input
stringlengths 912
558k
| output
stringlengths 234
2.18k
|
---|---|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/12/PBI/ 2004
TENTANG
KREDIT INVESTASI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN
DENGAN POLA PERUSAHAAN INTI RAKYAT YANG DIKAITKAN
DENGAN PROGRAM TRANSMIGRASI (PIR-TRANS) PRA KONVERSI
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa Kredit Investasi Pengembangan Perkebunan
dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang
dikaitkan dengan program Transmigrasi (PIR-Trans)
yang pengelolaannya telah dialihkan kepada BUMN
yang ditunjuk oleh Pemerintah, memberikan manfaat
yang sangat besar bagi masyarakat petani khususnya dan
perekonomian nasional pada umumnya;
b. bahwa dalam pelaksanaan kredit dimaksud terdapat
berbagai kendala di lapangan, sehingga diperlukan
upaya penyelesaian masalah melalui penyempurnaan
ketentuan-ketentuan yang mengatur Kredit Investasi
Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti
Rakyat (PIR) yang dikaitkan dengan program
Transmigrasi (PIR-Trans);
c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk
melakukan penyesuaian ketentuan yang mengatur Kredit
Investasi Pengembangan Perkebunan dengan
Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang
Pola
dikaitkan
dengan …
- 2 -
dengan program Transmigrasi (PIR – Trans) dalam suatu
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat
:
1. Undang - undang Nomor 23
Tahun
1999
tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang - undang
Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
2. Peraturan Bank Indonesia No. 5/20/PBI/2003 tentang
Pengalihan Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia dalam rangka Kredit Program (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 105,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4322);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KREDIT
INVESTASI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN DENGAN
POLA PERUSAHAAN INTI RAKYAT YANG DIKAITKAN
DENGAN PROGRAM TRANSMIGRASI (PIR-TRANS) PRA
KONVERSI.
BAB I …
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah bank pelaksana Kredit Investasi Pengembangan Perkebunan
dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang dikaitkan dengan program
Transmigrasi (PIR-Trans), yaitu PT.Bank Rakyat Indonesia (Persero),
PT.Bank Negara Indonesia (Persero) dan PT. Bank Mandiri (Persero).
2. Pola Perusahaan Inti Rakyat yang selanjutnya disebut Pola PIR adalah pola
pelaksanaan pengembangan perkebunan dengan menggunakan perkebunan
besar sebagai inti yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat
disekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling
menguntungkan, utuh dan berkesinambungan.
3. Proyek Perusahaan Inti Rakyat Transmigrasi yang selanjutnya disebut
Proyek PIR-Trans, merupakan suatu paket pengembangan wilayah yang
utuh yang terdiri dari komponen utama yang meliputi pembangunan
perkebunan inti, pembangunan kebun plasma dan unit pengolahannya, serta
pembangunan pemukiman yang terdiri dari lahan pekarangan dan
perumahan serta komponen penunjang yang meliputi prasarana umum, tidak
termasuk proyek PIR-Trans Perkebunan atas dasar mekanisme Daftar Isian
Pembiayaan Proyek.
4. Perusahaan Inti adalah perusahaan di bidang perkebunan yang dimiliki baik
oleh negara maupun swasta yang membangun Kebun Inti dan Kebun
Plasma berikut fasilitas pengolahan hasil kebun dimaksud, yang telah
ditetapkan oleh Menteri Pertanian sebagai pelaksana proyek dalam Proyek
PIR-Trans.
5. Kebun …
- 4 -
5. Kebun Inti adalah kebun yang dibangun, dikembangkan dan dimiliki oleh
Perusahaan Inti untuk tanaman perkebunan dalam rangka pelaksanaan
Proyek PIR-Trans.
6. Kebun Plasma adalah kebun yang dibangun oleh Perusahaan Inti untuk
tanaman perkebunan yang akan dialihkan kepada petani peserta Proyek
PIR-Trans.
7.
Petani peserta Proyek PIR -Trans yang selanjutnya disebut Petani adalah
petani transmigran, penduduk setempat, petani lokal dan perambah hutan
sebagaimana ditetapkan dalam Instruksi Presiden No. 1 tahun 1986 yang
disesuaikan dengan Surat/Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi RI No. 1094A.PR.01.31.2001 tanggal 14 Agustus 2001.
8. Biaya Proyek PIR-Trans adalah biaya yang diperlukan untuk pembangunan
Kebun Inti beserta unit pengolahannya, dan Kebun Plasma, termasuk
didalamnya bunga selama masa pembangunan, namun tidak termasuk biaya
pembangunan pemukiman.
9. Biaya Satuan adalah biaya untuk pembangunan Kebun Plasma per hektar
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas setelah mempertimbangkan
pendapat Menteri Pertanian, yang dapat ditinjau setiap tahun dan sejak
tahun 1999/2000 ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat, sebagaimana
diatur dalam Surat Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas No. S-688/MK.017/1998
S-7018/MK/12/1998
10. Kredit
Trans
Tanggal 31 Desember 1998.
Investasi
pra konversi perkebunan dengan Pola
PIR-
yang selanjutnya disebut Kredit Investasi (KI) adalah kredit yang
diberikan …
- 5 -
diberikan oleh Bank kepada perusahaan inti dan diperuntukan bagi
pembangunan Kebun Inti dan unit pengolahannya, serta Kebun Plasma,
dengan sumber dana berasal dari Bank dan Bank Indonesia.
11. Kredit Likuiditas Bank Indonesia yang selanjutnya disebut KLBI adalah
kredit likuiditas dari Bank Indonesia untuk pembiayaan Proyek PIR-Trans
yang telah disetujui penyediaannya oleh Bank Indonesia.
12. Konversi adalah pengalihan kepemilikan Kebun Plasma yang telah
memenuhi persyaratan dari Perusahaan Inti kepada Petani disertai dengan
pengalihan KI untuk pembangunan Kebun Plasma yang semula merupakan
beban Perusahaan Inti menjadi beban masing-masing Petani melalui KIK
Pasca Konversi.
13. PT. Permodalan Nasional Madani (Persero) yang selanjutnya disebut PT.
PNM adalah salah satu BUMN Koordinator yang menerima pengalihan
pengelolaan KLBI, sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri
Keuangan No.487/KMK.017/1999 tanggal 13 Oktober 1999 Tentang
Penunjukkan Badan Usaha Milik Negara Sebagai Koordinator Penyaluran
Kredit Program.
BAB II
KETENTUAN KREDIT INVESTASI PROYEK PIR-TRANS
Pasal 2
(1) Biaya Proyek PIR-Trans berasal dari dana Perusahaan Inti dan KI.
(2) Pangsa pendanaan untuk Biaya Proyek PIR-Trans sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :
a. Untuk pembiayaan pembangunan Kebun Inti, minimal 35% (tiga puluh
lima per seratus) berasal dari Perusahaan Inti dan selebihnya dibiayai
dengan KI.
b. Untuk ….
- 6 -
b. Untuk pembiayaan pembangunan Kebun Plasma, 100% (seratus per
seratus) dibiayai dengan KI.
Pasal 3
KI diberikan kepada Perusahaan Inti untuk membiayai Proyek PIR-Trans dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. KI dipergunakan untuk membiayai pembangunan Kebun Inti termasuk unit
pengolahannya dan pembangunan Kebun Plasma.
b. Jenis tanaman perkebunan yang dapat dibiayai dengan KI adalah kelapa sawit
dan kelapa hybrida.
c. Pembangunan unit pengolahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang
dapat dibiayai dengan KI adalah sebesar kapasitas maksimal yang diperlukan
untuk menampung hasil produksi Kebun Plasma dan Kebun Inti yang
bersangkutan.
Pasal 4
Sumber pembiayaan KI berasal dari KLBI sebesar 55% (lima puluh lima per
seratus) dan dana Bank sebesar 45% (empat puluh lima per seratus) dari
kebutuhan KI.
Pasal 5
Suku bunga KI untuk pertama kali ditetapkan sebesar 16% (enam belas per
seratus) setahun dan dapat ditinjau kembali oleh Bank Indonesia.
Pasal 6 …
- 7 -
Pasal 6
(1) Jangka waktu KI ditetapkan sesuai dengan kemampuan Proyek PIR-Trans
yang tercermin dari proyeksi keuangan.
(2) Jangka waktu KI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan paling
lama 13 (tiga belas) tahun, tidak termasuk perpanjangan KI.
Pasal 7
(1) Commitment fee dan provisi KI kepada Perusahaan Inti tidak dipungut.
(2) Bea meterai dikenakan sesuai dengan ketentuan bea meterai yang berlaku.
Pasal 8
(1) Jaminan KI dan pengikatan jaminan KI dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan
wewenang Bank.
BAB III
TATA CARA PELAKSANAAN KREDIT INVESTASI PROYEK PIR-TRANS
Pasal 9
(1) Perusahaan Inti yang dapat memperoleh KI adalah:
a. Perusahaan milik negara yang telah mendapatkan izin Menteri
Keuangan;
b. Perusahaan Swasta Nasional; atau
c. Perusahaan Penanaman Modal Asing dalam rangka Undang-Undang No.
1 tahun 1967 dan ketentuan perubahannya.
(2) Perusahaan …
- 8 -
(2) Perusahaan Penanaman Modal Asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf c hanya dapat mengajukan KI untuk membiayai pembangunan Kebun
Plasma.
(3) Perusahaan Inti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. Memiliki Surat Keputusan Menteri Pertanian tentang rencana
pelaksanaan proyek PIR-Trans; dan
b. Memiliki Surat Persetujuan Menteri Keuangan mengenai rencana
pembiayaan pembangunan proyek PIR - Trans yang bersifat jamak tahun
(multi years).
Pasal 10
Permohonan KI diajukan secara tertulis oleh Perusahaan Inti kepada Bank dan
wajib dilengkapi dengan:
a. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
b. Izin yang berkaitan dengan legalitas badan usaha dan kegiatan usaha.
c. Studi kelayakan yang dibuat oleh konsultan independen.
d. Laporan keuangan perusahaan 3 tahun terakhir yang telah diaudit oleh
akuntan publik bagi perusahaan lama dan sekurang-kurangnya neraca awal
bagi perusahaan baru.
Pasal 11
Bank wajib melakukan penilaian atas permohonan KI sesuai dengan azas
pemberian kredit yang sehat dengan mengacu kepada prinsip kehati-hatian.
Pasal 12 …
- 9 -
Pasal 12
(1) Perusahaan Inti melakukan pembayaran angsuran KI untuk Kebun Inti secara
triwulanan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
(2) Pelunasan KI untuk Kebun Plasma dilaksanakan secara bertahap sesuai
dengan pelaksanaan Konversi.
BAB IV
KETENTUAN KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA
Pasal 13
Suku bunga KLBI ditetapkan 6,5% (enam setengah per seratus) setahun dan
dapat ditinjau kembali oleh Bank Indonesia.
Pasal 14
Jangka waktu KLBI masing-masing Proyek PIR-Trans disesuaikan dengan
jangka waktu KI.
Pasal 15
(1) Jaminan KLBI adalah Surat Aksep yang diterbitkan dan ditandatangani oleh
Bank.
(2) Surat Aksep sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diperbaharui setiap
tahun selama KLBI belum lunas.
BAB V …
- 10 -
BAB V
TATA CARA KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA
Pasal 16
(1) Bank mengajukan permohonan KLBI kepada Bank Indonesia melalui
PT. PNM setelah Bank melakukan penilaian terhadap permohonan KI
sesuai dengan azas pemberian kredit yang sehat.
(2) KLBI yang diajukan oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
terdiri dari KLBI untuk pembangunan Kebun Inti beserta unit
pengolahannya (KLBI Kebun Inti) dan KLBI untuk pembangunan Kebun
Plasma (KLBI Kebun Plasma).
(3) Bank menyampaikan permohonan KLBI kepada Bank Indonesia melalui
PT. PNM secara tertulis dengan melampirkan :
a. Penilaian Bank terhadap KI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
b. Dokumen yang disampaikan Perusahaan Inti pada saat pengajuan KI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
Pasal 17
(1) Besarnya KLBI Kebun Plasma dihitung menurut kebutuhan atas dasar
Biaya Satuan untuk tahun yang bersangkutan ditambah overhead cost dan
jasa manajemen sebesar 15% (lima belas per seratus) dari total biaya.
(2) Besarnya KLBI Kebun Inti dihitung menurut kebutuhan Proyek PIR-Trans
termasuk biaya untuk pembangunan unit pengolahan.
(3) Besarnya KLBI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
maksimum sebesar plafon KLBI dalam Surat Penegasan Kredit (SPK) yang
telah disetujui Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 18 …
- 11 -
Pasal 18
(1) Pelimpahan KLBI dilaksanakan secara bertahap tiap triwulan atas dasar
jadwal pelimpahan yang tercantum dalam proyeksi arus dana (cash flow).
(2) Pelimpahan KLBI didasarkan atas rencana kebutuhan dana Proyek PIR-
Trans dengan memperhatikan prestasi fisik dan Biaya Proyek PIR-Trans,
sebagaimana dicantumkan dalam laporan pertanggungjawaban penggunaan
KI, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Untuk pelimpahan pertama kali (tahun pertama) yaitu triwulan I dan II
dapat dilaksanakan tanpa laporan pertanggungjawaban;
b. Untuk pelimpahan triwulan III dilaksanakan setelah disampaikan
laporan pertanggungjawaban triwulan I;
c. Untuk triwulan IV dengan penyampaian laporan pertanggungjawaban
triwulan II tahun pertama;
d. Pelimpahan triwulan I tahun ke dua dengan penyampaian laporan
pertanggungjawaban triwulan III tahun pertama;
e. Pelimpahan triwulan II tahun kedua dengan penyampaian laporan
pertanggungjawaban triwulan IV tahun pertama;
f. Pelimpahan triwulan III tahun kedua dengan penyampaian laporan
pertanggungjawaban triwulan I tahun kedua, demikian untuk
seterusnya sampai dengan jadwal pelimpahan selesai.
(3) Bank wajib memeriksa kebenaran atas laporan pertanggungjawaban
penggunaaan KI tersebut di atas.
(4) Bank Indonesia menetapkan batas akhir pelimpahan KLBI dan
menyampaikannya secara tertulis kepada Bank.
Pasal 19 …
- 12 -
Pasal 19
(1) Bank wajib merealisasikan seluruh KLBI kepada Proyek PIR-Trans.
(2) Atas realisasi KLBI dimaksud, Bank wajib merealisasikan KI kepada
Proyek PIR-Trans sesuai dengan ketentuan pangsa pendanaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
(3) Bank wajib merealisasikan KI sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah KLBI dilimpahkan kepada Bank.
(4) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia bukti realisasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dalam 10 (sepuluh) hari kerja sejak
tanggal pelimpahan KLBI.
Pasal 20
(1) Pembayaran angsuran KLBI Kebun Inti dilakukan secara triwulanan sesuai
dengan jadwal yang telah ditetapkan berdasarkan proyeksi arus dana (cash
flow).
(2) Pelunasan KLBI Kebun Plasma dilakukan secara bertahap sesuai dengan
pelaksanaan Konversi.
(3) Pelunasan KLBI sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan melalui
pemberian KLBI atas beban kredit Petani.
BAB VI
PERIMBANGAN LUAS LAHAN
Pasal 21
(1) Perimbangan luas lahan Kebun Inti dan Kebun Plasma ditetapkan Bank
Indonesia dengan mengacu kepada ketetapan Menteri Pertanian.
(2) Perimbangan …
- 13 -
(2) Perimbangan luas lahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah 20 :
80 (dua puluh berbanding delapan puluh) atau dapat disesuaikan dengan
kondisi setempat.
(3) Penyesuaian perimbangan luas lahan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dilakukan sebagai berikut :
a. Perusahaan Inti mengajukan permohonan penyesuaian perimbangan luas
lahan kepada Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan untuk
mendapatkan rekomendasi.
b. Setelah memperoleh rekomendasi dari Direktur Jenderal Bina Produksi
Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Perusahaan Inti
mengajukan permohonan penyesuaian perimbangan luas lahan kepada
Bank.
c. Bank mengajukan permohonan penyesuaian perimbangan luas lahan
kepada PT. PNM dengan disertai rekomendasi dari Direktorat Jenderal
Bina Produksi Perkebunan.
d. PT PNM melakukan penilaian atas permohonan yang diajukan Bank,
dan meneruskan hasil penilaian kepada Bank Indonesia untuk
mendapatkan persetujuan.
(4) Dalam hal Bank Indonesia menyetujui permohonan penyesuaian
perimbangan luas lahan, maka:
a. PT. PNM melakukan penyesuaian plafon KLBI yang telah disetujui
Bank Indonesia sebelumnya.
b. Dalam hal KLBI yang sudah dilimpahkan nilainya lebih kecil dari
plafon KLBI yang telah disesuaikan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, maka kelonggaran tarik KLBI yang tersedia adalah selisih antara
plafon KLBI yang telah disesuaikan dengan KLBI yang sudah
dilimpahkan.
c. Dalam …
- 14 -
c. Dalam hal KLBI yang sudah dilimpahkan nilainya lebih besar dari
plafon KLBI yang telah disesuaikan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, maka Bank Indonesia melakukan penarikan atas kelebihan KLBI
dimaksud.
BAB VII
KONVERSI KEBUN PLASMA
Pasal 22
(1) Konversi dapat dilaksanakan setelah dipenuhinya persyaratan sebagai
berikut:
a. Budidaya tanaman telah dinilai oleh Departemen Pertanian sesuai dengan
persyaratan atau kriteria yang ditetapkan dan disetujui oleh Bank.
b. Aspek perbankan yang menyangkut jaminan kredit, administrasi Petani
peserta, dan persyaratan lainnya yang ditetapkan oleh Bank telah
dipenuhi.
c. Petani telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Departemen
Pertanian.
(2) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah dipenuhi
Perusahaan Inti dapat mengajukan permohonan Konversi kepada Bank
dengan melampirkan bukti-bukti pemenuhan persyaratan.
(3) Dalam hal Bank menyetujui permohonan Konversi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) maka Konversi dapat dilaksanakan.
(4) Biaya Proyek PIR-Trans untuk membangun Kebun Plasma yang telah
dikeluarkan oleh Perusahaan Inti dikonversi menjadi beban kredit Petani
bersamaan dengan penyerahan pemilikan Kebun Plasma kepada Petani.
(5) Kredit …
- 15 -
(5) Kredit Petani sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) disebut Kredit
Investasi Kecil (KIK) Pasca Konversi dan selanjutnya tunduk kepada
ketentuan KIK Pasca Konversi yang berlaku.
Pasal 23
(1) Biaya Proyek PIR-Trans yang dikonversi menjadi KIK Pasca Konversi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (4) adalah biaya yang
dikeluarkan sejak tahap persiapan sampai dengan saat penyerahan Kebun
Plasma, ditambah overhead cost dan jasa manajemen sebesar 15% (lima
belas per seratus) dari total biaya termasuk bunga KI Kebun Plasma selama
masa pembangunan .
(2) Besarnya KIK Pasca Konversi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan sebesar 166,17% (seratus enam puluh enam tujuh belas
perseratus) dikalikan dengan jumlah biaya selama periode pembangunan
Kebun Plasma yang didasarkan pada Biaya Satuan.
(3) Sumber dana untuk KIK Pasca Konversi kepada Petani tersebut berasal dari
KLBI KIK Pasca Konversi sebesar 80% (delapan puluh perseratus) dan
dana Bank sebesar 20% (dua puluh perseratus).
Pasal 24
(1) Pelaksanaan Konversi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilakukan
secara bertahap sesuai dengan kondisi masing-masing Proyek PIR-Trans,
yang keseluruhan proyek harus dikonversikan paling lambat tahun 2008.
(2) Dalam hal sampai batas akhir Konversi yang ditetapkan masih terdapat
Kebun Plasma yang belum dilakukan Konversi dan masih terdapat baki
debet ...
- 16 -
debet KLBI Kebun Plasma, maka ditetapkan hal-hal sebagai berikut :
a. Kelonggaran tarik KLBI KIK Pasca Konversi yang belum dilimpahkan
menjadi hangus.
b. Baki debet KLBI Kebun Plasma ditarik oleh Bank Indonesia.
c. Penyelesaian kepemilikan lahan yang belum dikonversi diserahkan
kepada Tim Koordinasi PIR-Trans.
Pasal 25
(1) Dalam hal salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Ayat (1)
tidak dipenuhi sehingga Konversi tidak dapat dilaksanakan, maka
Perusahaan Inti wajib segera memberitahukan hal tersebut kepada Tim
Koordinasi PIR-Trans untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut.
(2) Penerimaan hasil Kebun Plasma yang diperoleh Perusahaan Inti selama
proses penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam
sistem escrow account, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Perusahaan Inti menyetor dana penerimaan hasil Kebun Plasma ke
dalam escrow account di Bank.
b. Bank memberikan bunga atas dana escrow account, yang besarnya sama
dengan suku bunga KIK Pasca Konversi yang dikenakan kepada Petani
dalam rangka Konversi.
c. Perusahaan Inti dapat menarik dana escrow account untuk membiayai
pemeliharaan Kebun Plasma dan membayar kewajiban KI Kebun
Plasma yang timbul atas dasar KI Kebun Plasma yang akan dialihkan
kepada Petani yang bersangkutan.
d. Dalam hal telah terjadi Konversi, maka dana escrow account
sebagaimana ….
- 17 -
sebagaimana dimaksud dalam huruf a digunakan untuk membayar
kewajiban Petani kepada Perusahaan Inti dan atau Bank.
BAB VIII
L A P O R A N
Pasal 26
(1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia dengan tembusan
kepada PT. PNM, laporan-laporan sebagai berikut :
a. Laporan semesteran perkembangan Proyek PIR-Trans pada posisi bulan
Juni dan Desember, yang disampaikan paling lambat 2 (dua) bulan
setelah berakhirnya bulan yang bersangkutan.
b. Laporan tahunan keuangan Perusahaan Inti yang telah diaudit oleh
Kantor Akuntan, dan disampaikan paling lambat 6 (enam) bulan setelah
berakhirnya tahun yang bersangkutan.
c. Laporan bulanan posisi baki debet KI atas nama masing-masing
Perusahaan Inti yang telah dikonsolidasikan oleh Kantor Pusat Bank
dengan menggunakan format sebagaimana pada lampiran 1, dan
diterima oleh Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.
(2) Kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku sampai dengan Konversi selesai dilaksanakan.
BAB IX
S A N K S I
Pasal 27
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 19 ayat (2) sehingga menyebabkan
porsi …
- 18 -
porsi KLBI yang dilimpahkan melebihi 55% (lima puluh lima per seratus)
dari KI dikenakan sanksi penarikan kembali kelebihan KLBI dimaksud dan
sanksi kewajiban membayar sebesar suku bunga deposito berjangka 3 (tiga)
bulan yang berlaku di Bank yang bersangkutan pada saat tanggal
pelimpahan KLBI dikalikan kelebihan KLBI dimaksud.
(2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihitung sejak
tanggal pelimpahan KLBI sampai dengan tanggal penarikan KLBI.
Pasal 28
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 19 ayat (3) dikenakan sanksi
penarikan kembali KLBI yang telah dilimpahkan dan sanksi kewajiban
membayar sebesar suku bunga deposito berjangka 3 (tiga) bulan yang
berlaku di Bank yang bersangkutan pada saat tanggal pelimpahan KLBI
dikalikan jumlah KLBI yang telah dilimpahkan kepada Bank tersebut.
(2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihitung sejak
tanggal pelimpahan KLBI sampai dengan tanggal penarikan KLBI.
Pasal 29
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 19 ayat (4) dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp1.000.000,- (satu juta rupiah).
Pasal 30
Untuk setiap keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
Pasal 26 ayat (1) huruf a, b, dan c, Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar
masing-masing sebesar Rp1.000.000,- (satu juta rupiah).
BAB X …
- 19 -
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 31
Persyaratan dan kondisi untuk KLBI PIR-Trans yang telah diberikan sebelum
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tetap berlaku sampai dengan
berakhirnya jangka waktu masing-masing SPK yang bersangkutan.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 32
(1) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku untuk KLBI yang
sudah disetujui oleh Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia tidak menyediakan fasilitas KLBI baru untuk skim kredit
yang diatur dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 33
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka :
1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 19/14/KEP/DIR dan Surat
Edaran Bank Indonesia No. 19/3/UKU masing-masing tanggal 4 Juni 1986
tentang Ketentuan Kredit Investasi Pengembangan Perkebunan Dengan Pola
Perusahaan Inti Rakyat Yang Dikaitkan Dengan Program Transmigrasi;
2. Angka IV. 1 Surat Edaran Bank Indonesia No. 22/6/UKU tanggal 29 Januari
1990 tentang Kredit Investasi,
3. Ketentuan-ketentuan lain yang bertentangan dengan Peraturan Bank
Indonesia ini, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 34 …
- 20 -
Pasal 34
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 19 April 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 41
- 21 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6 /12/PBI/2004
TENTANG
KREDIT INVESTASI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN DENGAN POLA
PERUSAHAAN INTI RAKYAT YANG DIKAITKAN DENGAN PROGRAM
TRANSMIGRASI (PIR-TRANS) PRA KONVERSI
I. UMUM
Penyediaan KLBI dalam rangka pengembangan perkebunan dengan pola
perusahaan inti rakyat yang dikaitkan dengan program transmigrasi (PIR-Trans)
pra konversi telah dilaksanakan sejak tahun 1986. Program PIR-Trans dimaksud
telah memberikan manfaat yang sangat besar dalam upaya meningkatkan
pendapatan petani dan menggairahkan kegiatan perekonomian. Mengingat
program tersebut berjangka panjang, dalam perjalanannya, terdapat berbagai
kendala dan permasalahan di lapangan, yang antara lain disebabkan oleh
perubahan kondisi sosial yang mempengaruhi perilaku petani dan adanya
otonomi daerah yang mempengaruhi kebijakan Pemerintah Daerah.
Sehubungan dengan hal itu, dan dalam rangka kodifikasi ketentuan,
dipandang perlu untuk melakukan penyesuaian dan penyempurnaan terhadap
ketentuan yang mengatur kredit investasi pengembangan perkebunan dengan
pola perusahaan inti rakyat yang dikaitkan dengan program transmigrasi (PIR-
Trans) pra konversi dalam suatu Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan …
- 22 -
Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini hanya untuk mengatur
KLBI yang masih berjalan dan telah disetujui sebelum berlakunya ketentuan
Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Tidak terdapat
penyediaan fasilitas KLBI baru dari Bank Indonesia atas dasar Peraturan ini.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6 …
- 23 -
Pasal 6
Ayat (1)
Bank menetapkan jangka waktu KI dengan
mempertimbangkan proyeksi keuangan masing-masing
Proyek PIR - Trans.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penetapan dan pengikatan jaminan diserahkan kepada
masing-masing Bank dengan tetap memperhatikan azas
perkreditan yang sehat.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a …
- 24 -
Huruf a
Yang dimaksud dengan Izin Menteri Keuangan
adalah rekomendasi dari Menteri Keuangan (selaku
Pemerintah) sebagai pemegang saham dari
perusahaan milik negara untuk dapat mengikuti
program PIR Trans.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Perusahaan Penanaman Modal Asing dimaksud hanya dapat
mengajukan KI untuk pembiayaan Kebun Plasma sepanjang
perusahaan tersebut memiliki unit pengolahan yang dibiayai
sendiri guna menampung hasil Kebun Plasma tersebut.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Rencana pembiayaan pembangunan PIR-Trans yang
bersifat jamak tahun tersebut adalah berdasarkan
saran Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS).
Pasal 10
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b …
- 25 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan izin tersebut diantaranya
adalah Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) dan Surat
Keputusan Tetap (SKPT) Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM).
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud perusahaan lama adalah perusahaan-
perusahaan yang pada saat dimulainya program PIR-
Trans merupakan perusahaan-perusahaan yang sudah
memiliki pengalaman dibidang perkebunan dengan
pola PIR.
Yang dimaksud perusahaan baru adalah perusahaan-
perusahaan yang baru didirikan sehubungan dengan
adanya program PIR-Trans.
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Jadwal ditetapkan berdasarkan proyeksi arus dana (cash
flow). Pembayaran angsuran KI untuk Kebun Inti
dilaksanakan setelah masa tenggang berakhir.
Ayat (2) …
- 26 -
Ayat (2)
Ketentuan dan tata cara pelunasan KI untuk Kebun Plasma
diatur di Peraturan Bank Indonesia tentang KLBI KIK PIR-
Trans Pasca Konversi.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Jangka waktu KLBI ditetapkan dalam SPK masing-masing Proyek
PIR - Trans.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
- 27 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam hal ini tidak dimungkinkan eskalasi dengan
menggunakan KLBI.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Bank Indonesia menetapkan batas akhir pelimpahan KLBI
atas dasar masukan dari Bank dan Direktorat Jenderal Bina
Produksi Perkebunan.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam merealisasikan KI kepada Proyek PIR-Trans, Bank
harus menjaga agar proporsi KI dimaksud terdiri dari 55%
(lima puluh lima per seratus) KLBI dan 45% (empat puluh
lima per seratus) dana Bank.
Ayat (3) …
- 28 -
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Bukti realisasi tersebut agar disampaikan kepada Biro Kredit
Bank Indonesia.
Pasal 20
Ayat (1)
Pembayaran angsuran KLBI Kebun Inti dilaksanakan
setelah masa tenggang pembayaran angsuran berakhir.
Ayat (2)
Konversi untuk masing-masing Petani dilaksanakan secara
bertahap sesuai dengan kesiapan masing-masing Proyek
PIR-Trans.
Ayat (3)
KLBI yang diberikan atas beban kredit Petani tersebut
selanjutnya disebut KLBI KIK PIR-Trans Pasca Konversi,
yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang KLBI
KIK PIR-Trans Pasca Konversi.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penyesuaian perimbangan luas lahan adalah berdasarkan SK
Menteri Pertanian No.353/Kpts/KB.5106/2003 tanggal 30
Juni …
- 29 -
Juni 2003, dan penyesuaian perimbangan luas lahan
dimungkinkan sepanjang memenuhi kriteria yang diatur
dalam Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi
Perkebunan No.: 50/Kpts/KB.510/7/2003 tanggal 30 Juli
2003 dan ketentuan perubahannya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Huruf a
Penyesuaian plafon KLBI dimaksud dilakukan dalam
SPK penyediaan KLBI secara proporsional.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Penarikan KLBI dilakukan oleh Bank Indonesia
dengan mendebet rekening giro Bank di Bank
Indonesia.
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan aspek perbankan yang
menyangkut jaminan kredit di antaranya adalah
sertifikat tanah.
Huruf c …
- 30 -
Huruf c
Pemenuhan syarat administrasi Petani dipersiapkan
oleh Perusahaan Inti.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penetapan besarnya kredit tersebut adalah agar besarnya
beban kredit kepada setiap petani sama besarnya untuk
setiap tahun tanam yang sama, yakni atas dasar rumus
perhitungan X+15%X+(%BMPx115%X), dimana X adalah
Biaya Satuan dan BMP adalah biaya bunga selama masa
pembangunan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 24 …
- 31 -
Pasal 24
Ayat (1)
Batas akhir Konversi untuk setiap Proyek PIR-Trans
ditetapkan oleh Bank Indonesia, atas dasar usulan dari Bank
dan Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan Tim Koordinasi PIR Trans
adalah sebagaimana ditetapkan dalam SK Mentan
No. 183/ Kpts/KP.150/4/86 tanggal 5 April 1986
juncto
Keputusan
Menteri
Pertanian No.
485/Kpts/KP.150/6/96 tentang Tim Koordinasi
Pengembangan Perkebunan Dengan Pola PIR yang
Dikaitkan Dengan Program Transmigrasi.
Pasal 25
Ayat (1)
Dalam hal ini penyebab Konversi tidak dapat dilaksanakan
adalah bukan karena kesalahan Perusahaan Inti.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b …
- 32 -
Huruf b
Bunga tersebut dihitung atas dasar saldo harian.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Konversi selesai dilaksanakan
adalah telah dilaksanakan Konversi kepada seluruh Petani.
Pasal 27
Ayat (1)
Pengenaan sanksi kepada Bank dilakukan dengan cara
membebankan rekening giro Bank di Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Pengenaan sanksi kepada Bank dilakukan dengan cara
membebankan rekening giro Bank di Bank Indonesia.
Ayat (2) …
- 33 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Yang dimaksud persyaratan dan kondisi adalah sebagaimana yang
tercantum dalam SPK masing-masing Proyek PIR-Trans.
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4384
BKr
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/12/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> KREDIT INVESTASI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN DENGAN POLA PERUSAHAAN INTI RAKYAT YANG DIKAITKAN DENGAN PROGRAM TRANSMIGRASI (PIR-TRANS) PRA KONVERSI </reg_title>
<set_date> 19 April 2004 </set_date>
<effective_date> 19 April 2004 </effective_date>
<replaced_reg> '22/6/UKU|SE-BI/1990 | Angka IV. 1', '19/14/KEP/DIR|SKDIR-BI/1986', '19/3/UKU|SE-BI/1986' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '5/20/PBI/2003', '3/UU/2004' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/4/PBI/2017
TENTANG
PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH
BAGI BANK UMUM SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kondisi makroekonomi dan stabilitas sektor
keuangan saat ini cukup terjaga dan perlu dipertahankan
dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan
khususnya perbankan syariah serta turut menjaga
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan syariah;
b. bahwa dalam rangka memelihara stabilitas sistem
keuangan khususnya perbankan syariah dan turut
menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan
syariah,
tetap diperlukan upaya untuk mengatasi
kesulitan likuiditas jangka pendek;
c. bahwa upaya untuk mengatasi kesulitan likuiditas
jangka pendek tersebut merupakan salah satu cara
pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan;
d. bahwa upaya untuk mengatasi kesulitan likuiditas
jangka pendek tersebut dapat ditempuh melalui
penyediaan pembiayaan likuiditas jangka pendek kepada
bank umum syariah;
-2-
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah Bagi Bank
Umum Syariah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5872);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMBIAYAAN
LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM
SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai Bank Indonesia.
-3-
2. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas
Jasa Keuangan.
3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut Bank
adalah bank umum syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
4. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM
adalah giro wajib minimum dalam rupiah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai giro wajib minimum bank umum
syariah.
5. Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek adalah keadaan yang
dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana
masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana
keluar dalam rupiah yang dapat membuat Bank tidak
dapat memenuhi kewajiban GWM.
6. Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah yang
selanjutnya disingkat PLJPS adalah pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia kepada
Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek yang dialami oleh Bank.
7. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai operasi moneter syariah.
8. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN, atau yang dapat disebut Sukuk Negara
adalah surat berharga negara yang diterbitkan
berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian
penyertaan terhadap aset SBSN, dalam mata uang
rupiah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara.
-4-
9. Aset Pembiayaan adalah aset Bank berupa pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan syariah, tidak termasuk
pembiayaan dalam valuta asing.
10. Al-Muqaradhah bi Dhaman Ra’s al-Mal adalah akad
PLJPS dalam bentuk pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah dari Bank Indonesia kepada Bank untuk
mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek Bank,
yang mewajibkan Bank untuk mengembalikan
pembiayaan sesuai dengan komitmen (iltizam), dijamin
dengan agunan, dan disertai nisbah bagi hasil.
BAB II
PERSYARATAN PLJPS
Pasal 2
(1) Bank yang mengalami Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek dapat mengajukan permohonan PLJPS kepada
Bank Indonesia.
(2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
memperoleh PLJPS apabila Bank memenuhi persyaratan:
a.
tergolong sebagai Bank solven;
b. memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan Bank
paling rendah 2 (dua);
c. memiliki agunan berkualitas tinggi sebagai jaminan
PLJPS yang memenuhi ketentuan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini; dan
d. diperkirakan mampu untuk mengembalikan PLJPS.
(3) Bank mengajukan plafon PLJPS berdasarkan perkiraan
jumlah kebutuhan likuiditas sampai dengan Bank
memenuhi GWM.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan Bank untuk
memperoleh PLJPS diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
-5-
Pasal 3
PLJPS yang diberikan Bank Indonesia kepada Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) menggunakan
akad Al-Muqaradhah bi Dhaman Ra’s al-Mal.
Pasal 4
(1) Agunan berkualitas tinggi sebagai jaminan PLJPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c
berupa:
a. surat berharga syariah; dan/atau
b. Aset Pembiayaan.
(2) Jenis surat berharga syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a berupa:
a. SBIS;
b. SBSN; dan/ atau
c.
surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan
hukum lain yang memenuhi persyaratan:
1. memiliki peringkat paling rendah peringkat
investasi;
2. aktif diperdagangkan; dan
3. memiliki sisa jangka waktu yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
(3) Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. merupakan pembiayaan dengan akad mudharabah,
akad musyarakah, dan/atau akad ijarah nonjasa;
b. kolektibilitas tergolong lancar selama 12 (dua belas)
bulan terakhir berturut-turut;
c. bukan merupakan pembiayaan konsumsi kecuali
pembiayaan pemilikan rumah;
d. dijamin dengan agunan tanah dan bangunan
dan/atau tanah dengan nilai paling rendah 110%
(seratus sepuluh persen) dari plafon pembiayaan;
e. bukan merupakan pembiayaan kepada pihak terkait
Bank;
f.
tidak pernah direstrukturisasi dalam waktu 3 (tiga)
tahun terakhir;
-6-
g. sisa jangka waktu jatuh waktu pembiayaan paling
singkat 9 (sembilan) bulan sejak tanggal
penandatanganan perjanjian pemberian PLJPS;
h. saldo pokok pembiayaan tidak melebihi batas
maksimum penyaluran dana pada saat diberikan
dan tidak melebihi plafon pembiayaan;
i. memiliki akad pembiayaan serta pengikatan agunan
yang mempunyai kekuatan hukum;
j.
telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau
audit oleh kantor akuntan publik terhadap Bank
paling lama 1 (satu) tahun terakhir;
k. dalam akad pembiayaan antara Bank dan nasabah
tercantum klausul bahwa pembiayaan dapat
dialihkan kepada pihak lain; dan
l.
telah tercantum dalam laporan daftar Aset
Pembiayaan terkini yang disampaikan secara
berkala kepada Bank Indonesia.
(4) Surat berharga syariah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c hanya dapat digunakan sebagai agunan
PLJPS dalam hal:
a. Bank tidak memiliki surat berharga syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan
huruf b; atau
b. Bank memiliki surat berharga syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b namun
tidak mencukupi untuk menjadi agunan PLJPS.
(5) Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
hanya dapat digunakan sebagai agunan PLJPS apabila
pada saat permohonan PLJPS Bank tidak memiliki surat
berharga syariah yang memenuhi persyaratan agunan
PLJPS atau surat berharga syariah yang memenuhi
persyaratan agunan PLJPS yang dimiliki oleh Bank tidak
mencukupi untuk menjadi agunan PLJPS.
(6) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta
agunan lain setelah agunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mencukupi.
-7-
(7) Agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilengkapi dengan dokumen yang terkait dengan
agunan PLJPS.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria agunan,
mekanisme pengagunan, dan dokumen agunan diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 5
(1) Nilai surat berharga syariah dan Aset Pembiayaan
sebagai agunan PLJPS ditetapkan sebagai berikut:
a. nilai agunan berupa SBIS ditetapkan sebesar 100%
(seratus persen) dari plafon PLJPS yang dihitung
berdasarkan nilai nominal SBIS;
b. nilai agunan berupa SBSN ditetapkan paling rendah
sebesar 106,5% (seratus enam koma lima persen)
dari plafon PLJPS yang dihitung berdasarkan nilai
pasar SBSN;
c. nilai agunan berupa surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh badan hukum lain ditetapkan paling
rendah sebesar 120% (seratus dua puluh persen)
dari plafon PLJPS yang dihitung berdasarkan nilai
pasar surat berharga syariah yang diterbitkan oleh
badan hukum lain tersebut; dan
d. nilai agunan berupa Aset Pembiayaan ditetapkan
paling rendah sebesar 200% (dua ratus persen) dari
plafon PLJPS yang dihitung berdasarkan saldo
pokok Aset Pembiayaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai nilai agunan dan tata
cara perhitungan nilai agunan diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 6
(1) Agunan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
harus berada dalam kondisi bebas dari segala perikatan,
sengketa, sitaan, dan tidak sedang dijaminkan kepada
pihak lain atau Bank Indonesia, yang dinyatakan dalam
surat pernyataan kepada Bank Indonesia.
-8-
(2) Bank tidak dapat memperjualbelikan dan/atau
menjaminkan kembali agunan PLJPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 yang masih dalam status
sebagai agunan PLJPS.
(3) Bank harus mengganti agunan PLJPS, apabila:
a. agunan PLJPS tidak memenuhi kondisi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2);
b. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan
hukum lain tidak lagi memenuhi persyaratan
peringkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) huruf c;
c.
terdapat pelunasan pembiayaan yang menjadi
agunan PLJPS oleh nasabah Bank; dan/atau
d. Aset Pembiayaan yang diagunkan tidak lagi
memenuhi persyaratan kolektibilitas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b,
sehingga nilai agunan PLJPS mengalami penurunan dan
secara keseluruhan tidak lagi memenuhi plafon PLJPS.
(4) Penggantian agunan PLJPS diprioritaskan dengan
agunan berupa surat berharga syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).
(5) Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) dapat digunakan sebagai pengganti agunan
PLJPS apabila Bank tidak memiliki surat berharga
syariah yang memenuhi persyaratan agunan PLJPS atau
surat berharga syariah yang memenuhi persyaratan
agunan PLJPS yang dimiliki oleh Bank tidak mencukupi
untuk menjadi agunan PLJPS.
(6) Selama Bank Indonesia memproses penggantian agunan
PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pada
periode pemberian PLJPS Bank tetap dapat mengajukan
pencairan PLJPS sepanjang terdapat plafon atau sisa
plafon dan agunan PLJPS yang mencukupi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggantian
agunan PLJPS diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
-9-
Pasal 7
(1) Bank harus memelihara dan menatausahakan daftar
Aset Pembiayaan yang memenuhi persyaratan dan
dialokasikan untuk menjadi agunan PLJPS.
(2) Bank menyampaikan laporan daftar Aset Pembiayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara berkala
kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan setiap 6 (enam) bulan sekali untuk posisi
akhir bulan Juni dan akhir bulan Desember.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan paling lambat tanggal 15 (lima belas) setelah
posisi akhir bulan bersangkutan termasuk koreksi
laporan.
(5) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak dapat mengajukan PLJPS
dengan agunan Aset Pembiayaan.
(6) Bank dapat memperbarui
laporan daftar Aset
Pembiayaan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. posisi akhir bulan Juni diperbarui dengan posisi
akhir bulan September pada tahun yang
bersangkutan; dan
b. posisi akhir bulan Desember diperbarui dengan
posisi akhir bulan Maret pada tahun berikutnya,
disampaikan kepada Bank Indonesia dengan tembusan
kepada OJK paling lambat tanggal 15 (lima belas) setelah
posisi akhir bulan bersangkutan termasuk koreksi
laporan.
(7) Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk
menyampaikan dokumen pendukung dari Aset
Pembiayaan yang dilaporkan dalam laporan daftar Aset
Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian
laporan daftar Aset Pembiayaan serta dokumen
pendukung diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
-10-
Pasal 8
(1) Pengikatan agunan PLJPS dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan-undangan.
(2) Bank Indonesia menatausahakan dokumen yang terkait
dengan agunan PLJPS.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengikatan agunan
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB III
PERMOHONAN PLJPS
Pasal 9
(1) Permohonan PLJPS diajukan oleh Bank secara tertulis
kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK.
(2) Permohonan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut:
a. surat pernyataan Bank bahwa Bank mengalami
Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek;
b. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan
untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek;
c. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJPS;
d. daftar rekapitulasi Aset Pembiayaan yang telah
menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit
oleh kantor akuntan publik yang dikeluarkan
dan/atau ditandatangani oleh kantor akuntan
publik yang melakukan pemeriksaan atau audit,
dalam hal terdapat agunan PLJPS berupa Aset
Pembiayaan;
e.
surat pernyataan Bank bahwa aset yang menjadi
agunan PLJPS berada dalam kondisi bebas dari
segala perikatan, sengketa, sitaan, dan tidak sedang
dijaminkan kepada pihak lain atau Bank Indonesia;
f.
surat pernyataan Bank bahwa Bank tidak akan
memperjualbelikan dan/atau menjaminkan kembali
agunan PLJPS yang masih dalam status sebagai
agunan PLJPS;
-11-
g. surat pernyataan kesanggupan Bank untuk
membayar segala kewajiban terkait PLJPS;
h. surat persetujuan dari pihak yang berwenang sesuai
dengan anggaran dasar atau anggaran rumah
tangga Bank dan ketentuan peraturan perundang-
undangan, mengenai permohonan PLJPS dan/atau
penggunaan aset Bank sebagai agunan PLJPS;
i.
j.
anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank,
termasuk perubahannya;
surat pernyataan Bank mengenai kebenaran data
dan/atau dokumen yang disampaikan dan
kesanggupan Bank untuk menyampaikan data
dan/atau dokumen lain yang diminta oleh Bank
Indonesia; dan
k. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia.
(3) Bank wajib menjamin kebenaran data dan dokumen yang
disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan
PLJPS diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 10
(1) Bank Indonesia memberikan PLJPS untuk jangka waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kalender untuk setiap
periode pemberian PLJPS.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku efektif sejak tanggal aktivasi pemberian PLJPS
oleh Bank Indonesia.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diperpanjang secara berturut-turut untuk jangka
waktu PLJPS keseluruhan paling lama 90 (sembilan
puluh) hari kalender.
.
Pasal 11
(1) Bank Indonesia berkoordinasi dengan OJK dalam rangka
menindaklanjuti permohonan PLJPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
-12-
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam rangka penilaian terhadap pemenuhan
persyaratan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2).
BAB IV
PERSETUJUAN DAN PENOLAKAN PERMOHONAN PLJPS
Pasal 12
(1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1).
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut:
a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2;
b. kelengkapan dokumen permohonan PLJPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2); dan
c. analisis mengenai perkiraan jumlah kebutuhan
likuiditas Bank.
(3) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan melalui surat kepada Bank dengan
tembusan kepada OJK.
(4) Berdasarkan surat persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Bank harus melakukan hal sebagai
berikut:
a. menyampaikan dokumen yang terkait dengan
agunan PLJPS;
b. menunjuk notaris;
c. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta
perjanjian pemberian PLJPS dan rancangan akta
pengikatan agunan PLJPS; dan
d. menyampaikan dokumen yang terkait dengan
agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (6) dalam hal diperlukan.
-13-
(5) Bank Indonesia melakukan verifikasi dan/atau penilaian
terhadap dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf a, huruf c, dan huruf d.
(6) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dan/atau
penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) agunan
PLJPS memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka akan dilakukan
penandatanganan terhadap akta perjanjian pemberian
PLJPS dan akta pengikatan agunan PLJPS.
(7) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dan/atau
penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) nilai
agunan tidak mencukupi plafon dan Bank tidak dapat
menambah agunan PLJPS maka plafon PLJPS
diturunkan sesuai dengan nilai agunan yang tersedia,
sepanjang Bank mempunyai sumber dana lain untuk
menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat
diperoleh dari PLJPS.
(8) Persetujuan atas permohonan PLJPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibatalkan oleh Bank Indonesia
apabila:
a. Bank tidak menyampaikan dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf a, huruf c, dan/atau
huruf d;
b. berdasarkan hasil verifikasi dan/atau penilaian
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) nilai agunan tidak mencukupi plafon, Bank tidak
dapat menambah agunan PLJPS dan Bank tidak
mempunyai sumber dana lain untuk menutup
kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh
dari PLJPS; dan/atau
c. diketahui bahwa Bank tidak lagi memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2).
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian persetujuan
atau penolakan atas permohonan PLJPS diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
-14-
Pasal 13
Berdasarkan pertimbangan tertentu sesuai dengan
kewenangan Bank Indonesia, Bank Indonesia dapat menolak
permohonan PLJPS meskipun Bank telah memenuhi seluruh
persyaratan PLJPS.
BAB V
PENCAIRAN PLJPS
Pasal 14
(1) Bank dapat mengajukan pencairan PLJPS sejak tanggal
aktivasi pemberian PLJPS oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2).
(2) Pencairan PLJPS dilakukan paling banyak 1 (satu) kali
dalam sehari sebesar perkiraan kebutuhan Bank untuk
mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek.
(3) Pengajuan pencairan PLJPS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan
dilampiri dokumen sebagai berikut:
a. surat sanggup bayar sebesar pengajuan pencairan;
dan
b. proyeksi arus kas yang mencerminkan kebutuhan
pencairan.
(4) Pencairan PLJPS dilakukan melalui rekening giro rupiah
Bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencairan PLJPS diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 15
(1) Bank Indonesia berwenang melakukan pembatasan
pencairan PLJPS.
(2) Pembatasan pencairan PLJPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dalam hal nilai agunan tidak
mencukupi plafon dan Bank tidak dapat menambah
dan/atau mengganti agunan PLJPS sehingga secara
keseluruhan nilai agunan tidak mencukupi plafon.
-15-
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatasan pencairan
PLJPS diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 16
(1) Bank Indonesia berwenang menghentikan pencairan
PLJPS sebelum jatuh waktu dalam hal Bank:
a.
tidak memenuhi persyaratan solvabilitas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf
a; dan/atau
b.
tidak memenuhi persyaratan tingkat kesehatan
Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf b.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian pencairan
PLJPS diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB VI
PERPANJANGAN JANGKA WAKTU PLJPS
Pasal 17
(1) Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan
jangka waktu PLJPS secara tertulis kepada Bank
Indonesia dengan tembusan kepada OJK.
(2) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan
dokumen sebagai berikut:
a. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan
untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek;
b. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJPS;
c. daftar rekapitulasi Aset Pembiayaan yang telah
menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit
oleh kantor akuntan publik yang dikeluarkan atau
ditandatangani oleh kantor akuntan publik yang
melakukan pemeriksaan atau audit, dalam hal
terdapat penggantian dan/atau penambahan
agunan; dan
d. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia.
-16-
(3) Untuk keperluan perpanjangan jangka waktu PLJPS,
Bank tetap dapat menggunakan agunan PLJPS pada
periode pemberian PLJPS sebelumnya sepanjang masih
memenuhi persyaratan dan kecukupan jumlah agunan
PLJPS.
(4) Dalam hal Bank memiliki surat berharga syariah yang
memenuhi persyaratan agunan PLJPS pada saat
permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS, Bank
harus menyerahkan surat berharga syariah tersebut
sebagai agunan untuk perpanjangan jangka waktu
PLJPS.
(5) Bank Indonesia berkoordinasi dengan OJK dalam rangka
menindaklanjuti permohonan perpanjangan jangka
waktu PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 18
(1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut:
a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2;
b.
jangka waktu PLJPS secara keseluruhan belum
melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender
berturut-turut; dan
c. Bank telah menyampaikan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2).
(3) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan melalui surat kepada Bank dengan
tembusan kepada OJK.
(4) Berdasarkan surat persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Bank harus melakukan hal sebagai
berikut:
a. menyampaikan dokumen yang terkait dengan
penambahan dan/atau penggantian agunan PLJPS;
-17-
b. menunjuk notaris;
c. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta
perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan
rancangan akta perubahan pengikatan agunan
PLJPS;
d. melunasi bagi hasil atas PLJPS pada saat jatuh
waktu; dan
e. menyampaikan dokumen yang terkait dengan
agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (6), dalam hal diperlukan.
(5) Bank Indonesia melakukan verifikasi dan/atau penilaian
terhadap pemenuhan ketentuan agunan PLJPS,
rancangan akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS,
dan rancangan akta perubahan pengikatan agunan
PLJPS.
(6) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dan/atau
penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), agunan
PLJPS memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka akan dilakukan
penandatanganan terhadap akta perubahan perjanjian
pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan
agunan PLJPS.
(7) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dan/atau
penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) nilai
agunan tidak mencukupi plafon PLJPS maka Bank
harus:
a. menambah agunan PLJPS; dan/atau
b. menyediakan sumber dana lain untuk menutup
kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh
dari PLJPS.
(8) Persetujuan atas permohonan perpanjangan jangka
waktu PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibatalkan oleh Bank Indonesia apabila:
a. Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4);
-18-
b. berdasarkan verifikasi dan/atau penilaian Bank
Indonesia nilai agunan tidak mencukupi plafon dan
Bank tidak dapat menambah agunan PLJPS
dan/atau Bank tidak menyediakan sumber dana
lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang
tidak dapat diperoleh dari PLJPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (7); dan/atau
c. diketahui bahwa Bank tidak lagi memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2).
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai perpanjangan jangka
waktu PLJPS diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
BAB VII
PENAMBAHAN DAN PENURUNAN PLAFON PLJPS
Pasal 19
(1) Bank dapat mengajukan permohonan penambahan
plafon PLJPS secara tertulis kepada Bank Indonesia
dengan tembusan kepada OJK.
(2) Permohonan penambahan plafon PLJPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan
dokumen sebagai berikut:
a. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan
untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek;
b. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJPS;
c. daftar rekapitulasi Aset Pembiayaan yang telah
menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit
oleh kantor akuntan publik yang dikeluarkan atau
ditandatangani oleh kantor akuntan publik yang
melakukan pemeriksaan atau audit, dalam hal
terdapat penggantian dan/atau penambahan
agunan; dan
d. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia.
-19-
(3) Bank Indonesia berkoordinasi dengan OJK dalam rangka
menindaklanjuti permohonan penambahan plafon PLJPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 20
(1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan
atas
permohonan penambahan plafon
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1).
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut:
a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2;
b.
jangka waktu PLJPS secara keseluruhan belum
melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender
berturut-turut; dan
c. Bank telah menyampaikan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
(3) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan melalui surat kepada Bank dengan
tembusan kepada OJK.
(4) Berdasarkan surat persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Bank harus melakukan hal sebagai
berikut:
a. menyampaikan dokumen yang terkait dengan
agunan PLJPS, dalam hal terdapat tambahan
agunan;
b. menunjuk notaris;
c. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta
perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta
perubahan pengikatan agunan PLJPS; dan
d. menyampaikan dokumen yang terkait dengan
agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (6) dalam hal diperlukan.
PLJPS
-20-
(5) Bank Indonesia melakukan verifikasi dan/atau penilaian
terhadap pemenuhan ketentuan agunan PLJPS,
rancangan akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS,
dan rancangan akta perubahan pengikatan agunan
PLJPS.
(6) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dan/atau
penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), agunan
PLJPS memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka akan dilakukan
penandatanganan terhadap akta perubahan perjanjian
pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan
agunan PLJPS.
(7) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi dan/atau
penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) nilai
agunan tidak mencukupi plafon PLJPS maka Bank
harus:
a. menambah agunan PLJPS; dan/atau
b. menyediakan sumber dana lain untuk menutup
kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh
dari PLJPS.
(8) Persetujuan atas permohonan penambahan plafon PLJPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibatalkan oleh
Bank Indonesia apabila:
a. Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4);
b. berdasarkan verifikasi dan/atau penilaian Bank
Indonesia, nilai tambahan agunan tidak mencukupi
penambahan plafon PLJPS dan Bank tidak
menyediakan sumber dana lain untuk menutup
kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh
dari PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (7);
dan/atau
c. diketahui bahwa Bank tidak lagi memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2).
(9) Tambahan plafon PLJPS yang disetujui akan
diakumulasikan dengan plafon PLJPS sebelumnya.
-21-
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai penambahan plafon
PLJPS diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 21
(1) Bank dapat mengajukan permohonan penurunan plafon
PLJPS secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan
tembusan kepada OJK.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penurunan plafon
PLJPS diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB VIII
LARANGAN DAN PEMBATASAN KEGIATAN
BAGI BANK PENERIMA PLJPS
Pasal 22
(1) Selama periode pemberian PLJPS atau selama Bank
belum melunasi kewajiban PLJPS, Bank dilarang:
a. melakukan penempatan dana;
b. menyalurkan pembiayaan baru kepada pihak terkait
Bank, kecuali untuk pemenuhan komitmen yang
telah diperjanjikan sebelumnya;
c. merealisasikan penarikan dana oleh pihak terkait
Bank; dan
d. melakukan pembagian dividen.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
meniadakan larangan lain yang telah dikeluarkan oleh
OJK.
Pasal 23
Selama periode pemberian PLJPS Bank hanya dapat
mengikuti operasi moneter syariah Bank Indonesia yang
bersifat ekspansi.
-22-
BAB IX
BAGI HASIL
Pasal 24
(1) Bank Indonesia memperoleh bagi hasil secara harian dari
Bank atas saldo pokok PLJPS.
(2) Dalam perhitungan bagi hasil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan nisbah bagi hasil untuk Bank
Indonesia sebesar 80% (delapan puluh persen).
(3) Bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
dengan menggunakan nisbah bagi hasil untuk Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikalikan
dengan tingkat realisasi
imbalan deposito investasi
mudharabah sebelum distribusi pada Bank yang
menerima PLJPS.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan bagi hasil
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB X
PELUNASAN DAN EKSEKUSI AGUNAN
Pasal 25
(1) Bank wajib melakukan pelunasan PLJPS pada saat jatuh
waktu sebesar saldo pokok dan bagi hasil PLJPS.
(2) Bank yang belum melakukan pelunasan PLJPS pada saat
jatuh waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak
dapat menggunakan surat berharga sebagai pemenuhan
prefund debit sejak tanggal jatuh waktu sampai dengan
PLJPS lunas.
Pasal 26
(1) Dalam hal Bank belum melunasi saldo pokok PLJPS pada
saat jatuh waktu, Bank dikenakan kewajiban membayar
(gharamah maliyah).
(2) Pengenaan kewajiban membayar (gharamah maliyah)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai
dengan Bank melunasi saldo pokok PLJPS.
-23-
(3) Kewajiban membayar (gharamah maliyah) dihitung secara
harian dari saldo pokok PLJPS yang belum dilunasi.
(4) Dalam perhitungan kewajiban membayar (gharamah
maliyah) ditetapkan nisbah bagi hasil untuk Bank
Indonesia sebesar 80% (delapan puluh persen).
(5) Kewajiban membayar (gharamah maliyah) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan
nisbah bagi hasil untuk Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dikalikan dengan tingkat realisasi
imbalan deposito investasi mudharabah sebelum
distribusi pada Bank yang menerima PLJPS.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan kewajiban
membayar (gharamah maliyah) diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 27
(1) Bank Indonesia mendebit rekening giro Bank dalam
rupiah di Bank Indonesia dalam hal:
a. sebelum PLJPS jatuh waktu dan saldo rekening giro
Bank di Bank Indonesia melebihi kewajiban GWM
ditambah 10% (sepuluh persen) dari kewajiban
GWM;
b. Bank meminta pelunasan sebelum PLJPS jatuh
waktu; dan/atau
c. PLJPS jatuh waktu.
(2) Bank Indonesia melakukan pendebitan rekening giro
Bank secara harian sampai dengan kewajiban PLJPS
lunas.
(3) Dalam hal saldo rekening giro Bank dalam rupiah di
Bank Indonesia tidak mencukupi untuk membayar saldo
pokok dan bagi hasil PLJPS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (1) serta kewajiban membayar
(gharamah maliyah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 maka Bank Indonesia melakukan penihilan rekening
giro Bank dalam rupiah dan rekening giro Bank dalam
valuta asing.
-24-
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelunasan PLJPS diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 28
(1) Dalam hal kewajiban PLJPS belum lunas setelah
dilakukan penihilan rekening giro sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), Bank Indonesia
melakukan eksekusi agunan dengan didahului
penyampaian surat pemberitahuan dan/atau peringatan
kepada Bank.
(2) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari kewajiban PLJPS
maka Bank Indonesia mengembalikan kelebihan tersebut
kepada Bank.
(3) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) lebih kecil dari kewajiban PLJPS
maka Bank wajib melakukan pelunasan melalui setoran
kekurangan kewajiban PLJPS kepada Bank Indonesia.
(4) Dalam hal Bank tidak melakukan penyetoran
kekurangan kewajiban PLJPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) atau Bank melakukan penyetoran
kekurangan kewajiban PLJPS namun tetap tidak
mencukupi maka pelunasan diperoleh dari agunan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6).
Pasal 29
(1) Dalam melaksanakan eksekusi agunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), Bank Indonesia dapat
berkoordinasi atau bekerja sama dengan OJK dan/atau
pihak lain.
(2) Bank harus bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk
kelancaran pelaksanaan eksekusi agunan PLJPS.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai eksekusi agunan diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
-25-
BAB XI
BIAYA
Pasal 30
(1) Biaya yang timbul sehubungan dengan proses PLJPS
menjadi beban Bank.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya yang timbul
sehubungan dengan proses PLJPS diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB XII
PELAPORAN
Pasal 31
(1) Bank yang menerima PLJPS wajib menyampaikan
laporan kepada Bank Indonesia dengan tembusan
kepada OJK yang meliputi:
a.
b.
c.
laporan penggunaan PLJPS;
laporan kondisi likuiditas Bank;
laporan perhitungan rasio kewajiban penyediaan
modal minimum;
d.
laporan agunan dalam hal terdapat:
1. sukuk korporasi yang tidak memenuhi
persyaratan peringkat yang ditetapkan Bank
Indonesia;
2. pelunasan pembiayaan yang menjadi agunan
PLJPS oleh nasabah Bank; dan/atau
3. Aset Pembiayaan yang mengalami penurunan
kolektibilitas;
e.
rencana tindak perbaikan (remedial action plan)
untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek; dan
f.
laporan lain yang diminta oleh Bank Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian laporan
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
-26-
BAB XIII
PENGAWASAN
Pasal 32
(1) Pengawasan terhadap Bank yang menerima PLJPS
dilakukan oleh OJK berkoordinasi dengan Bank
Indonesia.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk memantau dan memastikan
penggunaan dana PLJPS sesuai dengan peruntukannya
dan pelaksanaan rencana pembayaran kembali PLJPS
sesuai dengan perjanjian pemberian PLJPS.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
dimaksudkan untuk memantau dan memastikan
pemenuhan persyaratan PLJPS selama periode
pemberian PLJPS.
Pasal 33
(1) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap
Bank yang menerima PLJPS.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan setelah berkoordinasi dengan OJK.
BAB XIV
SANKSI
Pasal 34
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), dan/atau Pasal
31 ayat (1), dikenakan sanksi berupa:
a.
teguran tertulis;
b. PLJPS tidak dapat diperpanjang; dan/atau
c.
tidak dapat mengajukan permohonan PLJPS dalam
jangka waktu tertentu.
-27-
(2) Bank yang tidak melakukan pelunasan PLJPS pada saat
jatuh waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(1) dikenakan sanksi berupa:
a.
b.
teguran tertulis;
tidak dapat mengajukan permohonan PLJPS dalam
jangka waktu tertentu; dan
c. penghentian sementara dari kepesertaan operasi
moneter syariah.
(3) Bank yang tidak melakukan pelunasan PLJPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) setelah
eksekusi agunan dilakukan, dikenakan sanksi berupa:
a.
b.
teguran tertulis;
tidak dapat mengajukan permohonan PLJPS dalam
jangka waktu tertentu;
c. penghentian sementara dari kepesertaan operasi
moneter syariah;
d. penurunan status kepesertaan Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia (SKNBI);
e. penurunan status kepesertaan Bank Indonesia-Real
Time Gross Settlement (BI-RTGS); dan/atau
f. penurunan status kepesertaan Bank Indonesia-
Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 35
Bank Indonesia menginformasikan pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 kepada Bank dengan
tembusan kepada OJK.
-28-
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 36
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/24/PBI/2009
tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah Bagi
Bank Umum Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 102, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5028); dan
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/20/PBI/2012
tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/24/PBI/2009 tentang Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 272, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5376),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 37
(1) Ketentuan mengenai persyaratan pencantuman Aset
Pembiayaan dalam laporan daftar Aset Pembiayaan
terkini yang disampaikan secara berkala kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf l mulai berlaku untuk permohonan PLJPS yang
diajukan setelah tanggal 15 Juli 2017.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan bahwa agunan berupa
Aset Pembiayaan harus telah menjadi objek atau sampel
pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik
terhadap Bank paling lama 1 (satu) tahun terakhir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j
mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2018.
Pasal 38
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
-29-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 April 2017
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 April 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 83
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/4/PBI/2017
TENTANG
PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH
BAGI BANK UMUM SYARIAH
I. UMUM
Terpeliharanya kondisi makroekonomi dan stabilitas sistem
keuangan serta cukup kuatnya perbankan termasuk perbankan syariah
dalam menghadapi tekanan memberikan kontribusi besar terhadap
pertumbuhan perekonomian. Namun dengan terbukanya pasar keuangan
Indonesia dan meningkatnya pengaruh pasar global, risiko di sistem
keuangan terutama perbankan termasuk perbankan syariah apabila tidak
diatasi dapat memicu terjadinya krisis sistem keuangan.
Risiko tersebut antara lain dapat tercermin dari kondisi likuiditas
yang memburuk di sektor perbankan termasuk perbankan syariah.
Kondisi tersebut perlu segera diatasi agar Bank tidak mengalami liquidity
mismatch yang dapat mempengaruhi pemenuhan kewajiban GWM. Selain
itu, liquidity mismatch dapat pula terjadi dalam kegiatan operasional
suatu Bank meskipun secara umum kondisi likuiditas perbankan syariah
tergolong normal.
Oleh karena itu dalam rangka mengantisipasi memburuknya kondisi
liquidity mismatch perbankan syariah tersebut dan untuk turut menjaga
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan syariah, perlu diberikan
akses bagi Bank yang sementara waktu mengalami kesulitan likuiditas
-2-
untuk memperoleh PLJPS dari Bank Indonesia sebagai lender of the last
resort. Akses Bank untuk memperoleh pembiayaan likuiditas tersebut juga
merupakan upaya Bank Indonesia untuk turut serta mencegah dan
menangani krisis sistem keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu untuk mengatur
kembali PLJPS bagi Bank yang diharapkan dapat memelihara stabilitas
sistem keuangan terutama perbankan termasuk perbankan syariah dan
menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan syariah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “solven” adalah tingkat permodalan
Bank yang tercermin dari rasio kewajiban penyediaan
modal minimum bulan terkini yang memadai, paling rendah
sama dengan rasio kewajiban penyediaan modal minimum
berdasarkan profil risiko terakhir sesuai penilaian OJK
sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur
mengenai kewajiban penyediaan modal minimum.
Kewajiban penyediaan modal minimum bulan terkini
merupakan kewajiban penyediaan modal minimum bulanan
terkini sesuai penilaian OJK yang dilengkapi dengan
informasi kondisi terakhir Bank berupa peristiwa setelah
periode pelaporan (subsequent events) yang dapat
mempengaruhi rasio kewajiban penyediaan modal minimum
Bank.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “peringkat komposit tingkat
kesehatan Bank” adalah peringkat komposit tingkat
kesehatan Bank sesuai penilaian OJK sebagaimana
-3-
dimaksud dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai
penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “mampu untuk mengembalikan
PLJPS” adalah Bank memiliki sumber dana untuk
mengembalikan PLJPS yang tercermin antara lain dari
proyeksi arus kas Bank.
Ayat (3)
Perkiraan Bank atas jumlah kebutuhan likuiditas didasarkan
pada proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari
kalender sejak tanggal permohonan PLJPS.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
SBSN yang dapat digunakan sebagai agunan PLJPS adalah
SBSN yang dapat diperdagangkan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh badan hukum lain" adalah sukuk korporasi
yang diterbitkan oleh badan hukum Indonesia selain Bank
yang mengajukan permohonan PLJPS.
Angka 1
Peringkat investasi atau investment grade mengacu
pada hasil penilaian lembaga pemeringkat yang diakui
oleh OJK.
-4-
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “akad mudharabah” adalah akad
kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik,
shahibul mal, atau Bank) yang menyediakan seluruh modal
dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau nasabah) yang
bertindak selaku pengelola dana dengan membagi
keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang
dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung
sepenuhnya oleh Bank kecuali jika pihak kedua melakukan
kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
Yang dimaksud dengan “akad musyarakah” adalah akad
kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan
porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan
dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian
ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing.
Yang dimaksud dengan “akad ijarah nonjasa” adalah akad
penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna
atau manfaat dari suatu barang berdasarkan transaksi
sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
barang itu sendiri atau dengan opsi pemindahan
kepemilikan barang.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kolektibilitas tergolong lancar”
adalah kualitas tergolong lancar sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan yang mengatur mengenai penilaian
kualitas aset bank umum syariah.
Huruf c
Cukup jelas.
-5-
Huruf d
Nilai agunan yang digunakan adalah nilai pasar
berdasarkan hasil penilai independen paling lama 2 (dua)
tahun terakhir sebelum tanggal permohonan PLJPS.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "pihak terkait" adalah pihak terkait
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur
mengenai batas maksimum penyaluran dana yang berlaku
bagi bank umum syariah.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “restrukturisasi”
adalah
restrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank
umum syariah.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Batas maksimum penyaluran dana mengacu pada
ketentuan yang mengatur mengenai batas maksimum
penyaluran dana yang berlaku bagi bank umum syariah.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “kantor akuntan publik” adalah
kantor akuntan publik yang telah tercantum dalam daftar
kantor akuntan publik yang diakui oleh OJK.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
-6-
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “agunan lain” antara lain:
a. saham Bank yang menerima PLJPS milik pemegang saham
pengendali;
b. personal guarantee dan/atau corporate guarantee dari
pemegang saham pengendali; dan/atau
c. aset tetap milik Bank yang menerima PLJPS.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan "dokumen yang terkait dengan agunan
PLJPS" antara lain akad pembiayaan antara Bank dengan
nasabah, bukti pengikatan agunan, bukti kepemilikan atas aset
yang menjadi agunan pembiayaan Bank dan dokumen
pendukung lainnya.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh badan hukum lain" adalah sukuk korporasi
yang diterbitkan oleh badan hukum Indonesia selain Bank
yang mengajukan permohonan PLJPS.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
-7-
Pasal 7
Ayat (1)
Pemeliharaan dan penatausahaan daftar Aset Pembiayaan
dilakukan terhadap Aset Pembiayaan yang akan dialokasikan
oleh Bank sebagai agunan dalam rangka mengantisipasi
kebutuhan PLJPS dengan agunan berupa Aset Pembiayaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Apabila tanggal batas waktu penerimaan laporan daftar Aset
Pembiayaan jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, atau hari libur
maka batas waktu penyampaian adalah hari kerja berikutnya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” antara lain akad
pembiayaan antara Bank dengan nasabah, bukti pengikatan
agunan, bukti kepemilikan atas aset yang menjadi agunan
pembiayaan Bank, laporan keuangan nasabah Bank, dan
dokumen pendukung lainnya.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-
undangan" antara lain peraturan yang mengatur mengenai gadai
dan fidusia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
-8-
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “dokumen yang mendukung jumlah
kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek” antara lain proyeksi arus kas paling singkat 30
(tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan PLJPS.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Surat persetujuan disampaikan apabila diatur dalam
anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
-9-
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tanggal aktivasi pemberian PLJPS akan disampaikan oleh Bank
Indonesia melalui surat yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari perjanjian pemberian PLJPS.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Koordinasi antara Bank Indonesia dan OJK dilakukan dalam
rangka melaksanakan ketentuan yang diatur dalam undang-
undang yang mengatur mengenai pencegahan dan penanganan
krisis sistem keuangan antara lain:
a. permintaan informasi kepada OJK mengenai kondisi Bank
yang mengajukan PLJPS, yang meliputi pemenuhan
persyaratan:
1. solvabilitas; dan
2.
tingkat kesehatan Bank; dan
b. pelaksanaan penilaian bersama mengenai pemenuhan
persyaratan agunan dan perkiraan kemampuan Bank
untuk mengembalikan PLJPS.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
-10-
Ayat (5)
Bank Indonesia dapat menggunakan jasa pihak ketiga untuk
melakukan verifikasi dan/atau penilaian terhadap dokumen
yang terkait dengan agunan PLJPS.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Sumber dana lain dibuktikan dengan tersedianya tambahan
dana di rekening giro Bank di Bank Indonesia yang disertai
dokumen dan/atau data pendukung.
Ayat (8)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Informasi bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan
antara lain diperoleh dari OJK dan/atau hasil verifikasi
dan/atau penilaian bersama oleh Bank Indonesia dan OJK
terhadap agunan PLJPS.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” antara lain hasil
simulasi kondisi Bank.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “surat sanggup bayar” atau
promissory note adalah surat yang memuat kesanggupan
dari Bank untuk membayar kepada Bank Indonesia atas
-11-
pencairan dana PLJPS. Surat sanggup bayar tersebut tidak
dapat diperdagangkan di pasar uang.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 15
Dengan pembatasan pencairan PLJPS maka Bank hanya dapat
mencairkan PLJPS paling banyak sebesar kelonggaran tarik yang
didukung dengan kecukupan agunan.
Pasal 16
Ayat (1)
Meskipun pencairan PLJPS dihentikan sebelum jatuh waktu,
pelunasan PLJPS tetap dilakukan pada saat jatuh waktu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dokumen yang mendukung jumlah
kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek” antara lain proyeksi arus kas paling singkat 30
(tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan
perpanjangan jangka waktu PLJPS.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
-12-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyerahan surat berharga syariah oleh Bank sebagai agunan
untuk perpanjangan jangka waktu PLJPS tidak digantungkan
pada kecukupan jumlah agunan PLJPS.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Bank Indonesia dapat menggunakan jasa pihak ketiga untuk
melakukan verifikasi dan/atau penilaian terhadap dokumen
yang terkait dengan agunan PLJPS.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Sumber dana lain dibuktikan dengan tersedianya tambahan
dana di rekening giro Bank di Bank Indonesia yang disertai
dokumen dan/atau data pendukung.
Ayat (8)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
-13-
Huruf c
Informasi bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan
antara lain diperoleh dari OJK dan/atau hasil verifikasi
dan/atau penilaian bersama oleh Bank Indonesia dan OJK
terhadap agunan PLJPS.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dokumen yang mendukung jumlah
kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka
Pendek” antara lain proyeksi arus kas paling singkat 30
(tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan
penambahan plafon PLJPS.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
-14-
Ayat (5)
Bank Indonesia dapat menggunakan jasa pihak ketiga untuk
melakukan verifikasi dan/atau penilaian terhadap dokumen
yang terkait dengan agunan PLJPS.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Sumber dana lain dibuktikan dengan tersedianya tambahan
dana di rekening giro Bank di Bank Indonesia yang disertai
dokumen dan/atau data pendukung.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Permohonan penurunan plafon didasarkan pada kebutuhan
likuiditas Bank sampai dengan Bank memenuhi GWM sesuai
dengan ketentuan yang mengatur mengenai giro wajib minimum,
yang didukung dengan proyeksi arus kas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kewajiban PLJPS” adalah saldo pokok
PLJPS, bagi hasil PLJPS, dan biaya lainnya terkait PLJPS.
-15-
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penempatan dana” antara lain
penempatan dana pada pasar uang antar bank berdasarkan
prinsip syariah (PUAS) dan pembelian surat berharga
syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Operasi moneter syariah Bank Indonesia yang bersifat ekspansi
antara lain transaksi repurchase agreement (repo) dalam rangka
operasi pasar terbuka dan transaksi financing facility dalam rangka
standing facilities.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Rumus perhitungan besarnya bagi hasil PLJPS adalah sebagai
berikut:
X = P x R x k x t/360
Keterangan:
X : besarnya bagi hasil yang diterima Bank Indonesia.
P : saldo pokok PLJPS.
R :
k : nisbah bagi hasil untuk Bank Indonesia.
t
:
tingkat realisasi imbalan deposito investasi mudharabah
sebelum distribusi pada Bank yang menerima PLJPS.
jumlah hari kalender perhitungan bagi hasil.
-16-
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “prefund debit” adalah prefund debit
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan transfer dana dan kliring
berjadwal.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Rumus perhitungan besarnya kewajiban membayar (gharamah
maliyah) PLJPS adalah sebagai berikut:
G = P x R x k x t/360
Keterangan:
G : besarnya kewajiban membayar (gharamah maliyah) yang
diterima Bank Indonesia.
P : saldo pokok PLJPS.
R :
tingkat realisasi imbalan deposito investasi mudharabah
sebelum distribusi pada Bank yang menerima PLJPS.
k : nisbah bagi hasil untuk Bank Indonesia.
t
:
Ayat (6)
Cukup jelas.
jumlah hari kalender perhitungan kewajiban membayar
(gharamah maliyah).
-17-
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Pendebitan saldo rekening giro Bank dilakukan sepanjang
terdapat saldo pokok PLJPS, paling tinggi sebesar nilai
terendah antara saldo pokok PLJPS dan kelebihan saldo
rekening giro dari kewajiban GWM ditambah 10% (sepuluh
persen) dari kewajiban GWM.
Huruf b
Pelunasan sebelum PLJPS jatuh waktu dilakukan dengan
mendebit saldo rekening giro Bank sebesar saldo pokok dan
bagi hasil PLJPS.
Huruf c
Apabila saat jatuh waktu PLJPS bertepatan pada hari
Sabtu, hari Minggu, hari libur, atau pada hari kerja yang
kemudian ditetapkan sebagai hari libur maka pendebitan
saldo rekening giro Bank dilakukan pada hari kerja
berikutnya, tanpa memperhitungkan bagi hasil PLJPS pada
hari tersebut.
Dalam hal Bank Indonesia beroperasi secara terbatas pada
hari libur atau cuti bersama, dimana Bank Indonesia
mengoperasikan sistem BI-RTGS dan SKNBI maka hari
tersebut termasuk sebagai hari kerja.
Ayat (2)
Pelunasan kewajiban PLJPS merupakan transaksi high priority
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan setelmen dana seketika
melalui sistem BI-RTGS, dan penyelesaiannya dilakukan
mendahului penyelesaian transaksi lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
-18-
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Biaya yang timbul sehubungan dengan proses PLJPS berupa
biaya jasa pihak ketiga untuk verifikasi dan/atau penilaian
agunan, biaya notaris untuk pengikatan perjanjian dan
pengikatan agunan, biaya dalam rangka eksekusi agunan, biaya
penyimpanan dokumen terkait agunan, dan biaya terkait lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Pengawasan dilakukan dalam rangka melaksanakan ketentuan
yang dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
-19-
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6045
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 19/4/PBI/2017 </reg_id>
<reg_title> PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH </reg_title>
<set_date> 11 April 2017 </set_date>
<effective_date> 13 April 2017 </effective_date>
<issued_date> 13 April 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '11/24/PBI/2009', '14/20/PBI/2012' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '9/UU/2016' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XIV' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7 / 44 / PBI / 2005
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/5/PBI/2003
TENTANG PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG RUPIAH DAN
VALUTA ASING
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mendukung pertumbuhan perekonomian
nasional, perlu dilakukan pengembangan pasar keuangan
rupiah termasuk pasar sekunder Surat Utang Negara ;
b. bahwa salah satu cara untuk mendorong pengembangan
pasar keuangan rupiah dan pengembangan pasar sekunder
Surat Utang Negara adalah dengan memperluas, peranan
perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing
dalam memberikan jasa perantara dan dalam memberikan
informasi pasar yang relevan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b dipandang perlu untuk
melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/5/PBI/2003 tentang Perusahaan Pialang Pasar
Uang Rupiah dan Valuta Asing;
Mengingat...
-2-
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang - Undang
Nomor
23 Tahun 1999 tentang
3. Undang-Undang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3
tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 7,
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
Nomor 24 Tahun 1999 tentang
Tukar (Lembaran
67,
Lalu Lintas Devisa
dan
Negara Republik Indonesia
Sistem Nilai
Tahun
1999 Nomor
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3844);
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat
Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4236);
5. Peraturan Bank Indonesia nomor 5/5/PBI/2003 tentang
Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing (Lembaran
Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 44,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4283) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia No.7/20/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 67)
MEMUTUSKAN...
-3-
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERUBAHAN KEDUA
INDONESIA
ATAS
PERATURAN
BANK
NOMOR 5/5/PBI/2003 TENTANG
PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG RUPIAH DAN
VALUTA ASING.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/5/PBI/2003
tentang Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 44) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/20/PBI/2005 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 67) diubah sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 1 angka 4 dan angka 6 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing selanjutnya
disebut Perusahaan Pialang adalah perusahaan yang didirikan khusus
untuk melakukan kegiatan jasa perantara bagi kepentingan nasabahnya
di bidang pasar uang Rupiah dan valuta asing dengan memperoleh
imbalan atas jasanya .
2. Bank adalah Bank Umum sebagaimana ditetapkan dalam Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998.
3. Pengguna...
-4-
3. Pengguna jasa adalah pihak yang menggunakan jasa perusahaan pialang
pasar uang Rupiah dan valuta asing.
4. Surat Utang Negara (SUN) adalah surat berharga yang berupa surat
pengakuan utang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, yang terdiri atas Surat
Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara
5. Surat Perbendaharaan Negara adalah Surat Utang Negara yang
berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan
pembayaran bunga secara diskonto.
6. Obligasi Negara adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu lebih
dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan / atau dengan pembayaran
bunga secara diskonto.
7. Direksi adalah organ perusahaan pialang yang bertanggung jawab penuh
atas pengurusan perusahaan untuk kepentingan dan tujuan perusahaan
serta mewakili perusahaan baik di dalam maupun di luar pengadilan
sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
8. Komisaris adalah organ perusahaan pialang yang bertugas melakukan
pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan nasihat
kepada Direksi dalam menjalankan perusahaan pialang.
9. Hari adalah hari kalender kecuali ditetapkan sebagai hari kerja.
2. Ketentuan Pasal 2 ayat (1a) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 2 berbunyi
sebagai berikut :
Pasal...
-5-
Pasal 2
(1)
Kegiatan usaha yang dilakukan oleh Perusahaan Pialang adalah
melakukan kegiatan jasa perantara bagi kepentingan nasabahnya di
bidang pasar uang Rupiah dan valuta asing.
(1a) Perusahaan Pialang dapat pula melakukan kegiatan jasa perantara
dalam transaksi Surat Perbendaharaan Negara di pasar perdana dan di
pasar sekunder, serta transaksi Obligasi Negara di pasar sekunder.
(2)
(3)
Dalam melakukan kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (1a) Perusahaan Pialang dapat memperoleh imbalan.
Pengguna jasa Perusahaan Pialang dalam pasar valuta asing adalah
Bank, sementara dalam pasar uang Rupiah pengguna jasa Perusahaan
Pialang adalah Bank dan Non Bank.
(4) Dalam hal diperlukan Bank Indonesia dapat menggunakan jasa
Perusahaan Pialang.
3. Ketentuan Pasal 4 huruf c diubah sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai
berikut :
Pasal 4
Perusahaan Pialang dilarang :
a. melakukan transaksi di pasar uang Rupiah dan valuta asing atas
namanya sendiri dan atau dananya sendiri ;
b. melakukan transaksi di pasar uang Rupiah dan valuta asing atas nama
pemilik Perusahaan Pialang dan atau dana pemilik Perusahaan Pialang
yang bersangkutan ;
c. memberikan …
-6-
c. memberikan jasa perantara di pasar modal, kecuali dalam transaksi
Obligasi Negara di pasar sekunder ;
d. melakukan penyelesaian transaksi (setelmen) untuk pengguna jasa ; dan
e. memberikan informasi nama pengguna jasa sebelum transaksi
disepakati.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Oktober 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 109
DPD
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/44/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/5/PBI/2003 TENTANG PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG RUPIAH DAN VALUTA ASING </reg_title>
<set_date> 21 Oktober 2005 </set_date>
<effective_date> 21 Oktober 2005 </effective_date>
<changed_reg> '5/5/PBI/2003' </changed_reg>
<extension_of> '7/20/PBI/2005' </extension_of>
<related_reg> '23/UU/1999', '5/5/PBI/2003', '3/UU/2004', '24/UU/1999', '7/20/PBI/2005', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/ 40 /PBI/2005
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH
PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa
peningkatan kegiatan masyarakat
melakukan transaksi tunai, perlu didukung
dalam
dengan
b. bahwa ketersediaan
ketersediaan uang rupiah yang memadai dan mudah
dikenali ciri-ciri keasliannya sebagai alat pembayaran;
uang rupiah yang memadai
dan
mudah dikenali ciri-ciri keasliannya tersebut, dipandang
perlu untuk meningkatkan unsur pengaman pada uang
rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu);
c. bahwa untuk meningkatkan unsur pengaman pada uang
rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu), dipandang perlu
untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas rupiah
pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Bank
Indonesia tentang
pengeluaran dan
pengedaran uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh
ribu) Tahun Emisi 2005.
Mengingat ...
-2-
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tanggal
22 Juni 2004 tentang
Pengeluaran, Pengedaran,
Pencabutan dan Penarikan serta Pemusnahan Uang
Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4388);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS
RUPIAH PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN
EMISI 2005.
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah pecahan 10.000
(sepuluh ribu) tahun emisi 2005 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah
negara Republik Indonesia.
Pasal ...
-3-
Pasal 2
Macam uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan jenis
uang kertas yang terbuat dari bahan serat kapas.
Pasal 3
Harga uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mempunyai nilai
nominal Rp10.000 (sepuluh ribu rupiah).
Pasal 4
Ciri uang rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 adalah :
a. warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan
ungu;
b. gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud
Badaruddin II dan di bawahnya dicantumkan tulisan “SULTAN
MAHMUD BADARUDDIN II”;
b) di sebelah kiri gambar utama terdapat gambar ornamen daerah
Palembang
berbentuk
lingkaran berwarna oranye yang
memendar kuning di bawah sinar ultra violet;
c) di sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat
tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut
terdapat tulisan “SEPULUH RIBU RUPIAH”;
d) di ...
akan
-4-
d) di sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan di
sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka
nominal “10000”;
e) di sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal “10000”
terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan
ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
f) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi
(latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi panjang berbentuk
ornamen daerah Pelembang yang dapat dilihat dari sudut pandang
tertentu;
g) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang
Negara Garuda Pancasila;
h) di sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam
bidang segi delapan yang dicetak dengan tinta khusus (optically
variable ink) yang akan berubah warna dari hijau menjadi biru
apabila dilihat dari sudut pandang berbeda;
i) di sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun emisi
“2005”, tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur
Bank Indonesia (Burhanuddin Abdullah) beserta tulisan
“GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia
(Bun Bunan E.J. Hutapea) beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”;
j) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring, dan
rangkaian
membentuk ornamen daerah Palembang;
k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca
pembesar terdapat di:
1) sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal “10000”
berupa tulisan BI;
2) sebelah ...
garis melengkung yang
-5-
2) sebelah kiri gambar utama di atas dan bawah gambar saling isi
(rectoverso) berupa angka 10000 yang membentuk garis vertikal;
3) sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berupa tulisan
BANKINDONESIA sebagai latar belakang uang;
4) sebelah kanan gambar utama berupa tulisan
BANKINDONESIA10000 yang tersusun diagonal membentuk
warna dasar dan gambar ornamen daerah Palembang;
l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa tulisan BI10000 yang berbentuk lengkungan dengan ukuran
teks yang berbeda.
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Rumah Limas, Palembang;
b) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK
INDONESIA”;
c) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN
YANG SAH DENGAN NILAI SEPULUH RIBU RUPIAH”;
d) di sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan di sebelah kiri
atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “10000”;
e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka
terletak di sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta
berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra
violet dan di
INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan
memendar oranye di bawah sinar ultra violet;
f) di ...
ESA, BANK INDONESIA
sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK
-6-
f) di sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi
(rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan
terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
g) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar
siluet rumah limas yang akan memendar hijau kekuningan di bawah
sinar ultra violet;
h) di sebelah kiri bawah gambar utama terdapat cetakan tidak kasat
mata berupa angka nominal “10000” dalam kotak persegi panjang
yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet;
i) di sebelah kanan atas dan bawah gambar utama terdapat angka
10000 yang membentuk warna dasar;
j) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca
pembesar terdapat di:
1) sebelah kanan di atas atap rumah limas berupa angka 10000 yang
membentuk daun-daun pepohonan;
2) sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi
nominal “10000” berupa tulisan BI;
angka
k) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di:
1) atas dan bawah tanda air berupa tulisan BANKINDONESIA
yang berbentuk garis melengkung dengan ukuran teks berbeda;
2) sebelah kanan di atas tulisan BANK INDONESIA dan di bawah
angka nominal “10000” berupa tulisan BANKINDONESIA yang
membentuk lingkaran.
c. bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut :
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 145 mm dan lebar 65 mm;
3. warna ...
-7-
3. warna ungu muda;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud
Badaruddin II dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah
Palembang;
6. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat
tulisan “BI10000” berulang-ulang dan akan memendar berwana merah
di bawah sinar ultra violet.
Pasal 5
Uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan
mulai tanggal 20 Oktober 2005.
Pasal 6
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Oktober 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR
100
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/40/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 </reg_title>
<set_date> 18 Oktober 2005 </set_date>
<effective_date> 18 Oktober 2005 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '6/14/PBI/2004' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/3/PBI/2019
TENTANG
PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DARI KEGIATAN PENGUSAHAAN,
PENGELOLAAN, DAN/ATAU PENGOLAHAN SUMBER DAYA ALAM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa devisa hasil ekspor dapat menjadi sumber dana
yang berkesinambungan bagi pembangunan ekonomi
nasional yang memberikan kontribusi optimal secara
nasional serta dapat dimanfaatkan untuk mendukung
terciptanya pasar keuangan yang lebih sehat dan upaya
menjaga kestabilan nilai rupiah, dalam hal
penempatannya dilakukan melalui perbankan di
Indonesia;
b bahwa pemantauan penerimaan devisa hasil ekspor yang
diperoleh dari barang ekspor kegiatan pengusahaan,
pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam
perlu lebih ditingkatkan efektivitasnya guna mendukung
optimalisasi pemanfaatan devisa hasil ekspor;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Bank Indonesia tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor
dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau
Pengolahan Sumber Daya Alam;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERIMAAN
DEVISA HASIL EKSPOR DARI KEGIATAN PENGUSAHAAN,
PENGELOLAAN, DAN/ATAU PENGOLAHAN SUMBER DAYA
ALAM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing
yang selanjutnya disebut Bank adalah bank umum
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan dan bank umum syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor
cabang bank asing di Indonesia namun tidak termasuk
kantor cabang luar negeri dari bank yang berkantor pusat
di Indonesia, yang memperoleh persetujuan dari otoritas
- 3 -
yang berwenang untuk melakukan kegiatan usaha dalam
valuta asing.
2. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai lalu
lintas devisa dan sistem nilai tukar.
3. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah
pabean sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
kepabeanan.
4. Eksportir adalah orang perseorangan, badan hukum, atau
badan lainnya yang tidak berbadan hukum yang
melakukan Ekspor atas hasil kegiatan pengusahaan,
pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam.
5. Perusahaan Jasa Titipan yang selanjutnya disingkat PJT
adalah perusahaan yang menangani layanan kiriman
secara ekspres atau peka waktu, memiliki izin
penyelenggaraan jasa titipan dari instansi terkait, dan
mendapatkan persetujuan untuk melaksanakan kegiatan
kepabeanan dari kepala kantor pelayanan bea dan cukai.
6. Pemberitahuan Pabean Ekspor adalah pernyataan yang
dibuat oleh orang untuk melaksanakan kewajiban pabean
ekspor dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan
kepabeanan.
yang mengatur mengenai
7. Devisa Hasil Ekspor yang selanjutnya disingkat DHE
adalah devisa dari hasil kegiatan Ekspor.
8. Devisa Hasil Ekspor dari Barang Ekspor Sumber Daya
Alam yang selanjutnya disebut DHE SDA adalah DHE yang
diperoleh dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan,
dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup
pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah yang
mengatur mengenai devisa hasil ekspor yang diperoleh
dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau
pengolahan sumber daya alam.
- 4 -
9. Nasabah adalah nasabah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah.
10. Rekening Khusus DHE SDA yang selanjutnya disebut
Reksus DHE SDA adalah rekening milik Nasabah di Bank
dalam valuta rupiah atau valuta asing, yang digunakan
khusus untuk penerimaan DHE SDA.
11. Perintah Transfer Dana adalah perintah transfer dana
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai transfer dana.
12. Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) adalah transaksi
lalu lintas devisa Nasabah berupa transfer dana keluar
dalam valuta asing.
13. Nilai Ekspor adalah nilai Ekspor free on board (FOB) yang
tercantum pada Pemberitahuan Pabean Ekspor.
14. Pihak yang Tunduk kepada Kontrak Kerja Sama Minyak
dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut Pihak dalam
Kontrak Migas adalah operator dan/atau pemegang
participating interest beserta para penggantinya dari waktu
ke waktu, yang tercatat di otoritas yang berwenang.
15. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia.
BAB II
KEWAJIBAN PENERIMAAN DAN PENGGUNAAN DHE SDA
Pasal 2
(1) Seluruh DHE SDA wajib diterima melalui Bank pada
Reksus DHE SDA.
(2) Kewajiban penerimaan DHE SDA melalui Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. DHE SDA milik pemerintah yang diterima melalui
Bank Indonesia; atau
b. DHE SDA yang diterima dalam bentuk uang tunai di
dalam negeri sepanjang dibuktikan dengan dokumen
pendukung yang memadai.
- 5 -
Pasal 3
(1) Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) berbentuk rekening giro, tabungan, atau rekening
lainnya yang dapat digunakan untuk melakukan
transaksi.
(2) Eksportir dapat membuka lebih dari 1 (satu) Reksus DHE
SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada 1 (satu)
Bank atau lebih.
(3) Pada saat mengajukan permohonan pembukaan Reksus
DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Eksportir
harus menyampaikan:
a. dokumen pendukung yang dapat menunjukkan
Ekspor atas hasil pengusahaan, pengelolaan,
dan/atau pengolahan sumber daya alam; dan
b. surat pernyataan.
(4) Bank harus memastikan Nasabah yang akan melakukan
pembukaan Reksus DHE SDA merupakan Eksportir.
(5) Bank harus memberikan penanda khusus (flag) untuk
setiap Reksus DHE SDA di sistem internal Bank.
Pasal 4
(1) Eksportir dapat menempatkan dana dari Reksus DHE SDA
ke dalam deposito DHE sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Bank wajib memastikan dana yang akan ditempatkan ke
dalam deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berasal dari DHE SDA.
(3) Bank harus memberikan penanda khusus (flag) untuk
setiap deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 5
(1) Transfer dana masuk pada Reksus DHE SDA hanya dapat
berasal dari:
a. DHE SDA;
b. dana dari pencairan deposito dan/atau pembayaran
bunga deposito yang dananya bersumber dari Reksus
DHE SDA milik Eksportir yang sama; dan
- 6 -
c. dana yang berasal dari Reksus DHE SDA lain milik
Eksportir yang sama, baik di Bank lain maupun di
Bank yang sama.
(2) Bank harus memastikan transfer dana masuk pada
Reksus DHE SDA hanya berasal dari sumber sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Transfer dana masuk yang berasal dari DHE SDA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan
dengan mekanisme:
a.
transfer terlebih dahulu melalui rekening selain
Reksus DHE SDA milik Eksportir; atau
b. transfer langsung ke Reksus DHE SDA.
(4) Dalam hal terdapat transfer dana masuk ke Reksus DHE
SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Eksportir
harus menyampaikan dokumen pendukung yang dapat
membuktikan bahwa dana masuk tersebut merupakan
DHE SDA.
(5) Dalam hal terdapat transfer dana masuk ke Reksus DHE
SDA selain dari sumber sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Eksportir harus memindahkan dana dimaksud keluar
dari Reksus DHE SDA.
Pasal 6
(1) Penerimaan DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf b wajib dilakukan paling
lambat pada akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran
Pemberitahuan Pabean Ekspor.
(2) Penerimaan DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang berasal dari cara pembayaran usance L/C,
konsinyasi, pembayaran kemudian, dan/atau collection,
yang jatuh temponya melebihi atau sama dengan 3 (tiga)
bulan setelah bulan pendaftaran Pemberitahuan Pabean
Ekspor, wajib dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari
kalender setelah tanggal jatuh tempo pembayaran yang
bersangkutan.
- 7 -
(3) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) jatuh pada hari libur maka penerimaan
DHE SDA dapat dilakukan pada Hari berikutnya.
Pasal 7
(1) Eksportir yang menerima DHE SDA dengan cara
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(2) harus menyampaikan dokumen pendukung kepada
Bank untuk diteruskan kepada Bank Indonesia.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disampaikan paling lambat tanggal 5 pada bulan
berikutnya setelah bulan pendaftaran Pemberitahuan
Pabean Ekspor.
(3) Dalam hal batas akhir penyampaian dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hari
libur maka penyampaian dokumen pendukung dapat
dilakukan pada Hari berikutnya.
Pasal 8
(1) Nilai DHE SDA yang diterima sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf b harus sesuai
dengan Nilai Ekspor.
(2) Dalam hal nilai DHE SDA lebih kecil dari Nilai Ekspor
dengan selisih kurang paling banyak ekuivalen
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) maka nilai DHE
SDA yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai Ekspor
sehingga Eksportir tidak perlu menyampaikan dokumen
pendukung.
(3) Dalam hal selisih kurang nilai DHE SDA dengan Nilai
Ekspor lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) yang disebabkan oleh:
a.
selisih kurs, diskon/rabat, biaya administrasi,
dan/atau biaya lainnya terkait perdagangan
internasional, sehingga terdapat selisih kurang
antara nilai DHE SDA dan Nilai Ekspor paling banyak
10% (sepuluh persen) dari Nilai Ekspor; dan/atau
- 8 -
b. maklon, jasa perbaikan, operational leasing atau
financial leasing, perbedaan harga barang, perbedaan
kualitas barang, perbedaan komposisi barang, dan
perbedaan kuantitas barang,
nilai DHE SDA yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai
Ekspor apabila Eksportir menyampaikan dokumen
pendukung yang memadai.
(4) Untuk barang tambang, dalam hal nilai DHE SDA lebih
kecil dari Nilai Ekspor dengan selisih kurang antara nilai
DHE SDA dan Nilai Ekspor yang disebabkan oleh
perbedaan harga, kualitas, komposisi, dan kuantitas
barang:
a. paling banyak 10% (sepuluh persen) dari Nilai Ekspor
maka nilai DHE SDA yang diterima dianggap sesuai
dengan Nilai Ekspor dan Eksportir tidak perlu
menyampaikan dokumen pendukung; atau
b. lebih besar dari 10% (sepuluh persen) dari Nilai
Ekspor maka nilai DHE SDA yang diterima dianggap
sesuai dengan Nilai Ekspor apabila Eksportir
menyampaikan dokumen pendukung yang memadai.
(5) Dalam hal selisih kurang sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) untuk DHE SDA yang diterima dalam bentuk uang
tunai di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (2) huruf b, Eksportir harus menyampaikan
dokumen pendukung yang memadai kepada Bank
Indonesia.
(6) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dan ayat (4) huruf b disampaikan kepada Bank paling
lambat tanggal 5 pada bulan berikutnya setelah DHE SDA
diterima oleh Eksportir melalui Bank, untuk diteruskan
kepada Bank Indonesia.
(7) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat
tanggal 5 pada bulan berikutnya setelah bulan
pendaftaran Pemberitahuan Pabean Ekspor.
- 9 -
Pasal 9
Dalam hal terdapat perbedaan antara data Pemberitahuan
Pabean Ekspor yang disampaikan Eksportir dengan data
Pemberitahuan Pabean Ekspor yang diterima Bank Indonesia
dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai maka Bank Indonesia
memutuskan data Pemberitahuan Pabean Ekspor yang
dijadikan acuan dalam pemenuhan ketentuan Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 10
(1) Penerimaan nilai DHE SDA yang lebih kecil dari Nilai
Ekspor yang disebabkan netting antara tagihan Ekspor
dengan kewajiban Eksportir hanya diperbolehkan untuk
netting dengan pembayaran impor barang terkait kegiatan
Ekspor yang bersangkutan yang hanya melibatkan 2 (dua)
pihak.
(2) Dalam hal kegiatan Ekspor melibatkan lebih dari 2 (dua)
pihak, netting antara tagihan Ekspor dengan kewajiban
Eksportir dalam bentuk impor barang terkait kegiatan
Ekspor yang bersangkutan, hanya diperbolehkan apabila
pihak tersebut berada dalam 1 (satu) grup.
(3) Eksportir harus menyampaikan surat pernyataan kepada
Bank untuk diteruskan kepada Bank Indonesia bahwa:
a. barang yang diimpor digunakan dalam proses
menghasilkan barang Ekspor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2); dan
b. pihak yang melakukan netting antara tagihan Ekspor
dengan kewajiban impor barang terkait kegiatan
Ekspor yang bersangkutan berada dalam 1 (satu)
grup, dalam hal netting melibatkan lebih dari 2 (dua)
pihak.
(4) Penerimaan DHE SDA yang berasal dari hasil netting
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dianggap
sesuai dengan Nilai Ekspor apabila Eksportir
menyampaikan bukti transaksi netting yang memadai.
- 10 -
Pasal 11
(1) Eksportir yang menerima nilai DHE SDA melalui Bank
lebih kecil dari Nilai Ekspor, dengan selisih kurang lebih
besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) yang disebabkan importir wanprestasi, pailit, atau
mengalami keadaan memaksa (force majeure), harus
menyampaikan dokumen pendukung yang memadai
kepada Bank untuk diteruskan kepada Bank Indonesia.
(2) Eksportir yang tidak menerima DHE SDA atau menerima
DHE SDA dalam bentuk uang tunai lebih kecil dari Nilai
Ekspor dengan selisih kurang lebih besar dari ekuivalen
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), yang
disebabkan importir wanprestasi, pailit, atau mengalami
keadaan memaksa (force majeure), harus menyampaikan
dokumen pendukung yang memadai kepada Bank
Indonesia.
(3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) disampaikan paling lambat akhir bulan
ketiga setelah bulan pendaftaran Pemberitahuan Pabean
Ekspor.
(4) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) untuk penerimaan DHE SDA yang berasal
dari cara pembayaran usance L/C, konsinyasi,
pembayaran kemudian, dan/atau collection yang jatuh
temponya melebihi atau sama dengan 3 (tiga) bulan
setelah bulan pendaftaran Pemberitahuan Pabean Ekspor,
harus disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari
kalender setelah tanggal jatuh tempo pembayaran.
Pasal 12
DHE SDA yang ditempatkan dalam Reksus DHE SDA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) digunakan oleh
Eksportir untuk Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) guna
pembayaran:
a. bea keluar dan pungutan lain di bidang ekspor;
b. pinjaman;
c. impor;
- 11 -
d. keuntungan atau deviden; dan/atau
e. keperluan lain dari penanam modal sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai penanaman modal.
Pasal 13
(1) Dalam hal Eksportir melakukan Transfer Dana Keluar
(Outgoing Transfer) melalui Reksus DHE SDA sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 dengan nilai setara di atas
jumlah tertentu (threshold), Eksportir harus
menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank.
(2) Bank hanya dapat melakukan pengaksepan Perintah
Transfer Dana untuk Transfer Dana Keluar (Outgoing
Transfer) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang
dilengkapi dengan dokumen pendukung.
(3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus diterima sebelum pelaksanaan penyelesaian
transaksi.
(4) Bank harus meneruskan informasi kepada Bank
Indonesia mengenai penyampaian dokumen pendukung
untuk Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Ketentuan mengenai mekanisme pengaksepan Perintah
Transfer Dana, threshold, dan penyampaian dokumen
pendukung untuk Transfer Dana Keluar (Outgoing
Transfer) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (4) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas
devisa bank dan nasabah.
Pasal 14
(1) Eksportir harus menyampaikan kepada Bank:
a. informasi untuk setiap transfer dana masuk
dan/atau Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer)
melalui Reksus DHE SDA; dan
b. informasi yang tercantum pada Pemberitahuan
Pabean Ekspor terkait DHE SDA yang diterima.
- 12 -
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia dalam:
a. laporan rincian transaksi Ekspor; dan
b. laporan Reksus DHE SDA,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas
devisa bank dan nasabah.
(3) Untuk DHE SDA yang diterima dalam bentuk uang tunai
di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) huruf b, Eksportir harus menyampaikan dokumen
pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia.
(4) Keharusan menyampaikan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku untuk
Pemberitahuan Pabean Ekspor dengan nilai lebih besar
dari USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat)
atau ekuivalennya.
Pasal 15
Dalam hal Eksportir tidak menyampaikan dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1),
Pasal 8 ayat (3), ayat (4) huruf b, dan ayat (5), Pasal 11 ayat (1)
dan ayat (2), serta Pasal 14 ayat (3), surat pernyataan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), serta bukti
transaksi netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(4) maka nilai DHE SDA yang diterima Eksportir dianggap tidak
sesuai dengan Nilai Ekspor dan Eksportir dianggap tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1).
Pasal 16
(1) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, ketentuan bagi
Eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dan ayat (2) huruf b, Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4
ayat (1), Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 6, Pasal 7, Pasal
8, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), dan Pasal
14 berlaku terhadap pemilik barang.
- 13 -
(2) PJT harus menyampaikan informasi terkait
Pemberitahuan Pabean Ekspor kepada pemilik barang.
Pasal 17
Dalam hal Ekspor sumber daya alam berupa minyak dan gas
bumi, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dan ayat (2) huruf b, Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat
(1), Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal
10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), dan Pasal 14 berlaku
terhadap Eksportir dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas.
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penerimaan dan
penggunaan DHE SDA melalui Reksus DHE SDA diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB III
PENYAMPAIAN INFORMASI DAN LAPORAN
Pasal 19
Untuk penerimaan DHE SDA, prosedur penyampaian oleh
Bank kepada Bank Indonesia berupa:
a. informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4)
dan Pasal 14 ayat (2);
b. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (1), Pasal 8, dan Pasal 11;
c. surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (3); dan
d. bukti transaksi netting sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (4),
dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa
bank dan nasabah.
- 14 -
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 20
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan kepada:
a. Eksportir, pemilik barang, dan/atau Pihak dalam
Kontrak Migas; dan
b. Bank,
terhadap pemenuhan kewajiban penerimaan DHE SDA
melalui Reksus DHE SDA dan penggunaan DHE SDA.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia dapat:
a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau
dokumen pendukung, dengan atau tanpa melibatkan
instansi terkait; dan
b. melakukan kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
(4) Dalam hal diperlukan, dalam melakukan pengawasan
Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk
melakukan penelitian kebenaran dokumen pendukung.
Pasal 21
Bank, Eksportir, pemilik barang, dan/atau Pihak dalam
Kontrak Migas harus memberikan penjelasan, bukti, catatan,
dan/atau dokumen pendukung yang terkait guna pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a dalam
jangka waktu yang ditentukan oleh Bank Indonesia.
Pasal 22
Dalam hal Bank, Eksportir, pemilik barang, dan/atau Pihak
Dalam Kontrak Migas tidak memberikan penjelasan, bukti,
catatan, dan/atau dokumen pendukung yang terkait
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a,
- 15 -
laporan, keterangan, dan/atau data yang disampaikan
dinyatakan tidak benar.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan kepatuhan DHE
SDA diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB V
PENYAMPAIAN HASIL PENGAWASAN
Pasal 24
Bank Indonesia menginformasikan hasil pengawasan dan
pelanggaran yang dilakukan oleh Eksportir, pemilik barang,
dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas terkait kewajiban
penerimaan dan penggunaan DHE SDA kepada:
a. Kementerian Keuangan; dan
b. kementerian dan/atau lembaga teknis terkait,
untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan masing-
masing.
Pasal 25
Pengenaan sanksi oleh otoritas yang berwenang sebagai tindak
lanjut dari penyampaian hasil pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 tidak menggugurkan kewajiban
penerimaan DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1).
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian hasil
pengawasan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB VI
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 27
(1) Bank yang melakukan pelanggaran atas kewajiban terkait
deposito khusus DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam
- 16 -
Pasal 4 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis.
(2) Bank yang melakukan pengaksepan Perintah Transfer
Dana dari Eksportir, pemilik barang, dan/atau Pihak
dalam Kontrak Migas untuk transaksi Transfer Dana
Keluar (Outgoing Transfer) tanpa dilengkapi dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(2) dikenakan sanksi administratif.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank
dan nasabah.
Pasal 28
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif atas pelanggaran kewajiban terkait DHE SDA
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 29
Ketentuan pengenaan sanksi terhadap Eksportir, pemilik
barang, dan/atau Pihak dalam Kontrak Migas yang tidak
memenuhi kewajiban terkait penerimaan dan penggunaan DHE
SDA sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini
dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah yang
mengatur mengenai devisa hasil ekspor dari kegiatan
pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya
alam dan peraturan pelaksanaannya.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 30
Dalam hal terdapat permasalahan terkait penerapan kewajiban
penerimaan DHE SDA yang berdampak strategis, Bank
Indonesia dapat mengambil kebijakan tertentu dengan tetap
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
- 17 -
Peraturan Bank Indonesia ini dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Pasal 31
Ketentuan mengenai penerimaan DHE selain dari DHE SDA
mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan
Penarikan Devisa Utang Luar Negeri sebagaimana diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/23/PBI/2015
tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan
Penarikan Devisa Utang Luar Negeri, beserta peraturan
pelaksanaannya.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 32
Pemenuhan kewajiban dan pengenaan sanksi terkait
penerimaan DHE untuk Pemberitahuan Pabean Ekspor yang
diterbitkan sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini
sampai dengan tanggal 30 Juni 2019 tetap mengacu pada
kewajiban penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang
Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang
Luar Negeri sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 17/23/PBI/2015 tentang Perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang
Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang
Luar Negeri.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 33
Ketentuan yang mengatur mengenai penerimaan, penggunaan,
dan pengawasan DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam
- 18 -
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14
ayat (1) huruf a, Pasal 14 ayat (2) huruf b, Pasal 16, Pasal 17,
Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 mulai berlaku untuk
Pemberitahuan Pabean Ekspor yang diterbitkan sejak
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 34
(1) Penyampaian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 mulai berlaku untuk Pemberitahuan
Pabean Ekspor yang diterbitkan sejak tanggal 1 Juli 2019.
(2) Ketentuan mengenai pengenaan sanksi kepada Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) mulai
berlaku untuk pemenuhan kewajiban yang timbul dari
Pemberitahuan Pabean Ekspor yang diterbitkan sejak
tanggal 1 Juli 2019.
Pasal 35
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 19 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Januari 2019
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 Januari 2019
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 8
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/3/PBI/2019
TENTANG
PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DARI KEGIATAN PENGUSAHAAN,
PENGELOLAAN, DAN/ATAU PENGOLAHAN SUMBER DAYA ALAM
I. UMUM
Pembangunan ekonomi nasional membutuhkan sumber dana yang
memadai dan berkesinambungan, baik yang berasal dari dalam negeri
maupun luar negeri. Salah satu sumber pendanaan dari luar negeri yang
relatif stabil dan berkesinambungan (sustainable) yaitu DHE yang juga
penting untuk mendukung stabilitas nilai rupiah dan makroekonomi
secara keseluruhan.
Sejalan dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah yang
mengatur mengenai devisa hasil ekspor yang diperoleh dari kegiatan
pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam dan
untuk meningkatkan kualitas informasi yang diperoleh guna pemantauan
DHE yang lebih efektif, perlu disusun ketentuan mengenai DHE SDA yang
mengatur antara lain mengenai kewajiban penerimaan DHE SDA di Bank
melalui Reksus DHE SDA.
Penyesuaian pengaturan ini tetap berlandaskan pada sistem devisa
bebas yang berlaku selama ini yaitu setiap penduduk dapat dengan bebas
memiliki dan menggunakan devisa sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai
Tukar.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
DHE SDA diperoleh dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan,
dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup
pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.
Sumber daya alam pertambangan merupakan sumber daya alam
pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai pertambangan mineral dan batubara
serta Undang-Undang yang mengatur mengenai minyak dan gas
bumi.
Sumber daya alam perkebunan merupakan sumber daya alam
perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perkebunan.
Sumber daya alam kehutanan merupakan sumber daya alam
kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai kehutanan.
Sumber daya alam perikanan merupakan sumber daya alam
perikanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perikanan.
Wajib diterima melalui Bank tidak termasuk kewajiban
menyimpan dalam jangka waktu tertentu dan/atau mengonversi
ke dalam mata uang rupiah.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “diterima dalam bentuk uang tunai”
adalah penerimaan DHE SDA dalam bentuk pembayaran
uang kertas dan/atau uang logam.
DHE SDA dikategorikan sebagai DHE SDA yang diterima
dalam bentuk uang tunai apabila menurut Bank Indonesia
- 3 -
memenuhi aspek kewajaran untuk dilakukan pembayaran
dengan menggunakan uang tunai, antara lain berdasarkan
aspek jumlah dan jenis transaksinya.
Pasal 3
Ayat (1)
Rekening lainnya dapat berupa produk simpanan lainnya dari
Bank yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Dokumen pendukung dapat berupa antara lain dokumen
Pemberitahuan Pabean Ekspor, surat izin Ekspor dari
instansi terkait, dan kontrak penjualan Ekspor.
Termasuk dalam Pemberitahuan Pabean Ekspor yaitu
Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).
Huruf b
Surat pernyataan memuat pernyataan bahwa yang
bersangkutan merupakan Eksportir.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 4 -
Ayat (3)
Huruf a
Transfer dari rekening selain Reksus DHE SDA ke Reksus
DHE SDA disertai dokumen pendukung yang dapat
membuktikan dana masuk tersebut berasal dari DHE SDA.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dokumen pendukung dapat berupa antara lain dokumen
Pemberitahuan Pabean Ekspor dan kontrak penjualan Ekspor.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Dokumen pendukung dapat berupa antara lain dokumen
Pemberitahuan Pabean Ekspor, usance L/C, dan surat
keterangan tentang penangguhan pembayaran dari importir.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “maklon” adalah pemberian jasa
guna proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses
- 5 -
pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa atau
disubkontrakkan, dan pengguna jasa menetapkan
spesifikasi serta menyediakan bahan baku dan/atau barang
setengah jadi dan/atau bahan penolong/pembantu yang
akan diproses sebagian atau seluruhnya, dengan
kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa.
Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut
Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat
membuktikan terjadinya selisih kurang antara nilai DHE
SDA dan Nilai Ekspor.
Ayat (4)
Huruf a
Dokumen pendukung dapat berupa antara lain fotokopi
invoice, certificate of analysis, dan SWIFT message.
Yang dimaksud dengan “barang tambang” adalah minyak
bumi, gas bumi, mineral, dan batubara.
Yang dimaksud dengan “minyak bumi” adalah minyak bumi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai minyak dan gas bumi.
Yang dimaksud dengan “gas bumi” adalah gas bumi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai minyak dan gas bumi.
Yang dimaksud dengan “mineral” adalah mineral
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai pertambangan mineral dan batubara.
Yang dimaksud dengan “batubara” adalah batubara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai pertambangan mineral dan batubara.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dokumen pendukung dapat berupa antara lain fotokopi kuitansi
pembayaran terkait penerimaan DHE SDA dalam bentuk uang
tunai di dalam negeri.
Ayat (6)
Cukup jelas.
- 6 -
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pihak yang berada dalam 1 (satu) grup merupakan badan hukum
atau badan lain yang memiliki hubungan berdasarkan
kepemilikan dan/atau pemegang saham yang sama.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Bukti transaksi netting dapat berupa antara lain kesepakatan
penyelesaian netting tagihan Ekspor dengan kewajiban impor
barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan, laporan
konsolidasi netting tagihan Ekspor dengan kewajiban impor
barang, dan invoice.
Bukti transaksi netting dinilai memadai apabila menurut
penilaian Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat
membuktikan adanya netting yang diperbolehkan.
Pasal 11
Ayat (1)
Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank
Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan
kondisi importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan
memaksa (force majeure).
Ayat (2)
Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank
Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan
kondisi importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan
memaksa (force majeure).
- 7 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Dokumen pendukung dapat berupa antara lain dokumen yang
mendasari adanya kegiatan transaksi (underlying transaction)
Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) dalam valuta asing,
yaitu:
a. tagihan dari penjual barang dan jasa di luar negeri;
b. kontrak pinjaman atau dokumen lain yang menunjukkan
adanya kewajiban pembayaran bunga dan/atau pokok
pinjaman;
c. kontrak atau dokumen lain yang menunjukkan adanya
kewajiban membayar royalti dan kewajiban hak intelektual
lainnya;
d. dokumen rapat umum pemegang saham yang menunjukkan
kewajiban pembagian deviden kepada pemegang saham di
luar negeri;
e.
perjanjian kerja atau dokumen kepegawaian lainnya yang
menunjukkan kewajiban membayar gaji dan penghasilan
lainnya;
f. dokumen likuidasi aset di dalam negeri yang merupakan hak
pihak di luar negeri; dan/atau
g. dokumen pengecualian atau penangguhan kewajiban
penggunaan rupiah untuk transaksi valuta asing di dalam
negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 8 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, threshold
Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan nasabah yaitu
USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat).
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank
Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan
terjadinya penerimaan DHE SDA dalam bentuk uang tunai di
dalam negeri.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemilik barang” adalah pihak yang
melakukan Ekspor melalui PJT.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
- 9 -
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
- 10 -
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Pemenuhan kewajiban Eksportir dan Bank yaitu kewajiban
penerimaan DHE melalui Bank dan kewajiban pelaporan oleh Bank.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6303
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 21/3/PBI/2019 </reg_id>
<reg_title> PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DARI KEGIATAN PENGUSAHAAN, PENGELOLAAN, DAN/ATAU PENGOLAHAN SUMBER DAYA ALAM </reg_title>
<set_date> 18 Januari 2019 </set_date>
<effective_date> 18 Januari 2019 </effective_date>
<issued_date> 18 Januari 2019 </issued_date>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/18/PBI/2016
TENTANG
TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH
ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai Rupiah;
b. bahwa dalam mencapai kestabilan nilai Rupiah
diperlukan pasar keuangan yang likuid dan efisien,
untuk dapat mendukung kegiatan ekonomi nasional;
c. bahwa pasar keuangan yang likuid dan efisien dapat
dicapai melalui pengembangan pasar valuta asing
domestik secara menyeluruh, dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian;
d. bahwa dalam upaya pengembangan pasar valuta asing
domestik
perlu melakukan pengaturan yang
komprehensif melalui pengayaan instrumen,
pengembangan infrastruktur,
kredibilitas pasar;
dan peningkatan
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d,
perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank
dengan Pihak Domestik;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI
VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN
PIHAK DOMESTIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
serta Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
namun tidak termasuk kantor Bank Umum dan Bank
Umum Syariah berbadan hukum Indonesia yang
beroperasi di luar negeri.
- 3 -
2. Nasabah adalah:
a.
perorangan yang memiliki kewarganegaraan
Indonesia; atau
b. badan usaha selain Bank yang berbadan hukum
Indonesia, berdomisili di Indonesia, dan memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
3. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah
transaksi penjualan dan pembelian valuta asing
terhadap Rupiah.
4. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
adalah transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau
perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan
turunan dari nilai tukar valuta asing terhadap Rupiah,
gabungan turunan dari nilai tukar valuta asing terhadap
Rupiah dan suku bunga (valuta asing dan Rupiah), atau
gabungan antarturunan dari nilai tukar valuta asing
terhadap Rupiah.
5.
Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari
pembelian atau penjualan valuta asing terhadap Rupiah.
6. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli antara
valuta asing terhadap Rupiah dengan penyerahan dana
dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi,
termasuk transaksi dengan penyerahan dana pada hari
yang sama (today) atau dengan penyerahan dana 1 (satu)
hari kerja setelah tanggal transaksi (tomorrow).
7. Call Spread Option adalah gabungan beli call option dan
jual call option yang dilakukan secara simultan dalam
satu kontrak transaksi dengan strike price yang berbeda
dan nominal yang sama.
- 4 -
BAB II
TRANSAKSI
Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
Pasal 2
(1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah meliputi:
a. Transaksi Spot; dan
b. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah.
(2) Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. transaksi derivatif yang standar (plain vanilla),
dalam bentuk forward, swap, option, dan cross
currency swap (CCS); dan
b. transaksi structured product valuta asing terhadap
Rupiah berupa Call Spread Option.
Bagian Kedua
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
Pasal 3
(1) Bank dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan pihak domestik atas dasar suatu kontrak.
(2) Dalam melakukan kegiatan Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah, Bank wajib:
a. memenuhi ketentuan otoritas perbankan yang
mengatur mengenai kategori Bank yang dapat
melakukan kegiatan transaksi valuta asing;
b. menerapkan manajemen risiko sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan
yang mengatur mengenai penerapan manajemen
risiko Bank;
c. memberikan edukasi tentang Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah kepada Nasabah
- 5 -
untuk pelaksanaan kegiatan Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah; dan
d. memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai kewajiban penggunaan
Rupiah.
(3) Dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah dengan Nasabah, Bank wajib menggunakan
kuotasi harga (kurs) valuta asing terhadap Rupiah yang
ditetapkan oleh Bank.
(4) Dalam hal Bank melakukan transaksi structured product
valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b,
selain memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Bank juga wajib memenuhi ketentuan
otoritas perbankan yang mengatur mengenai prinsip
kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan structured
product bagi bank umum.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kontrak, edukasi
kepada Nasabah, dan kuotasi harga (kurs) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 4
(1) Transaksi Spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf a dan transaksi derivatif yang standar
(plain vanilla) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) huruf a, yang dilakukan Bank dengan Nasabah di
atas jumlah tertentu (threshold) wajib memiliki
Underlying Transaksi.
(2) Transaksi structured product valuta asing terhadap
Rupiah berupa Call Spread Option sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b wajib memiliki
Underlying Transaksi.
- 6 -
(3) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) meliputi seluruh kegiatan:
a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar
negeri;
b.
investasi berupa direct investment, portfolio
investment, pinjaman, modal, dan investasi lainnya
di dalam dan di luar negeri; dan/atau
c.
pemberian kredit atau pembiayaan Bank dalam
valuta asing dan/atau dalam Rupiah untuk
kegiatan perdagangan dan investasi.
(4) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) meliputi juga perkiraan pendapatan dan biaya
(income dan expense estimation).
(5) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) tidak termasuk:
a.
kegiatan penempatan dana pada Bank antara lain
berupa tabungan, giro, deposito, dan sertifikat
deposito (negotiable certificate of deposit);
b.
c.
kegiatan pengiriman uang oleh perusahaan transfer
dana;
fasilitas pemberian kredit yang masih belum
ditarik, antara lain berupa standby loan dan
undisbursed loan; dan
d. penggunaan Surat Berharga Bank Indonesia dalam
valuta asing.
(6) Khusus untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah
melalui transaksi forward oleh Nasabah kepada Bank,
Underlying Transaksi juga meliputi kepemilikan dana
valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri antara
lain berupa tabungan, giro, deposito, dan sertifikat
deposito (negotiable certificate of deposit).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3)
dan ayat (5) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
- 7 -
Bagian Ketiga
Transaksi Spot antara Bank dengan Nasabah
Pasal 5
(1) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) untuk pembelian valuta asing
terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui
Transaksi Spot adalah USD25,000.00 (dua puluh lima
ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan
per Nasabah.
(2) Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah
kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang melebihi nominal Underlying Transaksi.
(3) Dalam hal nominal Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak dalam kelipatan
USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat) maka
terhadap nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat
dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan
USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah tertentu
(threshold) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Bagian Keempat
Transaksi Derivatif yang Standar (Plain Vanilla) antara Bank
dengan Nasabah
Pasal 6
(1) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) untuk pembelian valuta asing
terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui
transaksi derivatif yang standar (plain vanilla) adalah
USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat)
atau ekuivalennya per bulan per Nasabah.
- 8 -
(2) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) untuk penjualan valuta asing
terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui
transaksi forward adalah USD5,000,000.00 (lima juta
dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi
per Nasabah.
(3) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) untuk penjualan valuta asing
terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui
transaksi option adalah USD1,000,000.00 (satu juta
dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi
per Nasabah.
(4) Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah
kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah
kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) dilarang melebihi nominal Underlying Transaksi.
(5) Dalam hal nominal Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) tidak dalam kelipatan
USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat)
maka terhadap nominal Underlying Transaksi tersebut
dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan
USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat).
(6) Jangka waktu pembelian dan penjualan valuta asing
terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilarang melebihi
jangka waktu Underlying Transaksi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah tertentu
(threshold) dan pembulatan kelipatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5)
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
- 9 -
Pasal 7
Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 4
ayat (2) tidak berlaku untuk penyelesaian Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah awal yang dilakukan melalui:
a.
perpanjangan transaksi (roll over) sepanjang jangka
waktu perpanjangan transaksi (roll over) paling lama
sama dengan jangka waktu Underlying Transaksi awal;
b.
c.
percepatan penyelesaian transaksi (early termination);
atau
pengakhiran transaksi (unwind).
Bagian Kelima
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antar-Bank
Pasal 8
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antar-Bank tidak
wajib memiliki Underlying Transaksi.
Bagian Keenam
Transaksi Structured Product Valuta Asing Terhadap Rupiah
Berupa Call Spread Option
Pasal 9
(1) Bank dilarang melakukan transaksi structured product
valuta asing terhadap Rupiah.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
berlaku bagi Bank sebagai agen penjual (selling agent).
(3) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan untuk transaksi structured product valuta
asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option yang
memenuhi persyaratan:
a. didukung oleh Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 4 ayat
(4);
- 10 -
b. nominal transaksi structured product valuta asing
terhadap Rupiah berupa Call Spread Option tidak
melebihi nominal Underlying Transaksi; dan
c.
jangka waktu transaksi structured product valuta
asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option
tidak melebihi jangka waktu Underlying Transaksi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai transaksi structured
product valuta asing terhadap Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 10
(1) Transaksi structured product valuta asing terhadap
Rupiah berupa Call Spread Option sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b wajib dilakukan
secara dynamic hedging.
(2) Transaksi dynamic hedging sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan untuk memastikan pelaku transaksi
Call Spread Option tidak terekspos pada risiko nilai tukar
akibat kurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread
Option awal.
(3) Transaksi dynamic hedging sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilakukan dengan persyaratan sebagai
berikut:
a.
kisaran kurs tidak overlap dengan kisaran kurs
transaksi Call Spread Option awal;
b.
kisaran kurs tidak memiliki gap dengan kisaran
kurs transaksi Call Spread Option awal;
c. menggunakan Underlying Transaksi yang sama dan
belum jatuh waktu;
d. nominal tidak bersifat kumulatif;
e.
jangka waktu:
1)
paling kurang 6 (enam) bulan untuk transaksi
Call Spread Option awal yang memiliki sisa
jatuh waktu 6 (enam) bulan atau lebih; atau
- 11 -
2)
mengikuti sisa jatuh waktu transaksi Call
Spread Option awal untuk transaksi Call
Spread Option awal yang memiliki sisa jatuh
waktu kurang dari 6 (enam) bulan; dan
f.
dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah
kurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread
Option awal.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dynamic hedging
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 11
(1) Transaksi Spot yang dilakukan dalam rangka transaksi
structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa
Call Spread Option dapat menggunakan Underlying
Transaksi yang sama dengan transaksi structured
product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread
Option awal.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
BAB III
PENYELESAIAN TRANSAKSI
Pasal 12
(1) Penyelesaian Transaksi Spot sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a antara Bank dengan
Nasabah dan antar-Bank wajib dilakukan dengan
pemindahan dana pokok secara penuh.
(2) Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
antara Bank dengan Nasabah dan antar-Bank dapat
dilakukan secara netting atau dengan pemindahan dana
pokok secara penuh.
- 12 -
(3) Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah antara Bank dengan Nasabah dan antar-Bank
yang dapat dilakukan secara netting sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) hanya berlaku untuk
perpanjangan transaksi (roll over),
penyelesaian transaksi (early termination), dan
pengakhiran transaksi (unwind).
(4) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah
oleh Nasabah kepada Bank melalui transaksi forward
dengan nominal transaksi paling banyak sebesar jumlah
tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (2) wajib dilakukan dengan pemindahan dana
pokok secara penuh.
(5) Kewajiban pemindahan dana pokok secara penuh untuk
penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah
oleh Nasabah kepada Bank melalui transaksi forward
dengan nominal transaksi paling banyak sebesar jumlah
tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diatur sebagai berikut:
a. pemindahan dana pokok secara penuh dilakukan
pada saat jatuh waktu transaksi forward jual;
b. dalam hal dilakukan perpanjangan transaksi (roll
over) atau percepatan penyelesaian transaksi (early
termination), penyelesaian dengan pemindahan
dana pokok secara penuh dilakukan pada saat
berakhirnya kontrak perpanjangan transaksi (roll
over) atau percepatan penyelesaian transaksi (early
termination); dan
c. perpanjangan transaksi (roll over) atau percepatan
penyelesaian transaksi (early termination)
sebagaimana dimaksud pada huruf b, dapat
dilakukan sepanjang didukung oleh Underlying
Transaksi dari transaksi forward jual awal.
percepatan
- 13 -
(6) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah
melalui transaksi forward dengan nominal paling banyak
sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana
dimaksud ayat (4), tidak dapat dilakukan melalui
pengakhiran transaksi (unwind).
(7) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah
oleh Nasabah kepada Bank melalui transaksi forward
dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa
kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di
luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(6) wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok
secara penuh.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 13
(1) Penyelesaian Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
yang dilakukan oleh penyelenggara kegiatan usaha
penukaran valuta asing (KUPVA) dan travel agent untuk
kepentingan nasabahnya wajib diselesaikan dengan
pemindahan dana pokok secara penuh.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah yang dilakukan oleh penyelenggara
kegiatan usaha penukaran valuta asing (KUPVA)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 14
(1) Penyelesaian transaksi derivatif yang standar (plain
vanilla) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf a yang dilakukan antara Bank dengan Nasabah
secara netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (3) untuk transaksi pembelian valuta asing
terhadap Rupiah paling banyak sebesar jumlah tertentu
(threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
- 14 -
dapat dilakukan sepanjang didukung dengan Underlying
Transaksi dari Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah awal.
(2) Penyelesaian transaksi option antara Bank dengan
Nasabah secara netting sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (3) untuk transaksi penjualan valuta asing
terhadap Rupiah paling banyak sebesar jumlah tertentu
(threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3)
dapat dilakukan sepanjang didukung dengan Underlying
Transaksi dari Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah awal.
(3) Dalam hal pada saat penyelesaian Transaksi Valuta
Asing Terhadap Rupiah awal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) Nasabah tidak dapat
menyampaikan dokumen Underlying Transaksi maka
penyelesaian Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
awal dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara
penuh.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB IV
DOKUMEN TRANSAKSI
Bagian Kesatu
Jenis Dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah
Pasal 15
(1) Jenis dokumen Underlying Transaksi untuk Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(2) Dokumen tagihan dalam valuta asing dari transaksi yang
diwajibkan menggunakan Rupiah sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah
- 15 -
Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat
menjadi dokumen Underlying Transaksi untuk Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jenis
dokumen Underlying Transaksi dan dokumen tagihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 16
(1) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing
terhadap Rupiah kepada Bank di atas jumlah tertentu
(threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
dan Pasal 6 ayat (1), dan melakukan transaksi structured
product valuta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread
Option sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2),
Bank wajib memastikan Nasabah untuk menyampaikan
dokumen sebagai berikut:
a. dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing
Terhadap
Rupiah
yang
dapat
dipertanggungjawabkan baik yang bersifat final
maupun berupa perkiraan; dan
b. dokumen pendukung berupa:
1)
fotokopi dokumen identitas Nasabah dan
fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
dan
2)
pernyataan tertulis bermaterai cukup yang
ditandatangani oleh pihak yang berwenang
dari Nasabah atau pernyataan tertulis yang
authenticated dari Nasabah yang memuat
informasi mengenai:
a)
keaslian dan kebenaran dokumen
Underlying Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah
sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan penggunaan
dokumen Underlying Transaksi untuk
pembelian valuta asing terhadap Rupiah
paling banyak sebesar nominal
- 16 -
Underlying Transaksi dalam sistem
perbankan di Indonesia; dan
b) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan,
dan tanggal penggunaan valuta asing,
dalam hal dokumen Underlying
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
sebagaimana dimaksud pada huruf a
berupa perkiraan.
(2) Dalam hal Nasabah melakukan penjualan valuta asing
terhadap Rupiah kepada Bank melalui transaksi forward
atau transaksi option di atas jumlah tertentu (threshold)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat
(3), Bank wajib memastikan Nasabah menyampaikan
dokumen sebagai berikut:
a. dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing
Terhadap
Rupiah
yang
dapat
dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final
maupun berupa perkiraan; dan
b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis
bermaterai cukup yang ditandatangani oleh pihak
yang berwenang dari Nasabah atau pernyataan
tertulis yang authenticated dari Nasabah yang
memuat informasi mengenai:
1)
keaslian dan kebenaran dokumen Underlying
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
2) penggunaan dokumen Underlying Transaksi
untuk penjualan valuta asing terhadap
Rupiah paling banyak sebesar nominal
Underlying Transaksi dalam sistem perbankan
di Indonesia; dan
3) sumber dana, jumlah penjualan, dan waktu
penerimaan valuta asing, dalam hal dokumen
Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah sebagaimana dimaksud pada huruf a
berupa perkiraan.
- 17 -
(3) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing
terhadap Rupiah kepada Bank paling banyak sebesar
jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1), Bank wajib
memastikan Nasabah menyampaikan dokumen berupa
pernyataan tertulis bermaterai cukup atau pernyataan
tertulis yang authenticated dari Nasabah yang
menyatakan bahwa pembelian valuta asing terhadap
Rupiah tidak lebih dari jumlah tertentu (threshold)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal
6 ayat (1) dalam sistem perbankan di Indonesia.
(4) Dalam hal Nasabah melakukan penjualan valuta asing
terhadap Rupiah kepada Bank melalui transaksi forward
atau transaksi option paling banyak sebesar jumlah
tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (2) dan ayat (3), tidak ada kewajiban bagi Nasabah
untuk menyampaikan dokumen.
(5) Dalam hal Nasabah melakukan penyelesaian transaksi
secara netting untuk pembelian valuta asing terhadap
Rupiah melalui transaksi derivatif yang standar (plain
vanilla) paling banyak sebesar jumlah tertentu
(threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(1), Bank wajib memastikan Nasabah menyampaikan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Dalam hal Nasabah melakukan penyelesaian transaksi
secara netting untuk transaksi penjualan valuta asing
terhadap Rupiah melalui transaksi option paling banyak
sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Bank wajib
memastikan Nasabah menyampaikan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai Underlying Transaksi,
dokumen pendukung, dan penetapan jenis dokumen
Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (5) dan ayat (6) diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia
- 18 -
Bagian Kedua
Penyampaian Dokumen
Pasal 17
(1) Bank harus memastikan Nasabah menyampaikan
dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen
pendukung Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
untuk setiap transaksi pada tanggal transaksi.
(2) Bank dapat menerima dokumen pendukung Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah yang disampaikan oleh
Nasabah secara berkala dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. dokumen Underlying Transaksi bersifat final; dan
b. Bank telah mengetahui track record Nasabah
dengan baik.
(3) Bank dapat menerima dokumen pendukung Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah berupa pernyataan
tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3)
secara berkala.
(4) Dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
Transaksi Spot wajib diterima oleh Bank paling lambat
pada tanggal valuta.
(5) Dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah wajib
diterima oleh Bank paling lambat pada 5 (lima) hari kerja
setelah tanggal transaksi.
(6) Dalam hal Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap
Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memiliki
jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah
tanggal transaksi maka dokumen Underlying Transaksi
dan/atau dokumen pendukung Transaksi Derivatif
Valuta Asing Terhadap Rupiah wajib diterima oleh Bank
paling lambat pada tanggal jatuh waktu.
- 19 -
(7) Penyampaian dokumen Underlying Transaksi dan/atau
dokumen pendukung transaksi derivatif yang standar
(plain vanilla) sampai dengan jumlah tertentu (threshold)
yang akan diselesaikan secara netting wajib diterima oleh
Bank paling lambat:
a. pada tanggal valuta dalam hal pengakhiran
transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi
Spot;
b. 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi dalam
hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan
penyelesaian transaksi (early termination), dan
pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah;
atau
c. pada tanggal jatuh waktu dalam hal perpanjangan
transaksi (roll over), percepatan penyelesaian
transaksi (early termination), dan pengakhiran
transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi
Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang
memiliki jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari
kerja setelah tanggal transaksi.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian dan
penerimaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 18
Bank wajib menatausahakan dokumen Underlying Transaksi
dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15.
