan Daerah kategori Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 1 dan - 2 - 2 yang memiliki sistem teknologi informasi yang memadai serta profil mandat penyaluran program bantuan sosial. Melalui perluasan tersebut, diharapkan terdapat penambahan jumlah penyelenggara LKD melalui Agen LKD individu sehingga dapat memperluas jangkauan LKD untuk melayani masyarakat yang belum tersentuh jasa sistem pembayaran dan keuangan formal (unbankable). Dalam rangka mempermudah akses masyarakat untuk menggunakan Uang Elektronik, dilakukan penyederhanaan terhadap minimum informasi yang diperlukan dalam melakukan pencatatan data identitas Pemegang untuk Uang Elektronik registered yang digunakan dalam penyelenggaraan LKD (Customer Due Dilligence (CDD)) dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan ketentuan yang mengatur mengenai anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 24D Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “bank umum” adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa pembayaran. Angka 1 Kategori Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan 4 adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor dalam lalu lintas - 3 - berdasarkan modal inti Bank. Angka 2 Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Rencana penyelenggaraan kegiatan LKD melalui Agen LKD Individu oleh Penerbit disampaikan pada awal penyelenggaraan kegiatan LKD. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 2 Pasal 24H Ayat (1) Kewajiban penerapan prosedur Customer Due Diligence (CDD) secara umum telah diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Ayat (2) Customer Due Diligence (CDD) yang lebih sederhana dalam hal ini dilakukan melalui pencatatan data identitas yang menggunakan antara lain perangkat teknologi dalam penyampaian dokumen dan proses validasi dan persetujuan secara elektronik, dalam rangka mempercepat proses identifikasi calon Pemegang Uang Elektronik registered untuk tujuan program keuangan inklusif. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. - 4 - Huruf d Dokumen identitas antara lain berupa kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi, paspor, kartu pelajar yang disertai dengan surat persetujuan dari orang tua, atau kartu program pemerintah seperti kartu program keluarga harapan atau kartu keanggotaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Huruf e Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Ketentuan yang berlaku antara lain ketentuan yang mengatur mengenai anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5925
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/17/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/12/PBI/2009 TENTANG UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY) </reg_title> <set_date> 29 Agustus 2016 </set_date> <effective_date> 29 Agustus 2016 </effective_date> <issued_date> 29 Agustus 2016 </issued_date> <changed_reg> '11/12/PBI/2009' </changed_reg> <extension_of> '16/8/PBI/2014' </extension_of> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '8/UU/2010', '9/UU/2013', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/32/PBI/2016 TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis, baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; b. bahwa guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar; c. bahwa untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank - 2 - Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan keandalannya; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Pecahan 2.000 (Dua Ribu) Tahun Emisi 2016; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2016. Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. - 3 - Pasal 2 Macam uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciri tertentu. Pasal 3 Harga uang Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp2.000,00 (dua ribu rupiah). Pasal 4 Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang terdapat pada bagian depan dan bagian belakang meliputi: a. ciri umum; dan b. ciri khusus. Pasal 5 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, pada bagian depan terdapat: a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”; b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”; c. sebutan pecahan dalam angka “2000” dan tulisan “DUA RIBU RUPIAH”; d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan “MENTERI KEUANGAN”; e. tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”; f. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Mohammad Hoesni Thamrin beserta tulisan “MOHAMMAD HOESNI THAMRIN”; g. gambar ornamen batik; dan h. gambar lingkaran-lingkaran kecil. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan abu-abu; - 4 - b. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f; c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan “BI” dan angka “2” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; e. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan (tactile); f. gambar raster berupa tulisan “BI” yang tertulis utuh dan/atau sebagian; g. mikroteks yang memuat tulisan “BI2”, tulisan “BI2000”, dan angka “2”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan h. hasil cetak yang akan memendar apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah satunya berisi tulisan “BI”; 2. angka nominal “2000”; 3. ornamen batik; dan 4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 6 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, pada bagian belakang terdapat: a. angka nominal “2000”; b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka; c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI DUA RIBU RUPIAH”; d. tulisan tahun cetak “TC 2016”; - 5 - e. gambar utama yaitu tari piring beserta tulisan “TARI PIRING”, pemandangan alam Ngarai Sianok beserta tulisan “Ngarai Sianok”, dan bunga jeumpa; f. tulisan “BANK INDONESIA”; g. gambar ornamen batik; h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan i. tulisan “PERURI”. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan abu-abu; b. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; c. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka “2000”; d. mikroteks yang memuat tulisan “BI2000” dan angka “2000”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan e. hasil cetak yang akan memendar apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. gambar bunga jeumpa; 2. gambar sebagian pemandangan alam Ngarai Sianok; dan 3. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka. (3) Angka dalam tulisan tahun cetak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d akan berubah sesuai dengan tahun cetak. Pasal 7 Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri khusus sebagai berikut: a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi: 1. terbuat dari serat kapas; 2. berwarna abu-abu; - 6 - 3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet; 4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar Pahlawan Nasional Pangeran Antasari; dan 5. terdapat benang pengaman yang memuat tulisan “BI 2000” secara berulang, yang akan memendar apabila dilihat dengan sinar ultraviolet; dan b. ukuran yaitu panjang 141 (seratus empat puluh satu) milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter. Pasal 8 Uang Rupiah kertas pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi 2009 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. Pasal 9 Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 7 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 216
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/32/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2016 </reg_title> <set_date> 26 Oktober 2016 </set_date> <effective_date> 28 Oktober 2016 </effective_date> <issued_date> 28 Oktober 2016 </issued_date> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/17/PBI/2008 TENTANG PRODUK BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perkembangan dan kelangsungan usaha bank tergantung antara lain dari kemampuan bank dalam melakukan inovasi produk dan jasa bank; b. bahwa implementasi atas banyaknya inovasi produk dan jasa Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah harus tetap mengacu kepada Prinsip Syariah dan prinsip kehati-hatian; c. bahwa untuk memitigasi berbagai risiko dalam kaitan inovasi produk dan jasa bank yang semakin berkembang perlu diimbangi dengan mekanisme perizinan atau pelaporan dan penghentian produk dan jasa bank yang lebih sesuai dengan upaya pengembangan Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu diatur ketentuan tentang produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 3843) sebagaimana … - 2 - sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PRODUK BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. 2. Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan … - 3 - melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 4. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 5. Produk Bank, yang selanjutnya disebut Produk, adalah produk yang dikeluarkan Bank baik di sisi penghimpunan dana maupun penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank yang sesuai dengan Prinsip Syariah, tidak termasuk produk lembaga keuangan bukan Bank yang dipasarkan oleh Bank sebagai agen pemasaran. 6. Produk Non Bank adalah produk yang dikeluarkan lembaga keuangan bukan Bank. BAB II PERIZINAN ATAU PELAPORAN PRODUK Pasal 2 (1) Bank wajib melaporkan rencana pengeluaran Produk baru kepada Bank Indonesia. (2) Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Produk sebagaimana ditetapkan dalam Buku Kodifikasi Produk Perbankan Syariah yang diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (3) Dalam hal Bank akan mengeluarkan Produk baru yang tidak termasuk … - 4 - termasuk dalam Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka Bank wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. Pasal 3 (1) Laporan rencana pengeluaran Produk baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari sebelum Produk baru dimaksud akan dikeluarkan. (2) Bank Indonesia memberikan penegasan atas laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 15 (lima belas) hari sejak seluruh persyaratan dipenuhi dan dokumen pelaporan diterima secara lengkap. (3) Bank dilarang mengeluarkan Produk baru dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila belum memperoleh penegasan tidak keberatan dari Bank Indonesia. (4) Apabila dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari setelah seluruh persyaratan dipenuhi dan dokumen pelaporan diterima secara lengkap, Bank Indonesia tidak memberikan penegasan, maka Bank dapat mengeluarkan Produk baru dimaksud. Pasal 4 Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (3) paling lambat 15 (lima belas) hari sejak seluruh persyaratan dipenuhi dan dokumen pelaporan diterima secara lengkap. Pasal 5 … - 5 - Pasal 5 Bank wajib melaporkan realisasi pengeluaran Produk baru paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah Produk baru dimaksud dikeluarkan. BAB III PENJELASAN PRODUK Pasal 6 (1) Bank wajib memberikan penjelasan kepada Bank Indonesia atas Produk baru yang wajib mendapatkan persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3). (2) Bank Indonesia dapat meminta kepada Bank untuk memberikan penjelasan atas: a. Produk baru yang wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); b. Produk yang telah dikeluarkan; atau c. Produk Non Bank yang dipasarkan oleh Bank. BAB IV PENGHENTIAN PRODUK Pasal 7 Bank wajib menghentikan kegiatan Produk dalam hal: a. Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 atau Pasal 3 ayat (3); b. Produk tersebut tidak sesuai dengan Prinsip Syariah; atau c. Produk tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 8 … - 6 - Pasal 8 (1) Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menghentikan kegiatan Produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. (2) Penghentian kegiatan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersifat tetap atau sementara. (3) Dalam hal Produk dikenakan penghentian sementara maka: a. Bank wajib menyempurnakan Produk dimaksud dalam jangka waktu yang ditetapkan Bank Indonesia. b. Bank untuk sementara dilarang menjual Produk tersebut. c. Penghentian sementara dapat dicabut apabila Bank telah menyempurnakan Produk dimaksud. d. Dalam hal Bank tidak dapat menyempurnakan Produk dimaksud dalam jangka waktu yang ditetapkan Bank Indonesia, maka atas Produk tersebut dapat dikenakan penghentian tetap. (4) Dalam hal Produk dikenakan penghentian tetap maka Bank wajib menghentikan kegiatan Produk dan menyelesaikan hak dan kewajiban nasabah Produk dimaksud dalam jangka waktu yang ditetapkan Bank Indonesia. BAB V LAIN-LAIN Pasal 9 (1) Dalam hal terdapat pengaturan secara khusus atas Produk atau Produk Non Bank dalam ketentuan Bank Indonesia lainnya, maka mekanisme penyampaian laporan atau permohonan persetujuan atas Produk baru atau Produk Non Bank tetap mengacu kepada ketentuan … - 7 - ketentuan Bank Indonesia terkait. (2) Selain tetap mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib menyampaikan dokumen sebagai berikut: a. fatwa Majelis Ulama Indonesia terhadap Produk atau Produk Non Bank; dan b. pendapat syariah dari Dewan Pengawas Syariah Bank terhadap Produk atau Produk Non Bank. (3) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan bersamaan dengan penyampaian laporan atau permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB VI SANKSI Pasal 10 (1) Bank Umum Syariah dan UUS yang tidak mematuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu mengeluarkan Produk baru tanpa melaporkan rencana pengeluaran Produk baru kepada Bank Indonesia atau melaporkan rencana pengeluaran Produk baru setelah Produk baru dikeluarkan, dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa teguran tertulis dan denda uang paling banyak sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) untuk setiap produk. (2) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang tidak mematuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu mengeluarkan Produk baru tanpa melaporkan rencana pengeluaran Produk baru kepada Bank Indonesia … - 8 - Indonesia atau melaporkan rencana pengeluaran Produk baru setelah Produk baru dikeluarkan, dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa teguran tertulis dan denda uang paling banyak sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) untuk setiap produk. (3) Bank Umum Syariah dan UUS yang tidak mematuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (3) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa teguran tertulis dan denda uang paling banyak sebesar Rp35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah) untuk setiap produk. (4) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang tidak mematuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (3) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa teguran tertulis dan denda uang paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk setiap produk. (5) Bank Umum Syariah dan UUS yang tidak mematuhi ketentuan dalam Pasal 3 ayat (3) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa teguran tertulis dan denda uang paling banyak sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) untuk setiap produk. (6) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang tidak mematuhi ketentuan dalam Pasal 3 ayat (3) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan … - 9 - Perbankan Syariah, berupa teguran tertulis dan denda uang paling banyak sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) untuk setiap produk. (7) Bank Umum Syariah dan UUS yang tidak mematuhi ketentuan dalam Pasal 5 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa: a. teguran tertulis dan denda uang sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap Produk apabila Bank menyampaikan laporan dalam 10 (sepuluh) hari sejak batas akhir penyampaian laporan. b. teguran tertulis dan denda uang paling banyak sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) untuk setiap Produk apabila Bank tidak menyampaikan laporan setelah 10 (sepuluh) hari sejak batas akhir penyampaian laporan. (8) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang tidak mematuhi ketentuan dalam Pasal 5 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa: a. teguran tertulis dan denda uang sebesar Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap produk apabila Bank menyampaikan laporan dalam 10 (sepuluh) hari sejak batas akhir penyampaian laporan; b. teguran tertulis dan denda uang sebesar Rp500.000,00 (lima ratus … - 10 - ratus ribu rupiah) untuk setiap produk apabila Bank tidak menyampaikan laporan setelah 10 (sepuluh) hari sejak batas akhir penyampaian laporan. Pasal 11 Bank yang tidak mematuhi ketentuan dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 ayat (3) huruf a dan huruf b, Pasal 8 ayat (4), dan Pasal 9 ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pasal 12 Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (7) huruf b atau Pasal 10 ayat (8) huruf b tidak mengurangi kewajiban Bank untuk menyampaikan laporan realisasi pengeluaran Produk baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 13 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Produk baru yang telah disampaikan permohonan persetujuannya kepada Bank Indonesia tetapi belum mendapat persetujuan dari Bank Indonesia, tetap diproses berdasarkan: a. Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia … - 11 - Indonesia Nomor 4434); atau b. Peraturan Bank Indonesia No. 8/3/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4599); atau c. Peraturan Bank Indonesia No. 8/25/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No.6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4651). Pasal 14 Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 15 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka : 1. Pasal 38, Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4434); 2. Pasal … - 12 - 2. Pasal 35, Peraturan Bank Indonesia No. 8/25/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No.6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4651); dan 3. butir I.A.I.4., butir I.A.I.5., dan butir I.A.I.6., Surat Edaran Bank Indonesia No.8/9/DPbS tanggal 1 Maret 2006 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia No.7/5/DPbS Tanggal 8 Februari 2005 perihal Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 16 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 25 September 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan … - 13 - Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 25 September 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 137 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/17/PBI/2008 TENTANG PRODUK BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH I. UMUM Seperti halnya bank konvensional, perkembangan usaha Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah juga tergantung antara lain dari kemampuannya untuk tetap dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Kemampuan untuk memberikan pelayanan perbankan syariah yang semakin beragam dengan tetap berpegang kepada prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah khususnya melalui produk dan jasa bank menjadi salah satu dasar dari keberlangsungan usaha Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Sebagai bagian dari industri pelayanan jasa keuangan, pada dasarnya Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah memiliki fungsi utama yang tidak berbeda dengan bank konvensional dengan prinsip, karakteristik, mekanisme dan jenis produk yang berbeda. Variasi produk dan jasa menjadi hal yang tak terhindarkan untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Di sisi lain, inovasi produk dan jasa juga akan menimbulkan beragam risiko termasuk risiko reputasi. Dengan demikian, mekanisme pengeluaran dan penghentian produk bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah adalah salah satu kunci dari kemajuan perbankan syariah di Indonesia, dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat sekaligus memitigasi kemungkinan berbagai risiko yang akan timbul. Berdasarkan hal-hal tersebut, dipandang perlu untuk melakukan pengaturan kembali … - 2 - kembali tentang produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah yaitu berupa Peraturan Bank Indonesia tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 sampai dengan angka 6 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 4 … - 3 - Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud memberikan penjelasan adalah termasuk melakukan presentasi. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dalam rangka melakukan fungsi pengawasan perbankan terutama pemenuhan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah, Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk memberikan penjelasan atas Produk Non Bank antara lain produk asuransi atau produk pasar modal (Reksa Dana), dimana Bank bertindak sebagai agen pemasaran. Pasal 7 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Produk harus sesuai dengan Prinsip Syariah yang mengacu pada fatwa Majelis … - 4 - Majelis Ulama Indonesia dan ketentuan Bank Indonesia mengenai pelaksanaan Prinsip Syariah dalam kegiatan usaha Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Huruf c Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan Bank untuk sementara dilarang untuk menjual Produk adalah Bank dilarang menambah nasabah baru dan/atau menambah eksposur nasabah lama atas Produk yang terkena penghentian sementara. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 9 … - 5 - Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pengaturan secara khusus atas Produk atau Produk Non Bank dalam ketentuan Bank Indonesia lainnya, antara lain ketentuan mengenai Electronic Banking, alat pembayaran dengan menggunakan kartu, instrumen pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah, produk asuransi (Bancassurance), dan produk pasar modal (reksa dana). Ayat (2) Yang dimaksud dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia adalah fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) … - 6 - Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4897
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/17/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> PRODUK BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title> <set_date> 25 September 2008 </set_date> <effective_date> 25 September 2008 </effective_date> <issued_date> 25 September 2008 </issued_date> <replaced_reg> '6/24/PBI/2004 | Pasal 38', '8/25/PBI/2006 | Pasal 35', '6/17/PBI/2004', '8/9/DPbS | butir I.A.I.4, butir I.A.I.5, butir I.A.I.6|SE-BI/2006', '7/5/DPbS|SE-BI/2005' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
-1- PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/11/PBI/2018 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/18/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI, PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA, DAN SETELMEN DANA SEKETIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk segera memenuhi kebutuhan penyelenggaraan sistem pembayaran yang lebih lancar, aman, efisien, dan andal diperlukan percepatan implementasi ketentuan mengenai kewajiban penyediaan dana yang cukup pada saat pengiriman instruksi setelmen dana dan ketentuan mengenai fasilitas likuiditas intrahari; b. bahwa untuk mendukung percepatan implementasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu penyesuaian waktu pemberlakuan ketentuan mengenai kewajiban penyediaan dana yang cukup pada saat pengiriman instruksi setelmen dana dan ketentuan mengenai fasilitas likuiditas intrahari; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika; -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236); 3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4852); 4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5204); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/18/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI, PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA, DAN SETELMEN DANA SEKETIKA. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762) yang telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Bank Indonesia: -3- a. Nomor 18/6/PBI/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5877); b. Nomor 19/14/PBI/2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 301, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6169), diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Penyelenggara adalah Bank Indonesia yang menyelenggarakan sistem dalam kegiatan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 2. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, Pemerintah, dan/atau lembaga lain yang ditatausahakan pada Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System. 3. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara. 4. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. -4- 5. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah SUN dan SBSN. 6. Transaksi dengan Bank Indonesia adalah transaksi yang dilakukan oleh peserta dengan Bank Indonesia untuk kegiatan operasi moneter, transaksi SBN untuk dan atas nama Pemerintah, dan transaksi lainnya yang dilakukan dengan Bank Indonesia. 7. Transaksi Pasar Keuangan adalah transaksi Surat Berharga dan transaksi pinjam meminjam antarpeserta yang dilakukan secara konvensional atau yang dipersamakan berdasarkan prinsip syariah dalam transaksi pasar uang dan/atau transaksi Surat Berharga di pasar sekunder. 8. Transaksi adalah Transaksi dengan Bank Indonesia dan Transaksi Pasar Keuangan. 9. Penatausahaan adalah kegiatan yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen, serta pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan pokok/nominal atas hasil transaksi Surat Berharga dan hasil transaksi tanpa Surat Berharga. 10. Setelmen adalah proses penyelesaian akhir transaksi keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan rekening setelmen dana, rekening surat berharga, dan/atau rekening lainnya di Bank Indonesia. 11. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana Transaksi yang dilakukan secara elektronik. 12. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana Penatausahaan Transaksi dan Penatausahaan Surat Berharga yang dilakukan secara elektronik. -5- 13. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual. 14. Peserta adalah pihak yang telah memenuhi persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai peserta dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS. 15. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi Penatausahaan bagi kepentingan Peserta BI-SSSS. 16. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Penyelenggara sebagai Peserta BI-SSSS, untuk melakukan fungsi penatausahaan bagi kepentingan nasabah. 17. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disingkat FLI adalah fasilitas pendanaan yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank Peserta Sistem BI-RTGS baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah untuk mengatasi kesulitan pendanaan yang terjadi selama jam operasional Sistem BI-RTGS. 18. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk pelaksanaan Setelmen dana. 19. Rekening Surat Berharga adalah rekening Peserta BI-SSSS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk pencatatan kepemilikan dan Setelmen transaksi Surat Berharga, Transaksi dengan Bank Indonesia, dan/atau Transaksi Pasar Keuangan. -6- 20. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan bank umum syariah termasuk unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 21. Keadaan Tidak Normal adalah situasi atau kondisi yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, aplikasi maupun sarana pendukung yang memengaruhi kelancaran penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS. 22. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kekuasaan Penyelenggara dan/atau Peserta yang menyebabkan kegiatan operasional Sistem BI- ETP, BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS tidak dapat diselenggarakan yang diakibatkan oleh kebakaran, kerusuhan massa, sabotase, bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, dan/atau sebab lain, yang dinyatakan oleh pihak penguasa atau pejabat yang berwenang setempat, termasuk Bank Indonesia. 2. Di antara Pasal 80 dan Pasal 81 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 80A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 80A Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Pasal 46A, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 mulai berlaku pada tanggal 1 November 2018. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. -7- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 2018 GUBERNUR BANK INDONESIA, TTD PERRY WARJIYO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 Oktober 2018 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, TTD YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 186 i PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/11/PBI/2018 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/18/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI, PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA, DAN SETELMEN DANA SEKETIKA I. UMUM Untuk segera memenuhi kebutuhan penyelenggaraan sistem pembayaran yang lebih lancar, aman, efisien, dan andal, diperlukan percepatan implementasi ketentuan mengenai kewajiban penyediaan dana yang cukup pada saat pengiriman instruksi Setelmen dana dan ketentuan mengenai FLI. Percepatan implementasi ketentuan tersebut dilakukan untuk mendorong agar Peserta menyediakan dana yang cukup pada saat melakukan pengiriman instruksi Setelmen dana sehingga tidak terjadi queue dan tercipta market discipline dalam pengiriman instruksi Setelmen dana serta kelancaran sistem pembayaran. Berkenaan dengan hal tersebut maka diperlukan dukungan melalui penyesuaian waktu pemberlakuan ketentuan mengenai kewajiban penyediaan dana yang cukup pada saat pengiriman instruksi Setelmen dana dan ketentuan mengenai FLI. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. -2- Angka 2 Pasal 80A Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6256
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 20/11/PBI/2018 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/18/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI, PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA, DAN SETELMEN DANA SEKETIKA </reg_title> <set_date> 19 Oktober 2018 </set_date> <effective_date> 23 Oktober 2018 </effective_date> <issued_date> 23 Oktober 2018 </issued_date> <changed_reg> '17/18/PBI/2015' </changed_reg> <extension_of> '18/6/PBI/2016', '19/14/PBI/2017' </extension_of> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '19/UU/2008', '24/UU/2002' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/28/PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/11/PBI/2004 TENTANG SUKU BUNGA PENJAMINAN SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menetapkan suku bunga sebagai sasaran operasional kebijakan moneter; b. bahwa penetapan suku bunga penjaminan merupakan kebijakan yang dapat mempengaruhi pelaksanaan kebijakan moneter; c. bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan kebijakan moneter, diperlukan penyesuaian terhadap perhitungan penetapan maksimum suku bunga penjaminan simpanan pihak ketiga dalam Rupiah; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, dipandang perlu untuk melakukan penyempurnaan atas ketentuan maksimum suku bunga penjaminan simpanan pihak ketiga dalam Rupiah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/11/PBI tanggal 12 April 2004 Tentang Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga Dan Pasar Uang Antar Bank; Mengingat …. - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/11/PBI/2004 TENTANG SUKU BUNGA PENJAMINAN SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/11/PBI/2004 Tahun 2004 tentang Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar …. - 3 - Antar Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 39, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 4383) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 1 4. Bank Indonesia Rate yang selanjutnya disebut BI Rate adalah tingkat suku bunga dengan tenor 1 (satu) bulan yang ditetapkan secara periodik untuk jangka waktu tertentu oleh Bank Indonesia serta diumumkan kepada publik sebagai sinyal (stance) kebijakan moneter. 2. Ketentuan Pasal 2 Ayat (3) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 2 (3) Maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam Rupiah yang dijamin Pemerintah ditetapkan sebesar BI Rate terakhir ditambah atau dikurangi Marjin tertentu. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 1 September 2005 25 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 77 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/28/PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/11/PBI/2004 TENTANG SUKU BUNGA PENJAMINAN SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK I. UMUM Sesuai dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004, Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Dalam rangka pencapaian tujuan tersebut, Bank Indonesia melakukan salah satu tugas yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Sejak bulan Juli 2005, Bank Indonesia secara resmi menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional pengendalian moneter menggantikan base money. Suku bunga tersebut adalah BI Rate yang merupakan suku bunga dengan tenor satu bulan yang diumumkan oleh Bank Indonesia secara periodik yang berfungsi sebagai sinyal (stance) kebijakan moneter. Dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan kebijakan moneter khususnya kebijakan suku bunga maka Bank Indonesia memandang perlu untuk melakukan penyesuaian terhadap dasar perhitungan penetapan maksimum suku bunga penjaminan pihak ketiga dalam Rupiah. Penyesuaian tersebut dilakukan dengan …. - 2 - dengan pertimbangan agar maksimum suku bunga penjaminan bergerak searah dengan BI Rate. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4526 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/28/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/11/PBI/2004 TENTANG SUKU BUNGA PENJAMINAN SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK </reg_title> <set_date> 1 September 2005 </set_date> <effective_date> 1 September 2005 </effective_date> <changed_reg> '6/11/PBI/2004' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 6 /PBI/2012 TENTANG UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat, melindungi kepentingan stakeholders dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan yang berlaku, diperlukan pelaksanaan good corporate governance di industri perbankan syariah; b. bahwa untuk mewujudkan good corporate governance tersebut, industri perbankan syariah perlu dimiliki dan dikelola oleh pihak yang senantiasa memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan; c. bahwa sejalan dengan perkembangan industri perbankan syariah yang dinamis diperlukan penyempurnaan mekanisme uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon pemilik dan calon pengelola perbankan syariah maupun terhadap pemilik dan pengelola yang telah ada; d. bahwa ... - 2 - d. bahwa agar industri perbankan syariah dimiliki dan dikelola oleh pihak yang senantiasa memiliki kemampuan dan kepatutan diperlukan pengenaan sanksi yang lebih memberikan efek jera terhadap pemilik dan pengelola yang tidak memenuhi persyaratan; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN ... - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Syariah adalah Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. 2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut BUS adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut BPRS adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 4. Bank Umum Konvensional adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 5. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor ... - 4 - kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah. 6. Kantor Perwakilan Bank Asing adalah kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. 7. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disebut dengan PSP adalah badan hukum, orang perseorangan dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham perusahaan atau Bank Syariah sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau b. memiliki saham perusahaan atau Bank Syariah kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian perusahaan atau Bank Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung. 8. Pengendalian adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk memengaruhi pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan, termasuk Bank Syariah, dengan cara apapun, baik secara langsung maupun tidak langsung. 9. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah RUPS sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 10. Dewan ... - 5 - 10. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 11. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 12. Direktur UUS adalah anggota Direksi Bank Umum Konvensional atau pimpinan kantor cabang bank asing yang mengelola dan bertanggung jawab terhadap operasional UUS. 13. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada anggota Direksi dan/atau mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan dan/atau operasional Bank Syariah atau UUS, antara lain kepala divisi, kepala kantor wilayah, kepala kantor cabang, kepala kantor fungsional yang kedudukannya paling kurang setara dengan kepala kantor cabang, kepala satuan kerja manajemen risiko, kepala satuan kerja kepatuhan, dan kepala satuan kerja audit internal atau pejabat lainnya yang setara. 14. Daftar Tidak Lulus yang selanjutnya disebut DTL adalah daftar yang ditatausahakan oleh Bank Indonesia yang memuat pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan terhadap pemegang saham pengendali, anggota dewan komisaris, anggota direksi, dan pejabat eksekutif. 15. Tindak Pidana Tertentu adalah tindak pidana asal yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pasal 2 ... - 6 - Pasal 2 (1) Pihak yang termasuk sebagai pengendali Bank Syariah dan UUS wajib tunduk pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Pihak yang termasuk sebagai pengendali Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan, badan hukum atau kelompok usaha yang melakukan Pengendalian terhadap Bank Syariah, termasuk PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan Pejabat Eksekutif Bank Syariah. (3) Pihak yang termasuk sebagai pengendali UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS. (4) Pengendalian terhadap Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan cara antara lain sebagai berikut: a. memiliki secara sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank Syariah; b. secara langsung menjalankan manajemen dan/atau memengaruhi kebijakan Bank Syariah; c. memiliki hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham yang apabila digunakan akan menyebabkan pihak tersebut memiliki dan/atau mengendalikan secara sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank Syariah; d. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank Syariah (acting in concert) dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain, sehingga secara bersama-sama memiliki dan/atau mengendalikan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank Syariah, baik langsung maupun tidak langsung dengan atau tanpa perjanjian tertulis; e. melakukan ... - 7 - e. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank Syariah (acting in concert) dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain, sehingga secara bersama-sama mempunyai hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham, yang apabila hak tersebut dilaksanakan menyebabkan pihak tersebut memiliki dan/atau mengendalikan secara bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank Syariah; f. mengendalikan satu atau lebih perusahaan lain yang secara keseluruhan memiliki dan/atau mengendalikan secara bersama- sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank Syariah; g. mempunyai kewenangan untuk menyetujui dan/atau memberhentikan anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Dewan Pengawas Syariah; h. secara tidak langsung memengaruhi atau menjalankan manajemen dan/atau kebijakan Bank Syariah; i. melakukan Pengendalian terhadap perusahaan induk atau perusahaan induk di bidang keuangan dari Bank Syariah; dan/atau j. melakukan Pengendalian terhadap pihak yang melakukan Pengendalian sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf i. Pasal 3 ... - 8 - Pasal 3 Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap: a. calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, dan calon anggota Direksi Bank Syariah, dan calon Direktur UUS, serta calon pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing; b. PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif Bank Syariah, Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS, serta pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing; c. pihak yang sudah tidak menjadi atau sudah tidak menjabat sebagai pihak sebagaimana dimaksud pada huruf b, yang diindikasikan terlibat atau bertanggung jawab terhadap perbuatan atau tindakan yang sedang dalam proses uji kemampuan dan kepatutan pada Bank Syariah, UUS, atau Kantor Perwakilan Bank Asing. Pasal 4 Pihak yang sedang menjalani proses hukum dan/atau sedang menjalani proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu bank, tidak dapat diajukan untuk menjadi calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, calon anggota Direksi Bank Syariah, atau calon Direktur UUS. BAB II UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP CALON PEMEGANG SAHAM PENGENDALI BANK SYARIAH Pasal 5 (1) Untuk menjadi PSP Bank Syariah, calon PSP wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (2) Dalam ... - 9 - (2) Dalam memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon PSP. (3) Calon PSP yang belum memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia, namun telah memiliki saham Bank Syariah, dilarang melakukan tindakan sebagai PSP. Bagian Pertama Faktor Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 6 Uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon PSP dilakukan untuk menilai pemenuhan persyaratan: a. integritas; dan b. kelayakan keuangan. Pasal 7 Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi: a. memiliki akhlak dan moral yang baik, antara lain ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan yang berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan Tindak Pidana Tertentu dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan; b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. memiliki ... - 10 - c. memiliki komitmen terhadap pengembangan operasional Bank Syariah yang sehat; d. tidak tercantum dalam DTL; dan e. memiliki komitmen untuk tidak akan melakukan dan/atau mengulangi perbuatan dan/atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29, bagi calon PSP yang pernah memiliki predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan dan telah menjalani sanksi sebagaimana dimaksud Pasal 36 ayat (1), Pasal 38 huruf b, Pasal 41 ayat (4) huruf a dan Pasal 41 ayat (5). Pasal 8 Persyaratan kelayakan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b antara lain dibuktikan dengan: a. memiliki kemampuan keuangan yang dapat mendukung perkembangan bisnis Bank Syariah; b. c. tidak memiliki kredit/pembiayaan macet dan/atau hutang jatuh tempo dan bermasalah; tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota dewan komisaris atau anggota direksi yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan pengadilan dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan; dan d. memiliki komitmen untuk melakukan upaya-upaya yang diperlukan dalam rangka mengatasi kesulitan permodalan maupun likuiditas yang dihadapi Bank Syariah. Bagian Kedua ... - 11 - Bagian Kedua Tata Cara Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 9 (1) Permohonan untuk menjadi PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) diajukan oleh Bank Syariah kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen persyaratan administratif. (2) Dalam hal calon PSP melakukan pembelian saham Bank Syariah melalui program divestasi saham negara atas penyertaan modal sementara oleh lembaga yang berwenang maka permohonan untuk menjadi PSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh lembaga yang berwenang. Pasal 10 Atas permohonan untuk menjadi PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan, yang meliputi: a. penelitian administratif; dan b. wawancara. Pasal 11 (1) Dalam hal calon PSP Bank Syariah berbentuk badan hukum, uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilakukan terhadap badan hukum, anggota dewan komisaris dan anggota direksi badan hukum yang bersangkutan, serta pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia merupakan pemegang saham pengendali terakhir (ultimate shareholders) dari badan hukum tersebut. (2) Dalam ... - 12 - (2) Dalam hal ultimate shareholders adalah pemerintah negara lain, dan hukum di negara yang bersangkutan tidak memperbolehkan ultimate shareholders tersebut memberikan data dan dokumen, Bank Indonesia menetapkan pihak lain yang secara langsung dikendalikan oleh pemerintah negara lain tersebut sebagai ultimate shareholders berdasarkan dokumen pendukung yang sah. (3) Pelaksanaan wawancara terhadap calon PSP Bank Syariah berbentuk badan hukum dilakukan terhadap anggota dewan komisaris dan direksi yang ditunjuk oleh badan hukum yang bersangkutan dan pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia merupakan ultimate shareholders. (4) Selain pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia dapat menetapkan pihak lain yang dianggap melakukan Pengendalian, untuk menyampaikan persyaratan administratif dan/atau menjalani wawancara. (5) Hasil uji kemampuan dan kepatutan terhadap pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) merupakan satu kesatuan dan merupakan hasil uji kemampuan dan kepatutan terhadap badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 12 Dalam hal calon PSP Bank Syariah adalah Pemerintah maka pelaksanaan wawancara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b hanya dilakukan apabila dianggap perlu. Pasal 13 ... - 13 - Pasal 13 (1) Bank Indonesia berwenang untuk menghentikan uji kemampuan dan kepatutan calon PSP, apabila pada saat uji kemampuan dan kepatutan dilakukan calon tersebut sedang menjalani proses hukum dan/atau sedang menjalani proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu bank. (2) Penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada Bank Syariah dan pihak yang diuji. (3) Calon PSP yang dihentikan uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diajukan kembali kepada Bank Indonesia untuk menjadi calon PSP, apabila yang bersangkutan telah menjalani proses hukum dan/atau uji kemampuan dan kepatutan pada suatu bank. Bagian Ketiga Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 14 (1) Berdasarkan penelitian administratif dan hasil wawancara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan dengan predikat: a. Lulus; atau b. Tidak Lulus. (2) Calon PSP yang memperoleh predikat Tidak Lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b: a. dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai PSP pada Bank Syariah yang bersangkutan; dan b. wajib ... - 14 - b. wajib mengalihkan kepemilikan saham yang telah dibeli kepada pihak lain. Pasal 15 (1) Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah permohonan beserta dokumen persyaratan administratif diterima secara lengkap. (2) Bank Indonesia memberitahukan hasil uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis kepada Bank Syariah dalam bentuk persetujuan atau penolakan. (3) Selain kepada Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia berwenang memberitahukan hasil uji kemampuan dan kepatutan kepada pihak lain yang berkepentingan. BAB III UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP CALON ANGGOTA DEWAN KOMISARIS DAN CALON ANGGOTA DIREKSI BANK SYARIAH Pasal 16 (1) Calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi Bank Syariah wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum menjalankan tugas dan fungsi dalam jabatannya. (2) Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi Bank Syariah yang belum mendapat persetujuan Bank Indonesia dilarang melakukan tindakan sebagai anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota ... - 15 - anggota Direksi walaupun telah mendapat persetujuan dan diangkat oleh RUPS. Bagian Pertama Faktor Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 17 Uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi Bank Syariah dilakukan untuk menilai pemenuhan persyaratan: a. integritas; b. kompetensi; dan c. reputasi keuangan. Pasal 18 Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a bagi calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi meliputi: a. memiliki akhlak dan moral yang baik, antara lain ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan yang berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan Tindak Pidana Tertentu dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan; b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. memiliki komitmen terhadap pengembangan operasional Bank Syariah yang sehat; d. tidak tercantum dalam DTL; dan e. memiliki ... - 16 - e. memiliki komitmen untuk tidak akan melakukan dan/atau mengulangi perbuatan dan/atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29, bagi calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi yang pernah memiliki predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan dan telah menjalani sanksi sebagaimana dimaksud Pasal 36 ayat (1), Pasal 38 huruf b, Pasal 41 ayat (4) huruf a dan Pasal 41 ayat (5). Pasal 19 Persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b meliputi: a. bagi calon anggota Dewan Komisaris BUS meliputi antara lain: 1) memiliki pengetahuan, pemahaman dan/atau pengalaman di bidang operasional perbankan syariah yang cukup; 2) memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengawasi kegiatan usaha BUS agar sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah di bidang perbankan syariah; dan 3) memiliki pengetahuan dan pemahaman dalam penerapan manajemen risiko; b. bagi calon anggota Dewan Komisaris BPRS meliputi antara lain: 1) memiliki pengetahuan, pemahaman dan/atau pengalaman di bidang operasional perbankan syariah yang cukup; dan 2) memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengawasi kegiatan usaha BPRS agar sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah di bidang perbankan syariah; c. bagi ... - 17 - c. bagi calon anggota Direksi BUS meliputi antara lain: 1) memiliki pengetahuan dan pemahaman di bidang operasional perbankan syariah yang cukup; 2) memiliki pengalaman dan keahlian di bidang operasional perbankan, perbankan syariah, bidang keuangan atau keuangan syariah; 3) memiliki kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan BUS yang sehat dan tangguh; dan 4) memiliki pengetahuan, pemahaman dan kemampuan dalam penerapan manajemen risiko; d. bagi calon anggota Direksi BPRS meliputi antara lain: 1) memiliki pengetahuan dan pemahaman di bidang operasional perbankan syariah yang cukup; 2) memiliki pengalaman dan keahlian di bidang operasional perbankan, perbankan syariah, bidang keuangan atau keuangan syariah; dan 3) memiliki kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan BPRS yang sehat dan tangguh. Pasal 20 Persyaratan reputasi keuangan bagi calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c meliputi: a. tidak memiliki kredit/pembiayaan macet; dan b. tidak ... - 18 - b. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi atau komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan. Pasal 21 (1) Pemenuhan persyaratan pengalaman dan keahlian bagi calon Direksi BUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c angka 2, mencakup pula pemenuhan persyaratan bahwa mayoritas anggota Direksi wajib memiliki pengalaman paling kurang 4 (empat) tahun dengan jabatan paling rendah sebagai Pejabat Eksekutif di industri perbankan dan paling kurang 1 (satu) tahun diantaranya menjabat paling rendah sebagai Pejabat Eksekutif pada BUS dan/atau UUS. (2) Bagi BUS yang didirikan melalui proses perubahan kegiatan usaha, untuk pertama kalinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diwajibkan bagi 1 (satu) calon anggota Direksi. (3) Mayoritas anggota Direksi BUS hasil perubahan kegiatan usaha wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 2 (dua) tahun setelah izin perubahan kegiatan usaha diberikan. Bagian Kedua Tata Cara Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 22 (1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi diajukan oleh Bank Syariah kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen persyaratan administratif. (2) Permohonan ... - 19 - (2) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh Pemerintah atau instansi yang mewakili dalam hal seluruh atau mayoritas saham Bank Syariah dimiliki oleh Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah. (3) Dalam hal anggota Direksi Bank Syariah yang berwenang untuk mengajukan permohonan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), tidak dapat menjalankan fungsinya atau mempunyai benturan kepentingan dengan Bank Syariah, permohonan diajukan oleh: a. anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Bank Syariah; b. anggota Dewan Komisaris apabila seluruh anggota Direksi tidak dapat menjalankan fungsinya atau mempunyai benturan kepentingan dengan Bank Syariah; atau c. pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS apabila seluruh anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi tidak dapat menjalankan fungsinya atau mempunyai benturan kepentingan dengan Bank Syariah. (4) Calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi yang diajukan dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak berjumlah 2 (dua) orang untuk setiap lowongan jabatan dan penetapan calon yang diajukan telah dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 23 Atas permohonan untuk memperoleh persetujuan calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) ... - 20 - ayat (1), Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan, yang meliputi: a. penelitian administratif; dan b. wawancara, apabila diperlukan. Pasal 24 (1) Bank Indonesia berwenang untuk menghentikan uji kemampuan dan kepatutan calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi Bank Syariah, apabila pada saat uji kemampuan dan kepatutan dilakukan calon tersebut sedang menjalani proses hukum dan/atau sedang menjalani proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu bank. (2) Penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada Bank Syariah dan pihak yang diuji. (3) Calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi Bank Syariah yang dihentikan uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diajukan kembali kepada Bank Indonesia untuk menjadi calon anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi Bank Syariah, apabila yang bersangkutan telah menjalani proses hukum dan/atau telah menjalani proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu bank. Bagian Ketiga ... - 21 - Bagian Ketiga Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 25 (1) Berdasarkan penelitian administratif dan hasil wawancara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan dengan predikat: a. Lulus; atau b. Tidak Lulus. (2) Dalam hal calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi memperoleh predikat Tidak Lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b namun telah mendapat persetujuan dan diangkat sebagai anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi Bank Syariah sesuai keputusan RUPS maka yang bersangkutan dilarang melakukan tindakan sebagai anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi pada Bank Syariah yang bersangkutan. (3) Bank Syariah wajib menindaklanjuti konsekuensi Tidak Lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal pemberitahuan dari Bank Indonesia. (4) Bank Syariah wajib melaporkan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja. Pasal 26 (1) Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) ... - 22 - puluh) hari kerja setelah permohonan beserta dokumen persyaratan administratif diterima dari Bank Syariah secara lengkap. (2) Bank Indonesia memberitahukan hasil uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis kepada Bank Syariah dalam bentuk persetujuan atau penolakan. (3) Selain kepada Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia berwenang memberitahukan hasil uji kemampuan dan kepatutan kepada pihak lain yang berkepentingan. Pasal 27 Ketentuan dan tata cara pengangkatan calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi yang telah mendapat persetujuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai BUS atau BPRS. BAB IV UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP PEMEGANG SAHAM PENGENDALI, ANGGOTA DEWAN KOMISARIS, ANGGOTA DIREKSI, DAN PEJABAT EKSEKUTIF BANK SYARIAH Bagian Pertama Cakupan Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 28 Uji kemampuan dan kepatutan dalam rangka penilaian kembali terhadap PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dilakukan dalam hal terdapat indikasi permasalahan integritas dan/atau kelayakan keuangan yang meliputi: a. tindakan ... - 23 - a. tindakan-tindakan baik secara langsung maupun tidak langsung berupa: 1) memengaruhi dan/atau menyuruh anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Pejabat Eksekutif dan/atau pegawai Bank Syariah untuk menyembunyikan dan/atau mengaburkan pelanggaran dari suatu ketentuan atau kondisi keuangan dan/atau transaksi yang sebenarnya; 2) memengaruhi dan/atau menyuruh anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Pejabat Eksekutif dan/atau pegawai Bank Syariah untuk memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pemegang saham, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Dewan Pengawas Syariah, Pejabat Eksekutif, pegawai, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Bank Syariah; dan/atau 3) memengaruhi dan/atau menyuruh anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Pejabat Eksekutif dan/atau pegawai Bank Syariah untuk melakukan perbuatan yang melanggar prinsip kehati–hatian di bidang perbankan, asas-asas perbankan yang sehat dan/atau Prinsip Syariah di bidang perbankan syariah; b. c. terbukti melakukan Tindak Pidana Tertentu yang telah diputus oleh pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap; terbukti menyebabkan Bank Syariah mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha Bank Syariah dan/atau dapat membahayakan industri perbankan; d. e. terbukti tidak melaksanakan perintah Bank Indonesia untuk melakukan dan/atau tidak melakukan tindakan tertentu; terbukti memiliki kredit/pembiayaan macet; f. terbukti ... - 24 - f. terbukti dinyatakan pailit dan/atau menjadi pemegang saham, anggota dewan komisaris atau anggota direksi yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit; g. h. tidak mampu melakukan upaya-upaya yang diperlukan apabila Bank Syariah menghadapi kesulitan permodalan maupun likuiditas; atau terbukti menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia dan/atau Pemerintah. Pasal 29 Uji kemampuan dan kepatutan dalam rangka penilaian kembali terhadap anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dilakukan dalam hal terdapat indikasi permasalahan integritas, kompetensi dan/atau reputasi keuangan yang meliputi: a. tindakan-tindakan baik secara langsung maupun tidak langsung berupa: 1) menyembunyikan dan/atau mengaburkan pelanggaran dari suatu ketentuan atau kondisi keuangan dan/atau transaksi yang sebenarnya; 2) memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pemegang saham, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Dewan Pengawas Syariah, Pejabat Eksekutif, pegawai, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Bank Syariah; 3) melanggar ... - 25 - 3) melanggar prinsip kehati-hatian di bidang perbankan dan asas- asas perbankan yang sehat; dan/atau 4) melanggar Prinsip Syariah di bidang perbankan syariah; b. c. terbukti melakukan Tindak Pidana Tertentu yang telah diputus oleh pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap; terbukti menyebabkan Bank Syariah mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya atau dapat membahayakan industri perbankan; d. e. f. terbukti tidak melaksanakan perintah Bank Indonesia untuk melakukan dan/atau tidak melakukan tindakan tertentu; terbukti memiliki kredit/pembiayaan macet; terbukti dinyatakan pailit dan/atau menjadi anggota dewan komisaris atau anggota direksi yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit; g. h. tidak mampu melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan Bank Syariah yang sehat; terbukti menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia dan/atau Pemerintah; atau i. tidak melakukan perbuatan atau tindakan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya sehingga mengakibatkan terjadinya pelanggaran atau tindakan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf c dan/atau huruf d. Bagian Kedua ... - 26 - Bagian Kedua Tata Cara Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 30 (1) Uji kemampuan dan kepatutan terhadap PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dilakukan untuk keseluruhan pihak yang melakukan Pengendalian terhadap Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) yang terkait dengan PSP yang akan diuji. (2) Hasil uji kemampuan dan kepatutan terhadap PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dan pihak yang melakukan Pengendalian terhadap Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu kesatuan dan berlaku bagi PSP dan pihak yang melakukan Pengendalian terhadap Bank Syariah yang terkait dengan PSP yang dinilai tersebut, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. (3) Pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pihak yang bersangkutan dalam langkah-langkah uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31. Pasal 31 (1) Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan berdasarkan bukti, data dan informasi yang diperoleh dari hasil pengawasan maupun informasi lainnya. (2) Uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. klarifikasi bukti, data dan informasi kepada pihak yang diuji; b. penetapan ... - 27 - b. penetapan dan penyampaian hasil sementara uji kemampuan dan kepatutan kepada pihak yang diuji; c. tanggapan dari pihak yang diuji terhadap hasil sementara uji kemampuan dan kepatutan; dan d. penetapan dan pemberitahuan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan kepada pihak yang diuji. (3) Pihak yang diuji diberikan kesempatan menyampaikan tanggapan atas permintaan klarifikasi bukti, data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal permintaan klarifikasi dari Bank Indonesia. (4) Dalam hal pihak yang diuji tidak menggunakan hak untuk menyampaikan klarifikasi bukti, data dan informasi dalam jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka Bank Indonesia akan melakukan langkah-langkah penilaian selanjutnya. (5) Pihak yang diuji diberikan kesempatan menyampaikan tanggapan atas hasil sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal surat Bank Indonesia. (6) Dalam hal pihak yang diuji tidak menggunakan hak untuk menyampaikan tanggapan terhadap hasil sementara dalam jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) maka Bank Indonesia menetapkan hasil sementara uji kemampuan dan kepatutan menjadi hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan. Pasal 32 ... - 28 - Pasal 32 Bank Indonesia berwenang menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan dengan predikat Tidak Lulus tanpa melakukan sebagian atau seluruh langkah–langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), apabila pihak yang diuji: a. diputus bersalah dalam Tindak Pidana Tertentu oleh pengadilan dan telah memiliki kekuatan hukum tetap; atau b. dinyatakan pailit dan/atau menjadi pemegang saham, anggota dewan komisaris atau anggota direksi yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan dan telah memiliki kekuatan hukum tetap. Bagian Ketiga Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 33 (1) Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan menjadi 2 (dua) predikat, yaitu: a. Lulus; atau b. Tidak Lulus. (2) Penetapan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan tingkat keterlibatan pihak yang diuji. (3) Hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak tanggal surat penetapan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf d. Pasal 34 ... - 29 - Pasal 34 (1) Bank Indonesia memberitahukan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan secara tertulis kepada Bank Syariah dan pihak yang diuji. (2) Selain kepada pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia berwenang memberitahukan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan kepada pihak lain yang berkepentingan. Bagian Keempat Konsekuensi Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 35 (1) PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif Bank Syariah yang ditetapkan predikat Lulus dinyatakan memenuhi persyaratan untuk tetap menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif Bank Syariah. (2) PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif Bank Syariah yang ditetapkan predikat Tidak Lulus dilarang menjadi: a. pemegang saham lebih dari 10% (sepuluh persen) dan/atau PSP pada seluruh Bank Syariah; b. pemegang saham pada Bank Umum Konvensional atau Bank Perkreditan Rakyat; dan/atau c. anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Direktur UUS, Pejabat Eksekutif, atau pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing pada industri perbankan. Pasal 36 ... - 30 - Pasal 36 (1) Larangan terhadap pihak yang diberikan predikat Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) ditetapkan sebagai berikut: a. selama jangka waktu 3 (tiga) tahun: 1) bagi PSP apabila terbukti melakukan tindakan–tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a angka 3, Pasal 28 huruf d, Pasal 28 huruf e, Pasal 28 huruf g, atau Pasal 28 huruf h; dan 2) bagi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat Eksekutif apabila terbukti melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a angka 3, Pasal 29 huruf d, Pasal 29 huruf e, Pasal 29 huruf g, Pasal 29 huruf h, atau Pasal 29 huruf i; b. selama jangka waktu 5 (lima) tahun: 1) bagi PSP apabila: a) terbukti melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a angka 1 atau Pasal 28 huruf a angka 2; atau b) terbukti melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a angka 3, Pasal 28 huruf d, Pasal 28 huruf e, Pasal 28 huruf g, atau Pasal 28 huruf h, dan perbuatan dimaksud: i. dilakukan secara berulang; ii. dilakukan secara kumulatif; atau iii. terbukti ... - 31 - iii. terbukti menguntungkan diri sendiri maupun pihak lain; 2) bagi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif apabila: a) terbukti melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a angka 1 atau Pasal 29 huruf a angka 2; atau b) terbukti melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a angka 3, Pasal 29 huruf d, Pasal 29 huruf e, Pasal 29 huruf g, Pasal 29 huruf h, atau Pasal 29 huruf i dan perbuatan dimaksud: i. dilakukan secara berulang; ii. dilakukan secara kumulatif; atau iii. terbukti menguntungkan diri sendiri maupun pihak lain; c. selama jangka waktu 20 (dua puluh) tahun: 1) bagi PSP apabila terbukti melakukan tindakan–tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b, Pasal 28 huruf c atau Pasal 28 huruf f; dan 2) bagi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif apabila terbukti melakukan tindakan–tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf b, Pasal 29 huruf c atau Pasal 29 huruf f. (2) Jangka waktu larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhitung sejak tanggal surat penetapan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf d. Pasal 37 ... - 32 - Pasal 37 (1) Pihak yang dilarang menjadi PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf a: a. dilarang melakukan tindakan sebagai PSP; b. hanya dapat menjalankan hak selaku pemegang saham dengan jumlah hak suara yang diperhitungkan dalam kuorum RUPS paling banyak 10% (sepuluh persen) dari seluruh saham Bank Syariah; dan c. wajib menurunkan kepemilikannya menjadi paling banyak 10% (sepuluh persen) pada seluruh Bank Syariah dalam jangka waktu 6 (enam) bulan. (2) Bank Syariah wajib mencantumkan penjelasan dalam daftar pemegang saham Bank Syariah mengenai status PSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal pihak yang ditetapkan predikat Tidak Lulus merupakan PSP dari Bank Syariah yang berada dalam penanganan/penyelamatan oleh Lembaga Penjamin Simpanan maka jangka waktu kewajiban penurunan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c mengacu kepada Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan dan peraturan pelaksanaannya. (4) Bank Syariah wajib melaporkan realisasi penurunan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah RUPS yang mengesahkan pengalihan kepemilikan saham tersebut. Pasal 38 ... - 33 - Pasal 38 Dalam hal PSP tidak menurunkan kepemilikan sahamnya sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf c maka: a. PSP wajib menyerahkan surat kuasa menjual kepada pihak lain yang ditunjuk atau disetujui oleh Bank Indonesia atau kepada Bank Indonesia dengan hak substitusi, dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak berakhirnya jangka waktu kewajiban penurunan kepemilikan saham; b. jangka waktu larangan kepada PSP ditetapkan menjadi selama 20 (dua puluh) tahun; c. nama PSP diberitahukan kepada Otoritas Pengawasan Pasar Modal; d. hak suara PSP tidak diperhitungkan dalam RUPS; e. hak suara PSP tidak diperhitungkan sebagai penghitungan kuorum atau tidaknya RUPS; f. dividen yang dapat dibayarkan kepada PSP paling banyak 10% (sepuluh persen) dan sisanya dibayarkan setelah PSP tersebut mengalihkan kepemilikannya; dan g. nama PSP yang bersangkutan diumumkan kepada publik melalui 2 (dua) media massa yang mempunyai peredaran luas. Pasal 39 Bank Indonesia berwenang membentuk komite untuk menangani penurunan kepemilikan saham PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf a. Pasal 40 ... - 34 - Pasal 40 (1) Perbuatan menurunkan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf c dapat dilakukan melalui hibah maupun melalui penjualan kepada pihak yang tidak memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua dengan PSP dan/atau pihak yang tidak termasuk dalam kelompok usaha PSP. (2) Dalam hal penurunan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara mengalihkan saham kepada pihak yang memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua dan/atau pihak yang merupakan kelompok usaha dari PSP yang ditetapkan predikat Tidak Lulus maka: a. pengalihan tersebut tidak dianggap sebagai penurunan kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf c; b. Bank Syariah dilarang melakukan pencatatan atas pihak yang menerima pengalihan tersebut dalam daftar pemegang saham Bank Syariah; dan c. pihak yang menerima pengalihan tidak memperoleh haknya sebagai pemegang saham. Pasal 41 (1) Pihak yang dilarang menjadi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Direktur UUS, Pejabat Eksekutif, atau pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf c: a. dilarang ... - 35 - a. dilarang melakukan tindakan sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Direktur UUS, Pejabat Eksekutif, atau pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing; dan b. wajib berhenti sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Direktur UUS, Pejabat Eksekutif, atau pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing. (2) Bank Syariah wajib menindaklanjuti konsekuensi Tidak Lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal pemberitahuan dari Bank Indonesia. (3) Bank Syariah wajib melaporkan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja. (4) Dalam hal anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Direktur UUS, Pejabat Eksekutif, atau pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih melakukan tindakan sebagai Komisaris, Direksi, Direktur UUS, Pejabat Eksekutif, atau pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing, maka: a. b. ketidakpatuhan Bank Syariah diberitahukan kepada Otoritas Pengawasan Pasar Modal. (5) PSP yang tidak menindaklanjuti konsekuensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan predikat Tidak Lulus dengan jangka waktu larangan selama 20 (dua puluh) tahun. (6) Penetapan sanksi Tidak Lulus selama 20 (dua puluh) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (5) didahului dengan surat teguran jangka waktu larangan kepada yang bersangkutan ditetapkan menjadi selama 20 (dua puluh) tahun; dan dari ... - 36 - dari Bank Indonesia sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing surat teguran adalah 5 (lima) hari kerja. Pasal 42 Dalam hal seluruh atau sebagian anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi ditetapkan Tidak Lulus dan menurut penilaian Bank Indonesia kekosongan jabatan Direksi dan/atau Komisaris tersebut dapat mengganggu kegiatan operasional Bank Syariah, Bank Indonesia berwenang menunjuk pengganti sementara sampai RUPS mengangkat pengganti yang tetap sesuai dengan ketentuan perundang–undangan yang berlaku. Bagian Kelima Permohonan Kembali untuk Menjadi PSP, Anggota Dewan Komisaris dan Anggota Direksi Bank Syariah Pasal 43 (1) Pihak yang ditetapkan predikat Tidak Lulus dan dikenakan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dapat diajukan kembali kepada Bank Indonesia untuk menjadi calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi apabila jangka waktu pengenaan sanksi larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), Pasal 38 huruf b, Pasal 41 ayat (4) huruf a, dan Pasal 41 ayat (5) telah terlampaui. (2) PSP yang berbentuk badan hukum yang ditetapkan predikat Tidak Lulus dan dikenakan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dapat diajukan kembali kepada Bank Indonesia untuk menjadi calon PSP sebelum berakhirnya jangka waktu pengenaan sanksi larangan ... - 37 - larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), Pasal 38 huruf b, Pasal 41 ayat (4) huruf a dan Pasal 41 ayat (5) sepanjang badan hukum yang bersangkutan telah mengganti pihak yang melakukan Pengendalian terhadap badan hukum dimaksud yang dalam uji kemampuan dan kepatutan memperoleh predikat Tidak Lulus. (3) Penilaian atas permohonan untuk kembali menjadi calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam BAB II dan BAB III Peraturan Bank Indonesia ini. BAB V UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI CALON DIREKTUR UNIT USAHA SYARIAH, DIREKTUR UNIT USAHA SYARIAH, DAN PEJABAT EKSEKUTIF UNIT USAHA SYARIAH Pasal 44 Direktur UUS wajib memiliki kompetensi di bidang perbankan syariah dan komitmen dalam pengembangan UUS. Pasal 45 Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon Direktur UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Bank Umum Konvensional atau kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang memiliki ... - 38 - memiliki UUS kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen persyaratan administratif. Pasal 46 (1) Pihak yang dicalonkan menjadi Direktur UUS dapat berasal dari: a. salah satu anggota Direksi Bank Umum Konvensional atau kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang memiliki UUS, yang ditugaskan merangkap jabatan sebagai Direktur UUS; b. calon anggota Direksi