BAB V
PELAPORAN TRANSAKSI
Pasal 19
Bank menyampaikan laporan Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah melalui sistem pelaporan Bank Indonesia.
- 20 -
BAB VI
PENGATURAN KREDIT
Pasal 20
(1) Bank dilarang memberikan kredit atau pembiayaan
dalam valuta asing dan/atau dalam Rupiah kepada
Nasabah untuk kepentingan Transaksi Derivatif Valuta
Asing Terhadap Rupiah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai larangan memberikan
kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 21
(1) Bank dilarang memberikan cerukan kepada Nasabah
dalam rangka Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah.
(2) Bank dilarang memberikan fasilitas lain yang dapat
dipersamakan dengan cerukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dalam rangka Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah.
BAB VII
SANKSI
Pasal 22
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c, Pasal 3 ayat (3), Pasal 16
ayat (3), dan/atau Pasal 18 dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam ketentuan otoritas perbankan
yang mengatur mengenai kategori Bank yang dapat
melakukan kegiatan transaksi valuta asing.
- 21 -
(3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam ketentuan otoritas perbankan
yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko
Bank.
(4) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan
Rupiah.
(5) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (4) dikenakan sanksi sebagaimana
diatur dalam ketentuan otoritas perbankan yang
mengatur mengenai prinsip kehati-hatian dalam
melaksanakan kegiatan structured product valuta asing
terhadap Rupiah bagi bank umum.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 23
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (2),
Pasal 6 ayat (4), Pasal 6 ayat (6), Pasal 9 ayat (1), Pasal
10 ayat (1), Pasal 10 ayat (3), Pasal 12 ayat (1), Pasal 12
ayat (4), Pasal 12 ayat (7), Pasal 13 ayat (1), Pasal 16
ayat (1), Pasal 16 ayat (2), Pasal 16 ayat (3), Pasal 16
ayat (5), Pasal 16 ayat (6), Pasal 17 ayat (4), Pasal 17
ayat (5), Pasal 17 ayat (6), Pasal 17 ayat (7), Pasal 20
ayat (1), Pasal 21 ayat (1), dan/atau Pasal 21 ayat (2),
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis
dan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu
persen) dari nominal transaksi yang dilanggar untuk
setiap pelanggaran, dengan jumlah sanksi paling sedikit
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
- 22 -
(2) Perhitungan nominal transaksi yang dilanggar untuk
Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 6
ayat (4), Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (2), Pasal 16
ayat (5), Pasal 16 ayat (6), Pasal 17 ayat (4), Pasal 17
ayat (5), Pasal 17 ayat (6) dan Pasal 17 ayat (7) diatur
sebagai berikut:
a.
selisih antara total nominal Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah dengan jumlah tertentu
(threshold) kewajiban pemenuhan Underlying
Transaksi; atau
b.
total nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah yang tidak didukung dengan Underlying
Transaksi dalam hal nominal transaksi di bawah
jumlah tertentu (threshold) tetapi dilakukan
penyelesaian transaksi secara netting.
(3) Perhitungan nominal transaksi yang dilanggar untuk
Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 21 ayat (2)
diatur sebagai berikut:
a.
pelanggaran terhadap larangan pemberian kredit
atau pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (1), dihitung dari nominal
persetujuan kredit atau pembiayaan yang
digunakan untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing
Terhadap Rupiah; dan
b.
pelanggaran terhadap larangan pemberian cerukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
dan/atau fasilitas lain yang dapat dipersamakan
dengan cerukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (2), dihitung dari nominal cerukan
dan/atau fasilitas lain yang dapat dipersamakan
dengan cerukan yang diberikan Bank kepada
Nasabah.
(4) Penghitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menggunakan kurs Jakarta
Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada tanggal
terjadinya pelanggaran.
- 23 -
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 24
Bank yang telah melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah dengan pihak domestik sebelum berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini, tetap dapat meneruskan transaksi
dimaksud sampai dengan jatuh waktu transaksi.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a.
Pasal 7 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/31/PBI/2005 tentang Transaksi Derivatif
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 10/38/PBI/2008 tentang Perubahan
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/31/PBI/2005
tentang Transaksi Derivatif (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 199, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4946);
b.
Pasal 2 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/8/PBI/2013 tentang Transaksi Lindung Nilai Kepada
Bank sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 16/18/PBI/2014 tentang Perubahan
Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/8/PBI/2013
tentang Transaksi Lindung Nilai Kepada Bank (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 214);
- 24 -
c.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014
tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara
Bank dengan Pihak Domestik (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 212 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5581);
d.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/6/PBI/2015
tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Domestik
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 116 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5701);
e.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/13/PBI/2015
tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank dengan
Pihak Domestik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 201 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5736); dan
f.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/15/PBI/2015
tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank dengan
Pihak Domestik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 223 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5743),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 26
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 25 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 September 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 September 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 183
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/18/ PBI/2016
TENTANG
TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH
ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK
I. UMUM
Dalam rangka melaksanakan tugas Bank Indonesia untuk
mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, diperlukan upaya
mempercepat tercapainya pasar keuangan yang likuid dan efisien, yang
pada akhirnya dapat mendukung kegiatan ekonomi nasional. Untuk
mencapai pasar keuangan yang likuid dan efisien salah satunya
diperlukan adanya upaya pengembangan pasar valuta asing domestik
yang dilakukan secara komprehensif dan menyeluruh. Upaya
komprehensif dimaksud dapat dilakukan melalui pengayaan variasi
instrumen sehingga menjadi alternatif bagi pelaku pasar dalam
melakukan lindung nilai di pasar valuta asing domestik, dalam rangka
pengelolaan utang luar negeri korporasi non-bank. Upaya pengembangan
pasar valuta asing secara komprehensif juga dilakukan melalui antara
lain pengembangan infrastruktur, peningkatan kredibilitas pasar dan
peningkatan koordinasi, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-
hatian dalam bertransaksi di pasar valuta asing.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
- 2 -
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Pihak domestik meliputi Nasabah dan Bank.
Yang dimaksud dengan “kontrak” adalah:
a.
konfirmasi tertulis berupa kontrak transaksi valuta asing
(derivatif) yang lazim digunakan oleh pelaku pasar
dan/atau diterbitkan oleh asosiasi terkait; dan/atau
b. konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya
transaksi yang antara lain berupa dealing conversation
atau Society of Worldwide Interbank Financial
Telecommunication (SWIFT).
Ayat (2)
Huruf a
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini diterbitkan,
ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai
kategori Bank yang dapat melakukan kegiatan transaksi
valuta asing antara lain mengatur bahwa Bank yang
dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah, baik Transaksi Spot maupun transaksi derivatif
yang plain vanilla (forward, swap, option, dan CCS)
paling kurang adalah Bank Umum Kelompok Usaha
(BUKU) 2 dan Bank yang dapat melakukan transaksi
structured product valuta asing terhadap Rupiah berupa
Call Spread Option paling kurang adalah Bank BUKU 3.
Huruf b
Ketentuan otoritas yang mengatur mengenai penerapan
manajemen risiko Bank antara lain mengatur bahwa
Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif
yang paling kurang mencakup:
1. pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi;
2. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan
limit;
- 3 -
3. kecukupan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan dan pengendalian risiko serta sistem
informasi manajemen risiko; dan
4. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Huruf c
Edukasi dilakukan dalam rangka memberikan
pemahaman kepada Nasabah mengenai manfaat dan
risiko Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini diterbitkan, ketentuan
otoritas perbankan yang mengatur mengenai prinsip kehati-
hatian dalam melaksanakan kegiatan structured product bagi
bank umum mengatur antara lain:
a.
kewajiban Bank menerapkan manajemen risiko secara
efektif dalam melakukan kegiatan structured product,
paling sedikit mencakup:
1. pengawasan aktif direksi dan dewan komisaris;
2. kecukupan kebijakan dan prosedur;
3. kecukupan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian risiko serta sistem
informasi manajemen risiko; dan
sistem pengendalian intern,
4.
b.
larangan Bank menawarkan dan melakukan transaksi
structured product dengan Nasabah yang diklasifikasikan
sebagai Nasabah retail;
c.
larangan Bank menawarkan dan melakukan transaksi
structured product dengan Nasabah eligible dalam hal:
1. dapat menimbulkan potensi kerugian melebihi
pokok yang ditanamkan Nasabah; dan/atau
2.
structured product merupakan penggabungan antara
derivatif dengan derivatif,
- 4 -
d. kewajiban Bank menerapkan transparansi informasi
dalam melakukan pemasaran, penawaran dan
pelaksanaan transaksi structured product antara lain
sebagai berikut:
1. mengungkapkan informasi yang lengkap, benar dan
tidak menyesatkan kepada Nasabah;
2. memastikan pemberian informasi yang berimbang
antara potensi manfaat yang mungkin diperoleh
dengan risiko yang mungkin timbul bagi Nasabah
dari transaksi structured product; dan
3. memastikan informasi yang disampaikan tidak
menyamarkan, mengurangi, atau menutupi hal-hal
yang penting terkait risiko yang mungkin timbul
dari transaksi structured product, dan
e. kewajiban Bank memberikan waktu kepada Nasabah
untuk mempelajari penawaran dan dokumen yang
disampaikan Bank kepada Nasabah, antara lain sebagai
berikut:
1. pemberian waktu dilakukan dengan pemberian
masa jeda (cooling off period) antara waktu
disampaikannya penawaran oleh Bank dengan
waktu Nasabah mengajukan permohonan untuk
menerima atau menolak melakukan transaksi
structured product; dan
2.
jangka waktu masa jeda (cooling off period) yang
diberikan paling sedikit 2 (dua) hari kerja setelah
Nasabah perusahaan menerima dokumen
penawaran.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 5 -
Ayat (3)
Huruf a
Perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri
antara lain berupa kegiatan usaha pedagang valuta asing.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “direct investment” adalah
investasi langsung Nasabah ke luar negeri.
Yang dimaksud dengan “investasi lainnya” antara lain
adalah investasi dan/atau transaksi yang dilakukan
dalam rangka pelaksanaan kebijakan pemerintah terkait
perpajakan.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal perusahaan transfer dana menerima perintah
nasabahnya untuk melakukan pembelian valuta asing
untuk memenuhi kebutuhan transfer nasabahnya,
perintah nasabah dimaksud tidak dapat menjadi
Underlying Transaksi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "structured product valuta asing
terhadap Rupiah" adalah instrumen yang merupakan
gabungan antar derivatif nilai tukar valuta asing terhadap
Rupiah, atau gabungan antara derivatif nilai tukar valuta asing
terhadap Rupiah dan instrumen pasar uang, yang
diperdagangkan di pasar valuta asing domestik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal nominal Underlying Transaksi lebih besar dari
nominal transaksi Call Spread Option maka Underlying
Transaksi tersebut dapat digunakan sebagai Underlying
Transaksi untuk transaksi Call Spread Option yang
berbeda dan/atau Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah lainnya, sepanjang tidak melampaui nominal
Underlying Transaksi.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 7 -
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dynamic hedging” adalah transaksi
Call Spread Option yang dilakukan lebih dari satu kali, dan
merupakan bagian dari transaksi Call Spread Option awal
dalam satu kesatuan, untuk memastikan pelaku hedging
tidak terekspos pada risiko nilai tukar.
Ayat (2)
Kurs pasar adalah kurs yang lazim digunakan dan disepakati
oleh pelaku pasar, antara lain kurs yang tersedia pada
Bloomberg dan Reuters.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kisaran kurs tidak overlap”
adalah kisaran kurs dynamic hedging yang tidak
beririsan dengan kisaran kurs Call Spread Option awal.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kisaran kurs tidak memiliki gap”
adalah kisaran kurs dynamic hedging yang tidak
melampaui kisaran kurs Call Spread Option awal.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “nominal tidak bersifat kumulatif”
adalah perhitungan nominal transaksi dynamic hedging
hanya didasarkan pada nominal transaksi Call Spread
Option awal.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemindahan dana pokok secara
penuh” adalah penyerahan dana secara riil untuk masing-
masing transaksi jual dan/atau transaksi beli valuta asing
terhadap Rupiah sebesar nilai penuh nominal transaksi atau
ekuivalennya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui
transaksi forward paling banyak sebesar jumlah tertentu
(threshold)
tidak dapat dilakukan melalui pengakhiran
transaksi (unwind) karena akan mengakibatkan tidak terdapat
pemindahan dana pokok secara penuh.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
- 9 -
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi
yang bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan
mengalami perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu
pemenuhan kebutuhannya.
Huruf b
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Dalam hal Nasabah merupakan badan usaha selain
Bank, yang dimaksud dengan “pihak yang
berwenang” adalah pejabat yang mewakili badan
usaha berdasarkan anggaran dasarnya atau pejabat
yang ditunjuk dengan menggunakan surat kuasa.
Dalam hal Nasabah merupakan perorangan, yang
dimaksud dengan ”pihak yang berwenang” adalah
dirinya sendiri atau pihak yang diberi kuasa.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi
yang bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan
mengalami perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu
pemenuhan kebutuhannya.
Huruf b
Dalam hal Nasabah merupakan badan usaha selain
Bank, yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang”
adalah pejabat yang mewakili badan usaha berdasarkan
anggaran dasarnya atau pejabat yang ditunjuk dengan
menggunakan surat kuasa.
Dalam hal Nasabah merupakan perorangan, yang
dimaksud dengan ”pihak yang berwenang” adalah dirinya
sendiri atau pihak yang diberi kuasa.
- 10 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”pernyataan tertulis yang
authenticated” adalah pernyataan tertulis yang telah
diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya secara sistem
dan/atau nonsistem.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kredit atau pembiayaan” adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan pemberian bunga atau imbalan,
termasuk pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan
anjak piutang dan pengambilalihan atau pembelian kredit dari
pihak lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 11 -
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "cerukan" adalah saldo negatif pada
rekening giro Nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada
akhir hari.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5926
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/18/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK </reg_title>
<set_date> 5 September 2016 </set_date>
<effective_date> 7 September 2016 </effective_date>
<issued_date> 07 September 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '7/31/PBI/2005 | Pasal 7 Ayat (2)', '15/8/PBI/2013 | Pasal 2 Ayat (3)', '16/18/PBI/2014', '17/15/PBI/2015', '16/16/PBI/2014', '17/13/PBI/2015', '17/6/PBI/2015', '10/38/PBI/2008' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/13 /PBI/2015
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
16/16/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP
RUPIAH
ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah;
b. bahwa dalam rangka mendukung kestabilan nilai
Rupiah diperlukan pasar valuta asing domestik yang
memiliki daya tahan terhadap gejolak eksternal;
c. bahwa perkembangan terkini kondisi pasar valuta
asing domestik menyebabkan diperlukannya
kebijakan untuk mewujudkan pasar valuta asing
domestik yang sehat, dengan tetap memenuhi
kebutuhan masyarakat untuk mendukung aktivitas
ekonomi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,
perlu melakukan perubahan kedua atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara
Bank Dengan Pihak Domestik;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana…
- 2 -
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3844).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
16/16/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA
ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN
PIHAK DOMESTIK.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara
Bank Dengan Pihak Domestik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5581) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 17/6/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
Antara Bank Dengan Pihak Domestik (Lembaran Negara Republik
Indonesia…
- 3 -
Indonesia Tahun 2015 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5701) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (1) untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh
Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Spot adalah
USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau
ekuivalennya per bulan per Nasabah.
(2) Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada
Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melebihi
nilai nominal Underlying Transaksi.
(3) Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak dalam kelipatan USD5,000.00 (lima
ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal
Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke
atas dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika
Serikat).
2. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk pembelian
valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui
Transaksi Spot dan/atau Transaksi Derivatif di atas jumlah
tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) dan Pasal 5 ayat (1) tidak berlaku untuk penyelesaian
Transaksi Derivatif awal yang dilakukan melalui:
a. perpanjangan transaksi (roll over) sepanjang jangka waktu
perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan
jangka waktu Underlying Transaksi awal;
b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau
c. pengakhiran transaksi (unwind).
(2) Kewajiban…
- 4 -
(2) Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk penjualan valuta
asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui
transaksi forward atau option di atas jumlah tertentu (threshold)
sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (2) tidak berlaku
untuk penyelesaian Transaksi Derivatif awal yang dilakukan
melalui:
a. perpanjangan transaksi (roll over) sepanjang jangka waktu
perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan
jangka waktu Underlying Transaksi awal;
b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau
c. pengakhiran transaksi (unwind).
3. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap
Rupiah kepada Bank di atas jumlah tertentu (threshold)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat
(1), Bank wajib memastikan Nasabah untuk menyampaikan
dokumen sebagai berikut:
a. dokumen
Underlying Transaksi
yang dapat
dipertanggungjawabkan baik yang bersifat final maupun
berupa perkiraan; dan
b. dokumen pendukung berupa:
1. fotokopi dokumen identitas Nasabah dan fotokopi Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan
2. pernyataan tertulis bermaterai cukup yang ditandatangani
oleh pihak yang berwenang dari Nasabah atau pernyataan
tertulis yang authenticated dari Nasabah yang memuat
informasi mengenai:
a) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan penggunaan
dokumen Underlying Transaksi untuk pembelian valuta
asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal
Underlying…
- 5 -
Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di
Indonesia; dan
b) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal
penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen
Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada
huruf a berupa perkiraan.
(2) Dalam hal Nasabah melakukan penjualan valuta asing terhadap
Rupiah kepada Bank melalui transaksi forward atau option di
atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud pada
Pasal 5 ayat (2), Bank wajib memastikan Nasabah
menyampaikan dokumen sebagai berikut:
a. dokumen
Underlying
Transaksi
yang dapat
dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun
berupa perkiraan; dan
b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis bermaterai
cukup yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari
Nasabah atau pernyataan tertulis yang authenticated dari
Nasabah yang memuat informasi mengenai:
1. keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
2. penggunaan dokumen Underlying Transaksi untuk
penjualan valuta asing terhadap Rupiah paling banyak
sebesar nominal Underlying Transaksi dalam sistem
perbankan di Indonesia;
3. sumber dana, jumlah penjualan, dan waktu penerimaan
valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan.
(3) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap
Rupiah kepada Bank paling banyak sebesar jumlah tertentu
(threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan
Pasal 5 ayat (1), Bank wajib memastikan Nasabah
menyampaikan dokumen berupa pernyataan tertulis bermaterai
cukup atau pernyataan tertulis yang authenticated dari Nasabah
yang menyatakan bahwa pembelian valuta asing terhadap
Rupiah…
- 6 -
Rupiah tidak lebih dari jumlah tertentu (threshold) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) dalam
sistem perbankan di Indonesia.
(4) Dalam hal Nasabah melakukan penjualan valuta asing terhadap
Rupiah kepada Bank melalui transaksi forward atau option
paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), tidak ada kewajiban bagi
Nasabah untuk menyampaikan dokumen.
(5) Dalam hal Nasabah melakukan penyelesaian transaksi secara
netting untuk Transaksi Derivatif pembelian valuta asing
terhadap Rupiah paling banyak sebesar USD100,000.00 (seratus
ribu dolar Amerika Serikat) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (1), Bank wajib memastikan Nasabah menyampaikan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Dalam hal Nasabah melakukan penyelesaian transaksi secara
netting untuk transaksi penjualan valuta asing terhadap Rupiah
melalui transaksi forward atau option paling banyak sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), Bank wajib memastikan
Nasabah menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
4. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Bank memastikan Nasabah menyampaikan dokumen Underlying
Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi Valuta
Asing Terhadap Rupiah untuk setiap transaksi pada tanggal
transaksi.
(2) Dalam hal Bank telah mengetahui track record Nasabah dengan
baik, dan Nasabah menyampaikan dokumen Underlying
Transaksi yang bersifat final, Bank dapat menerima dokumen
pendukung Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang
disampaikan oleh Nasabah secara berkala.
(3) Bank…
- 7 -
(3) Bank dapat menerima dokumen pendukung Transaksi Valuta
Asing Terhadap Rupiah berupa pernyataan tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) secara berkala.
(4) Dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Transaksi Spot wajib
diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal valuta.
(5) Dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Transaksi Derivatif
wajib diterima oleh Bank paling lambat pada 5 (lima) hari kerja
setelah tanggal transaksi.
(6) Dalam hal Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) memiliki jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah
tanggal transaksi maka dokumen Underlying Transaksi dan/atau
dokumen pendukung Transaksi Derivatif wajib diterima oleh
Bank paling lambat pada tanggal jatuh waktu.
(7) Penyampaian dokumen Underlying Transaksi dan dokumen
pendukung Transaksi Derivatif sampai dengan jumlah tertentu
(threshold) yang akan diselesaikan secara netting wajib diterima
oleh Bank paling lambat:
a. pada tanggal valuta dalam hal perpanjangan transaksi (roll
over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination),
dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui
Transaksi Spot;
b. 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi dalam hal
perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian
transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi
(unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif; atau
c. pada tanggal jatuh waktu dalam hal perpanjangan transaksi
(roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early
termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan
melalui Transaksi Derivatif yang memiliki jatuh waktu kurang
dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi.
Pasal II…
- 8 -
Pasal II
1. Transaksi pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah
kepada Bank yang telah dilakukan sebelum berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini tetap tunduk pada ketentuan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank Dengan Pihak
Domestik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 17/6/PBI/2015.
2. Ketentuan mengenai sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
Antara Bank Dengan Pihak Domestik sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/6/PBI/2015 untuk
pelanggaran atas ketentuan mengenai pembelian valuta asing
terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam:
a. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah Antara Bank Dengan Pihak Domestik sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/6/PBI/2015; dan
b. Pasal 4 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), dan Pasal 13 ayat (4)
Peraturan Bank Indonesia ini,
mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 2015, khusus untuk pembelian
valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot dengan jumlah
di atas USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat)
sampai dengan USD100.000,00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat).
3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar…
- 9 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Agustus 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Agustus 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 201
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/ 13 /PBI/2015
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
16/16/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP
RUPIAH
ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK
I. UMUM
Perkembangan terkini kondisi pasar valuta asing domestik
menimbulkan tantangan terhadap upaya mencapai dan memelihara
kestabilan nilai Rupiah. Salah satu tantangan yang muncul adalah
tingginya permintaan masyarakat terhadap valuta asing untuk
kegiatan yang tidak terkait secara langsung dengan kegiatan
perdagangan dan investasi. Tantangan ini menyebabkan diperlukannya
kebijakan di pasar valuta asing domestik yang bersifat proaktif, untuk
mendorong permintaan valuta asing yang sehat dan tetap memenuhi
kebutuhan masyarakat untuk mendukung aktivitas ekonomi.
Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia perlu melakukan
penyempurnaan terhadap ketentuan terkait dengan Transaksi Valuta
Asing Terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Domestik.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 4
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 6
Cukup jelas.
Angka 3…
- 2 -
Angka 3
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying
Transaksi yang bersifat final” adalah dokumen yang
tidak akan mengalami perubahan dalam hal jumlah
dan/atau waktu pemenuhan kebutuhannya.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Dalam hal Nasabah merupakan badan usaha
selain Bank, yang dimaksud dengan “pihak
yang berwenang” adalah pejabat yang
mewakili badan usaha berdasarkan anggaran
dasarnya atau pejabat yang ditunjuk dengan
menggunakan surat kuasa.
Dalam hal Nasabah merupakan perorangan,
yang dimaksud dengan ”pihak yang
berwenang” adalah dirinya sendiri atau pihak
yang diberi kuasa.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying
Transaksi yang bersifat final” adalah dokumen yang
tidak akan mengalami perubahan dalam hal jumlah
dan/atau waktu pemenuhan kebutuhannya.
Huruf b
Dalam hal Nasabah merupakan badan usaha selain
Bank, yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang”
adalah pejabat yang mewakili badan usaha
berdasarkan anggaran dasarnya atau pejabat yang
ditunjuk dengan menggunakan surat kuasa.
Dalam…
- 3 -
Dalam hal Nasabah merupakan perorangan, yang
dimaksud dengan ”pihak yang berwenang” adalah
dirinya sendiri atau pihak yang diberi kuasa.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”pernyataan yang authenticated”
adalah pernyataan yang telah diverifikasi atau dibuktikan
kebenarannya secara sistem.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5736
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 17/13/PBI/2015 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/16/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK </reg_title>
<set_date> 25 Agustus 2015 </set_date>
<effective_date> 25 Agustus 2015 </effective_date>
<issued_date> 25 Agustus 2015 </issued_date>
<changed_reg> '16/16/PBI/2014' </changed_reg>
<extension_of> '17/6/PBI/2015' </extension_of>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
|
- 1 -
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/ 18 /PBI/2015
TENTANG
PENYELENGGARAAN TRANSAKSI, PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA,
DAN SETELMEN DANA SEKETIKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka penguatan infrastruktur sistem
pembayaran dan sistem keuangan yang diselenggarakan
oleh Bank Indonesia, perlu dilakukan pengembangan
sistem yang dapat mendukung pelaksanaan
penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga, dan setelmen dana seketika;
b. bahwa pengembangan sistem yang dapat mendukung
pelaksanaan penyelenggaraan transaksi, penatausahaan
surat berharga, dan setelmen dana seketika dilakukan
melalui implementasi penyelenggaraan Sistem Bank
Indonesia-Electronic Trading Platform, Bank Indonesia-
Scripless Securities Settlement System, dan Sistem Bank
Indonesia-Real Time Gross Settlement, yang terintegrasi
agar lebih aman dan efisien;
c. bahwa penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia-Electronic
Trading Platform, Bank Indonesia-Scripless Securities
Settlement System, dan Sistem Bank Indonesia-Real Time
Gross Settlement, yang terintegrasi dilakukan dengan
memperhatikan perkembangan penerapan prinsip-prinsip
- 2 -
yang berlaku secara internasional;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat
Berharga, dan Setelmen Dana Seketika;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat
Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4236);
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4852);
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer
Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5204);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK
INDONESIA
TENTANG
PENYELENGGARAAN TRANSAKSI, PENATAUSAHAAN SURAT
BERHARGA, DAN SETELMEN DANA SEKETIKA.
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Penyelenggara adalah Bank Indonesia yang
menyelenggarakan sistem dalam kegiatan Transaksi,
Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen dana
seketika.
2. Transaksi adalah Transaksi Dengan Bank Indonesia dan
Transaksi Pasar Keuangan.
3. Transaksi Dengan Bank Indonesia adalah transaksi yang
dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka kegiatan
operasi moneter, operasi moneter syariah, dan/atau
transaksi Surat Berharga Negara untuk dan atas nama
Pemerintah, serta transaksi lainnya yang dilakukan
dengan Bank Indonesia.
4. Transaksi Pasar Keuangan adalah transaksi Surat
Berharga dan transaksi pinjam meminjam secara
konvensional, atau yang dipersamakan berdasarkan
prinsip syariah dalam rangka transaksi pasar uang
dan/atau transaksi Surat Berharga di pasar sekunder.
5. Penatausahaan adalah kegiatan yang mencakup
pencatatan kepemilikan, kliring dan Setelmen, serta
pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan
pokok/nominal atas hasil transaksi Surat Berharga dan
hasil transaksi tanpa Surat Berharga.
6. Setelmen adalah proses penyelesaian akhir transaksi
keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan Rekening
Setelmen Dana, Rekening Surat Berharga, dan/atau
rekening lainnya di Bank Indonesia.
7. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform yang
selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah infrastruktur
yang digunakan sebagai sarana Transaksi yang
dilakukan secara elektronik.
- 4 -
8. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System
yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah infrastruktur
yang digunakan sebagai sarana Penatausahaan
Transaksi dan Penatausahaan Surat Berharga yang
dilakukan secara elektronik.
9. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang
selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur
yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik
yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara
individual.
10. Peserta adalah pihak yang telah memenuhi persyaratan
dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara
sebagai peserta dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP,
BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS.
11. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan
fungsi Penatausahaan bagi kepentingan Peserta BI-SSSS.
12. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang
memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Penyelenggara
sebagai Peserta BI-SSSS, untuk melakukan fungsi
penatausahaan bagi kepentingan nasabah.
13. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disingkat
FLI adalah fasilitas pendanaan yang diberikan oleh Bank
Indonesia kepada Bank Peserta Sistem BI-RTGS baik
secara konvensional maupun berdasarkan prinsip
syariah dalam rangka mengatasi kesulitan pendanaan
yang terjadi selama jam operasional Sistem BI-RTGS
dan/atau pada saat Setelmen dana atas hasil
perhitungan dalam penyelenggaraan Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia.
14. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta Sistem
BI-RTGS dalam mata uang Rupiah dan/atau valuta asing
yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk
pelaksanaan Setelmen dana.
15. Rekening Surat Berharga adalah rekening Peserta
BI-SSSS dalam mata uang Rupiah dan/atau valuta asing
yang ditatausahakan di Bank Indonesia dalam rangka
pencatatan kepemilikan dan Setelmen transaksi Surat
- 5 -
Berharga, Transaksi Dengan Bank Indonesia, dan/atau
Transaksi Pasar Keuangan.
16. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan
oleh Bank Indonesia, Pemerintah, dan/atau lembaga lain
yang ditatausahakan pada BI-SSSS.
17. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN
adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah
Negara.
18. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah Surat Berharga yang berupa surat pengakuan
utang dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing
yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh
Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa
berlakunya.
19. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara adalah
SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah,
sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset
SBSN, baik dalam mata uang Rupiah maupun valuta
asing.
20. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri dan Bank Umum Syariah termasuk Unit
Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah.
21. Keadaan Tidak Normal adalah situasi atau kondisi yang
terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau kerusakan
pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan
komunikasi, aplikasi maupun sarana pendukung yang
mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan Sistem BI-
ETP, BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS.
22. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang terjadi di
luar kekuasaan Penyelenggara dan/atau Peserta yang
menyebabkan kegiatan operasional Sistem BI-ETP, BI-
SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS tidak dapat
diselenggarakan yang diakibatkan oleh, tetapi tidak
- 6 -
terbatas pada kebakaran, kerusuhan massa, sabotase,
serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir yang
dinyatakan oleh pihak penguasa atau pejabat yang
berwenang setempat, termasuk Bank Indonesia.
Pasal 2
Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga,
dan Setelmen dana seketika dilakukan melalui 3 (tiga) sistem,
yaitu:
a. Sistem BI-ETP;
b. BI-SSSS; dan
c. Sistem BI-RTGS.
BAB II
PENYELENGGARA
Pasal 3
(1) Dalam penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat
Berharga, dan Setelmen dana seketika, Penyelenggara
paling kurang melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. menetapkan ketentuan dan prosedur dalam
penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan
Sistem BI-RTGS;
b. menyediakan sarana dan prasarana Sistem BI-ETP,
BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS;
c. melaksanakan kegiatan operasional Sistem BI-ETP,
BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS;
d. melakukan upaya untuk menjamin keandalan,
ketersediaan, dan keamanan penyelenggaraan
Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS; dan
e. melakukan pemantauan kepatuhan Peserta
terhadap Peraturan Bank Indonesia ini dan
peraturan pelaksanaannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
- 7 -
BAB III
KEPESERTAAN
Bagian Kesatu
Peserta Sistem BI-ETP
Pasal 4
(1) Pihak yang dapat menjadi Peserta Sistem BI-ETP yaitu:
a. Bank Indonesia;
b. Kementerian Keuangan;
c. Lembaga Penjamin Simpanan;
d. Bank;
e. perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta
asing;
f. perusahaan efek; dan
g.
lembaga lain yang disetujui oleh Penyelenggara.
(2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memiliki peran sebagai berikut:
a. penerbit Surat Berharga;
b. peserta operasi moneter atau peserta operasi
moneter syariah;
c.
lembaga perantara dalam kegiatan operasi moneter
atau operasi moneter syariah;
d. peserta transaksi SBN di pasar perdana;
e. peserta Transaksi Pasar Keuangan; dan/atau
f. peran lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
Pasal 5
(1) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
dapat menjadi Peserta Sistem BI-ETP setelah memenuhi
persyaratan dan memperoleh persetujuan dari
Penyelenggara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan menjadi
Peserta Sistem BI-ETP diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
- 8 -
Pasal 6
Dalam hal Peserta Sistem BI-ETP merupakan Bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sekaligus
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
dalam bentuk Unit Usaha Syariah maka kepesertaan dalam
penyelenggaraan Sistem BI-ETP untuk kegiatan usaha secara
konvensional harus terpisah dari kepesertaan untuk kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah.
Bagian Kedua
Peserta BI-SSSS
Pasal 7
(1) Pihak yang dapat menjadi Peserta BI-SSSS, yaitu:
a. Bank Indonesia;
b. Kementerian Keuangan;
c. Bank;
d.
lembaga penyimpanan dan penyelesaian;
e. perusahaan efek; dan
f.
lembaga lain yang disetujui oleh Penyelenggara.
(2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
memiliki fungsi sebagai berikut:
a. penerbit Surat Berharga;
b. pemilik Surat Berharga di Central Registry;
c. penatausahaan bagi kepentingan nasabah; dan/atau
d.
fungsi lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
Pasal 8
(1) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
dapat menjadi Peserta BI-SSSS setelah memenuhi
persyaratan dan memperoleh persetujuan dari
Penyelenggara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan menjadi
Peserta BI-SSSS diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
- 9 -
Pasal 9
Dalam hal Peserta BI-SSSS merupakan Bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sekaligus
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
dalam bentuk Unit Usaha Syariah maka kepesertaan dalam
penyelenggaraan BI-SSSS untuk kegiatan usaha secara
konvensional harus terpisah dari kepesertaan untuk kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah.
Pasal 10
Peserta BI-SSSS yang memiliki fungsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a, huruf b, dan/atau huruf d
namun juga memiliki fungsi penatausahaan bagi kepentingan
nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf
c, kepesertaan dalam penyelenggaraan BI-SSSS harus
terpisah dari kepesertaan sebagai Sub-Registry.
Bagian Ketiga
Peserta Sistem BI-RTGS
Pasal 11
Pihak yang dapat menjadi Peserta Sistem BI-RTGS, yaitu:
a. Bank Indonesia;
b. Bank;
c. penyelenggara kliring dan/atau penyelenggara setelmen;
dan
d.
lembaga lain yang disetujui oleh Penyelenggara.
Pasal 12
(1) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dapat
menjadi Peserta Sistem BI-RTGS setelah memenuhi
persyaratan dan memperoleh persetujuan dari
Penyelenggara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan menjadi
Peserta Sistem BI-RTGS diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
- 10 -
Pasal 13
Dalam hal Peserta Sistem BI-RTGS merupakan Bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sekaligus
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
dalam bentuk Unit Usaha Syariah maka kepesertaan dalam
penyelenggaraan Sistem BI-RTGS untuk kegiatan usaha
secara konvensional harus terpisah dari kepesertaan untuk
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Bagian Keempat
Hubungan Hukum
Pasal 14
Hubungan hukum antara Penyelenggara dengan Peserta
dalam rangka penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan
Sistem BI-RTGS diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini,
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini,
dan perjanjian antara Penyelenggara dengan Peserta.
BAB IV
STATUS DAN PERUBAHAN STATUS PESERTA
Bagian Kesatu
Status Peserta
Pasal 15
(1) Dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP berlaku 3 (tiga)
jenis status kepesertaan, yaitu:
a. aktif;
b. dibekukan; atau
c. ditutup.
(2) Status kepesertaan dibekukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi Peserta Sistem
BI-ETP yang memiliki fungsi sebagai penerbit Surat
Berharga.
- 11 -
Pasal 16
(1) Dalam penyelenggaraan BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS
berlaku 4 (empat) jenis status kepesertaan, yaitu:
a. aktif;
b. ditangguhkan;
c. dibekukan; atau
d. ditutup.
(2) Status kepesertaan ditangguhkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dan status kepesertaan
dibekukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
tidak berlaku bagi Peserta Sistem BI-SSSS yang memiliki
fungsi sebagai penerbit Surat Berharga dan Sub-Registry.
Bagian Kedua
Perubahan Status Peserta
Pasal 17
(1) Penyelenggara dapat mengubah status kepesertaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16.
(2) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan:
a. dalam rangka pengenaan sanksi administratif oleh
Penyelenggara;
b. berdasarkan permintaan tertulis dari pihak yang
berwenang melakukan pengawasan terhadap
kegiatan Peserta; dan/atau
c. berdasarkan permintaan tertulis dari Peserta yang
bersangkutan.
(3) Permintaan tertulis dari pihak yang berwenang
melakukan pengawasan terhadap kegiatan Peserta
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan
berdasarkan pertimbangan:
a. adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
b.
tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadinya
risiko yang dapat membahayakan kelangsungan
usaha Peserta; dan/atau
- 12 -
c. pembekuan kegiatan usaha Peserta, pencabutan izin
usaha, putusan kepailitan, dan/atau likuidasi.
(4) Perubahan status kepesertaan atas permintaan tertulis
dari Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
antara lain dalam hal Peserta melakukan peleburan,
penggabungan, pemisahan, self-liquidation yang telah
disetujui oleh otoritas berwenang, dan pengunduran diri
sebagai Peserta.
Pasal 18
(1) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dan huruf b dalam
Sistem BI-ETP dapat berupa perubahan status dari:
a. aktif menjadi dibekukan;
b. aktif menjadi ditutup; atau
c. dibekukan menjadi ditutup.
(2) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dan huruf b dalam BI-SSSS
dan Sistem BI-RTGS dapat berupa perubahan status dari:
a. aktif menjadi ditangguhkan atau sebaliknya;
b. aktif menjadi dibekukan;
c. aktif menjadi ditutup;
d. ditangguhkan menjadi dibekukan; atau
e. dibekukan menjadi ditutup.
(3) Perubahan status kepesertaan yang dilakukan
berdasarkan permintaan tertulis dari Peserta yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (2) huruf c hanya dapat berupa permintaan
perubahan status dari aktif menjadi ditutup.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan status
kepesertaan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 19
(1) Dalam hal status Peserta berubah menjadi ditutup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b
dan huruf c, dan ayat (2) huruf c dan huruf e, Peserta
harus menyelesaikan seluruh kewajiban yang timbul
- 13 -
dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS,
dan/atau Sistem BI-RTGS.
(2) Dalam rangka penyelesaian kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara dapat membuka
rekening penampungan (escrow account) di Bank
Indonesia atas nama Peserta.
Pasal 20
(1) Bagi Peserta Sistem BI-ETP dan/atau Peserta BI-SSSS yang
menjadi Peserta Sistem BI-RTGS, perubahan status
kepesertaan pada Sistem BI-RTGS berdampak terhadap
status kepesertaan pada Sistem BI-ETP dan/atau BI-SSSS.
(2) Bagi Peserta Sistem BI-ETP yang menjadi Peserta BI-SSSS,
perubahan status kepesertaan pada BI-SSSS berdampak
terhadap status kepesertaan pada Sistem BI-ETP.
BAB V
KEWAJIBAN PESERTA
Pasal 21
(1) Dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan
Sistem BI-RTGS, Peserta wajib:
a. menjaga kelancaran dan keamanan dalam penggunaan
Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS;
b. bertanggungjawab atas kebenaran Transaksi
dan/atau instruksi Setelmen, serta seluruh informasi
yang dikirim Peserta kepada Penyelenggara melalui
Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS;
c. melaksanakan kegiatan operasional terkait Sistem BI-
ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS sesuai dengan
perjanjian penggunaan sistem antara Penyelenggara
dan Peserta, dan ketentuan yang mengatur mengenai
penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem
BI-RTGS, serta ketentuan terkait lainnya;
d. menginformasikan biaya transaksi melalui Sistem
BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS kepada
nasabah secara transparan;
- 14 -
e. memberikan data dan informasi terkait kegiatan
operasional Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-
RTGS kepada Bank Indonesia; dan
f. mematuhi ketentuan yang dikeluarkan oleh asosiasi
terkait penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS,
dan Sistem BI-RTGS.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Peserta
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VI
PENYELENGGARAAN SISTEM BI-ETP, BI-SSSS, DAN SISTEM
BI-RTGS
Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Sistem BI-ETP
Pasal 22
(1) Pelaksanaan Transaksi melalui Sistem BI-ETP dilakukan
secara lelang atau nonlelang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Transaksi
melalui Sistem BI-ETP diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 23
(1) Pelaksanaan Transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 dapat dilakukan secara langsung dan/atau
menunjuk Peserta Sistem BI-ETP lain sebagai lembaga
perantara (broker).
(2) Dalam hal Peserta Sistem BI-ETP menunjuk Peserta
Sistem BI-ETP lain sebagai lembaga perantara (broker)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta Sistem BI-
ETP harus menetapkan batas paling tinggi nominal
penawaran (broker bidding limit) per hari bagi lembaga
perantara (broker) yang ditunjuk.
(3) Penetapan batas paling tinggi nominal penawaran (broker
bidding limit) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam:
- 15 -
a. perjanjian tersendiri antara Peserta Sistem BI-ETP
dengan lembaga perantara (broker); atau
b. prosedur internal Peserta Sistem BI-ETP.
Bagian Kedua
Penyelenggaraan BI-SSSS
Paragraf 1
Penatausahaan
Pasal 24
(1) Penatausahaan yang dilakukan oleh Penyelenggara
dalam BI-SSSS meliputi:
a. Penatausahaan Surat Berharga; dan
b. Penatausahaan hasil Transaksi.
(2) Penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara elektronis dan tanpa warkat.
Pasal 25
(1) Dalam Penatausahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24, Penyelenggara berfungsi sebagai Central Registry.
(2) Dalam rangka mendukung Penatausahaan, Central
Registry sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
bekerjasama dengan Sub-Registry atau pihak lain guna
mendukung Penatausahaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penatausahaan dan
kerja sama antara Central Registry dengan Sub-Registry
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 26
Penatausahaan dilakukan oleh:
a. Central Registry untuk kepentingan Peserta BI-SSSS; dan
b. Sub-Registry untuk kepentingan nasabah.
Pasal 27
Pihak yang melakukan transaksi Surat Berharga namun tidak
memiliki Rekening Surat Berharga harus menunjuk Sub-
- 16 -
Registry untuk melakukan penatausahaan Surat Berharga
yang dimilikinya.
Paragraf 2
Pencatatan Surat Berharga
Pasal 28
(1) Pencatatan kepemilikan dan perpindahan kepemilikan
Surat Berharga dilakukan secara book entry oleh Central
Registry dan Sub-Registry.
(2) Pencatatan kepemilikan Surat Berharga pada Central
Registry dan Sub-Registry merupakan bukti kepemilikan
yang sah atas Surat Berharga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Pasal 29
(1) Pencatatan kepemilikan Surat Berharga milik nasabah
pada Rekening Surat Berharga Sub-Registry di Central
Registry bersifat global (omnibus account).
(2) Pencatatan kepemilikan Surat Berharga milik nasabah
secara individual dilakukan dalam sistem internal Sub-
Registry.
(3) Sub-Registry wajib mencatat secara terpisah antara Surat
Berharga milik nasabah dengan Surat Berharga milik
Sub-Registry.
(4) Sub-Registry dilarang memelihara Rekening Surat
Berharga untuk dan atas nama sendiri, pengurus,
pemegang saham, dan pengelola.
(5) Sub-Registry bertanggung jawab atas kebenaran
pencatatan dan laporan kepemilikan Surat Berharga atas
nama nasabah.
Pasal 30
(1) Sub-Registry wajib menyampaikan:
a.
laporan pencatatan kepemilikan Surat Berharga
milik nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 ayat (1) kepada Central Registry; dan
- 17 -
b.
laporan setelmen atas transaksi Surat Berharga
milik nasabah Sub-Registry,
sesuai batas waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(2) Sub-Registry bertanggung jawab atas kebenaran laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal terdapat kesalahan atas laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Sub-Registry wajib
menyampaikan koreksi sesuai dengan batas waktu yang
ditetapkan oleh Penyelenggara.
(4) Dalam hal Sub-Registry terlambat menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan koreksi atas
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Sub-
Registry tetap wajib menyampaikan laporan berkala
dalam batas waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(5) Sub-Registry dinyatakan tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan koreksi atas
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila Sub-
Registry tidak memenuhi kewajiban penyampaian laporan
sampai batas waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan batas
waktu penyampaian laporan Sub-Registry diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Paragraf 3
Setelmen
Pasal 31
Setelmen melalui BI-SSSS bersifat final.
Pasal 32
(1) Setelmen melalui BI-SSSS dapat dilakukan dengan
Setelmen dana atau tanpa Setelmen dana.
(2) Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dilakukan apabila:
a. Surat Berharga yang terdapat pada Rekening Surat
Berharga; dan/atau
- 18 -
b. dana yang terdapat pada Rekening Setelmen Dana
Peserta,
mencukupi untuk pelaksanaan Setelmen.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Setelmen sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 33
(1) Dalam rangka pelaksanaan Setelmen dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dan/atau pembayaran
kewajiban lainnya melalui BI-SSSS, Peserta BI-SSSS
yang bukan Peserta Sistem BI-RTGS harus menunjuk
Bank Peserta Sistem BI-RTGS sebagai Bank penerima
dan/atau Bank pembayar.
(2) Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang ditunjuk sebagai
Bank pembayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus mengelola batas Setelmen dana untuk setiap
Peserta BI-SSSS yang menunjuk Bank pembayar.
(3) Batas Setelmen dana yang dikelola oleh Bank Peserta
Sistem BI-RTGS yang ditunjuk sebagai Bank pembayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam:
a. perjanjian tersendiri antara Bank pembayar dengan
Peserta BI-SSSS yang menunjuk Bank pembayar
dimaksud; dan/atau
b. prosedur internal Bank pembayar.
Pasal 34
Penyelenggara melakukan Setelmen melalui BI-SSSS
berdasarkan:
a.
instruksi Setelmen yang dikirim Peserta BI-SSSS melalui
BI-SSSS;
b.
c.
instruksi Setelmen yang dikirim melalui Sistem BI-ETP;
dan/atau
instruksi Setelmen dari Peserta BI-SSSS penerbit Surat
Berharga.
- 19 -
Pasal 35
(1) Penyelenggara tidak meneruskan instruksi Setelmen
berdasarkan permintaan salah satu Peserta BI-SSSS,
keputusan lembaga pengawas yang berwenang, keputusan
lembaga arbitrase, dan/atau keputusan pengadilan yang
telah memiliki kekuatan hukum yang tetap.
(2) Permintaan untuk tidak meneruskan instruksi Setelmen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
transaksi Surat Berharga yang memiliki 2 (dua) proses
Setelmen yaitu Setelmen transaksi pertama (first leg) dan
Setelmen transaksi kedua (second leg).
(3) Penyelenggara tidak meneruskan instruksi Setelmen
berdasarkan permintaan salah satu Peserta BI-SSSS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila Peserta BI-
SSSS dapat menunjukkan adanya pemberian kuasa kepada
Peserta BI-SSSS dimaksud untuk membatalkan instruksi
Setelmen dari Peserta BI-SSSS lawan transaksinya.
(4) Peserta BI-SSSS yang mengajukan permintaan kepada
Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung jawab atas kebenaran pemberian kuasa
pembatalan instruksi Setelmen.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tidak diteruskannya
instruksi Setelmen diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 36
Sub-Registry wajib meneruskan hasil Setelmen kepada nasabah
pada tanggal yang sama dengan tanggal pelaksanaan Setelmen.
Paragraf 4
Pembayaran Kupon/Bunga atau Imbalan dan Pelunasan
Pokok/Nominal Surat Berharga
Pasal 37
Peserta BI-SSSS yang menerbitkan Surat Berharga harus
memiliki dana yang mencukupi pada Rekening Setelmen Dana
untuk membayar kupon/bunga atau imbalan dan melakukan
- 20 -
pelunasan pokok/nominal Surat Berharga pada saat jatuh
waktu.
Pasal 38
(1) Penyelenggara melakukan pembayaran kupon/bunga
atau imbalan dan pelunasan pokok/nominal Surat
Berharga pada saat jatuh waktu kepada pemilik Rekening
Surat Berharga atas beban Rekening Setelmen Dana
Peserta BI-SSSS yang menerbitkan Surat Berharga.
(2) Penyelenggara dapat melakukan pembayaran pelunasan
pokok/nominal Surat Berharga sebelum tanggal jatuh
waktu dan accrued interest atas kupon/bunga atau
bagian imbalan kepada pemilik Rekening Surat Berharga
berdasarkan permintaan tertulis Peserta BI-SSSS yang
menerbitkan Surat Berharga, sepanjang dana pada
rekening milik penerbit Surat Berharga di Bank Indonesia
mencukupi.
(3) Sub-Registry
harus meneruskan pembayaran
kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan
pokok/nominal Surat Berharga kepada nasabah pemilik
Surat Berharga pada tanggal yang sama dengan tanggal
Sub-Registry menerima pembayaran kupon/bunga atau
imbalan dan pelunasan pokok/nominal Surat Berharga
dari penerbit Surat Berharga.
(4) Sub-Registry harus memberikan jasa, bunga, atau
kompensasi kepada nasabah pemilik Surat Berharga,
dalam hal Sub-Registry tidak meneruskan pembayaran
kupon/bunga atau imbalan dan nilai pokok/nominal Surat
Berharga pada tanggal yang sama kepada nasabah pemilik
Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembayaran
kupon/bunga atau imbalan, pelunasan pokok/nominal
Surat Berharga, dan jasa, bunga, atau kompensasi diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
- 21 -
Paragraf 5
Pembebanan Rekening Surat Berharga Peserta dan/atau
Rekening Setelmen Dana
Pasal 39
Dalam rangka kegiatan Penatausahaan, Penyelenggara
melakukan pendebitan Rekening Surat Berharga Peserta BI-
SSSS, Rekening Setelmen Dana Peserta BI-SSSS, dan/atau
Rekening Setelmen Dana Bank pembayar yang ditunjuk oleh
Peserta BI-SSSS.
Bagian Ketiga
Penyelenggaraan Sistem BI-RTGS
Paragraf 1
Transfer Dana dalam Sistem BI-RTGS
Pasal 40
Transfer dana yang dilakukan melalui Sistem BI-RTGS
meliputi layanan:
a. single credit;
b. multiple credit; dan
c. single debit.
Pasal 41
(1) Bank Indonesia sebagai Peserta Sistem BI-RTGS dapat
menggunakan semua layanan transfer dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40.
(2) Peserta Sistem BI-RTGS selain Bank Indonesia hanya
dapat menggunakan layanan transfer dana single credit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a dan
layanan transfer dana multiple credit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 huruf b.
- 22 -
Pasal 42
Transfer dana yang dapat dilakukan dalam layanan transfer
dana single credit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
huruf a dan layanan transfer dana multiple credit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 huruf b meliputi:
a.
b.
transfer dana dari Peserta Sistem BI-RTGS kepada
Peserta Sistem BI-RTGS lainnya;
transfer dana dari Peserta Sistem BI-RTGS kepada
nasabah Peserta Sistem BI-RTGS lainnya dan sebaliknya;
dan
c.
transfer dana dari nasabah Peserta Sistem BI-RTGS ke
nasabah Peserta Sistem BI-RTGS lainnya.
Pasal 43
Transfer dana yang dapat dilakukan dalam layanan transfer
dana single debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
huruf c meliputi:
a. penyelesaian kewajiban Peserta Sistem BI-RTGS kepada
Bank Indonesia;
b. koreksi atas transaksi yang dikirim oleh Bank Indonesia;
dan
c. pelaksanaan Setelmen dana atas transaksi dan
penyelesaian kewajiban lainnya sebagaimana ditetapkan
dalam ketentuan Bank Indonesia.
Pasal 44
(1) Dalam pelaksanaan transfer dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40, Penyelenggara menetapkan:
a.
jenis transaksi yang wajib dilakukan melalui Sistem
BI-RTGS;
b. pembatasan jenis transaksi melalui Sistem BI-RTGS
yang dapat digunakan oleh Peserta Sistem BI-RTGS
tertentu; dan/atau
c. batas nilai nominal transfer dana yang dapat
dilakukan melalui Sistem BI-RTGS.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis transaksi,
pembatasan jenis transaksi, dan batas nilai nominal
- 23 -
transfer dana melalui Sistem BI-RTGS diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 45
(1) Peserta pengirim pada Sistem BI-RTGS harus membuat
instruksi Setelmen dana sesuai dengan tata cara yang
ditetapkan oleh Penyelenggara.
(2)
Instruksi Setelmen dana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), wajib menggunakan kode transaksi yang
ditetapkan oleh Penyelenggara.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan
dan pengiriman instruksi Setelmen serta penggunaan
kode transaksi diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 46
(1) Peserta Sistem BI-RTGS pengirim harus
mempersyaratkan kepada nasabah pengirim untuk
mengisi perintah transfer dana secara lengkap dan benar
dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku.
(2) Peserta Sistem BI-RTGS pengirim wajib mengirimkan
instruksi Setelmen dana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (1) pada tanggal yang sama dengan tanggal
diterimanya perintah transfer dana dari nasabah pengirim.
(3)
Instruksi Setelmen dana sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib dikirim oleh Peserta Sistem BI-RTGS
pengirim paling lama 1 (satu) jam sejak Peserta Sistem
BI-RTGS pengirim melakukan pengaksepan atas perintah
transfer dana dari nasabah.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) tidak berlaku apabila memenuhi kondisi yang
ditetapkan oleh Penyelenggara.
(5) Dalam hal Peserta Sistem BI-RTGS pengirim tidak
mengirimkan instruksi Setelmen dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Peserta Sistem BI-RTGS
pengirim wajib membayar jasa, bunga, atau kompensasi
kepada nasabah pengirim.
- 24 -
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perintah
transfer dana, pengiriman instruksi Setelmen dana,
penetapan kondisi tertentu, dan besarnya jasa, bunga,
atau kompensasi kepada nasabah pengirim diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Paragraf 2
Setelmen Dana
Pasal 47
Setelmen dana melalui Sistem BI-RTGS bersifat final.
Pasal 48
(1) Setelmen dana melalui Sistem BI-RTGS dilakukan
dengan menggunakan dana yang terdapat pada Rekening
Setelmen Dana.
(2) Setelmen dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dilakukan apabila dana yang terdapat pada
Rekening Setelmen Dana mencukupi untuk pelaksanaan
Setelmen dana.
(3) Penyelenggara menetapkan mekanisme Setelmen dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam hal dana
tidak mencukupi untuk pelaksanaan Setelmen dana.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Setelmen dana diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 49
(1) Dalam hal Peserta Sistem BI-RTGS penerima melakukan
pengaksepan atas instruksi Setelmen dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), Peserta Sistem BI-
RTGS penerima wajib meneruskan dana kepada nasabah
penerima pada tanggal yang sama dengan tanggal
Setelmen dana.
(2) Penerusan dana kepada nasabah penerima sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan sesegera
mungkin atau paling lama 1 (satu) jam sejak instruksi
Setelmen dana diterima oleh Peserta penerima.
- 25 -
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) tidak berlaku apabila memenuhi kondisi yang
ditetapkan oleh Penyelenggara.
(4) Dalam hal Peserta Sistem BI-RTGS penerima tidak
melakukan penerusan dana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Peserta Sistem BI-RTGS penerima harus
memberikan jasa, bunga, atau kompensasi kepada
nasabah penerima.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu penerusan
dana hasil Setelmen dana, penetapan kondisi tertentu,
dan besarnya jasa, bunga, atau kompensasi kepada
nasabah penerima diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 50
(1) Dalam Sistem BI-RTGS disediakan fasilitas pengelolaan
risiko likuiditas dan risiko kredit untuk Peserta Sistem
BI-RTGS.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis fasilitas pengelolaan
risiko diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Paragraf 3
Pembebanan Rekening Setelmen Dana
Pasal 51
Dalam rangka pelaksanaan Setelmen dana, Penyelenggara
melakukan pendebitan Rekening Setelmen Dana.
Paragraf 4
Fasilitas Likuiditas Intrahari
Pasal 52
(1) Penyelenggara menyediakan FLI kepada Bank Peserta
Sistem BI-RTGS yang terdiri atas FLI RTGS dan FLI
Kliring.
(2) Penyelenggara menetapkan persyaratan penggunaan FLI
yang harus dipenuhi oleh Bank Peserta Sistem BI-RTGS.
- 26 -
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan
penggunaan FLI sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 53
(1) Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang akan menggunakan
FLI harus menyediakan Surat Berharga yang ditetapkan
oleh Penyelenggara.
(2) Penggunaan FLI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara repurchase agreement (repo) FLI
RTGS dan/atau FLI Kliring atas Surat Berharga yang
dimiliki oleh Bank Peserta Sistem BI-RTGS.
(3) Surat Berharga yang telah disediakan untuk FLI Kliring
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat
digunakan untuk FLI RTGS.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan Surat
Berharga yang dapat digunakan untuk memperoleh FLI
dan penggunaan FLI diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 54
(1) Penggunaan FLI RTGS dilakukan secara otomatis pada
saat dana yang terdapat pada Rekening Setelmen Dana
dalam Rupiah milik Bank Peserta Sistem BI-RTGS tidak
mencukupi untuk melakukan Setelmen dana atas
transaksi keluar (outgoing transaction).
(2) Penggunaan FLI Kliring dilakukan secara otomatis pada
saat dana yang terdapat pada Rekening Setelmen Dana
dalam Rupiah milik Bank Peserta Sistem BI-RTGS tidak
mencukupi untuk memenuhi kewajiban pada saat
Setelmen dana atas hasil perhitungan dalam
penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia.
(3) Penggunaan FLI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilakukan berdasarkan kecukupan nilai Surat
Berharga yang tersedia pada rekening FLI RTGS dan
rekening FLI Kliring yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
- 27 -
Pasal 55
(1) Penyelenggara mengenakan biaya atas penggunaan FLI
dan/atau biaya lainnya yang terkait dengan penggunaan
FLI kepada Bank Peserta Sistem BI-RTGS.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya penggunaan FLI
dan biaya lainnya yang terkait dengan penggunaan FLI
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 56
(1) Bank Peserta Sistem BI-RTGS wajib menyelesaikan
penggunaan FLI sampai dengan batas waktu yang
ditetapkan oleh Penyelenggara.
(2) Dalam hal Bank Peserta Sistem BI-RTGS tidak dapat
menyelesaikan penggunaan FLI sampai dengan batas
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap
penggunaan FLI yang tidak dapat diselesaikan
diberlakukan sebagai transaksi lending/financing facility
dengan Bank Indonesia.
(3) Transaksi
lending/financing facility sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tunduk pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter dan
operasi moneter syariah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian penggunaan
FLI diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Data Transaksi dan Setelmen
Pasal 57
(1) Penyelenggara mengirimkan data transaksi dan/atau
data hasil Setelmen kepada masing-masing Peserta setiap
akhir hari.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan antara data transaksi
dan/atau data hasil Setelmen yang dimiliki oleh masing-
masing Peserta dengan data transaksi dan/atau data hasil
Setelmen yang dimiliki oleh Penyelenggara, data yang
digunakan adalah data yang ada pada Penyelenggara.
- 28 -
Bagian Kelima
Waktu Operasional
Pasal 58
(1) Penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-
RTGS dilakukan pada waktu operasional yang ditetapkan
oleh Penyelenggara.
(2) Waktu operasional Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. hari operasional; dan
b.
jam operasional.
(3) Waktu operasional BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. hari operasional;
b.
jam operasional; dan
c. periode waktu kegiatan.
(4) Peserta wajib melakukan kegiatan operasional terkait
Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS sesuai
dengan waktu operasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3), kecuali dalam kondisi yang
ditetapkan oleh Penyelenggara.
(5) Penyelenggara dapat melakukan perubahan waktu
operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3).
(6) Peserta hanya dapat mengajukan permohonan
perpanjangan periode waktu kegiatan dalam BI-SSSS dan
Sistem BI-RTGS.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu operasional dan
kondisi tertentu yang ditetapkan oleh Penyelenggara
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Keenam
Biaya
Pasal 59
(1) Penyelenggara menetapkan jenis dan besarnya biaya
dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan
- 29 -
Sistem BI-RTGS.
(2) Penyelenggara dapat membebaskan biaya dalam
penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-
RTGS apabila terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau
Keadaan Darurat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan besarnya
biaya, pembebasan biaya, serta tata cara pembebanan
biaya diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 60
(1) Penyelenggara dapat menetapkan batas biaya paling
banyak yang dikenakan Peserta kepada nasabah dalam
penyelenggaraan Sistem BI-RTGS.
(2) Penyelenggara dapat meminta kepada Peserta untuk
menyampaikan informasi mengenai besarnya biaya yang
dikenakan oleh Peserta kepada nasabah dalam
penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-
RTGS.
(3) Penyelenggara dapat mengumumkan besarnya biaya
yang dikenakan oleh Penyelenggara kepada Peserta dan
biaya yang dikenakan oleh Peserta kepada nasabah
dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan
Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
kepada masyarakat.
(4) Ketentuan lebih lanjut penetapan batas biaya paling
banyak yang dikenakan Peserta kepada nasabah diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Ketujuh
Penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan
Darurat
Pasal 61
(1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dalam
penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-
RTGS dan/atau Keadaan Darurat di
lokasi
Penyelenggara, Penyelenggara memberitahukan keadaan
- 30 -
tersebut kepada Peserta berikut langkah-langkah
penanganan untuk mengatasi Keadaan Tidak Normal
dan/atau Keadaan Darurat.
(2) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau
Keadaan Darurat di lokasi Peserta yang mengakibatkan
Peserta tidak dapat mengirimkan Transaksi dan/atau
instruksi Setelmen maka pengiriman Transaksi dan/atau
instruksi Setelmen dapat dilakukan dengan
menggunakan sarana yang disediakan oleh
Penyelenggara.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan Keadaan
Tidak Normal dan Keadaan Darurat diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
BAB VII
PEMBEBASAN TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARA
Pasal 62
Penyelenggara dibebaskan dari segala tuntutan atas kerugian
Peserta atau pihak ketiga yang timbul dan/atau yang akan
timbul akibat:
a. keterlambatan atau tidak terlaksananya Transaksi,
Setelmen, dan pembayaran kupon/bunga atau imbalan
serta pelunasan pokok/nominal Surat Berharga, yang
diakibatkan karena kelalaian Peserta, Keadaan Tidak
Normal, dan/atau Keadaan Darurat;
b. pengiriman Transaksi atau instruksi Setelmen dilakukan
oleh pejabat yang tidak berwenang;
c. kesalahan data Transaksi atau instruksi Setelmen yang
dikirimkan oleh Peserta; dan/atau
d.
tidak diteruskannya instruksi Setelmen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1).
- 31 -
BAB VIII
PEMANTAUAN KEPATUHAN PESERTA
Pasal 63
(1) Penyelenggara melakukan pemantauan kepatuhan
Peserta terhadap ketentuan yang ditetapkan oleh
Penyelenggara.
(2) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
(3) Dalam rangka pelaksanaan pemantauan kepatuhan
Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Peserta
wajib:
a. menyampaikan laporan berkala dan laporan
sewaktu-waktu;
b. memberikan data, informasi, dan/atau dokumen
yang diperlukan Penyelenggara terkait
penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan
Sistem BI-RTGS;
c. memberikan akses kepada Penyelenggara untuk
melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap
dokumen, sarana fisik, aplikasi pendukung yang
terkait penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS,
dan Sistem BI-RTGS, dan kegiatan operasional
Peserta; dan
d. menindaklanjuti hasil pemantauan yang dilakukan
oleh Penyelenggara.
(4) Dalam rangka pemantauan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Penyelenggara dapat meminta Peserta untuk
melakukan pengujian terhadap infrastruktur Peserta
yang digunakan dalam operasional penyelenggaraan
Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemantauan
kepatuhan Peserta, jenis laporan, dan tata cara
penyampaian laporan dalam rangka pelaksanaan
pemantauan kepatuhan Peserta diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
- 32 -
Pasal 64
Pemantauan kepatuhan Peserta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 ayat (1) termasuk pemantauan kepatuhan
terhadap kegiatan penatausahaan yang dilakukan oleh Sub-
Registry dan/atau pihak lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (2).
Pasal 65
(1) Penyelenggara dapat menunjuk pihak lain untuk dan
atas nama Penyelenggara dalam rangka melaksanakan
pemantauan kepatuhan Peserta.
(2) Pihak lain yang melaksanakan pemantauan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan keterangan
dan data yang diperoleh dalam pemantauan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan kepatuhan
Peserta diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 66
(1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63
ayat (3) huruf a wajib disampaikan sesuai batas waktu
yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(2) Dalam hal Peserta terlambat menyampaikan laporan
berkala sesuai batas waktu yang ditetapkan oleh
Penyelenggara, Peserta tetap wajib menyampaikan
laporan berkala dalam batas waktu yang ditetapkan oleh
Penyelenggara.
(3) Peserta dinyatakan tidak menyampaikan laporan berkala
apabila Peserta tidak menyampaikan laporan berkala
sampai batas waktu sebagaimana yang ditetapkan pada
ayat (2).
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 67
(1) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang
telah menjadi Peserta BI-SSSS berdasarkan Peraturan
- 33 -
Bank Indonesia Nomor 10/2/PBI/2008 tentang Bank
Indonesia-Scripless Securities Settlement System
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4809) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
12/12/PBI/2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5146) dan memiliki peran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2),
dinyatakan menjadi Peserta Sistem BI-ETP berdasarkan
Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yang
telah menjadi Peserta BI-SSSS berdasarkan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 10/2/PBI/2008 tentang Bank
Indonesia-Scripless Securities Settlement System
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4809) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
12/12/PBI/2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5146) dan menjalankan fungsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2),
dinyatakan menjadi Peserta BI-SSSS berdasarkan
Peraturan Bank Indonesia ini.
(3) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 yang telah
menjadi Peserta Sistem BI-RTGS berdasarkan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 10/6/PBI/2008 tentang Sistem
Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 32,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4820), dinyatakan tetap menjadi Peserta BI-RTGS
berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini.
- 34 -
BAB X
SANKSI
Pasal 68
(1) Peserta yang tidak memenuhi kewajiban menjaga
kelancaran dan keamanan dalam penggunaan Sistem BI-
ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Dalam hal Peserta tidak menindaklanjuti teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak teguran
tertulis diterima, dapat dikenakan sanksi administratif
berupa penurunan status kepesertaan.
Pasal 69
Peserta yang tidak menginformasikan biaya transaksi dalam
penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-
RTGS kepada nasabah secara transparan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
Pasal 70
(1) Sub-Registry yang terlambat menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dikenakan
sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja
keterlambatan sejak batas waktu penyampaian pelaporan
yang ditetapkan oleh Penyelenggara dengan jumlah paling
banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2) Sub-Registry yang terlambat dan/atau tidak
menyampaikan koreksi laporan sesuai batas waktu yang
ditetapkan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis.
(3) Dalam hal Sub-Registry tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 ayat (5), Sub-Registry
- 35 -
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Pasal 71
Peserta Sistem BI-RTGS pengirim yang mengisi kode transaksi
tidak sesuai dengan yang ditetapkan oleh Penyelenggara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dikenakan sanksi
administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah) per instruksi Setelmen dana, dengan jumlah
kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dalam bulan berjalan.
Pasal 72
(1) Dalam hal instruksi Setelmen dana dari Peserta Sistem
BI-RTGS pengirim tidak dikirim oleh Peserta Sistem BI-
RTGS pengirim sesuai batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3), Peserta Sistem BI-
RTGS pengirim dikenakan sanksi administratif berupa
kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu
rupiah) per instruksi Setelmen dana, dengan jumlah
kewajiban membayar paling banyak sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per 1 (satu)
periode pemantauan.
(2) Dalam hal Peserta Sistem BI-RTGS penerima tidak
meneruskan dana kepada nasabah penerima sesuai
batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat
(2), Peserta Sistem BI-RTGS penerima dikenakan sanksi
administratif berupa kewajiban membayar sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per instruksi
Setelmen dana, dengan jumlah kewajiban membayar
paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) per 1 (satu) periode pemantauan.
Pasal 73
Peserta yang tidak menyampaikan:
a.
laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 63 ayat (3) huruf a; dan/atau
b. data, informasi, dan/atau dokumen terkait penyelenggaraan
- 36 -
Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3) huruf b;
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Pasal 74
(1) Peserta yang tidak memberikan akses kepada Penyelenggara
untuk melakukan pemeriksaan secara langsung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3) huruf c
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Dalam hal Peserta tidak menindaklanjuti teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka
waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak teguran tertulis
diterima, dapat dikenakan sanksi administratif berupa
penurunan status kepesertaan.
Pasal 75
(1) Peserta yang tidak menindaklanjuti hasil pemantauan
yang dilakukan oleh Penyelenggara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3) huruf d dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Dalam hal Peserta tidak menindaklanjuti teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikenakan
sanksi administratif berupa penurunan status kepesertaan.
Pasal 76
(1) Peserta yang terlambat menyampaikan laporan berkala
sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
66 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa
kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus
ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan, dengan jumlah
kewajiban membayar paling banyak sebesar
Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
(2) Dalam hal Peserta tidak menyampaikan laporan berkala
sebagaimana dimaksud pada Pasal 66 ayat (3), Peserta
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(3) Peserta yang tidak menindaklanjuti teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 30 (tiga
- 37 -
puluh) hari sejak tanggal teguran tertulis dapat dikenakan
sanksi administratif berupa penurunan status kepesertaan.
Pasal 77
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 78
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini
diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 79
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/2/PBI/2008
tentang Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4809);
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/6/PBI/2008
tentang Sistem Bank Indonesia Real Time Gross
Settlement (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4820);
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/29/PBI/2008
tentang Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 174, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4922);
d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/30/PBI/2009
tentang Fasilitas Likuiditas Intrahari Berdasarkan Prinsip
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5034);
- 38 -
e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/12/PBI/2010
tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 10/2/PBI/2008 tentang Bank Indonesia-Scripless
Securities Settlement System (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 93, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5146); dan
f. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/13/PBI/2010
tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 10/29/PBI/2008 tentang Fasilitas Likuiditas
Intrahari Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 94, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5147),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 80
(1) Ketentuan mengenai batas biaya paling banyak yang
dikenakan Peserta kepada nasabah dalam penyelenggaraan
Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2016.
(2) Ketentuan mengenai kewajiban Peserta menyampaikan
laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66
dan sanksi administratif atas kewajiban penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 mulai
berlaku untuk periode laporan tahun 2016.
(3) Ketentuan mengenai sanksi administratif berupa
kewajiban membayar atas:
a. keterlambatan penyampaian laporan oleh Sub-
Registry sebagaimana dimaksud dalam 70 ayat (1);
b. pelanggaran pengisian kode transaksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 selain kode transaksi
tertentu yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank
Indonesia mengenai penyelenggaraan setelmen dana
seketika melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time
Grosss Settlement;
c. pelanggaran batas waktu pengiriman instruksi
Setelmen dana kepada Peserta Sistem BI-RTGS
penerima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72
- 39 -
ayat (1); dan
d. pelanggaran batas waktu penerusan dana kepada
nasabah penerima sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 72 ayat (2),
mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2016.
Pasal 81
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 16
November 2015.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 November 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 November 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 273
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/ 18 /PBI/2015
TENTANG
PENYELENGGARAAN TRANSAKSI, PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA,
DAN SETELMEN DANA SEKETIKA
I. UMUM
Sistem BI-RTGS yang telah digunakan sejak tahun 2000 telah
menjadi infrastruktur yang penting dalam sistem pembayaran, sistem
keuangan, dan perekonomian Indonesia. Sistem tersebut telah menjadi
muara berbagai transaksi keuangan di Indonesia, baik untuk transaksi
ritel, transaksi pasar keuangan maupun transaksi pasar modal. Selain
sebagai suatu infrastruktur utama dalam sistem keuangan Indonesia,
Sistem BI-RTGS telah pula dikenal dan banyak digunakan untuk setelmen
pembayaran antar bank dari berbagai transaksi ekonomi lainnya. Kondisi
ini menyebabkan volume transaksi pembayaran antar bank yang
diselesaikan melalui Sistem BI-RTGS semakin meningkat dari tahun ke
tahun.
Peningkatan volume transaksi pembayaran pada Sistem BI-RTGS
tidak lepas dari kontribusi peningkatan volume transaksi surat berharga
pada BI-SSSS. BI-SSSS merupakan sarana untuk transaksi operasi
moneter, pemberian fasilitas pendanaan Bank Indonesia kepada Bank,
pelaksanaan lelang dan perdagangan SBN serta penatausahaan Sertifikat
Bank Indonesia dan SBN.
Sejalan dengan peningkatan volume transaksi pembayaran pada Sistem
BI-RTGS dan BI-SSSS, dalam rangka meningkatkan pengelolaan likuiditas
secara lebih efisien, Bank Indonesia memandang perlu untuk melakukan
pengembangan atas Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS yang telah ada saat ini.
- 2 -
Selanjutnya dalam rangka mengakomodasi perkembangan transaksi
operasi moneter dan transaksi di pasar keuangan, pengembangan sistem
dimaksud tidak hanya terbatas pada pengembangan Sistem BI-RTGS dan
BI-SSSS, tetapi meliputi pula pengembangan Sistem BI-ETP.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, guna mewujudkan
penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS yang lebih
aman dan efisien serta agar lebih mudah mengintegrasikan dengan
infrastruktur sistem keuangan lainnya baik domestik maupun lintas
negara, pengembangannya dilakukan dengan mengintegrasikan Sistem
BI-RTGS, BI-SSSS, dan Sistem BI-ETP yang mengacu pada Principles for
Financial Market Infrastructures (PFMI’s) yang dikeluarkan oleh Committee
on Payment and Financial Market Infrastructures dan International
Organization of Securities Commission (CPMI-IOSCO).
Selanjutnya, dalam rangka memberikan landasan hukum yang
komprehensif dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan
Sistem BI-RTGS, diperlukan satu Peraturan Bank Indonesia yang
mengatur tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat
Berharga, dan Setelmen Dana Seketika.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Ketentuan dan prosedur penyelenggaraan Sistem BI-ETP,
BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS antara lain meliputi
ketentuan dan prosedur penyelenggaraan Sistem BI-ETP,
BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS dalam keadaan normal,
Keadaan Tidak Normal, dan/atau Keadaan Darurat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sarana dan prasarana” antara lain
- 3 -
helpdesk, sistem informasi, dan sarana kontinjensi bagi
Peserta.
Huruf c
Yang dimaksud “kegiatan operasional” antara lain
melaksanakan kegiatan operasional penyelenggaraan
Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Huruf d
Upaya menjamin keandalan, ketersediaan, dan keamanan
penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-
RTGS antara lain dilakukan dengan menyusun standar
layanan minimum penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-
SSSS, dan Sistem BI-RTGS, serta prosedur penanganan
Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat.
Huruf e
Pemantauan kepatuhan Peserta dilakukan berdasarkan
ketentuan yang mengatur mengenai penyelenggaraan
Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen
dana seketika.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan “perusahaan pialang pasar uang
rupiah dan valuta asing” adalah perusahaan yang didirikan
khusus untuk melakukan kegiatan jasa perantara bagi
kegiatan nasabahnya di bidang pasar uang rupiah dan
- 4 -
valuta asing dengan memperoleh imbalan atas jasanya.
Huruf f
Yang dimaksud “perusahaan efek” adalah pihak yang
melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek,
perantara pedagang efek dan/atau manajer investasi.
Huruf g
Lembaga lain dapat menjadi Peserta Sistem BI-ETP dengan
persetujuan Penyelenggara sepanjang kepesertaan lembaga
lain tersebut antara lain didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan/atau pertimbangan
pengembangan pasar keuangan di Indonesia.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Penetapan peran lain bagi Peserta Sistem BI-ETP oleh
Penyelenggara apabila dipandang perlu antara lain
didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku, pertimbangan pengembangan pasar keuangan di
Indonesia dan/atau pertimbangan teknis.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
- 5 -
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “lembaga penyimpanan dan
penyelesaian” adalah pihak yang menyelenggarakan
kegiatan kustodian sentral bagi Bank kustodian,
perusahaan efek, dan pihak lain, sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “perusahaan efek” adalah pihak
yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi
efek, perantara pedagang efek dan/atau manajer investasi.
Huruf f
Lembaga lain dapat menjadi Peserta BI-SSSS dengan
persetujuan Penyelenggara sepanjang kepesertaan lembaga
lain tersebut antara lain didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, pertimbangan
pengembangan pasar surat berharga di Indonesia,
dan/atau pertimbangan teknis.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Penetapan fungsi lain sebagai Peserta BI-SSSS oleh
Penyelenggara antara lain didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, pertimbangan
pengembangan pasar keuangan di Indonesia dan/atau
pertimbangan teknis.
- 6 -
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Pemisahan kepesertaan dalam penyelenggaraan BI-SSSS atas nama
diri sendiri dengan kepesertaan Sub-Registry dimaksudkan untuk
memperjelas pemisahan kepemilikan aset Surat Berharga atas nama
Peserta BI-SSSS yang bersangkutan dengan aset Surat Berharga atas
nama nasabah.
Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penyelenggara kliring dan/atau penyelenggara setelmen antara
lain penyelenggara kliring dan/atau penyelenggara penyelesaian
akhir sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan transfer dana dan
kliring berjadwal dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan
menggunakan kartu.
Huruf d
Lembaga lain dapat menjadi Peserta Sistem BI-RTGS dengan
persetujuan Penyelenggara sepanjang kepesertaan lembaga lain
tersebut antara lain untuk mendukung:
a. penyelesaian transaksi pembayaran, transaksi surat
berharga, dan transaksi pasar keuangan di Indonesia yang
makin aman dan efisien; dan
b. efektivitas operasi kebijakan moneter oleh Bank Indonesia.
Pasal 12
Cukup jelas.
- 7 -
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan status “aktif” adalah Peserta dapat
melakukan seluruh fungsi dalam penyelenggaraan Sistem
BI-ETP sesuai dengan hak akses Peserta yang
bersangkutan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan status “dibekukan” adalah Peserta
dihentikan seluruh kegiatan transaksional dalam
penyelenggaraan Sistem BI-ETP.
Huruf c
Yang dimaksud dengan status “ditutup” adalah Peserta
dihentikan secara tetap kepesertaannya dalam
penyelenggaraan Sistem BI-ETP dan tidak dapat diaktifkan
kembali sebagai Peserta.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan status “aktif” adalah Peserta dapat
melakukan seluruh fungsi dalam penyelenggaraan BI-SSSS
dan Sistem BI-RTGS sesuai dengan hak akses Peserta yang
bersangkutan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan status “ditangguhkan” adalah
Peserta tidak dapat melakukan kegiatan transaksional
tertentu dalam penyelenggaraan BI-SSSS dan Sistem BI-
- 8 -
RTGS sesuai dengan pembatasan yang dilakukan oleh
Penyelenggara.
Huruf c
Yang dimaksud dengan status “dibekukan” adalah Peserta
dihentikan seluruh kegiatan transaksional dalam
penyelenggaraan BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS.
Huruf d
Yang dimaksud dengan status “ditutup” adalah Peserta
dihentikan secara tetap kepesertaannya dalam
penyelenggaraan BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS dan tidak
dapat diaktifkan kembali sebagai Peserta.
Ayat (2)
Pengecualian ketentuan ini dimaksudkan antara lain untuk
memberikan kepastian agar nasabah Sub-Registry dapat
melakukan transaksi dan Setelmen atas Surat Berharga.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang melakukan
pengawasan” antara lain Bank Indonesia sebagai otoritas
pengawas makroprudensial dan sistem pembayaran, serta
Otoritas Jasa Keuangan sebagai otoritas pengawas
mikroprudensial.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
- 9 -
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Rekening penampungan (escrow account) digunakan antara lain
untuk menerima pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan
pelunasan nilai pokok/nominal Surat Berharga.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “berdampak” antara lain:
a. Perubahan status kepesertaan pada Sistem BI-RTGS
menjadi ditangguhkan mengakibatkan status kepesertaan
pada BI-SSSS menjadi ditangguhkan dan pada Sistem BI-
ETP menjadi dibekukan.
b. Perubahan status kepesertaan pada Sistem BI-RTGS
menjadi dibekukan mengakibatkan status kepesertaan
pada BI-SSSS dan Sistem BI-ETP menjadi dibekukan.
c. Perubahan status kepesertaan pada Sistem BI-RTGS
menjadi ditutup mengakibatkan status kepesertaan pada
BI-SSSS dan Sistem BI-ETP menjadi ditutup.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “berdampak” antara lain:
a. Perubahan status kepesertaan pada BI-SSSS menjadi
ditangguhkan dan dibekukan mengakibatkan status
kepesertaan pada Sistem BI-ETP menjadi dibekukan.
b. Perubahan status kepesertaan pada BI-SSSS menjadi ditutup
mengakibatkan status kepesertaan pada BI-ETP menjadi
ditutup.
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Contoh kegiatan yang dilakukan Peserta dalam menjaga
kelancaran dan keamanan sistem yang digunakan dalam
penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-
RTGS antara lain dengan menyusun kebijakan dan
prosedur tertulis dalam operasional penyelenggaraan
Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS, melakukan
- 10 -
pemeriksaan internal, dan security audit.
Huruf b
Dalam rangka memastikan kebenaran Transaksi dan/atau
instruksi Setelmen, pengiriman transaksi dan/atau
instruksi Setelmen harus didasarkan pada dokumen
pendukung.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “biaya transaksi” adalah biaya
transaksi yang dibebankan oleh Penyelenggara kepada
Peserta dan biaya transaksi yang dibebankan oleh Peserta
kepada nasabah.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Peserta Sistem BI-ETP lain sebagai lembaga perantara (broker)
adalah Peserta Sistem BI-ETP yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah dan otoritas terkait yang meliputi antara lain:
a. perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing,
perusahaan efek sebagai peserta operasi moneter dan
operasi moneter syariah; dan
b. Bank dan perusahaan efek sebagai peserta transaksi SBN.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengaturan dalam prosedur internal Peserta Sistem BI-ETP
berlaku dalam hal Peserta Sistem BI-ETP yang menunjuk
- 11 -
dan Peserta Sistem BI-ETP yang ditunjuk sebagai perantara
(broker) merupakan bagian dalam satu badan hukum yang
sama.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam Penatausahaan untuk kepentingan nasabah, Sub-
Registry menggunakan sistem internal Sub-Registry.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “book entry” adalah pencatatan
kepemilikan dan perpindahan kepemilikan dalam suatu jurnal.
Ayat (2)
Pencatatan kepemilikan Surat Berharga hasil Setelmen transaksi
repurchase agreement (repo) collateralized borrowing dan
pengagunan tidak diperhitungkan sebagai milik pemberi
pinjaman atau penerima agunan.
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “bersifat global (omnibus account)”
adalah pencatatan yang tidak dilakukan secara individual dan
rinci per nasabah. Pencatatan secara individual dan rinci per
nasabah dilakukan oleh Sub-Registry.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 12 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pengelola” adalah pejabat yang
bertanggung jawab dalam pelaksanaan operasional Sub-Registry.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Yang dimaksud dengan “bersifat final” adalah Setelmen yang telah
dilakukan tidak dapat dibatalkan.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Persyaratan kecukupan dana yang terdapat pada Rekening
Setelmen Dana Peserta termasuk pula dalam rangka
pembayaran untuk dan atas nama Peserta lain yang menunjuk
Peserta dimaksud sebagai Bank pembayar.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pembayaran kewajiban lainnya” antara
lain adalah pembayaran biaya penggunaan sistem.
Ayat (2)
Penetapan batas Setelmen dana dimaksudkan untuk memitigasi
risiko dalam pelaksanaan Setelmen.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
- 13 -
Huruf b
Penetapan batas Setelmen dana dalam prosedur internal
berlaku apabila Peserta BI-SSSS yang menunjuk dan Bank
pembayar merupakan bagian dalam satu badan hukum
yang sama.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Adanya pemberian kuasa pembatalan instruksi Setelmen dari
Peserta lawan transaksi dibuktikan dalam bentuk klausula
pemberian kuasa pembatalan dalam perjanjian atau surat kuasa
tersendiri.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
- 14 -
Pasal 40
Huruf a
Yang dimaksud dengan “single credit” adalah transfer dana yang
hanya berisi 1 (satu) instruksi Setelmen dana untuk diteruskan
ke Rekening Setelmen Dana Peserta Sistem BI-RTGS penerima,
baik untuk kepentingan Peserta Sistem BI-RTGS penerima
maupun untuk kepentingan penerima dana yang disebutkan
dalam instruksi Setelmen dana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “multiple credit” adalah transfer dana
yang berisi lebih dari 1 (satu) dan paling banyak 10 (sepuluh)
instruksi Setelmen dana untuk diteruskan ke beberapa rekening
nasabah penerima pada 1 (satu) Peserta Sistem BI-RTGS
penerima.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “single debit” adalah transfer dana yang
dilakukan oleh Bank Indonesia yang berisi 1 (satu) instruksi
Setelmen dana untuk mendebit rekening Peserta Sistem BI-
RTGS baik untuk kepentingan Bank Indonesia maupun untuk
kepentingan penerima dana yang disebutkan dalam instruksi
Setelmen dana.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah nasabah yang
memiliki rekening di Peserta dan yang tidak memiliki rekening di
Peserta.
Huruf c
Cukup jelas.
- 15 -
Pasal 43
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penyelesaian kewajiban Peserta Sistem
BI-RTGS kepada Bank Indonesia” adalah pendebitan rekening giro
oleh Bank Indonesia antara lain untuk pembebanan biaya atas
layanan jasa yang disediakan Bank Indonesia dan pembebanan
sanksi administratif berupa kewajiban membayar kepada Bank
Indonesia atas pelanggaran terhadap ketentuan Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pelaksanaan Setelmen dana atas transaksi antara lain:
a. Setelmen dana atas Transaksi;
b. kewajiban membayar selisih kurang atas setoran kas;
c. Setelmen hasil kliring; dan/atau
d. Setelmen dana atas transaksi Surat Berharga Negara.
Yang dimaksud dengan “penyelesaian kewajiban lainnya” antara
lain pendebitan Rekening Setelmen Dana Peserta Sistem BI-
RTGS oleh Bank Indonesia atas permintaan otoritas sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
rekening giro di Bank Indonesia.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “ketentuan yang berlaku” antara lain
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
tindak pidana pencucian uang khususnya terkait dengan
pemantauan atas transaksi yang mencurigakan, dan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai transfer dana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 16 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pengaksepan” adalah kegiatan yang
dilakukan oleh Peserta Sistem BI-RTGS pengirim yang
menunjukkan persetujuan untuk melaksanakan atau memenuhi
perintah transfer dana yang diterima.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 47
Yang dimaksud dengan “bersifat final” adalah Setelmen dana yang
telah dilakukan tidak dapat dibatalkan.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kecukupan dana yang terdapat pada Rekening Setelmen Dana
memperhitungkan pula FLI yang dimiliki oleh Peserta Sistem BI-
RTGS.
Ayat (3)
Mekanisme penyelesaian Setelmen dana yang ditetapkan oleh
Penyelenggara antara lain:
a. mekanisme antrian yaitu pengaturan urutan instruksi
Setelmen dana yang belum dapat dilakukan Setelmen.
b. menetapkan tingkat prioritas pelaksanaan Setelmen dana.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengaksepan” adalah kegiatan yang
dilakukan oleh Peserta Sistem BI-RTGS penerima yang
menunjukkan persetujuan untuk melaksanakan atau memenuhi
- 17 -
instruksi Setelmen dana yang diterima.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “FLI RTGS” adalah FLI yang digunakan
untuk mengatasi kesulitan pendanaan yang terjadi selama jam
operasional Sistem BI-RTGS.
Yang dimaksud dengan “FLI Kliring” adalah FLI yang digunakan
untuk mengatasi kesulitan pendanaan pada saat Setelmen dana
atas hasil perhitungan dalam penyelenggaraan Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “repurchase agreement (repo)” adalah
transaksi penjualan Surat Berharga, dengan kewajiban pembelian
kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
- 18 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Penggunaan FLI RTGS secara otomatis dimaksudkan bahwa
nilai atas Surat Berharga yang direpokan oleh Bank Peserta
Sistem BI-RTGS, langsung digunakan untuk menutup
ketidakcukupan dana yang terdapat pada Rekening Setelmen
Dana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Perbedaan data transaksi dan/atau data hasil Setelmen antara
lain terjadi karena adanya gangguan teknis dan/atau gangguan
jaringan komunikasi data.
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “hari operasional” adalah hari yang
- 19 -
ditetapkan oleh Penyelenggara sebagai hari
diselenggarakannya operasional penyelenggaraan Sistem
BI-ETP.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “jam operasional” adalah jam yang
ditetapkan Penyelenggara sebagai waktu diselenggarakannya
operasional penyelenggaraan Sistem BI-ETP.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “hari operasional” adalah hari yang
ditetapkan oleh Penyelenggara sebagai hari
diselenggarakannya operasional penyelenggaraan BI-SSSS
dan Sistem BI-RTGS.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “jam operasional” adalah jam yang
ditetapkan
Penyelenggara
sebagai waktu
diselenggarakannya operasional penyelenggaraan BI-SSSS
dan Sistem BI-RTGS pada setiap hari operasional.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “periode waktu kegiatan” adalah
periode waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara untuk
melaksanakan kegiatan transaksional dalam
penyelenggaraan BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS, seperti
periode waktu kegiatan pengiriman instruksi Setelmen dana
untuk kepentingan nasabah, periode waktu kegiatan
pengiriman instruksi Setelmen atas Surat Berharga untuk
kepentingan Peserta.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Perubahan waktu operasional antara lain disebabkan:
a. adanya Keadaan Tidak Nomal dan/atau Keadaan Darurat di
lokasi Penyelenggara;
b. keterlambatan Setelmen dana hasil perhitungan dalam
penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal;
dan/atau
- 20 -
c. alasan lain dalam rangka menjaga kelancaran sistem
pembayaran.
Ayat (6)
Alasan perpanjangan periode waktu kegiatan oleh Peserta antara
lain disebabkan karena adanya Keadaan Tidak Nomal dan/atau
Keadaan Darurat di lokasi Peserta.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Jenis biaya dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS,
dan Sistem BI-RTGS antara lain biaya atas setiap pengiriman
instruksi Setelmen, biaya perpanjangan periode waktu kegiatan,
biaya penggunaan sistem di lokasi Penyelenggara, dan biaya
administrative message.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “membebaskan biaya dalam
penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS”
adalah membebaskan biaya tertentu pada saat Keadaan Tidak
Normal dan/atau Keadaan Darurat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Penetapan batas biaya paling banyak yang dikenakan Peserta
kepada nasabah dilakukan dalam rangka perlindungan nasabah
pengguna Sistem BI-RTGS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengumuman besarnya biaya kepada masyarakat dilakukan
dalam rangka perlindungan nasabah pengguna Sistem BI-RTGS,
antara lain melalui website Bank Indonesia.
- 21 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemantauan secara langsung dilakukan melalui kunjungan ke
lokasi Peserta (onsite visit) secara periodik atau sewaktu-waktu
apabila diperlukan.
Pemantauan tidak langsung dilakukan dengan mekanisme
analisis dan evaluasi terhadap laporan yang disampaikan oleh
Peserta kepada Penyelenggara, data dan/atau informasi yang
diperoleh Penyelenggara baik dari Peserta, pihak lain, maupun
data dan/atau informasi yang ada di Penyelenggara.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pengujian infrastruktur merupakan salah satu sarana dalam
rangka memastikan infrastruktur utama dan cadangan yang
digunakan oleh Peserta berfungsi dengan baik.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak yang memiliki
keahlian antara lain di bidang pengembangan sistem dalam
- 22 -
penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS,
jaringan komunikasi data, dan audit teknologi informasi.
Ayat (2)
Pihak lain yang wajib merahasiakan keterangan dan data yaitu
seluruh komisaris, direksi, manajer, tenaga ahli, staf pengawas,
dan staf pendukung lainnya yang terkait dengan pelaksanaan
pemantauan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Yang dimaksud dengan “1 (satu) periode pemantauan” adalah satu
siklus kegiatan dalam proses pelaksanaan pemantauan kepatuhan
Peserta.
Pasal 73
Cukup jelas.
- 23 -
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5762
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 17/18/PBI/2015 </reg_id>
<reg_title> PENYELENGGARAAN TRANSAKSI, PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA, DAN SETELMEN DANA SEKETIKA </reg_title>
<set_date> 12 November 2015 </set_date>
<effective_date> 16 November 2015 </effective_date>
<issued_date> 12 November 2015 </issued_date>
<replaced_reg> '10/6/PBI/2008', '11/30/PBI/2009', '10/2/PBI/2008', '12/12/PBI/2010', '12/13/PBI/2010', '10/29/PBI/2008' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '19/UU/2008', '24/UU/2002' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2/ 19 /PBI/2000
TENTANG
PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBERIAN PERINTAH ATAU IZIN
TERTULIS MEMBUKA RAHASIA BANK
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, pemberian perintah atau izin tertulis
membuka rahasia bank menjadi kewenangan Pimpinan
Bank Indonesia;
b. bahwa rahasia bank yang diperlukan sebagai salah satu
faktor untuk menjaga kepercayaan nasabah penyimpan,
dimungkinkan dibuka untuk kepentingan perpajakan,
penyelesaian piutang bank, kepentingan peradilan dalam
perkara pidana, dalam perkara perdata antara bank
dengan nasabahnya, dalam rangka tukar menukar
informasi antar bank, atas permintaan, persetujuan atau
kuasa dari nasabah, dan permintaan ahli waris yang sah
dari nasabah yang telah meninggal dunia;
c. bahwa ...
- 2 -
c. bahwa berhubung dengan itu, dipandang perlu untuk
menetapkan persyaratan dan tata cara pemberian
perintah atau izin tertulis membuka rahasia bank dalam
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBERIAN
PERINTAH ATAU IZIN TERTULIS MEMBUKA RAHASIA
BANK.
Pasal 1 ...
- 3 -
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak;
2. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada Bank
berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito,
sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu;
3. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank;
4. Nasabah Penyimpan adalah Nasabah yang menempatkan dananya dalam
bentuk Simpanan berdasarkan perjanjian Bank dengan Nasabah yang
bersangkutan;
5. Nasabah Debitur adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan perjanjian Bank dengan Nasabah yang bersangkutan;
6. Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan
mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanan Nasabah.
Pasal 2
(1) Bank wajib merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan
keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanan Nasabah.
(2) Keterangan ...
- 4 -
(2) Keterangan mengenai Nasabah selain Nasabah Penyimpan bukan
merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan oleh Bank.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi pihak
terafiliasi.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku untuk :
a. kepentingan perpajakan;
b. penyelesaian piutang Bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara;
c. kepentingan peradilan dalam perkara pidana;
d. kepentingan peradilan dalam perkara perdata antara Bank dengan
Nasabahnya;
e. tukar menukar informasi antar Bank;
f. permintaan, persetujuan atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang
dibuat secara tertulis;
g. permintaan ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan yang telah
meninggal dunia.
Pasal 3
(1) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf
a, huruf b, dan huruf c, wajib terlebih dahulu memperoleh perintah atau izin
tertulis untuk membuka Rahasia Bank dari Pimpinan Bank Indonesia.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf d, huruf e,
huruf f, dan huruf g, tidak memerlukan perintah atau izin tertulis untuk
membuka Rahasia Bank dari Pimpinan Bank Indonesia.
Pasal 4 ...
- 5 -
Pasal 4
(1) Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia berwenang
mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar memberikan keterangan
dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan
keuangan Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.
(2) Perintah tertulis dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diberikan berdasarkan permintaan tertulis dari Menteri
Keuangan.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan :
a. nama pejabat pajak;
b. nama Nasabah Penyimpan wajib pajak yang dikehendaki keterangannya;
c. nama kantor Bank tempat Nasabah mempunyai Simpanan;
d. keterangan yang diminta; dan
e. alasan diperlukannya keterangan.
Pasal 5
(1) Untuk keperluan penyelesaian piutang Bank yang sudah diserahkan kepada
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/ Panitia Urusan Piutang Negara,
Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin tertulis kepada pejabat Badan
Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk
memperoleh keterangan dari Bank mengenai Simpanan Nasabah Debitur.
(2) Izin ...
- 6 -
(2) Izin tertulis dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diberikan berdasarkan permintaan tertulis dari Kepala Badan
Urusan Piutang dan Lelang Negara/Ketua Panitia Urusan Piutang Negara.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan :
a. nama dan jabatan pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/
Panitia Urusan Piutang Negara
b. nama Nasabah Debitur yang bersangkutan;
c. nama kantor Bank tempat Nasabah Debitur mempunyai Simpanan;
d. keterangan yang diminta; dan
e. alasan diperlukannya keterangan.
Pasal 6
(1) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank
Indonesia dapat memberikan izin tertulis kepada polisi, jaksa, atau hakim
untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai simpanan tersangka atau
terdakwa pada Bank.
(2) Izin tertulis dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diberikan atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik
Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia atau Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia.
(3) Permintaan dan pemberian izin untuk memperoleh keterangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana
yang diproses di luar peradilan umum, dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan dalam ayat (2).
(4) Permintaan ...
- 7 -
(4) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan :
a. nama dan jabatan polisi, jaksa, atau hakim;
b. nama tersangka atau terdakwa;
c. nama kantor Bank tempat tersangka atau terdakwa mempunyai
Simpanan;
d. keterangan yang diminta;
e. alasan diperlukannya keterangan; dan
f. hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang
diperlukan.
Pasal 7
(1) Bank wajib melaksanakan perintah atau izin tertulis dari Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh Bank
dengan memberikan keterangan baik lisan maupun tertulis, memperlihatkan
bukti-bukti tertulis, surat-surat, dan hasil cetak data elektronis, tentang
keadaan keuangan Nasabah Penyimpan yang disebutkan dalam perintah
atau izin tertulis tersebut.
Pasal 8
Bank dilarang memberikan keterangan tentang keadaan keuangan Nasabah
Penyimpan selain yang disebutkan dalam perintah atau izin tertulis dari Bank
Indonesia.
Pasal 9
(1) Permintaan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal
6, ditujukan kepada :
Gubernur ...
- 8 -
Gubernur Bank Indonesia,
up. Direktorat Hukum Bank Indonesia
Gedung Tipikal Lantai 10
Jl. MH. Thamrin No.2
Jakarta 10110.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus ditandatangani
dengan membubuhkan tandatangan basah oleh :
a. Menteri Keuangan, untuk kepentingan perpajakan;
b. Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Ketua Panitia Urusan
Piutang Negara, untuk kepentingan penyelesaian piutang Bank yang
telah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara/Panitia Urusan Piutang Negara;
c. Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik
Indonesia, atau Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, untuk
kepentingan peradilan dalam perkara pidana.
Pasal 10
(1) Pemberian perintah atau izin tertulis membuka Rahasia Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 dilaksanakan oleh Gubernur
Bank Indonesia dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari
setelah surat permintaan diterima secara lengkap oleh Direktorat Hukum
Bank Indonesia.
(2) Pemberian izin tertulis membuka Rahasia Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, dilaksanakan
oleh Gubernur Bank Indonesia dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga)
hari kerja terhitung sejak surat permintaan diterima secara lengkap oleh
Direktorat Hukum Bank Indonesia.
(3) Gubernur ...
- 9 -
(3) Gubernur Bank Indonesia dapat menolak untuk memberikan perintah atau
izin tertulis membuka Rahasia Bank apabila surat permintaan tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal
6 dan Pasal 9.
(4) Penolakan untuk memberikan perintah atau izin tertulis membuka Rahasia
Bank oleh Gubernur Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
harus diberitahukan secara tertulis selambat-lambatnya 14 (empat belas)
hari setelah surat permintaan diterima untuk permintaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6, dan 3 (tiga) hari kerja
terhitung sejak surat permintaan diterima untuk permintaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
Pasal 11
(1) Perintah atau izin tertulis membuka Rahasia Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan oleh Deputi Gubernur
Senior atau salah satu Deputi Gubernur.
(2) Penolakan untuk memberikan perintah atau izin membuka Rahasia Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dapat dilakukan oleh
Deputi Gubernur Senior atau salah satu Deputi Gubernur.
Pasal 12
(1) Pemblokiran dan atau penyitaan Simpanan atas nama seorang Nasabah
Penyimpan yang telah dinyatakan sebagai tersangka atau terdakwa oleh
polisi, jaksa, atau hakim, dapat dilakukan sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku tanpa memerlukan izin dari Pimpinan Bank
Indonesia.
(2) Dalam …
- 10 -
(2) Dalam hal polisi, jaksa, atau hakim bermaksud memperoleh keterangan
mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanan Nasabah yang diblokir dan
atau disita pada Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berlaku
ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 13
Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47 dan Pasal 47 A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
Bank Indonesia dapat mengenakan sanksi administratif terhadap Bank yang tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8.
Pasal 14
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia No. 31/182/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang
Persyaratan dan Tatacara Pemberian Izin atau Perintah Membuka Rahasia Bank
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 15
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan …
- 11 -
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 7 September 2000
a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA
ANWAR NASUTION
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 152
DHk
- 12 -
PENJELASAN
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2/ 19 /PBI/2000
TENTANG
PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBERIAN PERINTAH ATAU IZIN
TERTULIS MEMBUKA RAHASIA BANK
I. UMUM
Bank sebagai lembaga intermediasi dalam melaksanakan kegiatan usahanya
senantiasa bertumpu pada unsur kepercayaan masyarakat, terutama kepercayaan
Nasabah Penyimpan yang menempatkan simpanannya di Bank. Sebagai lembaga
kepercayaan, Bank wajib merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan
keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanan Nasabah yang berada
pada Bank.
Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan maka
ketentuan rahasia Bank yang semula mencakup nasabah kreditur (penyimpan
dana) dan nasabah debitur (peminjam dana), telah dibatasi hanya menyangkut
Nasabah Penyimpan.
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2 …
Pasal 2
- 13 -
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemberian keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini
diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan Bank dengan tetap
memperhatikan adanya kaitan yang erat antara keterangan yang
diminta dengan peminta keterangan serta kepentingan penegakan
hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi adalah :
a. anggota Dewan Komisaris, pengawas, Direksi atau kuasanya,
pejabat, atau karyawan Bank;
b. anggota pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat,
atau karyawan Bank, khusus bagi Bank yang berbentuk hukum
koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
c. pihak yang memberikan jasanya kepada Bank, antara lain
akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lainnya;
d. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta
mempengaruhi pengelolaan Bank, antara lain pemegang saham
dan keluarganya, keluarga Komisaris, keluarga pengawas,
keluarga Direksi, keluarga Pengurus.
Ayat (4)
Huruf a sampai dengan huruf g
Cukup jelas
Pasal 3 …
Pasal 3
- 14 -
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a sampai dengan huruf e
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a sampai dengan huruf e
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
Ayat (2)
- 15 -
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar permintaan izin untuk
memperoleh keterangan dari Bank atas suatu perkara pidana yang
diproses pada semua tingkatan di luar peradilan umum dilakukan
dengan koordinasi antar instansi yang pelaksanaannya mengacu
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (4)
Huruf a sampai dengan huruf f
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Termasuk dalam pengertian keterangan secara tertulis adalah
pemberian foto copy bukti-bukti tertulis, foto copy surat-surat, dan
hasil cetak data elektronis yang telah dinyatakan/diberi tanda
“sesuai dengan aslinya” (certified) oleh pejabat yang berwenang
pada Bank. Pemberian keterangan secara tertulis tersebut perlu
dilakukan sedemikian rupa agar tidak mengganggu atau
menghilangkan dokumen yang menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku seharusnya tetap diadministrasikan oleh
Bank yang bersangkutan.
Kata memperlihatkan dalam ketentuan ini tidak berarti bahwa
pembawa perintah atau izin tertulis dari Bank Indonesia dapat
melakukan pemeriksaan Bank.
Pasal 8 …
Pasal 8
- 16 -
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a sampai dengan huruf c
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12 …
Pasal 12
- 17 -
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3998
- 18 -
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/19/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBERIAN PERINTAH ATAU IZIN TERTULIS MEMBUKA RAHASIA BANK </reg_title>
<set_date> 7 September 2000 </set_date>
<effective_date> 7 September 2000 </effective_date>
<replaced_reg> '31/182/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 13' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/19/PBI/2006
TENTANG
KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DAN
PEMBENTUKAN PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF
BANK PERKREDITAN RAKYAT
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa kinerja dan kelangsungan usaha Bank Perkreditan
Rakyat dipengaruhi oleh kualitas penyediaan dana pada aktiva
produktif, termasuk kesiapan untuk menghadapi
kerugian dari penyediaan dana tersebut;
risiko
b. bahwa dalam rangka mengembangkan usaha dan mengelola
risiko, pengurus Bank Perkreditan Rakyat wajib menjaga
kualitas aktiva produktif dan membentuk penyisihan
penghapusan aktiva produktif;
c. bahwa penyediaan dana Bank Perkreditan Rakyat pada aktiva
produktif memiliki karakteristik yang berbeda dengan Bank
Umum;
d. bahwa …
-2-
d. bahwa oleh karena itu dipandang
menyempurnakan ketentuan mengenai kualitas
perlu untuk
aktiva
produktif dan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva
produktif Bank Perkreditan Rakyat dalam Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KUALITAS
AKTIVA PRODUKTIF DAN PEMBENTUKAN PENYISIHAN
PENGHAPUSAN AKTIVA
PERKREDITAN RAKYAT.
PRODUKTIF
BANK
BAB I …
-3-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR, adalah Bank
Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional;
2. Aktiva Produktif adalah penyediaan dana BPR dalam Rupiah untuk
memperoleh penghasilan, dalam bentuk Kredit, Sertifikat Bank Indonesia dan
Penempatan Dana Antar Bank.
3. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara BPR
dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
4. Sertifikat Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut SBI, adalah surat
berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
5. Penempatan Dana Antar Bank adalah penanaman dana BPR pada bank lain
dalam bentuk tabungan, deposito berjangka, sertifikat deposito, Kredit yang
diberikan dan penanaman dana lainnya yang sejenis.
6. Penyisihan…
-4-
6. Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif, yang selanjutnya disebut PPAP,
adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu dari baki
debet berdasarkan penggolongan kualitas Aktiva Produktif.
7. Pengurus BPR adalah
anggota Direksi dan dewan Komisaris BPR
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Bank
Perkreditan Rakyat.
8. Debitur adalah nasabah perorangan, perusahaan atau badan yang memperoleh
satu atau lebih fasilitas penyediaan dana.
9. Restrukturisasi Kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan BPR dalam
kegiatan perkreditan terhadap Debitur yang mengalami kesulitan untuk
memenuhi kewajibannya, yang dilakukan melalui:
a. penjadualan kembali, yaitu perubahan jadual pembayaran kewajiban
Debitur atau jangka waktu;
b. persyaratan kembali, yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan
Kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadual pembayaran, jangka
waktu, dan/atau persyaratan lainnya sepanjang
perubahan maksimum plafon Kredit; dan/atau
tidak menyangkut
c. penataan kembali, yaitu perubahan persyaratan Kredit yang menyangkut
penambahan fasilitas Kredit dan konversi seluruh atau sebagian tunggakan
angsuran bunga menjadi pokok Kredit baru yang dapat disertai dengan
penjadualan kembali dan/atau persyaratan kembali.
10. Agunan…
-5-
10. Agunan Yang Diambil Alih, yang selanjutnya disebut AYDA, adalah aktiva
yang diperoleh BPR, baik melalui lelang atau diluar lelang berdasarkan
penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan dan berdasarkan surat kuasa
untuk menjual diluar lelang dari pemilik agunan dalam hal Debitur telah
dinyatakan macet.
BAB II
KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF
Pasal 2
(1) Penyediaan dana BPR pada Aktiva Produktif wajib dilaksanakan
berdasarkan prinsip kehati-hatian.
(2) Dalam rangka melaksanakan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pengurus BPR wajib menilai, memantau dan mengambil
langkah-langkah yang diperlukan agar kualitas Aktiva Produktif senantiasa
Lancar.
Pasal 3
(1) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Kredit ditetapkan dalam 4 (empat)
golongan, yaitu Lancar, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet.
(2) Penilaian terhadap Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan ketepatan membayar dan/atau kemampuan
membayar kewajiban oleh Debitur.
(3) Aktiva Produktif dalam bentuk Kredit diklasifikasikan menjadi 3 (tiga)
jenis sebagai berikut:
a. Kredit…
-6-
a. Kredit dengan angsuran, diluar Kredit Pemilikan Rumah, dengan masa
angsuran:
1) kurang dari 1 (satu) bulan, atau
2) 1 (satu) bulan atau lebih.
b. Kredit dengan angsuran, untuk Kredit Pemilikan Rumah; dan
c. Kredit tanpa angsuran.
Pasal 4
(1) Kualitas Kredit dengan masa angsuran kurang
dari 1 (satu) bulan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a angka 1) ditetapkan
sebagai berikut:
a. Lancar, apabila:
1) tidak terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga, atau
2) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga tidak lebih dari
1 (satu) bulan dan Kredit belum jatuh tempo.
b. Kurang Lancar, apabila:
1) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 1
(satu) bulan tetapi tidak lebih dari 3 (tiga) bulan; dan/atau
2) Kredit telah jatuh tempo tidak lebih dari 1 (satu) bulan.
c. Diragukan, apabila:
1) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 3
(tiga) bulan tetapi tidak lebih dari 6 (enam) bulan; dan/atau
2). Kredit…
-7-
2) Kredit telah jatuh tempo lebih dari 1 (satu) bulan tetapi tidak lebih
dari 2 (dua) bulan.
d. Macet, apabila:
1) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 6
(enam) bulan;
2) Kredit telah jatuh tempo lebih dari 2 (dua) bulan;
3) Kredit telah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang Negara
(BUPN); dan/atau
4) Kredit telah diajukan penggantian ganti rugi kepada perusahaan
asuransi Kredit.
(2) Kualitas Kredit dengan masa angsuran 1 (satu) bulan atau lebih
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a angka 2) ditetapkan
sebagai berikut:
a. Lancar, apabila:
1) tidak terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga; atau
2) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga tidak lebih dari
3 (tiga) kali angsuran dan Kredit belum jatuh tempo.
b. Kurang Lancar, apabila:
1) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 3
(tiga) kali angsuran tetapi tidak lebih dari 6 (enam) kali angsuran;
dan/atau
2) Kredit telah jatuh tempo tidak lebih dari 1 (satu) bulan.
c. Diragukan…
-8-
c.
Diragukan, apabila:
1) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 6
(enam) kali angsuran tetapi tidak lebih dari 12 (dua belas) kali
angsuran; dan/atau
2) Kredit telah jatuh tempo lebih dari 1 (satu) bulan tetapi tidak
lebih dari 2 (dua) bulan.
d. Macet, apabila:
1) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 12
(dua belas) kali angsuran;
2) Kredit telah jatuh tempo lebih dari 2 (dua) bulan;
3) Kredit telah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang Negara
(BUPN); dan/atau
4) Kredit telah diajukan penggantian ganti rugi kepada perusahaan
asuransi Kredit.
Pasal 5
Kualitas Kredit dengan angsuran, untuk Kredit Pemilikan Rumah, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila:
1) tidak terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga; atau
2) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga tidak lebih dari 6
(enam) kali angsuran dan Kredit belum jatuh tempo.
b. Kurang…
-9-
b. Kurang Lancar, apabila:
1) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 6 (enam)
kali angsuran tetapi tidak lebih dari 9 (sembilan) kali angsuran;
dan/atau
2) Kredit telah jatuh tempo tidak lebih dari 1 (satu) bulan.
c.
Diragukan, apabila:
1) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 9
(sembilan) kali angsuran tetapi tidak lebih dari 30 (tiga puluh) kali
angsuran; dan/atau
2) Kredit telah jatuh tempo lebih dari 1 (satu) bulan tetapi tidak lebih dari
2 (dua) bulan.
d. Macet, apabila:
1) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 30 (tiga
puluh) kali angsuran;
2) Kredit telah jatuh tempo lebih dari 2 (dua) bulan;
3) Kredit telah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang Negara
(BUPN); dan/atau
4) Kredit telah diajukan penggantian ganti rugi kepada perusahaan
asuransi Kredit.
Pasal 6
Kualitas Kredit tanpa angsuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c
ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar…
-10-
a. Lancar, apabila:
1) tidak terdapat tunggakan angsuran bunga; atau
2) terdapat tunggakan angsuran bunga tidak lebih dari 3 (tiga) kali
angsuran dan Kredit belum jatuh tempo.
b. Kurang Lancar, apabila:
1) terdapat tunggakan angsuran bunga lebih dari 3 (tiga) kali angsuran
tetapi tidak lebih dari 6 (enam) kali angsuran; dan/atau
2) Kredit telah jatuh tempo tidak lebih dari 1 (satu) bulan.
c.
Diragukan, apabila:
1) terdapat tunggakan angsuran bunga lebih dari 6 (enam) kali angsuran
tetapi tidak lebih dari 12 (dua belas) kali angsuran; dan/atau
2) Kredit telah jatuh tempo lebih dari 1 (satu) bulan tetapi tidak lebih dari
2 (dua) bulan.
d. Macet, apabila:
1) terdapat tunggakan angsuran bunga lebih dari 12 (dua belas) kali
angsuran;
2) Kredit telah jatuh tempo lebih dari 2 (dua) bulan;
3) Kredit telah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang Negara
(BUPN); dan/atau
4) Kredit telah diajukan penggantian ganti rugi kepada perusahaan
asuransi Kredit.
Pasal 7…
-11-
Pasal 7
Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk SBI ditetapkan Lancar.
Pasal 8
Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Penempatan Dana Antar Bank
ditetapkan dalam 3 (tiga) golongan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila tidak terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga;
b. Kurang Lancar, apabila terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga
paling lama 5 (lima) hari kerja;
c.
Macet, apabila:
1) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 5 (lima)
hari kerja;
2) bank yang menerima Penempatan Dana Antar Bank telah ditetapkan
dalam status pengawasan khusus; dan/atau
3) bank yang menerima Penempatan Dana Antar Bank telah dilikuidasi.
Pasal 9
(1) Bagi BPR yang memberikan Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
Pasal 5 dan Pasal 6 dengan tenggang waktu pembayaran (grace period)
maka tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga dihitung setelah tenggang
waktu dimaksud berakhir.
(2) Batas…
-12-
(2) Batas akhir tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dalam perjanjian Kredit antara BPR dengan Debitur.
Pasal 10
Kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan oleh BPR dapat diturunkan oleh Bank
Indonesia dengan professional judgement apabila terjadi kondisi sebagai berikut:
a. Debitur tidak diketahui lagi keberadaannya; dan/atau
b. usaha Debitur bangkrut.
Pasal 11
(1) Dalam hal terjadi perbedaan penilaian kualitas Aktiva Produktif antara BPR
dan Bank Indonesia maka kualitas Aktiva Produktif yang berlaku adalah
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) BPR wajib melakukan penyesuaian kualitas Aktiva Produktif sesuai dengan
penilaian kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
disampaikan kepada Bank Indonesia dan/atau laporan publikasi sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku, paling lambat 14 (empat
belas) hari sejak tanggal pemberitahuan dari Bank Indonesia.
laporan-laporan yang
BAB III…
-13-
BAB III
PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF
Pasal 12
(1) BPR wajib membentuk PPAP berupa PPAP umum dan PPAP khusus.
(2) PPAP umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling kurang
sebesar 0,5% (lima permil) dari Aktiva Produktif yang memiliki kualitas
Lancar, tidak termasuk Sertifikat Bank Indonesia.
(3) PPAP khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling
kurang sebesar:
a. 10% (sepuluh perseratus) dari Aktiva Produktif dengan kualitas Kurang
Lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;
b. 50% (lima puluh perseratus) dari Aktiva Produktif dengan kualitas
Diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan
c. 100% (seratus perseratus) dari Aktiva Produktif dengan kualitas Macet
setelah dikurangi dengan nilai agunan.
Pasal 13
(1) Nilai agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan
PPAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) ditetapkan sebesar:
a. 100% (seratus perseratus) dari agunan yang bersifat likuid, berupa
Sertifikat Bank Indonesia, tabungan dan deposito yang diblokir pada
bank yang bersangkutan disertai dengan surat kuasa pencairan, emas
dan logam mulia;
b. 80% …
-14-
b. 80% (delapan puluh perseratus) dari nilai hak tanggungan untuk
agunan berupa tanah, bangunan dan rumah bersertifikat hak milik
(SHM) atau hak guna bangunan (SHGB) yang diikat dengan hak
tanggungan;
c. 60% (enam puluh perseratus) dari nilai jual obyek pajak untuk agunan
berupa tanah, bangunan dan rumah bersertifikat hak milik (SHM) atau
hak guna bangunan (SHGB), hak pakai tanpa hak tanggungan;
d. 50% (lima puluh perseratus) dari nilai jual obyek pajak untuk agunan
berupa tanah dengan bukti kepemilikan berupa Surat Girik (letter C)
yang dilampiri surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT) terakhir;
dan
e. 50% (lima puluh perseratus) dari nilai pasar untuk agunan berupa
kendaraan bermotor yang disertai bukti kepemilikan dan diikat sesuai
ketentuan yang berlaku.
(2) Agunan selain yang dimaksud pada ayat (1) tidak diperhitungkan sebagai
pengurang dalam pembentukan PPAP.
Pasal 14
(1) BPR wajib melakukan penilaian atas agunan untuk mengetahui nilai
ekonomisnya.
(2) Dalam hal penilaian agunan tidak dilakukan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) maka hasil penilaian agunan tidak diperhitungkan sebagai faktor
pengurang PPAP.
Pasal 15…
-15-
Pasal 15
(1) Bank Indonesia berwenang melakukan perhitungan kembali atas nilai
agunan yang telah diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan
PPAP apabila BPR tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 dan Pasal 14.
(2) BPR wajib melakukan penyesuaian perhitungan PPAP sesuai dengan
perhitungan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dalam laporan-laporan yang disampaikan kepada Bank
Indonesia dan/atau laporan publikasi sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku, paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal
pemberitahuan dari Bank Indonesia.
BAB IV
RESTRUKTURISASI KREDIT
Pasal 16
BPR dapat melakukan Restrukturisasi Kredit terhadap Debitur yang memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a.
b. Debitur memiliki prospek usaha yang baik dan diperkirakan mampu
memenuhi kewajiban setelah Kredit direstrukturisasi.
Debitur mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga Kredit;
dan
Pasal 17…
-16-
Pasal 17
BPR dilarang melakukan Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16, apabila bertujuan hanya untuk menghindari:
a.
penurunan kualitas Kredit;
b.
c.
peningkatan pembentukan PPAP; dan/atau
penghentian pengakuan pendapatan bunga secara akrual.
Pasal 18
(1) Kualitas Kredit yang direstrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 adalah:
a.
setinggi-tingginya Kurang Lancar untuk
b.
Kredit yang
direstrukturisasi memiliki kualitas Diragukan atau Macet; dan
tidak berubah, untuk Kredit yang sebelum direstrukturisasi memiliki
kualitas Lancar atau Kurang Lancar.
(2) Kualitas Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi:
a. Lancar, apabila tidak terjadi tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga
selama 3 (tiga) kali periode pembayaran secara berturut-turut; dan
b. sama dengan kualitas Kredit sebelum dilakukan Restrukturisasi Kredit,
apabila Debitur tidak dapat memenuhi kondisi sebagaimana dimaksud
pada huruf a.
sebelum
Pasal 19…
-17-
Pasal 19
BPR wajib menerapkan perlakuan akuntansi Restrukturisasi Kredit, termasuk
namun tidak terbatas pada pengakuan kerugian yang timbul dalam rangka
Restrukturisasi Kredit, sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan dan Prinsip
Akuntansi Perbankan Indonesia yang berlaku.
Pasal 20
(1) BPR wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai
Restrukturisasi Kredit.
(2) Kebijakan Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disetujui oleh Komisaris.
(3) Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan
kebijakan Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 21
Kualitas Kredit yang direstrukturisasi dengan pemberian tenggang waktu
pembayaran (grace period) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
ditetapkan sebagai berikut:
a.
selama grace period, kualitas mengikuti kualitas Kredit sebelum dilakukan
restrukturisasi, dan
b.
setelah grace period berakhir, kualitas Kredit mengikuti penetapan kualitas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
Pasal 22…
-18-
Pasal 22
Bank Indonesia berwenang melakukan koreksi
terhadap penetapan kualitas
Restrukturisasi Kredit, pembentukan PPAP dan pendapatan bunga yang telah
diakui secara akrual, apabila:
a.
b.
c.
Debitur tidak melaksanakan perjanjian atau akad Restrukturisasi Kredit;
dan/atau
Restrukturisasi Kredit dilakukan secara berulang dengan tujuan hanya untuk
memperbaiki kualitas Kredit tanpa memperhatikan prospek usaha Debitur.
BAB V
AGUNAN YANG DIAMBIL ALIH (AYDA)
Pasal 23
(1) BPR dapat mengambilalih agunan, yang bersifat sementara, dalam rangka
penyelesaian Kredit yang memiliki kualitas Macet.
(2) BPR wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap AYDA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak
pengambilalihan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) BPR
tidak dapat menyelesaikan AYDA maka BPR wajib membiayakan AYDA
tersebut.
(4) BPR…
Restrukturisasi Kredit menurut penilaian Bank Indonesia ternyata dilakukan
dengan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17;
-19-
(4) BPR wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian AYDA sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 24
(1) BPR wajib menilai AYDA pada saat pengambilalihan agunan untuk
menetapkan net realizable value.
(2) Penetapan nilai AYDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sebagai berikut:
a. untuk AYDA dengan nilai sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) dapat dilakukan oleh penilai intern BPR; dan
b. untuk AYDA dengan nilai di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) wajib dilakukan oleh penilai independen.
(3) Penetapan nilai AYDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperhitungkan
untuk setiap agunan.
BAB VI
HAPUS BUKU DAN HAPUS TAGIH
Pasal 25
(1) BPR wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai AYDA,
hapus buku dan hapus tagih.
(2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh
Komisaris.
(3) Komisaris …
-20-
(3) Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan
kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 26
(1) Hapus buku
dan/atau hapus tagih hanya dapat dilakukan terhadap
penyediaan dana yang memiliki kualitas Macet.
(2) Hapus buku tidak dapat dilakukan terhadap sebagian penyediaan dana
(partial write off).
(3) Hapus tagih dapat dilakukan terhadap sebagian atau seluruh penyediaan
dana.
(4) Hapus tagih terhadap sebagian penyediaan dana sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) hanya dapat dilakukan dalam rangka Restrukturisasi Kredit
atau dalam rangka penyelesaian Kredit.
Pasal 27
(1) Hapus buku dan/atau hapus tagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
hanya dapat dilakukan setelah BPR melakukan upaya untuk memperoleh
kembali Aktiva Produktif yang diberikan.
(2) BPR wajib mendokumentasikan upaya yang dilakukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) serta dasar pertimbangan pelaksanaan hapus buku
dan/atau hapus tagih.
(3) Bank…
-21-
(3) Bank wajib mengadministrasikan data dan informasi mengenai Aktiva
Produktif yang telah dihapus buku dan/atau dihapus tagih.
BAB VII
SANKSI
Pasal 28
BPR yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 2, Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (2),
Pasal 17, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 23 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 24 ayat
(1), Pasal 25, Pasal 26 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) dan Pasal 27, dikenakan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa:
a.
teguran tertulis;
b.
c.
penurunan nilai kredit dalam perhitungan tingkat kesehatan; dan/atau
pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak
yang memperoleh predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan
kepatutan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku.
BAB VIII …
-22-
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/22/KEP/DIR tanggal 29
Mei 1993 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan
Aktiva Produktif; dan
b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/167/KEP/DIR tanggal
29 Maret 1994 tentang Penyempurnaan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 26/22/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 tentang Kualitas
Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 30
Peraturan Bank Indonesia ini tidak diberlakukan bagi Bank Perkreditan Rakyat
eks Badan Kredit Desa (BKD) yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun
1929 Nomor 357 dan Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9.
Pasal 31 …
-23-
Pasal 31
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal 1 Desember 2006.
Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal : 5 Oktober 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 76
DPBPR
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 8/19/PBI/2006
TENTANG
KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DAN
PEMBENTUKAN PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF
BANK PERKREDITAN RAKYAT
UMUM
Sebagai
lembaga
yang melakukan kegiatan menghimpun
dan
menyalurkan dana masyarakat, kinerja dan kelangsungan usaha Bank Perkreditan
Rakyat sangat bergantung pada kualitas penyediaan dana pada aktiva produktif.
Kondisi penyediaan dana pada aktiva produktif yang buruk akan mengakibatkan
memburuknya kinerja bank dan dapat mempengaruhi kelangsungan usaha bank.
Dalam rangka menjaga dan memelihara kelangsungan usahanya, Bank
Perkreditan Rakyat wajib menilai, memantau dan menjaga agar penyediaan dana
bank pada aktiva produktif senantiasa dalam kondisi lancar. Selain hal tersebut,
untuk mengantisipasi kerugian yang mungkin timbul dikemudian hari atas
penanaman dana bank pada aktiva produktif maka Bank Perkreditan Rakyat
wajib membentuk penyisihan penghapusan aktiva produktif.
Selanjutnya untuk meminimalkan potensi kerugian yang lebih besar akibat
dari memburuknya kondisi Debitur, Bank Perkreditan Rakyat juga dapat
melakukan…
-2-
melakukan restrukturisasi Kredit terhadap Debitur yang mengalami kesulitan
pembayaran pokok dan/atau bunga, namun masih memiliki propek usaha cukup
baik setelah dilakukan restrukturisasi.
Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, dan dalam rangka mewujudkan
tata cara penilaian kualitas aktiva produktif sesuai dengan prinsip kehati-hatian
serta dengan memperhatikan perkembangan kondisi usaha Bank Perkreditan
Rakyat maka perlu ditetapkan Peraturan Bank Indonesia ini.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Penyediaan dana BPR pada Aktiva Produktif didasarkan pada
penilaian atas kondisi usaha dan kemampuan membayar Debitur,
antara lain dengan memperhatikan faktor-faktor character, capital,
capacity, condition of economy dan collateral.
Ayat (2)
Termasuk
dalam langkah-langkah yang
diperlukan adalah
melakukan tindakan dan upaya pencegahan atas kemungkinan
kegagalan dalam penyediaan dana.
Pasal (3)…
-3-
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a dan b
Kredit dengan angsuran adalah Kredit yang pembayaran
kembali pokok Kredit diatur secara bertahap menurut jadual
waktu yang ditentukan dalam perjanjian Kredit.
Pengertian angsuran yang
seharusnya
digunakan dalam penilaian
kualitas Kredit adalah kesesuaian nilai antara angsuran yang
diterima BPR dengan angsuran yang
sebagaimana ditentukan dalam perjanjian Kredit.
Contoh:
Dalam perjanjian Kredit ditentukan bahwa angsuran pokok
sebesar Rp1.000.000,00 dan angsuran bunga sebesar
Rp150.000,00 per bulan.
Kemudian…
-4-
Kemudian Debitur mengangsur sebagai berikut (dalam Rp):
Angsuran Pokok
Bunga
bulan ke-1 1.000.000 150.000
bulan ke-2 500.000 50.000
bulan ke-3 600.000 50.000
bulan ke-4 1.000.000 75.000
bulan ke-5 700.000 50.000
Jumlah 3.800.000
375.000
Dengan demikian, sampai dengan bulan ke-5, yang
diperhitungkan sebagai angsuran pokok adalah sebanyak 3
kali (menunggak 2 kali) dan angsuran bunga sebanyak 2 kali
(menunggak 3 kali).
Huruf c
Yang dimaksud dengan Kredit tanpa angsuran adalah Kredit
dimana Debitur hanya membayar angsuran bunga,
sementara pembayaran kembali pokok kreditnya tidak diatur
secara bertahap dalam perjanjian Kredit, termasuk:
a. Kredit yang
pencairannya dapat dilakukan secara
bertahap atau sekaligus; dan
b. Debitur dapat membayar sebagian atau seluruh pokok
Kredit dan menarik dana kembali sepanjang fasilitas
Kredit masih tersedia dan belum jatuh tempo.
Pasal 4…
-5-
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tunggakan angsuran pokok adalah angsuran
pokok Kredit yang belum dibayar setelah tanggal jatuh waktu
pembayaran.
Yang dimaksud dengan tunggakan angsuran bunga adalah angsuran
bunga Kredit, baik Kredit dengan angsuran, maupun tanpa
angsuran yang belum dibayar setelah jatuh waktu pembayarannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan grace period dalam ayat ini adalah
tenggang waktu pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga.
Ayat (2) …
-6-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Yang dimaksud dengan usaha Debitur bangkrut adalah usaha Debitur yang
mengalami kesulitan keuangan yang berat sehingga yang bersangkutan
tidak dapat memenuhi kewajiban atau dinyatakan pailit sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Termasuk dalam pengertian pemberitahuan adalah pemberitahuan
yang dilakukan oleh Bank Indonesia kepada BPR dalam pertemuan
pembahasan hasil pemeriksaan (exit meeting).
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c…
-7-
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah jaminan uang
yang diperkirakan dapat diperoleh dari transaksi jual beli
atau hasil penukaran suatu aset pada tanggal penilaian
setelah dikurangi biaya-biaya transaksi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penilaian adalah taksiran dan pendapat oleh
penilai intern BPR atas nilai ekonomis dari agunan berdasarkan
analisis terhadap fakta-fakta obyektif dan relevan menurut metode
dan prinsip-prinsip yang berlaku umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
-8-
Ayat (2)
Termasuk dalam pengertian pemberitahuan adalah pemberitahuan
yang dilakukan oleh Bank Indonesia kepada BPR dalam pertemuan
pembahasan hasil pemeriksaan (exit meeting).
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Prosedur tertulis mengenai Restrukturisasi Kredit disetujui oleh
Direksi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21…
-9-
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Upaya penyelesaian antara lain dapat dilakukan dengan secara aktif
memasarkan dan menjual AYDA.
Ayat (3)
Dilakukan dengan mencatat pos ”beban non operasional” sebagai
rekening lawan AYDA.
Ayat (4)
Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi
mengenai upaya pemasaran dan penjualan AYDA.
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan net realizable value adalah nilai pasar
agunan dikurangi estimasi biaya yang dibutuhkan untuk menjual,
dengan nilai maksimum sebesar baki debet Kredit yang akan
diselesaikan dengan AYDA.
Ayat (2) …
-10-
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penilai independen adalah perusahaan
penilai yang:
a. tidak merupakan pihak terkait dengan BPR;
b. tidak merupakan kelompok peminjam dengan Debitur BPR;
c. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik profesi
dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh instansi yang
berwenang;
d. menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi
penilaian yang diterbitkan oleh institusi yang berwenang;
e. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk
beroperasi sebagai perusahaan penilai; dan
f. tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi
anggota yang berwenang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Prosedur tertulis mengenai AYDA, hapus buku dan hapus tagih
disetujui oleh Direksi.
Hapus buku adalah tindakan adminstratif BPR untuk menghapus
buku Kredit yang memiliki kualitas Macet dari neraca sebesar
kewajiban …
-11-
kewajiban Debitur tanpa menghapus hak tagih BPR kepada
Debitur.
Hapus tagih adalah tindakan BPR menghapus kewajiban Debitur
yang tidak dapat diselesaikan.
Kebijakan dan prosedur AYDA, hapus buku dan hapus tagih antara
lain memuat kriteria, persyaratan, limit, kewenangan dan tanggung
jawab serta tata cara hapus buku dan hapus tagih.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pelaksanaan hapus buku dilakukan terhadap seluruh penyediaan
dana yang diberikan dan diikat dalam satu perjanjian.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Hapus tagih dalam rangka Restrukturisasi Kredit dan penyelesaian
Kredit dimaksudkan untuk
Debitur.
Penyelesaian…
kepentingan transparansi kepada
-12-
Penyelesaian Kredit dapat dilakukan melalui pengambilalihan
agunan atau pelunasan oleh Debitur.
Pasal 27
Ayat (1)
Upaya yang dapat dilakukan antara lain dalam bentuk penagihan
kepada Debitur, Restrukturisasi Kredit, meminta pembayaran dari
pihak yang memberikan garansi atas Aktiva Produktif dimaksud,
dan penyelesaian Kredit melalui pengambilalihan agunan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
-13-
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4645
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/19/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DAN PEMBENTUKAN PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title>
<set_date> 5 Oktober 2006 </set_date>
<effective_date> 1 Desember 2006 </effective_date>
<replaced_reg> '26/22/KEP/DIR|SKDIR-BI/1993', '26/167/KEP/DIR|SKDIR-BI/1994' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/31/PBI/2016
TENTANG
PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS
PECAHAN 5.000 (LIMA RIBU)
TAHUN EMISI 2016
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis,
baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus
dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara
Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah
dalam kegiatan perekonomian nasional guna
mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia;
b. bahwa guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka
melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu
mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal
yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan
dalam kondisi yang layak edar;
c. bahwa untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank
- 2 -
Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan
keandalannya;
d. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Pecahan 5.000 (Lima
Ribu) Tahun Emisi 2016;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN
UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 5.000 (LIMA RIBU) TAHUN
EMISI 2016.
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 5.000
(lima ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang
sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- 3 -
Pasal 2
Macam uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciri tertentu.
Pasal 3
Harga uang Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp5.000,00 (lima ribu
rupiah).
Pasal 4
Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
terdapat pada bagian depan dan bagian belakang meliputi:
a. ciri umum; dan
b. ciri khusus.
Pasal 5
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf a, pada bagian depan terdapat:
a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”;
b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”;
c. sebutan pecahan dalam angka “5000” dan tulisan
“LIMA RIBU RUPIAH”;
d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta
tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri
Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan
“MENTERI KEUANGAN”;
e. tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”;
f. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Dr. K.H.
Idham Chalid beserta tulisan “Dr. K.H. IDHAM
CHALID”;
g. gambar ornamen batik; dan
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan cokelat;
- 4 -
b.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f;
c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan
“BI” dan angka “5” yang dapat dilihat dari sudut
pandang tertentu;
e. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan
(tactile);
f. gambar raster berupa tulisan “NKRI” yang tertulis
utuh dan/atau sebagian;
g. mikroteks yang memuat tulisan “BI5”, tulisan
“BI5000”, dan angka “5”, yang dapat dilihat dengan
bantuan kaca pembesar; dan
h. hasil cetak yang akan memendar apabila dilihat
dengan sinar ultraviolet berupa:
1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah
satunya berisi tulisan “BI”;
2. angka nominal “5000”;
3. ornamen batik; dan
4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 6
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf a, pada bagian belakang terdapat:
a. angka nominal “5000”;
b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi
3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka;
c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI LIMA
RIBU RUPIAH”;
d. tulisan tahun cetak “TC 2016”;
- 5 -
e. gambar utama yaitu tari gambyong beserta tulisan
“TARI GAMBYONG”, pemandangan alam Gunung
Bromo beserta tulisan “Gunung Bromo”, dan bunga
sedap malam;
f. tulisan “BANK INDONESIA”;
g. gambar ornamen batik;
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan
i.
tulisan “PERURI”.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan cokelat;
b. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
c. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka
“5000”;
d. mikroteks yang memuat tulisan “BI5000”, tulisan
“BANKINDONESIA5000”, dan angka “5000”, yang
dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan
e.
hasil cetak yang akan memendar apabila dilihat
dengan sinar ultraviolet berupa:
1. gambar bunga sedap malam;
2. gambar sebagian pemandangan alam Gunung
Bromo;
3. bidang persegi empat yang berisi tulisan “BI”;
4. bidang yang berisi rangkaian gambar belah
ketupat;
5. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan
6. nomor seri dengan bentuk asimetris yang
meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka.
(3) Angka dalam tulisan tahun cetak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d akan berubah sesuai dengan tahun
cetak.
- 6 -
Pasal 7
Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri
khusus sebagai berikut:
a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi:
1. terbuat dari serat kapas;
2. berwarna krem;
3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet;
4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar
Pahlawan Nasional Tjut Meutia; dan
5. terdapat benang pengaman yang memuat tulisan
“BANK INDONESIA” secara berulang, yang akan
memendar apabila dilihat dengan sinar ultraviolet;
dan
b. ukuran yaitu panjang 143 (seratus empat puluh tiga)
milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter.
Pasal 8
Uang Rupiah kertas pecahan 5.000 (lima ribu) tahun emisi
2001 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat
pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari
peredaran.
Pasal 9
Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai
berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016.
Pasal 10
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 7 -
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Oktober 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 215
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/31/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 5.000 (LIMA RIBU) TAHUN EMISI 2016 </reg_title>
<set_date> 26 Oktober 2016 </set_date>
<effective_date> 28 Oktober 2016 </effective_date>
<issued_date> 28 Oktober 2016 </issued_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 9/18/PBI/2007
TENTANG
PENCABUTAN ATAS
SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NO. 31/153/KEP/DIR
TANGGAL 20 NOVEMBER 1998 TENTANG KREDIT LIKUIDITAS
KEPADA PERUSAHAAN UMUM PEGADAIAN MELALUI PT. BANK
EKSPOR IMPOR INDONESIA (PERSERO),
SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NO. 31/154/KEP/DIR
TANGGAL 20 NOVEMBER 1998 TENTANG KREDIT LIKUIDITAS
KEPADA PERUSAHAAN UMUM PEGADAIAN MELALUI PT. BANK
BUMI DAYA (PERSERO), DAN
SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NO. 31/155/KEP/DIR
TANGGAL 20 NOVEMBER 1998 TENTANG KREDIT LIKUIDITAS
KEPADA PERUSAHAAN UMUM PEGADAIAN MELALUI PT. BANK
UMUM KOPERASI INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004, Bank Indonesia tidak dapat lagi
memberikan Kredit Likuiditas dalam rangka kredit
program, termasuk kredit likuiditas kepada
Perusahaan ....
- 2 -
Perusahaan Umum Pegadaian;
b. bahwa Kredit Likuiditas kepada Perusahaan Umum
Pegadaian telah jatuh tempo dan telah dilunasi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan b di atas, dipandang
perlu untuk melakukan pencabutan Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia No.31/153/KEP/DIR tanggal
20 November 1998 tentang Kredit Likuiditas
Kepada Perusahaan Umum Pegadaian Melalui
PT. Bank Ekspor Impor Indonesia (Persero), Surat
Keputusan Direksi Bank
Indonesia
No.31/154/KEP/DIR tanggal 20 November 1998
tentang Kredit Likuiditas Kepada Perusahaan Umum
Pegadaian Melalui PT. Bank Bumi Daya (Persero),
dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No.31/155/KEP/DIR tanggal 20 November 1998
tentang Kredit Likuiditas Kepada Perusahaan Umum
Pegadaian Melalui PT. Bank Umum Koperasi
Indonesia;
Mengingat :
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor....
- 3 -
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENCABUTAN ATAS SURAT KEPUTUSAN
DIREKSI BANK INDONESIA NO. 31/153/KEP/DIR
TANGGAL 20 NOVEMBER 1998 TENTANG
KREDIT LIKUIDITAS KEPADA PERUSAHAAN
UMUM PEGADAIAN MELALUI PT. BANK
EKSPOR IMPOR INDONESIA (PERSERO), SURAT
KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA
NO. 31/154/KEP/DIR TANGGAL 20 NOVEMBER
1998 TENTANG KREDIT LIKUIDITAS KEPADA
PERUSAHAAN UMUM PEGADAIAN MELALUI
PT. BANK BUMI DAYA (PERSERO), DAN SURAT
KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA
NO. 31/155/KEP/DIR TANGGAL 20 NOVEMBER
1998 TENTANG KREDIT LIKUIDITAS KEPADA
PERUSAHAAN UMUM PEGADAIAN MELALUI
PT. BANK UMUM KOPERASI INDONESIA.
Pasal 1
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/153/KEP/DIR tanggal 20
November 1998 tentang Kredit Likuiditas Kepada Perusahaan Umum Pegadaian
Melalui PT. Bank Ekspor Impor Indonesia (Persero), Surat Keputusan Direksi
Bank ....
- 4 -
Bank Indonesia No. 31/154/KEP/DIR tanggal 20 November 1998 tentang Kredit
Likuiditas Kepada Perusahaan Umum Pegadaian Melalui PT. Bank Bumi Daya
(Persero), dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/155/KEP/DIR
tanggal 20 November 1998 tentang Kredit Likuiditas Kepada Perusahaan Umum
Pegadaian Melalui PT. Bank Umum Koperasi Indonesia, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 2
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 17 Desember 2007
a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA,
MIRANDA S. GOELTOM
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 164
BKr
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 9/18/PBI/2007 </reg_id>
<reg_title> PENCABUTAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NO. 31/153/KEP/DIR TANGGAL 20 NOVEMBER 1998 TENTANG KREDIT LIKUIDITAS KEPADA PERUSAHAAN UMUM PEGADAIAN MELALUI PT. BANK EKSPOR IMPOR INDONESIA (PERSERO), SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NO. 31/154/KEP/DIR TANGGAL 20 NOVEMBER 1998 TENTANG KREDIT LIKUIDITAS KEPADA PERUSAHAAN UMUM PEGADAIAN MELALUI PT. BANK BUMI DAYA (PERSERO), DAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NO. 31/155/KEP/DIR TANGGAL 20 NOVEMBER 1998 TENTANG KREDIT LIKUIDITAS KEPADA PERUSAHAAN UMUM PEGADAIAN MELALUI PT. BANK UMUM KOPERASI INDONESIA </reg_title>
<set_date> 17 Desember 2007 </set_date>
<effective_date> 17 Desember 2007 </effective_date>
<replaced_reg> '31/153/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '31/154/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '31/155/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
Nomor: 8/2/PBI/2006
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA
BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam melaksanakan kegiatan usahanya, bank harus
mengelola risiko kredit dan meminimalkan potensi kerugian
yaitu dengan menjaga kualitas aktiva dan membentuk
penyisihan penghapusan aktiva yang memadai;
b.
bahwa dalam menjaga kualitas aktiva dan membentuk
penyisihan penghapusan aktiva yang memadai bank
melakukan penilaian terhadap kualitas aktiva dengan
pendekatan penetapan kualitas yang sama terhadap aktiva
produktif yang digunakan untuk membiayai satu debitur atau
satu proyek yang sama (uniform classification), baik yang
diberikan oleh 1 (satu) bank maupun lebih dari 1 (satu) bank;
c. bahwa sebagai akibat kondisi ekonomi saat ini dan dalam
rangka menjaga peran bank dalam melaksanakan fungsi
intermediasi
diperlukan langkah transisi dalam penerapan
uniform classification;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a sampai dengan huruf c, diperlukan perubahan
terhadap …
- 2 -
terhadap Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang
Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4471);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA
BANK UMUM.
Pasal I …
- 3 -
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005
tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4471) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Bank wajib menetapkan kualitas yang sama terhadap Aktiva Produktif
yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) debitur.
(2) Penetapan kualitas yang sama terhadap Aktiva Produktif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap Aktiva Produktif yang
digunakan untuk membiayai proyek yang sama.
(3) Dalam hal terdapat perbedaan penetapan kualitas terhadap Aktiva
Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kualitas
masing-masing Aktiva Produktif mengikuti kualitas Aktiva Produktif
yang paling rendah.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikecualikan
dalam hal Aktiva Produktif ditetapkan berdasarkan faktor penilaian yang
berbeda.
2. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Penetapan kualitas yang sama terhadap Aktiva Produktif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) berlaku pula terhadap
Aktiva …
- 4 -
Aktiva Produktif yang diberikan oleh lebih dari 1 (satu) Bank yang
digunakan untuk membiayai 1 (satu) debitur atau proyek yang sama.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk:
a. Aktiva Produktif yang diberikan oleh setiap Bank dengan jumlah
lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kepada
1 (satu) debitur atau proyek yang sama; dan/atau
b. Aktiva Produktif yang diberikan kepada 1 (satu) debitur atau
proyek yang sama berdasarkan perjanjian pembiayaan bersama.
(3) Dalam hal terdapat perbedaan penetapan kualitas terhadap Aktiva
Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kualitas
yang ditetapkan oleh setiap Bank terhadap Aktiva Produktif tersebut
mengikuti kualitas Aktiva Produktif yang paling rendah.
(4) Tidak termasuk dalam pengertian kualitas Aktiva Produktif yang paling
rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah:
a.
kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan dengan menggunakan
faktor penilaian tambahan berupa risiko negara (country risk)
Republik Indonesia; dan/atau
b. kualitas Aktiva Produktif yang telah dihapus tagih.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikecualikan
dalam hal Aktiva Produktif ditetapkan berdasarkan faktor penilaian yang
berbeda.
3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Bank wajib menyesuaikan penilaian kualitas Aktiva Produktif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 paling kurang setiap 3 (tiga) bulan
yaitu …
- 5 -
yaitu untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember.
(2) Bank wajib menyampaikan informasi dan penjelasan secara tertulis
kepada Bank Indonesia dalam hal terdapat perbedaan penetapan kualitas
Aktiva Produktif yang disebabkan oleh faktor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (4) huruf a.
(3) Informasi dan penjelasan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal
13 (tiga belas) setelah posisi kewajiban penyesuaian penilaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan alamat:
a.
Direktorat Pengawasan Bank terkait,
JL. MH. Thamrin No.2,
Jakarta 10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja
kantor pusat Bank Indonesia;
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat
di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
4. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Penetapan kualitas Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (2) huruf a dilakukan secara bertahap.
(2) Penahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan
klasifikasi debitur dan/atau batas jumlah (limit) Aktiva Produktif di
setiap Bank yang diberikan kepada 1 (satu) debitur atau proyek yang
sama.
(3) Penahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) akan diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal II …
- 6 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Januari 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 4
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
Nomor: 8/2/PBI/2006
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA
BANK UMUM
UMUM
Dalam rangka memelihara kelangsungan usahanya, bank perlu tetap
mengelola eksposur risiko kredit pada tingkat yang memadai sehingga dapat
meminimalkan potensi kerugian dari penyediaan dana. Berkaitan dengan hal
tersebut, manajemen risiko kredit, termasuk menjaga kualitas aktiva dan
pembentukan penyisihan penghapusan yang cukup, perlu dilakukan secara
efektif.
Secara umum, dalam penetapan kualitas aktiva produktif digunakan
pendekatan uniform classification untuk aktiva produktif yang digunakan untuk
membiayai 1 (satu) debitur atau 1 (satu) proyek, baik yang diberikan oleh
1 (satu) bank maupun lebih dari 1 (satu) bank. Dalam hal terdapat perbedaan,
maka kualitas yang digunakan mengikuti kualitas aktiva produktif yang paling
rendah.
Namun demikian, mengingat kondisi perekonomian yang mengalami
gejolak yang cukup berarti pada akhir-akhir ini dan juga untuk dapat
tetap menjaga peran bank dalam melaksanakan fungsi intermediasi, diperlukan
langkah transisi dalam penerapan uniform classification khususnya untuk aktiva
produktif …
- 2 -
produktif yang diberikan oleh lebih dari satu bank, yaitu dengan penahapan
pelaksanaan uniform classification. Penahapan tersebut dilakukan berdasarkan
klasifikasi debitur dan/atau batas jumlah (limit) aktiva produktif yang diberikan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 5
Ayat (1)
Debitur dalam ayat ini merupakan perseorangan atau
badan usaha yang merupakan entitas tersendiri yang
menghasilkan arus kas sebagai sumber dalam pembayaran
kembali Aktiva Produktif.
Ayat (2)
Termasuk dalam pengertian proyek yang sama antara lain
apabila:
a. terdapat keterkaitan rantai bisnis secara signifikan
dalam proses produksi yang dilakukan oleh beberapa
debitur. Keterkaitan dianggap signifikan antara lain
apabila proses produksi di suatu entitas tergantung
kepada proses produksi entitas lain, misalnya adanya
ketergantungan bahan baku dalam proses produksi.
b. kelangsungan arus kas suatu entitas akan terganggu
secara signifikan apabila arus kas entitas lain
mengalami gangguan.
Ayat (3) …
- 3 -
Ayat (3)
Contoh 1:
Bank B memberikan fasilitas Kredit investasi dan Kredit
modal kerja kepada debitur A. Hasil penilaian yang
dilakukan Bank B untuk masing-masing fasilitas tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Dalam Perhatian Khusus, untuk Kredit investasi; dan
b. Kurang Lancar, untuk Kredit modal kerja.
Karena Kredit digunakan untuk membiayai 1 (satu)
debitur, maka kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan
Bank B untuk Kredit yang diberikan kepada debitur A
mengikuti kualitas Aktiva Produktif yang paling rendah
yaitu Kurang Lancar.
Contoh 2:
Bank B memberikan fasilitas Kredit kepada debitur A dan
debitur C yang digunakan untuk membiayai proyek yang
sama yaitu proyek D. Sumber utama pengembalian
Kredit, baik oleh debitur A maupun debitur C berasal dari
arus kas yang akan diperoleh dari proyek D. Hasil
penilaian yang dilakukan Bank B untuk Kredit yang
diberikan kepada debitur A dan debitur C adalah sebagai
berikut:
a. Dalam Perhatian Khusus, untuk debitur A; dan
b. Kurang Lancar, untuk debitur C.
Karena Kredit digunakan untuk membiayai proyek yang
sama, maka kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan
Bank …
- 4 -
Bank B untuk Kredit yang diberikan kepada debitur A
dan debitur C mengikuti kualitas Aktiva Produktif yang
paling rendah yaitu Kurang Lancar.
Ayat (4)
Contoh:
Kualitas Kredit ditetapkan berdasarkan faktor penilaian
berupa prospek usaha, kinerja (performance) debitur dan
kemampuan membayar.
Sedangkan kualitas Surat Berharga yang
diakui
berdasarkan harga perolehan ditetapkan berdasarkan
faktor penilaian berupa peringkat, ketepatan pembayaran
kupon atau kewajiban lainnya yang sejenis dan saat jatuh
tempo.
Oleh karena terdapat perbedaan faktor penilaian untuk
penetapan kualitas Kredit dan Surat Berharga, maka
kualitas Kredit dan Surat Berharga dapat ditetapkan secara
berbeda meskipun untuk debitur atau proyek yang sama.
Angka 2
Pasal 6
Ayat (1)
Contoh 1:
Bank B dan Bank C memberikan fasilitas Kredit kepada
debitur A. Karena fasilitas diberikan kepada debitur yang
sama maka kualitas yang ditetapkan untuk fasilitas Kredit
tersebut, baik oleh Bank B maupun Bank C, wajib sama.
Contoh 2: …
- 5 -
Contoh 2:
Bank B dan Bank C masing-masing memberikan fasilitas
Kredit kepada debitur D dan debitur E yang digunakan
untuk membiayai proyek yang sama yaitu proyek A.
Karena fasilitas diberikan kepada proyek yang sama maka
kualitas yang ditetapkan untuk fasilitas Kredit tersebut,
baik kepada debitur D oleh Bank B maupun kepada
debitur E oleh Bank C, wajib sama.
Ayat (2)
Huruf a
Batas jumlah (limit) sebagaimana dimaksud dalam
pengaturan ini diperhitungkan terhadap seluruh
fasilitas yang diberikan kepada setiap debitur atau
proyek, baik untuk debitur
individual maupun
Kelompok Peminjam dalam hal Aktiva Produktif
digunakan untuk membiayai proyek yang sama.
Aktiva Produktif yang diberikan oleh suatu Bank
dengan jumlah lebih dari Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) kepada 1 (satu) debitur atau
proyek yang sama tidak dipengaruhi oleh kualitas
Aktiva Produktif yang diberikan oleh Bank lain
kepada debitur atau proyek yang sama dengan
jumlah sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah). Demikian pula sebaliknya.
Huruf b …
- 6 -
Huruf b
Termasuk dalam pengertian Aktiva Produktif yang
diberikan berdasarkan perjanjian pembiayaan
bersama adalah struktur pembiayaan seperti
sindikasi.
Dalam menetapkan kualitas yang sama terhadap
Aktiva Produktif yang diberikan berdasarkan
perjanjian pembiayaan
bersama tidak terdapat
batasan jumlah minimum. Dengan demikian, Aktiva
Produktif yang diberikan kepada 1 (satu) debitur
atau proyek yang sama
berdasarkan
perjanjian
pembiayaan bersama wajib ditetapkan kualitas yang
sama meskipun Aktiva Produktif yang diberikan
oleh setiap Bank kurang dari atau sama dengan
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Ayat (3)
Contoh:
Bank B dan Bank C memberikan fasilitas Kredit kepada
debitur A, dengan hasil penilaian pada masing-masing
Bank adalah sebagai berikut:
a. Dalam Perhatian Khusus, pada Bank B; dan
b. Kurang Lancar, pada Bank C
Karena Kredit digunakan untuk membiayai 1 (satu)
debitur, maka kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan
untuk Kredit kepada debitur A mengikuti kualitas Kredit
yang paling rendah yaitu Kurang Lancar.
Ayat (4) …
- 7 -
Ayat (4)
Huruf a
Hasil penilaian kualitas Aktiva Produktif yang lebih
rendah yang semata-mata disebabkan oleh
penggunaan faktor penilaian tambahan berupa risiko
negara (country risk) Republik Indonesia, tidak
mempengaruhi hasil penilaian kualitas Aktiva
Produktif yang diberikan kepada debitur atau proyek
yang sama di Bank lain yang ditetapkan dengan
faktor penilaian sebagaimana telah ditetapkan dalam
Peraturan Bank Indonesia yang berlaku tentang
Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. Namun,
dalam hal kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan
dengan faktor penilaian tambahan berupa risiko
negara (country risk) Republik Indonesia
memberikan hasil penilaian yang lebih baik
dibandingkan penilaian Aktiva Produktif yang
dinilai dengan faktor penilaian dalam Peraturan
Bank Indonesia yang berlaku tentang Penilaian
Kualitas Aktiva Bank Umum, maka kualitas Aktiva
Produktif tetap mengikuti kualitas yang paling
rendah yaitu kualitas yang ditetapkan berdasarkan
faktor penilaian dalam Peraturan Bank Indonesia
tersebut.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (5) …
- 8 -
Ayat (5)
Contoh:
Kualitas Kredit ditetapkan berdasarkan faktor penilaian
berupa prospek usaha, kinerja (performance) debitur dan
kemampuan membayar.
Sedangkan kualitas Surat Berharga yang
diakui
berdasarkan harga perolehan ditetapkan berdasarkan
faktor penilaian berupa peringkat, ketepatan pembayaran
kupon atau kewajiban lainnya yang sejenis dan saat jatuh
tempo.
Oleh karena terdapat perbedaan faktor penilaian untuk
penetapan kualitas Kredit dan Surat Berharga maka
kualitas Kredit dan Surat Berharga dapat ditetapkan secara
berbeda meskipun untuk debitur atau proyek yang sama.
Angka 3
Pasal 7
Ayat (1)
Dalam melakukan penyesuaian penilaian kualitas Aktiva
Produktif, Bank perlu menatausahakan secara khusus
perubahan kualitas Aktiva Produktif yang disebabkan oleh
mekanisme sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6.
Selanjutnya Bank secara aktif melakukan monitoring
untuk melihat perkembangan kualitas Aktiva Produktif
debitur atau proyek dimaksud di Bank lain.
Ayat (2) …
- 9 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal tanggal 13 (tiga belas) jatuh pada hari libur,
informasi dan penjelasan tertulis tersebut disampaikan
paling lambat pada hari kerja sebelumnya.
Angka 4
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan klasifikasi debitur antara lain
adalah 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank secara
individual.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4598
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/2/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 30 Januari 2006 </set_date>
<effective_date> 30 Januari 2006 </effective_date>
<changed_reg> '7/2/PBI/2005' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/2/PBI/2005', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 2/26/PBI/2000
TENTANG
FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa untuk meminimalkan risiko dalam sistem pembayaran di
Indonesia, khususnya risiko sistemik, yang dapat timbul
sebagai akibat dari kegagalan pembayaran antar bank dalam
sistem netting, perlu diterapkan sistem Real Time Gross
Settlement (RTGS);
b. bahwa sifat sistem RTGS mensyaratkan tersedianya likuiditas
bank dalam jumlah cukup setiap saat pada rekening gironya di
bank sentral untuk menghindarkan terjadinya kemacetan dalam
sistem pembayaran (gridlock) yang dapat membahayakan
stabilitas sistem keuangan;
c. bahwa untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya gridlock,
Bank Indonesia perlu menyediakan Fasilitas Likuiditas
Intrahari bagi bank peserta sistem Bank Indonesia-RTGS di
Indonesia;
d. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, dipandang
perlu untuk mengatur ketentuan mengenai Fasilitas
Intrahari Bagi Bank dalam Peraturan Bank Indonesia;
Likuiditas
Mengingat: …
-2-
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran
Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3843);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/20/PBI/2000 tentang
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3999);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS
LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang- …
-3-
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha
perbankan konvensional;
2. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya
disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana
elektronik antar bank dalam mata uang rupiah yang penyelesaiannya
dilakukan per transaksi secara individual;
3. Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang selanjutnya disebut dengan Bank
Peserta adalah Kantor Pusat Bank atau Kantor Cabang Bank di wilayah
Kliring Lokal Jakarta bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah
Kliring Lokal Jakarta dan Kantor Cabang Bank Asing di wilayah Kliring
Lokal Jakarta;
4. Kesulitan Pendanaan Jangka Sangat Pendek adalah keadaan yang dialami
oleh Bank Peserta selama jam operasional Sistem BI-RTGS karena nilai
transaksi keluar (outgoing transaction) melalui Sistem BI-RTGS pada saat
tertentu lebih besar dibandingkan dengan saldo rekening giro Rupiah Bank
Peserta di Bank Indonesia, yang disebabkan ketidaktepatan waktu transaksi
masuk (incoming transaction) atau yang disebabkan nilai transaksi masuk
(incoming transaction) pada saat tertentu lebih kecil daripada nilai transaksi
keluar (outgoing transaction);
5.
Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disebut FLI adalah fasilitas
pendanaan selama jam operasional Sistem BI-RTGS berupa suatu nilai
maksimum tertentu yang disediakan oleh Bank Indonesia untuk Bank
Peserta guna mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Sangat Pendek dalam
rangka mendukung kelancaran sistem pembayaran nasional;
6. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek yang selanjutnya disebut FPJP adalah
fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia kepada Bank sebagaimana diatur
dalam …
-4-
dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Fasilitas Pendanaan Jangka
Pendek Bagi Bank Umum;
7.
Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut dengan SBI adalah surat
berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek dan diperdagangkan
dengan sistem diskonto;
8. Obligasi Pemerintah adalah Surat Utang Negara Republik Indonesia dalam
mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia
dan dapat diperdagangkan;
9. Pasar Uang Antar Bank yang untuk selanjutnya disebut dengan PUAB
adalah kegiatan pinjam-meminjam dana antara satu Bank dengan Bank
lainnya.
BAB II
PERSYARATAN FLI
Pasal 2
Setiap Bank Peserta yang memperkirakan mengalami Kesulitan Pendanaan
Jangka Sangat Pendek dapat mengajukan permohonan FLI kepada Bank
Indonesia.
Pasal 3
(1) Bank Peserta yang mengajukan FLI wajib memenuhi persyaratan:
a. ketentuan kewajiban penyediaan modal minimum yang berlaku; dan
b. tingkat …
-5-
b. tingkat kesehatan Bank dalam waktu 3 (tiga) bulan terakhir berturut-
turut sekurang-kurangnya cukup sehat sebagaimana tercantum dalam
administrasi Bank Indonesia; dan
c. tidak sedang dikenakan sanksi penangguhan (suspend) sebagai Bank
Peserta; dan
d. tidak sedang dikenakan sanksi tidak dapat memperoleh FPJP.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan ayat (1)
huruf b mulai berlaku sejak 1 Januari 2002.
Pasal 4
Permohonan FLI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib dijamin dengan
agunan milik Bank berupa SBI dan/atau Obligasi Pemerintah yang memenuhi
persyaratan sebagai agunan FPJP sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum.
Pasal 5
(1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 yang diserahkan kepada
Bank Indonesia harus bebas dari segala bentuk perikatan, sengketa, dan
tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain dan/atau untuk fasilitas kredit
lainnya dari Bank Indonesia.
(2) Bank dilarang untuk memperjualbelikan dan/atau menjaminkan kembali
surat berharga yang masih berada dalam status sebagai agunan FLI kecuali
dalam rangka memperoleh FPJP.
(3) Bank …
-6-
(3) Bank wajib mengganti agunan FLI apabila agunan yang telah diserahkan
tidak memenuhi kondisi-kondisi sebagaimana diatur dalam ayat (1) dan
ayat (2).
Pasal 6
(1) Penetapan nilai maksimum FLI yang dapat diajukan oleh Bank Peserta
didasarkan atas perkiraan transaksi keluar (outgoing transaction) yang
menjadi kewajiban Bank Peserta.
(2) Kriteria penetapan nilai maksimum FLI sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 7
(1) Permohonan FLI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib diajukan
secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan disertai:
a. bukti kepemilikan SBI dan/atau Obligasi Pemerintah yang diagunkan;
dan
b. bukti perkiraan transaksi keluar (outgoing transaction) yang terbesar
pada hari penggunaan FLI; dan
c. Perjanjian Kredit Dalam Rangka Fasilitas Likuiditas Intrahari; dan
d. Akta Pengikatan Agunan Secara Gadai.
(2) Bank Indonesia menyetujui permohonan FLI yang diajukan oleh Bank
Peserta berdasarkan kecukupan nilai agunan FLI berupa SBI dan/atau
Obligasi Pemerintah dengan memperhatikan nilai maksimum FLI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 8 …
-7-
Pasal 8
(1) Dalam hal Bank Peserta menggunakan SBI sebagai agunan, maka nilai jual
SBI sekurang-kurangnya 100% (seratus per seratus) dari nilai FLI pada hari
pengajuan permohonan FLI.
(2) Dalam hal Bank Peserta menggunakan Obligasi Pemerintah sebagai
agunan, maka nilai pasar Obligasi Pemerintah sekurang-kurangnya 115%
(seratus lima belas per seratus) dari nilai FLI pada hari pengajuan
permohonan FLI.
(3) Besarnya persentase nilai agunan, perhitungan nilai jual SBI dan nilai pasar
Obligasi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
tunduk pada Peraturan Bank Indonesia tentang Fasilitas Pendanaan Jangka
Pendek Bagi Bank Umum.
Pasal 9
(1) Nilai FLI yang disetujui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2) merupakan nilai maksimum FLI yang dapat dipergunakan
oleh Bank Peserta selama jam operasional Sistem BI-RTGS pada hari
penggunaan FLI.
(2) Penggunaan FLI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
otomatis oleh Sistem BI-RTGS pada saat saldo rekening giro Rupiah Bank
Peserta di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk melakukan transaksi
keluar (outgoing transaction).
(3) Bank Indonesia dapat membatasi jenis-jenis
untuk menggunakan FLI.
transaksi yang diperkenankan
(4) Ketentuan …
-8-
(4) Ketentuan mengenai pembatasan jenis-jenis transaksi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) ditetapkan lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 10
(1) Bank Indonesia dapat mengenakan biaya bunga dan/atau biaya lainnya
kepada Bank Peserta atas penggunaan FLI.
(2) Ketentuan mengenai pengenaan dan besarnya biaya bunga dan/atau biaya
lainnya atas penggunaan FLI ditetapkan lebih lanjut dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
BAB III
PELUNASAN FLI
Pasal 11
(1) Pelunasan FLI dilakukan secara otomatis oleh Sistem BI-RTGS setiap
terdapat transaksi masuk (incoming transaction) yang mengkredit rekening
giro Rupiah Bank Peserta yang bersangkutan di Bank Indonesia sampai
dengan batas waktu pelunasan FLI.
(2) Batas waktu pelunasan FLI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 12
(1) Bank Peserta wajib melunasi FLI sampai dengan batas waktu pelunasan
FLI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
(2) Dalam …
-9-
(2) Dalam hal Bank Peserta tidak melunasi nilai FLI sampai dengan batas
waktu pelunasan FLI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2),
terhadap nilai FLI yang tidak dilunasi diberlakukan sebagai FPJP.
Pasal 13
Dalam hal FLI diberlakukan sebagai FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (2), maka:
a. Bank Peserta menundukkan diri pada ketentuan FPJP yang berlaku; dan
b. agunan FLI diberlakukan sebagai agunan FPJP.
Pasal 14
Dalam hal Bank Peserta tidak dapat melunasi FLI karena kegagalan Sistem BI-
RTGS, maka pelunasan FLI dilakukan secara otomatis oleh Sistem BI-RTGS
pada kesempatan pertama pada hari kerja berikutnya.
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 15
Dalam rangka pengawasan atas penggunaan FLI, Bank Indonesia dapat
melakukan pemeriksaan terhadap Bank Peserta.
BAB V …
-10-
BAB V
SANKSI
Pasal 16
Dalam hal Bank Peserta tidak memenuhi ketentuan agunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dan/atau mengajukan permohonan FLI
berdasarkan bukti perkiraan transaksi terbesar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf b yang tidak benar, maka Bank Peserta dimaksud
dikenakan sanksi berupa:
a.
penangguhan (suspend) sebagai Bank Peserta selama waktu tertentu; dan
b. kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah)
untuk setiap pelanggaran; dan
c.
sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal
52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian FLI diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 18 …
-11-
Pasal 18
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Desember 2000
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 232
-12-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2/26/PBI/2000
TENTANG
FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM
UMUM
Dalam kegiatan usaha, Bank sangat lazim mengalami kesulitan pendanaan
jangka pendek yang disebabkan ketidak-sesuaian pendanaan antara arus masuk
dan arus keluar (mismatch). Dengan berlakunya penyelesaian transaksi melalui
sistem Real Time Gross Settlement (RTGS) dimana transaksi pembayaran
diselesaikan satu demi satu secara seketika (real time), Bank sangat mungkin
mengalami kesulitan pendanaan dalam waktu yang sangat pendek. Kesulitan
pendanaan dimaksud sebagai akibat terjadi ketidaksesuaian antara waktu
dan/atau nilai transaksi yang dikirim (outgoing transaction) dengan transaksi
yang diterima (incoming transaction). Apabila kesulitan yang dialami oleh Bank
atau beberapa Bank tersebut tidak segera diatasi, dikhawatirkan dapat
menyebabkan kemacetan pembayaran (gridlock) yang dapat mengganggu
kelancaran sistem pembayaran yang pada akhirnya dapat menimbulkan
ketidakstabilan sistem keuangan secara keseluruhan.
Untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek, Bank dapat
mengupayakan dana yang berasal dari pasar uang antara lain dari Pasar Uang
Antar Bank (PUAB). Mengingat sumber dana dari PUAB untuk jangka sangat
pendek belum berkembang di Indonesia dan ketersediaan dana dikhawatirkan
tidak mencukupi kebutuhan, maka Bank Indonesia memandang perlu untuk
memberikan …
-13-
memberikan pendanaan untuk jangka waktu yang sangat pendek selama waktu
operasional Sistem RTGS dalam bentuk Fasilitas
Likuiditas
Intrahari
Bagi Bank Umum. FLI dimaksud wajib dilunasi oleh Bank pada akhir hari yang
sama.
Pemberian FLI ini sejalan dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia
untuk menjaga kelancaran sistem pembayaran sebagaimana ditetapkan dalam
pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Pemberian fasilitas tersebut wajib dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi
dan mudah dicairkan sebagaimana diamanatkan dalam pasal 11 Undang-Undang
yang sama.
Dalam hal pelunasan FLI tidak dapat dilakukan pada hari yang sama,
maka Bank dapat menggunakan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek yang bersifat
overnight sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
(FLI)
Pasal 4 …
-14-
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Terhadap agunan pengganti berlaku pula semua ketentuan tentang
agunan dalam peraturan ini.
Pasal 6
Ayat (1)
Penetapan nilai maksimum FLI oleh Bank Indonesia dimaksudkan
untuk meminimalkan kemungkinan pemberian FLI yang melebihi
kebutuhan Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
-15-
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Atas dasar nilai maksimum FLI yang sudah disetujui oleh Bank
Indonesia, pada saat saldo giro Rupiah Bank Peserta di Bank
Indonesia lebih kecil daripada outgoing transaction (terjadi mismatch)
maka secara otomatis sistem BI-RTGS akan memberikan FLI
sejumlah mismatch tersebut.
Ayat (3)
Pembatasan jenis transaksi dimaksudkan agar Bank Peserta tidak
mempergunakan FLI sebagai sumber dana antara lain untuk
pemenuhan kewajiban Bank Peserta kepada Bank Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 11 …
-16-
Pasal 11
Ayat (1)
Sepanjang Bank masih menggunakan sebagian atau seluruh FLI, maka
sistem BI-RTGS secara otomatis menggunakan dana yang masuk
(incoming transaction) untuk terlebih dahulu melunasi FLI. Proses
penggunaan dan pelunasan FLI berlangsung terus sampai dengan
batas waktu pelunasan FLI.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Yang dimaksud dengan kegagalan Sistem BI-RTGS adalah kegagalan
RTGS Central Computer (RCC) sehingga seluruh Bank Peserta dan/atau
Bank Indonesia tidak dapat mengirimkan transaksi dari terminal RTGS
(RT) ke RCC.
Gangguan pada salah satu atau beberapa RT dan/atau gangguan pada
jaringan RTGS yang mengakibatkan satu atau beberapa Bank Peserta tidak
dapat mengirimkan transaksi ke RCC, tidak dianggap sebagai kegagalan
Sistem BI-RTGS. Dalam hal terjadi gangguan dimaksud, Bank Peserta tetap
wajib melunasi FLI sesuai batas waktu yang ditetapkan.
Pasal 15 …
-17-
Pasal 15
Pemeriksaan terhadap Bank Peserta yang menerima FLI dapat dilakukan
pada periode diterimanya atau setelah jatuh waktu FLI.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4035
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/26/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 13 Desember 2000 </set_date>
<effective_date> 13 Desember 2000 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '2/20/PBI/2000', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/11/PBI/2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK
INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka mendukung kelancaran pencapaian tujuan
Bank Indonesia dalam mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah, diperlukan perluasan mengenai pihak ekstern yang
dapat membuka Rekening Giro di Bank Indonesia;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang
perlu untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening
Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern;
Mengingat : 1. Undang-undang
Nomor 7 Tahun
1992
tentang
Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3843);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang
Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan
Pihak Ekstern;
MEMUTUSKAN ...
- 2 -
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN
BANK
INDONESIA
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN
REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN
PIHAK EKSTERN.
Pasal I
Mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan
Pihak Ekstern sebagai berikut :
1.
Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 2
Pihak yang dapat membuka Rekening Giro di Bank Indonesia adalah :
a. Bank;
b. Instansi pemerintah;
c. Lembaga keuangan internasional;
d. Lembaga lain yang menurut Bank Indonesia dipandang perlu
untuk mempunyai Rekening Giro di Bank Indonesia.”
2. Diantara Pasal 4 dan 5 disisipkan satu pasal yakni Pasal 4A yang berbunyi
sebagai berikut :
“Pasal 4A
(1) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat pula membuka
Rekening Giro khusus.
(2) Persyaratan …
- 3 -
(2) Persyaratan dan tata cara pembukaan serta penarikan Rekening Giro
khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.”
3. Ketentuan Pasal 5 diubah dan ditambah satu ayat sehingga seluruhnya
berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 5
(1) Dalam hal permintaan pembukaan Rekening Giro sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Rekening Giro khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A ayat (1) disetujui, maka
Pemegang Rekening Giro dan Pemegang Rekening Giro khusus wajib
membuat Spesimen Tanda Tangan.
(2) Dalam hal terdapat persyaratan bahwa penarikan Rekening Giro
khusus wajib memperoleh persetujuan dari instansi tertentu, maka
pejabat
dari
Tangan.”
4. Ketentuan Pasal 13 ayat (2) diubah dan ditambah satu ayat, sehingga
seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 13
(1) Pemegang Rekening Giro dapat mensyaratkan bahwa setiap penarikan
Rekening Giro dengan menggunakan warkat pembukuan harus
ditandatangani oleh lebih dari 1 (satu) orang.
(2) Bank Indonesia tidak bertanggungjawab terhadap pemenuhan
persyaratan tambahan yang ditetapkan oleh Pemegang Rekening Giro
untuk pelaksanaan penarikan Rekening Giro.
(3) Ketentuan …
instansi
tersebut wajib membuat Spesimen Tanda
- 4 -
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku untuk
penarikan Rekening Giro khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4A.”
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 20 Juni 2001
GUBERNUR BANK INDONESIA,
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 79
DASP
- 5 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/11/PBI/2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO
ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 2
Huruf a
Bank yang dapat membuka Rekening Giro di Bank
Indonesia adalah tingkatan kantor pusat dan kantor
cabang. Dalam hal dilakukan sentralisasi Rekening
Giro Bank maka hanya kantor pusat Bank yang dapat
membuka Rekening Giro di Bank Indonesia. Khusus
bagi Bank yang menjalankan kegiatan sebagai bank
konvensional dan bank syariah, maka masing-masing
unit usaha konvensional dan unit usaha syariah dapat
membuka Rekening Giro baik Rekening Giro Rupiah
maupun Rekening Giro Valas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan instansi pemerintah meliputi
pemerintah pusat dan pemerintah daerah sepanjang
Rekening Giro yang bersangkutan digunakan untuk
menampung dan atau mengelola dana yang terkait
dengan ...
- 6 -
dengan pelaksanaan Anggaran Penerimaan dan
Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Penerimaan
dan Belanja Daerah (APBD).
Khusus untuk instansi pemerintah pusat terdiri dari
departemen dan lembaga pemerintah non departemen
serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dalam pengertian instansi pemerintah ini tidak
termasuk bendaharawan rutin dan bendaharawan
proyek.
Huruf c
Lembaga keuangan internasional sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan ini adalah lembaga-
lembaga yang tujuan pembentukannya untuk
meningkatkan kerjasama internasional di bidang
ekonomi dan atau keuangan dimana Pemerintah
Republik Indonesia atau Bank Indonesia menjadi
anggota didalamnya, atau lembaga keuangan tersebut
memberi bantuan keuangan kepada Pemerintah
Republik Indonesia atau Bank Indonesia, dan lembaga
tersebut mensyaratkan pembukaan rekening pada Bank
Indonesia.
Huruf d
Lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
ini dapat membuka Rekening Giro di Bank Indonesia
sepanjang :
1. Diperlukan dalam rangka transisi tugas Bank
Indonesia di bidang perbankan, dan di bidang
perkreditan ...
- 7 -
perkreditan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia;
2. Terkait dengan tugas Bank Indonesia dalam
bidang moneter, perbankan dan sistem
pembayaran.
Angka 2
Pasal 4 A
Ayat (1)
Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam ayat ini
antara lain berupa Escrow Account dan Blocked
Account. Escrow Account yaitu rekening yang dibuka
secara khusus untuk tujuan tertentu guna menampung
dana yang dipercayakan kepada Bank Indonesia
berdasarkan persyaratan tertentu sesuai dengan
perjanjian tertulis. Sedangkan yang dimaksud dengan
Blocked Account yaitu rekening yang karena suatu hal
untuk sementara diblokir dananya sehingga tidak dapat
ditarik/dicairkan sampai diperoleh keputusan yang
jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Angka 3
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Angka…
- 8 -
Angka 4
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini
antara lain adalah diperlukannya countersign dari
pihak lain yang ditunjuk oleh Pemegang Rekening
Giro atau yang ditetapkan oleh instansi lain yang
berwenang. Dalam hal ini Pemegang Rekening Giro
wajib mengupayakan pemenuhan persyaratan tersebut.
Bank Indonesia dibebaskan dari tanggung jawab atas
pelaksanaan penarikan yang tidak memenuhi
persyaratan yang ditetapkan oleh Pemegang Rekening
Giro maupun instansi lain yang berwenang tersebut.
Ayat (3)
Untuk Rekening Giro khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4A, persyaratan tambahan dalam
pelaksanaan penarikan Rekening Giro harus
disampaikan kepada Bank Indonesia pada saat
permohonan pembukaan rekening dimaksud. Selain
itu ketentuan penarikan Rekening Giro khusus tetap
tunduk pada persyaratan dalam Surat Edaran Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A
ayat (2).
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4108
DASP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 3/11/PBI/2001 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN </reg_title>
<set_date> 20 Juni 2001 </set_date>
<effective_date> 20 Juni 2001 </effective_date>
<changed_reg> '2/24/PBI/2000' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '2/24/PBI/2000', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/9/PBI/2016
TENTANG
PENGATURAN DAN PENGAWASAN SISTEM PEMBAYARAN DAN
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong terpeliharanya stabilitas
sistem keuangan dan stabilitas moneter, dibutuhkan
sistem pembayaran yang lancar, aman, efisien, dan andal
yang berkontribusi terhadap perekonomian, stabilitas
moneter, dan stabilitas sistem keuangan dengan
memperhatikan perluasan akses, perlindungan
konsumen, dan kepentingan nasional;
b. bahwa dalam rangka mendorong terpeliharanya stabilitas
sistem keuangan dan stabilitas moneter, juga dibutuhkan
pengelolaan uang Rupiah yang mampu memenuhi
kebutuhan uang Rupiah di masyarakat dalam jumlah
nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat
waktu, dan dalam kondisi yang layak edar serta aman
dari upaya pemalsuan di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan
aspek perlindungan konsumen dan kepentingan
nasional;
c. bahwa pelaksanaan kebijakan di bidang sistem
pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah, perlu
- 2 -
didukung oleh kegiatan layanan uang yang sehat dengan
tata kelola yang baik dan memenuhi peraturan
perundang-undangan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Pengaturan dan Pengawasan Sistem Pembayaran dan
Pengelolaan Uang Rupiah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer
Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5204);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGATURAN DAN
PENGAWASAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN
UANG RUPIAH.
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Sistem Pembayaran adalah sistem pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai Bank Indonesia.
2. Pengelolaan Uang Rupiah adalah suatu kegiatan yang
mencakup perencanaan, pencetakan, pengeluaran,
pengedaran, pencabutan, dan penarikan, serta
pemusnahan uang Rupiah yang dilakukan secara efektif,
efisien, transparan, dan akuntabel.
3. Kegiatan Layanan Uang adalah kegiatan usaha yang
menggunakan uang sebagai objek utama layanan.
Pasal 2
(1)
Bank Indonesia melakukan pengaturan dan
pengawasan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang
Rupiah.
(2)
Dalam rangka mendukung pengaturan dan
pengawasan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang
Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan
Kegiatan Layanan Uang.
(3)
Dalam melakukan pengaturan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan instansi
dan/atau otoritas lain yang berwenang.
Pasal 3
Pengaturan dan pengawasan Sistem Pembayaran dan
Pengelolaan Uang Rupiah yang didukung dengan pengaturan
dan pengawasan Kegiatan Layanan Uang, didasarkan pada
prinsip sebagai berikut:
a. tata kelola yang baik (good governance);
b. berorientasi pada manajemen risiko;
- 4 -
c. mengedepankan kepentingan nasional (national interest);
dan
d. memperhatikan peraturan perundang-undangan,
standar, dan praktik internasional.
BAB II
PENGATURAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN
UANG RUPIAH
Pasal 4
Pengaturan Sistem Pembayaran bertujuan untuk mendorong
penyelenggaraan Sistem Pembayaran yang lancar, aman,
efisien, dan andal dengan memperhatikan perluasan akses
dan perlindungan konsumen.
Pasal 5
(1)
Pengaturan Sistem Pembayaran mencakup antara lain:
a.
instrumen pembayaran;
b. kelembagaan;
c. mekanisme penyelenggaraan Sistem Pembayaran;
dan
d.
(2)
infrastruktur.
Pengaturan Sistem Pembayaran berlaku bagi setiap
pihak yang melakukan kegiatan Sistem Pembayaran di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 6
Pengaturan Pengelolaan Uang Rupiah bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan uang Rupiah di masyarakat dalam
jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat
waktu, dan dalam kondisi yang layak edar, serta aman dari
upaya pemalsuan dengan memperhatikan perlindungan
konsumen.
Pasal 7
Pengaturan Pengelolaan Uang Rupiah mencakup antara lain:
a. perencanaan;
- 5 -
b. pencetakan;
c. pengeluaran;
d. pengedaran;
e. pencabutan dan penarikan; dan
f. pemusnahan.
Pasal 8
Pengaturan Kegiatan Layanan Uang bertujuan untuk
mewujudkan terselenggaranya Kegiatan Layanan Uang yang
aman dan sehat dengan memperhatikan perlindungan
konsumen.
Pasal 9
Jenis Kegiatan Layanan Uang meliputi:
a. kegiatan penukaran valuta asing bukan bank;
b. penyelenggaraan jasa pengolahan uang Rupiah;
c. pembawaan uang kertas asing (UKA) ke dalam atau ke
luar daerah pabean Indonesia; dan
d. Kegiatan Layanan Uang lainnya yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
Pasal 10
Pengaturan Kegiatan Layanan Uang mencakup antara lain:
a. jasa yang disediakan;
b. penyelenggara;
c. mekanisme penyelenggaraan Kegiatan Layanan Uang;
dan
d. infrastruktur.
Pasal 11
Setiap pihak wajib mematuhi ketentuan Bank Indonesia di
bidang Sistem Pembayaran, Pengelolaan Uang Rupiah, dan
Kegiatan Layanan Uang.
- 6 -
BAB III
PENGAWASAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN
UANG RUPIAH
Pasal 12
(1)
Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Sistem Pembayaran, Pengelolaan
Uang Rupiah, dan Kegiatan Layanan Uang.
(2)
Pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
a. menilai kepatuhan
perundang-undangan di bidang
Pembayaran, Pengelolaan Uang Rupiah, dan
Kegiatan Layanan Uang;
b. memastikan penyelenggaraan Sistem Pembayaran
dilakukan secara lancar, aman, efisien, dan andal
dengan memperhatikan perluasan akses,
perlindungan konsumen, dan kepentingan
nasional serta mengacu pada peraturan
perundang-undangan;
c. memastikan penyelenggaraan Pengelolaan Uang
Rupiah oleh bank atau pihak lain yang ditunjuk
oleh Bank Indonesia dilaksanakan secara aman
dan akuntabel
terhadap peraturan
Sistem
dengan memperhatikan
perlindungan konsumen dan kepentingan
nasional, serta memenuhi peraturan perundang-
undangan dan kebijakan yang ditetapkan Bank
Indonesia; dan
d. memastikan Kegiatan Layanan Uang dilakukan
dengan tata kelola yang baik dengan mengacu
pada peraturan perundang-undangan.
Pasal 13
(1)
Objek pengawasan Bank Indonesia di bidang Sistem
Pembayaran antara lain mencakup:
a. penyelenggaraan Sistem Pembayaran oleh Bank
- 7 -
Indonesia;
b. kepesertaan Sistem Pembayaran Bank Indonesia;
c. penyelenggaraan
industri; dan
Sistem Pembayaran oleh
d. pihak-pihak yang bekerja sama dengan
penyelenggara jasa Sistem Pembayaran.
(2)
Objek pengawasan Bank Indonesia di bidang
Pengelolaan Uang Rupiah mencakup penyelenggaraan
Pengelolaan Uang Rupiah yang dilakukan oleh bank
atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
(3)
Objek pengawasan Bank Indonesia atas Kegiatan
Layanan Uang mencakup antara lain:
a. penyelenggaraan kegiatan usaha penukaran
valuta asing bukan bank;
b. penyelenggaraan jasa pengolahan uang Rupiah;
c. pembawaan uang kertas asing (UKA) ke dalam
atau ke luar daerah pabean Indonesia; dan
d. penyelenggaraan Kegiatan Layanan Uang lainnya
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 14
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
dilakukan melalui:
a. pengawasan tidak langsung; dan
b. pengawasan langsung.
Pasal 15
(1)
Dalam rangka pelaksanaan pengawasan tidak
langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf
a, setiap pihak yang menjadi objek pengawasan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
wajib menyampaikan dokumen, data, informasi,
laporan, keterangan, dan/atau penjelasan kepada
Bank Indonesia.
(2)
Setiap pihak wajib bertanggung jawab atas kebenaran
dokumen, data, informasi, laporan, keterangan,
dan/atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat
- 8 -
(1).
(3) Dokumen, data, informasi, laporan, keterangan,
dan/atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disampaikan melalui pelaporan, pertemuan
langsung, dan/atau sarana komunikasi lain yang
ditetapkan Bank Indonesia.
Pasal 16
(1)
Dalam rangka pelaksanaan pengawasan langsung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b, setiap
pihak yang menjadi objek pengawasan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib
memberikan kepada pengawas atau pihak lain yang
ditugaskan oleh Bank Indonesia antara lain:
a. dokumen, data, informasi, dan/atau laporan yang
diminta;
b. keterangan dan/atau penjelasan baik lisan
maupun tertulis; dan/atau
c. akses terhadap sistem informasi,
yang diperlukan dalam pengawasan langsung.
(2)
Setiap pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib bertanggung jawab atas kebenaran dokumen,
data, informasi, laporan, keterangan, dan/atau
penjelasan yang diberikan.
Pasal 17
(1)
Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk
melakukan pengawasan langsung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 huruf b.
(2)
Pihak yang ditugaskan melakukan pengawasan
langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menjaga kerahasiaan dokumen, data, informasi,
laporan, keterangan, dan/atau penjelasan yang
diperoleh dari hasil pengawasan langsung.
- 9 -
BAB IV
TINDAK LANJUT PENGAWASAN SISTEM PEMBAYARAN DAN
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
Pasal 18
(1)
Setiap pihak wajib melaksanakan tindak lanjut atas
hasil pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
(2)
Bank Indonesia melakukan monitoring dan evaluasi
terhadap tindak lanjut hasil pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3)
Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi
dan/atau rekomendasi hasil pengawasan kepada
otoritas lain, dalam hal terdapat hasil pengawasan
yang terkait dengan kewenangan otoritas lain.
BAB V
SANKSI
Pasal 19
Pihak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11, Pasal 15, Pasal 16, dan/atau Pasal 18 ayat (1)
dapat dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda atau sanksi kewajiban membayar;
c. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan
penyelenggaraan jasa Sistem Pembayaran;
d. perubahan status kepesertaan Sistem Pembayaran Bank
Indonesia; dan/atau
e. pencabutan izin penyelenggaraan jasa Sistem
Pembayaran, penyelenggara Pengelolaan Uang Rupiah,
dan/atau penyelenggara Kegiatan Layanan Uang.
Pasal 20
Pihak yang ditugaskan oleh Bank Indonesia untuk melakukan
pengawasan langsung yang melanggar ketentuan dalam Pasal
- 10 -
17 ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif antara lain
berupa:
a. teguran tertulis;
b. rekomendasi untuk dikeluarkan dari daftar profesi yang
memberikan jasa di sektor keuangan yang dikeluarkan
oleh instansi yang berwenang; dan/atau
c. rekomendasi pencabutan izin usaha kepada instansi
yang berwenang.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan dan pengawasan
Sistem Pembayaran, Pengelolaan Uang Rupiah, dan Kegiatan
Layanan Uang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Bank Indonesia.
Pasal 22
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 11 -
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Mei 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 Juni 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 106
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/9/PBI/2016
TENTANG
PENGATURAN DAN PENGAWASAN
SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH
I. UMUM
Dalam rangka mencapai tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan
memelihara kestabilan nilai Rupiah, dibutuhkan Sistem Pembayaran yang
lancar, aman, efisien, dan andal dengan memperhatikan perluasan akses,
perlindungan konsumen, dan kepentingan nasional.
Sistem Pembayaran yang lancar, aman, efisien, dan andal
merupakan prasyarat penting guna mewujudkan stabilitas sistem
keuangan dan stabilitas moneter. Stabilitas sistem keuangan dan
stabilitas moneter juga perlu didukung oleh Pengelolaan Uang Rupiah
yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel dengan memastikan
ketersediaan uang Rupiah dalam jumlah nominal yang cukup, jenis
pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar
serta aman dari upaya pemalsuan.
Dalam pelaksanaan kewenangan di bidang Sistem Pembayaran dan
Pengelolaan Uang Rupiah, Bank Indonesia telah menerbitkan ketentuan
dan melakukan pengawasan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang
Rupiah. Dalam rangka mendukung pengaturan dan pengawasan Sistem
Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah, Bank Indonesia juga
melakukan pengaturan dan pengawasan Kegiatan Layanan Uang.
- 2 -
Pengaturan dan pengawasan Sistem Pembayaran, Pengelolaan Uang
Rupiah, dan Kegiatan Layanan Uang tersebut didasarkan pada prinsip
tata kelola yang baik (good governance), berorientasi pada manajemen
risiko, mengedepankan kepentingan nasional (national interest), dan
memperhatikan peraturan perundang-undangan, standar, dan praktik
internasional.
Dalam rangka memberikan kejelasan mengenai ruang lingkup
pengaturan maupun pengawasan Sistem Pembayaran, Pengelolaan Uang
Rupiah, dan Kegiatan Layanan Uang, perlu disusun ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pengaturan dan pengawasan Sistem
Pembayaran, Pengelolaan Uang Rupiah, dan Kegiatan Layanan Uang yang
dapat menjadi acuan bagi seluruh pemangku kepentingan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Selain melakukan pengaturan dan pengawasan Sistem
Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah, Bank Indonesia
juga melakukan pengembangan, perizinan, dan pengenaan
sanksi terkait penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan
Pengelolaan Uang Rupiah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Koordinasi meliputi antara lain pertukaran data dan/atau
informasi antara Bank Indonesia dengan instansi dan/atau
otoritas lain yang berwenang.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Pengaturan instrumen pembayaran mencakup antara lain:
1.
atau
jenis dan karakteristik instrumen pembayaran yang
dapat diselenggarakan
diterbitkan oleh
penyelenggara jasa Sistem Pembayaran baik yang
berbasis kertas, kartu, media elektronik, maupun
media lainnya, antara lain cek, bilyet giro, cek pelawat
(traveller’s cheque), international money order, kartu
kredit, kartu Automated Teller Machine (ATM)/debit,
uang elektronik, dan instrumen sejenis lainnya;
2. standar instrumen pembayaran; dan
3.
jenis dan biaya layanan atas penggunaan instrumen
pembayaran.
Huruf b
Pengaturan kelembagaan mencakup antara lain:
1.
jenis dan kriteria lembaga yang dapat menjadi
penyelenggara jasa Sistem Pembayaran, yaitu:
a. penyelenggara
Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu (APMK) dan uang elektronik
yang berperan sebagai penerbit, acquirer,
prinsipal, penyelenggara penyelesaian akhir, dan
penyelenggara kliring;
b. penyelenggara transfer dana;
c. penyelenggara kliring;
d. penyelenggara penyelesaian akhir (settlement);
e. penyelenggara sarana pemroses transaksi
pembayaran; dan
f.
penyelenggara jasa Sistem Pembayaran lainnya
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
2. persyaratan perizinan calon penyelenggara jasa Sistem
Pembayaran;
3. kriteria dan persyaratan kepesertaan pada layanan
Sistem Pembayaran Bank Indonesia, antara lain
kepesertaan dalam Sistem Bank Indonesia-Real Time
- 4 -
Gross Settlement (BI-RTGS), Sistem Kliring Nasional
Bank Indonesia (SKNBI), dan Bank Indonesia-Scripless
Securities Settlement System (BI-SSSS);
4. pembatasan izin penyelenggaraan jasa Sistem
Pembayaran;
5.
ruang lingkup jasa Sistem Pembayaran yang dapat
diselenggarakan oleh penyelenggara jasa Sistem
Pembayaran; dan
6. bentuk dan persyaratan kerja sama penyelenggaraan
jasa Sistem Pembayaran baik domestik maupun lintas
negara (cross border payment system).
Huruf c
Pengaturan mekanisme penyelenggaraan Sistem
Pembayaran mencakup antara lain:
1. interoperabilitas antar penyelenggara;
2. mekanisme penyelenggaraan kliring dan setelmen
dana;
3. penetapan standar penyelenggaraan Sistem
Pembayaran termasuk standar sistem yang aman dan
andal;
4. setelmen dana dengan menggunakan rekening dana
yang ada di bank sentral;
5. penerapan manajemen risiko, perlindungan konsumen,
dan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme (APU PPT);
6. jenis dan biaya layanan jasa Sistem Pembayaran; dan
7. persyaratan dan tata cara pengajuan permohonan
fasilitas likuiditas dalam layanan Sistem Pembayaran
Bank Indonesia.
Huruf d
Pengaturan infrastruktur mencakup antara lain:
1.
jenis infrastruktur Sistem Pembayaran termasuk
karakteristiknya antara lain:
a. sarana pemroses transaksi pembayaran seperti:
1) Automated Teller Machine (ATM);
2) Electronic Data Capture (EDC);
3)
internet payment gateway; dan
- 5 -
4) electronic banking (seperti SMS banking,
mobile banking, dan internet banking); dan
b. infrastruktur Sistem Pembayaran Bank Indonesia
yang mencakup antara lain Sistem Bank
Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS),
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI),
dan Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System (BI-SSSS);
2. persyaratan penyelenggaraan infrastruktur; dan
3. standar infrastruktur.
Ayat (2)
Termasuk dalam pengertian “setiap pihak” adalah penyelenggara
Sistem Pembayaran yang berkedudukan di luar negeri yang
melakukan kerja sama dengan penyelenggara jasa Sistem
Pembayaran di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ruang lingkup pengaturan Pengelolaan Uang Rupiah adalah
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai Pengelolaan Uang Rupiah.
Termasuk dalam ruang lingkup pengaturan Pengelolaan Uang Rupiah
adalah pengaturan mengenai pencegahan dan penanggulangan
pemalsuan uang Rupiah.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Pengaturan jasa yang disediakan mencakup antara lain:
1. ruang lingkup kegiatan atau jasa yang dapat
- 6 -
diselenggarakan oleh penyelenggara Kegiatan Layanan
Uang; dan
2. bentuk dan persyaratan kerja sama penyelenggaraan
Kegiatan Layanan Uang dengan pihak lain.
Huruf b
Pengaturan penyelenggara mencakup antara lain:
1. persyaratan perizinan calon penyelenggara Kegiatan
Layanan Uang; dan
2. pembatasan izin penyelenggaraan Kegiatan Layanan Uang.
Huruf c
Pengaturan mekanisme penyelenggaraan Kegiatan Layanan
Uang mencakup antara lain:
1. tata kelola (governance);
2. penerapan prinsip kehati-hatian;
3. penerapan perlindungan konsumen; dan
4. penerapan anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme (APU PPT).
Huruf d
Pengaturan infrastruktur mencakup antara lain
jenis,
persyaratan, dan standar infrastruktur yang digunakan dalam
penyelenggaraan Kegiatan Layanan Uang.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Dalam kegiatan transfer dana, istilah “pengawasan” disebut
dengan istilah “pemantauan”.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penyelenggaraan Sistem
Pembayaran oleh Bank Indonesia” adalah Bank Indonesia
- 7 -
sebagai penyelenggara Sistem Pembayaran meliputi antara
lain Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-
RTGS), Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI),
dan Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System
(BI-SSSS).
Pelaksanaan pengawasan terhadap penyelenggara Sistem
Pembayaran oleh Bank Indonesia antara lain mengacu
kepada Principles for Financial Market Infrastructures (PFMI)
yang diterbitkan oleh Bank for International Settlement
(BIS)-Committee on Payment and Settlement Systems (CPSS)
dan Technical Committee of the International Organization of
Securities Commissions (IOSCO).
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kepesertaan Sistem Pembayaran
Bank Indonesia” adalah hal-hal yang meliputi antara lain
pemenuhan persyaratan dalam rangka memperoleh
persetujuan sebagai peserta serta hak dan kewajiban
peserta dalam penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia-Real
Time Gross Settlement (BI-RTGS), Sistem Kliring Nasional
Bank Indonesia (SKNBI), dan/atau Bank Indonesia-
Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS).
Huruf c
Yang dimaksud dengan “penyelenggaraan Sistem
Pembayaran oleh industri" adalah:
1) penyelenggara Alat Pembayaran dengan Menggunakan
Kartu (APMK) dan uang elektronik yang berperan
sebagai prinsipal, penerbit, acquirer, penyelenggara
kliring, dan penyelenggara penyelesaian akhir;
2) penyelenggara transfer dana;
3) penyelenggara kliring;
4) penyelenggara penyelesaian akhir (settlement); dan
5) penyelenggara jasa Sistem Pembayaran lainnya yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pihak-pihak yang bekerja sama
dengan penyelenggara jasa Sistem Pembayaran” antara lain
adalah
penyelenggara sarana pemroses transaksi
- 8 -
pembayaran seperti Automated Teller Machine (ATM),
Electronic Data Capture (EDC), dan electronic banking,
internet payment gateway, agen Layanan Keuangan Digital
(LKD), perusahaan switching, dan perusahaan personalisasi
kartu.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penyelenggaraan Pengelolaan Uang
Rupiah yang dilakukan oleh Bank” antara lain adalah
penyelenggaraan kas titipan dan/atau layanan penukaran uang.
Bank yang melakukan penyelenggaraan Pengelolaan Uang
Rupiah adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai perbankan dan bank
umum syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
yang mengatur mengenai perbankan syariah.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pembawaan uang kertas asing
(UKA) ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia”
adalah kegiatan pembawaan uang kertas asing
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai perizinan dan persyaratan
pembawaan uang kertas asing ke dalam atau ke luar
daerah pabean Indonesia.
huruf d
Cukup jelas.
Pasal 14
Huruf a
Pengawasan tidak langsung dilakukan antara lain melalui
monitoring, analisis, dan evaluasi dokumen, data, informasi,
laporan, keterangan, dan/atau penjelasan yang disampaikan
oleh penyelenggara jasa atau oleh sumber informasi lainnya.
- 9 -
Huruf b
Pengawasan langsung dilakukan melalui pemeriksaan kepada
penyelenggara jasa maupun pihak-pihak yang bekerja sama
dengan penyelenggara jasa secara berkala dan/atau sewaktu-
waktu.
Termasuk dalam pengawasan langsung adalah pemeriksaan
dokumen, sarana fisik, dan aplikasi yang digunakan oleh
penyelenggara jasa.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Dokumen, data, informasi, dan/atau laporan mencakup
antara lain kebijakan, peraturan internal, standard
operating procedures, data transaksi, dan risalah rapat
terkait penyelenggaraan jasa Sistem Pembayaran baik
dalam bentuk hardcopy, softcopy, atau bentuk lainnya.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “akses terhadap sistem informasi”
antara lain adalah akses terhadap aplikasi, database, dan
sistem pelaporan penyelenggara jasa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Termasuk dalam tindak lanjut atas hasil pengawasan antara lain
pelaksanaan komitmen perbaikan sesuai dengan hasil
pengawasan.
- 10 -
Ayat (2)
Monitoring dan evaluasi dimaksudkan untuk memastikan bahwa
seluruh komitmen atas hasil pengawasan Bank Indonesia telah
dilakukan dan diselesaikan sesuai tenggat waktu yang
ditetapkan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5885
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/9/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PENGATURAN DAN PENGAWASAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH </reg_title>
<set_date> 31 Mei 2016 </set_date>
<effective_date> 3 Juni 2016 </effective_date>
<issued_date> 3 Juni 2016 </issued_date>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '7/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/16/PBI/2006
TENTANG
KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan struktur perbankan Indonesia
yang sehat dan kuat diperlukan langkah-langkah konsolidasi
perbankan;
b. bahwa dalam rangka mendorong konsolidasi perbankan
perlu dilakukan penataan kembali struktur kepemilikan
perbankan melalui penerapan kebijakan kepemilikan tunggal
pada perbankan Indonesia;
c. bahwa disamping itu, kebijakan kepemilikan tunggal pada
perbankan Indonesia merupakan salah satu faktor penting
dalam mendukung efektivitas pengawasan bank;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu untuk mengatur
ketentuan tentang kepemilikan tunggal pada perbankan
Indonesia dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang
Nomor …
- 2 -
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN BANK INDONESIA
TENTANG
KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN
INDONESIA.
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tidak
termasuk kantor cabang bank asing.
2. Kepemilikan Tunggal adalah suatu kondisi dimana suatu pihak hanya
menjadi pemegang saham pengendali pada 1 (satu) Bank.
3. Pemegang …
- 3 -
3. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum dan atau perorangan dan
atau kelompok usaha yang:
a. memiliki saham Bank sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau
lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak
suara;
b. memiliki saham Bank kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus)
dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara
namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian Bank baik
secara langsung maupun tidak langsung.
4. Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) adalah
badan hukum yang dibentuk dan atau dimiliki oleh Pemegang Saham
Pengendali untuk mengkonsolidasikan dan mengendalikan secara langsung
seluruh aktivitas Bank-bank yang merupakan anak perusahaannya.
Pasal 2
(1) Setiap pihak hanya dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali pada
1 (satu) Bank.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi:
a. Pemegang Saham Pengendali pada 2 (dua) Bank yang masing-masing
melakukan kegiatan usaha dengan prinsip berbeda, yakni secara
konvensional dan berdasarkan prinsip Syariah;
b. Pemegang Saham Pengendali pada 2 (dua) bank yang salah satunya
merupakan Bank Campuran (Joint Venture Bank);
c. Bank Holding Company sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf c.
Pasal 3 …
- 4 -
Pasal 3
(1) Sejak mulai berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, pihak-pihak yang
telah menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih dari 1 (satu) Bank
wajib melakukan penyesuaian struktur kepemilikan sebagai berikut:
a. mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah
satu atau lebih Bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga
yang bersangkutan hanya menjadi Pemegang Saham Pengendali pada
1 (satu) Bank; atau
b. melakukan merger atau konsolidasi atas
dikendalikannya; atau
Bank-bank
yang
c. membentuk Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding
Company), dengan cara :
1) mendirikan badan hukum baru sebagai Bank Holding Company;
atau
2) menunjuk salah satu bank yang dikendalikannya sebagai Bank
Holding Company.
(2) Dalam hal setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pembelian saham Bank
lain dan mengakibatkan yang bersangkutan memenuhi kriteria sebagai
Pemegang Saham Pengendali Bank yang dibeli, maka yang bersangkutan
wajib melakukan merger atau konsolidasi
atas Bank dimaksud dengan
Bank yang telah dimiliki sebelumnya.
Pasal 4
(1) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali memilih untuk membentuk
Bank Holding Company sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf c …
- 5 -
huruf c, maka rencana pelaksanaan pembentukan Bank Holding Company
dan pengalihan saham dari Pemegang Saham Pengendali kepada Bank
Holding Company wajib disampaikan kepada Bank Indonesia dengan
melampirkan dokumen-dokumen pendukung.
(2) Bank Indonesia melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan (Fit and
Proper Test) terhadap calon pengurus Bank Holding Company sesuai
ketentuan yang berlaku.
(3) Proses pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan
dari ketentuan yang mengatur tentang Akuisisi Bank Umum dan Pembelian
Saham Bank Umum.
Pasal 5
(1) Bank Holding Company sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf c angka 1) harus merupakan badan hukum Perseroan Terbatas yang
didirikan di Indonesia dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia.
(2) Bank Holding Company sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf c angka 1) dilarang melakukan kegiatan usaha lain selain menjadi
pemegang saham Bank.
Pasal 6
(1) Bank Holding Company sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf c wajib memberikan arah strategis dan mengkonsolidasikan laporan
keuangan Bank-bank yang merupakan anak perusahaannya.
(2) Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap Bank
Holding Company sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai bagian tak
terpisahkan …
- 6 -
terpisahkan dari tugas pengaturan dan pengawasan Bank.
(3) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Bank Indonesia dapat meminta laporan dan melakukan pemeriksaan
terhadap Bank Holding Company baik secara berkala maupun sewaktu-
waktu apabila diperlukan.
Pasal 7
(1) Penyesuaian struktur kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
wajib dilakukan dalam jangka waktu paling lambat akhir Desember 2010.
(2) Berdasarkan permintaan Pemegang Saham Pengendali dan Bank-bank yang
dikendalikannya, Bank Indonesia dapat memberikan perpanjangan jangka
waktu penyesuaian struktur kepemilikan apabila menurut penilaian Bank
Indonesia kompleksitas permasalahan yang tinggi yang dihadapi Pemegang
Saham Pengendali dan atau Bank-Bank yang
dikendalikannya
menyebabkan penyesuaian struktur kepemilikan tidak dapat diselesaikan
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 8
(1)
Bank-bank
dengan Pemegang Saham Pengendali yang
sama wajib
menyusun rencana penyesuaian struktur kepemilikan dan menyampaikan
kepada Bank Indonesia paling lambat akhir Desember 2007.
(2) Rencana penyesuaian struktur kepemilikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memuat sekurang-kurangnya cara penyesuaian struktur kepemilikan
yang dipilih, rencana tindak dan jadwal waktu pelaksanaannya.
(3) Rencana penyesuaian struktur kepemilikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat disusun dan disampaikan oleh masing-masing Bank atau
bersama …
- 7 -
bersama-sama oleh beberapa Bank dengan Pemegang Saham Pengendali
yang sama dan wajib ditandatangani oleh Pemegang Saham Pengendali
yang bersangkutan serta diketahui oleh Direksi dan Dewan Komisaris
masing-masing Bank.
(4) Bank-bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan
perkembangan pelaksanaan penyesuaian struktur kepemilikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia setiap triwulan terhitung
sejak 1 Januari 2008.
Pasal 9
(1) Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang
tidak melakukan penyesuaian struktur kepemilikan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilarang melakukan pengendalian
dan dilarang memiliki saham dengan hak suara pada masing-masing Bank
lebih dari 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah saham Bank.
(2) Bank-bank dengan Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib:
a. mencatat kepemilikan saham dengan hak suara bagi yang bersangkutan
paling tinggi sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah saham
Bank;
b. memberikan hak suara bagi yang bersangkutan dalam Rapat Umum
Pemegang Saham paling tinggi sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari
jumlah saham Bank.
(3) Bank-bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menatausahakan
jumlah kelebihan saham di atas 10% (sepuluh perseratus) milik Pemegang
Saham Pengendali sebagai saham tanpa hak suara sampai dengan saham
dimaksud dialihkan kepada pihak lain.
Pasal 10 …
- 8 -
Pasal 10
Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
wajib mengalihkan saham tanpa hak suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (3) kepada pihak lain paling lambat 1 (satu) tahun setelah berakhirnya
jangka waktu penyesuaian struktur kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7.
Pasal 11
Saham tanpa hak suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) tidak
diperhitungkan dalam menentukan jumlah korum Rapat Umum Pemegang
Saham yang harus dicapai sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan atau
Anggaran Dasar.
Pasal 12
Bank yang melanggar ketentuan dalam Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) dikenakan
sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp500.000.000 (lima
ratus juta rupiah).
Pasal 13
(1) Pemegang Saham Pengendali yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 dikenakan sanksi administratif berupa larangan
menjadi Pemegang Saham Pengendali pada seluruh bank di Indonesia untuk
jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.
(2) Pengenaan …
- 9 -
(2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak
menghilangkan kewajiban Pemegang Saham Pengendali dimaksud untuk
tetap mengalihkan saham tanpa hak suara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10.
Pasal 14
Bank Holding Company yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (2) dikenakan
sanksi administratif berupa penilaian kemampuan dan kepatutan (Fit and Proper
Test) terhadap pengurus.
Pasal 15
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Oktober 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 73
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/16/PBI/2006
TENTANG
KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA
UMUM
Konsolidasi perbankan merupakan salah satu prasyarat untuk mewujudkan
struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat. Dengan konsolidasi perbankan
diharapkan terjadi peningkatan economic of scale dari bank-bank di Indonesia
dan peningkatan efektivitas pengawasan bank, khususnya melalui pengawasan
bank secara terkonsolidasi.
Langkah-langkah konsolidasi perbankan dilakukan antara lain melalui
penataan kembali struktur kepemilikan pada perbankan Indonesia, khususnya
melalui penerapan kebijakan kepemilikan tunggal (single presence policy).
Pada prinsipnya kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia
diberlakukan untuk kepemilikan saham Bank oleh Pemegang Saham Pengendali
yang diperoleh setelah berlakunya ketentuan ini. Namun demikian untuk
mendukung tercapainya tujuan dari kebijakan tersebut, maka Pemegang Saham
Pengendali Bank yang telah mengendalikan lebih dari 1 (satu) Bank Umum pada
saat mulai berlakunya ketentuan ini juga wajib melakukan penyesuaian struktur
kepemilikan sahamnya pada Bank-bank yang dikendalikannya.
Untuk …
- 2 -
Untuk melakukan penyesuaian struktur kepemilikan saham Bank
dimaksud Pemegang Saham Pengendali dapat memilih dari beberapa alternatif
cara penyesuaian yang disediakan oleh ketentuan ini. Beberapa alternatif cara
penyesuaian tersebut diberikan dengan mengacu pada tujuan kebijakan
kepemilikan tunggal, yakni konsolidasi perbankan dan peningkatan efektivitas
pengawasan bank, dengan tetap memperhatikan kepentingan para Pemegang
Saham Pengendali yang sudah menanamkan modalnya di perbankan Indonesia.
Penerapan kebijakan kepemilikan
tunggal,
termasuk
kewajiban
penyesuaian struktur kepemilikan bagi pemegang saham pengendali yang telah
mengendalikan lebih dari 1 (satu) bank, memberikan pengecualian bagi kantor
cabang bank asing dan bank campuran, mengingat Indonesia terikat pada
komitmen yang telah diberikan dalam perjanjian putaran Uruguay pada forum
World Trade Organization untuk tetap menghargai kehadiran pihak asing dalam
bentuk kantor cabang bank asing dan bank campuran (Joint Venture Bank).
Demikian juga pengecualian diberikan bagi Pemegang Saham Pengendali yang
mengendalikan 2 (dua) Bank yang masing-masing melakukan kegiatan usaha
dengan prinsip yang berbeda, yakni secara konvensional dan berdasarkan prinisp
Syariah, mengingat berdasarkan karakteristiknya, kedua jenis Bank dimaksud
lebih tepat melakukan kegiatan usaha sebagai badan usaha yang terpisah.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2 …
- 3 -
Pasal 2
Ayat (1)
Sesuai ketentuan Bank Indonesia tentang Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan (Fit and Proper Test), bagi Pemegang Saham Pengendali
yang merupakan badan hukum, pengertian Pemegang Saham
Pengendali adalah sampai dengan pemegang saham terakhir (ultimate
shareholder) dari badan hukum yang bersangkutan.
Sejalan dengan itu, pengertian mengenai telah melakukan
pengendalian baik secara langsung maupun tidak langsung juga
mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test).
Ayat (2)
Huruf a
Berdasarkan ketentuan
ini,
apabila Pemegang
Saham
Pengendali memiliki lebih dari 2 (dua) Bank dan diantaranya
terdapat beberapa Bank yang memiliki prinsip kegiatan usaha
yang sama, maka kepemilikan atas Bank-bank dengan prinsip
kegiatan usaha yang
sama tersebut tidak memperoleh
pengecualian.
Sebagai contoh: Pemegang Saham Pengendali yang telah
memiliki 1 (satu) Bank konvensional dan 1 (satu) Bank
berdasarkan Prinsip Syariah yang kemudian mengakuisisi Bank
berdasarkan Prinsip Syariah, maka Pemegang Saham
Pengendali tersebut wajib melakukan merger atau konsolidasi
atas kedua Bank berdasarkan Prinsip Syariah tersebut.
Huruf b …
- 4 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan Bank Campuran dalam ketentuan ini
adalah Bank yang didirikan dan dimiliki oleh bank yang
berkedudukan di luar negeri dan Bank di Indonesia yang telah
memperoleh izin usaha sebelum mulai berlakunya Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan pada saat
mulai berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini komposisi
pemegang saham masih tetap bank yang berkedudukan di luar
negeri dan Bank di Indonesia.
Sejalan dengan penjelasan dalam huruf a, apabila Pemegang
Saham Pengendali Bank Campuran memiliki lebih dari 1 (satu)
Bank lain bukan Bank Campuran, maka kepemilikan atas Bank-
bank
bukan Bank Campuran tersebut tidak memperoleh
pengecualian.
Sebagai contoh: Pemegang Saham Pengendali yang telah
memiliki 1 (satu) Bank Campuran dan 1 (satu) Bank lain bukan
Bank Campuran yang kemudian mengakuisisi Bank lain, maka
Pemegang Saham Pengendali tersebut wajib melakukan merger
atau konsolidasi atas kedua Bank yang bukan Bank Campuran
tersebut.
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 3 …
- 5 -
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Pihak lain sebagaimana dimaksud dalam ayat ini adalah pihak
di luar kelompok usaha dan atau keluarga sampai dengan
derajat kedua dari Pemegang Saham Pengendali.
Pengalihan sebagian atau seluruh saham Pemegang Saham
Pengendali kepada pihak
lain dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang mengatur tentang Akuisisi Bank Umum dan
Pembelian Saham Bank Umum.
Huruf b
Merger atau konsolidasi dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang mengatur tentang merger atau konsolidasi Bank Umum.
Huruf c
Dengan ketentuan ini maka Bank-bank yang dikendalikan oleh
Pemegang Saham Pengendali tersebut tetap ada sebagaimana
semula, namun saham yang semula dimiliki secara langsung
atau
tidak
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Dokumen pendukung
yang
Indonesia meliputi antara lain:
a. Berita …
wajib disampaikan kepada Bank
langsung
oleh
Pemegang Saham Pengendali
dialihkan kepemilikannya kepada Bank Holding Company.
- 6 -
a. Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham masing-masing
Bank;
b. Rancangan anggaran dasar dan daftar calon pengurus Bank
Holding Company;
c. Rancangan akta pengalihan saham Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 7 …
- 7 -
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Penyampaian rencana penyesuaian struktur kepemilikan dialamatkan
kepada Bank Indonesia c.q. Direktorat Pengawasan Bank terkait.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Penyampaian perkembangan pelaksanaan rencana penyesuaian
struktur kepemilikan
dialamatkan kepada
Direktorat Pengawasan Bank terkait.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam huruf ini tidak
mempengaruhi pencatatan akuntansi maupun permodalan Bank.
Huruf b …
Bank
Indonesia
c.q.
- 8 -
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Pihak lain sebagaimana dimaksud dalam ayat ini adalah pihak di luar
kelompok usaha dan atau keluarga sampai dengan derajat kedua dari
Pemegang Saham Pengendali yang bersangkutan.
Pengalihan saham dari Pemegang Saham Pengendali kepada pihak lain
dilakukan sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang Akuisisi Bank
Umum dan Pembelian Saham Bank Umum.
Pasal 11
Korum ditentukan berdasarkan jumlah saham dengan hak suara.
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Yang dimaksud dengan bank dalam Pasal ini adalah Bank Umum dan Bank
Perkreditan Rakyat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Pasal 14 …
- 9 -
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4642
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/16/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA </reg_title>
<set_date> 5 Oktober 2006 </set_date>
<effective_date> 5 Oktober 2006 </effective_date>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 12', 'Pasal 13', 'Pasal 14' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/ 8 /PBI/2014
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/12/PBI/2009 TENTANG
UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa ketentuan uang elektronik perlu diselaraskan
dengan ketentuan transfer dana;
b. bahwa untuk mendukung pertumbuhan industri
uang elektronik yang sehat
perlu adanya
peningkatan keamanan teknologi dan efisiensi
penyelenggaraan uang elektronik;
c. bahwa dalam rangka mendukung keuangan inklusif
diperlukan perluasan akses kepada masyarakat
untuk memperoleh layanan jasa sistem pembayaran
dan keuangan dengan meningkatkan penggunaan
uang elektronik sebagai salah satu instrumen dalam
layanan keuangan digital;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
melakukan perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang
Elektronik (Electronic Money);
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun …
- 2 -
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5204);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
11/12/PBI/2009 TENTANG UANG ELEKTRONIK
(ELECTRONIC MONEY).
Pasal I …
- 3 -
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 65, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5001) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perbankan, dan bank syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah.
2. Lembaga Selain Bank adalah badan usaha berbadan hukum
Indonesia bukan Bank.
3. Uang Elektronik (Electronic Money) adalah alat pembayaran yang
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu
kepada penerbit;
b. nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media
server atau chip;
c. digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang
bukan merupakan penerbit uang elektronik tersebut; dan
d. nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan
merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang yang mengatur mengenai perbankan.
4. Nilai Uang Elektronik adalah nilai uang yang disimpan secara
elektronik pada suatu media server atau chip yang dapat
dipindahkan untuk kepentingan transaksi pembayaran dan/atau
transfer dana.
5. Prinsipal adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang
bertanggungjawab atas pengelolaan sistem dan/atau jaringan
antar…
- 4 -
antar anggotanya yang berperan sebagai penerbit dan/atau
acquirer, dalam transaksi Uang Elektronik yang kerja sama
dengan anggotanya didasarkan atas suatu perjanjian tertulis.
6. Penerbit adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang
menerbitkan Uang Elektronik.
7. Acquirer adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang:
a. melakukan kerja sama dengan pedagang sehingga pedagang
mampu memproses transaksi dari Uang Elektronik yang
diterbitkan oleh pihak selain acquirer yang bersangkutan; dan
b. bertanggungjawab atas penyelesaian pembayaran kepada
pedagang.
8. Pemegang adalah pihak yang menggunakan Uang Elektronik.
9. Pedagang (merchant) adalah penjual barang dan/atau jasa yang
menerima transaksi pembayaran dari Pemegang.
10. Pengisian Ulang (top up) adalah penambahan Nilai Uang
Elektronik pada Uang Elektronik.
11. Dana Float adalah seluruh Nilai Uang Elektronik yang diterima
Penerbit atas hasil penerbitan Uang Elektronik dan/atau
Pengisian Ulang (top up) yang masih merupakan kewajiban
Penerbit kepada Pemegang dan Pedagang.
12. Tarik Tunai adalah fasilitas penarikan tunai atas Nilai Uang
Elektronik yang dapat dilakukan setiap saat oleh Pemegang.
13. Penyelenggara Kliring adalah Bank atau Lembaga Selain Bank
yang melakukan perhitungan hak dan kewajiban keuangan
masing-masing Penerbit dan/atau Acquirer dalam rangka
transaksi Uang Elektronik.
14. Penyelenggara Penyelesaian Akhir adalah Bank atau Lembaga
Selain Bank yang melakukan dan bertanggungjawab terhadap
penyelesaian akhir atas hak dan kewajiban keuangan masing-
masing Penerbit dan/atau Acquirer dalam rangka transaksi Uang
Elektronik berdasarkan hasil perhitungan dari Penyelenggara
Kliring.
15. Layanan Keuangan Digital yang selanjutnya disingkat LKD adalah
kegiatan layanan jasa sistem pembayaran dan keuangan yang
dilakukan …
- 5 -
dilakukan melalui kerja sama dengan pihak ketiga serta
menggunakan sarana dan perangkat teknologi berbasis mobile
maupun berbasis web dalam rangka keuangan inklusif.
16. Agen LKD adalah pihak ketiga yang bekerjasama dengan Penerbit
dan bertindak untuk dan atas nama Penerbit dalam memberikan
LKD.
2. Diantara Pasal 1 dan Pasal 2 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 1A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1A
(1) Berdasarkan pencatatan data identitas Pemegang, Uang
Elektronik dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
a. Uang Elektronik yang data identitas Pemegangnya terdaftar
dan tercatat pada Penerbit (registered); dan
b. Uang Elektronik yang data identitas Pemegangnya tidak
terdaftar dan tidak tercatat pada Penerbit (unregistered).
(2) Fasilitas yang dapat diberikan oleh Penerbit jenis Uang Elektronik
registered sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berupa:
a. registrasi Pemegang;
b. Pengisian Ulang (top up);
c. pembayaran transaksi;
d. pembayaran tagihan;
e. transfer dana;
f. Tarik Tunai;
g. penyaluran program bantuan pemerintah kepada masyarakat;
dan/atau
h. fasilitas lain berdasarkan persetujuan Bank Indonesia.
(3) Fasilitas yang dapat diberikan oleh Penerbit jenis Uang Elektronik
unregistered sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
berupa:
a. Pengisian Ulang (top up);
b. pembayaran transaksi;
c. pembayaran tagihan;
d. fasilitas …
- 6 -
d. fasilitas lain berdasarkan persetujuan Bank Indonesia.
3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Kegiatan sebagai Penerbit dapat dilakukan oleh Bank atau
Lembaga Selain Bank.
(2) Bank yang akan bertindak sebagai Penerbit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin sebagai Penerbit
dari Bank Indonesia.
(3) Lembaga Selain Bank yang akan bertindak sebagai Penerbit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin
sebagai Penerbit dari Bank Indonesia jika:
a. Dana Float yang dikelola telah mencapai nilai tertentu; atau
b. Dana Float direncanakan akan mencapai nilai tertentu.
(4) Dalam hal Lembaga Selain Bank sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) akan menyediakan fasilitas transfer dana melalui Uang
Elektronik yang diterbitkan maka Lembaga Selain Bank tersebut
wajib memenuhi persyaratan sebagai Penerbit Uang Elektronik
yang memiliki fasilitas transfer dana.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk
memperoleh izin sebagai Penerbit sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), termasuk ketentuan mengenai nilai
Dana Float sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
4. Diantara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 9A
dan Pasal 9B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9A
(1) Izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring,
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang diberikan oleh
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 berlaku
untuk jangka waktu selama 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang oleh Bank Indonesia.
(2) Selama …
- 7 -
(2) Selama berlakunya jangka waktu izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan evaluasi atas izin
penyelenggaraan Uang Elektronik yang telah diberikan dengan
mempertimbangkan paling kurang:
a. tingkat optimalisasi dan perkembangan kegiatan
penyelenggaraan Uang Elektronik;
b. tingkat kepatuhan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir terhadap
ketentuan yang berlaku; dan/atau
c. aspek perlindungan konsumen.
(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar
pertimbangan bagi Bank Indonesia untuk menetapkan kebijakan
terkait izin yang telah diberikan.
(4) Kebijakan terhadap izin yang diberikan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa:
a. pencabutan izin;
b. mempersingkat masa berlaku izin; dan/atau
c. membatasi kegiatan penyelenggaraan Uang Elektronik.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
perpanjangan izin,
serta
tata cara evaluasi perizinan
penyelenggaraan Uang Elektronik diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 9B
(1) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan pembatasan
pemberian izin
sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir.
(2) Dalam rangka kebijakan pembatasan pemberian izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia berwenang menutup dan
membuka kembali pemberian izin sebagai Prinsipal, Penerbit,
Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir.
(3) Kebijakan …
- 8 -
(3) Kebijakan pembatasan dan pembukaan kembali pemberian izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada
pertimbangan antara lain menjaga efisiensi nasional, mendukung
kebijakan nasional, menjaga kepentingan publik, menjaga
pertumbuhan industri, dan menjaga persaingan usaha yang
sehat.
5. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang telah memperoleh izin
dari Bank Indonesia hanya dapat bekerjasama dengan Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir yang telah memperoleh izin dari Bank
Indonesia.
(2) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir dapat bekerjasama dengan
pihak lain dalam rangka penyelenggaraan kegiatan Uang
Elektronik.
(3) Terhadap kerja sama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) yang dilakukan dalam rangka penyediaan layanan
umum, dilarang dilakukan secara eksklusif.
6. Diantara Pasal 11 dan Pasal 12 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal
11A dan Pasal 11B, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11A
(1) Kerja sama Penerbit dengan pihak lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2) dapat dilakukan dalam rangka:
a. penyediaan fasilitas dalam Uang Elektronik berupa:
1. fasilitator registrasi Pemegang;
2. Pengisian Ulang (top up);
3. pembayaran tagihan;
4. Tarik Tunai;
5. penyaluran …
- 9 -
5. penyaluran program bantuan pemerintah kepada
masyarakat; dan
6. fasilitas lain berdasarkan persetujuan Bank Indonesia.
b. penyediaan sarana dan infrastruktur pendukung
penyelenggaraan Uang Elektronik.
(2) Pihak lain yang bekerjasama dengan Penerbit dalam rangka
penyediaan fasilitas Uang Elektronik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a berupa:
a. penyelenggara transfer dana; atau
b. badan usaha berbadan hukum Indonesia.
(3) Penyelenggara transfer dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a wajib memenuhi persyaratan paling kurang sebagai
berikut:
a. telah memperoleh izin dari Bank Indonesia;
b. menempatkan deposit pada Penerbit dengan jumlah sesuai
yang ditetapkan Penerbit; dan
c. lulus proses uji tuntas (due diligence) oleh Penerbit.
(4) Badan usaha berbadan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b wajib memenuhi persyaratan paling kurang
sebagai berikut:
a. memiliki kemampuan, reputasi, dan integritas di wilayah
operasionalnya;
b. telah melaksanakan kegiatan usaha paling kurang selama 2
(dua) tahun;
c. menempatkan deposit pada Penerbit dengan jumlah sesuai
yang ditetapkan Penerbit; dan
d. lulus proses uji tuntas (due diligence) oleh Penerbit.
(5) Penerbit wajib memastikan pemenuhan persyaratan pihak lain
yang bekerjasama dengan Penerbit sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan ayat (4).
(6) Pelaksanaan kerja sama Penerbit dengan pihak lain wajib
dilaporkan kepada Bank Indonesia.
(7) Ketentuan …
- 10 -
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme kerja sama Penerbit
dengan pihak lain dan tata cara penyampaian laporan kepada
Bank Indonesia diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 11B
Dalam hal Penerbit bekerjasama dengan pihak lain untuk melakukan
registrasi Pemegang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (1)
huruf a angka 1, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. persetujuan registrasi Pemegang tetap menjadi wewenang dan
tanggung jawab Penerbit; dan
b. Penerbit dan pihak lain yang bekerjasama dengan Penerbit harus
menerapkan prinsip-prinsip anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme, serta perlindungan konsumen sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Diantara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal
12A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12A
(1) Penerbit dapat mengenakan biaya layanan fasilitas Uang
Elektronik kepada Pemegang.
(2) Biaya layanan yang dapat dikenakan oleh Penerbit kepada
Pemegang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. biaya penggantian media Uang Elektronik untuk penggunaan
pertama kali atau penggantian media Uang Elektronik yang
rusak atau hilang;
b. biaya Pengisian Ulang (top up) melalui pihak lain yang
bekerjasama dengan Penerbit atau menggunakan delivery
channel pihak lain;
c. biaya Tarik Tunai melalui pihak lain yang bekerjasama
dengan Penerbit atau menggunakan delivery channel pihak
lain; dan/atau
d. biaya administrasi untuk Uang Elektronik yang tidak
digunakan dalam jangka waktu tertentu.
(3) Dalam …
- 11 -
(3) Dalam hal Penerbit akan mengenakan biaya layanan kepada
Pemegang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
Penerbit wajib menginformasikan secara jelas dan transparan
kepada Pemegang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pengenaan biaya
layanan dan besarnya biaya layanan maksimum yang dapat
dikenakan oleh Penerbit kepada Pemegang diatur dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
8. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Penerbit dilarang menerbitkan Uang Elektronik dengan Nilai Uang
Elektronik yang lebih besar atau lebih kecil daripada nilai uang
yang disetorkan kepada Penerbit.
(2) Dalam hal Penerbit melakukan pengelolaan Nilai Uang Elektronik
dan pengelolaan nilai yang setara dengan nilai uang, berlaku
ketentuan:
a. pencatatan dan/atau pengelolaan Nilai Uang Elektronik harus
dipisahkan dari pencatatan dan/atau pengelolaan nilai yang
setara dengan nilai uang lainnya; dan
b. nilai yang setara dengan nilai uang tidak dapat dikonversikan
menjadi Nilai Uang Elektronik.
9. Diantara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal
13A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13A
(1) Nilai uang yang disetorkan ke dalam Uang Elektronik harus dapat
digunakan atau ditransaksikan seluruhnya sampai bersaldo nihil.
(2) Penerbit Uang Elektronik dilarang:
a. menetapkan minimum Nilai Uang Elektronik sebagai:
1. persyaratan penggunaan Uang Elektronik; dan/atau
2. persyaratan pengakhiran penggunaan Uang Elektronik
(redeem);
b. menahan …
- 12 -
b. menahan atau memblokir Nilai Uang Elektronik secara
sepihak; dan/atau
c. mengenakan biaya pengakhiran penggunaan Uang Elektronik
(redeem).
10. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Uang Elektronik yang dapat menyediakan fasilitas transfer dana
adalah Uang Elektronik registered dan diproses secara online.
(2) Penerbit yang menyediakan fasilitas transfer dana melalui Uang
Elektronik wajib menyediakan fasilitas Tarik Tunai.
(3) Dalam rangka penyediaan fasilitas Tarik Tunai sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Penerbit dapat bekerjasama dengan
tempat penguangan tunai sebagaimana diatur dalam ketentuan
mengenai transfer dana.
(4) Pelaksanaan kegiatan transfer dana melalui Uang Elektronik
selain tunduk pada Peraturan Bank Indonesia ini wajib pula
tunduk pada peraturan perundang-undangan terkait yang
berlaku.
11. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
(1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib:
a. menggunakan sistem yang aman dan andal;
b. memelihara, meningkatkan keamanan teknologi Uang
Elektronik, dan/atau mengganti infrastruktur dan sistem
Uang Elektronik dengan yang lebih aman;
c. memiliki kebijakan dan prosedur tertulis (standard operating
procedure) penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik; dan
d. menjaga keamanan dan kerahasiaan data.
(2) Dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring,
dan/atau …
- 13 -
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib melaksanakan
audit teknologi informasi secara berkala dan melaporkan hasil
audit teknologi informasi tersebut kepada Bank Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keamanan teknologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan audit dan tata
cara pelaporan hasil audit teknologi informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
12. Di antara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal
24A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24A
(1) Bank Indonesia berwenang meminta laporan kepada:
a. penyelenggara Uang Elektronik yang belum memperoleh izin
Bank Indonesia; dan
b. penyelenggara alat pembayaran non tunai yang berupa stored
value.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
13. Diantara Bab VI dan Bab VII disisipkan 1 (satu) Bab, yakni Bab VIA
sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB VIA
PENYELENGGARAAN LAYANAN KEUANGAN DIGITAL
Bagian Kesatu
Penyelenggaraan
Pasal 24B
(1) Penerbit dapat menyelenggarakan LKD.
(2) Penyelenggaraan LKD oleh Penerbit dilakukan melalui kerja sama
dengan Agen LKD.
Pasal 24C …
- 14 -
Pasal 24C
Agen LKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24B ayat (2) dapat
berupa:
a. penyelenggara transfer dana atau badan usaha berbadan hukum
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (2);
dan/atau
b. individu.
Bagian Kedua
Persyaratan Penyelenggara LKD melalui Agen LKD Individu
Pasal 24D
(1) Penyelenggaraan LKD melalui Agen LKD individu hanya dapat
dilakukan oleh Penerbit berupa Bank.
(2) Penerbit berupa Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berbadan hukum Indonesia;
b. kategori Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4
sesuai penilaian periode terakhir oleh otoritas pengawasan
Bank;
c. telah menjadi Penerbit paling singkat selama 2 (dua) tahun;
dan
d. memenuhi persyaratan operasional yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
(3) Penerbit berupa Bank yang akan menyelenggarakan LKD melalui
Agen LKD individu wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia
rencana penyelenggaraan kegiatan LKD melalui Agen LKD
individu.
(4) Bank Indonesia memberikan penegasan terhadap rencana
penyelenggaraan kegiatan LKD melalui Agen LKD individu yang
disampaikan oleh Penerbit berupa Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
(5) Penegasan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) diberikan setelah mendapat pertimbangan dari otoritas
pengawasan Bank.
(6) Ketentuan …
- 15 -
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, penyampaian
rencana penyelenggaraan LKD melalui Agen LKD individu, dan
penegasan Bank Indonesia diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Bagian Ketiga
Agen LKD Individu
Pasal 24E
(1) Agen LKD individu harus memenuhi persyaratan paling kurang
sebagai berikut:
a. memiliki kemampuan, reputasi, dan integritas di wilayah
operasionalnya;
b. memiliki usaha yang sedang berjalan dengan lokasi usaha
tetap paling singkat 2 (dua) tahun;
c. lulus proses uji tuntas (due diligence) oleh Penerbit berupa
Bank; dan
d. menempatkan deposit dengan jumlah sesuai yang ditetapkan
Penerbit berupa Bank.
(2) Uang Elektronik yang dapat digunakan dalam penyelenggaraan
LKD melalui Agen LKD individu adalah Uang Elektronik registered
dan diproses secara online.
(3) Layanan yang dapat dilakukan oleh Agen LKD individu meliputi:
a. fasilitator registrasi Pemegang;
b. Pengisian Ulang (top up);
c. pembayaran tagihan;
d. Tarik Tunai;
e. penyaluran program bantuan pemerintah kepada masyarakat;
dan
f. fasilitas lain berdasarkan persetujuan Bank Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan Agen LKD individu
dan layanan yang dapat dilakukan oleh Agen LKD individu diatur
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian …
- 16 -
Bagian Keempat
Kewajiban dan Tanggung Jawab Penyelenggara LKD
Pasal 24F
(1) Penerbit yang akan menyelenggarakan LKD melalui Agen LKD
harus menyampaikan kepada Bank Indonesia rencana
penyelenggaraan kegiatan LKD melalui Agen LKD.
(2) Penerbit wajib bertanggungjawab atas seluruh kegiatan yang
dilakukan oleh Agen LKD.
(3) Penerbit wajib memastikan pemenuhan persyaratan Agen LKD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (3), Pasal 11A ayat
(4), dan Pasal 24E ayat (1).
Pasal 24G
(1) Penerbit yang bekerjasama dengan Agen LKD wajib
menyampaikan laporan mengenai kegiatan LKD kepada Bank
Indonesia secara berkala.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
14. Diantara Pasal 25 dan Pasal 26 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal
25A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25A
Bank atau Lembaga Selain Bank yang mengajukan permohonan
kepada Bank Indonesia untuk memperoleh izin sebagai Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir harus terlebih dahulu memperoleh:
a. izin atau persetujuan dari otoritas pengawas Bank bagi Bank; atau
b. rekomendasi tertulis dari otoritas pengawas Lembaga Selain Bank
bagi Lembaga Selain Bank.
15. Ketentuan …
- 17 -
15. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33
(1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang melanggar ketentuan
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 11A, Pasal 11B,
Pasal 12, Pasal 12A ayat (3), Pasal 13, Pasal 13A, Pasal 14, Pasal
15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 24,
Pasal 24D, Pasal 24F, Pasal 24G, Pasal 29, dan/atau Pasal 50
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran;
b. denda;
c. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan Uang
Elektronik; dan/atau
d. pencabutan izin penyelenggaraan Uang Elektronik.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi dan
besarnya denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
16. Pasal 34 dihapus.
17. Pasal 35 dihapus.
18. Pasal 36 dihapus.
19. Pasal 37 dihapus.
20. Pasal 38 dihapus.
21. Pasal 40 dihapus.
22. Pasal 41 dihapus.
23. Pasal 42 dihapus.
24. Pasal …
- 18 -
24. Pasal 43 dihapus.
25. Pasal 44 dihapus.
26. Pasal 45 dihapus.
27. Pasal 46 dihapus.
28. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 47
(1) Selain dalam rangka penerapan sanksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33, Bank Indonesia berwenang:
a. meminta Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring,
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir untuk melakukan
dan/atau tidak melakukan kegiatan tertentu;
b. menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir;
c. membatalkan izin yang telah diberikan sebagai Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir; atau
d. mencabut izin Uang Elektronik yang telah diberikan sebagai
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir.
(2) Pelaksanaan kewenangan Bank Indonesia untuk melaksanakan
hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada
kondisi antara lain:
a. hasil pengawasan Bank Indonesia yang menunjukkan bahwa
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau
Penyelenggara
Penyelesaian Akhir
tidak dapat
menyelenggarakan Uang Elektronik dengan baik;
b. hasil evaluasi atas izin penyelenggaraan Uang Elektronik yang
telah diberikan kepada Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara …
- 19 -
Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9A;
c. terdapat permintaan pihak yang berwajib kepada Bank
Indonesia untuk menghentikan sementara kegiatan Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dalam rangka mendukung
proses hukum yang berlaku;
d. terdapat rekomendasi dari otoritas pengawas yang berwenang
kepada Bank Indonesia untuk menghentikan sementara
kegiatan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring,
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir;
e. otoritas pengawas yang berwenang telah mencabut izin usaha
dan/atau menghentikan kegiatan usaha Bank atau Lembaga
Selain Bank yang melakukan kegiatan sebagai Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir; atau
f. adanya permohonan pembatalan dan/atau pencabutan izin
yang diajukan sendiri oleh Bank atau Lembaga Selain Bank
yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia.
(3) Dalam rangka memastikan kebenaran laporan yang disampaikan
dan memastikan pemenuhan ketentuan penyelenggaraan Uang
Elektronik oleh Penerbit yang menyelenggarakan kegiatan LKD,
Bank Indonesia dapat meminta laporan, keterangan, dan/atau
data, termasuk melakukan pemeriksaan langsung (on site visit)
terhadap Agen LKD.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
kewenangan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (3) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal II …
- 20 -
Pasal II
1. Permohonan izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang diajukan
sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tunduk pada
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang
Elektronik (Electronic Money) dan Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 11/11/DASP tanggal 13 April 2009 perihal Uang Elektronik
(Electronic Money).
2. Izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring,
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang telah diberikan
sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, tetap berlaku
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
3. Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang telah bekerjasama dengan
pihak lain dalam rangka penyediaan layanan umum yang dilakukan
secara eksklusif sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian kerja
sama tersebut.
4. Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
5. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar …
- 21 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 8 April 2014
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 8 April 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 69
DKSP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 16/8/PBI/2014 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/12/PBI/2009 TENTANG UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY) </reg_title>
<set_date> 8 April 2014 </set_date>
<effective_date> 8 April 2014 </effective_date>
<issued_date> 8 April 2014 </issued_date>
<changed_reg> '11/12/PBI/2009' </changed_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 15 Pasal 33 Ayat (1)' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/ 7 /PBI/2012
TENTANG
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa salah satu tugas Bank Indonesia adalah
mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran;
b. bahwa dalam rangka melaksanakan tugas
mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran, Bank Indonesia berwenang
melakukan pengelolaan uang Rupiah yang
meliputi perencanaan, pencetakan, pengeluaran,
pengedaran, pencabutan dan penarikan, serta
pemusnahan uang Rupiah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Pengelolaan Uang Rupiah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan
Undang-Undang . . .
-2-
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENGELOLAAN UANG RUPIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Uang Rupiah adalah Rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
2. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah seluruh
wilayah teritorial Indonesia, termasuk kapal dan pesawat terbang
yang berbendera Republik Indonesia, Kedutaan Republik
Indonesia . . .
-3-
Indonesia, dan kantor perwakilan Republik Indonesia lainnya di
luar negeri.
3. Ciri Uang Rupiah adalah tanda tertentu pada setiap Uang Rupiah
yang ditetapkan dengan tujuan untuk menunjukkan identitas,
membedakan harga atau nilai nominal, dan mengamankan Uang
Rupiah tersebut dari upaya pemalsuan.
4. Kertas Uang adalah bahan baku yang digunakan untuk membuat
Uang Rupiah kertas yang mengandung unsur pengaman dan yang
tahan lama.
5. Logam Uang adalah bahan baku yang digunakan untuk membuat
Uang Rupiah logam yang mengandung unsur pengaman dan yang
tahan lama.
6. Uang Rupiah Kertas adalah Uang Rupiah dalam bentuk lembaran
yang terbuat dari Kertas Uang.
7. Uang Rupiah Logam adalah Uang Rupiah dalam bentuk koin yang
terbuat dari Logam Uang.
8. Uang Rupiah Tidak Layak Edar adalah Uang Rupiah yang terdiri
atas Uang Rupiah lusuh, Uang Rupiah cacat, dan Uang Rupiah
rusak.
9. Uang Rupiah Lusuh adalah Uang Rupiah yang ukuran dan bentuk
fisiknya tidak berubah dari ukuran aslinya, tetapi kondisinya telah
berubah yang antara lain karena jamur, minyak, bahan kimia,
atau coretan.
10. Uang Rupiah Cacat adalah Uang Rupiah hasil cetak yang
spesifikasi teknisnya tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
11. Uang Rupiah Rusak adalah Uang Rupiah yang ukuran atau
fisiknya telah berubah dari ukuran aslinya yang antara lain karena
terbakar, berlubang, hilang sebagian, atau Uang Rupiah yang
ukuran . . .
-4-
ukuran fisiknya berbeda dengan ukuran aslinya, antara lain
karena robek atau mengerut.
12. Uang Rupiah Khusus adalah Uang Rupiah yang dikeluarkan secara
khusus untuk tujuan tertentu atau dalam rangka memperingati
peristiwa yang bersifat nasional atau internasional dan memiliki
nilai nominal yang berbeda dengan nilai jualnya.
13. Uang Rupiah Tiruan adalah suatu benda yang bahan, ukuran,
warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai Uang Rupiah
yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, atau diedarkan, tidak
digunakan sebagai alat pembayaran dengan merendahkan
kehormatan Uang Rupiah sebagai simbol negara.
14. Uang Rupiah Palsu adalah suatu benda yang bahan, ukuran,
warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai Uang Rupiah
yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, diedarkan, atau
digunakan sebagai alat pembayaran secara melawan hukum.
15. Pengelolaan Uang Rupiah adalah suatu kegiatan yang mencakup
Perencanaan, Pencetakan, Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan
dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah yang dilakukan
secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.
16. Perencanaan adalah suatu rangkaian kegiatan menetapkan
besarnya jumlah dan jenis pecahan yang akan dicetak berdasarkan
perkiraan kebutuhan Uang Rupiah dalam periode tertentu.
17. Pencetakan adalah suatu rangkaian kegiatan mencetak Uang
Rupiah.
18. Pengeluaran adalah suatu rangkaian kegiatan menerbitkan Uang
Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
19. Pengedaran adalah suatu rangkaian kegiatan mengedarkan atau
mendistribusikan Uang Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
20. Pencabutan . . .
-5-
20. Pencabutan dan Penarikan adalah rangkaian kegiatan yang
menetapkan Uang Rupiah tidak berlaku lagi sebagai alat
pembayaran yang sah di Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
21. Pemusnahan adalah suatu rangkaian kegiatan meracik, melebur,
atau cara lain memusnahkan Uang Rupiah sehingga tidak
menyerupai Uang Rupiah.
22. Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia.
23. Bank adalah Bank Umum sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank
Umum Syariah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
BAB II
MACAM DAN PECAHAN UANG RUPIAH
Pasal 2
(1) Macam Uang Rupiah terdiri atas Uang Rupiah Kertas dan Uang
Rupiah Logam.
(2) Bank Indonesia menetapkan macam Uang Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk setiap pecahan Uang Rupiah yang
dikeluarkan.
Pasal 3
(1) Harga Uang Rupiah merupakan nilai nominal yang tercantum pada
setiap pecahan Uang Rupiah.
(2) Bank Indonesia menetapkan pecahan Uang Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
BAB III . . .
-6-
BAB III
CIRI, DESAIN, DAN BAHAN BAKU UANG RUPIAH
Pasal 4
(1) Bank Indonesia menetapkan Ciri Uang Rupiah.
(2) Ciri Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
ciri umum dan ciri khusus.
(3) Ciri umum Uang Rupiah Kertas sebagaimana dimaksud pada
ayat
(2) paling sedikit memuat:
a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”;
b. frasa “Negara Kesatuan Republik Indonesia”;
c. frasa “Bank Indonesia”;
d. sebutan pecahan dalam angka dan huruf sebagai nilai
nominalnya;
e. tanda tangan Pemerintah dan Bank Indonesia;
f. nomor seri pecahan;
g. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, NEGARA
KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENGELUARKAN RUPIAH
SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI...”;
dan
h. tahun emisi dan tahun cetak.
(4) Ciri umum Uang Rupiah Logam sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling sedikit memuat:
a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”;
b. frasa “Republik Indonesia”;
c. frasa “Bank Indonesia”;
d. sebutan pecahan dalam angka sebagai nilai nominalnya; dan
e. tahun emisi.
(5) Ciri khusus Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memiliki fungsi sebagai pengaman yang terdapat pada desain,
bahan, dan teknik cetak.
(6) Ciri . . .
-7-
(6) Ciri khusus Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
bersifat terbuka, semi tertutup, dan tertutup.
Pasal 5
(1) Ciri Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
tidak memuat gambar orang yang masih hidup.
(2) Gambar pahlawan nasional dan/atau Presiden dicantumkan
sebagai gambar utama pada bagian depan Uang Rupiah.
Pasal 6
(1) Bank Indonesia menetapkan desain Uang Rupiah yang terdiri atas
ciri, tanda tertentu, ukuran, dan unsur pengaman.
(2) Tanda tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
warna, gambar, ukuran, besar, bahan baku Uang Rupiah, dan
tanda lainnya.
(3) Unsur pengaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
di dalamnya ciri atau tanda yang dapat dipergunakan oleh
tunanetra.
Pasal 7
(1) Bank Indonesia menetapkan bahan baku Uang Rupiah yang terdiri
atas Kertas Uang atau Logam Uang.
(2) Kertas Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terbuat
dari bahan kertas atau bahan lainnya.
(3) Logam Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terbuat
dari aluminium, aluminium bronze, kupronikel, baja, atau bahan
logam lainnya.
(4) Bank Indonesia melaksanakan pengadaan bahan baku Uang
Rupiah dan jasa yang terkait dengan pengadaan bahan baku Uang
Rupiah.
(5) Pengadaan . . .
-8-
(5) Pengadaan bahan baku Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) mengutamakan produk dalam negeri dengan menjaga
mutu, keamanan, dan harga yang bersaing.
(6) Pelaksanaan pengadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai pengadaan di
Bank Indonesia.
BAB IV
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
Pasal 8
(1) Bank Indonesia melakukan Pengelolaan Uang Rupiah yang
meliputi tahapan:
a. Perencanaan;
b. Pencetakan;
c. Pengeluaran;
d. Pengedaran;
e. Pencabutan dan Penarikan; dan
f. Pemusnahan Uang Rupiah.
(2) Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang
melakukan Pengeluaran, Pengedaran, dan/atau Pencabutan dan
Penarikan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, dan huruf e.
(3) Bank Indonesia melaksanakan seluruh tahapan Pengelolaan Uang
Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mengikuti
prosedur pengamanan.
BAB V . . .
-9-
BAB V
PERENCANAAN UANG RUPIAH
Pasal 9
(1) Bank Indonesia melakukan Perencanaan dan penentuan jumlah
Uang Rupiah yang dicetak dengan memperhatikan antara lain
asumsi tingkat inflasi, asumsi pertumbuhan ekonomi, rencana
macam dan pecahan Uang Rupiah, serta perkiraan jumlah Uang
Rupiah yang dimusnahkan.
(2) Bank Indonesia menyediakan jumlah Uang Rupiah yang akan
diedarkan.
BAB VI
PENCETAKAN UANG RUPIAH
Pasal 10
(1) Bank Indonesia melakukan Pencetakan Uang Rupiah di dalam
negeri dengan menunjuk badan usaha milik negara sebagai
pelaksana Pencetakan Uang Rupiah.
(2) Penunjukkan badan usaha milik negara sebagai pelaksana
Pencetakan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia mengenai
pengadaan jasa pencetakan Uang Rupiah di Bank Indonesia.
(3) Dalam hal badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) menyatakan tidak sanggup melaksanakan Pencetakan
Uang Rupiah, maka badan usaha milik negara tersebut dapat
menunjuk lembaga lain untuk bekerja sama dalam pelaksanaan
Pencetakan Uang Rupiah dengan memenuhi persyaratan
Pencetakan Uang Rupiah yang disepakati sebelumnya antara
badan usaha milik negara dan Bank Indonesia.
(4) Penunjukan . . .
-10-
(4) Penunjukan lembaga lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan oleh badan usaha milik negara melalui proses yang
transparan dan akuntabel serta menguntungkan negara, dan
harus memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
(5) Dalam hal badan usaha milik negara tidak dapat memenuhi
persyaratan Pencetakan Uang Rupiah yang disepakati sebelumnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka Bank Indonesia dapat
menetapkan kebijakan lain dalam rangka menjaga ketersediaan
Uang Rupiah.
(6) Badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan lembaga lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus
menjaga mutu, keamanan, dan harga yang bersaing dalam
melaksanakan Pencetakan Uang Rupiah untuk Bank Indonesia.
BAB VII
PENGELUARAN UANG RUPIAH
Pasal 11
(1) Bank Indonesia menetapkan tanggal, bulan, dan tahun mulai
berlakunya Uang Rupiah yang dikeluarkan sebagai alat
pembayaran yang sah di Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
(2) Bank Indonesia mengeluarkan Uang Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan Peraturan Bank Indonesia yang
ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan
diumumkan melalui media massa.
(3) Uang Rupiah yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari bea materai.
BAB VIII . . .
-11-
BAB VIII
PENGEDARAN UANG RUPIAH
Bagian Kesatu
Pengedaran Uang Rupiah
Pasal 12
(1) Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang
mengedarkan Uang Rupiah kepada masyarakat.
(2) Pengedaran Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Bank Indonesia sesuai dengan kebutuhan jumlah
uang beredar.
(3) Bank Indonesia menentukan nomor seri Uang Rupiah Kertas
dalam rangka Pengedaran Uang Rupiah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Bagian Kedua
Layanan Kas dan Distribusi Uang Rupiah
Pasal 13
(1) Kegiatan Pengedaran Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1) dilakukan melalui kegiatan layanan kas dan
distribusi Uang Rupiah.
(2) Kegiatan layanan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
dari penyetoran, penarikan, dan penukaran.
(3) Penyetoran dan penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan oleh Bank dan/atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank.
(4) Bank dan/atau pihak lain yang melaksanakan penyetoran
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib terlebih dahulu
melakukan penyortiran dan penghitungan Uang Rupiah yang akan
disetorkan kepada Bank Indonesia dengan benar.
(5) Penyetoran . . .
-12-
(5) Penyetoran dan penarikan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme dan persyaratan
penyetoran serta penarikan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 14
(1) Bank harus terlebih dahulu melakukan transaksi Uang Rupiah
antar-Bank sebelum dapat memperoleh layanan penyetoran
dan/atau penarikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (2).
(2) Dalam kondisi tertentu, Bank Indonesia dapat menetapkan Bank
tidak harus melakukan transaksi Uang Rupiah antar-Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Mekanisme transaksi Uang Rupiah antar-Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam kesepakatan tertulis
antar-Bank (bye-laws).
(4) Dalam rangka pelaksanaan penyetoran dan penarikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), Bank wajib
menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis laporan serta mekanisme
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 15
Bank Indonesia melakukan kegiatan distribusi Uang Rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) yang meliputi distribusi
Uang Rupiah:
a. antarkantor. . .
-13-
a. antarkantor Bank Indonesia;
b. ke lokasi penyimpanan Uang Rupiah yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia; dan/atau
c. ke lokasi pihak lain yang melakukan kerjasama dengan Bank
Indonesia dalam layanan kas.
Bagian Ketiga
Pengolahan Uang Rupiah oleh Bank dan/atau Pihak Lain
yang Ditunjuk oleh Bank
Pasal 16
(1) Dalam rangka menjaga kualitas Uang Rupiah yang beredar dan
mencegah beredarnya Uang Rupiah Palsu di masyarakat, Bank
dan/atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank wajib melakukan
pengolahan Uang Rupiah dengan memenuhi ketentuan Bank
Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengolahan Uang Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Penukaran Uang Rupiah
Pasal 17
(1) Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia
memberikan layanan penukaran Uang Rupiah untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. penukaran Uang Rupiah dapat dilakukan dalam pecahan yang
sama atau pecahan yang lain; dan/atau
b. penukaran. . .
-14-
b. penukaran Uang Rupiah Lusuh, Uang Rupiah Cacat, dan/atau
Uang Rupiah Rusak sebagian karena terbakar atau sebab
lainnya diberikan penggantian sesuai dengan persyaratan yang
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Bank Indonesia tidak memberikan penggantian atas Uang Rupiah
yang hilang atau musnah karena sebab apapun.
Pasal 18
(1) Bank Indonesia memberikan penggantian atas Uang Rupiah Lusuh
atau Uang Rupiah Cacat dengan nilai yang sama nominalnya.
(2) Penggantian atas Uang Rupiah Lusuh atau Uang Rupiah Cacat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Bank
Indonesia apabila tanda keaslian Uang Rupiah tersebut masih
dapat diketahui atau dikenali.
Pasal 19
(1) Bank Indonesia memberikan penggantian atas Uang Rupiah Rusak
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Uang Rupiah Kertas
1. dalam hal fisik Uang Rupiah Kertas lebih besar dari 2/3
(dua pertiga) ukuran aslinya dan Ciri Uang Rupiah dapat
dikenali keasliannya, diberikan penggantian sebesar nilai
nominal dengan persyaratan:
a) Uang Rupiah Kertas rusak masih merupakan satu
kesatuan dengan atau tanpa nomor seri yang lengkap;
atau
b) Uang Rupiah Kertas rusak tidak merupakan satu
kesatuan, dan kedua nomor seri pada Uang Rupiah
Kertas rusak tersebut lengkap dan sama.
2. dalam. . .
-15-
2. dalam hal fisik Uang Rupiah Kertas sama dengan atau
kurang dari 2/3 (dua pertiga) ukuran aslinya, tidak
diberikan penggantian.
b. Uang Rupiah Logam
1. dalam hal fisik Uang Rupiah Logam lebih besar dari 1/2
(satu perdua) ukuran aslinya dan Ciri Uang Rupiah dapat
dikenali keasliannya, diberikan penggantian sebesar nilai
nominal;
2. dalam hal fisik Uang Rupiah Logam sama dengan atau
kurang dari 1/2 (satu perdua) ukuran aslinya, tidak
diberikan penggantian.
c. Uang Rupiah Kertas yang terbuat dari bahan plastik (polimer)
1. dalam hal fisik Uang Rupiah Kertas mengerut dan masih
utuh serta Ciri Uang Rupiah dapat dikenali keasliannya,
diberikan penggantian sebesar nilai nominal;
2. dalam hal fisik Uang Rupiah Kertas mengerut dan tidak
utuh, diberikan penggantian sebesar nilai nominal
sepanjang Ciri Uang Rupiah masih dapat dikenali
keasliannya dan fisik Uang Rupiah lebih besar dari 2/3 (dua
pertiga) ukuran aslinya.
(2) Uang Rupiah Lusuh atau Uang Rupiah Cacat dalam kondisi rusak
sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diberikan penggantian dengan nilai yang sama
nominalnya.
(3) Uang Rupiah Rusak sebagian karena terbakar diberikan
penggantian dengan nilai yang sama nominalnya, sepanjang
menurut penelitian Bank Indonesia masih dapat dikenali
keasliannya dan memenuhi persyaratan untuk dapat diberikan
penggantian.
(4) Bank. . .
-16-
(4) Bank Indonesia tidak memberikan penggantian atas Uang Rupiah
Rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila menurut Bank
Indonesia kerusakan Uang Rupiah tersebut diduga dilakukan
secara sengaja atau dilakukan secara sengaja.
Pasal 20
(1) Bank yang beroperasi di Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia menyediakan layanan penukaran Uang Rupiah kepada
masyarakat sesuai ketentuan penukaran Uang Rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan layanan penukaran
Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Kelima
Penyetoran Uang Rupiah ke Bank
Pasal 21
Bank yang beroperasi di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
wajib menerima penyetoran Uang Rupiah dari nasabah dalam berbagai
jumlah dan jenis pecahan.
BAB IX
PENCABUTAN DAN PENARIKAN
Pasal 22
(1) Bank Indonesia menetapkan Uang Rupiah tidak sebagai alat
pembayaran yang sah di Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan cara mencabut dan menarik Uang Rupiah dari
peredaran.
(2) Pencabutan . . .
-17-
(2) Pencabutan dan Penarikan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan Peraturan
Bank Indonesia yang ditempatkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia dan diumumkan melalui media massa.
(3) Bank Indonesia memberikan penggantian atas Uang Rupiah yang
dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sebesar nilai nominal yang sama.
(4) Hak untuk memperoleh penggantian atas Uang Rupiah yang
dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak berlaku setelah 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal
pencabutan.
(5) Jangka waktu penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
diatur sebagai berikut:
a. 5 (lima) tahun sejak tanggal pencabutan, penukaran dilakukan
di Bank Indonesia, Bank yang beroperasi di Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan pihak lain yang ditunjuk
oleh Bank Indonesia; dan
b. 5 (lima) tahun sejak berakhirnya jangka waktu penukaran
sebagaimana dimaksud pada huruf a, penukaran dilakukan di
Bank Indonesia.
(6) Untuk Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dalam kondisi lusuh,
cacat atau rusak, besarnya penggantian adalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19.
BAB X
PEMUSNAHAN UANG RUPIAH
Pasal 23
(1) Bank Indonesia melaksanakan Pemusnahan terhadap:
a. Uang Rupiah Tidak Layak Edar;
b. Uang . . .
-18-
b. Uang Rupiah yang masih layak edar yang dengan pertimbangan
tertentu tidak lagi mempunyai manfaat ekonomis dan/atau
kurang diminati oleh masyarakat; dan/atau
c. Uang Rupiah yang sudah tidak berlaku.
(2) Jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan oleh
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia secara periodik setiap
1 (satu) tahun sekali.
BAB XI
KOORDINASI DENGAN PEMERINTAH
Pasal 24
(1) Pengelolaan Uang Rupiah yang meliputi Perencanaan, Pencetakan,
dan Pemusnahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf f dilakukan oleh Bank
Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah.
(2) Pelaksanaan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam nota kesepahaman antara Bank Indonesia dan
Pemerintah.
(3) Pelaksanaan koordinasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam bentuk
pemberitahuan dan tukar menukar informasi sebagai bahan
pertimbangan Bank Indonesia.
BAB XII
PENENTUAN KEASLIAN UANG RUPIAH
Pasal 25
(1) Bank Indonesia berwenang untuk menentukan keaslian Uang
Rupiah.
(2) Berdasarkan . . .
-19-
(2) Berdasarkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Bank Indonesia menyatakan Uang Rupiah yang tidak memenuhi
Ciri Uang Rupiah sebagai Uang Rupiah tidak asli.
(3) Uang Rupiah tidak asli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
berupa Uang Rupiah Palsu atau Uang Rupiah Tiruan.
(4) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank Indonesia memberikan informasi dan pengetahuan
mengenai tanda keaslian Uang Rupiah kepada masyarakat.
(5) Dalam pelaksanaan pemberian informasi dan pengetahuan
mengenai tanda keaslian Uang Rupiah kepada masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia dapat
bekerjasama dengan pihak lain.
Pasal 26
(1) Masyarakat dapat meminta klarifikasi kepada Bank Indonesia
tentang Uang Rupiah yang diragukan keasliannya.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Uang Rupiah tersebut dinyatakan asli, Bank
Indonesia memberikan penggantian sebesar nilai nominal.
(3) Dalam hal Uang Rupiah yang dinyatakan asli sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dalam kondisi lusuh, cacat, atau rusak
sebagian, besarnya penggantian sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19.
(4) Dalam hal berdasarkan hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Uang Rupiah tersebut dinyatakan tidak asli, Bank
Indonesia tidak memberikan penggantian dan Uang Rupiah tidak
asli tersebut diproses sesuai ketentuan yang berlaku.
Pasal 27 . . .
-20-
Pasal 27
(1) Bank harus menahan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
yang diterima dari masyarakat.
(2) Terhadap Uang Rupiah yang diragukan keasliannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank meminta klarifikasi kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.
BAB XIII
KERJASAMA PENANGGULANGAN UANG RUPIAH PALSU
Pasal 28
Dalam rangka mendukung penanggulangan Uang Rupiah Palsu, Bank
Indonesia melakukan kerjasama dengan badan yang mengoordinasikan
pemberantasan Uang Rupiah Palsu dan/atau instansi yang berwenang.
BAB XIV
UANG RUPIAH KHUSUS
Pasal 29
(1) Bank Indonesia dapat mengeluarkan Uang Rupiah Khusus baik
atas inisiatif Bank Indonesia sendiri atau atas permohonan pihak
lain.
(2) Bank Indonesia menetapkan tanggal, bulan, dan tahun mulai
berlakunya Uang Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Dalam hal Uang Rupiah Khusus dikeluarkan atas permohonan
pihak lain, Bank Indonesia mengenakan royalti atas pengeluaran
Uang Rupiah Khusus dimaksud.
(4) Macam Uang Rupiah Khusus yang dikeluarkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri dari Uang Rupiah Kertas dan Uang
Rupiah Logam.
(5) Uang . . .
-21-
(5) Uang Rupiah Khusus memiliki Ciri Uang Rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4).
(6) Uang Rupiah Kertas yang dikeluarkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dapat berbentuk Uang Rupiah Kertas bersambung
(uncut banknotes).
(7) Uang Rupiah Khusus yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia
merupakan alat pembayaran yang sah dan dijamin oleh Bank
Indonesia sebesar nilai nominal.
(8) Pengeluaran Uang Rupiah Khusus dilakukan dengan Peraturan
Bank Indonesia yang ditempatkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia dan diumumkan melalui media massa.
(9) Uang Rupiah Khusus dikeluarkan oleh Bank Indonesia dalam
jumlah terbatas.
(10) Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia
melakukan pengedaran Uang Rupiah Khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(11) Dalam hal pengeluaran Uang Rupiah Khusus dilakukan atas
permohonan pihak lain, distribusi dan penjualan Uang Rupiah
Khusus tersebut dapat dilakukan oleh pihak yang mengajukan
permohonan pengeluaran Uang Rupiah Khusus dimaksud.
BAB XV
PENYEDIAAN SARANA SOSIALISASI UANG RUPIAH EMISI BARU
DAN KRITERIA CONTOH UANG RUPIAH
Pasal 30
(1) Bank Indonesia menyediakan sarana untuk mensosialisasikan
setiap Uang Rupiah emisi baru dalam bentuk spesimen Uang
Rupiah Kertas, visualisasi melalui teknologi informasi, dan/atau
bentuk lainnya.
(2) Spesimen . . .
-22-
(2) Spesimen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan
alat pembayaran yang sah.
Pasal 31
(1) Bank Indonesia menetapkan kriteria contoh Uang Rupiah atau
benda yang menyerupai Uang Rupiah yang dapat digunakan untuk
tujuan pendidikan dan/atau promosi.
(2) Contoh Uang Rupiah atau benda yang menyerupai Uang Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mencantumkan kata
“spesimen”.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria contoh Uang Rupiah atau
benda yang menyerupai Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB XVI
PENGAWASAN
Pasal 32
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Bank dan/atau
pihak lain yang ditunjuk oleh Bank dalam melakukan pengolahan
Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang lingkup dan tata cara
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB XVII
SANKSI
Pasal 33
Bank yang tidak melakukan penghitungan dan penyortiran Uang
Rupiah yang akan disetorkan kepada Bank Indonesia dengan benar
sebagaimana . . .
-23-
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) dikenakan sanksi
berupa:
a.
teguran tertulis;
b. kewajiban menjalani uji petik untuk setiap kegiatan penyetoran
Uang Rupiah selama jangka waktu tertentu apabila Bank telah
memperoleh 3 (tiga) kali teguran tertulis untuk jenis pelanggaran
yang sama;
c. penolakan terhadap kegiatan penyetoran Uang Rupiah dalam hal
berdasarkan uji petik sebagaimana dimaksud pada huruf b,
kegiatan penyetoran Uang Rupiah tidak memenuhi persyaratan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 34
(1) Dalam hal berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan oleh
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1)
terdapat Bank dan/atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank yang
melanggar kewajiban pengolahan Uang Rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16, dikenakan sanksi berupa teguran
tertulis.
(2) Selain teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia melakukan pembinaan kepada Bank dan/atau pihak
lain yang ditunjuk oleh Bank, termasuk meminta komitmen untuk
perbaikan.
(3) Bank atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank yang telah
memperoleh surat teguran dan pembinaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) yang tidak melaksanakan perbaikan
sesuai komitmen yang diberikan, dikenakan sanksi berupa
larangan untuk melakukan kegiatan penyetoran Uang Rupiah
dalam jangka waktu tertentu.
Pasal 35 . . .
-24-
Pasal 35
Bank yang menolak menerima penyetoran Uang Rupiah dari nasabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dikenakan sanksi pidana
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011
tentang Mata Uang.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 36
Ciri umum Uang Rupiah Kertas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 2014.
Pasal 37
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, maka semua
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia
Nomor 6/14/PBI/2004 tanggal 22 Juni 2004 tentang Pengeluaran,
Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang
Rupiah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 9/10/PBI/2007 tanggal 30 Agustus 2007 dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 38
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tanggal
22 Juni 2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan
Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah; dan
b. Peraturan . . .
-25-
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007 tanggal
30 Agustus 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tanggal 22 Juni 2004 tentang
Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta
Pemusnahan Uang Rupiah,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 39
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar . . .
-26-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Juni 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Juni 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 138
DPU
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/ 7 /PBI/2012
TENTANG
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
I. UMUM
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu negara
yang merdeka dan berdaulat memiliki mata uang yang disebut
Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pengertian Rupiah dalam Peraturan
Bank Indonesia ini adalah Uang Rupiah dalam arti fisik yaitu
terbatas pada uang kartal berupa Uang Rupiah Kertas dan Uang
Rupiah Logam.
Dalam kehidupan perekonomian, peranan Uang Rupiah
sangatlah penting karena Uang Rupiah mempunyai beberapa fungsi
antara lain sebagai alat penukar atau alat pembayar dan pengukur
harga sehingga dapat dikatakan bahwa Uang Rupiah merupakan
salah satu alat utama perekonomian. Peranan Uang Rupiah dalam
perekonomian akan mendukung tujuan bernegara yaitu mencapai
masyarakat adil dan makmur.
Bank Indonesia sebagai bank sentral di Negara Kesatuan
Republik Indonesia diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2011 tentang Mata Uang, memiliki kewenangan dan tugas
Pengelolaan Uang Rupiah mulai dari Perencanaan, Pencetakan,
Pengeluaran, Pengedaran, serta Pencabutan dan Penarikan, sampai
dengan Pemusnahan Uang Rupiah. Dalam pelaksanaan
kewenangan . . .
-2-
kewenangan dan tugas Pengelolaan Uang Rupiah dimaksud, Bank
Indonesia juga melakukan koordinasi dengan Pemerintah dalam
Perencanaan, Pencetakan, dan Pemusnahan Uang Rupiah.
Secara garis besar materi muatan yang diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini meliputi (i) pengaturan mengenai pecahan dan
macam Uang Rupiah, ciri, desain dan bahan baku Uang Rupiah; (ii)
pengaturan mengenai Pengelolaan Uang Rupiah; (iii) pengaturan
mengenai koordinasi dengan Pemerintah dalam rangka
perencanaan, pencetakan dan pemusnahan Uang Rupiah; (iv)
pengaturan mengenai penentuan keaslian Uang Rupiah; (v)
pengaturan mengenai kerjasama penanggulangan Uang Rupiah
Palsu; (vi) pengaturan mengenai Uang Rupiah Khusus; (vii)
pengaturan mengenai penyediaan sarana sosialisasi Uang Rupiah
emisi baru dan kriteria contoh Uang Rupiah; (viii) pengaturan
mengenai pengawasan; dan (ix) pengaturan mengenai sanksi.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) . . .
-3-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “bersifat terbuka (overt)” adalah
unsur pengaman yang dapat dideteksi tanpa bantuan alat.
Yang dimaksud dengan “bersifat semi tertutup (semicovert)”
adalah unsur pengaman yang dapat dideteksi dengan
menggunakan alat yang sederhana seperti kaca pembesar
dan lampu ultraviolet (UV).
Yang dimaksud dengan “bersifat tertutup (covert/forensic)”
adalah unsur pengaman yang hanya dapat dideteksi dengan
menggunakan peralatan laboratorium/forensik.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pahlawan nasional” adalah
pahlawan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “bagian depan Uang Rupiah” adalah
sisi desain Uang Rupiah yang terdapat gambar lambang
Negara “Garuda Pancasila”.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7 . . .
-4-
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “bahan lainnya” antara lain polimer,
serat sintetis, atau campuran antara kertas dengan serat
sintetis.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “jasa yang terkait dengan pengadaan
bahan baku Uang Rupiah” antara lain jasa forwarding dan
asuransi terkait kegiatan pengadaan bahan baku Uang
Rupiah.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “mengutamakan produk dalam
negeri” adalah dalam hal mutu telah sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, keamanan
proses dan prosedur yang diterapkan oleh calon penyedia
bahan baku Uang Rupiah telah sesuai dengan standar
internasional dan/atau persyaratan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia maka:
a. dalam hal harga negosiasi terakhir yang diajukan oleh
2 (dua) atau lebih calon penyedia bahan baku Uang
Rupiah adalah sama, maka pengutamaan produk dalam
negeri dilakukan berdasarkan besaran komponen dalam
negeri pada bahan baku Uang Rupiah yang ditunjukkan
dengan nilai tingkat komponen dalam negeri yang
tertinggi; dan/atau
b. dalam . . .
-5-
b. dalam hal terdapat calon penyedia bahan baku Uang
Rupiah dalam negeri yang menawarkan produk dengan
nilai tingkat komponen dalam negeri sebesar 25% (dua
puluh lima persen) atau lebih, maka ditentukan harga
evaluasi akhir berdasarkan harga negosiasi terakhir
dengan memperhitungkan preferensi harga paling tinggi
15% (lima belas persen). Penentuan pemenang penyedia
bahan baku Uang Rupiah dilakukan berdasarkan harga
evaluasi akhir. Dalam hal terdapat 2 (dua) atau lebih
calon penyedia bahan baku Uang Rupiah dengan harga
evaluasi akhir yang sama maka pemenang ditentukan
berdasarkan nilai tingkat komponen dalam negeri yang
tertinggi.
Nilai tingkat komponen dalam negeri mengacu pada daftar
inventarisasi barang/jasa produksi dalam negeri yang
diterbitkan oleh Kementerian yang membidangi urusan
perindustrian.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Prosedur pengamanan dalam Pengelolaan Uang Rupiah
mengikuti ketentuan Bank Indonesia sesuai dengan tahapan
Pengelolaan Uang Rupiah yang menerapkan prinsip-prinsip
good governance.
Pasal 9 . . .
-6-
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tidak sanggup melaksanakan
Pencetakan Uang Rupiah” adalah ketidaksanggupan yang
disebabkan oleh keadaan kahar (force majeure) dan bencana
sosial, seperti bencana alam, pemogokan, atau terjadinya
suatu kondisi yang menyebabkan akan tidak terpenuhinya
kewajiban Pencetakan Uang Rupiah sehingga dapat
mengganggu persediaan Uang Rupiah.
Yang dimaksud dengan “persyaratan Pencetakan Uang
Rupiah yang disepakati sebelumnya antara Bank Indonesia
dengan badan usaha milik negara” antara lain persyaratan
spesifikasi, harga, volume, dan jadwal.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Kebijakan lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia antara
lain Bank Indonesia dapat mensyaratkan cara pengadaan
tertentu dalam penunjukkan lembaga lain.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12 . . .
-7-
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “sesuai dengan kebutuhan jumlah
uang beredar” adalah sesuai dengan kebutuhan masyarakat
terkait dengan jumlah nominal dan jenis pecahan Uang
Rupiah tertentu.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “menentukan nomor seri” adalah
menentukan susunan huruf dan/atau angka serta bentuk
nomor seri untuk dicantumkan dalam desain Uang Rupiah
Kertas sebagai salah satu unsur pengaman.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penyetoran” adalah kegiatan Bank
atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank untuk melakukan
penyetoran Uang Rupiah ke Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan “penarikan” adalah kegiatan Bank
atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank untuk melakukan
penarikan Uang Rupiah dari Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan “penukaran” adalah kegiatan
penerimaan Uang Rupiah oleh Bank Indonesia dari
masyarakat dengan memberikan penggantian berupa Uang
Rupiah yang masih layak edar dalam pecahan yang sama
atau pecahan lainnya.
Ayat (3) . . .
-8-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kegiatan penyortiran merupakan kegiatan memilih dan
memilah Uang Rupiah antara lain menurut keaslian,
kelayakan edar, pecahan, dan tahun emisi. Dalam kegiatan
penyortiran termasuk pula melakukan penyusunan gambar
utama pada bagian depan dan bagian belakang Uang
Rupiah, yang searah.
Penyortiran dan penghitungan Uang Rupiah telah dilakukan
oleh Bank dengan benar apabila tercampurnya Uang Rupiah
Tidak Layak Edar dengan Uang Rupiah yang masih layak
edar, selisih lebih atau kurang, dan/atau jumlah Uang
Rupiah Palsu, tidak melebihi batas toleransi yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “transaksi Uang Rupiah antar-Bank”
adalah transaksi uang kartal antar-Bank.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” antara lain apabila
berdasarkan pemantauan Bank Indonesia terdapat kelebihan
atau kekurangan likuiditas Uang Rupiah layak edar di
daerah tertentu, keadaan kahar (force majeure), dan/atau
menjelang . . .