Bank Umum Konvensional atau kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang memiliki UUS, yang akan ditugaskan merangkap jabatan sebagai Direktur UUS; atau c. calon anggota Direksi Bank Umum Konvensional atau kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang memiliki UUS dan telah ditetapkan sejak awal akan menjabat sebagai Direktur UUS dengan wewenang dan tanggungjawab hanya untuk mengelola kegiatan usaha UUS. (2) Calon Direktur UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengikuti proses wawancara apabila diperlukan. (3) Calon Direktur UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib mengikuti uji kemampuan dan kepatutan berdasarkan ketentuan uji kemampuan dan kepatutan yang berlaku bagi Bank Umum Konvensional. (4) Dalam ... - 39 - (4) Dalam hal calon Direktur UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dinilai: a. tidak memiliki kompetensi di bidang perbankan syariah, yang bersangkutan dapat diajukan kembali oleh Bank Umum Konvensional atau kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang memiliki UUS untuk dilakukan penilaian ulang paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak surat pemberitahuan Bank Indonesia; atau b. tidak memiliki komitmen dalam pengembangan UUS, yang bersangkutan dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai Direktur UUS. (5) Apabila berdasarkan penilaian ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, calon Direktur UUS dinilai masih tidak memiliki kompetensi maka Bank Umum Konvensional atau kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang memiliki UUS wajib mengganti dengan calon lain. Pasal 47 (1) Tata cara uji kemampuan dan kepatutan bagi calon Direktur UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c, berpedoman pada ketentuan BAB III Peraturan Bank Indonesia ini, kecuali Pasal 19 huruf a, Pasal 19 huruf b, Pasal 19 huruf d, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 27. (2) Ketentuan dan tata cara pengangkatan calon Direktur UUS yang telah mendapat persetujuan dari Bank Indonesia tunduk pada ketentuan Bank ... - 40 - Bank Indonesia yang mengatur mengenai UUS. Pasal 48 Tata cara uji kemampuan dan kepatutan bagi Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b berpedoman pada ketentuan BAB IV Peraturan Bank Indonesia ini, kecuali Pasal 28, Pasal 30, Pasal 36 ayat (1) huruf a angka 1, Pasal 36 ayat (1) huruf b angka 1, Pasal 36 ayat (1) huruf c angka 1, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 43 ayat (2). BAB VI UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP PEMIMPIN KANTOR PERWAKILAN BANK ASING Pasal 49 (1) Tata cara uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing berpedoman pada BAB III Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Tata cara uji kemampuan dan kepatutan terhadap pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing berpedoman pada BAB IV Peraturan Bank Indonesia ini. (3) Uji kemampuan dan kepatutan terhadap pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing dilakukan apabila terdapat indikasi bahwa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau penyimpangan kegiatan Kantor Perwakilan Bank Asing. BAB VII ... - 41 - BAB VII UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN PADA BANK SYARIAH DAN BANK UMUM KONVENSIONAL YANG MEMILIKI UUS DALAM PENYELAMATAN/ PENANGANAN OLEH LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS) Bagian Pertama Uji Kemampuan dan Kepatutan terhadap Calon Anggota Dewan Komisaris dan Calon Anggota Direksi Bank Syariah serta Calon Direktur UUS Pasal 50 (1) Dalam hal Bank Syariah berada dalam penanganan atau penyelamatan oleh LPS maka uji kemampuan dan kepatutan hanya dilakukan terhadap calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi. (2) Dalam hal Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS berada dalam penanganan atau penyelamatan oleh LPS maka uji kemampuan dan kepatutan hanya dilakukan terhadap calon Direktur UUS. (3) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan calon Direktur UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh LPS kepada Bank Indonesia. Pasal 51 Persyaratan uji kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi Bank Syariah, serta calon Direktur UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 berpedoman pada Pasal 4, Pasal 16, BAB III Bagian Pertama, Pasal 44 dan Pasal 46 Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 52 ... - 42 - Pasal 52 (1) Pelaksanaan uji kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi Bank Syariah, serta calon Direktur UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. penelitian administratif berupa persyaratan tidak tercantum dalam daftar kredit macet dan DTL; b. penelitian administratif lainnya; dan c. wawancara, apabila diperlukan. (2) Calon Direktur UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf a mengikuti proses wawancara apabila diperlukan. (3) Calon Direktur UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf b wajib mengikuti uji kemampuan dan kepatutan berdasarkan ketentuan uji kemampuan dan kepatutan yang berlaku bagi Bank Umum Konvensional. Pasal 53 (1) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a pihak yang diuji tidak tercantum dalam daftar kredit macet dan DTL, Bank Indonesia berwenang memberikan persetujuan sementara kepada pihak yang diuji untuk menjalankan tugas dan fungsi sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan Direktur UUS. (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a pihak yang diuji tercantum dalam daftar kredit ... - 43 - kredit macet dan/atau DTL, Bank Indonesia tidak memberikan persetujuan dan: a. pihak yang diuji dilarang melakukan tindakan sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan Direktur UUS; dan b. LPS menyampaikan kembali permohonan calon anggota Dewan Komisaris, calon anggota Direksi, dan calon Direktur UUS yang baru untuk memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (3) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberitahukan kepada LPS. Pasal 54 (1) Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS wajib menyampaikan dokumen persyaratan administratif lainnya mengenai pihak yang diuji paling lama 1 (satu) bulan setelah persetujuan sementara Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1). (2) Dalam rangka penelitian administratif lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b dan wawancara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf c berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4, Pasal 24, Pasal 27, dan Pasal 47 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 55 (1) Berdasarkan penelitian administratif lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b dan wawancara sebagaimana dimaksud dalam ... - 44 - dalam Pasal 52 ayat (1) huruf c, Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan dengan predikat: a. Lulus; atau b. Tidak Lulus. (2) Penetapan hasil akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan Bank Indonesia paling lama 6 (enam) bulan setelah persetujuan sementara. Pasal 56 (1) Bank Indonesia memberitahukan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi Bank Syariah secara tertulis kepada Bank Syariah, pihak yang diuji, dan LPS. (2) Bank Indonesia memberitahukan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan calon Direktur UUS kepada Bank Umum Konvensional atau kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang memiliki UUS, pihak yang diuji, dan LPS. Pasal 57 Konsekuensi dari hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) adalah: a. berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Peraturan Bank Indonesia ini; dan b. hasil persetujuan sementara yang telah diterbitkan menjadi batal terhitung sejak tanggal penetapan Tidak Lulus, dalam hal hasil akhir uji ... - 45 - uji kemampuan dan kepatutan pihak yang diuji ditetapkan predikat Tidak Lulus. Pasal 58 (1) Dalam hal anggota Direksi Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dicalonkan sebagai Direktur UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) dinilai: a. tidak memiliki kompetensi di bidang perbankan syariah, yang bersangkutan dapat diajukan kembali oleh Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak surat pemberitahuan Bank Indonesia; atau b. tidak memiliki komitmen dalam pengembangan UUS, yang bersangkutan dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai Direktur UUS. (2) Apabila berdasarkan penilaian ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, calon Direktur UUS dinilai masih tidak memiliki kompetensi maka Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS wajib mengganti dengan calon lain. Bagian Kedua Uji Kemampuan dan Kepatutan Terhadap Anggota Dewan Komisaris, Anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif Bank Syariah, serta Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS Pasal 59 Tata cara uji kemampuan dan kepatutan terhadap anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif Bank Syariah, serta Direktur ... - 46 - Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam BAB IV Peraturan Bank Indonesia ini. BAB VIII UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP PIHAK YANG SUDAH TIDAK MENJADI PSP ATAU SUDAH TIDAK MENJABAT SEBAGAI ANGGOTA DEWAN KOMISARIS, ANGGOTA DIREKSI DAN PEJABAT EKSEKUTIF BANK SYARIAH, SERTA DIREKTUR UUS DAN PEJABAT EKSEKUTIF UUS Pasal 60 (1) Uji kemampuan dan kepatutan terhadap pihak yang sudah tidak menjadi PSP atau sudah tidak menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif Bank Syariah, serta Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, berpedoman pada BAB IV Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan predikat Tidak Lulus namun masih menjadi PSP dan/atau menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan/atau Pejabat Eksekutif pada bank lain maka bank lain tersebut wajib melakukan tindak lanjut sesuai dengan ketentuan Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) dalam Peraturan Bank Indonesia ini. BAB IX ... - 47 - BAB IX KETENTUAN LAIN–LAIN Pasal 61 (1) Hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan bersifat rahasia dan ditatausahakan serta digunakan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan bank. (2) Dalam hal Bank Syariah, Bank Umum Konvensional atau kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang memiliki UUS, pihak yang diuji, dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 26, Pasal 34, Pasal 53 dan Pasal 56 memberitahukan hasil uji kemampuan dan kepatutan kepada pihak lain maka segala akibat hukum yang timbul sepenuhnya menjadi tanggung jawab yang bersangkutan. Pasal 62 (1) BUS wajib melaporkan rencana perubahan struktur kelompok usaha yang terkait dengan BUS termasuk badan hukum pemilik BUS sampai dengan ultimate shareholders kepada Bank Indonesia paling lama 1 (satu) bulan sebelum terjadinya perubahan. (2) Dalam hal perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut penilaian Bank Indonesia menyebabkan perubahan pengendali BUS atau terdapat pengendali BUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 maka BUS wajib mengajukan calon PSP untuk dilakukan uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam BAB II Peraturan Bank Indonesia ini. (3) Uji ... - 48 - (3) Uji kemampuan dan kepatutan terhadap pengendali BUS yang disebabkan adanya perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan satu kesatuan dan merupakan hasil uji kemampuan dan kepatutan terhadap kelompok usaha. Pasal 63 Bank Indonesia berwenang menolak perubahan pengendali BUS, apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia perubahan tersebut dapat menyebabkan atau diindikasikan dapat menghambat pelaksanaan pengawasan BUS. Pasal 64 BUS wajib mengungkapkan status PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) dalam Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Laporan Tahunan. Pasal 65 Calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi Bank Syariah, serta calon Direktur UUS selain wajib memenuhi persyaratan integritas, kompetensi, dan kelayakan/reputasi keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, juga wajib memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepemilikan dan kepengurusan. BAB X ... - 49 - BAB X SANKSI Pasal 66 (1) Bank Syariah dan UUS yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), Pasal 37 ayat (2), Pasal 40 ayat (2) huruf b, atau Pasal 41 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; dan/atau b. pemberhentian sebagai anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi Bank Syariah, serta Direktur UUS dan selanjutnya Bank Indonesia menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai RUPS mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Bank Indonesia. (2) Bank Syariah yang melanggar kewajiban menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4), Pasal 37 ayat (4), Pasal 41 ayat (3) atau Pasal 62 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebagai berikut: a. bagi BUS: 1) Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kelambatan untuk setiap laporan dengan jumlah paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) apabila BUS belum menyampaikan laporan sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja setelah batas waktu penyampaian laporan; atau 2) Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) apabila BUS tidak menyampaikan atau menyampaikan laporan melebihi batas waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah batas waktu penyampaian laporan; b. bagi ... - 50 - b. bagi BPRS: 1) Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kelambatan untuk setiap laporan dengan jumlah paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) apabila BPRS belum menyampaikan laporan sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja setelah batas waktu penyampaian laporan; atau 2) Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) apabila BPRS tidak menyampaikan atau menyampaikan laporan melebihi batas waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah batas waktu penyampaian laporan. (3) Pemegang saham yang dengan sengaja tidak menaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), Pasal 37 ayat (1) huruf a, Pasal 38 huruf a, atau Pasal 41 ayat (5) dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. (4) Anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif Bank Syariah, serta Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS yang dengan sengaja tidak menaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), Pasal 25 ayat (2) atau Pasal 41 ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 63 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. BAB XI ... - 51 - BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 67 (1) Hasil uji kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku. (2) Terhadap uji kemampuan dan kepatutan bagi calon PSP atau PSP, calon anggota Dewan Komisaris atau anggota Dewan Komisaris, calon anggota Direksi atau anggota Direksi, dan/atau Pejabat Eksekutif Bank Syariah serta calon Direktur UUS atau Direktur UUS dan/atau Pejabat Eksekutif UUS yang sedang dilakukan pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. proses penilaian dan hasil penilaian tetap mengacu kepada Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/31/PBI/2009 tanggal 28 Agustus 2009 tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah; dan b. konsekuensi dan pengenaan jangka waktu sanksi mengacu kepada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 68 Pihak yang telah dinyatakan sebagai pihak yang Tidak Lulus berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/31/PBI/2009 tanggal 28 Agustus 2009 tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, tetap dilarang menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi Bank Syariah serta Direktur UUS sampai dengan jangka waktu pelarangan berakhir. BAB XII ... - 52 - BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 69 Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kemampuan dan kepatutan Bank Syariah dan UUS diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 70 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/31/PBI/2009 tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah; b. ketentuan dalam Pasal 8 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah; dan c. ketentuan dalam Pasal 58 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 71 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar ... - 53 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 18 Juni 2012 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 18 Juni 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 136 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 6 /PBI/2012 TENTANG UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH I. UMUM Upaya menciptakan sistem perbankan yang sehat, selain ditempuh dengan cara perbaikan kondisi keuangan perbankan, juga ditempuh dengan cara pemantapan sistem perbankan yang mengarahkan perbankan kepada praktek good corporate governance serta pemenuhan prinsip kehati-hatian. Bank Syariah sebagai lembaga intermediasi setiap saat harus mempertahankan dan menjaga kepercayaan, oleh karena itu lembaga perbankan syariah perlu dimiliki dan dikelola oleh pihak yang memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan. Perkembangan industri perbankan syariah yang dinamis membutuhkan pemilik yang selain memiliki integritas juga memiliki komitmen dan kemampuan yang tinggi dalam mendukung pengembangan operasional perbankan syariah yang sehat. Selain itu dalam pengelolaan perbankan syariah diperlukan sumber daya manusia yang memiliki integritas yang tinggi, berkualitas dan memiliki reputasi keuangan yang baik. Sehubungan ... - 2 - Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan proses uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon pemilik dan calon pengelola perbankan syariah melalui penelitian administratif yang lebih efektif dan proses wawancara yang lebih efisien, dengan tetap memperhatikan pemenuhan persyaratan yang ditetapkan. Selanjutnya sebagai pelaksanaan tugas pengawasan bank oleh Bank Indonesia secara berkesinambungan, terhadap pihak yang telah mendapat persetujuan dari Bank Indonesia, dilakukan penilaian kembali atas kemampuan dan kepatutannya sebagai pemilik dan pengelola perbankan syariah. Dalam rangka melindungi industri perbankan syariah dari pihak yang diindikasikan tidak memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan, penilaian kembali dilakukan melalui proses yang lebih singkat dan transparan tanpa mengabaikan azas keadilan bagi pihak yang diuji. Mengingat tujuan uji kemampuan dan kepatutan adalah agar industri perbankan syariah senantiasa dimiliki dan dikelola oleh pihak yang memenuhi persyaratan maka sudah menjadi keharusan untuk tidak memberikan ruang bagi pihak yang melakukan tindakan yang diindikasikan tidak memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan. Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan penyempurnaan ketentuan yang berkaitan dengan pengenaan sanksi yang lebih tegas dan dapat memberikan efek jera terhadap pihak yang tidak mampu dan tidak patut dalam memiliki dan mengelola perbankan syariah. Berdasarkan hal–hal tersebut di atas, perlu diatur kembali ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Syariah dan UUS. II. PASAL ... - 3 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Pihak yang termasuk sebagai pengendali Bank Syariah dan UUS termasuk pihak yang menjadi pengendali akibat dari berlakunya peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dalam menghitung jumlah saham yang dimiliki dan/atau dikendalikan secara bersama-sama oleh pihak yang melakukan Pengendalian terhadap Bank Syariah, termasuk: a. saham Bank Syariah yang dimiliki oleh pihak lain yang hak suaranya dapat digunakan atau dikendalikan oleh pengendali Bank Syariah; b. saham Bank Syariah yang dimiliki oleh perusahaan yang dikendalikan oleh pengendali Bank Syariah; c. saham ... - 4 - c. saham Bank Syariah yang dimiliki oleh pihak terafiliasi dari pengendali Bank Syariah; d. saham Bank Syariah yang dimiliki oleh anak perusahaan dari perusahaan yang dikendalikan oleh pengendali Bank Syariah; e. saham Bank Syariah yang dimiliki oleh pihak lain untuk dan atas nama pengendali Bank Syariah (saham nominee) berdasarkan atau tidak berdasarkan suatu perjanjian tertentu; f. saham Bank Syariah yang dimiliki oleh pihak lain yang pemindahtanganannya memerlukan persetujuan dari pengendali Bank Syariah; atau g. saham Bank Syariah lainnya selain saham sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf f, yang dikendalikan oleh pengendali Bank Syariah. Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi dari Pengendali Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada huruf c adalah: a. anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau yang setara atau kuasanya, pejabat, atau karyawan perusahaan pengendali Bank Syariah; b. pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat atau karyawan perusahaan pengendali Bank Syariah, khusus bagi perusahaan yang berbentuk hukum koperasi; c. pihak yang memberikan jasa kepada perusahaan pengendali Bank Syariah, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lain yang terbukti dikendalikan oleh pengendali Bank Syariah; d. pihak ... - 5 - d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga dengan pengendali Bank Syariah baik karena perkawinan maupun karena keturunan sampai dengan derajat kedua baik secara horizontal maupun vertikal, termasuk besan; e. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta memengaruhi pengelolaan perusahaan pengendali Bank Syariah, antara lain keluarga pemegang saham, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, dan keluarga pengurus. Huruf a Bank Syariah dapat memiliki 1 (satu) atau lebih PSP. Termasuk dalam pengertian calon PSP antara lain adalah pemegang saham yang menjadi PSP karena terjadinya pengalihan saham Bank Syariah secara internal atau eksternal, penambahan modal dari pemegang saham Bank Syariah, right issue saham Bank Syariah dan/atau pengajuan diri secara sukarela menjadi PSP. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f ... - 6 - Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Uji kemampuan dan kepatutan dalam rangka penilaian kembali dilakukan dalam hal terdapat indikasi permasalahan integritas, kompetensi dan/atau reputasi keuangan yang bersangkutan selaku PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif Bank Syariah, Direktur UUS, Pejabat Eksekutif UUS, atau pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing. Dalam hal kegiatan operasional UUS melibatkan proses pengambilan keputusan yang melebihi batas wewenang Direktur UUS maka uji kemampuan dan kepatutan terhadap pihak yang terlibat selain Direktur UUS, tunduk kepada ketentuan yang mengatur mengenai ... - 7 - mengenai uji kemampuan dan kepatutan yang berlaku bagi Bank Umum Konvensional. Huruf c Yang dimaksud dengan “pihak yang sudah tidak menjadi atau sudah tidak menjabat sebagai pihak sebagaimana dimaksud pada huruf b” adalah: 1) PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif Bank Syariah, Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS, serta pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing yang sudah tidak menjadi PSP atau sudah tidak menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif Bank Syariah, Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS, serta pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing pada Bank Syariah, UUS atau Kantor Perwakilan Bank Asing dimana perbuatan yang dilakukan oleh yang bersangkutan menjadi obyek uji kemampuan dan kepatutan, namun yang bersangkutan masih menjadi PSP atau masih menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif Bank Syariah, Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS, serta pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing di bank lain; atau 2) yang bersangkutan sudah tidak lagi menjadi PSP, atau sudah tidak lagi menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif Bank Syariah, Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS, serta pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing pada industri perbankan. Pasal 4 ... ... - 8 - Pasal 4 Yang dimaksud dengan “bank” adalah BUS, Bank Umum Konvensional, Bank Perkreditan Rakyat, BPRS dan UUS. Yang dimaksud dengan “proses hukum” adalah proses penyidikan, penuntutan, atau persidangan di pengadilan dalam perkara Tindak Pidana Tertentu. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Kepemilikan saham Bank Syariah termasuk kepemilikan saham yang diperoleh melalui transaksi di bursa efek, hibah atau waris. Yang dimaksud dengan “belum memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia” adalah calon PSP yang belum memperoleh predikat Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan. Tindakan sebagai PSP antara lain adalah hadir dan/atau memberikan suara dalam RUPS dalam kapasitas sebagai PSP. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 ... - 9 - Pasal 7 Persyaratan integritas didasarkan antara lain dari catatan administrasi Bank Indonesia, predikat hasil uji kemampuan dan kepatutan yang pernah diberikan oleh Bank Indonesia kepada yang bersangkutan, atau informasi mengenai telah dijalaninya sanksi oleh pihak yang diuji yang pernah mendapat predikat Tidak Lulus. Huruf a Penilaian terhadap kriteria pada huruf ini dilakukan antara lain berdasarkan informasi yang diperoleh Bank Indonesia atau informasi yang diketahui oleh umum, bahwa yang bersangkutan pernah dihukum karena melakukan Tindak Pidana Tertentu dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan. Yang dimaksud dengan “sebelum dicalonkan” adalah terhitung sampai tanggal surat permohonan Bank Syariah kepada Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 8 ... - 10 - Pasal 8 Huruf a Penilaian kemampuan keuangan bagi calon PSP berupa badan hukum dilakukan antara lain berdasarkan pada analisis kemampuan keuangan pada saat ini dan proyeksinya untuk jangka waktu paling kurang 3 (tiga) tahun, yang disusun oleh konsultan independen. Huruf b Yang dimaksud dengan “kredit/pembiayaan macet” adalah: 1) kredit/pembiayaan macet yang tercantum dalam Sistem Informasi Debitur; atau 2) kredit/pembiayaan yang berdasarkan penelitian Bank Indonesia digolongkan macet, namun oleh bank: a) dilaporkan dalam Sistem Informasi Debitur namun belum digolongkan macet; atau b) tidak dilaporkan dalam Sistem Informasi Debitur. Calon PSP dinilai memiliki kredit/pembiayaan macet apabila: 1) mempunyai kredit/pembiayaan macet; dan/atau 2) merupakan pengendali, anggota dewan komisaris (pengawas), atau anggota direksi (pengurus) dari badan hukum yang mempunyai kredit/pembiayaan macet. Yang dimaksud dengan “hutang jatuh tempo dan bermasalah” adalah hutang yang telah jatuh tempo dan tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukan restrukturisasi. Dalam ... .. - 11 - Dalam pengertian memiliki hutang jatuh tempo dan bermasalah adalah apabila calon PSP: 1) mempunyai hutang jatuh tempo dan bermasalah; dan/atau 2) merupakan pengendali, anggota dewan komisaris (pengawas), atau anggota direksi (pengurus) dari badan hukum yang mempunyai hutang jatuh tempo dan bermasalah, baik dalam industri perbankan maupun di luar industri perbankan. Huruf c Yang dimaksud dengan “sebelum dicalonkan” adalah terhitung sampai tanggal surat permohonan Bank Syariah kepada Bank Indonesia. Huruf d Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Permohonan diajukan oleh anggota Direksi Bank Syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Huruf a Penelitian ... - 12 - Penelitian administratif meliputi antara lain penelitian dokumen persyaratan administratif, catatan administrasi Bank Indonesia, penelitian kemampuan dan kelayakan keuangan, serta struktur kepemilikan calon PSP. Penelitian terhadap catatan administrasi Bank Indonesia termasuk penelitian terhadap pihak yang pernah mendapat predikat Tidak Lulus, namun dalam uji kemampuan dan kepatutan kembali telah dinilai memenuhi persyaratan untuk kembali menjadi PSP. Huruf b Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Dalam hal badan hukum pemegang saham Bank Syariah dimiliki dan dikendalikan oleh badan hukum lain secara berjenjang dalam suatu kelompok usaha maka pemegang saham pengendali terakhir (ultimate shareholders) adalah perorangan atau badan hukum yang secara langsung ataupun tidak langsung memiliki saham Bank Syariah dan merupakan pengendali terakhir keseluruhan struktur kelompok usaha yang mengendalikan Bank Syariah. Badan hukum terakhir dalam keseluruhan struktur kelompok usaha ditetapkan sebagai ultimate shareholders apabila badan hukum tersebut tidak memiliki pemegang saham pengendali. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) ... - 13 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 12 Yang dimaksud dengan “Pemerintah” adalah Pemerintah Republik Indonesia, baik tingkat Pusat maupun Daerah. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “telah menjalani proses hukum” adalah apabila yang bersangkutan telah mendapatkan: 1) Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3); 2) Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP); atau 3) Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak bersalah. Yang ... - 14 - Yang dimaksud dengan “telah menjalani proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu bank” adalah apabila yang bersangkutan telah mendapatkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan dengan predikat Lulus. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Calon PSP yang memperoleh predikat Lulus dinyatakan memenuhi persyaratan untuk menjadi PSP pada Bank Syariah dimaksud. Huruf b Calon PSP yang memperoleh predikat Tidak Lulus dinyatakan tidak memenuhi persyaratan menjadi PSP pada Bank Syariah dimaksud. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “mengalihkan kepemilikan saham yang telah dibeli” adalah mengalihkan: 1) Seluruh kepemilikan sahamnya bagi calon PSP yang semula belum memiliki saham pada Bank Syariah yang bersangkutan; atau 2) Tambahan ... - 15 - 2) Tambahan kepemilikan sahamnya bagi calon PSP yang semula sudah menjadi pemegang saham pada Bank Syariah yang bersangkutan. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “persetujuan” adalah predikat Lulus yang diberikan kepada pihak yang diuji, sedangkan yang dimaksud dengan “penolakan” adalah predikat Tidak Lulus yang diberikan kepada pihak yang diuji. Ayat (3) Pihak lain yang berkepentingan pada ayat ini antara lain adalah Pemerintah dan/atau Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “menjalankan tugas dan fungsi dalam jabatannya” adalah bertindak mewakili Bank Syariah dalam membuat keputusan yang secara hukum mengikat Bank Syariah dan/atau mengambil keputusan penting yang memengaruhi kondisi keuangan Bank Syariah. Ayat (2) ... - 16 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan “belum mendapat persetujuan Bank Indonesia” adalah anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi Bank Syariah yang belum memperoleh predikat Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Persyaratan integritas didasarkan antara lain dari catatan administrasi Bank Indonesia, predikat hasil uji kemampuan dan kepatutan yang pernah diberikan oleh Bank Indonesia kepada yang bersangkutan, atau informasi mengenai telah dijalaninya sanksi oleh pihak yang diuji yang pernah mendapat predikat Tidak Lulus. Huruf a Penilaian terhadap kriteria pada huruf ini dilakukan antara lain berdasarkan informasi yang diperoleh langsung oleh Bank Indonesia atau melalui informasi yang diketahui oleh umum. Yang dimaksud dengan “sebelum dicalonkan” adalah terhitung sampai tanggal surat permohonan Bank Syariah kepada Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Huruf c ... - 17 - Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 19 Huruf a Angka 1) Yang dimaksud dengan “pengetahuan, pemahaman di bidang operasional perbankan syariah” adalah berupa pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan dan operasional BUS yang antara lain dibuktikan dengan memiliki sertifikat pelatihan perbankan syariah dengan cakupan materi paling kurang mengenai ketentuan perbankan syariah, produk bank syariah dan analisa laporan keuangan bank syariah. Yang dimaksud dengan “pengalaman di bidang operasional perbankan syariah” antara lain berupa pengalaman dalam mengelola bisnis utama Bank Syariah dan/atau UUS. Angka 2) Kemampuan untuk mengawasi kegiatan usaha BUS antara lain ditunjukkan dengan memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai pengawasan kegiatan usaha perbankan syariah. Angka 3 ... - 18 - Angka 3 Memiliki pengetahuan dan pemahaman manajemen risiko antara lain dibuktikan dengan memiliki sertifikat manajemen risiko yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang telah memperoleh izin dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan “pengetahuan, pemahaman di bidang operasional perbankan syariah” adalah berupa pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan dan operasional BPRS yang antara lain dibuktikan dengan memiliki sertifikat pelatihan perbankan syariah dengan cakupan materi paling kurang mengenai ketentuan perbankan syariah, produk bank syariah dan analisa laporan keuangan bank syariah. Yang dimaksud dengan “pengalaman di bidang operasional perbankan syariah” adalah antara lain memiliki pengalaman dalam mengelola bisnis utama Bank Syariah dan/atau UUS. Angka 2 Kemampuan untuk mengawasi kegiatan usaha BPRS antara lain dibuktikan dengan memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai pengawasan kegiatan usaha perbankan syariah. Huruf c Angka 1 Yang dimaksud dengan “pengetahuan dan pemahaman di bidang ... - 19 - bidang operasional perbankan syariah” adalah berupa pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan dan operasional BUS yang antara lain dibuktikan dengan memiliki sertifikat pelatihan perbankan syariah dengan cakupan materi paling kurang mengenai ketentuan perbankan syariah, produk bank syariah, kegiatan operasional bank syariah dan laporan keuangan bank syariah. Angka 2 Yang dimaksud dengan “pengalaman dan keahlian di bidang operasional perbankan, perbankan syariah, bidang keuangan dan/atau keuangan syariah” adalah antara lain berupa pengalaman dan keahlian dalam mengelola bisnis utama bank dan/atau lembaga keuangan. Angka 3 Yang dimaksud dengan “kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis” antara lain kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan dan perbankan, menginterpretasikan visi dan misi BUS dan analisis situasi industri perbankan. Angka 4 Memiliki pengetahuan dan pemahaman yang antara lain dibuktikan dengan memiliki sertifikat manajemen risiko yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang telah memperoleh izin dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) serta memiliki kemampuan dalam penerapan manajemen risiko pada kegiatan operasional BUS. Huruf d ... - 20 - Huruf d Angka 1 Yang dimaksud dengan “pengetahuan dan pemahaman di bidang operasional perbankan syariah” antara lain berupa pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan dan operasional BPRS yang antara lain dibuktikan dengan memiliki sertifikat pelatihan perbankan syariah dengan cakupan materi paling kurang mengenai ketentuan perbankan syariah, produk bank syariah, kegiatan operasional bank syariah dan laporan keuangan bank syariah. Angka 2 Yang dimaksud dengan “pengalaman dan keahlian di bidang operasional perbankan atau perbankan syariah dan/atau bidang keuangan atau keuangan syariah” adalah antara lain berupa pengalaman dan keahlian dalam mengelola bisnis utama bank dan/atau lembaga keuangan. Angka 3 Yang dimaksud dengan “kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis” antara lain kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan dan perbankan, menginterpretasikan visi dan misi BPRS dan analisis situasi industri perbankan. Pasal 20 Huruf a Yang ... - 21 - Yang dimaksud dengan “kredit/pembiayaan macet” adalah: 1) kredit/pembiayaan macet yang tercantum dalam Sistem Informasi Debitur; atau 2) kredit/pembiayaan yang berdasarkan penelitian Bank Indonesia digolongkan macet, namun oleh bank: a) dilaporkan dalam Sistem Informasi Debitur dengan kualitas yang belum digolongkan macet; atau b) tidak dilaporkan dalam Sistem Informasi Debitur. Calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi dinilai memiliki kredit/pembiayaan macet apabila: 1) mempunyai kredit/pembiayaan macet; dan/atau 2) merupakan pengendali, anggota dewan komisaris (pengawas), atau anggota direksi (pengurus) dari badan hukum yang mempunyai kredit/pembiayaan macet. Huruf b Yang dimaksud dengan “sebelum dicalonkan” adalah terhitung sampai tanggal surat permohonan Bank Syariah kepada Bank Indonesia. Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “mayoritas” adalah lebih dari setengah jumlah seluruh anggota Direksi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) ... - 22 - Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “benturan kepentingan” adalah apabila terdapat benturan kepentingan antara anggota Direksi yang berwenang mengajukan permohonan dengan Bank Syariah. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “ketentuan perundang–undangan yang berlaku” adalah antara lain peraturan perundang-undangan tentang perseroan terbatas dan tentang ketenagakerjaan. Pasal 23 ... - 23 - Pasal 23 Huruf a Penelitian administratif meliputi antara lain penelitian dokumen persyaratan administratif sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan yang berlaku, catatan administrasi Bank Indonesia, dan penelitian reputasi keuangan calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi Bank Syariah. Huruf b Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “telah menjalani proses hukum” adalah apabila yang bersangkutan telah mendapatkan: 1) Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3); 2) Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP); atau 3) Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak bersalah. Yang ... - 24 - Yang dimaksud dengan “telah menjalani proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu bank” adalah apabila yang bersangkutan telah mendapatkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan dengan predikat Lulus. Pasal 25 Ayat (1) Huruf a Calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi yang memperoleh predikat Lulus dinyatakan memenuhi persyaratan untuk menjadi anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi Bank Syariah dimaksud. Huruf b Calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi yang memperoleh predikat Tidak Lulus dinyatakan tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi Bank Syariah dimaksud. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “tindak lanjut yang harus dilakukan Bank Syariah” adalah antara lain menyelenggarakan RUPS dengan agenda pembatalan pengangkatan calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi yang ditetapkan Tidak Lulus. Ayat (4) ... - 25 - Ayat (4) Jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja dihitung sejak pelaksanaan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “persetujuan” adalah predikat Lulus yang diberikan kepada pihak yang diuji, sedangkan yang dimaksud dengan “penolakan” adalah predikat Tidak Lulus yang diberikan kepada pihak yang diuji. Ayat (3) Pihak lain yang berkepentingan pada ayat ini antara lain adalah PSP, Pemerintah dan/atau Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Huruf a Yang dimaksud dengan “pegawai” adalah setiap orang yang bekerja dan tercatat dalam administrasi kepegawaian Bank Syariah. Angka 1) ... - 26 - Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) Yang dimaksud dengan “merugikan atau mengurangi keuntungan Bank Syariah” adalah merugikan atau mengurangi keuntungan dalam bentuk keuangan. Angka 3) Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “menyebabkan Bank Syariah mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha Bank Syariah dan/atau dapat membahayakan industri perbankan” adalah antara lain: 1) memanfaatkan Bank Syariah untuk membiayai kepentingan sendiri atau kelompok usahanya; dan/atau 2) melanggar ketentuan dan/atau komitmen kepada Bank Indonesia atau Pemerintah, yang menyebabkan Bank Syariah ditempatkan dalam pengawasan intensif atau pengawasan khusus, diambilalih Pemerintah/Lembaga Penjamin Simpanan, dibekukan kegiatan usahanya dan/atau dicabut ijin usahanya. Huruf d Cukup jelas. Huruf e ... - 27 - Huruf e Yang dimaksud dengan “kredit/pembiayaan macet” adalah: 1) kredit/pembiayaan macet yang tercantum dalam Sistem Informasi Debitur; dan/atau 2) kredit/pembiayaan yang berdasarkan penelitian Bank Indonesia digolongkan macet, namun oleh bank: a) dilaporkan dalam Sistem Informasi Debitur namun belum digolongkan macet; atau b) tidak dilaporkan dalam Sistem Informasi Debitur. PSP dinilai memiliki kredit/pembiayaan macet apabila: 1) mempunyai kredit/pembiayaan macet; dan/atau 2) merupakan pengendali, anggota dewan komisaris (pengawas), atau anggota direksi (pengurus) dari badan hukum yang mempunyai kredit/pembiayaan macet. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 29 Huruf a Angka 1) ... - 28 - Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) Yang dimaksud dengan “pegawai” adalah setiap orang yang bekerja dan tercatat dalam administrasi kepegawaian Bank Syariah. Yang dimaksud dengan “merugikan atau mengurangi keuntungan Bank Syariah” adalah merugikan atau mengurangi keuntungan dalam bentuk keuangan. Angka 3) Cukup jelas. Angka 4) Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “menyebabkan Bank Syariah mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha Bank Syariah atau dapat membahayakan industri perbankan” adalah antara lain: 1) memanfaatkan Bank Syariah untuk membiayai kepentingan sendiri atau kelompok usahanya; dan/atau 2) melanggar ketentuan dan/atau komitmen kepada Bank Indonesia atau Pemerintah, yang ... - 29 - yang menyebabkan Bank Syariah ditempatkan dalam pengawasan intensif atau pengawasan khusus, diambil alih Pemerintah/Lembaga Penjamin Simpanan, dibekukan kegiatan usahanya dan/atau dicabut ijin usahanya. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “kredit/pembiayaan macet” adalah: 1) kredit/pembiayaan macet yang tercantum dalam Sistem Informasi Debitur; dan/atau 2) kredit/pembiayaan yang berdasarkan penelitian Bank Indonesia digolongkan macet, namun oleh bank: a) dilaporkan dalam Sistem Informasi Debitur namun belum digolongkan macet; atau b) tidak dilaporkan dalam Sistem Informasi Debitur. Anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi dinilai memiliki kredit/pembiayaan macet apabila: 1) mempunyai kredit/pembiayaan macet; dan/atau 2) merupakan pengendali, anggota dewan komisaris (pengawas), atau anggota direksi (pengurus) dari badan hukum yang mempunyai kredit/pembiayaan macet. Huruf f Cukup jelas. Huruf g ... - 30 - Huruf g Penilaian didasarkan pada tugas dan tanggung jawab dari setiap anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi, sesuai uraian tugas yang ada pada Bank Syariah yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan “kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis” adalah antara lain kemampuan untuk menginterpretasikan visi dan misi Bank Syariah, mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan dan perbankan, menganalisa situasi industri perbankan dan sektor-sektor industri yang dibiayai. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “satu kesatuan dan berlaku bagi PSP dan pihak yang melakukan Pengendalian” adalah apabila PSP diberikan predikat Tidak Lulus, maka keseluruhan pihak yang melakukan Pengendalian yang terkait dengan PSP juga diberikan predikat Tidak Lulus. Ketentuan ... - 31 - Ketentuan ini dimaksudkan agar masing-masing anggota PSP dapat bertindak independen terhadap anggota yang lain dalam kelompok PSP. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Pelaksanaan klarifikasi dengan pihak yang diuji dapat dilakukan melalui tatap muka yang dilengkapi dengan berita acara dan/atau melalui surat. Huruf b Hasil sementara uji kemampuan dan kepatutan yang disampaikan kepada pihak yang diuji memuat predikat hasil sementara uji kemampuan dan kepatutan beserta alasannya. Huruf c Penyampaian tanggapan dari pihak yang diuji dilakukan secara tertulis disertai dengan bukti-bukti pendukung yang relevan. Huruf d ... - 32 - Huruf d Hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan disampaikan secara tertulis, dengan memuat predikat hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan beserta alasannya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “tidak menggunakan hak” adalah termasuk penyampaian klarifikasi namun tidak disertai dengan bukti pendukung yang relevan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan “tidak menggunakan hak” adalah termasuk menyampaikan tanggapan namun tidak disertai dengan bukti-bukti pendukung yang relevan. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) ... - 33 - Ayat (2) Tingkat keterlibatan pihak yang diuji didasarkan atas peranan masing–masing pihak yang diuji terhadap tindakan pelanggaran yang dilakukan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pihak lain yang berkepentingan” adalah antara lain pemegang saham termasuk PSP. Pasal 35 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Huruf a ... - 34 - Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1) Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Angka i Cukup jelas. Angka ii Yang dimaksud dengan “kumulatif” adalah gabungan paling kurang dari 2 (dua) perbuatan Pasal 28 huruf a angka 3, Pasal 28 huruf d, Pasal 28 huruf e, Pasal 28 huruf g dan/atau Pasal 28 huruf h. Angka iii Cukup jelas. Angka 2) Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Angka i Cukup jelas. Angka ii ... - 35 - Angka ii Yang dimaksud dengan “kumulatif” adalah gabungan paling kurang dari 2 (dua) perbuatan Pasal 29 huruf a angka 3, Pasal 29 huruf d, Pasal 29 huruf e, Pasal 29 huruf g, Pasal 29 huruf h dan/atau Pasal 29 huruf i. Angka iii Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “hak selaku pemegang saham” misalnya hak untuk menghadiri, mengeluarkan suara dalam RUPS, dan hak untuk menerima deviden sesuai saham yang dimiliki. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) ... - 36 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan “penjelasan” adalah penjelasan mengenai status PSP yang mempunyai predikat Tidak Lulus bahwa jumlah hak suara yang diakui dalam kuorum RUPS paling banyak 10% (sepuluh persen) dari seluruh saham Bank Syariah, sampai dengan saham dimaksud dialihkan kepada pihak lain. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 38 Huruf a Surat kuasa menjual pada ayat ini paling kurang memuat klausula memberikan kuasa kepada penerima kuasa untuk menjual atau mengalihkan saham kepada pihak lain. Selain surat kuasa, pemberi kuasa memberikan surat pernyataan kepada Bank Indonesia yang paling kurang memuat: 1) menerima segala keputusan pengalihan saham yang dilakukan oleh penerima kuasa; dan 2) membebaskan penerima kuasa atas segala akibat hukum yang timbul dari penjualan atau pengalihan saham dimaksud. Huruf b Cukup jelas. Huruf c ... - 37 - Huruf c Ketentuan ini hanya berlaku bagi Bank Syariah yang telah go public. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Pengumuman kepada publik melalui media massa dilakukan oleh Bank Syariah. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua” adalah hubungan baik vertikal maupun horizontal, termasuk mertua, menantu, dan ipar, meliputi: 1. orang tua kandung/tiri/angkat; 2. saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istrinya; 3. anak kandung/tiri/angkat; 4. kakek ... - 38 - 4. kakek/nenek kandung/tiri/angkat; 5. cucu kandung/tiri/angkat; 6. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami atau istrinya; 7. suami/istri; 8. mertua; 9. besan; 10. suami/istri dari anak kandung/tiri/angkat; 11. kakek/nenek dari suami/istri; 12. suami/istri dari cucu kandung/tiri/angkat; dan/atau 13. saudara kandung/tiri/angkat dari suami/istri beserta suami atau istrinya. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Larangan pencatatan atas kepemilikan saham tidak memengaruhi pencatatan akuntansi maupun pencatatan modal Bank Syariah sampai dengan yang bersangkutan mengalihkan sahamnya. Huruf c Cukup jelas. Pasal 41 ... - 39 - Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Tindak lanjut yang harus dilakukan Bank Syariah adalah antara lain menyelenggarakan RUPS atau keputusan pemberhentian Pejabat Eksekutif oleh Direksi Bank Syariah. Ayat (3) Jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja dihitung sejak pelaksanaan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Ketentuan ini hanya berlaku bagi Bank Syariah yang telah go public. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “tidak menindaklanjuti” antara lain adalah: 1) tidak hadir dalam RUPS sehingga mengakibatkan kuorum penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak terpenuhi; atau 2) tidak melakukan upaya-upaya untuk terselenggaranya RUPS sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas. Ayat (6) ... - 40 - Ayat (6) Penetapan sanksi Tidak Lulus pada ayat ini dilakukan secara langsung tanpa mengikuti langkah-langkah penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2). Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penggantian pihak yang melakukan Pengendalian terhadap badan hukum dimaksud harus dibuktikan dengan dokumen yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 ... - 41 - Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Wawancara dilakukan semata-mata untuk menilai kompetensi di bidang perbankan syariah dan komitmen dalam pengembangan perbankan syariah dan bukan dimaksudkan untuk menguji kembali kemampuan dan kepatutan direktur pada Bank Umum Konvensional yang telah menjalani uji kemampuan dan kepatutan sebelumnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 ... - 42 - Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Ayat (1) Terhadap LPS sebagai calon PSP tidak dilakukan uji kemampuan dan kepatutan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang ... - 43 - Yang dimaksud dengan “melakukan tindakan sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan Direktur UUS” adalah bertindak mewakili Bank Syariah atau UUS dalam membuat keputusan yang secara hukum mengikat Bank Syariah atau UUS dan/atau mengambil keputusan yang penting yang memengaruhi kondisi keuangan Bank Syariah atau UUS. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 ... - 44 - Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bank Indonesia tidak bertanggung jawab terhadap penyalahgunaan data yang telah diberikan kepada anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan pihak lain yang berkepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 26, Pasal 34, Pasal 53 dan Pasal 56. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 ... - 45 - Pasal 63 Yang dimaksud dengan “menghambat pelaksanaan pengawasan BUS” adalah antara lain apabila Bank Indonesia mengalami kesulitan atau potensi kesulitan untuk mengakses data dan informasi termasuk informasi sumber keuangan pengendali Bank Syariah. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Yang dimaksud dengan “ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepemilikan dan kepengurusan” adalah antara lain ketentuan mengenai: 1) BUS, UUS, BPRS; 2) perubahan kegiatan usaha bank konvensional menjadi bank syariah; 3) tata cara pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar negeri; 4) pembelian saham bank umum; 5) merger, konsolidasi dan akuisisi bank; 6) 7) fungsi kepatuhan; tenaga kerja asing; dan 8) pelaksanaan good corporate governance. Pasal 66 ... - 46 - Pasal 66 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar, tidak menghilangkan kewajiban Bank Syariah untuk menyampaikan laporan. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 ... - 47 - Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5322
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 14/6/PBI/2012 </reg_id> <reg_title> UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title> <set_date> 18 Juni 2012 </set_date> <effective_date> 18 Juni 2012 </effective_date> <issued_date> 18 Juni 2012 </issued_date> <replaced_reg> '11/31/PBI/2009', '11/10/PBI/2009| | Pasal 8 ayat (4), Pasal 8 ayat (5)', '11/33/PBI/2009 | Pasal 58 ayat (3), Pasal 58 ayat (4), Pasal 58 ayat (5)' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008', '21/UU/2008' </related_reg> <penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/15/PBI/2017 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menjaga keamanan dan kelancaran penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia diperlukan penyediaan dana prefund; b. bahwa untuk menjamin penyelenggaraan kliring antarbank yang lebih lancar, aman, efisien, dan andal diperlukan penyempurnaan atas prefund debit yang dapat digunakan dalam penyelenggaraan kliring antarbank; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali -2- diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5204); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5704) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/5/PBI/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5876) diubah sebagai berikut: -3- 1. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Peserta wajib menyediakan Prefund Debit sesuai dengan waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Besarnya Prefund Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Penyelenggara untuk masing- masing Peserta. (3) Prefund Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa dana tunai (cash Prefund). (4) Dana tunai (cash Prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditatausahakan pada Sistem BI-RTGS dalam rekening milik Penyelenggara yang digunakan khusus untuk menampung dana tunai (cash Prefund). (5) Penyelenggara menatausahakan dana tunai (cash Prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pada SKNBI untuk masing-masing PLU. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan Prefund Debit diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. 2. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) Peserta wajib melakukan penambahan Prefund Kredit dalam hal total dana yang dimiliki Peserta tidak dapat memenuhi kewajiban dalam Layanan Transfer Dana dan/atau Layanan Pembayaran Reguler. -4- (2) Total dana yang dimiliki Peserta untuk memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari: a. confirmed incoming yaitu DKE Transfer Dana atau DKE Pembayaran masuk dari Peserta lain yang dapat dipenuhi oleh dana yang dimiliki oleh Peserta lain tersebut; dan/atau b. dana tunai (cash Prefund) yang disediakan dalam Prefund Kredit. (3) Peserta wajib melakukan penambahan Prefund Debit dalam hal total dana yang dimiliki Peserta tidak dapat memenuhi kewajiban dalam Layanan Kliring Warkat Debit dan/atau Layanan Penagihan Reguler. (4) Total dana yang dimiliki Peserta untuk memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersumber dari: a. confirmed outgoing yaitu DKE Warkat Debit atau DKE Penagihan kepada Peserta lain yang tidak diretur dan didukung oleh dana yang cukup dari Peserta lain tersebut; dan/atau b. dana tunai (cash Prefund) yang disediakan dalam Prefund Debit. 3. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 (1) Penyelenggara akan mengembalikan dana tunai (cash Prefund) yang telah disediakan untuk Prefund Kredit dan/atau Prefund Debit ke Rekening Setelmen Dana PLU dan/atau Rekening Setelmen Dana bank pembayar sesuai periode waktu yang ditetapkan Penyelenggara, dalam hal setelah perhitungan akhir masih terdapat saldo dana tunai (cash Prefund) yang tidak dipergunakan. -5- (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembalian dana tunai (cash Prefund) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2019. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2017 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2017................... MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 302 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/15/PBI/2017 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA I. UMUM Untuk mewujudkan penyelenggaraan SKNBI yang lancar, aman, efisien, dan andal Bank Indonesia telah menerapkan prinsip bahwa perhitungan kliring antar-Bank hanya dapat dilaksanakan apabila didukung dengan dana yang cukup (no money no game). Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan kliring antar-Bank diatur mengenai kewajiban penyediaan dana dalam bentuk Prefund. Untuk meningkatkan kelancaran penyelenggaraan SKNBI dan efisiensi pengelolaan dana oleh Peserta, dilakukan penyempurnaan Prefund Debit yang semula berupa dana tunai (cash Prefund) dan surat berharga (collateral Prefund) menjadi hanya berupa dana tunai (cash Prefund). Selanjutnya, mekanisme penggunaan surat berharga untuk pemenuhan Prefund dilakukan satu pintu melalui fasilitas likuiditas intrahari pada Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 17 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 18 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 20 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6170
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 19/15/PBI/2017 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 27 Desember 2017 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2019 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2017 </issued_date> <changed_reg> '17/9/PBI/2015' </changed_reg> <extension_of> '18/5/PBI/2016' </extension_of> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/19/PBI/2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/17/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah; b. bahwa untuk mendukung kestabilan nilai Rupiah dibutuhkan pendalaman pasar valuta asing domestik yang salah satunya dilakukan melalui pengembangan transaksi swap dalam rangka lindung nilai kepada Bank Indonesia; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/17/PBI/2013 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun … - 2 - Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/17/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/17/PBI/2013 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 237, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5480) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 (1) Bank dapat melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. (2) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. dilakukan … - 3 - a. dilakukan berdasarkan Underlying Transaksi yang dimiliki oleh Bank atau nasabah; b. jangka waktu Underlying Transaksi sama dengan atau lebih panjang dari jangka waktu Kontrak Lindung Nilai Bank kepada Bank Indonesia; dan c. nilai nominal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia paling banyak sebesar nilai nominal Underlying Transaksi. (3) Dalam hal Underlying Transaksi dimiliki oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, ruang lingkup Underlying Transaksi meliputi: a. Pinjaman Luar Negeri Bank dalam bentuk perjanjian kredit dan/atau penerbitan surat utang; dan/atau b. dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha). (4) Dalam hal Underlying Transaksi dimiliki oleh nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, ruang lingkup Underlying Transaksi meliputi transaksi swap jual antara Bank dengan nasabah yang terkait Lindung Nilai atas: a. Pinjaman Luar Negeri dalam bentuk perjanjian kredit dan/atau penerbitan surat utang; Investasi Langsung; b. c. devisa hasil ekspor; d. e. f. investasi pada infrastruktur pembangunan sarana umum dan produksi; investasi pada surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia; dan/atau investasi pada kegiatan ekonomi lainnya. 2. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Bank dapat mengajukan: a. perpanjangan Kontrak Lindung Nilai kepada Bank Indonesia; dan/atau b. perpanjangan … - 4 - b. perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. (2) Bank Indonesia menerima perpanjangan Kontrak Lindung Nilai dan perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia yang diajukan oleh Bank. (3) Jangka waktu perpanjangan Kontrak Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling lama sama dengan sisa jangka waktu Underlying Transaksi, dengan perpanjangan kontrak paling lama 3 (tiga) tahun. (4) Jangka waktu perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, 12 (dua belas) bulan, atau sesuai dengan sisa jangka waktu Kontrak Lindung Nilai, dengan perpanjangan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan. (5) Bank wajib memenuhi persyaratan perpanjangan Kontrak Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang diatur sebagai berikut: a. menggunakan jenis Underlying Transaksi yang sama sesuai dengan underlying yang tercantum dalam Kontrak Lindung Nilai awal; b. dalam hal jenis Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a dimiliki oleh Bank maka nilai nominal perpanjangan Kontrak Lindung Nilai kepada Bank Indonesia paling banyak sebesar nilai outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank atau dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) Bank; dan c. jangka waktu perpanjangan Kontrak Lindung Nilai kepada Bank Indonesia paling lama sama dengan sisa jangka waktu Underlying Transaksi, dengan perpanjangan kontrak paling lama 3 (tiga) tahun. (6) Bank wajib memenuhi persyaratan perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diatur sebagai berikut: a. menggunakan … - 5 - a. menggunakan Kontrak Lindung Nilai yang masih berlaku; b. menggunakan jenis Underlying Transaksi yang sama sesuai dengan nomor referensi yang tercantum dalam Kontrak Lindung Nilai; c. dalam hal jenis Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf b dimiliki oleh Bank maka nilai nominal perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia paling banyak sebesar nilai outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank atau dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) Bank; dan d. jangka waktu perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia adalah 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, 12 (dua belas) bulan, atau sesuai dengan sisa jangka waktu Kontrak Lindung Nilai dengan perpanjangan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan. (7) Setelmen perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia dapat dilakukan secara netting, termasuk pada saat perpanjangan Kontrak Lindung Nilai. 3. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 Setelmen secara netting untuk perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, termasuk pada saat perpanjangan Kontrak Lindung Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (7) meliputi: a. netting untuk nilai nominal yang sama pada setiap perpanjangan; b. netting untuk nilai nominal yang lebih kecil pada setiap perpanjangan; atau c. netting untuk nilai nominal yang sesuai dengan nilai outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank atau dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) Bank pada setiap periode perpanjangan. 4. Di … - 6 - 4. Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 14A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14A Dalam hal Bank melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dimaksud dapat dianggap sebagai penerusan (pass-on) posisi transaksi derivatif Bank dengan pihak terkait Bank. 5. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 6 ayat (5), Pasal 6 ayat (6), dan/atau Pasal 7 dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 1‰ (satu perseribu) dari nilai Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam denominasi Rupiah dengan menggunakan kurs JISDOR pada tanggal transaksi dan paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia. (2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c dan/atau Pasal 12 ayat (1) dikenakan sanksi berupa teguran tertulis. (3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 13 ayat (3) dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar: 1. rata-rata suku bunga Fed Fund yang berlaku selama periode keterlambatan ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal transaksi dikalikan hari keterlambatan dibagi dengan 360 (tiga ratus enam puluh) untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta Dolar Amerika Serikat; dan 2. rata … - 7 - 2. rata-rata suku bunga kebijakan Bank Indonesia (BI rate) yang berlaku selama periode keterlambatan ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal transaksi dikalikan hari keterlambatan dibagi dengan 360 (tiga ratus enam puluh) untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam Rupiah. (4) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui pendebetan rekening giro Rupiah Bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia. (5) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan melalui pendebetan rekening giro valuta asing atau Rupiah Bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia. 6. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 Dalam hal ditemukan pelanggaran atas Pasal 2 ayat (2), Pasal 6 ayat (6), Pasal 7, dan/atau Pasal 12 ayat (1) pada periode Kontrak Lindung Nilai maka Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia tidak dapat diperpanjang. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar … - 8 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 September 2014 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 September 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 215 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/19/ PBI/ 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/17/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA I. UMUM Dalam upaya lebih mendorong transaksi derivatif di pasar valuta asing domestik yang saat ini relatif belum berkembang dan tingginya segmentasi akibat keterbatasan counterparty line serta sejalan dengan dinamika perkembangan pasar valuta asing domestik, Bank Indonesia memandang perlu melakukan penyempurnaan pengaturan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. Penyempurnaan ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dan akan memberikan dampak positif bagi upaya percepatan pendalaman pasar valuta asing domestik. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Istilah … - 2 - Istilah dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) merupakan istilah yang digunakan dalam ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum yang diterbitkan oleh otoritas yang berwenang dan/atau ketentuan Bank Indonesia mengenai Pinjaman Luar Negeri Bank. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 2 Pasal 6 Cukup Jelas. Angka 3 Pasal 14 Cukup Jelas. Angka 4 Pasal 14A Kewajiban penerusan (pass-on) transaksi derivatif Bank dengan pihak terkait Bank mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia mengenai transaksi derivatif. Definisi pihak terkait mengacu kepada ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum yang diterbitkan oleh otoritas yang berwenang. Angka 5 Pasal 15 Cukup Jelas. Angka 6 Pasal … - 3 - Pasal 16 Cukup Jelas. Pasal II Cukup Jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5583
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 16/19/PBI/2014 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/17/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 17 September 2014 </set_date> <effective_date> 17 September 2014 </effective_date> <issued_date> 17 September 2014 </issued_date> <changed_reg> '15/17/PBI/2013' </changed_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 5 Pasal 15' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/11 /PBI/2003 TENTANG PEMBAYARAN TRANSAKSI IMPOR GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. b. bahwa salah satu faktor yang mendukung kelancaran arus perdagangan internasional adalah tersedianya kebijakan pembayaran transaksi impor yang sejalan dengan kebutuhan perbankan dan dunia usaha; bahwa pengaturan pembayaran transaksi impor yang ada saat ini, masih belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan perbankan dan dunia usaha; c. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan pembayaran transaksi impor dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. Mengingat : 1. 2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 3. Undang … - 2 - 3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3844); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA PEMBAYARAN TRANSAKSI IMPOR. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana TENTANG telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998 yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing dan atau melakukan transaksi perbankan dengan pihak-pihak di luar negeri. 2. Impor adalah kegiatan memasukan barang ke wilayah pabean Republik Indonesia. 3. Letter of Credit untuk selanjutnya disebut L/C adalah janji membayar dari bank penerbit kepada penerima jika penerima menyerahkan kepada bank penerbit dokumen yang sesuai dengan persyaratan L/C. Pasal 2… - 3 - Pasal 2 Pembayaran transaksi impor dilakukan dengan menggunakan L/C atau tanpa L/C. BAB II PEMBAYARAN TRANSAKSI IMPOR DENGAN L/C Pasal 3 (1) Bank menerbitkan L/C dalam rangka pembayaran transaksi impor atas dasar permintaan importir yang diajukan kepada Bank dengan mengisi formulir permohonan penerbitan L/C. (2) Bank hanya dapat mengubah L/C atas dasar permintaan importir yang diajukan kepada Bank dengan mengisi formulir permohonan perubahan L/C. Pasal 4 (1) Formulir permohonan penerbitan L/C sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut : a. nama jelas dan alamat importir; b. nama jelas dan alamat eksportir; c. nilai L/C; d. syarat pembayaran atas unjuk, pembayaran kemudian atau berjangka, akseptasi atau negosiasi; e. jenis/rincian dokumen; f. tanggal terakhir pengajuan dokumen; g. tempat pengajuan dokumen; h. tanggal penerbitan dan tanggal jatuh tempo L/C; i. nomor dan tanggal surat ijin dari instansi yang berwenang untuk impor barang yang diawasi dan diatur tata niaga impornya; j. media… - 4 - j. media penerbitan L/C : surat, teleks, swift atau sarana lainnya; k. uraian barang antara lain meliputi nama dan jenis barang, jumlah barang, harga satuan, harga FOB/C&F/CIF; l. tarif (Bea Masuk, Cukai, PPN, PPnBM & PPh impor); m. nomor HS (Harmonized System) / pos tarif; n. asuransi; o. tanggal terakhir pengapalan barang; p. negara tujuan pengapalan barang; q. negara asal barang; r. pencantuman pernyataan umum tunduk pada syarat-syarat umum Bank untuk penerbitan L/C. (2) Format dan jumlah lembar permohonan penerbitan atau perubahan L/C sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diserahkan kepada masing-masing Bank. Pasal 5 Dalam hal Bank akan menerbitkan atau melakukan perubahan L/C, Bank wajib melakukan hal-hal sebagai berikut: a. meneliti kelengkapan dan kebenaran pengisian data yang dicantumkan importir dalam formulir permohonan penerbitan atau perubahan L/C; b. memastikan bahwa importir telah memenuhi ketentuan Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang berlaku di bidang impor yang berkaitan dengan persyaratan sebagai importir, dan barang yang diawasi dan diatur tata niaga impornya; c. meneliti surat persetujuan impor barang dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang dicantumkan dalam formulir permohonan penerbitan L/C dalam hal barang yang diimpor merupakan barang yang diawasi dan diatur tata niaga impornya. Pasal 6 … - 5 - Pasal 6 Bank dilarang menerbitkan atau melakukan perubahan L/C apabila importir tidak memenuhi ketentuan Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang berlaku di bidang impor yang berkaitan dengan persyaratan sebagai importir, dan barang yang diawasi dan diatur tata niaga impornya. Pasal 7 (1) L/C dapat diterbitkan dengan syarat pembayaran tunai dan atau berjangka. (2) Dalam hal Bank melakukan penerbitan L/C dengan syarat pembayaran berjangka atau melakukan perubahan jangka waktu penundaan pembayaran L/C, maka jangka waktu penundaan pembayaran L/C tersebut didasarkan pada kesepakatan para pihak terkait yaitu Bank, importir dan eksportir. (3) Penerbitan dan atau perubahan L/C sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib dilakukan dengan memenuhi ketentuan Bank Indonesia mengenai Pinjaman Komersial Luar Negeri Bank. BAB III PEMBAYARAN TRANSAKSI IMPOR TANPA LC Pasal 8 (1) Pembayaran transaksi impor tanpa L/C dapat dilaksanakan dengan cara : a. Pembayaran dimuka (Advance Payment); b. Pembayaran kemudian (Open Account); c. Inkaso (Collection); d. Konsinyasi (Consignment); e. Pembayaran lainnya yang lazim dalam perdagangan internasional sesuai kesepakatan antara penjual dengan pembeli. (2) Pembayaran … - 6 - (2) Pembayaran transaksi impor tanpa L/C sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan Bank atas dasar permintaan dari importir dan mekanisme pelaksanaannya sesuai dengan praktek dan kebiasaan perbankan yang berlaku secara internasional. Pasal 9 (1) Bank dapat melakukan hubungan koresponden dengan bank-bank di luar negeri dengan memperhatikan ketentuan yang dikeluarkan pemerintah. (2) Hubungan koresponden sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan kepada kesepakatan antara pihak Bank dengan pihak lainnya. BAB IV SANKSI Pasal 10 Dalam hal Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini maka Bank dikenakan sanksi dalam rangka pembinaan dan pengawasan bank. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 11 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 29/33/KEP/DIR tanggal 4 Juni 1996 tentang Pelaksanaan Pembayaran Transaksi Impor dinyatakan tidak berlaku. Pasal 12 … - 7 - Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 23 Juni 2003 GUBERNUR BANK INDONESIA Ttd. BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 71 DLN. PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/11 /PBI/2003 TENTANG PEMBAYARAN TRANSAKSI IMPOR UMUM Dalam rangka mendukung perdagangan internasional dan memperlancar arus barang yang masuk ke Indonesia, Bank Indonesia telah menetapkan ketentuan mengenai pelaksanaan pembayaran transaksi impor sebagai pedoman bagi perbankan dan dunia usaha dalam menyelesaikan pembayaran transaksi impor. Dalam perkembangannya disadari bahwa ketentuan mengenai pelaksanaan pembayaran transaksi impor yang ada saat ini kurang sejalan dengan ketentuan pemerintah di bidang impor dan belum mampu memenuhi kebutuhan dunia usaha untuk mengimpor barang dengan jangka waktu penundaan pembayaran lebih dari 360 hari setelah tanggal pengapalan. Dengan adanya penyempurnaan terhadap ketentuan pelaksanaan pembayaran transaksi impor ini diharapkan ketentuan Bank Indonesia dapat sejalan dengan ketentuan pemerintah di bidang impor, dan mengakomodasi kebutuhan dunia usaha serta meningkatkan peran perbankan sebagai lembaga yang memberikan jasa pembayaran transaksi impor. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2… - 2 - Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Bank dapat menambahkan hal-hal lain yang dipandang perlu untuk dicantumkan dalam formulir permohonan penerbitan L/C diluar hal-hal yang tercantum dalam pasal 4 ayat (1). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Huruf a. Yang dimaksud dengan meneliti kelengkapan pengisian data adalah bank meneliti apakah kolom - kolom dalam formulir permohonan penerbitan atau perubahan L/C yang perlu diisi telah dilengkapi oleh pemohon. Yang dimaksud dengan meneliti kebenaran pengisian data adalah kolom-kolom formulir penerbitan atau perubahan L/C telah diisi sesuai peruntukannya. Huruf b. Cukup jelas. Huruf c … - 3 - Huruf c. Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11… - 4 - Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4298 DLN.