-9-
menjelang dan setelah hari besar keagamaan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Laporan yang disampaikan antara lain mengenai posisi
kelebihan atau kekurangan likuiditas Uang Rupiah layak
edar, transaksi uang kartal mingguan, dan proyeksi
cash flow bulanan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pihak lain yang melakukan kerjasama dengan Bank
Indonesia dalam layanan kas antara lain pengelola kas
titipan.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengolahan Uang Rupiah” antara
lain meliputi kegiatan penghitungan, penyortiran,
pengemasan, pengangkutan, dan pengisian anjungan tunai
mandiri. Kegiatan penyortiran merupakan kegiatan memilih
dan memilah Uang Rupiah antara lain menurut keaslian,
kelayakan edar, pecahan, dan tahun emisi. Dalam kegiatan
penyortiran termasuk pula melakukan penyusunan gambar
utama pada bagian depan dan bagian belakang Uang
Rupiah, yang searah.
Ayat (2) . . .
-10-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Uang Rupiah yang hilang atau
musnah” adalah Uang Rupiah yang karena suatu sebab, fisik
dan/atau tanda keasliannya telah hilang atau musnah.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kerusakan Rupiah diduga dilakukan secara sengaja apabila
tanda-tanda kerusakan fisik Uang Rupiah meyakinkan Bank
Indonesia adanya dugaan unsur kesengajaan, misalnya
terdapat bekas potongan dengan alat tajam atau alat lainnya,
benang pengaman hilang seluruhnya atau sebagian karena
dirusak, dan/atau jumlah Uang Rupiah yang ditukarkan
relatif banyak dengan pola kerusakan yang sama.
Kerusakan Uang Rupiah dilakukan secara sengaja apabila
berdasarkan pembuktian melalui laboratorium dan/atau
putusan pengadilan disimpulkan atau diputuskan bahwa
Uang Rupiah dirusak secara sengaja.
Pasal 20 . . .
-11-
Pasal 20
Ayat (1)
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan Uang Rupiah
yang layak edar dan jenis pecahan yang sesuai, Bank
menyediakan layanan penukaran Uang Rupiah. Sepanjang
Bank masih memiliki persediaan Uang Rupiah yang layak
edar yang dibutuhkan oleh masyarakat, maka Bank tersebut
tidak boleh menolak permintaan penukaran Uang Rupiah
dari masyarakat.
Dalam pengertian “masyarakat” termasuk pula pihak-pihak
yang tidak memiliki rekening di Bank yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Nasabah melakukan penyetoran Uang Rupiah ke Bank dengan
mengikuti prosedur dan tata cara yang ditetapkan oleh Bank.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Uang Rupiah yang sudah tidak
berlaku” adalah Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari
peredaran.
Ayat (2)
Jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan
oleh Bank Indonesia meliputi jenis pecahan, jumlah bilyet
atau keping, dan nilai nominal. Data jumlah dan nilai
nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan yang ditempatkan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia untuk periode
1 (satu) . . .
-12-
1 (satu) tahun yaitu data dari 1 Januari sampai dengan 31
Desember.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Uang Rupiah tidak asli” adalah
benda yang menyerupai Uang Rupiah tetapi tidak memenuhi
ciri-ciri keaslian Uang Rupiah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Bank harus menahan Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya dalam rangka penanggulangan peredaran Uang
Rupiah Palsu.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya” termasuk Uang Rupiah Rusak yang tidak
merupakan satu kesatuan dan memiliki nomor seri berbeda.
Pasal 28 . . .
-13-
Pasal 28
Kerjasama dilakukan antara lain dalam bentuk pertukaran data
dan informasi, pelaksanaan pemberian informasi dan
pengetahuan kepada masyarakat.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “Uang Rupiah Kertas bersambung
(uncut banknotes)” adalah lembaran Uang Rupiah Kertas
yang terdiri dari 2 (dua) lembar (bilyet), 4 (empat) lembar
(bilyet), atau lebih dan masih merupakan satu kesatuan.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Peraturan Bank Indonesia mengatur antara lain mengenai
macam, harga, ciri, dan jumlah Uang Rupiah Khusus.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10) . . .
-14-
Ayat (10)
Yang dimaksud dengan “pengedaran Uang Rupiah Khusus”
mencakup kegiatan antara lain pendistribusian dan
penjualan Uang Rupiah Khusus.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Spesimen Uang Rupiah Kertas emisi baru disampaikan
kepada Bank, bank sentral negara lain, Kepolisian Negara
Republik Indonesia, dan/atau pihak lain yang dipandang
perlu oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38 . . .
-15-
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5323
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/7/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> PENGELOLAAN UANG RUPIAH </reg_title>
<set_date> 27 Juni 2012 </set_date>
<effective_date> 27 Juni 2012 </effective_date>
<issued_date> 27 Juni 2012 </issued_date>
<replaced_reg> '6/14/PBI/2004', '9/10/PBI/2007' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XVII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 37 /PBI/2008
TENTANG
TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah;
b. bahwa kestabilan nilai rupiah memerlukan dukungan pasar
keuangan yang sehat, khususnya pasar valuta asing domestik,
untuk mendukung perekonomian nasional;
c. bahwa peran Bank Indonesia diperlukan untuk mendorong
perkembangan pasar valuta asing yang sehat melalui
pengaturan yang strategis dan komprehensif, khususnya terkait
dengan transaksi valuta asing terhadap rupiah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk
mengatur ketentuan mengenai transaksi valuta asing terhadap
rupiah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan …
-2-
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun
2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4901);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3844);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
M E M U T U S K A N
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH.
BAB I …
-3-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia dan Bank
Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah .
2. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah transaksi jual beli valuta asing
terhadap rupiah dalam bentuk :
a. transaksi spot, termasuk transaksi yang dilakukan dengan valuta today dan/atau
valuta tomorrow;
b. transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah yang standar (plain vanilla)
dalam bentuk forward, swap, option, dan transaksi lainnya yang dapat
dipersamakan dengan itu;
3. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank.
4. Kegiatan Ekspor/Impor adalah:
a. mengirimkan barang dan/atau jasa ke luar wilayah Indonesia (ekspor);
b. memasukan barang dan/atau jasa ke dalam wilayah Indonesia (impor); dan/atau
c. kegiatan perdagangan dalam negeri terkait dengan huruf a dan huruf b tersebut
di atas.
5. Cerukan adalah saldo negatif pada rekening giro Nasabah yang tidak dapat dibayar
lunas pada akhir hari.
BAB II …
-4-
BAB II
PENGATURAN TRANSAKSI
Pasal 2
(1) Bank dapat melakukan Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah dan/atau
terhadap valuta asing lainnya untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan Nasabah atas dasar suatu kontrak.
(2) Dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, Bank wajib memiliki
pedoman internal secara tertulis.
Pasal 3
Dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Nasabah bukan
Bank, Bank wajib menggunakan kuotasi harga (kurs) valuta asing terhadap rupiah yang
ditetapkan oleh Bank.
Pasal 4
(1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah wajib diselesaikan dengan pemindahan
dana pokok secara penuh.
(2) Kewajiban penyelesaian Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan
pemindahan dana pokok secara penuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dikecualikan untuk :
a. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan oleh Bank dan/atau
Nasabah yang mengalami kejadian luar biasa (force majeure), berdasarkan
penilaian Bank dan didukung dengan bukti dokumen yang memadai;
b. Perpanjangan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk keperluan
lindung nilai atas:
1. Kegiatan Ekspor/Impor yang mengalami force majeure, apabila jangka
waktu Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah tersebut paling singkat 1
(satu) …
-5-
(satu) bulan dan dapat diperpanjang dengan frekuensi perpanjangan dan
jangka waktu yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi;
2. dana usaha, modal disetor, laba ditahan, dan pinjaman sub-ordinasi Bank
yang diperhitungkan dalam kewajiban pemenuhan modal minimum Bank,
apabila jangka waktu Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah tersebut
paling singkat 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang dengan frekuensi
perpanjangan dan jangka waktu yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi;
3. kegiatan penyertaan langsung di sektor riil dengan jangka waktu paling
singkat 1 (satu) tahun yang sumber dananya dalam valuta asing, apabila
jangka waktu Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah tersebut paling
singkat 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang dengan frekuensi
perpanjangan dan jangka waktu yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi;
4. pinjaman luar negeri dalam valuta asing dengan jangka waktu paling
singkat 1 (satu) tahun, apabila jangka waktu Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah tersebut paling singkat 3 (tiga) bulan dan dapat
diperpanjang dengan frekuensi perpanjangan dan jangka waktu yang sesuai
dengan kondisi yang dihadapi;
5. Surat Utang Negara, saham dan obligasi korporasi yang telah dimiliki
paling singkat 3 (tiga) bulan, apabila jangka waktu Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah tersebut paling singkat 3 (tiga) bulan dan dapat
diperpanjang dengan frekuensi perpanjangan dan jangka waktu yang sesuai
dengan kondisi yang dihadapi;
serta wajib didukung dengan bukti dokumen yang memadai.
Pasal 5
(1) Bank dilarang melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah apabila
transaksi atau potensi transaksi tersebut terkait dengan structured product.
(2) Ketentuan …
-6-
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Bank sebagai
penerbit structured product maupun Bank sebagai agen penjual structured product
(selling agent).
Pasal 6
(1) Bank dilarang memberikan kredit dalam valuta asing dan/atau dalam rupiah
kepada Nasabah untuk kepentingan transaksi derivatif valuta asing terhadap
rupiah.
(2) Pelarangan pemberian kredit valuta asing dan/atau rupiah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikecualikan untuk transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah
yang dilakukan dalam rangka Kegiatan Ekspor/Impor.
(3) Pemberian kredit valuta asing dan/atau rupiah untuk transaksi derivatif valuta
asing terhadap rupiah yang dilakukan dalam rangka Kegiatan Ekspor/Impor
sebagaimana dimaksud ayat (2) wajib didukung dengan bukti dokumen yang
memadai.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku untuk pihak asing.
Pasal 7
(1) Bank dilarang memberikan Cerukan kepada Nasabah dalam rangka Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah.
(2) Bank dilarang memberikan fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan Cerukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah.
Pasal 8
Bank wajib melengkapi dan menatausahakan dokumen pendukung atas pelaksanaan
transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), dan Pasal 6.
Pasal 9 …
-7-
Pasal 9
Dalam rangka pelaporan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, Bank berpedoman
kepada ketentuan yang berlaku.
Pasal 10
Selain wajib memenuhi ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini, Bank yang
melakukan Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah wajib tunduk pada ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku lainnya yang terkait.
BAB III
SANKSI
Pasal 11
Bank yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2), Pasal 3 dan/atau Pasal 8 dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan Bank;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
d. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, pemegang saham dalam daftar
orang-orang yang dilarang menjadi pemilik dan pengurus Bank; dan/atau
e. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat
pengganti sementara sampai rapat umum pemegang saham atau rapat anggota
koperasi mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Bank Indonesia.
Pasal 12
(1) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 dan/atau
Pasal 7, dikenakan sanksi kewajiban membayar masing-masing sebesar 10%
(sepuluh perseratus) dari nilai nominal masing-masing transaksi yang dilanggar.
(2) Perhitungan …
-8-
(2) Perhitungan nilai nominal transaksi yang dilanggar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. Pelanggaran terhadap kewajiban pemindahan dana pokok secara penuh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dihitung dari nilai nominal Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah dimaksud;
b. Pelanggaran terhadap Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, dihitung dari nilai nominal Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah dimaksud;
c. Pelanggaran terhadap larangan pemberian kredit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, dihitung dari nilai persetujuan kredit yang digunakan untuk transaksi
derivatif valuta asing terhadap rupiah;
d. Pelanggaran terhadap larangan pemberian Cerukan dan/atau fasilitas yang lain
yang dapat dipersamakan dengan Cerukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7, dihitung dari nilai Cerukan dan/atau fasilitas lain yang dapat
dipersamakan dengan Cerukan yang diberikan Bank kepada Nasabah;
(3) Total sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
banyak sebesar Rp 27.000.000.000 (dua puluh tujuh milyar rupiah) dalam 1 (satu)
tahun kalender.
(4) Penghitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) menggunakan kurs tengah dari kurs transaksi Bank Indonesia pada
tanggal terjadinya pelanggaran.
BAB IV
PERALIHAN
Pasal 13
(1) Bank yang melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dalam rangka
Kegiatan Ekspor/Impor atau yang terkait dengan Kegiatan Ekspor/Impor sebelum
berlakunya …
-9-
berlakunya PBI ini dapat meneruskan transaksi dimaksud sampai dengan jatuh
waktu kontrak.
(2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang masih outstanding dalam
suatu kontrak yang jatuh waktu setelah berlakunya PBI ini dapat diselesaikan
tanpa pergerakan dana pokok antara lain melalui :
a. Percepatan penyelesaian (early termination) atau penghentian (unwind)
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah;
b. Penyelesaian transaksi melalui restrukturisasi kontrak Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah; dan/atau
c. Penyelesaian transaksi dengan menggunakan dana pinjaman dari Bank.
(3) Penyelesaian transaksi dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilakukan sepanjang terdapat kesepakatan tertulis antara pihak yang melakukan
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah.
(4) Penyelesaian transaksi dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus
menggunakan rupiah sepanjang memungkinkan.
(5) Penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib dilengkapi
dengan dokumen yang memadai.
Pasal 14
Ketentuan yang mengatur mengenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
berlaku pula terhadap Bank yang :
a. melakukan penyelesaian transaksi bukan dalam rangka Kegiatan Ekspor/Impor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13; dan/atau
b. melakukan penyelesaian Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang tidak
didukung dengan dokumen yang memadai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (3).
BAB V …
-10-
BAB V
PENUTUP
Pasal 15
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat
Edaran Bank Indonesia
Pasal 16
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Desember 2008.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Desember 2008.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 198
DPD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 10/ 37 /PBI/2008
TENTANG
TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH
I. UMUM
Sebagai bank sentral yang diamanatkan undang-undang untuk mengemban tujuan
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia merumuskan
berbagai kebijakan yang ditujukan bagi pencapaian tujuan tersebut. Sementara itu,
pengembangan pasar valuta asing domestik yang maju dan sehat merupakan suatu
langkah yang perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan peran pasar valuta asing
domestik dalam pencapaian stabilitas nilai rupiah dan mendukung kegiatan
perekonomian secara keseluruhan. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia perlu melakukan
langkah-langkah penyempurnaan terhadap peraturan yang terkait dengan aktivitas
transaksi valuta asing di pasar domestik melalui suatu pendekatan yang strategis dan
komprehensif, sejalan dengan upaya untuk meminimalkan transaksi valuta asing
terhadap rupiah yang bersifat spekulatif namun tetap mendukung aktivitas di sektor rill.
Di samping itu, untuk meningkatkan kesadaran dan kehati-hatian Bank dalam
melakukan transaksi valuta asing terhadap rupiah dalam bentuk transaksi derivatif,
pengenaan sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi perlu dilakukan secara
proporsional.
II. PASAL …
-2-
II. PASAL DEMI PASAL
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Cukup jelas
BAB II
PENGATURAN TRANSAKSI
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kontrak adalah konfirmasi tertulis yang
menunjukan terjadinya transaksi yang antara lain berupa dealing
conversation, SWIFT/Telex/tested fax confirmation, atau konfirmasi
tertulis lainnya
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan ”kuotasi harga (kurs) valuta asing terhadap rupiah”
adalah harga (kurs) beli dan/atau harga (kurs) jual valuta asing terhadap rupiah
yang ditetapkan oleh Bank dan menjadi dasar kesepakatan untuk melakukan
transaksi.
Pengertian Nasabah bukan Bank tidak termasuk Bank Indonesia.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”pemindahan dana pokok secara penuh” untuk
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah penyerahan dana secara
riil untuk masing-masing transaksi jual dan/atau transaksi beli valuta
asing …
-3-
asing terhadap Rupiah sebesar nilai penuh nominal transaksi atau
ekuivalennya.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”kejadian luar biasa (force majeure)”
adalah suatu keadaan yang menyebabkan Bank dan/atau Nasabah
tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai dengan kontrak, yaitu:
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, angin topan, tanah
longsor, kebakaran, kerusuhan masal, perang, aksi terorisme,
pemogokan buruh, keterlambatan pengapalan/pengiriman barang,
dan/atau kegagalan sistem yang digunakan dalam bertransaksi.
Yang dimaksud dengan ”penilaian Bank” antara lain mencakup
kewajaran atas akibat yang ditimbulkan dari force majeure yang
dialami terhadap Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah.
Bukti dokumen yang memadai antara lain berupa dokumen tertulis
yang dikeluarkan oleh pemerintah, media massa atau media
komunikasi lainnya.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Yang dimaksud dengan ”dana usaha, modal disetor, laba
ditahan, dan pinjaman sub-ordinasi Bank yang
diperhitungkan dalam kewajiban pemenuhan modal
minimum Bank” adalah sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum
bank umum dan ketentuan mengenai kewajiban penyediaan
modal …
-4-
modal minimum bank umum dengan memperhitungkan
risiko pasar.
Angka 3
Yang dimaksud dengan ”penyertaan langsung” adalah
penanaman dana dalam bentuk saham pada perusahaan
yang tidak melalui pasar modal.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Jangka waktu kepemilikan surat utang negara, saham dan
obligasi korporasi paling singkat 3 (tiga) bulan didasarkan
kepada perhitungan secara gabungan portofolio surat-surat
berharga (basket of securities).
Nilai nominal Surat Utang Negara, saham, dan/atau
obligasi korporasi yang digunakan sebagai dasar
(underlying) transaksi valuta asing terhadap rupiah dihitung
berdasarkan harga perolehan.
Surat Utang Negara terdiri dari obligasi negara dan surat
perbendaharaan negara.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”structured product” adalah produk yang
merupakan kombinasi berbagai instrumen dengan transaksi derivatif
valuta asing terhadap rupiah, untuk tujuan mendapatkan tambahan income
(return enhancement), yang dapat mendorong transaksi pembelian
dan/atau penjualan valuta asing terhadap rupiah untuk tujuan spekulatif
dan dapat menimbulkan ketidakstabilan nilai rupiah.
Ayat (2) …
-5-
Ayat (2)
Termasuk Bank sebagai agen penjual dalam hal ini adalah penjualan
structured product luar negeri (offshore product) yang terkait dengan
valuta asing terhadap rupiah.
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”kredit” adalah penyediaan uang atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk pengambilalihan
tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang dan pengambilalihan atau
pembelian kredit dari pihak lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan ”pihak asing” adalah pihak asing sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit dalam valuta asing
oleh Bank.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9 …
-6-
Pasal 9
Yang dimaksud dengan ”ketentuan yang berlaku” adalah ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum .
Pasal 10
Yang dimaksud dengan ”ketentuan Bank Indonesia yang berlaku” antara lain
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pembatasan transaksi rupiah
dan pemberian kredit valuta asing oleh Bank dan ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada Bank.
BAB III
SANKSI
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8) …
-7-
Ayat (8)
Kurs tengah Bank Indonesia dihitung dengan cara kurs jual transaksi
ditambah kurs beli transaksi, dibagi 2 (dua).
Pasal 12
Aturan pelaksanaan antara lain mencakup pengaturan tentang bukti dokumen.
BAB IV
PERALIHAN
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas
BAB V
PENUTUP
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4945
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/37/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH </reg_title>
<set_date> 16 Desember 2008 </set_date>
<effective_date> 16 Desember 2008 </effective_date>
<issued_date> 16 Desember 2008 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2008', '23/UU/1999', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III', 'BAB IV Pasal 14' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/22/PBI/2015
TENTANG
KEWAJIBAN PEMBENTUKAN COUNTERCYCLICAL BUFFER
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kecenderungan pertumbuhan kredit yang bersifat
prosiklikal terhadap pertumbuhan ekonomi dapat
menyebabkan penilaian risiko yang tidak proporsional;
b. bahwa penilaian risiko yang tidak proporsional dapat
menyebabkan peningkatan risiko sistemik;
c. bahwa dalam rangka mencegah peningkatan risiko
sistemik dari pertumbuhan kredit yang berlebihan dan
untuk menyerap kerugian yang dapat ditimbulkan,
diperlukan adanya tambahan modal sebagai penyangga
berupa Countercyclical Buffer bagi bank;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Kewajiban Pembentukan Countercyclical Buffer;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa
kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
- 2 -
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/11/PBI/2014
tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5546);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN
PEMBENTUKAN COUNTERCYCLICAL BUFFER.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah,
termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri.
2. Countercyclical Buffer adalah tambahan modal yang
berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk
mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan
kredit dan/atau pembiayaan perbankan yang berlebihan
sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem
keuangan.
- 3 -
BAB II
KEWAJIBAN PEMBENTUKAN COUNTERCYLICAL BUFFER
Pasal 2
Bank wajib membentuk Countercyclical Buffer.
BAB III
PENETAPAN COUNTERCYLICAL BUFFER
Pasal 3
(1) Bank Indonesia menetapkan besaran dan waktu
pemberlakuan Countercyclical Buffer sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Dalam menetapkan Countercyclical Buffer bagi kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan
kantor cabang dari Bank domestik yang berada di luar
negeri, Bank Indonesia mengacu pada standar
internasional mengenai industri perbankan atau
kesepakatan antar otoritas.
Pasal 4
(1) Besaran Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) ditetapkan dalam kisaran paling
kurang sebesar 0% (nol persen) sampai dengan 2,5%
(dua koma lima persen) dari Aset Tertimbang Menurut
Risiko.
(2) Bank Indonesia dapat menetapkan besaran kisaran
Countercyclical Buffer yang berbeda dari kisaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
perkembangan kondisi makroekonomi, sistem keuangan
di Indonesia, dan/atau kondisi perekonomian global.
- 4 -
Pasal 5
(1) Untuk pertama kali, besarnya Countercyclical Buffer
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ditetapkan
sebesar 0% (nol persen).
(2) Kewajiban pembentukan Countercyclical Buffer
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 2016.
(3) Perubahan besaran Countercyclical Buffer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan waktu pemberlakuan
Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 6
(1) Pembentukan Countercyclical Buffer sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 wajib dipenuhi dengan
komponen Modal Inti Utama (Common Equity Tier 1).
(2) Bagi Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri, pembentukan Countercyclical Buffer
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib dipenuhi
dengan komponen pembentukan Capital Conservation
Buffer yang berlaku bagi kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri.
(3) Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diperhitungkan setelah komponen Modal Inti Utama
(Common Equity Tier 1) dialokasikan untuk memenuhi
kewajiban penyediaan:
a. modal inti utama minimum;
b. modal inti minimum; dan
c. modal minimum sesuai profil risiko.
- 5 -
BAB IV
EVALUASI COUNTERCYLICAL BUFFER
Pasal 7
(1) Bank Indonesia melakukan evaluasi besaran dan waktu
pemberlakuan Countercyclical Buffer paling kurang 1
(satu) kali dalam 6 (enam) bulan.
(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi dasar untuk menetapkan besaran dan waktu
pemberlakuan Countercyclical Buffer.
(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa penetapan:
a.
tetap pada besaran Countercyclical Buffer yang
berlaku; atau
b. perlunya penyesuaian besaran Countercyclical
Buffer.
(4) Dalam hal berdasarkan evaluasi ditetapkan bahwa
besaran Countercyclical Buffer tidak berubah maka
Bank Indonesia mengeluarkan pengumuman di laman
(website) Bank Indonesia.
(5) Dalam hal berdasarkan evaluasi perlu ditetapkan
perubahan Countercyclical Buffer maka Bank Indonesia
menerbitkan Surat Edaran Bank Indonesia mengenai
perubahan besaran dan waktu pemberlakuan
Countercyclical Buffer.
Pasal 8
(1) Bank Indonesia menetapkan penyesuaian
Countercyclical Buffer sebagai berikut:
a. kenaikan besaran Countercyclical Buffer; atau
b. penurunan besaran Countercyclical Buffer.
(2) Kenaikan besaran Countercyclical Buffer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a berlaku paling cepat 6
(enam) bulan dan paling lambat 12 (dua belas) bulan
sejak ditetapkan.
- 6 -
(3) Penurunan besaran Countercyclical Buffer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b berlaku paling cepat
sejak ditetapkan.
Pasal 9
Dalam menetapkan besaran dan waktu pemberlakuan
Countercyclical Buffer, Bank Indonesia dapat berkoordinasi
dengan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB V
PENGAWASAN
Pasal 10
Dalam melakukan pengawasan kewajiban pembentukan
Countercyclical Buffer, Bank Indonesia berkoordinasi dengan
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 11
Bank Indonesia menginformasikan Bank yang melanggar
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 5, dan
Pasal 6 kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk dikenakan
sanksi sesuai ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban
penyediaan modal minimum bank.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 7 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 373
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/22/PBI/2015
TENTANG
KEWAJIBAN PEMBENTUKAN COUNTERCYCLICAL BUFFER
I. UMUM
Terdapat kecenderungan pertumbuhan kredit yang bersifat
prosiklikal terhadap pertumbuhan ekonomi yaitu cenderung meningkat
ketika perekonomian berada dalam fase ekspansi (boom) dan cenderung
melambat ketika perekonomian menurun (bust). Perilaku prosiklikalitas
pertumbuhan kredit terhadap pertumbuhan ekonomi tersebut dapat
menyebabkan penilaian risiko yang tidak proporsional yaitu cenderung
mengabaikan risiko pada fase ekspansi dan sebaliknya.
Dalam rangka mencegah peningkatan risiko sistemik yang
bersumber dari pertumbuhan kredit yang berlebihan dan agar bank dapat
mengantisipasi kerugian yang dapat ditimbulkan, Basel Committee on
Banking Supervision memperkenalkan tambahan modal yang berfungsi
sebagai penyangga (buffer) yang disebut Countercyclical Buffer.
Countercyclical Buffer juga berfungsi untuk meningkatkan ketahanan
perbankan, sehingga dapat meredam pertumbuhan kredit yang
berlebihan pada fase ekspansi ekonomi dan menjadi pendukung
pertumbuhan kredit pada fase kontraksi ekonomi.
Risiko sistemik adalah potensi instabilitas sebagai akibat terjadinya
gangguan yang menular (contagion) pada sebagian atau seluruh sistem
keuangan karena interaksi dari faktor ukuran (size), kompleksitas usaha
(complexity), dan keterkaitan antar institusi dan/atau pasar keuangan
(interconnectedness), serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari
pelaku atau institusi keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian
- 2 -
(procyclicality).
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “standar internasional yang mengatur
industri perbankan” adalah Guidance for national authorities
operating the countercyclical capital buffer yang diterbitkan
Basel Committee on Banking Supervision.
Dalam hal negara tertentu tidak tunduk pada standar
internasional yang mengatur industri perbankan, penerapan
Countercyclical Buffer mengacu pada kesepakatan antar
otoritas.
Pasal 4
Ayat (1)
Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko adalah
sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur
mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Modal Inti Utama (Common Equity
Tier 1)” adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan yang
mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum
bank.
Ayat (2)
Pembentukan Countercyclical Buffer tetap diwajibkan bagi
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
meskipun home authority belum mewajibkan pembentukan
Countercyclical Buffer di wilayah yurisdiksinya.
Pembentukan Capital Conservation Buffer mengacu pada
ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan
modal minimum bank.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kewajiban penyediaan modal inti
utama minimum, modal inti minimum, dan modal minimum
sesuai profil risiko” adalah sebagaimana diatur dalam
ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan
modal minimum bank.
Countercyclical Buffer merupakan salah satu tambahan modal
yang diwajibkan dalam ketentuan yang mengatur mengenai
kewajiban penyediaan modal minimum bank.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberian waktu paling cepat 6 (enam) bulan dan paling
lambat 12 (dua belas) bulan dimaksudkan untuk memberikan
kesempatan kepada Bank dalam melakukan pembentukan
tambahan modal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5813
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 17/22/PBI/2015 </reg_id>
<reg_title> KEWAJIBAN PEMBENTUKAN COUNTERCYCLICAL BUFFER </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2015 </issued_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '16/11/PBI/2014' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 5 / 4 / PBI / 2003
TENTANG
PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN
SURAT UTANG NEGARA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah ditunjuk oleh Pemerintah sebagai
agen untuk melaksanakan lelang Surat Utang Negara di pasar
perdana dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
66/KMK.01/2003 tanggal 10 Februari 2003;
b. bahwa ketentuan
pasar perdana telah ditetapkan oleh Pemerintah
Keputusan Menteri Keuangan Nomor
pelaksanaan lelang Surat Utang Negara di
dengan
83/KMK.01/2003
tanggal 4 Maret 2003 tentang Lelang Surat Utang Negara di
Pasar Perdana;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, serta untuk
melaksanakan fungsi Bank Indonesia sebagai penatausaha
Surat Utang Negara dan sebagai agen untuk pelaksanaan
pembelian dan penjualan Surat Utang Negara di pasar
sekunder, dipandang perlu untuk mengatur mekanisme lelang
Surat Utang Negara yang transparan dan sistem
penatausahaan Surat Utang Negara yang efisien,
akurat dan terpercaya dalam Peraturan Bank Indonesia;
efektif,
Mengingat : …
-2-
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor
64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4236);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERBITAN,
PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN
SURAT UTANG NEGARA.
BAB I …
-3-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7
tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha perbankan
konvensional.
2. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat
Utang Negara, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi
Negara.
3. Surat Perbendaharaan Negara adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu
sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto.
4. Obligasi Negara adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu lebih dari 12
(dua belas) bulan dengan kupon dan atau dengan pembayaran bunga secara
diskonto.
5. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan Surat Utang Negara untuk
pertama kali.
6. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan Surat Utang Negara yang telah dijual
di Pasar Perdana.
7. Peserta Lelang adalah Bank, Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Perusahaan Efek
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia untuk dapat ikut serta
dalam Lelang Surat Utang Negara.
8. Diskonto …
-4-
8. Diskonto adalah selisih antara harga pasar dengan nilai nominal.
9. Yield to Maturity atau Yield adalah tingkat imbal hasil (keuntungan) yang
diharapkan oleh investor dalam persentase per tahun.
10. Penawaran Pembelian Kompetitif (competitive bidding) adalah
pengajuan
penawaran pembelian dengan mencantumkan volume dan tingkat diskonto atau
tingkat imbal hasil (yield) yang diinginkan penawar.
11.
Penawaran Pembelian Non-kompetitif (non-competitive bidding) adalah
pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume tanpa tingkat
diskonto atau tingkat imbal hasil (yield) yang diinginkan penawar.
12. Lelang Surat Utang Negara adalah penjualan Surat Utang Negara dengan cara
Peserta Lelang mengajukan Penawaran Pembelian Kompetitif
dan
Penawaran Pembelian Non-kompetitif dalam suatu periode waktu penawaran yang
telah ditentukan dan diumumkan sebelumnya.
13. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi pencatatan
kepemilikan surat berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan
Bank, Sub-Registry, dan pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia.
14. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan kustodian yang
ditunjuk Bank Indonesia untuk melakukan fungsi pencatatan kepemilikan surat
berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan nasabah.
15. Delivery Versus Payment yang untuk selanjutnya disebut DVP adalah setelmen
transaksi Surat Utang Negara dengan cara setelmen surat berharga dilakukan
bersamaan dengan setelmen dana di Bank Indonesia.
16. Free of Payment yang untuk selanjutnya disebut FoP adalah setelmen transaksi
Surat Utang Negara dengan cara setelmen surat berharga dilakukan di Central
Registry, sedangkan setelmen dana dilakukan tidak secara bersamaan dengan
setelmen surat berharga atau tanpa setelmen dana.
atau
BAB II …
-5-
BAB II
FUNGSI BANK INDONESIA
DALAM PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA
PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA
Pasal 2
Dalam rangka membantu Pemerintah untuk mengelola Surat Utang Negara, Bank
Indonesia melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. memberikan masukan dalam rangka menetapkan ketentuan dan persyaratan
penerbitan Surat Utang Negara;
b. bertindak sebagai agen lelang dalam penjualan Surat Utang Negara di Pasar
Perdana yang antara lain mengusulkan kriteria dan persyaratan Peserta Lelang,
melakukan seleksi calon Peserta Lelang, mengumumkan Peserta Lelang yang
ditunjuk Menteri Keuangan Republik Indonesia, mengumumkan rencana Lelang
Surat Utang Negara, melaksanakan Lelang Surat Utang Negara, dan
mengumumkan keputusan hasil Lelang Surat Utang Negara;
c. dapat bertindak sebagai agen dalam pembelian dan penjualan Surat Utang Negara
di Pasar Sekunder untuk kepentingan dan atas permintaan Pemerintah;
d. menatausahakan Surat Utang Negara yang mencakup pencatatan penerbitan dan
kepemilikan, kliring dan setelmen, serta agen pembayar bunga (kupon) dan pokok
Surat Utang Negara.
BAB III
KARAKTERISTIK SURAT UTANG NEGARA
Pasal 3
Surat Utang Negara yang ditatausahakan oleh Bank Indonesia mempunyai karakteristik
sebagai berikut :
a. diterbitkan …
-6-
a. diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat (scripless);
b. diterbitkan dalam bentuk yang diperdagangkan atau dalam bentuk yang tidak
diperdagangkan di Pasar Sekunder;
c. Surat Perbendaharaan Negara diterbitkan dengan jangka waktu sampai dengan 12
(dua belas) bulan dan dengan pembayaran bunga secara Diskonto;
d. Obligasi Negara diterbitkan dengan jangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan
dengan kupon mengambang (variable rate), kupon tetap (fixed rate), dan atau
pembayaran bunga secara Diskonto.
Pasal 4
Menteri Keuangan Republik Indonesia menetapkan ketentuan dan persyaratan Surat
Utang Negara.
BAB IV
LELANG SURAT UTANG NEGARA
Pasal 5
(1) Menteri Keuangan Republik Indonesia menetapkan kriteria dan persyaratan
Peserta Lelang.
(2) Bank Indonesia melakukan seleksi calon Peserta Lelang berdasarkan kriteria dan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Menteri Keuangan Republik Indonesia menunjuk Peserta Lelang berdasarkan hasil
seleksi calon Peserta Lelang yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2).
(4) Bank Indonesia mengumumkan Peserta Lelang yang ditunjuk Menteri Keuangan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 6 …
-7-
Pasal 6
(1) Orang perseorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang
terorganisasi dapat membeli Surat Utang Negara di Pasar Perdana.
(2) Pembelian Surat Utang Negara di Pasar Perdana sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dengan mengajukan penawaran pembelian kepada Bank
Indonesia melalui Peserta Lelang yang terdiri dari Bank, Perusahaan Pialang Pasar
Uang dan Perusahaan Efek.
(3) Dalam Lelang Surat Utang Negara, Bank dan Perusahaan Efek dapat mengajukan
penawaran pembelian untuk dan atas nama diri sendiri dan pihak lain sedangkan
Perusahaan Pialang Pasar Uang hanya dapat mengajukan penawaran pembelian
untuk dan atas nama pihak lain.
Pasal 7
(1) Penawaran pembelian dalam Lelang Surat Utang Negara dapat dilakukan dengan
cara Penawaran Pembelian Kompetitif atau dengan cara kombinasi Penawaran
Pembelian Kompetitif dan Penawaran Pembelian Non-kompetitif.
(2) Dalam hal Peserta Lelang melakukan penawaran pembelian Surat Utang Negara
untuk dan atas nama diri sendiri maka penawaran pembelian hanya dapat
dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif.
(3) Dalam hal Peserta Lelang melakukan penawaran pembelian Surat Utang Negara
untuk dan atas nama pihak lain maka penawaran pembelian dapat diajukan
dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif dan atau Penawaran Pembelian
Non-kompetitif.
(4) Menteri Keuangan Republik Indonesia menentukan alokasi Penawaran Pembelian
Non-kompetitif sebelum pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara.
Pasal 8 …
-8-
Pasal 8
(1) Bank Indonesia melakukan Lelang Surat Utang Negara sesuai kebutuhan
Pemerintah dan atas permintaan Menteri Keuangan Republik Indonesia.
(2) Bank Indonesia mengumumkan rencana Lelang Surat Utang Negara berdasarkan
pemberitahuan Lelang Surat Utang Negara oleh Menteri Keuangan Republik
Indonesia.
Pasal 9
(1) Menteri Keuangan Republik Indonesia menetapkan hasil dan pemenang Lelang
Surat Utang Negara.
(2) Penentuan pemenang Lelang Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berdasarkan sistem penentuan hasil Lelang Surat Utang Negara dengan
metode harga beragam (multiple price) atau dengan metode harga seragam
(uniform price).
(3) Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang Surat Utang Negara kepada Peserta
Lelang yang memenangkan Lelang Surat Utang Negara pada hari pelaksanaan
Lelang Surat Utang Negara.
(4) Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang Surat
Utang
Negara
secara
keseluruhan kepada publik pada hari pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara.
Pasal 10
(1) Menteri Keuangan Republik Indonesia berhak menolak seluruh atau sebagian dari
penawaran pembelian Surat Utang Negara.
(2) Bank Indonesia mengumumkan penolakan seluruh atau sebagian penawaran
pembelian Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
BAB V…
-9-
BAB V
PEMBELIAN DAN PENJUALAN SURAT UTANG NEGARA
DI PASAR SEKUNDER
Pasal 11
(1) Menteri Keuangan Republik Indonesia dapat menunjuk Bank Indonesia sebagai
agen untuk melaksanakan pembelian dan penjualan Surat Utang Negara di Pasar
Sekunder.
(2) Dalam hal Bank Indonesia ditunjuk sebagai agen sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan pembelian dan penjualan Surat Utang
Negara di Pasar Sekunder berdasarkan permintaan Menteri Keuangan Republik
Indonesia.
BAB VI
PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA
Pasal 12
(1) Bank Indonesia melakukan penatausahaan Surat Utang Negara secara elektronis.
(2) Penatausahaan Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1)
mencakup kegiatan pencatatan penerbitan dan kepemilikan, kliring dan setelmen
transaksi baik di Pasar Perdana maupun di Pasar Sekunder, pembayaran bunga
(kupon) dan pokok Surat Utang Negara yang jatuh waktu.
(3) Bank Indonesia dapat menunjuk dan atau bekerjasama dengan pihak lain untuk
mendukung penatausahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Bank Indonesia berwenang melakukan pengawasan terhadap pihak lain yang
ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
BAB VII …
-10-
BAB VII
PENCATATAN KEPEMILIKAN SURAT UTANG NEGARA
Pasal 13
(1) Pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara dilakukan tanpa warkat (scripless)
dan secara book entry.
(2) Pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara dilakukan secara two-tier system oleh
Central Registry dan Sub-Registry yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
(3) Catatan kepemilikan Surat Utang Negara secara elektronis pada sistem Central
Registry dan Sub-Registry merupakan bukti kepemilikan yang sah.
Pasal 14
(1) Central Registry melakukan pencatatan dan perubahan kepemilikan Surat Utang
Negara untuk kepentingan Bank, Sub-Registry, dan pihak lain yang memiliki
rekening surat berharga di Central Registry.
(2) Pencatatan dan perubahan kepemilikan Surat Utang Negara yang dilakukan oleh
Bank dan pihak lain yang tidak memiliki rekening surat berharga di Central
Registry dilakukan melalui Sub-Registry.
Pasal 15
(1) Sub-Registry hanya melakukan pencatatan dan perubahan kepemilikan
Utang Negara untuk kepentingan nasabah.
Surat
(2) Pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara pada rekening surat berharga Sub-
Registry di Central Registry bersifat global (omnibus account).
(3) Pencatatan …
-11-
(3) Pencatatan kepemilikan nasabah secara individual ditatausahakan Sub-Registry
secara book entry.
(4) Pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara pada rekening surat berharga Sub-
Registry di Central Registry sebagaimana dimaksud dalam ayat
merupakan bukti kepemilikan Surat Utang Negara atas nama Sub-Registry.
(2) bukan
(5) Kepemilikan Surat Utang Negara atas nama nasabah wajib dicatat secara terpisah
dari aset Sub-Registry.
(6) Sub-Registry tidak diperbolehkan memelihara rekening Surat Utang Negara untuk
dan atas nama diri sendiri, pengurus, pemegang saham dan pengelola serta
pegawai.
(7) Sub-Registry dapat mengenakan biaya administrasi kepada nasabah pemilik Surat
Utang Negara.
BAB VIII
SETELMEN TRANSAKSI SURAT UTANG NEGARA
Pasal 16
(1) Setelmen transaksi Surat Utang Negara di Pasar Perdana dilakukan sebagai
berikut:
a. Surat Perbendaharaan Negara pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah hari
pelaksanaan lelang Surat Perbendaharaan Negara (T+1);
b. Obligasi Negara selambat-lambatnya pada 5 (lima) hari kerja berikutnya
setelah pengumuman hasil pemenang lelang Obligasi Negara (T+5).
(2) Setelmen transaksi Surat Utang Negara baik di Pasar Perdana maupun di Pasar
Sekunder terdiri dari setelmen surat berharga dan atau setelmen dana.
(3) Setelmen …
-12-
(3) Setelmen transaksi Surat Utang Negara baik di Pasar Perdana maupun di Pasar
Sekunder dilakukan atas dasar prinsip DVP atau FoP.
(4) Setelmen transaksi Surat Utang Negara secara DVP dilakukan atas dasar sistem
setelmen gross to gross dan atau setelmen gross to net.
Pasal 17
(1) Dalam melakukan transaksi Surat Utang Negara, pihak yang tidak memiliki
rekening surat berharga di Central Registry wajib menunjuk suatu Sub-Registry
untuk melakukan setelmen surat berharga.
(2) Dalam melakukan transaksi Surat Utang Negara, pihak yang melakukan setelmen
transaksi Surat Utang Negara secara DVP dan tidak memiliki rekening giro
Rupiah di Bank Indonesia wajib menunjuk suatu Bank untuk melakukan setelmen
dana.
(3) Pihak yang melakukan transaksi Surat Utang Negara di Pasar Sekunder wajib
memiliki saldo yang mencukupi pada rekening surat berharga di Central Registry
atau di Sub-Registry untuk memenuhi kewajiban setelmen surat berharga.
(4) Bank yang melakukan transaksi Surat Utang Negara baik untuk dan atas nama diri
sendiri maupun untuk dan atas nama pihak lain, wajib memiliki saldo yang
mencukupi pada rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia untuk memenuhi
kewajiban setelmen dana.
(5) Dalam hal Bank atau pihak lain yang melakukan transaksi Surat Utang Negara
tidak dapat memenuhi kewajiban untuk setelmen surat berharga dan atau setelmen
dana maka setelmen Surat Utang Negara atas
dinyatakan batal.
transaksi yang bersangkutan
Pasal 18 …
-13-
Pasal 18
Dalam rangka setelmen Surat Utang Negara, Bank Indonesia berwenang untuk :
a. mendebet rekening surat berharga pemilik rekening di Central Registry, baik untuk
dan atas nama diri sendiri maupun untuk dan atas nama pihak lain;
b. mendebet rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia, baik untuk dan atas nama
Bank yang bersangkutan maupun untuk dan atas nama pihak lain.
BAB IX
PEMBAYARAN BUNGA (KUPON) DAN PELUNASAN POKOK SURAT
UTANG NEGARA JATUH WAKTU
Pasal 19
(1) Bank Indonesia melakukan pembayaran bunga (kupon) dan pelunasan pokok Surat
Utang Negara sebesar nilai nominal pada saat jatuh waktu atas beban Pemerintah.
(2) Atas permintaan Pemerintah, Bank Indonesia melakukan pelunasan pokok Surat
Utang Negara sebelum tanggal jatuh waktu atas beban Pemerintah.
(3) Pembayaran pokok dan bunga (kupon) Surat Utang Negara dilakukan oleh Bank
Indonesia berdasarkan posisi kepemilikan Surat Utang Negara yang tercatat di
Central Registry.
(4) Sub-Registry dan pemilik Surat Utang Negara yang tercatat di Central Registry
namun tidak memiliki rekening giro Rupiah di Bank Indonesia wajib menunjuk
suatu Bank untuk menerima pembayaran bunga (kupon) dan pokok jatuh waktu.
BAB X …
-14-
BAB X
BIAYA ADMINISTRASI
Pasal 20
Bank Indonesia dapat mengenakan biaya administrasi atas pelaksanaan Lelang Surat
Utang Negara kepada Peserta Lelang dan biaya penatausahaan Surat Utang Negara
kepada pemilik rekening surat berharga di Central Registry.
BAB XI
PELAPORAN
Pasal 21
Bank Indonesia melaporkan kegiatan penatausahaan Surat Utang Negara secara berkala
kepada Pemerintah.
BAB XII
SANKSI
Pasal 22
(1) Dalam hal Peserta Lelang melakukan Penawaran Pembelian Non-kompetitif untuk
dan atas nama diri sendiri sehingga tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Peserta Lelang dikenakan sanksi tidak boleh
mengikuti Lelang Surat Utang Negara sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut.
(2) Dalam hal Peserta Lelang yang memenangkan Lelang Surat Utang Negara tidak
melunasi kewajiban sampai dengan batas akhir waktu setelmen akibat Bank yang
melakukan setelmen dana tidak memiliki saldo yang mencukupi pada rekening
giro Rupiah Bank di Bank Indonesia maka seluruh hasil Lelang Surat Utang
Negara yang setelmennya dilakukan melalui Bank tersebut dimaksud adalah batal.
(3) Terhadap …
-15-
(3) Terhadap setiap transaksi batal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Peserta
Lelang dikenakan sanksi tidak boleh mengikuti Lelang Surat Utang Negara
sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut.
Pasal 23
(1) Bank Indonesia dapat mengenakan sanksi kepada Sub-Registry yang ditunjuk atas
pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa penghentian sementara
atau pencabutan atas penunjukan sebagai Sub-Registry.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 25
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia
Nomor 2/2/PBI/2000 tanggal 21 Januari 2000 tentang Penatausahaan dan Perdagangan
Obligasi Pemerintah dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 26 …
-16-
Pasal 26
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Maret 2003
GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 38
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 5 / 4 / PBI / 2003
TENTANG
PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN
SURAT UTANG NEGARA
UMUM
Dalam rangka membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas
penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam satu tahun anggaran dan
mengelola portofolio utang negara, Pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara di
dalam negeri.
Sehubungan dengan penerbitan Surat Utang Negara tersebut di atas, sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, Pemerintah
menunjuk Bank Indonesia sebagai agen lelang yang dapat menyelenggarakan kegiatan
penjualan Surat Utang Negara di Pasar Perdana (pasal 13), melakukan pembelian dan
penjualan Surat Utang Negara di Pasar Sekunder atas nama Pemerintah dalam rangka
pengelolaan portofolio utang negara (pasal 14), dan melakukan penatausahaan Surat
Utang Negara yang mencakup pencatatan penerbitan dan kepemilikan, kliring dan
setelmen baik di Pasar Primer maupun di Pasar Sekunder, serta agen pembayar bunga
(kupon) dan pokok Surat Utang Negara (pasal 12).
PASAL …
-2-
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a
Masukan ini dimaksudkan agar tercapai keselarasan antara kebijakan fiskal
termasuk manajemen utang, dan kebijakan moneter yang dilakukan oleh
Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Pelaksanaan pembelian dan penjualan di Pasar Sekunder mengikuti
mekanisme yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d …
-3-
Huruf d
Obligasi Negara yang diterbitkan tanpa kupon dan diperdagangkan
berdasarkan sistem Diskonto disebut Zero coupon bond.
Pasal 4
Ketentuan dan persyaratan Surat Utang Negara antara lain mencakup tanggal
penerbitan, unit terkecil yang diterbitkan, jumlah nominal penerbitan, tanggal
pembayaran kupon dan tanggal jatuh tempo Surat Utang Negara.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengumuman ditujukan kepada Peserta Lelang dan kepada publik.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Perusahaan Pialang
Pasar
Uang
adalah
perusahaan yang memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia untuk
melakukan kegiatan jasa perantara bagi kepentingan nasabah di bidang
pasar uang dan di bidang pasar modal khusus untuk Surat Utang Negara.
Yang …
-4-
Yang dimaksud dengan Perusahaan Efek adalah Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Kebutuhan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dituangkan
dalam kalender penerbitan (calendar of issuance) yang diterbitkan oleh
Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Yang dimaksud dengan kalender penerbitan (calendar of issuance) adalah
rencana penerbitan Surat Utang Negara oleh Pemerintah pada periode
tertentu.
Ayat (2)
Pengumuman rencana Lelang Surat Utang Negara dilakukan melalui
Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) dan atau sarana lainnya.
Pengumuman …
-5-
Pengumuman rencana Lelang Surat Utang Negara memuat sekurang-
kurangnya waktu pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara, jumlah
indikatif yang ditawarkan, jangka waktu, tanggal penerbitan, tanggal
setelmen, tanggal jatuh tempo, mata uang, sistem penentuan pemenang
Lelang Surat Utang Negara, dan waktu pengumuman hasil Lelang Surat
Utang Negara, serta alokasi Penawaran Pembelian Kompetitif dan
Penawaran Pembelian Non-kompetitif.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan harga beragam adalah harga yang dibayarkan oleh
masing-masing pemenang Lelang Surat Utang Negara sesuai dengan
harga penawaran yang diajukannya.
Yang dimaksud dengan harga seragam adalah harga yang dibayarkan oleh
seluruh pemenang Lelang Surat Utang Negara dengan harga seragam.
Sistem penentuan hasil pemenang Lelang Surat Utang Negara dapat
dilakukan dengan sistem Stop-out Rate dan Cut-off Rate.
Yang dimaksud dengan sistem Stop-out Rate adalah penjualan Surat
Utang Negara berdasarkan target jumlah Surat Utang Negara yang akan
dijual Pemerintah.
Yang dimaksud dengan sistem Cut-off Rate adalah penjualan Surat Utang
Negara berdasarkan target tingkat suku bunga (tingkat Diskonto atau
Yield).
Ayat (3) …
-6-
Ayat (3)
Pengumuman hasil Lelang Surat Utang Negara kepada Peserta Lelang
yang memenangkan Lelang Surat Utang Negara dilakukan melalui sarana
lelang dan sekurang-kurangnya mencakup nama pemenang, nilai nominal
yang dimenangkan dan tingkat Diskonto atau Yield yang diperoleh.
Ayat (4)
Pengumuman hasil Lelang Surat Utang Negara kepada publik dilakukan
melalui Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) dan atau sarana lain yang
sekurang-kurangnya mencakup jumlah Lelang Surat Utang Negara secara
keseluruhan, rata-rata tertimbang tingkat Diskonto atau Yield hasil Lelang
Surat Utang Negara, dan tingkat Diskonto atau Yield terendah dan
tertinggi hasil Lelang Surat Utang Negara.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12 …
-7-
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan setelmen transaksi Surat Utang Negara adalah
setelmen yang terdiri dari setelmen dana dan atau setelmen surat berharga.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan book entry adalah pencatatan kepemilikan dan
perpindahan kepemilikan tanpa warkat (scripless) dalam suatu jurnal
elektronis.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 15 …
-8-
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Besarnya biaya yang dikenakan kepada nasabahnya diserahkan sesuai
ketentuan masing-masing Sub-Registry.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4) …
-9-
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan setelmen Gross to gross adalah setelmen Surat
Utang Negara dimana setelmen surat berharga dan setelmen
dana
dilakukan berdasarkan transaksi per transaksi (trade by trade).
Yang dimaksud dengan setelmen Gross to net adalah setelmen Surat
Utang Negara dimana setelmen surat berharga dilakukan secara transaksi
per transaksi (trade by trade) sedangkan setelmen dana secara netting
sistem.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 18
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 19 …
-10-
Pasal 19
Ayat (1)
Bank Indonesia hanya melakukan pembayaran bunga (kupon) dan pokok
Surat Utang Negara sepanjang tersedianya dana yang cukup pada
rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Pelaporan tersebut antara lain mencakup posisi Surat Utang Negara yang
diterbitkan, posisi kepemilikan Surat Utang Negara, Diskonto yang dibayarkan,
dan data transaksi perdagangan Surat Utang Negara.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 23 …
-11-
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Pokok-pokok ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia memuat
antara lain :
a. tata cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana;
b. kriteria dan persyaratan Peserta Lelang;
c. persyaratan dan tata cara penunjukan Sub-Registry;
d. tata cara penatausahaan Surat Utang Negara;
e. besarnya biaya administrasi atas pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara dan
biaya administrasi atas penatausahaan Surat Utang Negara.
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4278
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 5/4/PBI/2003 </reg_id>
<reg_title> PENERBITAN, PENJUALAN DAN PEMBELIAN SERTA PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA </reg_title>
<set_date> 21 Maret 2003 </set_date>
<effective_date> 21 Maret 2003 </effective_date>
<replaced_reg> '2/2/PBI/2000' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/18/PBI/2014
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/8/PBI/2013
TENTANG TRANSAKSI LINDUNG NILAI KEPADA BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai Rupiah;
b. bahwa kestabilan nilai Rupiah yang salah satunya
dipengaruhi oleh kestabilan nilai tukar Rupiah
memerlukan dukungan pasar keuangan khususnya
pasar valuta asing domestik yang dalam untuk
menjaga kelangsungan kegiatan ekonomi nasional;
c. bahwa dalam rangka menjaga kelangsungan kegiatan
ekonomi nasional perlu dilakukan penguatan struktur
pasar valuta asing domestik melalui peningkatan
transaksi lindung nilai kepada bank;
d. bahwa peran Bank Indonesia diperlukan untuk
mendorong pendalaman pasar valuta asing domestik
melalui harmonisasi pengaturan dengan cakupan
yang komprehensif, khususnya terkait dengan
transaksi lindung nilai kepada bank;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf
d, perlu melakukan perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 15/8/PBI/2013 tentang Transaksi
Lindung Nilai Kepada Bank;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun …
- 2 -
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
15/8/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI LINDUNG NILAI
KEPADA BANK.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/8/PBI/2013 tentang Transaksi Lindung Nilai Kepada Bank (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 162, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5451) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal …
- 3 -
Pasal 3
(1) Transaksi Lindung Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap Rupiah
antara Bank dengan pihak domestik.
(2) Dalam melakukan Transaksi Lindung Nilai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2), Bank wajib memenuhi ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai transaksi derivatif.
(3) Dalam melakukan Transaksi Lindung Nilai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2), Bank wajib menerapkan manajemen risiko
sesuai dengan ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko
Bank yang diterbitkan oleh otoritas yang berwenang.
2. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Transaksi Lindung Nilai wajib didukung dokumen underlying
transaksi dan/atau dokumen pendukung sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta asing
terhadap Rupiah antara Bank dengan pihak domestik.
(2) Nilai nominal Transaksi Lindung Nilai paling banyak sebesar nilai
nominal underlying transaksi yang tercantum di dalam dokumen
underlying transaksi.
(3) Jangka waktu Transaksi Lindung Nilai paling lama sama dengan
jangka waktu underlying transaksi yang tercantum di dalam
dokumen underlying transaksi.
3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
Penyelesaian Transaksi Lindung Nilai dilakukan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta
asing terhadap Rupiah antara Bank dengan pihak domestik.
4. Ketentuan …
- 4 -
4. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4 dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi
valuta asing terhadap Rupiah antara Bank dengan pihak domestik.
(2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai transaksi derivatif.
(3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
mengenai penerapan manajemen risiko Bank yang diterbitkan oleh
otoritas yang berwenang.
(4) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai laporan harian bank umum.
5. Di antara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 9A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9A
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat Edaran
Bank Indonesia No. 15/42/DPM tanggal 8 Oktober 2013 perihal
Transaksi Lindung Nilai Kepada Bank dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 10 November
2014.
Agar …
- 5 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 September 2014
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 September 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 214
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 16/18/PBI/2014 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/8/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI LINDUNG NILAI KEPADA BANK </reg_title>
<set_date> 17 September 2014 </set_date>
<effective_date> 10 November 2014 </effective_date>
<issued_date> 17 September 2014 </issued_date>
<changed_reg> '15/8/PBI/2013' </changed_reg>
<replaced_reg> '15/42/DPM|SE-BI/2013' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 4 Pasal 8' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2/ 8 /PBI/2000
TENTANG
PASAR UANG ANTARBANK
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa
dalam
rangka
menyediakan sarana
untuk penanaman dana atau pengelolaan dana
berdasarkan prinsip syariah perlu diselenggarakan
pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah;
b. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk
menetapkan ketentuan tentang pasar uang antarbank
berdasarkan prinsip syariah dalam suatu Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3790);
2. Undang …
- 2 -
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PASAR
UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP
SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Konvensional adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan
kegiatan usaha secara konvensional;
2. Bank Syariah adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk Unit Usaha Syariah;
3. Unit …
- 3 -
3. Unit Usaha Syariah, yang untuk selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja
di kantor pusat Bank Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari
kantor cabang syariah;
4. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang untuk selanjutnya
disebut PUAS, adalah kegiatan investasi jangka pendek dalam rupiah antar
peserta pasar berdasarkan prinsip Mudharabah;
5. Mudharabah adalah perjanjian antara penanam dana dan pengelola dana
untuk melakukan kegiatan usaha guna memperoleh keuntungan, dan
keuntungan tersebut akan dibagikan kepada kedua belah pihak berdasarkan
nisbah yang telah disepakati sebelumnya;
6. Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank, yang untuk selanjutnya disebut
Sertifikat IMA, adalah
sertifikat yang digunakan sebagai sarana untuk
mendapatkan dana dengan prinsip Mudharabah;
7. Pusat Informasi Pasar Uang, yang untuk selanjutnya disebut PIPU, adalah
sistem otomasi yang menyediakan informasi pasar uang yang diatur oleh
Bank Indonesia.
BAB II
PESERTA DAN PIRANTI
PASAR UANG ANTARBANK
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
Pasal 2
(1) Peserta PUAS terdiri atas Bank Syariah dan Bank Konvensional.
(2) Bank …
- 4 -
(2) Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat melakukan
penanaman dana dan atau pengelolaan dana.
(3) Bank Konvensional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
melakukan penanaman dana.
Pasal 3
Dalam melakukan transaksi PUAS bank hanya dapat menggunakan Sertifikat
IMA.
BAB III
PERSYARATAN SERTIFIKAT IMA
Pasal 4
(1) Sertifikat IMA yang diterbitkan oleh bank pengelola dana memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. sekurang-kurangnya mencantumkan:
1. Kata-kata “SERTIFIKAT INVESTASI MUDHARABAH
ANTARBANK”;
2. Tempat dan tanggal penerbitan Sertifikat IMA;
3. Nomor seri Sertifikat IMA;
4. Nilai nominal investasi;
5. Nisbah bagi hasil;
6. Jangka waktu investasi;
7. Tingkat indikasi imbalan;
8. Tanggal pembayaran nilai nominal investasi dan imbalan;
9. Tempat …
- 5 -
9. Tempat pembayaran;
10. Nama bank penanam dana;
11. Nama bank penerbit dan tanda tangan pejabat yang berwenang;
b. berjangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari;
c. diterbitkan oleh kantor pusat Bank Syariah atau UUS.
(2) Format Sertifikat IMA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-
kurangnya mengikuti format sebagaimana terlampir.
Pasal 5
(1) Nominal Sertifikat IMA harus ditulis dalam angka dan huruf.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan penulisan nominal antara angka dan huruf,
maka yang berlaku adalah jumlah dalam huruf yang ditulis selengkap-
lengkapnya.
BAB IV
MEKANISME TRANSAKSI
SERTIFIKAT INVESTASI MUDHARABAH
ANTARBANK
Pasal 6
(1) Sertifikat IMA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diterbitkan oleh Bank
Syariah pengelola dana dalam rangkap 3 (tiga).
(2) Sertifikat …
- 6 -
(2) Sertifikat IMA yang diterbitkan oleh Bank Syariah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib diserahkan kepada bank penanam dana sebagai bukti
penanaman dana.
Pasal 7
(1) Pembayaran Sertifikat IMA oleh bank penanam dana dapat dilakukan
dengan menggunakan
nota kredit melalui kliring atau bilyet giro Bank
Indonesia dengan melampiri lembar kedua Sertifikat IMA, atau transfer dana
secara elektronis.
(2) Dalam hal pembayaran Sertifikat IMA dilakukan dengan menggunakan
transfer dana secara elektronis, bank penanam dana wajib menyampaikan
lembar kedua Sertifikat IMA kepada Bank Indonesia.
Pasal 8
(1) Sertifikat IMA yang belum jatuh waktu dapat dipindahtangankan kepada
bank lain.
(2) Pemindahtanganan Sertifikat IMA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.
(3) Dalam hal terjadi pemindahtanganan Sertifikat IMA sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), bank terakhir pemegang Sertifikat IMA wajib
memberitahukan kepada bank penerbit Sertifikat IMA.
BAB V …
- 7 -
BAB V
PENYELESAIAN TRANSAKSI
Pasal 9
(1) Pada saat Sertifikat IMA jatuh waktu, bank penerbit membayar kepada bank
pemegang Sertifikat IMA sebesar nilai nominal investasi.
(2) Pembayaran oleh bank penerbit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat dilakukan dengan menggunakan nota kredit melalui kliring,
menggunakan bilyet giro Bank Indonesia, atau transfer dana secara
elektronis.
BAB VI
PERHITUNGAN IMBALAN
Pasal 10
(1) Tingkat realisasi imbalan Sertifikat IMA mengacu pada tingkat imbalan
deposito investasi Mudharabah bank penerbit sesuai dengan jangka waktu
penanaman.
(2) Besarnya imbalan Sertifikat IMA dihitung berdasarkan jumlah nominal
investasi, tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah sesuai dengan
jangka waktu penanaman dana dan nisbah bagi hasil yang disepakati.
(3) Realisasi pembayaran imbalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilakukan pada hari kerja pertama bulan berikutnya.
BAB VII …
- 8 -
BAB VII
PELAPORAN
Pasal 11
(1) Bank penerbit Sertifikat IMA wajib melaporkan kepada Bank Indonesia
pada hari penerbitan Sertifikat IMA mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. nilai nominal investasi;
b. nisbah bagi hasil;
c. jangka waktu investasi;
d. tingkat indikasi imbalan Sertifikat IMA.
(2) Bank penerbit Sertifikat IMA wajib melaporkan kepada Bank Indonesia
tingkat realisasi imbalan Sertifikat IMA pada hari kerja pertama setiap bulan.
(3) Pada hari kerja pertama setiap bulan, Bank Syariah wajib melaporkan
kepada Bank Indonesia tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah
untuk semua periode jangka waktu.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
disampaikan melalui sarana PIPU.
(5) Dalam hal bank belum memiliki sarana PIPU atau mengalami kerusakan
pada sarana PIPU, maka pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3) disampaikan secara manual kepada:
a. Direktorat Pengelolaan Moneter c.q. Bagian Operasi Pasar Uang, Bank
Indonesia, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110, bagi Bank Syariah
yang berkantor pusat di wilayah Jabotabek.
b. Direktorat …
- 9 -
b. Direktorat Pengelolaan Moneter c.q. Bagian Operasi Pasar Uang, Bank
Indonesia, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110, melalui Kantor Bank
Indonesia setempat bagi Bank Syariah yang berkantor pusat di luar
wilayah Jabotabek.
Pasal 12
Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilakukan oleh Kantor Pusat
Bank Syariah atau UUS penerbit Sertifikat IMA.
BAB VIII
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Pasal 13
Dalam hal terjadi perselisihan, maka penyelesaian perselisihan dapat dilakukan
melalui badan arbitrase berdasarkan prinsip syariah yang berkedudukan di
Indonesia.
BAB IX …
- 10 -
BAB IX
PENUTUP
Pasal 14
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Maret 2000.
- 11 -
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Februari 2000
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 23
DPM
- 12 -
PENJELASAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2/ 8 /PBI/2000
TENTANG
PASAR UANG ANTARBANK
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
I. UMUM
Perbankan yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi antara pemilik dan
pengelola dana dapat berpotensi mengalami kekurangan atau kelebihan
likuiditas. Kekurangan likuiditas umumnya disebabkan oleh perbedaan jangka
waktu antara sumber dan penanaman dana sedangkan kelebihan likuiditas dapat
terjadi karena dana yang terhimpun belum dapat disalurkan kepada yang
membutuhkan.
Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998, telah berdiri bank-bank umum yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah. Hal ini memberikan kesempatan kepada
masyarakat luas untuk menyimpan dana dan memperoleh pembiayaan serta
jasa perbankan lainnya berdasarkan prinsip syariah.
Dalam upaya untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan dana perlu
diselenggarakan pasar uang berdasarkan prinsip syariah serta piranti yang dapat
digunakan untuk menanamkan dana baik bagi Bank Konvensional maupun
Bank Syariah, dan untuk memperoleh dana bagi Bank Syariah.
II. PASAL …
II. PASAL DEMI PASAL
- 13 -
Pasal 1
Butir 1 sampai dengan butir 7
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) dan ayat (3)
Pada dasarnya PUAS dimaksudkan sebagai sarana investasi
antar
Bank Syariah
sehingga Bank Syariah tidak dapat
melakukan penanaman dana pada Bank Konvensional untuk
menghindari pemanfaatan dana yang akan menghasilkan suku
bunga, namun tidak tertutup kemungkinan bagi Bank
Konvensional untuk melakukan investasi pada Bank Syariah.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tingkat indikasi imbalan adalah tingkat
imbalan deposito investasi Mudharabah (sebelum
didistribusikan) pada bulan sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5 …
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
- 14 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Asli dan lembar kedua Sertifikat IMA diserahkan kepada bank
penanam dana. Lembar kedua Sertifikat IMA digunakan oleh
bank penanam dana sebagai lampiran pada pembayaran dengan
nota kredit, atau bilyet giro Bank Indonesia, atau dikirim ke
Bank Indonesia dalam hal pembayaran dengan transfer dana
secara elektronis. Sedangkan lembar ketiga untuk arsip bank
penerbit.
Ayat (2)
Penyerahan oleh bank penerbit dan diterimanya Sertifikat IMA
oleh bank penanam dana menunjukkan adanya kesepakatan
antara para pihak untuk mematuhi pernyataan-pernyataan yang
tercantum dalam Sertifikat IMA tersebut.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8 …
Pasal 8
Ayat (1)
- 15 -
Pemindahtanganan Sertifikat IMA dapat dilakukan dengan
menggunakan akta otentik baik dibawah tangan maupun
notariil.
Ayat (2)
Pemindahtanganan Sertifikat IMA hanya dapat dilakukan oleh
bank penanam dana pertama sedangkan bank penanam dana
selanjutnya tidak diperkenankan memindahtangankan Sertifikat
IMA kepada bank lainnya hingga berakhirnya jangka waktu
sertifikat dimaksud.
Ayat (3)
Tujuan memberitahukan dari bank pemegang Sertifikat IMA
terakhir kepada bank penerbit Sertifikat IMA adalah untuk
memudahkan bank penerbit Sertifikat IMA dalam membayar
nominal pada saat jatuh waktu dan pembayaran imbalan.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Tingkat realisasi imbalan Sertifikat IMA yang berjangka
waktu:
n
sampai dengan 30 hari mengacu pada tingkat imbalan
deposito investasi Mudharabah (sebelum didistribusikan)
dengan jangka waktu 1 (satu) bulan;
§ di atas …
- 16 -
n
di atas 30 hari sampai dengan 90 hari mengacu pada tingkat
imbalan deposito investasi Mudharabah (sebelum
didistribusikan) dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan.
Yang dimaksud dengan tingkat realisasi imbalan Sertifikat IMA
adalah tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah (sebelum
didistribusikan) dikali nisbah bagi hasil untuk bank penanam
dana.
Ayat (2)
Rumus perhitungan besarnya imbalan Sertifikat IMA sebagai
berikut:
X = P x R x t/360 x k
Keterangan:
X = Besarnya imbalan yang diberikan kepada bank
penanam dana
P = Nilai nominal investasi
R = Tingkat imbalan deposito investasi
Mudharabah (sebelum didistribusikan)
T = Jangka waktu investasi
K = Nisbah bagi hasil untuk bank penanam dana
atau
X = P x t/360 x tingkat realisasi Imbalan
Sertifikat IMA
Contoh 1 …
Contoh 1
- 17 -
Bank A
n
n
pada bulan Maret 2000, R deposito investasi Mudharabah 1
bulan = 8% dan 3 bulan = 8,5 %.
pada bulan April 2000, R deposito investasi Mudharabah 1
bulan = 9 % dan 3 bulan = 10 %.
Tanggal 3 Maret 2000:
Bank B menanamkan dana pada Bank A dalam bentuk
Sertifikat IMA sebesar Rp 10 miliar selama 10 hari dengan
nisbah bagi hasil yang disepakati (70:30).
Tanggal 15 Maret 2000:
Bank C menanamkan dana pada Bank A dalam bentuk
Sertifikat IMA sebesar Rp 20 miliar selama 40 hari dengan
nisbah bagi hasil yang disepakati (75:25).
Pengembalian nominal investasi:
n
n
kepada Bank B sebesar Rp10 miliar pada tanggal 13 Maret
2000.
kepada Bank C sebesar Rp20 miliar pada tanggal 24 April
2000.
Pembayaran imbalan Sertifikat IMA:
Tanggal 3 April 2000:
n
kepada Bank B sebesar
Rp10 miliar x 8% x 10/360 x 0,7 = Rp15,55 juta.
§ kepada …
n
kepada Bank C sebesar
Rp20 miliar x 8,5% x 16/360 x 0,75 = Rp56,67 juta.
- 18 -
Tanggal 1 Mei 2000:
n
kepada Bank C sebesar
Rp20 miliar x 10% x 24/360 x 0,75 = Rp99,99 juta.
Contoh 2
Bank A
n
n
pada bulan Maret 2000, R deposito investasi Mudharabah 1
bulan = 8% dan 3 bulan = 8,5 %.
pada bulan April 2000, R deposito investasi Mudharabah 1
bulan = 9 % dan 3 bulan = 10 %.
Tanggal 3 Maret 2000:
Bank B menanamkan dana pada Bank A dalam bentuk
Sertifikat IMA sebesar Rp 10 miliar selama 10 hari dengan
nisbah bagi hasil yang disepakati (70:30).
Tanggal 10 Maret 2000:
Bank B memindahtangankan Sertifikat IMA kepada Bank D
yang selanjutnya membayarkan jumlah investasi kepada Bank
B sesuai dengan jumlah yang disepakati.
Tanggal 15 Maret 2000:
Bank C menanamkan dana pada Bank A dalam bentuk
Sertifikat IMA sebesar Rp 20 miliar selama 40 hari dengan
nisbah bagi hasil yang disepakati (75:25).
Tanggal 11 April 2000:
Tanggal …
Bank C memindahtangankan Sertifikat IMA kepada Bank E
yang selanjutnya membayarkan jumlah investasi kepada Bank
C sesuai dengan jumlah yang disepakati.
- 19 -
Pengembalian nominal investasi:
n
n
kepada Bank D sebesar Rp10 miliar pada tanggal 13 Maret
2000.
kepada Bank E sebesar Rp20 miliar pada tanggal 24 April
2000.
Pembayaran imbalan Sertifikat IMA:
Tanggal 3 April 2000:
n
kepada Bank D sebesar
Rp10 miliar x 8% x 10/360 x 0,7 = Rp15,55 juta.
n
kepada Bank C sebesar
Rp20 miliar x 8,5% x 16/360 x 0,75 = Rp56,67 juta.
Tanggal 1 Mei 2000:
n
kepada Bank E sebesar
Rp20 miliar x 10% x 24/360 x 0,75 = Rp99,99 juta.
Dalam menghitung tingkat imbalan (R) dapat menggunakan 2
metode yaitu revenue sharing atau profit sharing. Dalam hal
bank penerbit Sertifikat IMA menggunakan metode profit
sharing, tingkat imbalan (R) dapat bernilai negatif bila bank
penerbit mengalami kerugian. Dalam
bank penanam
hal R bernilai negatif,
dana tidak akan memperoleh imbalan. Selanjutnya, sepanjang
kerugian tersebut bukan disebabkan oleh kecurangan/kelalaian
bank penerbit, bank penanam dana akan menanggung kerugian
tersebut maksimum sebesar nilai nominal investasi.
Ayat (3)
Cukup jelas
dana …
- 20 -
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tingkat indikasi imbalan Sertifikat IMA
adalah tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah
(sebelum didistribusikan) pada bulan sebelumnya dikali nisbah
bagi hasil untuk bank penanam dana.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13 …
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
- 21 -
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3936
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/8/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 23 Februari 2000 </set_date>
<effective_date> 1 Maret 2000 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/39/PBI/2016
TENTANG
PENGELUARAN UANG RUPIAH LOGAM
PECAHAN 100 (SERATUS)
TAHUN EMISI 2016
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis,
baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus
dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara
Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah
dalam kegiatan perekonomian nasional guna
mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia;
b. bahwa guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka
melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu
mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal
yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan
dalam kondisi yang layak edar;
c. bahwa untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank
- 2 -
Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan
keandalannya;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Pengeluaran Uang Rupiah Logam Pecahan 100 (Seratus)
Tahun Emisi 2016;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN
UANG RUPIAH LOGAM PECAHAN 100 (SERATUS) TAHUN
EMISI 2016.
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 100
(seratus) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- 3 -
Pasal 2
Macam uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
merupakan uang Rupiah logam yang memiliki ciri tertentu.
Pasal 3
Harga uang Rupiah logam sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp100,00 (seratus
rupiah).
Pasal 4
Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
terdapat pada bagian depan dan bagian belakang meliputi:
a. ciri umum; dan
b. ciri khusus.
Pasal 5
Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a
yaitu:
a. pada bagian depan terdapat:
1. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”;
2. frasa “REPUBLIK INDONESIA”; dan
3. gambar
utama yaitu
Pahlawan Nasional
Prof. Dr. Ir. Herman Johannes beserta tulisan
“Prof. Dr. Ir. HERMAN JOHANNES”; dan
b. pada bagian belakang terdapat:
1. sebutan pecahan dalam angka “100”;
2. tulisan tahun emisi yaitu “2016”;
3. tulisan “BANK INDONESIA”; dan
4. tulisan “RUPIAH”.
Pasal 6
Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b
yang berupa desain, bahan, dan teknik cetak sebagai berikut:
a. warna, dominan putih aluminium;
b. bahan, terbuat dari aluminium;
- 4 -
c.
berat, 1,79 (satu koma tujuh puluh sembilan) gram
dengan toleransi ± (lebih kurang) 0,05 (nol koma nol lima)
gram;
d. diameter, 23,00 (dua puluh tiga) milimeter dengan
toleransi ± (lebih kurang) 0,05 (nol koma nol lima)
milimeter; dan
e.
tebal sisi, 2,00 (dua) milimeter dengan toleransi ± (lebih
kurang) 0,10 (nol koma sepuluh) milimeter.
Pasal 7
Uang Rupiah logam pecahan 100 (seratus) tahun emisi 1999
dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang
sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang
belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
Pasal 8
Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai
berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016.
Pasal 9
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 5 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Oktober 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 223
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/39/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH LOGAM PECAHAN 100 (SERATUS) TAHUN EMISI 2016 </reg_title>
<set_date> 26 Oktober 2016 </set_date>
<effective_date> 28 Oktober 2016 </effective_date>
<issued_date> 28 Oktober 2016 </issued_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 12/ 5 /PBI/2010
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
7/18/PBI/2005 TENTANG SISTEM KLIRING NASIONAL BANK
INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mendukung kelancaran dan efisiensi sistem
pembayaran perlu dilakukan
penyempurnaan
mekanisme penyelenggaraan kliring debet dalam Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu melakukan perubahan
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/18/PBI/2005
tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor …
-2-
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/18/PBI/2005 TENTANG SISTEM KLIRING
NASIONAL BANK INDONESIA.
Pasal …
-3-
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia No.7/18/PBI/2005 Tentang
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4516) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 4 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
4. Kliring adalah pertukaran data keuangan elektronik dan/atau warkat antar
peserta kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah yang
perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu.
2. Ketentuan Pasal 13 ayat (2) diubah, sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 13
(1) Penyelesaian Akhir pada penyelenggaraan Kliring Debet dan Kliring
Kredit dilakukan oleh PKN berdasarkan hasil perhitungan secara net
multilateral.
(2) Penyelesaian Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan prinsip pembaruan utang (novasi) dengan memperhatikan
kecukupan dana dari Peserta.
(3) Penyelesaian Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final
dan tidak dapat dibatalkan.
(4) Penyelesaian Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan prinsip same day settlement.
3. Ketentuan …
-4-
3. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Perhitungan Kliring Debet dilakukan atas dasar DKE Debet yang diterima
oleh PKL dan didukung dengan pendanaan awal (prefund) Peserta
penerima yang cukup.
(2) Dalam hal terdapat DKE Debet yang tidak didukung dengan pendanaan
awal (prefund) Peserta penerima yang cukup pada jadwal
penyelenggaraan Kliring di suatu PKL, maka PKL tidak
memperhitungkan sebagian atau seluruh DKE Debet Peserta penerima di
Wilayah Kliring dimaksud.
(3) PKL tidak memperhitungkan sebagian atau seluruh DKE Debet Peserta
penerima yang tidak didukung dengan pendanaan awal (prefund)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan informasi dari PKN.
(4) Dalam hal terdapat DKE yang tidak diperhitungkan dalam penyelesaian
akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka Warkat Debet dari
DKE tersebut harus diselesaikan antara Peserta penerima dan Peserta
pengirim.
(5) Ketentuan mengenai perhitungan Kliring Debet berdasarkan DKE Debet
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
4. Pasal …
-5-
4. Pasal 23 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 23 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23
(1) PKN menyediakan informasi mengenai potensi kewajiban masing-masing
Bank secara nasional yang harus dipenuhi dengan pendanaan awal
(prefund) oleh Bank dalam Kliring penyerahan sesuai jadwal Kliring
penyerahan pada masing-masing Wilayah Kliring.
(2) Dalam hal potensi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih
besar daripada total pendanaan awal (prefund) Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), maka Bank harus menambah
kekurangan pendanaan awal (prefund) dalam bentuk dana tunai (cash
prefund) dan/atau agunan (collateral prefund) sampai dengan batas waktu
sesuai jadwal Kliring di masing-masing Wilayah Kliring.
(3) Ketentuan mengenai mekanisme dan penetapan batas waktu penambahan
pendanaan awal (prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
5. Ketentuan Pasal 24 ayat (2) huruf d dan Pasal 24 ayat (4) dihapus, sehingga
Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
(1) Penyelesaian Akhir atas hasil perhitungan Kliring Debet secara nasional
dilakukan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Kewajiban …
-6-
(2) Kewajiban Bank dalam Penyelesaian Akhir Kliring Debet secara nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipenuhi dari sumber dana dengan
prioritas penggunaan sebagai berikut:
a. Dana tunai (cash prefund) yang disediakan oleh Bank sampai dengan
berakhirnya batas waktu penambahan pendanaan awal (prefund)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2);
b. Dana yang tersedia pada rekening giro Bank di Bank Indonesia.
c. Agunan (collateral prefund) yang tersedia pada rekening agunan FLI-
Kliring atau rekening agunan FLIS-Kliring yang disediakan oleh
Bank sampai dengan berakhirnya batas waktu penambahan pendanaan
awal (prefund) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2);
d. Dihapus
(3) Mekanisme penggunaan dan penyelesaian agunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai fasilitas likuiditas intrahari bagi Bank umum
dan fasilitas likuiditas intrahari bagi bank yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah.
(4) Dihapus.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme Penyelesaian Akhir atas
hasil perhitungan Kliring Debet diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
6. Di antara …
-7-
6. Di antara Pasal 88 dan Pasal 89 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni Pasal 88A,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 88A
(1) Penyelenggara Kliring Lokal dan Peserta dapat menyepakati
pembentukan suatu forum yang bertujuan untuk mengatur sendiri hal-hal
yang bersifat teknis dengan melaporkan rencana tertulis pembentukan
forum tersebut kepada Bank Indonesia.
(2) Aturan yang dikeluarkan oleh forum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Bank Indonesia dan tidak boleh
bertentangan dengan aturan dan kebijakan Bank Indonesia.
(3) Penyelenggara Kliring Lokal dan Peserta yang menjadi anggota dalam
forum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengikuti dan tunduk
dengan aturan yang telah dikeluarkan dan menjadi kesepakatan forum
atau institusi tersebut.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 30 April 2010.
Agar …
-8-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Maret 2010
Pjs.GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Maret 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 49
DASP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 12/ 5 /PBI/2010
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
7/18/PBI/2005 TENTANG SISTEM KLIRING NASIONAL BANK
INDONESIA
I.
UMUM
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) mulai
diimplementasikan secara bertahap sejak tahun 2005 di sebagian besar wilayah
Indonesia. Selanjutnya, sejak tahun 2007 SKNBI telah dapat diimplementasikan
di seluruh wilayah Indonesia. Sejalan dengan telah diimplementasikannya sistem
tersebut secara penuh, dalam pelaksanaannya masih diperlukan beberapa
penyempurnaan yang mengarah pada peningkatan efisiensi dan kelancaran
penyelenggaraan kliring. Peningkatan efisiensi tersebut tidak hanya bagi peserta
kliring tetapi diperlukan pula bagi penyelenggara kliring yang dilakukan oleh
Bank Indonesia.
Dalam kaitan tersebut, peningkatan efisiensi oleh penyelenggara kliring
dilakukan dengan menyempurnakan mekanisme kliring debet yang selama ini
masih mengandung risiko kredit yang harus ditanggung oleh penyelenggara
kliring sebagai akibat bank peserta tidak mampu menambah penyediaan
pendanaan awal (prefund) yang telah disyaratkan dalam kegiatan kliring pada
awal hari. Dengan penyempurnaan mekanisme kliring debet yang baru maka
penyelenggara …
-2-
penyelenggara kliring hanya akan memperhitungkan data keuangan elektronik
debet yang telah didukung dengan pendanaan awal (prefund) yang cukup.
Dengan demikian, proses perhitungan kliring debet sama dengan
penyelenggaraan kliring kredit yang telah terlebih dahulu menganut prinsip no
money no game.
Dengan mekanisme tersebut maka dapat dihindari risiko kredit bagi
penyelenggara kliring yang berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan
jika pelaksanaannya tidak dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi
Undang-Undang.
Penyempurnaan mekanisme kliring debet yang baru juga diharapkan
mendorong bank peserta kliring untuk melakukan pengelolaan likuiditasnya
menjadi lebih efisien dan lebih baik. Bank peserta harus tetap menjaga
kecukupan pendanaan awal (prefund) yang ada pada penyelenggara kliring agar
tetap dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban tagihan warkat dari bank
peserta lain. Sementara itu, warkat kliring yang tidak diperhitungkan oleh
penyelenggara kliring akan tetap diminta untuk diselesaikan pembayarannya oleh
bank tertagih sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar
kepercayaan masyarakat terhadap Warkat Debet, perbankan, dan penyelenggara
kliring tetap terjaga.
Dalam penyelenggaraan kliring, para peserta kliring dapat menyepakati
untuk membentuk suatu forum untuk mengatur dirinya sendiri (Self-Regulatory
Organization/SRO …
-3-
Organization/SRO) atas hal-hal yang bersifat teknis guna melengkapi aturan
yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Seluruh pengaturan/pedoman (Bye-
Laws regulation/guidelines) yang telah dileluarkan oleh Komite Bye-Laws tetap
berlaku sebagai pengaturan/pedoman bagi anggota/peserta forum sistem
pembayaran.
II.
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Angka 4
Cukup jelas
Angka 2
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pembaruan utang (novasi) terjadi karena PKN
menggantikan kedudukan Peserta sebagai pihak yang
memiliki hak dari Peserta lainnya atau kewajiban
kepada Peserta lainnya dalam penyelenggaraan
SKNBI. Dalam hal ini, PKN menggantikan kedudukan
Peserta untuk melakukan perhitungan terhadap DKE
dan/atau warkat Peserta yang didukung dana yang
cukup.
Ayat (3) …
PASAL DEMI PASAL
-4-
Ayat (3)
Prinsip ini merupakan pengecualian dari prinsip zero
hour rules, sehingga apabila Peserta dicabut izin usaha
dan dilikuidasi, atau nasabahnya dipailitkan, transaksi
yang sudah dilakukan sebelum dikeluarkannya
keputusan pencabutan izin usaha dan likuidasi atau
pailit tidak menjadi batal.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “prinsip same day settlement”
adalah prinsip Penyelesaian Akhir yang diterapkan
pada tingkat Bank, yaitu:
a. dalam penyelenggaraan Kliring Debet,
Penyelesaian Akhir dilakukan pada tanggal yang
sama dengan tanggal diterimanya DKE Debet dari
Peserta oleh PKL; dan
b. dalam penyelenggaraan Kliring Kredit,
Penyelesaian Akhir dilakukan pada tanggal yang
sama dengan tanggal diterimanya DKE Kredit
oleh PKN dari Peserta atau PKL.
Angka 3
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
-5-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyelesaian pembayaran Warkat Debet yang tidak
diperhitungkan dalam penyelenggaraan kliring harus
dilakukan segera antara Peserta penerima dan Peserta
pengirim sepanjang memenuhi persyaratan warkat dan
kecukupan dana dari nasabah Peserta penerima.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 23
Cukup jelas
Angka 5
Pasal 24
Cukup jelas
Angka 6
Pasal 88A
Ayat (1)
Pengaturan sendiri oleh forum (Self-Regulatory
Organization/SRO) dimaksudkan untuk melengkapi
aturan dan kebijakan Bank Indonesia. Komite Bye-
Laws …
-6-
Laws yang saat ini telah ada akan menjadi bagian dari
SRO.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
5119
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 12/5/PBI/2010 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/18/PBI/2005 TENTANG SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 12 Maret 2010 </set_date>
<effective_date> 30 April 2010 </effective_date>
<issued_date> 12 Maret 2010 </issued_date>
<changed_reg> '7/18/PBI/2005' </changed_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 11/ 11 /PBI/2009
TENTANG
PENYELENGGARAAN KEGIATAN
ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kejahatan terhadap alat pembayaran dengan
menggunakan kartu telah semakin meningkat dan bervariasi
sehingga diperlukan pengaturan yang lebih rinci tentang
pemenuhan aspek keamanan dan keandalan sistem;
b. bahwa dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik
kepada para pemegang kartu diperlukan peran lebih aktif dari
prinsipal, penerbit, acquirer, penyelenggara kliring dan
penyelenggara penyelesaian akhir;
c. bahwa karena pengaturan produk prabayar perlu diatur dalam
pengaturan tersendiri maka pengaturan alat pembayaran
dengan menggunakan kartu lebih difokuskan untuk mengatur
kartu kredit, kartu ATM dan kartu debet;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, maka diperlukan
penyesuaian terhadap ketentuan mengenai penyelenggaraan
kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu dalam
suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat …
-2-
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4756);
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4843);
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
MEMUTUSKAN …
-3-
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT
PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia, dan Bank Umum Syariah
dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Lembaga Selain Bank adalah badan usaha bukan Bank yang berbadan
hukum dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia.
3. Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, yang selanjutnya disebut
APMK, adalah alat pembayaran yang berupa kartu kredit, kartu automated
teller machine (ATM) dan/atau kartu debet.
4. Kartu Kredit adalah APMK yang dapat digunakan untuk melakukan
pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi,
termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau untuk melakukan penarikan
tunai, dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih
dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban untuk
melakukan …
-4-
melakukan pembayaran pada waktu yang disepakati baik dengan pelunasan
secara sekaligus (charge card) ataupun dengan pembayaran secara
angsuran.
5. Kartu ATM adalah APMK yang dapat digunakan untuk melakukan
penarikan tunai dan/atau pemindahan dana dimana kewajiban pemegang
kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan
pemegang kartu pada Bank atau Lembaga Selain Bank yang berwenang
untuk menghimpun dana sesuai ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
6. Kartu Debet adalah APMK yang dapat digunakan untuk melakukan
pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi,
termasuk transaksi pembelanjaan, dimana kewajiban pemegang kartu
dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan pemegang
kartu pada Bank atau Lembaga Selain Bank yang berwenang untuk
menghimpun dana sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
7. Pemegang Kartu adalah pengguna yang sah dari APMK.
8. Prinsipal adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang bertanggung jawab
atas pengelolaan sistem dan/atau jaringan antar anggotanya, baik yang
berperan sebagai penerbit dan/atau acquirer, dalam transaksi APMK yang
kerjasama dengan anggotanya didasarkan atas suatu perjanjian tertulis.
9. Penerbit adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang menerbitkan APMK.
10. Acquirer adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan
kerjasama dengan pedagang, yang dapat memproses data APMK yang
diterbitkan oleh pihak lain.
11. Pedagang (Merchant) adalah penjual barang dan/atau jasa yang menerima
pembayaran dari transaksi penggunaan Kartu Kredit dan/atau Kartu Debet.
12. Perusahaan …
-5-
12. Perusahaan Switching adalah perusahaan yang menyediakan jasa switching
atau routing atas transaksi elektronik yang menggunakan APMK melalui
terminal seperti ATM atau Electronic Data Captured (EDC) dalam rangka
memperoleh otorisasi dari Penerbit.
13. Penyelenggara Kliring adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang
melakukan perhitungan hak dan kewajiban keuangan masing-masing
Penerbit dan/atau Acquirer dalam rangka transaksi APMK.
14. Penyelenggara Penyelesaian Akhir adalah Bank atau Lembaga Selain Bank
yang melakukan dan bertanggungjawab terhadap penyelesaian akhir atas
hak dan kewajiban keuangan masing-masing Penerbit dan/atau Acquirer
dalam rangka transaksi APMK berdasarkan hasil perhitungan dari
Penyelenggara Kliring.
BAB II
PRINSIPAL, PENERBIT, ACQUIRER, PENYELENGGARA KLIRING
DAN/ATAU PENYELENGGARA PENYELESAIAN AKHIR
Bagian Kesatu
Perizinan
Paragraf 1
Prinsipal
Pasal 2
(1) Kegiatan sebagai Prinsipal dapat dilakukan oleh Bank atau Lembaga Selain
Bank.
(2) Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan bertindak sebagai Prinsipal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari Bank
Indonesia.
(3) Dalam …
-6-
(3) Dalam hal Bank atau Lembaga Selain Bank akan bertindak sebagai Prinsipal
Kartu Kredit, Prinsipal Kartu ATM dan/atau Prinsipal Kartu Debet maka
kewajiban memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan untuk masing-masing kegiatan sebagai Prinsipal
APMK tersebut.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk
memperoleh izin sebagai Prinsipal diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 3
(1) Dalam melaksanakan kegiatannya, Prinsipal wajib:
a. menetapkan prosedur dan persyaratan yang obyektif dan transparan; dan
b. melakukan pengawasan terhadap keamanan dan keandalan sistem
dan/atau jaringan,
kepada seluruh Penerbit dan/atau Acquirer yang menjadi anggota Prinsipal
yang bersangkutan.
(2) Pengawasan terhadap keamanan dan keandalan sistem dan/atau jaringan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, harus dilakukan juga oleh
Prinsipal terhadap pihak lain yang bekerjasama dengan Penerbit dan/atau
Acquirer.
Pasal 4
(1) Prinsipal wajib menghentikan kerjasama dengan Penerbit dan/atau Acquirer
jika Bank Indonesia mengenakan sanksi pencabutan atas izin yang telah
diberikan kepada Penerbit dan/atau Acquirer sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Penghentian …
-7-
(2) Penghentian kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaksanakan oleh Prinsipal paling lambat pada hari kerja berikutnya sejak
tanggal diterimanya pemberitahuan tertulis dari Bank Indonesia mengenai
pencabutan atas izin yang telah diberikan kepada Penerbit dan/atau
Acquirer.
(3) Pelaksanaan penghentian kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
wajib diberitahukan secara tertulis oleh Prinsipal dan diterima oleh Bank
Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
pelaksanaan penghentian kerjasama.
Paragraf 2
Penerbit
Pasal 5
(1) Kegiatan sebagai Penerbit dapat dilakukan oleh Bank atau Lembaga Selain
Bank.
(2) Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan melakukan kegiatan sebagai
Penerbit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari
Bank Indonesia.
(3) Dalam hal Bank atau Lembaga Selain Bank akan bertindak sebagai Penerbit
Kartu Kredit, Penerbit Kartu ATM dan/atau Penerbit Kartu Debet maka
kewajiban memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan untuk masing-masing kegiatan sebagai Penerbit
APMK tersebut.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk
memperoleh izin sebagai Penerbit diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal …
-8-
Pasal 6
(1) Lembaga Selain Bank yang dapat bertindak sebagai Penerbit Kartu Kredit
yaitu Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri
Keuangan Republik Indonesia sebagai perusahaan pembiayaan yang dapat
melakukan kegiatan usaha Kartu Kredit.
(2) Lembaga Selain Bank yang dapat bertindak sebagai Penerbit Kartu ATM
dan/atau Kartu Debet yaitu Lembaga Selain Bank yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan kegiatan penghimpunan dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan berdasarkan undang-undang yang
mengatur mengenai Lembaga Selain Bank tersebut.
Paragraf 3
Acquirer
Pasal 7
(1) Kegiatan sebagai Acquirer dapat dilakukan oleh Bank atau Lembaga Selain
Bank.
(2) Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan melakukan kegiatan sebagai
Acquirer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari
Bank Indonesia.
(3) Dalam hal Bank atau Lembaga Selain Bank akan bertindak sebagai Acquirer
Kartu Kredit, dan/atau Acquirer Kartu Debet maka kewajiban memperoleh
izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
untuk masing-masing kegiatan sebagai Acquirer APMK tersebut.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk
memperoleh izin sebagai Acquirer sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal …
-9-
Pasal 8
(1) Acquirer wajib melakukan edukasi dan pembinaan terhadap Pedagang yang
bekerjasama dengan Acquirer.
(2) Acquirer wajib menghentikan kerja sama dengan Pedagang yang melakukan
tindakan yang dapat merugikan.
(3) Acquirer wajib melakukan tukar-menukar informasi atau data dengan
seluruh Acquirer lainnya tentang Pedagang yang melakukan tindakan yang
merugikan dan mengusulkan pencantuman nama Pedagang tersebut dalam
daftar hitam Pedagang (merchant black list).
(4) Ketentuan mengenai klausul minimum yang harus dicantumkan dalam
perjanjian kerjasama antara Acquirer dan Pedagang diatur dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
Paragraf 4
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir
Pasal 9
(1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan melakukan kegiatan sebagai
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib
memperoleh izin dari Bank Indonesia.
(2) Dalam hal Bank atau Lembaga Selain Bank akan bertindak sebagai
Penyelenggara Kliring dan Penyelenggara Penyelesaian Akhir, maka
kewajiban memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan untuk masing-masing kegiatan tersebut.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk
memperoleh izin sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian …
-10-
Penyelesaian Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Kegiatan Sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir
Pasal 10
(1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin dari Bank
Indonesia sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib melaksanakan
kegiatannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Bank atau Lembaga Selain Bank wajib menyampaikan pemberitahuan
secara tertulis kepada Bank Indonesia, apabila dalam jangka waktu yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank atau Lembaga Selain
Bank tersebut telah atau belum dapat melaksanakan kegiatannya.
(3) Penetapan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara
penyampaian pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Bentuk Badan Hukum dan Kerjasama
Pasal 11
Lembaga Selain Bank yang akan melakukan kegiatan sebagai Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir di wilayah Republik Indonesia harus berbadan hukum Indonesia.
Pasal …
-11-
Pasal 12
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia hanya dapat
bekerjasama dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang telah memperoleh izin dari
Bank Indonesia.
Pasal 13
(1) Dalam hal Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir bekerjasama dengan pihak lain, maka
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib:
a. melaporkan rencana dan realisasi kerjasama dengan pihak lain kepada
Bank Indonesia;
b. memiliki bukti mengenai keandalan dan keamanan sistem yang
digunakan oleh pihak lain, yang antara lain dibuktikan dengan:
1. hasil audit teknologi informasi dari auditor independen; dan
2. hasil sertifikasi yang dilakukan oleh Prinsipal, jika dipersyaratkan
oleh Prinsipal.
c. mensyaratkan kepada pihak lain untuk menjaga kerahasiaan data.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan rencana dan realisasi
kerjasama Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir dengan pihak lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB …
-12-
BAB III
PENYELENGGARAAN KEGIATAN
Bagian Kesatu
Penerbitan dan Manajemen Risiko
Paragraf 1
Kartu Kredit
Pasal 14
Pemberian Kartu Kredit oleh Penerbit Kartu Kredit wajib didasarkan atas
permohonan yang telah ditandatangani calon Pemegang Kartu.
Pasal 15
(1) Dalam penyelenggaraan Kartu Kredit, Penerbit dan Acquirer Kartu Kredit
wajib menerapkan manajemen risiko sesuai dengan ketentuan yang
mengatur mengenai manajemen risiko.
(2) Dalam menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Penerbit Kartu Kredit wajib pula mengikuti ketentuan yang mengatur
mengenai kewajiban penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan
perkreditan bank bagi Bank Umum termasuk penetapan persentase
minimum pembayaran oleh Pemegang Kartu.
(3) Penetapan persentase minimum pembayaran oleh Pemegang Kartu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Bank Indonesia
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 16
(1) Penerbit Kartu Kredit wajib memberikan informasi secara tertulis kepada
Pemegang Kartu, paling kurang meliputi:
a. prosedur …
-13-
a. prosedur dan tata cara penggunaan Kartu Kredit;
b. hal-hal penting yang harus diperhatikan oleh Pemegang Kartu dalam
penggunaan kartunya dan konsekuensi atau risiko yang mungkin
timbul dari penggunaaan Kartu Kredit;
c. hak dan kewajiban Pemegang Kartu;
d.
tata cara pengajuan pengaduan atas Kartu Kredit yang diberikan dan
perkiraan lamanya waktu penanganan pengaduan tersebut;
e. komponen dalam penghitungan bunga;
f.
g.
komponen dalam penghitungan denda; dan
jenis dan besarnya biaya administrasi yang dikenakan.
(2) Penerbit Kartu Kredit wajib mencantumkan informasi dalam lembar
penagihan yang disampaikan kepada Pemegang Kartu, paling kurang
meliputi:
a. besarnya minimum pembayaran oleh Pemegang Kartu;
b.
tanggal jatuh tempo pembayaran;
c. besarnya persentase bunga per bulan dan persentase efektif bunga per
tahun (annualized percentage rate) atas transaksi yang dilakukan,
termasuk bunga atas transaksi pembelian barang atau jasa, penarikan
tunai, dan manfaat lainnya dari Kartu Kredit apabila bunga atas
masing-masing transaksi tersebut berbeda;
d. besarnya denda atas keterlambatan pembayaran oleh Pemegang Kartu;
dan
e. nominal bunga yang dikenakan.
(3) Dalam hal terjadi perubahan atas informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), Penerbit Kartu Kredit wajib menyampaikan perubahan
informasi tersebut secara tertulis kepada Pemegang Kartu.
(4) Ketentuan …
-14-
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian informasi tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pencantuman informasi dalam
lembar penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 17
(1) Dalam memberikan kredit yang merupakan fasilitas Kartu Kredit, Penerbit
Kartu Kredit wajib menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan perkreditan
sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyusunan
dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan bank bagi Bank Umum.
(2) Penghitungan bunga dan/atau denda yang timbul atas transaksi Kartu Kredit
wajib dilakukan sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku,
dengan mempertimbangkan aspek keadilan dan kewajaran.
(3) Dalam hal pemberian kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
kredit bermasalah, penyelesaian atas kredit bermasalah tersebut termasuk
tagihan pokok, bunga dan/atau denda, wajib diselesaikan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyusunan dan
pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan bank bagi Bank Umum.
(4) Penghitungan kolektibilitas kredit Kartu Kredit dilakukan dengan
ketentuan:
a. Untuk Bank, wajib mengikuti ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai kolektibilitas kredit Bank Umum.
b. Untuk Lembaga Selain Bank, wajib mengikuti ketentuan yang
mengatur mengenai kolektibilitas kredit Lembaga Selain Bank.
(5) Penerbit Kartu Kredit wajib menjamin bahwa penagihan atas transaksi
Kartu Kredit, baik yang dilakukan oleh Penerbit Kartu Kredit sendiri atau
menggunakan …
-15-
menggunakan jasa pihak lain, dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 18
Penerbit Kartu Kredit dilarang memberikan fasilitas yang mempunyai dampak
tambahan biaya kepada Pemegang Kartu dan/atau memberikan fasilitas lain di
luar fungsi utama Kartu Kredit tanpa persetujuan tertulis dari Pemegang Kartu.
Pasal 19
(1) Penerbit Kartu Kredit wajib melakukan tukar-menukar informasi atau data
dengan seluruh Penerbit Kartu Kredit lainnya.
(2)
Informasi atau data yang wajib dipertukarkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), meliputi data Pemegang Kartu berupa negative list.
(3) Tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui pusat pengelola informasi.
(4) Penerbit Kartu Kredit dilarang memberikan informasi data Pemegang Kartu
kepada pihak lain di luar kepentingan tukar-menukar informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanpa persetujuan tertulis dari
Pemegang Kartu.
Pasal 20
(1) Penerbit Kartu Kredit yang akan menerbitkan produk baru Kartu Kredit
harus melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia.
(2) Laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi
dengan informasi yang paling kurang meliputi:
a.
rencana bisnis; dan
b. penjelasan karakteristik produk baru Kartu Kredit.
(3) Ketentuan …
-16-
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian laporan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 21
(1) Dalam hal Penerbit melakukan kerja sama dengan pihak-pihak di luar pihak
lain sebagaimana diatur dalam Pasal 13, maka Penerbit bertanggung jawab
atas kerja sama tersebut.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerjasama Penerbit dengan pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Paragraf 2
Kartu ATM dan/atau Kartu Debet
Pasal 22
(1) Dalam pemberian Kartu ATM dan/atau Kartu Debet, Penerbit Kartu ATM
dan/atau Kartu Debet wajib menerapkan manajemen risiko sesuai dengan
ketentuan yang mengatur mengenai manajemen risiko.
(2) Dalam menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet wajib pula menerapkan
persyaratan yang paling kurang meliputi:
a. penetapan batas maksimum nilai transaksi; dan
b. penetapan batas maksimum penarikan uang tunai.
(3) Penetapan batas maksimum nilai transaksi dan penarikan uang tunai
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Bank Indonesia
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal …
-17-
Pasal 23
Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet wajib memberikan informasi secara
tertulis kepada Pemegang Kartu, paling kurang meliputi:
a. prosedur dan tata cara penggunaan Kartu ATM dan/atau Kartu Debet,
fasilitas yang melekat pada Kartu ATM dan/atau Kartu Debet, dan risiko
yang mungkin timbul dari penggunaan Kartu ATM dan/atau Kartu Debet;
b. hak dan kewajiban Pemegang Kartu ATM dan/atau Kartu Debet; dan
c.
tata cara pengajuan pengaduan permasalahan yang berkaitan dengan
penggunaan Kartu ATM dan/atau Kartu Debet sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan lamanya waktu penanganan pengaduan tersebut.
Pasal 24
(1) Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang akan menerbitkan produk
baru Kartu ATM dan/atau Kartu Debet harus melaporkan secara tertulis
kepada Bank Indonesia.
(2) Laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi
antara lain dengan:
a.
rencana bisnis; dan
b. penjelasan karakteristik produk baru Kartu ATM dan/atau Kartu
Debet.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian laporan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Bagian …
-18-
Bagian Kedua
Penggunaan Uang Rupiah
Pasal 25
Setiap perbuatan yang menggunakan uang atau mempunyai tujuan pembayaran
atau pemenuhan kewajiban yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia
dengan menggunakan Kartu Kredit dan/atau Kartu Debet, wajib menggunakan
uang rupiah.
BAB IV
PERALIHAN PERIZINAN APMK
Pasal 26
(1) Peralihan izin penyelenggaraan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit,
Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir APMK kepada pihak lain hanya dapat dilakukan oleh Bank atau
Lembaga Selain Bank dalam rangka penggabungan, peleburan, atau
pemisahan.
(2) Peralihan izin penyelenggaraan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit,
Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir APMK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib terlebih dahulu
memperoleh izin Bank Indonesia.
(3) Dalam hal terjadi pengambilalihan, Bank atau Lembaga Selain Bank yang
telah memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan sebagai Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir APMK wajib melaporkan secara tertulis kepada Bank
Indonesia.
(4) Ketentuan …
-19-
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk
memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penyampaian
laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
BAB V
PENGAWASAN
Pasal 27
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Prinsipal, Penerbit,
Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir.
(2) Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia mengadakan pertemuan konsultasi (consultative meeting) dengan
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir.
(3) Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib:
a. menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia secara tertulis dan/atau
on-line mengenai kegiatan APMK;
b. memberikan keterangan dan/atau data yang terkait dengan
penyelenggaraan kegiatan APMK sesuai dengan permintaan Bank
Indonesia;
c. memberikan kesempatan kepada Bank Indonesia melakukan
pemeriksaan (on site visit) untuk memperoleh informasi yang terkait
dengan penyelenggaraan kegiatan APMK.
(4) Bank …
-20-
(4) Bank Indonesia dapat meminta kepada pihak-pihak yang bekerjasama
dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1) dan Pasal 21 ayat (1), untuk menyampaikan laporan tertulis
mengenai informasi tertentu.
(5) Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia dapat melakukan pembinaan dan/atau mengenakan sanksi
administratif.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian dan jenis laporan
yang disampaikan secara tertulis dan/atau on-line sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf a diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 28
Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Bank
Indonesia melaksanakan pemeriksaan (on site visit) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (3) huruf c.
BAB VI
PENINGKATAN KEAMANAN TEKNOLOGI
Pasal 29
(1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK wajib:
a. menggunakan sistem yang aman dan andal;
b. memelihara dan meningkatkan keamanan teknologi APMK;
c. memiliki kebijakan dan prosedur tertulis (standard operating
procedure) penyelenggaraan kegiatan APMK; dan
d. menjaga keamanan dan kerahasiaan data.
(2) Dalam …
-21-
(2) Dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib melaksanakan audit teknologi
informasi secara berkala dan melaporkan hasil audit teknologi informasi
tersebut kepada Bank Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keamanan teknologi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan audit dan tata cara pelaporan hasil
audit teknologi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VII
LAIN-LAIN
Pasal 30
Penyelenggaraan kegiatan APMK oleh Bank Umum Syariah atau Unit Usaha
Syariah tunduk kepada Peraturan Bank Indonesia ini dengan tetap mengacu pada
prinsip syariah yang berlaku.
Pasal 31
(1) Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dapat
menyelenggarakan kegiatan APMK sepanjang tidak dilarang dalam
peraturan yang mengatur mengenai Bank Perkreditan Rakyat atau Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah.
(2) Dalam hal Bank Perkreditan Rakyat atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan kegiatan APMK maka
seluruh ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku untuk Bank
Perkreditan Rakyat atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Pasal …
-22-
Pasal 32
(1) Prinsipal, Penerbit, dan/atau Acquirer harus menyediakan sistem yang dapat
dikoneksikan dengan sistem APMK yang lain.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai keharusan penyediaan sistem yang dapat
dikoneksikan dengan sistem APMK yang lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 33
(1) Dalam hal terdapat perubahan atas nama, alamat dan/atau informasi pada
dokumen tertentu, Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK harus melaporkan
secara tertulis kepada Bank Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan perubahan atas nama,
alamat dan/atau informasi pada dokumen tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 34
Setiap laporan, keterangan dan/atau data yang disampaikan oleh Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir APMK wajib disampaikan secara lengkap, benar dan akurat.
Pasal 35
(1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara
Penyelesaian Akhir APMK dan pihak lain yang terkait dengan
penyelenggaraan APMK dapat menyepakati pembentukan suatu forum atau
institusi yang bertujuan untuk mengatur sendiri hal-hal yang bersifat teknis
dan …
-23-
dan mikro, dengan melaporkan secara tertulis keberadaan forum atau
institusi tersebut kepada Bank Indonesia.
(2) Aturan-aturan yang dikeluarkan oleh forum atau institusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Bank
Indonesia dan tidak boleh bertentangan dengan aturan dan kebijakan Bank
Indonesia.
(3) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara
Penyelesaian Akhir APMK dan pihak lain yang menjadi anggota dalam
forum atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengikuti
dan tunduk dengan aturan yang telah dikeluarkan dan menjadi kesepakatan
forum atau institusi tersebut.
Pasal 36
Bank Indonesia mencantumkan daftar nama Bank dan Lembaga Selain Bank
yang telah memperoleh izin dan telah efektif melakukan kegiatan sebagai
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir APMK dalam website Bank Indonesia.
BAB VIII
S A N K S I
Pasal 37
Bank atau Lembaga Selain Bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 2 ayat (3), Pasal 5 ayat (2), Pasal 5
ayat (3), Pasal 7 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 9 ayat (1), Pasal 9 ayat (2),
dan/atau Pasal 56 dikenakan sanksi administratif berupa:
a. penghentian kegiatan APMK, bagi Bank; atau
b. penghentian kegiatan APMK oleh instansi yang berwenang berdasarkan
permintaan Bank Indonesia, bagi Lembaga Selain Bank.
Pasal …
-24-
Pasal 38
(1) Prinsipal yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), dan/atau Pasal 4 ayat (3)
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Prinsipal tidak
memenuhi ketentuan Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2),
dan/atau Pasal 4 ayat (3), dikenakan teguran tertulis kedua.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Prinsipal
tidak memenuhi ketentuan Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat
(2), dan/atau Pasal 4 ayat (3), Prinsipal dikenakan sanksi pencabutan izin
sebagai Prinsipal.
Pasal 39
(1) Acquirer yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (2), dan/atau Pasal 8 ayat (3), dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Acquirer tidak
memenuhi ketentuan Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (2), dan/atau Pasal 8 ayat
(3), dikenakan teguran tertulis kedua.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Acquirer
tidak memenuhi ketentuan Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (2), dan/atau Pasal
8 ayat (3),
dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Acquirer.
Pasal …
-25-
Pasal 40
(1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan/atau Pasal 10 ayat (2),
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank atau
Lembaga Selain Bank tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 10 ayat (1)
dan/atau Pasal 10 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis kedua.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank atau
Lembaga Selain Bank tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 10 ayat (1)
dan/atau Pasal 10 ayat (2), dikenakan sanksi pembatalan izin sebagai
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir.
Pasal 41
(1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK yang melanggar Pasal 12,
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan perintah untuk
menghentikan kerjasamanya dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir lain.
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir tidak menghentikan kerjasamanya dengan Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir, maka dikenakan teguran tertulis kedua.
(3) Apabila …
-26-
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir APMK tidak menghentikan kerjasamanya dengan
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir lain, maka dikenakan sanksi pencabutan
izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK.
Pasal 42
(1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis dan perintah untuk menghentikan
kerjasamanya dengan pihak lain.
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir tidak menghentikan kerjasamanya, dikenakan teguran
tertulis kedua dan perintah untuk menghentikan kerjasamanya dengan pihak
lain.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir
tidak menghentikan kerjasamanya maka dikenakan
sanksi pencabutan izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir.
Pasal …
-27-
Pasal 43
(1) Penerbit Kartu Kredit yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal
16 ayat (2), Pasal 16 ayat (3), Pasal 17 ayat (1), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17
ayat (3), Pasal 17 ayat (4), Pasal 17 ayat (5), Pasal 18, Pasal 19 ayat (1),
dan/atau Pasal 19 ayat (4), dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penerbit Kartu
Kredit tidak mematuhi ketentuan Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), Pasal 15 ayat
(2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (2), Pasal 16 ayat (3), Pasal 17 ayat (1),
Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (4), Pasal 17 ayat (5),
Pasal 18, Pasal 19 ayat (1), dan/atau Pasal 19 ayat (4), maka Penerbit Kartu
Kredit tersebut dikenakan teguran tertulis kedua.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penerbit
Kartu Kredit tidak mematuhi ketentuan Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), Pasal 15
ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (2), Pasal 16 ayat (3), Pasal 17
ayat (1), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (4), Pasal 17 ayat
(5), Pasal 18, Pasal 19 ayat (1), dan/atau Pasal 19 ayat (4), maka Penerbit
Kartu Kredit tersebut dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Penerbit
Kartu Kredit.
Pasal 44
(1) Acquirer Kartu Kredit yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis.
(2) Apabila …
-28-
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Acquirer Kartu
Kredit tidak memenuhi ketentuan Pasal 15 ayat (1), Acquirer Kartu Kredit
tersebut dikenakan teguran tertulis kedua.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Acquirer
Kartu Kredit tidak memenuhi ketentuan Pasal 15 ayat (1), Acquirer Kartu
Kredit tersebut dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Acquirer Kartu
Kredit.
Pasal 45
(1) Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), dan/atau
Pasal 23, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penerbit Kartu
ATM dan/atau Kartu Debet tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), dan/atau Pasal 23,
Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet tersebut dikenakan teguran
tertulis kedua.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penerbit
Kartu ATM dan/atau Kartu Debet tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), dan/atau Pasal 23,
Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet tersebut dikenakan sanksi
pencabutan izin sebagai Penerbit Kartu ATM dan/atau Kartu Debet.
Pasal …
-29-
Pasal 46
Pelanggaran atas ketentuan Pasal 25 dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 65
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009.
Pasal 47
(1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang melanggar Pasal 26 ayat (1), Pasal
26 ayat (2), dan/atau Pasal 26 ayat (3), dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank atau
Lembaga Selain Bank tetap melanggar Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2),
dan/atau Pasal 26 ayat (3), dikenakan teguran tertulis kedua.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank atau
Lembaga Selain Bank tetap melanggar Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2),
dan/atau Pasal 26 ayat (3), dikenakan sanksi pencabutan izin atas kegiatan
sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir.
Pasal 48
(1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban
menyampaikan laporan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(3) huruf a setelah berakhirnya batas waktu penyampaian laporan dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Apabila …
-30-
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir tetap melanggar Pasal 27 ayat (3) huruf a, dikenakan
teguran tertulis kedua.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir tetap melanggar Pasal 27 ayat (3) huruf a, dikenakan
sanksi pencabutan izin atas kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir.
(4) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban
menyampaikan laporan secara online sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat (3) huruf a, dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Laporan Kantor Pusat Bank
Umum dan Peraturan Bank Indonesia tentang Laporan Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu oleh Bank
Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank.
Pasal 49
(1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf b, Pasal 29 ayat (1),
dan/atau Pasal 29 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
(2) Apabila …
-31-
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (3) huruf b, Pasal 29 ayat (1), dan/atau Pasal 29 ayat
(2), dikenakan teguran tertulis kedua.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (3) huruf b, Pasal 29 ayat (1), dan/atau Pasal 29 ayat
(2), dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir.
Pasal 50
(1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf c dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(2) Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (3) huruf c, dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir.
Pasal …
-32-
Pasal 51
(1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban
menyampaikan laporan on-line secara lengkap, benar dan akurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dikenakan sanksi administratif
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan
kantor pusat Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia mengenai laporan
penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu oleh
Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank.
(2) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban
menyampaikan laporan tertulis secara lengkap, benar dan akurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
Pasal 52
Bank atau Lembaga Selain Bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 57, dikenakan sanksi teguran tertulis.
Pasal 53
(1) Lembaga Selain Bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58, dikenakan sanksi teguran tertulis.
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Selain
Bank tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58,
dikenakan teguran tertulis kedua.
(3) Apabila …
-33-
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga
Selain Bank tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
58, dikenakan sanksi pencabutan izin atas kegiatan sebagai Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir.
BAB IX
PENGHENTIAN SEMENTARA, PEMBATALAN DAN PENCABUTAN IZIN
Pasal 54
Selain dalam rangka penerapan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37,
Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45,
Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan/atau Pasal 53 Bank Indonesia dapat
menghentikan sementara, membatalkan atau mencabut izin yang telah diberikan
kepada Bank atau Lembaga Selain Bank sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir, antara lain
dalam hal:
a.
terdapat putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang
memerintahkan Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan kegiatan
sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir untuk menghentikan kegiatannya;
b.
terdapat rekomendasi dari otoritas pengawas yang berwenang antara lain
mengenai memburuknya kondisi keuangan dan/atau lemahnya manajemen
risiko Bank atau Lembaga Selain Bank;
c.
terdapat permintaan tertulis atau rekomendasi dari otoritas pengawas yang
berwenang kepada Bank Indonesia untuk menghentikan sementara kegiatan
Prinsipal …
-34-
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir;
d. otoritas pengawas yang berwenang telah mencabut izin usaha dan/atau
menghentikan kegiatan usaha Bank atau Lembaga Selain Bank yang
melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir; atau
e.
adanya permohonan pembatalan yang diajukan sendiri oleh Bank atau
Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia.
Pasal 55
(1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir harus melaporkan secara tertulis kepada
Bank Indonesia apabila akan menghentikan kegiatannya.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sebelum Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir
menghentikan kegiatannya.
(3) Pelaksanaan penghentian kegiatan oleh Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir harus
dilaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) hari
kalender terhitung sejak tanggal penghentian kegiatan.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 56
Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah melakukan kegiatan sebagai
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian …
-35-
Penyelesaian Akhir APMK sebelum diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia
ini dan belum memperoleh izin atau penegasan dari Bank Indonesia, wajib
memperoleh izin dari Bank Indonesia sesuai dengan jangka waktu yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 57
Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah melakukan kegiatan sebagai
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir APMK sebelum diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia
ini dan telah memperoleh izin atau penegasan dari Bank Indonesia, wajib
melaporkan kegiatannya kepada Bank Indonesia dan melengkapi persyaratan
sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini, sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Pasal 58
Lembaga Selain Bank yang telah melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit,
Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir di
wilayah Republik Indonesia sebelum diberlakukannya ketentuan ini dan belum
berbadan hukum Indonesia maka wajib telah berbadan hukum Indonesia dalam
jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 59
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/52/PBI/2005 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
Dengan …
-36-
Dengan Menggunakan Kartu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 10/8/PBI/2008 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 60
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 April 2009.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 13 April 2009.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 64
DASPLEMBARAN
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 11/ 11 /PBI/2009
TENTANG
PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN
DENGAN MENGGUNAKAN KARTU
UMUM
Dengan telah berjalannya waktu hampir lima tahun sejak ketentuan Bank
Indonesia mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan
menggunakan kartu (APMK) pertama kali dikeluarkan pada akhir tahun 2004,
banyak terdapat kemajuan di bidang teknologi yang berpengaruh terhadap
APMK. Oleh karena itu dan sejalan pula dengan masukan dari industri maka
dipandang perlu untuk melakukan beberapa penyelarasan ketentuan. Beberapa
aspek yang diperlukan dalam penyesuaian tersebut antara lain adalah pemenuhan
aspek keandalan, aspek keamanan dan efisiensi sistem yang digunakan para
penyelenggara APMK serta aspek pengawasan yang lebih efektif baik melalui
penyampaian laporan, pelaksanaan pengawasan dan penerapan pra pengawasan
melalui proses perizinan.
Upaya meningkatkan terciptanya efisiensi nasional sistem pembayaran
melalui APMK dapat ditempuh dengan mengharuskan prinsipal, penerbit
dan/atau acquirer APMK untuk memenuhi persyaratan tertentu seperti
menggunakan sistem yang andal dan saling dapat membaca dengan sistem dari
prinsipal, penerbit dan/atau acquirer yang lain. Dengan pemenuhan persyaratan
tersebut dapat dihindari banyaknya sistem yang tidak saling terhubung sehingga
dapat …
-2-
dapat dilakukan penghematan investasi perangkat teknologi, yang pada akhirnya
biaya proses transaksi menjadi lebih murah dan efisien.
Dalam kaitan pemenuhan persyaratan dan memudahkan dalam
pengawasannya, maka prinsipal, penerbit, dan acquirer disyaratkan harus
memperoleh izin terlebih dahulu dari Bank Indonesia sebelum melakukan
kegiatannya. Sementara itu dalam rangka pengefektifan pengawasan kepada
penyelenggara APMK lainnya, seperti penyelenggara kliring dan penyelenggara
penyelesaian akhir dalam transaksi APMK, maka kepada kedua penyelenggara
tersebut juga telah dirinci persyaratan perolehan izin dan berbagai laporan yang
harus disampaikan kepada Bank Indonesia.
Untuk penyelenggara kegiatan personalisasi kartu APMK yang dalam
aturan sebelumnya dipersyaratkan adanya izin, dalam pengaturan ini tidak lagi
disyaratkan izin, karena lebih banyak terkait dengan kegiatan pendukung dalam
penyelenggaraan APMK. Untuk pemenuhan aspek keandalan sistem dan
kesanggupan menjaga rahasia data pemegang kartu yang harus dipenuhi oleh
perusahaan personalisasi, hal tersebut menjadi tugas dan tanggung jawab
penerbit APMK ketika penerbit APMK yang bersangkutan melakukan kerjasama
dengan perusahaan personalisasi tersebut.
Dari sisi aspek perlindungan kepada para pemegang APMK, beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi oleh penerbit tidak mengalami perubahan dari
peraturan APMK yang lama, namun terdapat beberapa penambahan penjelasan
dan penyesuaian rumusan sesuai dengan perkembangan adanya peraturan
perundangan yang baru di bidang informasi dan transaksi elektronik, seperti
Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam beberapa hal
dimungkinkan agar pengaturan-pengaturan yang sifatnya teknis dan mikro dapat
diminta untuk diatur dan disepakati sendiri oleh industri untuk melengkapi aturan
yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia (Self-Regulation Organization/SRO).
Namun …
-3-
Namun pengaturan yang dikeluarkan oleh SRO tersebut tidak boleh bertentangan
dengan aturan yang bersifat kebijakan dan makro yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Selanjutnya, mengingat alat pembayaran dengan menggunakan produk
prabayar telah berkembang pesat dan diperkirakan ke depan akan terus bervariasi
pengembangan dan pemanfaatannya oleh industri dan masyarakat, tentu
memerlukan perhatian khusus terutama dari sisi pengawasan dan ketersediaan
peraturannya. Sehubungan dengan hal tersebut, pengaturan mengenai produk
prabayar perlu diatur secara lebih lengkap dalam peraturan Bank Indonesia
tersendiri yang terpisah dari pengaturan APMK.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Pada prinsipnya baik Bank maupun Lembaga Selain Bank mempunyai
kesempatan yang sama untuk bertindak sebagai Prinsipal, seperti
mempunyai tanggung jawab yang sama dalam pemenuhan keandalan
sistem dan penetapan prosedur serta persyaratan yang fair dan
obyektif jika jaringannya digunakan oleh Penerbit lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat …
-4-
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”obyektif” adalah sesuai dengan persyaratan-
persyaratan yang ditetapkan oleh Prinsipal dan menerapkan perlakuan
yang setara (equal treatment) kepada seluruh Penerbit dan/atau
Acquirer.
Yang dimaksud dengan ”transparan” adalah harus tersedia informasi
yang memadai kepada Penerbit dan/atau Acquirer terhadap proses
penyusunan, pelaksanaan prosedur dan persyaratan yang ditetapkan
oleh Prinsipal.
Pengawasan yang dilakukan Prinsipal terhadap keamanan dan
keandalan jaringan yang digunakan oleh Penerbit dan/atau Acquirer
dilakukan secara efektif baik melalui pemantauan atau dengan
pemeriksaan di lokasi Penerbit dan/atau Acquirer. Pelaksanaan
pemeriksaan tersebut dapat dilakukan secara rutin atau insidentil tanpa
harus menunggu adanya suatu kejadian atau jika Penerbit dan/atau
Acquirer akan melakukan kerjasama dengan pihak lain.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pihak lain yang bekerjasama dengan Penerbit
dan/atau Acquirer” adalah pihak selain Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir,
seperti perusahaan switching, perusahaan personalisasi, perusahaan
pencetakan kartu, dan/atau perusahaan yang menyediakan sarana
pemrosesan transaksi APMK.
Pasal …
-5-
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemberitahuan tertulis kepada Bank Indonesia paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja dibuktikan dengan stempel tanggal dari
perusahaan jasa pengiriman dokumen atau stempel tanggal terima dari
Bank Indonesia.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Lembaga Selain Bank yang dapat melakukan penghimpunan dana
sesuai dengan undang-undang yang mengatur mengenai Lembaga
Selain Bank tersebut antara lain koperasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia yang mengatur mengenai
koperasi.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal …
-6-
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Termasuk dalam pengertian ”tindakan yang merugikan” adalah
tindakan Pedagang yang merugikan Prinsipal, Penerbit, Acquirer
dan/atau Pemegang Kartu, antara lain Pedagang diketahui telah
melakukan kerjasama dengan pelaku kejahatan (fraudster),
memproses penarikan/gesek tunai (cash withdrawal transaction)
Kartu Kredit, atau memproses tambahan biaya transaksi (surcharge).
Ayat (3)
Kewajiban tukar menukar informasi dan data antar Acquirer, baik oleh
Acquirer Kartu Kredit maupun Acquirer Kartu Debet, tentang nama
dan data Pedagang ditindaklanjuti dengan mengusulkan nama
Pedagang dalam suatu daftar hitam Pedagang (merchant black list).
Pengelolaan informasi tentang merchant black list dapat dilakukan
oleh asosiasi Acquirer dan/atau Penerbit Kartu Kredit atau Kartu
Debet.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat …
-7-
Ayat (2)
Bank atau Lembaga Selain Bank dinyatakan telah dapat melaksanakan
kegiatannya sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir apabila jaringan
atau sistemnya telah dapat dioperasikan dan produknya telah dapat
digunakan oleh masyarakat luas sebagai APMK.
Pemberitahuan tertulis mengenai belum dapat dilaksanakannya
kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir harus disertai dengan
bukti-bukti pendukung yang memperkuat penjelasan mengenai alasan
dan kendala-kendala yang menyebabkan belum dapat dilaksanakannya
kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang bekerjasama dalam Pasal ini
adalah Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang beroperasi di wilayah Republik
Indonesia.
Pasal …
-8-
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak selain Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir, seperti perusahaan switching, perusahaan
personalisasi, perusahaan pencetakan kartu, dan/atau perusahaan yang
menyediakan sarana pemrosesan transaksi APMK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan ”tanda tangan” dalam Pasal ini adalah tanda tangan
basah atau tanda tangan elektronik.
Tanda tangan basah dari calon Pemegang Kartu diperlukan bagi calon
Pemegang Kartu yang untuk pertama kalinya mengajukan permohonan
Kartu Kredit pada Penerbit, dan Penerbit tersebut sama sekali belum pernah
mempunyai data tentang calon Pemegang Kartu tersebut (Customer
Information File/CIF). Persyaratan tersebut diperlukan sebagai bagian dari
perlindungan kepada calon Pemegang Kartu.
Tanda tangan dalam bentuk lainnya seperti tanda tangan elektronik dapat
dipersyaratkan jika Penerbit telah mempunyai data Pemegang Kartu
misalnya untuk pemberian Kartu Kredit yang bersifat add-on, up-grade,
atau conversion.
Yang dimaksud dengan ”add-on” adalah pemberian kartu kredit yang
kedua dan seterusnya kepada Pemegang Kartu yang sama. Yang dimaksud
dengan ”up-grade” adalah peningkatan fasilitas kartu seperti dari silver ke
gold. Yang dimaksud dengan ”conversion” adalah pengubahan fasilitas
Kartu …
-9-
Kartu Kredit dari satu jenis fasilitas ke fasilitas lainnya, seperti dari silver
card ke clear card.
Dalam mengimplementasikan tanda tangan elektronik, Penerbit harus
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan Republik Indonesia mengenai informasi dan transaksi elektronik.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”manajemen risiko” dalam ayat ini antara lain
meliputi manajemen risiko likuiditas, manajemen risiko kredit,
manajemen risiko operasional dan manajemen risiko dalam
penggunaan teknologi informasi. Dalam penerapan manajemen risiko
tersebut Penerbit atau Acquirer diharuskan juga memiliki kesiapan
finansial untuk memenuhi kewajiban pembayaran yang mungkin
timbul dalam hal terjadi kejahatan Kartu Kredit.
Ketentuan yang mengatur manajemen risiko bagi Penerbit atau
Acquirer Kartu Kredit yang berupa Bank, mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai manajemen risiko dan
seluruh peraturan pelaksanaannya. Sementara itu khusus untuk
penerapan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi
bagi Penerbit atau Acquirer Kartu Kredit yang berupa Bank mengacu
pada Peraturan Bank Indonesia tentang Manajemen Risiko Dalam
Penggunaan Teknologi Informasi Pada Bank Umum
Ketentuan yang mengatur manajemen risiko bagi Penerbit atau
Aquirer Kartu Kredit yang berupa Lembaga Selain Bank mengacu
pada ketentuan yang mengatur mengenai manajemen risiko Lembaga
Selain Bank tersebut. Dalam hal belum terdapat ketentuan yang
mengatur …
-10-
mengatur mengenai manajemen risiko Lembaga Selain Bank, maka
penerapan manajemen risiko bagi Penerbit atar Acquirer yang berupa
Lembaga Selain Bank dapat mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai manajemen risiko Bank termasuk
manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi.
Ayat (2)
Dalam mengikuti ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban
penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan bank bagi
Bank Umum termasuk memperhatikan asas-asas perkreditan yang
sehat, yang sekurang-kurangnya memuat dan mengatur hal-hal pokok
seperti prinsip kehati-hatian dalam perkreditan, organisasi dan
manajemen perkreditan, kebijakan persetujuan kredit, dokumentasi
dan administrasi kredit, pengawasan kredit, dan penyelesaian kredit
bermasalah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Ketentuan yang mengatur tentang penyusunan dan pelaksanaan
kebijaksanaan perkreditan bagi Penerbit Kartu Kredit berupa Bank
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan Bank
Umum.
Ketentuan …
-11-
Ketentuan yang mengatur tentang penyusunan dan pelaksanaan
kebijaksanaan perkreditan bagi Penerbit Kartu Kredit berupa
Lembaga Selain Bank mengacu pada ketentuan yang mengatur
mengenai penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan
bagi Lembaga Selain Bank tersebut. Dalam hal belum terdapat
ketentuan yang mengatur mengenai penyusunan dan pelaksanaan
kebijaksanaan perkreditan bagi Lembaga Selain Bank, maka
penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan bagi
Penerbit Kartu Kredit berupa Lembaga Selain Bank dapat
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan
Bank Umum.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”aspek keadilan dan kewajaran” adalah
bahwa Penerbit mengikuti kesepakatan tata cara perhitungan yang
telah disepakati oleh industri dan terikat untuk menyampaikan
secara transparan prinsip-prinsip perhitungan tersebut kepada
Pemegang Kartu. Contoh mempertimbangkan asas keadilan dan
kewajaran antara lain, Penerbit tidak mengenakan bunga atas
tagihan yang telah dibayar sebelum tanggal cetak tagihan (early
payment).
Ayat (3)
Kewajiban untuk tunduk pada ketentuan Bank Indonesia mengenai
penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan Bank
Umum, berlaku baik untuk Bank maupun Lembaga Selain Bank
yang menerbitkan Kartu Kredit.
Ayat …
-12-
Ayat (4)
Untuk kepentingan internal, Penerbit Kartu Kredit dapat
melakukan penghitungan kolektibilitas yang lebih hati-hati
(prudent) daripada ketentuan Bank Indonesia atau ketentuan
otoritas yang berwenang terhadap Lembaga Selain Bank, namun
untuk kepentingan pelaporan kepada Bank Indonesia, Penerbit
Kartu Kredit wajib melakukan penghitungan kolektibilitas kredit
berdasarkan ketentuan Bank Indonesia mengenai pemberian kredit
oleh Bank.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Yang dimaksud dengan “fasilitas yang mempunyai dampak tambahan
biaya” dalam pasal ini antara lain adalah program asuransi dan pemberian
Kartu Kredit tambahan.
Yang dimaksud dengan “fasilitas lain diluar fungsi utama Kartu Kredit”
antara lain adalah memperlakukan kelebihan pembayaran tagihan Kartu
Kredit sebagai tabungan yang benar-benar diperlakukan seperti simpanan
biasa yang dapat digunakan untuk bertransaksi di luar transaksi Kartu
Kredit misalnya transaksi transfer dana antar Bank.
Yang dimaksud dengan “persetujuan tertulis dari Pemegang Kartu” adalah
persetujuan yang diberikan oleh Pemegang Kartu melalui media
komunikasi yang khusus dibangun oleh Penerbit Kartu Kredit untuk
komunikasi Penerbit Kartu Kredit dengan nasabahnya termasuk email,
faksimili, atau telepon yang kemudian dituangkan dalam catatan resmi
Penerbit …
-13-
Penerbit Kartu Kredit yang bersangkutan baik dalam bentuk transkrip atau
media elektronik.
Pasal 19
Ayat (1)
Pelaksanaan tukar-menukar informasi atau data tentang pemegang
Kartu Kredit tetap memperhatikan ketentuan mengenai rahasia bank
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai
perbankan.
Ayat (2)
Data Pemegang Kartu berupa negative list, antara lain berupa
informasi mengenai identitas Pemegang Kartu Kredit, data transaksi
Kartu Kredit dalam kurun waktu tertentu, kolektibilitas kredit, plafond
kredit, dan saldo kredit.
Ayat (3)
Pusat pengelola informasi dalam ayat ini antara lain pusat pengelola
informasi yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia, asosiasi
Penerbit Kartu Kredit dan/atau suatu credit bureau.
Ayat (4)
Larangan pemberian informasi data Pemegang Kartu pada ayat ini
misalnya pemberian informasi data Pemegang Kartu oleh Penerbit
kepada pihak lain seperti Pedagang dan perusahaan asuransi.
Yang dimaksud dengan “persetujuan tertulis dari Pemegang Kartu”
adalah persetujuan yang diberikan oleh Pemegang Kartu melalui
media komunikasi yang khusus dibangun oleh Penerbit Kartu Kredit
untuk komunikasi Penerbit Kartu Kredit dengan nasabahnya termasuk
e-mail, faksimili, atau telepon yang kemudian dituangkan dalam
catatan …
-14-
catatan resmi Penerbit Kartu Kredit yang bersangkutan baik dalam
bentuk transkrip atau media elektronik.
Pasal 20
Ayat (1)
Pelaporan produk baru Kartu Kredit dimaksudkan sebagai salah satu
bentuk pengawasan sebelum kegiatan produk baru Kartu Kredit
dilaksanakan.
Produk baru Kartu Kredit antara lain berupa varian baru dari Kartu
Kredit (silver, gold, platinum, co-branding, dan lain-lain) atau
penambahan fungsi Kartu Kredit.
Ayat (2)
Penjelasan karakteristik produk baru Kartu Kredit antara lain meliputi
alur transaksi, upaya peningkatan keamanan sistem, dan perbedaan
produk baru dengan produk sebelumnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak-pihak di luar pihak lain” dalam ayat ini
misalnya perusahaan jasa pengiriman dokumen, agen pemasaran
(sales agent) atau jasa penagihan (debt collector).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal …
-15-
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”manajemen risiko” dalam ayat ini antara lain
meliputi manajemen risiko likuiditas, manajemen risiko operasional
dan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi. Dalam
penerapan manajemen risiko tersebut Penerbit Kartu ATM dan/atau
Kartu Debet juga diharuskan memiliki kesiapan finansial untuk
memenuhi kewajiban pembayaran yang mungkin timbul dalam hal
terjadi kejahatan Kartu ATM dan/atau Kartu Debet.
Ketentuan yang mengatur manajemen risiko bagi Penerbit Kartu ATM
dan/atau Kartu Debet yang berupa Bank, mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai manajemen risiko dan
seluruh peraturan pelaksanaannya. Sementara itu khusus untuk
penerapan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi
mengacu pada Peraturan Bank Indonesia tentang Manajemen Risiko
Dalam Penggunaan Teknologi Informasi Pada Bank Umum
Ketentuan yang mengatur manajemen risiko bagi Penerbit Kartu ATM
dan/atau Kartu Debet yang berupa Lembaga Selain Bank mengacu
pada ketentuan yang mengatur mengenai manajemen risiko Lembaga
Selain Bank tersebut. Dalam hal belum terdapat ketentuan yang
mengatur mengenai manajemen risiko Lembaga Selain Bank, maka
penerapan manajemen risiko bagi Penerbit yang berupa Lembaga
Selain Bank dapat mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai manajemen risiko Bank termasuk manajemen
risiko dalam penggunaan teknologi informasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat …
-16-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Pelaporan produk baru Kartu ATM dan/atau Kartu Debet
dimaksudkan sebagai salah satu bentuk pengawasan sebelum kegiatan
produk baru Kartu ATM dan/atau Kartu Debet dilaksanakan.
Ayat (2)
Penjelasan karakteristik produk baru Kartu ATM dan/atau Kartu
Debet antara lain meliputi alur transaksi, upaya peningkatan
keamanan sistem, dan perbedaan produk baru dengan produk
sebelumnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 25
Penggunaan uang rupiah dalam kegiatan APMK sesuai dengan amanat
Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009.
Yang dimaksud menggunakan uang rupiah adalah satuan uang rupiah
sebagaimana yang telah digunakan dalam transaksi pembayaran dengan alat
pembayaran non tunai.
Pelaksanaan …
-17-
Pelaksanaan transaksi menggunakan uang rupiah antara lain dapat
ditunjukkan dengan adanya bukti transaksi dalam uang rupiah, seperti yang
tercantum dalam sales draft atau bukti transaksi lainnya.
Pasal 26
Ayat (1)
Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu
Bank atau Lembaga Selain Bank atau lebih untuk menggabungkan diri
dengan Bank atau Lembaga Selain Bank lain yang telah ada yang
mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Bank atau Lembaga Selain
Bank yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Bank
atau Lembaga Selain Bank yang menerima penggabungan dan
selanjutnya status badan hukum Bank atau Lembaga Selain Bank yang
menggabungkan diri berakhir karena hukum.
Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Bank
atau Lembaga Selain Bank atau lebih untuk meleburkan diri dengan
cara mendirikan Bank atau Lembaga Selain Bank baru yang karena
hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Bank atau Lembaga Selain
Bank yang meleburkan diri dan status badan hukum Bank atau
Lembaga Selain Bank yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Bank atau
Lembaga Selain Bank untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan
seluruh aktiva dan pasiva Bank atau Lembaga Selain Bank beralih
karena hukum kepada dua atau lebih Bank atau Lembaga Selain Bank
atau sebagian aktiva dan pasiva Bank atau Lembaga Selain Bank
beralih karena hukum kepada satu atau lebih Bank atau Lembaga
Selain Bank.
Ayat …
-18-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan
hukum atau orang perseorangan untuk mengambilalih saham Bank
atau Lembaga Selain Bank yang mengakibatkan beralihnya
pengendalian atas Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam memberikan kesempatan kepada Bank Indonesia untuk
memperoleh informasi termasuk memberikan akses pada sistem
teknologi informasi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat …
-19-
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 28
Yang dimaksud dengan ”pihak lain” dalam pasal ini adalah pihak-pihak
yang oleh Bank Indonesia dinilai memiliki kemampuan untuk
melaksanakan pengawasan, antara lain akuntan publik dan konsultan
teknologi informasi.
Pengawasan oleh pihak lain dapat dilakukan sendiri atau bersama-sama
dengan pengawas dari Bank Indonesia.
Pasal 29
Ayat (1)
Keamanan teknologi APMK meliputi keamanan dalam proses
penerbitan kartu, pengelolaan data, keamanan pada kartu, dan
keamanan pada seluruh sistem yang digunakan untuk memproses
transaksi APMK.
Yang dimaksud dengan ”aman” adalah sistem elektronik yang
digunakan terlindungi secara fisik dan non fisik.
Yang dimaksud dengan ”andal” adalah sistem elektronik memiliki
kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan penggunaannya.
Ayat (2)
Pelaksanaan audit untuk teknologi informasi dapat dilakukan oleh
auditor independen.
Ayat …
-20-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Keharusan penyediaan sistem yang dapat dikoneksikan dengan sistem
APMK yang lain antara lain dimaksudkan untuk meningkatkan
efisiensi dalam kegiatan APMK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Perubahan informasi pada dokumen tertentu yang harus dilaporkan
antara lain meliputi susunan pengurus atau pemilik dari badan usaha
yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal …
-21-
Pasal 35
Ayat (1)
Pengaturan sendiri oleh forum atau institusi (Self-Regulation
Organization/SRO) dimaksudkan untuk melengkapi aturan dan
kebijakan Bank Indonesia.
Ayat (2)
Untuk mencegah agar aturan yang dikeluarkan tidak bertentangan
dengan aturan dan kebijakan Bank Indonesia, maka materi aturan
yang akan dikeluarkan oleh forum atau institusi tersebut
dikonsultasikan kepada Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 36
Pencantuman daftar nama Bank atau Lembaga Selain Bank dalam website
Bank Indonesia dimaksudkan agar masyarakat luas dapat mengetahui
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir APMK yang telah memperoleh izin dari
Bank Indonesia dalam penyelenggaran APMK.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal …
-22-
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal …
-23-
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Rekomendasi dari otoritas pengawas yang berwenang dapat berasal
dari pengawas bank, pengawas sistem pembayaran atau pengawas dari
Lembaga Selain Bank yang bersangkutan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf …
-24-
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
5000
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/11/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU </reg_title>
<set_date> 13 April 2009 </set_date>
<effective_date> 13 April 2009 </effective_date>
<issued_date> 13 April 2009 </issued_date>
<replaced_reg> '7/52/PBI/2005', '10/8/PBI/2008' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '40/UU/2007', '7/UU/1992', '21/UU/2008', '10/UU/1998', '11/UU/2008', '6/UU/2009' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
Administrator
Peraturan ini mencabut; - PBI No.2/20/PBI/2000 Tgl.12.-09-2000
BANK INDONESIA
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 5/ 15/PBI/2003
TENTANG
FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek,
Bank Indonesia sebagai lender of the last resort dapat
memberikan kredit kepada bank umum yang djamin dengan
agunan berkualitas tinggi dan mudah dicairkan;
b. bahwa untuk menunjang efektivitas dalam pelaksanaan
pemberian kredit dimaksud perlu diadakan penyesuaian dan
penyempurnaan ketentuan yang berlaku.
c. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Umum,
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790)
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
BANK INDONESIA
0
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS
PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan
. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha
perbankan konvensional.
2. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek yang selanjutnya disebut FPJP adalah
fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia kepada Bank yang hanya dapat
digunakan untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek.
. Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek adalah keadaan yang dialami Bank
yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih keeil
dibandingkan dengan arus dana keluar (nismatch).
. Sertifikat Bank Indonesia yang untuk selanjutnya disebut SBI adalah surat
berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
Surat Utang Negara yang untuk selanjutnya disebut SUN adalah surat
berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah
maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh
Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya.
8-100P0 1A4B-207-2-2000-AM
BANK INDONESIA
6. Pasar Uang Antar Bank yang untuk selanjutnya disebut PUAB adalah
kegiatan pinjam meminjam dana antara satu Bank dengan Bank lainnya.
Pasal 2
(1) Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek sehingga pada
akhir hari tidak dapat menyelesaikan kewajibannya, dapat memperoleh
FPJP dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini.
(2) FPJP diberikan dengan jumlah maksimum sebesar kewajiban yang tidak
dapat diselesaikan.
BAB II
PERSYARATAN DAN TATA CARA PERMOHONAN FPJP
Pasal 3
Bank yang dapat mengajukan FPJP adalah Bank yang menurut penilaian Bank
Indonesia memiliki tingkat kesehatan yang cukup baik.
Pasal 4
(I) PPJP wajib dijamin dengan agunan milik Bank yang bersangkutan yang
berkualitas tinggi dan mudah dicairkan.
(2) Agunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa
a. SBI:
b. SUN; dan atau
c. surat berharga dan atau tagihan lain.
BANK INDONESIA
(3) Persyaratan agunan berupa SBI dan SUN sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf a dan huruf b diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
(4) Penetapan jenis dan nilai agunan berupa surat berharga dan atau tagihan lain
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf o diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 5
(1) Nilai agunan yang wajib diserahkan kepada Bank Indonesia ditetapkan
sebagai berikut:
dalam hal agunan berupa SBI, nilai agunan ditetapkan sebesar 100%
(seratus perseratus) dari FPJP yang dihitung berdasarkan nilai jual
SBI:
b. dalam hal agunan berupa SUN, nilai agunan ditetapkan sebesar 1059
(seratus lima perseratus) dari FPJP yang dihitung berdasarkan nilai
pasar SUN.
(2) Nilai jual SBI dan nilai pasar SUN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 6
(1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus bebas dari
Segala bentuk perikatan, Sengketa, dan tidak sedang dijaminkan kepada
pihak lain dan atau Bank Indonesia, yang dinyatakan dalam surat
pemnyataan Bank kepada Bank Indonesia.
(2) Bankal62z
BANK INDONESIA
(2) Bank yang telah memperoleh FPjp dilarang untuk memperjualbelikan dan
atau menjaminkan kembali surat betharga yang masih dalam status sebagai
aglinan FPJP.
(3) Bank wajib mengganti agunan FPJP apabila tidak memenuhi kondisi-
kondisi sebagaimana diatur dalam ayat (1) dan ayat (2).
(4) Persyaratan agunan tidak sedang dijaminkan kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila agunan
dimaksud dijaminkan kembali kepada Bank Indonesia dalam rangka
permohonan perpanjangan FPJP yang telah diperoleh Bank.
(5) Larangan untuk menjaminkan kembali surat berharga yang masih dalam
status sebagai agunan FPJP sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
berlaku apabila agunan dimaksud dijaminkan kepada Bank Indonesia dalam
rangka permohonan perpanjangan FPJP yang telah diperoleh Bank.
Pasal 7
(1) Bank yang memerlukan FPJP wajib mengajukan permohonan secara tertulis
kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan FPJP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilengkapi
dengan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan.
(3) Tata cara permohonan dan dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
81- 100P810M8)-10-.2-2000-J
Pasal 8
(1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bank
Indonesia akan melakukan antara lain
a. pengecekan atas kelengkapan dokumen permohonan FPJP,
b. pengecekan atas pemenuhan persyaratan permohonan FPJP;
c. pengecekan jumlah kewajiban jangka pendek yang tidak dapat
diselesaikan pada hari itu dengan jumlah permohonan FPJP.
(2) Apabila berdasarkan pengecekan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Bank Indonesia menyetujui permohonan FPJP, maka Bank Indonesia
merealisasikan pemberian FPJP.
(3) Perjanjan FPJP dibuat sesuai dengan format yang diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia tentang FPJP yang berlaku.
(4) Pejanjan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib dilampiri dengan
perjanjian pengikatan agunan.
(5) Bank Indonesia memolak permohonan FPJP yang tidak sesuai dengan
ketentuan, tatacara dan persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 9
(I) Jangka waktu setiap FPJP adalah 1 (satu) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang
secara berturut-turut dengan jangka Waktu FPJP keseluruhannya
maksimum 90 (sembilan puluh) hari.
(3) Dalam hal permohonan perpanjangan FPJP menyebabkan penggunaan FPJP
mnelebihi 90 (sembilan puluh) hari berturut-turut sebagaimana dimaksud
dalam.4182
81-100 PAIAIB-207-2-2000-
dalam ayat (2), Bank Indonesia menolak permohonan perpanjangan FPJP
dimaksud.
Pasal 10
(I) Perpanjangan EPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) hanya
dapat dilakukan apabila
a. bunga atas FPJP yang jatuh tempo dilunasi terlebih dahulu.
b. saldo giro bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk melunasi
FPJP yang jatuh tempo
c. agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6.
(2) Perpanjangan FPJP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan sebesar
nominal FPJP yang telah jatuh tempo.
(3) Dalam hal Bank tidak dapat membayar bunga atas FPJP yang jatuh tempo
scbagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank dapat mengajukan
perpanjangan FPJP scbesar nilai nominal FPJP yang telah jatuh tempo
ditambah biaya bunga yang tidak dapat dilunasi sepanjang :
agunran masih mencuikupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6; dan
b. penggunaan FPJP belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari berturut-
turut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
Pasal 11
Dalam rangka perpanjangan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. Bank
dapat mengajukan tambahan nilai FPJP yang dibutulkan untuk menutupi
kewajiban..97682-
kewajiban yang tidak dapat diselesaikan Bank sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) sepanjang
a. agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6; dan
. penggunaan FPJP belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari berturut-turut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
Pasal 12
Dalam rangka perpanjangan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan
Pasal 11, Bank dapat menggunakan agunan lama maupun agunan baru.
BAB III
PERHITUNGAN BUNGA
Pasal 13
(1) Bank Indonesia mengenakan biaya bunga kepada Bank atas penggunaan
FPJP.
(2) Biaya bunga FPJP sebagaimana dimaksud dalam ayat (I) termasuk
perpanjangannya ditetapkan sebesar nilai tertinggi dari:
rata-rata tertimbang suku bunga PUAB overnight pada 1 (satu) hari
sebelum permohonan FPJP atau perpanjangan FPJP ditambah madjin
b. rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI jangka waktu 1 (satu) bulan
pada lelang terakhir ditambah marjin tertentu.
(3) Penetapan..90090-
(3) Penetapan suku bunga PUAB, tata cara perhitungan rata rata tertimbang
suku bunga PUAB, dan marjin tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) diatur lebih lanjut dalam Surat Bdaran Bank Indonesia.
BAB IV
PELUNASAN DAN EKSEKUSIAGUNAN
Pasal 14
(1) Pada saat FPJP jatuh tempo, Bank Indonesia mendebet rekening giro
Rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia sebesar nilai FPJP
ditambah bunga FPJP.
(2) Dalam hal PPJP jatuh tempo dan saldo giro Rupiah Bank yang bersangkutan
di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk membayar nilai nominal dan
bunga FPJP dan Bank tidak lagi memenuhi persyaratan untuk memperoleh
perpanjangan FPJP, maka Bank Indonesia mengeksekusi agunan FPJP.
(3) Bank Indonesia tetap mengenakan biaya bunga sampai dengan eksekusi
agunan selesai dilaksanakan.
(4) Apabila nilai eksekusi agunan lebih kecil dibandingkan dengan total nilai
FPJP dan kewajiban bunga yang harus dilunasi oleh Bank maka Bank wajib
membayar kekurangannya kepada Bank Indonesia.
(S) Apabila nilai cksekusi agunan lebih besar dibandingkan dengan total nilai
FPJP dan kewajiban bunga yang hanus dilunasi oleh Bank maka Bank
Indonesia mengembalikan kelebihan tersebut kepada Bank.
BANK INDONESIA
BAB V
PENGAWASAN
Pasal 15
Dalam rangka pengawasan atas penggunaan FPJP, Bank Indonesia dapat
melakukan pemeriksaan terhadap Bank yang bersangkutan.
BAB VI
SANKSI
Pasal 16
Dalam hal Bank melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 dan atau berdasarkan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 diketabui adanya penyimpangan penggunaan FPJP, maka Bank dapat
dikenakan sanksi berupa
a. tidak dapat memperoleh FPJP dalam jangka waktu tertentu; dan
b. sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) Undang.-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 antara lain berupa teguran
tertulis, larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring, pembekuan
kegiatan usaha tertentu dan atau pemberhentian pengurus Bank.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai FPJP diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 18..00282-
8-10 PBI IAB1-207-2.2000.A
BANK INDONESIA
Pasal 18
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Peraturan Bank
Indonesia Nomor 2/20/PBI/2000 tanggal 12 September 2000 tentang Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 19
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 14 Aguatus 2003.
GUBERNUR BANK INDONESIAJ39.
p
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 99
DPNP, DPM.
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 5/ 15 /PBI/2003
TENTANG
FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM
L. UMUM
Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, Bank Indonesia dapat memberikan kredit kepada Bank untuk
mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang dijamin dengan agunan
yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. Sejalan dengan hal tersebut, Bank
Indonesia menyediakan fasilitas pendanaan dalam rangka mengatasi kesulitan
pendanaan jangka pendek kepada Bank, dengan maksud agar kelangsungan
kegiatan usaha Bank dan kelancaran sistem pembayaran dapat terpelihara.
Pemberian kredit olehi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud di atas
berupa penyediaan Fasilitas Pendanaam Jangka Pendek (FPJP) wajib dijamin
dengan agunan berupa Sertifikat Bank Indonesia, Surat Utang Negara dan atau
surat berharga dan atau tagihan lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan.
FPJP hanya diberikan kepada Bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka
pendek, sehingga perlu ditetapkan persyaratan tertentu terhadap bank-bank yang
mengajukan permohonan FPJP.
Dalam rangka efektivitas pelaksanaannya maka dalam Peraturan Bank
Indonesia ini dilakukan penyempumaan mekanisme pelaksanaan pemberian
FPJP tersebut.
II. PASAL.90092
IT. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (I)
Yang dimaksud dengan tidak dapat menyelesaikan kewajibannya
adalah ketidakmampuan Bank dalam menyelesaikan kewajiban,
baik yang terjadi melalui sistem kliring dan atau karena pemakaian
fasilitas pendanaan dalam rangka Sistem BI-RTGS.
Yang dimaksud dengan kewajiban adalah tidak termasuk
kewajiban untuk memenuhi ketentuan Giro Wajib Minimum
(GWM) yang borlaku.
Ayat (2)
Cukupjelas
Pasal 3
Yang dimaksud dengan Bank yang memiliki tingkat kesehatan yang
cukup baik adalah Dank yang masih beroperasi.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hurufa
Cukup jelas
Hurufb..9182
N- 10OPO LAIB)- 207.2-2000.AJ
BANK INDONESIA
Huruf b
Dalam hal agunan berupa SUN, harus merupakan SUN yang
berada dalam portofolio perdagangan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Huruf c
Yang dimaksud dengan surat berharga dan atau tagihan lain
adalah meliputi surat berharga yang diterbitkan oleh
Pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai
peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga
pemeringkat yang kompeten dan sewaktu-waktu dengan
mudah dapat dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (I)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3).-9092
BI- 100P8104B-207-2-20000
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (I)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5).00992
BI- 100P81IAB1- 207.2- 2000.A
BANK INDONESIA
Ayat (5)
Cukupjelas
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan hari pada ayat ini adalah hari kalender.
Apabila saat jatuh tempo FPJP bertepatan dengan hari Sabtu,
Minggu atau hari libur, maka saat jatuh tempo FPJP adalah pada
hari kerja berikutnya.
Ayat (2)
Jangka waktu setiap perpanjangan FPJP adalah 1 (satu) hari.
Perhitungan jangka waktu FPJP keseluruhan maksimum 90
(sembilan puluh) hari adalah termasuk hari Sabtu, Minggu atau bari
libur yang dihitung sejak pertama kali Bank memanfaatkan FPJP.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c.9118-
Huruf c
Dalam rangka pelaksanaan perpanjangan FPJP, agunan yang
telah diagunkan Bank untuk menjamin FPJP yang diterima
Bank sebelumnya akan dinilai kembali, sehingga Bank periu
menyesuaikan jumlah agunan yang diseralkan untuk
menjamin perpanjangan FPJP.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 11
Tambahan nilai FPJp yang diajukan akan diakumulasikan terhadap nilai
FPJP yang belum dilunasi.
Pasal 12
Yang dimaksud dengan agunan lama adalah agunan yang telah digunakan
untuk menjamin FPJP yang masih dimanfaatkan Bank.
Pasal 13
Ayat (1)
Pengenaan biaya bunga HPJP dilakukan dengan rumus sebagai
berikut
(Jumlah FPJP)x(suku bunga PPJP)x(jangka waktu dalam hari)
360
Asat(2).97492
BANK INDONESIA
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan jatuh tempo adalah apabila Bank tidak
mengajukan permohonan perpanjangan FPJP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 atau Pasal 11 dan atau Bank tidak lagi
memenuhi persyaratan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (3).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 15
Pemeriksaan terhadap Bank yang menerima FPJP dapat dilakukan pada
periode diterimanya atau setelah jatuh tempo FPJP.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR .4942-
81.100 PB1 LAABI- 207-2-2000-
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 5/15/PBI/2003 </reg_id>
<reg_title> FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 14 Agustus 2003 </set_date>
<effective_date> 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal 14 Agustus 2003 </effective_date>
<replaced_reg> '2/20/PBI/2000' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
Diubah dengan PBI No. 2/10/PBI/2000 tanggal 29 Maret 2000
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 1 / 10 /PBI/1999
TENTANG
PORTOFOLIO OBLIGASI PEMERINTAH BAGI
BANK UMUM PESERTA PROGRAM REKAPITALISASI
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka Program Rekapitalisasi Bank Umum,
Pemerintah telah menerbitkan obligasi yang dapat
diperdagangkan;
b. bahwa untuk pelaksanaan perdagangan Obligasi
Pemerintah tersebut diperlukan pengaturan tentang
portofolio dan pencatatan obligasi yang dimiliki bank
umum peserta program rekapitalisasi;
c. bahwa sehubungan dengan itu perlu disusun ketentuan
mengenai Portofolio Obligasi Pemerintah Bagi Bank
Umum Peserta Program Rekapitalisasi dalam suatu
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
3. Peraturan …
- 2 -
3. Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1998 tentang
Program Rekapitalisasi Bank Umum (Lembaran Negara
Tahun 1998 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3799);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PORTOFOLIO OBLIGASI PEMERINTAH BAGI BANK
UMUM PESERTA PROGRAM REKAPITALISASI.
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang ikut serta dalam Program
Rekapitalisasi Bank Umum;
2. Obligasi Pemerintah yang selanjutnya disebut Obligasi adalah Surat Utang
Negara Republik Indonesia dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia dalam rangka Program Rekapitalisasi Bank
Umum sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 84
Tahun 1998;
3. Portofolio Investasi (Investment Portfolio) adalah portofolio Obligasi yang
dicatat dalam pembukuan Bank yang tidak dapat diperdagangkan;
4. Portofolio Perdagangan (Trading Portfolio) adalah portofolio Obligasi yang
dicatat dalam pembukuan Bank yang dapat diperdagangkan.
Pasal 2
(1) Bank dilarang memperdagangkan Obligasi yang dimilikinya sampai dengan
31 Januari 2000.
(2). Bank …
- 3 -
(2) Bank wajib membukukan Obligasi yang tidak dapat diperdagangkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Portofolio Investasi.
Pasal 3
(1) Bank dapat memperdagangkan Obligasi sejak 1 Februari 2000, setinggi-
tingginya 10% (sepuluh perseratus) dari nilai keseluruhan Obligasi yang
dibeli pada saat Bank menerima penyertaan tunai dari Pemerintah
sehubungan dengan Program Rekapitalisasi Bank Umum.
(2) Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia jumlah Obligasi yang akan
diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya
21 Januari 2000.
(3) Bank Indonesia menetapkan rincian jenis dan jangka waktu dari jumlah
Obligasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan diberitahukan secara
tertulis kepada Bank selambat-lambatnya 26 Januari 2000.
Pasal 4
(1) Persentase Obligasi yang dapat diperdagangkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) dapat ditingkatkan oleh Bank Indonesia apabila
dipandang perlu.
(2) Peningkatan persentase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan
ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 5
(1) Bank yang memiliki Obligasi yang diterbitkan Pemerintah setelah 31
Januari 2000 sebagai penyertaan tunai Pemerintah dalam rangka Program
Rekapitalisasi Bank Umum dapat memperdagangkan Obligasi setinggi-
tingginya sebesar persentase yang berlaku, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 atau Pasal 4.
(2) Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia jumlah Obligasi yang akan
diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya
5 (lima) hari kerja sebelum Obligasi diperdagangkan.
(3). Bank …
- 4 -
(3) Bank Indonesia menetapkan rincian jenis dan jangka waktu dari jumlah
Obligasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan diberitahukan secara
tertulis kepada Bank.
Pasal 6
(1) Bank wajib memindahbukukan Obligasi yang dapat diperdagangkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (2) dari
Portofolio Investasi ke dalam Portofolio Perdagangan.
(2) Bank wajib membukukan Obligasi yang diperoleh dari perdagangan di
pasar sekunder dalam Portofolio Perdagangan.
(3) Bank dilarang memindahbukukan Obligasi yang tercatat dalam Portofolio
Perdagangan kedalam Portofolio Investasi.
Pasal 7
(1) Bank wajib membukukan Obligasi yang dicatat dalam Portofolio Investasi
berdasarkan nilai nominal (Par Value).
(2) Bank wajib membukukan Obligasi yang dicatat dalam Portofolio
Perdagangan berdasarkan nilai wajar.
Pasal 8
(1) Bank dapat mengagunkan Obligasi yang dicatat dalam Portofolio
Perdagangan.
(2) Bank dilarang mengagunkan Obligasi yang dicatat dalam Portofolio
Investasi.
Pasal 9 …
- 5 -
Pasal 9
(1) Sebelum masa perdagangan Obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) berlaku, Bank diperkenankan mengagunkan Obligasi yang
dimilikinya kepada pihak ketiga dengan persetujuan Bank Indonesia.
(2) Persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. Bank mengalami kesulitan likuiditas antara lain terjadinya pelanggaran
ketentuan Giro Wajib Minimum yang ditetapkan Bank Indonesia; dan
b. Bank telah mempunyai kewajiban antar bank jangka pendek sekurang-
kurangnya sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari kewajiban segera
yang dimiliki; dan
c. Jangka waktu pinjaman yang diterima Bank dengan agunan Obligasi
dimaksud sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan.
(3) Jumlah yang dapat disetujui oleh Bank Indonesia untuk diagunkan adalah
sebesar jumlah kesulitan likuiditas yang dialami sampai dengan setinggi-
tingginya sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari nilai keseluruhan Obligasi
yang dibeli pada saat Bank menerima penyertaan tunai dari Pemerintah
sehubungan dengan Program Rekapitalisasi Bank Umum.
(4) Obligasi yang diagunkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dibukukan dalam Portofolio Perdagangan.
(5) Dana pinjaman yang diperoleh dengan mengagunkan Obligasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib segera dipergunakan untuk memenuhi
kewajiban yang jatuh tempo dan memenuhi ketentuan Giro Wajib
Minimum.
(6) Bank wajib menyampaikan rencana dan realisasi penggunaan dana
pinjaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (5).
(7) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ini hanya berlaku sampai
dengan 31 Januari 2000.
Pasal 10 …
- 6 -
Pasal 10
(1) Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 3 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 ayat (2),
Pasal 9 ayat (1), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang
Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 tahun 1998.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. Teguran tertulis; dan/atau
b. Pembekuan kegiatan perdagangan Obligasi sekurang-kurangnya selama 3
(tiga) bulan; dan/atau
c. Pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam
daftar orang tercela dibidang perbankan.
Pasal 11
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Desember 1999
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 211
DPNP
- 7 -
- 8 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 1 / 10 /PBI/1999
TENTANG
PORTOFOLIO OBLIGASI PEMERINTAH BAGI
BANK UMUM PESERTA PROGRAM REKAPITALISASI
UMUM
Sebagai tindak lanjut dari program restrukturisasi perbankan,
Pemerintah telah menerbitkan obligasi yang dapat diperdagangkan dalam
rangka memperkuat struktur permodalan bank.
Disamping itu, penerbitan obligasi juga dimaksudkan untuk membantu
likuiditas perbankan, memberikan alternatif investasi bagi masyarakat dan
sekaligus mendorong pengembangan aktivitas perdagangan surat-surat
berharga di pasar sekunder.
Perdagangan obligasi akan dilakukan secara bertahap dengan
memperhatikan perkembangan transaksi/perdagangan obligasi di pasar
keuangan serta prinsip kehati-hatian operasional bank.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3 …
- 9 -
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Obligasi yang dimiliki oleh Bank adalah Obligasi yang dibeli pada saat
Bank menerima penyertaan tunai dari Pemerintah sehubungan dengan
Program Rekapitalisasi Bank Umum.
Obligasi dimaksud tidak dapat diperdagangkan selama berlangsungnya
masa tenggang (Lock-up Period) yaitu kurun waktu sejak dibelinya
Obligasi sampai dengan 31 Januari 2000.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal Bank melaporkan jumlah Obligasi yang dapat
diperdagangkan lebih rendah dari persentase sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) maka jumlah yang dilaporkan tersebut adalah batasan
jumlah Obligasi yang dapat diperdagangkan oleh Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4 …
- 10 -
Pasal 4
Ayat (1)
Penetapan besarnya jumlah Obligasi yang dapat diperdagangkan
dilakukan dengan memperhatikan perdagangan Obligasi di pasar
sekunder.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Bank yang memiliki Obligasi yang diterbitkan
Pemerintah setelah 31 Januari 2000 adalah Bank -Bank yang menerima
penyertaan tunai Pemerintah dalam rangka Program Rekapitalisasi
Bank Umum setelah tanggal tersebut.
Ayat (2)
Dalam hal Bank melaporkan jumlah Obligasi yang dapat
diperdagangkan lebih rendah dari persentase sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) maka jumlah yang dilaporkan tersebut adalah batasan
jumlah Obligasi yang dapat diperdagangkan oleh Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Obligasi yang dipindahbukukan harus sesuai dengan rincian jenis dan
jangka waktu yang ditetapkan Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Pasal 7 …
- 11 -
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Nilai wajar diukur dengan cara mengalikan volume obligasi yang
dapat diperdagangkan (Portofolio Perdagangan) dengan harga pasar
(Mark to Market) yang ditetapkan berdasarkan kuotasi rata-rata harga
penutupan pada hari yang bersangkutan.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah kreditur di luar Bank
Indonesia.
Diperkenankannya Bank untuk memperoleh pinjaman dari pihak ketiga
dengan mengagunkan Obligasi yang dimiliki selama masa tenggang
(Lock-up Period), dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan
penarikan dana oleh nasabah penyimpan dana dalam jumlah yang besar
dan dalam waktu yang relatif bersamaan berkaitan dengan
kekhawatiran terhadap permasalahan komputer tahun 2000.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b …
- 12 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan kewajiban segera yang dimiliki adalah pos
kewajiban segera lainnya sebagaimana diatur dalam ketentuan
tentang Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan
Publikasi yang berlaku.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 11 …
- 13 -
Pasal 11
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3917
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 1/10/PBI/1999 </reg_id>
<reg_title> PORTOFOLIO OBLIGASI PEMERINTAH BAGI BANK UMUM PESERTA PROGRAM REKAPITALISASI </reg_title>
<set_date> 3 Desember 1999 </set_date>
<effective_date> 3 Desember 1999 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '84/PP/1998', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 10' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR:9/1/PBI/2007
TENTANG
SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa kesehatan suatu bank berdasarkan prinsip syariah
merupakan kepentingan semua pihak yang terkait, baik
pemilik dan pengelola bank, masyarakat pengguna jasa bank
maupun Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan bank;
b. bahwa dengan meningkatnya jenis produk dan jasa perbankan
syariah berpengaruh pada peningkatan kompleksitas usaha dan
profil risiko bank berdasarkan prinsip syariah;
c. bahwa perubahan metodologi penilaian kondisi bank yang
diterapkan secara internasional akan mempengaruhi sistem
penilaian Tingkat Kesehatan Bank berdasarkan prinsip syariah
yang saat ini berlaku;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dipandang perlu untuk
mengatur kembali Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank
Umum berdasarkan prinsip syariah dalam suatu Peraturan
Bank Indonesia;
Mengingat: …
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4357);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SISTEM
PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
BAB I …
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah.
2. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja di kantor
pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari Kantor
Cabang Syariah dan atau Unit Syariah, atau unit kerja di Kantor Cabang Bank
Asing yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi
sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Pembantu Syariah dan atau Unit
Syariah.
3. Kantor Cabang Bank Asing adalah kantor cabang dari suatu bank yang
berkedudukan di luar negeri
4. Direksi:
a. bagi bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah;
c. bagi bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
5. Komisaris …
- 4 -
5. Komisaris:
a. bagi bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
6. Tingkat Kesehatan Bank adalah hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek
yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu Bank atau UUS melalui:
a. Penilaian Kuantitatif dan Penilaian Kualitatif terhadap faktor-faktor
permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, sensitivitas terhadap risiko
pasar; dan
b. Penilaian Kualitatif terhadap faktor manajemen.
7. Peringkat Komposit adalah peringkat akhir hasil penilaian Tingkat Kesehatan
Bank.
8. Penilaian Kuantitatif adalah penilaian terhadap posisi, perkembangan maupun
proyeksi rasio-rasio keuangan Bank atau UUS.
9. Penilaian Kualitatif adalah penilaian terhadap faktor-faktor yang mendukung
hasil Penilaian Kuantitatif, penerapan manajemen risiko, dan kepatuhan Bank
atau UUS.
10. Manajemen Risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan
untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang
timbul dari kegiatan usaha Bank dan UUS.
11. Faktor …
- 5 -
11. Faktor Finansial adalah salah satu faktor pembentuk Tingkat Kesehatan Bank
yang terdiri dari faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, dan
sesitivitas terhadap risiko pasar.
12. Peringkat Faktor Finansial adalah peringkat akhir hasil penilaian Faktor
Finansial.
Pasal 2
(1) Bank wajib melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip kehati-hatian
dan prinsip syariah dalam rangka menjaga atau meningkatkan Tingkat
Kesehatan Bank.
(2) Komisaris dan Direksi Bank wajib memantau dan mengambil langkah-langkah
yang diperlukan agar Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dipenuhi.
Pasal 3
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank mencakup penilaian terhadap faktor-faktor
sebagai berikut:
a. permodalan (capital);
b. kualitas aset (asset quality);
c. manajemen (management);
d. rentabilitas (earning);
e. likuiditas (liquidity); dan
f. sensitivitas terhadap risiko pasar (sensitivity to market risk).
Pasal 4
(1) Penilaian terhadap faktor permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf a …
- 6 -
huruf a meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. kecukupan, proyeksi (trend ke depan) permodalan dan kemampuan
permodalan dalam mengcover risiko;
b. kemampuan memelihara kebutuhan penambahan modal yang berasal dari
keuntungan, rencana permodalan untuk mendukung pertumbuhan usaha,
akses kepada sumber permodalan dan kinerja keuangan pemegang saham.
(2) Penilaian terhadap faktor kualitas aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf b meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. kualitas aktiva produktif, perkembangan kualitas aktiva produktif
bermasalah, konsentrasi eksposur risiko, dan eksposur risiko nasabah inti.
b. kecukupan kebijakan dan prosedur, sistem kaji ulang (review) internal,
sistem dokumentasi dan kinerja penanganan aktiva produktif bermasalah.
(3) Penilaian terhadap faktor manajemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf c meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. kualitas manajemen umum, penerapan manajemen risiko terutama
pemahaman manajemen atas risiko Bank atau UUS;
b. kepatuhan Bank atau UUS terhadap ketentuan yang berlaku, komitmen
kepada Bank Indonesia maupun pihak lain, dan kepatuhan terhadap prinsip
syariah termasuk edukasi pada masyarakat, pelaksanaan fungsi sosial.
(4) Penilaian terhadap faktor rentabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf d meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. kemampuan dalam menghasilkan laba, kemampuan laba mendukung
ekspansi dan menutup risiko, serta tingkat efisiensi;
b. diversifikasi pendapatan termasuk kemampuan bank untuk mendapatkan
fee based income, dan diversifikasi penanaman dana, serta penerapan
prinsip akuntansi dalam pengakuan pendapatan dan biaya.
(5) Penilaian …
- 7 -
(5) Penilaian terhadap faktor likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf e meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. kemampuan memenuhi kewajiban jangka pendek, potensi maturity
mismatch, dan konsentrasi sumber pendanaan;
b. kecukupan kebijakan pengelolaan likuiditas, akses kepada sumber
pendanaan, dan stabilitas pendanaan.
(6) Penilaian terhadap faktor sensitivitas terhadap risiko pasar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf f meliputi penilaian terhadap komponen-
komponen sebagai berikut:
a. kemampuan modal Bank atau UUS mengcover potensi kerugian sebagai
akibat fluktuasi (adverse movement) nilai tukar;
b. kecukupan penerapan manajemen risiko pasar.
Pasal 5
(1) Penilaian peringkat komponen atau rasio keuangan pembentuk faktor
permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, dan sensitivitas terhadap
risiko pasar dihitung secara kuantitatif.
(2) Penilaian peringkat komponen pembentuk faktor manajemen dilakukan
melalui analisis dengan mempertimbangkan indikator pendukung dan unsur
judgement.
(3) Peringkat setiap rasio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari
peringkat 1, peringkat 2, peringkat 3, peringkat 4, dan peringkat 5.
(4) Peringkat setiap komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari
peringkat A, peringkat B, peringkat C, dan peringkat D.
Pasal 6 …
- 8 -
Pasal 6
(1) Berdasarkan hasil penilaian peringkat setiap rasio dan komponen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ditetapkan peringkat setiap faktor.
(2) Penilaian peringkat faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas,
dan sensitivitas terhadap risiko pasar ditentukan melalui analisis dengan
mempertimbangkan indikator pendukung dan atau pembanding yang relevan
(judgement) atas:
a. peringkat rasio utama; dan
b. peringkat rasio penunjang.
(3) Penilaian peringkat faktor manajemen dilakukan dengan mempertimbangkan
unsur judgement atas peringkat komponen pembentuk.
Pasal 7
(1) Peringkat faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, dan
sensitivitas terhadap risiko pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(2) ditetapkan dalam 5 (lima) peringkat, sebagai berikut:
a. peringkat 1,
b. peringkat 2,
c. peringkat 3,
d. peringkat 4, atau
e. peringkat 5.
(2) Penilaian peringkat faktor manajemen ditetapkan dalam 4 (empat) peringkat
sebagai berikut:
a. Peringkat manajemen A mencerminkan bahwa bank memiliki kualitas tata
kelola (corporate governance) yang baik dengan kualitas manajemen risiko
dan kepatuhan yang tinggi terhadap peraturan yang berlaku dan prinsip
syariah …
- 9 -
syariah;
b. Peringkat manajemen B mencerminkan bahwa bank memiliki kualitas tata
kelola (corporate governance) yang cukup baik dengan kualitas
manajemen risiko dan kepatuhan yang cukup tinggi terhadap peraturan
yang berlaku dan prinsip syariah;
c. Peringkat manajemen C mencerminkan bahwa bank memiliki kualitas tata
kelola (corporate governance) yang kurang baik dengan kualitas
manajemen risiko dan atau kepatuhan yang rendah terhadap peraturan yang
berlaku dan atau prinsip syariah; atau
d. Peringkat manajemen D mencerminkan bahwa bank memiliki kualitas tata
kelola (corporate governance) yang tidak baik dengan kualitas manajemen
risiko dan atau kepatuhan sangat rendah terhadap peraturan yang berlaku
dan atau prinsip syariah.
Pasal 8
(1) Berdasarkan hasil penilaian peringkat faktor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) ditetapkan Peringkat Faktor Finansial.
(2) Proses penilaian Peringkat Faktor Finansial dilaksanakan dengan pembobotan
atas nilai peringkat faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas,
dan sensitivitas terhadap risiko pasar.
(3) Peringkat Faktor Finansial ditetapkan sebagai berikut:
a. Peringkat Faktor Finansial 1, mencerminkan bahwa kondisi keuangan Bank
atau UUS tergolong sangat baik dalam mendukung perkembangan usaha
dan mengantisipasi perubahan kondisi perekonomian dan industri
keuangan.
b. Peringkat Faktor Finansial 2, mencerminkan bahwa kondisi keuangan Bank
atau UUS tergolong baik dalam mendukung perkembangan usaha dan
mengantisipasi …
- 10 -
mengantisipasi perubahan kondisi perekonomian dan industri keuangan.
c. Peringkat Faktor Finansial 3, mencerminkan bahwa kondisi keuangan Bank
atau UUS tergolong cukup baik dalam mendukung perkembangan usaha
namun masih rentan/lemah dalam mengantisipasi risiko akibat perubahan
kondisi perekonomian dan industri keuangan.
d. Peringkat Faktor Finansial 4, mencerminkan bahwa kondisi keuangan Bank
atau UUS tergolong kurang baik dan sensitif terhadap perubahan kondisi
perekonomian dan industri keuangan.
e. Peringkat Faktor Finansial 5, mencerminkan bahwa kondisi keuangan Bank
atau UUS yang buruk dan sangat sensitif terhadap pengaruh negatif kondisi
perekonomian, serta industri keuangan.
Pasal 9
(1) Berdasarkan hasil penilaian Peringkat Faktor Finansial dan penilaian peringkat
faktor manajemen, ditetapkan Peringkat Komposit.
(2) Peringkat Komposit ditetapkan sebagai berikut:
a. Peringkat Komposit 1, mencerminkan bahwa Bank dan UUS tergolong
sangat baik dan mampu mengatasi pengaruh negatif kondisi perekonomian
dan industri keuangan.
b. Peringkat Komposit 2, mencerminkan bahwa Bank dan UUS tergolong
baik dan mampu mengatasi pengaruh negatif kondisi perekonomian dan
industri keuangan namun Bank dan UUS masih memiliki kelemahan-
kelemahan minor yang dapat segera diatasi oleh tindakan rutin.
c. Peringkat Komposit 3, mencerminkan bahwa Bank dan UUS tergolong
cukup baik namun terdapat beberapa kelemahan yang dapat menyebabkan
peringkat komposit memburuk apabila Bank dan UUS tidak segera
melakukan …
- 11 -
melakukan tindakan korektif.
d. Peringkat Komposit 4, mencerminkan bahwa Bank dan UUS tergolong
kurang baik dan sensitif terhadap pengaruh negatif kondisi perekonomian
dan industri keuangan atau Bank dan UUS memiliki kelemahan keuangan
yang serius atau kombinasi dari kondisi beberapa faktor yang tidak
memuaskan, yang apabila tidak dilakukan tindakan yang efektif berpotensi
mengalami kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha.
e. Peringkat Komposit 5, mencerminkan bahwa Bank dan UUS sangat
sensitif terhadap pengaruh negatif kondisi perekonomian, industri
keuangan, dan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usaha.
(3) Proses penilaian Peringkat Komposit dilaksanakan melalui agregasi atas
Peringkat Faktor Finansial dan peringkat faktor manajemen menggunakan
tabel konversi dengan mempertimbangkan indikator pendukung dan unsur
judgement.
BAB II
MEKANISME DAN TINDAK LANJUT HASIL PENILAIAN
Pasal 10
Bank wajib melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank sesuai dengan Peraturan
Bank Indonesia ini secara triwulanan, untuk posisi akhir bulan Maret, Juni,
September, dan Desember.
Pasal 11
(1) Dalam rangka melaksanakan pengawasan bank, Bank Indonesia melakukan
penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara triwulanan, untuk posisi akhir bulan
Maret …
- 12 -
Maret, Juni, September, dan Desember.
(2) Penilaian Tingkat Kesehatan Bank dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan,
laporan berkala yang disampaikan bank, dan atau informasi lain yang
diketahui secara umum seperti hasil penilaian oleh otoritas atau lembaga lain
yang berwenang.
(3) Dalam rangka memperoleh hasil penilaian tingkat kesehatan yang sesuai
dengan kondisi bank yang sesungguhnya, Bank Indonesia dapat meminta
informasi dan penjelasan dari bank.
(4) Bank Indonesia melakukan penyesuaian terhadap penilaian Tingkat Kesehatan
Bank apabila diketahui terdapat data dan informasi yang mempengaruhi
kondisi bank secara signifikan pada posisi setelah posisi penilaian (subsequent
events).
(5) Apabila terdapat perbedaan hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang
dilakukan oleh Bank Indonesia dengan hasil penilaian Tingkat Kesehatan
Bank yang dilakukan oleh bank, maka yang berlaku adalah hasil penilaian
Tingkat Kesehatan Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
(6) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan penilaian Tingkat
Kesehatan Bank diluar waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 12
(1) Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Bank
Indonesia dapat meminta Direksi, Komisaris, dan atau Pemegang Saham untuk
menyampaikan action plan yang memuat langkah-langkah perbaikan yang
wajib dilaksanakan oleh bank terhadap permasalahan signifikan dengan target
waktu penyelesaian selama periode tertentu.
(2) Apabila diperlukan Bank Indonesia dapat meminta bank untuk melakukan
penyesuaian …
- 13 -
penyesuaian terhadap action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 13
(1) Bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah
pelaksanaan action plan.
(2) Dalam hal pelaksanaan action plan dilakukan secara bertahap, bank wajib
melaporkan pelaksanaan tahapan action plan dimaksud paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja setelah pelaksanaan setiap tahapan action plan dimaksud.
Pasal 14
Apabila diperlukan Bank Indonesia melakukan pemeriksaan khusus terhadap hasil
pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Pasal 15
Dalam penilaian tingkat kesehatan UUS dari Kantor Cabang Bank Asing, apabila
diperlukan Bank Indonesia meminta data atau informasi mengenai peringkat kantor
pusat bank asing.
BAB III
SANKSI
Pasal 16
Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 dan Pasal 10, Pasal 12, dan Pasal 13 dikenakan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun …
- 14 -
Tahun 1998 berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan atau
c. pencantuman pengurus dan atau pemegang saham bank dalam daftar orang yang
dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus bank.
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 17
Pelaksanaan sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Bank Indonesia ini mulai diterapkan untuk penilaian data bulan
Desember 2007.
Pasal 18
Dalam rangka persiapan penerapan sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara
efektif, bank harus melaksanakan uji coba penilaian Tingkat Kesehatan Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sejak posisi bulan September 2007.
Pasal 19
Sebelum dilaksanakannya sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17, penilaian Tingkat Kesehatan Bank oleh Bank Indonesia
dilakukan berdasarkan:
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/11/KEP/DIR tanggal 30
April 1997 tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum;
b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/277/KEP/DIR tanggal 19
Maret 1998 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
30/11/KEP/DIR …
- 15 -
30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang Tatacara Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Bank
Indonesia ini akan ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 21
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka:
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/81/KEP/DIR tanggal 28
Februari 1991 tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank;
b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/11/KEP/DIR tanggal 30
April 1997 tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum;
c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/277/KEP/DIR tanggal 19
Maret 1998 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang Tatacara Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum;
d. Surat Edaran Bank Indonesia No. 31/9/UPPB tgl 12 Nov 1998 ttg Perubahan SK
Dir No. 26/20/KEP/Dir tanggal 29 Mei 1993 ttg KPMM.
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi
akhir bulan Desember 2007.
Pasal 22 …
- 16 -
Pasal 22
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Januari 2007
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 31
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR:9/1/PBI/2007
TENTANG
SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
UMUM
Kesehatan atau kondisi keuangan dan non keuangan bank berdasarkan
prinsip syariah merupakan kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, pengelola
(manajemen) bank, masyarakat pengguna jasa bank, Bank Indonesia selaku otoritas
pengawasan bank maupun pihak lainnya. Kondisi bank tersebut dapat digunakan
oleh pihak-pihak tersebut untuk mengevaluasi kinerja bank dalam menerapkan
prinsip kehati-hatian, kepatuhan terhadap prinsip syariah, kepatuhan terhadap
ketentuan yang berlaku dan manajemen risiko.
Meningkatnya produk dan jasa perbankan syariah yang semakin kompleks
dan beragam akan meningkatkan eksposur risiko yang dihadapi bank berdasarkan
prinsip syariah. Perubahan eksposur risiko dan penerapan manajemen risiko akan
mempengaruhi profil risiko yang selanjutnya berakibat pada kondisi bank
berdasarkan prinsip syariah secara keseluruhan.
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan penilaian manajemen risiko
dibedakan namun terdapat perpotongan antara keduanya. Dalam penilaian tingkat
kesehatan telah memasukkan risiko yang melekat pada aktivitas bank (inherent risk)
yang merupakan bagian dari proses penilaian manajemen risiko.
Perkembangan …
- 2 -
Perkembangan metodologi penilaian kondisi bank yang bersifat dinamis
mendorong pengaturan kembali sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank
berdasarkan prinsip syariah agar dapat memberikan gambaran tentang kondisi saat
ini dan di waktu mendatang. Pengaturan kembali penilaian tingkat kesehatan bank
berdasarkan prinsip syariah dilakukan melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif
serta penambahan faktor penilaian.
Bagi perbankan, hasil akhir penilaian kondisi bank tersebut dapat digunakan
sebagai salah satu sarana dalam menetapkan strategi usaha di waktu yang akan
datang sedangkan bagi Bank Indonesia, antara lain digunakan sebagai sarana
penetapan dan implementasi strategi pengawasan Bank dan UUS.
Agar pada waktu yang ditetapkan bank berdasarkan prinsip syariah dapat
menerapkan sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini, maka perbankan perlu melakukan langkah-langkah
persiapan dalam menerapkan sistem tersebut.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Penilaian permodalan merupakan penilaian terhadap kecukupan modal
Bank …
- 3 -
Bank dan UUS untuk mengcover eksposur risiko saat ini dan
mengantisipasi eksposur risiko di masa datang.
Huruf b
Penilaian kualitas aset merupakan penilaian terhadap kondisi aset Bank
atau UUS dan kecukupan manajemen risiko pembiayaan.
Huruf c
Penilaian manajemen merupakan penilaian terhadap kemampuan
manajerial pengurus bank untuk menjalankan usaha, kecukupan
manajemen risiko, dan kepatuhan bank terhadap ketentuan yang berlaku
serta komitmen kepada Bank Indonesia dan atau pihak lainnya.
Huruf d
Penilaian rentabilitas merupakan penilaian terhadap kondisi dan
kemampuan Bank dan UUS untuk menghasilkan keuntungan dalam
rangka mendukung kegiatan operasional dan permodalan.
Huruf e
Penilaian likuiditas merupakan penilaian terhadap kemampuan bank
untuk memelihara tingkat likuiditas yang memadai.
Huruf f
Penilaian sensitivitas terhadap risiko pasar merupakan penilaian terhadap
kemampuan modal Bank dan UUS untuk mengcover risiko yang
ditimbulkan oleh perubahan nilai tukar.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 4 -
Ayat (3)
Huruf a
Pemahaman manajemen bank atas risiko bank dapat dinilai
berdasarkan pengamatan pengawas atas pernyataan manajemen dan
kinerja bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Perhitungan kuantitatif risiko yang melekat pada aktivitas bank (inherent
risk) didasarkan pada hasil perhitungan masing-masing rasio keuangan
pembentuk komponen.
Ayat (2)
Judgement merupakan pengambilan kesimpulan yang dilakukan secara
obyektif dan independen berdasarkan hasil analisis yang didukung oleh
fakta, data, dan informasi yang memadai serta terdokumentasi dengan
baik guna memperoleh hasil penilaian yang mencerminkan kondisi bank
yang sebenarnya.
Ayat (3)
Urutan peringkat yang lebih rendah mencerminkan kondisi yang lebih
baik …
- 5 -
baik.
Ayat (4)
Peringkat A mencerminkan kondisi paling patuh dan peringkat D
mencerminkan kondisi paling tidak patuh.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan rasio utama adalah rasio sebagai pembentuk nilai
peringkat faktor.
Yang dimaksud dengan rasio penunjang adalah rasio sebagai penambah
atau pengurang nilai peringkat faktor.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Urutan peringkat yang lebih rendah mencerminkan kondisi yang lebih
baik.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam peringkat ini bank memiliki kualitas tata kelola yang baik,
manajemen risiko yang efisien dan efektif, serta tingkat kepatuhan
yang tinggi terhadap pelaksanaan ketentuan kehati-hatian dan
prinsip syariah
Huruf b
Dalam peringkat ini bank memiliki kualitas tata kelola yang cukup
baik, …
- 6 -
baik, manajemen risiko yang cukup efisien dan efektif, serta tingkat
kepatuhan yang cukup tinggi terhadap pelaksanaan ketentuan
kehati-hatian dan prinsip syariah.
Huruf c
Dalam peringkat ini bank memiliki kualitas tata kelola yang kurang
baik, manajemen risiko yang kurang efisien dan efektif, serta tingkat
kepatuhan yang rendah terhadap pelaksanaan ketentuan kehati-
hatian dan prinsip syariah.
Huruf d
Dalam peringkat ini bank memiliki kualitas tata kelola yang tidak
baik (buruk), manajemen risiko yang tidak efisien dan efektif, serta
tingkat kepatuhan yang sangat rendah terhadap pelaksanaan
ketentuan kehati-hatian dan prinsip syariah.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Dalam peringkat ini Bank atau UUS memiliki kemampuan
keuangan yang kuat dalam mendukung rencana pengembangan
usaha dan pengendalian risiko apabila terjadi perubahan yang
signifikan pada industri perbankan.
Huruf b
Dalam peringkat ini Bank atau UUS memiliki kemampuan
keuangan …
- 7 -
keuangan yang memadai dalam mendukung rencana pengembangan
usaha dan pengendalian risiko apabila terjadi perubahan yang
signifikan pada industri perbankan.
Huruf c
Dalam peringkat ini Bank atau UUS memiliki kemampuan
keuangan untuk mendukung rencana pengembangan usaha namun
dinilai belum memadai untuk pengendalian risiko apabila terjadi
kesalahan dalam kebijakan dan perubahan yang signifikan pada
industri perbankan.
Huruf d
Dalam peringkat ini Bank atau UUS mengalami kesulitan keuangan
yang berpotensi membahayakan kelangsungan usaha.
Huruf e
Dalam peringkat ini Bank atau UUS mengalami kesulitan keuangan
yang membahayakan kelangsungan usaha dan tidak dapat
diselamatkan.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam peringkat ini Bank dan UUS mampu mengendalikan
usahanya apabila terjadi perubahan yang signifikan pada industri
perbankan.
Huruf b
Kelemahan minor dalam huruf ini dapat berupa kelemahan
administratif …
- 8 -
administratif dan operasional yang tidak mempengaruhi kondisi
Bank dan UUS secara signifikan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 12 …
- 9 -
Pasal 12
Ayat (1)
Bank Indonesia dapat meminta Direksi, Komisaris, dan atau Pemegang
Saham untuk menyampaikan action plan apabila hasil penilaian Tingkat
Kesehatan Bank menunjukkan satu atau lebih faktor penilaian memiliki
peringkat 4 dan atau peringkat C.
Ayat (2)
Action plan yang disampaikan diperlakukan sebagai komitmen bank
kepada Bank Indonesia.
Pasal 13
Ayat (1)
Laporan pelaksanaan action plan yang disampaikan bank antara lain
memuat bukti pelaksanaan dan dokumen pendukung terkait.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Penilaian peringkat kantor pusat bank asing dilakukan oleh lembaga
pemeringkat internasional antara lain Standard & Poor, Moody’s, dan Fitch.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mempersiapkan bank dalam
menilai …
- 10 -
menilai Tingkat Kesehatan Bank sebelum sistem penilaian Tingkat Kesehatan
Bank berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini diberlakukan secara efektif.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4699
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 9/1/PBI/2007 </reg_id>
<reg_title> SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 24 Januari 2007 </set_date>
<effective_date> 24 Januari 2007 </effective_date>
<replaced_reg> '31/9/UPPB|SE-BI/1998', '30/11/KEP/DIR|SKDIR-BI/1997', '26/20/KEP/Dir|SKDIR-BI/1993', '23/81/KEP/DIR|SKDIR-BI/1991', '30/277/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/2/PBI/2001
TENTANG
PEMBERIAN KREDIT USAHA KECIL
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa peranan Perbankan Nasional perlu ditingkatkan
sesuai dengan fungsinya dalam menghimpun dan
menyalurkan dana masyarakat dengan tetap
memperhatikan pembiayaan kepada usaha kecil;
b. bahwa sejalan dengan perkembangan yang terjadi di
bidang sosial dan ekonomi, perlu dilakukan
penyesuaian kebijakan penyaluran Kredit Usaha Kecil
(KUK) yang didasarkan pada kemampuan masing-
masing bank;
c. bahwa dalam rangka pemantauan dan keterbukaan
(transparansi)
dalam
penyaluran KUK, bank
mengumumkan jumlah KUK yang disalurkan tersebut
secara periodik kepada masyarakat;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas,
penyesuaian kebijakan KUK
ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat …
dimaksud perlu
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara RI Nomor 3472); sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara RI Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara RI Tahun 1998);
2. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
(Lembaran Negara RI Tahun 1995 Nomor 74, Tambahan
Lembaran Negara RI Nomor 3611);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PEMBERIAN KREDIT USAHA KECIL.
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
2. Kredit …
2.
Kredit Usaha Kecil adalah kredit atau pembiayaan dari Bank untuk
investasi dan atau modal kerja, yang diberikan dalam Rupiah dan atau
Valuta Asing kepada nasabah usaha kecil dengan plafon kredit
keseluruhan maksimum Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk
membiayai usaha yang produktif, selanjutnya disebut KUK.
3.
4.
Usaha kecil adalah usaha yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
Usaha Produktif
adalah
dalam menghasilkan barang dan atau jasa.
Pasal 2
Bank dianjurkan menyalurkan sebagian dananya melalui pemberian KUK.
Pasal 3
Bank yang melaksanakan pemberian KUK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
wajib :
a. mencantumkan rencana pemberian KUK dalam Rencana Kerja Anggaran
Tahunan Bank;.
b. melaporkan pelaksanaan pemberian KUK dalam Laporan Bulanan Bank
Umum;
c. mengumumkan pencapaian pemberian KUK kepada masyarakat melalui
Laporan Keuangan Publikasi.
Pasal 4
Bank yang menyalurkan KUK dapat meminta bantuan teknis dari Bank
Indonesia.
Pasal 5 ...
usaha yang dapat memberikan nilai tambah
Pasal 5
Ketentuan pelaksanaan dalam Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 6
(1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka :
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/4/KEP/DIR tanggal 4
April 1997 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil; dan
b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/55/KEP/DIR tanggal 8
Agustus 1997 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil untuk Mendukung
Program Kemitraan Terpadu dan Pengembangan Koperasi;
dinyatakan tidak berlaku.
(2) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini untuk pertama kali
diberlakukan terhadap pengajuan RKAT tahun 2001.
(3) Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Januari 2001
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 3
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/2/PBI/2001
TENTANG
PEMBERIAN KREDIT USAHA KECIL
I. UMUM
Dalam rangka pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan bank,
kepada Bank Indonesia diberikan wewenang untuk menetapkan peraturan dan
perizinan bagi kelembagaan dan kegiatan usaha Bank serta mengenakan sanksi
terhadap Bank sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sejalan dengan perubahan tugas dan fungsi Bank Indonesia, yang hanya
bertugas menjaga stabilitas nilai rupiah, dipandang perlu untuk menyesuaikan
pengaturan kredit kepada usaha kecil yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia
dalam Paket Januari 1990 dengan mewajibkan kepada perbankan untuk
menyediakan 20% dari total kreditnya kepada usaha kecil dan diubah dengan
ketentuan terakhir pada bulan April 1997 menjadi sebesar 22,5% atau 25% dari
ekspansi kredit netto.
Perubahan kebijakan tersebut selain dengan memperhatikan tugas dan
fungsi Bank Indonesia saat ini, dalam pelaksanaannya juga dengan
mempertimbangkan adanya perbedaan kemampuan dan kebijakan pemberian
Kredit Usaha Kecil masing-masing Bank dan kebijakan perekonomian yang
diarahkan kepada mekanisme pasar. Dengan memperhatikan hal tersebut di atas,
besarnya pemberian KUK tiap bank diserahkan kepada kebijakan dan
kemampuan masing-masing Bank. Dalam hal ini Bank hanya diwajibkan untuk
mencantumkan rencana pemberian KUK dalam RKAT serta melaporkan
realisasi KUK tersebut melalui mekanisme Laporan Bulanan Bank Umum.
Selain...
Selain itu, sejalan dengan era keterbukaan dan dalam rangka meningkatkan
peran masyarakat dalam pengawasan pelaksanaan pemberian KUK oleh Bank,
Bank diwajibkan mencantumkan rencana pemberian KUK dalam RKAT dan
mengumumkan pencapaian pemberian KUK kepada masyarakat.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Dalam rangka membantu program Pemerintah Bank dianjurkan
tetap menyediakan sebagian kredit untuk disalurkan kepada usaha
kecil.
Pasal 3
Butir a.
Yang dimaksud dengan Rencana Kerja Anggaran Tahunan adalah
rencana kegiatan dan anggaran tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
27/117/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995 tentang Penyampaian
Rencana Kerja Bank dan Laporan Pelaksanaannya.
Mengingat kemampuan dan kebijakan bank dalam pemberian KUK
berbeda maka besarnya rencana pemberian KUK yang dicantumkan
dalam RKAT disesuaikan dengan kondisi masing-masing bank.
Dalam hal terjadi perubahan rencana pemberian KUK dalam
RKAT, perubahan tersebut hendaknya disertai alasannya dan wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia.
Butir b ...
Butir b
Tata cara penyampaian laporan pelaksanaan pemberian dilakukan
sesuai dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 2/21/PBI/2000 tanggal 19 September 2000
tentang Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum.
Butir c
Dalam rangka keterbukaan kepada masyarakat Bank diwajibkan
mengumumkan pencapaian pemberian KUK dalam media massa
bersamaan dengan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi
sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 31/40/KEP/DIR tanggal 9 Januari 1998 tentang Laporan
Keuangan Publikasi.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4072
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 3/2/PBI/2001 </reg_id>
<reg_title> PEMBERIAN KREDIT USAHA KECIL </reg_title>
<set_date> 4 Januari 2001 </set_date>
<effective_date> 4 Januari 2001 </effective_date>
<replaced_reg> '30/4/KEP/DIR|SKDIR-BI/1997', '30/55/KEP/DIR|SKDIR-BI/1997' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '9/UU/1995', '23/UU/1999' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 10/7/PBI/2008
TENTANG
PINJAMAN LUAR NEGERI PERUSAHAAN BUKAN BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pinjaman luar negeri merupakan salah satu faktor
penting yang dapat berpengaruh positif maupun negatif
terhadap neraca pembayaran, kestabilan moneter dan
kesinambungan pembangunan;
b. bahwa untuk mengurangi dampak negatif pada huruf a
diatas, pinjaman luar negeri perlu dikelola dengan
memperhatikan prinsip kehati-hatian dan kepentingan
perekonomian nasional serta menjaga kepercayaan pasar
keuangan internasional;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, maka dipandang perlu untuk
mengatur ketentuan tentang pinjaman luar negeri perusahaan
bukan bank dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik ...
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PINJAMAN LUAR NEGERI PERUSAHAAN BUKAN
BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank yang untuk selanjutnya
disebut PLN Perusahaan adalah semua bentuk pinjaman perusahaan dari
bukan penduduk dalam valuta asing maupun rupiah, surat berharga dalam
valuta asing yang diterbitkan oleh perusahaan, dan kewajiban lain kepada
bukan penduduk dalam valuta asing maupun rupiah, termasuk juga yang
dilakukan berdasarkan prinsip syariah.
2. Prinsip syariah adalah prinsip-prinsip yang didasarkan atas ajaran islam yang
penetapannya dilakukan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia.
3. Perusahaan ...
3. Perusahaan Bukan Bank yang selanjutnya disebut Perusahaan adalah:
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c. Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) yang meliputi:
1) Perusahaan Publik ;
2) Emiten;
3) Perusahaan Penanaman Modal Asing;
4) BUMS lainnya dengan aset atau penjualan bruto selama 1 (satu) tahun
paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
4. Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan
usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang
Badan Usaha Milik Negara yang berlaku.
5. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disebut BUMD adalah badan
usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang
Badan Usaha Milik Daerah yang berlaku.
6. Perusahaan Publik adalah perseroan dengan jumlah pemegang saham dan
modal disetor tertentu sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan tentang Pasar Modal yang berlaku.
7. Emiten adalah pihak yang melakukan penawaran umum sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan tentang Pasar Modal yang berlaku.
8. Perusahaan Penanaman Modal Asing adalah perusahaan yang sahamnya
dimiliki oleh Bukan Penduduk paling rendah 10% (sepuluh per seratus).
9. Bukan Penduduk adalah orang, badan hukum atau badan lainnya yang tidak
berdomisili di Indonesia atau tidak berencana berdomisili di Indonesia
10. Kreditur atau penyedia dana adalah orang, badan hukum atau badan lainnya
yang memberi pinjaman atau menyediakan dana atau yang dapat
dipersamakan dengan itu, kepada perusahaan untuk jangka waktu tertentu
dengan terms and conditions yang telah disepakati.
11. PLN Perusahaan Jangka Pendek adalah PLN Perusahaan dengan jangka
waktu ...
waktu sampai dengan 1 (satu) tahun, baik langsung dari kreditur atau pasar
keuangan maupun tidak langsung melalui pihak lain yang merupakan afiliasi
maupun non afiliasi.
12. PLN Perusahaan Jangka Panjang adalah PLN Perusahaan dengan jangka
waktu lebih dari 1 (satu) tahun baik langsung dari kreditur atau pasar
keuangan maupun tidak langsung melalui pihak lain yang merupakan afiliasi
maupun non afiliasi.
13. Pihak Lain Afiliasi adalah Pihak Lain yang memiliki hubungan kepemilikan
modal atau saham pada Perusahaan paling rendah 10% (sepuluh per seratus)
atau termasuk dalam satu grup.
14. Pihak Lain Non Afiliasi adalah Pihak Lain yang tidak memiliki hubungan
kepemilikan modal atau saham atau memiliki hubungan kepemilikan modal
atau saham lebih rendah dari 10% (sepuluh per seratus) pada Perusahaan atau
tidak termasuk dalam satu grup.
15. Tahun adalah tahun kalender yang dimulai dari bulan Januari sampai dengan
bulan Desember.
16. Penerbitan Surat Utang Melalui Penawaran Umum adalah penerbitan surat
utang yang tercatat maupun tidak tercatat di bursa sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan mengenai Pasar Modal yang berlaku.
17. Penerbitan Surat Utang Melalui Private Placement adalah penerbitan surat
utang yang dilakukan selain melalui penawaran umum sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan mengenai Pasar Modal yang berlaku.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
Perusahaan melakukan PLN Perusahaan Jangka Pendek maupun Jangka Panjang
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3 ...
Pasal 3
Jenis PLN Perusahaan meliputi:
1. Pinjaman dalam rupiah maupun valuta asing yang dilakukan berdasarkan
perjanjian pinjaman (Loan Agreement) dengan Bukan Penduduk.
2. Surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan di pasar keuangan
international melalui penawaran umum.
3. Surat utang dalam rupiah maupun valuta asing yang diterbitkan melalui
private placement kepada Bukan Penduduk.
4. Surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan di pasar keuangan dalam
negeri melalui penawaran umum.
5. Surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan melalui private placement
kepada penduduk.
6. Kewajiban lainnya kepada Bukan Penduduk baik dalam valuta asing maupun
rupiah selain PLN Perusahaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai
dengan angka 5.
BAB III
PRINSIP KEHATI-HATIAN PLN PERUSAHAAN
Pasal 4
Perusahaan yang akan melakukan PLN Perusahaan jangka pendek maupun
jangka panjang, harus menerapkan fungsi Manajemen Risiko yang meliputi:
a. Risiko Pasar ;
b. Risiko Kredit ;
c. Risiko Likuiditas.
Pasal 5 ...
Pasal 5
(1). Perusahaan yang berencana memperoleh PLN Perusahaan Jangka Panjang,
harus memiliki penilaian rating (peringkat) dari lembaga pemeringkat
nasional atau internasional.
(2). Ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1) tidak berlaku untuk PLN yang
akan diperoleh :
a. BUMS secara langsung dari perusahaan induk (pemegang saham);
b. BUMN dan BUMD dengan aset atau penjualan bruto selama 1 tahun
kurang dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
BAB IV
KEWAJIBAN PELAPORAN
Pasal 6
(1). Perusahaan yang berencana memperoleh PLN Perusahaan Jangka Panjang
wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia secara benar dan
lengkap yang meliputi:
a. Rasio keuangan;
b. Laporan keuangan;
c. Penilaian rating (peringkat);
d. Laporan Rencana PLN Perusahaan untuk 1 (satu) tahun; dan
e. Hasil analisis manajemen risiko perusahaan
(2). Perusahaan yang memiliki posisi PLN Perusahaan Jangka Pendek dan/atau
Jangka Panjang wajib menyampaikan laporan secara benar dan lengkap
kepada Bank Indonesia mengenai:
a. Rasio keuangan; dan
b. Laporan keuangan.
Pasal 7 ...
Pasal 7
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b
serta ayat (2) huruf a dan huruf b disampaikan setiap 6 (enam) bulan (per
semester), yaitu paling lambat tanggal 10 April dan tanggal 10 September
atau hari kerja berikutnya apabila tanggal tersebut jatuh pada hari libur.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, huruf d dan
huruf e disampaikan paling lambat tanggal 10 Maret pada tahun yang
bersangkutan atau hari kerja berikutnya apabila tanggal tersebut jatuh pada
hari libur.
Pasal 8
(1) Dalam hal terjadi perubahan rencana PLN Perusahaan Jangka Panjang
dan/atau perubahan hasil analisis manajemen risiko perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d dan huruf e maka Perusahaan wajib
melaporkan perubahan dimaksud kepada Bank Indonesia.
(2) Laporan perubahan rencana PLN Perusahaan Jangka Panjang dan/atau
perubahan hasil analisis manajemen risiko perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat pada tanggal 1 Juli tahun
yang bersangkutan atau hari kerja berikutnya apabila tanggal tersebut jatuh
pada hari libur dengan menjelaskan penyebab perubahan.
Pasal 9
Perusahaan dianggap tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 dan Pasal 8 ayat (1), dalam hal laporan tidak diterima oleh Bank
Indonesia 30 hari (tiga puluh) hari setelah batas waktu yang ditetapkan
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 ayat (2) dan/atau laporan diterima
oleh Bank Indonesia sesuai jangka waktu yang ditetapkan namun tidak lengkap
sebagaimana diatur dalam pasal 6.
Pasal 10 ....
Pasal 10
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 8 ayat (1) bersifat
rahasia.
Pasal 11
Direksi Perusahaan bertanggung jawab atas kebenaran laporan yang disampaikan
kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 8 ayat
(1).
BAB V
SANKSI
Pasal 12
(1) Perusahaan yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 dan Pasal 8 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa
surat peringatan.
(2) Perusahaan yang tidak menyampaikan laporan termasuk laporan yang tidak
lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dikenakan sanksi administratif
berupa surat peringatan, dan/atau pemberitahuan kepada otoritas yang
berwenang dan/atau publikasi di media nasional dan internasional.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 13
Ketentuan mengenai pengenaan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 12
berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010.
Pasal 14 ...
Pasal 14
Pengaturan lebih lanjut dalam peraturan Bank Indonesia ini akan diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 15
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Februari 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Februari 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 33
DInt
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
Nomor : 10/ 7 /PBI/2008
TENTANG
PINJAMAN LUAR NEGERI PERUSAHAAN BUKAN BANK
UMUM
Sebagai salah satu sumber pembiayaan, Pinjaman Luar Negeri (PLN)
memiliki peranan penting bagi pertumbuhan dunia usaha dan perekonomian
nasional yang sangat mempengaruhi kesinambungan pembangunan. Namun,
PLN yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan fluktuasi berlebihan
pada nilai tukar, ketidaksinambungan neraca pembayaran dan ketidakstabilan
moneter. Kondisi tersebut pada gilirannya dapat menjadi salah satu pemicu
terjadinya krisis perekonomian.
Mengingat PLN Perusahaan berpotensi memberikan dampak negatif
terhadap stabilitas moneter, maka Bank Indonesia perlu mengatur PLN
Perusahaan dengan seksama agar PLN tersebut dikelola dengan memperhatikan
prinsip kehati-hatian. Hal ini sesuai dengan salah satu tugas Bank Indonesia
sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 dan
diubah dengan UU No.3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia yaitu menetapkan
dan melaksanakan kebijakan moneter.
PLN Perusahaan yang dikelola secara berhati-hati dapat mengurangi
berbagai risiko seperti risiko pasar dan risiko kredit. Prinsip kehati-hatian dalam
PLN Perusahaan antara lain dilakukan melalui penerapan manajemen risiko
dalam pengelolaan PLN Perusahaan dan peningkatan transparansi sebagaimana
ditetapkan dalam peraturan Bank Indonesia ini.
PASAL ...
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
angka 1
Cukup jelas
angka 2
Cukup jelas
angka 2
Cukup jelas
angka 3
Cukup jelas
angka 4
Cukup jelas
angka 5
Cukup jelas
angka 6
Cukup jelas
angka 7
Cukup jelas
angka 8
Cukup jelas
angka 9
Cukup jelas
angka 10
Cukup jelas
angka 11
Cukup jelas
angka 12
Cukup jelas
angka 13 ...
angka 13
Cukup jelas
angka 14
Cukup jelas
angka 15
Cukup jelas
angka 16
Cukup jelas
angka 17
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
angka 1
Cukup jelas
angka 2
Cukup jelas
angka 3
Cukup jelas
angka 4
Cukup jelas
angka 5
Cukup jelas
angka 6
Yang dimaksud kewajiban lainnya meliputi antara lain sub ordinated
loan dan sejenisnya yang dicatat sebagai bagian dari komponen
modal.
Pasal 4 ...
Pasal 4
Yang dimaksud dengan risiko pasar adalah risiko nilai tukar dan risiko
tingkat bunga. Upaya untuk mengelola risiko ini dapat dilakukan antara lain
dengan memperhitungkan dampak pergerakan nilai tukar dan suku bunga
terhadap kemampuan membayar kembali kewajiban dan melakukan lindung
nilai (hedging).
Yang dimaksud dengan risiko kredit adalah kemampuan membayar kembali
seluruh kewajiban. Upaya untuk mengelola risiko ini dapat dilakukan antara
lain dengan menyesuaikan jangka waktu pinjaman dengan periode
pengunaannya.
Yang dimaksud dengan risiko likuiditas adalah risiko ketidaktersediaan dana
yang diperlukan. Upaya untuk mengelola risiko ini dapat dilakukan antara
lain dengan mempertimbangkan reputasi kreditur atau penyedia dana.
Dalam rangka menerapkan manajemen risiko Perusahaan dapat
memperhatikan indikator micro dan macro yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia dalam melakukan PLN Perusahaan.
Yang dimaksud dengan indikator micro adalah indikator yang digunakan
dalam rangka menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan PLN
Perusahaan per sektor ekonomi yang diformulasikan dalam bentuk rata-rata
atau kisaran indeks rasio keuangan baik jangka panjang maupun jangka
pendek, meliputi antara lain: Rasio Likuiditas, Rasio Solvabilitas, Rasio
Profitabilitas, dan Rasio pendapatan terhadap pembayaran dalam valuta asing.
Yang dimaksud dengan indikator macro adalah indikator yang digunakan
dalam rangka menerapkan prinsip kehati-hatian atas exposure PLN
Perusahaan dalam skala makro (nasional) khususnya perspektif moneter yang
diformulasikan dalam bentuk debt indicator ratio, yang meliputi antara lain
private external debt to total external dan debt to Gross Domestic Product.
Pasal 5 ...
Pasal 5
ayat (1)
Yang dimaksud dengan penilaian peringkat adalah penilaian
peringkat kredit perusahaan yang dilakukan oleh lembaga
pemeringkat nasional maupun internasional kepada Perusahaan
yang menggambarkan kemampuan dan kemauan Perusahaan
tersebut untuk membayar kewajiban finansialnya sesuai dengan
terms & conditions yang dipersyaratkan
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Laporan yang disampaikan pada tanggal 10 April adalah neraca
posisi per 31 Desember dan laporan rugi laba periode Juli sampai
dengan Desember tahun sebelumnya.
Laporan yang disampaikan pada tanggal 10 September adalah
neraca posisi per 30 Juni dan laporan rugi laba periode Januari
sampai dengan Juni tahun yang bersangkutan
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9 ...
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008
NOMOR 4821
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/7/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> PINJAMAN LUAR NEGERI PERUSAHAAN BUKAN BANK </reg_title>
<set_date> 19 Februari 2008 </set_date>
<effective_date> 19 Februari 2008 </effective_date>
<issued_date> 19 Februari 2008 </issued_date>
<related_reg> '24/UU/1999', '3/UU/2004', '23/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V', 'BAB VI Pasal 13' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/21/PBI/2004
TENTANG
GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN
VALUTA ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN
KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kondisi perekonomian nasional yang stabil perlu tetap
dijaga antara lain melalui stabilitas moneter;
b. bahwa stabilitas moneter dapat dicapai melalui pengendalian
uang beredar yang antara lain dilakukan melalui pengaturan
likuiditas perbankan termasuk penetapan giro wajib minimum;
c. bahwa pengaturan mengenai giro wajib minimum yang berlaku
perlu disesuaikan dengan kondisi likuiditas perbankan dari waktu
ke waktu;
d. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk mengatur
kembali ketentuan mengenai giro wajib minimum dalam rupiah
dan valuta asing bagi bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah ...
- 2 -
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG GIRO WAJIB
MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI
BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN
USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3
Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang
melaksanakan ...
- 3 -
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk bank
dan kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan juga melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh surat penunjukan dari
Bank Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan dalam
valuta asing;
3. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja di
kantor pusat bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang
syariah dan atau unit syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu
bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari
kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah;
4. Dana Pihak Ketiga Bank, yang
kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam rupiah
dan valuta asing;
5. Pembiayaan Bank, yang selanjutnya disebut Pembiayaan, adalah aktiva
Bank dalam bentuk pembiayaan mudharabah, pembiayaan musyarakah,
piutang, dan ijarah;
6. Giro Wajib Minimum (statutory reserve), yang selanjutnya disebut GWM,
adalah simpanan minimum yang harus dipelihara oleh Bank dalam
bentuk
saldo rekening
giro pada Bank Indonesia yang
besarnya
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK;
7. Rekening ...
selanjutnya disebut DPK, adalah
- 4 -
7. Rekening Giro adalah rekening pihak eksternal tertentu di Bank Indonesia
yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang
penarikannya dapat dilakukan setiap saat;
8. Rekening Giro dalam Rupiah, yang selanjutnya disebut Rekening Giro
Rupiah, adalah Rekening Giro dalam mata uang rupiah yang penarikannya
dapat dilakukan dengan menggunakan Cek Bank Indonesia, Bilyet Giro
Bank Indonesia, atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Hubungan Rekening Giro
Antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern;
9. Rekening Giro dalam Valuta Asing, yang selanjutnya disebut Rekening
Giro Valas, adalah Rekening Giro dalam valuta asing yang penarikannya
dapat dilakukan dengan cara pemindahbukuan atau sarana sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku tentang
Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern;
10. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang selanjutnya
disebut PUAS, adalah kegiatan investasi jangka pendek dalam rupiah antar
peserta pasar berdasarkan prinsip mudharabah;
11. Tingkat Indikasi Imbalan PUAS adalah rata-rata tertimbang tingkat
indikasi imbalan sertifikat investasi mudharabah antarbank yang terjadi di
PUAS, yang tercatat pada PIPU;
12. Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank, yang selanjutnya disebut
Sertifikat IMA, adalah sertifikat yang digunakan sebagai sarana untuk
mendapatkan dana dengan prinsip mudharabah;
13. Pusat Informasi Pasar Uang, yang selanjutnya disebut PIPU, adalah suatu
sistem otomasi yang menyediakan informasi yang meliputi namun tidak
terbatas ...
- 5 -
terbatas pada pasar uang rupiah dan valuta asing serta informasi lainnya
yang terkait dengan pasar keuangan bagi anggota, pelanggan, dan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku tentang Pusat Informasi Pasar Uang.
Pasal 2
(1) Bank wajib memelihara GWM dalam rupiah.
(2) Bank Devisa selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) juga wajib memelihara GWM dalam valuta asing.
Pasal 3
(1) GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib
dipenuhi oleh setiap Bank yang besarnya ditetapkan sebesar 5% (lima
perseratus) dari DPK dalam rupiah.
(2) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank yang
memiliki rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam rupiah kurang
dari 80% dan:
a. memiliki DPK lebih besar dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun
rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun
rupiah) wajib memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 1%
(satu perseratus) dari DPK dalam rupiah;
b. memiliki DPK dalam rupiah lebih besar dari Rp10.000.000.000.000,00
(sepuluh triliun rupiah) sampai dengan Rp50.000.000.000.000,00 (lima
puluh triliun rupiah) wajib memelihara tambahan GWM dalam rupiah
sebesar 2% (dua perseratus) dari DPK dalam rupiah;
c. memiliki ...
- 6 -
c. memiliki DPK dalam rupiah lebih besar dari Rp50.000.000.000.000,00
(lima puluh triliun rupiah) wajib memelihara tambahan GWM dalam
rupiah sebesar 3% (tiga perseratus) dari DPK dalam rupiah.
(3) Bagi Bank:
a. yang memiliki rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam
rupiah sebesar 80% atau lebih; dan/atau
b. yang memiliki DPK dalam
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah);
rupiah sampai dengan
tidak dikenakan kewajiban tambahan GWM sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2).
Pasal 4
GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
ditetapkan sebesar 3% (tiga perseratus) dari DPK dalam valuta asing.
Pasal 5
Persentase GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) serta
Pasal 4 dapat disesuaikan dari waktu ke waktu dengan mempertimbangkan kondisi
perekonomian dan arah kebijakan Bank Indonesia.
(2)
BAB II
REKENING GIRO BANK PADA BANK INDONESIA
Pasal 6
(1) Setiap Bank wajib memelihara Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.
(2). Bank ...
- 7 -
(2) Bank Devisa selain wajib memelihara Rekening Giro Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) juga wajib memelihara Rekening Giro Valas pada
Bank Indonesia.
(3) Tata cara pembukuan, penyetoran, penarikan dan penutupan Rekening Giro
Rupiah dan Rekening Giro Valas Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), ditetapkan berdasarkan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku
tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia dengan Pihak
Ekstern.
Pasal 7
Bank Indonesia tidak memberikan jasa giro atas kewajiban memelihara Rekening
Giro Rupiah dan Rekening Giro Valas pada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2).
BAB III
TATA CARA PEMELIHARAAN DAN PERHITUNGAN GIRO WAJIB
MINIMUM
Pasal 8
(1) Bank wajib memelihara GWM secara harian.
(2) Kewajiban pemeliharaan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) dan ayat (2) serta Pasal 4 dihitung dengan membandingkan jumlah saldo
Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia setiap hari dalam satu masa
laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 (satu) masa laporan
pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya.
(3) Informasi ...
- 8 -
(3) Informasi mengenai DPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperoleh dari
data DPK yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia, sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia tentang Laporan Berkala Bank Umum.
(4) Informasi mengenai saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperoleh dari sistem akunting Bank
Indonesia.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku untuk
GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing.
Pasal 9
Saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2) masing-masing terdiri dari:
a. saldo Rekening Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia;
b. saldo Rekening Giro Valas Bank pada Bank Indonesia.
Pasal 10
(1) DPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) terdiri dari:
a. jumlah DPK dalam rupiah pada seluruh kantor Bank di Indonesia;
b. jumlah DPK dalam valuta asing pada seluruh kantor Bank di Indonesia.
(2) DPK dalam rupiah meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak ketiga
bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri
dari:
a.
giro;
b. simpanan berjangka;
c. tabungan ...
- 9 -
c.
tabungan; dan
d. kewajiban-kewajiban lainnya.
(3) DPK dalam valuta asing meliputi kewajiban dalam valuta asing kepada pihak
ketiga, termasuk bank di Indonesia, baik kepada penduduk maupun bukan
penduduk, yang terdiri dari:
a.
giro;
b. simpanan berjangka; dan
c. kewajiban-kewajiban lainnya.
BAB IV
TATA CARA PERHITUNGAN RASIO PEMBIAYAAN DALAM RUPIAH
TERHADAP DANA PIHAK KETIGA DALAM RUPIAH
Pasal 11
(1) Rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam rupiah dihitung dengan
membandingkan jumlah Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam
rupiah pada akhir masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya.
(2) Informasi mengenai Pembiayaan dalam rupiah dan DPK dalam rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari data Pembiayaan dan
DPK yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia tentang Laporan Berkala Bank Umum.
BAB V ...
- 10 -
BAB V
PELAPORAN
Pasal 12
Bank wajib menyampaikan laporan mengenai DPK dan pos-pos neraca mingguan,
dalam rupiah dan valuta asing, secara berkala kepada Bank Indonesia sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Laporan Berkala Bank Umum.
BAB VI
SANKSI
Pasal 13
Bank dinyatakan melanggar GWM apabila saldo harian Rekening Giro Bank pada
Bank Indonesia lebih kecil dari saldo harian Rekening Giro Bank yang wajib
dipelihara untuk pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
dan ayat (2), serta Pasal 4.
Pasal 14
(1) Dalam hal terjadi pelanggaran GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 dan Rekening Giro Rupiah Bank dimaksud bersaldo positif,
maka Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 125% (seratus
dua puluh lima perseratus) dari Tingkat Indikasi Imbalan PUAS pada hari
terjadinya pelanggaran, terhadap kekurangan GWM dalam rupiah, untuk
setiap hari pelanggaran.
(2) Dalam hal terjadi pelanggaran GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 dan Rekening Giro Rupiah Bank dimaksud bersaldo negatif,
maka Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar:
a. 125% ...
- 11 -
a. 125% (seratus dua puluh lima perseratus) dari Tingkat Indikasi Imbalan
PUAS pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap GWM yang wajib
dipelihara; ditambah dengan
b. 150% (seratus lima puluh perseratus) dari Tingkat Indikasi Imbalan
PUAS pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap saldo negatif,
untuk setiap hari pelanggaran.
Pasal 15
Dalam hal data Tingkat Indikasi Imbalan PUAS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 tidak tersedia, pengenaan sanksi dihitung berdasarkan rata-rata tingkat
imbalan deposito investasi mudharabah berjangka waktu 1 (satu) bulan sebelum
didistribusikan, pada bulan sebelumnya dari seluruh Bank.
Pasal 16
(1) Dalam hal terjadi pelanggaran GWM dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13, maka Bank dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar 0,04% per hari kerja, yang dihitung dari selisih antara
saldo harian Rekening Giro Valas Bank pada Bank Indonesia yang wajib
dipelihara dengan saldo harian Rekening Giro Valas Bank yang dicatat pada
sistem akunting Bank Indonesia.
(2)
Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibayarkan dalam valuta rupiah dengan menggunakan kurs transaksi Bank
Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran.
Pasal 17 ...
- 12 -
Pasal 17
(1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 dan Pasal 16 dilaksanakan dengan pendebetan Rekening Giro Rupiah
Bank pada Bank Indonesia.
(2) Pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan pada hari kerja berikutnya setelah terjadinya pelanggaran.
(3) Apabila pada saat pendebetan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), saldo
Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi maka seluruh sanksi kewajiban
membayar tersebut diperhitungkan sebagai kewajiban yang masih harus
diselesaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia.
(4) Terhadap selisih antara sanksi kewajiban membayar dengan saldo Rekening
Giro Rupiah Bank, Bank dikenakan tambahan kewajiban membayar sebesar
150% (seratus lima puluh perseratus) dari Tingkat Indikasi Imbalan PUAS.
(5) Dalam hal data Tingkat Indikasi Imbalan PUAS sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) tidak tersedia, kewajiban membayar dihitung sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
Pasal 18
Selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 16,
Bank yang
tidak memenuhi kewajiban pemeliharaan GWM sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), dan/atau Pasal 4, dapat dikenakan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
BAB VII ...
- 13 -
BAB VII
PENUTUP
Pasal 19
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia
Nomor 2/7/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Giro Wajib Minimum
Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
22 Tahun 2000, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3935 Tahun 2000) dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 20
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal 1 September 2004.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Agustus 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 73
DPbS
- 14 -
PENJELASAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/21/PB1/2004
TENTANG
GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN
VALUTA ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN
KEGIATAN USAHA
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
I. UMUM
Terciptanya stabilitas moneter, antara lain melalui pengendalian tingkat
inflasi, merupakan hal yang sangat diperlukan dalam rangka mewujudkan kondisi
perekonomian yang stabil.
Upaya pengendalian tingkat inflasi antara lain dilakukan dengan
menyeimbangkan jumlah penawaran uang dengan permintaan uang yang sesuai
dengan kondisi dan arah perekonomian. Salah satu piranti moneter yang dapat
digunakan Bank Indonesia untuk menyeimbangkan permintaan dan penawaran
uang
penerapan giro wajib minimum yang merupakan perbandingan antara saldo giro
bank yang wajib ditempatkan pada Bank Indonesia terhadap dana pihak ketiga
yang dimiliki bank.
Mengingat perkembangan kondisi perekonomian yang dinamis maka
penerapan kebijakan giro wajib minimum dapat disesuaikan dari waktu ke waktu
sejalan dengan arah kebijakan Bank Indonesia.
Mengingat ...
tersebut adalah dengan mengendalikan likuiditas perbankan melalui
- 15 -
Mengingat karakteristik operasional bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah berbeda dengan bank umum yang melaksanakan
kegiatan
usaha secara konvensional maka
ketentuan mengenai giro
wajib
minimum bagi bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah tetap harus mempertimbangkan karakteristik operasionalnya dan
kesesuaian dengan kaedah-kaedah fiqih.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Kewajiban pemeliharaan GWM bagi setiap Bank merupakan salah
satu cara pengendalian uang beredar dalam rangka melaksanakan
tugas Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara stabilitas
moneter.
Ayat (2)
Kewajiban pemeliharaan GWM bagi setiap Bank merupakan salah
satu cara pengendalian uang beredar dalam rangka melaksanakan
tugas Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara stabilitas
moneter.
Pasal 3 ...
- 16 -
Pasal 3
Ayat (1)
Pemenuhan GWM tersebut dilakukan tanpa memperhatikan rasio
Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam rupiah dan jumlah
DPK dalam rupiah yang dimiliki Bank.
Ayat (2)
Huruf a
Sebagai contoh:
Bank memiliki rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK
dalam rupiah sebesar 75% dan jumlah DPK dalam rupiah
Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah).
Bank wajib memelihara GWM dalam rupiah sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima
triliun rupiah); ditambah dengan
b. 1% (satu perseratus) dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima
triliun rupiah).
Huruf b
Sebagai contoh:
Bank memiliki rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK
dalam rupiah sebesar 75% dan jumlah DPK dalam rupiah
Rp25.000.000.000.000,00 (dua puluh lima triliun rupiah).
Bank wajib memelihara GWM dalam rupiah sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari Rp25.000.000.000.000,00 (dua
puluh lima triliun rupiah); ditambah dengan
b. 2% (dua perseratus) dari Rp25.000.000.000.000,00 (dua
puluh lima triliun rupiah).
Huruf c ...
- 17 -
Huruf c
Sebagai contoh:
Bank memiliki rasio Pembiayaan terhadap DPK sebesar 75%
dan jumlah DPK Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima
triliun rupiah).
Bank wajib memelihara GWM dalam rupiah sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima
puluh lima triliun rupiah); ditambah dengan
b. 3% (tiga perseratus) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima
puluh lima triliun rupiah).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) ...
- 18 -
Ayat (3)
Sehubungan dengan pemeliharaan Giro Wajib Minimum dalam
valuta asing pada Bank Indonesia, penyetoran dan penarikan
Rekening Giro Valas Bank
hanya dapat dilakukan melalui
pemindahbukuan dengan menggunakan sarana berupa SWIFT atau
warkat standar intern Bank Indonesia yang didasarkan atas teleks
atau surat permintaan transfer dari Bank.
Apabila Bank menyetor valuta
asing dengan
pemindahbukuan
melalui bank koresponden di luar negeri, maka Bank memerintahkan
bank koresponden untuk mendebet rekening gironya untuk untung
rekening Bank Indonesia pada The Federal Reserve Bank of New
York, New York (FRB). Selanjutnya Bank
Indonesia
akan
mengkredit Rekening Giro Valas Bank pada tanggal valutanya atas
dasar sarana SWIFT atau warkat standar intern Bank Indonesia yang
didasarkan atas teleks dari pemegang Rekening Giro tersebut
selambat-lambatnya pukul 14:00 WIB pada tanggal valuta tersebut.
Apabila pengkreditan rekening
Bank Indonesia pada FRB
melampaui tanggal valuta yang diberitahukan, maka Bank Indonesia
akan membebankan biaya atas keterlambatan tersebut. Pembebanan
biaya tersebut akan dilakukan pada Rekening Giro Rupiah Bank
pada Bank Indonesia, dengan mengacu kepada suku bunga Federal
Funds Rate dengan kurs jual USD/IDR Bank Indonesia pada tanggal
pengkreditan.
Penarikan Rekening Giro Valas Bank hanya dapat dilakukan
menggunakan sarana SWIFT atau teleks. Permintaan penarikan
Rekening Giro Valas Bank dapat dilaksanakan apabila permintaan
dimaksud ...
- 19 -
dimaksud telah diterima oleh Bank Indonesia selambat-lambatnya 2
(dua) hari kerja sebelum tanggal valuta.
Biaya pelaksanaan transaksi dimaksud di atas dibebankan pada
Rekening Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Formula perhitungan persentase GWM adalah sebagai berikut:
Jumlah harian saldo Rekening Giro Bank yang tercatat di Bank Indonesia
setiap hari dalam 1 (satu) masa laporan
Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam 1 (satu) masa laporan pada 2
(dua) masa laporan sebelumnya.
Persentase GWM Bank dalam rupiah atau valuta asing sebagaimana
dimaksud di atas didasarkan pada DPK Bank sebagai berikut:
a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan
7 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata
DPK dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan
tanggal 23 bulan sebelumnya;
b. GWM ...
- 20 -
b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 adalah persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata
DPK dalam masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan akhir
bulan sebelumnya;
c. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai
dengan tanggal 23 adalah sebesar persentase GWM yang
ditetapkan dari rata-rata DPK dalam masa laporan sejak tanggal 1
sampai dengan tanggal 7 bulan yang sama;
d. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai
dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM
yang ditetapkan dari rata-rata DPK dalam masa laporan sejak
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan yang sama.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 9
Bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan juga
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, saldo Rekening
Giro Bank adalah saldo Rekening Giro UUS.
Pasal 10 ...
- 21 -
Pasal 10
Ayat (1)
Bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
dan juga melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah,
DPK adalah DPK yang dilaporkan UUS.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan giro dalam rupiah adalah komponen
giro sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen
Dana Pihak Ketiga Dalam Rupiah dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank
Umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan simpanan berjangka dalam rupiah
adalah komponen simpanan berjangka sebagaimana dimaksud
dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam
Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang
Laporan Berkala Bank Umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan tabungan dalam rupiah adalah
komponen tabungan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Rupiah dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank
Umum.
Huruf d ...
- 22 -
Huruf d
Yang dimaksud dengan kewajiban-kewajiban lainnya dalam
rupiah adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada pihak
ketiga bukan bank sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Rupiah dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank
Umum.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan giro dalam valuta asing
adalah
komponen giro sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Valuta Asing dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan
Berkala Bank Umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan simpanan berjangka dalam valuta
asing adalah komponen simpanan berjangka sebagaimana
dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga
Dalam Valuta Asing dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan kewajiban-kewajiban lainnya dalam
valuta asing adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada
pihak ketiga termasuk bank sebagaimana dimaksud dalam
penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Valuta
Asing ...
- 23 -
Asing dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang
Laporan Berkala Bank Umum.
Pasal 11
Ayat (1)
Formula perhitungan rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK
dalam rupiah adalah sebagai berikut:
Jumlah Pembiayaan dalam rupiah pada akhir masa
laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya
x 100%
Jumlah DPK dalam rupiah pada akhir masa laporan
pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya
Rasio Pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam rupiah
sebagaimana dimaksud di atas didasarkan pada Pembiayaan dan
DPK Bank sebagai berikut:
a. Penentuan persentase GWM dalam rupiah untuk masa laporan
sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 menggunakan rasio
yang diperoleh dari Pembiayaan dalam rupiah dan DPK dalam
rupiah tanggal 23 bulan sebelumnya;
b. Penentuan persentase GWM dalam rupiah untuk masa laporan
sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 menggunakan rasio
yang ...
- 24 -
yang diperoleh dari Pembiayaan dalam rupiah dan DPK dalam
rupiah pada akhir bulan sebelumnya;
c. Penentuan persentase GWM dalam rupiah untuk masa laporan
sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 menggunakan rasio
yang diperoleh dari Pembiayaan dalam rupiah dan DPK dalam
rupiah tanggal 7 bulan yang sama; dan
d. Penentuan persentase GWM dalam rupiah untuk masa laporan
sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan
menggunakan rasio yang diperoleh dari Pembiayaan dalam
rupiah dan DPK dalam rupiah tanggal 15 bulan yang sama.
Ayat (2)
Data Pembiayaan diperoleh dari pos “Kredit yang diberikan“
pada Laporan Berkala Bank Umum yang disampaikan Bank
kepada Bank Indonesia.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan hari adalah hari kerja.
Data ...
- 25 -
Data mengenai Tingkat Indikasi Imbalan PUAS yang digunakan
adalah rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan Sertifikat IMA
yang tercatat pada PIPU.
Perhitungan sanksi kewajiban membayar kekurangan GWM dalam
rupiah yaitu:
Kekurangan GWM x 125% x Tingkat Indikasi
Imbalan PUAS x hari pelanggaran
360 x 100
Contoh 1 perhitungan sanksi:
Bank A memiliki rasio Pembiayaan terhadap DPK sebesar 75% dan
rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal
8 sampai dengan
tanggal 15 bulan
Januari sebesar
Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah).
GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan
tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun
rupiah) yaitu sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1);
ditambah dengan
b. 1% ...
- 26 -
b. 1% (satu perseratus) dari Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun
rupiah) yaitu sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada
tanggal 24 Januari adalah sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah) atau 5% dari DPK dalam rupiah, sehingga terdapat
kekurangan pemenuhan GWM sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua
puluh miliar rupiah).
Tingkat Indikasi Imbalan PUAS tanggal 24 Januari sebesar 5% (lima
perseratus).
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM
rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 Januari adalah sebagai berikut:
Kekurangan GWM x 125% x Tingkat Indikasi
Imbalan PUAS x hari pelanggaran
360 x 100
yaitu
Rp20.000.000.000,00 x 1,25 x 5 x 1
360 x 100
Contoh ...
- 27 -
Contoh 2 perhitungan sanksi:
Bank B memiliki rasio Pembiayaan terhadap DPK sebesar 85% dan
rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal
8 sampai dengan
tanggal 15 bulan
Januari sebesar
Rp800.000.000.000,00 (delapan ratus miliar rupiah).
GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan
tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar 5% (lima perseratus) dari
Rp800.000.000.000,00 (delapan ratus miliar rupiah) yaitu sebesar
Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah), sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank B pada Bank Indonesia pada
tanggal 24 Januari adalah sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh
miliar rupiah) atau 2,5% dari DPK dalam rupiah, sehingga terdapat
kekurangan pemenuhan GWM sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua
puluh miliar rupiah).
Tingkat Indikasi Imbalan PUAS tanggal 24 Januari sebesar 5% (lima
perseratus).
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM
rupiah untuk Bank B pada tanggal 24 Januari adalah sebagai berikut:
Kekurangan GWM x 125% x Tingkat Indikasi
Imbalan PUAS x hari pelanggaran
360 x 100
yaitu ...
- 28 -
yaitu
Rp20.000.000.000,00 x 1,25 x 5 x 1
360 x 100
Ayat (2)
Contoh 1 perhitungan sanksi:
Bank A memiliki rasio Pembiayaan terhadap DPK sebesar 75% dan
rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal
8 sampai dengan
tanggal 15 bulan
Januari sebesar
Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah).
GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan
tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun
rupiah) yaitu sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1);
ditambah dengan
b. 1% (satu perseratus) dari Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun
rupiah) yaitu sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada
tanggal 24 Januari adalah sebesar -Rp100.000.000.000,00 (minus
seratus miliar rupiah), sehingga terdapat kekurangan pemenuhan
GWM yang wajib dipelihara sebesar Rp120.000.000.000,00 (seratus
dua ...
- 29 -
dua puluh miliar rupiah) dan saldo negatif sebesar
Rp100.000.000.000,00 (minus seratus miliar rupiah).
Tingkat Indikasi Imbalan PUAS tanggal 24 Januari sebesar 5% (lima
perseratus).
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM
rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 Januari adalah sebagai berikut:
Kekurangan GWM x 125% x Tingkat Indikasi
Imbalan PUAS x hari pelanggaran
360 x 100
yaitu
Rp120.000.000.000,00 x 1,25 x 5 x 1
360 x 100
ditambah dengan perkalian jumlah saldo negatif Rekening Giro
Rupiah Bank di Bank Indonesia dengan 150% dikali Tingkat
Indikasi Imbalan PUAS dengan rumus sebagai berikut:
Saldo negatif ...
- 30 -
Saldo negatif x 150% x Tingkat Indikasi
Imbalan PUAS x hari pelanggaran
360 x 100
yaitu
Rp100.000.000.000,00 x 1,50 x 5 x 1
360 x 100
Pasal 15
Data mengenai tingkat imbalan deposito investasi mudharabah berjangka
waktu 1 (satu) bulan sebelum didistribusikan yang digunakan adalah rata-
rata tertimbang tingkat imbalan deposito mudharabah berjangka waktu
1(satu) bulan sebelum didistribusikan yang tercatat pada PIPU.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kurs transaksi adalah kurs jual ditambah
dengan kurs beli dibagi dua.
Pasal 17 ...
- 31 -
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Data mengenai Tingkat Indikasi Imbalan PUAS yang digunakan
adalah rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan Sertifikat IMA
yang tercatat pada PIPU.
Contoh:
Tanggal 2 September 2004:
Saldo rekening giro rupiah Bank A sebesar Rp100.
Sanksi kewajiban membayar kekurangan GWM Rp 120.
Maka jumlah tambahan kewajiban membayar adalah :
(120-100) X 150% X Tingkat Indikasi Imbalan PUAS X (1/360)
Tanggal 3 September 2004:
Saldo rekening giro rupiah Bank A sebesar Rp 80.
Sanksi kewajiban membayar kekurangan GWM Rp 130.
Maka jumlah tambahan kewajiban membayar pada tanggal 3
September 2004 hanya sebesar :
(130-80) ...
- 32 -
(130-80) X 150% X Tingkat Indikasi Imbalan PUAS X (1/360)
tanpa memperhitungkan jumlah tambahan kewajiban membayar pada
tanggal 2 September 2004 yang belum dapat dipenuhi oleh bank yang
bersangkutan.
Ayat (5)
Cukup Jelas
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4404
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/21/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 3 Agustus 2004 </set_date>
<effective_date> 1 September 2004 </effective_date>
<replaced_reg> '2/7/PBI/2000' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 11/ 6 /PBI/2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/40/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN
UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU)
TAHUN EMISI 2005
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah
ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat
sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender);
b. bahwa untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada
desain uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh
ribu) sebagai legal tender di Negara Kesatuan Republik
Indonesia, diperlukan penyempurnaan desain uang
rupiah antara lain mengenai penandatanganan pada
uang, penempatan letak tahun pengeluaran atau tahun
emisi, dan tahun pencetakan uang;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu
untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang
Kertas Rupiah Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun
Emisi 2005;
Mengingat . . .
-2-
Mengingat
: 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004
tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan
Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4762);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 7/40/PBI/2005 TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG
KERTAS . . .
-3-
KERTAS RUPIAH PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU)
TAHUN EMISI 2005.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/40/PBI/2005
tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 10.000
(Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 100) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
Ciri uang rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 adalah:
1. Warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan
ungu;
2. Gambar
a. bagian muka
1) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud
Badaruddin II dan dibawahnya dicantumkan tulisan ”SULTAN
MAHMUD BADARUDDIN II”;
2) pada sebelah kiri gambar utama terdapat gambar ornamen daerah
Palembang berbentuk lingkaran berwarna oranye yang akan
memendar kuning di bawah sinar ultra violet;
3) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal
terdapat tulisan ”BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan
tersebut terdapat tulisan ”SEPULUH RIBU RUPIAH”;
4) pada . . .
-4-
4) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan
pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka
nominal ”10000”;
5) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal ”10000”
terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan
ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
6) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
tersembunyi (latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi
panjang berbentuk ornamen daerah Palembang yang dapat dilihat
dari sudut pandang tertentu;
7) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila;
8) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam
bidang segi delapan yang dicetak dengan tinta khusus (optically
variable ink) yang akan berubah warna dari hijau menjadi biru
apabila dilihat dari sudut pandang berbeda;
9) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun
pencetakan “2009” (angka 2009 akan berubah sesuai dengan tahun
pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan
Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”, dan
tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan
“DEPUTI GUBERNUR”;
10) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang
membentuk ornamen daerah Palembang;
11) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca
pembesar terdapat pada:
a) sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal
”10000” berupa tulisan BI;
b) sebelah . . .
-5-
b) sebelah kiri gambar utama di atas dan bawah gambar saling isi
(rectoverso) berupa angka 10000 yang membentuk garis
vertikal;
c) sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berupa tulisan
”BANKINDONESIA” sebagai latar belakang uang;
d) sebelah kanan gambar utama berupa tulisan
”BANKINDONESIA10000” yang tersusun diagonal
membentuk warna dasar dan gambar ornamen daerah
Palembang;
12) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa tulisan “BI10000” yang berbentuk lengkungan dengan
ukuran teks yang berbeda.
b. bagian belakang
1) gambar utama berupa gambar Rumah Limas, Palembang;
2) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan ”BANK
INDONESIA”;
3) di bawah gambar utama terdapat tulisan ”DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN
YANG SAH DENGAN NILAI SEPULUH RIBU RUPIAH”;
4) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada sebelah
kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal ”10000”;
5) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka
terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta
berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra
violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan ”BANK
INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan
memendar oranye di bawah sinar ultra violet;
6) pada . . .
-6-
6) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar
saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya
akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
7) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal “10000”
terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP” dan
angka tahun pengeluaran atau tahun emisi “2005”;
8) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar
siluet Rumah Limas yang akan memendar hijau kekuningan
di bawah sinar ultra violet;
9) pada sebelah kiri bawah gambar utama terdapat cetakan tidak kasat
mata berupa angka nominal ”10000” dalam kotak persegi panjang
yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet;
10) pada sebelah kanan atas dan bawah gambar utama terdapat angka
nominal “10000” yang membentuk warna dasar;
11) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca
pembesar terdapat pada:
a) sebelah kanan di atas atap Rumah Limas berupa angka 10000
yang membentuk daun-daun pepohonan;
b) sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi angka
nominal ”10000” berupa tulisan “BI”;
12) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat:
a) di atas dan bawah tanda air berupa tulisan
“BANKINDONESIA” yang berbentuk garis melengkung
dengan ukuran teks yang berbeda;
b) pada sebelah kanan di atas tulisan “BANKINDONESIA” dan
di bawah angka nominal ”10000” berupa tulisan
“BANKINDONESIA” yang membentuk lingkaran.
3. Bahan . . .
-7-
3. Bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
a. terbuat dari serat kapas;
b. ukuran panjang 145 mm dan lebar 65 mm;
c. warna ungu muda;
d. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
e. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud
Badaruddin II dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah
Palembang;
f. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat
tulisan ”BI10000” berulang-ulang dan akan memendar berwarna merah
di bawah sinar ultra violet.
2. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 5 A,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5 A
Uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih
tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan . . .
-8-
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Maret 2009.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Maret 2009.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 43
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/6/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/40/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 </reg_title>
<set_date> 3 Maret 2009 </set_date>
<effective_date> 3 Maret 2009 </effective_date>
<issued_date> 3 Maret 2009 </issued_date>
<changed_reg> '7/40/PBI/2005' </changed_reg>
<related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/14/PBI/2004', '23/UU/1999', '9/10/PBI/2007', '6/UU/2009' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/11/PBI/2015
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM
KONVENSIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa salah satu upaya mendorong pertumbuhan
ekonomi dilakukan melalui pertumbuhan kredit
perbankan;
b. bahwa pertumbuhan kredit perbankan masih
tergantung dengan pertumbuhan dana pihak
ketiga sebagai sumber utama pendanaan
perbankan;
c. bahwa guna memperluas sumber pendanaan bagi
perbankan sekaligus mendukung pendalaman
pasar keuangan serta mendorong penyaluran
kredit diperlukan penyesuaian kebijakan terkait
giro wajib minimum;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,
perlu melakukan perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro
Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan
Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional;
Mengingat: …
- 2 -
Mengingat:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB
MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN
VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam
Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 235, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5478) diubah sebagai
berikut:
1. Ketentuan …
- 3 -
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
2. Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing
adalah bank yang memperoleh persetujuan dari otoritas yang
berwenang untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta
asing.
3. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas Jasa
Keuangan.
4. Dana Pihak Ketiga Bank yang selanjutnya disingkat DPK
adalah kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan
penduduk dalam Rupiah dan valuta asing.
5. Rekening Giro adalah rekening pihak ekstern tertentu di Bank
Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan
transaksi dari simpanan yang penarikannya dapat dilakukan
setiap saat.
6. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut
Rekening Giro Rupiah adalah Rekening Giro dalam mata uang
Rupiah yang penarikannya dapat dilakukan dengan
menggunakan cek Bank Indonesia, Bilyet Giro Bank Indonesia,
atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai hubungan Rekening
Giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern.
7. Rekening …
- 4 -
7. Rekening Giro dalam valuta asing yang selanjutnya disebut
Rekening Giro Valas adalah Rekening Giro dalam valuta asing
yang penarikannya dapat dilakukan dengan cara
pemindahbukuan atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan pihak
ekstern.
8. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM adalah
jumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh Bank yang
besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase
tertentu dari DPK.
9. GWM Primer adalah simpanan minimum dalam Rupiah yang
wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro
pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank
Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK.
10. GWM Sekunder adalah cadangan minimum dalam Rupiah yang
wajib dipelihara oleh Bank berupa Sertifikat Bank Indonesia,
Sertifikat Deposito Bank Indonesia, Surat Berharga Negara,
dan/atau Excess Reserve, yang besarnya ditetapkan oleh Bank
Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK.
11. Loan to Funding Ratio yang selanjutnya disingkat LFR adalah
rasio kredit yang diberikan kepada pihak ketiga dalam Rupiah
dan valuta asing, tidak termasuk kredit kepada bank lain,
terhadap:
a. dana pihak ketiga yang mencakup giro, tabungan, dan
deposito dalam Rupiah dan valuta asing, tidak termasuk
dana antar bank; dan
b. surat-surat berharga dalam Rupiah dan valuta asing yang
memenuhi persyaratan tertentu yang diterbitkan oleh Bank
untuk memperoleh sumber pendanaan.
12. LFR …
- 5 -
12. LFR Target adalah kisaran LFR yang dibatasi oleh batas bawah
dan batas atas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam
rangka perhitungan GWM LFR.
13. GWM LFR adalah simpanan minimum dalam Rupiah yang
wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro
pada Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK
yang dihitung berdasarkan selisih antara LFR yang dimiliki
oleh Bank dengan LFR Target.
14. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disingkat
JIBOR adalah JIBOR sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai suku bunga
penawaran antarbank.
15. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI
adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang
berjangka waktu pendek.
16. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat
SDBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang
berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya
antar Bank.
17. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah
surat berharga yang terdiri dari Surat Utang Negara dalam
mata uang Rupiah dan Surat Berharga Syariah Negara dalam
mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia.
18. Excess Reserve adalah kelebihan saldo Rekening Giro Rupiah
Bank dari GWM Primer dan GWM LFR yang wajib dipelihara di
Bank Indonesia.
19. Rasio …
- 6 -
19. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya
disingkat KPMM adalah rasio antara modal terhadap aset
tertimbang menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum
bank umum.
20. KPMM Insentif adalah KPMM yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia dalam rangka perhitungan GWM LFR.
21. Parameter Disinsentif Bawah adalah parameter pengali yang
digunakan dalam perhitungan GWM LFR bagi Bank yang
memiliki LFR kurang dari batas bawah LFR Target.
22. Parameter Disinsentif Atas adalah parameter pengali yang
digunakan dalam perhitungan GWM LFR bagi Bank yang
memiliki LFR lebih dari batas atas LFR Target.
23. Total Kredit adalah seluruh kredit yang diberikan oleh Bank
kepada Bank dan bukan Bank dalam Rupiah dan valuta asing.
24. Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya
disebut Kredit UMKM adalah kredit UMKM sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank umum dan
bantuan teknis dalam rangka pengembangan usaha mikro,
kecil, dan menengah, termasuk kredit atau pembiayaan untuk
produk ekspor non migas yang diberikan oleh kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan bank
campuran.
25. Rasio Kredit UMKM adalah perbandingan antara jumlah Kredit
UMKM terhadap Total Kredit.
26. Rasio non performing loan Total Kredit yang selanjutnya disebut
Rasio NPL Total Kredit adalah rasio antara jumlah Total Kredit
dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet,
terhadap Total Kredit.
27. Rasio …
- 7 -
27. Rasio non-performing loan Kredit UMKM yang selanjutnya
disebut Rasio NPL Kredit UMKM adalah rasio antara jumlah
Kredit UMKM dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan
macet, terhadap Kredit UMKM.
2. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Bank wajib memenuhi GWM sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dan Pasal 5 secara harian pada setiap hari kerja
termasuk dalam hal Bank Indonesia beroperasi secara terbatas.
(2) Dalam hal wilayah tertentu ditetapkan libur secara fakultatif,
berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Dalam hal kantor Bank Indonesia di wilayah tersebut tutup
maka Bank yang berkantor pusat di wilayah tersebut tidak
diwajibkan memenuhi GWM.
b. Dalam hal kantor Bank Indonesia di wilayah tersebut tetap
beroperasi maka:
1) Bank tetap diwajibkan memenuhi GWM apabila Bank
yang berkantor pusat di wilayah tersebut tetap
beroperasi.
2) Bank tidak diwajibkan memenuhi GWM apabila Bank
yang berkantor pusat di wilayah tersebut tutup dan
Bank telah menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada Bank Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian
pemberitahuan tertulis kepada Bank Indonesia diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
3. Ketentuan …
- 8 -
3. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Besaran dan parameter yang digunakan dalam perhitungan
GWM LFR ditetapkan sebagai berikut:
a. Batas bawah LFR Target sebesar 78% (tujuh puluh delapan
persen).
b. Batas atas LFR Target sebesar 92% (sembilan puluh dua
persen).
c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen).
d. Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 (nol koma satu).
e. Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma dua).
(2) Batas atas LFR Target untuk Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan sebesar 94% (sembilan puluh empat
persen) dalam hal Bank:
a. memenuhi Rasio Kredit UMKM lebih cepat dari target waktu
tahapan pencapaian Rasio Kredit UMKM sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank
umum dan bantuan teknis dalam rangka pengembangan
usaha mikro, kecil, dan menengah;
b. memenuhi Rasio NPL Total Kredit secara bruto (gross)
kurang dari 5% (lima persen); dan
c. memenuhi Rasio NPL Kredit UMKM secara bruto (gross)
kurang dari 5% (lima persen).
(3) Bank Indonesia sewaktu-waktu dapat mengubah besaran dan
parameter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila
diperlukan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan GWM
LFR diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
4. Ketentuan …
- 9 -
4. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) DPK dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf a dan huruf b, Pasal 12, dan Pasal 17 ayat (2) serta DPK
dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
diperoleh dari Laporan DPK Rupiah dan Valuta Asing pada
Laporan Berkala Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan mengenai laporan berkala bank umum.
(2) Kredit, DPK, dan surat berharga yang diterbitkan untuk
perhitungan LFR Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf c dan Pasal 12 diperoleh dari:
a. Neraca Mingguan pada Laporan Berkala Bank Umum yang
disampaikan Bank sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan yang mengatur mengenai laporan berkala bank
umum, untuk data kredit dan DPK; dan
b. Laporan Surat Berharga Yang Diterbitkan yang
disampaikan Bank kepada Bank Indonesia secara berkala,
untuk data surat berharga.
(3) KPMM Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c dan
Pasal 11 adalah KPMM triwulanan.
(4) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan KPMM
yang diterima Bank Indonesia dari OJK dengan hasil
perhitungan KPMM yang dilakukan oleh Bank maka yang
berlaku adalah KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK.
(5) Kredit UMKM untuk perhitungan Rasio Kredit UMKM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a
diperoleh dari:
a. Daftar Rincian Kredit yang Diberikan dalam Laporan
Bulanan Bank Umum posisi 2 (dua) masa laporan
sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang
mengatur mengenai laporan bulanan bank umum; dan
b. Laporan …
- 10 -
b. Laporan Realisasi Pemberian Kredit Atau Pembiayaan
UMKM Melalui Kerja Sama Pola Executing sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank
umum dan bantuan teknis dalam rangka pengembangan
usaha mikro, kecil, dan menengah.
(6) Total Kredit untuk perhitungan Rasio Kredit UMKM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a
diperoleh dari Daftar Rincian Kredit yang Diberikan dalam
Laporan Bulanan Bank Umum posisi 2 (dua) masa laporan
sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang
mengatur mengenai laporan bulanan bank umum.
(7) Non-performing loan Total Kredit untuk perhitungan Rasio NPL
Total Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)
huruf b diperoleh dari Daftar Rincian Kredit yang Diberikan
dalam Laporan Bulanan Bank Umum posisi 2 (dua) masa
laporan sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
yang mengatur mengenai laporan bulanan bank umum.
(8) Non-performing loan Kredit UMKM untuk perhitungan Rasio
NPL Kredit UMKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) huruf c diperoleh dari:
a. Daftar Rincian Kredit yang Diberikan dalam Laporan
Bulanan Bank Umum posisi 2 (dua) masa laporan
sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang
mengatur mengenai laporan bulanan bank umum; dan
b. Laporan Realisasi Pemberian Kredit Atau Pembiayaan
UMKM Melalui Kerja Sama Pola Executing sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank
umum dan bantuan teknis dalam rangka pengembangan
usaha mikro, kecil, dan menengah.
5. Di antara …
- 11 -
5. Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni
Pasal 16A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16A
(1) Pemenuhan GWM bagi Bank yang melakukan merger atau
konsolidasi:
a. Perhitungan GWM dalam Rupiah dan valuta asing tetap
dilakukan secara terpisah sampai dengan 2 (dua) hari kerja
sebelum tanggal efektif pelaksanaan merger atau
konsolidasi.
b. Sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan merger atau konsolidasi, pemenuhan GWM
dalam Rupiah dan valuta asing hanya dihitung untuk bank
hasil merger atau konsolidasi.
c. Perhitungan pemenuhan GWM dalam Rupiah dan valuta
asing untuk bank hasil merger atau konsolidasi
sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilakukan dengan
menggunakan data gabungan Bank yang melakukan
merger atau konsolidasi sampai dengan data bank hasil
merger atau konsolidasi tersedia.
d. Data gabungan Bank sebagaimana dimaksud dalam huruf c
meliputi DPK, Kredit, KPMM, saldo rekening surat berharga
yang terdapat pada sisi aset Bank, saldo surat berharga
yang diterbitkan Bank yang terdapat pada sisi kewajiban
Bank, saldo Rekening Giro Rupiah, saldo Rekening Giro
Valas, Total Kredit, Kredit UMKM, non-performing loan
untuk Total Kredit, dan non-performing loan untuk Kredit
UMKM.
e. Data KPMM sebagaimana dimaksud dalam huruf d
diperoleh dari Bank yang melakukan merger atau
konsolidasi berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan
oleh …
- 12 -
oleh Bank atas penggabungan data yang digunakan dalam
perhitungan KPMM masing-masing Bank sebelum tanggal
efektif pelaksanaan merger atau konsolidasi.
f. Dalam hal Bank Indonesia memberikan jasa giro atau
mengenakan sanksi kepada bank yang menggabungkan diri
atau bank yang meleburkan diri setelah tanggal efektif
pelaksanaan merger atau konsolidasi maka pemberian jasa
giro atau pengenaan sanksi ditujukan kepada bank hasil
merger atau konsolidasi.
(2) Pemenuhan GWM bagi Bank yang melakukan perubahan
kegiatan usaha menjadi bank umum syariah dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Bank harus memenuhi GWM dalam Rupiah dan valuta
asing yang berlaku bagi Bank umum konvensional sampai
dengan 1 (satu) hari kerja sebelum pelaksanaan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah.
b. Perhitungan GWM bagi Bank yang telah melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dilakukan
dengan menggunakan data saat Bank belum melaksanakan
kegiatan usaha sebagai bank umum syariah sampai dengan
data bank setelah melaksanakan kegiatan usaha sebagai
bank umum syariah tersedia.
(3) Perhitungan GWM dalam valuta asing untuk Bank yang
mendapatkan izin melakukan kegiatan usaha dalam valuta
asing berlaku sejak tersedianya data untuk dapat melakukan
perhitungan GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan GWM
terhadap Bank yang melakukan merger atau konsolidasi, Bank
yang melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi bank
umum …
- 13 -
umum syariah, dan Bank yang mendapatkan izin melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
6. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni
Pasal 17A dan Pasal 17B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17A
(1) Bank dikenakan pengurangan jasa giro sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17, apabila:
a. Bank tidak memenuhi Rasio Kredit UMKM sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank
umum dan bantuan teknis dalam rangka pengembangan
usaha mikro, kecil, dan menengah;
b. Rasio NPL Total Kredit secara bruto (gross) lebih dari atau
sama dengan 5% (lima persen); atau
c. Rasio NPL Kredit UMKM secara bruto (gross) lebih dari atau
sama dengan 5% (lima persen).
(2) Perhitungan Rasio Kredit UMKM sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a menggunakan data sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (5) dan ayat (6).
(3) Perhitungan Rasio NPL Total Kredit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b menggunakan data sebagaimana
dimaksud pada Pasal 14 ayat (6) dan ayat (7).
(4) Perhitungan Rasio NPL Kredit UMKM sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c menggunakan data sebagaimana
dimaksud pada Pasal 14 ayat (5) dan ayat (8).
(5) Pengurangan jasa giro dilakukan sebagai berikut:
a. Dalam hal Bank memenuhi pencapaian Rasio Kredit UMKM
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai pemberian kredit atau
pembiayaan oleh bank umum dan bantuan teknis dalam
rangka …
- 14 -
rangka pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah
namun memiliki Rasio NPL Total Kredit dan/atau Rasio
NPL Kredit UMKM lebih dari atau sama dengan 5% (lima
persen) maka Bank dikenakan pengurangan jasa giro
sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
b. Dalam hal Bank tidak memenuhi pencapaian Rasio Kredit
UMKM sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pemberian kredit atau
pembiayaan oleh bank umum dan bantuan teknis dalam
rangka pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah
maka Bank dikenakan pengurangan jasa giro sebesar 0,5%
(nol koma lima persen) ditambah hasil perkalian antara 0,1
(nol koma satu) dengan selisih pencapaian target Rasio
Kredit UMKM.
Pasal 17B
(1) Bank Indonesia dapat menetapkan untuk tidak mengenakan
pengurangan jasa giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17A
terhadap Bank dalam status pengawasan tertentu yang sedang
dikenakan pembatasan kegiatan usaha oleh OJK terkait
dengan penyaluran Kredit UMKM.
(2) Penetapan untuk tidak mengenakan pengurangan jasa giro
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas dasar
permintaan OJK.
7. Di antara BAB VI dan BAB VII disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB
VIA sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB VIA
PELAPORAN
Pasal 19A
(1) Bank wajib menyampaikan Laporan Surat Berharga Yang
Diterbitkan …
- 15 -
Diterbitkan oleh Bank kepada Bank Indonesia secara berkala
sebagai dasar perhitungan GWM LFR.
(2) Surat berharga yang digunakan sebagai dasar perhitungan
GWM LFR dan dilaporkan ke Bank Indonesia adalah surat
berharga yang diterbitkan oleh Bank yang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. diterbitkan dalam bentuk Medium Term Notes (MTN),
Floating Rate Notes (FRN), dan obligasi selain obligasi
subordinasi;
b. ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum (public
offering);
c. memiliki peringkat yang diterbitkan lembaga pemeringkat
paling kurang setara dengan peringkat investasi;
d. dimiliki bukan Bank baik penduduk dan bukan penduduk;
dan
e. ditatausahakan di lembaga yang berwenang memberikan
layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek.
(3) Bank Indonesia dapat mengubah kriteria surat berharga yang
dapat digunakan sebagai dasar perhitungan GWM LFR
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Bank yang tidak menerbitkan surat berharga atau menerbitkan
surat berharga namun tidak memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tetap diwajibkan menyampaikan
Laporan Surat Berharga Yang Diterbitkan oleh Bank dengan
laporan nihil.
(5) Laporan Surat Berharga Yang Diterbitkan oleh Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja pada bulan berikutnya setelah berakhirnya
bulan laporan.
(6) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila
Bank …
- 16 -
Bank menyampaikan laporan setelah batas waktu
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
sampai dengan 5 (lima) hari kerja berikutnya.
(7) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila Bank
belum menyampaikan laporan sampai dengan berakhirnya
batas waktu keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (6).
(8) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4)
disampaikan melalui email kepada Bank Indonesia.
(9) Dalam hal penyampaian laporan melalui email sebagaimana
dimaksud pada ayat (8) tidak dapat dilakukan, Bank
menyampaikan laporan dalam bentuk softcopy dan hardcopy
kepada Bank Indonesia.
(10) Bank dapat melakukan koreksi atas laporan yang telah
disampaikan kepada Bank Indonesia.
(11) Bank Indonesia dapat menghentikan kewajiban penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4)
dengan surat pemberitahuan kepada Bank.
(12) Laporan Surat Berharga Yang Diterbitkan oleh Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) pertama kali
disampaikan kepada Bank Indonesia untuk posisi bulan Juni
2015.
(13) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara
penyampaian Laporan Surat Berharga Yang Diterbitkan oleh
Bank diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
8. Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni
Pasal 20A dan Pasal 20B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20A
(1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19A ayat (6) dikenakan sanksi berupa
teguran …
- 17 -
teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja
keterlambatan.
(2) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19A ayat (7) dikenakan
sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar
sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Pasal 20B
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A ayat (2)
tidak menghilangkan kewajiban Bank untuk menyampaikan
Laporan Surat Berharga Yang Diterbitkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19A ayat (1) dan ayat (4).
Pasal II
1. Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku semua
penyebutan Bank Devisa dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam
Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional beserta
peraturan pelaksanaannya dibaca sebagai Bank yang melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing.
2. Semua penyebutan loan to deposit ratio atau LDR dalam Peraturan
Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib
Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank
Umum Konvensional beserta peraturan pelaksanaannya dibaca
sebagai Loan to Funding Ratio atau LFR sejak tanggal 3 Agustus
2015.
3. Perhitungan GWM LFR mulai berlaku pada tanggal 3 Agustus 2015.
4. Perhitungan jasa giro sebagaimana dimaksud pada Pasal 17A mulai
berlaku pada tanggal 1 Februari 2016.
5. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar …
- 18 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juni 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 Juni 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 152
DKMP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/11/PBI/2015 TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/15/PBI/2013
TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN
VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL
I. UMUM
Pertumbuhan ekonomi berpotensi tumbuh lebih rendah dari
perkiraan semula yang diiringi dengan pertumbuhan kredit perbankan
yang menunjukkan perlambatan sejak tahun 2013 sehingga berada di
bawah kisaran perkiraan pertumbuhan kredit di tahun 2014. Ditengah
perlambatan pertumbuhan kredit, terdapat peningkatan kerentanan baik
yang bersumber dari pasar keuangan global dan domestik. Situasi
tersebut berpotensi meningkatkan risiko stabilitas sistem keuangan.
Dalam kondisi demikian, kebijakan moneter yang cenderung ketat
masih dipandang perlu untuk dipertahankan, sehingga dibutuhkan
alternatif kebijakan makroprudensial yang diharapkan dapat mendorong
proses intermediasi perbankan, pendalaman pasar keuangan dan
penyaluran kredit. Peningkatan penyaluran kredit tersebut diharapkan
juga dapat disalurkan ke sektor produktif. Salah satu kebijakan
makroprudensial yang diharapkan dapat mengakomodir tujuan tersebut
adalah melalui penyesuaian kebijakan GWM.
Penyesuaian dilakukan dengan memasukkan surat-surat berharga
(SSB) yang diterbitkan bank dalam perhitungan Loan to Deposit Ratio
(LDR) dalam kebijakan GWM-LDR. Sejalan dengan masuknya SSB yang
diterbitkan bank dalam perhitungan LDR maka istilah LDR diganti
menjadi Loan to Funding Ratio (LFR). Dalam upaya untuk mendorong
Kredit UMKM, Bank Indonesia juga akan memperlonggar batas atas LFR
bagi bank yang sudah memenuhi pencapaian tertentu Kredit UMKM
dengan kualitas kredit yang baik. Selain itu, bagi bank yang belum
memenuhi pencapaian tertentu kredit UMKM dimaksud akan
mendapatkan …
- 2 -
mendapatkan penyesuaian jasa giro.
Dengan adanya kebijakan tersebut, perlu dilakukan perubahan
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro
Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank
Umum Konvensional.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Perhitungan pemenuhan GWM secara harian dilakukan
berdasarkan posisi akhir hari.
Ayat (2)
Contoh:
Pada tanggal 1 September 2015, Pemerintah Daerah X
memutuskan tanggal tersebut sebagai hari libur di wilayah
tersebut. Namun, Kantor Perwakilan Bank Indonesia di wilayah
tersebut tetap beroperasi. Dalam hal terdapat:
a. Bank yang berkantor pusat di wilayah tersebut beroperasi,
maka Bank tersebut tetap dikenakan kewajiban
pemenuhan GWM.
b. Bank yang berkantor pusat di wilayah tersebut tutup, maka
Bank tersebut tidak dikenakan kewajiban pemenuhan
GWM apabila telah menyampaikan pemberitahuan tertulis
kepada Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal …
- 3 -
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penetapan persentase LFR Target, KPMM Insentif, Parameter
Disinsentif Bawah, dan Parameter Disinsentif Atas dilakukan
sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia dengan
memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi, moneter,
dan sistem keuangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kredit, DPK, dan surat berharga yang diterbitkan untuk
perhitungan LFR Bank yang digunakan sebagai dasar
perhitungan GWM LFR didasarkan pada:
a. Neraca Mingguan pada Laporan Berkala Bank Umum untuk
data kredit dan DPK posisi akhir tanggal laporan pada 2
(dua) masa laporan sebelumnya, yaitu:
1) LFR Bank yang digunakan sebagai dasar perhitungan
GWM LFR harian untuk tanggal 1 sampai dengan
tanggal 7 didasarkan pada data DPK dan kredit pada
akhir masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan
tanggal 23 bulan sebelumnya;
2) LFR Bank yang digunakan sebagai dasar perhitungan
GWM LFR harian untuk tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 didasarkan pada data DPK dan kredit pada
akhir …
- 4 -
akhir masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan
tanggal akhir bulan sebelumnya;
3) LFR Bank yang digunakan sebagai dasar perhitungan
GWM LFR harian untuk tanggal 16 sampai dengan
tanggal 23 didasarkan pada data DPK dan kredit pada
akhir masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan
tanggal 7 bulan yang sama;
4) LFR Bank yang digunakan sebagai dasar perhitungan
GWM LFR harian sejak tanggal 24 sampai dengan
tanggal akhir bulan didasarkan pada data DPK dan
kredit pada akhir masa laporan sejak tanggal 8 sampai
dengan tanggal 15 bulan yang sama.
b. Laporan Surat Berharga Yang Diterbitkan untuk data surat
berharga posisi 2 (dua) masa laporan sebelumnya.
Contoh:
1) LFR Bank yang digunakan sebagai dasar perhitungan
GWM LFR harian untuk bulan Januari didasarkan pada
data surat berharga yang dilaporkan pada posisi bulan
November tahun sebelumnya.
2) LFR Bank yang digunakan sebagai dasar perhitungan
GWM LFR harian untuk bulan Agustus didasarkan pada
data surat berharga yang dilaporkan pada posisi bulan
Juni tahun yang sama.
Ayat (3)
KPMM triwulanan yang digunakan sebagai dasar perhitungan
GWM LFR merupakan hasil olahan sistem aplikasi yang
diterima oleh Bank Indonesia dari OJK dalam rangka
pengawasan terhadap Bank yang bersangkutan, untuk posisi
akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember, yaitu:
a. KPMM pada posisi akhir bulan Maret digunakan untuk
perhitungan GWM LFR harian untuk bulan Juni, Juli, dan
Agustus.
b. KPMM …
- 5 -
b. KPMM pada posisi akhir bulan Juni digunakan untuk
perhitungan GWM LFR harian untuk bulan September,
Oktober, dan November.
c. KPMM pada posisi akhir bulan September digunakan untuk
perhitungan GWM LFR harian untuk bulan Desember,
Januari, dan Februari.
d. KPMM pada posisi akhir bulan Desember digunakan untuk
perhitungan GWM LFR harian untuk bulan Maret, April,
dan Mei.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 16A
Ayat (1)
Huruf a
Tanggal efektif adalah tanggal pelaksanaan peralihan
operasional dari Bank yang menggabungkan diri kepada
Bank yang menerima penggabungan atau dari Bank yang
meleburkan diri kepada Bank yang didirikan.
Huruf b
Contoh perhitungan GWM Primer untuk bank yang
melakukan merger:
Bank A dan Bank B melakukan merger menjadi Bank A
yang berlaku efektif pada tanggal 1 September 2015
(Selasa), …
- 6 -
(Selasa), perhitungan GWM Primer dilakukan sebagai
berikut:
1) Periode sebelum tanggal efektif pelaksanaan merger
a) Sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal
efektif pelaksanaan merger, yaitu tanggal 28
Agustus 2015 (Jumat), pemenuhan GWM Primer
untuk Bank A dan Bank B dihitung secara terpisah
masing-masing untuk Bank A dan Bank B sesuai
dengan tata cara perhitungan sebagaimana diatur
dalam Pasal 9.
b) Pada 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif
pelaksanaan merger, pemenuhan GWM Primer
untuk tanggal 31 Agustus 2015 (Senin) hanya wajib
dipenuhi oleh Bank A mengingat saldo Rekening
Giro Rupiah Bank B pada tanggal tersebut telah
bersaldo nihil karena dipindahkan ke Rekening Giro
Rupiah Bank A.
2) Periode setelah tanggal efektif pelaksanaan merger
a) Sejak tanggal 1 (satu) sampai dengan 7 September
2015, pemenuhan GWM Primer untuk Bank A
sebagai bank hasil merger dihitung dengan
membandingkan:
(1) Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A sebagai
bank hasil merger pada Bank Indonesia;
terhadap
(2) Rata-rata harian DPK Rupiah Bank A sebagai
bank hasil merger yang diperoleh dari
penjumlahan rata-rata harian DPK Rupiah Bank
A dan rata-rata harian DPK Rupiah Bank B pada
masa laporan tanggal 16 sampai 23 Agustus
2015.
b) Sejak …
- 7 -
b) Sejak tanggal 8 sampai dengan 15 September 2015,
pemenuhan GWM Primer untuk Bank A sebagai
bank
hasil merger dihitung dengan
membandingkan:
(1) Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A sebagai
bank hasil merger pada Bank Indonesia;
terhadap
(2) Rata-rata harian DPK Rupiah Bank A sebagai
bank hasil merger yang diperoleh dari
penjumlahan rata-rata harian DPK Rupiah Bank
A dan rata-rata harian DPK Rupiah Bank B pada
masa laporan tanggal 24 sampai 31 Agustus
2015.
c) Sejak tanggal 16 September 2015, pemenuhan GWM
Primer untuk Bank A sebagai bank hasil merger
dihitung sesuai tata cara perhitungan sebagaimana
diatur dalam Pasal 9.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh perhitungan GWM bagi Bank yang telah
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
sebagai berikut:
Bank …
- 8 -
Bank A melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah efektif pada tanggal 1 Oktober 2015. Perhitungan
GWM Bank A sebagai bank umum syariah sejak tanggal 1
sampai dengan 15 Oktober 2015 menggunakan data rata-
rata harian jumlah DPK saat Bank A belum efektif sebagai
bank umum syariah. Perhitungan GWM Bank A dengan
menggunakan data sebagai bank umum syariah mulai
dihitung sejak tanggal 16 Oktober 2015 dengan
menggunakan rata-rata harian jumlah DPK untuk masa
laporan tanggal 1 sampai dengan 7 Oktober 2015.
Ayat (3)
Contoh perhitungan GWM dalam valuta asing terhadap Bank
yang mendapatkan izin melakukan kegiatan usaha dalam
valuta asing sebagai berikut:
Bank A mendapatkan izin untuk melakukan kegiatan usaha
dalam valuta asing efektif pada tanggal 1 Oktober 2015. Dengan
demikian, kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing
untuk Bank A mulai dihitung sejak tanggal 16 Oktober 2015
dengan menggunakan rata-rata harian jumlah DPK dalam
valuta asing untuk masa laporan tanggal 1 sampai dengan 7
Oktober 2015.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 17A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat …
- 9 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Contoh:
Pada tanggal 24 Maret 2016, Bank A telah memenuhi
seluruh kewajiban GWM dalam Rupiah yang meliputi GWM
Primer, GWM Sekunder, dan GWM LFR sehingga Bank A
memperoleh jasa giro untuk bagian tertentu dari saldo
Rekening Giro Rupiah yang digunakan untuk pemenuhan
kewajiban GWM Primer.