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 5/11/PBI/2003 </reg_id> <reg_title> PEMBAYARAN TRANSAKSI IMPOR </reg_title> <set_date> 23 Juni 2003 </set_date> <effective_date> 23 Juni 2003 </effective_date> <replaced_reg> '29/33/KEP/DIR|SKDIR-BI/1996' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '24/UU/1999', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/16/PBI/2004 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kebijakan pemberian jasa giro terhadap Rekening Giro yang ditatausahakan di Bank Indonesia dilakukan dengan memperhatikan kondisi perekonomian dan arah kebijakan Bank Indonesia; b. bahwa dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pengaturan likuiditas perbankan dengan kebijakan peningkatan giro wajib minimum, diperlukan kebijakan pemberian jasa giro bagi kelompok bank yang terkena ketentuan kenaikan giro wajib minimum; c. bahwa sesuai dengan Pasal 23 jo. Pasal 71 Undang- undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4355) Pemerintah Pusat memperoleh jasa giro atas dana yang disimpan pada bank sentral yang akan dilaksanakan pada … -2- pada saat penggantian Sertifikat Bank Indonesia dengan Surat Utang Negara sebagai instrumen moneter; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c dipandang perlu untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 205, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4025) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/11/PBI/2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4108); Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia … -3- Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357); 3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4355). MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS INDONESIA NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN. Pasal I Beberapa ketentuan dan penjelasan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 205, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4025) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/11/PBI/2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4108) diubah sebagai berikut : PERATURAN BANK 1. Ketentuan … -4- 1. Ketentuan Pasal 1 angka 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : “2. Rekening Giro adalah rekening pihak eksternal tertentu di Bank Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat.” 2. Penjelasan Pasal 2 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan, dan ketentuan Pasal 2 ditambah 6 (enam) ayat baru sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi sebagai berikut : “Pasal 2 (1) Pihak yang dapat membuka Rekening Giro di Bank Indonesia adalah : a. Bank; b. Instansi pemerintah; c. Lembaga keuangan internasional; d. Lembaga lain yang menurut Bank Indonesia dipandang perlu untuk mempunyai Rekening Giro di Bank Indonesia. (2) Setiap Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a wajib memiliki 1 (satu) Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. (3) Bank yang melakukan kegiatan dalam valuta asing selain wajib memiliki 1 (satu) Rekening Giro Rupiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga wajib memiliki 1 (satu) Rekening Giro Valas pada Bank Indonesia. (4) Dalam hal Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional juga melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, selain wajib memiliki 1 (satu) Rekening Giro Rupiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), juga wajib memiliki 1 (satu) Rekening Giro Rupiah sebagaimana … -5- sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. (5) Dalam hal Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional serta melakukan kegiatan dalam valuta asing juga melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, selain wajib memiliki 1 (satu) Rekening Giro Rupiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan 1 (satu) Rekening Giro Valas sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) juga wajib memiliki 1 (satu) Rekening Giro Rupiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan 1 (satu) Rekening Giro Valas sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. (6) Bank yang dapat membuka Rekening Giro Rupiah maupun Rekening Giro Valas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) adalah kantor pusat Bank. (7) Bagi Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri, kantor Bank yang dapat membuka Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) adalah kantor cabang Bank tersebut di Indonesia. (8) Lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, dapat membuka Rekening Giro di Bank Indonesia sepanjang : a. Diperlukan dalam rangka transisi tugas Bank Indonesia di bidang perbankan dan di bidang perkreditan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004. b. Terkait … -6- b. Terkait dengan tugas Bank Indonesia dalam bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran.” 3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut : “Pasal 6 Dalam hal tertentu Bank Indonesia dapat memberikan jasa giro atas Rekening Giro yang ditatausahakan di Bank Indonesia.” Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal, 1 Juli 2004 GUBERNUR BANK INDONESIA, Ttd. BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR DASP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/16/PBI/2004 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan instansi pemerintah meliputi pemerintah pusat dan pemerintah daerah sepanjang Rekening Giro yang bersangkutan digunakan untuk menampung dan atau mengelola dana … -2- dana yang terkait dengan pelaksanaan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD). Khusus untuk instansi pemerintah pusat terdiri dari departemen dan lembaga pemerintah non departemen serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalam pengertian instansi pemerintah ini tidak termasuk bendaharawan rutin dan bendahara proyek. Huruf c Lembaga keuangan internasional sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah lembaga- lembaga yang tujuan pembentukannya untuk meningkatkan kerjasama internasional di bidang ekonomi dan atau keuangan dimana Pemerintah Republik Indonesia atau Bank Indonesia menjadi anggota di dalamnya atau lembaga keuangan tersebut memberi bantuan keuangan kepada Pemerintah Republik Indonesia atau Bank Indonesia dan lembaga tersebut mensyaratkan pembukaan rekening pada Bank Indonesia. Huruf d Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat … -3- Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Angka 3 Cukup jelas Angka 4 Pasal 6 Yang dimaksud dalam hal tertentu adalah: a. adanya kebijakan khusus yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, seperti kebijakan pengaturan likuiditas perbankan dengan memberikan jasa giro atas pemenuhan giro wajib minimum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur tentang giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bank umum; b. adanya amanat undang-undang yang mengatur pemberian jasa giro atas dana yang disimpan pada Bank Indonesia. Pasal … -4- Pasal II Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 6/16/PBI/2004 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN </reg_title> <set_date> 1 Juli 2004 </set_date> <effective_date> 1 Juli 2004 </effective_date> <changed_reg> '2/24/PBI/2000' </changed_reg> <extension_of> '3/11/PBI/2001' </extension_of> <related_reg> '23/UU/1999', '1/UU/2004', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA Nomor: 8/1/PBI/2006 TENTANG FASILITAS PEMBIAYAAN DARURAT GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank dapat mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan kelangsungan usahanya dan berdampak sistemik sehingga berpotensi mengakibatkan krisis stabilitas sistem keuangan; yang membahayakan b. bahwa- berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, untuk mengatasi kesulitan likuiditas Indonesia sebagai last yang berdampak sistemik, Bank lender of the resort dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat kepada Bank Umum yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah; c. bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 telah ditandatangani Nota Kesepakatan antara Menteri Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia tanggal 17 Maret 2004 mengenai ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan terhadap … - 2 - terhadap kesulitan keuangan bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan pendanaan yang berasal Belanja Negara; c, sumber dari Anggaran Pendapatan dan d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, dan huruf mengenai fasilitas pembiayaan darurat bagi Bank Umum dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236); 4. Undang-Undang … dipandang perlu untuk menyusun ketentuan - 3 - 4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS PEMBIAYAAN DARURAT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. 2. Bank Bermasalah adalah Bank yang mengalami kesulitan keuangan dalam bentuk kesulitan likuiditas dan/atau membahayakan kelangsungan usahanya. kesulitan solvabilitas yang 3. Kesulitan … - 4 - 3. Kesulitan Likuiditas adalah kesulitan pendanaan jangka pendek yang dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) yang diperkirakan dapat mengakibatkan terjadinya saldo giro negatif. 4. Kesulitan Solvabilitas adalah kesulitan permodalan yang dialami Bank sehingga tidak memenuhi Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. 5. Dampak Sistemik adalah potensi penyebaran masalah (contagion effect) dari satu Bank Bermasalah yang dapat mengakibatkan kesulitan likuiditas bank- bank lain sehingga berpotensi menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem perbankan dan dapat berdampak negatif terhadap stabilitas sistem keuangan. 6. Fasilitas Pembiayaan Darurat yang selanjutnya disebut FPD adalah fasilitas pembiayaan dari Bank Indonesia kepada Bank Bermasalah yang mengalami Kesulitan Likuiditas, tetapi masih memenuhi tingkat solvabilitas yang ditetapkan Bank Indonesia, serta berdampak sistemik yang pemberiannya didasarkan pada keputusan rapat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia dan pendanaannya menjadi beban Pemerintah. 7. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. Pasal 2 … - 5 - Pasal 2 (1) Bank wajib melaksanakan kegiatan usahanya dengan berpedoman pada prinsip kehati-hatian yang berlaku, termasuk dalam menjaga kecukupan likuiditasnya. (2) Bank yang mengalami Kesulitan Likuiditas wajib mencari sumber dana untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas dimaksud. Pasal 3 (1) Bank yang tidak dapat memperoleh dana untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh FPD dari Bank Indonesia apabila memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Persyaratan pemberian FPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a) Bank mengalami Kesulitan Likuiditas; b) Bank berdampak sistemik; c) rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) Bank paling sedikit 5% (lima persen); dan d) dijamin dengan agunan. Pasal 4 FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tidak diberikan kepada kantor cabang Bank yang berkedudukan di luar negeri. BAB II … - 6 - BAB II SUMBER PENDANAAN FPD Pasal 5 (1) Sumber pendanaan FPD berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (2) Untuk pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan dapat menerbitkan SUN sesuai dengan ketentuan yang berlaku, apabila Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam kondisi sulit. (3) SUN yang diterbitkan dalam rangka pemberian FPD adalah SUN yang dapat diperdagangkan. (4) Dalam kondisi tertentu, Menteri Keuangan dapat menetapkan untuk menunda perdagangan SUN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu tertentu berdasarkan keputusan Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. Pasal 6 (1) Dalam rangka pemberian FPD, Menteri Keuangan membuka rekening giro khusus di Bank Indonesia. (2) Rekening giro khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan dalam rangka pemberian FPD. (3) Menteri Keuangan menerbitkan surat kuasa kepada Bank Indonesia untuk melakukan pendebetan terhadap dimaksud pada ayat (1). rekening giro khusus sebagaimana rapat antara Menteri BAB III … - 7 - BAB III PERMOHONAN DAN KEPUTUSAN PEMBERIAN FPD Pasal 7 Permohonan FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan, yaitu: a. Surat Pernyataan dari Pengurus Bank bahwa Bank telah mencari sumber dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) sebelum mengajukan FPD, yang dibubuhi meterai sesuai ketentuan yang berlaku; b. Dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan FPD; c. Akta notariil jaminan hutang berisi daftar aset yang akan dijadikan agunan beserta nilai taksiran sementara dan dokumen asli bukti kepemilikan, yang akan diikuti dengan pemasangan hak tanggungan, gadai, atau jaminan fiducia; d. Surat Pernyataan Kesanggupan Pemegang Saham Pengendali dan atau Pengurus Bank untuk menyerahkan tambahan aset yang akan diagunkan dalam hal aset sebagaimana dimaksud pada huruf c belum mencukupi, yang dibubuhi meterai sesuai ketentuan yang berlaku; e. Surat Kesanggupan untuk menerbitkan Personal Guarantee dan/atau Corporate Guarantee dari Pemegang Saham Pengendali dan atau Pengurus Bank yang dibuat di hadapan notaris, dan dilampiri daftar aset; f. Surat Pernyataan Kesanggupan Pemegang Saham Pengendali dan Pengurus Bank untuk membayar kembali FPD, yang dibubuhi meterai ketentuan yang berlaku; g. Surat Pernyataan kesediaan Pemegang Saham Pengendali dan Pengurus Bank untuk melakukan dan/atau tidak melakukan tindakan sesuai yang diperintahkan oleh Bank Indonesia, yang dibubuhi meterai sesuai ketentuan yang berlaku; dan h. Surat … - 8 - h. Surat Pernyataan Pemegang Saham Pengendali dan Pengurus Bank bahwa aset yang akan dijaminkan sebagaimana dimaksud pada huruf c, huruf d dan huruf e harus bebas dari sitaan, tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain, serta tidak tersangkut dalam suatu perkara atau sengketa. Pasal 8 (1) Dalam hal Bank Indonesia mengindikasikan bahwa Bank yang mengajukan permohonan FPD sebagaimana dimaksud berdampak sistemik, dalam Pasal Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan rapat. (2) Indikasi mengenai adanya Bank yang berdampak sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan antara lain pada analisis Bank Indonesia terhadap kondisi perbankan. Pasal 9 Rapat Menteri Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) membahas permasalahan dan prospek keuangan Bank serta menetapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasinya. Pasal 10 (1) Dalam hal rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 memutuskan untuk memberikan FPD kepada Bank, keputusan tersebut sekurang-kurangnya mencakup: a. penetapan … 3 ayat (1) Gubernur Bank Indonesia segera meminta kepada keuangan Bank dan dampaknya terhadap sistem - 9 - a. penetapan Bank berdampak sistemik; b. keputusan pemberian FPD; c. pagu FPD; d. jangka waktu FPD; e. daftar aset yang akan dijadikan agunan FPD serta nilai sementara berdasarkan taksasi bank; dan f. langkah-langkah penanganan Bank penerima FPD. (2) Dalam hal rapat Menteri Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia memutuskan bahwa Bank tersebut tidak diberikan FPD, maka tindak lanjut penanganan terhadap Bank dimaksud akan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 11 (1) Pagu FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c ditetapkan berdasarkan perkiraan Bank Indonesia didasarkan pada data yang diberikan oleh Bank. yang antara lain (2) Jangka waktu FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d ditetapkan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender dan hanya dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender. BAB IV AGUNAN FPD Pasal 12 (1) Aset yang dapat dijadikan agunan oleh Bank adalah aset Bank yang tersedia dengan prioritas dari aset yang paling likuid dan berkualitas dan dapat … - 10 - dapat ditambah dengan aset lainnya termasuk namun tidak terbatas pada aset pemegang saham pengendali dan/atau saham yang telah tercatat dari pemegang saham pengendali bank. (2) Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditambah dengan Personal Guarantee dari pemegang saham pengendali dan/atau Corporate Guarantee dari perusahaan milik pemegang saham pengendali yang dilengkapi dengan daftar aset selain dari aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Personal Guarantee dan/atau Corporate Guarantee sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat secara notariil dan harus diserahkan kepada Bank Indonesia paling lambat pada saat FPD ditandatangani. Pasal 13 (1) Aset yang dijadikan agunan oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) harus bebas dari sitaan, tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain, serta tidak tersangkut dalam suatu perkara atau sengketa. dijadikan agunan oleh (2) Aset yang Bank tidak dapat dialihkan, diperjualbelikan atau dijaminkan kembali oleh Bank. (3) Bank wajib mengganti agunan FPD apabila tidak memenuhi kondisi- kondisi sebagaimana diatur pada ayat (1) dan ayat (2). (4) Apabila Bank tidak mengganti agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka berdasarkan peraturan ini, Bank Indonesia dapat meminta kepada Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan rapat dengan Gubernur Bank Indonesia untuk mengambil penyelesaiannya. Pasal 14 … keputusan tentang langkah-langkah - 11 - Pasal 14 (1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dinilai oleh penilai independen yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan daftar nominasi penilai independen yang disampaikan Bank. (2) Seluruh biaya yang timbul dalam rangka penilaian agunan menjadi beban Bank. Pasal 15 Menteri Keuangan menetapkan nilai agunan berdasarkan nilai wajar menurut penilai independen. Pasal 16 (1) Pengikatan agunan dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk dan atas nama Menteri Keuangan segera setelah penandatanganan perjanjian pemberian FPD. (2) Pengikatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara notariil dengan mengacu pada nilai taksasi sementara agunan yang disampaikan oleh Bank. (3) Menteri Keuangan membuat surat kuasa kepada Gubernur Bank Indonesia untuk menandatangani perjanjian pengikatan agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Penatausahaan bukti kepemilikan agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia. (5) Pengurus Bank dan atau pemegang saham pengendali Bank bertanggung jawab untuk memelihara fisik agunan yang diserahkan dalam rangka FPD. Pasal 17 … - 12 - Pasal 17 Dalam hal setelah pengikatan agunan dan/atau penilaian agunan oleh penilai independen ternyata nilai agunan lebih kecil dari pagu FPD, maka: a. Bank penerima FPD dan/atau pemegang saham pengendali wajib menambah jumlah aset yang diagunkan; dan b. Gubernur Bank Indonesia segera meminta kepada Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan rapat guna membahas permasalahan tersebut dan menetapkan langkah-langkah penyelesaian yang dianggap perlu. BAB V PERJANJIAN FPD DAN REALISASI PEMBERIAN FPD Pasal 18 (1) Perjanjian pemberian FPD dilakukan secara notariil dan ditandatangani oleh Pemegang Saham Pengendali dan pengurus Bank penerima FPD dengan Gubernur Bank Indonesia untuk dan atas nama Menteri Keuangan. (2) Menteri Keuangan atau pejabat yang ditunjuk, membuat surat kuasa kepada Gubernur Bank Indonesia untuk menandatangani perjanjian pemberian FPD pada setiap perjanjian pemberian FPD. (3) Menteri Keuangan atau pejabat yang ditunjuk, menandatangani perjanjian pemberian FPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai pihak yang mengetahui dan menyetujui. Pasal 19 (1) Realisasi pemberian FPD dilakukan segera perjanjian FPD. setelah ditandatanganinya (2) Realisasi … - 13 - (2) Realisasi pemberian FPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mendebet rekening giro khusus Pemerintah di Bank Indonesia dalam rangka FPD dan mengkredit rekening giro Bank penerima FPD di Bank Indonesia. (3) Realisasi pemberian FPD dilakukan sebesar kebutuhan Bank untuk memenuhi kebutuhan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 5% (lima persen). Pasal 20 FPD hanya dapat digunakan oleh Bank penerima FPD untuk mengatasi kesulitan likuiditas. Pasal 21 (1) FPD yang telah digunakan oleh Bank penerima FPD dikenakan bunga sesuai suku bunga yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. (2) Suku bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) nilainya sebesar imbal hasil (yield) SUN yang diterbitkan ditambah dengan marjin tertentu. (3) Imbal hasil (yield) SUN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan quotasi harga pasar yang terjadi satu hari kerja sebelumnya yang diterbitkan oleh media penyedia informasi harga yang mendapatkan pengakuan otoritas pasar modal. (4) Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dibebankan ke rekening giro Bank penerima FPD di Bank Indonesia dan selanjutnya disetorkan kepada Pemerintah dengan mengkredit rekening giro khusus Pemerintah dalam rangka FPD yang ada di Bank Indonesia. (5) Bank … - 14 - (5) Bank Indonesia melakukan perhitungan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan saldo akhir hari realisasi FPD. (6) Pembebanan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan pada saat FPD jatuh tempo atau dilunasi. Pasal 22 (1) Jumlah realisasi pemberian FPD termasuk bunga dan biaya-biaya yang timbul merupakan piutang negara kepada bank penerima FPD dimaksud. (2) Ketentuan dan tata cara yang berkaitan dengan penanganan piutang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 23 Penandatanganan perjanjian FPD, penyerahan SUN kepada Bank Indonesia dan realisasi pemberian FPD oleh Bank Indonesia dilakukan pada hari yang sama. BAB VI BIAYA-BIAYA PEMBERIAN FPD Pasal 24 Biaya-biaya yang timbul berkaitan dengan : a. biaya penilaian atas agunan yang dilakukan oleh penilai independen; b. biaya pengikatan perjanjian FPD dan pengikatan agunan yang dilakukan oleh notaris; c. biaya lelang agunan jika dieksekusi; dan d. biaya-biaya lain yang terkait dengan pemberian FPD; sepenuhnya menjadi beban Bank penerima FPD. BAB VII … - 15 - BAB VII JATUH WAKTU DAN PELUNASAN FPD Pasal 25 (1) Bank dapat melakukan pelunasan dan/atau pengurangan baki debet FPD selama dalam jangka waktu pemberian FPD. (2) Pelunasan dan/atau pengurangan baki debet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila saldo rekening giro rupiah Bank penerima FPD di Bank Indonesia telah melebihi ketentuan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3). (3) Pelunasan dan/atau pengurangan baki debet sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mendebet rekening giro rupiah Bank penerima FPD oleh Bank Indonesia. Pasal 26 (1) Bank Indonesia mendebet rekening giro Rupiah Bank Penerima FPD yang bersangkutan dan mengkredit rekening giro khusus Pemerintah di Bank Indonesia pada saat FPD jatuh tempo sebagai pelunasan FPD. (2) Dalam hal saldo giro Rupiah Bank penerima FPD yang bersangkutan di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk pelunasan FPD pada saat FPD jatuh tempo, maka Gubernur Bank Indonesia segera meminta kepada Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan rapat guna membahas permasalahan bank antara lain mengenai kondisi dan prospek keuangan bank, mengatasinya. serta memutuskan langkah-langkah yang diperlukan untuk (3) Langkah … - 16 - (3) Langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah untuk memutuskan pemberian FPD diperpanjang atau tidak. (4) Perpanjangan dan perubahan perjanjian FPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memenuhi ketentuan Pasal 3 dan Pasal 5. Pasal 27 Dalam hal Bank penerima FPD tidak mampu melunasi FPD pada saat jatuh tempo dan/atau FPD tidak diperpanjang maka rapat Menteri Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia memutuskan langkah-langkah penanganan Bank penerima FPD. Pasal 28 (1) Dalam hal Bank penerima FPD tidak mampu membayar FPD (default) dan agunan akan dieksekusi, maka eksekusi Pemerintah selaku kreditur atau lembaga yang ditunjuk. (2) Apabila hasil eksekusi agunan lebih kecil dari nilai FPD dan kewajiban bunga yang harus dilunasi oleh Bank penerima FPD, maka kekurangan pelunasan FPD merupakan tanggung jawab Pemegang Saham Pengendali Bank kepada Pemerintah. Pasal 29 (1) Dalam hal jumlah realisasi pemberian FPD lebih rendah dari jumlah pagu FPD yang ditetapkan oleh rapat Menteri Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia, Bank Indonesia mengembalikan bunga SUN atas selisih antara jumlah pagu pemberian dan jumlah realisasi FPD. (2) Bunga … atas agunan dilakukan oleh - 17 - (2) Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bunga SUN yang diterbitkan dalam rangka pemberian FPD. (3) Pengembalian bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengkredit rekening giro khusus Pemerintah di Bank Indonesia yang dibuka dalam rangka FPD pada saat FPD telah dilunasi oleh Bank penerima FPD atau pada saat FPD jatuh tempo. BAB VIII PENGAWASAN Pasal 30 (1) Bank penerima FPD ditetapkan sebagai Bank Dalam Pengawasan Khusus. (2) Tindakan pengawasan terhadap Bank Dalam Pengawasan Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia yang berlaku. (3) Status Bank Dalam Pengawasan Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir apabila Bank penerima FPD telah menyelesaikan kewajiban pelunasan FPD dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang berlaku mengenai Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank. Pasal 31 (1) Bank penerima FPD wajib menyusun action plan untuk menyelesaikan masalah likuiditas dan rencana pengembalian FPD paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah realisasi FPD. (2) Action … - 18 - (2) Action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada Menteri Keuangan. (3) Bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara mingguan kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada Menteri Keuangan. (4) Bank penerima FPD wajib melaporkan kondisi likuiditasnya kepada Bank Indonesia secara harian. Pasal 32 (1) Bank penerima FPD dilarang mencairkan rekening simpanan pihak terkait di Bank penerima FPD kecuali ditetapkan lain oleh Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia. (2) Bank penerima FPD dilarang membagikan dividen dalam bentuk apapun selama kewajiban atas FPD belum lunas. (3) Pemegang Saham Pengendali Bank penerima FPD dilarang mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada pihak lain tanpa seijin Bank Indonesia. BAB IX PENYAMPAIAN PERMOHONAN DAN LAPORAN Pasal 33 (1) Permohonan FPD ditujukan kepada Gubernur Bank Indonesia dengan alamat Jalan M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta Pusat 10110 dengan tembusan kepada : a. Menteri Keuangan Republik Indonesia dengan alamat Jalan Lapangan Banteng No. 2-4 Jakarta Pusat. b. Direktorat … rapat Menteri - 19 - b. Direktorat Pengawasan Bank 1 dan Direktorat Pengawasan Bank 2 dengan alamat Jalan M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta Pusat 10110 untuk Bank yang berkantor pusat di Jakarta; atau c. Direktorat Perbankan Syariah dengan alamat Jalan M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta Pusat 10110 untuk Bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah yang berkantor pusat di Jakarta. d. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank umum konvensional dan Bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. (2) Bank penerima FPD wajib menyampaikan Realisasi Action Plan dan Laporan Likuiditas Harian sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, c, dan d. BAB X SANKSI Pasal 34 Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 12, Pasal 13, Pasal 16 ayat (5), Pasal 20 dan Pasal 32 dikenakan sanksi administratif berupa pemberhentian pengurus bank dan atau larangan turut serta dalam kegiatan kliring. Pasal 35 … - 20 - Pasal 35 Tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Pengurus Bank, Pemegang Saham Pengendali dan pejabat eksekutif Bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini, dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Pasal 36 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 3 Januari 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 1 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA Nomor: 8/1/PBI/2006 TENTANG FASILITAS PEMBIAYAAN DARURAT UMUM Dalam menjalankan usahanya Bank menghadapi berbagai risiko antara lain risiko likuiditas. Risiko likuiditas merupakan kesulitan pendanaan jangka pendek yang timbul akibat ketidaksesuaian (mismatch) antara arus dana masuk (cash inflow) dengan arus dana keluar (cash outflow). Kondisi tersebut dapat mengakibatkan terjadinya saldo giro negatif Bank pada Bank Indonesia. Apabila tidak segera diatasi, kesulitan likuiditas tersebut dapat menimbulkan masalah yang lebih besar bahkan dapat menimbulkan kesulitan likuiditas bagi bank-bank lainnya. Untuk mengatasi kesulitan likuiditas, pada dasarnya Bank pertama-tama harus mengupayakan dana di pasar uang dengan menggunakan berbagai instrumen pasar uang yang tersedia. Apabila Bank gagal memperoleh dana di pasar uang, maka Bank Indonesia dalam fungsinya sebagai lender of the last resort dapat memberikan pinjaman kepada Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek tersebut. Kebijakan lender of the last resort tersebut merupakan bagian dari jaring pengaman keuangan (financial safety net) yang diperlukan dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan. Kerangka jaring pengaman keuangan yang … - 2 - yang komprehensif memuat secara jelas mengenai peran masing-masing lembaga terkait dan mekanisme koordinasi baik dalam pencegahan maupun penyelesaian krisis. Stabilitas sistem keuangan tersebut mutlak dipelihara untuk mendukung stabilitas moneter dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Fasilitas lender of the last resort yang diberikan bank sentral kepada bank, baik untuk situasi normal maupun untuk penanganan krisis, secara umum dapat dikategorikan kedalam beberapa jenis yakni: (i) Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) baik kepada Bank yang mengalami kesulitan likuiditas pada akhir hari (overnight) maupun kepada Bank yang tidak dapat menyelesaikan Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) pada akhir hari. Pemberian FPJP harus didukung dengan agunan likuid dan bernilai tinggi dari Bank kepada Bank Indonesia. (ii) Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) kepada Bank Bermasalah yang mengalami kesulitan likuiditas, tetapi masih memenuhi tingkat solvabilitas yang ditetapkan Bank Indonesia, serta berdampak sistemik yang pemberiannya didasarkan pada keputusan rapat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia dan pendanaannya menjadi beban Pemerintah. FPJP merupakan fasilitas yang diberikan Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam kondisi normal, sedangkan FPD merupakan fasilitas untuk mengatasi dampak atau risiko sistemik dalam kondisi darurat untuk mencegah dan mengatasi krisis. Oleh karena itu, sumber pendanaan FPD menjadi beban APBN melalui penerbitan SUN oleh Pemerintah. Untuk meyakinkan akuntabilitas dan transparansi, proses pengambilan keputusan dalam penetapan dampak atau risiko sistemik dan pemberian FPD kepada Bank dilakukan secara bersama (joint decision) oleh Menteri Keuangan dan … - 3 - dan Gubernur Bank Indonesia. Keputusan pemberian FPD dilakukan berdasarkan penilaian atas potensi risiko sistemik yang dapat terjadi terhadap stabilitas sistem keuangan dan dampak negatif terhadap perekonomian jika FPD tersebut tidak diberikan kepada Bank. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 sampai dengan angka 7. Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan sumber dana antara lain adalah Antar Bank, Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b … Pinjaman Likuiditas Intrahari (FLI) dan Fasilitas - 4 - Huruf b Dampak atau risiko sistemik dinilai dari dua aspek pokok yakni penyebaran masalah (contagion) dan kerugian ekonomis (degree of loss) yang ditimbulkan. Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam penetapan dampak sistemik adalah: a. Faktor internal yakni kesulitan likuiditas yang dihadapi satu atau lebih bank yang berdampak sistemik; dan/atau b. Faktor eksternal seperti gangguan systemically important payment system, krisis mata uang (currency crisis) dan/atau bencana alam yang mengganggu stabilitas sistem keuangan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Agunan Bank berupa aktiva bank yang tersedia dengan prioritas dari aktiva yang paling likuid dan berkualitas yang tersedia dan dapat ditambah dengan aktiva lainnya termasuk namun tidak terbatas pada aktiva pemegang saham pengendali Bank dan atau saham yang telah tercatat dari pemegang saham pengendali Bank sesuai dengan keputusan pemberian FPD. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 5 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Kondisi tertentu adalah suatu kondisi apabila penjualan SUN oleh Bank Indonesia diperkirakan dapat mengakibatkan gangguan terhadap stabilitas pasar SUN dan program penerbitan SUN oleh Menteri. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dokumen yang dibutuhkan dalam mendukung jumlah kebutuhan FPD, antara lain perkiraan kebutuhan likuiditas, proyeksi arus dana (cash flow), Laporan keuangan terakhir (neraca dan laba rugi), laporan maturity profile 1 (satu) bulan terakhir. Huruf c … - 6 - Huruf c Daftar aset Bank yang akan diagunkan beserta dokumen asli bukti kepemilikan yang harus disertai dengan harga taksiran sementara, misalnya untuk aset berupa tanah, nilai tersebut didasarkan pada harga dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), surat berharga didasarkan pada nilai pasar satu hari kerja sebelumnya. Huruf d sampai Huruf h Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d … - 7 - Huruf d Cukup jelas. Huruf e Nilai taksasi untuk tanah dan bangunan didasarkan pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), sedangkan surat-surat berharga berdasarkan nilai pasar satu hari kerja sebelumnya. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud dengan aset Bank adalah aktiva tetap Bank, surat berharga (saham, obligasi, dan surat berharga lainnya), serta tagihan pada Bank lain. Surat berharga yang diagunkan tidak boleh berasal dari surat berharga yang diterbitkan oleh pihak terkait dengan Bank atau pihak-pihak yang mengendalikan Bank. Ayat (2) … - 8 - Ayat (2) Daftar aset yang dilampirkan dalam Personal Guarantee dan/atau Corporate Guarantee antara lain adalah aset yang akan diperoleh kemudian dan atau aset yang pada saat perjanjian FPD dibuat tidak dapat dijadikan agunan karena masih dalam penguasaan hukum pihak lain. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Penyerahan aset yang akan dijadikan agunan FPD harus disertai dengan keterangan dari Bank atau Pemegang Saham Pengendali Bank mengenai kondisi dan status dari setiap aset yang akan diagunkan tersebut. Yang dimaksud dengan aset tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain meliputi: gadai, fiducia, atau hak tanggungan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 14 … - 9 - Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan penilai independen adalah perusahaan penilai yang : a. tidak mempunyai keterkaitan dalam kepemilikan, kepengurusan dan keuangan dengan Bank; b. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan Kode Etik Penilai Indonesia dan ketentuan-ketentuan lain yang ditetapkan Dewan Penilai Indonesia; dan oleh c. memiliki izin usaha dari instansi berwenang untuk beroperasi sebagai perusahaan penilai. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) … - 10 - Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 … - 11 - Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 … - 12 - Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 13 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud tentang Peraturan Bank Indonesia yang berlaku, antara lain Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai tindak lanjut pengawasan dan penetapan status Bank. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Action plan paling sedikit memuat langkah-langkah Bank penerima FPD untuk menyelesaikan permasalahan likuiditas dan rencana pengembalian FPD. Ayat (2) … - 14 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 … - 15 - Pasal 35 Yang dimaksud dengan pejabat eksekutif bank adalah pejabat yang berpengaruh terhadap kebijakan operasional Bank dan bertanggungjawab langsung kepada Direksi. Pasal 36 Cukup Jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4595 DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 8/1/PBI/2006 </reg_id> <reg_title> FASILITAS PEMBIAYAAN DARURAT </reg_title> <set_date> 3 Januari 2006 </set_date> <effective_date> 3 Januari 2006 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '24/UU/2002', '17/UU/2003', '1/UU/2004' </related_reg> <penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 21/9/PBI/2019 TENTANG LAPORAN BANK UMUM TERINTEGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam pelaksanaan tugasnya, Bank Indonesia memerlukan informasi yang disampaikan bank secara lengkap, akurat, kini, utuh, dan tepat waktu; b. bahwa informasi yang disampaikan bank sebagaimana dimaksud dalam huruf a, juga diperlukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan fungsi, tugas, dan wewenangnya; c. bahwa untuk mengurangi beban penyampaian laporan bank serta meningkatkan kualitas data dan efektivitas pelaporan, Bank Indonesia mengembangkan sistem pelaporan terintegrasi dan berbasis metadata dengan menjunjung tinggi prinsip kolaboratif, efisiensi, dan konsistensi; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Laporan Bank Umum Terintegrasi; Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, - 2 - Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN BANK UMUM TERINTEGRASI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, serta bank umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 2. Pelapor adalah Bank yang menyampaikan laporan melalui sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia. 3. Laporan Bank Umum Terintegrasi yang selanjutnya disebut Laporan adalah informasi yang disusun dan disampaikan oleh Pelapor kepada Bank Indonesia secara terintegrasi dalam format dan definisi yang seragam sesuai dengan metadata yang ditetapkan oleh otoritas. 4. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, tidak termasuk hari yang ditetapkan Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan operasional terbatas. - 3 - BAB II KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PELAPOR Pasal 2 (1) Pelapor wajib menyusun dan menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun dan disampaikan secara lengkap, akurat, kini, utuh, dan tepat waktu. Pasal 3 (1) Pelapor wajib menunjuk petugas dan penanggung jawab Laporan. (2) Penunjukan petugas dan penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan perubahannya disampaikan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (3) Penunjukan petugas dan penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi dan/atau menghilangkan tanggung jawab direksi Bank atau pimpinan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses pendaftaran petugas dan penanggung jawab diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB III PENYUSUNAN LAPORAN DAN PENYAMPAIAN LAPORAN DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN Bagian Kesatu Penyusunan Laporan Pasal 4 Penyusunan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mengacu pada metadata yang ditetapkan oleh otoritas. - 4 - Pasal 5 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri atas 4 (empat) kelompok informasi yaitu: a. kelompok informasi keuangan; b. kelompok informasi risiko; c. kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan; dan d. kelompok informasi data pokok. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf d dilaporkan secara: a. individual per kantor cabang Pelapor; b. gabungan seluruh kantor Pelapor; dan/atau c. konsolidasi bank dan perusahaan anak. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dilaporkan secara gabungan seluruh kantor Pelapor. Pasal 6 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan Laporan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Kedua Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan Pasal 7 (1) Penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan oleh Pelapor yang memiliki kewajiban penyampaian Laporan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. (2) Penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpusat oleh Pelapor yang meliputi: a. kantor pusat bank atau kantor koordinator yang ditunjuk; b. unit usaha syariah; dan c. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. - 5 - (3) Dalam hal Laporan belum dapat disampaikan oleh Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Laporan disampaikan oleh masing-masing kantor cabang Pelapor. (4) Dalam hal Laporan disampaikan oleh masing-masing kantor cabang Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pelapor wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia disertai dengan rencana tindak yang telah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 8 (1) Dalam hal terdapat kesalahan pada Laporan yang telah disampaikan, Pelapor wajib menyampaikan koreksi Laporan. (2) Koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas dasar: a. inisiatif Pelapor; b. hasil audit oleh akuntan publik; atau c. temuan Bank Indonesia, dan/atau otoritas lainnya. Pasal 9 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB IV PERIODISASI LAPORAN Pasal 10 Periode penyampaian untuk Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 terdiri atas: a. harian; b. mingguan; c. bulanan; dan d. triwulanan. - 6 - Pasal 11 (1) Laporan yang disampaikan secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a meliputi: a. kelompok informasi keuangan; b. kelompok informasi risiko; dan c. kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan. (2) Laporan yang disampaikan secara mingguan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b berupa kelompok informasi risiko. (3) Laporan yang disampaikan secara bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c meliputi: a. kelompok informasi keuangan; b. kelompok informasi risiko; c. kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan; dan d. kelompok informasi data pokok. (4) Laporan yang disampaikan secara triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf d meliputi: a. kelompok informasi keuangan; b. kelompok informasi risiko; dan c. kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian kelompok informasi untuk setiap periode penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 12 Dalam hal terdapat perubahan informasi pada kelompok informasi data pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d, Pelapor wajib menyampaikan perubahan tersebut kepada Bank Indonesia. - 7 - BAB V BATAS WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN Pasal 13 Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan terdiri atas: a. penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk data akhir bulan Desember 2019 sampai dengan data akhir bulan Agustus 2020; dan b. penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sejak data bulan September 2020. Bagian Kesatu Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan untuk Data Akhir Bulan Desember 2019 sampai dengan Data Akhir Bulan Agustus 2020 Pasal 14 (1) Pelapor harus menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk data akhir bulan Desember 2019 sampai dengan data akhir bulan Agustus 2020 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a dalam batas waktu yang ditetapkan Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. batas waktu penyampaian Laporan secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a yaitu pukul 23.59 WIB, pada setiap hari kerja termasuk hari yang ditetapkan Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan operasional terbatas; b. batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara mingguan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b: 1. tanggal 9, untuk data tanggal 24 sampai dengan akhir bulan sebelumnya; 2. tanggal 16, untuk data tanggal 1 sampai dengan tanggal 7; - 8 - 3. tanggal 24, untuk data tanggal 8 sampai dengan tanggal 15; dan 4. tanggal 2 bulan berikutnya, untuk data tanggal 16 sampai dengan tanggal 23; c. batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c yaitu tanggal 20 bulan berikutnya; dan d. batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf d yaitu tanggal 28 bulan Januari, bulan April, dan bulan Juli. (2) Dalam hal batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, dan/atau hari cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sehubungan dengan perayaan hari raya keagamaan maka batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan yaitu Hari Kerja berikutnya, kecuali ditetapkan lain oleh Bank Indonesia. (3) Penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak berlaku dalam hal Pelapor tidak beroperasi, dengan terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia. Pasal 15 Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk data akhir bulan Juni 2020 sampai dengan data akhir bulan Agustus 2020 berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk 1 (satu) periode penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b, huruf c, dan huruf d dalam hal Laporan dan/atau koreksi Laporan diterima oleh Bank Indonesia dalam periode keterlambatan yaitu sampai dengan 2 (dua) hari - 9 - setelah batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d; b. dalam hal batas akhir periode keterlambatan penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf a jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, atau hari libur nasional maka batas akhir periode keterlambatan penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan yaitu Hari Kerja berikutnya, kecuali ditetapkan lain oleh Bank Indonesia; c. Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dalam hal Bank Indonesia belum menerima Laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan Pasal 14 ayat (1) huruf a; d. Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diberikan pemberitahuan tertulis; dan e. Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf c diberikan pemberitahuan tertulis. Pasal 16 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk data akhir bulan Desember 2019 sampai dengan data akhir bulan Agustus 2020 diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Kedua Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan sejak Data Bulan September 2020 Pasal 17 (1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sejak data bulan September 2020 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b dalam batas waktu yang ditetapkan Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. batas waktu penyampaian Laporan secara harian - 10 - sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a: 1. pukul 10.30 WIB; 2. pukul 12.00 WIB; 3. pukul 18.00 WIB; dan 4. pukul 23.59 WIB, pada setiap hari kerja termasuk hari yang ditetapkan Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan operasional terbatas; b. batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara mingguan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b: 1. tanggal 6, untuk data tanggal 24 sampai dengan akhir bulan sebelumnya; 2. tanggal 13, untuk data tanggal 1 sampai dengan tanggal 7; 3. tanggal 21, untuk data tanggal 8 sampai dengan tanggal 15; dan 4. tanggal 29, untuk data tanggal 16 sampai dengan tanggal 23; c. batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c: 1. tanggal 5 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan untuk kelompok informasi keuangan dan kelompok informasi data pokok; dan 2. tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan untuk kelompok informasi risiko serta kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan; dan d. batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf d: 1. tanggal 10 bulan April, bulan Juli, bulan Oktober, dan bulan Januari, untuk kelompok informasi - 11 - risiko dan kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan; dan 2. tanggal 23 bulan April, bulan Juli, bulan Oktober, dan bulan Januari, untuk kelompok informasi keuangan. (2) Dalam hal batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, dan/atau hari cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sehubungan dengan perayaan hari raya keagamaan maka batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan yaitu Hari Kerja berikutnya, kecuali ditetapkan lain oleh Bank Indonesia. (3) Kewajiban penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak berlaku dalam hal Pelapor tidak beroperasi, dengan terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia. Pasal 18 (1) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk 1 (satu) periode penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b, huruf c, dan huruf d dalam hal Laporan dan/atau koreksi Laporan diterima oleh Bank Indonesia dalam periode keterlambatan yaitu sampai dengan 2 (dua) hari setelah batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d. (2) Dalam hal batas akhir periode keterlambatan penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, atau hari libur nasional maka batas akhir periode keterlambatan penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan yaitu Hari Kerja berikutnya, kecuali ditetapkan lain oleh Bank Indonesia. - 12 - Pasal 19 Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dalam hal Bank Indonesia belum menerima Laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a dan Pasal 18. Pasal 20 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sejak data bulan September 2020 diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB VI PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN Pasal 21 Pelapor harus menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online melalui sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia. Pasal 22 (1) Dalam hal Pelapor: a. mengalami gangguan teknis dalam menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan; dan/atau b. tidak dapat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan yang disebabkan gangguan teknis dan/atau gangguan lainnya pada sistem atau jaringan telekomunikasi di Bank Indonesia, yang terjadi pada batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 maka Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan secara offline. (2) Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara offline sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan dengan periode penyampaian Laporan secara harian - 13 - sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a disampaikan paling lambat: 1. pukul 10.45 WIB, untuk Laporan yang disampaikan dengan batas waktu pukul 10.30 WIB; 2. pukul 14.00 WIB, untuk Laporan yang disampaikan dengan batas waktu pukul 12.00 WIB; 3. pukul 20.00 WIB, untuk Laporan yang disampaikan dengan batas waktu pukul 18.00 WIB; dan 4. pukul 10.00 WIB Hari Kerja berikutnya, untuk Laporan yang disampaikan dengan batas waktu pukul 23.59 WIB; dan b. penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan dengan periode penyampaian Laporan secara mingguan, bulanan, dan triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b, huruf c, dan huruf d disampaikan pada Hari Kerja berikutnya setelah batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d. (3) Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara offline sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan surat pemberitahuan kepada Bank Indonesia yang mewilayahi Pelapor. (4) Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara offline oleh Pelapor yang mengalami gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus disertai dengan bukti dan penjelasan mengenai gangguan teknis tersebut. (5) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis atau melalui sarana lain kepada Pelapor mengenai terjadinya gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara offline diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 14 - Pasal 23 Dalam hal terjadi kerusakan pada Laporan dan/atau koreksi Laporan yang diterima karena adanya gangguan pada sistem database dan/atau jaringan komunikasi di Bank Indonesia maka Bank Indonesia dapat meminta Pelapor untuk menyampaikan ulang Laporan dan/atau koreksi Laporan. Pasal 24 (1) Pelapor yang memiliki kewajiban penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) namun tidak memiliki data atau transaksi terkait pada periode Laporan, tetap wajib menyampaikan Laporan dengan isian nihil. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian informasi nihil diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 25 (1) Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan pada tanggal diterimanya Laporan dan/atau koreksi Laporan oleh Bank Indonesia. (2) Penerimaan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan tanda terima penyampaian Laporan. (3) Tanda terima penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam hal Laporan dan/atau koreksi Laporan dinyatakan lolos validasi sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanda terima penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 26 (1) Pelapor yang mengalami keadaan kahar sehingga menyebabkan tidak tersedianya informasi, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). - 15 - (2) Pelapor yang mengalami keadaan kahar sehingga menyebabkan terhambatnya penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18. (3) Pelapor yang mengalami keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus segera menyampaikan permohonan pengecualian secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan memberikan penjelasan mengenai keadaan kahar yang dialami. (4) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah disetujui oleh Bank Indonesia. (5) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan setelah Pelapor kembali melakukan kegiatan operasional secara normal. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai keadaan kahar diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB VII PENGAWASAN Pasal 27 (1) Bank Indonesia berwenang melakukan pengawasan terhadap Laporan yang disampaikan oleh Pelapor melalui: a. pengawasan tidak langsung; dan/atau b. pemeriksaan. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan langsung kepada Pelapor; atau b. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan bersama Otoritas Jasa Keuangan terhadap Pelapor. - 16 - BAB VIII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 28 (1) Pelapor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), Pasal 8 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), dan/atau Pasal 24 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; dan/atau b. kewajiban membayar. (2) Pelapor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 7 ayat (4), dan/atau Pasal 12 dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 29 Bank Indonesia menginformasikan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 30 (1) Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dikenai sanksi kewajiban membayar untuk satu periode penyampaian sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per Hari Kerja untuk setiap kelompok informasi. (2) Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dikenai sanksi kewajiban membayar untuk satu periode penyampaian sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per Hari Kerja untuk setiap kelompok informasi. (3) Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dikenai sanksi kewajiban membayar untuk satu periode penyampaian sebesar: a. Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) per kelompok informasi untuk Laporan yang disampaikan secara harian; - 17 - b. Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) per kelompok informasi untuk Laporan yang disampaikan secara mingguan; c. Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) per kelompok informasi untuk Laporan yang disampaikan secara bulanan; dan/atau d. Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) per kelompok informasi untuk Laporan yang disampaikan secara triwulanan. (4) Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan di luar batas periode keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 atas inisiatif Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a, dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per baris dan paling banyak: a. Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per kelompok informasi yang disampaikan secara harian; dan/atau b. Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per kelompok informasi yang disampaikan secara mingguan, bulanan, atau triwulanan. (5) Pengenaan sanksi kewajiban membayar atas koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk lebih dari satu periode Laporan, diberikan paling banyak 12 (dua belas) periode Laporan sejak periode Laporan terakhir yang dikoreksi. (6) Dalam hal berdasarkan pengawasan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan/atau informasi dari otoritas lainnya ditemukan kesalahan dalam Laporan yang telah disampaikan oleh Pelapor maka Pelapor dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per baris dan paling banyak: a. Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) per kelompok informasi yang disampaikan secara harian; dan/atau b. Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per kelompok informasi yang disampaikan secara mingguan, bulanan, atau triwulanan. - 18 - (7) Pengenaan sanksi kewajiban membayar atas kesalahan dalam Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) untuk lebih dari satu periode Laporan, diberikan paling banyak 12 (dua belas) periode penyampaian Laporan sejak periode Laporan terakhir ditemukannya kesalahan. Pasal 31 (1) Ketentuan pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 diberlakukan kepada setiap kantor cabang Pelapor dalam hal Laporan merupakan laporan individual per kantor cabang Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a. (2) Ketentuan pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4) dan ayat (6) diberlakukan kepada setiap kantor cabang Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak: a. Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah), untuk setiap Pelapor yang memiliki kantor cabang paling banyak 30 (tiga puluh) kantor; b. Rp125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta rupiah), untuk setiap Pelapor yang memiliki kantor cabang berjumlah 31 (tiga puluh satu) sampai dengan 100 (seratus) kantor; dan c. Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), untuk setiap Pelapor yang memiliki kantor cabang paling sedikit 101 (seratus satu) kantor. Pasal 32 (1) Pelapor yang telah dikenai sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) tetap diwajibkan untuk menyampaikan Laporan. (2) Pelapor yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. - 19 - Pasal 33 Dalam hal terdapat kesalahan informasi pada Laporan yang telah disampaikan sehingga berdampak pada kesalahan informasi lain maka kesalahan informasi lain tersebut tidak dikenai sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4) dan ayat (6). Pasal 34 Ketentuan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dikecualikan bagi: a. Pelapor yang melakukan koreksi Laporan atas dasar hasil audit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b; b. Pelapor yang mengalami keadaan kahar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26; dan c. Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan yang disebabkan gangguan teknis dan/atau gangguan lainnya pada sistem atau jaringan telekomunikasi di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b. Pasal 35 Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 dilaksanakan dengan mendebit rekening giro rupiah Pelapor di Bank Indonesia. Pasal 36 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB IX KORESPONDENSI Pasal 37 (1) Penyampaian informasi dan/atau permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 7 ayat (4), Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 26 ayat (3) ditujukan kepada - 20 - Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Menara Sjafruddin Prawiranegara, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350. (2) Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara offline sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ditujukan kepada: a. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Menara Sjafruddin Prawiranegara, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350, bagi Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (3) Dalam hal terdapat perubahan korespondensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia memberitahukan perubahan tersebut kepada Pelapor melalui surat atau sarana lain. BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 38 (1) Pelapor yang akan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, dan/atau konversi bank umum konvensional menjadi bank umum syariah, tetap wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan bagi Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 39 (1) Bank Indonesia dapat menyediakan hasil olahan Laporan kepada pihak lain dalam pelaksanaan ketentuan peraturan - 21 - perundang-undangan, perjanjian, dan/atau nota kesepahaman dengan Bank Indonesia. (2) Penyediaan hasil olahan Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kelompok informasi keuangan dan kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme permintaan dan cakupan hasil olahan Laporan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 40 Pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Pelapor tetap diwajibkan untuk menyampaikan laporan sampai dengan data akhir bulan Agustus 2020 sebagaimana diatur dalam: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/12/PBI/2006 tentang Laporan Berkala Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/19/PBI/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/12/PBI/2006 tentang Laporan Berkala Bank Umum; b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/40/PBI/2008 tentang Laporan Bulanan Bank Umum sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/2/PBI/2010 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/40/PBI/2008 tentang Laporan Bulanan Bank Umum; c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/8/PBI/2011 tentang Laporan Harian Bank Umum; d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/12/PBI/2012 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum; dan e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/4/PBI/2013 tentang Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. - 22 - BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 41 Semua istilah Laporan Harian Bank Umum, Laporan Berkala Bank Umum, Laporan Berkala Bank Umum Syariah, Laporan Bulanan Bank Umum, Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, dan Laporan Kantor Pusat Bank Umum yang sudah ada dalam ketentuan Bank Indonesia sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, harus dimaknai sebagai Laporan Bank Umum Terintegrasi sejak data bulan September 2020. Pasal 42 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, ketentuan mengenai penyusunan dan penyampaian: a. proyeksi arus kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf f Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/8/PBI/2011 tentang Laporan Harian Bank Umum; b. batas maksimum pemberian kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf e Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/19/PBI/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/12/PBI/2006 tentang Laporan Berkala Bank Umum; c. suku bunga dasar kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf k Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/19/PBI/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/12/PBI/2006 tentang Laporan Berkala Bank Umum; dan d. laporan keuangan publikasi bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf l Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/12/PBI/2012 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 23 - Pasal 43 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, ketentuan mengenai penyusunan dan penyampaian: a. kewajiban penyediaan modal minimum dengan memperhitungkan risiko pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf g Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/19/PBI/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/12/PBI/2006 tentang Laporan Berkala Bank Umum; dan b. aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf j Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/19/PBI/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/12/PBI/2006 tentang Laporan Berkala Bank Umum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak data bulan September 2019. Pasal 44 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, ketentuan mengenai penyusunan dan penyampaian restrukturisasi kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf f Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/19/PBI/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/12/PBI/2006 tentang Laporan Berkala Bank Umum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak data bulan Januari 2020. Pasal 45 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, ketentuan mengenai penyusunan dan penyampaian: a. laporan pejabat eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf j Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/12/PBI/2012 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum, untuk bank umum konvensional; dan b. tenaga kerja perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf n Peraturan Bank Indonesia Nomor - 24 - 14/12/PBI/2012 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak data bulan Juni 2020. Pasal 46 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/12/PBI/2006 tentang Laporan Berkala Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4629) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/19/PBI/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/12/PBI/2006 tentang Laporan Berkala Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5240); b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/40/PBI/2008 tentang Laporan Bulanan Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 205, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4950) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/2/PBI/2010 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/40/PBI/2008 tentang Laporan Bulanan Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5113); c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/8/PBI/2011 tentang Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5194); d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/12/PBI/2012 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5349); dan - 25 - e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/4/PBI/2013 tentang Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5437), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak data bulan September 2020. Pasal 47 Ketentuan mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 mulai berlaku sejak kewajiban penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1). Pasal 48 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 26 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Agustus 2019 GUBERNUR BANK INDONESIA, TTD PERRY WARJIYO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Agustus 2019 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, TTD YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 153 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 21/9/PBI/2019 TENTANG LAPORAN BANK UMUM TERINTEGRASI I. UMUM Sehubungan dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, menetapkan dan melaksanakan kebijakan sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, serta menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang stabilitas sistem keuangan termasuk makroprudensial untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, diperlukan informasi yang lengkap, akurat, kini, utuh, dan tepat waktu. Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan memerlukan informasi serupa yang disampaikan Bank. Selanjutnya Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan mengembangkan sistem pelaporan yang terintegrasi dan berbasis metadata dengan prinsip kolaboratif, efisiensi, dan konsistensi. Bank Indonesia memandang perlu untuk mengintegrasikan berbagai pelaporan yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia melalui Laporan Bank Umum Terintegrasi. Pelaporan terintegrasi tersebut dibangun dengan tujuan meningkatkan kualitas data, efektivitas pelaporan, dan mengurangi beban penyampaian Laporan Bank kepada Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan. Sejalan dengan pengembangan pelaporan terintegrasi oleh Bank Indonesia, dipandang perlu untuk menerbitkan Peraturan Bank Indonesia - 2 - tentang Laporan Bank Umum Terintegrasi yang antara lain mengatur cakupan Laporan, periodisasi, batas waktu penyampaian Laporan, dan tata cara penyampaian Laporan melalui sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “petugas dan penanggung jawab” adalah petugas dan penanggung jawab di Bank yang diberi wewenang dan tanggung jawab untuk menyusun, melakukan verifikasi, dan menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 4 Yang dimaksud dengan “metadata” adalah penjelasan mengenai informasi yang dilaporkan Pelapor antara lain definisi, aturan validasi, format, dan ketentuan acuan. Yang dimaksud dengan “otoritas” adalah Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan. - 3 - Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Kelompok informasi keuangan antara lain memuat laporan posisi keuangan, rincian laporan posisi keuangan, transaksi di pasar uang, dan transaksi di pasar valuta asing. Huruf b Kelompok informasi risiko antara lain memuat posisi devisa neto, proyeksi arus kas, publikasi negatif, dan dana pihak ketiga untuk giro wajib minimum (GWM). Huruf c Kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan antara lain memuat alat pembayaran dengan menggunakan kartu (APMK), uang elektronik, dan suku bunga kredit. Huruf d Kelompok informasi data pokok antara lain memuat data pokok Pelapor, data pihak lawan, dan agunan. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “individual per kantor cabang Pelapor” adalah Laporan dari setiap kantor cabang Pelapor termasuk kantor pusat yang melakukan kegiatan operasional, unit usaha syariah, dan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. - 4 - Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Rencana tindak memuat langkah Bank dalam persiapan dan target implementasi penyampaian Laporan secara terpusat. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Hasil audit akuntan publik mencakup audit atas informasi keuangan historis atau penelaahan terbatas, baik untuk periode tahunan maupun interim. Huruf c Yang dimaksud dengan “otoritas lainnya” adalah Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Perubahan pada kelompok informasi data pokok antara lain jumlah kantor cabang, perubahan alamat kantor, dan perubahan status. - 5 - Pasal 13 Huruf a Yang dimaksud dengan “data akhir bulan Desember 2019” adalah: 1. untuk Laporan dan/atau koreksi Laporan yang disampaikan secara harian yaitu data tanggal 31 Desember 2019; 2. untuk Laporan dan/atau koreksi Laporan yang disampaikan secara mingguan yaitu data tanggal 24 Desember 2019 sampai dengan tanggal 31 Desember 2019; 3. untuk Laporan dan/atau koreksi Laporan yang disampaikan secara bulanan yaitu data Desember 2019; dan 4. untuk Laporan dan/atau koreksi Laporan yang disampaikan secara triwulanan yaitu data triwulan keempat 2019. Yang dimaksud dengan “data akhir bulan Agustus 2020” adalah: 1. untuk Laporan dan/atau koreksi Laporan yang disampaikan secara harian yaitu data tanggal 31 Agustus 2020; 2. untuk Laporan dan/atau koreksi Laporan yang disampaikan secara mingguan yaitu data tanggal 24 Agustus 2020 sampai dengan tanggal 31 Agustus 2020; dan 3. untuk Laporan dan/atau koreksi Laporan yang disampaikan secara bulanan yaitu data Agustus 2020; Huruf b Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “Pelapor tidak beroperasi” antara lain apabila Pelapor menjalankan hari libur di luar hari libur nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah. - 6 - Pasal 15 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Contoh: Bank C menyampaikan Laporan kelompok informasi risiko untuk data tanggal 1 Juli 2020 sampai dengan tanggal 7 Juli 2020 pada hari Jumat tanggal 17 Juli 2020. Batas waktu penyampaian Laporan tersebut adalah tanggal 16 Juli 2020. Bank C dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan kelompok informasi risiko untuk data tanggal 1 Juli 2020 sampai dengan tanggal 7 Juli 2020 selama 1 (satu) Hari Kerja, sehingga Bank C diberikan pemberitahuan tertulis. Huruf e Contoh: Batas waktu penyampaian Laporan pada kelompok informasi risiko data tanggal 8 Agustus 2020 sampai dengan tanggal 15 Agustus 2020 adalah tanggal 24 Agustus 2020. Sampai dengan tanggal 26 Agustus 2020, Bank L tidak menyampaikan Laporan sehingga dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dan diberikan pemberitahuan tertulis. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal tahun penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara mingguan bukan merupakan tahun kabisat maka batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi - 7 - Laporan data tanggal 16 Februari sampai dengan tanggal 23 Februari yaitu tanggal 28 Februari. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Laporan dan/atau koreksi Laporan data bulan November 2020 untuk kelompok informasi keuangan disampaikan paling lambat pada tanggal 5 Desember 2020. Mengingat tanggal 5 Desember 2020 jatuh pada hari Sabtu maka batas akhir penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan menjadi Hari Kerja berikutnya, yaitu hari Senin tanggal 7 Desember 2020. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “Pelapor tidak beroperasi” antara lain apabila Pelapor menjalankan hari libur di luar hari libur nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pasal 18 Ayat (1) Contoh: Laporan dan/atau koreksi Laporan data tanggal 1 Oktober 2020 sampai dengan tanggal 7 Oktober 2020 untuk kelompok informasi risiko dengan batas waktu penyampaian pada tanggal 13 Oktober 2020 dinyatakan terlambat apabila disampaikan sejak tanggal 14 Oktober 2020 sampai dengan tanggal 15 Oktober 2020. Ayat (2) Contoh: Batas akhir periode keterlambatan penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan pada kelompok informasi keuangan periode data bulan Oktober 2020 yaitu tanggal 7 November 2020. Karena tanggal 7 November 2020 jatuh pada hari Sabtu maka batas akhir periode keterlambatan penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan menjadi Hari Kerja berikutnya, yaitu Senin tanggal 9 November 2020. - 8 - Pasal 19 Contoh: Batas waktu penyampaian Laporan kelompok informasi risiko periode data triwulan keempat 2021 yaitu tanggal 10 Januari 2022 dan batas akhir periode keterlambatan Laporan tersebut yaitu tanggal 12 Januari 2022. Dalam hal Laporan tersebut belum diterima oleh Bank Indonesia sampai dengan tanggal 12 Januari 2022 maka Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “offline” adalah penyampaian Laporan ke Bank Indonesia dengan menggunakan media antara lain compact disk (CD) atau flash disk yang disampaikan pada jam kerja Bank Indonesia yang mewilayahi Pelapor. Huruf a Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan yang terjadi di Pelapor antara lain gangguan jaringan data atau komunikasi dengan Bank Indonesia namun tidak termasuk gangguan pada sistem penyusunan Laporan di Pelapor. Huruf b Yang dimaksud dengan ”gangguan teknis dan/atau gangguan lainnya pada sistem atau jaringan telekomunikasi di Bank Indonesia” adalah gangguan yang menyebabkan Bank Indonesia tidak dapat menerima Laporan dan/atau koreksi Laporan yang disampaikan secara online dari Pelapor antara lain karena gangguan pada jaringan telekomunikasi dan/atau penyebab lainnya. - 9 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Yang dimaksud “Laporan dengan isian nihil” adalah format Laporan yang memuat paling sedikit informasi tentang sandi Bank, tanggal Laporan, dan nama informasi. Contoh: Pelapor tidak memiliki transaksi valuta asing pada tanggal 13 Februari 2020 namun Pelapor tetap wajib menyampaikan isian nihil untuk Laporan tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Tanda terima penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan yang disampaikan oleh Pelapor secara online atau offline dapat diakses oleh Pelapor melalui sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. - 10 - Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keadaan kahar” adalah keadaan yang secara nyata berdampak tidak berfungsinya kegiatan operasional Pelapor dan menyebabkan Pelapor tidak dapat menyusun dan menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, terorisme, bom, perang, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh pejabat instansi yang berwenang dari daerah setempat atau pernyataan dari instansi yang berwenang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penyampaian permohonan pengecualian secara tertulis mengenai keadaan kahar tersebut, dapat dilakukan baik oleh Pelapor maupun kantor lainnya yang ditunjuk. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Huruf a Pengawasan secara tidak langsung antara lain dilakukan melalui pemantauan, penelitian, analisis, dan evaluasi atas Laporan yang disampaikan oleh Pelapor kepada Bank Indonesia dan/atau informasi lain yang diperoleh Bank Indonesia. - 11 - Huruf b Yang dimaksud dengan “pemeriksaan” adalah pengawasan langsung yang dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan kepada Pelapor. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Informasi pengenaan sanksi antara lain disampaikan melalui surat atau media lainnya. Pasal 30 Ayat (1) Contoh: Laporan kelompok informasi risiko untuk data tanggal 1 Oktober 2020 sampai dengan tanggal 7 Oktober 2020 wajib disampaikan paling lambat hari Selasa tanggal 13 Oktober 2020. Bank C menyampaikan Laporan tersebut pada hari Rabu tanggal 14 Oktober 2020. Oleh karena itu, Bank C dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan kelompok informasi risiko untuk data tanggal 1 Oktober 2020 sampai dengan tanggal 7 Oktober 2020 selama 1 (satu) Hari Kerja sehingga dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar 1 (satu) Hari Kerja x Rp1.000.000,00 = Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Ayat (2) Contoh: Koreksi Laporan kelompok informasi risiko untuk data bulan Laporan November 2020 seharusnya disampaikan paling lambat hari Selasa tanggal 15 Desember 2020. Bank Y menyampaikan koreksi Laporan tersebut pada hari Rabu tanggal 16 Desember 2020. Oleh karena itu, Bank Y dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan kelompok informasi risiko selama 1 (satu) Hari Kerja sehingga dikenai sanksi kewajiban - 12 - membayar sebesar 1 (satu) Hari Kerja x Rp100.000,00 = Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). Ayat (3) Contoh: Bank H tidak menyampaikan Laporan pada kelompok informasi risiko untuk data tanggal 15 Oktober 2020 sampai dengan pukul 23.59 WIB. Oleh karena itu, Bank H dinyatakan tidak menyampaikan Laporan sehingga dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) untuk kelompok informasi risiko periode penyampaian Laporan tanggal 15 Oktober 2020. Ayat (4) Contoh 1: Bank S menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan pada kelompok informasi keuangan sebanyak 7 (tujuh) baris untuk data bulan Oktober 2020 pada hari Rabu tanggal 16 Desember 2020, sehingga Bank S dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar 7 (tujuh) baris x Rp50.000,00 = Rp350.000,00 (tiga ratus lima puluh ribu rupiah). Contoh 2: Bank S menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan pada kelompok informasi keuangan sebanyak 110 (seratus sepuluh) baris untuk data bulan Oktober 2020 pada hari Rabu tanggal 16 Desember 2020. Berdasarkan hal tersebut, Bank S dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar 110 (seratus sepuluh) baris x Rp50.000,00 = Rp5.500.000,00 (lima juta lima ratus ribu rupiah), namun Bank S hanya dikenai sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Ayat (5) Contoh: Bank Q menyampaikan koreksi Laporan pada bulan Desember 2022 untuk salah satu kantor cabangnya atas kesalahan isian Laporan kelompok informasi keuangan sebanyak 14 (empat belas) baris untuk data bulan Oktober 2020 sampai dengan bulan Oktober 2022 (24 periode penyampaian Laporan). Atas kesalahan tersebut, Bank Q seharusnya dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar 14 (empat belas) baris x Rp50.000,00 x 24 (dua puluh - 13 - empat) periode = Rp16.800.000,00 (enam belas juta delapan ratus ribu rupiah), namun Bank Q hanya dikenai sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar 12 (dua belas) periode penyampaian Laporan yaitu sebesar 14 (empat belas) baris x Rp50.000,00 x 12 (dua belas) periode = Rp8.400.000,00 (delapan juta empat ratus ribu rupiah). Ayat (6) Contoh 1: Berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia, terdapat kesalahan dalam Laporan yang telah disampaikan oleh Bank U pada kelompok informasi keuangan sebanyak 7 (tujuh) baris untuk data bulan November 2020, sehingga Bank U dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar 7 (tujuh) baris x Rp100.000,00 = Rp700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah). Contoh 2: Berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia, terdapat kesalahan Laporan yang telah disampaikan oleh Bank V pada kelompok informasi keuangan sebanyak 110 (seratus sepuluh) baris untuk data bulan November 2020. Bank V seharusnya dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar 110 (seratus sepuluh) baris x Rp100.000,00 = Rp11.000.000,00 (sebelas juta rupiah), namun Bank V hanya dikenai sanksi kewajiban membayar paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Ayat (7) Contoh: Berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia pada bulan Desember 2022, terdapat kesalahan Laporan yang telah disampaikan oleh salah satu kantor cabang Bank R pada kelompok informasi keuangan sebanyak 10 (sepuluh) baris untuk data bulan Oktober 2020 sampai dengan bulan Oktober 2022 (24 periode penyampaian Laporan). Atas kesalahan tersebut, Bank R seharusnya dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar 10 (sepuluh) baris x Rp100.000,00 x 24 (dua puluh empat) periode = Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah), namun Bank R hanya dikenai sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar 12 (dua belas) periode penyampaian Laporan yaitu sebesar 10 - 14 - (sepuluh) baris x Rp100.000,00 x 12 (dua belas) periode = Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). Pasal 31 Ayat (1) Contoh: Bank P yang memiliki 30 (tiga puluh) kantor cabang, menyampaikan Laporan kelompok informasi keuangan untuk data bulan Desember 2020 dengan rincian sebagai berikut: a. 20 (dua puluh) kantor cabang menyampaikan Laporan pada hari Senin tanggal 4 Januari 2021; dan b. 10 (sepuluh) kantor cabang lainnya menyampaikan Laporan pada hari Rabu tanggal 6 Januari 2021. 10 (sepuluh) kantor cabang dari Bank P dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan selama 1 (satu) Hari Kerja karena telah melewati batas waktu penyampaian Laporan yaitu hari Selasa tanggal 5 Januari 2021. Atas keterlambatan tersebut, Bank P dikenai sanksi kewajiban membayar untuk 10 (sepuluh) kantor cabang sebesar 1 (satu) Hari Kerja x Rp1.000.000,00 x 10 (sepuluh) kantor cabang = Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Ayat (2) Huruf a Contoh: Bank N yang memiliki 30 (tiga puluh) kantor cabang menyampaikan koreksi Laporan pada kelompok informasi keuangan atas inisiatif Bank N sebanyak 100 (seratus) baris per kantor cabang. Atas koreksi tersebut, Bank N seharusnya dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar 100 (seratus) baris x Rp50.000,00 x 30 (tiga puluh) kantor cabang = Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), namun Bank N hanya dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) karena memenuhi kriteria sebagai Pelapor yang memiliki kantor cabang paling banyak 30 (tiga puluh) kantor. Huruf b Cukup jelas. - 15 - Huruf c Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Contoh: Terdapat kesalahan Laporan pada kelompok informasi keuangan bulanan yang telah disampaikan Bank E sehingga berdampak pada kesalahan kelompok informasi keuangan triwulanan. Atas kesalahan tersebut, kelompok informasi keuangan triwulanan tidak dikenai sanksi. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hasil olahan” adalah hasil yang diperoleh dari hasil pengolahan agregat atas informasi yang dilaporkan oleh Pelapor. Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak selain Pelapor, yang dapat memperoleh hasil olahan Laporan sesuai dengan - 16 - ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6377
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 21/9/PBI/2019 </reg_id> <reg_title> LAPORAN BANK UMUM TERINTEGRASI </reg_title> <set_date> 30 Agustus 2019 </set_date> <effective_date> 30 Agustus 2019 </effective_date> <issued_date> 30 Agustus 2019 </issued_date> <replaced_reg> '12/2/PBI/2010', '15/4/PBI/2013', '13/19/PBI/2011 | Pasal 2 Ayat (3) huruf g, Pasal 2 Ayat (3) huruf j', '13/8/PBI/2011 | Pasal 2 Ayat (4) huruf f', '14/12/PBI/2012 | Pasal 4 huruf l', '10/40/PBI/2008', '8/12/PBI/2006 | Pasal 2 Ayat (3) huruf e, Pasal 2 Ayat (3) huruf k' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 2/ 7 /PBI/2000 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung kestabilan moneter dan prinsip kehati-hatian perbankan, bank umum perlu memelihara giro wajib minimum; b. bahwa dengan telah berkembangnya sistem perbankan berdasarkan prinsip syariah, kewajiban pemeliharaan giro wajib minimum perlu diberlakukan pula bagi bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; c. bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan mengenai giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Mengingat … -2- Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang bank asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; berdasarkan … 2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh surat penunjukan dari Bank Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing -3- dan atau melakukan transaksi perbankan dengan pihak-pihak di luar negeri; 3. Unit Usaha Syariah adalah unit kerja di kantor pusat Bank yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah; 4. Dana Pihak Ketiga Bank yang untuk selanjutnya disebut DPK Bank, adalah kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam rupiah dan valuta asing; 5. Giro Wajib Minimum (statutory reserve), adalah simpanan minimum Bank dalam bentuk giro pada Bank Indonesia, yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia; 6. Saldo Giro Negatif adalah saldo rekening rupiah Bank di Bank Indonesia yang menunjukkan angka negatif; 7. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang untuk selanjutnya disebut PUAS adalah kegiatan investasi jangka pendek dalam rupiah antar peserta pasar berdasarkan prinsip mudharabah; 8. Tingkat Indikasi Imbalan PUAS adalah rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan sertifikat investasi mudharabah antarbank yang terjadi di PUAS; 9. Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank yang untuk selanjutnya disebut Sertifikat IMA adalah sertifikat yang digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan dana dengan prinsip mudharabah; 10. Pusat … 10. Pusat Informasi Pasar Uang yang untuk selanjutnya disebut PIPU adalah sistem otomasi yang menyediakan informasi pasar uang yang diatur oleh Bank Indonesia. Pasal 2 -4- (1) Bank wajib memelihara Giro Wajib Minimum dalam rupiah. (2) Dalam hal Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berstatus sebagai Bank Devisa maka selain wajib memelihara Giro Wajib Minimum dalam rupiah wajib pula memelihara Giro Wajib Minimum dalam valuta asing. Pasal 3 (1) Giro Wajib Minimum dalam rupiah ditetapkan sebesar 5% (lima perseratus) dari DPK Bank dalam rupiah. (2) Giro Wajib Minimum dalam valuta asing ditetapkan sebesar 3% (tiga perseratus) dari DPK Bank dalam valuta asing. (3) Pemenuhan persentase Giro Wajib Minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan secara harian pada saat Bank Indonesia menutup sistem akunting. Pasal 4 … Pasal 4 Perubahan pengaturan mengenai persentase Giro Wajib Minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB II -5- REKENING GIRO BANK PADA BANK INDONESIA Pasal 5 Bank hanya dapat memelihara 1 (satu) rekening giro dalam rupiah di kantor Bank Indonesia setempat. Pasal 6 (1) Dalam hal Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berstatus sebagai Bank Devisa maka selain wajib memelihara rekening giro dalam rupiah wajib pula memelihara 1 (satu) rekening giro dalam valuta asing di kantor pusat Bank Indonesia. (2) Rekening giro dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dalam valuta dollar Amerika Serikat. BAB III … BAB III TATA CARA PERHITUNGAN GIRO WAJIB MINIMUM Pasal 7 (1) Giro Wajib Minimum dihitung dengan membandingkan jumlah saldo giro dari seluruh kantor Bank yang tercatat pada Bank Indonesia setiap hari dalam 1 (satu) masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya. -6- (2) Perhitungan Giro Wajib Minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku masing-masing untuk Giro Wajib Minimum dalam rupiah dan Giro Wajib Minimum dalam valuta asing. Pasal 8 Saldo giro Bank pada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) terdiri dari: a. jumlah saldo giro rupiah seluruh kantor Bank pada Bank Indonesia; b. saldo giro valuta asing Bank pada kantor pusat Bank Indonesia. . Pasal 9 DPK Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) terdiri dari: a. jumlah DPK Bank dalam rupiah pada seluruh kantor Bank di Indonesia; b. jumlah DPK Bank dalam valuta asing pada seluruh kantor Bank di Indonesia. Pasal 10 Pasal 10 … (1) DPK Bank dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a meliputi kewajiban kepada pihak ketiga bukan bank, yang terdiri dari giro, tabungan, simpanan berjangka, dan kewajiban lainnya. (2) DPK Bank dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b meliputi kewajiban dalam valuta asing kepada pihak ketiga termasuk bank dan Bank Indonesia, yang terdiri dari giro, simpanan berjangka, dan kewajiban lainnya. Pasal 11 -7- Perubahan pengaturan mengenai tata cara perhitungan Giro Wajib Minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10 ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB IV PELAPORAN Pasal 12 (1) Bank wajib menyampaikan laporan secara berkala dan benar kepada Bank Indonesia mengenai DPK Bank serta pos-pos aktiva dan pasiva dalam rupiah maupun valuta asing. (2) Tata cara mengenai penyusunan dan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia mengenai pelaporan bank. BAB V … BAB V SANKSI Pasal 13 Bank dinyatakan melanggar Giro Wajib Minimum apabila saldo rekening giro harian Bank pada Bank Indonesia lebih kecil daripada Giro Wajib Minimum yang seharusnya dipelihara. Pasal 14 (1) Dalam hal terjadi pelanggaran Giro Wajib Minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 pada rekening giro rupiah, dan rekening giro rupiah dimaksud -8- bersaldo positif, maka Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 125% (seratus dua puluh lima perseratus) dari Tingkat Indikasi Imbalan PUAS terhadap kekurangan Giro Wajib Minimum, untuk setiap hari pelanggaran. (2) Dalam hal terjadi pelanggaran Giro Wajib Minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 pada rekening giro rupiah, dan rekening giro rupiah dimaksud bersaldo negatif, maka Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar: a. sebesar 125% (seratus dua puluh lima perseratus) dari Tingkat Indikasi Imbalan PUAS terhadap Giro Wajib Minimum yang wajib dipelihara; ditambah dengan b. sebesar 150% (seratus lima puluh perseratus) dari Tingkat Indikasi Imbalan PUAS terhadap saldo negatif, untuk setiap hari pelanggaran. Pasal 15… Pasal 15 Dalam hal data mengenai Tingkat Indikasi Imbalan PUAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 tidak tersedia, pengenaan sanksi dihitung berdasarkan rata-rata tingkat imbalan deposito investasi mudharabah sebelum didistribusikan pada bulan sebelumnya dari seluruh Bank. Pasal 16 (1) Dalam hal terjadi pelanggaran Giro Wajib Minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 pada rekening giro valuta asing maka Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,04% terhadap kekurangan Giro Wajib Minimum untuk setiap hari pelanggaran. (2) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibayar -9- dalam valuta rupiah dengan menggunakan kurs transaksi Bank Indonesia pada tanggal terjadinya pelanggaran. Pasal 17 (1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 16 dilaksanakan dengan pembebanan pada rekening giro rupiah Bank pada Bank Indonesia. (2) Dalam hal pembebanan rekening giro rupiah Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan rekening giro rupiah bersaldo negatif maka Bank juga dikenakan sanksi atas saldo negatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2). (2) Dalam … Pasal 18 Perubahan pengaturan mengenai sanksi pelanggaran Giro Wajib Minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 16 ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN -10- Pasal 19 Peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan Giro Wajib Minimum yang ada sebelum Peraturan Bank Indonesia ini, sepanjang belum diperbarui dan tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku. BAB VII … BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 20 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 2000. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 23 Februari 2000 GUBERNUR BANK INDONESIA -11- SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 22 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NO. 2/ 7 /PBI/2000 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH I. UMUM Dalam menciptakan dan menjaga stabilitas moneter, Bank Indonesia antara lain melakukan pengendalian terhadap jumlah uang beredar, dimana salah satu piranti yang digunakan untuk mengendalikan jumlah uang beredar tersebut adalah -12- dengan mengendalikan jumlah giro wajib minimum bank-bank pada Bank Indonesia. Disamping itu, dalam mewujudkan sistem perbankan yang sehat yang mampu menghadapi tuntutan perkembangan dan dinamika perbankan nasional dan internasional perlu diciptakan suatu sistem perbankan yang kuat yang dilandasi pada prinsip kehati-hatian perbankan. Prinsip kehati-hatian perbankan dimaksud meliputi prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan risiko likuiditas bank, yaitu risiko atas ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajibannya yang harus segera dilunasi secara tepat waktu. Dalam melakukan penilaian terhadap risiko likuiditas tersebut Dalam… diperlukan indikator-indikator yang dapat digunakan untuk menilai dan menjaga kemampuan bank dalam memenuhi pembayaran kewajiban segeranya. Salah satu indikator tersebut dilakukan dengan membandingkan saldo giro bank pada Bank Indonesia terhadap dana pihak ketiga yang dimiliki bank yang disebut dengan giro wajib minimum. Dewasa ini telah dikembangkan sistem perbankan yang dilandasi oleh prinsip syariah. Berdasarkan sistem ini bank umum konvensional dapat mengkonversikan seluruh atau sebagian dari kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Berkenaan dengan hal tersebut dirasakan perlu untuk memberlakukan ketentuan mengenai Giro Wajib Minimum kepada bank-bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Pemberlakuan ketentuan mengenai Giro Wajib Minimum kepada bank-bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah tidak bertentangan dengan kaedah-kaedah fiqih. -13- Karakteristik bank umum syariah dan bank umum konvensional berbeda, maka sangat dimungkinkan adanya perbedaan komponen dana pihak ketiga dari kedua bank umum tersebut. Oleh karena perbankan syariah masih dalam taraf pengembangan serta belum tersusunnya Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Syariah (PSAK Syariah), maka untuk sementara waktu penentuan komponen dana pihak ketiga bagi bank umum syariah diperlakukan sama dengan komponen dana pihak ketiga bank umum konvensional. Bagi bank umum konvesional yang memiliki Unit Usaha Syariah, fungsi kantor induk dari kegiatan usaha syariahnya dilakukan oleh Unit Usaha Syariah. Bagi bank umum konvesional yang memiliki Unit Usaha Syariah diperkenankan untuk membuka 2 (dua) rekening giro pada Bank Indonesia baik untuk mata uang rupiah maupun dalam valuta asing. Rekening tersebut dikelola dan digunakan secara terpisah untuk kegiatan usaha konvensional dan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 sampai dengan angka 10 Cukup jelas untuk… -14- Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Dalam hal Bank mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor dalam suatu wilayah Ayat (3)… -15- kerja Bank Indonesia maka Bank yang bersangkutan hanya dapat memelihara 1 (satu) rekening giro rupiah pada kantor Bank Indonesia setempat. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Formula perhitungan Giro Wajib Minimum adalah sebagai berikut: Jumlah… Jumlah harian saldo giro dari seluruh kantor Bank yang tercatat di Bank Indonesia setiap hari dalam 1 (satu) masa laporan. Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam 1 (satu) masa laporan untuk periode 2 (dua) masa laporan sebelumnya. Persentase Giro Wajib Minimum Bank dalam rupiah atau valuta asing didasarkan pada DPK Bank sebagai berikut: a. Giro Wajib Minimum harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 -16- sampai dengan tanggal 7 adalah sebesar 5% (lima perseratus) atau 3% (tiga perseratus) dari rata-rata DPK Bank dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 bulan sebelumnya; b. Giro Wajib Minimum harian untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar 5% (lima perseratus) atau 3% (tiga perseratus) dari rata-rata DPK Bank dalam masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya; c. Giro Wajib Minimum harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 adalah sebesar 5% (lima perseratus) atau 3% (tiga perseratus) dari rata-rata DPK Bank dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan yang sama; d. Giro Wajib Minimum harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar 5% (lima perseratus) atau 3% (tiga perseratus) dari rata-rata DPK Bank dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan yang sama. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 8… Pasal 8 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Pasal 9 Huruf a -17- Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan giro, tabungan, dan simpanan berjangka dalam ketentuan ini antara lain berupa giro wadiah, tabungan mudharabah, deposito investasi mudharabah. DPK Bank dalam rupiah tidak termasuk dana yang diterima oleh Bank dari Bank Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12… Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 13 -18- Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Data mengenai Tingkat Indikasi Imbalan PUAS yang digunakan adalah rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan Sertifikat IMA yang tercatat pada PIPU. Perhitungan sanksi kewajiban membayar kekurangan Giro Wajib Minimum dalam rupiah yaitu: Kekurangan Giro Wajib Minimum x 125% x Tingkat Indikasi Imbalan PUAS x 1/360 Contoh perhitungan: a. Saldo giro rupiah Bank pada Bank Indonesia yang wajib dipelihara untuk periode tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 adalah sebesar Rp10 miliar; b. Saldo giro rupiah Bank yang tercatat pada Bank Indonesia pada tanggal 1 adalah sebesar Rp1 miliar; c. Tingkat Indikasi Imbalan PUAS tanggal 1 sebesar 12% (dua belas perseratus); d. Sanksi kewajiban membayar untuk tanggal 1 adalah sebesar: [Rp10 miliar – Rp1 miliar] x 1,25 x 0,12 x 1/360 = Rp 3.750.000,00. Ayat (2) b. Saldo… -19- Contoh perhitungan: Sanksi kewajiban membayar saldo negatif adalah: Giro Wajib Minimum x 125% x Tingkat Indikasi Imbalan PUAS x 1/360 ditambah dengan Saldo Negatif x 150% x Tingkat Indikasi Imbalan PUAS x 1/360 Contoh perhitungan: a. Saldo giro rupiah Bank pada Bank Indonesia yang wajib dipelihara untuk periode tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 adalah sebesar Rp10 miliar; b. Saldo giro rupiah Bank yang tercatat pada Bank Indonesia pada tanggal 2 adalah sebesar negatif Rp1 miliar; c. Tingkat Indikasi Imbalan PUAS tanggal 2 sebesar 11% (sebelas perseratus); d. Sanksi kewajiban membayar untuk tanggal 2 adalah sebesar: [Rp10 miliar x 1,25 x 0,11 x 1/360] + [Rp 1 miliar x 1,50 x 0,11 x 1/360] = Rp3.819.444,44 + Rp458.333,33 = Rp4.277.777,77 = Rp3.819.444,44… Dalam hal saldo giro Unit Usaha Syariah/kantor cabang syariah menunjukkan angka negatif pada saat Bank Indonesia menutup sistem akunting, maka Unit Usaha Syariah/kantor cabang syariah tetap dikenakan sanksi kewajiban membayar meskipun penjumlahan saldo giro saldo giro Unit Usaha Syariah/kantor cabang syariah dan kantor pusat/kantor cabang -20- konvensional masih positif. Penjumlahan saldo giro tersebut dilakukan hanya untuk menentukan penghentian keikutsertaan dalam kliring bagi bank yang memiliki Unit Usaha Syariah sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No.2/4/PBI/2000 tanggal 11 Februari 2000 yang merupakan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 1/3/PBI/1999. Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Kurs transaksi yang digunakan adalah kurs jual ditambah dengan kurs beli dibagi dua. Pasal 17 Pasal 17… Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas -21- Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Yang dimaksud dengan peraturan pelaksanaan Giro Wajib Minimum antara lain meliputi: a. Rincian DPK Bank; b. Tata cara penyampaian laporan; c. Formulir penyampaian laporan; d. Sanksi penyampaian laporan, e. Pedoman Penyusunan Laporan Mingguan Bank Umum, sebagaimana diatur dalam: • Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/113/KEP/DIR tanggal 14 Desember 1995 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing; • Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 28/10/UPPB tanggal 14 Desember 1995 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 20 Cukup jelas Pasal 20… -22- TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3935 DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 2/7/PBI/2000 </reg_id> <reg_title> GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 23 Februari 2000 </set_date> <effective_date> 1 Maret 2000 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 3 /PBI/2011 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan, diperlukan sistem perbankan yang sehat; b. bahwa sebagai bagian dari upaya penyehatan perbankan, Bank yang berpotensi atau mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam status pengawasan intensif atau pengawasan khusus; c. bahwa tindakan pengawasan yang ditetapkan Bank Indonesia dalam rangka penyehatan bank harus didukung dan dilaksanakan oleh pengurus maupun pemegang saham bank dalam batas waktu tertentu; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c, perlu ditetapkan ketentuan tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: … - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 8, Tambahan … - 3 - Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, termasuk kantor cabang bank asing. 2. Lembaga Penjamin Simpanan, yang selanjutnya disebut LPS, adalah badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan … - 4 - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang. 3. Direksi: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi kantor cabang bank asing adalah pimpinan kantor cabang bank asing yakni pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat dibawah pemimpin kantor cabang. 4. Dewan Komisaris: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Pasal 2… - 5 - Pasal 2 (1) Bank Indonesia berwenang menetapkan status pengawasan Bank. (2) Status pengawasan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. pengawasan normal; b. pengawasan intensif; atau c. pengawasan khusus. BAB II BANK DALAM PENGAWASAN INTENSIF Pasal 3 (1) Bank Indonesia menetapkan Bank dalam pengawasan intensif apabila dinilai memiliki potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya. (2) Bank dinilai memiliki potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut: a. rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) lebih dari 8% (delapan persen) namun kurang dari rasio KPMM yang mempertimbangkan potensi kerugian sesuai profil risiko Bank yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; b. rasio modal inti (tier 1) kurang dari persentase tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; c. rasio Giro Wajib Minimum (GWM) dalam rupiah sama dengan atau lebih besar dari rasio yang ditetapkan untuk GWM Bank, namun memiliki permasalahan likuiditas mendasar; d. rasio kredit atau pembiayaan bermasalah (non performing loan/ financing) secara neto lebih dari 5% (lima persen) dari total kredit atau total … - 6 - total pembiayaan; e. peringkat risiko Bank tinggi (high risk) berdasarkan hasil penilaian terhadap keseluruhan risiko (composite risk); f. peringkat komposit tingkat kesehatan Bank 4 (empat) atau 5 (lima); g. peringkat komposit tingkat kesehatan Bank 3 (tiga) dengan peringkat faktor manajemen 4 (empat) atau 5 (lima). (3) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, berlaku bagi Bank Umum Syariah sejak berlakunya ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal minimum Bank Umum Syariah. Pasal 4 (1) Bank Indonesia menetapkan Bank dalam pengawasan intensif paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal surat pemberitahuan Bank Indonesia. (2) Dalam hal Bank ditetapkan dalam pengawasan intensif karena kredit atau pembiayaan bermasalah yang penyelesaiannya bersifat kompleks maka jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang 1 (satu) kali dan paling lama 1 (satu) tahun. Pasal 5 Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank yang ditetapkan dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, disertai dengan alasan penetapan serta langkah-langkah atau tindakan pengawasan yang wajib dilakukan Bank. Pasal 6 Bank dalam pengawasan intensif wajib melakukan tindakan pengawasan yang diperintahkan Bank Indonesia (mandatory supervisory actions) yaitu: a. mengganti … - 7 - a. mengganti Dewan Komisaris dan/atau Direksi Bank; b. menghapusbukukan kredit atau pembiayaan yang tergolong macet dan memperhitungkan kerugian Bank dengan modal Bank; c. melakukan merger atau konsolidasi dengan Bank lain; d. menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank kepada pihak lain; e. menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban Bank kepada bank atau pihak lain; dan/atau f. menjual Bank kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban Bank. Pasal 7 Selain tindakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank Indonesia berwenang: a. melarang Bank melakukan distribusi modal; b. melarang Bank melakukan transaksi tertentu dengan pihak terkait dan/atau pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia, kecuali telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; c. membatasi pertumbuhan aset, pembatasan penyertaan, pembatasan penyediaan dana baru, kecuali telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; d. membatasi pelaksanaan rencana ekspansi usaha atau produk dan aktivitas baru, kecuali telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; e. membatasi pembayaran gaji, remunerasi atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu kepada anggota Dewan Komisaris dan/atau Direksi Bank, atau kompensasi kepada pihak terkait, kecuali telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; dan/atau f. melarang … - 8 - f. melarang Bank melakukan pembayaran pinjaman subordinasi. Pasal 8 Bank Indonesia mewajibkan Bank dan/atau pemegang saham Bank untuk menyampaikan rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) guna mengatasi permasalahan permodalan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan huruf b. Pasal 9 Bank dalam pengawasan intensif wajib: a. menyampaikan rencana tindak (action plan) sesuai permasalahan yang dihadapi dan realisasi rencana tindak; b. menyampaikan daftar pihak terkait secara lengkap; c. mengkinikan rencana bisnis (business plan); dan d. melakukan tindakan lainnya dan/atau melaporkan hal-hal tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 10 Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a dan huruf b disampaikan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak Bank ditetapkan dalam pengawasan intensif. Pasal 11 (1) Rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a paling kurang memuat rencana perbaikan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi Bank disertai jangka waktu penyelesaiannya. (2) Bank … - 9 - (2) Bank Indonesia melakukan evaluasi atas rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak dokumen diterima secara lengkap. (3) Dalam hal rencana tindak yang disampaikan ditolak Bank Indonesia, Bank wajib mengajukan perbaikan rencana tindak paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan penolakan. Pasal 12 (1) Rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 disampaikan secara tertulis kepada Bank Indonesia paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak Bank ditetapkan dalam pengawasan intensif. (2) Rencana perbaikan permodalan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menggambarkan kemampuan Bank untuk mencapai dan memelihara rasio KPMM yang ditetapkan Bank Indonesia dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. (3) Bank Indonesia menilai rencana perbaikan permodalan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak dokumen diterima secara lengkap. (4) Dalam hal rencana perbaikan permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak, Bank wajib mengajukan revisi rencana perbaikan permodalan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal penolakan. Pasal 13 (1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan realisasi rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a setiap akhir bulan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja bulan berikutnya. (2) Laporan … - 10 - (2) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat antara lain: a. permasalahan Bank; b. tindakan perbaikan; dan c. waktu pelaksanaan perbaikan. Pasal 14 (1) Bank ditetapkan keluar dari pengawasan intensif apabila Bank sudah tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (2) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank yang ditetapkan keluar dari pengawasan intensif. BAB III BANK DALAM PENGAWASAN KHUSUS Pasal 15 (1) Bank Indonesia menetapkan Bank dalam pengawasan khusus apabila dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya. (2) Bank dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut: a. rasio KPMM kurang dari 8% (delapan persen); b. rasio GWM dalam rupiah kurang dari rasio yang ditetapkan untuk GWM Bank dan berdasarkan penilaian Bank Indonesia: 1) Bank mengalami permasalahan likuiditas mendasar; atau 2) Bank mengalami perkembangan yang memburuk dalam waktu singkat; atau c. jangka … - 11 - c. jangka waktu Bank dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 terlampaui. Pasal 16 Bank Indonesia menetapkan Bank dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan Bank Indonesia. Pasal 17 Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank yang ditetapkan dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, disertai dengan alasan penetapan serta langkah-langkah atau tindakan pengawasan yang wajib dilakukan Bank. Pasal 18 (1) Bank dan/atau pemegang saham dari Bank dalam pengawasan khusus wajib melakukan penambahan modal. (2) Penambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi dalam jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. Pasal 19 Dalam rangka pengawasan khusus, Bank Indonesia berwenang: a. melarang Bank menjual atau menurunkan jumlah aset tanpa persetujuan Bank Indonesia kecuali untuk Sertifikat Bank Indonesia atau Sertifikat Bank Indonesia … - 12 - Indonesia Syariah, Giro pada Bank Indonesia, tagihan antar Bank, dan Surat Utang Negara atau Surat Utang Negara Syariah; b. memerintahkan Bank untuk melaporkan setiap perubahan kepemilikan saham Bank kurang dari 10% (sepuluh persen); dan/atau c. melarang Bank mengubah kepemilikan dari: 1) pemegang saham yang memiliki saham sebesar sama dengan atau lebih dari 10% (sepuluh persen); dan/atau 2) pemegang saham pengendali termasuk pihak-pihak yang melakukan pengendalian terhadap Bank dalam struktur kelompok usaha Bank, kecuali telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia. Pasal 20 (1) Selain tindakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19, Bank Indonesia berwenang memerintahkan Bank dalam pengawasan khusus untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 7. (2) Tindakan pengawasan yang ditetapkan pada saat Bank dalam pengawasan intensif dinyatakan tetap berlaku. Pasal 21 Bank Indonesia membekukan kegiatan usaha tertentu Bank dalam pengawasan khusus paling lama 1 (satu) bulan dalam periode pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, apabila: a. Bank Indonesia menilai kondisi Bank semakin memburuk; dan/atau b. terjadi pelanggaran ketentuan perbankan yang dilakukan oleh Direksi, Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham pengendali. Pasal 22 … - 13 - Pasal 22 (1) Bank dalam pengawasan khusus wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia: a. laporan keuangan terkini berupa neraca dan laporan laba rugi serta rekening administratif; b. rincian aktiva produktif Bank terkini yang dikelompokkan berdasarkan kualitasnya; c. peringkat komposit tingkat kesehatan Bank terkini; d. informasi dan dokumen mengenai: 1) daftar terkini mengenai simpanan nasabah secara agregat yang dikelompokkan berdasarkan nilai nominal; 2) daftar rincian tagihan dan kewajiban Bank terkini kepada pihak terkait; 3) informasi lainnya yang diperlukan Bank Indonesia; e. laporan keuangan terkini dari perusahaan yang memperoleh penyertaan Bank selain penyertaan modal sementara dalam rangka restrukturisasi kredit atau pembiayaan; f. struktur terkini kelompok usaha terkait Bank, termasuk badan hukum pemilik Bank sampai dengan ultimate shareholders; g. laporan proyeksi arus kas untuk jangka waktu 1 (satu) bulan mendatang, yang terinci secara harian atau berdasarkan frekuensi dan periode pelaporan yang ditetapkan Bank Indonesia. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak Bank ditetapkan dalam pengawasan khusus. Pasal 23 … - 14 - Pasal 23 (1) Bank Indonesia mengumumkan: a. Bank dalam pengawasan khusus yang dibekukan kegiatan usaha tertentu beserta alasan pembekuan dimaksud; dan b. tindakan perbaikan yang wajib dilakukan oleh Bank dan/atau larangan yang diperintahkan oleh Bank Indonesia kepada Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 19 dan Pasal 20. (2) Bank Indonesia mengumumkan pula Bank yang telah melakukan perbaikan sehingga tidak memenuhi kriteria Bank dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. (3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan pada 2 (dua) surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas dan pada home page Bank Indonesia. Pasal 24 (1) Bank wajib memberitahukan kepada seluruh jaringan kantornya mengenai kegiatan usaha tertentu yang dibekukan dan perintah yang ditetapkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 19 dan Pasal 20. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tanggal diterimanya pemberitahuan dari Bank Indonesia. Pasal 25 (1) Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS mengenai Bank yang ditetapkan dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. (2) Pemberitahuan kepada LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan … - 15 - dengan keterangan mengenai kondisi Bank yang bersangkutan. Pasal 26 (1) Bank Indonesia memberitahukan kepada otoritas pengawas yang berwenang terhadap perusahaan induk dan/atau perusahaan anak Bank mengenai tindakan yang dilakukan Bank Indonesia terhadap Bank yang ditetapkan dalam pengawasan khusus. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kerjasama dengan Bank Indonesia. Pasal 27 Bank dalam pengawasan khusus yang memenuhi kriteria: a. rasio KPMM kurang dari 2% (dua persen); b. rasio GWM dalam rupiah kurang dari 0% (nol persen); atau c. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 terlampaui, ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai Bank yang tidak dapat disehatkan. Pasal 28 Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank bahwa Bank tidak dapat disehatkan. BAB IV BANK BERDAMPAK SISTEMIK Pasal 29 (1) Dalam hal Bank Indonesia menengarai Bank dalam pengawasan khusus berdampak sistemik, Bank Indonesia meminta kepada lembaga yang berwenang … - 16 - berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk memutuskan Bank yang bersangkutan berdampak sistemik atau tidak berdampak sistemik. (2) Selain meminta kepada lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia juga memberitahukan kepada LPS mengenai Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 30 Dalam hal lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 menetapkan sebagai Bank berdampak sistemik dan Bank yang bersangkutan memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Bank Indonesia meminta lembaga dimaksud untuk memutuskan langkah-langkah penanganan Bank yang bersangkutan. Pasal 31 Bank dan/atau pemegang saham Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 wajib melakukan langkah-langkah yang ditetapkan lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dalam penanganan permasalahan Bank yang bersangkutan. BAB V BANK TIDAK BERDAMPAK SISTEMIK Pasal 32 Dalam hal Bank dalam pengawasan khusus tidak berdampak sistemik memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Bank Indonesia memberitahukan dan meminta keputusan LPS untuk melakukan penyelamatan atau tidak melakukan penyelamatan terhadap Bank yang bersangkutan. Pasal 33 … - 17 - Pasal 33 (1) Dalam hal LPS memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Bank Indonesia melakukan pencabutan izin usaha Bank yang bersangkutan setelah memperoleh pemberitahuan dari LPS. (2) Penyelesaian lebih lanjut Bank yang telah dicabut izin usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh LPS sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 34 (1) Dalam hal LPS memutuskan untuk melakukan penyelamatan terhadap Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Bank Indonesia menetapkan Bank tersebut dalam pengawasan normal. (2) Penempatan Bank dalam pengawasan normal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan apabila tidak memenuhi kriteria: a. Bank dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; dan b. Bank dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. BAB VI LAIN-LAIN Pasal 35 Penyampaian laporan dan informasi yang wajib dilakukan oleh Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. Direktorat … - 18 - a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. BAB VII SANKSI Pasal 36 Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Pasal 58 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, antara lain berupa pemberhentian Direksi dan/atau Dewan Komisaris Bank dan/atau larangan turut serta dalam kegiatan kliring bagi Bank yang tidak melaksanakan kewajiban sesuai perintah Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (3), Pasal 12 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4), Pasal 13, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, dan Pasal 24. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 37 Bank yang telah ditetapkan dalam pengawasan intensif sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dan memiliki jangka waktu penyelesaian melampaui tanggal 17 April 2012, wajib menyesuaikan jangka waktu penyelesaian paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 38 … - 19 - Pasal 38 Bagi Bank yang telah ditetapkan dalam pengawasan khusus sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dan memiliki jangka waktu penyelesaian melampaui tanggal berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, tetap berpedoman pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/27/PBI/2008. BAB IX PENUTUP Pasal 39 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank, b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/38/PBI/2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank; dan c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/27/PBI/2008 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 40 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) bulan sejak tanggal di tetapkan. Agar … - 20 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 17 Januari 2011 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 17 Januari 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 9 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 3 /PBI/2011 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM Sistem perbankan yang sehat merupakan salah satu prasyarat untuk mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan, pertumbuhan perekonomian nasional serta terpeliharanya kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Oleh karena itu setiap permasalahan Bank perlu diselesaikan dengan cepat agar tidak mengganggu stabilitas sistem keuangan serta menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat. Sebagai bagian dari upaya pemulihan kesehatan Bank, Bank Indonesia menetapkan status pengawasan Bank dalam pengawasan intensif atau pengawasan khusus sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pendekatan pengawasan berdasarkan risiko (risk based supervision). Pemulihan kesehatan Bank dilakukan dengan menetapkan tindakan pengawasan sesuai dengan permasalahan Bank dan wajib diselesaikan dalam batas waktu tertentu yang ditetapkan Bank Indonesia. Untuk itu, baik pengurus maupun pemegang saham Bank wajib berperan serta secara aktif dalam upaya pemulihan kesehatan Bank karena pelanggaran batas waktu penyelesaian permasalahan Bank akan menyebabkan peningkatan status pengawasan Bank. Dalam … - 2 - Dalam hal upaya-upaya perbaikan dalam rangka penyehatan Bank tidak mencukupi sehingga Bank dinilai tidak dapat lagi disehatkan maka perlu dilakukan langkah-langkah penyelesaian. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “pengawasan normal” adalah pengawasan terhadap Bank yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 15. Huruf b Yang dimaksud dengan “pengawasan intensif” adalah suatu peningkatan proses pengawasan terhadap Bank yang sebelumnya berada dalam pengawasan normal, dengan tujuan untuk memulihkan kondisi Bank. Pemulihan tersebut dilakukan dengan menetapkan tindakan pengawasan (supervisory actions) yang sesuai dengan permasalahan Bank. Huruf c Yang dimaksud dengan “pengawasan khusus” adalah suatu peningkatan proses pengawasan terhadap Bank yang sebelumnya berada … - 3 - berada dalam pengawasan normal atau pengawasan intensif dengan tujuan untuk memulihkan kondisi Bank. Pemulihan tersebut dilakukan dengan menetapkan tindakan pengawasan (supervisory actions) yang sesuai dengan permasalahan Bank. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Bank Indonesia berwenang menetapkan rasio KPMM suatu Bank lebih besar dari 8% (delapan persen) untuk mengantisipasi potensi kerugian sesuai profil risiko Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal minimum Bank. Huruf b Perhitungan modal inti (tier 1) adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal minimum Bank. Pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, rasio modal inti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal minimum Bank adalah sebesar 5% (lima persen). Huruf c Yang dimaksud dengan “GWM” adalah Giro Wajib Minimum Primer (Statutory Reserve) bagi Bank Umum atau Giro Wajib Minimum … - 4 - Minimum bagi Bank Umum Syariah. Ketentuan mengenai GWM dalam rupiah adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai giro wajib minimum Bank. Yang dimaksud dengan “permasalahan likuiditas mendasar” antara lain adalah: - perubahan posisi Bank di pasar uang dari posisi pemberi pinjaman (net lender) menjadi posisi penerima pinjaman (net borrower); - posisi arus kas yang semakin buruk sebagai akibat maturity mismatch yang besar, terutama pada skala waktu jangka pendek; - upaya Bank untuk memperoleh dana di pasar uang dengan suku bunga atau tingkat imbalan yang lebih tinggi dari suku bunga wajar (pasar); - ketergantungan pada agunan untuk memperoleh dana; dan/atau - peningkatan pencairan deposito sebelum jatuh tempo. Huruf d Yang dimaksud dengan kredit atau pembiayaan bermasalah adalah apabila memiliki kualitas kurang lancar, diragukan dan macet sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai kualitas aktiva Bank. Huruf e Penilaian terhadap keseluruhan risiko (composite risk) dilakukan secara periodik atau sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai manajemen risiko Bank. Huruf f … - 5 - Huruf f Penilaian peringkat komposit tingkat kesehatan Bank adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank. Huruf g Penilaian peringkat faktor manajemen adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Perhitungan jangka waktu Bank dalam pengawasan intensif paling lama 1 (satu) tahun termasuk jangka waktu penyusunan dan revisi rencana tindak. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “penyelesaian yang bersifat kompleks” antara lain kredit sindikasi dan/atau restrukturisasi kredit secara menyeluruh yang mencakup kegiatan usaha dari hulu sampai dengan hilir. Pasal 5 Termasuk dalam pengertian “langkah-langkah atau tindakan pengawasan yang wajib dilakukan Bank” antara lain tindakan yang diperintahkan Bank Indonesia (mandatory supervisory actions) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Pasal 6 … - 6 - Pasal 6 Pilihan tindakan pengawasan yang akan ditetapkan oleh Bank Indonesia kepada Bank disesuaikan dengan permasalahan Bank. Pasal 7 Huruf a Termasuk “distribusi modal” antara lain pembelian kembali saham Bank, pembayaran deviden dan/atau pembayaran bonus atau yang dipersamakan dengan bonus kepada Direksi dan/atau Dewan Komisaris Bank. Huruf b Yang dimaksud dengan “transaksi tertentu dengan pihak terkait” antara lain pencairan dana, pemberian fasilitas penyediaan dana seperti kredit, surat berharga, letter of credit, standby letter of credit, atau yang sejenis dengan itu. Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai batas maksimum pemberian kredit bagi Bank Umum atau batas maksimum penyaluran dana bagi Bank Umum Syariah. Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah perorangan atau badan hukum tertentu yang bukan pihak terkait. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “ekspansi usaha” antara lain penambahan jaringan kantor, kerjasama pemasaran. Huruf e … - 7 - Huruf e Yang dimaksud dengan ”bentuk lain yang dipersamakan dengan remunerasi” antara lain adalah tunjangan rutin dan tantiem. Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai batas maksimum pemberian kredit bagi Bank Umum atau batas maksimum penyaluran dana bagi Bank Umum Syariah. Huruf f Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 … - 8 - Pasal 13 Ayat (1) Termasuk dalam laporan realisasi ini adalah realisasi pelaksanaan perbaikan permodalan (capital restoration plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Ketentuan mengenai KPMM adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal minimum Bank. Huruf b Yang dimaksud dengan “GWM” adalah Giro Wajib Minimum Primer (Statutory Reserve) bagi Bank Umum atau Giro Wajib Minimum bagi Bank Umum Syariah. Ketentuan mengenai GWM dalam rupiah adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai giro wajib minimum Bank. Yang … - 9 - Yang dimaksud dengan “mengalami permasalahan likuiditas mendasar” antara lain adalah: - perubahan posisi Bank di pasar uang dari posisi pemberi pinjaman (net lender) menjadi posisi penerima pinjaman (net borrower); - posisi arus kas yang semakin buruk sebagai akibat maturity mismatch yang besar, terutama pada skala waktu jangka pendek; - upaya Bank untuk memperoleh dana di pasar uang dengan suku bunga atau tingkat imbalan yang lebih tinggi dari suku bunga wajar (pasar); - ketergantungan pada agunan untuk memperoleh dana; dan/atau - peningkatan pencairan deposito sebelum jatuh tempo. Yang dimaksud dengan “Bank mengalami perkembangan yang memburuk dalam waktu singkat” adalah apabila arah (trend) rasio GWM Bank semakin menurun. Huruf c Cukup jelas. Pasal 16 Cukup Jelas Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 … - 10 - Pasal 18 Ayat (1) Penambahan modal Bank harus menjelaskan sumber dana pemenuhan tambahan modal yang berasal dari pemegang saham Bank dan/atau dari investor baru. Ketentuan mengenai rasio KPMM adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal minimum Bank . Yang dimaksud dengan “rasio KPMM yang ditetapkan oleh Bank Indonesia” adalah rasio KPMM sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal minimum Bank ditambah rasio tertentu untuk mengantisipasi potensi kerugian sesuai profil risiko Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 19 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Angka 1) Termasuk dalam pengertian memiliki adalah: a. pemegang saham yang secara bersama-sama dengan pemegang saham terkait lainnya; b. pemegang saham yang bertindak atas nama pemegang saham lain … - 11 - lain (acting in concert); atau c. pemegang saham yang memiliki hak opsi atau hak lain untuk memiliki saham yang apabila digunakan akan menyebabkan pemegang saham tersebut, memiliki sebesar sama atau lebih dari 10% (sepuluh persen) saham Bank. Angka 2) Ketentuan mengenai pemegang saham pengendali dan pengendalian adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai uji kemampuan dan kepatutan (Fit and Proper Test) Bank. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Tindakan membekukan kegiatan usaha tertentu tersebut dimaksudkan antara lain untuk meminimalisasi dampak kerugian, perlindungan nasabah dan/atau minimalisasi gangguan terhadap stabilitas sistem keuangan. Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha Bank” adalah kegiatan usaha Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, serta Pasal 19 dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Huruf a Yang dimaksud dengan “kondisi Bank semakin memburuk” apabila: a. KPMM … - 12 - a. KPMM Bank menurun dengan cepat dan dinilai tidak dapat ditingkatkan menjadi 8% (delapan persen); dan/atau b. GWM dalam rupiah Bank menurun dengan cepat dan tidak dapat diselesaikan sesuai peraturan yang berlaku. Huruf b Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Laporan struktur kelompok usaha dalam ayat ini memuat pihak perorangan dan/atau badan hukum yang memiliki 10% (sepuluh persen) atau lebih saham badan hukum dimaksud, serta menyebutkan pihak yang menjadi ultimate shareholders. Huruf g … - 13 - Huruf g Yang dimaksud dengan “laporan proyeksi arus kas” adalah laporan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen risiko untuk risiko likuiditas Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pengumuman pada homepage Bank Indonesia dilakukan dengan alamat http://www.bi.go.id Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 14 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Pemberitahuan terhadap otoritas pengawasan berwenang terhadap perusahaan induk dan/atau perusahaan anak Bank dimaksudkan agar otoritas pengawasan yang berwenang terhadap perusahaan induk/perusahaan anak Bank mendapatkan informasi mengenai tindakan Bank Indonesia dan dapat melakukan langkah-langkah antisipasi yang diperlukan. Dalam hal Bank merupakan kantor cabang bank asing maka yang dimaksud dengan perusahaan induk adalah kantor pusat dari kantor cabang bank asing tersebut. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kerjasama” termasuk kerjasama pengawasan Bank secara lintas batas (cross border supervision). Pasal 27 Huruf a Ketentuan mengenai KPMM adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal minimum Bank. Huruf b Yang dimaksud dengan “GWM” adalah Giro Wajib Minimum Primer (Statutory Reserve) bagi Bank Umum atau Giro Wajib Minimum bagi Bank Umum Syariah. Ketentuan … - 15 - Ketentuan mengenai GWM dalam rupiah adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai giro wajib minimum Bank. Huruf c Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Mekanisme pemberitahuan kepada LPS dan batas waktu pengambilan keputusan oleh LPS dituangkan dalam kesepakatan bersama antara Bank Indonesia dengan LPS. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 16 - Ayat (2) Penyelesaian yang dilakukan oleh LPS meliputi antara lain pembayaran klaim penjaminan simpanan dan likuidasi. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Yang dimaksud dengan “larangan turut serta kliring” dalam hal ini termasuk larangan turut serta dalam Sistem BI-RTGS. Pasal 37 Yang dimaksud dengan “berada dalam pengawasan intensif” adalah Bank yang memenuhi kriteria Bank dalam pengawasan intensif sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/27/PBI/2008. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 … - 17 - Pasal 40 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5190 DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 13/3/PBI/2011 </reg_id> <reg_title> PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK </reg_title> <set_date> 17 Januari 2011 </set_date> <effective_date> setelah 3 (tiga) bulan sejak tanggal ditetapkan. </effective_date> <issued_date> 17 Januari 2011 </issued_date> <replaced_reg> '10/27/PBI/2008', '7/38/PBI/2005', '6/9/PBI/2004' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '24/UU/2004', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2009', '3/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 12/ 23 /PBI/2010 TENTANG UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat, melindungi kepentingan stakeholders dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, diperlukan pelaksanaan good corporate governance di industri perbankan; b. bahwa untuk mewujudkan good corporate governance tersebut, industri perbankan perlu dimiliki dan dikelola oleh pihak–pihak yang senantiasa memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan; c. bahwa sejalan dengan perkembangan industri perbankan yang dinamis diperlukan penyempurnaan mekanisme uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon pemilik dan calon pengelola bank maupun dalam melakukan penilaian kembali atas kemampuan dan kepatutan terhadap pemilik dan pengelola yang telah ada; d. bahwa . . . - 2 - d. bahwa agar industri perbankan dimiliki dan dikelola oleh pihak-pihak yang senantiasa memiliki kemampuan dan kepatutan diperlukan pengenaan sanksi yang lebih memberikan efek jera terhadap pemilik dan pengelola yang tidak memenuhi persyaratan; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d di atas, dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit And Proper Test) dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN . . . - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST). BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing. 2. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. 3. 4. Kantor Cabang Bank Asing adalah kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. Kantor Perwakilan Bank Asing adalah kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 5. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disebut dengan PSP adalah badan hukum, orang perseorangan dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham perusahaan atau Bank sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau b. memiliki . . . - 4 - b. memiliki saham perusahaan atau Bank kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian perusahaan atau Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung. 6. Pengendalian adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan, termasuk Bank, dengan cara apapun, baik secara langsung maupun tidak langsung. 7. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut dengan RUPS: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah RUPS sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah Rapat Pemegang Saham/Saham Prioritet dan Rapat Umum Pemegang Saham (Prioritet dan Biasa) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah Rapat Anggota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian. 8. Dewan Komisaris: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian. 9. Direksi . . . - 5 - 9. Direksi: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang–Undang tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian; d. bagi Kantor Cabang Bank Asing adalah pimpinan Kantor Cabang Bank Asing yakni pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang; e. bagi Kantor Perwakilan Bank Asing adalah pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing. 10. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada anggota Direksi atau mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan dan/atau operasional Bank, antara lain kepala divisi, kepala kantor wilayah, kepala kantor cabang, kepala kantor fungsional yang kedudukannya paling kurang setara dengan kepala kantor cabang, kepala satuan kerja manajemen risiko, kepala satuan kerja kepatuhan, dan kepala satuan kerja audit intern dan/atau pejabat lainnya yang setara. 11. Daftar Tidak Lulus yang untuk selanjutnya disebut DTL adalah daftar yang ditatausahakan oleh Bank Indonesia yang memuat pihak–pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan terhadap pemegang saham, pemegang saham pengendali, anggota dewan komisaris, anggota direksi, dan pejabat eksekutif. 12. Tindak . . . - 6 - 12. Tindak Pidana Tertentu adalah tindak pidana asal yang disebut dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang. Pasal 2 (1) Pihak-pihak yang termasuk sebagai pengendali Bank wajib tunduk pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Pihak-pihak yang termasuk sebagai pengendali Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan, badan hukum atau kelompok usaha yang melakukan Pengendalian terhadap Bank, termasuk namun tidak terbatas pada PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan Pejabat Eksekutif Bank. (3) Pengendalian terhadap Bank dapat dilakukan dengan cara-cara, antara lain sebagai berikut: a. memiliki secara sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank; b. secara langsung menjalankan pengelolaan dan/atau mempengaruhi kebijakan Bank; c. memiliki hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham yang apabila digunakan akan menyebabkan pihak tersebut memiliki dan/atau mengendalikan secara sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank; d. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank (acting in concert) dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain, sehingga secara bersama-sama memiliki dan/atau mengendalikan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank, baik langsung maupun tidak langsung dengan atau tanpa perjanjian tertulis; e. melakukan . . . - 7 - e. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank (acting in concert) dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain, sehingga secara bersama-sama mempunyai hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham, yang apabila hak tersebut dilaksanakan menyebabkan pihak-pihak tersebut memiliki dan/atau mengendalikan secara bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank; f. mengendalikan satu atau lebih perusahaan lain yang secara keseluruhan memiliki dan/atau mengendalikan secara bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank; g. mempunyai kewenangan untuk menyetujui dan/atau memberhentikan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi Bank; h. secara tidak langsung mempengaruhi atau menjalankan pengelolaan dan/atau kebijakan Bank; i. melakukan Pengendalian terhadap perusahaan induk; j. melakukan Pengendalian terhadap pihak yang melakukan Pengendalian sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf i. Pasal 3 Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap: a. calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi; b. PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif; dan c. Pihak . . . - 8 - c. Pihak-pihak yang sudah tidak menjadi atau menjabat sebagai pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf b, namun yang bersangkutan ditengarai terlibat atau bertanggung jawab terhadap perbuatan atau tindakan yang sedang dalam proses uji kemampuan dan kepatutan pada Bank atau Kantor Perwakilan Bank Asing. Pasal 4 Pihak–pihak yang sedang menjalani proses hukum dan/atau sedang menjalani proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu bank, tidak dapat diajukan untuk menjadi calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi. BAB II UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP CALON PSP Pasal 5 (1) Untuk menjadi PSP Bank, calon PSP wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (2) Calon PSP yang belum memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia, namun telah memiliki saham Bank, dilarang melakukan tindakan sebagai PSP. Bagian Pertama Faktor Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 6 Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon PSP memenuhi persyaratan: a. integritas; dan b. kelayakan keuangan. Pasal 7 . . . - 9 - Pasal 7 Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi: a. memiliki akhlak dan moral yang baik, antara lain ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan yang berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan Tindak Pidana Tertentu dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan; b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. memiliki komitmen terhadap pengembangan operasional Bank yang sehat; d. tidak termasuk dalam DTL; dan e. memiliki komitmen untuk tidak melakukan dan/atau mengulangi perbuatan dan/atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28, bagi calon PSP yang pernah memiliki predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan dan telah menjalani masa sanksi sebagaimana dimaksud Pasal 35 ayat (1), Pasal 40 ayat (4) huruf a dan Pasal 40 ayat (5). Pasal 8 Persyaratan kelayakan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b antara lain dibuktikan dengan: a. memiliki kemampuan keuangan yang dapat mendukung perkembangan bisnis Bank; b. c. d. tidak memiliki kredit macet; tidak memiliki hutang jatuh tempo dan bermasalah; tidak pernah dinyatakan pailit dan tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota dewan komisaris atau anggota direksi yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan pengadilan dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan; dan e. memiliki . . . - 10 - e. memiliki komitmen kesediaan untuk melakukan upaya-upaya yang diperlukan apabila Bank menghadapi kesulitan permodalan maupun likuiditas. Bagian Kedua Tata Cara Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 9 (1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon PSP diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia. (2) Dalam hal calon PSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pembelian saham Bank melalui program divestasi saham negara dalam rangka penyertaan modal sementara oleh instansi Pemerintah yang berwenang, maka permohonan persetujuan diajukan oleh instansi Pemerintah yang berwenang. Pasal 10 Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan, yang meliputi: a. penelitian administratif; dan b. wawancara. Pasal 11 (1) Dalam hal calon PSP Bank berbentuk badan hukum, uji kemampuan dan kepatutan terhadap badan hukum tersebut dilakukan dengan menilai badan hukum . . . - 11 - hukum yang bersangkutan, anggota dewan komisaris dan anggota direksi badan hukum yang bersangkutan, dan pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia merupakan pemilik dan pengendali terakhir dari badan hukum tersebut (ultimate shareholders). (2) Dalam hal ultimate shareholders adalah pemerintah negara lain, dan hukum di negara yang bersangkutan tidak memperbolehkan ultimate shareholders tersebut memberikan data dan dokumen, Bank Indonesia menetapkan ultimate shareholders lain yang secara langsung dikendalikan oleh pemerintah negara lain tersebut berdasarkan dokumen pendukung yang sah. (3) Pihak–pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menyampaikan persyaratan administratif dan menjalani wawancara. (4) Selain pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia dapat menetapkan pihak-pihak lain yang dianggap melakukan Pengendalian, untuk menyampaikan persyaratan administratif dan/atau menjalani wawancara. (5) Hasil uji kemampuan dan kepatutan terhadap pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) merupakan satu kesatuan dan merupakan hasil uji kemampuan dan kepatutan terhadap badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 12 Dalam hal calon PSP Bank adalah Pemerintah, maka pelaksanaan wawancara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b hanya dilakukan apabila dianggap perlu. Pasal 13 . . . - 12 - Pasal 13 (1) Bank Indonesia berwenang untuk menghentikan uji kemampuan dan kepatutan calon PSP, apabila pada saat uji kemampuan dan kepatutan dilakukan calon tersebut sedang menjalani proses hukum dan/atau sedang menjalani proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu bank. (2) Penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada Bank dan pihak yang diuji. (3) Calon PSP yang dihentikan uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diajukan kembali kepada Bank Indonesia untuk menjadi calon PSP, apabila yang bersangkutan telah selesai menjalani proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Ketiga Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 14 (1) Berdasarkan penelitian administratif dan hasil wawancara yang dilakukan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan menjadi 2 (dua) predikat yaitu: a. Lulus; atau b. Tidak Lulus. (2) Dalam hal calon PSP dinyatakan Tidak Lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b namun telah memiliki saham Bank, maka berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38. Pasal 15 . . . - 13 - Pasal 15 (1) Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah seluruh dokumen permohonan diterima secara lengkap. (2) Bank Indonesia memberitahukan hasil uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis kepada Bank dalam bentuk persetujuan atau penolakan. (3) Selain kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia dapat memberitahukan hasil uji kemampuan dan kepatutan kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan. BAB III UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP CALON ANGGOTA DEWAN KOMISARIS DAN CALON ANGGOTA DIREKSI Pasal 16 (1) Calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum menjalankan tugas dan fungsi dalam jabatannya. (2) Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi Bank yang belum mendapat persetujuan Bank Indonesia dilarang melakukan tugas sebagai anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi walaupun telah mendapat persetujuan dan diangkat oleh RUPS. Bagian . . . - 14 - Bagian Pertama Faktor Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 17 Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi memenuhi persyaratan: a. integritas; b. kompetensi; dan c. reputasi keuangan. Pasal 18 Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a bagi calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi meliputi: a. memiliki akhlak dan moral yang baik, antara lain ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan yang berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan Tindak Pidana Tertentu dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan; b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. memiliki komitmen terhadap pengembangan operasional Bank yang sehat; d. tidak termasuk dalam DTL; dan e. memiliki komitmen untuk tidak akan melakukan dan/atau mengulangi perbuatan dan/atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28, bagi calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi yang pernah memiliki predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan dan telah menjalani masa sanksi sebagaimana dimaksud Pasal 35 ayat (1), Pasal 40 ayat (4) huruf a dan Pasal 40 ayat (5). Pasal 19 . . . - 15 - Pasal 19 Persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b meliputi: a. bagi calon anggota Dewan Komisaris: 1) pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan jabatannya; dan/atau 2) pengalaman di bidang perbankan dan/atau bidang keuangan. b. bagi calon anggota Direksi: 1) pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan jabatannya; 2) pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan/atau bidang keuangan; dan 3) kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan Bank yang sehat. Pasal 20 Persyaratan reputasi keuangan bagi calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c meliputi: a. b. tidak memiliki kredit macet; dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi atau komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan. Bagian . . . - 16 - Bagian Kedua Tata Cara Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 21 (1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia. (2) Dalam hal anggota Direksi Bank yang berwenang untuk mengajukan permohonan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), tidak dapat menjalankan fungsinya atau mempunyai benturan kepentingan dengan Bank, permohonan diajukan oleh: a. anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Bank; b. anggota Dewan Komisaris apabila seluruh anggota Direksi tidak dapat menjalankan fungsinya atau mempunyai benturan kepentingan dengan Bank; atau c. pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS apabila seluruh anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi tidak dapat menjalankan fungsinya atau mempunyai benturan kepentingan dengan Bank. (3) Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi yang diajukan dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak berjumlah 2 (dua) orang untuk setiap lowongan jabatan, dan penetapan calon yang diajukan telah dilakukan sesuai ketentuan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 22 Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1), Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan, yang meliputi: a. penelitian . . . - 17 - a. penelitian administratif; dan b. wawancara, apabila diperlukan. Pasal 23 (1) Bank Indonesia berwenang untuk menghentikan uji kemampuan dan kepatutan calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi Bank, apabila pada saat uji kemampuan dan kepatutan dilakukan calon tersebut sedang menjalani proses hukum dan/atau sedang menjalani proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu bank. (2) Penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada Bank dan pihak yang diuji. (3) Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi Bank yang dihentikan uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diajukan kembali kepada Bank Indonesia untuk menjadi calon anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi Bank, apabila yang bersangkutan telah selesai menjalani proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Ketiga Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 24 (1) Berdasarkan penelitian administratif dan wawancara yang dilakukan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan menjadi 2 (dua) predikat, yaitu: a. Lulus; atau b. Tidak Lulus. (2) Dalam . . . - 18 - (2) Dalam hal calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi yang memperoleh predikat Tidak Lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b namun telah mendapat persetujuan dan diangkat sebagai anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi Bank sesuai keputusan RUPS, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), Pasal 34 ayat (3), Pasal 34 ayat (4), dan Pasal 40. Pasal 25 (1) Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah seluruh dokumen permohonan dari Bank telah diterima secara lengkap. (2) Bank Indonesia memberitahukan hasil uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis kepada Bank dalam bentuk persetujuan atau penolakan. (3) Selain kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia dapat memberitahukan hasil uji kemampuan dan kepatutan kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan. Pasal 26 (1) Terhadap calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi yang telah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), wajib diangkat oleh RUPS paling lambat 6 (enam) bulan setelah tanggal surat persetujuan dari Bank Indonesia. (2) Dalam . . . - 19 - (2) Dalam hal jangka waktu 6 (enam) bulan berakhir dan calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi yang telah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), belum diangkat oleh RUPS, maka persetujuan yang telah diberikan menjadi tidak berlaku. BAB IV UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP PSP, ANGGOTA DEWAN KOMISARIS, ANGGOTA DIREKSI DAN PEJABAT EKSEKUTIF Bagian Pertama Cakupan Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 27 Uji kemampuan dan kepatutan dalam rangka penilaian kembali terhadap PSP dilakukan dalam hal terdapat indikasi permasalahan integritas dan/atau kelayakan keuangan yang meliputi: a. Tindakan-tindakan baik secara langsung maupun tidak langsung berupa: 1) mempengaruhi dan/atau menyuruh anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Pejabat Eksekutif dan/atau pegawai Bank untuk menyembunyikan dan/atau mengaburkan pelanggaran dari suatu ketentuan atau kondisi keuangan dan/atau transaksi yang sebenarnya; 2) mempengaruhi dan/atau menyuruh anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Pejabat Eksekutif dan/atau pegawai Bank untuk memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pemegang saham, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, pegawai, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Bank; dan/atau 3) mempengaruhi . . . - 20 - 3) mempengaruhi dan/atau menyuruh anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Pejabat Eksekutif dan/atau pegawai Bank untuk melakukan perbuatan yang melanggar prinsip kehati–hatian di bidang perbankan dan/atau asas-asas perbankan yang sehat; b. c. terbukti melakukan Tindak Pidana Tertentu yang telah diputus oleh pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap; terbukti menyebabkan Bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha Bank dan/atau dapat membahayakan industri perbankan; d. e. f. terbukti tidak melaksanakan perintah Bank Indonesia untuk melakukan dan/atau tidak melakukan tindakan tertentu; terbukti memiliki kredit macet; terbukti dinyatakan pailit dan/atau menjadi pemegang saham, anggota dewan komisaris atau anggota direksi yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit; g. h. tidak mampu melakukan upaya-upaya yang diperlukan apabila Bank menghadapi kesulitan permodalan maupun likuiditas; atau terbukti menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia dan/atau Pemerintah. Pasal 28 Uji kemampuan dan kepatutan dalam rangka penilaian kembali terhadap anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif dilakukan dalam hal terdapat indikasi permasalahan integritas, kompetensi dan/atau reputasi keuangan yang meliputi: a. tindakan . . . - 21 - a. tindakan-tindakan baik secara langsung maupun tidak langsung berupa: 1) menyembunyikan dan/atau mengaburkan pelanggaran dari suatu ketentuan atau kondisi keuangan dan/atau transaksi yang sebenarnya; 2) memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pemegang saham, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, pegawai, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Bank; dan/atau 3) melanggar prinsip kehati-hatian di bidang perbankan dan asas-asas perbankan yang sehat; b. c. d. e. f. terbukti melakukan Tindak Pidana Tertentu yang telah diputus oleh pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap; terbukti menyebabkan Bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya atau dapat membahayakan industri perbankan; terbukti tidak melaksanakan perintah Bank Indonesia untuk melakukan dan/atau tidak melakukan tindakan tertentu; terbukti memiliki kredit macet; terbukti dinyatakan pailit dan/atau menjadi anggota dewan komisaris atau anggota direksi yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit; g. h. tidak mampu melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan Bank yang sehat; atau terbukti menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia dan/atau Pemerintah. Bagian . . . - 22 - Bagian Kedua Tata Cara Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 29 (1) Uji kemampuan dan kepatutan terhadap PSP dilakukan untuk keseluruhan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) yang terkait dengan PSP yang akan diuji. (2) Hasil uji kemampuan dan kepatutan terhadap PSP dan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu kesatuan dan berlaku bagi PSP dan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap Bank yang terkait dengan PSP yang dinilai tersebut, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. (3) Pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dalam langkah-langkah uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30. Pasal 30 (1) Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan berdasarkan bukti, data dan informasi yang diperoleh dari hasil pengawasan maupun informasi lainnya. (2) Uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. klarifikasi bukti, data dan informasi kepada pihak-pihak yang diuji; b. c. penetapan dan penyampaian hasil sementara uji kemampuan dan kepatutan kepada pihak-pihak yang diuji; tanggapan dari pihak-pihak yang diuji terhadap hasil sementara uji kemampuan dan kepatutan; dan d. penetapan . . . - 23 - d. penetapan dan pemberitahuan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan kepada pihak-pihak yang diuji. (3) Pihak-pihak yang diuji diberikan kesempatan menyampaikan tanggapan atas permintaan klarifikasi bukti, data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal permintaan klarifikasi dari Bank Indonesia. (4) Dalam hal pihak-pihak yang diuji tidak menggunakan hak untuk menyampaikan klarifikasi bukti, data dan informasi dalam jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka Bank Indonesia akan melakukan langkah-langkah penilaian selanjutnya. (5) Pihak-pihak yang diuji diberikan kesempatan menyampaikan tanggapan atas hasil sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal surat Bank Indonesia. (6) Dalam hal pihak-pihak yang diuji tidak menggunakan hak untuk menyampaikan tanggapan terhadap hasil sementara dalam jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), maka Bank Indonesia menetapkan hasil sementara uji kemampuan dan kepatutan menjadi hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan. Pasal 31 Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan secara langsung tanpa mengikuti seluruh langkah–langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2), apabila pihak yang diuji: a. diputus bersalah dalam Tindak Pidana Tertentu yang telah diputus oleh pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; atau b. terbukti . . . - 24 - b. terbukti dinyatakan pailit dan/atau menjadi pemegang saham, anggota dewan komisaris atau anggota direksi yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit. Bagian Ketiga Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 32 (1) Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan menjadi 2 (dua) predikat, yaitu: a. Lulus; atau b. Tidak Lulus. (2) Penetapan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan tingkat keterlibatan pihak-pihak yang diuji. (3) Hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak tanggal surat penetapan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf d. Pasal 33 (1) Bank Indonesia memberitahukan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan secara tertulis kepada Bank dan pihak yang diuji. (2) Selain kepada pihak–pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat memberitahukan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan kepada pihak–pihak lain yang berkepentingan. Bagian . . . - 25 - Bagian Keempat Konsekuensi Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan Pasal 34 (1) Pihak-pihak yang ditetapkan predikat Lulus dinyatakan memenuhi persyaratan untuk tetap menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif. (2) Pihak-pihak yang ditetapkan predikat Tidak Lulus dilarang menjadi: a. PSP atau memiliki saham pada industri perbankan; dan/atau b. anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada industri perbankan. (3) Pengenaan sanksi larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga berlaku bagi pihak-pihak yang pada saat penilaian ditetapkan Tidak Lulus, yang bersangkutan telah menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada bank lain. (4) Terhadap pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku konsekuensi Tidak Lulus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 35 (1) Pengenaan jangka waktu larangan terhadap pihak-pihak yang diberikan predikat Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) ditetapkan: a. selama jangka waktu 3 (tiga) tahun: 1) bagi PSP apabila terbukti melakukan tindakan–tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a angka 3), huruf d, huruf e, huruf g, atau huruf h. 2) bagi . . . - 26 - 2) bagi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan/atau Pejabat Eksekutif apabila terbukti melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a angka 3), huruf d, huruf e, huruf g, atau huruf h. b. selama jangka waktu 5 (lima) tahun: 1) bagi PSP apabila: a) terbukti melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a angka 1) atau angka 2); atau b) terbukti melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a angka 3), huruf d, huruf e, huruf g atau huruf h, dan perbuatan dimaksud: i. dilakukan secara berulang; ii. dilakukan secara kumulatif; atau iii. terbukti menguntungkan diri sendiri maupun pihak lain. 2) bagi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan/atau Pejabat Eksekutif apabila: a) terbukti melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a angka 1) atau angka 2); atau b) terbukti melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a angka 3), huruf d, huruf e, huruf g, atau huruf h dan perbuatan dimaksud: i. dilakukan secara berulang; ii. dilakukan secara kumulatif; atau iii. terbukti menguntungkan diri sendiri maupun pihak lain. c. selama . . . - 27 - c. selama jangka waktu 20 (dua puluh) tahun: 1) bagi PSP apabila terbukti melakukan tindakan–tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf b, huruf c atau huruf f. 2) bagi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan/atau Pejabat Eksekutif apabila terbukti melakukan tindakan–tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b, huruf c atau huruf f. (2) Jangka waktu larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhitung sejak tanggal surat penetapan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf d. Pasal 36 (1) Pihak–pihak yang dilarang menjadi PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf a: a. b. dilarang melakukan tindakan sebagai PSP; tidak dapat menjalankan hak selaku pemegang saham dan saham tersebut tidak diperhitungkan dalam kuorum RUPS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas; dan c. wajib mengalihkan seluruh kepemilikan sahamnya dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan. (2) Bank wajib mencantumkan penjelasan dalam daftar pemegang saham Bank mengenai status PSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal pihak-pihak yang ditetapkan predikat Tidak Lulus adalah PSP dari Bank yang berada dalam penanganan/penyelamatan oleh Lembaga Penjamin . . . - 28 - Penjamin Simpanan, maka jangka waktu kewajiban pengalihan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c mengacu kepada ketentuan yang dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan. (4) Bank Indonesia dapat menetapkan jangka waktu kewajiban pengalihan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c secara tersendiri apabila menurut penilaian Bank Indonesia langkah-langkah dimaksud perlu disesuaikan dengan program penyehatan Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku. (5) Bank wajib melaporkan pengalihan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah RUPS mengesahkan pengalihan kepemilikan saham. Pasal 37 Dalam hal pihak–pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c, ayat (3) dan ayat (4) tidak mengalihkan seluruh kepemilikan sahamnya sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, maka: a. pihak yang bersangkutan wajib menyerahkan surat kuasa menjual kepada Bank Indonesia dengan hak substitusi atau kepada pihak lain yang ditunjuk atau disetujui oleh Bank Indonesia dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak berakhirnya batas waktu pengalihan kepemilikan saham; b. jangka waktu larangan kepada pihak yang bersangkutan ditetapkan menjadi selama 20 (dua puluh) tahun; c. pihak yang bersangkutan diberitahukan kepada Otoritas Pengawasan Pasar Modal; dan d. pembayaran . . . - 29 - d. pembayaran deviden ditunda sampai dengan yang bersangkutan mengalihkan kepemilikan sahamnya. Pasal 38 Bank Indonesia dapat membentuk Komite untuk menangani pengalihan saham PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a. Pasal 39 (1) Perbuatan mengalihkan kepemilikan saham dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c dapat dilakukan melalui hibah maupun melalui penjualan kepada pihak selain pihak yang memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua termasuk kepada kelompok usahanya. (2) Dalam hal pengalihan kepemilikan dilakukan dengan cara mengalihkan saham kepada pihak yang memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau kelompok usaha dari PSP yang ditetapkan predikat Tidak Lulus, maka: a. pengalihan tersebut tidak dianggap sebagai pengalihan kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c; b. Bank dilarang melakukan pencatatan atas pihak-pihak yang menerima pengalihan tersebut dalam daftar pemegang saham Bank; dan c. pihak-pihak yang menerima pengalihan tidak memperoleh hak-haknya sebagai pemegang saham. Pasal 40 . . . - 30 - Pasal 40 (1) Pihak–pihak yang dilarang menjadi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf b: a. dilarang untuk melakukan tindakan sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif; dan b. wajib berhenti sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat Eksekutif. (2) Bank wajib menindaklanjuti konsekuensi Tidak Lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal pemberitahuan dari Bank Indonesia. (3) Bank wajib melaporkan tindaklanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja. (4) Dalam hal anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih melakukan tindakan sebagai Komisaris, Direksi atau Pejabat Eksekutif, maka: a. jangka waktu larangan kepada yang bersangkutan ditetapkan menjadi selama 20 (dua puluh) tahun; dan b. Bank diberitahukan kepada Otoritas Pengawasan Pasar Modal. (5) PSP yang dengan sengaja membiarkan anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi yang Tidak Lulus untuk melakukan tindakan sebagai anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi, diberikan predikat Tidak Lulus dengan jangka waktu larangan selama 20 (dua puluh) tahun. (6) Penetapan . . . - 31 - (6) Penetapan sanksi Tidak Lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (5) didahului dengan surat teguran dari Bank Indonesia sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing surat teguran adalah 5 (lima) hari kerja. Pasal 41 Dalam hal seluruh atau sebagian anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi ditetapkan Tidak Lulus dan menurut penilaian Bank Indonesia kekosongan jabatan Direksi dan/atau Komisaris tersebut dapat mengganggu kegiatan operasional Bank, maka Bank Indonesia menunjuk pengganti sementara sampai RUPS mengangkat pengganti yang tetap sesuai dengan ketentuan perundang–undangan yang berlaku. Bagian Kelima Permohonan Kembali untuk menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi Pasal 42 (1) Pihak-pihak yang dikenakan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) dapat diajukan kembali kepada Bank Indonesia untuk menjadi calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi apabila jangka waktu pengenaan sanksi larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) , Pasal 40 ayat (4) huruf a, dan Pasal 40 ayat (5) telah terlampaui. (2) PSP . . . - 32 - (2) PSP yang berbentuk badan hukum yang dikenakan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) dapat diajukan kembali kepada Bank Indonesia untuk menjadi calon PSP sebelum berakhirnya jangka waktu pengenaan sanksi larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) , Pasal 40 ayat (4) huruf a dan Pasal 40 ayat (5) sepanjang badan hukum yang bersangkutan telah mengganti pihak–pihak yang melakukan Pengendalian terhadap badan hukum dimaksud yang dalam uji kemampuan dan kepatutan memperoleh predikat Tidak Lulus. (3) Penilaian atas permohonan untuk kembali menjadi calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam BAB II dan BAB III Peraturan Bank Indonesia ini. BAB V UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP PEMIMPIN KANTOR PERWAKILAN BANK ASING Pasal 43 (1) Tata cara uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon Pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing, berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam BAB III Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Tata cara uji kemampuan dan kepatutan terhadap Pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam BAB IV Peraturan Bank Indonesia ini. (3) Uji . . . - 33 - (3) Uji kemampuan dan kepatutan terhadap Pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing dilakukan apabila terdapat indikasi bahwa yang bersangkutan memiliki peranan atas pelanggaran atau penyimpangan kegiatan Kantor Perwakilan Bank Asing. BAB VI UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP BANK DALAM PENYELAMATAN/PENANGANAN OLEH LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS) Bagian Pertama Uji Kemampuan dan Kepatutan Terhadap Calon Anggota Dewan Komisaris dan Calon Anggota Direksi Pasal 44 (1) Dalam hal Bank berada dalam penanganan atau penyelamatan oleh LPS, maka uji kemampuan dan kepatutan hanya dilakukan terhadap calon anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi. (2) Permohonan persetujuan calon anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh LPS. Pasal 45 Persyaratan uji kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4, Pasal 16 dan Bagian Pertama BAB III Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 46 . . . - 34 - Pasal 46 Uji kemampuan dan kepatutan calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. penelitian administratif berupa persyaratan tidak tercantum dalam daftar kredit macet dan DTL; b. penelitian administratif lainnya; dan c. wawancara, apabila diperlukan. Pasal 47 (1) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf a pihak yang diuji tidak tercantum dalam daftar kredit macet dan DTL maka Bank Indonesia memberikan persetujuan sementara sehingga pihak yang diuji berwenang menjalankan tugas dan fungsinya sebagai anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi. (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf a pihak yang diuji tercantum dalam daftar kredit macet dan/atau DTL, maka Bank Indonesia tidak memberikan persetujuan sementara dan: a. pihak yang diuji dilarang melakukan tindakan sebagai anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi; dan b. LPS menyampaikan kembali calon anggota Direksi atau calon anggota Dewan Komisaris yang baru. (3) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf a diberitahukan kepada LPS. Pasal 48 . . . - 35 - Pasal 48 (1) Bank wajib menyampaikan dokumen administratif lainnya mengenai pihak-pihak yang diuji paling lambat 1 (satu) bulan setelah persetujuan sementara Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat 1. (2) Dalam rangka melakukan penelitian administratif lainnya dan wawancara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf b dan huruf c, berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan Bagian Ketiga BAB III Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 49 (1) Berdasarkan penelitian administratif lainnya dan wawancara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf b dan huruf c, Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan menjadi 2 (dua) predikat: a. Lulus; atau b. Tidak Lulus (2) Penetapan hasil akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan Bank Indonesia paling lambat 6 (enam) bulan setelah persetujuan sementara. Pasal 50 Bank Indonesia memberitahukan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan secara tertulis kepada Bank, pihak yang diuji dan LPS. Pasal 51 . . . - 36 - Pasal 51 (1) Konsekuensi dari hasil akhir uji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1), berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Bagian Keempat BAB IV Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Dalam hal hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan pihak yang diuji ditetapkan Tidak Lulus, maka hasil persetujuan sementara yang telah diterbitkan menjadi batal terhitung sejak tanggal penetapan Tidak Lulus. Bagian Kedua Uji Kemampuan dan Kepatutan Terhadap Anggota Dewan Komisaris, Anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif Pasal 52 Tata cara uji kemampuan dan kepatutan terhadap anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam BAB IV Peraturan Bank Indonesia ini. BAB VII KETENTUAN LAIN–LAIN Pasal 53 (1) Hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan bersifat rahasia dan ditatausahakan serta digunakan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan Bank. (2) Dalam . . . - 37 - (2) Dalam hal Bank, pihak-pihak yang diuji dan pihak–pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 25, Pasal 33, Pasal 47 dan Pasal 50 memberitahukan hasil uji kemampuan dan kepatutan kepada pihak lain, maka segala akibat hukum yang timbul sepenuhnya menjadi tanggung jawab yang bersangkutan. Pasal 54 (1) Bank wajib melaporkan rencana perubahan struktur kelompok usaha yang terkait dengan Bank termasuk badan hukum pemilik Bank sampai dengan ultimate shareholders kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan sebelum terjadinya perubahan. (2) Dalam hal perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut penilaian Bank Indonesia menyebabkan perubahan pengendali Bank atau apabila menurut penilaian Bank Indonesia terdapat pengendali Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka Bank wajib mengajukan calon PSP dan Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur dalam BAB II Peraturan Bank Indonesia ini. (3) Uji kemampuan dan kepatutan terhadap pengendali Bank yang disebabkan karena adanya perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan satu kesatuan dan merupakan hasil uji kemampuan dan kepatutan terhadap kelompok usaha. Pasal 55 Bank Indonesia berwenang menolak perubahan pengendali Bank, apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia perubahan tersebut dapat menyebabkan atau diindikasikan dapat menghambat pelaksanaan pengawasan Bank. Pasal 56 . . . - 38 - Pasal 56 Bank wajib mengungkapkan penjelasan mengenai status PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) dalam Laporan Keuangan Publikasi Bank Triwulanan dan Laporan Tahunan Bank. Pasal 57 Calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi selain wajib memenuhi persyaratan integritas, kompetensi, dan kelayakan/reputasi keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, juga wajib memenuhi persyaratan mengenai kepemilikan dan kepengurusan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku beserta perubahan dan/atau penggantinya. BAB VIII SANKSI Pasal 58 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2), Pasal 39 ayat (2) huruf b, atau Pasal 40 ayat (2), dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 ayat (2) Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa: a. teguran tertulis; dan/atau b. pemberhentian . . . - 39 - b. pemberhentian sebagai anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi Bank dan selanjutnya Bank Indonesia menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai RUPS mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Bank Indonesia. (2) Bank yang melanggar kewajiban menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5), Pasal 40 ayat (3) atau Pasal 54 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar: a. Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kelambatan untuk setiap laporan dengan jumlah paling tinggi Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) apabila Bank belum menyampaikan laporan sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja setelah batas waktu penyampaian laporan; atau b. Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) apabila Bank tidak menyampaikan atau menyampaikan laporan melebihi batas waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah batas waktu penyampaian laporan. (3) Pemegang saham yang dengan sengaja tidak menaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 36 ayat (1) huruf a, Pasal 37 huruf a atau Pasal 40 ayat (5), dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. (4) Anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan/atau Pejabat Eksekutif yang dengan sengaja tidak menaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) atau Pasal 40 ayat (1) dikenakan sanksi sesuai Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB IX . . . - 40 - BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 59 (1) Hasil uji kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku. (2) Terhadap pihak yang ditetapkan Lulus Bersyarat berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 5/25/PBI/2003 tanggal 10 November 2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) maka yang bersangkutan dinyatakan Lulus sepanjang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia No. 5/25/PBI/2003 tanggal 10 November 2003. (3) Terhadap uji kemampuan dan kepatutan bagi calon PSP atau PSP, calon anggota Dewan Komisaris atau anggota Dewan Komisaris, calon anggota Direksi atau anggota Direksi, dan/atau Pejabat Eksekutif yang sedang dilakukan pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka: a. proses penilaian dan hasil penilaian tetap mengacu kepada PBI No. 5/25/PBI/2003 tanggal 10 Nopember 2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test). b. dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah Lulus Bersyarat, maka yang bersangkutan dinyatakan Lulus setelah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam PBI No. 5/25/PBI/2003 tanggal 10 Nopember 2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test). c. dalam . . . - 41 - c. dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah Lulus atau Tidak Lulus, maka konsekuensi dan pengenaan jangka waktu sanksi mengacu kepada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 60 Pihak–pihak yang berasal dari Bank Umum dan telah dinyatakan sebagai pihak–pihak yang Tidak Lulus berdasarkan PBI No. 5/25/PBI/2003 tanggal 10 Nopember 2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test), tetap dilarang menjadi Pemegang Saham, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi sampai dengan jangka waktu pelarangan berakhir. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 61 Ketentuan pelaksanaan tentang uji kemampuan dan kepatutan akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 62 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/25/PBI/2003 tanggal 10 November 2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 63 . . . - 42 - Pasal 63 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 12/ 23 /PBI/2010 TENTANG UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) UMUM Upaya menciptakan sistem perbankan yang sehat, selain ditempuh dengan cara perbaikan kondisi keuangan perbankan, juga ditempuh dengan cara pemantapan sistem perbankan yang mengarahkan perbankan kepada praktek-praktek good corporate governance serta pemenuhan prinsip kehati-hatian. Bank sebagai lembaga intermediasi setiap saat harus mempertahankan dan menjaga kepercayaan, oleh karena itu lembaga perbankan perlu dimiliki dan dikelola oleh pihak-pihak yang memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan. Perkembangan industri perbankan yang dinamis membutuhkan pemilik yang selain memiliki integritas juga memiliki komitmen dan kemampuan yang tinggi dalam mendukung pengembangan operasional bank yang sehat. Selain itu dalam pengelolaan bank diperlukan sumber daya manusia yang memiliki integritas yang tinggi, berkualitas dan memiliki reputasi keuangan yang baik. Sehubungan . . . - 2 - Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan proses uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon pemilik dan calon pengelola bank melalui penelitian administratif yang lebih efektif dan proses wawancara yang lebih efisien, dengan tetap memperhatikan pemenuhan persyaratan yang ditetapkan. Selanjutnya sebagai pelaksanaan tugas pengawasan Bank oleh Bank Indonesia secara berkesinambungan, terhadap pihak–pihak yang telah mendapat persetujuan dari Bank Indonesia, dilakukan penilaian kembali atas kemampuan dan kepatutannya sebagai pemilik dan pengelola Bank. Dalam rangka melindungi industri bank dari pihak-pihak yang diindikasikan tidak memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan, penilaian kembali dilakukan melalui proses yang lebih singkat dan transparan tanpa mengabaikan azas keadilan bagi pihak yang diuji. Mengingat tujuan uji kemampuan dan kepatutan adalah agar industri perbankan senantiasa dimiliki dan dikelola oleh pihak-pihak yang memenuhi persyaratan maka sudah menjadi keharusan untuk tidak memberikan ruang bagi pihak yang melakukan tindakan yang diindikasikan tidak memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan. Berkaitan dengan hal tersebut diperlukan penyempurnaan ketentuan yang berkaitan dengan pengenaan sanksi yang lebih tegas dan dapat memberikan efek jera terhadap pihak yang tidak mampu dan tidak patut dalam memiliki dan mengelola bank. Berdasarkan hal–hal tersebut di atas, ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (Fit and Proper Test) perlu dilakukan penyempurnaan dalam suatu ketentuan tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test). PASAL . . . - 3 - PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud pihak pihak yang termasuk sebagai pengendali Bank termasuk pihak pihak yang menjadi pengendali akibat dari berlakunya peraturan perundangan terkait lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam menghitung jumlah saham yang dimiliki dan/atau dikendalikan secara bersama-sama oleh pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap Bank, termasuk: a. saham Bank yang dimiliki oleh pihak lain yang hak suaranya dapat digunakan atau dikendalikan oleh pengendali Bank; b. saham Bank yang dimiliki oleh perusahaan yang dikendalikan oleh pengendali Bank; c. saham Bank yang dimiliki oleh pihak terafiliasi dari pengendali Bank; d. saham Bank yang dimiliki oleh anak perusahaan dari perusahaan yang dikendalikan oleh pengendali Bank; e. saham . . . - 4 - e. saham Bank yang dimiliki oleh pihak lain untuk dan atas nama pengendali Bank (saham nominee) berdasarkan atau tidak berdasarkan suatu perjanjian tertentu; f. saham Bank yang dimiliki oleh pihak lain yang pemindahtanganannya memerlukan persetujuan dari pengendali Bank; g. saham Bank lainnya selain saham sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf f, yang dikendalikan oleh pengendali Bank. Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi dari pengendali Bank sebagaimana dimaksud pada huruf c adalah: a. anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau yang setara atau kuasanya, pejabat, atau karyawan perusahaan pengendali Bank; b. pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat atau karyawan perusahaan pengendali Bank, khusus bagi perusahaan yang berbentuk hukum koperasi; c. pihak yang memberikan jasa kepada perusahaan pengendali Bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lain yang terbukti dikendalikan oleh pengendali Bank; d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga dengan pengendali Bank baik karena perkawinan maupun karena keturunan sampai dengan derajat kedua baik secara horizontal maupun vertikal, termasuk besan; e. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan perusahaan pengendali Bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, dan keluarga pengurus. Huruf a . . . - 5 - Huruf a Bank dapat memiliki 1 (satu) atau lebih PSP. Termasuk dalam pengertian calon PSP antara lain adalah pemegang saham yang menjadi PSP karena terjadinya pengalihan saham Bank secara internal atau eksternal, penambahan modal dari pemegang saham Bank, right issue saham Bank dan/atau pengajuan diri secara sukarela menjadi PSP. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Pasal 3 . . . - 6 - Pasal 3 Huruf a Calon anggota Direksi Bank yang hanya bertanggungjawab terhadap Unit Usaha Syariah, tunduk kepada ketentuan mengenai Uji Kemampuan dan Kepatutan pada Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pihak–pihak yang dimaksud pada huruf ini adalah pihak-pihak yang sudah tidak berada pada Bank atau Kantor Perwakilan Bank Asing dimana perbuatannya menjadi objek uji kemampuan dan kepatutan dilakukan, termasuk yang sudah keluar dari industri perbankan. Pasal 4 Yang dimaksud dengan bank dalam Pasal ini adalah bank umum atau BPR baik konvensional maupun syariah. Yang dimaksud dengan proses hukum pada ayat ini adalah proses penyidikan atau peradilan dalam perkara Tindak Pidana Tertentu. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) . . . - 7 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan telah memiliki saham Bank termasuk kepemilikan saham yang diperoleh melalui transaksi di bursa efek, hibah atau waris. Yang dimaksud belum memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia adalah calon PSP yang belum memperoleh predikat Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan. Yang dimaksud dengan tindakan sebagai PSP pada ayat ini antara lain adalah mempengaruhi kebijakan Bank, hadir dan/atau memberikan suara dalam RUPS dalam kapasitas sebagai PSP. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Persyaratan integritas pihak yang diuji didasarkan antara lain dari catatan administrasi Bank Indonesia, predikat hasil uji kemampuan dan kepatutan yang pernah diberikan kepada yang bersangkutan, atau pihak yang pernah mendapat predikat Tidak Lulus namun telah disetujui oleh Bank Indonesia untuk kembali menjadi PSP. Huruf a Penilaian terhadap kriteria pada huruf ini dilakukan antara lain berdasarkan informasi yang diperoleh Bank Indonesia atau informasi yang diketahui oleh umum, bahwa yang bersangkutan pernah dihukum karena melakukan Tindak Pidana Tertentu dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan. Yang . . . - 8 - Yang dimaksud dengan sebelum dicalonkan adalah terhitung sejak tanggal surat permohonan Bank kepada Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 8 Huruf a Penilaian terhadap kriteria pada huruf ini dilakukan antara lain berdasarkan analisa kemampuan keuangan pada saat ini dan proyeksinya untuk jangka waktu paling kurang 3 (tiga) tahun yang disusun oleh konsultan independen. Huruf b Yang dimaksud dengan kredit macet pada huruf ini adalah: 1) kredit macet yang tercantum dalam Sistem Informasi Debitur; dan/atau 2) kredit macet yang belum dilaporkan oleh bank dalam Sistem Informasi Debitur, namun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Bank Indonesia, kredit tersebut telah memenuhi kriteria yang tergolong macet sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kualitas aktiva. Dalam . . . - 9 - Dalam pengertian memiliki kredit macet adalah apabila calon PSP: 1) mempunyai kredit macet; dan/atau 2) merupakan pengendali, anggota dewan komisaris (pengawas), atau anggota direksi (pengurus) dari badan hukum yang mempunyai kredit macet. Huruf c Yang dimaksud dengan hutang jatuh tempo dan bermasalah pada huruf ini adalah hutang yang telah jatuh tempo dan tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukan restrukturisasi. Dalam pengertian memiliki hutang jatuh tempo dan bermasalah adalah apabila calon PSP: 1) mempunyai hutang jatuh tempo dan/atau bermasalah; dan/atau 2) merupakan pengendali, anggota dewan komisaris (pengawas), atau anggota direksi (pengurus) dari badan hukum yang mempunyai hutang jatuh tempo dan/atau bermasalah, baik dalam industri perbankan maupun diluar industri perbankan. Huruf d Yang dimaksud dengan sebelum dicalonkan adalah terhitung sejak tanggal surat permohonan Bank kepada Bank Indonesia. Huruf e Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon PSP diajukan oleh anggota Direksi. Ayat (2) . . . - 10 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Huruf a Penelitian administratif meliputi antara lain penelitian dokumen persyaratan administratif sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan yang berlaku, catatan administrasi Bank Indonesia, penelitian kemampuan dan kelayakan keuangan, serta struktur kepemilikan calon PSP. Penelitian terhadap catatan administrasi Bank Indonesia termasuk penelitian terhadap pihak yang pernah mendapat predikat Tidak Lulus, namun dalam uji kemampuan dan kepatutan kembali telah dinilai memenuhi persyaratan untuk kembali menjadi PSP. Huruf b Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Dalam hal badan hukum pemegang saham Bank dimiliki dan dikendalikan oleh badan hukum lain secara berjenjang dalam suatu kelompok usaha maka pemegang saham pengendali terakhir (ultimate shareholders) adalah perorangan atau badan hukum yang secara langsung ataupun tidak langsung memiliki saham Bank dan merupakan pengendali terakhir keseluruhan struktur kelompok usaha yang mengendalikan Bank. Badan . . . - 11 - Badan hukum terakhir dalam keseluruhan struktur kelompok usaha ditetapkan sebagai ultimate shareholders apabila badan hukum tersebut tidak memiliki pengendali. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 12 Yang dimaksud dengan Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia, baik tingkat Pusat maupun Daerah. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan telah selesai menjalani proses hukum adalah apabila yang bersangkutan telah mendapatkan: 1) Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3); atau 2) Putusan . . . - 12 - 2) Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Yang dimaksud dengan telah selesai menjalani proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu bank adalah apabila yang bersangkutan telah mendapatkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Calon PSP yang memperoleh predikat Lulus dinyatakan memenuhi persyaratan untuk menjadi PSP pada Bank dimaksud. Huruf b Calon PSP yang memperoleh predikat Tidak Lulus dinyatakan tidak memenuhi persyaratan menjadi PSP pada Bank dimaksud. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “persetujuan” adalah predikat Lulus yang diberikan kepada pihak yang diuji, sedangkan yang dimaksud dengan “penolakan” adalah predikat Tidak Lulus yang diberikan kepada pihak yang diuji. Ayat (3) . . . - 13 - Ayat (3) Pihak-pihak lain yang berkepentingan pada ayat ini antara lain adalah Pemerintah dan/atau Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan tugas dan fungsi dalam jabatannya adalah bertindak mewakili Bank dalam membuat keputusan yang secara hukum mengikat Bank dan/atau mengambil keputusan penting yang mempengaruhi kondisi keuangan Bank. Ayat (2) Yang dimaksud belum mendapat persetujuan Bank Indonesia adalah anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi Bank yang belum memperoleh predikat Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Persyaratan integritas pihak yang diuji didasarkan antara lain dari catatan administrasi Bank Indonesia, predikat hasil uji kemampuan dan kepatutan yang pernah diberikan kepada yang bersangkutan, atau pihak yang pernah mendapat predikat Tidak Lulus namun telah disetujui oleh Bank Indonesia untuk kembali menjadi anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi. Huruf a . . . - 14 - Huruf a Penilaian terhadap kriteria pada huruf ini dilakukan antara lain berdasarkan informasi yang diperoleh Bank Indonesia atau informasi yang diketahui oleh umum, bahwa yang bersangkutan pernah dihukum karena melakukan Tindak Pidana Tertentu dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan. Yang dimaksud dengan sebelum dicalonkan adalah terhitung sejak tanggal surat permohonan Bank kepada Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 19 Huruf a Angka 1) Yang dimaksud dengan pengetahuan di bidang perbankan antara lain meliputi pengetahuan tentang peraturan dan operasional Bank termasuk pengetahuan/pemahaman mengenai manajemen risiko. Angka 2) . . . - 15 - Angka 2) Yang dimaksud pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan/atau bidang keuangan antara lain adalah pengalaman dan keahlian di bidang operasional, pemasaran, akuntansi, audit, pendanaan, perkreditan, pasar uang, pasar modal, hukum atau pengalaman dan keahlian dibidang pengawasan perbankan dan/atau keuangan. Huruf b Angka 1) Yang dimaksud dengan pengetahuan di bidang perbankan antara lain meliputi pengetahuan tentang peraturan dan operasional Bank termasuk pengetahuan/pemahaman mengenai manajemen risiko. Angka 2) Yang dimaksud pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan/atau bidang keuangan antara lain adalah pengalaman dan keahlian di bidang operasional, pemasaran, akuntansi, audit, pendanaan, perkreditan, pasar uang, pasar modal, hukum atau pengalaman dan keahlian dibidang pengawasan perbankan dan/atau keuangan. Selain itu, persyaratan pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan/atau bidang keuangan bagi anggota Direksi harus mempertimbangkan bahwa mayoritas (lebih dari 50%) anggota Direksi wajib berpengalaman dalam operasional Bank paling kurang 5 (lima) tahun sebagai Pejabat Eksekutif. Angka 3) . . . - 16 - Angka 3) Yang dimaksud dengan kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis antara lain kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan dan perbankan, menginterpretasikan visi, misi Bank dan analisa situasi industri perbankan. Pasal 20 Huruf a Yang dimaksud dengan kredit macet pada huruf ini adalah: 1) kredit macet yang tercantum dalam Sistem Informasi Debitur; dan/atau 2) kredit macet yang belum dilaporkan oleh bank dalam Sistem Informasi Debitur, namun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Bank Indonesia, kredit tersebut telah memenuhi kriteria yang tergolong macet sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kualitas aktiva. Dalam pengertian memiliki kredit macet adalah apabila calon anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi: 1) mempunyai kredit macet; dan/atau 2) merupakan pengendali, anggota dewan komisaris (pengawas), atau anggota direksi (pengurus) dari badan hukum yang mempunyai kredit macet. Huruf b Yang dimaksud dengan sebelum dicalonkan adalah terhitung sejak tanggal surat permohonan Bank kepada Bank Indonesia. Pasal 21 . . . - 17 - Pasal 21 Ayat (1) Dalam hal seluruh atau mayoritas saham Bank dimiliki oleh Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, atau lembaga lain yang diberikan tugas oleh Pemerintah untuk menyelamatkan Bank, maka permohonan persetujuan calon anggota Dewan Komisaris /calon anggota Direksi Bank dapat diajukan oleh Pemerintah atau instansi yang mewakili. Ayat (2) Yang dimaksud dengan benturan kepentingan adalah apabila terdapat benturan kepentingan antara anggota Direksi yang berwenang mengajukan permohonan dengan Bank. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan ketentuan perundang–undangan yang berlaku antara lain peraturan perundang-undangan tentang Perseroan Terbatas dan tentang Ketenagakerjaan. Pasal 22 . . . - 18 - Pasal 22 Huruf a Penelitian administratif meliputi antara lain penelitian dokumen persyaratan administratif sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan yang berlaku, catatan administrasi Bank Indonesia serta penelitian reputasi keuangan calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi Bank. Huruf b Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan telah selesai menjalani proses hukum adalah apabila yang bersangkutan telah mendapatkan: 1) Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3); atau 2) Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Yang dimaksud dengan telah selesai menjalani proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu bank adalah apabila yang bersangkutan telah mendapatkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan. Pasal 24 . . . - 19 - Pasal 24 Ayat (1) Huruf a Calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi yang memperoleh predikat Lulus dinyatakan memenuhi persyaratan untuk menjadi anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi Bank dimaksud. Huruf b Calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi yang memperoleh predikat Tidak Lulus dinyatakan tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi Bank dimaksud. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “persetujuan” adalah predikat Lulus yang diberikan kepada pihak yang diuji, sedangkan yang dimaksud dengan “penolakan” adalah predikat Tidak Lulus yang diberikan kepada pihak yang diuji. Ayat (3) Pihak-pihak lain yang berkepentingan pada ayat ini antara lain adalah Pemerintah dan/atau Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal 26 . . . - 20 - Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Huruf a Yang dimaksud dengan “pegawai” adalah setiap orang yang bekerja dan tercatat dalam administrasi kepegawaian Bank. Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) Yang dimaksud dengan merugikan atau mengurangi keuntungan Bank adalah merugikan atau mengurangi keuntungan dalam bentuk keuangan. Angka 3) Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan menyebabkan Bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha Bank atau dapat membahayakan industri perbankan, antara lain adalah: 1) memanfaatkan Bank untuk membiayai kepentingan sendiri atau kelompok usahanya; dan/atau 2) melanggar ketentuan dan/atau komitmen kepada Bank Indonesia atau Pemerintah, yang . . . - 21 - yang menyebabkan Bank ditempatkan dalam pengawasan intensif atau khusus, diambilalih Pemerintah/Lembaga Penjamin Simpanan, dibekukan kegiatan usahanya dan/atau dicabut ijin usahanya. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan kredit macet pada huruf ini adalah: 1) 2) kredit macet yang tercantum dalam Sistem Informasi Debitur; dan/atau kredit macet yang belum dilaporkan oleh bank dalam Sistem Informasi Debitur, namun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Bank Indonesia, kredit tersebut telah memenuhi kriteria yang tergolong macet sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kualitas aktiva. Dalam pengertian memiliki kredit macet adalah apabila PSP: 1) mempunyai kredit macet; dan/atau 2) merupakan pengendali, anggota dewan komisaris (pengawas), atau anggota direksi (pengurus) dari badan hukum yang mempunyai kredit macet. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 28 . . . - 22 - Pasal 28 Huruf a Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) Yang dimaksud dengan “pegawai” adalah setiap orang yang bekerja dan tercatat dalam administrasi kepegawaian Bank. Yang dimaksud dengan “merugikan atau mengurangi keuntungan Bank” adalah merugikan atau mengurangi keuntungan dalam bentuk keuangan. Angka 3) Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan menyebabkan Bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha Bank atau dapat membahayakan industri perbankan, antara lain adalah: 1) memanfaatkan Bank untuk membiayai kepentingan sendiri atau kelompok usahanya; dan/atau 2) melanggar ketentuan dan/atau komitmen kepada Bank Indonesia atau Pemerintah, yang menyebabkan Bank ditempatkan dalam pengawasan intensif atau khusus, diambilalih Pemerintah/Lembaga Penjamin Simpanan, dibekukan kegiatan usahanya dan/atau dicabut ijin usahanya. Huruf d . . . - 23 - Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan kredit macet pada huruf ini adalah: 1) kredit macet yang tercantum dalam Sistem Informasi Debitur; dan/atau 2) kredit macet yang belum dilaporkan oleh bank dalam Sistem Informasi Debitur, namun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Bank Indonesia, kredit tersebut telah memenuhi kriteria yang tergolong macet sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kualitas aktiva. Dalam pengertian memiliki kredit macet adalah apabila anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi: 1) mempunyai kredit macet; dan/atau 2) merupakan pengendali, anggota dewan komisaris (pengawas), atau anggota direksi (pengurus) dari badan hukum yang mempunyai kredit macet. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Penilaian didasarkan pada tugas dan tanggung jawab dari setiap anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi, sesuai uraian tugas yang ada pada Bank yang bersangkutan. Yang . . . - 24 - Yang dimaksud dengan kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis antara lain adalah kemampuan untuk menginterpretasikan visi dan misi Bank, mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan dan perbankan, menganalisa situasi industri perbankan dan sektor-sektor industri yang dibiayai. Huruf h Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud satu kesatuan dan berlaku bagi PSP dan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian adalah apabila PSP diberikan predikat Tidak Lulus, maka keseluruhan pihak-pihak yang melakukan Pengendalian yang terkait dengan PSP juga diberikan predikat Tidak Lulus. Ketentuan ini dimaksudkan agar masing-masing anggota PSP dapat bertindak independen terhadap anggota yang lain dalam kelompok PSP. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) . . . - 25 - Ayat (2) Huruf a Pelaksanaan klarifikasi dengan pihak–pihak yang diuji dapat dilakukan melalui tatap muka yang dilengkapi dengan berita acara dan/atau melalui surat. Huruf b Hasil sementara uji kemampuan dan kepatutan yang disampaikan kepada pihak–pihak yang diuji memuat predikat hasil sementara uji kemampuan dan kepatutan beserta alasannya. Huruf c Penyampaian tanggapan dari pihak-pihak yang diuji dilakukan secara tertulis disertai dengan bukti-bukti pendukung yang relevan. Huruf d Hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan disampaikan secara tertulis, dengan memuat predikat hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan beserta alasannya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan tidak menggunakan hak pada ayat ini adalah termasuk penyampaian klarifikasi yang tidak disertai dengan bukti pendukung yang relevan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) . . . - 26 - Ayat (6) Yang dimaksud dengan tidak menggunakan hak pada ayat ini termasuk menyampaikan tanggapan namun tidak disertai dengan bukti-bukti pendukung yang relevan. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Tingkat keterlibatan pihak-pihak yang diuji didasarkan atas peranan masing–masing pihak yang diuji terhadap tindakan pelanggaran yang dilakukan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pihak-pihak lain yang berkepentingan pada ayat ini antara lain adalah pemegang saham termasuk pemegang saham pengendali. Pasal 34 . . . - 27 - Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku pada ayat ini adalah ketentuan yang mengatur tentang uji kemampuan dan kepatutan bagi bank umum atau BPR baik konvensional maupun syariah bank umum, bank syariah dan BPR. Pasal 35 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1) Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Huruf i Cukup jelas. Huruf ii . . . - 28 - Huruf ii Yang dimaksud dengan kumulatif pada huruf ini adalah gabungan paling kurang dari 2 (dua) perbuatan Pasal 27 huruf a angka 3), huruf d, huruf e, huruf g dan/atau huruf h. Huruf iii Cukup jelas. Angka 2) Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Huruf i Cukup jelas. Huruf ii Yang dimaksud dengan kumulatif pada huruf ini adalah gabungan paling kurang dari 2 (dua) perbuatan Pasal 28 huruf a angka 3), huruf d, huruf e, huruf g dan/atau huruf h. Huruf iii Cukup jelas. Huruf b Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) Cukup jelas. Huruf c . . . - 29 - Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan hak selaku pemegang saham pada huruf ini misalnya, hak untuk menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS namun tidak termasuk hak untuk menerima deviden yang dibagikan. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “penjelasan dalam daftar pemegang saham Bank” adalah penjelasan mengenai status PSP yang mempunyai predikat Tidak Lulus sehingga saham yang dimiliki oleh PSP tersebut menjadi tidak memiliki hak suara dalam RUPS dan tidak diperhitungkan dalam kuorum, sampai dengan saham dimaksud dialihkan kepada pihak lain. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) . . . - 30 - Ayat (4) Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku adalah ketentuan yang mengatur mengenai Tindaklanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 37 Huruf a Surat kuasa menjual pada ayat ini paling kurang memuat klausula memberikan kuasa kepada penerima kuasa untuk menjual atau mengalihkan saham kepada pihak lain. Selain surat kuasa, pemberi kuasa memberikan surat pernyataan kepada Bank Indonesia yang paling kurang memuat: 1) menerima segala keputusan pengalihan saham yang dilakukan oleh penerima kuasa; dan 2) membebaskan penerima kuasa atas segala akibat hukum yang timbul dari penjualan atau pengalihan saham dimaksud. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Ketentuan ini hanya berlaku bagi Bank yang telah go public. Huruf d Cukup jelas. Pasal 38 . . . - 31 - Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua adalah hubungan baik vertikal maupun horizontal, termasuk mertua, menantu, dan ipar, meliputi: 1. Orang tua kandung/tiri/angkat; 2. Saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istrinya; 3. Anak kandung/tiri/angkat; 4. Kakek/nenek kandung/tiri/angkat; 5. Cucu kandung/tiri/angkat; 6. Saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami atau istrinya; 7. Suami/istri; 8. Mertua; 9. Besan; 10. Suami/istri dari anak kandung/tiri/angkat; 11. Kakek/nenek dari suami/istri; 12. Suami/istri dari cucu kandung/tiri/angkat; 13. Saudara kandung/tiri/angkat dari suami/istri beserta suami atau istrinya. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b . . . - 32 - Huruf b Larangan pencatatan atas kepemilikan saham tidak mempengaruhi pencatatan akuntansi maupun pencatatan modal Bank sampai dengan yang bersangkutan mengalihkan sahamnya. Huruf c Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan melakukan tindakan sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada ayat ini adalah bertindak mewakili Bank dalam membuat keputusan yang secara hukum mengikat Bank dan/atau mengambil keputusan yang mempengaruhi kondisi keuangan Bank. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan tindaklanjut yang harus dilakukan Bank pada ayat ini antara lain adalah penyelenggaraan RUPS. Ayat (3) Jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja antara lain terhitung sejak penyelenggaraan RUPS. Ayat (4) . . . - 33 - Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Ketentuan ini hanya berlaku bagi Bank yang telah go public. Ayat (5) Dengan diberikannya predikat Tidak Lulus bagi PSP maka berlaku konsekuensi Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf a. Ayat (6) Penetapan sanksi Tidak Lulus pada ayat ini dilakukan secara langsung tanpa mengikuti langkah-langkah penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2). Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penggantian pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap badan hukum dimaksud harus dibuktikan dengan dokumen yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 43 . . . - 34 - Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Terhadap LPS sebagai calon PSP tidak dilakukan uji kemampuan dan kepatutan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan melakukan tindakan sebagai anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi pada ayat ini adalah bertindak mewakili Bank dalam membuat keputusan yang secara hukum mengikat Bank dan/atau mengambil keputusan yang penting yang mempengaruhi kondisi keuangan Bank. Huruf b . . . - 35 - Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) . . . - 36 - Ayat (2) Bank Indonesia tidak bertanggung jawab terhadap penyalahgunaan data yang telah diberikan kepada anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi dan pihak-pihak lain yang berkepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 25, Pasal 33, Pasal 47 dan Pasal 50. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Dalam hal pihak pengendali berbentuk badan hukum maka pihak yang diuji adalah badan hukum dan pengurus badan hukum tersebut. Yang dimaksud dengan menghambat pelaksanaan pengawasan Bank antara lain apabila Bank Indonesia mengalami atau melihat potensi adanya kesulitan untuk mengakses data dan informasi termasuk informasi sumber keuangan pengendali Bank. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 . . . - 37 - Pasal 57 Yang dimaksud dengan ketentuan mengenai kepemilikan dan kepengurusan yang berlaku dalam ayat ini antara lain adalah ketentuan mengenai bank umum, tata cara pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar negeri, pembelian saham bank umum, dan merger, konsolidasi dan akusisi bank, fungsi kepatuhan, tenaga kerja asing, dan pelaksanaan good corporate governance. Pasal 58 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar, tidak menghilangkan kewajiban Bank untuk menyampaikan laporan. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 59 . . . - 38 - Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 12/23/PBI/2010 </reg_id> <reg_title> UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) </reg_title> <replaced_reg> '5/25/PBI/2003' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
- 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 4/ 1/PBI/2002 TENTANG PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK UMUM KONVENSIONAL MENJADI BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DAN PEMBUKAAN KANTOR BANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH OLEH BANK UMUM KONVENSIONAL GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan jasa pelayanan perbankan syariah yang semakin meningkat, diperlukan jaringan kantor bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah mudah dijangkau; yang lebih luas dan b. bahwa ketentuan mengenai Bank Umum yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah yang saat ini berlaku perlu disempurnakan untuk mendorong perkembangan jaringan kantor bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional dalam suatu Peraturan Bank Indonesia tersendiri; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang … - 2 - 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); M E M U T U S K A N Menetapkan : PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK UMUM KONVENSIONAL MENJADI BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DAN PEMBUKAAN KANTOR BANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH OLEH BANK UMUM KONVENSIONAL BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional; 2. Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah adalah kegiatan usaha perbankan yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998; 3. Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998; 4. Kantor Cabang adalah kantor Bank yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas dimana Kantor Cabang tersebut melakukan usahanya; 5. Unit … - 3 - 5. Unit Usaha Syariah adalah unit kerja di kantor pusat Bank yang berfungsi sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah; 6. Kantor Cabang Syariah adalah Kantor Cabang Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; 7. Kantor di bawah Kantor Cabang adalah Kantor Cabang Pembantu atau Kantor Kas yang kegiatan usahanya membantu Kantor Cabang induknya; 8. Kantor di bawah Kantor Cabang Syariah adalah Kantor Cabang Pembantu Syariah atau Kantor Kas Syariah yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dalam rangka membantu Kantor Cabang Syariah induknya; 9. Unit Syariah adalah satuan kerja khusus dari Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu Bank yang kegiatan usahanya melakukan penghimpunan dana, penyaluran dana, dan pemberian jasa perbankan lainnya Berdasarkan Prinsip Syariah dalam rangka persiapan perubahan menjadi Kantor Cabang Syariah; 10. Kegiatan Kas di luar Kantor Bank adalah kegiatan pelayanan kas Berdasarkan Prinsip Syariah terhadap pihak yang telah menjadi nasabah Bank, meliputi antara lain: a. Kas Mobil atau Kas Terapung yaitu kegiatan kas dengan menggunakan alat transportasi darat atau air; b. Payment Point yaitu kegiatan pelayanan pembayaran melalui kerjasama antara Bank dengan pihak lain yang merupakan nasabah Bank; c. Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yaitu kegiatan kas yang dilakukan secara elektronis untuk memudahkan nasabah, antara lain dalam rangka menarik atau menyetor secara tunai, atau melakukan pembayaran melalui pemindahbukuan, dan memperoleh informasi mengenai saldo/mutasi rekening nasabah; 11. Dewan Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk, jasa, dan kegiatan bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; 12. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang keanggotaannya direkomendasikan oleh Dewan Syariah Nasional dan ditempatkan pada Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, dengan tugas dan kewenangan yang diatur oleh Dewan Syariah Nasional; 13. Direksi … - 4 - 13. Direksi: a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; 14. Komisaris: a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; 15. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional Bank serta bertanggungjawab langsung kepada Direksi; 16. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum dan atau perorangan dan atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham Bank sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara; atau b. memiliki saham Bank kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian Bank baik secara langsung maupun tidak langsung. BAB II … - 5 - BAB II PERIZINAN PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK UMUM KONVENSIONAL MENJADI BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH Pasal 2 (1) Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya menjadi Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dengan izin dari Dewan Gubernur Bank Indonesia. (2) Rencana perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank. (3) Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam dua tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan perubahan kegiatan usaha; dan b. izin perubahan kegiatan usaha, yaitu izin untuk melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan. Pasal 3 (1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a, diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. rancangan perubahan anggaran dasar yang secara tegas mencantumkan bahwa Bank melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah serta penempatan dan tugas-tugas Dewan Pengawas Syariah; b. data kepemilikan berupa: 1. daftar calon pemegang saham berikut rincian besarnya masing- masing kepemilikan saham bagi Bank yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah; 2. daftar … - 6 - 2. daftar calon anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, serta daftar hibah bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi; dalam hal terjadi perubahan; c. daftar calon anggota dewan Komisaris dan Direksi yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah yang berlaku, disertai dengan: 1. contoh tanda tangan dan paraf; 2. identitas dan dokumen sebagai berikut: i. pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm; ii. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor; iii. riwayat hidup; iv. surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan dan usaha lainnya, tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan dan tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi untuk dilarang menjadi pengurus bank dan atau Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana diatur dalam ketentuan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; v. surat pernyataan pribadi yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak pernah dinyatakan pailit dan tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan pengadilan dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum tanggal pengajuan permohonan; dan vi. surat keterangan atau bukti tertulis dari Bank tempat bekerja sebelumnya mengenai pengalaman operasional di bidang perbankan bagi calon anggota Direksi atau bagi calon anggota dewan Komisaris yang telah berpengalaman; 3. fotokopi Kartu Izin Menetap Sementara (KIMS) dan fotokopi surat izin bekerja dari instansi berwenang, bagi warga negara asing: i. untuk … - 7 - i. untuk Direksi; dan atau ii. untuk anggota dewan Komisaris yang bermaksud menetap di Indonesia; 4. surat pernyataan tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan: i. sebagai anggota dewan Komisaris sebanyak-banyaknya pada 1 (satu) bank lain atau Bank Perkreditan Rakyat; atau ii. sebagai anggota dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif yang memerlukan tanggung jawab penuh sebanyak- banyaknya pada 2 (dua) lembaga/perusahaan lain bukan bank atau bukan Bank Perkreditan Rakyat. bagi anggota dewan Komisaris; 5. surat pernyataan tidak merangkap jabatan bagi anggota Direksi sebagai anggota dewan Komisaris, Direksi atau Pejabat Eksekutif pada lembaga perbankan, perusahaan atau lembaga lain. 6. surat pernyataan dari anggota dewan Komisaris bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai hubungan keluarga dengan mayoritas anggota dewan Komisaris sampai dengan derajat kedua dengan sesama anggota dewan Komisaris lainnya. 7. surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai hubungan keluarga dengan mayoritas anggota dewan Direksi sampai dengan derajat kedua termasuk besan dengan sesama anggota Direksi atau anggota dewan Komisaris lainnya. 8. surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama tidak memiliki saham melebihi 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal disetor pada suatu perusahaan lain. dalam hal terjadi perubahan; d. rencana susunan dan struktur organisasi serta personalia; e. rencana strategis jangka menengah dan panjang (corporate plan); f. rencana kerja (business plan) tahun pertama yang sekurang-kurangnya memuat: 1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi yang berkaitan dengan perbankan syariah; 2. rencana … - 8 - 2. rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan penyaluran dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud; dan 3. proyeksi neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak Bank akan melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; g. pedoman manajemen risiko, rencana sistem pengendalian intern, rencana sistem teknologi informasi yang digunakan dan skala kewenangan; h. sistem dan prosedur kerja mengenai Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; i. rencana penyelesaian seluruh hak dan kewajiban Bank terhadap nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah Bank berdasarkan Prinsip Syariah; j. daftar calon anggota Dewan Pengawas Syariah disertai dengan dokumen identitas berupa fotokopi KTP, pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4x6 cm, riwayat hidup, surat keterangan atau bukti tertulis dari bank tempat bekerja sebelumnya mengenai pengalaman operasional di bidang perbankan bagi calon anggota Dewan Pengawas Syariah yang telah berpengalaman; (2) Daftar calon pemegang saham atau daftar calon anggota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b: a. dalam hal perorangan wajib disertai dengan: 1. dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c angka 2 i, 2 ii, 2 iii dan 2 v; 2. surat pernyataan dari calon Pemegang Saham Pengendali yang menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan maupun likuiditas yang dihadapi Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya; dan 3. surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan dan usaha lainnya, tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan dan tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi untuk dilarang menjadi pemilik, pemilik dengan kepemilikan di atas 10% (sepuluh perseratus) dan atau Pemegang Saham Pengendali dari bank dan atau Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana diatur dalam ketentuan … - 9 - ketentuan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; b. dalam hal badan hukum wajib disertai dengan: 1. akta pendirian badan hukum, yang memuat anggaran dasar berikut perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari instansi berwenang termasuk bagi badan hukum asing sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara asal badan hukum tersebut; 2. dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c angka 2 i, 2 ii, 2 iii, 2 iv dan 2 v dari seluruh dewan Komisaris dan Direksi badan hukum yang bersangkutan; 3. rekomendasi dari instansi berwenang di negara asal bagi badan hukum asing; 4. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham bagi badan hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah, atau daftar anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, serta daftar hibah bagi badan hukum Koperasi; 5. laporan keuangan badan hukum yang telah diaudit oleh akuntan publik dengan posisi paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal pengajuan permohonan persetujuan prinsip; 6. seluruh struktur kelompok usaha yang terkait dengan Bank dan badan hukum pemilik Bank sampai dengan pemilik terakhir; dan 7. surat pernyataan dari calon Pemegang Saham Pengendali yang menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan maupun likuiditas yang dihadapi Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya. Pasal 4 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diberikan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis … - 10 - b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan peluang pasar; dan c. wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, anggota dewan Komisaris dan Direksi. (3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Bank yang mengajukan permohonan perubahan kegiatan usaha wajib melakukan presentasi kepada Bank Indonesia mengenai keseluruhan rencana perubahan kegiatan usaha Bank. Pasal 5 (1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip dikeluarkan. (2) Bank yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebelum mendapat izin perubahan kegiatan usaha. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Bank belum mengajukan permohonan izin perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b, Dewan Gubernur Bank Indonesia membatalkan persetujuan prinsip yang telah dikeluarkan. Pasal 6 Permohonan untuk mendapatkan izin perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b, diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. perubahan anggaran dasar, yang secara tegas mencantumkan bahwa Bank melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah serta penempatan dan tugas Dewan Pengawas Syariah, yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang; b. data kepemilikan dan surat pernyataan dari pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dan ayat (2), dalam hal terjadi perubahan; c. daftar … - 11 - c. daftar susunan dan surat pernyataan dari dewan Komisaris dan Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, dalam hal terjadi perubahan; d. daftar calon anggota Dewan Pengawas Syariah disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf j, dalam hal terjadi perubahan; e. dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h, dalam hal terjadi perubahan; f. bukti kesiapan operasional berupa: 1. daftar sarana dan prasarana pendukung; 2. contoh formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional; dan 3. Nomor Pokok Wajib Pajak dan Tanda Daftar Perusahaan; g. laporan realisasi dan rencana tindak lanjut penyelesaian hak dan kewajiban Bank terhadap nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah Bank berdasarkan Prinsip Syariah. Pasal 7 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. wawancara terhadap Pemegang Saham Pengendali, anggota dewan Komisaris dan anggota Direksi dalam hal terdapat penggantian atas calon yang diajukan sebelumnya. Pasal 8 (1) Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha dari Dewan Gubernur Bank Indonesia wajib melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal izin perubahan kegiatan usaha dikeluarkan. (2) Pelaksanaan … - 12 - (2) Pelaksanaan perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal dimulainya pelaksanaan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal izin perubahan kegiatan usaha, Bank belum melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, Dewan Gubernur Bank Indonesia membatalkan izin perubahan kegiatan usaha yang telah dikeluarkan. (4) Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha wajib menyelesaikan seluruh hak dan kewajiban debitur dan kreditur dari kegiatan konvensional selambat-lambatnya 360 (tiga ratus enam puluh) hari sejak tanggal izin perubahan kegiatan usaha dikeluarkan. (5) Bank Indonesia dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) untuk tujuan penyelesaian aktiva produktif secara konvensional yang telah dihapus buku. kegiatan usaha (6) Permohonan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) diajukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), disertai dengan alasan perpanjangan jangka waktu dan bukti-bukti pendukung. (7) Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha dilarang melakukan kegiatan usaha secara konvensional, kecuali dalam rangka penyelesaian transaksi-transaksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan ayat (5). Pasal 9 Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha dari Dewan Gubernur Bank Indonesia wajib mencantumkan secara jelas kata “Syariah” sesudah kata “Bank” pada penulisan namanya. Pasal 10 Bank yang semula memiliki izin usaha sebagai Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan telah memperoleh izin perubahan kegiatan usaha menjadi bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, dilarang untuk mengubah Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah menjadi kegiatan usaha secara konvensional. BAB III … - 13 - BAB III UNIT USAHA SYARIAH DAN PEMBUKAAN KANTOR CABANG SYARIAH Bagian Pertama Unit Usaha Syariah Pasal 11 (1) Bank yang akan melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah wajib membentuk Unit Usaha Syariah di kantor pusat Bank. (2) Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan unit kerja di kantor pusat Bank yang berfungsi sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah, yang mempunyai tugas: a. mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah; b. menempatkan dan mengelola dana yang bersumber dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah; c. menerima dan menatausahakan laporan keuangan dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah; dan d. melakukan kegiatan lain sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah. (3) Pada Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib ditempatkan Dewan Pengawas Syariah yang telah disetujui oleh Dewan Syariah Nasional. (4) Pemimpin Unit Usaha Syariah wajib memenuhi persyaratan: a. sekurang-kurangnya merupakan Pejabat Eksekutif; b. memiliki komitmen dalam menjalankan operasional Bank berdasarkan Prinsip Syariah; c. memiliki integritas dan moral yang baik; dan d. berpengalaman dalam operasional Bank Syariah dan atau telah mengikuti pelatihan operasional Bank Syariah baik di dalam maupun di luar negeri. Bagian Kedua … - 14 - Bagian Kedua Pembukaan Kantor Cabang Syariah Pertama Kali Pasal 12 (1) Bank yang telah membuka Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, dapat membuka Kantor Cabang Syariah dengan cara: a. membuka Kantor Cabang Syariah yang baru; b. mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi Kantor Cabang Syariah; c. meningkatkan status kantor di bawah Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi Kantor Cabang Syariah; d. mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional yang sebelumnya telah membuka Unit Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah; dan atau e. meningkatkan status Kantor Cabang Pembantu yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional yang sebelumnya telah membuka Unit Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah. (2) Bank hanya dapat membuka Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan izin dari Dewan Gubernur Bank Indonesia. (3) Rencana pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank. (4) Pemberian izin pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c dilakukan dalam dua tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pembukaan Kantor Cabang Syariah; b. izin pembukaan Kantor Cabang Syariah, yaitu izin untuk melakukan kegiatan usaha Kantor Cabang Syariah setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan. (5) Pemberian izin pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d dan huruf e dilakukan dengan pemberian izin pembukaan Kantor Cabang Syariah. Pasal 13 … - 15 - Pasal 13 Bank yang membuka Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) wajib menyediakan modal kerja sekurang-kurangnya sebesar: a. Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk setiap pembukaan Kantor Cabang Syariah yang berkedudukan di wilayah Jabotabek; atau b. Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk setiap pembukaan Kantor Cabang Syariah yang berkedudukan di luar wilayah Jabotabek. Pasal 14 Kantor Bank yang telah mendapat izin pembukaan Kantor Cabang Syariah wajib mencantumkan kata “Kantor Cabang Syariah” pada setiap penulisan nama kantornya. Pasal 15 (1) Kantor Bank yang telah mendapat izin pembukaan Kantor Cabang Syariah dilarang untuk mengubah kegiatan Kantor Cabang Syariah menjadi Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. (2) Bank Indonesia mencabut izin pembukaan Kantor Cabang Syariah yang terbukti melakukan kegiatan usaha secara konvensional. Pasal 16 (1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) huruf a untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah yang baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a, diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. laporan keuangan gabungan dan rincian kualitas aktiva produktif 2 (dua) bulan terakhir sebelum tanggal surat permohonan; b. rencana persiapan operasional dalam rangka pembukaan Kantor Cabang Syariah; c. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, d dan f; d. dokumen dan identitas pemimpin Kantor Cabang Syariah berupa: 1. pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm; 2. fotokopi … - 16 - 2. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor; 3. riwayat hidup; 4. contoh tanda tangan dan paraf; serta 5. bukti pengalaman dalam operasional bank Syariah dan atau surat keterangan dari lembaga pelatihan mengenai pelatihan perbankan syariah yang telah diikuti di dalam maupun di luar negeri; e. dokumen mengenai identitas calon anggota Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf j, untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah yang pertama kali; f. dokumen dan identitas pemimpin Unit Usaha Syariah, untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah yang pertama kali berupa: 1. pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm; 2. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor; 3. riwayat hidup; 4. contoh tanda tangan dan paraf; serta 5. bukti pengalaman dalam operasional bank Syariah dan atau surat keterangan dari lembaga pelatihan mengenai pelatihan perbankan syariah yang telah diikuti di dalam maupun di luar negeri; g. bukti setoran modal kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13; h. hasil studi kelayakan tentang tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. (2) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) huruf a, untuk mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b dan atau untuk meningkatkan status kantor di bawah Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c, diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1); dan b. rencana … - 17 - b. rencana penyelesaian seluruh hak dan kewajiban kantor Bank terhadap nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah Kantor Cabang Syariah. Pasal 17 (1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan peluang pasar. (2) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk meneliti persiapan pembukaan kantor dan kebenaran dokumen yang disampaikan. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap termasuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila dilakukan pemeriksaan. Pasal 18 (1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip dikeluarkan. (2) Bank dan atau kantor Bank yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebelum mendapat izin pembukaan Kantor Cabang Syariah. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Bank dan atau kantor Bank yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) belum mengajukan permohonan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah, Dewan Gubernur Bank Indonesia membatalkan persetujuan prinsip yang telah dikeluarkan. Pasal 19 … - 18 - Pasal 19 (1) Permohonan untuk mendapatkan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) huruf b untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah yang baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a, diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, huruf g dan huruf h, dalam hal terjadi perubahan; dan b. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dan huruf f. (2) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) huruf b untuk mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b dan atau untuk meningkatkan status kantor di bawah Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c, diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1); dan b. laporan realisasi penyelesaian seluruh hak dan kewajiban kantor Bank terhadap nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah Kantor Cabang Syariah. Pasal 20 (1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Bank Indonesia melakukan penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen. (2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin pembukaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (3) Bank dan atau kantor Bank yang telah mendapat izin pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), wajib melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal izin pembukaan dikeluarkan. (4). Pelaksanaan … - 19 - (4) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan. (5) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Kantor Cabang Syariah belum melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, Dewan Gubernur Bank Indonesia membatalkan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah yang telah dikeluarkan. (6) Kantor Cabang Syariah yang berasal dari pembukaan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b dan huruf c wajib menyelesaikan seluruh hak dan kewajiban debitur dan kreditur dari kegiatan usaha secara konvensional selambat-lambatnya 360 (tiga ratus enam puluh) hari sejak tanggal izin pembukaan dikeluarkan. (7) Kantor Cabang Syariah dilarang melakukan kegiatan usaha perbankan secara konvensional, kecuali dalam rangka penyelesaian transaksi-ransaksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (6). Bagian Ketiga Pembukaan Kantor Cabang Syariah Melalui Pembukaan Unit Syariah Pasal 21 (1) Pembukaan Unit Syariah di dalam negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Dewan Gubernur Bank Indonesia. (2) Pembukaan Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam rangka mengubah Kantor Cabang dan atau meningkatkan status Kantor Cabang Pembantu Bank menjadi Kantor Cabang Syariah. (3) Rencana pembukaan Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank. (4) Pembukaan Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dibuka setelah Bank memiliki Unit Usaha Syariah. Pasal 22 (1) Bank yang membuka Unit Syariah dalam rangka pengubahan Kantor Cabang dan atau peningkatan status Kantor Cabang Pembantu Bank menjadi … - 20 - menjadi Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2), wajib menyediakan modal kerja minimum sebesar: a. Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk setiap pembukaan Unit Syariah yang berkedudukan di wilayah Jabotabek; atau b. Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk setiap pembukaan Unit Syariah yang berkedudukan di luar wilayah Jabotabek. (2) Pemenuhan modal kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap selambat-lambatnya dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun, dengan setoran modal kerja awal pada tahun pertama minimum sebesar: a. Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk setiap pembukaan Unit Syariah yang berkedudukan di wilayah Jabotabek; atau b. Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) untuk setiap pembukaan Unit Syariah yang berkedudukan di luar wilayah Jabotabek. Pasal 23 (1) Permohonan izin pembukaan Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. hasil studi kelayakan tentang tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; b. rencana persiapan operasional yang meliputi kesiapan sumber daya manusia, sistem akuntansi dan pelaporan serta persiapan teknis lainnya; c. perubahan anggaran dasar yang secara tegas mencantumkan bahwa Bank melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah serta penempatan dan tugas-tugas Dewan Pengawas Syariah; d. rencana kerja (business plan) tahun pertama yang sekurang-kurangnya memuat: 1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi yang berkaitan dengan perbankan syariah; 2. rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan penyaluran dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud; dan 3. proyeksi … - 21 - 3. proyeksi neraca, laporan laba-rugi dan laporan arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak Unit Syariah melakukan kegiatan operasional; e. rencana struktur organisasi dan susunan kegiatan Unit Syariah; personalia yang menangani f. bukti pengalaman di bidang operasional bank Syariah dan atau sertifikat pelatihan operasional bank Syariah bagi Pemimpin Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu Bank; g. dokumen mengenai identitas calon anggota Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf j, untuk pembukaan Unit Syariah yang pertama kali; h. dokumen dan identitas pemimpin Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf f, untuk pembukaan Unit Syariah yang pertama kali; i. bukti setoran modal kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2). (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan analisis yang mencakup tingkat kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. (3) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk meneliti persiapan pembukaan Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap termasuk hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) apabila dilakukan pemeriksaan. (5) Pelaksanaan pembukaan Unit Syariah yang telah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) wajib dilaksanakan selambat- lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal persetujuan pembukaan. (6). Pelaksanaan … - 22 - (6) Pelaksanaan pembukaan Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan. (7) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) Bank tidak melaksanakan pembukaan Unit Syariah, Dewan Gubernur Bank Indonesia membatalkan izin pembukaan Unit Syariah yang telah dikeluarkan. Pasal 24 Kantor Cabang dan atau Kantor Cabang Pembantu Bank yang telah mendapat izin membuka Unit Syariah wajib mencantumkan kata “Unit Syariah” pada tempat kegiatan usaha Unit Syariah berada. Pasal 25 (1) Kantor Cabang dan atau Kantor Cabang Pembantu Bank yang telah membuka Unit Syariah selambat-lambatnya dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak tanggal persetujuan pembukaan Unit Syariah wajib diubah dan atau ditingkatkan statusnya menjadi Kantor Cabang Syariah. (2) Dengan diubahnya Kantor Cabang Bank menjadi Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka seluruh kantor di bawah Kantor Cabang Bank tersebut dapat: a. diubah menjadi kantor yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; atau b. dipindahkan dengan menginduk kepada Kantor Cabang lain dalam satu wilayah kliring; atau c. ditutup. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Bank tidak dapat mengubah Kantor Cabang dan atau meningkatkan status Kantor Cabang Pembantu menjadi Kantor Cabang Syariah, Bank Indonesia mencabut izin Unit Syariah dan Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu dimana Unit Syariah tersebut bertempat. Pasal 26 … - 23 - Pasal 26 (1) Permohonan untuk mendapatkan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf d dan e, diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia selambat-lambatnya dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebelum berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan wajib disertai dengan: a. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, huruf e, huruf f, huruf g dan huruf h; b. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf f; c. dokumen dan identitas pemimpin Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d; d. bukti setoran modal kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1); dan e. laporan penyelesaian seluruh hak dan kewajiban Kantor Cabang dan atau Kantor Cabang Pembantu Bank. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan penelitian atas: a. kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. kecukupan pemenuhan modal kerja. (3) Apabila diperlukan Bank Indonesia melakukan pemeriksaan untuk meneliti persiapan pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap termasuk hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) apabila dilakukan pemeriksaan. Bagian … - 24 - Bagian Keempat Pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya Pasal 27 (1) Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan telah memiliki Kantor Cabang Syariah hanya dapat membuka Kantor Cabang Syariah berikutnya dengan izin Dewan Gubernur Bank Indonesia. (2) Rencana pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank. (3) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya yang dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a, wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d dan huruf f, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15; serta Pasal 16 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, huruf g dan huruf h; b. untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya yang dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b dan huruf c, wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan Pasal 16 ayat (2) huruf b; c. untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya yang dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf d dan huruf e, wajib mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26. (4) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a dan huruf b, Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan peluang pasar. (5) Apabila … - 25 - (5) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk meneliti persiapan pembukaan kantor dan kebenaran dokumen yang disampaikan. (6) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a dan huruf b diberikan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap termasuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5). (7) Pelaksanaan atas persetujuan permohonan sebagai dimaksud dalam ayat (6), wajib dilakukan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal izin dari Dewan Gubernur Bank Indonesia dikeluarkan. (8) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan. (9) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) Bank tidak melaksanakan pembukaan Kantor Cabang Syariah, Dewan Gubernur Bank Indonesia membatalkan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah yang telah dikeluarkan. BAB IV PEMBUKAAN KANTOR DI BAWAH KANTOR CABANG SYARIAH DAN KEGIATAN KAS DI LUAR KANTOR BANK DI DALAM NEGERI Bagian Pertama Pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah Pasal 28 (1) Rencana pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah di dalam negeri wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank. (2) Pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan: a. apabila berada dalam satu wilayah kerja Kantor Bank Indonesia dengan Kantor Cabang Syariah Induknya; dan b. memperhatikan hasil studi kelayakan yang memuat tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan Kegiatan Usaha. (3). Pembukaan … - 26 - (3) Pembukaan Kantor di bawah Kantor Cabang Syariah dapat bertempat di alamat yang sama dengan Kantor Cabang dan atau kantor di bawah Kantor Cabang Bank. (4) Laporan keuangan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah wajib digabungkan dengan laporan keuangan Kantor Cabang Syariah induknya pada hari yang sama. Pasal 29 Bank yang akan membuka kantor di bawah Kantor Cabang Syariah wajib menyediakan modal kerja minimum sebesar: a. Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk setiap pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah yang berkedudukan di wilayah Jabotabek; atau b. Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) untuk setiap pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah yang berkedudukan di luar wilayah Jabotabek. Pasal 30 (1) Bank wajib menyampaikan rencana pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan pembukaan kantor, disertai: a. hasil studi kelayakan yang memuat tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; dan b. bukti setoran modal kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29. (2) Bank hanya dapat membuka kantor di bawah Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. (3) Surat penegasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan selambat- lambatnya dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari setelah dokumen diterima secara lengkap. (4) Pelaksanaan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib dilakukan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia. (5) Pelaksanaan … - 27 - (5) Pelaksanaan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pembukaan. Bagian Kedua Kegiatan Kas di luar Kantor Bank Pasal 31 (1) Rencana Kegiatan Kas di luar Kantor Bank wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank. (2) Bank wajib menyampaikan laporan rencana Kegiatan Kas di luar Kantor Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan kegiatan. (3) Bank hanya dapat membuka kegiatan kas di luar kantor bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. (4) Surat penegasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan selambat- lambatnya dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari setelah dokumen diterima secara lengkap. (5) Pelaksanaan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal penegasan dari Bank Indonesia. (6) Pelaksanaan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan kegiatan. BAB V PENUTUPAN KANTOR Pasal 32 (1) Penutupan Kantor Cabang Syariah di dalam negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Dewan Gubernur Bank Indonesia. (2) Pemberian … - 28 - (2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam dua tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan penutupan Kantor Cabang Syariah; dan b. persetujuan penutupan, yaitu persetujuan untuk melakukan penutupan Kantor Cabang Syariah. (3) Permohonan untuk memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. alasan penutupan; dan b. langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka penyelesaian seluruh kewajiban Kantor Cabang Syariah kepada nasabah dan pihak lainnya. (4) Permohonan untuk memperoleh persetujuan penutupan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia setelah Bank memperoleh persetujuan prinsip, dan wajib disertai dengan: a. bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya; dan b. surat pernyataan dari Direksi Bank bahwa langkah-langkah penyelesaian seluruh kewajiban Kantor Cabang Syariah kepada nasabah dan pihak lainnya telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab Direksi untuk dan atas nama Bank. (5) Apabila dipandang perlu, Bank Indonesia melakukan pemeriksaan kepada Bank dalam rangka meneliti penyelesaian seluruh kewajiban Kantor Cabang Syariah yang akan ditutup. (6) Persetujuan atau penolakan permohonan persetujuan prinsip dan persetujuan penutupan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) masing-masing diberikan dalam batas waktu selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap termasuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5). (7) Pelaksanaan penutupan kantor yang telah mendapat persetujuan penutupan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) wajib dilaksanakan selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal persetujuan penutupan. (8). Penutupan … - 29 - (8) Penutupan kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diumumkan oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan kantor Bank selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal persetujuan penutupan dari Dewan Gubernur Bank Indonesia. (9) Pelaksanaan penutupan kantor yang telah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penutupan. (10) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (7), Bank tidak melaksanakan penutupan Kantor Cabang, Dewan Gubernur Bank Indonesia membatalkan persetujuan penutupan Kantor Cabang yang telah dikeluarkan. Pasal 33 (1) Rencana penutupan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan penutupan kantor dimaksud dan disertai dengan: a. alasan penutupan; dan b. langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka penyelesaian kewajiban kantor di bawah Kantor Cabang Syariah kepada nasabah dan pihak lainnya. (2) Rencana penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank dan disertai dengan alasan penutupan. (3) Pelaksanaan penutupan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penutupan dan wajib disertai dengan: a. bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya; dan b. surat pernyataan dari pemimpin Kantor Cabang Syariah induknya bahwa langkah-langkah penyelesaian seluruh kewajiban kantor di bawah Kantor Cabang Syariah kepada nasabah dan pihak lainnya telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab pemimpin Kantor Cabang induk untuk dan atas nama Bank. (4) Pelaksanaan … - 30 - (4) Pelaksanaan penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank. Pasal 34 (1) Penutupan Unit Syariah dan Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu Bank dimana Unit Syariah bertempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) hanya dapat dilakukan dengan izin Dewan Gubernur Bank Indonesia. (2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam dua tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan penutupan Unit Syariah dan Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu Bank dimana Unit Syariah bertempat; dan b. persetujuan penutupan, yaitu persetujuan untuk melakukan penutupan Unit Syariah dan Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu Bank dimana Unit Syariah bertempat. (3) Permohonan untuk memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib dilampiri dengan: a. alasan penutupan; dan b. langkah-langkah yang akan dilakukan dalam rangka penyelesaian seluruh kewajiban Unit Syariah dan Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu Bank dimana Unit Syariah bertempat kepada nasabah dan pihak lainnya; (4) Permohonan untuk memperoleh persetujuan penutupan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia setelah Bank memperoleh persetujuan prinsip, dan wajib dilampiri dengan: a. bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya; dan b. surat pernyataan dari Direksi Bank bahwa langkah-langkah penyelesaian seluruh kewajiban kepada nasabah dan pihak lain telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan dikemudian hari menjadi tanggungjawab Direksi Bank untuk dan atas nama Bank. (5) Apabila … - 31 - (5) Apabila dipandang perlu Bank Indonesia melakukan pemeriksaan kepada kantor Bank dalam rangka meneliti penyelesaian seluruh kewajiban Unit Syariah dan Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu Bank yang akan ditutup. (6) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip dan persetujuan penutupan Unit Syariah dan Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) masing-masing diberikan dalam batas waktu selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap termasuk hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) apabila dilakukan pemeriksaan. (7) Pelaksanaan penutupan Unit Syariah dan Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu Bank yang telah mendapat persetujuan penutupan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) wajib dilaksanakan selambat- lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal persetujuan penutupan. (8) Penutupan kantor dimaksud dalam ayat (1) wajib diumumkan oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas ditempat kedudukan Kantor Bank selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal persetujuan penutupan dari Dewan Gubernur Bank Indonesia. (9) Pelaksanaan penutupan Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penutupan. BAB VI PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR Pasal 35 (1) Pemindahan alamat Kantor Cabang Syariah hanya dapat dilakukan dengan izin Dewan Gubernur Bank Indonesia. (2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia sebelum pemindahan alamat dilaksanakan. (3) Permohonan izin pemindahan alamat Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disertai dengan: a. alasan … - 32 - a. alasan pemindahan alamat dan rencana persiapan operasional Kantor Cabang Syariah; b. rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban Kantor Cabang Syariah; dan c. hasil studi kelayakan di tempat kedudukan baru yang sekurang- kurangnya memuat potensi ekonomi, peluang pasar, tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. (4) Pemindahan alamat Kantor Cabang Syariah yang dilakukan: a. di jalan yang sama atau lokasi yang berdekatan wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a; b. dalam satu wilayah kerja Kantor Bank Indonesia wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a dan huruf b; c. di luar wilayah kerja Kantor Bank Indonesia sebelumnya, wajib memenuhi ketentuan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27. (5) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional. (6) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk meneliti persiapan pemindahan alamat kantor dan kebenaran dokumen yang disampaikan. (7) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap termasuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6). (8) Pemindahan … - 33 - (8) Pemindahan alamat kantor yang telah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib dilaksanakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberian izin dari Dewan Gubernur Bank Indonesia. (9) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) wajib diumumkan oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan Kantor Cabang Syariah selambat- lambatnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan pemindahan alamat kantor. (10) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya selambat-lambatnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pemindahan alamat. (11) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), Bank tidak melaksanakan pemindahan alamat kantor, Dewan Gubernur Bank Indonesia membatalkan izin yang telah dikeluarkan. Pasal 36 (1) Rencana pemindahan alamat kantor di bawah Kantor Cabang Syariah dan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank di dalam negeri wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan pemindahan alamat kantor. (2) Laporan rencana pemindahan alamat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disertai dengan: a. alasan pemindahan alamat dan rencana persiapan operasional kantor di bawah Kantor Cabang Syariah dan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank; b. rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban kantor di bawah Kantor Cabang Syariah dan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank; dan c. hasil studi kelayakan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah dan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank di tempat kedudukan baru yang sekurang-kurangnya memuat tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. (3) Pemindahan alamat kantor di bawah Kantor Cabang Syariah di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang dilakukan: a. di jalan yang sama atau lokasi yang berdekatan wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a; b. dalam … - 34 - b. dalam satu wilayah kerja Kantor Bank Indonesia wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan huruf b; c. di luar wilayah kerja Kantor Bank Indonesia sebelumnya wajib memenuhi ketentuan penutupan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, 29 dan 30. (4) Pemindahan alamat Kegiatan Kas di luar Kantor Bank di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang dilakukan: a. di jalan yang sama atau lokasi yang berdekatan wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a; b. dalam satu wilayah kerja Kantor Bank Indonesia wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan b; c. di luar wilayah kerja Kantor Bank Indonesia sebelumnya wajib memenuhi ketentuan penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan pembukaan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31. (5) Pemindahan alamat kantor di bawah Kantor Cabang Syariah dan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal penegasan dari Bank Indonesia. (6) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor di bawah Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c wajib diumumkan oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan Kantor Cabang induknya selambat-lambatnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan pemindahan alamat kantor. (7) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor di bawah Kantor Cabang dan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank di dalam negeri wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pemindahan alamat. BAB VII … - 35 - BAB VII PENINGKATAN DAN PENURUNAN STATUS KANTOR Pasal 37 (1) Peningkatan status dari kantor di bawah Kantor Cabang Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah hanya dapat dilakukan dengan cara menutup kantor di bawah Kantor Cabang Syariah dengan memenuhi ketentuan Pasal 33 dan diikuti dengan membuka Kantor Cabang Syariah dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27. (2) Peningkatan status dari Kegiatan Kas diluar kantor Bank Syariah menjadi kantor di bawah Kantor Cabang Syariah hanya dapat dilakukan dengan cara menghentikan Kegiatan Kas diluar kantor Bank Syariah dengan memenuhi ketentuan Pasal 33 dan diikuti dengan membuka kantor di bawah Kantor Cabang Syariah dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29 dan Pasal 30. Pasal 38 (1) Penurunan status dari Kantor Cabang Syariah menjadi kantor di bawah Kantor Cabang Syariah hanya dapat dilakukan dengan cara menutup Kantor Cabang Syariah dengan memenuhi ketentuan Pasal 32 dan diikuti dengan membuka kantor di bawah Kantor Cabang Syariah dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, 29 dan 30. (2) Penurunan status dari kantor di bawah Kantor Cabang Syariah menjadi Kegiatan Kas di luar Kantor Bank Syariah hanya dapat dilakukan dengan cara menutup kantor di bawah Kantor Cabang Syariah dengan memenuhi ketentuan Pasal 33 dan diikuti dengan membuka Kegiatan Kas di luar Kantor Bank Syariah dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31. BAB VIII … - 36 - BAB VIII LAIN-LAIN Bagian Pertama Pejabat Eksekutif, pemimpin Unit Usaha Syariah, pemimpin Kantor Cabang Syariah dan Dewan Pengawas Syariah Pasal 39 (1) Pengangkatan atau penggantian Pejabat Eksekutif, pemimpin Unit Usaha Syariah atau Kantor Cabang Syariah wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pengangkatan efektif dan disertai dengan dokumen dan identitas sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf d dan huruf f. (2) Pengangkatan atau penggantian Dewan Pengawas Syariah wajib dilaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pengangkatan efektif dan disertai dengan dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf j dan surat persetujuan Dewan Syariah Nasional. (3) Apabila berdasarkan penilaian dan penelitian Bank Indonesia, Pejabat Eksekutif, pemimpin Unit Usaha Syariah atau pemimpin Kantor Cabang Syariah termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham, Pemegang Saham Pengendali, pengurus, Pejabat Eksekutif bank dan atau Bank Perkreditan Rakyat maka Bank wajib segera memberhentikan yang bersangkutan. Bagian Kedua Akuntansi dan Pelaporan Pasal 40 (1) Sistem akuntansi Kantor Cabang Syariah mengacu kepada Standar Akuntansi Keuangan Syariah. (2) Dalam hal Standar Akuntansi Keuangan Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum diberlakukan, Kantor Cabang Syariah wajib menggunakan … - 37 - menggunakan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku sepanjang sejalan dengan Prinsip Syariah. (3) Bank yang memiliki Kantor Cabang Syariah wajib: a. memiliki pencatatan dan pembukuan tersendiri untuk Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; b. menyusun laporan keuangan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; dan c. memasukkan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b ke dalam laporan keuangan konsolidasi. Pasal 41 (1) Unit Syariah wajib menggunakan Standar Akuntansi Keuangan Syariah. (2) Dalam hal Standar Akuntansi Keuangan Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum diberlakukan, Unit Syariah wajib menggunakan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku sepanjang sejalan dengan Prinsip Syariah. (3) Unit Syariah wajib: a memiliki pencatatan dan pembukuan yang terpisah dari kantor Bank dimana Unit Syariah berada; dan b. menyusun laporan keuangan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Bagian Ketiga Administrasi Dokumen Pasal 42 (1) Bank wajib mengadministrasikan dengan tertib: a. daftar pemegang saham dan perubahannya bagi Bank yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas/ Perusahaan Daerah; atau b. buku daftar anggota dan perubahannya bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi. (2) Bank … - 38 - (2) Bank yang telah terdaftar di pasar modal wajib memperbaharui daftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a. Pasal 43 Bank Indonesia tidak memberikan persetujuan atas permohonan izin yang tidak sesuai dengan ketentuan, tata cara dan persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 44 (1) Bank wajib menyampaikan perubahan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e, huruf g dan huruf h, pada: a. setiap akhir tahun apabila terjadi perubahan; dan b. setiap saat apabila terjadi perubahan yang bersifat material. (2) Penyampaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak jangka waktu yang ditetapkan. Pasal 45 Bank wajib menjamin kebenaran dokumen atau identitas yang dikeluarkan oleh instansi terkait atau pihak ketiga yang disampaikan kepada Bank Indonesia. BAB IX SANKSI Pasal 46 (1) Bank yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 8 ayat (1), ayat (4), ayat (6) dan ayat (7), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 ayat (3), Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 20 ayat (3), ayat (6) dan ayat (7), Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (5), Pasal 24, Pasal 25 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4), Pasal 31 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5), Pasal 32 ayat (1) dan ayat (7), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) … - 39 - ayat (2), Pasal 34 ayat (1) dan ayat (7), Pasal 35 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4), Pasal 36 ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39 ayat (3), Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 44 ayat (1) dan Pasal 45 dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. (2) Bank yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (6), Pasal 20 ayat (4), Pasal 23 ayat (6), Pasal 27 ayat (8), Pasal 30 ayat (5), Pasal 31 ayat (6), Pasal 32 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 34 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 35 ayat (9) dan ayat (10), Pasal 36 ayat (6) dan ayat (7), Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 44 ayat (2) dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa: a. teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kelambatan untuk setiap laporan dan atau pengumuman; b. teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) apabila Bank tidak menyampaikan laporan dan atau pengumuman. (3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan atau pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b apabila Bank belum menyampaikan laporan dimaksud setelah 30 (tiga puluh) hari sejak batas akhir penyampaian laporan dan atau pengumuman. (4) Setiap pihak yang tidak menaati ketentuan Pasal 12 ayat (2), Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 46 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 47 Permohonan izin yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini wajib disesuaikan dengan persyaratan dan dokumen sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. BAB XI … - 40 - BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 48 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka semua ketentuan yang mengatur tentang Bank Umum Konvensional yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 2/27/PBI/2000 tanggal 15 Desember 2000 dinyatakan tidak berlaku. Pasal 49 Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 27 Maret 2002 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 14 BPS - 41 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/1/PBI/2002 TENTANG PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK UMUM KONVENSIONAL MENJADI BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DAN PEMBUKAAN KANTOR BANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH OLEH BANK UMUM KONVENSIONAL UMUM Sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998, perkembangan bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah cukup menggembirakan walaupun secara persentase pangsa pasarnya terhadap bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional masih relatif kecil. Berdasarkan hasil penelitian atas potensi dan preferensi masyarakat terhadap bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, diketahui potensi pasar bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sangat besar, mengingat terdapat sebagian masyarakat Indonesia yang tidak bersedia menggunakan jasa Bank yang kegiatan usahanya berdasarkan suku bunga. Disamping itu mengingat perkembangan bank Berdasarkan Prinsip Syariah ini masih dalam tahap awal, maka perlu dilakukan penyesuaian terhadap kebijakan yang mengatur mengenai Bank Umum Konvensional yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 2/27/PBI/2000 tanggal 15 Desember 2000 tentang Bank Umum. Perubahan-perubahan dimaksud antara lain persyaratan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah, pemindahan alamat kantor Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan pembukaan Kantor Cabang Syariah melalui pembukaan Unit Syariah terlebih dahulu oleh kantor Bank. Kebijakan … - 42 - Kebijakan tersebut dimaksudkan sebagai upaya Bank Indonesia untuk mendorong percepatan pertumbuhan jaringan kantor Bank Umum Konvensional yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dalam rangka memperluas jangkauan layanan kepada masyarakat. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Termasuk dalam pengertian Kantor Kas adalah kantor Bank yang melakukan kegiatan pelayanan kas dengan alamat tempat usaha yang jelas dan tetap serta memberikan pelayanan terhadap nasabah baru, selain kegiatan pameran untuk promosi yang bersifat tidak tetap. Angka 8 Cukup jelas. Angka 9 Cukup jelas. Angka 10 … - 43 - Angka 10 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan kegiatan pelayanan pembayaran adalah kegiatan pembayaran maupun penyetoran transaksi tertentu antara lain meliputi pembayaran gaji pegawai, penerimaan setoran biaya listrik dan biaya telepon. Huruf c Termasuk dalam pengertian ATM adalah pembukaan jaringan ATM yang dilakukan dengan pemanfaatan teknologi melalui kerjasama dengan Bank lain. Angka 11 Cukup jelas. Angka 12 Cukup jelas. Angka 13 Cukup jelas. Angka 14 Cukup jelas. Angka 15 Yang dimaksud Pejabat Eksekutif adalah pejabat satu tingkat di bawah Direksi. Angka 16 Termasuk dalam pengertian perorangan adalah beberapa orang dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua dan besan yang secara bersama-sama memiliki saham Bank. Yang dimaksud dengan kelompok usaha adalah: a. perorangan dan badan hukum; b. beberapa orang; atau c. beberapa badan hukum yang … - 44 - yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan atau hubungan keuangan. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a dan b Cukup jelas. Huruf c Angka 4 Tidak termasuk dalam rangkap jabatan bagi anggota dewan Komisaris apabila: a. menjalankan tugas fungsional dari pemilik Bank yang berbentuk badan hukum; atau b. merangkap jabatan pada organisasi atau lembaga nirlaba, sepanjang yang bersangkutan tidak mengabaikan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai anggota dewan Komisaris Bank. Yang dimaksud dengan bank dalam ayat ini adalah bank umum konvensional dan syariah. Angka 5 Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar setiap anggota Direksi tidak melakukan kegiatan yang dapat menganggu pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai Direksi Bank. Angka 6 … - 45 - Angka 6 Hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua adalah hubungan baik dalam garis lurus maupun garis ke samping, termasuk mertua, menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud dengan keluarga meliputi sebagai berikut: 1. orang tua kandung/tiri/angkat; 2. saudara kandung/tiri/angkat; 3. suami/istri; 4. anak kandung/tiri/angkat; 5. suami/istri dari anak kandung/tiri/angkat; 6. kakek/nenek kandung/tiri/angkat; 7. cucu kandung/tiri/angkat; 8. saudara kandung/tiri/angkat dari suami/istri; 9. suami/istri dari saudara kandung/tiri/angkat; 10. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua; 11. mertua. Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah anggota dewan Komisaris. Angka 7 Hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua adalah hubungan baik dalam garis lurus maupun garis ke samping, termasuk mertua, menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud dengan keluarga meliputi sebagai berikut: 1. orang tua kandung/tiri/angkat; 2. saudara kandung/tiri/angkat; 3. suami/istri; 4. anak kandung/tiri/angkat; 5. suami/istri dari anak kandung/tiri/angkat; 6. kakek/nenek kandung/tiri/angkat; 7. cucu … - 46 - 7. cucu kandung/tiri/angkat; 8. saudara kandung/tiri/angkat dari suami/istri; 9. suami/istri dari saudara kandung/tiri/angkat; 10. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua; 11. mertua. Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh anggota Direksi. Angka 8 Yang dimaksud dengan perusahaan lain antara lain meliputi perusahaan-perusahaan lain di luar Bank yang bersangkutan seperti lembaga keuangan bank dan non-bank, lembaga pembiayaan atau perusahaan. Huruf d Susunan dan struktur organisasi serta personalia antara lain meliputi organization chart, garis tanggung jawab horizontal dan vertikal serta jabatan dan nama-nama personalia sekurang-kurangnya sampai dengan tingkatan Pejabat Eksekutif. Huruf e Corporate Plan antara lain meliputi rencana-rencana strategis Bank jangka menengah (tiga tahunan) dan jangka panjang (lima tahunan) dalam rangka pencapaian tujuan perubahan kegiatan usaha dari Bank konvensional menjadi Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Huruf f Cukup Jelas. Huruf g Pedoman manajemen risiko antara lain memuat teknik dan metode yang digunakan Bank untuk mengidentifikasi, menganalisis, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko-risiko yang timbul sebagai akibat operasional Bank berdasarkan … jumlah - 47 - berdasarkan Prinsip Syariah. Pedoman manajemen risiko tidak hanya didasarkan atas data historis namun mencakup juga proyeksi risiko yang akan datang (forward looking). Huruf h Termasuk dalam sistem dan prosedur kerja adalah buku pedoman (manual) yang lengkap dan komprehensif yang akan digunakan untuk Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Huruf i Penyelesaian kewajiban kepada nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah Bank berdasarkan Prinsip Syariah dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada Bank lain atau pihak lain dengan persetujuan nasabah. Huruf j Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup Jelas. Huruf b Angka 1 sampai dengan angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Yang dimaksud dengan kelompok usaha adalah: a. perorangan dan badan hukum; b. beberapa orang; atau c. beberapa badan hukum, yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan atau hubungan keuangan. Kewajiban menyampaikan data mengenai struktur kelompok usaha dikecualikan dalam hal pemilik Bank adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah atau Badan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal … - 48 - Pasal 37A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Apabila terdapat pemilik lain maka kewajiban menyampaikan struktur kelompok usaha diberlakukan bagi pemilik lain tersebut. Angka 7 Surat pernyataan Pemegang Saham Pengendali berbentuk badan hukum dibuat dan disampaikan oleh pengurus yang mempunyai wewenang untuk mewakili badan hukum yang bersangkutan. Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu kelompok usaha maka surat pernyataan disampaikan oleh pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh kelompok usaha. Kewajiban menyampaikan surat pernyataan dalam angka ini dikecualikan dalam hal Pemegang Saham Pengendali adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah atau Badan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Apabila diperlukan dalam rangka penelitian atas kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c … - 49 - Huruf c Wawancara dilakukan terhadap: a. pihak-pihak yang belum pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; atau b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah yang masih diperlukan keterangan lebih lanjut mengenai integritas dan atau kompetensi yang bersangkutan. Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas dan atau kompetensi. Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau yayasan atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili badan hukum atau yayasan yang bersangkutan. Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh kelompok usaha. Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali adalah Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali. Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap pemegang saham pendiri tertentu berdasarkan penilaian Bank Indonesia. Ayat (3) … - 50 - Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Apabila diperlukan dalam rangka penelitian atas kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan. Huruf b Wawancara dilakukan terhadap: a. pihak-pihak yang belum pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; atau b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah yang masih diperlukan keterangan lebih lanjut mengenai integritas dan atau kompetensi yang bersangkutan. Materi … - 51 - Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas dan atau kompetensi. Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau yayasan atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili badan hukum atau yayasan yang bersangkutan. Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh kelompok usaha. Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali adalah Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali. Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap pemegang saham pendiri tertentu berdasarkan penilaian Bank Indonesia. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dalam rangka memperoleh persetujuan nasabah untuk penyelesaian seluruh hak dan kewajiban debitur dan kreditur sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, Bank dapat melakukan pemberitahuan/pengumuman kepada kreditur dan debitur secara langsung … - 52 - langsung dan atau melalui media massa mengenai konversi hak dan kewajiban dari kegiatan usaha konvensional menjadi Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Bukti pendukung sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dapat berupa bukti kesanggupan pembayaran dari debitur sampai dengan jangka waktu tertentu. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 53 - Ayat (3) Bank hanya dapat melakukan pembukaan Kantor Cabang Syariah sesuai dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana kerja tahunan Bank sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi keuangan yang bersifat material antara rencana kerja dengan realisasi rencana kerja pada saat pembukaan kantor, antara lain seperti terjadi penurunan permodalan Bank yang material. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 13 Yang dimaksud dengan modal kerja dalam Pasal ini adalah dana yang disisihkan oleh kantor pusat Bank pada rekening tersendiri atas nama Unit Usaha Syariah dan yang dipergunakan semata-mata sebagai modal dalam Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Pada pembukuan kantor pusat Bank, dana yang disisihkan untuk modal kerja tersebut diperlakukan sebagai penempatan antar kantor. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang disewa, maka untuk sementara dokumen rencana persiapan … - 54 - persiapan operasional gedung kantor dapat berupa nota kesepakatan sewa menyewa gedung kantor. Perjanjian sewa disampaikan pada saat Bank melaporkan pelaksanaan pembukaan kantor. Huruf c sampai dengan huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penyelesaian kewajiban kepada nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah Bank berdasarkan Prinsip Syariah dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada Bank lain atau pihak lain dengan persetujuan nasabah. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 … - 55 - Pasal 20 Ayat (1) Apabila diperlukan dalam rangka penelitian kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan. Ayat (2) Dalam hal Kantor Cabang Syariah berasal dari konversi Kantor Cabang dan atau peningkatan status kantor di bawah Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional maka izin pembukaan Kantor Cabang Syariah menggantikan izin dan status keberadaan kantor Bank sebelumnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Dalam rangka memperoleh persetujuan nasabah untuk penyelesaian seluruh hak dan kewajiban debitur dan kreditur sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, Bank dapat melakukan pemberitahuan/pengumuman kepada kreditur dan debitur secara langsung dan atau melalui media massa mengenai konversi hak dan kewajiban dari kegiatan usaha konvensional menjadi Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 56 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) dan Ayat (2) Yang dimaksud dengan modal kerja adalah dana yang disisihkan oleh kantor pusat Bank pada rekening tersendiri atas nama Unit Usaha Syariah dan dipergunakan semata-mata sebagai modal kerja dalam Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Pada pembukuan kantor pusat Bank, dana yang disisihkan untuk modal kerja tersebut diperlakukan sebagai penempatan antar kantor. Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Kesiapan sumberdaya manusia adalah adanya petugas yang ditunjuk secara khusus oleh Bank untuk menangani kegiatan operasional Unit Syariah. Sistem akuntansi yang diterapkan dapat memisahkan laporan kantor Bank dengan laporan Unit Syariah. Huruf c sampai dengan huruf i Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) … - 57 - Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah atau pihak lain. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan kecukupan pemenuhan modal kerja yaitu persyaratan pemenuhan modal kerja untuk Kantor Cabang Syariah. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) … - 58 - Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bank hanya dapat melakukan pembukaan Kantor Cabang Syariah sesuai dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana kerja tahunan Bank sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi keuangan yang bersifat material antara rencana kerja dengan realisasi rencana kerja pada saat pembukaan kantor, antara lain seperti terjadi penurunan permodalan Bank yang material. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Dalam hal Kantor Cabang Syariah berasal dari konversi Kantor Cabang dan atau peningkatan status kantor di bawah Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional maka izin pembukaan Kantor Cabang Syariah menggantikan izin dan status keberadaan kantor Bank sebelumnya. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 28 … - 59 - Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 29 Yang dimaksud dengan modal kerja adalah dana yang disisihkan oleh kantor pusat Bank pada rekening tersendiri atas nama Unit Usaha Syariah dan di pergunakan semata-mata sebagai modal kerja dalam Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Pada pembukuan kantor pusat Bank, dana yang disisihkan untuk modal kerja tersebut diperlakukan sebagai penempatan antar kantor. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Sebelum surat penegasan dikeluarkan oleh Bank Indonesia, Bank Indonesia melakukan penelitian terhadap tingkat kecukupan modal Bank, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat persaingan antar bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 31 … - 60 - Pasal 31 Ayat (1) Tidak termasuk dalam Kegiatan Kas di luar Kantor Bank adalah kegiatan pameran yang dilakukan dalam rangka promosi, tidak bersifat permanen dan tidak melakukan kegiatan kas. Ayat (2) Kewajiban pelaporan hanya dilakukan satu kali pada saat pertama kali Kegiatan Kas di luar Kantor Bank diajukan di lokasi tersebut. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Sebelum surat penegasan dikeluarkan oleh Bank Indonesia, Bank Indonesia melakukan penelitian terhadap tingkat kecukupan modal Bank, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat persaingan antar bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah atau pihak lain. Ayat (4) … - 61 - Ayat (4) Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah atau pihak lain. Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah berupa neraca Kantor Cabang Syariah yang menunjukkan seluruh kewajiban Kantor Cabang Syariah kepada nasabah dan pihak lain telah selesai. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Yang dimaksud dengan tanggal persetujuan penutupan dalam ayat ini adalah tanggal rencana penutupan yang disetujui oleh Bank Indonesia. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah atau pihak lain. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 62 - Ayat (3) Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah atau pihak lain. Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah berupa neraca Kantor Cabang Syariah Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah atau pihak lain. Ayat (4) Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah atau pihak lain. Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah berupa: 1. neraca Kantor Cabang Bank dimana Unit Syariah berada; atau 2. neraca Kantor Cabang Bank yang menjadi induk dari Kantor Cabang Pembantu dimana Unit Syariah berada, yang menunjukkan seluruh kewajiban dari kantor Bank tersebut telah selesai. Ayat (5) … kewajiban kantor di bawah Kantor Cabang Syariah kepada nasabah dan pihak lain telah selesai. yang menunjukkan seluruh - 63 - Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Yang dimaksud dengan tanggal persetujuan penutupan adalah tanggal rencana persetujuan penutupan yang disetujui oleh Bank Indonesia. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang disewa maka untuk sementara dokumen rencana persiapan operasional gedung kantor dapat berupa nota kesepakatan sewa menyewa gedung kantor. Perjanjian sewa disampaikan pada saat Bank melaporkan pelaksanaan pemindahan alamat kantor. Huruf b dan huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) … - 64 - Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang disewa maka untuk sementara dokumen rencana persiapan operasional gedung kantor dapat berupa nota kesepakatan sewa menyewa gedung kantor. Perjanjian sewa disampaikan pada saat Bank melaporkan pelaksanaan pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (7). Huruf b dan huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) … - 65 - Ayat (5) Ketentuan dalam Undang-undang tentang Perbankan yang berlaku mewajibkan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia, namun penegasan dari Bank Indonesia tetap diperlukan mengingat sesuai dengan Undang-undang tentang Perbankan tersebut, Bank Indonesia juga akan melakukan penelitian terhadap tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat persaingan antar bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Pejabat Eksekutif dalam Pasal ini adalah Pejabat Eksekutif yang memiliki peranan dalam pelaksanaan kebijakan dan operasional Bank antara lain dalam kegiatan kredit, treasury, penghimpunan dana, dan kegiatan operasional lainnya. Yang dimaksud dengan tanggal pengangkatan efektif adalah sejak yang bersangkutan secara efektif memangku jabatannya. Ayat (2) … - 66 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan tanggal pengangkatan efektif adalah sejak yang bersangkutan secara efektif memangku jabatannya. Ayat (3) Penilaian dan penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia tidak dimaksudkan untuk menunda pengangkatan atau penggantian Pejabat Eksekutif, pemimpin Unit Usaha Syariah atau pemimpin Kantor Cabang Syariah. Yang dimaksud dengan bank dalam ayat ini adalah bank umum konvensional dan bank syariah. Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Huruf a dan b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 43 … - 67 - Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung berdasarkan keterlambatan laporan. Huruf b Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung berdasarkan laporan yang tidak disampaikan. Dalam hal Bank dikenakan sanksi tidak menyampaikan laporan, tidak lagi dikenakan sanksi keterlambatan penyampaian laporan. Ayat (3) Batas waktu penyampaian laporan 30 (tiga puluh) hari termasuk batas waktu penyampaian laporan koreksi. Termasuk dalam penyampaian laporan adalah data, informasi dan dokumen yang dipersyaratkan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 … - 68 - Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4177 - 69 -
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 4/1/PBI/2002 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK UMUM KONVENSIONAL MENJADI BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DAN PEMBUKAAN KANTOR BANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH OLEH BANK UMUM KONVENSIONAL </reg_title> <set_date> 27 Maret 2002 </set_date> <effective_date> 27 Maret 2002 </effective_date> <replaced_reg> '2/27/PBI/2000' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 12/ 12 /PBI/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/2/PBI/2008 TENTANG BANK INDONESIA - SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menghadapi dan mengantisipasi perkembangan ekonomi, keuangan dan moneter, efektivitas pelaksanaan operasi moneter perlu ditingkatkan; b. bahwa dalam rangka mendukung peningkatan efektivitas pelaksanaan operasi moneter, Bank Indonesia melakukan penyempurnaan ketentuan mengenai Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/2/PBI/2008 tentang Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 3. Undang-Undang ... -2- 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236); 5. Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/2/PBI/2008 TENTANG BANK INDONESIA – SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/2/PBI/2008 tentang Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4809) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 1, angka 2, angka 3, angka 4, angka 5, angka 6, angka 10 dan angka 21 diubah, dan di antara angka 1 dan angka 2 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 1.a, di antara angka 2 dan angka 3 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 2.a, serta di antara angka 5 dan angka 6 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 5.a, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal ... -3- Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 1.a. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui Operasi Pasar Terbuka dan Koridor Suku Bunga (Standing Facilities). 2. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain dalam rangka Operasi Moneter. 2.a. Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) yang selanjutnya disebut Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada peserta Standing Facilities dan penyediaan penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh peserta Standing Facilities di Bank Indonesia dalam rangka Operasi Moneter. 3. Instrumen Operasi Moneter adalah instrumen yang digunakan dalam rangka OPT dan Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) serta ditatausahakan pada Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System. 4. Fasilitas Pendanaan adalah penyediaan dana yang dapat berupa pemberian kredit atau pembiayaan dari Bank Indonesia kepada Bank yang penatausahaannya dilakukan melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System. 5. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku. 5.a. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disebut SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku. 6. Surat ... -4- 6. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disebut SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara. 7. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, pemerintah dan/atau lembaga lain, yang ditatausahakan dalam Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System. 8. Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang Rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual. 9. Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya dan penatausahaan Surat Berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara Peserta, Penyelenggara dan Sistem BI-RTGS. 10. Transaksi Dengan Bank Indonesia adalah transaksi yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka kegiatan Operasi Moneter, Fasilitas Pendanaan, transaksi SBN untuk dan atas nama pemerintah dan/atau transaksi lainnya melalui BI-SSSS. 11. Penatausahaan Surat Berharga adalah kegiatan yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen serta pembayaran kupon (bunga) atau imbalan dan nilai pokok/nominal Surat Berharga. 12. Penyelenggara BI-SSSS yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah pihak pengelola BI-SSSS yang menyelenggarakan kegiatan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan penatausahaannya serta Penatausahaan Surat Berharga. 13. Peserta BI-SSSS yang selanjutnya disebut Peserta adalah pengguna BI- SSSS yang memenuhi persyaratan dan/atau disetujui oleh Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan/atau Penatausahaan Surat Berharga. 14. Peserta Lelang SBN adalah Bank dan/atau lembaga keuangan lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai dealer utama untuk dapat ikut serta dalam lelang SBN. 15. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi Penatausahaan Surat Berharga untuk kepentingan Peserta yang memiliki rekening Surat Berharga di BI-SSSS. 16. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan kustodian yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Bank Indonesia melakukan ... -5- melakukan fungsi Penatausahaan Surat Berharga untuk kepentingan nasabah. 17. Setelmen Surat Berharga adalah kegiatan pendebetan dan pengkreditan rekening Surat Berharga melalui BI-SSSS dalam rangka penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan Penatausahaan Surat Berharga. 18. Setelmen Dana adalah kegiatan pendebetan dan pengkreditan rekening giro dan/atau rekening lainnya di Bank Indonesia melalui Sistem BI- RTGS dalam rangka penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan Penatausahaan Surat Berharga melalui BI-SSSS. 19. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disebut DVP adalah setelmen transaksi Surat Berharga dengan cara Setelmen Surat Berharga dilakukan bersamaan dengan Setelmen Dana. 20. Free of Payment yang selanjutnya disebut FoP adalah setelmen transaksi Surat Berharga dengan cara Setelmen Surat Berharga dilakukan melalui BI-SSSS, sedangkan Setelmen Dana dilakukan tidak secara bersamaan dengan Setelmen Surat Berharga atau tanpa Setelmen Dana. 21. Rekening Surat Berharga adalah rekening milik Peserta tertentu di BI- SSSS untuk mencatat kepemilikan Surat Berharga dan/atau Instrumen Operasi Moneter. 22. Rekening Giro adalah rekening dalam mata uang Rupiah yang ditatausahakan di Bank Indonesia yang digunakan dalam rangka pelaksanaan BI-SSSS. 2. Penjelasan Pasal 2 ayat (2) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. 3. Ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf b dan ayat (2) diubah sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Pihak-pihak yang dapat menjadi Peserta adalah: a. Bank Indonesia. b. Kementerian Keuangan. c. Bank. d. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. e. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing. f. Perusahaan Efek. g. Pialang pasar modal. h. Lembaga lain yang disetujui oleh Bank Indonesia. (2) Pihak-pihak ... -6- (2) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak sebagai: a. Penerbit Surat Berharga; b. Peserta Operasi Moneter; c. Lembaga perantara dalam kegiatan Operasi Moneter; d. Peserta Fasilitas Pendanaan; e. Peserta Lelang SBN; dan/atau f. Pemilik Rekening Surat Berharga di Central Registry. (3) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi Peserta setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 4. Penjelasan Pasal 4 huruf a angka 1 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. 5. Penjelasan Pasal 14 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. 6. Penjelasan Pasal 15 ayat (1) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. 7. Ketentuan Pasal 16 ayat (2) diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Penyelenggara melakukan penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia. (2) Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kegiatan penatausahaan Instrumen Operasi Moneter, penatausahaan Fasilitas Pendanaan, penatausahaan transaksi SBN untuk dan atas nama pemerintah serta penatausahaan transaksi lainnya melalui BI-SSSS. (3) Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia terdiri dari penatausahaan transaksi yang terkait Surat Berharga dan tanpa Surat Berharga. (4) Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia yang terkait Surat Berharga dilakukan sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 31. 8. Penjelasan Pasal 20 ayat (5) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. 9. Penjelasan Pasal 37 huruf e diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. Pasal ... -7- Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 4 Agustus 2010. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 4 Agustus 2010 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 4 Agustus 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 93 DASP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 12/ 12 /PBI/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/2/PBI/2008 TENTANG BANK INDONESIA - SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2 Ayat (2) Dalam rangka menjaga kelancaran penyelenggaraan BI-SSSS, Penyelenggara antara lain menyediakan aplikasi BI–SSSS, Help Desk terkait dengan operasional BI–SSSS, dan sistem layanan informasi, serta ketentuan dan prosedur baik dalam keadaan normal, keadaaan tidak normal maupun keadaan darurat. Angka 3 Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf ... -2- Huruf d Yang dimaksud “Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian” adalah pihak yang menyelenggarakan kegiatan kustodian sentral bagi Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan pihak lain, sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku. Huruf e Yang dimaksud “Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing” adalah perusahaan yang didirikan khusus untuk melakukan kegiatan jasa perantara bagi kegiatan nasabahnya di bidang pasar uang Rupiah dan valuta asing dengan memperoleh imbalan atas jasanya. Huruf f Yang dimaksud “Perusahaan Efek” adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek dan/atau manajer investasi. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Persetujuan oleh Bank Indonesia antara lain didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang terkait, pertimbangan pengembangan pasar surat berharga di Indonesia, dan/atau pertimbangan teknis. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Peserta Operasi Moneter terdiri dari peserta OPT dan peserta Standing Facilities ... -3- Facilities sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur tentang Operasi Moneter. Huruf c Lembaga perantara dalam kegiatan Operasi Moneter antara lain pialang pasar uang rupiah dan valuta asing, dan/atau pialang pasar modal sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur tentang Operasi Moneter. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 4 Huruf a 1. Pelaksanaan Operasi Moneter oleh Bank Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku; Angka 5 Pasal 14 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 15 Ayat (1) Transaksi Dengan Bank Indonesia secara langsung hanya dapat dilakukan oleh Peserta yang terdaftar ... -4- terdaftar pada Penyelenggara untuk dapat mengikuti Transaksi Dengan Bank Indonesia. Transaksi Dengan Bank Indonesia yang harus dilakukan oleh Peserta secara langsung antara lain transaksi Fasilitas Pendanaan dan transaksi jual beli secara bersyarat (repo). Yang dimaksud dengan “broker” antara lain pialang pasar uang rupiah dan valuta asing sebagai lembaga perantara dalam rangka OPT, serta Bank dan perusahaan efek sebagai peserta lelang SBN. Angka 7 Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penatausahaan Instrumen Operasi Moneter mencakup antara lain kegiatan Setelmen Dana, Setelmen Surat Berharga, pencatatan penerbitan/kepemilikan/penempatan, perhitungan diskonto, pembayaran bunga atau imbalan, nilai pokok/nominal Surat Berharga, dan/atau kewajiban membayar karena kegagalan setelmen. Penatausahaan Fasilitas Pendanaan mencakup antara lain kegiatan Setelmen Dana, pencatatan agunan Surat Berharga, perhitungan dan pembayaran bunga atau imbalan atas penggunaan fasilitas, pelunasan fasilitas saat jatuh waktu dan/atau pelaksanaan eksekusi agunan dalam hal Bank tidak dapat melunasi kewajiban. Penatausahaan SBN untuk dan atas nama pemerintah seperti kegiatan setelmen hasil lelang penerbitan SBN yang antara lain mencakup pencatatan penerbitan dan kepemilikan, Setelmen Dana dan Setelmen Surat Berharga. Ayat ... -5- Ayat (3) Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia yang terkait dengan Surat Berharga antara lain terdiri dari penatausahaan transaksi SBI, jual beli secara bersyarat (repo dan reverse repo) dengan Surat Berharga sebagai underlying transaksi, SBN untuk dan atas nama pemerintah dan Fasilitas Pendanaan dengan jaminan Surat Berharga. Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia tanpa Surat Berharga antara lain terdiri dari penempatan berjangka (term deposit) dan deposit facility. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 8 Pasal 20 Ayat (5) Salah satu ketentuan penatausahaan Surat Berharga yang wajib dipenuhi oleh Sub-Registry adalah ketentuan kewajiban Sub-Registry untuk melakukan penatausahaan SBI sesuai ketentuan one month holding period bagi pemilik SBI. Angka 9 Pasal 37 e. sanksi kewajiban membayar terkait ketentuan Operasi Moneter; TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5146 DASP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 12/12/PBI/2010 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/2/PBI/2008 TENTANG BANK INDONESIA - SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM </reg_title> <set_date> 4 Agustus 2010 </set_date> <effective_date> 4 Agustus 2010 </effective_date> <issued_date> 4 Agustus 2010 </issued_date> <changed_reg> '10/2/PBI/2008' </changed_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '8/UU/1995', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA Nomor: 7/27/PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/17/PBI/2001 TENTANG LAPORAN BERKALA BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam kebijakan moneter dan pengawasan bank berdasarkan risiko informasi bank yang akurat serta tepat waktu; b. bahwa dalam memperoleh informasi yang akurat dan tepat waktu secara efisien diperlukan penyesuaian terhadap tata cara penyusunan dan sistem penyampaian beberapa laporan bank umum, sehingga informasi tersebut dapat diperoleh secara harian; c. bahwa dalam menyesuaikan tata cara penyusunan dan sistem penyampaian terhadap beberapa laporan bank umum telah diberlakukan Peraturan Bank Indonesia tentang Laporan Harian Bank Umum; d. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan tentang Laporan Berkala Bank Umum dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: … rangka penetapan dan pelaksanaan yang diperlukan dukungan data dan - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/17/PBI/2001 tentang Laporan Berkala Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4143); 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/10/PBI/2005 tentang Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4483), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/12/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … - 3 - Tahun 2005 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4499); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/17/PBI/2001 TENTANG LAPORAN BERKALA BANK UMUM. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/17/PBI/2001 tentang Laporan Berkala Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4143) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 2 ayat (3) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: “Pasal 2 (3) Penyusunan LBBU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi data mengenai: a. dana pihak ketiga; b. pos-pos neraca mingguan; c. maturity profile; d. batas maksimum pemberian kredit, yang terdiri dari: 1. pelanggaran … - 4 - 1. pelanggaran batas maksimum pemberian kredit; 2. pelampauan batas maksimum pemberian kredit; 3. penyediaan dana kepada pihak terkait; 4. penyediaan dana oleh Bank yang dijamin Bank lain; dan 5. realisasi jaminan.” 2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: “Pasal 5 Data LBBU berupa data dana pihak ketiga, pos-pos neraca mingguan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b, disusun untuk 4 (empat) masa laporan setiap bulan yaitu: a. masa laporan minggu pertama, meliputi tanggal 1 sampai dengan tanggal 7; b. masa laporan minggu kedua, meliputi tanggal 8 sampai dengan tanggal 15; c. masa laporan minggu ketiga, meliputi tanggal 16 sampai dengan tanggal 23; d. masa laporan minggu keempat, meliputi tanggal 24 sampai dengan akhir bulan.” 3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: “Pasal 6 Data LBBU berupa maturity profile sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c disusun untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap bulan.” 4. Ketentuan … - 5 - 4. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: “Pasal 7 Data LBBU berupa data batas maksimum pemberian kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d disusun untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap bulan.” 5. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: “Pasal 9 Data LBBU yang wajib disampaikan untuk masing-masing periode penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ditetapkan sebagai berikut: a. periode penyampaian I, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga sebelumnya; 2. pos-pos neraca mingguan untuk masa laporan minggu keempat bulan sebelumnya; dan 3. maturity profile untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya. b. periode penyampaian II, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk masa laporan minggu pertama bulan yang bersangkutan; dan 2. pos-pos neraca mingguan untuk masa laporan minggu pertama bulan yang bersangkutan. c. periode penyampaian III, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk masa laporan minggu kedua bulan yang bersangkutan; 2. pos-pos neraca mingguan untuk masa laporan minggu kedua bulan yang bersangkutan; dan 3. batas … untuk masa laporan minggu keempat bulan - 6 - 3. batas maksimum pemberian kredit untuk posisi tanggal akhir bulan sebelumnya. d. periode penyampaian IV, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk masa laporan minggu ketiga bulan yang bersangkutan; dan 2. pos-pos neraca mingguan untuk masa laporan minggu ketiga bulan yang bersangkutan.” 6. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut “Pasal 10 Dalam hal ditemukan kesalahan pada LBBU yang telah disampaikan, Bank wajib melakukan koreksi atas kesalahan tersebut dan menyampaikannya kepada Bank Indonesia dalam periode penyampaian LBBU yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.” Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 26 Agustus 2005. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 24 Agustus 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 75 DPNP/UKMI/DSM/DPIP PENJELASAN PERATURAN BANK INDONESIA Nomor : 7/27/PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/17/PBI/2001 TENTANG LAPORAN BERKALA BANK UMUM UMUM Dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, ditegaskan bahwa bank wajib menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Data dan atau informasi dalam laporan, keterangan, dan penjelasan dimaksud lebih lanjut digunakan antara lain dalam menyusun statistik perbankan untuk analisis ekonomi moneter serta pengawasan dan pembinaan bank. Dalam kaitannya dengan penyusunan statistik perbankan dalam rangka pengawasan dan pembinaan bank, dirasakan perlu dilakukan penyesuaian terhadap tata cara penyusunan dan sistem penyampaian beberapa laporan bank umum, yaitu laporan mengenai posisi devisa neto dan laporan proyeksi arus kas, sehingga data-data yang terkait dengan eksposur bank terhadap valuta asing maupun proyeksi mismatch yang dapat terjadi antara arus kas masuk dan arus kas keluar, dapat diperoleh secara harian. Dengan diberlakukannya ketentuan tentang Laporan Harian Bank Umum, maka penyesuaian terhadap laporan posisi devisa neto dan laporan proyeksi arus kas sebagaimana dimaksud di atas telah dilakukan. Oleh karena itu untuk mencegah … - 2 - mencegah duplikasi laporan, data dan informasi mengenai posisi devisa neto dan proyeksi arus kas yang sebelumnya disampaikan melalui Laporan Berkala Bank Umum perlu disesuaikan sehingga sepenuhnya berpedoman kepada tata cara penyusunan dan sistem penyampaian laporan sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Laporan Harian Bank Umum. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 2 Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan dana pihak ketiga adalah dana pihak ketiga dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang giro wajib minimum bank umum pada Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta asing. Huruf b Yang dimaksud dengan pos-pos neraca mingguan adalah neraca yang disusun secara mingguan sesuai dengan rincian pos-pos neraca sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang laporan bulanan bank umum. Huruf c … - 3 - Huruf c Yang dimaksud dengan maturity profile adalah gambaran atas pos-pos neraca Bank yang akan jatuh tempo sesuai kontraknya atau asumsi lainnya yang jatuh temponya tidak dinyatakan dalam kontrak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang pemantauan likuiditas bank umum. Huruf d Yang dimaksud dengan batas maksimum pemberian kredit adalah persentase perbandingan batas maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang batas maksimum pemberian kredit bank umum. Angka 2 Pasal 5 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 6 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 7 Cukup jelas. Angka 5 … - 4 - Angka 5 Pasal 9 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 10 Sebagai contoh, koreksi atas kesalahan data dana pihak ketiga masa laporan minggu ketiga wajib disampaikan dalam periode penyampaian yang sama dengan periode penyampaian yang ditetapkan untuk data dana pihak ketiga masa laporan minggu ketiga. Kesalahan LBBU antara lain disebabkan adanya temuan Bank, Bank Indonesia, maupun akuntan publik. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4525