Berdasarkan data pada bulan Desember 2015, pencapaian
Rasio Kredit UMKM Bank A adalah sebesar 6% (enam
persen). Rasio NPL Kredit UMKM dan Rasio NPL Total Kredit
Bank A masing-masing sebesar 5,5% (lima koma lima
persen) dan 4% (empat persen). Jasa giro yang diperoleh
Bank A adalah sebesar jasa giro yang berlaku yaitu 2,5%
(dua koma lima persen) dan dikenakan pengurangan jasa
giro sebesar 0,5% (nol koma lima persen) sehingga Bank A
mendapatkan jasa giro 2% (dua persen).
Huruf b
Pengurangan jasa giro dilakukan dengan memperhatikan
target pencapaian Rasio Kredit UMKM sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/22/PBI/2012
tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank
Umum dan Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, dengan perhitungan
sebagai berikut:
1) Mulai tanggal 1 Februari 2016 sampai dengan tanggal
31 Januari 2017
Dalam hal Rasio Kredit UMKM Bank kurang dari 5%
(lima persen) jasa giro dikurangi sebesar 0,5% (nol koma
lima persen) ditambah hasil perkalian antara 0,1 (nol
koma …
- 10 -
koma satu) dengan selisih target pencapaian 5% (lima
persen) dengan realisasi Rasio Kredit UMKM Bank.
Formula perhitungan sebagai berikut:
Jasa giro = 2,5% - [0,5% + {0,1 x (5% - Rasio Kredit
UMKM Bank)}].
2) Mulai tanggal 1 Februari 2017 sampai dengan tanggal
31 Januari 2018
Dalam hal Rasio Kredit UMKM Bank kurang dari 10%
(sepuluh persen) jasa giro dikurangi sebesar 0,5% (nol
koma lima persen) ditambah hasil perkalian antara 0,1
(nol koma satu) dengan selisih target pencapaian 10%
(sepuluh persen) dengan realisasi Rasio Kredit UMKM
Bank.
Formula perhitungan sebagai berikut:
Jasa giro = 2,5% - [0,5% + {0,1 x (10% - Rasio Kredit
UMKM Bank)}].
3) Mulai tanggal 1 Februari 2018 sampai dengan tanggal
31 Januari 2019
Dalam hal Rasio Kredit UMKM Bank kurang dari 15%
(lima belas persen) jasa giro dikurangi sebesar 0,5% (nol
koma lima persen) ditambah hasil perkalian antara 0,1
(nol koma satu) dengan selisih target pencapaian 15%
(lima belas persen) dengan realisasi Rasio Kredit UMKM
Bank.
Formula perhitungan sebagai berikut:
Jasa giro = 2,5% - [0,5% + {0,1 x (15% - Rasio Kredit
UMKM Bank)}].
4) Sejak tanggal 1 Februari 2019
Dalam hal Rasio Kredit UMKM Bank kurang dari 20%
(dua puluh persen) jasa giro dikurangi sebesar 0,5% (nol
koma lima persen) ditambah hasil perkalian antara 0,1
(nol koma satu) dengan selisih target pencapaian 20%
(dua puluh persen) dengan realisasi Rasio Kredit UMKM
Bank. …
- 11 -
Bank.
Formula perhitungan sebagai berikut:
Jasa giro = 2,5% - [0,5% + {0,1 x (20% - Rasio Kredit
UMKM Bank)}].
Contoh:
Bank A memiliki data sebagai berikut:
a. rata-rata harian total DPK dalam Rupiah dalam
masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan 15
Maret 2016 sebesar Rp50.000.000.000.000,00 (lima
puluh triliun rupiah);
b. LFR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8
sampai dengan 15 Maret 2016 sebesar 97%
(sembilan puluh tujuh persen);
c. KPMM Bank posisi akhir bulan Desember 2015
sebesar 12% (dua belas persen); dan
d. pencapaian Rasio Kredit UMKM Bank A pada posisi
31 Desember 2015 sebesar 3% (tiga persen).
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), batas
bawah LFR Target ditetapkan sebesar 78% (tujuh puluh
delapan persen) dan batas atas LFR Target sebesar 92%
(sembilan puluh dua persen) sehingga LFR Bank berada
di atas kisaran LFR Target.
Dengan demikian GWM LFR harian Bank untuk tanggal
24 sampai dengan 31 Maret 2016 adalah sebesar 1%
(satu persen) dari DPK dalam Rupiah yang
diperoleh dari Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2
(nol koma dua) dikali selisih antara LFR Bank dan batas
atas LFR Target yaitu 97% (sembilan puluh tujuh
persen) dikurangi 92% (sembilan puluh dua persen).
Untuk tanggal 24 sampai dengan 31 Maret 2016, Bank
A wajib memenuhi GWM dalam Rupiah harian sebagai
berikut:
a. GWM …
- 12 -
a. GWM Primer sebesar 8% (delapan persen) dari DPK
dalam
Rupiah,
yaitu
Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah);
b. GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari DPK
dalam
Rupiah,
yaitu
Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah); dan
c. GWM LFR sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam
Rupiah, yaitu sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima
ratus miliar rupiah).
GWM Primer dan GWM LFR sebesar 9% (sembilan
persen) dari DPK dalam Rupiah yaitu sebesar
Rp4.500.000.000.000,00 (empat triliun lima ratus
miliar rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk saldo
Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. Sedangkan
GWM Sekunder sebesar 4% (empat persen) dari DPK
dalam Rupiah yaitu sebesar Rp2.000.000.000.000,00
(dua triliun rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk SBI,
SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve.
Pada tanggal 24 Maret 2016, saldo Rekening Giro
Rupiah Bank A pada Bank Indonesia adalah sebesar
Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah) dan Bank
A memiliki SBI, SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve
sebesar Rp2.100.000.000.000,00 (dua triliun seratus
miliar rupiah), sehingga Bank telah memenuhi seluruh
kewajiban GWM dalam Rupiah dan dapat memperoleh
jasa giro untuk bagian tertentu dari saldo Rekening Giro
Rupiah yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban
GWM Primer.
Mengingat pencapaian Rasio Kredit UMKM Bank A pada
tanggal 31 Desember 2015 adalah sebesar 3% (tiga
persen) maka jasa giro yang diperoleh Bank A adalah
sebesar:
= 2,5% - [0,5% + {0,1 x (5%-3%)}] = 1,8%.
Bagian …
sebesar
sebesar
- 13 -
Bagian saldo Rekening Giro Rupiah yang mendapat jasa
giro ditetapkan sebesar 3% (tiga persen) dari DPK dalam
Rupiah yaitu sebesar:
= 3% x Rp50.000.000.000.000,00
= Rp1.500.000.000.000,00.
Perhitungan jasa giro dengan tingkat bunga 1,8% (satu
koma delapan persen) per tahun untuk tanggal 24 Maret
2016 adalah sebagai berikut:
= [(1 + 1,8%)(1/360) – 1] x Rp1.500.000.000.000,00
= Rp74.334.834,03.
Pasal 17 B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dalam status pengawasan tertentu”
adalah pengawasan di luar pengawasan normal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Peringkat dan lembaga pemeringkat adalah peringkat dan
lembaga pemeringkat yang diakui oleh otoritas pengawas
Bank sesuai ketentuan yang berlaku.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf …
- 14 -
Huruf e
Yang dimaksud dengan lembaga yang berwenang
memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian
transaksi efek adalah Kustodian Sentral Efek Indonesia
atau lembaga berwenang lainnya.
Ayat (3)
Penetapan kriteria surat berharga yang dapat digunakan
sebagai dasar perhitungan GWM LFR dilakukan sesuai dengan
arah kebijakan Bank Indonesia dengan memperhatikan antara
lain kondisi perbankan dan pasar keuangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Koreksi laporan dapat dilakukan atas inisiatif Bank atau
permintaan dari Bank Indonesia.
Ayat (11)
Penghentian laporan dilakukan apabila Bank Indonesia sudah
dapat menerima laporan surat berharga yang diterbitkan oleh
Bank dari Kustodian Sentral Efek Indonesia atau lembaga
berwenang lainnya.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Ayat …
- 15 -
Ayat (13)
Cukup jelas.
Pasal 20 A
Cukup jelas.
Pasal 20 B
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5712
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 17/11/PBI/2015 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL </reg_title>
<set_date> 25 Juni 2015 </set_date>
<effective_date> 26 Juni 2015 </effective_date>
<issued_date> 26 Juni 2015 </issued_date>
<changed_reg> '15/15/PBI/2013' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 8 Pasal 20A' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 29 /PBI/2008
TENTANG
FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mendukung kelancaran sistem pembayaran di
Indonesia, Bank Indonesia telah mengimplementasikan Sistem
Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS)
dan sistem kliring nasional Bank Indonesia;
b. bahwa untuk menghindari terjadinya kemacetan dalam sistem
pembayaran (gridlock) dalam Sistem BI-RTGS, yang dapat
membahayakan stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia dapat
memberikan Fasilitas Likuiditas Intrahari kepada Bank Umum
peserta Sistem BI-RTGS;
c. bahwa untuk mengantisipasi kemungkinan kegagalan Bank dalam
memenuhi kewajibannya sebagai peserta dalam sistem kliring
nasional Bank Indonesia, di samping untuk tujuan sebagaimana
dimaksud pada huruf b, penyediaan Fasilitas Likuiditas Intrahari
juga dimaksudkan untuk penyelesaian akhir kliring debet kepada
Bank Umum;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk mengatur
kembali ketentuan mengenai Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi
Bank Umum dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 142, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/6/PBI/2008 tentang Sistem
Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 32, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4820);
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/18/PBI/2005 tentang Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4516);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS
LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM
Pasal …
- 3 -
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional.
2. Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut
dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem Bank Indonesia
Real Time Gross Settlement.
3. Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya
disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk
penatausahaannya dan penatausahaan surat berharga secara elektronik
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Bank
Indonesia - Scripless Securities Settlement System.
4. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SKNBI
adalah sistem kliring yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem
kliring nasional Bank Indonesia.
5. Kliring Debet adalah kegiatan dalam SKNBI untuk transfer debet
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai sistem kliring nasional Bank Indonesia.
6. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disebut FLI adalah penyediaan
pendanaan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam kedudukan Bank sebagai
peserta Sistem BI-RTGS dan peserta SKNBI, yang dilakukan dengan cara
repurchase agreement (repo) surat berharga yang harus diselesaikan pada hari
yang sama dengan hari penggunaan.
7. FLI …
- 4 -
7. FLI dalam rangka RTGS yang selanjutnya disebut FLI-RTGS adalah FLI
untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank yang terjadi selama jam
operasional Sistem BI-RTGS.
8. FLI dalam rangka Kliring yang selanjutnya disebut FLI-Kliring adalah FLI
untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank yang terjadi pada saat
penyelesaian akhir atas hasil Kliring Debet.
9. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga
dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai
pengakuan utang berjangka waktu pendek.
10. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga yang
berupa surat pengakuan utang yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2002 tentang Surat Utang Negara.
Pasal 2
(1) Bank dapat memperoleh FLI, baik dalam bentuk FLI-RTGS maupun FLI-
Kliring, setelah menandatangani Perjanjian Penggunaan FLI dan
menyampaikan dokumen pendukung yang dipersyaratkan kepada Bank
Indonesia.
(2) Bank dapat menggunakan FLI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. memiliki surat berharga yang dapat direpokan kepada Bank Indonesia
berupa SBI dan/atau SUN;
b. tidak sedang dikenakan sanksi penangguhan sebagai Bank peserta BI-
RTGS dan/atau penghentian sebagai Bank peserta kliring; dan
c. berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS.
Pasal …
- 5 -
Pasal 3
Bank Indonesia berwenang untuk menolak atau menghentikan penggunaan FLI
dalam hal Bank tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c.
Pasal 4
(1) Pelaksanaan repo atas surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) huruf a dalam rangka penggunaan FLI-RTGS dan/atau FLI-Kliring
dilakukan melalui BI-SSSS yang diatur sebagai berikut:
a. Untuk FLI-RTGS, Bank harus memindahkan surat berharga ke rekening
FLI-RTGS di BI-SSSS selama jam operasional Sistem BI-RTGS pada saat
Bank menilai adanya kebutuhan FLI (self asessment) untuk kelancaran
transaksi di Sistem BI-RTGS; dan
b. Untuk FLI-Kliring, Bank harus memindahkan surat berharga ke rekening
FLI-Kliring di BI-SSSS dalam rangka penyediaan pendanaan awal
(prefund) sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai sistem kliring nasional Bank Indonesia.
(2) Surat berharga yang telah dipindahkan ke rekening FLI-Kliring sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat digunakan untuk FLI-RTGS.
Pasal 5
(1) Perhitungan nilai jual SBI dan nilai pasar SUN yang digunakan Bank dalam
rangka FLI tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai
transaksi repo dengan Bank Indonesia di pasar sekunder.
(2) Nilai maksimum FLI yang dapat digunakan Bank adalah sebesar nilai surat
berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah dipindahkan Bank ke
rekening FLI-RTGS dan FLI-Kliring di BI-SSSS.
Pasal …
- 6 -
Pasal 6
(1) Penggunaan FLI-RTGS dilakukan secara otomatis pada saat saldo rekening
giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk melakukan
transaksi keluar (outgoing transaction).
(2) Penggunaan FLI-Kliring dilakukan secara otomatis pada saat saldo rekening
giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk memenuhi
kewajiban Bank atas penyelesaian akhir Kliring Debet.
(3) Penggunaan FLI-RTGS dan FLI-Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dilakukan masing-masing berdasarkan kecukupan nilai surat
berharga untuk FLI yang tersedia di rekening FLI-RTGS dan FLI-Kliring.
(4) Dalam hal nilai surat berharga untuk FLI-Kliring tidak cukup untuk menutup
kewajiban penyelesaian akhir Kliring Debet sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) maka nilai surat berharga untuk FLI-RTGS yang tersedia di
rekening FLI-RTGS secara otomatis digunakan untuk menutup kewajiban
penyelesaian akhir Kliring Debet.
Pasal 7
Bank Indonesia dapat membatasi jenis-jenis transaksi yang diperkenankan untuk
menggunakan FLI.
Pasal 8
Bank Indonesia dapat mengenakan biaya atas penggunaan FLI dan/atau biaya
lainnya yang terkait dengan penggunaan FLI kepada Bank.
Pasal 9
(1) Penyelesaian FLI dilakukan secara otomatis oleh Sistem BI-RTGS setiap
terdapat transaksi masuk (incoming transaction) yang mengkredit rekening
giro …
- 7 -
giro rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia sampai dengan batas
waktu penyelesaian FLI.
(2) Bank wajib menyelesaikan FLI sampai dengan batas waktu yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
(3) Dalam hal Bank tidak dapat menyelesaikan penggunaan FLI sampai dengan
batas waktu yang ditetapkan maka terhadap nilai FLI yang tidak dapat
diselesaikan diberlakukan sebagai transaksi repo dengan Bank Indonesia
dengan jangka waktu 1 (satu) hari.
Pasal 10
(1) Bank dapat memindahkan kembali surat berharga dari rekening FLI-RTGS dan
FLI-Kliring ke rekening perdagangan di BI-SSSS dalam hal :
a. FLI telah diselesaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. surat berharga yang telah dipindahkan ke rekening FLI-RTGS tidak sedang
digunakan untuk FLI.
(2) Pemindahan kembali surat berharga dari rekening FLI-Kliring ke rekening
perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kepentingan FLI-
Kliring tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem
kliring nasional Bank Indonesia.
Pasal 11
Dalam hal FLI diberlakukan sebagai transaksi repo dengan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) maka Bank tunduk pada ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku mengenai transaksi repo dengan Bank Indonesia di
pasar sekunder.
Pasal …
- 8 -
Pasal 12
Dalam hal Bank tidak dapat menyelesaikan FLI karena kegagalan Sistem BI-RTGS
dan/atau BI-SSSS maka penyelesaian FLI dilakukan secara otomatis jika terdapat
transaksi masuk (incoming transaction) segera setelah sistem BI-RTGS dan/atau
BI-SSSS berfungsi kembali.
Pasal 13
Bank yang pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini telah
menandatangani Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan FLI harus mengganti
dengan Perjanjian Penggunaan FLI sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 14
Bank peserta kliring yang berada di wilayah Kliring yang belum menerapkan
SKNBI dapat menggunakan FLI-RTGS untuk penyelesaian akhir kliring yang
terjadi sebelum cut-off warning Sistem BI-RTGS.
Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut mengenai FLI diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 16
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/22/PBI/2005 tanggal 3 Agustus 2005 tentang Fasilitas Likuiditas Intrahari
Bagi Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 17
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 14 November 2008.
Agar …
- 9 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 14 November 2008.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 14 November 2008.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 174
DPM, DASP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 10/ 29 /PBI/2008
TENTANG
FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM
UMUM
Dalam kegiatan usaha, Bank sangat lazim mengalami kesulitan pendanaan
jangka pendek yang disebabkan ketidaksesuaian pendanaan antara arus masuk
dan arus keluar (mismatch). Dengan berlakunya penyelesaian transaksi melalui
sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) dimana
transaksi pembayaran diselesaikan satu demi satu secara seketika (real time),
Bank sangat mungkin mengalami kesulitan pendanaan dalam waktu yang sangat
pendek. Kesulitan pendanaan dimaksud sebagai akibat terjadi ketidaksesuaian
antara waktu dan atau nilai transaksi yang dikirim (outgoing transaction) dengan
transaksi yang diterima (incoming transaction). Apabila kesulitan yang dialami
oleh Bank atau beberapa Bank tersebut tidak segera diatasi, dikhawatirkan dapat
menyebabkan kemacetan pembayaran (gridlock) yang dapat mengganggu
kelancaran sistem pembayaran yang pada akhirnya dapat menimbulkan
ketidakstabilan sistem keuangan secara keseluruhan.
Untuk mengatasi timbulnya kemacetan pembayaran diatas maka Bank
Indonesia menyediakan fasilitas pendanaan untuk jangka waktu yang sangat
pendek selama waktu operasional Sistem BI-RTGS dalam bentuk Fasilitas
Likuiditas Intrahari (FLI) Bagi Bank Umum yang wajib diselesaikan oleh Bank
pada akhir hari yang sama.
Selain penyediaan FLI untuk mengatasi gridlock dalam Sistem BI-RTGS,
penyediaan FLI juga diperlukan untuk mengatasi timbulnya kewajiban
penyelesaian ….
- 2 -
penyelesaian akhir kliring debet yang ditanggung oleh Bank Indonesia sebagai
penyelenggara sistem kliring. Berkenaan dengan hal tersebut maka Bank
Indonesia memandang perlu untuk menerapkan suatu kebijakan yang
mewajibkan peserta dalam Kliring Debet untuk menyediakan pendanaan awal
(prefund) dalam bentuk dana (cash) dan atau surat berharga (collateral) pada
setiap awal hari sebelum kliring debet dimulai. Berkenaan dengan penyediaan
setoran awal dalam bentuk surat berharga tersebut maka mekanisme penyediaan,
penggunaan dan penyelesaiannya akan diberikan dalam bentuk Fasilitas
Likuiditas Intrahari khusus kliring sebagaimana Fasilitas Likuiditas Intrahari
yang sebelumnya telah disediakan oleh Bank Indonesia untuk transaksi Sistem
BI-RTGS.
Pemberian FLI ini sejalan dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia
untuk menjaga kelancaran sistem pembayaran sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008.
Pengajuan FLI dan penatausahaan surat berharga dalam rangka pengajuan
FLI telah menggunakan sarana Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement
System (BI-SSSS) yang terhubung langsung dengan Sistem BI-RTGS. Dengan
menggunakan sarana BI-SSSS diharapkan dapat mempercepat proses pengajuan
FLI dan meminimalkan resiko setelmen.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Dokumen ….
- 3 -
Dokumen pendukung yang disertakan antara lain meliputi
fotokopi Anggaran Dasar Bank atau kuasa (power of attorney)
dari kantor cabang Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di
luar negeri yang telah dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh
Bank.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kriteria pengenaan sanksi penangguhan (suspend) tunduk pada
Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Indonesia – Real Time
Gross Settlement yang berlaku dan/atau Peraturan Bank
Indonesia tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia.
Huruf c
Yang dimaksud dengan kriteria aktif adalah sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Bank
Indonesia – Scripless Securities Settlement System.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf ….
- 4 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan pendanaan awal (prefund) adalah
penyediaan dana dan/atau surat berharga oleh Bank peserta
SKNBI pada awal hari sebelum kegiatan kliring debet dimulai.
Dalam ketentuan ini, penyediaan pendanaan awal yang diatur
adalah dalam bentuk surat berharga.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Penggunaan FLI-RTGS secara otomatis dimaksudkan bahwa nilai atas
surat berharga yang direpokan yang dilakukan Bank langsung
digunakan untuk menutup ketidakcukupan saldo rekening giro Rupiah
di Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal ….
- 5 -
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Besarnya biaya penggunaan FLI dan biaya lainnya yang terkait penggunaan
FLI ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 9
Ayat (1)
Sepanjang Bank masih menggunakan FLI maka Sistem BI-RTGS
secara otomatis menggunakan dana yang berasal dari transaksi masuk
(incoming transaction) untuk terlebih dahulu menyelesaikan FLI
tersebut.
Proses penggunaan dan penyelesaian FLI berlangsung terus sampai
dengan batas akhir waktu penyelesaian FLI.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal ….
- 6 -
Pasal 12
Yang dimaksud dengan kegagalan Sistem BI-RTGS adalah kegagalan
RTGS Central Computer (RCC) sehingga seluruh Bank Peserta BI-RTGS
dan/atau Bank Indonesia tidak dapat mengirimkan transaksi dari terminal
RTGS (RT) ke RCC.
Gangguan pada salah satu atau beberapa RT dan/atau gangguan pada
jaringan RTGS yang mengakibatkan satu atau beberapa Bank Peserta BI-
RTGS tidak dapat mengirimkan transaksi ke RCC, tidak dianggap sebagai
kegagalan Sistem BI-RTGS.
Yang dimaksud dengan kegagalan Sistem BI-SSSS adalah kegagalan
System Central Computer (SCC) pada sarana BI-SSSS sehingga seluruh
Bank dan/atau Bank Indonesia tidak dapat mengirimkan transaksi dari
terminal (System Terminal/ST) ke SCC.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Pokok-pokok ketentuan yang akan diatur dalam SE BI meliputi antara
lain:
1. Tata cara penyampaian Perjanjian Penggunaan FLI;
2. Batas akhir waktu penggunaan dan penyelesaian FLI;
3. Tata cara pemindahan surat berharga dari rekening perdagangan ke
rekening FLI-RTGS dan FLI-Kliring dan sebaliknya;
4. Tata ….
- 7 -
4. Tata cara perhitungan dan pembebanan biaya penggunaan FLI
dan/atau biaya lainnya terkait penggunaan FLI.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4922
DPM, DASP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/29/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 14 November 2008 </set_date>
<effective_date> 14 November 2008 </effective_date>
<issued_date> 14 November 2008 </issued_date>
<replaced_reg> '7/22/PBI/2005' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '10/6/PBI/2008', '2/PERPPU/2008', '7/18/PBI/2005', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
- 1 -
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6 /31/PBI/2004
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KHUSUS
PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2004
DALAM BENTUK UANG KERTAS BELUM DIPOTONG
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa uang kertas berfungsi sebagai alat pembayaran, dan
sekaligus merupakan sarana bagi perkembangan numismatika
di Indonesia;
b. bahwa dalam rangka mendorong perkembangan numismatika
(koleksi uang) di Indonesia, dipandang perlu untuk
mengeluarkan uang kertas yang memiliki keunikan;
c. bahwa dalam upaya tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan
dan mengedarkan uang rupiah khusus pecahan 100.000
(seratus ribu) tahun emisi 2004 dalam bentuk uang kertas
belum dipotong;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan
Bank
Indonesia tentang
pengeluaran
dan
pengedaran uang rupiah khusus pecahan 100.000 (seratus
ribu) tahun emisi 2004 dalam bentuk uang kertas belum
dipotong;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor …
- 2 -
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tanggal 22
Juni 2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan
Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH
KHUSUS PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN
EMISI 2004 DALAM BENTUK UANG KERTAS BELUM
DIPOTONG.
Pasal 1
(1) Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah khusus pecahan
100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 dalam bentuk uang kertas belum
dipotong.
(2) Setiap lembaran uang kertas belum dipotong terdiri dari 2 (dua) lembar (bilyet)
atau 4 (empat) lembar (bilyet) uang kertas yang masih merupakan satu kesatuan.
Pasal 2
Uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan
diedarkan paling banyak :
a. 5.000 (lima ribu) lembaran yang terdiri dari 2 (dua) lembar (bilyet); dan
b. 5.000 (lima ribu) lembaran yang terdiri dari 4 (empat) lembar (bilyet).
Pasal 3 …
- 3 -
Pasal 3
(1) Setiap lembar (bilyet) uang dalam uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (2) mempunyai nilai nominal sebesar Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah).
(2) Setiap lembaran uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (2) terdiri dari :
a. 2 (dua) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar Rp200.000,00
(dua ratus ribu rupiah); atau
b. 4 (empat) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar Rp400.000,00
(empat ratus ribu rupiah).
Pasal 4
(1) Jenis lembaran uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
terdiri dari :
a. lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet) dalam bentuk persegi
panjang dan berukuran 151 mm x 130 mm;
b. lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet) dalam bentuk persegi
panjang dan berukuran 302 mm x 130 mm.
(2) Setiap lembaran uang rupiah khusus dilengkapi dengan sertifikat keaslian dari
Bank Indonesia.
(3) Bahan dan ciri setiap lembar uang yang terdapat pada uang rupiah khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah:
a. warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan
merah;
b. gambar…
- 4 -
b. gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Proklamator dan di bawahnya
dicantumkan tulisan “DR. IR. SOEKARNO” dan “DR. H.
MOHAMMAD HATTA”;
b) di antara gambar Proklamator terdapat tulisan “Teks Proklamasi
Republik Indonesia” dengan latar belakang Bendera Negara
Republik Indonesia;
c) di sebelah kiri gambar utama terdapat gambar Gedung Proklamasi;
d) di sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat
tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut
terdapat tulisan “SERATUS RIBU RUPIAH”;
e) di sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan di
sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka
nominal “100000”;
f) di atas bagian kiri gambar Gedung Proklamasi terdapat gambar
saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya
akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
g) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang
Negara Garuda Pancasila;
h) di sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam
bidang segi lima yang dicetak dengan tinta khusus (optical variable
ink) yang akan berubah warna dari warna kuning keemasan menjadi
hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu;
i) di sebelah kanan gambar utama terdapat angka tahun emisi “2004”,
tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank
Indonesia (Burhanuddin Abdullah) beserta tulisan “GUBERNUR”,
dan…
- 5 -
dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia (Aulia Pohan)
beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”;
j) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring,
dan
membentuk ornamen tertentu;
k) mikroteks dengan tulisan “Bank Indonesia” atau “BI” dan hanya
dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat di :
1) tepi kiri atas, tepi kiri tengah dan tepi kiri bawah yang membentuk
pola dasar uang dengan warna teks yang berbeda;
2) bagian tengah, di bawah teks proklamasi berbentuk lengkungan;
3) sebelah kanan gambar Proklamator DR. H. Mohammad Hatta
yang membentuk gambar bunga teratai;
4) sebelah kanan atas di sekitar gambar burung garuda dan di sebelah
kanan di bawah tanda tangan Dewan Gubernur berbentuk
lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda yaitu dari besar ke
kecil;
5) tepi kanan atas, tepi kanan tengah dan tepi kanan bawah yang
membentuk pola dasar uang dengan warna teks yang berbeda.
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Gedung Majelis Permusyawaratan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
b) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK
INDONESIA”;
c) di sebelah atas gambar utama terdapat gambar Peta Kepulauan
Indonesia yang akan memendar kekuningan di bawah sinar ultra
violet;
d) di sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN…
rangkaian garis melengkung yang
- 6 -
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN
YANG SAH DENGAN NILAI SERATUS RIBU RUPIAH”;
e) di sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan di sebelah kiri
atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “100000”;
f) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka
terletak di sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta
berwarna hitam yang akan memendar kehijauan di bawah sinar ultra
violet dan di sebelah kanan atas di
bawah tulisan “BANK
INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan
memendar kekuningan di bawah sinar ultra violet;
g) di sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi
(rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan
terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
h) di sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal “100000”
terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP. 2004”;
i) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar
gedung MPR/DPR yang akan memendar kemerahan di bawah sinar
ultra violet;
j) di sebelah kiri atas gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat mata
berupa angka nominal “100000” yang akan memendar kuning
kehijauan di bawah sinar ultra violet;
k) mikroteks dengan tulisan “Bank Indonesia” atau “BI” dan hanya
dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat di :
1) tepi kiri tengah yang berbentuk lengkungan;
2) sebelah kiri atas dan bawah masing-masing berada di belakang
angka nominal dan di bawah gedung MPR/DPR RI berbentuk
lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda yaitu dari besar ke
kecil;
3) bagian…
- 7 -
3) bagian kanan atas atap gedung MPR/DPR RI yang membentuk
pola dasar uang;
4) tepi kanan tengah yang berbentuk lengkungan.
c. bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut :
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 151 mm dan lebar 65 mm;
3. warna merah muda;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman dan
electrotype berupa ornamen;
6. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan mikro “BI
100000” yang utuh atau terpotong sebagian;
7. jenis pigmen tertentu berbentuk dua garis tanpa celah akan berubah
warna dari merah tembaga menjadi hijau dan warna biru berubah
menjadi kuning keemasan apabila dilihat dari sudut pandang tertentu.
Pasal 5
Harga uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) adalah
sebagai berikut :
a. lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet) mempunyai harga sebesar
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per lembaran;
b. lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet) mempunyai harga sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per lembaran.
Pasal 6
(1) Pengedaran uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 kepada
masyarakat…
- 8 -
masyarakat dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh
Bank Indonesia.
(2) Pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara
penjualan secara langsung dengan harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(3) Dalam keadaan tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan penjualan secara
lelang dengan harga penawaran tertinggi dari harga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5.
(4) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain meliputi :
a. penjualan perdana (diawal periode pengeluaran);
b. apabila terjadi kelebihan permintaan;
c. kondisi tertentu yang memungkinkan penjualan secara lelang untuk tujuan
penggalangan dana guna sumbangan sosial.
(5) Pelaksanaan penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank
Indonesia.
Pasal 7
Uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dijamin oleh Bank
Indonesia sebesar nilai nominal.
Pasal 8
(1) Uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah alat
pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Dalam hal uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
digunakan sebagai alat pembayaran maka setiap lembar (bilyet) bernilai
sebesar nilai nominal.
Pasal 9…
- 9 -
Pasal 9
(1) Uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yang dalam
kondisi rusak dapat dimintakan penggantian kepada Bank Indonesia.
(2) Penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk
uang rupiah bukan uang rupiah khusus.
(3) Besarnya penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung atas
dasar ukuran dari masing-masing lembar (bilyet) dengan mengacu kepada
ketentuan yang berlaku.
Pasal 10
Uang rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan
diedarkan mulai tanggal 29 Desember 2004.
Pasal 11
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Desember 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 167
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/31/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KHUSUS PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2004 DALAM BENTUK UANG KERTAS BELUM DIPOTONG </reg_title>
<set_date> 28 Desember 2004 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2004 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '6/14/PBI/2004' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/42/PBI/2016
TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN DI BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia sebagai lembaga negara dan badan
hukum publik berwenang menetapkan peraturan dalam
batas kewenangannya;
b. bahwa pembentukan peraturan di Bank Indonesia harus
dilakukan sesuai dengan prinsip pembentukan peraturan
perundang-undangan dan asas umum pemerintahan yang
baik;
c. bahwa pembentukan peraturan di Bank Indonesia perlu
didukung dengan prosedur dan metode yang baku sebagai
pedoman dalam pembentukan peraturan di Bank
Indonesia;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Pembentukan
Peraturan di Bank Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
- 2 -
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5234);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMBENTUKAN
PERATURAN DI BANK INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Peraturan adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia melalui prosedur yang diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini dan mengikat publik
dan/atau pihak internal Bank Indonesia.
2. Peraturan Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat PBI
adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia dan mengikat setiap orang atau badan dan
dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
3. Peraturan Dewan Gubernur yang selanjutnya disingkat
PDG adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh
Dewan Gubernur yang memuat aturan intern Bank
Indonesia.
4. Peraturan Anggota Dewan Gubernur yang selanjutnya
disingkat PADG adalah ketentuan hukum yang
- 3 -
ditetapkan oleh Anggota Dewan Gubernur sebagai
peraturan pelaksanaan PBI dan mengikat setiap orang
atau badan.
5. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Intern yang
selanjutnya disebut PADG Intern adalah ketentuan
hukum yang ditetapkan oleh Anggota Dewan Gubernur
yang memuat aturan intern Bank Indonesia sebagai
peraturan pelaksanaan PBI dan/atau PDG.
6. Satuan Kerja adalah entitas dalam organisasi Bank
Indonesia yang dibentuk untuk melaksanakan fungsi
dalam rangka melaksanakan tugas Bank Indonesia.
7. Satuan Kerja Pemrakarsa adalah Satuan Kerja yang
karena fungsi dan tugasnya dan/atau sesuai penugasan
Dewan Gubernur memprakarsai pembentukan Peraturan.
BAB II
TUJUAN DAN PRINSIP
Pasal 2
Tujuan pengaturan pembentukan Peraturan adalah untuk:
a. menciptakan Peraturan yang baik melalui prosedur dan
metode yang baku; dan
b. memperjelas fungsi, tugas, dan wewenang dalam
pembentukan Peraturan.
Pasal 3
Pembentukan Peraturan dilakukan berdasarkan prinsip:
a. memperhatikan penerapan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan dan asas umum pemerintahan yang
baik;
b. dilaksanakan sesuai fungsi, tugas, dan wewenang yang
dimiliki; dan
c. memenuhi akuntabilitas publik.
- 4 -
BAB III
PERATURAN DI BANK INDONESIA
Bagian Kesatu
Jenis
Pasal 4
Jenis Peraturan meliputi:
a. PBI;
b. PDG;
c. PADG; dan
d. PADG Intern.
Bagian Kedua
Materi Muatan
Pasal 5
Materi muatan PBI berisi:
a. materi yang diperintahkan oleh undang-undang untuk
diatur dengan PBI; dan/atau
b. materi untuk menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang
Bank Indonesia.
Pasal 6
(1) Materi muatan PDG berisi:
a. materi yang diperintahkan oleh undang-undang
untuk diatur dengan PDG; dan/atau
b. materi yang bersifat internal untuk menjalankan
fungsi, tugas, dan wewenang Bank Indonesia.
(2) Materi muatan PDG tidak boleh bertentangan dengan
materi muatan PBI.
- 5 -
Pasal 7
(1) Materi muatan PADG berisi:
a. materi yang didelegasikan oleh PBI;
b. materi yang bersifat teknis untuk melaksanakan PBI;
dan/atau
c. materi penjelasan lebih lanjut dari ketentuan PBI.
(2) Materi muatan PADG tidak boleh bertentangan dengan
materi muatan PBI dan PDG.
Pasal 8
(1) Materi muatan PADG Intern berisi:
a. materi yang didelegasikan oleh PDG;
b. materi yang bersifat teknis untuk melaksanakan PBI
dan/atau PDG di internal Bank Indonesia; dan/atau
c. materi penjelasan lebih lanjut dari ketentuan PBI
dan/atau PDG untuk internal Bank Indonesia.
(2) Materi muatan PADG Intern tidak boleh bertentangan
dengan materi muatan PBI, PDG, dan PADG.
Bagian Ketiga
Tahapan Pembentukan Peraturan
Pasal 9
(1) Tahapan pembentukan PBI meliputi:
a. perencanaan;
b. penyusunan;
c. pembahasan;
d. penetapan;
e. pengundangan; dan
f. penyebarluasan.
(2) Tahapan pembentukan PDG, PADG, dan PADG Intern
meliputi:
a. perencanaan;
b. penyusunan;
c. pembahasan;
d. penetapan; dan
e. pengumuman dan/atau penyebarluasan.
- 6 -
Paragraf 1
Perencanaan
Pasal 10
(1) Rencana pembentukan Peraturan ditetapkan dalam
program kerja Satuan Kerja Pemrakarsa.
(2) Rencana pembentukan Peraturan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan oleh Satuan Kerja Pemrakarsa
kepada Satuan Kerja yang melaksanakan fungsi hukum
pada awal tahun.
Pasal 11
(1) Dalam keadaan tertentu, pembentukan Peraturan dapat
dilakukan di luar program kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10.
(2) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. adanya kebutuhan yang bersifat penting dan segera;
atau
b. keadaan luar biasa atau bencana alam.
(3) Pembentukan peraturan di luar program kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
berdasarkan:
a. usulan Satuan Kerja; dan/atau
b. arahan Anggota Dewan Gubernur atau arahan Dewan
Gubernur kepada Satuan Kerja.
(4) Usulan Satuan Kerja untuk membentuk Peraturan di luar
program kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf
a paling kurang harus mendapatkan persetujuan dari
Anggota Dewan Gubernur yang membawahkan Satuan
Kerja.
- 7 -
Paragraf 2
Penyusunan
Pasal 12
(1) Dalam rangka pembentukan Peraturan, Satuan Kerja
Pemrakarsa menyusun:
a. kajian akademik atas materi pengaturan yang akan
dituangkan dalam konsep rancangan PBI dan
rancangan PDG; atau
b. pokok pikiran atas materi pengaturan yang akan
dituangkan dalam konsep rancangan PADG dan
rancangan PADG Intern.
(2) Satuan Kerja Pemrakarsa dapat mengundang Satuan
Kerja terkait dalam rangka penyusunan kajian akademik
atau pokok pikiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam kondisi tertentu, kajian atas materi pengaturan
yang akan dituangkan dalam konsep rancangan PBI dan
rancangan PDG sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dapat dibuat dalam bentuk pokok pikiran.
(4) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
meliputi:
a. keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2);
b. PBI atau PDG yang diterbitkan hanya untuk
melakukan perubahan yang bersifat sederhana atas
PBI atau PDG dan/atau merupakan dampak dari
perubahan PBI atau PDG yang lain;
c. PBI yang diterbitkan hanya untuk mempublikasikan
sesuatu dan sifatnya rutin; dan/atau
d. PBI atau PDG yang diterbitkan hanya untuk
mencabut PBI atau PDG lainnya.
(5) Format kajian akademik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bank
Indonesia ini.
- 8 -
Pasal 13
(1) Satuan Kerja Pemrakarsa menyusun:
a. pokok pengaturan PBI atau pokok pengaturan PDG
sesuai kajian akademik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a atau pokok pikiran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau
b. pokok pengaturan PADG atau pokok pengaturan
PADG Intern sesuai pokok pikiran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b.
(2) Satuan Kerja Pemrakarsa mengundang Satuan Kerja
terkait untuk membahas pokok pengaturan dalam
rancangan PBI, rancangan PDG, rancangan PADG,
dan/atau rancangan PADG Intern.
Paragraf 3
Pembahasan
Pasal 14
(1) Satuan Kerja Pemrakarsa mengajukan pokok pengaturan
PBI atau pokok pengaturan PDG sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 dalam Rapat Dewan Gubernur untuk
memperoleh persetujuan.
(2) Mekanisme dan persyaratan pengajuan pokok pengaturan
rancangan PBI atau rancangan PDG dalam Rapat Dewan
Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengacu
pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penyelenggaraan Rapat Dewan Gubernur.
Pasal 15
(1) Satuan Kerja Pemrakarsa menyusun rancangan PBI atau
rancangan PDG sesuai dengan pokok pengaturan yang
telah disetujui Rapat Dewan Gubernur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1).
(2) Satuan Kerja Pemrakarsa menyampaikan rancangan PBI
atau rancangan PDG sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) kepada Satuan Kerja yang melaksanakan fungsi
- 9 -
hukum untuk dilakukan pembahasan dalam forum legal
review.
(3) Penyampaian rancangan PBI atau rancangan PDG
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan
persetujuan Rapat Dewan Gubernur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1).
Pasal 16
Satuan Kerja Pemrakarsa mengajukan pokok pengaturan
PADG atau pokok pengaturan PADG Intern sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b kepada Anggota
Dewan Gubernur yang membawahkan Satuan Kerja
Pemrakarsa untuk memperoleh persetujuan.
Pasal 17
(1) Satuan Kerja Pemrakarsa menyusun rancangan PADG
sesuai dengan pokok pengaturan yang telah disetujui
Anggota Dewan Gubernur yang membawahkan Satuan
Kerja Pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
(2) Satuan Kerja Pemrakarsa menyampaikan rancangan
PADG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
Satuan Kerja yang melaksanakan fungsi hukum untuk
dilakukan pembahasan dalam forum legal review.
(3) Penyampaian rancangan PADG sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilampiri dengan persetujuan Anggota Dewan
Gubernur yang membawahkan Satuan Kerja Pemrakarsa.
Pasal 18
Dalam forum legal review, Satuan Kerja yang melaksanakan
fungsi hukum melakukan penelaahan atas rancangan PBI atau
rancangan PDG yang disampaikan oleh Satuan Kerja
Pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2)
dan rancangan PADG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (2) dengan memperhatikan aspek:
a. pemenuhan prinsip pembentukan Peraturan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3;
- 10 -
b. harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lain
yang berkaitan;
c. kesesuaian dengan persetujuan:
1. Rapat Dewan Gubernur untuk rancangan PBI dan
rancangan PDG; atau
2. Anggota Dewan Gubernur yang membawahkan
Satuan Kerja Pemrakarsa untuk rancangan PADG;
dan
d.
teknik penyusunan, bentuk, dan format Peraturan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia
ini.
Pasal 19
(1) Forum legal review sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
dihadiri oleh Satuan Kerja Pemrakarsa.
(2) Selain dihadiri oleh Satuan Kerja Pemrakarsa, forum legal
review sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihadiri
oleh Satuan Kerja yang terkait.
Pasal 20
Satuan Kerja
yang melaksanakan fungsi hukum
menyampaikan rancangan PBI, rancangan PDG, dan
rancangan PADG hasil pembahasan dalam forum legal review
kepada Satuan Kerja Pemrakarsa disertai penjelasan hasil
pembahasan.
Pasal 21
Satuan Kerja Pemrakarsa melakukan finalisasi rancangan PBI,
rancangan PDG, atau rancangan PADG sesuai dengan hasil
pembahasan dalam forum legal review sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20.
Pasal 22
(1) Satuan Kerja Pemrakarsa menyusun rancangan PADG
Intern sesuai dengan pokok pengaturan yang telah
disetujui Anggota Dewan Gubernur yang membawahkan
- 11 -
Satuan Kerja Pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16.
(2) Satuan Kerja Pemrakarsa dapat menyampaikan
rancangan PADG Intern kepada Satuan Kerja yang
melaksanakan fungsi hukum untuk memperoleh
masukan dari aspek hukum.
(3) Satuan Kerja yang melaksanakan fungsi hukum
menyampaikan masukan dari aspek hukum atas
rancangan PADG Intern kepada Satuan Kerja Pemrakarsa
disertai penjelasan yang diperlukan.
Paragraf 4
Penetapan
Pasal 23
(1) Satuan Kerja Pemrakarsa menyampaikan naskah final
rancangan PBI atau rancangan PDG kepada Satuan Kerja
yang melaksanakan fungsi hukum guna dilakukan
penelitian akhir khususnya mengenai kesesuaian dengan
hasil pembahasan dalam forum legal review.
(2) Dalam hal Satuan Kerja Pemrakarsa melakukan
perubahan atau penyesuaian atas rancangan PBI atau
rancangan PDG hasil pembahasan dalam forum legal
review,
Satuan Kerja Pemrakarsa
harus
menginformasikan secara tertulis kepada Satuan Kerja
yang melaksanakan fungsi hukum mengenai perubahan
atau penyesuaian dimaksud dilengkapi dengan
pertimbangan dan/atau dokumen pendukung.
(3) Dalam hal perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) sangat mendasar atau signifikan yang memerlukan
telaahan aspek hukum lebih lanjut maka perubahan
tersebut dapat dibahas kembali dalam forum legal review.
(4) Satuan Kerja yang melaksanakan fungsi hukum
menyampaikan hasil penelitian akhir sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Satuan Kerja Pemrakarsa.
- 12 -
(5) Penyampaian hasil penelitian akhir oleh Satuan Kerja yang
melaksanakan fungsi hukum sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) disertai dengan naskah final rancangan PBI
atau rancangan PDG.
Pasal 24
(1) Satuan Kerja Pemrakarsa menyampaikan naskah final
rancangan PBI dan rancangan PDG kepada Gubernur
untuk ditetapkan menjadi PBI dan PDG.
(2) Satuan Kerja Pemrakarsa menyampaikan naskah final
rancangan PADG dan rancangan PADG Intern kepada
Anggota Dewan Gubernur yang membawahkan untuk
ditetapkan menjadi PADG dan PADG Intern.
(3) Penetapan rancangan PBI dan rancangan PDG
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan rancangan
PADG dan rancangan PADG Intern sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan:
a. penandatanganan oleh Gubernur Bank Indonesia
pada PBI dan PDG setelah pembubuhan paraf oleh
Anggota Dewan Gubernur yang membawahkan
Satuan Kerja Pemrakarsa; atau
b. penandatanganan oleh Anggota Dewan Gubernur
pada PADG dan PADG Intern setelah pembubuhan
paraf oleh Pemimpin Satuan Kerja Pemrakarsa.
(4) Satuan Kerja Pemrakarsa menyampaikan laporan
penetapan PADG dan PADG Intern sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) kepada seluruh Anggota Dewan Gubernur.
Paragraf 5
Pengundangan, Pengumuman, dan
Penyebarluasan
Pasal 25
(1) PBI diundangkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
- 13 -
(2) Bank Indonesia menyebarluaskan PBI melalui web Bank
Indonesia, sarana informasi hukum internal Bank
Indonesia, dan/atau media lain.
Pasal 26
Bank Indonesia mengumumkan PADG dalam Berita Negara
Republik Indonesia dan menyebarluaskan PADG melalui web
Bank Indonesia, sarana informasi hukum internal Bank
Indonesia, dan/atau media lain.
Pasal 27
Bank Indonesia menyebarluaskan PDG dan PADG Intern
melalui sarana informasi hukum internal Bank Indonesia.
BAB IV
PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 28
(1) Dalam rangka penyusunan rancangan PBI dan rancangan
PADG, Satuan Kerja Pemrakarsa mengundang instansi,
lembaga, atau pihak lain yang terkait untuk memperoleh
masukan secara lisan dan/atau tertulis.
(2) Permintaan masukan kepada instansi, lembaga, atau
pihak lain yang terkait sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan sebelum:
a.
b.
rancangan PBI dimintakan persetujuan RDG; atau
rancangan PADG dimintakan persetujuan Anggota
Dewan Gubernur yang membawahkan Satuan Kerja
Pemrakarsa.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku untuk penyusunan rancangan PBI dan rancangan
PADG yang memuat kebijakan Bank Indonesia yang
bersifat rahasia dan/atau yang berdampak negatif apabila
diketahui oleh publik sebelum kebijakan tersebut
dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
- 14 -
BAB V
TEKNIK PENYUSUNAN, BENTUK, DAN
FORMAT PERATURAN
Pasal 29
(1) Penyusunan rancangan Peraturan dilakukan sesuai
dengan:
a.
teknik
penyusunan Peraturan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bank
Indonesia ini; dan
b. bentuk dan format Peraturan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Dalam hal terdapat perubahan mengenai teknik
penyusunan Peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dan/atau bentuk dan format Peraturan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, perubahan
tersebut diatur dengan PADG.
BAB VI
ATURAN KEBIJAKAN
Pasal 30
Dalam hal diperlukan, untuk melaksanakan PBI, PDG, PADG,
atau PADG Intern, Satuan Kerja dapat membentuk aturan
kebijakan yang bersifat sangat teknis dalam bentuk petunjuk
teknis.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
(1) Semua Surat Edaran Bank Indonesia yang bersifat
mengatur ekstern yang sudah ada sebelum Peraturan
Bank Indonesia ini berlaku, harus dimaknai sebagai
PADG.
- 15 -
(2) Semua Surat Edaran Bank Indonesia yang bersifat
mengatur intern yang sudah ada sebelum Peraturan Bank
Indonesia ini berlaku, harus dimaknai sebagai PADG
Intern.
Pasal 32
(1) Semua Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia yang
bersifat mengatur ekstern, yang sudah ada sebelum
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, harus dimaknai
sebagai PBI.
(2) Semua Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia yang
bersifat mengatur intern, yang sudah ada sebelum
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, harus dimaknai
sebagai PDG.
Pasal 33
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Peraturan Dewan Gubernur Nomor 1/1/PDG/1999
tanggal 18 Mei 1999 tentang Tata Tertib Penyusunan
Peraturan Perundang-undangan Bank Indonesia; dan
b. ketentuan mengenai jenis dokumen Bank Indonesia yang
bersifat pengaturan sebagaimana diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 11/38/INTERN tanggal 29
Juni 2009 perihal Pengaturan Dokumen Bank Indonesia,
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/72/INTERN
tanggal 27 November 2015 perihal Perubahan Kedua atas
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/38/INTERN
tanggal 29 Juni 2009 perihal Pengaturan Dokumen Bank
Indonesia,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 34
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2
Januari 2017.
- 16 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 November 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 November 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 257
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/42/PBI/2016
TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN DI BANK INDONESIA
I. UMUM
Kedudukan Bank Indonesia sebagai badan hukum publik dan lembaga
negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang yang mengatur mengenai
Bank Indonesia, membawa konsekuensi yuridis logis bahwa Bank
Indonesia berwenang menerbitkan Peraturan di Bank Indonesia yang
merupakan pelaksanaan atau amanat dari undang-undang yang mengatur
mengenai Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya
yang terkait dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia secara langsung
maupun tidak langsung.
Dalam rangka menyempurnakan ketentuan mengenai pembentukan
peraturan perundang-undangan, undang-undang telah mengatur prinsip
pembentukan peraturan perundang-undangan dan asas umum
pemerintahan yang baik. Sejalan dengan hal tersebut, ketentuan yang
mengatur mengenai Peraturan mulai dari proses dan tata cara
pembentukan sejak tahap perencanaan sampai dengan penerbitannya,
serta materi yang diatur perlu pula dilakukan penyempurnaan. Selain itu,
untuk membentuk Peraturan yang baik, diperlukan berbagai persyaratan
yang berkaitan dengan asas, prinsip dasar, tata cara penyiapan dan
pembahasan, teknik penyusunan, dan pemberlakuannya.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Pembentukan Peraturan perlu secara optimal dan konsisten
memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik dan mencerminkan asas materi muatan peraturan
perundang-undangan sesuai dengan undang-undang yang
berlaku dengan menyesuaikan pada kebutuhan pelaksanaan
tugas Bank Indonesia serta memperhatikan asas umum
pemerintahan yang baik.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pembentukan Peraturan dilakukan dengan tata cara dan
prosedur yang baik dan benar dengan mempertimbangkan
kebutuhan hukum dan dapat dilaksanakan, agar setiap
Peraturan dapat dipertanggungjawabkan kepada pemangku
kepentingan Bank Indonesia.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “materi muatan PBI” antara lain:
a. ketentuan yang bersifat memberikan kewajiban, memberikan
hak, dan/atau fasilitas kepada pihak tertentu;
b. persyaratan dan/atau proses pokok perizinan;
c. pengawasan dan pelaporan; dan
d. sanksi administratif yang berlaku dan mengikat publik.
- 3 -
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “materi muatan PDG” antara lain:
a. ketentuan yang bersifat memberikan kewajiban,
memberikan hak, dan/atau fasilitas kepada Anggota Dewan
Gubernur dan pegawai;
b. pemberian wewenang kepada Anggota Dewan Gubernur dan
pegawai tertentu di Bank Indonesia; dan
c.
sanksi administratif yang berlaku dan mengikat intern.
Ayat (2)
Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa
secara hierarki PBI lebih tinggi dari PDG, namun dimaksudkan
untuk menjadi pedoman penerapan dalam hal terdapat suatu
kondisi untuk hal yang sama terjadi pengaturan yang berbeda
antara PBI dan PDG. Dalam hal ini PBI lebih diutamakan karena
PBI mengikat pihak eksternal.
Pasal 7
Ayat (1)
Contoh materi muatan PADG yaitu tata cara dan mekanisme
perizinan dan tata cara pengenaan sanksi administratif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Contoh materi muatan PADG Intern yaitu tata cara dan
mekanisme perizinan dan tata cara pengenaan sanksi
administratif yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan tugas di
internal Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyampaian rencana pembentukan peraturan yang dilakukan
pada awal tahun mencakup pembentukan peraturan yang telah
tercantum dalam kontrak kinerja Satuan Kerja Pemrakarsa
maupun yang tidak tercantum tetapi telah direncanakan oleh
Satuan Kerja Pemrakarsa.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penting dan segera” antara lain:
1. suatu keadaan yang memerlukan respon kebijakan
segera di bidang moneter, sistem pembayaran dan
pengelolaan uang Rupiah, dan/atau stabilitas sistem
keuangan, khususnya makroprudensial;
2. suatu keadaan yang apabila tidak segera diatur
memiliki potensi risiko mengganggu efektivitas
pelaksanaan tugas dan kewenangan Bank Indonesia;
3. suatu keadaan yang memiliki potensi risiko terhadap
personil, sistem operasional, dan/atau aset Bank
Indonesia yang dapat menyebabkan terganggunya
pelaksanaan tugas Bank Indonesia; dan/atau
4. dalam hal terdapat pemberlakuan undang-undang yang
diundangkan kemudian, yang menurut pertimbangan
Bank Indonesia memerlukan penerbitan PBI, PDG,
PADG, dan/atau PADG Intern oleh Bank Indonesia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “keadaan luar biasa” adalah suatu
keadaan antara lain perang, kerusuhan massa, konflik,
terorisme, dan sabotase.
Yang dimaksud dengan “bencana alam” adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
- 5 -
disebabkan oleh alam antara lain gempa bumi, tsunami,
gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor, yang memiliki potensi risiko terhadap:
1. sistem moneter, sistem pembayaran dan pengelolaan
uang Rupiah, dan/atau stabilitas sistem keuangan,
khususnya makroprudensial sehingga membutuhkan
pengaturan segera oleh Bank Indonesia untuk
mengantisipasinya; atau
2. personil, sistem operasional, dan/atau aset Bank
Indonesia sehingga menyebabkan terhentinya atau
terganggunya kegiatan operasional Bank Indonesia
dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai bank
sentral.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kajian akademik” adalah uraian
mengenai konsepsi dan penjelasan atas substansi atau
pokok pengaturan dan keterkaitan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lain, yang akan
dituangkan dalam PBI dan PDG berdasarkan hasil penelitian
atau pengkajian yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah sesuai dengan format penyusunan yang ditetapkan
dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pokok pikiran” adalah uraian
tentang substansi atau pokok pengaturan dan keterkaitan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lain, yang akan dituangkan dalam PADG dan PADG Intern
berdasarkan hasil penelitian atau pengkajian yang dapat
dipertanggungjawabkan. Bentuk pokok pikiran dapat
- 6 -
mengacu pada format penyusunan kajian akademik yang
disesuaikan dengan kebutuhan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Masukan dari Satuan Kerja terkait dilakukan antara lain dalam
rangka sinkronisasi dan harmonisasi dengan ketentuan lain
dan/atau pemberian pendapat dari aspek perancangan
peraturan.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
- 7 -
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Masukan dari aspek hukum oleh Satuan Kerja yang
melaksanakan fungsi hukum tidak dilakukan dalam forum legal
review.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dokumen pendukung perubahan atau penyesuaian naskah final
rancangan PBI atau rancangan PDG hasil pembahasan dalam
forum legal review antara lain keputusan RDG terkait dengan
substansi perubahan atau penyesuaian PBI atau PDG yang
bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Hasil penelitian akhir antara lain memuat informasi bahwa
naskah final rancangan PBI atau rancangan PDG telah:
a. diharmonisasikan dengan berbagai ketentuan lain yang
terkait; dan
b. disusun sesuai dengan kaidah legal drafting sebagaimana
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (5)
Naskah final rancangan PBI atau rancangan PDG yang
disampaikan oleh Satuan Kerja yang melaksanakan fungsi
- 8 -
hukum merupakan naskah final rancangan PBI atau rancangan
PDG yang telah disesuaikan dengan hasil penelitian akhir.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
PADG dan PADG Intern dilaporkan kepada seluruh anggota
Dewan Gubernur karena penetapan PADG dan PADG Intern
hanya ditetapkan oleh Anggota Dewan Gubernur yang
membawahkan Satuan Kerja Pemrakarsa.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Yang dimaksud dengan “Berita Negara Republik Indonesia” adalah
Berita Negara Republik Indonesia yang diterbitkan oleh Perum
Percetakan Negara Republik Indonesia.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak lain yang terkait” antara lain
asosiasi, badan, komisi, atau perorangan yang dinilai kompeten
memberikan masukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 9 -
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Aturan kebijakan (beleidsregel) dapat berupa pedoman yang memuat
petunjuk teknis untuk pelaksanaan suatu kegiatan di satuan kerja
atau unit kerja tertentu. Walaupun aturan kebijakan (beleidsregel)
bukan merupakan aturan hukum dan tidak termasuk sebagai jenis
peraturan sebagaimana dimaksud dalam PBI ini, aturan kebijakan
(beleidsregel) tersebut harus dipedomani oleh setiap pihak yang terkait
agar pelaksanaan tugas dapat berjalan tertib.
Contoh muatan petunjuk teknis adalah pedoman penyusunan nota
kesepahaman dan perjanjian kerja sama di Bank Indonesia.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Surat Edaran Bank Indonesia Intern yang sudah ada sebelum
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sifatnya mengatur oleh
karena itu dimaknai sebagai “Peraturan”.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5954
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/42/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PEMBENTUKAN PERATURAN DI BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 28 November 2016 </set_date>
<effective_date> 2 Januari 2017 </effective_date>
<issued_date> 30 November 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '17/72/INTERN|SE-BI/2015', '11/38/INTERN|SE-BI/2009', '1/1/PDG/1999' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '12/UU/2011' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/ 29 /PBI/2004
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH
PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa peningkatan kegiatan masyarakat dalam melakukan
transaksi tunai, perlu didukung dengan ketersediaan uang
rupiah yang memadai dan mudah dikenali ciri-ciri
keasliannya sebagai alat pembayaran yang sah;
b. bahwa ketersediaan uang rupiah yang memadai dan mudah
dikenali ciri-ciri keasliannya tersebut, dipandang perlu untuk
meningkatkan unsur pengaman pada uang rupiah pecahan
20.000 (dua puluh ribu);
c. bahwa untuk meningkatkan unsur pengaman pada uang
rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu), dipandang perlu
untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas rupiah
pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, perlu menetapkan Peraturan
Bank Indonesia tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang
Kertas Rupiah Pecahan 20.000 (dua puluh ribu) Tahun
Emisi 2004;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia.....
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tanggal 22
Juni 2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan
Penarikan serta Pemusnahan Uang Rupiah
(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4388);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS
RUPIAH PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU) TAHUN
EMISI 2004.
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah pecahan 20.000
(dua puluh ribu) tahun emisi 2004 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah
negara Republik Indonesia.
Pasal 2
Macam uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan jenis uang
kertas yang terbuat dari bahan serat kapas.
Pasal 3 .....
Pasal 3
Harga uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mempunyai nilai
nominal Rp20.000,00 (dua puluh ribu rupiah).
Pasal 4
Ciri uang rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 adalah :
a. warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan hijau;
b. gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional, dan di bawahnya
dicantumkan tulisan “OTO ISKANDAR DI NATA”;
b) di sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan di
sebelah kanan dengan arah vertikal, terdapat angka nominal “20000”;
c) di sebelah kiri gambar utama atau tepat di bawah angka nominal
“20000” terdapat gambar saling
isi (rectoverso) yang apabila
diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia
secara utuh;
d) di sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat
tulisan “BANK INDONESIA” dan tepat di bawah tulisan tersebut
terdapat tulisan “DUA PULUH RIBU RUPIAH”;
e) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara
Garuda Pancasila;
f) di sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam bidang
segi lima yang dicetak dengan tinta khusus (optical variable ink) yang
akan berubah .....
akan berubah warna dari warna magenta menjadi warna hijau apabila
dilihat dari sudut pandang tertentu;
g) di sebelah kanan gambar utama terdapat angka tahun emisi “2004”,
tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank
Indonesia (Burhanuddin Abdullah) beserta tulisan “GUBERNUR”,
dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia (R.Maulana
Ibrahim) beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”;
h) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung
membentuk ornamen tertentu;
yang
i) mikroteks dengan tulisan “Bank Indonesia” yang hanya dapat dibaca
dengan bantuan kaca pembesar yang terdapat di :
1) sebelah kanan gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata
yang berbentuk garis vertikal dari atas ke bawah;
2) sebelah kanan atas di sekitar gambar burung garuda dan di sebelah
kanan bawah tanda tangan Dewan Gubernur berbentuk lengkungan
dengan ukuran teks yang berbeda yaitu dari besar ke kecil.
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Pemetik Teh;
b) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK
INDONESIA”;
c) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN
YANG SAH DENGAN NILAI DUA PULUH RIBU RUPIAH”;
ESA, BANK INDONESIA
d) di sebelah .....
d) di sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan di sebelah kiri atas
dengan arah vertikal terdapat angka nominal “20000”;
e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak
di sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam
yang akan memendar kehijauan di bawah sinar ultra violet dan di
sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK INDONESIA” dicetak
dengan tinta berwarna merah yang akan memendar kekuningan di
bawah sinar ultra violet;
f) di sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi
(rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat
logo Bank Indonesia secara utuh;
g) di sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal “20000”
terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP. 2004”;
h) di sebelah kiri bawah tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata
berupa gambar sehelai daun teh yang memendar kehijauan di bawah
sinar ultra violet ;
i) di sebelah kiri atas gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat mata
berupa angka nominal “20000” yang akan memendar kuning kehijauan
di bawah sinar ultra violet;
j) mikroteks dengan tulisan “Bank Indonesia” yang hanya dapat dibaca
dengan bantuan kaca pembesar yang terdapat di :
1) sebelah kiri atas dan bawah, berbentuk lengkungan dengan ukuran
teks yang berbeda yaitu dari besar ke kecil;
2) tepi bagian atas dan bawah pada sisi sebelah kiri dan kanan uang
yang berbentuk diagonal.
c. bahan .....
c. bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut :
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 147 mm dan lebar 65 mm;
3. warna hijau muda;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata;
6. benang pengaman berbentuk anyaman.
Pasal 5
Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan
mulai tanggal 29 Desember 2004.
Pasal 6
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 17 Desember 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 163
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/29/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2004 </reg_title>
<set_date> 17 Desember 2004 </set_date>
<effective_date> 17 Desember 2004 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '6/14/PBI/2004' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/23/PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NO.5/3/PBI/2003
TANGGAL 4 FEBRUARI 2003 TENTANG FASILITAS PEMBIAYAAN
JANGKA PENDEK BAGI BANK SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa fasilitas untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka
pendek dapat diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank
sepanjang memiliki agunan
berlaku;
sesuai
dengan ketentuan yang
Mengingat:
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai
fasilitas pembiayaan jangka pendek bagi Bank Syariah dalam
suatu Peraturan Bank Indonesia;
1. Undang-undang Nomor
7 Tahun
1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang.....
-2-
2. Undang-undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang No.3 Tahun
2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERUBAHAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NO.5/3/PBI/2003 TANGGAL 4 FEBRUARI 2003 TENTANG
FASILITAS PEMBIAYAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK
SYARIAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/3/PBI/2003 tanggal
4 Februari 2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 13, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4261) diubah sebagai berikut:
1. Pasal 4 dihapus.
2. Pasal 5 ayat (2) huruf b diubah sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 5
(1) FPJPS wajib dijamin dengan agunan milik bank yang bersangkutan,
yang berkualitas tinggi, mudah dicairkan,
prinsip syariah dan tercatat di Bank Indonesia.
tidak bertentangan dengan
(2) Agunan…….
-3-
(2) Agunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa:
a. SWBI yang mempunyai sisa jangka waktu sekurang-kurangnya 3
(tiga) hari kerja pada saat FPJPS jatuh waktu; dan atau
b. surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan pemerintah
berdasarkan prinsip syariah.
(3) Pengaturan surat berharga dan atau tagihan lain sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf b ditetapkan kemudian dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal: 3 Agustus 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 70
DPbS
-4-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK NDONESIA NOMOR: 7/23/PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NO.5/3/PBI/2003
TANGGAL 4 FEBRUARI 2003 TENTANG FASILITAS PEMBIAYAAN
JANGKA PENDEK BAGI BANK SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
UMUM
Dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 tidak lagi ditentukan secara jelas persyaratan
tingkat kesehatan bagi bank pemohon FPJPS melainkan persyaratan agunan yang
berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang diterbitkan oleh Pemerintah atau
badan hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian
lembaga pemeringkat yang kompeten dan sewaktu-waktu dengan mudah dapat
dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai, sehingga peraturan Bank Indonesia
yang mengatur FPJPS perlu melakukan penyesuaian.
Selain itu dalam rangka mendukung efektifitas pelaksanaan Sistem Kliring
Nasional maka diperlukan harmonisasi ketentuan Fasilitas Likuiditas Intrahari
(FLI) yang sangat terkait dengan ketentuan FPJPS dimana ketentuan dalam FLI
tidak lagi mensyaratkan tingkat kesehatan bank pemohon.
PASAL ........
-5-
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4520
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/23/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NO.5/3/PBI/2003 TANGGAL 4 FEBRUARI 2003 TENTANG FASILITAS PEMBIAYAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK SYARIAH </reg_title>
<set_date> 3 Agustus 2005 </set_date>
<effective_date> 3 Agustus 2005 </effective_date>
<changed_reg> '5/3/PBI/2003' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/13/PBI/2005
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM
BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka mewujudkan sistem perbankan yang sehat
dan mampu bersaing secara nasional dan internasional, maka
diperlukan
penyesuaian
struktur
permodalan yang
sejalan
dengan karakteristik kegiatan usaha bank umum berdasarkan
prinsip Syariah yang mengarah kepada penerapan standar
internasional;
b. bahwa ketentuan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang
telah ada belum sepenuhnya sejalan dengan karakteristik
kegiatan usaha bank umum berdasarkan prinsip Syariah;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diperlukan penyesuaian
terhadap ketentuan tentang Kewajiban
Penyediaan Modal
Minimum Bank Umum berdasarkan prinsip Syariah dalam
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun …
-2 -
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN
PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip Syariah.
2. Unit …
-3 -
2. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja di
kantor
pusat
konvensional yang berfungsi
bank umum yang melaksanakan kegiatan
sebagai kantor
usaha
secara
induk dari Kantor Cabang
Syariah dan atau Unit Syariah, atau unit kerja di Kantor Cabang dari suatu
bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari Kantor Cabang
Pembantu Syariah dan atau Unit Syariah.
3. Risiko Penyaluran Dana (credit risk) adalah risiko kerugian yang diderita
bank akibat tidak dapat memperoleh kembali tagihannya atas pinjaman yang
diberikan atau investasi yang dilakukan Bank.
4. Risiko Pasar (market risk) adalah risiko kerugian pada posisi neraca dan
rekening administratif akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi
pasar.
5. Risiko Nilai Tukar (foreign exchange risk) adalah risiko kerugian akibat
perubahan nilai tukar mata uang termasuk perubahan harga emas dari posisi
Bank dalam Banking Book.
6. Banking Book adalah semua elemen/posisi lainnya yang dinilai dari harga
perolehan dan ditujukan untuk investasi atau dicairkan pada saat jatuh tempo
(held to maturity).
Pasal 2
(1) Bank wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% (delapan perseratus)
dari aktiva tertimbang menurut risiko.
(2) UUS wajib menyediakan modal minimum dari aktiva tertimbang menurut
risiko dari kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah.
(3) Dalam …
-4 -
(3) Dalam hal modal minimum UUS kurang dari 8% (delapan perseratus) dari
aktiva tertimbang menurut
risiko maka kantor
konvensional
pusat
bank umum
dari UUS wajib menambah kekurangan modal minimum
sehingga mencapai 8% (delapan perseratus) dari aktiva tertimbang menurut
risiko, sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) adalah
Risiko Penyaluran Dana dan Risiko Pasar (market risk).
(5) Risiko Pasar yang diperhitungkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini adalah
Risiko Nilai Tukar (foreign exchange risk).
BAB II
ASPEK PERMODALAN
Pasal 3
(1) Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, bagi Bank terdiri dari:
a. modal inti (tier 1);
b. modal pelengkap (tier 2); dan
c. modal pelengkap tambahan (tier 3).
pelengkap (tier 2)
(2) Modal
sebagaimana
dan modal
dimaksud pada ayat (1)
pelengkap tambahan (tier 3)
huruf b dan c hanya dapat
diperhitungkan setinggi-tingginya sebesar 100% (seratus perseratus) dari
modal inti.
(3) Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a
dan huruf b
diperhitungkan dengan faktor pengurang yang berupa seluruh penyertaan
yang dilakukan Bank.
(4) Modal …
-5 -
(4) Modal bagi UUS dari bank yang berkantor pusat di dalam negeri dan di luar
negeri adalah dana yang disisihkan oleh kantor pusat bank untuk kegiatan
usaha berdasarkan prinsip Syariah.
Pasal 4
(1) Modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a terdiri dari:
a. modal disetor, dan
b. cadangan tambahan modal (disclosed reserve).
(2) Modal inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperhitungkan dengan
faktor pengurang berupa pos goodwill.
(3) Cadangan tambahan modal (disclosed reserve) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b terdiri dari:
a. Faktor Penambah, yaitu:
1. Agio saham;
2. Modal Sumbangan;
3. Cadangan Umum;
4. Cadangan Tujuan;
5. Laba tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan pajak;
6. Laba tahun berjalan setelah diperhitungkan taksiran pajak sebesar
50% (lima puluh perseratus);
7. Selisih lebih penjabaran laporan keuangan kantor cabang luar
negeri;
8. Dana setoran modal;
b. Faktor Pengurang, yaitu:
1. Disagio;
2. Rugi tahun-tahun lalu;
3. Rugi …
-6 -
3. Rugi tahun berjalan;
4. Selisih kurang penjabaran laporan keuangan kantor cabang luar
negeri; dan
5. Penurunan nilai penyertaan pada portofolio yang tersedia untuk
dijual.
(4) Dalam perhitungan laba atau rugi tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) harus dikeluarkan pengaruh perhitungan pajak tangguhan (deferred
tax).
(5) Modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b
terdiri dari:
a. Selisih penilaian kembali aktiva tetap;
b. Cadangan umum dari penyisihan penghapusan aktiva produktif setinggi-
tingginya 1,25% (seratus dua puluh lima per sepuluhribu) dari aktiva
tertimbang menurut risiko;
c. Modal
pinjaman yang memenuhi
kriteria
Bank
Indonesia yaitu
pinjaman yang didukung oleh instrumen atau warkat yang mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut:
1. berdasarkan prinsip Qardh;
2.
tidak
3.
dijamin oleh bank
penerbit
(issuer) dan sifatnya
dipersamakan dengan modal serta telah dibayar penuh;
tidak dapat dilunasi atau ditarik atas inisiatif pemilik, tanpa
persetujuan Bank Indonesia; dan
4. mempunyai kedudukan yang sama dengan modal dalam hal jumlah
kerugian bank melebihi saldo laba dan cadangan-cadangan yang
termasuk modal inti, meskipun bank belum dilikuidasi.
d. Investasi …
-7 -
d.
Investasi Subordinasi
setinggi-tingginya sebesar 50% (lima puluh
perseratus) dari modal inti dengan memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. berdasarkan prinsip mudharabah atau musyarakah;
2. ada perjanjian tertulis antara bank dengan investor;
3. mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia, dalam
hubungan ini
pada
saat
Bank mengajukan
permohonan
persetujuan, Bank harus menyampaikan program pembayaran
kembali investasi subordinasi tersebut;
4.
tidak dijamin oleh Bank yang bersangkutan dan telah disetor
penuh;
5. minimal berjangka waktu 5 (lima) tahun;
6. pelunasan sebelum jatuh tempo harus mendapat persetujuan dari
Bank Indonesia, dan dengan pelunasan tersebut permodalan Bank
tetap sehat; dan
7. dalam hal terjadi likuidasi hak tagihnya berlaku paling akhir dari
segala pinjaman yang ada (kedudukannya sama dengan modal).
e. Peningkatan nilai penyertaan pada portofolio yang tersedia untuk dijual
setinggi-tingginya sebesar 45% (empat puluh lima perseratus).
Pasal 5
(1) Modal pelengkap tambahan (tier 3) dalam perhitungan kewajiban penyediaan
modal minimum hanya dapat digunakan untuk memperhitungkan Risiko
Pasar.
(2) Modal pelengkap tambahan (tier 3) dalam perhitungan kewajiban penyediaan
modal minimum adalah investasi subordinasi jangka pendek yang memenuhi
kriteria Bank Indonesia sebagai berikut :
a. berdasarkan …
-8 -
a. berdasarkan prinsip mudharabah atau musyarakah;
b.
tidak dapat dibayar
tidak dijamin oleh Bank yang bersangkutan dan telah disetor penuh;
c. memiliki jangka waktu perjanjian sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun;
d.
perjanjian pinjaman dengan persetujuan Bank Indonesia;
e.
terdapat klausula yang mengikat (lock-in clausule) yang menyatakan
bahwa tidak dapat dilakukan penarikan angsuran pokok, termasuk
pembayaran saat
sebelum jadwal waktu yang ditetapkan dalam
jatuh tempo, apabila pembayaran dimaksud dapat
f.
menyebabkan kewajiban penyediaan modal minimum Bank tidak
memenuhi ketentuan yang berlaku;
terdapat
perjanjian
penempatan
termasuk jadwal pelunasannya; dan
g. memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
(3) Modal pelengkap tambahan (tier 3) untuk memperhitungkan Risiko Pasar
hanya dapat digunakan dengan memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.
tidak melebihi 250% (dua ratus lima puluh perseratus) dari bagian
modal inti yang dialokasikan untuk memperhitungkan Risiko Pasar;
b.
jumlah modal pelengkap (tier 2) dan modal pelengkap tambahan (tier 3)
setinggi-tingginya sebesar 100% (seratus perseratus) dari modal inti.
(4) Modal pelengkap (tier 2) yang tidak digunakan dapat ditambahkan untuk
modal
pelengkap tambahan (tier 3) dengan memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
(5) Investasi subordinasi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (5) huruf d yang
melebihi 50% (lima puluh perseratus) modal inti, dapat digunakan sebagai
komponen …
investasi
subordinasi
yang
jelas
-9 -
komponen modal pelengkap tambahan (tier 3) dengan tetap memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
BAB III
ASPEK RISIKO PENYALURAN DANA
Pasal 6
Aktiva tertimbang menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri
dari:
a.
aktiva neraca yang diberikan bobot sesuai kadar risiko penyaluran dana yang
melekat pada setiap pos aktiva, yaitu :
1. kas, emas, penempatan pada Bank Indonesia dan commemorative coins
diberi bobot 0% (nol perseratus);
b. beberapa pos
2. penempatan pada bank lain diberi bobot 20% (dua puluh perseratus);
3. persediaan, aktiva ijarah, nilai bersih aktiva tetap dan inventaris, antar
kantor aktiva, dan rupa-rupa aktiva diberi bobot 100% (seratus persen).
dalam daftar kewajiban komitmen dan kontinjensi (off-
balancesheet account) yang diberikan bobot dan sesuai dengan kadar risiko
penyaluran dana yang melekat pada setiap pos setelah terlebih dahulu
diperhitungkan dengan bobot faktor konversi yaitu :
1. L/C yang masih berlaku (tidak termasuk standby L/C) diberi bobot 20%
(dua puluh perseratus);.
jaminan bank yang
2.
diterbitkan bukan dalam rangka pemberian
pembiayaan dan atau piutang, dan fasilitas pembiayaan yang belum
digunakan yang disediakan kepada nasabah sampai dengan akhir tahun
untuk …
-10 -
untuk tahun takwim yang berjalan diberi bobot 50% (lima puluh
perseratus);
3.
jaminan (termasuk standby L/C) dan risk sharing dalam rangka
pemberian pembiayaan, serta endosemen atau aval surat-surat berharga
berdasarkan prinsip syariah diberi bobot 100% (seratus perseratus).
Pasal 7
(1) Aktiva tertimbang menurut
risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
untuk aktiva produktif dibedakan sebagai berikut :
a. penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif yang sumber
dananya berasal dari dana pihak ketiga dengan prinsip mudharabah
muthlaqah berdasarkan sistem bagi untung atau rugi (profit and loss
sharing method) diberikan bobot sebesar 1% (satu perseratus);
b. penyaluran dana dalam berbagai
bentuk
aktiva produktif yang
beragunan yang sumber dananya berasal dari modal sendiri dan/atau
dana pihak ketiga dengan prinsip wadiah, qardh dan mudharabah
muthlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (revenue sharing) yang
dibedakan sebagai berikut:
1.
diberikan atau dijamin oleh pemerintah atau bank sentral diberikan
bobot sebesar 0% (nol perseratus);
2. diberikan atau dijamin oleh bank lain diberikan bobot sebesar 20%
(dua puluh perseratus);
3. diberikan atau dijamin oleh swasta penetapan bobot berdasarkan
peringkat (rating) yang
bersangkutan.
dimiliki
oleh perusahaan yang
c. penyaluran …
-11 -
c. penyaluran dana dalam bentuk piutang untuk kepemilikan rumah yang
dijamin oleh hak tanggungan pertama dan bertujuan untuk dihuni yang
sumber dananya berasal dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga
dengan prinsip wadiah, qardh dan mudharabah muthlaqah berdasarkan
sistem bagi pendapatan (revenue sharing) diberikan bobot sebesar 35%
(tiga puluh lima perseratus);
d. penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif yang tidak
beragunan (venture capital) yang sumber dananya dari wadiah, modal
sendiri, qardh dan mudharabah muthlaqah diberikan bobot sebesar
150% (seratus lima puluh perseratus);
(2) Peringkat (rating) yang menjadi dasar pemberian bobot risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 3 atau setara diklasifikasikan sebagai
berikut:
a. perusahaan dengan peringkat AAA sampai dengan AA- diberikan bobot
sebesar 20% (dua puluh perseratus);
b. perusahaan dengan peringkat A+ sampai dengan A- diberikan bobot
sebesar 50% (lima puluh perseratus);
c. perusahaan dengan peringkat BBB+ sampai dengan BBB- diberikan
bobot sebesar 100% (seratus perseratus);
d. perusahaan dengan peringkat BB+ sampai dengan B- diberikan bobot
sebesar 100% (seratus perseratus);
e. perusahaan dengan peringkat dibawah B- diberikan bobot sebesar 150%
(seratus lima puluh perseratus);
f.
perusahaan yang tidak memiliki peringkat (unrated) diberikan bobot
sebesar 100% (seratus perseratus).
Pasal 8 …
-12 -
Pasal 8
Peringkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dilakukan oleh lembaga
pemeringkat (rating agency) yang diakui oleh Bank Indonesia.
Pasal 9
Surat berharga Syariah yang termasuk dalam Banking Book ditetapkan bobot
ATMR sebagai berikut:
a. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) atau Surat Berharga yang
diterbitkan oleh Pemerintah, ditetapkan sebesar 0% (nol perseratus);
b. Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank (Sertifikat IMA), ditetapkan
sebesar 20% (dua puluh perseratus); dan
c. Surat
berharga lainnya berdasarkan prinsip Syariah diberikan
berdasarkan peringkat (rating) yang dimiliki
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (2).
bobot
oleh perusahaan penerbit
BAB IV
ASPEK RISIKO PASAR
Pasal 10
(1) Bank wajib menyusun dan menerapkan kebijakan dan pedoman risiko pasar
sebagai bagian dari kebijakan dan pedoman manajemen risiko Bank.
(2) Kebijakan dan pedoman risiko pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib diterapkan secara konsisten dan tidak bertentangan dengan prinsip
Syariah.
Pasal 11 …
-13 -
Pasal 11
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia yang dimiliki Bank tidak diperhitungkan dalam
Risiko Pasar.
Pasal 12
(1) Bank hanya dapat memiliki surat berharga Syariah untuk tujuan investasi.
(2) Dalam hal bank mengalami kesulitan likuiditas, surat berharga Syariah yang
dimiliki Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijual sebelum
jatuh tempo.
Pasal 13
Bank wajib memperhitungkan Risiko Pasar (market
risk) dalam kewajiban
penyediaan modal minimum dengan menggunakan metode standar (standard
method).
Pasal 14
(1) Perhitungan risiko nilai
tukar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
dilakukan terhadap seluruh aktiva Bank yang tercatat dalam Banking Book;
(2) Pembebanan modal dalam rangka perhitungan Risiko Nilai Tukar dilakukan
sebesar 8% (delapan perseratus) dari posisi devisa neto yang dimiliki.
Pasal 15
Bank dilarang melakukan distribusi modal atau laba yang dapat mengakibatkan
kondisi permodalan Bank tidak mencapai rasio sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1).
BAB V …
-14 -
BAB V
PELAPORAN
Pasal 16
(1) Bank wajib melaporkan perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum
sesuai ketentuan ini secara bulanan sesuai dengan format yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia terlampir.
(2) Pelaporan sebagaimana diatur pada ayat (1) harus sudah disampaikan kepada
Bank Indonesia selambat-lambatnya tanggal 21 pada bulan berikutnya setelah
bulan laporan yang bersangkutan.
(3) Alamat penyampaian laporan kepada Bank Indonesia sebagai berikut:
a. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. MH Thamrin No.2 Jakarta 10110,
bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia; atau
b. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar
wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia;
BAB VI
SANKSI
Pasal 17
(1) Bagi Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana diatur dalam
Pasal 16 ayat (2)
dikenakan sanksi kewajiban membayar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan dengan
maksimum sanksi sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah);
(2) Bank …
sebesar
-15 -
(2) Bank yang telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetap
diwajibkan untuk menyampaikan laporan dimaksud;
tidak memenuhi kewajiban
yang
penyediaan modal minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia ini
dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa teguran
tertulis dan ketentuan tindak lanjut pengawasan dan penetapan status bank.
(4) Bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat
(3), Peraturan Bank Indonesia ini
dikenakan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 berupa teguran tertulis dan atau penghentian ekspansi
pembukaan kantor Bank.
(5) Bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16 ayat (1) Peraturan Bank
Indonesia ini dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 Undang-undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
berupa teguran tertulis, penurunan tingkat kesehatan, penggantian pengurus,
dan atau terkait dengan pembekuan kegiatan usaha atau pencabutan izin
usaha (exit policy).
(3) Bank
BAB VII …
-16 -
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 18
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Bank sampai dengan periode
laporan bulan November 2005, tetap diwajibkan untuk memenuhi kewajiban
penyediaan modal minimum sebesar 8% sesuai ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 3/21/PBI/2001 tanggal 13 Desember 2001 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4158) dan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 5/12/PBI/2003 tanggal 17 Juli 2003 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Dengan Memperhitungkan Risiko
Pasar (Market Risk) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4306).
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 20
(1) Peraturan Bank Indonesia ini diberlakukan sejak pelaporan data bulan
Desember 2005 yang disampaikan pada bulan Januari 2006 .
(2) Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank
Indonesia Nomor 3/21/PBI/2001 tanggal
13 Desember
2001 tentang
Kewajiban …
-17 -
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4158) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/12/PBI/2003 tanggal
17 Juli 2003 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
Dengan Memperhitungkan Risiko Pasar (Market Risk) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4306) dinyatakan tidak berlaku bagi bank umum
yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
(3) Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 10 Juni 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 47
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK NDONESIA
NOMOR: 7/13/PBI/2005
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM
BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
UMUM
Pengaturan
rasio kewajiban modal minimum untuk
bank umum
berdasarkan prinsip Syariah ditetapkan dengan mempertimbangkan karakteristik
yang khas dari bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah,
perubahan standar akuntansi keuangan yang berlaku dan adanya perubahan yang
terjadi
dalam standar internasional
risiko
terbesar
dengan menggunakan metode yang
distandarisasi dalam perhitungan risiko penyaluran dana (standard approach).
Mengingat
dalam perbankan
nasional
adalah
risiko
penyaluran dana maka pada saat ini rasio penyediaan kewajiban modal minimum
bank umum berdasarkan prinsip Syariah disamping memperhitungkan faktor
risiko penyaluran dana juga memperhitungkan faktor risiko lainnya seperti risiko
pasar (market risk) dan pada waktunya juga risiko operasional (operasional risk)
pada perhitungan rasio kewajiban penyediaan modal minimum.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 …
-2 -
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Perhitungan modal minimum bagi UUS hanya dipergunakan sebagai
observed factor dalam rangka pengawasan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyertaan Bank merupakan faktor pengurang dalam perhitungan modal
yang berarti bahwa seluruh kegiatan penyertaan Bank harus seluruhnya
didukung dengan modal Bank. Hal ini dilakukan mengingat perhitungan
modal Bank belum dilakukan secara konsolidasi.
Dengan diperhitungkannya Penyertaan Bank sebagai pengurang pada
Modal Bank maka nilai Penyertaan tidak diperhitungkan lagi dalam
perhitungan …
-3 -
perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko yaitu dengan diberi bobot
risiko sebesar 0% (nol perseratus).
Dalam pengertian Penyertaan Bank, tidak termasuk penyertaan modal
sementara yang berasal dari restrukturisasi pembiayaan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "dana yang disisihkan" termasuk modal kerja
yang disisihkan oleh kantor pusat Bank sebagai modal kerja untuk
Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, dan atau Unit Syariah.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Di dalam komponen modal disetor
pemegang
saham
tidak termasuk pengakuan
modal yang dipesan (subscribed capital stock) yang berasal dari
piutang
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 21
tentang Akuntansi Ekuitas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Angka 1 sampai dengan Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5 dan Angka 6
Yang …
sebagaimana dimaksud dalam
-4 -
Yang dimasukkan dalam komponen laba tahun-tahun lalu
dan laba tahun berjalan adalah nilai setelah diperhitungkan
taksiran pajak,
melakukan kompensasi kerugian
kecuali apabila diperbolehkan
sesuai
ketentuan
perpajakan yang berlaku.
Kekurangan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva
produktif oleh Bank merupakan komponen biaya yang
dibebankan pada laba tahun berjalan.
Angka 7
Selisih lebih penjabaran laporan keuangan Kantor Cabang
dapat terjadi karena
perbedaan mata
dipergunakan dalam laporan keuangan.
Angka 8
Yang dimaksud dengan “dana setoran modal” adalah dana
yang telah disetor penuh untuk tujuan penambahan modal
namun belum didukung dengan kelengkapan persyaratan
untuk dapat digolongkan sebagai modal
untuk
uang yang
disetor seperti
pelaksanaan rapat umum pemegang saham maupun
pengesahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang.
Untuk dapat diperhitungkan sebagai dana setoran modal
maka dana tersebut harus ditempatkan pada rekening khusus
(escrow account) dan tidak boleh ditarik kembali oleh
Pemegang Saham dan harus disetujui Bank Indonesia.
Dalam hal dana setoran modal berasal dari calon pemilik
Bank maka jika berdasarkan penelitian Bank Indonesia,
calon …
-5 -
calon pemilik Bank atau dana tersebut tidak memenuhi
syarat sebagai pemegang saham atau modal, maka dana
tersebut tidak dapat dianggap sebagai komponen modal, dan
dapat ditarik kembali oleh calon pemilik.
Huruf b
Angka 1 sampai dengan Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Selisih kurang penjabaran laporan keuangan Kantor Cabang
dapat terjadi karena
perbedaan mata
dipergunakan dalam laporan keuangan.
Angka 5
Sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku,
pencatatan dalam pos ini dilakukan berdasarkan nilai pasar
(mark to market).
Dengan demikian pos ini merupakan selisih kurang antara
harga pasar dengan nilai perolehan atas Penyertaan Bank
pada perusahaan yang sahamnya tercatat di Pasar Modal.
Ayat (4)
Pajak tangguhan (deferred tax) merupakan transaksi yang timbul
sebagai akibat penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK) Nomor 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan.
Dengan dikeluarkannya dampak pajak tangguhan dari perhitungan laba
atau rugi tahun berjalan maka aktiva pajak yang ditangguhkan tidak
diperhitungkan …
uang yang
-6 -
diperhitungkan dalam perhitungan aktiva tertimbang menurut
yaitu dengan diberi bobot risiko sebesar 0% (nol perseratus).
risiko
Ayat (5)
Huruf a
Selisih penilaian kembali aktiva tetap tidak dapat dikapitalisasi ke
dalam modal disetor dan atau dibagikan sebagai saham bonus dan
atau dividen.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Investasi Subordinasi dalam Laporan bulanan bank Syariah disebut
sebagai pinjaman subordinasi.
Huruf e
Sesuai
dengan
standar akuntansi
keuangan yang berlaku,
pencatatan dalam pos ini dilakukan berdasarkan nilai pasar (mark
to market). Dengan demikian pos ini merupakan selisih lebih
antara harga pasar dengan nilai perolehan atas Penyertaan Bank
pada perusahaan yang sahamnya tercatat di Pasar Modal.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
-7 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan:
“aktiva produktif” adalah penanaman dana Bank baik dalam rupiah
maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, piutang, pinjaman
dengan prinsip qardh, penempatan, penyertaan modal, penyertaan
modal sementara, komitmen dan kontinjensi pada transaksi rekening
administratif serta Sertifikat Wadiah Bank Indonesia;
“mudharabah muthlaqah” adalah prinsip Syariah dalam perjanjian
antara penanam dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan
usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak
berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya dimana Bank
diberikan kebebasan oleh pihak pemilik dana untuk menanamkan
dananya;
“wadiah” …
-8 -
“wadiah” adalah prinsip Syariah dalam perjanjian penitipan dana antara
pemilik dana dengan pihak yang dipercaya untuk menjaga dana
penitipan tersebut;
“qardh” adalah prinsip Syariah dalam perjanjian pinjam meminjam
dana antara bank Syariah sebagai pemberi pinjaman dengan pihak
peminjam yang mewajibkan pihak peminjam melakukan pembayaran
pokok pinjaman dengan cara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu
tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia tidak diperhitungkan dalam Risiko Pasar
karena Sertifikat Wadiah Bank Indonesia merupakan bukti penitipan dana
wadiah sehingga tidak dapat diperjual belikan (non negotiable).
Pasal (12) …
-9 -
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tujuan investasi” adalah surat berharga Syariah
dimiliki Bank sampai dengan jatuh tempo (held to maturity).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan posisi devisa neto adalah posisi devisa neto
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku
tentang posisi devisa neto bank umum.
Pasal 15
Yang dimaksud dengan distribusi modal atau laba antara lain pembayaran
dividen, pembelian kembali saham Bank (treasury stock) dan pembayaran
bonus kepada pengurus (management
fee). Apabila dalam periode
kepengurusan yang bersangkutan Bank menunjukkan kinerja yang membaik
namun kondisi permodalan tidak memungkinkan untuk membayar bonus
kepada pengurus (management fee), maka pembayaran bonus dapat ditunda
sampai dengan kondisi permodalan Bank memungkinkan untuk dilakukan
pembayaran bonus (management fee).
Pasal 16 …
-10 -
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Sanksi administratif dalam pengawasan khusus merujuk kepada PBI
No.6/9/PBI/2004 tanggal 26 Maret
Pengawasan dan Penetapan Status Bank
2004 tentang Tindak Lanjut
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “Bank” pada ayat ini adalah bank konvensional
yang merupakan kantor pusat dari UUS.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19 …
-11 -
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4501
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/13/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 10 Juni 2005 </set_date>
<effective_date> 10 Juni 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '3/21/PBI/2001', '5/12/PBI/2003' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/ 3 /PBI/2001
TENTANG
PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN
PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa Bank Indonesia mempunyai tugas menetapkan
dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran serta mengatur dan mengawasi
bank untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah;
b. bahwa sistem devisa bebas yang diterapkan di Indonesia telah
mempercepat perkembangan dan terintegrasinya pasar
keuangan Indonesia dengan pasar keuangan global termasuk
meningkatkan transaksi rupiah antara bank dengan warga
negara asing, badan hukum asing atau badan asing lainnya,
warga negara Indonesia yang memiliki status permanen residen
negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, perwakilan
negara asing dan lembaga internasional di Indonesia, dan
kantor Bank atau badan hukum Indonesia di luar negeri;
c. bahwa transaksi rupiah antara bank dengan pihak-pihak
sebagaimana disebut dalam huruf b di atas, yang dilakukan
melalui transaksi derivatif dan pemberian kredit serta diikuti
dengan kegiatan spekulasi dapat menimbulkan gejolak nilai
tukar rupiah, sehingga menghambat pencapaian
nilai rupiah dan sistem keuangan;
kestabilan
d. bahwa…
-2-
d. bahwa untuk mengurangi gejolak nilai tukar rupiah dan sebagai
langkah kehati-hatian dalam upaya menjamin integritas
dan stabilitas sistem keuangan Indonesia yang mendukung
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan maka diperlukan
pengaturan mengenai pembatasan transaksi rupiah dan
pemberian kredit valuta asing oleh bank dalam suatu Peraturan
Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembar-an Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3844);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: PERATURAN
BANK
INDONESIA
TENTANG
PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN PEMBERIAN
KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK
BAB I …
-3-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998;
2. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan secara tunai baik dalam rupiah
maupun valuta asing, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga;
3. Penempatan Dana adalah penempatan dana pada Bank lain dalam bentuk giro,
call money, deposito berjangka, sertifikat deposito dan penempatan lainnya,
serta penempatan pada lembaga keuangan bukan bank baik untuk kepentingan
bank maupun nasabah;
4. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas kredit,
atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari
penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan
pasar uang;
5. Transaksi Antar Kantor adalah semua tagihan (aktiva) yang dimiliki Bank
terhadap kantor pusat atau kantor cabang di luar negeri baik untuk kepentingan
bank maupun nasabah;
6. Penyertaan adalah penanaman dana bank dalam bentuk saham pada perusahaan
tidak melalui pasar modal, serta
dalam
bentuk
sementara pada perusahaan debitur untuk mengatasi kegagalan kredit;
7. tranksaksi …..
penyertaan modal
-4-
7. Transaksi Derivatif adalah suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang
nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari yaitu suku
bunga dan nilai tukar dalam bentuk transaksi forward, swap dan option valuta
asing terhadap rupiah dan transaksi lainnya yang dapat dipersamakan dengan
itu;
8. Transaksi Forward adalah suatu kontrak untuk melakukan transaksi pembelian
atau penjualan valuta asing terhadap rupiah yang penyerahannya dilakukan
dalam waktu lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi;
9. Transaksi Swap adalah suatu kontrak untuk melakukan transaksi pertukaran
valuta asing terhadap rupiah melalui pembelian tunai dengan penjualan
kembali secara berjangka, atau penjualan tunai dengan pembelian kembali
secara berjangka;
10. Transaksi Option adalah suatu kontrak yang memberikan hak dan bukan
kewajiban untuk membeli atau menjual valuta asing terhadap rupiah di masa
yang akan datang dengan harga yang telah ditentukan pada saat transaksi
dilakukan.
BAB II
PELARANGAN DAN PEMBATASAN TRANSAKSI
Pasal 2
(1) Bank dilarang melakukan transaksi-transaksi tertentu dengan:
a. warga negara asing;
b. badan hukum asing atau badan asing lainnya;
c. warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap (permanent
resident) negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia;
d. perwakilan ….
-5-
d. perwakilan negara asing dan lembaga internasional di Indonesia;
e. kantor Bank/badan hukum Indonesia di luar negeri.
(2) Transaksi-transaksi tertentu yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) meliputi :
a. Pemberian Kredit, cerukan, dalam rupiah dan atau valuta asing kepada
pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);
b. Penempatan Dana dalam rupiah kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), termasuk transfer rupiah ke bank di luar negeri;
c. Pembelian Surat-surat Berharga dalam rupiah yang diterbitkan oleh pihak-
pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);
d. Transaksi Antar Kantor dalam rupiah;
e. Penyertaan dalam rupiah kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
(3) Bank dilarang melakukan tindakan-tindakan yang secara langsung atau tidak
langsung mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan dalam
Pasal 2 ini.
Pasal 3
(1) Bank hanya dapat melakukan Transaksi Derivatif valuta asing terhadap rupiah
dengan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) sampai
batas maksimum nominal tertentu setiap saat, baik untuk setiap transaksi
individual maupun posisi (outstanding) Transaksi Derivatif per Bank.
(2) Batas maksimum nominal baik untuk setiap transaksi individual maupun
posisi (outstanding) Transaksi Derivatif per Bank sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan sebesar USD 3.000.000,- (tiga juta US
dolar) atau ekivalen dan apabila diperlukan perubahan atas batas maksimum
nominal tersebut akan ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(3) Jenis ...
-6-
(3) Jenis Transaksi Derivatif yang dibatasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) meliputi :
a. Transaksi forward jual, termasuk transaksi valuta tomorrow dan spot yang
di-rollover dan disintetiskan sebagai forward jual valuta asing;
b. Transaksi swap jual termasuk di dalamnya overnite swap dan tom next;
dan atau
c. Transaksi option untuk jual valuta asing call atau beli valuta asing put
terhadap rupiah.
(4) Pembatasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila
dilakukan untuk keperluan lindung-nilai (hedging) dalam rangka investasi di
Indonesia oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(5) Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) wajib disertai
dengan dokumen-dokumen pendukung kegiatan investasi yang bersangkutan
secara lengkap.
(6) Nilai Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) hanya dapat
dilakukan dengan nilai maksimum sebesar nilai yang tercantum dalam
dokumen pendukung.
(7) Dokumen pendukung transaksi yang dipergunakan dalam rangka investasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) wajib disimpan oleh Bank guna
kepentingan pemeriksaan di kemudian hari (post audit) oleh Bank Indonesia.
(8) Bank dilarang melakukan tindakan-tindakan yang secara langsung atau
tidak langsung mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan
dalam Pasal 3 ini.
BAB III…
-7-
BAB III
PELAPORAN
Pasal 4
(1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan Transaksi Derivatif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) selambat-lambatnya pukul 23.30
WIB pada hari yang bersangkutan melalui Sistem Pusat Informasi Pasar Uang
(PIPU) dengan lengkap dan benar.
(2) Bank bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan isi laporan serta
ketepatan waktu penyampaian laporan kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(3) Dalam hal terjadi kesalahan pada laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) maka Bank wajib menyampaikan koreksi terhadap laporan selambat-
lambatnya pukul 16.00 WIB pada 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah tanggal
laporan.
(4) Dalam hal batas akhir penyampaian koreksi laporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) jatuh pada hari libur maka penyampaian laporan dilakukan pada
hari kerja berikutnya.
BAB IV
SANKSI
Pasal 5
(1) Bank yang melakukan pelanggaran atas ketentuan larangan untuk melakukan
transaksi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan atau
pelanggaran atas
ketentuan pembatasan Transaksi Derivatif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis dan kewajiban membayar sebagai berikut:
a. untuk...
-8-
a. untuk 1 (satu) kali pelanggaran dikenakan kewajiban membayar sebesar
10% (sepuluh perseratus) dari nilai pelanggaran;
b. untuk 2 (dua) kali pelanggaran dikenakan kewajiban membayar sebesar
20% (dua puluh perseratus) dari nilai pelanggaran;
c. untuk 3 (tiga) kali pelanggaran dikenakan kewajiban membayar sebesar
35% (tiga puluh lima perseratus) dari nilai pelanggaran;
d. untuk 4 (empat) kali pelanggaran dikenakan kewajiban membayar sebesar
60% (enam puluh perseratus) dari nilai pelanggaran;
e. untuk 5 (lima) kali pelanggaran atau lebih dikenakan kewajiban
membayar sebesar 100% (seratus perseratus) dari nilai pelanggaran.
(2) Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan frekuensi 25
(dua puluh lima) kali atau lebih dalam 1 (satu) bulan dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e ditambah dengan pembekuan
sementara kegiatan usaha tertentu Bank.
(3) Frekuensi pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diperhitungkan secara gabungan untuk setiap transaksi yang melanggar
larangan transaksi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan
atau melanggar pembatasan Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2).
Pasal 6
Pelanggaran terhadap ketentuan larangan untuk melakukan tindakan-tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (8) dikenakan
sanksi pemberhentian pengurus Bank.
Pasal 7…
-9-
Pasal 7
(1) Keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) masing-masing dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan.
(2) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1) masing-masing dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
(3) Keterlambatan penyampaian koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp.
200.000,- (dua ratus ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan.
(4) Bank yang menyampaikan laporan dengan tidak benar atau tidak lengkap
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp 500.000,- (lima ratus ribu
rupiah)
per
item kesalahan
atau
ketidaklengkapan
maksimum Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 8
(1) Bank yang pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini masih
memiliki posisi (outstanding) dari transaksi Penempatan Dana dan Pembelian
Surat-surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilarang
memperpanjang (roll over) transaksi dimaksud.
(2) Bank yang pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini masih
memiliki posisi (outstanding) dari Transaksi Antar Kantor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib menihilkan transaksi
dengan
dimaksud
selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini.
(3) Bank...
-10-
(3) Bank yang pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini masih memiliki
posisi (outstanding) dari Penyertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) wajib
menihilkan
transaksi
dimaksud selambat-lambatnya 1
(satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
(4) Bank yang pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini masih memiliki
posisi (outstanding) Transaksi Derivatif dengan pihak-pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang bukan dalam rangka investasi di
Indonesia dan melampaui batas maksimum yang diperkenankan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dilarang melakukan transaksi baru dan
dilarang memperpanjang transaksi dimaksud sampai posisinya tidak melebihi
batas maksimum yang diperbolehkan.
(5) Bank yang pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini
masih
memiliki posisi (outstanding) Transaksi Derivatif dengan pihak-pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dalam rangka investasi di
Indonesia dan melampaui batas maksimum yang diperkenankan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6), dilarang memperpanjang transaksi
dimaksud.
Pasal 9
(1) Selama sistem PIPU belum dapat menampung pelaporan seluruh Transaksi
Derivatif secara lengkap sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1), maka
bank wajib menyampaikan laporan Transaksi Derivatif harian dengan
menggunakan format pada Lampiran 1 sampai 4 dalam bentuk hardcopy
secara mingguan.
(2) Selama sistem PIPU belum dapat menampung pelaporan seluruh Transaksi
Derivatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka ketentuan tentang
sanksi atas pelaporan Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 tidak diberlakukan.
(3) Selain …
-11-
(3) Selain pelaporan dengan hard copy sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
kewajiban pelaporan Transaksi Derivatif Bank melalui sistem PIPU yang
selama ini berlaku tetap dilaksanakan sampai dengan sistem PIPU dapat
menampung seluruh Transaksi Derivatif sebagaimana diatur dalam Pasal 4
ayat (1).
(4) Mulai berlakunya pelaporan dengan menggunakan sistem PIPU sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ketentuan tentang sanksi atas pelaporan
Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 akan diberitahukan
dengan Surat Edaran Bank Indonesia dengan menyebutkan masa tenggang
waktu pemberlakuannya.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka,
- Surat Edaran kepada Direksi Bank No. 6/28/UPK, No. 6/29/UPK dan No.
6/30/UPK tanggal 13 September 1973 perihal Pemberian Kredit kepada
Perorangan/Perusahaan yang Tidak Berdomisili di Indonesia;
- Surat Edaran kepada Semua Bank di Indonesia No. 8/28/UPK tanggal 27
November 1975 perihal Pemberian Kredit kepada Perorangan ataupun Para
Pengusaha yang Tidak Berkedudukan di Indonesia;
- Surat Edaran kepada Semua Bank di Indonesia No. 11/3/UPK tanggal 22 April
1978 perihal Pemberian Kredit kepada Perusahaan Asing dalam Bidang
Perdagangan;
- Surat…
-12-
- Surat Edaran Bank Indonesia kepada Semua Peserta Kliring di Jakarta No.
28/182/UPG tanggal 28 Maret 1996 perihal Penjelasan tentang Penggunaan
Fasilitas Transaksi Pasar Uang antar Bank Sehubungan dengan Perubahan
Jadwal Kliring;
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 11
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal 12 Januari 2001
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 7
DPD, DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/3/PBI/2001
TENTANG
PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN
PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK
UMUM
Dalam rangka pembangunan ekonomi diperlukan tabungan dalam negeri baik
yang bersumber dari pemerintah maupun dari masyarakat. Mengingat kelangkaan
sumber-sumber dana dalam negeri maka mobilisasi dana terutama dana rupiah
seyogyanya ditujukan untuk keperluan pembangunan ekonomi di dalam negeri.
Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara stabilitas nilai rupiah.
Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia bertugas menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter yang dilakukan antara lain melalui pengendalian
jumlah uang beredar dan suku bunga. Efektifitas pelaksanaan tugas ini
memerlukan dukungan sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman dan andal
yang merupakan sasaran dari pelaksanaan tugas mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran. Sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman dan andal
tersebut memerlukan sistem perbankan yang sehat, yang merupakan sasaran tugas
mengatur dan mengawasi bank. Selanjutnya sistem perbankan yang sehat akan
mendukung pengendalian moneter mengingat pelaksanaan kebijakan moneter
terutama dilakukan melalui sistem perbankan.
Penerapan sistem devisa bebas di Indonesia telah mempercepat perkembangan dan
integrasi pasar keuangan Indonesia dengan pasar keuangan dunia. Perkembangan
pasar keuangan tercermin pada bertambahnya keanekaragaman produk jasa
keuangan hasil berbagai inovasi di industri keuangan dunia. Integrasi pasar
keuangan antara lain terlihat pada penggunaan mata uang domestik baik di dalam
negeri maupun luar negeri. Pada awalnya mata uang domestik di dalam negeri
digunakan pula oleh warga negara asing dan badan-badan asing, namun
selanjutnya penggunaan tersebut meluas ke luar negeri baik oleh warga negara
Indonesia dan badan-badan hukum Indonesia maupun oleh warga negara asing dan
badan-badan asing.
Sebagai akibat perkembangan dan integrasi pasar keuangan di atas, peningkatan
transaksi rupiah antara bank dengan warga negara asing dan badan-badan asing
yang terjadi dewasa ini dalam perkembangannya turut memberikan kontribusi
terhadap berbagai persoalan moneter dalam negeri, khususnya tekanan terhadap
nilai tukar rupiah.
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan upaya untuk mengurangi
tekanan yang lebih dalam atas kondisi moneter Indonesia dengan menetapkan
Pembatasan….
pembatasan-pembatasan yang diperlukan. Oleh karena itu, untuk mengurangi
dampak fluktuatif terhadap nilai rupiah, perlu dilakukan pengaturan terhadap
transaksi rupiah antara bank dengan warga negara asing, badan hukum asing atau
badan asing lainnya, warga negara Indonesia yang memiliki status permanen
residen negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, perwakilan negara asing
dan lembaga internasional di Indonesia, dan kantor Bank atau badan hukum
Indonesia di luar negeri serta pengaturan pemberian kredit valuta asing oleh bank
kepada pihak-pihak tersebut. Pembatasan transaksi rupiah antara bank dengan
pihak-pihak tersebut sebagai langkah kehati-hatian dalam melindungi integritas
dan stabilitas sistem keuangan Indonesia pada dasarnya tidak bertentangan baik
dengan ketentuan sistem devisa bebas maupun ketentuan-ketentuan internasional
yang lazim berlaku.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Dalam pengertian Bank, termasuk pula kantor cabang bank asing di
Indonesia.
Angka 2
Yang dimaksud dalam pengertian pihak lain adalah perorangan dan
bank termasuk lembaga keuangan bukan bank.
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Bagi kantor cabang bank asing, tagihan (aktiva) adalah dari kantor
cabang bank asing di Indonesia terhadap kantor pusat dan atau
kantor cabang lain di luar negeri.
Bagi bank yang berkantor pusat di Indonesia, tagihan (aktiva) adalah
dari kantor pusat dan atau kantor cabang bank di Indonesia terhadap
kantor cabang di luar negeri.
Angka 6…
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a sampai dengan huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Dalam pengertian kantor Bank termasuk kantor perwakilan
Bank.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam pengertian Kredit tidak termasuk kartu kredit dan
kredit non-tunai seperti garansi (jaminan).
Dalam pengertian cerukan meliputi pemberian kredit dan
penarikan simpanan termasuk fasilitas cerukan intra-hari.
Huruf b sampai dengan huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)…
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan posisi (outstanding) Transaksi Derivatif per
Bank adalah posisi bruto setiap saat.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang termasuk dalam kegiatan investasi di Indonesia meliputi
penyertaan langsung, pemberian kredit dan pembelian surat-surat
berharga.
Ayat (5)
Dokumen pendukung untuk kepentingan investasi :
(a) Dalam rangka penyertaan langsung sekurang-kurangnya meliputi
bukti penyertaan lengkap termasuk nominal, identitas penyetor,
identitas yang menerima penyertaan.
(b) Dalam rangka pemberian kredit sekurang-kurangnya meliputi
perjanjian kredit antara warga negara asing, badan hukum asing
atau badan asing lainnya, warga negara Indonesia yang memiliki
status permanen residen negara lain dan tidak berdomisili di
Indonesia, perwakilan negara asing dan lembaga internasional di
Indonesia, dan kantor Bank atau badan hukum Indonesia di luar
negeri dengan Warga Negara Indonesia dan atau badan hukum
Indonesia.
(c) Dalam rangka pembelian surat-surat berharga sekurang-
kurangnya meliputi :
- Bukti setoran ke perusahaan pialang pasar modal
- Surat perjanjian dengan perusahaan pialang pasar modal
- Laporan rekening pada perusahaan pialang pasar modal
- Bukti pembelian saham/obligasi
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8) …
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Keterangan dan data transaksi derivatif yang wajib dilaporkan oleh
Bank sekurang-kurangnya meliputi :
- tanggal transaksi;
- lawan transaksi;
- tujuan transaksi;
- jangka waktu;
- jenis transaksi ;
- jumlah nominal transaksi ; dan
- posisi (outstanding) transaksi derivatif bank.
Laporan dinyatakan lengkap apabila telah mencakup seluruh data
tersebut di atas.
Laporan dinyatakan tidak benar/tidak akurat apabila dari hasil
pengawasan Bank Indonesia ditemukan hal-hal yang tidak sesuai
dengan data yang dilaporkan.
Laporan transaksi derivatif wajib disampaikan oleh kantor pusat
bank atau kantor cabang bank asing di Indonesia yang merupakan
laporan konsolidasi dari seluruh kantor operasionalnya di Indonesia.
Laporan dimaksud wajib disampaikan setiap hari secara on-line
kepada Bank Indonesia melalui sarana Pusat Informasi Pasar Uang
(PIPU).
Dalam hal terjadi kerusakan pada on-line system bank atau PIPU,
bank wajib melaporkan dalam bentuk hard copy selambat-lambatnya
2 (dua) hari berikutnya pada jam kerja Bank Indonesia.
Laporan dalam bentuk hard copy disampaikan kepada Bank
Indonesia c.q. Direktorat Pengelolaan Devisa.
Bank …
Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila laporan
yang bersangkutan diterima oleh Bank Indonesia dalam waktu 3
(tiga) hari sejak berakhirnya batas waktu penyampaian laporan.
Dalam hal Bank Indonesia belum menerima laporan yang
bersangkutan setelah batas waktu tersebut maka Bank dinyatakan
tidak menyampaikan laporan.
Contoh: Laporan tanggal 5 Maret 2001 selambat-lambatnya
disampaikan melalui PIPU pukul 23.30 WIB pada hari yang sama.
Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila laporan
disampaikan setelah pukul 23.30 WIB tanggal yang bersangkutan
sampai dengan tanggal 8 Maret 2001. Dalam hal Bank Indonesia
belum menerima laporan setelah tanggal 8 Maret 2001 maka Bank
dianggap tidak menyampaikan laporan. Dalam hal terjadi kerusakan
pada on-line system Bank atau PIPU, Bank wajib menyampaikan
laporan dimaksud secara hardcopy selambat-lambatnya tanggal 7
Maret 2001.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bank dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi laporan
Transaksi Derivatif apabila laporan koreksi yang bersangkutan
diterima oleh Bank Indonesia dalam waktu 3 (tiga) hari sejak
berakhirnya batas waktu penyampaian koreksi laporan. Dalam hal
Bank Indonesia belum menerima koreksi laporan yang bersangkutan
setelah batas waktu tersebut maka Bank dinyatakan tidak
menyampaikan koreksi laporan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Frekuensi pelanggaran diperhitungkan dalam 1 (satu) tahun kalender.
Nilai pelanggaran diperhitungkan dalam rupiah. Dalam hal terjadi
pelanggaran dalam valuta asing harus dikonversi ke dalam rupiah
dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada saat tanggal
transaksi dilakukan.
Ayat (2)…
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pembekuan sementara kegiatan usaha
tertentu Bank meliputi pembekuan kegiatan pengelolaan dana
(treasury) termasuk penutupan sementara dealing room
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan pengurus Bank adalah Direktur Bank yang
bertanggung jawab untuk Bank yang berkantor pusat di Indonesia atau
pimpinan kantor cabang untuk kantor cabang bank asing di Indonesia.
Sanksi pemberhentian pengurus Bank dimaksud tidak perlu didahului
dengan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Setelah tindakan pemberhentian pengurus Bank oleh Bank Indonesia
selanjutnya Bank Indonesia menunjuk dan mengangkat pengganti
sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota
Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank
Indonesia.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …..
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Laporan mingguan adalah data dari hari Senin sampai dengan hari
Jumat disampaikan kepada Bank Indonesia cq. Direktorat
Pengelolaan Devisa selambat-lambatnya pada hari Jumat minggu
berikutnya.
Contoh : Data tanggal tanggal 5 Maret 2001 sampai dengan 9 Maret
2001 disampaikan dalam bentuk hard copy selambat-lambatnya
tanggal 16 Maret 2001.
Untuk pertama kalinya laporan disampaikan untuk periode transaksi
minggu kedua setelah Peraturan Bank Indonesia ini ditetapkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4074
Lampiran PBI No. 3/3 /PBI/2001 tgl. 12 Januari 2001
---------------------------------------------------------------
Lampiran 1
BANK …..
LAPORAN MINGGUAN
TRANSAKSI FORWARD JUAL BANK DENGAN PIHAK-PIHAK TERTENTU
TANGGAL ……s.d…….BULAN: …….
(dalam ribu USD)
Tanggal No Counterparty
...
1.
2.
...
1.
2.
...
KETERANGAN
1. Kolom Tanggal diisi tanggal transaksi.
2. Kolom Counterparty diisi dengan nama pihak lawan transaksi.
3. Kolom Tujuan Transaksi diisi dengan:
a. Investasi (dirinci Penyertaan Langsung, Pemberian Kredit, dan Pembelian Surat-surat
Berharga) atau.
b. Bukan Investasi
4. Kolom Jangka Waktu diisi dengan tenor transaksi.
5. Kolom Jumlah diisi dengan nilai individual transaksi.
4. Ekivalen valuta asing menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal transaksi
dilakukan.
5. Pihak-pihak tertentu adalah WNA, badan hukum asing atau badan asing lainnya,
WNI yang memiliki permanen residen negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia,
perwakilan negara asing dan lembaga internasional di Indonesia atau kantor
Bank/badan hukum Indonesia di luar negeri.
Tujuan Transaksi
Jangka Waktu
Jumlah
...
...
...
Lampiran PBI No. 3/3/PBI/2001 tgl. 12 Januari 2001
---------------------------------------------------------------
Lampiran 2
BANK …..
LAPORAN MINGGUAN
TRANSAKSI SWAP JUAL BANK DENGAN PIHAK-PIHAK TERTENTU
TANGGAL ……s.d……..BULAN: …….
(dalam ribu USD)
Tanggal No
...
1.
2.
...
1.
2.
...
KETERANGAN
1. Kolom Tanggal diisi tanggal transaksi.
2. Kolom Counterparty diisi dengan nama pihak lawan transaksi.
3. Kolom Tujuan Transaksi diisi dengan:
a. Investasi (dirinci Penyertaan Langsung, Pemberian Kredit, dan Pembelian Surat-surat
Berharga) atau.
b. Bukan Investasi
4. Kolom Jangka Waktu diisi dengan tenor transaksi.
5. Kolom Jumlah diisi dengan nilai individual transaksi.
6. Ekivalen valuta asing menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal transaksi
dilakukan.
7. Pihak-pihak tertentu adalah WNA, badan hukum asing atau badan asing lainnya,
WNI yang memiliki permanen residen negara lain dan tidak berdomisili di
Indonesia, perwakilan negara asing dan lembaga internasional di Indonesia atau
kantor Bank/badan hukum Indonesia di luar negeri.
Counterparty
Tujuan Transaksi
Jangka Waktu
Jumlah
...
...
...
Lampiran PBI No. 3/3/PBI/2001 tgl. 12 Januari 2001
---------------------------------------------------------------
Lampiran 3
BANK …..
LAPORAN MINGGUAN
TRANSAKSI OPTION BANK DENGAN PIHAK-PIHAK TERTENTU
TANGGAL …..s.d……BULAN: …….
(dalam ribu USD)
Tanggal No Counterparty
...
1.
2.
...
1.
2.
...
KETERANGAN
1. Kolom Tanggal diisi tanggal transaksi.
2. Kolom Counterparty diisi dengan nama pihak lawan transaksi.
3. Kolom Tujuan Transaksi diisi dengan:
a. Investasi (dirinci Penyertaan Langsung, Pemberian Kredit, dan Pembelian Surat-surat
Berharga) atau.
b. Bukan Investasi
4. Kolom Jangka Waktu diisi dengan tenor transaksi.
5. Kolom Jumlah diisi dengan nilai individual transaksi.
6. Ekivalen valuta asing menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal transaksi
dilakukan.
7. Pihak-pihak tertentu adalah WNA, badan hukum asing atau badan asing lainnya,
WNI yang memiliki permanen residen negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia,
perwakilan negara asing dan lembaga internasional di Indonesia atau kantor
Bank/badan hukum Indonesia di luar negeri.
Tujuan Transaksi
Jangka Waktu
Jumlah
...
...
...
Lampiran PBI No. 3/3/PBI/2001 tgl. 12 Januari 2001
---------------------------------------------------------------
Lampiran 4
BANK …..
LAPORAN MINGGUAN
REKAPITULASI TRANSAKSI DERIVATIF BANK DENGAN PIHAK -PIHAK TERTENTU
PER JENIS TRANSAKSI DAN TUJUAN TRANSAKSI
TANGGAL …..s/d……..BULAN …………….
(dalam ribu USD)
Forward
Tgl Invest
asi
...
...
Bukan
Investasi
...
Swap
Invest
asi
...
Bukan
Investasi
...
Option
Invest
asi
...
Bukan
Investasi
...
TOTAL
Invest
asi
...
Bukan
Investasi
...
POSISI
Bukan
Investasi
…
KETERANGAN
1. Kolom Tanggal diisi tanggal transaksi.
2. Kolom Posisi diisi dengan Posisi (outstanding) transaksi Bukan Investasi sampai
dengan tanggal yang bersangkutan.Cara perhitungan: Posisi awal hari (+/-) mutasi hari
ybs = Posisi akhir hari
3. Ekivalen valuta asing menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal transaksi
dilakukan.
4. Pihak-pihak tertentu adalah WNA, badan hukum asing atau badan asing lainnya, WNI
yang memiliki permanen residen negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia,
perwakilan negara asing dan lembaga internasional di Indonesia atau kantor
Bank/badan hukum Indonesia di luar negeri.
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 3/3/PBI/2001 </reg_id>
<reg_title> PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK </reg_title>
<set_date> 12 Januari 2001 </set_date>
<effective_date> 12 Januari 2001 </effective_date>
<replaced_reg> '6/30/UPK|SE-BI/1973', '28/182/UPG|SE-BI/1996', '8/28/UPK|SE-BI/1975', '6/28/UPK|SE-BI/1973', '11/3/UPK|SE-BI/1978', '6/29/UPK|SE-BI/1973' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '24/UU/1999', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 12/16/PBI/2010
TENTANG
SISTEM MONITORING TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa integrasi pasar keuangan domestik dengan pasar
keuangan global memunculkan berbagai tantangan dan risiko
bagi Bank Indonesia sebagai otoritas moneter;
b. bahwa dalam menghadapi tantangan dan memitigasi risiko
dibutuhkan respon kebijakan nilai tukar yang antisipatif dan
responsif dari Bank Indonesia;
c. bahwa salah satu upaya untuk mewujudkan respon kebijakan
yang cepat dan tepat sesuai dengan perkembangan pasar adalah
dengan melakukan monitoring kegiatan di pasar valuta asing
domestik secara real time;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu untuk mengatur ketentuan
mengenai sistem monitoring transaksi valuta asing terhadap
rupiah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana …
- 2 -
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SISTEM
MONITORING TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP
RUPIAH.
Pasal 1 …
- 3 -
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia,
dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh surat penunjukan dari Bank
Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing.
3. Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah yang selanjutnya
disebut SISMONTAVAR adalah sistem pemantauan transaksi valuta asing
terhadap rupiah yang dilakukan antarbank secara real time.
4. Sistem Transaksi Valuta Asing (dealing system) adalah sistem yang digunakan
oleh Bank untuk melakukan transaksi valuta asing terhadap rupiah.
5. Prosedur Konfirmasi adalah prosedur pengiriman informasi transaksi valuta
asing terhadap rupiah secara elektronis ke aplikasi SISMONTAVAR.
6. Pialang Pasar Uang adalah pialang pasar uang yang memperoleh izin dari Bank
Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing.
Pasal 2
(1) Bank Indonesia menerapkan SISMONTAVAR atas transaksi valuta asing
terhadap rupiah yang dilakukan antarbank.
(2) Penerapan SISMONTAVAR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi
Bank Devisa yang telah menggunakan Sistem Transaksi Valuta Asing.
Pasal 3 …
- 4 -
Pasal 3
(1) Bank Devisa harus menyediakan perangkat pendukung SISMONTAVAR.
(2) Bank Devisa wajib memelihara aplikasi SISMONTAVAR dalam kondisi on-line
pada saat Bank melakukan transaksi valuta asing terhadap rupiah.
(3) Bank Devisa wajib melakukan Prosedur Konfirmasi pada Sistem Transaksi
Valuta Asing yang terhubung dengan aplikasi SISMONTAVAR segera setelah
transaksi valuta asing terhadap rupiah selesai dilakukan (deal is done).
(4) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku pula untuk transaksi
valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan dengan menggunakan jasa Pialang
Pasar Uang.
(5) Dalam hal terdapat kesalahan dalam informasi transaksi setelah Prosedur
Konfirmasi dilakukan, Bank Devisa menyampaikan kepada Bank Indonesia
koreksi atas informasi transaksi segera setelah diketahui adanya kesalahan.
Pasal 4
(1) Bank Devisa yang tidak memelihara aplikasi SISMONTAVAR dalam kondisi
online pada saat melakukan transaksi valuta asing terhadap rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
(2) Bank Devisa yang tidak segera melakukan Prosedur Konfirmasi setelah transaksi
valuta asing terhadap rupiah selesai dilakukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
Pasal 5
Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 tidak berlaku dalam kondisi:
a. aplikasi SISMONTAVAR terkendala;
b. jaringan …
- 5 -
b. jaringan data terganggu;
c. kegagalan Sistem Transaksi Valuta Asing; dan/atau
d. kejadian luar biasa (force majeure).
Pasal 6
(1) Bagi Bank Devisa yang telah menggunakan Sistem Transaksi Valuta Asing
namun pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini aplikasi
SISMONTAVAR belum terpasang, tidak berlaku kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4).
(2) Bagi Bank Devisa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) mulai berlaku pada saat aplikasi
SISMONTAVAR terpasang.
Pasal 7 …
- 6 -
Pasal 7
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 September 2010.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Agustus 2010
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Agustus 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 106
DPD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 12/16/PBI/2010
TENTANG
SISTEM MONITORING TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH
I. UMUM
Integrasi pasar keuangan domestik dengan pasar keuangan global yang
berjalan cukup cepat dewasa ini memunculkan sejumlah tantangan dan risiko bagi
para pelaku pasar. Bank Indonesia selaku otoritas moneter berupaya untuk
memitigasi segala risiko tersebut dengan memberikan respon kebijakan nilai tukar
yang antisipatif dan responsif sesuai dengan perkembangan pasar valuta asing
domestik.
Dalam kerangka tersebut, perlu dilakukan penyempurnaan mekanisme
monitoring kegiatan di pasar valuta asing domestik sejalan dengan semakin
meningkatnya kebutuhan akan informasi pasar yang cepat dan akurat.
Penyempurnaan dimaksud berupa penerapan suatu pendekatan baru untuk
mendapatkan informasi tentang transaksi valuta asing antarbank melalui suatu
sistem jaringan on-line. Langkah kebijakan tersebut diharapkan dapat memberikan
kontribusi positif terhadap tugas Bank Indonesia dalam rangka menjaga stabilitas
moneter.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 …
- 2 -
Pasal 2
Ayat (1)
Transaksi valuta asing terhadap rupiah tidak termasuk jual beli uang kertas
asing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Perangkat pendukung SISMONTAVAR antara lain berupa personal
computer.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kondisi on-line” adalah kondisi dimana sistem
terhubung melalui jaringan komunikasi data dengan Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Koreksi transaksi yang disampaikan kepada Bank Indonesia dapat
dilakukan melalui media faksimile.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Huruf a
Yang dimaksud dengan “aplikasi SISMONTAVAR terkendala” adalah
kendala yang dialami oleh aplikasi SISMONTAVAR di Bank dan/atau
di Bank …
- 3 -
di Bank Indonesia yang menyebabkan informasi transaksi tidak dapat
tersampaikan kepada Bank Indonesia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “jaringan data terganggu” antara lain adalah
gangguan pada jaringan telekomunikasi yang menyebabkan aplikasi
SISMONTAVAR tidak dapat terhubung secara on-line dengan Bank
Indonesia.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kegagalan Sistem Transaksi Valuta Asing”
adalah sistem Transaksi Valuta Asing tidak dapat dioperasikan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kejadian luar biasa (force majeure)” adalah
suatu keadaan yang menyebabkan Bank tidak dapat memenuhi
kewajibannya, yaitu: gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,
angin topan, tanah longsor, kebakaran, kerusuhan massal, perang, aksi
terorisme, dan/atau pemogokan buruh.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5153
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 12/16/PBI/2010 </reg_id>
<reg_title> SISTEM MONITORING TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH </reg_title>
<set_date> 30 Agustus 2010 </set_date>
<effective_date> 1 September 2010 </effective_date>
<issued_date> 30 Agustus 2010 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 4', 'Pasal 5' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/5/PBI/2019
TENTANG
PENYELENGGARA SARANA PELAKSANAAN TRANSAKSI
DI PASAR UANG DAN PASAR VALUTA ASING
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah melalui stabilitas
moneter yang didukung oleh stabilitas sistem keuangan
dan dilakukan dengan cara menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter, makroprudensial,
serta sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah,
yang salah satunya didukung oleh pasar keuangan yang
berintegritas, adil, teratur, transparan, likuid, dan efisien;
b. bahwa untuk mewujudkan pasar keuangan yang
berintegritas, adil, teratur, transparan, likuid, dan efisien,
diperlukan penyelenggara sarana pelaksanaan transaksi
di pasar uang dan pasar valuta asing yang memiliki tata
kelola yang baik serta manajemen risiko yang efektif
sehingga dapat mengurangi risiko sistemik di pasar
keuangan, yang untuk itu diperlukan peran Bank
Indonesia untuk mengatur dan mengawasi penyelenggara
sarana pelaksanaan transaksi di pasar uang dan pasar
valuta asing;
- 2 -
c. bahwa Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/5/PBI/2003
tentang Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta
Asing sebagaimana beberapa kali telah diubah, terakhir
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/44/PBI/2005
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/5/PBI/2003 tentang Perusahaan Pialang Pasar
Uang Rupiah dan Valuta Asing sudah tidak sesuai dengan
perkembangan hukum yang ada;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggara Sarana
Pelaksanaan Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta
Asing;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana beberapa kali telah
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENYELENGGARA
SARANA PELAKSANAAN TRANSAKSI DI PASAR UANG DAN
PASAR VALUTA ASING.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di Pasar
Uang dan Pasar Valuta Asing yang selanjutnya disebut
Penyelenggara Transaksi adalah badan usaha yang
menyediakan teknologi dan menyelenggarakan sarana
untuk melaksanakan transaksi di pasar uang dan pasar
valuta asing yang sudah memperoleh izin dari Bank
Indonesia.
2. Pasar Uang adalah pasar uang sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pasar uang.
3. Pasar Valuta Asing adalah bagian dari sistem keuangan
yang berkaitan dengan kegiatan penjualan dan/atau
pembelian valuta asing terhadap rupiah.
4. Penyedia Electronic Trading Platform yang selanjutnya
disebut Penyedia ETP adalah badan usaha yang didirikan
khusus untuk menyediakan sarana tertentu yang
digunakan dalam melakukan interaksi dan/atau transaksi
di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing.
5. Electronic Trading Platform yang selanjutnya disingkat ETP
adalah sistem elektronik yang digunakan oleh pelaku pasar
sebagai sarana untuk melakukan transaksi pasar
keuangan.
6. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan
prosedur elektronik berbasis teknologi komputasi dan
telekomunikasi.
7. Pelaku Pasar adalah pelaku Pasar Uang dan pelaku Pasar
Valuta Asing.
- 4 -
8. Pelaku Pasar Uang adalah pelaku pasar uang sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pasar uang.
9. Pelaku Pasar Valuta Asing adalah pihak yang melakukan
kegiatan transaksi di Pasar Valuta Asing.
10. Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing
yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah
badan usaha yang didirikan khusus untuk menyediakan
sarana tertentu bagi kepentingan transaksi pengguna jasa
dan memperoleh imbalan atas jasanya.
11. Pengguna Jasa adalah pihak yang menggunakan jasa yang
ditawarkan oleh Penyelenggara Transaksi.
12. Telephone Trading Information System yang selanjutnya
disingkat TTIS adalah alat komunikasi yang digunakan
untuk keperluan transaksi dan dilengkapi dengan fitur
tertentu.
13. Systematic Internalisers adalah bank yang menyediakan
sarana tertentu yang digunakan dalam melakukan
transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing atas
akun milik sendiri dengan Pengguna Jasa.
14. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri dan bank umum syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah, termasuk unit usaha
syariah.
15. Penyelenggara Bursa adalah bursa berjangka sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perdagangan berjangka komoditi, yang
menyediakan sarana tertentu bagi Pengguna Jasa untuk
melakukan transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta
Asing.
16. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum,
perorangan, dan/atau kelompok usaha yang memiliki
saham Penyelenggara Transaksi sebesar 25% (dua puluh
lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang
- 5 -
dikeluarkan Penyelenggara Transaksi dan mempunyai hak
suara atau memiliki saham Penyelenggara Transaksi
kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah
saham yang dikeluarkan Penyelenggara Transaksi dan
mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan telah
melakukan pengendalian Penyelenggara Transaksi baik
secara langsung maupun tidak langsung.
BAB II
TUJUAN
Pasal 2
Bank Indonesia mengatur dan mengawasi Penyelenggara
Transaksi dengan tujuan:
a. menjaga integritas Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing;
b. mendorong terciptanya Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing
yang adil, teratur, transparan, likuid, dan efisien; dan
c. menata infrastruktur pasar keuangan yang terintegrasi
dan sejalan dengan praktik standar internasional,
untuk mendukung tercapainya stabilitas moneter.
BAB III
PENYELENGGARA TRANSAKSI, SARANA PELAKSANAAN
TRANSAKSI, DAN PENGGUNA JASA
Bagian Kesatu
Penyelenggara Transaksi
Pasal 3
(1) Penyelenggara Transaksi terdiri atas:
a. Penyedia ETP;
b. Perusahaan Pialang;
c. Systematic Internalisers; dan
d. Penyelenggara Bursa.
(2) Penyelenggara Transaksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat menyediakan sarana tertentu yang
- 6 -
digunakan dalam melakukan interaksi dan/atau transaksi
secara:
a. bilateral, yaitu antara 2 (dua) Pelaku Pasar; dan/atau
b.
multilateral, yaitu antara lebih dari 2 (dua) Pelaku
Pasar secara bersamaan.
Bagian Kedua
Sarana Pelaksanaan Transaksi
Pasal 4
(1) Sarana pelaksanaan transaksi yang disediakan oleh
Penyelenggara Transaksi berupa:
a. Penyedia ETP, yaitu ETP, messaging services,
dan/atau jenis sarana pelaksanaan transaksi lainnya;
b. Perusahaan Pialang, yaitu TTIS dengan atau tanpa
ETP dan/atau jenis sarana pelaksanaan transaksi
lainnya;
c. Systematic Internalisers, yaitu ETP dan/atau jenis
sarana pelaksanaan transaksi lainnya; dan
d. Penyelenggara Bursa, yaitu ETP dan/atau jenis
sarana pelaksanaan transaksi lainnya.
(2) Sarana pelaksanaan transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memiliki fungsi paling sedikit untuk:
a. pemantauan harga, nilai tukar, dan/atau suku bunga
terbaik dan terkini; dan
b. memublikasikan order dan kuotasi.
(3) Selain memiliki fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), sarana pelaksanaan transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memiliki salah satu fungsi untuk:
a. pelaksanaan negosiasi;
b. pelaksanaan konfirmasi transaksi;
c. pelaksanaan eksekusi transaksi di Pasar Uang dan
Pasar Valuta Asing; atau
d. pelaksanaan lelang secara langsung dan/atau tidak
langsung.
- 7 -
Bagian Ketiga
Pengguna Jasa
Pasal 5
(1) Pengguna Jasa terdiri atas:
a. Pelaku Pasar Uang; dan/atau
b. Pelaku Pasar Valuta Asing.
(2) Bank Indonesia mengatur Pengguna Jasa untuk setiap
Penyelenggara Transaksi dalam penyelenggaraan transaksi
di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa untuk
Penyelenggara Transaksi berupa Perusahaan Pialang
diatur dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB IV
PERIZINAN
Bagian Kesatu
Perizinan Penyelenggara Transaksi
Pasal 6
(1) Pihak yang menyediakan teknologi dan menyelenggarakan
sarana pelaksanaan transaksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) bagi Pengguna Jasa untuk
melakukan transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta
Asing wajib memiliki izin sebagai Penyelenggara Transaksi
dari Bank Indonesia.
(2) Izin sebagai Penyelenggara Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.
b.
izin usaha; dan
izin operasional.
(3) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
diberikan kepada:
a. Penyelenggara Transaksi berupa Penyedia ETP; dan
b. Penyelenggara Transaksi berupa Perusahaan Pialang.
- 8 -
(4) Izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b diberikan kepada:
a. Penyelenggara Transaksi berupa Systematic
Internalisers; dan
b. Penyelenggara Transaksi berupa Penyelenggara
Bursa.
(5) Izin sebagai Penyelenggara Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) memuat informasi yang meliputi:
a. jenis sarana pelaksanaan transaksi; dan
b.
jenis instrumen dan/atau jenis transaksi yang dapat
diselenggarakan oleh Penyelenggara Transaksi.
(6) Pihak yang telah memperoleh izin sebagai Penyelenggara
Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diumumkan pada laman resmi Bank Indonesia.
Pasal 7
Pelaku Pasar dilarang menggunakan jasa penyelenggara sarana
pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing
yang tidak memiliki izin dari Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Perizinan Penyedia ETP
Pasal 8
(1) Pemberian izin kepada pihak yang mengajukan
permohonan sebagai Penyelenggara Transaksi berupa
Penyedia ETP dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu:
a. persetujuan prinsip; dan
b.
izin usaha.
(2) Pihak yang mengajukan permohonan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki akta pendirian dan anggaran dasar atau
rancangan akta pendirian dan anggaran dasar bagi
pihak yang belum berbadan hukum perseroan
terbatas;
- 9 -
b. memiliki rancangan kepemilikan saham dan calon
pengurus;
c. memiliki rancangan struktur organisasi dan sumber
daya manusia;
d. memiliki rancangan rencana bisnis untuk 2 (dua)
tahun pertama yang memuat paling sedikit:
1. studi kelayakan;
2. potensi ekonomi;
3. rencana pengembangan jenis produk;
4. rencana pengembangan sistem; dan
5. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan
Pasar Valuta Asing domestik; dan
e. memenuhi persyaratan administratif lainnya.
(3) Bank Indonesia memberikan persetujuan prinsip atas
pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2).
(4) Pihak yang mengajukan permohonan izin usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki persetujuan prinsip dari Bank Indonesia;
b. berbadan hukum perseroan terbatas dengan
persyaratan kepemilikan tertentu;
c. memiliki modal disetor
paling
sedikit
Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah);
d. memiliki infrastruktur yang andal dan aman;
e. memenuhi persyaratan integritas, kompetensi,
dan/atau aspek keuangan bagi Pemegang Saham
Pengendali, anggota dewan komisaris, dan anggota
direksi;
f.
memiliki rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama
yang memuat paling sedikit:
1. studi kelayakan;
2. potensi ekonomi;
3. rencana pengembangan jenis produk;
4. rencana pengembangan sistem; dan
5. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan
Pasar Valuta Asing domestik;
- 10 -
g. memiliki kesiapan penerapan manajemen risiko
teknologi informasi yang efektif;
h. memiliki tata kelola yang baik; dan
i.
memenuhi persyaratan administratif lainnya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, dokumen
pendukung, serta tata cara pengajuan persetujuan prinsip
dan izin usaha Penyedia ETP diatur dengan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 9
(1) Persyaratan kepemilikan tertentu bagi perseroan terbatas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf b
yaitu:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia; atau
b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan
hukum asing, dengan batasan kepemilikan warga
negara asing dan/atau badan hukum asing paling
banyak 49% (empat puluh sembilan persen) dari
modal disetor.
(2) Perhitungan kepemilikan warga negara asing dan/atau
badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi kepemilikan secara langsung dan secara
tidak langsung sesuai dengan penilaian Bank Indonesia.
Pasal 10
(1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a
diajukan paling sedikit oleh salah satu anggota direksi
dalam hal pihak yang mengajukan izin sebagai
Penyelenggara Transaksi berupa Penyedia ETP sudah
berbentuk perseroan terbatas.
(2) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a
diajukan paling sedikit oleh salah satu calon pemegang
saham dalam hal pihak yang mengajukan izin sebagai
- 11 -
Penyelenggara Transaksi berupa Penyedia ETP belum
berbentuk perseroan terbatas.
Pasal 11
(1) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan
ayat (2) yang telah memperoleh persetujuan prinsip harus
mengajukan permohonan izin usaha paling lambat 270
(dua ratus tujuh puluh) hari kalender terhitung sejak
tanggal persetujuan prinsip dikeluarkan oleh Bank
Indonesia.
(2) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diajukan paling sedikit oleh salah satu anggota direksi.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) pihak yang telah mendapatkan persetujuan prinsip
belum mengajukan permohonan izin usaha maka
persetujuan prinsip yang telah dikeluarkan oleh Bank
Indonesia dinyatakan tidak berlaku.
Bagian Ketiga
Perizinan Perusahaan Pialang
Pasal 12
(1) Pemberian izin kepada pihak yang mengajukan
permohonan sebagai Penyelenggara Transaksi berupa
Perusahaan Pialang dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu:
a. persetujuan prinsip; dan
b. izin usaha.
(2) Pihak yang mengajukan permohonan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki akta pendirian dan anggaran dasar atau
rancangan akta pendirian dan anggaran dasar bagi
pihak yang belum berbadan hukum perseroan
terbatas;
b. memiliki rancangan kepemilikan saham dan calon
pengurus;
- 12 -
c. memiliki rancangan struktur organisasi dan sumber
daya manusia;
d. memiliki rancangan rencana bisnis untuk 2 (dua)
tahun pertama yang memuat paling sedikit:
1. studi kelayakan;
2. potensi ekonomi; dan
3. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan
Pasar Valuta Asing domestik; dan
e. memenuhi persyaratan administratif lainnya.
(3) Bank Indonesia memberikan persetujuan prinsip atas
pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2).
(4) Pihak yang mengajukan permohonan izin usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki persetujuan prinsip dari Bank Indonesia;
b. berbadan hukum perseroan terbatas dengan
persyaratan kepemilikan tertentu;
c. memiliki modal disetor
paling
sedikit
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah);
d. memiliki infrastruktur yang andal dan aman;
e. memenuhi persyaratan integritas, kompetensi,
dan/atau aspek keuangan bagi Pemegang Saham
Pengendali, anggota dewan komisaris, dan anggota
direksi;
f. memiliki sumber daya manusia yang kompeten;
g. memiliki rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama
yang memuat paling sedikit:
1. studi kelayakan;
2. potensi ekonomi; dan
3. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan
Pasar Valuta Asing domestik;
h. memiliki kesiapan penerapan manajemen risiko yang
efektif;
i.
j.
memiliki tata kelola yang baik; dan
memenuhi persyaratan administratif lainnya.
- 13 -
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, dokumen
pendukung, serta tata cara pengajuan persetujuan prinsip
dan izin usaha Perusahaan Pialang diatur dengan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 13
(1) Persyaratan kepemilikan tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (4) huruf b yaitu:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia; atau
b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan
hukum asing, dengan batasan kepemilikan warga
negara asing dan/atau badan hukum asing paling
banyak 49% (empat puluh sembilan persen) dari
modal disetor.
(2) Perhitungan kepemilikan warga negara asing dan/atau
badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi kepemilikan secara langsung dan secara
tidak langsung sesuai dengan penilaian Bank Indonesia.
Pasal 14
(1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a
diajukan paling sedikit oleh salah satu anggota direksi
dalam hal pihak yang mengajukan izin sebagai
Penyelenggara Transaksi berupa Perusahaan Pialang
sudah berbentuk perseroan terbatas.
(2) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a
diajukan paling sedikit oleh salah satu calon pemegang
saham dalam hal pihak yang mengajukan izin sebagai
Penyelenggara Transaksi berupa Perusahaan Pialang
belum berbentuk perseroan terbatas.
- 14 -
Pasal 15
(1) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan
ayat (2) yang telah memperoleh persetujuan prinsip harus
mengajukan permohonan izin usaha paling lambat 180
(seratus delapan puluh) hari kalender terhitung sejak
tanggal persetujuan prinsip dikeluarkan oleh Bank
Indonesia.
(2) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diajukan paling sedikit oleh salah satu anggota direksi.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) pihak yang telah mendapatkan persetujuan prinsip
belum mengajukan permohonan izin usaha maka
persetujuan prinsip yang telah dikeluarkan oleh Bank
Indonesia dinyatakan tidak berlaku.
Bagian Keempat
Perizinan Systematic Internalisers
Pasal 16
(1) Pihak yang mengajukan permohonan izin operasional
sebagai Penyelenggara Transaksi berupa Systematic
Internalisers harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berbentuk Bank;
b. memiliki infrastruktur yang andal dan aman;
c. memiliki sumber daya manusia yang kompeten;
d. memiliki kondisi finansial yang sehat sesuai dengan
ketentuan otoritas yang berwenang;
e. memiliki rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama
yang memuat paling sedikit:
1. studi kelayakan;
2. potensi ekonomi; dan
3. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan
Pasar Valuta Asing domestik;
f.
memiliki kesiapan penerapan manajemen risiko yang
efektif sesuai dengan ketentuan otoritas yang
berwenang;
- 15 -
g. memiliki tata kelola yang baik sesuai dengan
ketentuan otoritas yang berwenang;
h. memperoleh
keterangan pendaftaran
atau
i.
persetujuan atas penambahan instrumen dan/atau
transaksi dari otoritas yang berwenang; dan
memenuhi persyaratan administratif lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, dokumen
pendukung, dan tata cara pengajuan izin operasional
Systematic Internalisers diatur dengan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
Bagian Kelima
Perizinan Penyelenggara Bursa
Pasal 17
(1) Pihak yang mengajukan permohonan izin operasional
sebagai Penyelenggara Transaksi berupa Penyelenggara
Bursa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berbentuk perseroan terbatas sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai perdagangan berjangka komoditi;
b. memiliki infrastruktur yang andal dan aman;
c. memiliki kondisi finansial yang sehat;
d. memiliki rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama
yang memuat paling sedikit:
1. studi kelayakan;
2. potensi ekonomi; dan
3. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan
Pasar Valuta Asing domestik;
e. memiliki kesiapan penerapan manajemen risiko
teknologi informasi yang efektif sesuai dengan
ketentuan otoritas yang berwenang;
f.
memiliki tata kelola yang baik sesuai dengan
ketentuan otoritas yang berwenang;
g. memperoleh persetujuan atau rekomendasi dari
otoritas yang berwenang terkait penambahan
instrumen dan/atau transaksi di Pasar Uang dan
- 16 -
Pasar Valuta Asing dan/atau pengembangan sistem;
dan
h. memenuhi persyaratan administratif lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, dokumen
pendukung, dan tata cara pengajuan izin operasional
Penyelenggara Bursa diatur dengan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
Bagian Keenam
Persetujuan atas Perubahan Sarana, Instrumen, Transaksi,
Sistem Elektronik, Struktur Kepemilikan, Nama Badan Usaha,
Susunan Dewan Komisaris, dan Susunan Direksi
Pasal 18
(1) Penyelenggara Transaksi wajib memperoleh persetujuan
dari Bank Indonesia dalam hal akan melakukan
perubahan atas:
a. layanan berupa jenis sarana pelaksanaan transaksi;
b. jenis instrumen dan/atau transaksi, dan/atau
c. Sistem Elektronik
secara signifikan
menimbulkan risiko terganggunya transaksi
Pengguna Jasa.
(2) Penyelenggara Transaksi berupa Penyedia ETP dan
Perusahaan Pialang wajib memperoleh persetujuan dari
Bank Indonesia dalam hal akan melakukan perubahan
atas:
a. struktur kepemilikan badan usaha; dan/atau
b. nama badan usaha, susunan dewan komisaris
dan/atau susunan direksi.
(3) Penyelenggara Transaksi berupa Penyedia ETP dan
Perusahaan Pialang wajib memperoleh persetujuan atau
izin usaha baru dari Bank Indonesia dalam hal akan
melakukan aksi korporasi meliputi penggabungan,
peleburan, pengambilalihan, pemisahan, dan aksi
korporasi lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, dokumen
pendukung, dan tata cara permohonan persetujuan atas
yang
- 17 -
perubahan sarana, instrumen, transaksi, Sistem
Elektronik, struktur kepemilikan, nama badan usaha,
susunan dewan komisaris, dan susunan direksi diatur
dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 19
(1) Penyelenggara Transaksi berupa Perusahaan Pialang yang
mengajukan permohonan persetujuan penambahan
sarana pelaksanaan transaksi berupa ETP kepada Bank
Indonesia harus memenuhi persyaratan sebagai Penyedia
ETP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
(2) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
pula bagi pihak yang mengajukan permohonan sebagai
Penyelenggara Transaksi berupa Perusahaan Pialang
dengan TTIS dan ETP sebagai sarana pelaksanaan
transaksi.
Pasal 20
Penyelenggara Transaksi yang mengajukan permohonan
persetujuan atas perubahan jenis instrumen dan/atau
transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf
b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki infrastruktur yang andal dan aman untuk
mendukung perubahan jenis instrumen dan/atau
transaksi;
b. memperbarui rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama
sejak rencana perubahan instrumen dan/atau transaksi
yang memuat paling sedikit:
1. studi kelayakan; dan
2. potensi ekonomi;
c. memiliki kesiapan penerapan manajemen risiko yang
efektif;
d. menyampaikan hasil uji coba implementasi perubahan
sistem, dalam hal terdapat pengembangan sistem; dan
e. memenuhi persyaratan administratif lainnya.
- 18 -
Pasal 21
(1) Penyelenggara Transaksi yang akan melakukan perubahan
Sistem Elektronik secara signifikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c harus
melaporkan rencana perubahan Sistem Elektronik paling
lambat 1 (satu) tahun sebelum implementasi perubahan
kepada Bank Indonesia.
(2) Penyelenggara Transaksi wajib mengajukan permohonan
persetujuan atas perubahan Sistem Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank
Indonesia paling lambat 6 (enam) bulan sebelum
implementasi perubahan.
(3) Penyelenggara Transaksi yang mengajukan permohonan
persetujuan atas perubahan Sistem Elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c
harus menyampaikan dokumen persyaratan sebagai
berikut:
a. alasan dan deskripsi perubahan Sistem Elektronik;
b.
analisis dan mitigasi risiko perubahan Sistem
Elektronik; dan
c. persyaratan administratif lainnya.
Pasal 22
Dalam hal Penyelenggara Transaksi berupa Penyedia ETP dan
Perusahaan Pialang mengajukan permohonan persetujuan atas
perubahan struktur kepemilikan badan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a, Pemegang Saham
Pengendali
harus memenuhi persyaratan
kompetensi, dan/atau aspek keuangan.
Pasal 23
(1) Dalam hal Penyelenggara Transaksi mengajukan
permohonan persetujuan atas perubahan nama badan
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2)
huruf b, Penyelenggara Transaksi harus memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perseroan terbatas.
integritas,
- 19 -
(2) Dalam hal Penyelenggara Transaksi mengajukan
permohonan persetujuan atas perubahan susunan dewan
komisaris dan/atau susunan direksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b maka anggota
dewan komisaris dan/atau anggota direksi harus
memenuhi persyaratan integritas, kompetensi, dan/atau
aspek keuangan.
Bagian Ketujuh
Kebijakan Pembatasan Perizinan
Pasal 24
(1) Bank Indonesia dapat menetapkan kebijakan pembatasan
perizinan berdasarkan pertimbangan:
a.
terpeliharanya kestabilan moneter serta integritas
Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing;
b. mendorong terciptanya Pasar Uang dan Pasar Valuta
Asing yang likuid dan efisien; dan/atau
c. penilaian Bank Indonesia atas pemilik saham tidak
langsung sampai dengan pemegang saham akhir.
(2) Penetapan kebijakan pembatasan perizinan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk:
a. penolakan permohonan izin sebagai Penyelenggara
Transaksi;
b. pembatasan jenis instrumen dan/atau transaksi di
Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang dapat
ditawarkan oleh Penyelenggara Transaksi; atau
c. pembatasan Pengguna Jasa.
Bagian Kedelapan
Pencabutan Izin di Luar Pengenaan Sanksi
Pasal 25
(1) Bank Indonesia melakukan pencabutan izin Penyelenggara
Transaksi dalam hal:
a. Penyelenggara Transaksi dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan; atau
- 20 -
b. adanya permintaan pemegang saham Penyelenggara
Transaksi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencabutan izin
di luar pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
BAB V
JENIS INSTRUMEN DAN TRANSAKSI
Pasal 26
(1) Jenis instrumen dan/atau transaksi yang dapat
ditawarkan oleh Penyelenggara Transaksi mencakup:
a. instrumen moneter baik konvensional dan/atau
dengan prinsip syariah;
b.
transaksi di Pasar Uang baik dalam rupiah dan/atau
valuta asing termasuk dengan prinsip syariah;
c. transaksi di Pasar Valuta Asing yaitu transaksi spot,
swap, forward, dan option valuta asing terhadap
rupiah;
d. instrumen dan/atau transaksi di Pasar Uang
dan/atau Pasar Valuta Asing lainnya, sesuai dengan
persetujuan Bank Indonesia; dan/atau
e. instrumen dan/atau transaksi keuangan lainnya,
sesuai dengan persetujuan Bank Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis instrumen dan/atau
transaksi yang dapat ditawarkan oleh Penyelenggara
Transaksi diatur dengan Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
- 21 -
BAB VI
KEWAJIBAN DAN LARANGAN
Bagian Kesatu
Kewajiban Penyelenggara Transaksi
Pasal 27
(1) Penyelenggara Transaksi wajib menyampaikan informasi
kepada Bank Indonesia dalam hal:
a. dikenakan sanksi oleh otoritas terkait di dalam
dan/atau di luar negeri;
b. terdapat perjanjian pertukaran informasi yang telah
disepakati antara Penyelenggara Transaksi dengan
pihak lain atau kewajiban penyampaian informasi
kepada otoritas yang berwenang di dalam dan/atau di
luar negeri;
c.
d.
terdapat indikasi manipulasi pasar yang dilakukan
oleh Pengguna Jasa;
terdapat kejadian yang berpotensi memengaruhi
kelancaran operasional;
e. melakukan penghentian sementara kegiatan sebagai
Penyelenggara Transaksi;
f.
terjadi perselisihan antara Penyelenggara Transaksi
dengan Pengguna Jasa; dan/atau
g. terdapat informasi lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(2) Penyelenggara Transaksi wajib menyampaikan informasi
kepada Bank Indonesia dalam hal terdapat anggota dewan
komisaris dan/atau anggota direksi yang terbukti tidak
dapat menjalankan fungsinya atau berhalangan tetap.
(3) Berdasarkan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Penyelenggara Transaksi wajib mengganti anggota
dewan komisaris dan/atau anggota direksi yang
bersangkutan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian
informasi kepada Bank Indonesia diatur dengan Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
- 22 -
Pasal 28
(1) Penyedia ETP wajib memelihara total ekuitas sebesar
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Penyedia ETP yang mengalami kerugian dan
mengakibatkan penurunan total ekuitas di bawah
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) wajib
memenuhi kekurangan total ekuitas tersebut paling
lambat 2 (dua) tahun sejak penurunan total ekuitas.
(3) Penyedia ETP yang memiliki total ekuitas di bawah
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus menyampaikan rencana
penambahan kekurangan total ekuitas tersebut kepada
Bank Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan
total ekuitas diatur dengan Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Pasal 29
(1) Perusahaan Pialang wajib memelihara total ekuitas sebesar
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Perusahaan Pialang yang mengalami kerugian dan
mengakibatkan penurunan total ekuitas di bawah
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) wajib memenuhi
kekurangan total ekuitas tersebut paling lambat 2 (dua)
tahun sejak penurunan total ekuitas.
(3) Perusahaan Pialang yang memiliki total ekuitas di bawah
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus menyampaikan rencana
penambahan kekurangan total ekuitas tersebut kepada
Bank Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan
total ekuitas diatur dengan Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
- 23 -
Bagian Kedua
Konektivitas dengan Sistem Bank Indonesia
Pasal 30
Sistem Elektronik Penyelenggara Transaksi wajib terkoneksi
dengan sistem Bank Indonesia dan/atau infrastruktur lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Kewajiban Terkait Data Transaksi
Pasal 31
(1) Penyelenggara Transaksi wajib mengelola, memproses, dan
menyimpan data transaksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Penyelenggara Transaksi wajib menjaga kerahasiaan data
transaksi yang dilakukan oleh Pengguna Jasa.
(3) Penyelenggara Transaksi wajib menyediakan dan/atau
memastikan tersedianya akses serta memberikan data
transaksi untuk kepentingan pengawasan dan/atau
penegakan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Penyelenggara Transaksi wajib memelihara dan
mendokumentasikan basis data transaksi dan/atau
rekaman percakapan yang dapat didengar dan/atau
dibaca ulang oleh Bank Indonesia dengan jangka waktu
retensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Bagian Keempat
Prinsip Kehati-hatian dan Manajemen Risiko
Pasal 32
(1) Penyelenggara Transaksi wajib menerapkan prinsip kehati-
hatian dan manajemen risiko secara efektif.
- 24 -
(2) Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit terdiri atas:
a. pedoman etika bisnis sebagai Penyelenggara
Transaksi atau pedoman lain yang sejenis;
b. transparansi dan keterbukaan informasi;
c. mekanisme penyelesaian sengketa; dan
d. perlindungan konsumen.
(3) Dalam menerapkan manajemen risiko yang efektif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara
Transaksi wajib memiliki:
a. perencanaan keberlangsungan bisnis;
b. rencana pemulihan bencana; dan
c.
jaringan komunikasi yang memenuhi prinsip
kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan.
(4) Selain menerapkan kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Penyelenggara
Transaksi yang menggunakan Sistem Elektronik wajib
menerapkan manajemen risiko terkait teknologi informasi.
(5) Penyelenggara Transaksi wajib memiliki buku pedoman.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penerapan
prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko diatur dengan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kelima
Pelaporan
Pasal 33
(1) Penyelenggara Transaksi wajib menyampaikan laporan
berkala dan laporan insidental kepada Bank Indonesia.
(2) Laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. laporan transaksi bulanan;
b. laporan keuangan triwulanan;
c. laporan keuangan tahunan yang telah diaudit; dan
d. laporan audit sistem.
- 25 -
(3) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri
atas
kewajiban penyampaian informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan ayat
(2).
(4) Penyelenggara Transaksi berupa Systematic Internalisers
dan Penyelenggara Bursa dikecualikan dari kewajiban
penyampaian laporan keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b dan huruf c.
(5) Penyelenggara Transaksi berupa Perusahaan Pialang yang
hanya menggunakan sarana pelaksanaan transaksi TTIS
dikecualikan dari kewajiban penyampaian laporan audit
sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d.
(6) Laporan Penyelenggara Transaksi disampaikan secara
offline dalam hal sistem pelaporan secara online belum
tersedia.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan
Penyelenggara Transaksi diatur dengan Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
Bagian Keenam
Larangan
Pasal 34
(1) Penyelenggara Transaksi dilarang:
a. memberikan jasa di Pasar Uang dan Pasar Valuta
Asing yang tidak sesuai dengan izin Bank Indonesia;
b. memberikan saran dan/atau nasihat investasi;
c. melakukan transaksi atas namanya sendiri dan/atau
dananya sendiri;
d. melakukan transaksi atas nama pemegang saham
dan/atau dana pemegang saham;
e. melakukan penyelesaian transaksi atau setelmen
untuk Pengguna Jasa;
f. memberikan informasi nama Pengguna Jasa sebelum
transaksi disepakati; dan/atau
- 26 -
g. melakukan publikasi atas informasi yang bukan
didasarkan atas informasi Pengguna Jasa yang akan
melakukan transaksi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan untuk Systematic Internalisers.
Pasal 35
Pemegang Saham Pengendali pada 1 (satu) Penyelenggara
Transaksi dilarang menjadi Pemegang Saham Pengendali pada
Penyelenggara Transaksi lainnya.
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 36
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
Penyelenggara Transaksi.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan
otoritas lain yang berwenang.
(4) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk
melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b.
(5) Pihak lain yang ditugaskan melakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib menjaga
kerahasiaan data, informasi, dan/atau keterangan yang
diperoleh dari hasil pemeriksaan.
(6) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan terhadap penyedia teknologi yang melakukan
kerja sama dengan Penyelenggara Transaksi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan
diatur dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 27 -
Pasal 37
(1) Bank Indonesia melakukan evaluasi atas izin yang
diberikan kepada Penyelenggara Transaksi berdasarkan
hasil pengawasan dan informasi dari otoritas lain.
(2) Bank Indonesia dapat melakukan pencabutan izin
Penyelenggara Transaksi berdasarkan hasil evaluasi Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria pencabutan izin
berdasarkan hasil evaluasi Bank Indonesia diatur dengan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 38
Bank Indonesia dapat meminta data dan/atau informasi yang
diperlukan kepada Penyelenggara Transaksi untuk kepentingan
perizinan, pengawasan, dan/atau evaluasi izin.
BAB VIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 39
(1) Pihak yang menyediakan teknologi dan menyelenggarakan
sarana pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan Pasar
Valuta Asing tanpa memiliki izin dari Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dikenai
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Pelaku Pasar yang melakukan pelanggaran atas larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dikenai sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(3) Pihak lain yang ditugaskan melakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) yang
melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5) dikenai sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(4) Penyelenggara Transaksi yang tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), ayat (2),
ayat (3), Pasal 21 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), Pasal 30, Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),
- 28 -
Pasal 32 ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 33 ayat
(1), dan/atau Pasal 34 ayat (1) dikenai sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(5) Penyelenggara Transaksi yang dikenai sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa teguran
tertulis untuk:
a. pelanggaran ketentuan yang sama sebanyak 3 (tiga)
kali berturut-turut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
kalender; atau
b. pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
sebanyak 5 (lima) kali dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun kalender,
dikenai sanksi penghentian sementara atas kegiatan
sebagai Penyelenggara Transaksi.
(6) Penyelenggara Transaksi dikenai sanksi pencabutan izin
apabila
tidak melaksanakan sanksi penghentian
sementara atas kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(5).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi diatur dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 40
(1) Penyelenggara Transaksi yang tidak memenuhi kewajiban
pemenuhan total ekuitas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) dan/atau Pasal 29 ayat (1) dikenai sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(2) Penyelenggara Transaksi yang tetap tidak memenuhi
kewajiban pemenuhan total ekuitas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dan/atau Pasal 29 ayat
(2) dikenai sanksi pencabutan izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi bagi Penyelenggara Transaksi yang tidak memenuhi
kewajiban pemenuhan total ekuitas diatur dengan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 29 -
Pasal 41
(1) Pemegang Saham Pengendali yang melakukan pelanggaran
atas larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak menghilangkan kewajiban Pemegang Saham
Pengendali untuk mengalihkan sahamnya hingga menjadi
Pemegang Saham Pengendali pada 1 (satu) Penyelenggara
Transaksi.
(3) Pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
Pemegang Saham Pengendali dikenai sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali tidak
melaksanakan pengalihan saham sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Bank Indonesia mengenakan sanksi
penghentian sementara atas kegiatan Penyelenggara
Transaksi yang dikendalikan oleh Pemegang Saham
Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali tidak melakukan
pengalihan saham dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
sejak pengenaan sanksi penghentian sementara, Bank
Indonesia mencabut izin Penyelenggara Transaksi yang
dikendalikan oleh Pemegang Saham Pengendali
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi bagi Pemegang Saham Pengendali diatur dengan
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 42
(1) Izin sebagai Perusahaan Pialang yang telah dikeluarkan
oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku.
- 30 -
(2) Perusahaan Pialang yang telah memiliki izin dari Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memelihara total ekuitas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (1).
(3) Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
yang memiliki total ekuitas di bawah Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah) wajib memenuhi kekurangan total
ekuitas dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun
sejak Peraturan Bank Indonesia ini berlaku.
(4) Kepemilikan warga negara asing dan/atau badan hukum
asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf
b dikecualikan bagi Perusahaan Pialang yang telah
memiliki izin dari Bank Indonesia sebelum Peraturan Bank
Indonesia ini berlaku.
(5) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak
berlaku dalam hal Perusahaan Pialang melakukan aksi
korporasi.
(6) Pemegang saham yang telah menjadi Pemegang Saham
Pengendali pada lebih dari 1 (satu) Perusahaan Pialang
pada saat Peraturan Bank Indonesia ini berlaku tetap
dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali pada
Perusahaan Pialang tersebut.
(7) Pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
tidak dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali pada
Penyelenggara Transaksi lainnya.
Pasal 43
(1) Pihak yang menyelenggarakan kegiatan sebagai systematic
internalisers dan telah beroperasi pada saat Peraturan
Bank Indonesia ini mulai berlaku, tetap dapat melakukan
kegiatan penyelenggaraan sarana pelaksanaan transaksi di
Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing, sepanjang memenuhi
persyaratan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari kalender
sejak Peraturan Bank Indonesia ini berlaku.
(2) Pihak yang menyelenggarakan kegiatan sebagai penyedia
ETP di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dan telah
- 31 -
beroperasi pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai
berlaku, tetap dapat melakukan kegiatan penyelenggaraan
sarana pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan Pasar
Valuta Asing, sepanjang memenuhi persyaratan perizinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 paling lambat 3
(tiga) tahun sejak Peraturan Bank Indonesia ini berlaku.
(3) Pihak yang menyelenggarakan kegiatan sebagai systematic
internalisers dan penyedia ETP yang tidak dapat memenuhi
persyaratan perizinan Bank Indonesia dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
melakukan kegiatan penyelenggaraan sarana pelaksanaan
transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing.
Pasal 44
Bagi Perusahaan Pialang yang telah memiliki izin berdasarkan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/5/PBI/2003 tentang
Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing
sebagaimana beberapa kali telah diubah, terakhir dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/44/PBI/2005 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/5/PBI/2003 tentang Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah
dan Valuta Asing, untuk kewajiban pelaporan, wajib
menyesuaikan dengan ketentuan pelaporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 45
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/5/PBI/2003 tentang
Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4283);
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/20/PBI/2005 tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
- 32 -
5/5/PBI/2003 tentang Perusahaan Pialang Pasar Uang
Rupiah dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 67); dan
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/44/PBI/2005 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/5/PBI/2003 tentang Perusahaan Pialang Pasar Uang
Rupiah dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 109),
dan semua peraturan pelaksanaannya dicabut dan dinyatakan
tidak belaku pada tanggal 31 Juli 2019.
Pasal 46
Ketentuan yang mengatur mengenai Penyedia ETP dan
Systematic Internalisers mulai berlaku pada tanggal 31 Oktober
2019.
Pasal 47
Ketentuan yang mengatur mengenai Penyelenggara Bursa mulai
berlaku pada tanggal 31 Januari 2020.
Pasal 48
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31
Juli 2019.
- 33 -
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 April 2019
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 April 2019
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 72
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/5/PBI/2019
TENTANG
PENYELENGGARA SARANA PELAKSANAAN TRANSAKSI
DI PASAR UANG DAN PASAR VALUTA ASING
I. UMUM
Untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui
stabilitas moneter yang didukung oleh stabilitas sistem keuangan, Bank
Indonesia memerlukan dukungan pasar keuangan yang berintegritas, adil,
teratur, transparan, likuid, dan efisien dalam pelaksanaan kebijakan
moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan pengelolaan
uang rupiah. Pasar keuangan yang berintegritas, adil, teratur, transparan,
likuid, dan efisien dapat terwujud antara lain dengan adanya infrastruktur
pasar keuangan yang andal dan terintegrasi.
Salah satu bentuk infrastruktur pasar keuangan yaitu sarana
pelaksanaan transaksi yang merupakan tempat terbentuknya harga dan
bertemunya Pelaku Pasar. Pihak yang berperan sebagai penyedia teknologi
dan penyelenggara sarana pelaksanaan transaksi perlu memperhatikan
tata kelola yang baik dan manajemen risiko yang efektif sehingga dapat
mendorong terciptanya Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang
berintegritas, adil, teratur, transparan, likuid, dan efisien. Perwujudan
dari tata kelola yang baik antara lain dengan pemenuhan market code of
conduct, perlindungan terhadap Pengguna Jasa, dan peningkatan
transparansi harga.
- 2 -
Sarana pelaksanaan transaksi berkembang dengan pesat seiring
dengan meningkatnya kemajuan teknologi. Dampaknya, terdapat beberapa
alternatif sarana pelaksanaan transaksi berbasis Sistem Elektronik yang
digunakan oleh Pelaku Pasar dalam bertransaksi selain jenis sarana
pelaksanaan transaksi yang telah digunakan selama ini. Dengan
mempertimbangkan pesatnya perkembangan teknologi dalam sarana
penyelenggara transaksi, pentingnya menjaga tata kelola, dan mendorong
manajemen risiko yang efektif maka perlu dilakukan pengaturan terhadap
Penyelenggara Transaksi dalam suatu Peraturan Bank Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “integritas Pasar Uang dan Pasar Valuta
Asing” adalah penyelenggaraan transaksi di Pasar Uang dan Pasar
Valuta Asing yang berlandaskan nilai kode etik serta kejujuran.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang
adil” adalah pasar dengan karakteristik antara lain praktik
perdagangan yang sepatutnya, tidak ada diskriminasi terkait
akses kepada fasilitas dan informasi, serta tidak berpihak kepada
Pelaku Pasar tertentu.
Yang dimaksud dengan “Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang
teratur” adalah pasar yang kuat (robust) serta memiliki prosedur
dan sistem yang andal sehingga setelmen transaksi dapat
terlaksana sekaligus meminimalkan risiko tidak berjalannya pasar
dengan baik (market failure).
Salah satu wujud dari transparansi di Pasar Uang dan Pasar
Valuta Asing yaitu adanya keterbukaan informasi harga, nilai
tukar, dan/atau suku bunga pasar.
Indikator dari Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang likuid
antara lain kemudahan Pelaku Pasar untuk menjual atau membeli
suatu instrumen atau melakukan transaksi di Pasar Uang dan
- 3 -
Pasar Valuta Asing tanpa memengaruhi harga, nilai tukar,
dan/atau suku bunga pasar secara signifikan.
Indikator dari Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang efisien
antara lain berlangsungnya proses interaksi antara bid-offer
secara baik dan kompetitif tanpa adanya hambatan.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “messaging services” adalah alat
telekomunikasi yang digunakan sebagai sarana untuk
melakukan interaksi dan/atau transaksi di Pasar Uang
dan/atau Pasar Valuta Asing yang dapat menampilkan data
dan informasi keuangan serta dapat diintegrasikan dengan
sistem di middle office dan/atau back office yang dimiliki oleh
Pengguna Jasa.
Middle office antara lain melakukan fungsi pengukuran dan
pengawasan risiko transaksi.
Back office antara lain melakukan fungsi setelmen, kliring,
pemeliharaan rekaman, akuntansi, dan/atau jasa teknologi
informasi.
Huruf b
Fitur dari TTIS antara lain multiline, panggilan cepat,
konferensi, handsfree, riwayat panggilan, buku telepon, dan
voice broker.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
- 4 -
Huruf b
Contoh memublikasikan order melalui ETP yaitu melakukan
input jual dan/atau beli pada tingkat harga, nilai tukar,
dan/atau suku bunga (bid-offer) dengan volume tertentu yang
disampaikan oleh Pelaku Pasar secara langsung dan/atau
tidak langsung melalui Perusahaan Pialang.
Contoh memublikasikan kuotasi melalui ETP yaitu
melakukan input penawaran harga, nilai tukar, dan/atau
suku bunga (bid-offer) dengan volume tertentu kepada Pelaku
Pasar lainnya yang dilakukan secara langsung oleh Pelaku
Pasar dan/atau tidak langsung melalui Perusahaan Pialang.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pelaksanaan negosiasi” adalah
proses tawar-menawar antar-Pelaku Pasar terhadap harga,
nilai tukar, dan/atau suku bunga atas instrumen atau
transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pelaksanaan konfirmasi transaksi”
adalah proses penegasan, pengesahan, atau pembenaran
atas transaksi yang dilakukan oleh para Pelaku Pasar yang
melakukan transaksi.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pelaksanaan eksekusi transaksi di
Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing” adalah kesepakatan
transaksi jual beli di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing pada
tingkat harga, nilai tukar, dan/atau suku bunga dengan
volume tertentu sebelum dilakukan tahapan setelmen berupa
perpindahan dana atau instrumen keuangan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pelaksanaan lelang secara langsung”
adalah Pelaku Pasar melakukan input sendiri atas
penawaran (bidding) harga, nilai tukar, dan/atau suku bunga
pada sarana pelaksanaan transaksi.
Yang dimaksud dengan “pelaksanaan lelang secara tidak
langsung” adalah Pelaku Pasar meminta pihak lain seperti
Perusahaan Pialang untuk melakukan input penawaran
- 5 -
(bidding) harga, nilai tukar, dan/atau suku bunga atas nama
Pelaku Pasar tersebut ke dalam suatu sarana pelaksanaan
transaksi.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “persetujuan prinsip” adalah
persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian sebagai
calon Penyelenggara Transaksi.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Rencana pengembangan jenis produk mencakup
pengembangan jenis instrumen dan/atau transaksi.
- 6 -
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “infrastruktur yang andal dan aman”
antara lain Sistem Elektronik dengan jumlah unit atau
kapasitas yang cukup dan teknologi yang tidak obsolet.
Huruf e
Pemenuhan persyaratan integritas, kompetensi, dan/atau
aspek keuangan bagi Pemegang Saham Pengendali, anggota
dewan komisaris, dan anggota direksi dilakukan antara lain
melalui penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Bank
Indonesia, serta mempertimbangkan hasil penilaian otoritas
lain dan rekam jejak.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
- 7 -
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh kepemilikan langsung dan tidak langsung yaitu:
PT “ABC” dimiliki oleh PT “X” sebesar 30% (tiga puluh persen), PT
“Y” sebesar 20% (dua puluh persen), dan PT “Z” sebesar 50% (lima
puluh persen).
PT “X” dimiliki oleh PT “QRS” sebesar 40% (empat puluh persen).
Kepemilikan PT “X” pada PT. “ABC” dikategorikan sebagai
kepemilikan secara langsung, sedangkan kepemilikan PT “QRS”
pada PT “ABC” dikategorikan sebagai kepemilikan secara tidak
langsung.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “persetujuan prinsip” adalah
persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian sebagai
calon Penyelenggara Transaksi.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
- 8 -
Huruf d
Rencana bisnis juga dapat mencakup rencana
pengembangan sistem dan aspek lainnya.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “infrastruktur yang andal dan aman”
antara lain Sistem Elektronik dan/atau perangkat
komunikasi dengan jumlah unit atau kapasitas yang cukup
dan teknologi yang tidak obsolet.
Huruf e
Pemenuhan persyaratan integritas, kompetensi, dan/atau
aspek keuangan bagi Pemegang Saham Pengendali, anggota
dewan komisaris, dan anggota direksi dilakukan antara lain
melalui penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Bank
Indonesia, serta mempertimbangkan hasil penilaian otoritas
lain dan rekam jejak.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “sumber daya manusia yang
kompeten” antara lain telah memiliki sertifikat tresuri untuk
sumber daya manusia yang bertindak sebagai dealer sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
sertifikasi tresuri.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
- 9 -
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh kepemilikan langsung dan tidak langsung yaitu:
PT “ABC” dimiliki oleh PT “X” sebesar 30% (tiga puluh persen), PT
“Y” sebesar 20% (dua puluh persen), dan PT “Z” sebesar 50% (lima
puluh persen).
PT “X” dimiliki oleh PT “QRS” sebesar 40% (empat puluh persen).
Kepemilikan PT “X” pada PT “ABC” dikategorikan sebagai
kepemilikan secara langsung, sedangkan kepemilikan PT “QRS”
pada PT “ABC” dikategorikan sebagai kepemilikan secara tidak
langsung.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “infrastruktur yang andal dan aman”
antara lain Sistem Elektronik dengan jumlah unit atau
kapasitas yang cukup dan teknologi yang tidak obsolet.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “sumber daya manusia yang
- 10 -
kompeten” antara lain telah memiliki sertifikasi tresuri untuk
sumber daya manusia yang bertindak sebagai dealer sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
sertifikasi tresuri.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah
Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “rencana bisnis” adalah rencana
bisnis terkait dengan penyelenggara sarana pelaksanaan
transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing.
Rencana bisnis juga dapat mencakup rencana
pengembangan jenis produk yang terdiri atas instrumen
dan/atau transaksi, rencana pengembangan sistem, dan
aspek lainnya, yang terkait transaksi di Pasar Uang dan Pasar
Valuta Asing.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah
Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah
Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah
Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “infrastruktur yang andal dan aman”
antara lain Sistem Elektronik dengan jumlah unit atau
- 11 -
kapasitas yang cukup dan teknologi yang tidak obsolet.
Huruf c
Kondisi finansial yang sehat antara lain dibuktikan dengan
hasil audit kantor akuntan publik.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “rencana bisnis” adalah rencana
bisnis terkait dengan penyelenggara sarana pelaksanaan
transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing.
Rencana bisnis juga dapat mencakup rencana
pengembangan sistem, yang terkait transaksi di Pasar Uang
dan Pasar Valuta Asing.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Contoh melakukan perubahan atas layanan yaitu:
Perusahaan Pialang yang menyediakan sarana pelaksanaan
transaksi berupa TTIS akan menambah sarana pelaksanaan
transaksi berupa ETP untuk transaksi spot.
Kombinasi sarana pelaksanaan transaksi berupa TTIS dan
ETP tersebut merupakan model bisnis hybrid.
Huruf b
Contoh melakukan perubahan atas jenis instrumen
dan/atau transaksi yaitu:
- 12 -
Penyedia ETP yang menyelenggarakan transaksi spot dengan
sistem multilateral akan menambah layanannya untuk
transaksi swap dengan sistem multilateral.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “rencana bisnis” adalah rencana bisnis
terkait dengan penyelenggara sarana pelaksanaan transaksi di
Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Persyaratan integritas, kompetensi, dan/atau aspek keuangan bagi
Pemegang Saham Pengendali dilakukan antara lain melalui penilaian
kemampuan dan kepatutan oleh Bank Indonesia, serta
mempertimbangkan hasil penilaian otoritas lain dan rekam jejak.
- 13 -
Pasal 23
Ayat (1)
Ketentuan yang dipenuhi terkait perubahan nama badan usaha
antara lain adanya persetujuan dalam rapat umum pemegang
saham.
Ayat (2)
Persyaratan integritas, kompetensi, dan/atau aspek keuangan
bagi anggota dewan komisaris dan/atau anggota direksi dilakukan
antara lain melalui penilaian kemampuan dan kepatutan oleh
Bank Indonesia, serta mempertimbangkan hasil penilaian otoritas
lain dan rekam jejak.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh pembatasan jenis instrumen dan/atau transaksi
yaitu:
Penyelenggara Transaksi berupa Penyedia ETP menyediakan
sistem multilateral untuk transaksi spot.
Selanjutnya, Penyedia ETP mengajukan permohonan
persetujuan kepada Bank Indonesia untuk menambah jenis
transaksi yang dapat diselenggarakan yaitu untuk
menyelenggarakan transaksi repurchase agreement (repo).
Berdasarkan hal tersebut, Bank Indonesia dapat menolak
permohonan perluasan izin tersebut.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
- 14 -
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Instrumen moneter antara lain Sertifikat Bank Indonesia
(SBI) termasuk SBI dengan prinsip syariah, Sertifikat
Deposito Bank Indonesia (SDBI), dan Surat Berharga Bank
Indonesia (SBBI) dalam valuta asing.
Huruf b
Transaksi di Pasar Uang antara lain transaksi di Pasar Uang
Antar Bank (PUAB), Pasar Uang Antar Bank berdasarkan
prinsip Syariah (PUAS), dan jenis transaksi lainnya yang telah
distandardisasi antara lain dari aspek tenor, minimum
volume dan/atau kelipatan volume, dan tanggal setelmen.
Huruf c
Transaksi di Pasar Valuta Asing termasuk juga jenis
transaksi yang telah distandardisasi antara lain dari aspek
tenor, minimum volume dan/atau kelipatan volume, dan
tanggal setelmen.
Transaksi spot mencakup transaksi today dan tomorrow.
Huruf d
Instrumen Pasar Uang antara lain transaksi jual beli
sertifikat deposito (negotiable certificate of deposit) dan surat
berharga komersial (commercial paper) berbentuk scripless.
Transaksi di Pasar Valuta Asing antara lain derivatif valuta
asing terhadap rupiah yang merupakan transaksi yang
didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang
nilainya merupakan turunan dari nilai tukar valuta asing
terhadap rupiah serta suku bunga valuta asing dan rupiah
atau gabungan antarturunan dari nilai tukar valuta asing
terhadap rupiah.
Huruf e
Instrumen dan/atau transaksi keuangan lainnya antara lain
currency futures dan/atau interest rate futures serta transaksi
Surat Berharga Negara dengan mengacu pada ketentuan
otoritas terkait.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 15 -
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Contoh menyampaikan informasi dalam hal dikenakan
sanksi yaitu:
Penyelenggara Transaksi yang merupakan perusahaan global
dan beroperasi di berbagai negara pada suatu waktu diberi
sanksi oleh otoritas negara lain maka Penyelenggara
Transaksi tersebut wajib melaporkan hal tersebut kepada
Bank Indonesia.
Huruf b
Perjanjian pertukaran informasi dengan pihak lain atau
kewajiban penyampaian informasi kepada otoritas lain
meliputi data transaksi domestik.
Contoh penyampaian informasi kepada otoritas lain yaitu:
Penyelenggara Transaksi berupa Penyedia ETP yang
merupakan perusahaan global dan beroperasi di berbagai
negara melaporkan seluruh transaksi yang terjadi dalam ETP
termasuk transaksi di pasar domestik kepada otoritas negara
lain maka Penyelenggara Transaksi wajib melaporkan hal
tersebut kepada Bank Indonesia.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “manipulasi pasar” antara lain:
1.
layering and spoofing, yaitu memasukkan penawaran
secara berulang pada satu sisi (bid atau offer) untuk
selanjutnya melakukan eksekusi transaksi atas sisi yang
berlawanan;
2. manipulation of benchmarks, yaitu mengirimkan
informasi palsu atau menyesatkan, melakukan input
yang salah atau menyesatkan, atau aktivitas setara
lainnya dengan sengaja untuk memanipulasi
perhitungan benchmark harga, suku bunga, atau nilai
tukar;
3. momentum ignition, yaitu memasukkan order atau order
berseri yang bertujuan memulai atau memperburuk tren
dan mendorong Pelaku Pasar mengakselerasi atau
- 16 -
memperpanjang tren sehingga menciptakan kesempatan
atau peluang bagi Pelaku Pasar tersebut untuk
melakukan unwind atau membuka posisi pada tingkat
harga yang diinginkan;
4. price flashing, yang merupakan salah satu bentuk
strategi manipulasi yang serupa dengan spoofing, antara
lain melakukan distribusi harga atau order ke dalam
suatu ETP dalam jangka waktu singkat pada frekuensi
tertentu dimana risiko eksekusi minimal atau tidak ada
dan memberikan kesan yang keliru terkait harga dan
likuiditas di pasar; atau
5. quote stuffing, yaitu Pelaku Pasar memasukkan
sejumlah besar pesanan dan/atau pembatalan atau
pembaruan pesanan sehingga menimbulkan
ketidakpastian bagi
Pelaku
Pasar lainnya,
memperlambat proses transaksi, dan untuk
menyamarkan strategi mereka sendiri.
Huruf d
Kejadian yang berpotensi memengaruhi kelancaran
operasional antara lain:
1. Penyelenggara Transaksi melakukan pemeliharaan
sistem dan/atau jaringan Sistem Elektronik; dan/atau
2. Penyelenggara Transaksi mengalami gangguan koneksi
dan/atau serangan virus,
sehingga mengganggu layanan kepada Pengguna Jasa.
Huruf e
Contoh penghentian sementara yaitu Penyelenggara
Transaksi melakukan penghentian sementara layanan
transaksi melalui ETP untuk pemulihan ETP.
Huruf f
Contoh perselisihan
yaitu Penyelenggara Transaksi
melakukan penghentian sementara layanan terhadap salah
satu Pengguna Jasa dan Pengguna Jasa tersebut
mengajukan keberatan dan/atau gugatan kepada
Penyelenggara Transaksi.
Huruf g
Cukup jelas.
- 17 -
Ayat (2)
Contoh tidak dapat menjalankan fungsi atau berhalangan tetap
antara lain meninggal dunia, mengalami cacat fisik, cacat mental,
dan/atau kondisi lain yang tidak memungkinkan yang
bersangkutan untuk melakukan tugasnya dengan baik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “total ekuitas” antara lain modal disetor
ditambah dengan saldo laba (rugi) beserta komponen total ekuitas
lainnya.
Ayat (2)
Penurunan total ekuitas antara lain total ekuitas sebagaimana
tercatat dalam laporan keuangan terakhir Penyedia ETP.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “total ekuitas” antara lain modal disetor
ditambah dengan saldo laba (rugi) beserta komponen total ekuitas
lainnya.
Ayat (2)
Penurunan total ekuitas antara lain total ekuitas sebagaimana
tercatat dalam laporan keuangan terakhir Perusahaan Pialang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 18 -
Pasal 30
Sistem Bank Indonesia antara lain Sistem Monitoring Transaksi Valuta
Asing terhadap Rupiah (Sismontavar).
Infrastruktur lain yang ditetapkan Bank Indonesia antara lain central
counterparty (CCP).
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Basis data merupakan sekumpulan data komprehensif dan
tersusun secara sistematis, dapat diakses oleh Pengguna Jasa
sesuai dengan kewenangan masing-masing, dan dikelola oleh
administrator basis data.
Ketentuan yang mengatur mengenai jangka waktu retensi antara
lain Undang-Undang yang mengatur mengenai dokumen
perusahaan.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Salah satu bentuk pedoman etika bisnis yang dapat diacu
yaitu market code of conduct yang diterbitkan oleh komite
pasar antara lain Indonesia Foreign Exchange Market
Committee (IFEMC) dan/atau Bank for International
Settlement (BIS).
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
- 19 -
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perencanaan keberlangsungan
bisnis” adalah kebijakan dan prosedur yang memuat
rangkaian kegiatan yang terencana dan terkoordinasi
mengenai langkah pengurangan risiko, penanganan dampak
gangguan atau bencana, dan proses pemulihan agar kegiatan
operasional Penyelenggara Transaksi dan pelayanan kepada
Pengguna Jasa tetap dapat berjalan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “rencana pemulihan bencana” adalah
dokumen yang berisikan rencana dan langkah untuk
menggantikan dan/atau memulihkan kembali akses data,
perangkat keras, dan perangkat lunak yang diperlukan, agar
Penyelenggara Transaksi dapat menjalankan kegiatan
operasional yang kritikal setelah adanya gangguan dan/atau
bencana.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Manajemen risiko terkait teknologi informasi antara lain
manajemen risiko keamanan siber (cyber security).
Ayat (5)
Buku pedoman berisi antara lain aturan mengenai transparansi
dan keterbukaan informasi, mekanisme penyelesaian sengketa,
tata cara pendaftaran Pengguna Jasa, penghentian layanan
kepada Pengguna Jasa, dan struktur biaya yang dikenakan
kepada Pengguna Jasa.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
- 20 -
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Termasuk dalam pengawasan Bank Indonesia antara lain
pengawasan terhadap sarana pelaksanaan transaksi yang
digunakan oleh Penyelenggara Transaksi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pihak lain yang ditugaskan antara lain auditor independen yang
memiliki sertifikasi dan kompetensi di bidang keuangan dan/atau
teknologi informasi.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Hasil pengawasan yang digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam melakukan evaluasi atas izin antara lain:
a. implementasi rencana bisnis;
b. komitmen Penyelenggara Transaksi pada pengembangan
Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing di Indonesia; dan/atau
c. aspek lain yang diperlukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 21 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Contoh pengenaan sanksi terkait Pemegang Saham Pengendali
yang melakukan pelanggaran yaitu:
PT “ABC” menjadi Pemegang Saham Pengendali pada PT “PPU”
(Penyelenggara Transaksi berupa Perusahaan Pialang).
Kemudian, PT “ABC” membeli saham PT “ETP” (Penyelenggara
Transaksi berupa Penyedia ETP) dan sekaligus menjadi Pemegang
Saham Pengendali PT “ETP”.
Berdasarkan hal tersebut, Bank Indonesia mengenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
Ayat (2)
Contoh tidak menghilangkan kewajiban Pemegang Saham
Pengendali yaitu:
PT “ABC” harus mengalihkan kepemilikan sahamnya di PT “PPU”
atau PT “ETP” sehingga PT “ABC” hanya menjadi Pemegang Saham
Pengendali pada 1 (satu) Penyelenggara Transaksi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh pengenaan sanksi terkait tidak melaksanakan pengalihan
saham yaitu:
PT “ABC” menjadi Pemegang Saham Pengendali pada PT “PPU” dan
PT “ETP” dan tidak melakukan pengalihan saham dalam jangka
waktu 1 (satu) tahun sejak mendapatkan teguran tertulis maka
- 22 -
Bank Indonesia mengenakan sanksi penghentian sementara
kegiatan PT “PPU” dan PT “ETP”.
Ayat (5)
Contoh pencabutan izin usaha terkait tidak melakukan
pengalihan saham yaitu:
PT “ABC” menjadi Pemegang Saham Pengendali pada PT “PPU” dan
PT “ETP” dan tidak melakukan pengalihan saham dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan sejak dikenakan sanksi penghentian
sementara maka Bank mencabut izin PT “PPU” dan PT “ETP”
sebagai Penyelenggara Transaksi.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6336
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 21/5/PBI/2019 </reg_id>
<reg_title> PENYELENGGARA SARANA PELAKSANAAN TRANSAKSI DI PASAR UANG DAN PASAR VALUTA ASING </reg_title>
<set_date> 26 April 2019 </set_date>
<effective_date> 31 Juli 2019 </effective_date>
<issued_date> 29 April 2019 </issued_date>
<replaced_reg> '5/5/PBI/2003', '7/20/PBI/2005', '7/44/PBI/2005' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 8/8/PBI/2006
TENTANG
PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 3/1/PBI/2001 TANGGAL 4 JANUARI 2001
TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO SEBAGAIMANA TELAH
DIUBAH TERAKHIR DENGAN PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 5/16/PBI/2003 TANGGAL 28 AGUSTUS 2003
BESERTA PERATURAN PELAKSANAANNYA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004, Bank
Indonesia tidak diperkenankan lagi memberikan Kredit
Likuiditas Bank
Indonesia termasuk
penerusan yang berasal dari luar negeri;
b. bahwa untuk pemanfaatan dana relending Proyek Kredit
Mikro yang ada di Bank Indonesia dan pengelolaan baki
debet pinjaman yang ada pada lembaga peserta atau debitur,
Bank Indonesia dan Pemerintah telah sepakat mengalihkan
pengelolaan Proyek Kredit Mikro kepada PT Bank Mandiri
(persero) Tbk;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, Bank Indonesia perlu mencabut
ketentuan mengenai Proyek Kredit Mikro sebagaimana
diatur …..
pula pinjaman
- 2 -
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/1/PBI/2001
tanggal 4 Januari 2001 tentang Proyek Kredit Mikro
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/16/PBI/2003 tanggal 28 Agustus 2003
beserta peraturan pelaksanaannya;
Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4357);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 3/1/PBI/2001 TANGGAL 4 JANUARI 2001
TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO SEBAGAIMANA
TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN PERATURAN
BANK INDONESIA NOMOR 5/16/PBI/2003 TANGGAL 18
AGUSTUS 2003 BESERTA PERATURAN
PELAKSANAANYA.
Pasal 1
Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/1/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001 tentang
Proyek Kredit Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4071) sebagaimana
telah …..
- 3 -
telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/16/PBI/2003
tanggal 28 Agustus 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4318)
beserta peraturan pelaksanaannya yaitu Surat Edaran Nomor 3/3/BKr tanggal 16
Januari 2001 tentang Proyek Kredit Mikro sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Surat Edaran Nomor 3/22/BKr tanggal 16 Oktober 2001 dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 2
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 9 Mei 2006.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 9 Mei 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 40
BKr
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/8/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/1/PBI/2001 TANGGAL 4 JANUARI 2001 TENTANG PROYEK KREDIT MIKRO SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/16/PBI/2003 TANGGAL 28 AGUSTUS 2003 BESERTA PERATURAN PELAKSANAANNYA </reg_title>
<set_date> 9 Mei 2006 </set_date>
<effective_date> 9 Mei 2006 </effective_date>
<replaced_reg> '3/3/BKr|SE-BI/2001', '3/22/BKr|SE-BI/2001', '5/16/PBI/2003', '3/1/PBI/2001' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/10/PBI/2009
TENTANG
UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan jasa perbankan
syariah kepada masyarakat diperlukan jumlah kantor bank syariah
yang semakin banyak yang dapat menjangkau masyarakat secara
luas termasuk memperkuat keberadaan unit usaha syariah pada
bank umum konvensional;
b. bahwa unit usaha syariah harus berkembang secara sehat dan
dikelola secara profesional sehingga diperlukan dukungan dari
manajemen dan modal yang cukup agar dapat tumbuh secara sehat
dan tangguh (sustainable);
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b maka diperlukan penyesuaian terhadap
ketentuan mengenai unit usaha syariah dalam suatu Peraturan
Bank Indonesia.
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti …
-2-
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901) sebagaimana
telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
3. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4756);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG UNIT USAHA
SYARIAH.
BAB I …
-3-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disebut BUK
adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara
konvensional dan dalam kegiatannya memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
termasuk kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di
luar negeri;
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut BUS adalah bank
yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah
dan dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah unit
kerja dari BUK yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor
yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah,
atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang
berkedudukan di luar negeri yang berfungsi sebagai kantor induk
dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah;
4. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan syariah berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh
Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia;
5. Kantor Cabang Syariah yang selanjutnya disebut KCS adalah
kantor cabang UUS yang bertanggung jawab kepada UUS yang
bersangkutan …
-4-
bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai
dengan lokasi KCS tersebut melakukan usahanya, termasuk
kantor cabang pembantu syariah dari suatu bank yang
berkedudukan di luar negeri;
6. Kantor di bawah Kantor Cabang Syariah adalah kantor cabang
pembantu syariah dan kantor kas syariah;
7. Kantor Cabang Pembantu Syariah yang selanjutnya disebut
KCPS adalah kantor cabang pembantu UUS yang kegiatan
usahanya membantu KCS induknya, dengan alamat tempat usaha
yang jelas sesuai dengan lokasi KCPS tersebut melakukan
usahanya, termasuk kantor di bawah kantor cabang pembantu
syariah atau kantor kas syariah dari suatu bank yang
berkedudukan di luar negeri;
8. Kantor Kas Syariah yang selanjutnya disebut sebagai KKS
adalah kantor kas UUS yang kegiatan usahanya membantu KCS
atau KCPS induknya, kecuali memberikan pembiayaan, dengan
alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KKS
tersebut melakukan usahanya;
9. Layanan Syariah yang selanjutnya disebut LS adalah kegiatan
penghimpunan dana, pembiayaan dan pemberian jasa perbankan
lainnya berdasarkan Prinsip Syariah yang dilakukan di kantor
cabang konvensional atau kantor cabang pembantu konvensional
untuk dan atas nama KCS pada bank yang sama;
10. Kegiatan Perbankan Elektronis adalah kegiatan pelayanan jasa
bank syariah yang dilakukan dengan menggunakan sarana mesin
elektronis yang dimanfaatkan untuk pembayaran melalui
pemindahbukuan, transfer antar bank dan/atau memperoleh
informasi …
-5-
informasi mengenai saldo/mutasi rekening nasabah, antara lain
termasuk internet banking dan mobile banking;
11. Kegiatan Pelayanan Kas Syariah adalah kegiatan kas dalam
rangka melayani pihak yang telah menjadi nasabah UUS
meliputi antara lain:
a. Kas Keliling yaitu kegiatan pelayanan kas secara berpindah-
pindah dengan menggunakan alat transportasi atau pada
lokasi tertentu secara tidak permanen antara lain kas mobil,
kas terapung atau counter bank non permanen;
b. Payment Point yaitu kegiatan dalam bentuk penerimaan
pembayaran melalui kerjasama antara BUK yang memiliki
UUS dengan pihak lain pada suatu lokasi tertentu, seperti
untuk penerimaan pembayaran tagihan telepon, tagihan
listrik dan/atau penerimaan setoran dari pihak ketiga;
c. Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yaitu kegiatan kas atau non
kas yang dilakukan secara elektronis untuk memudahkan
nasabah antara lain dalam rangka menarik atau menyetor
secara tunai atau melakukan pembayaran melalui
pemindahbukuan, transfer antar bank dan/atau memperoleh
informasi mengenai saldo/mutasi rekening nasabah,
termasuk ATM yang dilakukan dengan pemanfaatan
teknologi melalui kerja sama dengan pihak lain;
12. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disebut DPS adalah
dewan yang bertugas memberikan nasehat dan saran kepada
Direksi serta mengawasi kegiatan UUS agar sesuai dengan
Prinsip Syariah;
13. Pejabat …
-6-
13. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab
langsung kepada Direktur UUS dan/atau mempunyai pengaruh
terhadap kebijakan dan operasional bank seperti kepala divisi,
atau pemimpin KCS;
14. Pemisahan (spin-off) adalah pemisahan usaha dari satu BUK
menjadi dua badan usaha atau lebih sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
15. Hari adalah hari kalender.
BAB II
PERIZINAN
Bagian Kesatu
Pembukaan Unit Usaha Syariah
Pasal 2
(1) BUK yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah wajib membuka UUS.
(2) Rencana pembukaan UUS harus dicantumkan dalam rencana
bisnis BUK.
Pasal 3
(1) Pembukaan UUS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank
Indonesia.
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam bentuk izin usaha.
Pasal 4 …
-7-
Pasal 4
(1) Modal kerja UUS ditetapkan dan dipelihara paling kurang
sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah).
(2) Modal kerja UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disisihkan dalam bentuk tunai.
Bagian Kedua
Persetujuan Izin Usaha
Pasal 5
(1) Permohonan izin usaha UUS diajukan oleh BUK disertai dengan
antara lain:
a. rancangan perubahan anggaran dasar yang paling kurang
memuat kegiatan usaha UUS;
b. identitas dan dokumen pendukung Direktur yang akan
bertanggung jawab penuh terhadap UUS, calon anggota DPS
dan calon Pejabat Eksekutif;
c. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi
ekonomi; dan
d. rencana bisnis (business plan) UUS untuk tahun pertama dan
jangka menengah.
(2) BUK yang mengajukan permohonan izin usaha UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan
penjelasan mengenai keseluruhan rencana pembukaan UUS.
Pasal 6 …
-8-
Pasal 6
(1) BUK yang telah mendapat izin usaha UUS wajib melakukan
kegiatan usaha paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung
sejak tanggal izin usaha diberikan.
(2) UUS wajib melaporkan pelaksanaan kegiatannya paling lambat
10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan kegiatan usaha.
(3) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung
sejak tanggal izin usaha diberikan BUK belum melakukan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, maka izin usaha
yang telah diberikan menjadi tidak berlaku.
Pasal 7
BUK yang telah mendapatkan izin usaha UUS wajib mencantumkan
secara jelas frase “Unit Usaha Syariah” setelah nama BUK dan logo
iB pada kantor UUS yang bersangkutan.
BAB III
DIREKTUR UNIT USAHA SYARIAH,
DEWAN PENGAWAS SYARIAH DAN PEJABAT EKSEKUTIF
Bagian Kesatu
Direktur Unit Usaha Syariah
Pasal 8
(1) Penunjukan dan/atau penggantian Direktur yang bertanggung
jawab penuh terhadap UUS (Direktur UUS) wajib dilaporkan
oleh BUK paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
pengangkatan dan/atau penggantian efektif.
(2) Direktur …
-9-
(2) Direktur UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
merangkap tugas BUK lainnya sepanjang tidak menimbulkan
benturan kepentingan (conflict of interest).
(3) Direktur UUS wajib memiliki kompetensi dan komitmen dalam
pengembangan UUS.
(4) Direktur UUS wajib mengikuti proses wawancara.
(5) Dalam hal Direktur UUS dinilai kurang memiliki kompetensi
dan komitmen dalam pengembangan UUS, maka penunjukan
tersebut wajib ditinjau kembali.
Bagian Kedua
Dewan Pengawas Syariah
Pasal 9
(1) BUK yang memiliki UUS wajib membentuk DPS yang
berkedudukan di kantor UUS.
(2) Anggota DPS harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. integritas, yang paling kurang mencakup:
1. memiliki akhlak dan moral yang baik;
2. memiliki komitmen untuk mematuhi ketentuan
perbankan syariah dan ketentuan peraturan perundang-
undangan lain yang berlaku;
3. memiliki komitmen terhadap pengembangan perbankan
syariah yang sehat dan tangguh (sustainable); dan
4. tidak termasuk dalam Daftar Kepatutan dan Kelayakan
(Daftar Tidak Lulus) sebagaimana diatur dalam
ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit
and proper test) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
b. kompetensi …
-10-
b. kompetensi, yang paling kurang memiliki pengetahuan dan
pengalaman di bidang syariah mu’amalah dan pengetahuan
di bidang perbankan dan/atau keuangan secara umum; dan
c. reputasi keuangan, yang paling kurang mencakup:
1. tidak termasuk dalam daftar kredit macet; dan
2. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi pemegang
saham, anggota Dewan Komisaris, atau anggota
Direksi suatu perseroan dan/atau anggota pengurus
suatu badan usaha yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dan/atau badan usaha
dinyatakan pailit, dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir
sebelum dicalonkan.
Pasal 10
(1) DPS bertugas dan bertanggungjawab memberikan nasihat dan
saran kepada Direktur UUS serta mengawasi kegiatan UUS agar
sesuai dengan Prinsip Syariah.
(2) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain:
a. menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah dalam
pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan UUS;
b. mengawasi proses pengembangan produk baru UUS sejak
awal sampai dengan dikeluarkannya produk tersebut;
c. memberikan opini syariah terhadap produk baru dan/atau
pembiayaan yang direstrukturisasi;
d. meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional untuk
produk baru UUS yang belum ada fatwanya;
e. melakukan …
-11-
e. melakukan review secara berkala atas pemenuhan Prinsip
Syariah terhadap mekanisme penghimpunan dana dan
penyaluran dana serta pelayanan jasa bank; dan
f. meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah
dari satuan kerja UUS dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
(3) Pedoman pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih lanjut
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 11
(1) Jumlah anggota DPS paling kurang 2 (dua) orang dan paling
banyak 3 (tiga) orang.
(2) DPS dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk dari salah satu
anggota DPS.
(3) Anggota DPS dapat merangkap jabatan sebagai anggota DPS
paling banyak pada 4 (empat) lembaga keuangan syariah lain.
Pasal 12
(1) Calon anggota DPS wajib memperoleh persetujuan Bank
Indonesia sebelum diangkat dan menduduki jabatannya.
(2) Pengajuan calon anggota DPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan setelah mendapat rekomendasi Dewan Syariah
Nasional - Majelis Ulama Indonesia.
Pasal 13 …
-12-
Pasal 13
(1) Pengangkatan calon anggota DPS wajib dilaporkan oleh UUS
paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pengangkatan.
(2) Dalam hal calon DPS tidak diangkat oleh rapat umum pemegang
saham dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal
persetujuan diberikan maka persetujuan terhadap calon anggota
DPS dimaksud menjadi tidak berlaku.
Pasal 14
Pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota DPS wajib
dilaporkan oleh UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah
pemberhentian dan/atau pengunduran diri efektif.
Bagian Ketiga
Pejabat Eksekutif
Pasal 15
(1) Pejabat Eksekutif UUS baik yang berasal dari BUK maupun dari
sumber lain harus memiliki pengetahuan dan pemahaman
terhadap kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
(2) Pengangkatan, penggantian atau pemberhentian Pejabat
Eksekutif UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaporkan oleh UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung
sejak tanggal pengangkatan, penggantian atau pemberhentian
efektif.
(3) Apabila menurut penilaian dan penelitian Bank Indonesia,
Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tercantum dalam Daftar Kepatutan dan Kelayakan (Daftar Tidak
Lulus) …
-13-
Lulus), Daftar Kredit Macet atau terdapat informasi lain yang
menunjukkan tidak terpenuhinya aspek integritas dan
kompetensi, maka pengangkatan Pejabat Eksekutif tersebut
wajib dibatalkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah
tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Tenaga Kerja Asing
Pasal 16
BUK yang memiliki UUS yang memanfaatkan tenaga kerja asing
wajib memenuhi persyaratan dan tata cara pemanfaatan tenaga kerja
asing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
BAB IV
KEGIATAN USAHA
Pasal 17
UUS wajib melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Perbankan Syariah dengan menerapkan Prinsip
Syariah dan prinsip kehati-hatian.
Pasal 18
UUS dapat melakukan kegiatan usaha perbankan syariah dalam bidang
devisa dengan izin Bank Indonesia.
BAB V…
-14-
BAB V
PEMBUKAAN KANTOR UNIT USAHA SYARIAH
Bagian Kesatu
Pembukaan Kantor di Dalam Negeri
Paragraf 1
Pembukaan Kantor Cabang Syariah
Pasal 19
(1) Pembukaan KCS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank
Indonesia.
(2) Rencana pembukaan KCS harus dicantumkan dalam rencana
bisnis UUS.
(3) Pembukaan KCS dapat beralamat yang sama dengan kantor
cabang atau kantor cabang pembantu BUK, sepanjang memenuhi
persyaratan, antara lain:
a. terdapat pemisahan kantor antara KCS dengan kantor cabang
atau kantor cabang pembantu BUK; dan
b. tidak menimbulkan risiko operasional dan risiko reputasi
bagi KCS.
Pasal 20
(1) UUS wajib melaksanakan pembukaan KCS dalam jangka waktu
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal izin diberikan.
(2) Pelaksanaan pembukaan KCS wajib dilaporkan oleh UUS paling
lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan.
(3) Dalam hal UUS tidak melaksanakan pembukaan KCS dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal izin
diberikan …
-15-
diberikan maka izin pembukaan KCS yang telah diberikan
menjadi tidak berlaku.
Paragraf 2
Pembukaan Kantor Dibawah Kantor Cabang Syariah
Pasal 21
(1) Pembukaan KCPS dan KKS hanya dapat dilakukan setelah
mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia.
(2) Rencana pembukaan KCPS dan KKS harus dicantumkan dalam
rencana bisnis UUS.
(3) Pembukaan KCPS dan KKS hanya dapat dilakukan dalam satu
wilayah kerja kantor Bank Indonesia dimana lokasi KCS
induknya berada.
(4) Pembukaan KCPS dan KKS dapat bertempat di alamat yang
sama dengan kantor BUK dan/atau kantor lain sepanjang
memenuhi persyaratan, antara lain:
a. terdapat pemisahan kantor antara KCPS dan KKS dengan
kantor BUK dan/atau kantor lain; dan
b. tidak menimbulkan risiko operasional dan risiko reputasi
bagi BUK yang memiliki UUS.
(5) Laporan keuangan KCPS dan KKS wajib digabungkan secara
otomasi dan online dengan laporan keuangan KCS induknya
pada hari yang sama.
Pasal 22…
-16-
Pasal 22
(1) UUS wajib melaksanakan pembukaan KCPS dan KKS dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal penegasan
dikeluarkan.
(2) Pelaksanaan pembukaan KCPS dan KKS wajib dilaporkan oleh
UUS kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari
setelah tanggal pembukaan.
(3) Dalam hal UUS tidak melaksanakan pembukaan KCPS dan KKS
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal
penegasan dikeluarkan maka penegasan pembukaan KCPS dan
KKS yang telah diberikan menjadi tidak berlaku.
Paragraf 3
Kegiatan Perbankan Elektronik
Pasal 23
(1) Kegiatan Perbankan Elektronik hanya dapat dilakukan setelah
mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia.
(2) Rencana Kegiatan Perbankan Elektronik harus dicantumkan
dalam rencana bisnis UUS.
(3) Pelaksanaan Kegiatan Perbankan Elektronik wajib dilaporkan
oleh UUS kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh)
hari setelah tanggal pelaksanaan.
Paragraf 4 …
-17-
Paragraf 4
Kegiatan Pelayanan Kas Syariah
Pasal 24
(1) Rencana Kegiatan Pelayanan Kas Syariah harus dicantumkan
dalam rencana bisnis UUS.
(2) Pembukaan, pemindahan alamat dan penutupan Kegiatan
Pelayanan Kas Syariah wajib dilaporkan oleh UUS kepada Bank
Indonesia secara semesteran untuk posisi akhir bulan Juni dan
Desember.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan
paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah akhir bulan laporan.
Paragraf 5
Layanan Syariah
Pasal 25
(1) Rencana pelaksanaan Layanan Syariah harus dicantumkan dalam
rencana bisnis UUS.
(2) Layanan Syariah dapat dilaksanakan di kantor cabang atau
kantor cabang pembantu BUK dengan persyaratan sebagai
berikut:
a. lokasi Layanan Syariah berada dalam satu wilayah dengan
KCS induknya, yaitu:
1. dalam satu wilayah propinsi; atau
2. dalam satu wilayah kerja kantor Bank Indonesia dalam
hal wilayah kerja kantor Bank Indonesia melebihi satu
wilayah propinsi;
b. menggunakan …
-18-
b. menggunakan sumber daya manusia yang telah memiliki
pengetahuan mengenai produk dan jasa bank syariah; dan
c. didukung oleh teknologi sistem informasi yang memadai.
(3) Kegiatan Layanan Syariah wajib tercatat secara otomasi dan
online dengan laporan keuangan KCS induknya pada hari kerja
yang sama.
Pasal 26
(1) Pembukaan, pemindahan alamat dan penutupan Kegiatan
Layanan Syariah wajib dilaporkan oleh UUS kepada Bank
Indonesia secara semesteran untuk posisi akhir bulan Juni dan
Desember.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan
paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah akhir bulan laporan.
Bagian Kedua
Pembukaan Kantor di Luar Negeri
Pasal 27
(1) Pembukaan KCS dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri
hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
(2) Rencana pembukaan KCS dan jenis-jenis kantor lainnya harus
dicantumkan dalam rencana bisnis UUS.
(3) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
diberikan apabila:
a. UUS telah memiliki izin untuk melakukan kegiatan dibidang
devisa; dan
b. UUS …
-19-
b. UUS memenuhi persyaratan tingkat kesehatan, kecukupan
modal kerja dan profil risiko yang paling kurang moderate.
Pasal 28
(1) Pelaksanaan pembukaan KCS dan jenis-jenis kantor lainnya di
luar negeri wajib dilaporkan oleh UUS paling lambat 10
(sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan.
(2) Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah tanggal
persetujuan Bank Indonesia diberikan pembukaan kantor di luar
negeri belum dilaksanakan, maka UUS wajib memberikan
penjelasan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh)
hari terhitung sejak batas waktu 6 (enam) bulan berakhir.
BAB VI
PENINGKATAN DAN PENURUNAN STATUS KANTOR
UNIT USAHA SYARIAH
Pasal 29
Peningkatan status KCPS dan KKS menjadi KCS wajib dilakukan
dengan cara memenuhi ketentuan pembukaan KCS.
Pasal 30
Penurunan status KCS menjadi KCPS atau KKS wajib dilaporkan
oleh UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
pelaksanaan.
BAB VII …
-20-
BAB VII
PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR UNIT USAHA SYARIAH
Bagian Kesatu
Pemindahan Alamat Kantor di Dalam Negeri
Paragraf 1
Kantor Unit Usaha Syariah dan Kantor Cabang Syariah
Pasal 31
(1) Pemindahan alamat kantor UUS dan KCS hanya dapat dilakukan
dengan izin Bank Indonesia.
(2) Pemindahan alamat kantor UUS dan KCS harus
mempertimbangkan kepentingan nasabah.
(3) Rencana pemindahan alamat kantor UUS dan KCS harus
dicantumkan dalam rencana bisnis UUS.
Pasal 32
(1) Pemindahan alamat kantor UUS dan KCS wajib diumumkan
oleh UUS dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di
tempat kedudukan kantor UUS atau KCS paling lambat 10
(sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan pemindahan alamat
kantor.
(2) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor UUS dan KCS wajib
dilaporkan oleh UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah
tanggal pelaksanaan pemindahan alamat.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal izin diberikan, UUS tidak melaksanakan pemindahan
alamat kantor, maka izin pemindahan kantor UUS atau KCS
yang telah diberikan akan ditinjau kembali.
Paragraf 2 …
-21-
Paragraf 2
Kantor Di bawah Kantor Cabang Syariah
Pasal 33
(1) Pemindahan alamat KCPS dan KKS hanya dapat dilakukan
setelah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia.
(2) Pemindahan alamat KCPS dan KKS hanya dapat dilakukan
dalam satu wilayah kerja kantor Bank Indonesia dimana lokasi
KCS induknya berada.
(3) Pemindahan alamat KCPS dan KKS harus mempertimbangkan
kepentingan nasabah.
Pasal 34
(1) Pemindahan alamat KCPS dan KKS wajib diumumkan di lokasi
lama oleh UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal
pelaksanaan.
(2) Pelaksanaan pemindahan alamat KCPS atau KKS wajib
dilaporkan oleh UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah
tanggal pelaksanaan.
Bagian Kedua
Pemindahan Alamat Kantor di Luar Negeri
Pasal 35
Pelaksanaan pemindahan alamat KCS dan jenis-jenis kantor lainnya di
luar negeri wajib dilaporkan oleh UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari
setelah tanggal pelaksanaan pemindahan alamat.
BAB VIII …
-22-
BAB VIII
PENUTUPAN KANTOR UNIT USAHA SYARIAH
Bagian Kesatu
Penutupan Kantor di Dalam Negeri
Paragraf 1
Kantor Cabang Syariah
Pasal 36
Penutupan KCS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
Pasal 37
(1) UUS yang telah memperoleh izin penutupan KCS wajib untuk:
a. menyelesaikan seluruh kewajiban KCS;
b. mengumumkan rencana penutupan KCS dalam surat kabar
harian yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan
KCS paling lambat 3 (tiga) hari sebelum tanggal
pelaksanaan penutupan; dan
c. menghentikan seluruh kegiatan usaha pada KCS dimaksud.
(2) Pelaksanaan penutupan KCS wajib dilaporkan oleh UUS paling
lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan.
Paragraf Kedua
Kantor Di bawah Kantor Cabang Syariah
Pasal 38
Pelaksanaan penutupan KCPS dan KKS wajib dilaporkan oleh UUS
paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penutupan.
Bagian …
-23-
Bagian Kedua
Penutupan Kantor di Luar Negeri
Pasal 39
Pelaksanaan penutupan KCS dan jenis-jenis kantor lainnya di luar
negeri wajib dilaporkan oleh UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari
setelah tanggal pelaksanaan penutupan.
BAB IX
PEMISAHAN UNIT USAHA SYARIAH
Bagian Kesatu
Pemisahan Unit Usaha Syariah Dari Bank Umum Konvensional
Pasal 40
(1) BUK yang memiliki UUS wajib memisahkan UUS menjadi BUS
apabila:
a. nilai aset UUS telah mencapai 50% (lima puluh persen) dari
total nilai aset BUK induknya; atau
b. paling lambat 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
(2) BUK yang memiliki UUS dapat memisahkan UUS sebelum
terpenuhinya kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 41 …
-24-
Pasal 41
(1) Pemisahan UUS dari BUK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 dapat dilakukan dengan cara:
a. mendirikan BUS baru; atau
b. mengalihkan hak dan kewajiban UUS kepada BUS yang
telah ada.
(2) Pendirian BUS hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dapat dilakukan oleh 1 (satu) atau lebih BUK
yang memiliki UUS.
(3) Pemisahan UUS dengan cara pengalihan kepada BUS yang telah
ada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat
dilakukan kepada BUS yang mempunyai hubungan kepemilikan
dengan BUK yang memiliki UUS.
(4) BUS hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
BUS penerima Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus memenuhi paling kurang rasio kewajiban pemenuhan
modal minimum (KPMM) minimal 8% (delapan persen).
(5) Dalam hal Pemisahan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan BUS hasil Pemisahan atau BUS penerima
Pemisahan memiliki rasio Non Performing Financing (NPF)
netto lebih dari 5% (lima persen) dan/atau mengakibatkan
pelampauan Batas Maksimum Penyaluran Dana, maka BUS
hasil Pemisahan atau BUS penerima Pemisahan tersebut wajib
menyelesaikannya dalam waktu 1 (satu) tahun.
Pasal 42 …
-25-
Pasal 42
Pemisahan UUS dari BUK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
ayat (1) wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 43
(1) BUK yang tidak melakukan Pemisahan UUS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) akan dikenakan pencabutan
izin usaha UUS.
(2) BUK yang memiliki UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib menyelesaikan hak dan kewajiban UUS dalam jangka
waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal pencabutan izin
usaha UUS.
(3) Dengan dicabutnya izin usaha UUS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), maka BUK yang memiliki UUS dilarang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, kecuali dalam
rangka penyelesaian hak dan kewajiban UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 44
(1) BUK yang memiliki UUS wajib mengumumkan pencabutan izin
usaha UUS dalam surat kabar yang mempunyai peredaran
nasional paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal
pencabutan izin usaha UUS diberikan.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memuat paling kurang:
a. penghentian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; dan
b. penyelesaian…
-26-
b. penyelesaian seluruh hak dan kewajiban UUS.
(3) Penyelesaian seluruh hak dan kewajiban UUS wajib dilaporkan
oleh BUK yang memiliki UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari
setelah penyelesaian.
Bagian Kedua
Pemisahan Unit Usaha Syariah
Dengan Cara Pendirian Bank Umum Syariah
Pasal 45
(1) Pendirian BUS hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (1) huruf a hanya dapat dilakukan dengan izin
Bank Indonesia.
(2) Modal disetor pendirian BUS hasil Pemisahan ditetapkan paling
kurang sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus milyar
rupiah).
(3) Apabila jumlah modal disetor tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka penambahan atas
kekurangan modal disetor tersebut harus dilakukan dalam bentuk
tunai dan/atau tanah dan gedung yang akan digunakan untuk
operasional BUS hasil Pemisahan.
(4) Modal disetor BUS hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib ditingkatkan secara bertahap menjadi paling
kurang sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu trilyun rupiah)
paling lambat 10 (sepuluh) tahun setelah izin usaha BUS
diberikan.
Pasal 46 …
-27-
Pasal 46
Pemberian izin pendirian BUS hasil Pemisahan dilakukan dalam 2
(dua) tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan
persiapan pendirian BUS hasil Pemisahan; dan
b. izin usaha, yaitu izin yang diberikan setelah BUS hasil
Pemisahan siap melakukan kegiatan operasional.
Pasal 47
(1) Permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 huruf a diajukan oleh BUK yang memiliki UUS disertai
dengan antara lain rancangan akta pendirian BUS hasil
Pemisahan, yang memuat paling kurang:
a. nama dan tempat kedudukan BUS hasil Pemisahan;
b. kegiatan usaha sebagai BUS sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. modal disetor paling kurang sebesar Rp500.000.000.000,00
(lima ratus milyar rupiah);
d. ketentuan syarat, jumlah, tugas, kewenangan, tanggung
jawab, serta hal lain yang menyangkut Dewan Komisaris,
Direksi, dan DPS sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
e. ketentuan pengangkatan anggota Dewan Komisaris, anggota
Direksi, dan anggota DPS dengan memperoleh persetujuan
Bank Indonesia terlebih dahulu;
f. ketentuan rapat umum pemegang saham BUS yang
menetapkan tugas manajemen, remunerasi Dewan Komisaris
dan …
-28-
dan Direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan,
penunjukan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba,
dan hal-hal lainnya yang ditetapkan dalam ketentuan Bank
Indonesia; dan
g. ketentuan rapat umum pemegang saham yang harus
dipimpin oleh Presiden Komisaris atau Komisaris Utama.
(2) BUK yang memiliki UUS yang mengajukan permohonan
persetujuan prinsip harus memberikan penjelasan mengenai
keseluruhan rencana pendirian BUS hasil Pemisahan.
Pasal 48
(1) Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak
tanggal persetujuan prinsip diberikan, BUK yang telah mendapat
izin prinsip belum mengajukan izin usaha BUS hasil Pemisahan,
maka persetujuan prinsip yang telah diberikan menjadi tidak
berlaku.
(2) BUK yang memiliki UUS wajib mengumumkan rencana
pengalihan hak dan kewajiban UUS dalam surat kabar yang
memiliki peredaran nasional paling lambat 10 (sepuluh) hari
sejak tanggal persetujuan prinsip diberikan.
(3) Pengalihan hak dan kewajiban UUS sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) hanya dapat dilakukan apabila izin usaha BUS hasil
Pemisahan telah diberikan.
Pasal 49
Permohonan izin usaha BUS hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 huruf b diajukan oleh BUK yang telah memperoleh
persetujuan …
-29-
persetujuan prinsip disertai dengan antara lain akta pendirian BUS
hasil Pemisahan.
Pasal 50
(1) BUS hasil Pemisahan wajib melakukan kegiatan usaha paling
lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal izin usaha
diberikan.
(2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilaporkan paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
pelaksanaan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) BUS hasil Pemisahan belum melakukan kegiatan usaha,
maka izin usaha yang telah diberikan akan ditinjau kembali.
(4) Dalam hal izin usaha BUS hasil Pemisahan dibatalkan, maka
seluruh kewajiban UUS wajib diselesaikan oleh BUK yang
memiliki UUS paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak
tanggal izin usaha BUS hasil Pemisahan dibatalkan.
Pasal 51
BUK yang memiliki UUS wajib mengajukan permohonan pencabutan
izin usaha UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah hak dan
kewajiban UUS dialihkan kepada BUS hasil Pemisahan.
Bagian …
-30-
Bagian Ketiga
Pemisahan Unit Usaha Syariah
Dengan Cara Pengalihan Hak dan Kewajiban Kepada Bank Umum Syariah
Pasal 52
(1) Pengalihan hak dan kewajiban UUS kepada BUS penerima
Pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf
b hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Bank Indonesia.
(2) Rencana pengalihan wajib diumumkan oleh BUK yang memiliki
UUS dalam surat kabar yang memiliki peredaran nasional paling
lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal persetujuan.
Pasal 53
(1) BUK yang memiliki UUS wajib mengalihkan hak dan kewajiban
UUS kepada BUS paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah
persetujuan pengalihan diberikan.
(2) Pelaksanaan pengalihan hak dan kewajiban UUS kepada BUS
penerima Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS paling lambat 10
(sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan.
(3) BUS penerima Pemisahan wajib melaporkan kondisi
keuangannya setelah menerima pengalihan hak dan kewajiban
UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
pelaksanaan.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) pengalihan hak dan kewajiban UUS kepada BUS penerima
Pemisahan belum dilakukan, maka persetujuan pengalihan yang
telah diberikan akan ditinjau kembali.
(5) Dalam …
-31-
(5) Dalam hal persetujuan pengalihan dibatalkan, maka seluruh
kewajiban UUS wajib diselesaikan oleh BUK yang memiliki
UUS paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal
persetujuan pengalihan dibatalkan.
Pasal 54
BUK yang memiliki UUS wajib mengajukan permohonan pencabutan
izin usaha UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah hak dan
kewajiban UUS dialihkan kepada BUS.
BAB XI
PENCABUTAN IZIN USAHA UNIT USAHA SYARIAH
ATAS PERMINTAAN BANK UMUM KONVENSIONAL
Pasal 55
Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha UUS atas permintaan BUK
yang memiliki UUS.
Pasal 56
(1) BUK yang telah memperoleh persetujuan pencabutan izin usaha
UUS wajib untuk:
a. menghentikan seluruh kegiatan usaha UUS;
b. mengumumkan rencana penghentian kegiatan izin usaha
UUS dan rencana penyelesaian kewajiban UUS dalam 2
(dua) surat kabar harian yang salah satunya mempunyai
peredaran nasional paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak
tanggal surat persetujuan pencabutan izin usaha UUS; dan
c. menyelesaikan…
…
-32-
c. menyelesaikan seluruh kewajiban BUK yang tercatat dalam
laporan keuangan UUS.
(2) Pelaksanaan penghentian kegiatan UUS wajib dilaporkan oleh
BUK yang memiliki UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari
setelah tanggal penghentian.
BAB XII
AKUNTANSI
Pasal 57
(1) BUK yang memiliki UUS wajib menggunakan teknologi sistem
informasi secara otomasi dan online yang dapat memisahkan
secara jelas laporan keuangan UUS dengan laporan keuangan
BUK.
(2) Penyusunan laporan keuangan UUS wajib mengikuti perlakuan
akuntansi yang diatur dalam pedoman akuntansi perbankan
syariah Indonesia yang berlaku.
BAB XIII
KANTOR UNIT USAHA SYARIAH
TIDAK BEROPERASI PADA HARI KERJA
Pasal 58
Rencana kantor UUS untuk tidak beroperasi pada hari kerja wajib
memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
Pasal 59 …
-33-
Pasal 59
(1) UUS wajib mengajukan permohonan persetujuan atas rencana
untuk tidak beroperasi pada hari kerja paling lambat 15 (lima
belas) hari sebelum tanggal pelaksanaan tidak beroperasi.
(2) Rencana kantor UUS untuk tidak beroperasi pada hari kerja
wajib diumumkan kepada masyarakat oleh UUS paling lambat 3
(tiga) hari sebelum tanggal tidak beroperasi.
BAB XIV
PENCANTUMAN STATUS DAN LOGO PADA KANTOR
UNIT USAHA SYARIAH
Pasal 60
(1) UUS wajib mencantumkan secara jelas nama dan jenis status
kantor pada masing-masing kantornya.
(2) UUS wajib mencantumkan logo iB pada masing-masing kantor,
Layanan Syariah dan Kegiatan Pelayanan Kas Syariah.
BAB XV
SUMBER DAYA MANUSIA
Pasal 61
UUS wajib memelihara dan meningkatkan kompetensi sumber daya
manusia yang dimiliki.
BAB XVI …
-34-
BAB XVI
SANKSI
Pasal 62
(1) BUK yang memiliki UUS yang tidak memenuhi ketentuan dalam
Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal
8 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), Pasal 9 ayat (1), Pasal 12 ayat
(1), Pasal 15 ayat (3), Pasal 16, Pasal 19 ayat (1), Pasal 20 ayat
(1), Pasal 21 ayat (1), ayat (3) dan ayat (5), Pasal 22 ayat (1),
Pasal 23 ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 27 ayat (1),Pasal 29,
Pasal 31 ayat (1), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 36, Pasal
37 ayat (1) huruf a dan huruf c, Pasal 40 ayat (1), Pasal 41 ayat
(5), Pasal 42, Pasal 43 ayat (2), Pasal 44 ayat (2), Pasal 45 ayat
(1) dan ayat (4), Pasal 48 ayat (3), Pasal 50 ayat (1) dan ayat (4),
Pasal 52 ayat (1), Pasal 53 ayat (1) dan (5), Pasal 56 ayat (1)
huruf a dan huruf c, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 60, Pasal 61, dan
Pasal 64, dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
(2) BUK yang memiliki UUS yang tidak memenuhi ketentuan dalam
Pasal 6 ayat (2), Pasal 8 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14,
Pasal 15 ayat (2), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (2), Pasal 23
ayat (3), Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 26, Pasal 28, Pasal
30, Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 34, Pasal 35, Pasal 37
ayat (1) huruf b dan ayat (2), Pasal 38, Pasal 39, Pasal 44 ayat
(1) dan ayat (3), Pasal 48 ayat (2), Pasal 50 ayat (2), Pasal 51,
Pasal 52 ayat (2), Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 54, Pasal
56 ayat (1) huruf b dan ayat (2), dan Pasal 59, dapat dikenakan
sanksi …
-35-
sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa:
a. teguran tertulis dan denda uang sebesar Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) per hari kerja kelambatan untuk setiap
laporan dan/atau pengumuman dan paling banyak
seluruhnya sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta
rupiah);
b. teguran tertulis dan denda uang paling banyak sebesar
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) apabila BUK atau
UUS tidak menyampaikan laporan dan/atau pengumuman.
(3) BUK yang memiliki UUS dinyatakan tidak menyampaikan
laporan dan/atau pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b apabila BUK yang memiliki UUS belum
menyampaikan laporan atau BUK yang memiliki UUS tidak
menyampaikan laporan secara lengkap, dan/atau belum
melaksanakan pengumuman setelah 30 (tiga puluh) hari sejak
batas akhir penyampaian laporan dan/atau pengumuman.
(4) Pengenaan sanksi teguran tertulis dan kewajiban membayar
karena dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau
pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak menghapus kewajiban BUK yang memiliki UUS untuk
menyampaikan laporan dan/atau pelaksanaan pengumuman.
(5) Dalam hal penyampaian laporan dan/atau pelaksanaan
pengumuman dilakukan secara gabungan maka apabila BUK
yang memiliki UUS dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), sanksi dimaksud dihitung per jumlah laporan
dan/atau …
-36-
dan/atau pengumuman sebagaimana tercantum dalam
laporan/pengumuman gabungan.
(6) BUK yang memiliki UUS yang tidak memenuhi ketentuan dalam
Pasal 17 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah berupa pencabutan izin usaha UUS.
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 63
UUS yang telah berdiri sebelum berlakunya ketentuan ini ditetapkan
telah memiliki izin usaha sebagai UUS berdasarkan Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 64
UUS yang belum memenuhi ketentuan mengenai:
a. modal kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1); dan
b. ketentuan rangkap jabatan anggota DPS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (3);
wajib memenuhi ketentuan dimaksud paling lambat 2 (dua) tahun
setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB XVIII …
-37-
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Ketentuan lebih lanjut mengenai Unit Usaha Syariah diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 66
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/3/PBI/2006 tanggal 30
Januari 2006 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum
Konvensional Menjadi Bank Umum Yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan
Kantor Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional;
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/7/PBI/2007 tanggal 4 Mei
2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/3/PBI/2006 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum
Konvensional Menjadi Bank Umum Yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan
Kantor Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional;
dinyatakan tidak berlaku bagi Unit Usaha Syariah.
Pasal 67
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar …
-38-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 19 Maret 2009.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di : Jakarta
Pada tanggal
: 19 Maret 2009.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 55
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/10/PBI/2009
TENTANG
UNIT USAHA SYARIAH
UMUM
Pembangunan nasional memerlukan kontribusi dan partisipasi dari semua elemen
masyarakat. Salah satu bentuk penggalian potensi dan wujud kontribusi masyarakat
dalam perekonomian nasional tersebut adalah pengembangan sistem ekonomi
berdasarkan Prinsip Syariah dalam perbankan syariah.
Untuk meningkatkan layanan perbankan syariah kepada masyarakat diperlukan
jaringan kantor yang semakin luas dan menyebar di seluruh wilayah tanah air. Dengan
jumlah dan jaringan kantor Bank Umum Syariah yang masih relatif terbatas diperlukan
kebijakan pengembangan perluasan jaringan kantor perbankan syariah, antara lain
dengan pembukaan Unit Usaha Syariah pada Bank Umum Konvensional.
Perluasan dan kemudahan dalam pengembangan jaringan kantor Unit Usaha
Syariah pada Bank Umum Konvensional memerlukan pengaturan kelembagaan yang
komprehensif dan transparan sehingga dapat menjadi acuan dalam pelaksanaan dan
memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.
Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, terdapat beberapa perubahan ketentuan yang terkait Unit Usaha
Syariah, antara lain perizinan, kegiatan usaha dan batas waktu perubahan Unit Usaha
Syariah menjadi Bank Umum Syariah. Sehubungan dengan perubahan kelembagaan
Unit …
- 2 -
Unit Usaha Syariah tersebut maka perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan
Unit Usaha Syariah.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 15
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “izin usaha” adalah izin untuk melakukan kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
Pemberian izin usaha UUS oleh Bank Indonesia berdasarkan pada antara
lain:
a. penilaian terhadap komitmen BUK dalam pendirian UUS;
b. analisis terhadap studi kelayakan pendirian UUS;
c. analisis yang mencakup antara lain tingkat kejenuhan jumlah BUS dan
UUS serta pemerataan pembangunan ekonomi nasional; dan
d. wawancara terhadap calon Direktur UUS dan calon anggota DPS.
Pasal 4 …
- 3 -
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “modal kerja” adalah dana bersih yang ditempatkan
BUK pada UUS setelah dikurangi dengan penempatan UUS pada BUK,
yang diperlakukan sebagai komponen modal untuk UUS.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tunai” adalah setoran dalam bentuk kas, bukan
dalam bentuk tanah, gedung atau bentuk sejenis lainnya.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Hal-hal yang harus dijelaskan melalui presentasi di Bank Indonesia antara
lain:
a.
tujuan dan alasan pembukaan UUS;
b. target pasar penghimpunan dan penyaluran dana;
c. rencana bisnis jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang;
d. sistem teknologi informasi (IT); dan
e. struktur organisasi dan personalia.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Contoh pencantuman frase “Unit Usaha Syariah” adalah PT Bank XYZ Unit
Usaha Syariah.
Pasal 8 …
- 4 -
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Tim pewawancara terhadap Direktur UUS mayoritas berasal dari pihak
eksternal Bank Indonesia (independent).
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “ditinjau kembali” adalah diganti apabila yang
bersangkutan dinilai kurang memiliki komitmen dalam pengembangan
UUS atau diminta untuk menambah pengetahuan dan pemahaman tentang
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah apabila yang bersangkutan
dinilai kurang memiliki kompetensi di bidang perbankan syariah.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3 …
- 5 -
Angka 3
Yang dimaksud dengan “memiliki komitmen” antara lain
kesediaan untuk menyediakan waktu yang cukup kepada Bank
dalam rangka melaksanakan tugasnya secara efektif.
Angka 4
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1
Yang dimaksud dengan “daftar kredit macet” adalah daftar kredit
macet sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai Sistem Informasi Debitur.
Angka 2
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penunjukan ketua DPS dapat dilakukan oleh BUK yang memiliki UUS,
Direktur UUS atau kesepakatan diantara para anggota DPS.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12 …
- 6 -
Pasal 12
Ayat (1)
Persetujuan atas permohonan calon anggota DPS diberikan berdasarkan
pada antara lain:
a. penilaian terhadap komitmen calon anggota DPS dalam pengawasan
kegiatan usaha UUS dan ketersediaan waktu; dan
b. wawancara terhadap calon anggota DPS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS.
Ayat (2)
Pengangkatan DPS dapat dilakukan oleh Komisaris BUK sepanjang telah
diberikan kewenangan oleh rapat umum pemegang saham.
Persetujuan Bank Indonesia terhadap anggota DPS berlaku setelah
mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham atau Komisaris BUK
sepanjang telah diberikan kewenangan oleh rapat umum pemegang saham.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan tanggal pemberhentian dan/atau pengunduran diri efektif
adalah tanggal setelah pemberhentian dan/atau pengunduran diri yang
bersangkutan mendapat persetujuan dari rapat umum pemegang saham, serah
terima jabatan, atau mekanisme lainnya sebagaimana diatur dalam anggaran
dasar.
Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS.
Pasal 15 …
- 7 -
Pasal 15
Ayat (1)
Salah satu Pejabat Eksekutif UUS adalah pejabat yang bertanggung jawab
langsung kepada Direktur UUS. Pejabat Eksekutif UUS yang bertanggung
jawab langsung kepada Direktur UUS tersebut memiliki tingkat jabatan
sama dengan pejabat BUK yang bertanggung jawab langsung kepada
Direktur BUK.
Ayat (2)
Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”informasi lain yang menunjukkan tidak
terpenuhinya aspek integritas” antara lain informasi track record yang
berasal dari hasil pengawasan Bank Indonesia atau sumber-sumber lainnya.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dalam Pasal ini antara lain adalah:
a. Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan dan aturan-aturan
pelaksanaannya;
b. Undang-Undang tentang Keimigrasian dan aturan-aturan pelaksanaannya;
dan
c. Peraturan Bank Indonesia tentang Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan
Program Alih Pengetahuan di Sektor Perbankan.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18 …
- 8 -
Pasal 18
Pemberian izin kegiatan dibidang devisa diberikan apabila UUS telah memenuhi
persyaratan antara lain:
a. memiliki sistem informasi teknologi yang memadai;
b. memiliki sumber daya manusia yang memahami aspek syariah dalam
kegiatan dibidang devisa;
c. memiliki daftar calon nasabah yang akan melakukan kegiatan devisa.
Pasal 19
Ayat (1)
Persetujuan atas permohonan pembukaan KCS diberikan berdasarkan pada
antara lain:
a. penilaian terhadap kesiapan operasional KCS;
b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh BUK yang
memiliki UUS;
c. analisis atas kinerja keuangan UUS, termasuk tingkat kesehatan;
d. pemenuhan persyaratan modal kerja minimal UUS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1); dan
e.
tidak sedang dalam pengawasan intensif, antara lain karena:
•
•
terdapat pelampauan dan/atau pelanggaran Batas Maksimum
Penyaluran Dana;
rasio Non Performing Financing (NPF) netto diatas 5%;
• dalam keadaan rugi yang semakin besar; dan
• memiliki peringkat komposit 4 atau 5 dalam penilaian tingkat
kesehatan UUS.
Ayat (2) …
- 9 -
Ayat (2)
Rencana bisnis UUS harus disajikan dan dilaporkan tersendiri yang dapat
merupakan bagian atau lampiran dari rencana bisnis BUK.
Ayat (3)
Huruf a
Pemisahan dimaksudkan agar nasabah dapat membedakan dengan
jelas antara kantor syariah dengan kantor konvensional.
Pemisahan dapat dilakukan dengan cara antara lain pembedaan warna
ruangan, pembuatan sekat (partisi) dan/atau pemisahan ruangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Surat penegasan dapat berupa persetujuan atau penolakan yang didasarkan
pada antara lain:
a. penilaian terhadap kesiapan operasional KCPS atau KKS;
b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh BUK yang
memiliki UUS; dan
c. pemenuhan …
- 10 -
c. pemenuhan persyaratan modal kerja minimal UUS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
Ayat (2)
Rencana bisnis UUS harus disajikan dan dilaporkan tersendiri yang dapat
merupakan bagian atau lampiran dari rencana bisnis BUK.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Pemisahan dimaksudkan agar nasabah dapat membedakan dengan
jelas antara kantor syariah dengan kantor konvensional.
Pemisahan dapat dilakukan dengan cara antara lain pembedaan warna
ruangan, pembuatan sekat (partisi) dan/atau pemisahan ruangan.
Yang dimaksud dengan “kantor” adalah antara lain kantor cabang,
kantor cabang pembantu dan kantor kas.
Yang dimaksud dengan “kantor lain“ adalah kantor dari bank lain atau
perusahaan lain.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan ditandatangani oleh Pemimpin KCS.
Ayat (3) …
- 11 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Surat penegasan dapat berupa persetujuan atau penolakan yang didasarkan
pada antara lain:
a. penilaian terhadap kesiapan sistem teknologi informasi; dan
b. penilaian terhadap sistem pengendalian risiko atas Kegiatan
Perbankan Elektronik.
Ayat (2)
Rencana bisnis UUS harus disajikan dan dilaporkan tersendiri yang dapat
merupakan bagian atau lampiran dari rencana bisnis BUK.
Ayat (3)
Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS.
Pasal 24
Ayat (1)
Tidak termasuk dalam KPKS adalah kegiatan pameran yang dilakukan
dalam rangka promosi, tidak bersifat permanen dan hanya menerima
setoran awal/titipan kas sesuai persyaratan setoran minimal pembukaan
rekening tabungan.
Rencana bisnis UUS harus disajikan dan dilaporkan tersendiri yang dapat
merupakan bagian atau lampiran dari rencana bisnis BUK.
Ayat (2)
Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS.
Ayat (3) …
- 12 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Rencana bisnis UUS harus disajikan dan dilaporkan tersendiri yang dapat
merupakan bagian atau lampiran dari rencana bisnis BUK.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “teknologi sistem informasi yang memadai”
adalah teknologi sistem informasi yang memungkinkan adanya
pencatatan transaksi nasabah syariah secara otomasi dan online dan
terpisah dengan pencatatan kantor konvensional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 27 …
- 13 -
Pasal 27
Ayat (1)
Persetujuan atas permohonan pembukaan KCS dan jenis-jenis kantor
lainnya di luar negeri diberikan berdasarkan pada antara lain:
a. penilaian terhadap kesiapan operasional KCS;
b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan; dan
c. analisis atas kemampuan UUS, tingkat kesehatan, kecukupan modal
kerja dan profil risiko.
Ayat (2)
Rencana bisnis UUS harus disajikan dan dilaporkan tersendiri yang dapat
merupakan bagian atau lampiran dari rencana bisnis BUK.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Pembukaan KCS dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri hanya dapat
dilaksanakan setelah mendapat izin dari otoritas di negara setempat.
Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Dengan diterbitkannya izin pembukaan KCS maka status kantor UUS berubah
dari Kantor Dibawah KCS menjadi KCS tanpa perlu memenuhi ketentuan
penutupan Kantor Dibawah KCS.
Pasal 30 …
- 14 -
Pasal 30
Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS.
Pasal 31
Ayat (1)
Persetujuan atas permohonan izin pemindahan alamat kantor UUS dan KCS
diberikan berdasarkan antara lain:
a. alasan pemindahan kantor;
b. kesiapan operasional kantor UUS dan KCS; dan
c. hasil analisis atas kinerja pada lokasi kantor lama dan studi kelayakan
usaha pada lokasi kantor yang baru.
Ayat (2)
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan antara lain:
a.
jarak lokasi kantor lama dengan yang baru;
b. jumlah nasabah yang telah dibiayai; dan
c.
infrastruktur penunjang pada lokasi kantor yang baru
Ayat (3)
Rencana bisnis UUS harus disajikan dan dilaporkan tersendiri yang dapat
merupakan bagian atau lampiran dari rencana bisnis BUK.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS.
Ayat (3) …
- 15 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “ditinjau kembali” adalah izin pemindahan
dibatalkan apabila BUK yang memiliki UUS tidak dapat menyampaikan
alasan yang relevan atas keterlambatan pelaksanaan pemindahan kantor
atau diperpanjang apabila penundaan disebabkan oleh hal-hal yang tidak
dapat dihindari (force majeur) oleh BUK atau pertimbangan lain yang dapat
diterima.
Pasal 33
Ayat (1)
Surat penegasan dapat berupa persetujuan atau penolakan yang didasarkan
pada antara lain:
a. alasan pemindahan kantor;
b. kesiapan operasional kantor KCPS dan KKS; dan
c. hasil analisis atas kinerja pada lokasi kantor lama dan studi kelayakan
usaha pada lokasi kantor yang baru.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan antara lain:
a.
jarak lokasi kantor lama dengan yang baru;
b. jumlah nasabah yang telah dibiayai; dan
c.
infrastruktur penunjang pada lokasi kantor yang baru.
Pasal 34 …
- 16 -
Pasal 34
Ayat (1)
Pengumuman dapat dilakukan antara lain dengan menempelkan
pengumuman di lokasi kantor yang lama.
Ayat (2)
Laporan ditandatangani oleh Pimpinan KCS induknya.
Pasal 35
Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyampaian laporan ditandatangani oleh Direktur UUS.
Pasal 38
Laporan ditandatangani oleh Pimpinan KCS induknya.
Pasal 39
Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41 …
- 17 -
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Perhitungan rasio KPMM berdasarkan pada perhitungan Bank Indonesia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 42
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
adalah antara lain Undang-undang tentang Perseroan Terbatas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “menyelesaikan” adalah menyelesaikan seluruh hak
dan kewajiban UUS dengan cara antara lain dialihkan menjadi hak dan
kewajiban BUK yang memiliki UUS, dijual kepada pihak lain atau dilunasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44 …
- 18 -
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh :
UUS Bank XYZ memiliki modal kerja sebesar Rp150.000.000.000,00
(seratus lima puluh milyar rupiah), maka penambahan modal sebesar
Rp350.000.000.000,00 (tiga ratus lima puluh milyar rupiah) yang dilakukan
untuk mencapai Rp500.000.000.000,00 (lima ratus milyar rupiah) harus
dilakukan dalam bentuk tunai dan/atau tanah dan gedung yang akan
digunakan untuk operasional BUS hasil Pemisahan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 46 …
- 19 -
Pasal 46
Huruf a
Persetujuan atas permohonan persetujuan prinsip pendirian BUS hasil
Pemisahan diberikan berdasarkan pada antara lain:
a. pemenuhan aspek legal mengenai tahapan persiapan Pemisahan UUS
yang dilakukan oleh BUK;
b. analisis atas proforma laporan keuangan BUS hasil Pemisahan; dan
c. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon
pemegang saham pengendali, calon Dewan Komisaris dan calon
Direksi, serta wawancara terhadap DPS.
Huruf b
Persetujuan atas permohonan izin usaha pendirian BUS hasil Pemisahan
diberikan berdasarkan pada antara lain:
a. pemenuhan aspek legal baik dalam pemisahan hak dan kewajiban
UUS maupun dalam pendirian BUS hasil Pemisahan;
b. analisis terhadap kesiapan operasional BUS hasil Pemisahan;
c. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon
pemegang saham pengendali, calon Dewan Komisaris dan calon
Direksi, serta wawancara terhadap DPS, apabila terjadi perubahan.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Hal-hal yang harus dijelaskan melalui presentasi di Bank Indonesia antara
lain:
a.
tujuan dan alasan pendirian BUS hasil Pemisahan;
b. sumber …
- 20 -
b. sumber permodalan dan kepemilikan;
c. pangsa utama penghimpunan dan penyaluran dana; dan
d. rencana struktur organisasi dan personalia.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Surat pengajuan ditandatangani oleh Direktur UUS.
Yang dimaksud dengan “akta pendirian” adalah akta pendirian yang telah
mendapat persetujuan dari instansi yang berwenang.
Pasal 50
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha” adalah kegiatan usaha BUS
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah Pasal 19 termasuk kegiatan usaha UUS dari
hasil Pemisahan.
BUS hasil Pemisahan dapat membuka kantor pelayanan syariah di kantor
BUK yang memiliki hubungan kepemilikan dengan BUS hasil Pemisahan
setelah mendapat penegasan dari Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “ditinjau kembali” adalah:
a. diperpanjang ...
- 21 -
a. diperpanjang apabila keterlambatan operasional disebabkan oleh hal-
hal yang tidak dapat dihindari (force majeur) atau pertimbangan lain
yang dapat diterima; atau
b. dibatalkan apabila BUS hasil Pemisahan tidak dapat menyampaikan
alasan yang relevan atas keterlambatan pelaksanaan kegiatan usaha.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “kewajiban“ adalah kewajiban kepada nasabah
penyimpan, nasabah investor, nasabah penerima fasilitas UUS baik yang
tercatat pada neraca (on balance sheet) atau pada rekening administratif (off
balance sheet) serta kewajiban lainnya seperti gaji karyawan Bank dan
pajak terutang.
Pasal 51
Surat pengajuan ditandatangani oleh Direktur UUS.
Pasal 52
Ayat (1)
Persetujuan atas permohonan pengalihan hak dan kewajiban UUS kepada
BUS penerima Pemisahan diberikan berdasarkan pada antara lain:
a. pemenuhan aspek legal Pemisahan UUS;
b. analisis rencana pengalihan hak dan kewajiban UUS; dan
c. analisis atas proforma laporan keuangan BUS penerima Pemisahan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 53 …
- 22 -
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan ditandatangani oleh Direktur UUS.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “ditinjau kembali” adalah:
a. diperpanjang apabila keterlambatan pengalihan disebabkan oleh hal-
hal yang tidak dapat dihindari (force majeur) atau pertimbangan lain
yang dapat diterima; atau
b. dibatalkan apabila BUK yang memiliki UUS tidak dapat
menyampaikan alasan yang relevan atas keterlambatan pengalihan.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “kewajiban“ adalah kewajiban kepada nasabah
penyimpan, nasabah investor, nasabah penerima fasilitas UUS baik yang
tercatat pada neraca (on balance sheet) atau pada rekening administratif (off
balance sheet) serta kewajiban lainnya seperti gaji karyawan bank dan
pajak terutang.
Pasal 54
Surat pengajuan ditandatangani oleh Direktur UUS.
Pasal 55
Persetujuan atau penolakan atas permintaan pencabutan izin usaha UUS
didasarkan pada antara lain hasil analisis terhadap penjelasan yang disampaikan
oleh …
- 23 -
oleh BUK yang memiliki UUS mengenai alasan penutupan kegiatan usaha UUS
dan/atau dampaknya terhadap masyarakat.
Penjelasan rencana penutupan kegiatan usaha UUS dilakukan oleh BUK yang
memiliki UUS melalui presentasi di Bank Indonesia.
Pasal 56
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kewajiban“ adalah kewajiban kepada
nasabah penyimpan, nasabah investor, nasabah penerima fasilitas
UUS baik yang tercatat pada neraca (on balance sheet) atau pada
rekening administratif (off balance sheet) serta kewajiban lainnya
seperti gaji karyawan bank dan pajak terutang.
Ayat (2)
Penyampaian laporan ditandatangani oleh Direktur UUS.
Pasal 57
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan laporan keuangan paling kurang mencakup neraca
dan rekening administratif dan perhitungan laba rugi.
Ayat (2) …
- 24 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan perlakuan akuntansi meliputi Pengakuan,
Pengukuran, Penyajian dan Pengungkapan atas transaksi keuangan yang
dilakukan.
Untuk perlakuan akuntansi atas transaksi-transaksi yang belum diatur dalam
pedoman akuntansi perbankan syariah Indonesia wajib mengikuti ketentuan
akuntansi syariah yang lazim berlaku secara umum (Generally Accepted
Islamic Accounting Principles).
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Surat pengajuan ditandatangani oleh pimpinan kantor UUS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Kantor UUS yang dimaksud meliputi kantor UUS, KCS, KCPS dan KKS.
Pencantuman nama dan jenis kantor UUS dapat dilakukan antara lain
melalui papan nama dan/atau pada dinding atau kaca depan jaringan kantor
UUS agar mudah terlihat oleh nasabah.
Contoh:
1. Penulisan KCS
PT Bank XXX
Kantor …
- 25 -
Kantor Cabang Syariah YYY
2. Penulisan KCPS
PT Bank XXX
Kantor Cabang Pembantu Syariah YYY.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 61
Peningkatan kompetensi dapat dilakukan antara lain melalui pendidikan
sertifikasi sesuai dengan tingkat jabatan.
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia apabila telah
disampaikan secara lengkap dengan memuat data, informasi dan/atau
dokumen yang dipersyaratkan sesuai jenis laporannya.
Tanggal penerimaan laporan oleh Bank Indonesia adalah tanggal:
a. stempel pos (time stamp), apabila laporan dikirimkan melalui P.T. Pos
Indonesia; atau
b. penerimaan laporan, apabila laporan disampaikan secara langsung
oleh BUK atau UUS atau dikirimkan melalui perusahaan jasa
pengiriman selain P.T. Pos Indonesia.
Huruf a
Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung sebagai berikut:
Jumlah kewajiban membayar =
jumlah …
- 26 -
jumlah hari kerja keterlambatan x Rp1.000.000,00 x jumlah
laporan/ pengumuman.
Huruf b
Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung sebagai berikut:
Jumlah kewajiban membayar =
Rp30.000.000,00 x jumlah laporan/ pengumuman.
BUK atau UUS yang dikenakan sanksi tidak menyampaikan
laporan/pengumuman, tidak dikenakan sanksi keterlambatan
penyampaian laporan/pengumuman.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Bagi BUK yang sedang mengajukan permohonan izin usaha UUS sebelum
diberlakukannya ketentuan ini wajib menyesuaikan ketentuan modal kerja dan
ketentuan rangkap jabatan anggota DPS paling lambat 2 (dua) tahun setelah izin
usaha diberikan.
Pasal 65 …
- 27 -
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4992
DPbS
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/10/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 19 Maret 2009 </set_date>
<effective_date> 19 Maret 2009 </effective_date>
<issued_date> 19 Maret 2009 </issued_date>
<replaced_reg> '9/7/PBI/2007', '8/3/PBI/2006' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '40/UU/2007' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XVI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 22/2/PBI/2020
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/10/PBI/2018
TENTANG TRANSAKSI DOMESTIC NON-DELIVERABLE FORWARD
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah, dapat dicapai salah
satunya dengan kegiatan lindung nilai melalui transaksi
domestic non-deliverable forward;
b. bahwa untuk mendorong kegiatan lindung nilai melalui
transaksi domestic non-deliverable forward, diperlukan
jenis underlying transaksi yang lebih bervariasi untuk
memberikan keleluasaan bertransaksi bagi pelaku pasar
dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/10/PBI/2018
tentang Transaksi Domestic Non-Deliverable Forward;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/10/PBI/2018
tentang Transaksi Domestic Non-Deliverable Forward
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor
170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6252) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 21/7/PBI/2019 tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/10/PBI/2018 tentang Transaksi Domestic Non-
Deliverable Forward (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2019 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6353);
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
20/10/PBI/2018 TENTANG TRANSAKSI DOMESTIC NON-
DELIVERABLE FORWARD.
Pasal I
Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/10/PBI/2018 tentang Transaksi Domestic Non-Deliverable
Forward (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6252) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 21/7/PBI/2019 tentang Perubahan
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/10/PBI/2018
tentang Transaksi Domestic Non-Deliverable Forward
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 101,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6353)
diubah sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 3 ayat (2) ditambah 1 (satu) huruf, yakni huruf
d sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Transaksi DNDF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf b dan Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b
wajib memiliki Underlying Transaksi.
(2) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi seluruh kegiatan:
a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar
negeri;
b. investasi berupa direct investment, portfolio
investment, pinjaman, modal, dan investasi lainnya di
dalam dan di luar negeri;
- 4 -
c. pemberian kredit atau pembiayaan Bank dalam
valuta asing untuk kegiatan perdagangan dan
investasi, khusus untuk transaksi antara Bank
dengan Nasabah; dan/atau
d. kepemilikan rekening rupiah oleh Pihak Asing.
(3) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tidak termasuk:
a. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia;
b. penempatan dana;
c.
d. dokumen penjualan valuta asing terhadap rupiah;
e. kegiatan pengiriman uang oleh perusahaan transfer
dana;
kredit antarnasabah (intercompany loan); dan
g. kegiatan usaha perdagangan valuta asing.
(4) Kewajiban kepemilikan
f.
Underlying
Transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk
penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi
DNDF oleh Nasabah atau Pihak Asing dengan nilai
nominal paling banyak USD5,000,000.00 (lima juta dolar
Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi untuk
setiap Nasabah atau setiap Pihak Asing.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
fasilitas pemberian kredit atau pembiayaan Bank
yang belum ditarik;
- 5 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Maret 2020
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Maret 2020
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 79
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 22/2/PBI/2020
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/10/PBI/2018
TENTANG TRANSAKSI DOMESTIC NON-DELIVERABLE FORWARD
I. UMUM
Dalam melaksanakan tugas Bank Indonesia untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai
rupiah, Bank Indonesia telah
mengimplementasikan kebijakan Transaksi DNDF di pasar valuta asing
domestik. Transaksi DNDF ini merupakan bagian dari upaya pengayaan
instrumen lindung nilai yang dapat digunakan oleh para pelaku pasar yang
memiliki risiko nilai tukar.
Sebagai salah satu upaya untuk menjaga stabilitas moneter dan
sistem keuangan di tengah ketidakpastian ekonomi global, khususnya
untuk Transaksi DNDF, Bank Indonesia melakukan pengembangan
Transaksi DNDF melalui perluasan jenis Underlying Transaksi bagi Pihak
Asing sehingga dapat memberikan alternatif dan fleksibilitas untuk lindung
nilai atas kepemilikan rupiah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
-2-
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “investasi lainnya” antara lain
investasi dan/atau transaksi yang dilakukan untuk
pelaksanaan kebijakan Pemerintah terkait perpajakan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kredit atau pembiayaan”
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga atau imbalan,
termasuk:
1. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada
rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar
lunas pada akhir hari;
2. pengambilalihan tagihan dalam kegiatan anjak
piutang; atau
3. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak
lain.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kepemilikan rekening rupiah
oleh Pihak Asing” adalah seluruh rekening dana rupiah
dalam bentuk cash (cash account) milik Pihak Asing
pada Bank, antara lain berbentuk tabungan, giro,
dan/atau deposito untuk tujuan investasi, menampung
hasil investasi, dan/atau tujuan lainnya.
Ayat (3)
Huruf a
Surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
antara lain Sertifikat Bank Indonesia dan Surat
Berharga Bank Indonesia dalam valuta asing.
-3-
Huruf b
Penempatan dana antara lain berupa tabungan, giro,
deposito, dan sertifikat deposito (negotiable certificate of
deposit).
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kredit atau pembiayaan”
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga atau imbalan,
termasuk:
1. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada
rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar
lunas pada akhir hari;
2. pengambilalihan tagihan dalam kegiatan anjak
piutang; atau
3. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak
lain.
Fasilitas pemberian kredit atau pembiayaan yang
belum ditarik antara lain berupa kredit atau
pembiayaan siaga (standby loan) dan kredit atau
pembiayaan yang belum dicairkan (undisbursed loan).
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Kredit antarnasabah (intercompany loan) antara lain
berupa pemberian kredit dalam satu grup perusahaan
atau antarperusahaan yang terafiliasi.
Huruf g
Cukup jelas.
-4-
Ayat (4)
Contoh:
Investor AN melakukan investasi di Indonesia namun belum
memutuskan aset rupiah yang akan dibeli.
Investor AN memutuskan untuk melakukan penjualan
valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi DNDF
sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat)
kepada Bank A.
Transaksi ini dapat dilakukan tanpa didukung Underlying
Transaksi karena masih dalam batasan penjualan Transaksi
DNDF sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika
Serikat).
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6482
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 22/2/PBI/2020 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/10/PBI/2018 TENTANG TRANSAKSI DOMESTIC NON-DELIVERABLE FORWARD </reg_title>
<set_date> 19 Maret 2020 </set_date>
<effective_date> 19 Maret 2020 </effective_date>
<issued_date> 19 Maret 2020 </issued_date>
<changed_reg> '20/10/PBI/2018' </changed_reg>
<extension_of> '21/7/2019' </extension_of>
<related_reg> '2/PERPPPU/2008', '20/10/PBI/2018', '23/UU/1999', '21/7/PBI/2019', '24/UU/1999', '6/UU/2009' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/43/PBI/2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 8/29/PBI/2006 TENTANG DAFTAR HITAM NASIONAL
PENARIK CEK DAN/ATAU BILYET GIRO KOSONG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa sehubungan dengan perubahan ketentuan
mengenai bilyet giro dan dalam rangka memelihara dan
meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam
penggunaan cek dan/atau bilyet giro, Bank Indonesia
perlu menyesuaikan ketentuan mengenai daftar hitam
nasional penarik cek dan/atau bilyet giro kosong;
b. bahwa untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan
masyarakat dalam penggunaan cek dan/atau bilyet giro
sebagai instrumen pembayaran, perlu penguatan aspek
keamanan, kehati-hatian, dan perlindungan bagi
pengguna melalui penyempurnaan tata cara
penatausahaan dan pengawasan dalam penggunaan cek
dan/atau bilyet giro;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Bank Indonesia tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/29/PBI/2006 tentang Daftar Hitam
Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong;
- 2 -
Mengingat
: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van
Koophandel, Staatsblad 1847:23) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1971 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1971 Nomor 20, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2959);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer
Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia 5204);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/29/PBI/2006
TENTANG DAFTAR HITAM NASIONAL PENARIK CEK
DAN/ATAU BILYET GIRO KOSONG.
- 3 -
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/29/PBI/2006 tentang Daftar Hitam Nasional Penarik Cek
dan/atau Bilyet Giro Kosong (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 107, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4669) diubah sebagai
berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 1
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang yang mengatur mengenai
perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri dan bank umum syariah
termasuk Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
2. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit kerja dari kantor pusat bank umum
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk
dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di
kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di
luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk
dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit
syariah.
3. Kantor Cabang Syariah adalah kantor cabang yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah dari bank umum konvensional.
4. Cek adalah cek sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang.
5. Bilyet Giro adalah bilyet giro sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai bilyet giro.
- 4 -
6. Penarik adalah Pemilik Rekening yang menerbitkan
Cek dan/atau Bilyet Giro.
7. Pemilik Rekening adalah orang atau badan yang
memiliki Rekening Giro atau memiliki fasilitas
Rekening Khusus pada Bank.
8. Rekening Giro adalah rekening giro Rupiah yang
dananya dapat ditarik setiap saat dengan
menggunakan Cek dan/atau Bilyet Giro, sarana
perintah pembayaran lainnya, atau dengan
pemindahbukuan.
9. Rekening Giro Gabungan (joint account) adalah
Rekening Giro yang dimiliki oleh lebih dari satu
Pemilik Rekening, yang dapat terdiri atas gabungan
badan dan/atau perorangan.
10. Rekening Khusus adalah rekening yang khusus
dibuka dan disediakan oleh Bank Tertarik bagi
Penarik yang memiliki Rekening Giro yang telah
ditutup atas permintaan sendiri atau karena dikenai
sanksi berupa pencantuman identitas Pemilik
Rekening dalam DHN yang berlaku, dan hanya dapat
digunakan untuk menampung Dana guna memenuhi
kewajiban pembayaran atau pemindahbukuan atas
Cek dan/atau Bilyet Giro yang masih beredar.
11. Dana adalah saldo efektif pada Rekening Giro atau
Rekening Khusus Penarik, termasuk fasilitas cerukan
dari Bank Tertarik.
12. Bank Tertarik adalah Bank yang diperintahkan oleh
Penarik untuk melakukan pembayaran atau
pemindahbukuan sejumlah Dana dengan
menggunakan Cek dan/atau Bilyet Giro.
13. Pemegang adalah Nasabah:
a. pemegang Cek yang memperoleh pembayaran
atau pemindahbukuan Dana; atau
b. penerima Bilyet Giro yang memperoleh
pemindahbukuan Dana,
dari Bank Tertarik sebagaimana diperintahkan oleh
Penarik kepada Bank Tertarik.
- 5 -
14. Perjanjian Pembukaan Rekening Giro adalah
dokumen tertulis dalam rangka pembukaan Rekening
Giro yang mendasari hubungan hukum antara Bank
dengan Pemilik Rekening.
15. Penarikan adalah setiap kegiatan penerbitan Cek
dan/atau Bilyet Giro oleh Penarik.
16. Tanggal Penarikan adalah tanggal yang tercantum
pada Cek atau Bilyet Giro dan merupakan tanggal
diterbitkannya Cek atau Bilyet Giro.
17. Pengunjukan adalah penyerahan Cek dan/atau Bilyet
Giro oleh Pemegang kepada Bank Tertarik baik
melalui Kliring oleh Bank Penagih maupun melalui
loket Bank Tertarik (over the counter).
18. Bank Penagih adalah Bank yang menerima Cek
dan/atau Bilyet Giro dan melakukan penagihan
kepada Bank Tertarik melalui Kliring.
19. Daftar Hitam Individual Bank yang selanjutnya
disingkat DHIB adalah daftar yang dibuat dan
ditetapkan oleh Bank yang mencantumkan data
Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong.
20. Kantor Pengelola Daftar Hitam Nasional yang
selanjutnya disingkat KPDHN adalah kantor yang
ditetapkan oleh Bank Tertarik untuk mengelola daftar
hitam untuk seluruh kantor Bank yang bersangkutan
secara nasional.
21. Daftar Hitam Nasional yang selanjutnya disingkat
DHN adalah informasi mengenai data Penarik Cek
dan/atau Bilyet Giro Kosong, yang dikompilasi oleh
Bank Indonesia sesuai dengan DHIB yang
disampaikan oleh KPDHN.
22. Tenggang Waktu Pengunjukan adalah jangka waktu
selama 70 (tujuh puluh) hari sejak Tanggal Penarikan
Cek atau Bilyet Giro.
23. Tanggal Efektif adalah tanggal yang tercantum pada
Bilyet Giro dan merupakan tanggal mulai berlakunya
perintah pemindahbukuan.
- 6 -
24. Tenggang Waktu Efektif adalah jangka waktu yang
disediakan oleh Penarik kepada Penerima untuk
meminta pelaksanaan perintah dalam Bilyet Giro
kepada Bank Tertarik.
25. Kliring adalah proses perhitungan atas tagihan
sejumlah dana yang dilakukan antarpeserta Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia dalam layanan kliring
warkat debit dari satu pengirim tagihan kepada satu
penerima tagihan yang disertai dengan fisik warkat
debit.
26. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank,
termasuk pihak yang tidak memiliki rekening namun
memanfaatkan jasa Bank untuk melakukan transaksi
keuangan.
27. Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong adalah Cek
dan/atau Bilyet Giro yang ditolak pembayaran atau
pemindahbukuannya oleh Bank Tertarik dengan
alasan penolakan sebagaimana ditetapkan dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
28. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang terjadi
diluar kekuasaan Pemilik Rekening yang diakibatkan
oleh tetapi tidak terbatas pada kebakaran, kerusuhan
massa, sabotase, serta bencana alam seperti gempa
bumi dan banjir yang dinyatakan oleh pihak penguasa
atau pejabat yang berwenang setempat, termasuk
Bank Indonesia.
2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 3
(1) Bank dapat memberikan Cek dan/atau Bilyet Giro
kepada Nasabah yang telah memenuhi persyaratan
dalam pembukaan Rekening Giro sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
- 7 -
(2) Bank wajib menatausahakan Cek dan/atau Bilyet
Giro yang telah diberikan kepada Nasabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 4
(1) Penarik wajib telah menyediakan Dana yang cukup
pada Bank Tertarik, dengan ketentuan:
a. untuk Cek, pada saat diunjukkan kepada Bank
Tertarik; dan
b. untuk Bilyet Giro, sejak Tanggal Efektif sampai
dengan berakhirnya Tenggang Waktu
Pengunjukan.
(2) Ketentuan tentang kewajiban penyediaan Dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
untuk:
a. Cek yang diunjukkan telah dibatalkan oleh
Penarik;
b. Cek yang diunjukkan telah daluwarsa; dan/atau
c. Bilyet Giro yang diunjukkan tidak dalam
Tenggang Waktu Efektif.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban
penyediaan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
(1) Penarik tidak dapat membatalkan Cek dan/atau
Bilyet Giro selama Tenggang Waktu Pengunjukan.
(2) Pembatalan Cek oleh Penarik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a hanya dapat dilakukan
setelah Tenggang Waktu Pengunjukan berakhir.
- 8 -
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembatalan
Cek diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
5. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 11
(1) Cek dan/atau Bilyet Giro wajib ditolak
pembayarannya jika memenuhi alasan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Cek dan/atau Bilyet Giro yang ditolak pembayarannya
oleh Bank Tertarik dengan alasan Dana tidak cukup,
Rekening Giro telah ditutup, atau Rekening Khusus
telah ditutup dikategorikan sebagai Cek dan/atau
Bilyet Giro Kosong.
(3) Kategori Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku
dalam hal:
a. unsur Cek atau syarat formal Bilyet Giro tidak
dipenuhi;
b. Cek telah daluwarsa;
c. Cek dibatalkan setelah Tenggang Waktu
Pengunjukan berakhir;
d. pencantuman Tanggal Efektif Bilyet Giro tidak
dalam Tenggang Waktu Pengunjukan;
e. Bilyet Giro diunjukkan tidak dalam Tenggang
Waktu Efektif; atau
f. Cek dan/atau Bilyet Giro diduga palsu atau
dimanipulasi.
(4) Kategori Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong terhadap
Cek dan/atau Bilyet Giro yang diblokir
pembayarannya ditetapkan oleh Bank Indonesia.
- 9 -
(5) Dalam hal Bank Tertarik menolak pembayaran atau
pemindahbukuan Cek dan/atau Bilyet Giro dengan
alasan selain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Tertarik
harus dapat mempertanggungjawabkan penolakan
Cek dan/atau Bilyet Giro tersebut dan melaporkannya
kepada Bank Indonesia.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. alasan penolakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) beserta tata cara penolakannya;
b. pengecualian kategori Cek dan/atau Bilyet Giro
Kosong sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
c. pengkategorian Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong
terhadap Cek dan/atau Bilyet Giro yang diblokir
pembayarannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (4); dan
d. tata cara pelaporan penolakan Cek dan/atau
Bilyet Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
6. Diantara Pasal 11 dan Pasal 12 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 11A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11A
(1) Bank Tertarik yang melakukan penolakan Cek
dan/atau Bilyet Giro dengan alasan diduga palsu atau
dimanipulasi wajib menahan dan menunda
pembayaran Cek dan/atau Bilyet Giro.
(2) Penahanan dan penundaan pembayaran Cek
dan/atau Bilyet Giro wajib ditindaklanjuti dengan
verifikasi paling lama sampai dengan 1 (satu) hari
kerja berikutnya.
(3) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) menunjukkan bahwa indikasi
pemalsuan tidak terbukti, Cek dan/atau Bilyet Giro
diproses sesuai dengan ketentuan.
- 10 -
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penahanan dan
penundaan pembayaran Cek dan/atau Bilyet Giro
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
7. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 12
(1) Bank Tertarik wajib memberitahukan secara tertulis
alasan penolakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) dan/atau penahanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11A ayat (1) kepada Pemegang
atau Bank Penagih.
(2) Bank Tertarik wajib memberitahukan secara tertulis
alasan penolakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2) kepada Penarik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemberitahuan alasan penolakan dan/atau
penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
8. Ketentuan BAB X diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
BAB X
PENGAWASAN KEPATUHAN
Pasal 26
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan kepatuhan
Bank terhadap Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Pengawasan kepatuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung.
(3) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan kepatuhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank wajib:
a. menyampaikan laporan berkala;
b. menyampaikan laporan insidental;
- 11 -
c. memberikan data, informasi, dan/atau dokumen
yang diperlukan terkait dengan penatausahaan
DHN Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong;
d. memberikan akses kepada Bank Indonesia untuk
melakukan pemeriksaan terhadap dokumen,
sarana fisik, dan aplikasi pendukung, yang
terkait dengan penatausahaan DHN Penarik Cek
dan/atau Bilyet Giro Kosong; dan
e. menindaklanjuti hasil pengawasan kepatuhan
yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan
kepatuhan diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 26A
(1) Kewajiban penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) huruf a dan huruf
b dilakukan sesuai dengan tata cara dan batas waktu
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Dalam hal Bank tidak menyampaikan laporan berkala
sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank tetap wajib menyampaikan
laporan berkala paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan batas
waktu penyampaian laporan diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
9. Di antara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 28A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28A
(1) Bank yang terlambat atau tidak menyampaikan
laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26A ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa
kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 (lima
ratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan sejak
- 12 -
batas waktu penyampaian laporan dan paling banyak
sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
(2) Dalam hal Bank tidak menyampaikan laporan
insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A
ayat (3) huruf b, dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
10. Di antara Pasal 31 dan Pasal 32 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 31A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31A
Bank yang melakukan pelanggaraan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
11. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 33
(1) Bank harus melakukan pembinaan terhadap seluruh
Pemilik Rekening di Bank yang bersangkutan dalam
rangka penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro.
(2) Dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank berwenang membekukan hak
penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro termasuk
melakukan penutupan Rekening Giro, meskipun
identitas Pemilik Rekening tidak tercantum dalam
DHN.
(3) Pembekuan hak penggunaan Cek dan/atau Bilyet
Giro atau penutupan Rekening Giro sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal:
a. Bank meragukan kredibilitas Pemilik Rekening;
b. terdapat permintaan dari Pemilik Rekening; atau
c.
terdapat permintaan dari pihak yang berwenang
sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
- 13 -
(4) Pelaksanaan pembekuan atau penutupan Rekening
Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diberitahukan secara tertulis kepada Pemilik
Rekening.
Pasal II
1. Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku,
alasan penolakan terhadap Cek dan/atau Bilyet Giro serta
penatausahaan Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong
yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini, tetap diproses dengan mengacu pada
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/29/PBI/2006 tentang
Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro
Kosong dan ketentuan pelaksanaannya.
2. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
1 April 2017.
- 14 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 296
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/43/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/29/PBI/2006 TENTANG DAFTAR HITAM NASIONAL PENARIK CEK DAN/ATAU BILYET GIRO KOSONG </reg_title>
<set_date> 22 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 1 April 2017 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date>
<changed_reg> '8/29/PBI/2006' </changed_reg>
<related_reg> '4/UU/1971', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '23/KUHD STBLD/1847' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 9 Pasal 28A', 'Pasal I Angka 10 Pasal 31A' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/22/PBI/2016
TENTANG
PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS
PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU)
TAHUN EMISI 2016
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis,
baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus
dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara
Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah
dalam kegiatan perekonomian nasional
guna
mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia;
b. bahwa guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka
melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu
mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal
yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan
dalam kondisi yang layak edar;
c. bahwa untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank
- 2 -
Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan
keandalannya;
d. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Pecahan 50.000 (Lima
Puluh Ribu) Tahun Emisi 2016;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN
UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH
RIBU) TAHUN EMISI 2016.
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 50.000
(lima puluh ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran
yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- 3 -
Pasal 2
Macam uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciri tertentu.
Pasal 3
Harga uang Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp50.000,00 (lima
puluh ribu rupiah).
Pasal 4
Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
terdapat pada bagian depan dan bagian belakang meliputi:
a. ciri umum; dan
b. ciri khusus.