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/27/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/17/PBI/2001 TENTANG LAPORAN BERKALA BANK UMUM </reg_title> <set_date> 24 Agustus 2005 </set_date> <effective_date> 26 Agustus 2005 </effective_date> <changed_reg> '3/17/PBI/2001' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/12/PBI/2005', '3/UU/2004', '3/17/PBI/2001', '7/10/PBI/2005', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 21/11/PBI/2019 TENTANG PENYELENGGARAAN CENTRAL COUNTERPARTY UNTUK TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA DAN NILAI TUKAR OVER-THE-COUNTER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang dilakukan dengan cara menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, makroprudensial, serta pengelolaan uang rupiah, yang salah satunya didukung oleh pasar keuangan yang berintegritas dan efisien; b. bahwa untuk mencapai pasar keuangan yang berintegritas dan efisien, tertib, teratur, serta transparan diperlukan lembaga central counterparty yang menyelenggarakan kliring dan novasi atas transaksi derivatif suku bunga dan nilai tukar yang dilakukan secara over-the-counter; c. bahwa untuk mewujudkan terbentuknya lembaga central counterparty yang memiliki integritas, tata kelola yang baik, serta manajemen risiko yang efektif sehingga dapat mengurangi risiko sistemik di pasar keuangan, diperlukan peran Bank Indonesia dalam pengaturan, perizinan, dan pengawasan lembaga central counterparty; sistem pembayaran dan - 2 - d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggaraan Central Counterparty untuk Transaksi Derivatif Suku Bunga dan Nilai Tukar Over-the-Counter; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); Menetapkan : PERATURAN MEMUTUSKAN: BANK INDONESIA TENTANG PENYELENGGARAAN CENTRAL COUNTERPARTY UNTUK TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA DAN NILAI TUKAR OVER- THE-COUNTER. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Transaksi Derivatif Suku Bunga adalah transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari suku bunga. - 3 - 2. Transaksi Derivatif Nilai Tukar adalah transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai tukar. 3. Transaksi Derivatif Suku Bunga dan Nilai Tukar Over-the– Counter yang selanjutnya disebut Transaksi Derivatif SBNT adalah Transaksi Derivatif Suku Bunga dan Transaksi Derivatif Nilai Tukar yang dilakukan secara over-the- counter. 4. Central Counterparty untuk Transaksi Derivatif Suku Bunga dan Nilai Tukar Over-the-Counter yang selanjutnya disebut CCP SBNT adalah lembaga yang menempatkan dirinya di antara para pihak yang melakukan Transaksi Derivatif SBNT sehingga bertindak sebagai pembeli bagi penjual dan sebagai penjual bagi pembeli. 5. Novasi atau Pembaharuan Utang yang selanjutnya disebut Novasi adalah proses pengakhiran kontrak awal antara pembeli dan penjual kemudian menggantikannya dengan dua kontrak baru yaitu antara CCP SBNT dan pembeli serta CCP SBNT dan penjual. 6. Kliring adalah proses yang dilakukan setelah terjadinya transaksi yang mencakup kegiatan merekonsiliasi, mengonfirmasi, dan menghitung hak dan kewajiban para pihak termasuk penghitungan secara netting, yang menunjukkan posisi akhir hak dan kewajiban para pihak sebelum setelmen dilakukan. 7. Anggota CCP SBNT yang selanjutnya disebut Anggota adalah pihak yang memenuhi persyaratan untuk menggunakan layanan jasa Kliring berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh CCP SBNT. 8. Infrastruktur Pasar Keuangan (Financial Market Infrastructure) adalah sistem multilateral yang menyediakan jasa untuk melakukan perdagangan, Kliring, setelmen, pelaporan, dan pencatatan sehubungan dengan transaksi pembayaran, surat berharga, derivatif, dan transaksi keuangan lainnya. - 4 - 9. Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan serta bank umum yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri namun tidak termasuk kantor Bank yang beroperasi di luar negeri. 10. Default Fund Contribution adalah dana yang disetorkan oleh Anggota kepada CCP SBNT sebagai bagian dari mitigasi risiko apabila terjadi wanprestasi Anggota. 11. Initial Margin adalah dana dan/atau surat berharga yang disetorkan oleh Anggota pada saat akan melakukan Transaksi Derivatif SBNT untuk memitigasi potensi perubahan posisi Anggota dalam hal terjadi wanprestasi. 12. Variation Margin adalah dana dan/atau surat berharga yang disetorkan oleh Anggota atas eksposur yang diakibatkan oleh perubahan harga pasar (mark-to-market) Transaksi Derivatif SBNT. BAB II FUNGSI CCP SBNT Pasal 2 CCP SBNT melakukan fungsi: a. Novasi; b. penyelenggaraan Kliring; dan c. pengelolaan risiko, atas Transaksi Derivatif SBNT. - 5 - BAB III PERIZINAN CCP SBNT Bagian Kesatu Persyaratan CCP SBNT Pasal 3 (1) Setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai CCP SBNT wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia. (2) Pihak yang mengajukan permohonan izin menjadi CCP SBNT harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berbentuk perseroan terbatas; b. memenuhi modal minimum; c. memenuhi komposisi kepemilikan saham; dan d. memiliki infrastruktur yang andal dan aman. Pasal 4 (1) Perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a harus memiliki paling sedikit: a. 1 (satu) orang komisaris independen; dan b. 1 (satu) orang direktur yang membidangi CCP SBNT. (2) Direktur yang membidangi CCP SBNT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat merangkap bidang lainnya dengan persetujuan Bank Indonesia. (3) Persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan ukuran dan kompleksitas kegiatan usaha CCP SBNT. Pasal 5 (1) Modal minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b sebesar Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar rupiah). (2) Perhitungan modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas karakteristik usaha dan risiko CCP SBNT. - 6 - (3) Pemenuhan modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pada saat permohonan persetujuan prinsip, modal disetor mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari modal minimum; dan b. pada saat permohonan izin usaha, modal minimum mencapai 100% (seratus persen). Pasal 6 (1) Bank Indonesia dapat meninjau kembali jumlah modal minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1). (2) Bank Indonesia dapat meminta pemegang saham CCP SBNT untuk menyesuaikan permodalan CCP SBNT dengan mempertimbangkan profil risiko dan/atau kondisi kegiatan CCP SBNT. (3) Dalam hal modal CCP SBNT menjadi berkurang di bawah modal minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), CCP SBNT wajib: a. memenuhi kekurangan modal minimum dalam waktu paling lambat 1 (satu) tahun sejak penurunan modal minimum; dan b. menyampaikan laporan kondisi terkini terkait modal minimum beserta rencana aksi pemenuhan modal minimum kepada Bank Indonesia. (4) Rencana aksi terkait pemenuhan modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b harus memperoleh persetujuan Bank Indonesia. Pasal 7 Sumber dana yang digunakan untuk pemenuhan modal dilarang berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dan/atau dari dan untuk tujuan pencucian uang. - 7 - Pasal 8 (1) Komposisi kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. sepenuhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; atau b. dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing, dengan batasan kepemilikan warga negara asing dan/atau badan hukum asing paling banyak 49% (empat puluh sembilan persen) dari modal disetor. (2) Perhitungan kepemilikan warga negara asing dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi kepemilikan secara langsung dan secara tidak langsung sesuai dengan penilaian Bank Indonesia. Pasal 9 (1) Persyaratan infrastruktur yang andal dan aman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d paling sedikit meliputi: a. memiliki kapasitas pemrosesan Kliring Transaksi Derivatif SBNT yang memadai; b. memiliki tingkat keamanan yang memenuhi standar keamanan nasional dan/atau internasional; dan c. memiliki manajemen risiko yang memadai. (2) Wilayah penempatan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai informasi dan transaksi elektronik. Pasal 10 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan CCP SBNT diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 8 - Bagian Kedua Tata Cara Pemberian Izin Pasal 11 Pemberian izin CCP SBNT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu: a. persetujuan prinsip; dan b. izin usaha. Bagian Ketiga Persetujuan Prinsip Pasal 12 (1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a diajukan oleh salah satu anggota direksi secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Pihak yang mengajukan permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang; b. memiliki modal disetor paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari modal minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1); c. memiliki struktur kepemilikan saham; d. terdapat paling sedikit 1 (satu) orang komisaris independen; e. f. terdapat paling sedikit 1 (satu) orang calon direktur yang akan membidangi CCP SBNT; memiliki susunan dan struktur organisasi, serta rencana sumber daya manusia; g. memiliki rencana bisnis untuk 3 (tiga) tahun pertama; h. memiliki rencana strategis perusahaan jangka panjang; - 9 - i. j. memiliki konsep pedoman manajemen risiko, rencana sistem pengendalian intern, rencana sistem teknologi informasi yang digunakan, dan konsep pedoman mengenai pelaksanaan tata kelola; memiliki sistem dan prosedur kerja; dan k. memenuhi persyaratan administratif lain yang ditetapkan Bank Indonesia. Pasal 13 (1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1). (2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut: a. b. c. hasil penelitian atas kelengkapan dan kesesuaian dokumen; hasil analisis terhadap persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2); dan hasil konfirmasi dan/atau keterangan dari instansi terkait yang berwenang, dalam hal diperlukan. (3) Bank Indonesia dapat meminta pihak yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) untuk melakukan presentasi mengenai keseluruhan rencana penyelenggaraan CCP SBNT. Pasal 14 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) diberikan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap dan sesuai. (2) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip diterbitkan. - 10 - (3) Apabila sampai dengan berakhirnya jangka waktu berlakunya persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pihak yang telah memperoleh persetujuan prinsip belum mengajukan permohonan izin usaha kepada Bank Indonesia, persetujuan prinsip yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia dinyatakan tidak berlaku. Pasal 15 Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) yang telah memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dilarang melakukan kegiatan usaha sebagai CCP SBNT sebelum mendapat izin usaha. Pasal 16 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, dokumen pendukung, dan tata cara pengajuan permohonan persetujuan prinsip diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Keempat Izin Usaha Pasal 17 (1) Permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b diajukan oleh salah satu anggota direksi secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Pihak yang mengajukan permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki persetujuan prinsip yang masih berlaku dari Bank Indonesia; b. memiliki modal minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1); c. memiliki rancangan ketentuan CCP SBNT (rule book); d. memiliki bukti kesiapan operasional; e. memiliki anggaran dasar yang memuat: 1. persyaratan bahwa pengangkatan komisaris independen dan direktur yang membidangi CCP - 11 - SBNT harus memperoleh persetujuan Bank Indonesia terlebih dahulu; dan 2. struktur organisasi yang memuat komposisi dewan komisaris dan direksi paling sedikit 1 (satu) orang komisaris independen dan 1 (satu) orang direktur yang membidangi CCP SBNT; f. memenuhi persyaratan integritas, kompetensi, dan/atau aspek keuangan bagi komisaris independen dan direktur yang membidangi CCP SBNT; dan g. memiliki data kepemilikan saham beserta dokumen pendukung dalam hal terdapat perubahan. Pasal 18 (1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1). (2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut: a. b. hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap: 1. komisaris independen; dan 2. direktur yang membidangi CCP SBNT; dan c. hasil konfirmasi dan/atau keterangan dari instansi terkait yang berwenang, dalam hal diperlukan. (3) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditujukan untuk memastikan pemenuhan persyaratan kompetensi dan/atau aspek keuangan. integritas, (4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap dan sesuai. hasil penelitian atas kelengkapan dan kesesuaian dokumen; - 12 - Pasal 19 (1) Pihak yang telah mendapat izin usaha CCP SBNT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) wajib melakukan kegiatan usaha paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal izin usaha diterbitkan. (2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh CCP SBNT kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan kegiatan operasional. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) CCP SBNT belum melakukan kegiatan usaha, izin usaha yang telah diterbitkan oleh Bank Indonesia dinyatakan tidak berlaku. Pasal 20 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, dokumen pendukung, dan tata cara pengajuan permohonan izin usaha diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Kelima Perubahan Komisaris Independen dan Direktur yang Membidangi CCP SBNT serta Aksi Korporasi Pasal 21 (1) CCP SBNT wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia dalam hal akan melakukan perubahan atas komisaris independen dan/atau direktur yang membidangi CCP SBNT. (2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut: a. hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap: 1. komisaris independen; dan/atau 2. direktur yang membidangi CCP SBNT; dan b. hasil konfirmasi dan/atau keterangan dari instansi terkait yang berwenang, dalam hal diperlukan. - 13 - (3) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditujukan untuk memastikan pemenuhan persyaratan integritas, kompetensi dan/atau aspek keuangan. (4) CCP SBNT wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia dalam hal akan melakukan aksi korporasi berupa penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, dokumen pendukung, dan tata cara pengajuan permohonan persetujuan atas perubahan komisaris independen dan direktur yang membidangi CCP SBNT serta aksi korporasi diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB IV TUGAS, WEWENANG, DAN KEWAJIBAN CCP SBNT Bagian Kesatu Tugas CCP SBNT Pasal 22 (1) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, CCP SBNT memiliki tugas: a. melakukan Novasi atas kontrak Transaksi Derivatif SBNT antar-Anggota; b. menyelenggarakan Kliring atas Transaksi Derivatif SBNT secara multilateral; c. mengelola risiko dengan menetapkan standar operasi prosedur manajemen risiko; d. menatausahakan portofolio Transaksi Derivatif SBNT Anggota secara benar, tepat waktu, konsisten, dan transparan; e. menatausahakan Default Fund Contribution, Initial Margin, dan Variation Margin; f. menyusun dan mengembangkan ketentuan CCP SBNT (rule book) yang berlaku bagi Anggota; - 14 - g. melakukan interkoneksi dengan Infrastruktur Pasar Keuangan (Financial Market Infrastructure) dan/atau penyelenggara transaksi; dan h. melakukan pemantauan, evaluasi, dan pengendalian secara rutin terhadap portofolio Transaksi Derivatif SBNT. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas CCP SBNT diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Kedua Wewenang CCP SBNT Pasal 23 (1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, CCP SBNT berwenang: a. menyetujui, menolak, dan menghentikan Anggota; b. mengenakan sanksi kepada Anggota; c. menetapkan besaran Default Fund Contribution, Initial Margin, Variation Margin, dan biaya; d. menetapkan metode valuasi atas Initial Margin dan Variation Margin yang diserahkan Anggota; e. melakukan pengelolaan Default Fund Contribution, Initial Margin, dan Variation Margin sesuai dengan kriteria dan persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; f. mengeksekusi Default Fund Contribution, Initial Margin, dan Variation Margin dalam hal Anggota mengalami wanprestasi; g. melakukan close-out netting, pengakhiran awal (early termination), dan lelang atas transaksi Anggota yang mengalami wanprestasi; dan h. menyusun dan menetapkan ketentuan CCP SBNT (rule book). (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang CCP SBNT diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 15 - Bagian Ketiga Kewajiban CCP SBNT Pasal 24 CCP SBNT wajib memiliki tata kelola perusahaan yang jelas dan transparan, yang memenuhi prinsip keamanan, efisiensi, dan mendukung stabilitas sistem keuangan. Pasal 25 (1) CCP SBNT wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko secara efektif. (2) Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas: a. pedoman etika bisnis sebagai CCP SBNT atau pedoman lain yang sejenis; b. transparansi dan keterbukaan informasi; c. mekanisme penyelesaian sengketa; dan d. perlindungan konsumen. (3) Dalam menerapkan manajemen risiko yang efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), CCP SBNT paling sedikit memiliki: a. kerangka pengelolaan risiko yang memadai; b. rencana pemulihan bencana; c. jaringan komunikasi yang memenuhi prinsip kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan; dan d. manajemen risiko terkait teknologi informasi. Pasal 26 CCP SBNT wajib menerapkan manajemen risiko kredit dan risiko likuiditas secara efektif. Pasal 27 Penerapan manajemen risiko kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dilakukan paling sedikit dengan cara: a. mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengelola risiko kredit; - 16 - b. memiliki prosedur dan mekanisme yang memadai mengenai urutan penggunaan sumber dana (default waterfall) dalam hal terdapat Anggota yang mengalami wanprestasi; c. mengalokasikan persentase tertentu dari modal CCP SBNT sebagai bagian dari urutan penggunaan sumber dana (default waterfall); d. memelihara sumber keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan likuiditas atas eksposur kredit kepada Anggota; e. meminta Initial Margin dan Variation Margin dalam bentuk dana dan/atau surat berharga dengan kualitas tinggi; f. menerapkan metode valuasi dan haircut atas Initial Margin dan Variation Margin dalam bentuk surat berharga berdasarkan prinsip kehati-hatian; g. menerapkan concentration limit untuk Initial Margin dan Variation Margin dalam bentuk surat berharga; dan h. menerapkan sistem Initial Margin dan Variation Margin yang efektif. Pasal 28 Penerapan manajemen risiko likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dilakukan paling sedikit dengan cara: a. mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengelola risiko likuiditas; b. menjaga kecukupan likuiditas untuk melakukan setelmen; dan c. melakukan stress test secara berkala. Pasal 29 (1) CCP SBNT wajib menerapkan manajemen risiko bisnis, risiko custody, risiko investasi, dan risiko operasional secara efektif. - 17 - (2) Penerapan manajemen risiko bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit dengan cara: a. mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengelola risiko bisnis; dan b. memiliki kecukupan aset bersih yang likuid untuk mengantisipasi potensi kerugian bisnis. (3) Penerapan manajemen risiko custody sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit dengan cara: a. mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengelola risiko custody; dan b. melindungi aset CCP SBNT dan aset Anggota yang diserahkan kepada CCP SBNT. (4) Penerapan manajemen risiko investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit dengan cara: a. mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengelola risiko investasi CCP SBNT; dan b. melakukan investasi pada instrumen yang memiliki risiko kredit, risiko pasar, dan risiko likuiditas yang rendah sesuai dengan kriteria investasi yang ditetapkan Bank Indonesia. (5) Penerapan manajemen risiko operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit dengan cara: a. mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengelola risiko operasional; b. memiliki sistem yang memadai untuk mendukung kegiatan operasional CCP SBNT; dan c. memiliki manajemen keberlangsungan bisnis. Pasal 30 (1) CCP SBNT wajib memastikan proses setelmen Transaksi Derivatif SBNT dilakukan secara final. - 18 - (2) Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan dana CCP SBNT dalam mata uang rupiah yang terdapat pada rekening CCP SBNT di Bank Indonesia (central bank money). (3) Dalam hal setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam valuta asing, CCP SBNT harus memiliki mitigasi risiko setelmen. (4) Dalam hal disepakati untuk melakukan physical delivery settlement, CCP SBNT wajib mencantumkan kewajiban CCP SBNT di dalam kontrak. (5) CCP SBNT harus mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengelola risiko yang berpotensi timbul atas physical delivery settlement. Pasal 31 Dalam hal terdapat kewajiban timbal balik (two-linked obligation), CCP SBNT wajib meminimalisir risiko setelmen berupa principal risk yang timbul dari Transaksi Derivatif SBNT melalui mekanisme: a. delivery versus payment (DvP); b. payment versus payment (PvP); c. delivery versus delivery (DvD); atau d. mekanisme lainnya yang dapat meminimalisir risiko setelmen. Pasal 32 CCP SBNT wajib memiliki kebijakan dan prosedur yang jelas mengenai: a. penanganan wanprestasi Anggota; dan b. segregasi dan portabilitas atas posisi transaksi, Default Fund Contribution, Initial Margin, dan Variation Margin dari Anggota. Pasal 33 CCP SBNT wajib menetapkan kriteria dan persyaratan untuk menjadi Anggota secara objektif, berbasis risiko, dan transparan. - 19 - Pasal 34 (1) CCP SBNT harus memberikan layanan Transaksi Derivatif SBNT bagi Anggota secara efektif dan efisien. (2) CCP SBNT wajib menggunakan sarana dan prosedur komunikasi yang lazim untuk memfasilitasi proses pembayaran, Kliring, setelmen, dan pendokumentasian. Pasal 35 (1) CCP SBNT wajib menyampaikan informasi secara lengkap dan transparan kepada Anggota mengenai ketentuan CCP SBNT (rule book), biaya, data Transaksi Derivatif SBNT, dan informasi lainnya terkait dengan keanggotaan dalam CCP SBNT. (2) Penyampaian informasi data Transaksi Derivatif SBNT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan prinsip kerahasiaan data individual berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasal 36 Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban CCP SBNT diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB V SEGREGASI BISNIS Pasal 37 Dalam hal CCP SBNT memberikan jasa lain di luar Transaksi Derivatif SBNT, CCP SBNT wajib: a. memisahkan Default Fund Contribution, Initial Margin, dan Variation Margin yang diterima atas Transaksi Derivatif SBNT dengan default fund contribution, initial margin, dan variation margin atas jasa lain tersebut; dan b. memisahkan mekanisme urutan penggunaan sumber dana (default waterfall) atas Transaksi Derivatif SBNT dengan urutan penggunaan sumber dana (default waterfall) atas jasa lain tersebut. - 20 - Pasal 38 CCP SBNT dapat memisahkan mekanisme urutan penggunaan sumber dana (default waterfall) atas Transaksi Derivatif SBNT berdasarkan kelas aset dan/atau jenis transaksi. Pasal 39 (1) CCP SBNT wajib memisahkan aset, piutang, dan kewajiban milik CCP SBNT dengan aset, piutang, dan kewajiban milik Anggota. (2) CCP SBNT wajib memisahkan rekening Default Fund Contribution, Initial Margin, dan Variation Margin, masing- masing Anggota. (3) CCP SBNT wajib memperlakukan Default Fund Contribution, Initial Margin, dan Variation Margin milik Anggota termasuk tambahan aset hasil Transaksi Derivatif SBNT Anggota yang bersangkutan sebagai milik Anggota. (4) Apabila CCP SBNT dinyatakan pailit, aset milik Anggota yang berada dalam penguasaan CCP SBNT tidak dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban CCP SBNT terhadap pihak ketiga atau krediturnya. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai segregasi bisnis CCP SBNT diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB VI KONEKTIVITAS CCP SBNT Pasal 40 (1) CCP SBNT wajib melakukan interkoneksi dengan Infrastruktur Pasar Keuangan (Financial Market Infrastructure), penyelenggara transaksi, dan/atau infrastruktur lainnya sesuai permintaan Bank Indonesia. (2) Dalam hal CCP SBNT melakukan interkoneksi dengan Infrastruktur Pasar Keuangan (Financial Market Infrastructure), penyelenggara transaksi, dan/atau infrastruktur lainnya berdasarkan inisiatif CCP SBNT, CCP SBNT wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia. - 21 - (3) CCP SBNT wajib mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengelola risiko yang timbul dari transaksi dan/atau hubungan kerja sama dengan Infrastruktur Pasar Keuangan (Financial Market Infrastructure), penyelenggara transaksi, dan/atau infrastruktur lainnya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai konektivitas CCP SBNT diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB VII PENERBITAN KETENTUAN CCP SBNT (RULE BOOK) Pasal 41 (1) Penyusunan ketentuan CCP SBNT (rule book) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c wajib dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. memperhatikan prinsip Infrastruktur Pasar Keuangan (Principles for Financial Market Infrastructure) dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan CCP SBNT; b. meminta pendapat dan masukan dari pelaku pasar dan pihak yang berkepentingan lainnya; dan c. memperoleh persetujuan dari dewan komisaris CCP SBNT. (2) CCP SBNT wajib menyampaikan ketentuan CCP SBNT (rule book) kepada Bank Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah ketentuan CCP SBNT (rule book) berlaku. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai ketentuan CCP SBNT (rule book) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 22 - BAB VIII ANGGOTA CCP SBNT Pasal 42 (1) Anggota CCP SBNT merupakan anggota Kliring langsung yang terdiri atas: a. Anggota Kliring umum; dan b. Anggota Kliring individual. (2) Anggota Kliring umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa Bank yang dapat bertindak untuk kepentingan sendiri dan/atau atas nama nasabahnya. (3) Anggota Kliring individual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa Bank yang bertindak untuk kepentingan sendiri. (4) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Anggota Kliring tidak langsung yang dapat berbentuk: a. Bank; b. lembaga keuangan non-Bank; dan c. pihak lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 43 (1) CCP SBNT wajib mengidentifikasi, memantau, dan mengelola risiko yang timbul dari Anggota dan nasabah yang merupakan anggota Kliring tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (4) (tiered participation arrangements). (2) Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap nasabah yang merupakan anggota Kliring tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (4) dapat dilakukan oleh CCP SBNT baik secara langsung atau melalui anggota Kliring umum. Pasal 44 Ketentuan lebih lanjut mengenai Anggota diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 23 - BAB IX INITIAL MARGIN DAN VARIATION MARGIN Pasal 45 (1) Dalam melakukan kegiatan usahanya, CCP SBNT dapat meminta Initial Margin dan Variation Margin kepada Anggota. (2) Dalam hal Initial Margin dan/atau Variation Margin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk surat berharga, surat berharga tersebut harus likuid dengan risiko kredit, risiko pasar, dan risiko likuiditas yang rendah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Initial Margin dan Variation Margin diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB X JENIS DAN KRITERIA TRANSAKSI Pasal 46 (1) Bank Indonesia menetapkan jenis dan kriteria Transaksi Derivatif SBNT yang wajib di-Kliringkan melalui CCP SBNT. (2) Transaksi Derivatif SBNT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk transfer risiko. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jenis dan kriteria Transaksi Derivatif SBNT yang wajib dilakukan Kliring melalui CCP SBNT diatur dengan ketentuan Bank Indonesia. BAB XI LAPORAN DAN PENGAWASAN Bagian Kesatu Laporan Pasal 47 (1) CCP SBNT wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia melalui sistem pelaporan Bank Indonesia. - 24 - (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. b. laporan berkala; dan laporan insidental. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara offline dalam hal sistem pelaporan secara online belum tersedia. Pasal 48 (1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf a terdiri atas: a. laporan operasional harian dan bulanan terkait Transaksi Derivatif SBNT; b. laporan keuangan triwulanan dan laporan keuangan tahunan; c. laporan hasil rapat umum pemegang saham (RUPS) tahunan; d. e. laporan hasil stress test; dan laporan evaluasi tahunan kepatuhan terhadap prinsip Infrastruktur Pasar Keuangan (Principles for Financial Market Infrastructure). (2) Laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf b terdiri atas: a. laporan wanprestasi Anggota; b. laporan hasil rapat umum pemegang saham (RUPS) luar biasa; c. laporan perubahan keanggotaan CCP SBNT; d. laporan pengenaan sanksi oleh CCP SBNT terhadap Anggota; e. laporan mengenai peristiwa khusus; f. laporan mengenai pembukaan layanan atau jasa tambahan kepada Anggota yang telah mendapatkan persetujuan dari otoritas terkait; dan g. laporan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai format dan tata cara penyampaian laporan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 25 - Bagian Kedua Pengawasan Pasal 49 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan kepada CCP SBNT. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. pengawasan tidak langsung; dan b. pemeriksaan. (3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas lain yang berwenang. (4) Untuk keperluan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), CCP SBNT wajib memberikan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan Bank Indonesia. (5) CCP SBNT wajib bertanggung jawab atas kebenaran data, informasi, dan/atau keterangan yang disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. (7) Pihak yang ditugaskan melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib menjaga kerahasiaan data, informasi, dan keterangan yang diperoleh dari hasil pemeriksaan. Pasal 50 Dalam hal hasil pengawasan Bank Indonesia menunjukkan bahwa CCP SBNT tidak dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya secara memadai, Bank Indonesia berwenang: a. meminta CCP SBNT untuk: 1. melakukan atau tidak melakukan sesuatu; dan 2. menghentikan sebagian atau seluruh kegiatan; dan/atau b. mencabut izin usaha CCP SBNT. - 26 - Pasal 51 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB XII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 52 (1) CCP SBNT yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), Pasal 7, Pasal 8 ayat (1), Pasal 15, Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 24, Pasal 25 ayat (1), Pasal 26, Pasal 29 ayat (1), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 ayat (2), Pasal 35 ayat (1), Pasal 37, Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 40 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 43 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), dan/atau Pasal 49 ayat (4) dan ayat (5) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) CCP SBNT yang dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk: a. pelanggaran ketentuan yang sama sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun kalender; atau b. pelanggaran beberapa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebanyak 5 (lima) kali dalam jangka waktu 1 (satu) tahun kalender, dikenai sanksi penghentian sementara atas kegiatan sebagai CCP SBNT. (3) CCP SBNT dikenai sanksi pencabutan izin usaha apabila tidak melaksanakan sanksi penghentian sementara atas kegiatan sebagai CCP SBNT sebagaimana dimaksud pada ayat (2). - 27 - Pasal 53 Pihak lain yang ditugaskan Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (6) yang melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (7) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 54 Pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai CCP SBNT tanpa memiliki izin dari Bank Indonesia dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 55 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 56 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 2020. - 28 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 September 2019 GUBERNUR BANK INDONESIA, TTD PERRY WARJIYO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 September 2019 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, TTD YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 159 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 21/11/PBI/2019 TENTANG PENYELENGGARAAN CENTRAL COUNTERPARTY UNTUK TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA DAN NILAI TUKAR OVER-THE-COUNTER I. UMUM Pembentukan central counterparty (CCP) di Indonesia merupakan suatu inisiatif yang sejalan dengan komitmen Indonesia dalam memenuhi rekomendasi The Group of Twenty (G20) yang diadopsi dari Financial Stability Board (FSB) dan International Organization of Securities Commissions (IOSCO) untuk memitigasi risiko akibat Transaksi Derivatif SBNT yang dilakukan secara over-the-counter. Selain memenuhi rekomendasi G20, pendirian CCP SBNT ini juga bertujuan untuk mengurangi risiko sistemik dimana CCP bertindak sebagai manajemen risiko yang independen, mempercepat proses pengembangan pasar derivatif Indonesia, serta memperkuat infrastruktur di pasar keuangan. Di sisi lain, pembentukan CCP SBNT di Indonesia perlu segera dilaksanakan mengingat saat ini di negara-negara seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang telah memberlakukan pengaturan kewajiban margin yang lebih tinggi (global margin requirement) untuk transaksi derivatif yang tidak di-Kliringkan melalui CCP. Atas dasar hal tersebut, Bank Indonesia berinisiatif untuk mengatur mengenai CCP SBNT di Indonesia sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan stabilitas sistem keuangan, mempercepat proses pengembangan, dan pendalaman pasar keuangan domestik, sekaligus sebagai respons terhadap rekomendasi G20. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “modal” adalah modal disetor, saldo laba (rugi), dan komponen modal lainnya. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “komisaris independen” adalah anggota dewan komisaris yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham, dan/atau hubungan keluarga dengan anggota dewan komisaris lainnya, direksi, dan/atau pemegang saham pengendali atau hubungan lain yang dapat memengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. - 3 - Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh kepemilikan langsung dan tidak langsung yaitu: PT “ABC” dimiliki oleh PT “X” sebesar 30% (tiga puluh persen), PT “Y” sebesar 20% (dua puluh persen), dan PT “Z” sebesar 50% (lima puluh persen). PT “X” dimiliki oleh “QRS” Ltd sebesar 40% (empat puluh persen). Kepemilikan PT “X” pada PT “ABC” dikategorikan sebagai kepemilikan secara langsung, sedangkan kepemilikan “QRS” Ltd pada PT “ABC” dikategorikan sebagai kepemilikan secara tidak langsung. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “infrastruktur” adalah sistem Kliring, pusat data, dan pusat pemulihan bencana. Ayat (2) Cukup Jelas. Pasal 10 Cukup jelas. - 4 - Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. - 5 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Pelaksanaan tugas menatausahakan Default Fund Contribution, Initial Margin, dan Variation Margin dilakukan oleh CCP SBNT dengan cara melakukan perhitungan, pengumpulan, dan penatausahaan. Huruf f Penyusunan ketentuan CCP SBNT (rule book) dilakukan dengan mengacu kepada standar dan prinsip Infrastruktur Pasar Keuangan (Principles for Financial Market Infrastructure). Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. - 6 - Huruf g Yang dimaksud dengan “close-out netting” adalah proses pengakhiran seluruh Transaksi Derivatif SBNT dan transaksi derivatif lainnya dalam satu perjanjian induk dan dengan menghitung nilai bersih (netting) dari nilai atau jumlah hak atau kewajiban dengan pihak yang mengalami wanprestasi (defaulting party). Netting dapat dilakukan dengan mengacu pada harga pasar (mark-to-market). Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Risiko yang dikelola oleh CCP SBNT antara lain risiko hukum, risiko kredit, risiko likuiditas, risiko operasional, dan risiko lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. - 7 - Huruf d Cukup jelas. Huruf e Initial Margin dan Variation Margin dalam bentuk surat berharga dengan kualitas tinggi harus memiliki risiko kredit, risiko pasar, dan risiko likuiditas yang rendah. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan “concentration limit” adalah suatu batasan yang ditetapkan oleh CCP SBNT untuk membatasi penerbit surat berharga dan/atau jenis surat berharga yang diterima sebagai Initial Margin dan Variation Margin tertentu. Huruf h Yang dimaksud dengan “efektif” adalah sistem Initial Margin dan Variation Margin yang tepat untuk setiap produk, portofolio, dan pasar keuangan sesuai kelas aset yang di-Kliringkan. Pasal 28 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pelaksanaan stress testing paling sedikit memperhitungkan skenario wanprestasi Anggota beserta afiliasinya yang berpotensi memunculkan kewajiban besar yang harus ditanggung oleh CCP SBNT dalam kondisi pasar yang ekstrem namun masih terukur. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. - 8 - Huruf b Yang dimaksud dengan “aset bersih” adalah aset CCP SBNT yang bersumber dari modal dan laba ditahan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “final” adalah setelmen tidak dapat dibatalkan dan tidak dapat ditarik kembali. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “mitigasi risiko setelmen” adalah dengan menggunakan sarana yang aman dan handal seperti payment versus payment atau continuous linked settlement system. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 31 Contoh kewajiban timbal balik (two-linked obligation): Bank A sebagai Anggota melakukan transaksi FX forward jual yang dilakukan Kliring melalui CCP SBNT. Pada saat setelmen, Bank A wajib menyerahkan valuta asing sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) kepada CCP SBNT dan berhak menerima dana sebesar Rp14.000.000.000,00 (empat belas miliar rupiah) dari CCP SBNT. Penyelesaian hak dan kewajiban tersebut harus diselesaikan melalui mekanisme payment versus payment (PvP). Yang dimaksud dengan “principal risk” adalah risiko kehilangan seluruh dana yang ditransaksikan. - 9 - Contoh principal risk: Penjual dalam suatu transaksi aset finansial telah mengirimkan aset kepada pembeli namun tidak memperoleh pembayaran. Pasal 32 Kebijakan dan prosedur dituangkan dalam prosedur operasional standar internal dan ketentuan CCP SBNT (rule book). Huruf a Kebijakan dan prosedur yang jelas mengenai penanganan wanprestasi yang dialami Anggota merupakan pedoman bagi CCP SBNT untuk mengambil langkah guna menghindari kerugian dan tekanan likuiditas serta memastikan kemampuan CCP SBNT dalam memenuhi kewajibannya. Contoh kebijakan dan prosedur penanganan wanprestasi yaitu kebijakan dan prosedur mengenai mekanisme urutan penggunaan sumber dana (default waterfall) yang dicadangkan untuk memitigasi risiko finansial akibat adanya Anggota yang mengalami wanprestasi. Huruf b Penerapan segregasi dan portabilitas antara lain dituangkan dalam perjanjian mengenai segregasi dan portabilitas yang melindungi posisi Anggota dan kliennya serta melindungi Default Fund Contribution, Initial Margin, dan Variation Margin dari kejadian wanprestasi Anggota tersebut. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "efektif” adalah kemampuan CCP SBNT dalam memenuhi kewajibannya secara tepat waktu dan memenuhi prinsip keamanan (security) dalam melaksanakan kegiatannya. Yang dimaksud dengan “efisien” adalah kemampuan CCP SBNT untuk memperhitungkan cost and benefit yang efisien atas layanan yang diberikan antara lain pilihan jenis Kliring dan - 10 - setelmen (gross, net, atau hybrid), jenis produk yang di- Kliringkan, dan penggunaan teknologi komunikasi. Ayat (2) Contoh sarana dan prosedur komunikasi yang lazim antara lain penggunaan Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Huruf a Contoh: CCP SBNT memisahkan Default Fund Contribution, Initial Margin, dan Variation Margin untuk Transaksi Derivatif SBNT dengan default fund contribution dan margin untuk transaksi derivatif saham. Huruf b Contoh: CCP SBNT memisahkan urutan penggunaan sumber dana (default waterfall) untuk Transaksi Derivatif SBNT dengan urutan penggunaan sumber dana (default waterfall) untuk transaksi derivatif saham. Pasal 38 Contoh: CCP SBNT memisahkan urutan penggunaan sumber dana (default waterfall) berdasarkan kelas aset suku bunga dan nilai tukar. CCP SBNT juga dapat memisahkan urutan penggunaan sumber dana (default waterfall) berdasarkan jenis transaksi domestic non-deliverable forward dan FX swap. Pasal 39 Cukup jelas. - 11 - Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “Principles for Financial Market Infrastructure” adalah prinsip Infrastruktur Pasar Keuangan yang diterbitkan oleh Bank for International Settlements (BIS). Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan CCP SBNT” antara lain ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah, transaksi derivatif suku bunga rupiah, dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai kegiatan pasar modal. Huruf b Yang dimaksud dengan “pihak yang berkepentingan lainnya” antara lain Anggota, pihak yang memiliki kepentingan karena adanya hubungan keuangan, hubungan transaksional, dan/atau hubungan kepemilikan dengan CCP SBNT. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “Anggota Kliring umum” adalah Anggota yang berhak melakukan Transaksi Derivatif SBNT yang di-Kliringkan melalui CCP SBNT, baik untuk keperluan diri sendiri dan/atau nasabahnya. - 12 - Huruf b Yang dimaksud dengan “Anggota Kliring individual” adalah Anggota yang berhak melakukan Transaksi Derivatif SBNT yang di-Kliringkan melalui CCP SBNT untuk keperluan diri sendiri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud “Anggota Kliring tidak langsung” adalah Anggota yang membuka keanggotaan melalui Anggota Kliring umum. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Ayat (1) Huruf a Laporan operasional harian antara lain laporan hasil Kliring dan laporan penyelesaian transaksi. Laporan operasional bulanan antara lain rekapitulasi kegiatan selama periode bulan terkait dilengkapi dengan statistik perkembangan volume Kliring dan penyelesaian - 13 - transaksi, termasuk laporan mengenai kondisi urutan penggunaan sumber dana (default waterfall). Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Termasuk dalam laporan mengenai peristiwa khusus antara lain laporan mengenai pelanggaran hukum, perselisihan dengan anggota, pengenaan sanksi oleh otoritas lain, kejadian yang memengaruhi kelancaran operasional, penurunan rating, dan penurunan modal. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Pelaksanaan pengawasan Bank Indonesia kepada CCP SBNT ditujukan antara lain untuk memastikan kondisi kecukupan modal dan ketahanan CCP SBNT. - 14 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia antara lain akuntan publik dan penilai publik. Dalam menugaskan pihak lain untuk melakukan pemeriksaan, Bank Indonesia mengeluarkan surat perintah kerja dan menetapkan terms of reference. Ayat (7) Kewajiban merahasiakan data, informasi, dan keterangan yang diperoleh dari pemeriksaan berlaku untuk seluruh komisaris, direksi, dan pegawai yang terkait dengan pemeriksaan. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. - 15 - Pasal 56 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6381
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 21/11/PBI/2019 </reg_id> <reg_title> PENYELENGGARAAN CENTRAL COUNTERPARTY UNTUK TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA DAN NILAI TUKAR OVER-THE-COUNTER </reg_title> <set_date> 5 September 2019 </set_date> <effective_date> 1 Juni 2020 </effective_date> <issued_date> 09 September 2019 </issued_date> <related_reg> '24/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/2/PBI/2015 TENTANG SUKU BUNGA PENAWARAN ANTARBANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mendukung stabilitas moneter dan sistem keuangan dibutuhkan efisiensi transaksi di pasar uang; b. bahwa efisiensi transaksi di pasar uang perlu ditunjang oleh pasar uang yang likuid dan dalam; c. bahwa pasar uang yang likuid dan dalam membutuhkan suku bunga penawaran antarbank yang kredibel; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Suku Bunga Penawaran Antarbank; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-… - 2 - 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SUKU BUNGA PENAWARAN ANTARBANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Suku Bunga Penawaran Antarbank adalah Jakarta Interbank Offered Rate dan Jakarta Interbank Bid Rate. 2. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disebut JIBOR adalah rata-rata dari suku bunga indikasi pinjaman tanpa agunan (unsecured) yang ditawarkan dan dimaksudkan untuk ditransaksikan oleh Bank Kontributor kepada Bank Kontributor lain untuk meminjamkan rupiah untuk tenor tertentu di Indonesia. 3. Jakarta Interbank Bid Rate yang selanjutnya disebut JIBID adalah rata-rata dari suku bunga indikasi pinjaman tanpa agunan (unsecured) yang diminta dan dimaksudkan untuk ditransaksikan oleh Bank Kontributor kepada Bank Kontributor lain untuk meminjam rupiah untuk tenor tertentu di Indonesia. 4. Bank… - 3 - 4. Bank adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 5. Bank Kontributor adalah Bank yang menyampaikan suku bunga indikasi kepada Bank Indonesia untuk digunakan dalam penetapan Suku Bunga Penawaran Antarbank. 6. Asking Bank adalah Bank Kontributor yang meminta Quoting Bank untuk melakukan transaksi dengan Asking Bank. 7. Quoting Bank adalah Bank Kontributor yang menerima permintaan Asking Bank untuk melakukan transaksi dengan Asking Bank. BAB II PENETAPAN SUKU BUNGA PENAWARAN ANTARBANK Pasal 2 (1) Suku Bunga Penawaran Antarbank ditetapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan suku bunga indikasi yang disampaikan oleh Bank Kontributor. (2) Bank Kontributor ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Suku Bunga Penawaran Antarbank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 3 (1) Bank Kontributor wajib menyampaikan kuotasi suku bunga indikasi kepada Bank Indonesia. (2) Suku bunga indikasi sebagaimana dimaksud pada ayat memperhatikan spread antara offer rate dan bid rate. (1) (3) Tata… - 3 - (3) Tata cara penyampaian suku bunga indikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai spread antara offer rate dan bid rate sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 4 (1) Bank Kontributor dapat bertindak sebagai Asking Bank atau Quoting Bank. (2) Asking Bank dapat meminta Quoting Bank untuk: a. meminjam rupiah dari Asking Bank; atau b. meminjamkan rupiah kepada Asking Bank, pada tingkat suku bunga sesuai suku bunga indikasi yang disampaikan oleh Quoting Bank. (3) Quoting Bank wajib memenuhi permintaan transaksi (deal) dari Asking Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sepanjang memenuhi batasan waktu dan batasan tertentu. (4) Dalam hal Bank Kontributor yang bertindak sebagai Quoting Bank tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Kontributor yang bertindak sebagai Asking Bank harus menyampaikan informasi mengenai penolakan tersebut secara tertulis kepada Bank Indonesia. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai batasan waktu dan batasan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB III… - 5 - BAB III SANKSI Pasal 5 (1) Bank Kontributor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum. (2) Bank Kontributor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 6 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 7 Semua istilah JIBOR yang tercantum dalam ketentuan Bank Indonesia yang sudah ada sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, harus dibaca sebagai JIBOR sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 8 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Pasal 5 dan Pasal 22 ayat (1) huruf b Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/8/PBI/2011 tentang… - 6 - tentang Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5194), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2015. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Maret 2015 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 Maret 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 68 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/2/PBI/2015 TENTANG SUKU BUNGA PENAWARAN ANTARBANK I. UMUM Suku Bunga Penawaran Antarbank berperan penting dalam mendukung stabilitas moneter dan sistem keuangan yaitu dengan meningkatkan efisiensi transaksi di pasar uang. Penetapan Suku Bunga Penawaran Antarbank akan mengurangi kompleksitas kontrak keuangan dengan mendorong standardisasi penggunaan suku bunga acuan pada surat utang dan/atau pinjaman dengan suku bunga mengambang, derivatif suku bunga rupiah dan juga untuk valuasi instrumen keuangan. Pengaturan Suku Bunga Penawaran Antarbank bertujuan untuk memastikan bahwa proses penetapan Suku Bunga Penawaran Antarbank dilakukan secara terpercaya dan akurat dalam rangka menjaga integritas dan kredibilitas dari suku bunga yang disampaikan oleh Bank Kontributor. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Suku bunga indikasi yang disampaikan adalah suku bunga pinjaman tanpa agunan (unsecured) dimana Bank Kontributor bersedia untuk: a. meminjamkan… - 2 - a. meminjamkan rupiah kepada Bank Kontributor lain (offer rate); dan b. meminjam rupiah dari Bank Kontributor lain (bid rate). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5681
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 17/2/PBI/2015 </reg_id> <reg_title> SUKU BUNGA PENAWARAN ANTARBANK </reg_title> <set_date> 26 Maret 2015 </set_date> <effective_date> 1 April 2015 </effective_date> <issued_date> 26 Maret 2015 </issued_date> <replaced_reg> '13/8/PBI/2011 | Pasal 5 dan Pasal 22 Ayat (1) Huruf b' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/34/PBI/2005 TENTANG TINDAK LANJUT PENANGANAN TERHADAP BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM STATUS PENGAWASAN KHUSUS GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa upaya penyehatan terhadap Bank Perkreditan Rakyat merupakan kegiatan yang berkelanjutan dalam rangka mendorong tumbuhnya industri Bank Perkreditan Rakyat yang sehat; b. bahwa tumbuhnya industri Bank Perkreditan Rakyat yang sehat akan dapat memelihara kepercayaan masyarakat; c. bahwa sebagai bagian dari upaya penyehatan, Bank Perkreditan Rakyat yang mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam status pengawasan khusus, dan apabila tidak dapat disehatkan lagi akan dibekukan kegiatan usahanya; d. bahwa ... - 2 - d. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan, Lembaga tentang Penjamin Simpanan memiliki tugas untuk menyelesaikan bank yang telah ditetapkan dalam status pengawasan khusus dinyatakan tidak serta dapat disehatkan lagi oleh Lembaga Pengawas Perbankan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya; e. bahwa berhubung dengan itu, perlu diatur kembali ketentuan tentang tindak lanjut penanganan terhadap Bank Perkreditan Rakyat dalam status Pengawasan Khusus; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik … - 3 - Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420); M E M U T U S K A N : Menetapkan : TINDAK LANJUT PENANGANAN TERHADAP BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM STATUS PENGAWASAN KHUSUS BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR, adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998. 2. Lembaga … - 4 - 2. Lembaga Penjamin Simpanan, yang selanjutnya disebut LPS, adalah badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. 3. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, yang selanjutnya disebut dengan Rasio KPMM, adalah perbandingan antara modal bank terhadap aktiva tertimbang menurut risiko sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Perkreditan Rakyat, dan perubahannya. 4. Cash Ratio, yang selanjutnya disebut dengan CR, adalah perbandingan antara alat likuid terhadap hutang lancar sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat, dan perubahannya. BAB II BPR DALAM PENGAWASAN KHUSUS Pasal 2 (1) Dalam hal Bank Indonesia menilai suatu BPR mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya maka BPR tersebut dalam status pengawasan khusus Bank Indonesia; ditetapkan (2) Bank Indonesia menetapkan BPR dalam status pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi 1 (satu) atau lebih kriteria sebagai berikut: a. Rasio KPMM kurang dari 4% (empat perseratus); b. CR … - 5 - b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tiga perseratus). Pasal 3 (1) Dalam rangka pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Bank Indonesia dapat memerintahkan BPR dan/atau pemegang saham untuk: a. menambah modal, b. menghapusbukukan kredit yang tergolong macet dan memperhitungkan kerugian BPR dengan modalnya, c. mengganti anggota direksi dan/atau dewan komisaris BPR, d. melakukan merger atau konsolidasi dengan BPR lain, e. menjual BPR kepada pembeli yang bersedia mengambilalih seluruh kewajiban BPR, f. menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan BPR kepada pihak lain, g. menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban BPR kepada pihak lain, dan/atau h. menghentikan kegiatan usaha tertentu dalam waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS mengenai BPR yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus. (3) Pemberitahuan kepada LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan keterangan mengenai kondisi BPR yang bersangkutan. (4) Bank … - 6 - (4) Bank Indonesia mengumumkan BPR yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal penetapan BPR dalam status pengawasan khusus. Pasal 4 (1) Dalam rangka pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank Indonesia dapat menempatkan petugas Bank Indonesia untuk melakukan pemantauan secara langsung terhadap kegiatan operasional BPR. (2) Penempatan petugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi tanggungjawab pengurus dan/atau pemegang saham BPR terhadap kegiatan operasional dan kewajiban BPR. Pasal 5 (1) Jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal pemberitahuan penetapan status BPR dalam pengawasan khusus dari Bank Indonesia. (2) Apabila dalam jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemegang saham dan/atau BPR melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 maka jangka waktu dimaksud tidak termasuk jangka waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan dalam proses hukum sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 6 ... - 7 - Pasal 6 Selama jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), BPR dapat dikeluarkan dari status pengawasan khusus apabila memenuhi kriteria: a. Rasio KPMM paling sedikit sebesar 4% (empat perseratus), dan b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling sedikit sebesar 3% (tiga perseratus). Pasal 7 Pada saat berakhirnya jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), BPR dapat dikeluarkan dari status pengawasan khusus apabila memenuhi kriteria: a. Rasio KPMM paling sedikit sebesar 4% (empat perseratus), dan b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling sedikit sebesar 3% (tiga perseratus). Pasal 8 (1) BPR yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak pengawasan khusus wajib memperbaiki kondisi keuangan sehingga: a. Rasio KPMM meningkat paling sedikit 25% (dua puluh lima perseratus) dari selisih untuk mencapai Rasio KPMM sebesar 4 % (empat perseratus); dan b. Rasio ... - 8 - b. Rasio KPMM sebagaimana dimaksud pada huruf a lebih besar dari 0% (nol perseratus). (2) BPR yang tidak dapat memenuhi ketentuan pada ayat (1) dilarang melakukan kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana dan Bank Indonesia akan mengumumkannya kepada masyarakat. BAB III PEMBERITAHUAN KEPADA LPS DAN PENCABUTAN IZIN USAHA Pasal 9 (1) Dalam hal BPR yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus: a. tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, atau b. tidak dapat meningkatkan Rasio KPMM menjadi lebih besar dari 0% (nol perseratus) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak ditetapkan dalam status pengawasan khusus, bagi BPR yang pada saat ditetapkan dalam status pengawasan khusus memiliki rasio KPMM sama dengan atau lebih kecil dari 0% (nol perseratus); atau c. memiliki Rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% (nol perseratus) dan/atau memiliki CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 1% (satu perseratus) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak ditetapkan dalam status pengawasan khusus, bagi BPR yang pada saat ditetapkan dalam status pengawasan khusus memiliki rasio KPMM lebih besar dari 0% (nol perseratus); atau d. memiliki … - 9 - d. memiliki Rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% (nol perseratus) dan/atau memiliki CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 1% (satu perseratus) setelah jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan c, sampai dengan 1 (satu) hari sebelum berakhirnya jangka waktu pengawasan khusus, Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS dan meminta LPS untuk memberikan keputusan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan BPR yang bersangkutan. (2) Dalam hal LPS memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mencabut izin usaha BPR yang bersangkutan setelah memperoleh pemberitahuan dari LPS Pasal 10 (1) Bank Indonesia memberitahukan keputusan pencabutan izin usaha BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) kepada BPR yang bersangkutan dan kepada LPS serta mengumumkannya kepada masyarakat. (2) Penyelesaian lebih lanjut BPR yang telah dicabut izin usahanya oleh Bank Indonesia dilakukan oleh LPS sesuai dengan ketentuan yang berlaku. BAB V … - 10 - BAB IV SANKSI Pasal 11 Bank Indonesia dapat mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain berupa larangan menjadi pengurus BPR dan/atau pemegang saham BPR apabila tidak melaksanakan kewajiban sesuai perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1). BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 12 Tindak lanjut terhadap BPR yang telah ditetapkan dalam status pengawasan khusus sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 13 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia No.3/15/PBI/2001 tentang Penetapan Status BPR dalam Pengawasan Khusus dan Pembekuan … - 11 - Pembekuan Kegiatan Usaha sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No.3/24/PBI/2001, beserta ketentuan pelaksanaanya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 14 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal : 22 September 2005 a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA MIRANDA S. GOELTOM DEPUTI GUBERNUR SENIOR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 88 DPBPR/DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/34/PBI/2005 TENTANG TINDAK LANJUT PENANGANAN TERHADAP BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM STATUS PENGAWASAN KHUSUS UMUM Dalam rangka memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri Bank Perkreditan Rakyat, diperlukan upaya penyehatan terhadap Bank Perkreditan Rakyat yang bersifat sistematis dan berkelanjutan dalam mendorong tumbuhnya industri Bank Perkreditan Rakyat yang sehat. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, penyelesaian bank yang telah ditetapkan dalam status pengawasan khusus serta dinyatakan tidak dapat disehatkan lagi oleh Lembaga Pengawas Perbankan dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam melindungi kepentingan publik, khususnya nasabah atau calon nasabah penyimpan, Bank Indonesia akan mengumumkan Bank Perkreditan Rakyat yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus, dan mengumumkan larangan penghimpunan … - 2 - penghimpunan dan penyaluran dana setelah memberikan kesempatan kepada Bank Perkreditan Rakyat untuk memperbaiki kondisi keuangannya. Sehubungan dengan hal tersebut perlu diatur kembali ketentuan tentang lanjut penanganan terhadap Bank Perkreditan Rakyat dalam status pengawasan khusus dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. tindak PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Penilaian Bank Indonesia dilakukan berdasarkan penelitian yang mendalam atas laporan dan/atau pemeriksaan. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir dihitung berdasarkan posisi laporan bulanan BPR selama 6 (enam) bulan terakhir. Pasal 3 … - 3 - Pasal 3 Ayat (1) Pelaksanaan perintah Bank Indonesia didasarkan atas ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h … - 4 - Huruf h Penghentian kegiatan usaha tertentu dapat meliputi antara lain penghentian penghimpunan dan penyaluran dana. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pengumuman ini merupakan transparansi dari kebijakan Bank Indonesia sebagai bagian dari akuntabilitas publik terhadap pelaksanaan tugas mengatur dan mengawasi Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun Tahun 2004. Pengumuman dilakukan pada papan pengumuman di kantor BPR atau di kelurahan/kecamatan tempat kedudukan BPR yang bersangkutan. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 … - 5 - Pasal 5 Ayat (1) Pemberitahuan mengenai penetapan status BPR dalam pengawasan khusus antara lain dapat dilakukan secara langsung pertemuan dengan pengurus dan/atau pemegang saham BPR, secara tertulis melalui surat atau sarana lain. Ayat (2) Peningkatan Rasio KPMM dapat dibuktikan antara lain dengan adanya tambahan setoran modal yang ditempatkan dalam escrow account pada bank umum, yang penarikannya hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Bank Indonesia. Proses hukum yang menyertai tambahan setoran modal dimaksud tidak diperhitungkan dalam jangka waktu pengawasan khusus sepanjang BPR telah menyampaikan bukti pengurusan untuk memenuhi persyaratan dalam proses hukum. Bukti pengurusan meliputi tanda terima pengurusan proses hukum, antara lain dari notaris dan/atau pejabat dari instansi yang berwenang. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 … dalam - 6 - Pasal 8 Ayat (1) Contoh: Apabila pada saat ditetapkan dalam status pengawasan khusus BPR memiliki Rasio KPMM sebesar -1% (negatif satu perseratus), maka selisih untuk mencapai Rasio KPMM sebesar 4% (empat perseratus) adalah 5% (lima perseratus). Dalam hal ini, BPR wajib meningkatkan Rasio KPMM paling sedikit 25% (dua puluh lima perseratus) sehingga menjadi 0,25% (nol koma dua puluh lima perseratus). Ayat (2) Contoh: Apabila BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya mampu meningkatkan Rasio KPMM menjadi sebesar 0,24% (nol koma dua puluh empat perseratus) maka BPR dilarang melakukan penghimpunan dan penyaluran dana. Pasal 9 Ayat (1) Mekanisme pemberitahuan kepada LPS dan batas waktu pengambilan keputusan oleh LPS Kesepakatan Bersama antara Bank Indonesia dan LPS. akan dituangkan dalam Ayat 2 … - 7 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Pengumuman dilakukan pada papan pengumuman di kantor BPR yang bersangkutan, kelurahan/kecamatan tempat kedudukan BPR atau surat kabar harian setempat. Ayat (2) Penyelesaian yang Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. dilakukan oleh LPS meliputi antara lain pembayaran klaim penjaminan simpanan dan likuidasi. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4534
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/34/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> TINDAK LANJUT PENANGANAN TERHADAP BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM STATUS PENGAWASAN KHUSUS </reg_title> <set_date> 22 September 2005 </set_date> <effective_date> 22 September 2005 </effective_date> <replaced_reg> '3/15/PBI/2001', '3/24/PBI/2001' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '24/UU/2004', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>