Pasal 5
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf a, pada bagian depan terdapat:
a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”;
b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”;
c. sebutan pecahan dalam angka “50000” dan tulisan
“LIMA PULUH RIBU RUPIAH”;
d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta
tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri
Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan
“MENTERI KEUANGAN”;
e.
f. gambar
tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”;
utama yaitu
Pahlawan Nasional
Ir. H. Djuanda Kartawidjaja beserta tulisan
“Ir. H. DJUANDA KARTAWIDJAJA”;
g. gambar ornamen batik; dan
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan biru;
- 4 -
b.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f;
c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan
“BI” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu;
e. gambar tersembunyi (latent image) multiwarna
berupa angka “50” yang dapat dilihat dari sudut
pandang tertentu;
f. gambar perisai yang di dalamnya berisi logo Bank
Indonesia yang akan berubah warna apabila dilihat
dari sudut pandang berbeda (colour shifting);
g. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan
(tactile);
h. gambar raster berupa tulisan “NKRI” yang tertulis
utuh dan/atau sebagian;
i.
mikroteks yang memuat tulisan “BI50”, tulisan
“BI50000”, dan angka “50”, yang dapat dilihat
dengan bantuan kaca pembesar; dan
j.
hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau
beberapa warna apabila dilihat dengan sinar
ultraviolet berupa:
1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah
satunya berisi tulisan “BI”;
2. angka nominal “50000”;
3. ornamen batik; dan
4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 6
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf a, pada bagian belakang terdapat:
a. angka nominal “50000”;
b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi
3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka;
- 5 -
c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
NEGARA KESATUAN REPUBLIK
INDONESIA
MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI LIMA
PULUH RIBU RUPIAH”;
d. tulisan tahun cetak “TC 2016”;
e. gambar utama yaitu tari legong beserta tulisan “TARI
LEGONG”, pemandangan alam Taman Nasional
Komodo beserta tulisan “Taman Nasional Komodo”,
dan bunga jepun bali;
f. tulisan “BANK INDONESIA”;
g. gambar ornamen batik;
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan
i.
tulisan “PERURI”.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan biru;
b.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf c, dan huruf f;
c.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
gambar tari legong, tulisan “TARI LEGONG”, dan
tulisan “Taman Nasional Komodo”;
d. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
e. gambar tersembunyi (latent image) berupa angka
“50” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu;
f. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka
“50000”;
g. mikroteks yang memuat tulisan “BANKINDONESIA”,
tulisan “BI50000”, dan angka “50000”, yang dapat
dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan
- 6 -
h. hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau
beberapa warna apabila dilihat dengan sinar
ultraviolet berupa:
1. gambar bunga jepun bali;
2. gambar burung jalak bali;
3. bidang persegi empat yang berisi tulisan “BI”;
4. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan
5. nomor seri dengan bentuk asimetris yang
meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka.
(3) Angka dalam tulisan tahun cetak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d akan berubah sesuai dengan tahun
cetak.
Pasal 7
Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri
khusus sebagai berikut:
a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi:
1. terbuat dari serat kapas;
2. berwarna biru muda;
3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet;
4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar
Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan ornamen
tertentu; dan
5. terdapat benang pengaman berbentuk anyaman
yang memuat tulisan “BI 50000” secara berulang,
yang akan berubah warna apabila dilihat dari sudut
pandang berbeda (colour shifting); dan
b. ukuran yaitu panjang 149 (seratus empat puluh
sembilan) milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima)
milimeter.
Pasal 8
Uang Rupiah kertas pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun
emisi 2005 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat
- 7 -
pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari
peredaran.
Pasal 9
Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai
berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016.
Pasal 10
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Oktober 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Oktober 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 205
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/22/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016 </reg_title>
<set_date> 25 Oktober 2016 </set_date>
<effective_date> 27 Oktober 2016 </effective_date>
<issued_date> 27 Oktober 2016 </issued_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 1 /PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 8/5/PBI/2006 TENTANG MEDIASI PERBANKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan mediasi perbankan diperlukan
guna menyelesaikan sengketa antara nasabah dengan bank
yang apabila tidak dilaksanakan berpotensi merugikan
kepentingan nasabah dan mempengaruhi reputasi bank;
b. bahwa lembaga mediasi perbankan yang seharusnya
dibentuk oleh asosiasi perbankan untuk menyelenggarakan
alternatif penyelesaian sengketa melalui cara mediasi
belum dapat direalisasikan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan b dipandang perlu untuk melakukan
perubahan atas Peraturan Bank Indonesia tentang Mediasi
Perbankan;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik ...
- 2 -
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3821);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872);
5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang
Penyelesaian Pengaduan Nasabah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 17, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4476);
6. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang
Mediasi Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4601);
MEMUTUSKAN …..
- 3 -
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 8/5/PBI/2006 TENTANG MEDIASI
PERBANKAN.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006
tentang Mediasi Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4601) diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 3 ayat (2) dihapus sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Mediasi di bidang perbankan dilakukan oleh lembaga Mediasi perbankan
independen yang dibentuk asosiasi perbankan.
(2) Dihapus.
(3) Dalam pelaksanaan tugasnya lembaga Mediasi perbankan independen
melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia.
(4) Sepanjang lembaga Mediasi perbankan independen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum dibentuk, fungsi Mediasi perbankan
dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
2. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15 …
- 4 -
Pasal 15
Pengajuan penyelesaian Sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
disampaikan kepada Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan, Bank
Indonesia, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Januari 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 10
DPNP/DPbS/DPBPR
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 1 /PBI/2008
TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 8/5/PBI/2006 TENTANG MEDIASI PERBANKAN
UMUM
Mediasi perbankan sebagai alternatif penyelesaian sengketa perbankan
merupakan cara yang sederhana, murah, dan cepat untuk menyelesaikan
permasalahan yang terjadi antara nasabah dengan bank. Selain itu, hasil mediasi
yang merupakan kesepakatan antara nasabah dan bank dipandang merupakan
bentuk penyelesaian permasalahan yang efektif karena kepentingan nasabah
maupun reputasi bank dapat dijaga.
Penyelenggaraan mediasi perbankan idealnya dilaksanakan oleh kalangan
industri perbankan sendiri yang dalam hal ini dapat diwakili oleh asosiasi
perbankan. Namun demikian, pembentukan lembaga mediasi perbankan yang
akan mewadahi penyelenggaraan mediasi perbankan sebagaimana diamanatkan
dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi
Perbankan belum dapat direalisasikan karena adanya kendala-kendala seperti
aspek pendanaan dan sumber daya manusia. Mengingat penyelenggaraan mediasi
perbankan sangat diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dalam
pelaksanaan transaksi keuangan melalui bank, maka untuk sementara waktu
fungsi mediasi perbankan tetap dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
PASAL ...
- 2 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dihapus.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Bank Indonesia hanya melaksanakan kegiatan Mediasi
perbankan dan tidak membentuk lembaga khusus untuk
keperluan tersebut.
Angka 2
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4808
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/1/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/5/PBI/2006 TENTANG MEDIASI PERBANKAN </reg_title>
<set_date> 29 Januari 2008 </set_date>
<effective_date> 29 Januari 2008 </effective_date>
<changed_reg> '8/5/PBI/2006' </changed_reg>
<related_reg> '8/5/PBI/2006', '23/UU/1999', '8/UU/1999', '3/UU/2004', '30/UU/1999', '7/7/PBI/2005', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/13/PBI/2018
TENTANG
TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA RUPIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah, diperlukan pasar keuangan yang likuid dan
efisien untuk mendukung kegiatan ekonomi nasional;
b. bahwa pasar keuangan yang likuid dan efisien dapat
dicapai melalui pengembangan pasar derivatif suku
bunga rupiah secara menyeluruh, dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian;
c. bahwa dalam upaya pengembangan pasar derivatif suku
bunga rupiah perlu melakukan pengaturan yang
komprehensif melalui pengayaan instrumen,
pengembangan infrastruktur, dan peningkatan
kredibilitas pasar;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi
Derivatif Suku Bunga Rupiah;
- 2 -
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI
DERIVATIF SUKU BUNGA RUPIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah adalah transaksi
yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian
pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari suku
bunga rupiah.
2. Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional, termasuk kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri, tidak termasuk
kantor bank umum berbadan hukum Indonesia yang
beroperasi di luar negeri.
3. Nasabah adalah perorangan
yang memiliki
kewarganegaraan Indonesia atau badan hukum selain
Bank yang berdomisili di Indonesia dan memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak.
4. Pihak Asing adalah:
a. warga negara asing;
b. badan hukum asing atau lembaga asing lainnya;
- 3 -
c. warga negara Indonesia yang memiliki status
penduduk tetap (permanent resident) negara lain dan
tidak berdomisili di Indonesia;
d. kantor bank umum berbadan hukum Indonesia yang
beroperasi di luar negeri; atau
e. kantor perusahaan di luar negeri dari perusahaan
yang berbadan hukum Indonesia.
5.
Indonesia Overnight Index Average yang selanjutnya
disebut IndONIA adalah indeks suku bunga atas transaksi
pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan yang
dilakukan antarbank untuk jangka waktu overnight di
Indonesia.
6. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disebut
JIBOR adalah rata-rata dari suku bunga indikasi
pinjaman tanpa agunan yang ditawarkan dan
dimaksudkan untuk ditransaksikan oleh bank kontributor
kepada bank kontributor lain untuk meminjamkan rupiah
untuk jangka waktu tertentu di Indonesia.
BAB II
TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA RUPIAH
Bagian Kesatu
Cakupan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah
Pasal 2
(1) Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah meliputi:
a.
transaksi interest rate swap;
b.
c.
d.
transaksi forward rate agreement;
transaksi interest rate option;
transaksi interest rate futures; dan
e. Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah lainnya.
(2) Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan transaksi derivatif
yang bersifat standar (plain vanilla).
- 4 -
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Transaksi Derivatif Suku
Bunga Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kedua
Pelaku
Pasal 3
(1) Bank yang dapat melakukan Transaksi Derivatif Suku
Bunga Rupiah mengacu pada ketentuan otoritas
perbankan yang mengatur mengenai kegiatan usaha bank
umum berdasarkan modal inti.
(2) Bank dapat melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga
Rupiah dengan:
a. Nasabah yang memenuhi klasifikasi tertentu;
b. Pihak Asing; dan/atau
c. Bank lainnya.
(3) Klasifikasi tertentu bagi Nasabah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a diatur dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. untuk badan hukum selain Bank, memiliki modal
paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) dan telah melakukan kegiatan usaha paling
sedikit 12 (dua belas) bulan berturut-turut; dan
b. untuk Nasabah perorangan, memiliki portofolio aset
berupa kas, giro, tabungan, dan/atau deposito paling
sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Nasabah yang memenuhi
klasifikasi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Ketiga
Kontrak Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah
Pasal 4
(1) Bank yang melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga
Rupiah dengan Nasabah, Pihak Asing, dan/atau Bank
- 5 -
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
wajib didasarkan atas suatu kontrak.
(2) Kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. kontrak utama transaksi yang lazim digunakan oleh
pelaku pasar dan/atau diterbitkan oleh asosiasi
terkait; dan
b. konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya
transaksi, yang paling sedikit memuat:
1. nomor kontrak;
2.
3. nilai nominal transaksi;
4. nama counterparty;
5. mata uang; dan
6. reference rate.
(3) Kewajiban penggunaan kontrak utama transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikecualikan
untuk transaksi:
a. antara Bank dengan kantor cabangnya;
b. antarkantor cabang Bank; dan
c. antara kantor cabang dari Bank yang berkedudukan
di luar negeri dengan kantor pusatnya atau kantor
cabang lainnya di luar negeri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kontrak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan pengecualian penggunaan
kontrak utama sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Keempat
Konvensi Pasar
Pasal 5
(1) Dalam melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga
Rupiah, Bank harus mengikuti konvensi pasar.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai konvensi pasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
tanggal transaksi, periode setelmen, dan tanggal
jatuh waktu transaksi;
- 6 -
Bagian Kelima
IndONIA dan JIBOR
Pasal 6
(1) Bank yang melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga
Rupiah berupa transaksi overnight index swap dapat
mengacu pada IndONIA.
(2) Bank yang melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga
Rupiah selain transaksi overnight index swap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengacu pada
JIBOR.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan IndONIA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penggunaan
JIBOR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Keenam
Nilai Nominal dan Tenor
Pasal 7
(1) Bank melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah
dengan nilai nominal dan tenor tertentu.
(2) Nilai nominal tertentu Transaksi Derivatif Suku Bunga
Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Tenor tertentu Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjangka waktu 1
(satu) minggu, 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam)
bulan, 9 (sembilan) bulan, 12 (dua belas) bulan, atau tenor
lainnya.
(4) Dalam hal terdapat perubahan terhadap nilai nominal
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tenor
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), perubahan
tersebut ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
- 7 -
Bagian Ketujuh
Analisis Kebutuhan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah
Pasal 8
(1) Bank yang melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga
Rupiah dengan Nasabah dan/atau Pihak Asing, yang
dilakukan untuk kepentingan Nasabah dan/atau Pihak
Asing, wajib melakukan analisis kebutuhan Transaksi
Derivatif Suku Bunga Rupiah paling sedikit 1 (satu) kali
sebelum melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga
Rupiah.
(2) Analisis kebutuhan Transaksi Derivatif Suku Bunga
Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memuat:
a.
klasifikasi Nasabah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3);
b.
tujuan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah;
c. kegiatan ekonomi yang melandasi kebutuhan
Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah;
jenis Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah;
d.
e. nominal maksimum Transaksi Derivatif Suku Bunga
Rupiah; dan
f.
jangka waktu maksimum Transaksi Derivatif Suku
Bunga Rupiah.
(3) Kegiatan ekonomi yang melandasi kebutuhan Transaksi
Derivatif Suku Bunga Rupiah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c meliputi kegiatan:
a.
investasi berupa deposito, sertifikat deposito
(negotiable certificate of deposit), surat berharga
komersial, obligasi, dan investasi lainnya dalam
rupiah di dalam negeri;
b. pinjaman berupa kredit dalam rupiah dan/atau surat
berharga yang diterbitkan dalam rupiah;
c. posisi aset dan/atau kewajiban; dan/atau
d. kegiatan ekonomi lainnya.
- 8 -
(4) Analisis kebutuhan Transaksi Derivatif Suku Bunga
Rupiah yang dilakukan oleh Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus didukung dengan dokumen yang
relevan.
(5) Bank wajib menatausahakan analisis Transaksi Derivatif
Suku Bunga Rupiah beserta dokumen pendukung
lainnya.
Pasal 9
Kewajiban melakukan analisis kebutuhan Transaksi Derivatif
Suku Bunga Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (2) dikecualikan dalam hal:
a. Bank melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah
atas inisiatif Bank; atau
b. Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah dilakukan antar-
Bank.
Pasal 10
Bank wajib melakukan evaluasi (review) terhadap analisis
kebutuhan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) secara periodik
paling sedikit 1 (satu) tahun sekali.
Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai analisis kebutuhan Transaksi
Derivatif Suku Bunga Rupiah diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
- 9 -
BAB III
PENYELESAIAN TRANSAKSI DERIVATIF
SUKU BUNGA RUPIAH
Pasal 12
(1) Penyelesaian Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah
dapat dilakukan dengan memperhitungkan selisih
kewajiban pembayaran (netting) oleh masing-masing pihak
yang melakukan transaksi untuk setiap periode
pembayaran.
(2) Penyelesaian Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah oleh
masing-masing pihak untuk setiap periode pembayaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menggunakan
rupiah.
(3) Dalam hal terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak yang
bertransaksi, penyelesaian Transaksi Derivatif Suku
Bunga Rupiah dapat dilakukan secara close-out netting
sepanjang dipersyaratkan atau diperjanjikan dalam
kontrak dan dilakukan sebelum adanya pernyataan
putusan pailit oleh pengadilan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian Transaksi
Derivatif Suku Bunga Rupiah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan penyelesaian Transaksi Derivatif Suku
Bunga Rupiah akibat wanprestasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
BAB IV
PRINSIP KEHATI-HATIAN DAN MANAJEMEN RISIKO
Pasal 13
(1) Bank yang melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga
Rupiah wajib menerapkan prinsip kehati-hatian.
(2) Kewajiban penerapan prinsip kehati-hatian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa:
a. etika bertransaksi (market code of conduct) atau
pedoman lain yang sejenis;
- 10 -
b.
transparansi dan keterbukaan informasi;
c. perlindungan konsumen; dan
d. mekanisme penyelesaian sengketa (dispute
resolution).
(3) Dalam menerapkan prinsip kehati-hatian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Bank mengacu pada ketentuan
yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Bank wajib memberikan edukasi tentang Transaksi
Derivatif Suku Bunga Rupiah kepada Nasabah dan/atau
Pihak Asing.
(5) Pegawai atau staf Bank yang melakukan aktivitas tresuri
wajib memiliki sertifikasi tresuri dari lembaga yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 14
Dalam melakukan kegiatan Transaksi Derivatif Suku Bunga
Rupiah, Bank harus menerapkan manajemen risiko
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan
yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bank.
BAB V
INFRASTRUKTUR TRANSAKSI DERIVATIF
SUKU BUNGA RUPIAH
Pasal 15
(1) Infrastruktur Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah
terdiri atas:
a. sarana pelaksanaan transaksi;
b. sarana penyelesaian dana; dan
c. sarana pengelolaan data dan informasi.
(2) Sarana pelaksanaan transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan menggunakan
sistem Bank Indonesia Electronic Trading Platform (BI-ETP)
atau sarana pelaksanaan transaksi lainnya yang
digunakan di pasar uang.
- 11 -
(3) Sarana penyelesaian dana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dapat dilakukan melalui pemindahbukuan
(overbooking), transfer antar-Bank, atau sarana
penyelesaian dana menggunakan sistem pembayaran yang
diselenggarakan oleh Bank Indonesia.
(4) Sarana pengelolaan data dan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan melalui sistem
pelaporan transaksi Bank Indonesia atau sistem lainnya
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
BAB VI
PELAPORAN
Pasal 16
(1) Bank yang memenuhi kriteria untuk melakukan Transaksi
Derivatif Suku Bunga Rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) wajib menyampaikan laporan
Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah melalui sistem
pelaporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai mekanisme pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai sistem pelaporan
Bank Indonesia.
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 17
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah yang dilakukan
oleh Bank.
(2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat
berkoordinasi dengan otoritas lain yang berwenang.
- 12 -
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan.
(4) Untuk pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank wajib menyediakan dan menyampaikan data,
informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan oleh
Bank Indonesia.
(5) Bank wajib bertanggung jawab atas kebenaran data,
informasi, dan/atau keterangan yang disampaikan kepada
Bank Indonesia.
(6) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan
atas nama Bank Indonesia melakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b.
(7) Pihak yang ditugaskan melakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib menjaga
kerahasiaan data, informasi, dan keterangan yang
diperoleh dari hasil pemeriksaan.
BAB VIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 18
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai kewajiban penggunaan rupiah.
(2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (5) dikenai sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai sertifikasi tresuri dan penerapan kode
etik pasar.
(3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) dikenai sanksi sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai sistem pelaporan Bank Indonesia.
- 13 -
Pasal 19
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (5),
Pasal 10, Pasal 13 ayat (1), Pasal 13 ayat (4), Pasal 17 ayat
(4), Pasal 17 ayat (5), dan/atau Pasal 21 ayat (1) dikenai
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Pihak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (7) dikenai sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(3) Bank yang telah mendapat 3 (tiga) kali teguran tertulis
dalam kurun waktu 1 (satu) tahun atas pelanggaran
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
direkomendasikan kepada otoritas perbankan untuk
dikenai sanksi berupa penghentian sementara dalam
melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah yang
baru selama 6 (enam) bulan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 20
Bank Indonesia dapat memberitahukan pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan/atau Pasal
19 ayat (2) secara tertulis kepada otoritas perbankan dan/atau
lembaga terkait lainnya.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 21
(1) Dalam hal Bank akan mengeluarkan produk baru berupa
structured product terkait dengan Transaksi Derivatif Suku
Bunga Rupiah, Bank wajib menyampaikan informasi
kepada Bank Indonesia setelah mendapat pernyataan
efektif dari otoritas perbankan.
- 14 -
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat:
a. nama structured product;
b. tenor;
c. target nasabah;
d. standar notional amount;
e.
reference rate;
f. payout;
g. komponen transaksi; dan
h. mekanisme settlement.
(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis kepada Bank Indonesia paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah mendapatkan
pernyataan efektif dari otoritas perbankan.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 22
(1) Bank yang telah melakukan Transaksi Derivatif Suku
Bunga Rupiah sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini, tetap dapat meneruskan Transaksi Derivatif
Suku Bunga Rupiah sampai dengan jatuh waktu.
(2) Dalam hal Bank melakukan perpanjangan dan/atau
Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah yang baru maka
Bank wajib tunduk pada Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 15 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 November 2018
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 November 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 201
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/13/PBI/2018
TENTANG
TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA RUPIAH
I. UMUM
Dalam melaksanakan tugas Bank Indonesia untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah, diperlukan upaya mempercepat
tercapainya pasar keuangan yang likuid dan efisien, yang dapat
mendukung kegiatan ekonomi nasional. Untuk mencapai pasar keuangan
yang likuid dan efisien diperlukan adanya upaya pengembangan pasar
derivatif suku bunga rupiah secara menyeluruh, dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian melalui pengayaan variasi
instrumen, pengembangan infrastruktur, dan peningkatan kredibilitas
pasar. Untuk itu diperlukan pengaturan mengenai Transaksi Derivatif
Suku Bunga Rupiah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
-2-
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “transaksi interest rate swap” adalah
kontrak/perjanjian antara 2 (dua) pihak untuk
mempertukarkan aliran suku bunga dalam rupiah secara
periodik selama masa kontrak atau di akhir masa kontrak
berdasarkan suatu jumlah nosional (principal) tertentu.
Transaksi interest rate swap mencakup transaksi yang
menggunakan suku bunga tenor overnight sebagai suku
bunga untuk penentuan harga (pricing) atau yang disebut
transaksi overnight index swap.
Transaksi
overnight
index
swap
merupakan
kontrak/perjanjian antara 2 (dua) pihak untuk
mempertukarkan aliran suku bunga dalam rupiah secara
periodik selama masa kontrak atau di akhir masa kontrak
berdasarkan suatu jumlah nosional (principal) tertentu yang
perhitungannya menggunakan basis bunga harian (daily
compounding).
Transaksi overnight index swap merupakan transaksi
interest rate swap yang perhitungannya menggunakan basis
bunga harian.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “transaksi forward rate agreement”
adalah kontrak/perjanjian antara 2 (dua) pihak untuk
mempertukarkan exposure suku bunga dengan jumlah
nosional tertentu dalam rupiah pada suatu waktu tertentu di
masa yang akan datang atau untuk jangka waktu tertentu
dengan tingkat bunga yang telah disepakati pada saat
inisiasi kontrak.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “transaksi interest rate option” adalah
kontrak/perjanjian antara 2 (dua) pihak yang memberikan
hak dan bukan kewajiban kepada pembeli untuk
menukarkan aliran suku bunga dalam rupiah yang
disepakati saat inisiasi kontrak, dimana pembeli dapat
-3-
memilih untuk menggunakan haknya pada akhir atau di
suatu waktu tertentu selama masa kontrak.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “transaksi interest rate futures”
adalah kontrak/perjanjian antara 2 (dua) pihak untuk
mempertukarkan exposure suku bunga dalam rupiah pada
suatu waktu tertentu di masa yang akan datang, yang
dicerminkan oleh selisih harga dari underlying asset yang
pergerakannya dipengaruhi oleh suku bunga tertentu, pada
suatu harga yang telah disepakati saat inisiasi kontrak.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pihak Asing yang merupakan warga negara asing yaitu orang
yang memiliki kewarganegaraan selain Indonesia, termasuk
yang memiliki izin menetap atau izin tinggal di Indonesia.
Pihak Asing yang merupakan badan hukum asing atau
lembaga asing lainnya yaitu badan hukum atau lembaga
asing yang didirikan di luar negeri, namun tidak termasuk:
1. kantor cabang dari bank berkedudukan di luar negeri;
2. perusahaan penanaman modal asing (PMA); atau
3. badan hukum asing yang memiliki kegiatan yang
bersifat nirlaba.
Huruf c
Cukup jelas.
-4-
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “modal” adalah ekuitas sebagaimana
dimaksud dalam standar akuntansi keuangan.
Minimum modal untuk badan hukum selain Bank
diperhitungkan pada saat Bank melakukan analisis
kebutuhan transaksi Nasabah untuk pertama kalinya.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh kontrak utama transaksi yang lazim digunakan oleh
pelaku pasar antara lain diterbitkan oleh International Swaps
and Derivatives Association (ISDA) Master Agreement,
Perjanjian Induk Derivatif Indonesia (PIDI), counterparty
agreement, atau kontrak lainnya.
Huruf b
Konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi
antara lain berupa dealing conversation atau Society of
Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “konvensi pasar” adalah hal teknis terkait
Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah yang disusun dan telah
disepakati pelaku pasar melalui asosiasi pelaku pasar, antara lain
Indonesia Foreign Exchange Market Committee.
-5-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
IndONIA dapat digunakan antara lain sebagai harga fixing dari
transaksi overnight index swap atau penentuan kuotasi overnight
index swap.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “posisi aset dan/atau kewajiban”
adalah aset dan/atau kewajiban yang terekspos suku bunga
rupiah.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kegiatan ekonomi lainnya” adalah
kegiatan ekonomi yang terekspos suku bunga rupiah.
Ayat (4)
Contoh dokumen yang relevan yaitu laporan keuangan, perjanjian
kredit, bukti kepemilikan obligasi, neraca, proyeksi kebutuhan
-6-
pendanaan atau investasi terkait kegiatan ekonomi tertentu
(feasibility study), dan/atau dokumen lainnya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a
Yang dimaksud dengan “atas inisiatif Bank” adalah Bank
melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah untuk
meneruskan (pass on) transaksi yang dilakukan dengan Nasabah,
Pihak Asing, atau Bank lainnya, atau untuk kebutuhan lindung
nilai aset dan/atau kewajiban Bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 10
Evaluasi (review) dilakukan untuk penerapan prinsip kehati-hatian.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “close-out netting” adalah proses
pengakhiran seluruh Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah
dengan menghitung nilai bersih (netting) dari nilai/jumlah hak
atau kewajiban dengan pihak yang mengalami wanprestasi
(defaulting party).
Ayat (4)
Cukup jelas.
-7-
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam menerapkan prinsip kehati-hatian, Bank mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perlindungan konsumen, arbitrase, alternatif
penyelesaian sengketa, dan ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kewajiban Bank menerapkan transparansi informasi
dalam melakukan pemasaran, penawaran, dan
pelaksanaan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah
antara lain sebagai berikut:
1. mengungkapkan informasi yang lengkap, benar,
dan tidak menyesatkan kepada Nasabah;
2. memastikan pemberian informasi yang berimbang
antara potensi manfaat yang mungkin diperoleh
dengan risiko yang mungkin timbul bagi Nasabah
dari Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah; dan
3. memastikan informasi yang disampaikan tidak
menyamarkan, mengurangi, atau menutupi hal
yang penting terkait risiko yang mungkin timbul
dari Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah.
Huruf c
Upaya perlindungan konsumen oleh Bank antara lain
melalui penerapan tata kelola yang baik dalam
penelaahan pihak yang melakukan Transaksi Derivatif
Suku Bunga Rupiah dengan Bank.
Huruf d
Mekanisme penyelesaian sengketa dapat dituangkan
dalam kontrak dan/atau prosedur internal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
-8-
Ayat (4)
Edukasi dilakukan untuk memberikan informasi kepada Nasabah
mengenai manfaat dan risiko Transaksi Derivatif Suku Bunga
Rupiah.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “pegawai atau staf yang melakukan
aktivitas tresuri” adalah pegawai atau staf Bank yang
melaksanakan fungsi di front office yaitu penjualan (sales),
pelaksanaan transaksi (trader), dan/atau manajemen.
Pasal 14
Ketentuan otoritas yang mengatur mengenai penerapan manajemen
risiko Bank antara lain mengatur bahwa Bank wajib menerapkan
manajemen risiko secara efektif yang paling sedikit memuat:
a. pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi;
b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan
d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Sistem pelaporan Bank Indonesia antara lain laporan harian bank
umum, laporan bulanan bank umum, dan laporan kantor pusat
bank umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
-9-
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6261
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 20/13/PBI/2018 </reg_id>
<reg_title> TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA RUPIAH </reg_title>
<set_date> 9 November 2018 </set_date>
<effective_date> 14 November 2018 </effective_date>
<issued_date> 14 November 2018 </issued_date>
<related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 12/ 13 /PBI/2010
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/29/PBI/2008 TENTANG
FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mendukung kelancaran sistem pembayaran dan
pengembangan pasar keuangan, Bank Indonesia perlu
memperluas surat berharga yang dapat digunakan untuk
memperoleh fasilitas likuiditas intrahari bagi bank umum;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, perlu melakukan perubahan terhadap Peraturan
Bank Indonesia Nomor: 10/29/PBI/2008 tentang Fasilitas
Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor
64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3608);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran ...
-2-
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4236);
5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4852);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/29/PBI/2008
TENTANG FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK
UMUM.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/29/PBI/2008 tentang
Fasilitas Likuiditas Intrahari bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 174, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4922) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 10 diubah dan ditambah 2 (dua) angka setelah angka 10,
yakni angka 11 dan angka 12, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional.
2. Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement yang selanjutnya
disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem
Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement.
3. Bank ...
-3-
3. Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya
disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk
penatausahaannya dan penatausahaan surat berharga secara elektronik
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Bank
Indonesia - Scripless Securities Settlement System.
4. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SKNBI
adalah sistem kliring yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai sistem kliring nasional Bank Indonesia.
5. Kliring Debet adalah kegiatan dalam SKNBI untuk transfer debet
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai sistem kliring nasional Bank Indonesia.
6. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disebut FLI adalah
penyediaan pendanaan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam kedudukan
Bank sebagai peserta Sistem BI-RTGS dan peserta SKNBI, yang dilakukan
dengan cara repurchase agreement (repo) surat berharga yang harus
diselesaikan pada hari yang sama dengan hari penggunaan.
7. FLI dalam rangka RTGS yang selanjutnya disebut FLI-RTGS adalah FLI
untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank yang terjadi selama jam
operasional Sistem BI-RTGS.
8. FLI dalam rangka Kliring yang selanjutnya disebut FLI-Kliring adalah FLI
untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank yang terjadi pada saat
penyelesaian akhir atas hasil Kliring Debet.
9. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI, adalah surat
berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
10. Surat Utang Negara, yang selanjutnya disebut SUN, adalah surat berharga
yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta
asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik
Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang yang berlaku.
11. Surat Berharga Syariah Negara, yang selanjutnya disebut SBSN, atau dapat
disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan
berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset
SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang yang berlaku.
12. Surat ...
-4-
12. Surat Berharga Negara, yang selanjutnya disebut SBN, adalah SUN dan
SBSN.
2. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf a diubah sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 2
1. Bank dapat memperoleh FLI, baik dalam bentuk FLI-RTGS maupun FLI-
Kliring, setelah menandatangani Perjanjian Penggunaan FLI dan
menyampaikan dokumen pendukung yang dipersyaratkan kepada Bank
Indonesia.
2. Bank dapat menggunakan FLI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki surat berharga yang dapat direpokan kepada Bank Indonesia
berupa SBI, SBN dan/atau surat berharga lainnya yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia;
b.
c.
tidak sedang dikenakan sanksi penangguhan sebagai Bank peserta BI-
RTGS dan/atau penghentian sebagai Bank peserta kliring; dan
berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS.
3. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) diubah sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Perhitungan nilai SBI, SBN dan/atau surat berharga lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang digunakan Bank dalam rangka FLI
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Nilai maksimum FLI yang dapat digunakan Bank adalah sebesar nilai surat
berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah dipindahkan Bank
ke rekening FLI-RTGS dan FLI-Kliring di BI-SSSS.
4. Ketentuan Pasal 11 dihapus.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 4 Agustus 2010.
Ditetapkan ...
-5-
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Agustus 2010
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Agustus 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 94
DASP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 12/ 13 /PBI/2010
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/29/PBI/2008 TENTANG
FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Dokumen pendukung yang disertakan antara lain
meliputi fotokopi Anggaran Dasar Bank atau kuasa
(power of attorney) dari kantor cabang Bank yang
kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri yang
telah dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Bank.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kriteria pengenaan sanksi penangguhan
(suspend) tunduk pada Peraturan Bank
Indonesia tentang Bank Indonesia – Real Time
Gross Settlement yang berlaku dan/atau
Peraturan Bank Indonesia tentang Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia.
Huruf c
Yang dimaksud dengan kriteria aktif adalah
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank
Indonesia ...
-2-
Indonesia tentang Bank Indonesia – Scripless
Securities Settlement System.
Angka 3
Pasal 5
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5147
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 12/13/PBI/2010 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/29/PBI/2008 TENTANG FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 4 Agustus 2010 </set_date>
<effective_date> 4 Agustus 2010 </effective_date>
<issued_date> 4 Agustus 2010 </issued_date>
<changed_reg> '10/29/PBI/2008' </changed_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '19/UU/2008', '23/UU/1999', '8/UU/1995', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998' </related_reg>
|
BANK INDONESIA
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 5/ 13 /PBI/2003
TENTANG
POSISI DEVISA NETO BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang a. bahwa dalam perhitungan permodalan bank perha
mempertimbangkan risiko kredit maupun risiko pasar;
b. bahwa dalam rangka memperhitungkan risiko pasar
dalam permodalan bank, perlu dilakukan langkah-
langkal persiapan agar pada waktunya dapat memenuhi
kewajiban permodalan dengan memperhitungkan risiko
pasar;
c. bahwa dengan diperhitungkannya risiko pasar dalam
kewajiban penyediaan modal minimum maka Posisi
Devisa Neto Bank Umum perlu disesuaikan;
d. bahwa selubungan dengan itu dipandang perlu untuk
mengatur kembali ketentuan tentang Posisi Devisa Neto
Bank Umum dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia ..2n92.
8- 1O PAI CAD1. 207-2-2000.-43
BANK INDONESIA
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843):
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/ 12 /PBI/2003
tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank
Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar (Market
Risk) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 83 ,Tambahan Lembaran Negara Nomor
MEMUTUSKAN
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG POSISI
DEVISA NETO BANK UMUM.
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang telah memperoleh izin dari
Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta
2. Modal .. Anga-
81-100PB AND- 207-2-2000.00
BANK INDONESIA
2. Modal adalah modal Bank sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank
Indonesia No. 3/21/PBI/2001 tanggal 13 Desember 2001 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.
3. Kurs Penutupan adalah kurs tengah (niddle rate) berdasarkan Reuters pada
pukul 16.00 WIB setiap hari yang dapat dilihat di Pusat Informasi Pasar
Uang.
Pasal 2
(1) Bank wajib memelihara Posisi Devisa Neto pada setiap akhir hari kerja
Sctinggi-tingginya 20% (dua puluh perseratus) dari Modal.
(2) Posisi Devisa Neto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah angka
yang merupakan penjumlahan dari nilai absolut untuk jumlah dari:
a. selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca untuk setiap valuta asing
ditambah dengan
b. selisih bersih tagihan dan kewajiban baik yang merupakan komitmen
maupun kontinjensi dalam rekening administratif untuk setiap valuta
asing,
yang semuanya dinyatakan dalam Rupiah.
(3) Aktiva valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a terdiri
dari kas, emas, giro (termasuk giro pada Bank Indonesia), deposit on call,
deposito berjangka, sertifikat deposito, margin deposi, surat berharga,
kredit yang diberikan, nilai bersih wesel ekspor yang telah diambilalih,
rekening antar kantor aktiva dan tagihan lainnya, dalam valuta asing baik
kepada penduduk maupun bukan penduduk.
(4) Pasiva ...7082-
B1- 10001401-207-2-3000-40
BANK INDONESIA
(4) Pasiva valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a terdiri
dari giro, deposit on call, deposito berjangka, sertifikat deposito, margin
deposit, pinjaman yang diterima, jaminan impor, rekening antar kantor
pasiva dan kewajiban lainnya dalam valuta asing baik terhadap penduduk
maupun bukan penduduk.
(5) Rekening administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b
adalah rekening dalam valuta asing yang dapat menimbulkan tagihan dan
atau kewajiban di masa mendatang yang merupakan komitmen dan
kontinjensi yang mencakup bank garansi maupun L/C yang dipastikan
menjadi kewajiban Bank setelah dikurangi margin deposit, spot, serta
transaksi derivatif antara lain transaksi forward, option dan fiture, maupun
produk-produk lain yang sejenis baik terhadap penduduk maupun bukan
penduduk.
Pasal 3
(I) Bagi Bank yang telah memenuhi kriteria untuk wajib memenuhi Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum dengan memperhitungkan Risiko Pasar sesuai
ketentuan berlaku, kewajiban memelihara Posisi Devisa Neto pada setiap
akhir hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (I) ditetapkan
setinggi-tingginya 30% (tiga puluh perseratus) dari Modal.
(2) Sepanjang ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
dengan memperhitungkan Risiko Pasar belum berlaku efektif maka bagi
Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap wajib memenuhi
perhitungan Posisi Devisa Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(3) Bank 292-
10000-20
BANK INDONESIA
(3) Bank wajib memelihara Posisi Devisa Neto sepanjang hari (intraday)
berdasarkan prinsip kehati-hatian.
Pasal 4
(1) Dalam rangka menghitung Posisi Devisa Neto, bagi Bank yang tidak dapat
menghitung nilai delta dari posisi option (delta based equhalent), posisi
option yang dipethitungkan hanya posisi option yang diterbitkan Bank.
(2) Seluruh atau sebagian posisi option yang diterbitkan Bank sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan saling hapus dengan posisi option
lainnya sepanjang identik.
(3) Proses saling hapus untuk posisi aption yang identik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) adalah posisi option yang diterbitkan Bank
dengan pos lawan posisi option yang dibeli Bank, yang memiliki
persyaratan sama dalam
a. tanggal pelaksanaan (exercise date);
b. harga yang disepakati (strike price);
c. jenis valuta;
d. transaksi yang mendasari (underlying transaction); dan
e. jenis option.
Pasal 5
(1) Bagi Bank yang dapat menghitung nilai delta dari posisi option (delia
based equivalent), posisi option yang diperhitungkan adalah seluruh posisi
option Bank.
(2) Perhitungan .779L
BANK INDONESIA
(2) Perhitungan nilai delta dari posisi option sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(3) Selumh atau sebagian posisi option Bank sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat saling hapus dengan posisi option lainnya sepanjang simetris.
(4) Proses saling hapus untuk posisi option yang simetris sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) hanya dapat dilakukan dengan perhitungan nilai
delta dari posisi option (delta based equivalent).
Pasal 6
(1) Bank dapat mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia untuk dapat
mengecualikan posisi struktural dalam valuta asing dari perhitungan Posisi
Devisa Neto.
(2) Posisi struktural sebagaimana dimaksud dalam ayat (I) adalah posisi yang
sekurang-kurangnya memenuhi kriteria
a. bagian dari investasi strategis dan penting untuk operasional Bank atau
posisi yang diwajibkan oleh otoritas;
b. posisi tersebut merupakan investasi jangka memengah atau jangka
panjang dan tidak digunakan untuk tujuan spekulatif;
c. posisi terscbut telah disetujui oleh Direksi Bank.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis
oleh Bank kepada Bank Indonesia, dengan alamat
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, JI. MH. Thamrin No.2 Jakarta
10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat
Bank Indonesia; atau
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di
Iuar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
(4) Dalam .angz
31- 100981W4B1-10 7.2-200.A
BANK INDONESIA
(4) Dalam hal permohonan Bank untuk mengecualikan posisi struktural dalam
valuta asing pada perhitungan Posisi Devisa Neto disetujui oleh Bank
Indonesia maka Bank wajib menerapkan pengecualian posisi straktural
dimaksud secara konsisten.
Pasal 7
(1) Bank wajib menyampaikan laporan secara berkala dan benar kepada Bank
Indonesia mengenai Posisi Devisa Neto.
) Tata cara mengenai penyusunan dan penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (I1) mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum.
(3) Bank wajib menyesuaikan Penyusunan Laporan Berkala Bank Umum
untuk Laporan Posisi Devisa Neto sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia
ini.
Pasal 8
(i) Bank wajib menyusun laporan Posisi Devisa Neto dengan menggunakan
Kurs Penutupan.
(2) Dalam hal Kurs Penutupan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk
valuta asing tertentu tidak tersedia, Bank dapat menggunakan crossing rate
pada waktu yang sama dengan Kurs Penutupan yang terjadi.
BANK INDONESIA
Pasal 9
Bagi Bank yang melanggar kewajiban memelihara Posisi Devisa Neto
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) sebagai akibat perubahan cakupan
aktiva valuta asing, pasiva valuta asing, dan rekening administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), yang berkaitan dengan
posisi struktural diberikan waktu untuk menyelesaikan pelanggaran Posisi
Devisa Neto dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak
diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 10
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2 ayat (D, Pasal 3 ayat (1) dan
Pasal 6 ayat (4) dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain berupa:
a. teguran tertulis;
b. mempengaruhi penilaian tingkat keschatan Bank;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
d. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, pemegang saham dalam
daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemilik dan pengurus Bank;
e. pemberhentian Penguras Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat
pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat
Anggota Koperasi mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Bank
Indonesia.
Pasal 11.2782
RI- TO PEICNDI- 20 7-2- 000.A
BANK INDONESIA
Pasal 11
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia Nomor 31/178/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang
Posisi Devisa Neto Bank Umum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 12
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 17 Juli 2003
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 84
DPNP
81-00 PAI IAB1-20-2-20000
BANK INDONESIA.
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 5/ 13 /PBI/2003
TENTANG
POSISI DEVISA NETO BANK UMUM
L UMUM
Arah kebijakan Bank Indonesia untuk menerapkan perhitungan risiko dalam
permodalan Bank akan terus disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi secara
intemasional. Sehubungan dengan itu pada waktu yang telah ditetapkan Bank
Indonesia akan menerapkan perhitungan risiko pasar dalam permodalan Bank bagi
Bank yang telah memenuhi kriteria untuk wajib memenuhi peraturan risiko pasar
dalam Kewajiban Penyediaan Modal Minimum.
Dengan diperhitungkannya risiko pasar dalam permodalan bagi Bank yang telah
memenuhi kriteria tertentu maka Posisi Devisa Neto Bank tersebut perlu
disesuaikan. Hal ini mengingat sebagian dari risiko nilai tukar yang ada telah
diperhitungkan dengan modal Bank.
Selain itu, Bank Indonesia juga memperkenankan seluruh Bank untuk
mengecualikan posisi struktural dalam valuta asing pada pethitungan Posisi Devisa
Neto. Pengecualian tersebut dilakukan melalui prosedur permohonan oleh Bank dan
apabila telah disetujui maka pengecualian posisi struktural dalam perhitungan Posisi
Devisa Neto harus diterapkan secara konsisten.
81-100P810M81- 307-2-2000-4
BANK INDONESIA
0
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka l sampai dengan angka 3
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (I)
Bagi Bank yang berbadan hukum Indonesia pemeliharaan Posisi Devisa
Neto dihitung secara gabungan yaitu mencakup seluruh kantor cabang di
dalam negeri maupun di luar negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Nilai aktiva yang diperhitungkan adalah sebesar nilai buku yaitu nilai setelah
diperhitungkan dengan penyisihan penghapusan yang dibentuk dalam valuta
yang sama.
Termasuk dalam pengertian tagihan lainnya antara lain adalah penyertaan
dalam valuta asing, aktiva tetap kantor cabang di luar negeri (setelah
dikurangi depresiasi), pendapatan bunga yang masih harus diterima (acerued
Interest), tagihan akseptasi, transaksi reverse repo dan tagihan derivatif.
Rekening antar kantor aktiva bagi kantor cabang bank asing adalah seluruh
rekening antar kantor aktiva dengan kantor di luar negeri, termasuk yang
diperhitungkan dalam komponen modal (Dana Usaha).
Avat (4) .29-
12
BANK INDONESIA3
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh saling hapus untuk posisi yang identik antara lain posisi penjualan
(sell) call option dengan posisi pembelian (buo) call option apabila keduanya
memiliki persyaratan sama.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan seluruh posisi option adalah posisi option yang
diterbitkan Bank (Bank sebagai writer) dan posisi option yang dibeli Bank
(Bank sebagai holder).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh posisi yang bersifat simetris, antara lain apabila Bank menerbitkan
(sell) call option maka posisi simetris adalah posisi
1. pembelian (biry) call option;, atau
2. penerbitan (sell) put option.
Ayat (4)
Cukup jelas.
81-10 781461-207-2-200-AJ
BANK INDONESIA
Pasal 6
Ayat (1)
Pengajuan permohonan termasuk perubahan atas posisi struktural yang
disebabkan penambahan atau pengurangan posisi struktural. Perubahan
akibat depresiasi dilaporkan setiap 1 (satu) tahun. Tata cara pengajuan
permohonan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Ayat (2)
Termasuk posisi dalam ayat ini antara lain
a. penempatan dana yang bersifat permanen di kantor cabang di luar negeri
yang diwajibkan oleh otoritas setempat;
b. pembelian aktiva tetap untuk kantor cabang Bank di luar negeri;
c. penyertaan dalam valuta asing, tidak termasuk penyertaan dalam rangka
penyelamatan kredit;
d. posisi lindung nilai yang dilakukan untuk melindungi nilai Modal yang
ditempatkan dalam mata uang asing:
e. posisi lindung nilai terhadap penempatan dana yang bersifat permanen di
kantor cabang luar negeri;
f. Dana Usaha kantor cabang bank asing di Indonesia yang diperhitungkan
sebagai Modal;
g. Pinjaman Subordinasi dan Modal Pinjaman yang dipethitungkan sebagai
Modal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) 2n91
8-1008 0 00
BANK INDONESIA
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Dengan ketentuan ini pelanggaran Posisi Devisa Neto akibat adanya perubahan
ketentuan yang terkait dengan posisi struktural tidak dikenakan sanksi
pelanggaran sampai dengan 3 (tiga) bulan sejak diberlakukannya Peraturan
Bank Indonesia ini.
Pasal 10 .anga.
81-100P810A81-201-2-2000-40
Pasal 10
Huruf a
Termasuk dalam sanksi berupa teguran tertulis adalah pencabutan
persetujuan pengecualian posisi struktural sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6.
Huruf b sampai dengan buruf e
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4907.
81- 100PA IAAD1-207-2-2000-00
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 5/13/PBI/2003 </reg_id>
<reg_title> POSISI DEVISA NETO BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 17 Juli 2003 </set_date>
<effective_date> 17 Juli 2003 </effective_date>
<replaced_reg> '31/178/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '5/12/PBI/2003', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 10' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/12/PBI/2017
TENTANG
PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI FINANSIAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa perkembangan teknologi dan sistem informasi terus
melahirkan berbagai inovasi, khususnya yang berkaitan
dengan teknologi finansial untuk memenuhi berbagai
kebutuhan masyarakat termasuk akses terhadap layanan
finansial dan pemrosesan transaksi;
b. bahwa perkembangan teknologi finansial di satu sisi
terbukti membawa manfaat bagi konsumen, pelaku usaha
maupun perekonomian nasional, namun di sisi lain
memiliki potensi risiko yang apabila tidak dimitigasi secara
baik dapat mengganggu sistem keuangan;
c. bahwa ekosistem teknologi finansial perlu terus dimonitor
dan dikembangkan untuk mendukung terciptanya
stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, serta sistem
pembayaran yang efisien, lancar, aman, dan andal untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang
berkelanjutan dan inklusif;
- 2 -
d. bahwa penyelenggaraan teknologi finansial harus
menerapkan prinsip perlindungan konsumen serta
manajemen risiko dan kehati-hatian dengan tetap
memperhatikan perluasan akses, kepentingan nasional,
serta standar dan praktik internasional yang berlaku;
e. bahwa respons kebijakan Bank Indonesia terhadap
perkembangan teknologi finansial harus tetap sinkron,
harmonis, dan terintegrasi dengan kebijakan Bank
Indonesia lainnya seperti penyelenggaraan pemrosesan
transaksi pembayaran dan gerbang pembayaran nasional
(national payment gateway) serta perlu dikoordinasikan
dengan otoritas terkait;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf e, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggaraan
Teknologi Finansial;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4843) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
- 3 -
Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5952);
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer
Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5204);
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5223);
Menetapkan : PERATURAN
MEMUTUSKAN:
BANK
INDONESIA
PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI FINANSIAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Teknologi Finansial adalah penggunaan teknologi dalam
sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnis baru serta dapat
berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem
keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran, keamanan, dan
keandalan sistem pembayaran.
2. Penyelenggara Teknologi Finansial adalah setiap pihak
yang menyelenggarakan kegiatan Teknologi Finansial.
3. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran adalah
penyelenggara jasa sistem pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran.
4. Regulatory Sandbox adalah suatu ruang uji coba terbatas
yang aman untuk menguji Penyelenggara Teknologi
Finansial beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau
model bisnisnya.
TENTANG
- 4 -
BAB II
TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Bank Indonesia mengatur penyelenggaraan Teknologi Finansial
untuk mendorong inovasi di bidang keuangan dengan
menerapkan prinsip perlindungan konsumen serta manajemen
risiko dan kehati-hatian guna tetap menjaga stabilitas moneter,
stabilitas sistem keuangan, dan sistem pembayaran yang efisien,
lancar, aman, dan andal.
Pasal 3
(1) Penyelenggaraan Teknologi Finansial dikategorikan ke
dalam:
a. sistem pembayaran;
b. pendukung pasar;
c. manajemen investasi dan manajemen risiko;
d. pinjaman, pembiayaan, dan penyediaan modal; dan
e.
jasa finansial lainnya.
(2) Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memiliki kriteria:
a.
bersifat inovatif;
b. dapat berdampak pada produk, layanan, teknologi,
dan/atau model bisnis finansial yang telah eksis;
c. dapat memberikan manfaat bagi masyarakat;
d. dapat digunakan secara luas; dan
e.
kriteria lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 4
Ruang lingkup pengaturan penyelenggaraan Teknologi Finansial
mencakup:
a. pendaftaran;
b. Regulatory Sandbox;
c.
perizinan dan persetujuan; dan
d. pemantauan dan pengawasan.
- 5 -
BAB III
PENDAFTARAN
Bagian Kesatu
Kewajiban Melakukan Pendaftaran
Pasal 5
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang akan atau telah
melakukan kegiatan yang memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib melakukan
pendaftaran pada Bank Indonesia.
(2) Kewajiban pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikecualikan bagi:
a. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia; dan/atau
b. Penyelenggara Teknologi Finansial yang berada di
bawah kewenangan otoritas lain.
(3) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a tetap harus menyampaikan
informasi kepada Bank Indonesia mengenai produk,
layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru yang
memenuhi kriteria Teknologi Finansial.
(4) Penyelenggara Teknologi Finansial yang berada di bawah
kewenangan otoritas lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b yang menyelenggarakan Teknologi
Finansial di bidang sistem pembayaran wajib melakukan
pendaftaran kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 6
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) harus merupakan badan usaha.
(2) Untuk Penyelenggara Teknologi Finansial berupa lembaga
selain bank yang memenuhi kategori sebagai Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran, Penyelenggara Teknologi
Finansial tersebut harus merupakan badan usaha yang
berbadan hukum Indonesia.
- 6 -
Bagian Kedua
Tata Cara Pendaftaran
Pasal 7
(1) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
dilakukan dengan menyampaikan permohonan tertulis
kepada Bank Indonesia oleh pihak yang berwenang
mewakili Penyelenggara Teknologi Finansial.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai
dokumen berupa:
a. salinan akta pendirian badan hukum atau badan
usaha;
b. data kepemilikan pada badan hukum atau badan
usaha;
c. daftar susunan pengurus;
d. gambaran umum perusahaan;
e.
penjelasan singkat secara tertulis mengenai produk,
layanan, teknologi yang disediakan, dan/atau model
bisnis yang telah berjalan dan/atau akan
dikembangkan yang memenuhi kriteria Teknologi
Finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2); dan
f. data dan informasi lainnya yang terkait dengan
kegiatan Teknologi Finansial.
(3) Bank Indonesia melaksanakan pendaftaran Penyelenggara
Teknologi
Finansial
kelengkapan dan kesesuaian dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) serta dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
dengan mempertimbangkan
- 7 -
Pasal 8
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di
Bank Indonesia wajib:
a. menerapkan prinsip perlindungan konsumen sesuai
dengan produk, layanan, teknologi, dan/atau model
bisnis yang dijalankan;
b. menjaga kerahasiaan data dan/atau informasi
konsumen termasuk data dan/atau informasi
transaksi;
c. menerapkan prinsip manajemen risiko dan kehati-
hatian;
d. menggunakan rupiah dalam setiap transaksi yang
dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai mata
uang;
e. menerapkan prinsip anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme; dan
f. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Penyelenggara Teknologi Finansial dilarang melakukan
kegiatan sistem pembayaran dengan menggunakan virtual
currency.
(3) Penyelenggara Teknologi Finansial wajib menyampaikan
surat pernyataan kepatuhan atas kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia dalam
jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak
Penyelenggara Teknologi Finansial terdaftar di Bank
Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai prinsip manajemen risiko
dan kehati-hatian diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
- 8 -
Pasal 9
(1) Bank Indonesia mengumumkan Penyelenggara Teknologi
Finansial yang telah terdaftar di Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) pada laman
resmi Bank Indonesia secara berkala.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengumuman
Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di
Bank Indonesia diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Pasal 10
Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan
pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
tidak menghilangkan kewajiban Penyelenggara Teknologi
Finansial dan tanggung jawab Penyelenggara Teknologi
Finansial.
BAB IV
REGULATORY SANDBOX
Pasal 11
(1) Guna memberi ruang bagi Penyelenggara Teknologi
Finansial untuk memastikan lebih lanjut bahwa produk,
layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya telah
memenuhi kriteria Teknologi Finansial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Bank Indonesia
menyelenggarakan Regulatory Sandbox.
(2) Bank Indonesia menetapkan Penyelenggara Teknologi
Finansial beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau
model bisnisnya untuk diuji coba dalam Regulatory
Sandbox.
(3) Penyelenggara Teknologi Finansial beserta produk,
layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya yang dapat
ditetapkan masuk dalam Regulatory Sandbox harus
merupakan Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah
terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (3) atau telah menyampaikan informasi kepada
- 9 -
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (3).
Pasal 12
(1) Bank Indonesia menetapkan jangka waktu tertentu bagi
Penyelenggara Teknologi Finansial untuk melakukan uji
coba dalam Regulatory Sandbox sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11.
(2) Setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berakhir, Bank Indonesia menetapkan status hasil uji coba
Penyelenggara Teknologi Finansial berupa:
a.
berhasil;
b. tidak berhasil; atau
c.
status lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
(3) Dalam hal uji coba dinyatakan berhasil sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dan produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnisnya termasuk Teknologi
Finansial kategori sistem pembayaran maka Penyelenggara
Teknologi Finansial dilarang memasarkan produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnis yang diujicobakan
sebelum terlebih dahulu mengajukan permohonan izin
dan/atau persetujuan sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran.
(4) Dalam hal uji coba dinyatakan tidak berhasil sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b dan produk, layanan,
teknologi, dan/atau model bisnisnya termasuk Teknologi
Finansial kategori sistem pembayaran maka Penyelenggara
Teknologi Finansial dilarang memasarkan produk
dan/atau layanan serta menggunakan teknologi dan/atau
model bisnis yang diujicobakan.
(5) Dalam hal produk, layanan, teknologi, dan/atau model
bisnisnya termasuk Teknologi Finansial selain kategori
sistem pembayaran, Bank Indonesia dapat menyampaikan
status hasil uji coba Penyelenggara Teknologi Finansial
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada otoritas yang
berwenang.
- 10 -
Pasal 13
(1) Selama proses uji coba dalam Regulatory Sandbox, Bank
Indonesia dapat menetapkan kebijakan tertentu bagi
Penyelenggara Teknologi Finansial.
(2) Penetapan kebijakan tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan karakteristik
produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang
diuji coba.
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai Regulatory Sandbox diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB V
PERIZINAN DAN PERSETUJUAN
Pasal 15
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang termasuk kategori
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran harus memperoleh
izin dari Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), bagi Penyelenggara Teknologi Finansial yang
termasuk kategori Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran, harus memenuhi aspek kelayakan.
(3) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
yang
menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model
bisnis baru yang merupakan:
a. pengembangan kegiatan jasa sistem pembayaran;
dan/atau
b. pengembangan produk dan/atau aktivitas jasa sistem
pembayaran,
- 11 -
namun tidak memenuhi kriteria Teknologi Finansial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), sebelum
melanjutkan pemasaran produk dan/atau layanan serta
menggunakan teknologi dan/atau model bisnisnya, harus
terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan
transaksi pembayaran.
BAB VI
PEMANTAUAN DAN PENGAWASAN
Pasal 16
(1) Bank Indonesia melakukan pemantauan terhadap
Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di
Bank Indonesia.
(2) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib menyampaikan data dan/atau informasi
yang diminta oleh Bank Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan dan tata cara
penyampaian data dan/atau informasi diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 17
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
Penyelenggara Teknologi Finansial berupa Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran yang telah memperoleh izin
dan/atau persetujuan dari Bank Indonesia.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan
transaksi pembayaran.
- 12 -
BAB VII
KERJA SAMA PENYELENGGARA JASA SISTEM
PEMBAYARAN DENGAN PENYELENGGARA
TEKNOLOGI FINANSIAL
Pasal 18
(1) Kerja sama Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dengan
Penyelenggara Teknologi Finansial yang terdaftar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus
terlebih dahulu memperoleh persetujuan Bank Indonesia
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran.
(2) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dilarang bekerja
sama dengan Penyelenggara Teknologi Finansial yang tidak
melakukan pendaftaran dan/atau perizinan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) atau ayat (2).
BAB VIII
KOORDINASI DAN KERJA SAMA
Pasal 19
(1) Untuk melaksanakan Peraturan Bank Indonesia ini, Bank
Indonesia berkoordinasi dan/atau bekerja sama dengan:
a.
b.
otoritas lain di dalam negeri; dan/atau
otoritas di negara lain, organisasi internasional,
dan/atau lembaga internasional.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup:
a. pertukaran data dan informasi terkait kelembagaan,
transaksi, produk, layanan, teknologi, dan/atau model
bisnis;
b. pembahasan mengenai isu yang sedang berkembang
terkait dengan Teknologi Finansial; dan/atau
c. hal lain yang dipandang perlu oleh Bank Indonesia dan
otoritas lain.
- 13 -
BAB IX
SANKSI
Pasal 20
(1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
dan/atau Pasal 5 ayat (4) dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian kegiatan usaha;
c. tindakan tertentu terkait penyelenggaraan kegiatan
sistem pembayaran; dan/atau
d. rekomendasi kepada otoritas yang berwenang untuk
mencabut izin usaha yang diberikan oleh otoritas yang
berwenang dimaksud.
(2) Penyelenggara Teknologi Finansial yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1),
Pasal 8 ayat (2), Pasal 8 ayat (3), Pasal 12 ayat (3), Pasal 12
ayat (4), dan/atau Pasal 16 ayat (2) dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. teguran tertulis; dan/atau
b. penghapusan dari daftar Penyelenggara Teknologi
Finansial di Bank Indonesia.
(3) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
dan/atau Pasal 26 dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda;
c. penghentian sementara sebagian atau seluruh
kegiatan jasa sistem pembayaran; dan/atau
d. pencabutan izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran.
Pasal 21
Dalam hal Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan/atau Pasal 20 ayat (2)
merupakan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran, selain
dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
- 14 -
(1) dan/atau Pasal 20 ayat (2) juga dapat dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.
Pasal 22
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan/atau
Pasal 26, selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) juga dapat dikenakan sanksi
berupa perintah untuk menghentikan kerja samanya.
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 23
Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi dan/atau
rekomendasi kepada otoritas yang berwenang dalam hal
Penyelenggara Teknologi Finansial melanggar Peraturan Bank
Indonesia ini atau ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Pasal 24
(1) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan untuk
penyelenggaraan Teknologi Finansial.
(2) Penetapan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada pertimbangan:
a. perkembangan inovasi tertentu terkait dengan
penyelenggaraan Teknologi Finansial; dan/atau
b. perkembangan ekosistem Teknologi Finansial untuk
mendukung perekonomian nasional.
Pasal 25
Pelaksanaan tugas di Bank Indonesia terkait penyelenggaraan
Teknologi Finansial dilakukan oleh unit kerja yang
melaksanakan fungsi pengelolaan Teknologi Finansial.
- 15 -
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 26
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran wajib melakukan
identifikasi adanya kerja sama dengan Penyelenggara
Teknologi Finansial; dan
b. dalam hal terdapat kerja sama dengan Penyelenggara
Teknologi Finansial yang belum terdaftar, Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran wajib memastikan kerja sama
tersebut memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Ketentuan mengenai kewajiban pendaftaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mulai berlaku 1 (satu) bulan
terhitung sejak Peraturan Bank Indonesia ini diundangkan.
Pasal 28
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 16 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 November 2017
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 November 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 245
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/ 12 /PBI/2017
TENTANG
PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI FINANSIAL
I. UMUM
Inovasi teknologi dan penetrasinya dengan fitur finansial terus
berlangsung dan menandai munculnya momentum transformasi di dunia
finansial. Era digitalisasi ekonomi memicu penggunaan teknologi internet,
telepon pintar, dan big data hingga ke level konsumen akhir secara lebih
efisien, baik dari segi waktu, akses, maupun biaya. Dalam konteks tersebut,
arus digitalisasi ekonomi termasuk di dalamnya Teknologi Finansial memiliki
potensi yang besar untuk mendorong alokasi sumber daya ekonomi secara
lebih efisien dan pada gilirannya mendorong peningkatan produktivitas serta
memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.
Di sisi lain, peleburan inovasi teknologi dengan fitur finansial juga
membawa risiko tersendiri. Fungsi konvensional cenderung tereduksi
perannya bahkan seringkali tergusur oleh fungsi baru yang diperkenalkan
oleh inovasi teknologi yang cenderung bersifat mengganggu (disruptive).
Pemain baru bermunculan karena berkurangnya halangan untuk masuk
(barriers to entry) di industri keuangan. Pemain baru ini umumnya
menjangkau segmen masyarakat dan/atau dunia usaha yang rata-rata tidak
atau belum tersentuh oleh sektor keuangan formal, baik yang disebabkan
oleh keterbatasan kapasitas jangkauan sektor keuangan formal maupun
belum atau tidak memenuhi kriteria manajemen risiko yang dipersyaratkan
secara baku oleh sektor keuangan formal.
- 2 -
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna pelaksanaan tugas
menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang moneter, menetapkan
dan melaksanakan kebijakan di bidang stabilitas sistem keuangan termasuk
makroprudensial, serta menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang
sistem pembayaran, Bank Indonesia perlu menetapkan pengaturan,
pengawasan, dan pemantauan terhadap penyelenggaraan Teknologi
Finansial. Pengaturan, pengawasan, dan pemantauan ini penting agar
penyelenggaraan Teknologi Finansial dimonitor dan diarahkan dengan baik
sehingga manfaat dari Teknologi Finansial dapat lebih dinikmati oleh
masyarakat dan berbagai risiko termasuk potensi muncul dan
berkembangnya transaksi perekonomian yang tidak terawasi (shadow
economy) dapat termitigasi dengan baik. Selain itu, pengaturan dan
pengawasan ini penting untuk terus mendorong pengembangan ekosistem
Teknologi Finansial agar semakin dapat dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat. Seiring dengan semakin diadopsinya Teknologi Finansial oleh
masyarakat, menjadi krusial bagi Bank Indonesia untuk mewajibkan
Penyelenggara Teknologi Finansial tetap menerapkan prinsip perlindungan
konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Sistem pembayaran mencakup otorisasi, kliring, penyelesaian
akhir, dan pelaksanaan pembayaran.
Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori
sistem pembayaran antara lain penggunaan teknologi
blockchain atau distributed ledger untuk penyelenggaraan
transfer dana, uang elektronik, dompet elektronik, dan mobile
payments.
- 3 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pendukung pasar” adalah Teknologi
Finansial yang menggunakan teknologi informasi dan/atau
teknologi elektronik untuk memfasilitasi pemberian informasi
yang lebih cepat dan lebih murah terkait dengan produk
dan/atau layanan jasa keuangan kepada masyarakat.
Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori
pendukung pasar (market support) antara lain penyediaan
data perbandingan informasi produk atau layanan jasa
keuangan.
Huruf c
Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori
manajemen investasi dan manajemen risiko antara lain
penyediaan produk investasi online dan asuransi online.
Huruf d
Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori
pinjaman (lending), pembiayaan (financing atau funding), dan
penyediaan modal (capital raising) antara lain layanan pinjam
meminjam uang berbasis teknologi informasi (peer-to-peer
lending) serta pembiayaan atau penggalangan dana berbasis
teknologi informasi (crowd-funding).
Huruf e
Yang dimaksud dengan “jasa finansial lainnya” adalah
Teknologi Finansial selain kategori sistem pembayaran,
pendukung pasar, manajemen investasi dan manajemen
risiko, serta pinjaman, pembiayaan, dan penyediaan modal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Dalam melakukan pendaftaran, Bank Indonesia memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
kegiatan usaha Penyelenggara Teknologi Finansial.
Contoh ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait
- 4 -
antara lain ketentuan mengenai layanan pinjam meminjam uang
berbasis teknologi informasi (peer-to-peer lending).
Pendaftaran dimaksudkan agar penyelenggaraan kegiatan
Teknologi Finansial dapat dipantau oleh Bank Indonesia untuk
pelaksanaan tugas di bidang moneter, stabilitas sistem keuangan,
dan sistem pembayaran.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh Penyelenggara Teknologi Finansial yang berada di
bawah kewenangan otoritas lain yaitu penyelenggara layanan
pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (peer-to-
peer lending).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Pihak yang berwenang mewakili Penyelenggara Teknologi Finansial
antara lain:
a. bagi Penyelenggara Teknologi Finansial berbadan hukum
perseroan terbatas yaitu direksi sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai perseroan terbatas; dan
b. bagi Penyelenggara Teknologi Finansial berbadan hukum
koperasi yaitu pengurus sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perkoperasian.
- 5 -
Ayat (2)
Huruf a
Termasuk salinan akta pendirian badan hukum yaitu
anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi yang
berwenang dan perubahannya apabila ada.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Contoh data dan informasi lainnya antara lain fotokopi bukti
pendaftaran dan/atau perizinan dari otoritas pengawas,
sebaran wilayah terkait transaksi dan pengguna, potensi
bisnis, volume dan nilai transaksi, peluang pasar, serta target
pasar.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “menerapkan prinsip perlindungan
konsumen” adalah Penyelenggara Teknologi Finansial
menerapkan prinsip sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
perlindungan konsumen.
Huruf b
Menjaga kerahasiaan data dan/atau informasi konsumen
termasuk data dan/atau informasi transaksi antara lain
dilakukan dengan mengelola dan menatausahakan dokumen
transaksi dan/atau konsumen secara baik dan tertib serta
- 6 -
tidak memberikan data dan/atau informasi transaksi
dan/atau konsumen kepada pihak lain kecuali atas
persetujuan tertulis dari konsumen atau diwajibkan oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “menerapkan prinsip manajemen
risiko” adalah Penyelenggara Teknologi Finansial telah
melakukan identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian atas risiko yang mungkin timbul dalam kegiatan
usahanya.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Penerapan prinsip anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
prinsip anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme termasuk peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga
pengawas dan pengatur yang terkait dengan kegiatan usaha
dan/atau keberadaan dari Penyelenggara Teknologi Finansial
yang bersangkutan.
Huruf f
Contoh ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
antara lain peraturan mengenai pendirian badan hukum serta
penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “virtual currency” adalah uang digital yang
diterbitkan oleh pihak selain otoritas moneter yang diperoleh
dengan cara mining, pembelian, atau transfer pemberian (reward).
Larangan melakukan kegiatan sistem pembayaran dengan
menggunakan virtual currency karena virtual currency bukan
merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 7 -
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Kewajiban Penyelenggara Teknologi Finansial antara lain kewajiban
untuk mengajukan permohonan pendaftaran, perizinan, atau
persetujuan kepada otoritas terkait.
Tanggung jawab Penyelenggara Teknologi Finansial antara lain
tanggung jawab terhadap penyelenggaraan Teknologi Finansial
termasuk kewajiban menerapkan prinsip perlindungan konsumen,
manajemen risiko, kehati-hatian, dan hubungan hukum antara
Penyelenggara Teknologi Finansial dengan pengguna jasa dan/atau
pihak lainnya.
Pasal 11
Ayat (1)
Implementasi Regulatory Sandbox merupakan salah satu upaya
Bank Indonesia untuk terus mendorong inovasi Teknologi
Finansial dengan tetap menerapkan prinsip perlindungan
konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Contoh status lain yang ditetapkan Bank Indonesia antara
lain apabila pada saat dan/atau setelah diujicobakan,
- 8 -
produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis bukan
termasuk kategori sistem pembayaran.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penyampaian kepada otoritas yang berwenang dimaksudkan agar
ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai produk, layanan, teknologi,
dan/atau model bisnis yang termasuk Teknologi Finansial selain
kategori sistem pembayaran.
Pasal 13
Ayat (1)
Kebijakan tertentu antara lain pembatasan tertentu seperti
batasan wilayah, jumlah pengguna dan/atau jangka waktu
tertentu, dan/atau kemudahan untuk menyelenggarakan kegiatan
Teknologi Finansial selama proses uji coba melalui Regulatory
Sandbox.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cakupan aspek kelayakan meliputi:
a. legalitas dan profil perusahaan;
b. hukum;
c. kesiapan operasional;
d. keamanan dan keandalan sistem;
e. kelayakan bisnis;
- 9 -
f. kecukupan manajemen risiko; dan
g. perlindungan konsumen.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Pemantauan dilakukan untuk mendeteksi secara dini adanya
potensi dampak negatif dari perkembangan Teknologi Finansial
yang terlalu ekspansif terhadap pelaksanaan kebijakan moneter,
kebijakan stabilitas sistem keuangan termasuk makroprudensial,
dan kebijakan sistem pembayaran untuk tetap menjaga stabilitas
moneter, stabilitas sistem keuangan, serta sistem pembayaran
yang efisien, lancar, aman, dan andal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Guna memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia,
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran menyampaikan informasi
mengenai produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis dari
Penyelenggara Teknologi Finansial kepada Bank Indonesia
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
- 10 -
Huruf b
Koordinasi dan/atau kerja sama dengan otoritas di negara
lain, organisasi
internasional, dan/atau lembaga
internasional dilakukan dengan memperhatikan prinsip
seperti kepentingan nasional, resiprokalitas,
kerahasiaan data dan/atau informasi.
Ayat (2)
Huruf a
Data dan informasi termasuk data dan informasi
Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar
dan/atau diberikan izin oleh otoritas lain di dalam negeri.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengenaan sanksi berupa penghentian kegiatan usaha
dilakukan oleh Bank Indonesia atau bekerja sama dengan
otoritas/pihak yang berwenang.
Huruf c
Yang dimaksud dengan tindakan tertentu antara lain
larangan untuk mengajukan permohonan izin sebagai
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
serta
- 11 -
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Kebijakan penyelenggaraan Teknologi Finansial ditujukan bagi
Penyelenggara Teknologi Finansial yang berada di bawah
kewenangan Bank Indonesia dengan ruang lingkup antara lain
aspek kelembagaan dan kepemilikan Penyelenggara Teknologi
Finansial serta penggunaan inovasi teknologi tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6142
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 19/12/PBI/2017 </reg_id>
<reg_title> PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI FINANSIAL </reg_title>
<set_date> 29 November 2017 </set_date>
<effective_date> 30 November 2017 </effective_date>
<issued_date> 30 November 2017 </issued_date>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '7/UU/2011', '11/UU/2008', '19/UU/2016' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
- 1 -
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/11/PBI/2013
TENTANG
PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka peningkatan ketahanan, daya
saing, dan efisiensi perbankan nasional, perlu
dilakukan penataan terhadap pengaturan penyediaan
dana dalam bentuk penyertaan modal sebagai salah
satu kegiatan usaha bank;
b. bahwa seiring dengan perkembangan kegiatan usaha
bank dan dinamika global, dibutuhkan keleluasaan
pada beberapa aspek dalam kegiatan penyertaan modal;
c. bahwa sejalan dengan beberapa ketentuan Bank
Indonesia yang terkait dengan penyertaan modal dan
perkembangan standar internasional, perlu dilakukan
harmonisasi ketentuan mengenai prinsip kehati-hatian
dalam kegiatan penyertaan modal;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu
mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang
Prinsip Kehati-hatian Dalam Kegiatan Penyertaan
Modal;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik …
- 2 -
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PRINSIP
KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN
MODAL
BAB I …
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank
Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Modal Bank adalah modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal minimum
Bank.
3. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk
saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan,
termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi wajib
(mandatory convertible bonds) atau jenis transaksi tertentu yang
berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan
yang bergerak di bidang keuangan.
4. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal oleh Bank,
Unit Usaha Syariah atau kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri, dalam bentuk saham pada perusahaan
debitur untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Perusahaan yang Bergerak di Bidang Keuangan adalah bank
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, dan perusahaan di bidang
keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan
efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan.
6. Investee …
- 4 -
6. Investee adalah Perusahaan yang Bergerak di Bidang Keuangan
tempat Bank melakukan Penyertaan Modal.
7. Perusahaan Anak adalah perusahaan anak sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi dan
publikasi laporan Bank.
8. Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha yang selanjutnya disebut
BUKU adalah pengelompokan Bank berdasarkan kegiatan usaha
yang disesuaikan dengan modal inti yang dimiliki sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai kegiatan usaha
dan jaringan kantor berdasarkan modal inti Bank.
9. Batas Maksimum Pemberian Kredit yang selanjutnya disingkat BMPK
adalah persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan
terhadap Modal Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai batas maksimum pemberian kredit Bank.
BAB II
RUANG LINGKUP DAN PERSYARATAN
PENYERTAAN MODAL
Pasal 2
Kegiatan Penyertaan Modal wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip
kehati-hatian.
Pasal 3
(1) Bank hanya dapat melakukan Penyertaan Modal pada Perusahaan
yang Bergerak di Bidang Keuangan.
(2) Bank Umum Syariah hanya dapat melakukan Penyertaan Modal
pada Perusahaan yang Bergerak di Bidang Keuangan berdasarkan
prinsip syariah.
(3) Unit Usaha Syariah dan kantor cabang dari bank yang berkedudukan
di luar negeri hanya dapat melakukan kegiatan Penyertaan Modal
Sementara.
Pasal 4 …
- 5 -
Pasal 4
(1) Bank wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk setiap
kali melakukan Penyertaan Modal.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib pula
diperoleh untuk setiap Penyertaan Modal lanjutan pada Investee yang
sama (subsequent investment).
(3) Penyertaan Modal yang berasal dari dividen saham tidak memerlukan
persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 5
(1) Penyertaan Modal dapat dilakukan secara langsung atau melalui
pasar modal.
(2) Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan untuk investasi jangka panjang dan tidak dimaksudkan
untuk jual beli saham.
Pasal 6
(1) Jumlah seluruh portofolio Penyertaan Modal ditetapkan paling tinggi
sebesar Penyertaan Modal sesuai pengelompokan Bank berdasarkan
BUKU.
(2) Jumlah seluruh portofolio Penyertaan Modal sebagaimana pada ayat
(1) termasuk peningkatan Penyertaan Modal dan dividen saham.
Pasal 7
Bank dilarang melakukan Penyertaan Modal melebihi batas penyediaan
dana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
BMPK.
Pasal 8
(1) Dalam hal Bank telah menerapkan manajemen risiko secara
konsolidasi dengan Perusahaan Anak maka:
a. Penyertaan …
- 6 -
a. Penyertaan Modal pada Perusahaan Anak tidak diperhitungkan
sebagai penyediaan dana dalam perhitungan BMPK.
b. peningkatan Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal yang berasal
dari dividen saham pada Perusahaan Anak yang sama
dikecualikan dari batas Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7.
(2) Peningkatan Penyertaan Modal yang berasal dari akumulasi laba
pada Investee yang menggunakan metode ekuitas dikecualikan dari
batas Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7, sepanjang tidak melebihi jangka waktu 1
(satu) tahun sejak akhir tahun buku Investee.
Pasal 9
(1) Kegiatan Penyertaan Modal pada Investee di luar negeri hanya dapat
dilakukan oleh Bank sesuai pengelompokan Bank berdasarkan
BUKU.
(2) Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan dalam valuta asing.
Pasal 10
(1) Bank yang akan melakukan Penyertaan Modal paling kurang harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
rencana Penyertaan Modal telah dicantumkan dalam Rencana
Bisnis Bank (RBB);
b. memenuhi rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM)
sesuai profil risiko sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal minimum
Bank;
c. memiliki tingkat kesehatan dengan peringkat komposit 1 (satu)
atau 2 (dua) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank, selama:
1. 3 (tiga) …
- 7 -
1. 3 (tiga) periode penilaian berturut-turut; atau
2. 4 (empat) periode penilaian berturut-turut apabila calon
Investee merupakan perusahaan baru dan/atau
perusahaan di luar negeri;
d.
tidak mengganggu kelangsungan usaha Bank dan tidak
meningkatkan profil risiko Bank secara signifikan;
e. memiliki kebijakan dan prosedur tertulis yang dibuat oleh
Direksi Bank dan disetujui oleh Dewan Komisaris Bank; dan
f. memiliki sistem pengendalian intern yang memadai untuk
kegiatan Penyertaan Modal, paling kurang untuk memastikan
bahwa terdapat:
1. analisis yang dilakukan secara komprehensif;
2. prosedur pelaksanaan yang sesuai dengan prinsip
manajemen risiko;
3. dokumentasi dan pemantauan secara periodik; dan
4. prosedur akuntansi dan valuasi yang tepat.
(2) Dalam hal belum terdapat ketentuan yang mengatur mengenai KPMM
sesuai profil risiko bagi bank umum syariah maka rasio KPMM
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan paling
kurang sebesar 10% (sepuluh persen).
BAB III
TATA CARA PENGAJUAN DAN PERSETUJUAN
PENYERTAAN MODAL
Pasal 11
(1) Bank wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh persetujuan
Penyertaan Modal kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sebelum Penyertaan Modal dilakukan, dengan
melampirkan paling kurang:
a. hasil …
- 8 -
a. hasil analisis kondisi dan proyeksi keuangan Bank, termasuk
proyeksi kecukupan permodalan sebelum dan sesudah
Penyertaan Modal;
b. hasil analisis profil risiko Bank, sebelum dan sesudah
Penyertaan Modal, baik secara individual maupun konsolidasi;
c. sistem pengelolaan risiko Penyertaan Modal;
d. sumber pendanaan Bank untuk melakukan Penyertaan Modal;
e. surat pernyataan dari Direksi Bank yang menyatakan bahwa
Penyertaan Modal yang dilakukan adalah dalam rangka investasi
jangka panjang dan tidak dimaksudkan untuk jual beli saham;
sistem pengendalian internal dan sistem informasi akuntansi;
f.
g. Penyertaan Modal dan/atau rencana Penyertaan Modal yang
dilakukan oleh pihak terkait dengan Bank pada Investee yang
sama;
h. hasil analisis mengenai profil usaha Investee, termasuk
dukungan dan manfaat usaha Investee terhadap perkembangan
usaha Bank;
i.
j.
k.
laporan keuangan tahun terakhir dan laporan keuangan interim
triwulan terakhir, serta proyeksi keuangan Investee;
struktur kepemilikan dan kepengurusan terakhir Investee;
identitas dari pemegang saham mayoritas atau pihak yang
melakukan pengendalian terhadap Investee atau pihak lain yang
akan melakukan Penyertaan Modal bersama-sama dengan Bank;
l. perjanjian dan/atau konsep perjanjian yang ada:
1. antar pemegang saham Investee; dan/atau
2. antara Bank dengan pemegang saham Investee yang
menjual saham kepada Bank; dan
m. fotokopi akta pendirian badan hukum dan anggaran dasar
Investee.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i tidak
berlaku bagi Investee berupa perusahaan baru.
(3) Dalam …
- 9 -
(3) Dalam hal Investee merupakan perusahaan baru sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Bank wajib menyampaikan dokumen
mengenai:
a.
tujuan pendirian perusahaan;
b. studi kelayakan mengenai perkiraan usaha (business forecasting)
dan peluang pasar Investee; dan
c. dokumentasi pengajuan pendirian kepada atau persetujuan
pendirian perusahaan baru dari otoritas yang berwenang.
(4) Bagi Bank yang melakukan Penyertaan Modal sebesar 20% (dua
puluh persen) atau lebih dari modal Investee atau memenuhi kriteria
pengendalian, selain menyampaikan dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan dokumen berupa:
a. studi kelayakan mengenai perkiraan usaha (business forecasting)
dan peluang pasar Investee;
b.
informasi mengenai kompetensi dan integritas dari anggota
Dewan Komisaris, anggota Direksi dan pejabat eksekutif serta
integritas pemegang saham mayoritas dari Investee;
c.
rencana penerapan manajemen risiko secara konsolidasi; dan
d. surat keterangan dari otoritas yang berwenang yang mengawasi
kegiatan usaha Investee beserta pernyataan tidak keberatan
bahwa Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan kepada
Investee.
(5) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3)
dan/atau ayat (4), Bank menyampaikan hasil due dilligence terhadap
Investee dan/atau dokumen pendukung lainnya, apabila diminta oleh
Bank Indonesia.
Pasal 12
Bank wajib menyampaikan surat pernyataan yang menjamin kebenaran
dokumen dan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), ayat
(3) dan/atau ayat (4) yang disampaikan dalam rangka permohonan
persetujuan Penyertaan Modal kepada Bank Indonesia.
Pasal 13 …
- 10 -
Pasal 13
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan Penyertaan Modal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 akan diberikan setelah
mempertimbangkan kelengkapan dokumen dan analisis kemampuan
Bank serta kelayakan dan kesesuaian kegiatan Penyertaan Modal
yang akan dilakukan oleh Bank.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan, Bank Indonesia dapat
meminta Bank dan/atau Investee untuk memberikan komitmen
tertulis.
Pasal 14
Dalam hal terdapat pelanggaran terhadap komitmen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), Bank Indonesia akan memerintahkan
Bank untuk melakukan tindakan tertentu.
Pasal 15
(1) Bank harus merealisasikan rencana Penyertaan Modal paling lama
6 (enam) bulan sejak persetujuan Penyertaan Modal diberikan oleh
Bank Indonesia.
(2) Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal
persetujuan diberikan oleh Bank Indonesia, Bank tidak
merealisasikan Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) maka persetujuan Bank Indonesia menjadi tidak berlaku.
(3) Bank Indonesia berdasarkan permohonan Bank, dapat
memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dengan mempertimbangkan faktor tertentu.
(4) Bank wajib menyampaikan laporan realisasi Penyertaan Modal paling
lama 7 (tujuh) hari kerja setelah Penyertaan Modal efektif dilakukan.
BAB IV …
- 11 -
BAB IV
PELAMPAUAN BATASAN PENYERTAAN MODAL SESUAI BUKU
Pasal 16
(1) Bank wajib menyampaikan rencana tindak dalam hal jumlah seluruh
portofolio Penyertaan Modal melampaui batasan Penyertaan Modal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut, yang disebabkan oleh:
a. penurunan modal inti;
b. peningkatan Penyertaan Modal pada Investee; dan/atau
c. penurunan Modal Bank.
(2) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa rencana
tindak dalam rangka:
a. pemenuhan persyaratan modal inti dan/atau Modal Bank; atau
b. penyesuaian jumlah Penyertaan Modal.
(3) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan keempat
sejak terjadinya pelampauan batasan Penyertaan Modal.
(4) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia dan penyelesaian
rencana tindak dimaksud paling lama 1 (satu) tahun sejak
persetujuan dari Bank Indonesia.
BAB V
DIVESTASI PENYERTAAN MODAL DAN
PENYERTAAN MODAL SEMENTARA
Pasal 17
(1) Bank wajib melakukan divestasi Penyertaan Modal apabila:
a. Penyertaan Modal yang dilakukan mengakibatkan atau
diperkirakan mengakibatkan penurunan permodalan Bank
dan/atau peningkatan profil risiko Bank secara signifikan; atau
b. atas …
- 12 -
b. atas rekomendasi dari otoritas Perusahaan Anak dan/atau
perintah dari Bank Indonesia.
(2) Bank wajib menyampaikan rencana divestasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja sebelum divestasi Penyertaan Modal dilakukan.
Pasal 18
(1) Bank dapat melakukan divestasi Penyertaan Modal atas inisiatif
sendiri dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. divestasi ditujukan untuk menyesuaikan dengan strategi bisnis
Bank;
b. Penyertaan Modal telah dilakukan paling singkat selama 5 (lima)
tahun;
c. dicantumkan dalam RBB untuk tahun yang sama dengan tahun
pengajuan permohonan;
d. divestasi dilakukan paling kurang sebesar 50% (lima puluh
persen) dari saham yang dimiliki;
e. divestasi dilakukan melalui suatu transaksi yang wajar (arm’s
length transaction);
f. divestasi tidak semata-mata ditujukan untuk memperoleh
keuntungan (capital gain); dan
g.
telah mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
untuk divestasi pada Investee yang dinyatakan pailit atau dalam
proses likuidasi.
(3) Bank wajib mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia untuk
memperoleh persetujuan divestasi atas inisiatif sendiri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum
divestasi dilakukan dengan melampirkan informasi dan dokumen
paling kurang:
a.
latar belakang dan tujuan divestasi;
b. analisis …
- 13 -
b. analisis dampak divestasi terhadap kinerja Bank; dan
c.
informasi mengenai calon pemegang saham baru dan analisis
dampak divestasi pada Investee dalam hal divestasi dilakukan
atas sebagian Penyertaan Modal pada Investee dimaksud.
(4) Dalam hal batas waktu pengajuan permohonan persetujuan divestasi
atas inisiatif sendiri jatuh pada hari libur maka pengajuan
permohonan persetujuan divestasi atas inisiatif sendiri disampaikan
pada hari kerja berikutnya.
(5) Dalam hal divestasi atas inisiatif sendiri dilakukan pada Perusahaan
Anak, selain persyaratan informasi dan dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Bank wajib menyampaikan hasil keputusan
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Persetujuan Dewan
Komisaris yang memuat rencana divestasi Penyertaan Modal Bank
pada Perusahaan Anak.
(6) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta dokumen
pendukung selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau
ayat (5).
Pasal 19
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan divestasi Penyertaan
Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) diberikan
setelah mempertimbangkan kelengkapan dokumen, analisis
kewajaran dan kesesuaian rencana divestasi atas insiatif sendiri.
(2) Bank harus merealisasikan rencana divestasi Penyertaan Modal atas
inisiatif sendiri paling lama 6 (enam) bulan sejak persetujuan
diberikan oleh Bank Indonesia.
(3) Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal
persetujuan diberikan oleh Bank Indonesia, Bank tidak
merealisasikan divestasi Penyertaan Modal atas inisiatif sendiri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka persetujuan Bank
Indonesia menjadi tidak berlaku.
Pasal 20 …
- 14 -
Pasal 20
(1) Divestasi atas Penyertaan Modal Sementara wajib dilakukan apabila
Penyertaan Modal Sementara telah melebihi jangka waktu paling
lama 5 (lima) tahun atau perusahaan debitur tempat Penyertaan
Modal Sementara telah memperoleh laba kumulatif.
(2) Dalam hal jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) akan berakhir dan perusahaan debitur tempat Penyertaan
Modal Sementara belum memperoleh laba, dalam rangka persiapan
divestasi, Bank wajib menyampaikan rencana pelaksanaan divestasi
kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum
jangka waktu tersebut berakhir.
(3) Dalam hal batas waktu penyampaian rencana pelaksanaan divestasi
Penyertaan Modal Sementara jatuh pada hari libur maka rencana
pelaksanaan divestasi Penyertaan Modal Sementara disampaikan
pada hari kerja berikutnya.
Pasal 21
Bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan divestasi Penyertaan
Modal dan Penyertaan Modal Sementara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17, Pasal 19 dan Pasal 20 paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah
pelaksanaan divestasi.
BAB VI
PENYERTAAN MODAL OLEH PERUSAHAAN ANAK
Pasal 22
(1) Dalam hal Perusahaan Anak melakukan penyertaan modal, Bank
harus memastikan hal-hal sebagai berikut:
a. penyertaan modal hanya dapat dilakukan pada Perusahaan yang
Bergerak di Bidang Keuangan dan/atau di perusahaan
penunjang jasa keuangan dan dalam bentuk saham;
b. Perusahaan …
- 15 -
b. Perusahaan Anak menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko yang memadai atas penyertaan modal yang
akan dilakukan; dan
c. penyertaan modal dilakukan dengan memperhatikan ketentuan
yang dikeluarkan oleh otoritas Perusahaan Anak.
(2) Bank wajib melakukan pemantauan perhitungan kecukupan modal
secara konsolidasi sampai dengan perusahaan yang dikendalikan
oleh Perusahaan Anak.
(3) Perusahaan Anak yang melakukan kegiatan usaha sesuai dengan
prinsip syariah hanya dapat melakukan penyertaan modal pada
perusahaan yang kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan
prinsip syariah.
Pasal 23
(1) Perusahaan penunjang jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (1) huruf (a) merupakan perusahaan yang didirikan
atau kegiatan usahanya ditujukan hanya untuk menunjang kegiatan
usaha Bank melalui sistem pembayaran, meliputi perusahaan yang
melakukan kegiatan usaha sebagai berikut:
a. prinsipal alat pembayaran menggunakan kartu (APMK) atau
uang elektronik;
b. penerbit APMK atau uang elektronik;
c. acquirer APMK atau uang elektronik;
d. penyelenggara kliring APMK atau uang elektronik;
e. penyelenggara penyelesaian akhir APMK atau uang elektronik;
f. penyelenggara transfer dana;
g. penyelenggara switching;
h. pelaksanaan sertifikasi sistem pembayaran;
i. penyedia jaringan sistem pembayaran;
j. pengelola standar APMK atau uang elektronik;
k. penyedia …
- 16 -
k. penyedia perangkat pembayaran; dan/atau
l. pelaksana personalisasi.
(2) Pelaksanaan kegiatan usaha perusahaan penunjang jasa keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mematuhi ketentuan yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan/atau Otoritas Jasa Keuangan.
BAB VII
ALAMAT PELAPORAN
Pasal 24
Permohonan persetujuan Penyertaan Modal dan pelaporan terkait dengan
pelaksanaan Penyertaan Modal dalam Peraturan Bank Indonesia ini
disampaikan kepada:
a. Departemen Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia,
Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, bagi Bank Umum
Konvensional atau Bank Umum Syariah yang berkantor pusat di
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat bagi Bank yang
berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
BAB VIII
PERLAKUAN AKUNTANSI DAN KUALITAS PENYERTAAN MODAL
DAN PENYERTAAN MODAL SEMENTARA
Pasal 25
Perlakuan akuntansi atas Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal
Sementara mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di
Indonesia.
Pasal 26 …
- 17 -
Pasal 26
Kualitas dan penyisihan penghapusan aset atas Penyertaan Modal dan
Penyertaan Modal Sementara mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
mengenai penilaian kualitas aset Bank.
BAB IX
TRANSPARANSI DAN PENGELOLAAN PENYERTAAN MODAL
DAN PENYERTAAN MODAL SEMENTARA
Pasal 27
Bank wajib mengungkapkan kegiatan Penyertaan Modal dan Penyertaan
Modal Sementara dalam Laporan Tahunan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi dan publikasi laporan
Bank.
Pasal 28
(1) Bank wajib menerapkan manajemen risiko dalam mengelola kegiatan
Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara dengan mengacu
pada ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen
risiko bagi bank umum atau penerapan manajemen risiko bagi bank
umum syariah dan unit usaha syariah.
(2) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling kurang mencakup:
a. pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi;
b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit
manajemen risiko;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko;
dan
d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
(3) Bank …
- 18 -
(3) Bank wajib memantau jumlah seluruh portofolio Penyertaan Modal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) termasuk peningkatan
Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal yang berasal dari dividen
saham pada Perusahaan Anak yang sudah dikecualikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b.
(4) Bank Indonesia dapat memerintahkan Bank untuk melakukan atau
tidak melakukan tindakan tertentu dalam rangka mengendalikan
risiko Penyertaan Modal berdasarkan hasil pemantauan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
BAB X
LAIN-LAIN
Pasal 29
Bank dilarang:
a. menerima penyertaan saham dari Investee atau melakukan
Penyertaan Modal pada perusahaan pemegang saham Bank, baik
secara langsung maupun tidak langsung; dan
b. melakukan Penyertaan Modal yang mengakibatkan Bank memiliki
kewajiban yang tidak terbatas pada Investee.
Pasal 30
Penyertaan Modal pada Investee berupa Bank, selain tunduk pada
ketentuan ini juga mengacu pada ketentuan antara lain mengenai
pembelian saham Bank, kepemilikan saham Bank, dan kepemilikan
tunggal pada perbankan Indonesia, serta merger, konsolidasi dan akuisisi
Bank.
Pasal 31 …
- 19 -
Pasal 31
(1) Bank Indonesia dapat memerintahkan Bank untuk mengambil
langkah-langkah perbaikan (corrective actions) dan/atau
merekomendasikan kepada otoritas yang berwenang untuk
melakukan tindakan perbaikan atau pembekuan sebagian atau
seluruh kegiatan Investee.
(2) Perintah dan/atau rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia kegiatan
Investee:
a. mencerminkan kondisi keuangan dan non keuangan yang
tidak sehat; dan/atau
b. mengganggu kondisi keuangan dan non keuangan Bank.
Pasal 32
(1) Bank Indonesia berdasarkan pertimbangan tertentu dapat
memerintahkan Bank untuk melakukan divestasi Penyertaan Modal
atau menolak permohonan Penyertaan Modal atau divestasi atas
inisiatif sendiri.
(2) Pertimbangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara
lain sebagai berikut:
a. Penyertaan Modal atau divestasi atas inisiatif sendiri dapat
berdampak negatif terhadap kondisi perekonomian nasional atau
tidak sejalan dengan kepentingan nasional;
b. Penyertaan Modal atau divestasi atas inisiatif sendiri tidak
sejalan dengan arah kebijakan pengembangan perbankan di
Indonesia; dan/atau
c. Penyertaan Modal atau rencana Penyertaan Modal Bank pada
perusahaan yang berlokasi di dalam maupun di luar negeri
menyebabkan atau diindikasikan akan menyebabkan kesulitan
pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia.
BAB XI …
- 20 -
BAB XI
SANKSI
Pasal 33
Bank yang melanggar ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 ayat (2), Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal
19 ayat (2), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 25, Pasal 26,
Pasal 27, Pasal 28 dan/atau Pasal 29 dikenakan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998 atau Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34
Permohonan persetujuan Penyertaan Modal yang telah diajukan sebelum
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, wajib disesuaikan dengan
persyaratan dalam Peraturan Bank Indonesia ini kecuali persyaratan
tentang tingkat kesehatan Bank.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/10/PBI/2003 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam
Kegiatan Penyertaan Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 66 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4296) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 36 …
- 21 -
Pasal 36
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 22 November 2013
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 22 November 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 187
DPNP/DPbS/DKSP
- 22 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/11/PBI/2013
TENTANG
PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL
I. UMUM
Kegiatan Penyertaan Modal oleh Bank merupakan salah satu
bagian dari kegiatan penanaman dana Bank disamping kegiatan
lainnya seperti penyaluran kredit, penanaman dana dalam bentuk
surat-surat berharga dan kegiatan pasar uang antar Bank. Sebagai
kegiatan penanaman dana, Bank disamping menerima manfaat
berupa pendapatan hasil Penyertaan Modal, juga berpotensi terpapar
risiko dari kegiatannya tersebut.
Untuk meningkatkan daya tahan Bank, dilakukan penataan
ulang terhadap persyaratan Penyertaan Modal, penerapan
manajeman risiko, dan jumlah maksimum Penyertaan Modal yang
dapat dilakukan sesuai dengan kapasitas permodalan yang
dimilikinya. Selain itu, dalam rangka menerapkan prinsip kehati-
hatian dan aspek pengawasan terhadap kegiatan Penyertaan Modal
oleh Bank, Bank Indonesia menetapkan persyaratan tingkat
kesehatan yang harus dipenuhi oleh Bank sebelum melakukan
Penyertaan Modal.
Dengan adanya dinamika industri perbankan, Bank perlu
menyesuaikan kegiatan Penyertaan Modalnya sesuai dengan rencana
strategisnya ke depan. Dengan demikian, perlu dibuka kemungkinan
bagi Bank untuk melakukan divestasi atas Penyertaan Modalnya
dengan inisiatif sendiri, disamping divestasi yang memang wajib
dilakukan karena ketentuan. Selanjutnya, perlu ditetapkan
persyaratan agar divestasi yang dilakukan atas inisiatif sendiri tidak
dimanfaatkan Bank untuk melakukan kegiatan investment banking.
Dalam …
- 23 -
Dalam rangka menghasilkan laporan keuangan yang wajar,
kegiatan Penyertaan Modal dan/atau Penyertaan Modal Sementara
Bank harus disajikan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku
di Indonesia. Standar akuntansi tersebut telah mempertimbangkan
dinamika standar akuntansi keuangan yang berlaku secara
internasional.
Selain itu, seiring dengan dinamika pengaturan perbankan
yang berdampak pada pengaturan Penyertaan Modal dan/atau
Penyertaan Modal Sementara diperlukan harmonisasi dengan
ketentuan mengenai kualitas aset, penerapan manajemen risiko
secara konsolidasi bagi bank yang melakukan pengendalian terhadap
perusahaan anak, dan kegiatan usaha dan jaringan kantor bank
berdasarkan modal inti.
Sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, Bank hanya
dapat melakukan Penyertaan Modal pada Perusahaan yang Bergerak
di Bidang Keuangan atau melakukan Penyertaan Modal Sementara
pada perusahaan debitur dalam rangka restrukturisasi kredit.
Namun demikian, seiring dengan semakin berkembangnya peran
pihak lain dalam mendukung pelaksanaan transaksi perbankan,
diperlukan upaya tertentu agar pengendalian pelaksanaan transaksi
perbankan lebih terintegrasi. Salah satu upaya adalah dengan
membuka peluang bagi Bank melalui Penyertaan Modal kepada
perusahaan penunjang jasa keuangan melalui Perusahaan Anak.
Peluang ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh Bank dalam
memperluas kegiatan Penyertaan Modalnya sehingga memberikan
keuntungan bagi Bank dalam rangka meningkatkan daya saingnya.
Namun demikian, perlu disadari bahwa peluang perluasan kegiatan
Penyertaan Modal harus diimbangi dengan peningkatan kualitas
manajemen risiko dalam rangka mengantisipasi risiko eksternal yang
dapat timbul dari Perusahaan Anak dan perusahaan penunjang jasa
keuangan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi profil risiko
Bank.
II. Pasal …
- 24 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Unit Usaha Syariah adalah unit usaha syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
adalah kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai persyaratan dan tata cara pembukaan kantor cabang,
kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari bank yang
berkedudukan di luar negeri.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh Penyertaan Modal lanjutan:
Bank A memiliki Penyertaan Modal berupa saham
pada PT. XYZ sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Kemudian …
- 25 -
Kemudian Bank A berencana untuk membeli mandatory
convertible bonds yang diterbitkan oleh PT. XYZ sebesar Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Dengan demikian
pembelian tersebut merupakan Penyertaan Modal lanjutan
sehingga Penyertaan Modal Bank A pada PT. XYZ menjadi
sebesar Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).
Ayat (3)
Dividen saham adalah bagian laba yang dibagikan kepada
pemegang saham dalam bentuk saham.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
“Peningkatan Penyertaan Modal” terjadi karena akumulasi laba
dan/atau perubahan nilai tukar dan/atau nilai wajar sesuai
dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 26 -
Ayat (2)
Investee dalam ayat ini dapat berupa Perusahaan Anak yang
belum menerapkan manajemen risiko secara konsolidasi dengan
Bank atau bukan Perusahaan Anak.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Rencana Penyertaan Modal dalam RBB paling kurang
memuat mengenai bidang usaha, perkiraan jumlah dana
yang akan ditanamkan dan persentase kepemilikan
termasuk aspek pengendalian.
Huruf b
Rasio KPMM adalah rasio KPMM periode bulan terakhir
sebelum pengajuan permohonan persetujuan Penyertaan
Modal maupun sebelum realisasi Penyertaan Modal.
Huruf c
Penilaian tingkat kesehatan yang digunakan adalah
penilaian tingkat kesehatan yang dilakukan oleh Bank
Indonesia.
Angka 1
Yang dimaksud dengan periode penilaian adalah
penilaian yang dilakukan secara berkala setiap
semester sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank.
Angka 2 …
- 27 -
Angka 2
Yang dimaksud “perusahaan baru” adalah perusahaan
yang sedang dalam proses pendirian atau telah
berjalan kurang dari 1 (satu) tahun.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “mengganggu kelangsungan usaha
Bank” adalah penurunan kondisi keuangan Bank secara
signifikan antara lain dari aspek likuiditas dan solvabilitas.
Profil risiko Bank tercermin dari risiko yang melekat
(inherent risk) pada seluruh bidang usaha Bank dan
kualitas penerapan manajemen risiko.
Profil risiko Bank meningkat secara signifikan apabila
peningkatannya menyebabkan perubahan peringkat profil
risiko.
Huruf e
Kebijakan dimaksud antara lain meliputi kebijakan dalam
pengelolaan risiko dan pengendalian intern dalam kegiatan
Penyertaan Modal.
Prosedur tertulis memuat antara lain:
1. evaluasi secara berkala;
2. laporan berkala dari Investee; dan
3. tindakan Bank apabila terjadi penurunan nilai
Penyertaan Modal (contigency plan).
Huruf f
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3 …
- 28 -
Angka 3
Dokumentasi dapat berupa hardcopy maupun secara
elektronik, dengan tujuan untuk memudahkan
dilakukannya jejak audit (audit trail).
Angka 4
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan pihak terkait dengan Bank adalah
pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai BMPK.
Huruf h
Dalam melakukan analisis, Bank mempertimbangkan
faktor-faktor antara lain:
1. karakteristik …
- 29 -
1. karakteristik usaha Investee;
2. Penyertaan Modal yang telah dan/atau akan dilakukan
oleh Investee; dan
3. kesesuaian kegiatan usaha Investee dengan peraturan
dan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Dalam hal Investee adalah perusahaan baru persyaratan
dalam huruf ini dapat berupa rancangan struktur
kepemilikan dan kepengurusan.
Huruf k
Dalam hal Investee adalah perusahaan baru persyaratan
dalam huruf ini dapat berupa identitas dari calon.
Huruf l
Termasuk perjanjian atau konsep perjanjian adalah
perjanjian jual beli saham atau konsep perjanjian lain yang
merujuk pada Anggaran Dasar Investee.
Huruf m
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud “perkiraan usaha” adalah perkiraan usaha
dari aspek keuangan termasuk proyeksi laporan keuangan,
dan aspek non keuangan dari Investee, sedangkan “peluang
pasar” adalah peluang dalam industri/pasar lembaga
keuangan.
Huruf c …
- 30 -
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “modal Investee” adalah modal disetor
Investee.
Kriteria pengendalian mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
mengenai transparansi dan publikasi laporan Bank.
Huruf a
Yang dimaksud “perkiraan usaha” adalah perkiraan usaha
dari aspek keuangan termasuk proyeksi laporan keuangan,
dan aspek non keuangan dari Investee, sedangkan peluang
pasar adalah peluang dalam industri/pasar lembaga
keuangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Manajemen risiko konsolidasi diperlukan dalam hal
Investee merupakan Perusahaan Anak.
Huruf d
Surat keterangan dari otoritas yang berwenang antara lain
menjelaskan kinerja dan/atau kondisi keuangan dan non
keuangan dari Investee.
Surat pernyataan tidak keberatan untuk melakukan
pemeriksaan diperlukan dalam hal Investee berkedudukan
di luar negeri dan belum terdapat nota kesepahaman terkait
dengan cross border supervision.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13 …
- 31 -
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Komitmen tertulis antara lain dapat berupa komitmen Bank
bahwa Investee tidak akan melakukan kegiatan tertentu yang
diperkirakan berdampak negatif terhadap kondisi keuangan dan
non keuangan Bank.
Pasal 14
Termasuk dalam tindakan tertentu antara lain berupa perintah
divestasi.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Faktor tertentu antara lain penyebab terlampauinya jangka
waktu seperti faktor eksternal yang tidak dapat dikendalikan
oleh Bank, dan/atau hambatan yang timbul untuk memenuhi
kebijakan atau ketentuan otoritas Investee.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “efektif” adalah:
a. pada saat memperoleh persetujuan dari otoritas yang terkait,
untuk perusahaan yang perubahan kepemilikannya harus
memperoleh persetujuan otoritas;
b. pada saat terjadi perubahan kepemilikan saham di
kustodian, untuk saham yang diperdagangkan di pasar
modal dan perubahan kepemilikan atas Investee tidak perlu
mendapatkan persetujuan dari otoritas; atau
c. pada …
- 32 -
c. pada saat menyampaikan laporan kepada Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia, untuk perusahaan yang
tidak perlu mendapatkan persetujuan dari otoritas dan
saham tidak diperdagangkan di pasar modal.
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Penurunan modal inti yang mengakibatkan perubahan
kategori BUKU sehingga menurunkan batasan Penyertaan
Modal yang diperbolehkan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penyebab penurunan Modal Bank antara lain karena bank
mengalami kerugian.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh penyesuaian jumlah Penyertaan Modal dilakukan
melalui divestasi saham pada Investee.
Ayat (3)
Contoh batas waktu penyampaian rencana tindak adalah
sebagai berikut:
Bank X dengan modal inti sebesar Rp 5.050.000.000.000,00
(lima triliun lima puluh miliar rupiah) (BUKU 3) dan Modal Bank
Rp 8.500.000.000.000,00 (delapan triliun lima ratus miliar
rupiah) pada bulan Januari 2014, mempunyai total Penyertaan
Modal pada Bank Y dan Lembaga Keuangan Z sebesar Rp
1.700.000.000.000,00 (satu triliun tujuh ratus miliar rupiah)
setara dengan 20% (dua puluh persen) dari Modal Bank.
Pada …
- 33 -
Pada posisi bulan Februari, Maret dan April 2014, modal inti
Bank X mengalami penurunan menjadi:
Bulan
Februari
Maret
April
Modal Inti
Rp 4.950.000.000.000,00
Rp 4.910.000.000.000,00
Rp 4.880.000.000.000,00
Dengan demikian Bank X berubah menjadi BUKU 2 dan harus
menyampaikan rencana tindak kepada Bank Indonesia paling
lambat akhir bulan Mei 2014.
Rencana tindak tersebut dapat berupa:
a. rencana peningkatan modal inti untuk pemenuhan
persyaratan modal inti dari BUKU 2 menjadi BUKU 3, atau
b. rencana penurunan Penyertaan Modal dari 20% (dua puluh
persen) dari Modal Bank menjadi paling tinggi 15% (lima
belas persen) dari Modal Bank.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “divestasi” adalah pelepasan atau
pengurangan Penyertaan Modal pada Investee, baik yang
dilakukan secara langsung maupun melalui pasar modal.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penurunan permodalan Bank
secara signifikan” adalah apabila penurunan permodalan
dimaksud mengakibatkan jumlah Modal Bank lebih rendah
dari kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil
risiko sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai …
- 34 -
mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bagi
Bank.
Profil risiko Bank meningkat secara signifikan apabila
peningkatannya menyebabkan perubahan peringkat profil
risiko. Peningkatan ini dapat disebabkan antara lain oleh
meningkatnya risiko reputasi dan/atau risiko hukum yang
mempengaruhi kelangsungan usaha Investee.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “laba kumulatif” adalah laba perusahaan
setelah diperhitungkan dengan kerugian tahun-tahun
sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Divestasi Penyertaan Modal mencakup divestasi wajib atau divestasi
atas inisiatif sendiri.
Pasal 22 …
- 35 -
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Termasuk dalam bentuk saham adalah penanaman dalam
bentuk surat utang konversi wajib (mandatory convertible
bonds).
Huruf b
Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko” adalah penerapan manajemen risiko
sebagaimana diatur dalam ketentuan bagi Perusahaan
Anak, antara lain:
1. ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan
manajemen risiko bagi bank umum, apabila Perusahaan
Anak berupa bank umum; atau
2. ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan
manajemen risiko bagi bank umum syariah dan unit
usaha syariah, apabila Perusahaan Anak berupa bank
umum syariah.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan
huruf l mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai:
a. alat pembayaran menggunakan kartu;
b. uang elektronik;
c. transfer dana; dan/atau
d. ketentuan …
- 36 -
d. ketentuan Bank Indonesia terkait lainnya di bidang sistem
pembayaran.
Ayat (2)
Ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan/atau
Otoritas Jasa Keuangan yang dimaksud dalam ayat ini antara
lain ketentuan mengenai perijinan dan kegiatan usaha
perusahaan penunjang jasa keuangan.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Perlakuan akuntansi mencakup pengakuan, pengukuran, penyajian
dan pengungkapan.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Larangan ini dimaksudkan agar bank terhindar dari eksposur
Penyertaan Modal pada perusahaan yang memiliki open-ended
liability, seperti adanya letter of undertaking yang mengikat
Investee secara akuntansi maupun secara hukum kepada
pihak lain sedemikian rupa sehingga bank memiliki tanggung
jawab yang tidak terbatas.
Pasal 30 …
- 37 -
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Termasuk dalam tindakan perbaikan (corrective actions) antara
lain perbaikan good corporate governance dan/atau manajemen
risiko Perusahaan Anak, dan/atau divestasi seluruh atau
sebagian Penyertaan Modal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Penyertaan Modal dimaksud adalah Penyertaan Modal yang
sudah berjalan atau Penyertaan Modal yang sedang
diajukan permohonannya.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Indikasi kesulitan pengawasan antara lain:
1. kesulitan otoritas pengawas dalam akses terhadap data
dan informasi Investee;
2. kesulitan dalam pelaksanaan pemeriksaan terhadap
Investee;
3. kurang efektifnya atau tidak adanya otoritas pengawas
Investee di tempat kedudukan Investee; dan/atau
4. Investee digunakan sebagai media untuk melakukan
rekayasa keuangan.
Pasal 33 ...
- 38 -
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5466
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 15/11/PBI/2013 </reg_id>
<reg_title> PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL </reg_title>
<set_date> 22 November 2013 </set_date>
<effective_date> 22 November 2013 </effective_date>
<issued_date> 22 November 2013 </issued_date>
<replaced_reg> '5/10/PBI/2003' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/1/PBI/2019
TENTANG
UTANG LUAR NEGERI BANK DAN KEWAJIBAN BANK LAINNYA
DALAM VALUTA ASING
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa utang luar negeri bank dan kewajiban bank lainnya
dalam valuta asing merupakan salah satu sumber
pembiayaan perekonomian nasional yang perlu dikelola
dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian sebagai
upaya menjaga stabilitas perekonomian makro dan sistem
keuangan;
b. bahwa pengaturan kegiatan utang luar negeri bank dan
kewajiban bank lainnya dalam valuta asing, baik yang
berjangka panjang maupun pendek, harus sejalan dengan
perkembangan perekonomian dan perbankan nasional
serta pasar keuangan domestik;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Bank Indonesia tentang Utang Luar Negeri Bank dan
Kewajiban Bank Lainnya dalam Valuta Asing;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG UTANG LUAR
NEGERI BANK DAN KEWAJIBAN BANK LAINNYA DALAM
VALUTA ASING.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan
bank umum syariah serta unit usaha syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah, termasuk kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri serta kantor
bank umum dan bank umum syariah berbadan hukum
Indonesia yang beroperasi di luar negeri.
2. Utang Luar Negeri Bank yang selanjutnya disebut ULN
Bank adalah utang Bank kepada bukan penduduk dalam
- 2 -
valuta asing dan/atau rupiah, termasuk di dalamnya
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
3. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai lalu
lintas devisa dan sistem nilai tukar.
4. Kewajiban Jangka Pendek adalah kewajiban Bank berupa
ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta
asing, yang berjangka waktu asal (original maturity)
sampai dengan 1 (satu) tahun.
5. Kewajiban Jangka Panjang adalah kewajiban Bank berupa
ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta
asing, yang berjangka waktu asal (original maturity) lebih
dari 1 (satu) tahun.
6. Surat Utang Valuta Asing Domestik yang selanjutnya
disebut Surat Utang Valas Domestik adalah surat utang
dalam valuta asing yang diterbitkan Bank di bursa dalam
negeri maupun dijual secara private placement kepada
Penduduk.
7. Transaksi Partisipasi Risiko yang selanjutnya disingkat
TPR adalah transaksi pengalihan risiko atas individual
kredit dan/atau fasilitas lainnya berdasarkan perjanjian
induk transaksi partisipasi risiko (master risk participation
agreement).
8. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas
Jasa Keuangan.
9. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia.
10. Operasi Moneter adalah operasi moneter sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai operasi moneter.
11. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang
negara dan surat berharga syariah negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
surat berharga syariah negara.
- 2 -
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
(1) Bank dapat memiliki ULN Bank dan kewajiban Bank
lainnya dalam valuta asing.
(2) Kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. Surat Utang Valas Domestik; dan
b. TPR.
(3) ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan jangka
waktu terdiri atas:
a. Kewajiban Jangka Pendek; dan
b. Kewajiban Jangka Panjang.
(4) Bank yang memiliki ULN Bank dan kewajiban Bank
lainnya dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus menerapkan prinsip kehati-hatian.
Pasal 3
ULN Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
meliputi:
a. ULN Bank berdasarkan perjanjian pinjaman (loan
agreement);
b. ULN Bank berdasarkan surat utang (debt securities);
c. ULN Bank dalam bentuk giro, deposito, tabungan, dan call
money; dan
d. ULN Bank dalam bentuk lainnya.
Pasal 4
(1) TPR yang termasuk kewajiban Bank lainnya dalam valuta
asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf
b yaitu TPR yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. dilakukan oleh Bank sebagai grantor dengan pihak
lain bukan Penduduk sebagai participant;
- 2 -
b.
disertai dengan aliran dana dari pihak lain bukan
Penduduk sebagai participant kepada Bank sebagai
grantor saat transaksi mulai berlaku (funded); dan
c. tanpa pengalihan hak tagih dari Bank sebagai grantor
kepada pihak lain bukan Penduduk sebagai
participant.
(2) TPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang kemudian
dialihkan hak tagihnya kepada pihak lain bukan Penduduk
sebagai participant diperlakukan sebagai utang luar negeri
milik debitur Bank kepada participant.
(3) Bank wajib melaporkan pengalihan hak tagih sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) kepada Bank Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan pengalihan hak
tagih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB III
PRINSIP KEHATI-HATIAN TERHADAP
KEWAJIBAN JANGKA PENDEK
Pasal 5
(1) Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian terhadap
Kewajiban Jangka Pendek dengan membatasi posisi saldo
harian Kewajiban Jangka Pendek paling tinggi 30% (tiga
puluh persen) dari modal Bank.
(2) Kewajiban Jangka Pendek sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a. ULN Bank jangka pendek;
b. Surat Utang Valas Domestik jangka pendek; dan
c. TPR jangka pendek.
(3) Kewajiban Bank untuk membatasi posisi saldo harian
Kewajiban Jangka Pendek sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) juga berlaku bagi Kewajiban Jangka Panjang yang
jangka waktunya diperpendek sehingga jangka waktu asal
(original maturity) kewajiban tersebut menjadi sampai
dengan 1 (satu) tahun.
- 2 -
Pasal 6
(1) Bank Indonesia dapat memberikan pengecualian terhadap
kewajiban Bank untuk membatasi posisi saldo harian
Kewajiban Jangka Pendek sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) dalam hal Bank sangat memerlukan
Kewajiban Jangka Pendek untuk mengatasi permasalahan
Bank yang mendesak dan/atau untuk memenuhi
ketentuan otoritas berdasarkan informasi dan/atau
rekomendasi otoritas terkait.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pemberian
pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 7
(1) Kewajiban Bank untuk membatasi posisi saldo harian
Kewajiban Jangka Pendek sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1), dikecualikan terhadap:
a. ULN Bank jangka pendek dari pemegang saham
pengendali untuk mengatasi kesulitan likuiditas
Bank;
b. ULN Bank jangka pendek dari pemegang saham
pengendali untuk penyaluran kredit ke sektor riil;
c. dana usaha kantor cabang dari Bank yang
berkedudukan di luar negeri sampai dengan 100%
(seratus persen) dari dana usaha yang dinyatakan
(declared dana usaha);
d. kewajiban Bank kepada bukan Penduduk yang
timbul dari transaksi lindung nilai;
e. giro, tabungan, dan deposito milik perwakilan negara
asing dan lembaga internasional, termasuk anggota
staf perwakilan negara asing dan lembaga
internasional;
f.
giro milik bukan Penduduk yang digunakan untuk
kegiatan investasi di Indonesia yang meliputi
penyertaan langsung, pembelian saham, pembelian
- 2 -
obligasi korporasi Indonesia, pembelian SBN,
dan/atau pembelian surat berharga yang diterbitkan
oleh Bank Indonesia;
g.
giro milik bukan Penduduk yang menampung dana
hasil penjualan kembali atau divestasi atas
penyertaan langsung, pembelian saham, pembelian
obligasi korporasi Indonesia, pembelian SBN,
dan/atau pembelian surat berharga yang diterbitkan
oleh Bank Indonesia;
h. giro milik bukan Penduduk nonpemegang saham
pengendali yang digunakan untuk penyaluran kredit
ke proyek infrastruktur;
i.
giro milik bukan Penduduk yang menampung dana
hasil penerbitan obligasi berdenominasi rupiah oleh
lembaga supranasional untuk pembiayaan proyek
infrastruktur; dan/atau
j.
giro atau deposito milik bukan Penduduk yang
diperuntukkan sebagai penyimpanan sementara
dana setoran modal Bank sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan OJK.
(2) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
didukung dengan bukti yang memadai.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bukti yang memadai
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 8
(1) Kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar
negeri wajib menginformasikan hasil penetapan dan
perubahan dana usaha yang dinyatakan (declared dana
usaha) kepada Bank Indonesia.
(2) Kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar
negeri wajib memelihara posisi harian dana usaha paling
rendah 90% (sembilan puluh persen) dari jumlah dana
usaha yang dinyatakan (declared dana usaha)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- 2 -
(3) Kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar
negeri dapat memelihara posisi harian dana usaha lebih
dari 100% (seratus persen) dari dana usaha yang
dinyatakan (declared dana usaha) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(4) Kelebihan dana usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diperhitungkan sebagai Kewajiban Jangka Pendek.
BAB IV
PRINSIP KEHATI-HATIAN
TERHADAP KEWAJIBAN JANGKA PANJANG
Pasal 9
(1) Bank yang akan masuk pasar untuk memperoleh
Kewajiban Jangka Panjang wajib terlebih dahulu
memperoleh persetujuan rencana masuk pasar dari Bank
Indonesia.
(2) Kewajiban memperoleh persetujuan rencana masuk pasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi
Kewajiban Jangka Pendek yang jangka waktunya
diperpanjang lebih dari 1 (satu) tahun.
(3) Kewajiban Jangka Panjang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a. ULN Bank jangka panjang;
b. Surat Utang Valas Domestik jangka panjang; dan
c. TPR jangka panjang.
(4) Bank dilarang menerima Kewajiban Jangka Panjang
melebihi jumlah yang tertera dalam rencana masuk pasar
yang telah disetujui oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(5) Bank yang mengajukan permohonan persetujuan rencana
masuk pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
terlebih dahulu mencantumkan rencana masuk pasar
dalam rencana bisnis Bank.
- 2 -
(6) Ketentuan pencantuman rencana masuk pasar dalam
rencana bisnis Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
tidak berlaku bagi:
a. permohonan persetujuan masuk pasar untuk
Kewajiban Jangka Panjang dalam bentuk pinjaman
subordinasi (subordinated loan) yang dilakukan atas
dasar rekomendasi OJK.
b. permohonan persetujuan rencana masuk pasar
untuk Kewajiban Jangka Panjang yang sangat
diperlukan dalam mengatasi permasalahan Bank
yang mendesak dan/atau memenuhi ketentuan
otoritas terkait, yang dilakukan atas dasar informasi
dan/atau rekomendasi otoritas terkait.
Pasal 10
(1) Bank yang akan masuk pasar menyampaikan
permohonan persetujuan rencana masuk pasar kepada
Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK.
(2) Permohonan persetujuan rencana masuk pasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi
dengan dokumen pendukung.
Pasal 11
(1) Bank Indonesia dapat menyetujui atau menolak
permohonan persetujuan rencana masuk pasar yang
diajukan oleh Bank.
(2) Bank Indonesia menyetujui atau menolak permohonan
persetujuan masuk pasar setelah mempertimbangkan hal
sebagai berikut:
a. kelengkapan dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2);
b. syarat dan ketentuan Kewajiban Jangka Panjang;
c. kondisi ekonomi makro dan pasar keuangan;
d. kondisi sistem keuangan;
e. kondisi keuangan Bank; dan
f.
hal lainnya yang dianggap penting oleh Bank
Indonesia.
- 2 -
(3) Dalam melakukan proses persetujuan masuk pasar, Bank
Indonesia berkoordinasi dengan OJK untuk memperoleh
data dan informasi mengenai kondisi Bank, termasuk
memperoleh rekomendasi OJK.
Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai prinsip kehati-hatian
terhadap Kewajiban Jangka Panjang Bank berupa permohonan
persetujuan rencana masuk pasar diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 13
(1) Persetujuan masuk pasar yang diberikan oleh Bank
Indonesia berlaku untuk jangka waktu selama 3 (tiga)
bulan sejak tanggal persetujuan masuk pasar.
(2) Dalam hal Bank belum masuk pasar sampai dengan
berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan Bank tetap berencana masuk pasar, Bank
harus mengajukan kembali permohonan persetujuan
rencana masuk pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (1).
(3) Persetujuan masuk pasar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang belum direalisasikan dapat menjadi tidak
berlaku dalam hal Bank melakukan aksi korporasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai keberlakuan persetujuan
masuk pasar bagi Bank yang melakukan aksi korporasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 14
(1) Bank wajib menyampaikan laporan realisasi masuk pasar
paling lambat:
a. 7 (tujuh) Hari Kerja setelah tanggal masuk pasar,
untuk ULN Bank dalam bentuk perjanjian pinjaman,
ULN Bank dalam bentuk surat utang yang diterbitkan
melalui private placement, Surat Utang Valas
- 2 -
Domestik yang diterbitkan melalui private placement,
dan TPR; dan
b. 7 (tujuh) Hari Kerja setelah tanggal penyelesaian
transaksi, untuk ULN Bank dalam bentuk surat
utang dan Surat Utang Valas Domestik, yang
diterbitkan melalui bursa.
(2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan
realisasi masuk pasar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) apabila laporan disampaikan melampaui batas waktu
yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan 10 (sepuluh) Hari Kerja setelah batas waktu
tersebut.
(3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan realisasi
masuk pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
apabila laporan tidak disampaikan sampai dengan 10
(sepuluh) Hari Kerja setelah batas waktu yang ditentukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan
kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK.
(5) Dalam hal terdapat perbedaan syarat dan ketentuan
Kewajiban Jangka Panjang pada saat sebelum dan
sesudah masuk pasar, Bank wajib menjelaskan penyebab
perbedaan tersebut dalam laporan realisasi masuk pasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara memadai.
(6) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta
Bank untuk menyampaikan informasi penyaluran dana
ULN Bank jangka panjang dan Surat Utang Valas
Domestik jangka panjang.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan realisasi masuk
pasar diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 15
Bank Indonesia dapat menetapkan pagu atas jumlah Kewajiban
Jangka Panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 untuk
individu Bank dengan mempertimbangkan debt sustainability
analysis, keseimbangan neraca pembayaran, kestabilan
- 2 -
kondisi moneter, kecukupan cadangan devisa, dan hal lainnya
yang dianggap penting oleh Bank Indonesia.
BAB V
PENGAWASAN
Pasal 16
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan kepatuhan Bank
atas pemenuhan ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan
OJK.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan.
Pasal 17
(1) Dalam melakukan kegiatan pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16, Bank Indonesia dapat meminta
data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan
dari Bank.
(2) Bank wajib menyediakan dan menyampaikan data,
informasi, dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Bank bertanggung jawab atas kebenaran data, informasi,
dan/atau keterangan yang disampaikan kepada Bank
Indonesia.
BAB VI
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 18
Bank yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini dikenai sanksi administratif berupa:
a.
teguran tertulis;
- 2 -
b. kewajiban membayar;
c.
larangan mengajukan permohonan persetujuan rencana
masuk pasar; dan/atau
d. pembatasan keikutsertaan dalam Operasi Moneter.
Pasal 19
(1) Bank yang tidak menyampaikan laporan pengalihan hak
tagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Bank yang tidak menginformasikan hasil penetapan dan
perubahan dana usaha yang dinyatakan (declared dana
usaha) kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa
teguran tertulis.
(3) Bank yang tidak memberikan penjelasan mengenai
penyebab perbedaan syarat dan ketentuan Kewajiban
Jangka Panjang pada saat sebelum dan sesudah masuk
pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) atau
telah memberikan penjelasan, namun dinyatakan tidak
memadai oleh Bank Indonesia, dikenai sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(4) Bank yang tidak menyediakan dan menyampaikan data,
informasi, dan/atau keterangan yang diminta oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Pasal 20
(1) Bank yang melanggar kewajiban pembatasan posisi saldo
harian Kewajiban Jangka Pendek sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa
kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu
persen) dari jumlah kelebihan per hari dengan jumlah total
sanksi kewajiban membayar paling sedikit
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Bank yang melanggar kewajiban memelihara posisi harian
dana usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
- 2 -
dikenai sanksi administratif berupa kewajiban membayar
sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari jumlah
kekurangan per hari dengan jumlah total sanksi kewajiban
membayar paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
(3) Bank yang terlambat menyampaikan laporan realisasi
masuk pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(2) dikenai sanksi administratif berupa kewajiban
membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)
per Hari Kerja keterlambatan.
(4) Bank yang tidak menyampaikan laporan realisasi masuk
pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3)
dikenai sanksi administratif berupa kewajiban membayar
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(5) Sanksi administratif berupa kewajiban membayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak menghilangkan
kewajiban Bank untuk tetap menyampaikan laporan
realisasi masuk pasar.
Pasal 21
(1) Bank yang menerima Kewajiban Jangka Panjang melebihi
jumlah yang tertera dalam persetujuan rencana masuk
pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4)
dikenai sanksi administratif berupa kewajiban membayar
sebesar 1% (satu persen) dari kelebihan jumlah yang telah
disetujui oleh Bank Indonesia dengan jumlah sanksi
kewajiban membayar paling sedikit Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Bank yang menerima Kewajiban Jangka Panjang melebihi
jumlah yang tertera dalam persetujuan rencana masuk
pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) untuk
kedua kalinya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun dikenai
sanksi administratif berupa berupa:
a. sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen)
dari kelebihan jumlah yang telah disetujui oleh Bank
- 2 -
Indonesia dengan jumlah sanksi kewajiban
membayar paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah); dan
b. sanksi larangan
mengajukan permohonan
persetujuan rencana masuk pasar selama jangka
waktu 1 (satu) tahun.
Pasal 22
(1) Bank yang masuk pasar tanpa terlebih dahulu
memperoleh persetujuan rencana masuk pasar dari Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
dikenai sanksi administratif berupa berupa:
a. kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari
jumlah Kewajiban Jangka Panjang yang diperjanjikan
dengan jumlah sanksi kewajiban membayar paling
sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah); dan
b. pembatasan keikutsertaan dalam Operasi Moneter
selama 3 (tiga) bulan, yaitu hanya dapat mengikuti
Operasi Moneter pada instrumen lelang repo SBN 1
minggu dan lending facility/ financing facility.
(2) Bank yang masuk pasar tanpa terlebih dahulu
memperoleh persetujuan rencana masuk pasar dari Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
untuk kedua kalinya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
dikenai sanksi administratif berupa berupa:
a. kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari
jumlah Kewajiban Jangka Panjang yang diperjanjikan
dengan jumlah sanksi kewajiban membayar paling
sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah);
b. pembatasan keikutsertaan dalam Operasi Moneter
selama 3 (tiga) bulan, yaitu hanya dapat mengikuti
- 2 -
Operasi Moneter pada instrumen
facility/financing facility; dan
c.
lending
larangan mengajukan permohonan persetujuan
rencana masuk pasar selama 1 (satu) tahun.
(3) Masa pengenaan sanksi administratif berupa pembatasan
keikutsertaan dalam Operasi Moneter sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b dapat
dihentikan apabila Bank menunjukkan bukti pembatalan
transaksi Kewajiban Jangka Panjang yang dinyatakan
cukup oleh Bank Indonesia.
Pasal 23
Bank Indonesia dapat mempertimbangkan untuk memberikan
keringanan atau pembebasan sanksi administratif berupa
larangan mengajukan permohonan persetujuan rencana
masuk pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2)
huruf b dan Pasal 22 ayat (2) huruf c dalam hal Bank sedang
dalam proses penyehatan berdasarkan informasi dan/atau
rekomendasi dari otoritas terkait.
Pasal 24
Bank Indonesia memberitahukan pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, dan
Pasal 22 kepada Bank secara tertulis dengan tembusan kepada
OJK.
Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 26
(1) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini tidak
berlaku untuk kewajiban Bank dalam perdagangan
internasional sepanjang kewajiban tersebut didukung oleh
- 2 -
bukti transaksi yang mendasarinya (underlying
transaction) secara memadai.
(2) Kewajiban Bank dalam perdagangan internasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk
fasilitas pembiayaan preshipment.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang
Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 3, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4467);
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/20/PBI/2008
tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4905);
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/7/PBI/2011 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5193);
d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/6/PBI/2013 tentang
Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5442); dan
e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/7/PBI/2014 tentang
Perubahan Keempat atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
- 2 -
68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5523),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali Pasal 6 ayat (1)
dan Pasal 7.
Pasal 28
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1
Maret 2019.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Januari 2019
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Januari 2019
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 2
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/1/PBI/2019
TENTANG
UTANG LUAR NEGERI BANK DAN KEWAJIBAN BANK LAINNYA
DALAM VALUTA ASING
I. UMUM
Kewajiban Bank berupa ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam
valuta asing merupakan salah satu sumber pendanaan dalam
pengembangan kegiatan usaha perbankan nasional. Sebagai lembaga
intermediasi, sumber pendanaan yang berasal dari ULN Bank dan
kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing tersebut akan membiayai
berbagai kegiatan usaha untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan
meningkatkan kapasitas perekonomian nasional.
Sebagai otoritas yang berwenang, Bank Indonesia melakukan
pengaturan ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing,
baik yang berjangka panjang maupun pendek, sebagai bentuk kebijakan
pengelolaan aliran modal (capital flows management) yang merupakan
bagian dari kebijakan moneter. Kebijakan pengelolaan aliran modal
bertujuan memengaruhi aliran modal untuk menjaga stabilitas
perekonomian makro dan sistem keuangan.
Kegiatan ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing
tersebut juga harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip kehati-
hatian sehingga dapat memitigasi berbagai risiko yang dapat timbul, agar
tidak menimbulkan kerentanan terhadap sektor eksternal Indonesia. Selain
itu, pengaturan mengenai ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam
valuta asing perlu selaras dengan perkembangan berbagai produk dan
kegiatan perbankan terkini.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” adalah kegiatan
pengelolaan risiko yang mencakup risiko pasar, risiko kredit,
risiko likuiditas, risiko operasional, risiko kepatuhan, dan risiko
lainnya.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “surat utang (debt securities)” antara lain
letter of credit (L/C), impor yang diakseptasi oleh Bank (banker’s
acceptance), obligasi, commercial papers (CP), promissory notes
(PN), dan medium term notes (MTN).
Huruf c
Yang dimaksud dengan “call money” adalah penempatan atau
peminjaman dana antar-Bank dalam hitungan hari.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “ULN Bank dalam bentuk lainnya” adalah
ULN lain yang dicatat dalam neraca (on balance sheet), tidak
termasuk kewajiban lainnya antarkantor bank.
- 3 -
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “grantor” adalah pihak yang menjual
risiko.
Yang dimaksud dengan “participant” adalah pihak yang
membeli atau menerima risiko.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
pengalihan hak tagih diberitahukan kepada debitur Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “modal Bank” adalah
a. modal inti dan modal pelengkap sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai kewajiban
penyediaan modal minimum, bagi Bank yang berkantor
pusat di Indonesia; dan
b. dana usaha, bagi kantor cabang dari Bank yang
berkedudukan di luar negeri.
Perhitungan dana usaha sebagai komponen modal bagi kantor
cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri dilakukan
sebagai berikut:
a. dalam hal posisi dana usaha yang sebenarnya (actual dana
usaha) lebih besar dari dana usaha yang dinyatakan
(declared dana usaha), dana usaha yang digunakan yaitu
dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha); dan
b. dalam hal posisi dana usaha yang sebenarnya (actual dana
usaha) lebih kecil dari dana usaha yang dinyatakan (declared
- 4 -
dana usaha), dana usaha yang digunakan yaitu dana usaha
yang sebenarnya (actual dana usaha).
Ayat (2)
Huruf a
Giro, deposito, dan tabungan milik bukan Penduduk juga
termasuk dalam ULN Bank jangka pendek tanpa
memperhitungkan jangka waktunya.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Nilai TPR yang diperhitungkan dalam posisi saldo harian
Kewajiban Jangka Pendek yaitu sebesar nilai kredit
dan/atau fasilitas lainnya yang dipartisipasikan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “jangka waktu asal (original maturity)”
adalah jangka waktu dari sejak timbulnya kewajiban Bank
sampai dengan jatuh waktu.
Pasal 6
Ayat (1)
Pengecualian terhadap kewajiban Bank untuk membatasi posisi
saldo harian Kewajiban Jangka Pendek untuk mengatasi
permasalahan Bank yang mendesak antara lain untuk
penyehatan Bank.
Yang termasuk otoritas terkait yaitu LPS atau OJK. LPS dapat
memberikan informasi kepada Bank Indonesia dalam hal Bank
dalam resolusi dan LPS sebagai pemegang saham.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pemegang saham pengendali” adalah
pemegang saham pengendali sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai pemegang
saham pengendali.
- 5 -
Yang dimaksud dengan “kesulitan likuiditas” adalah
kesulitan memenuhi kewajiban jangka pendek yang
disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih
kecil dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch)
baik valuta asing maupun rupiah, tidak termasuk untuk
kegiatan ekspansi usaha.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penyaluran kredit ke sektor riil”
adalah penyaluran kredit secara langsung dari Bank kepada
sektor riil.
Yang dimaksud dengan “sektor riil” adalah kegiatan usaha
suatu entitas di Indonesia yang menghasilkan barang dan
jasa, tidak termasuk di dalamnya kegiatan usaha di sektor
keuangan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “dana usaha” adalah dana usaha
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan yang mengatur mengenai dana usaha.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kewajiban Bank kepada bukan
Penduduk yang timbul dari transaksi lindung nilai” adalah
kewajiban Bank yang muncul akibat kegiatan mark-to-
market transaksi derivatif Bank dan tercatat di on balance
sheet.
Transaksi derivatif merupakan transaksi yang didasari oleh
suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya
merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasarinya
seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti, dan indeks,
baik yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan
dana atau instrumen, tidak termasuk transaksi derivatif
kredit.
Transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah tunduk
kepada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
transaksi valuta asing terhadap rupiah antara bank dengan
pihak asing.
Yang dimaksud dengan “lindung nilai” adalah cara atau
teknik untuk mengurangi risiko yang timbul maupun yang
- 6 -
diperkirakan akan timbul akibat adanya fluktuasi harga di
pasar keuangan.
Transaksi lindung nilai yang dilakukan Bank mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
transaksi lindung nilai Bank.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “giro, tabungan, dan deposito milik
perwakilan negara asing dan lembaga internasional” adalah
giro, tabungan, dan deposito yang digunakan untuk kegiatan
operasional.
Giro, tabungan, dan deposito anggota staf perwakilan negara
asing dan lembaga internasional merupakan giro, tabungan,
dan deposito milik pribadi anggota staf perwakilan negara
asing dan lembaga internasional.
Perwakilan negara asing mencakup juga perwakilan
pemerintah daerah negara asing yang mewakili secara resmi
pemerintah daerah negara asing tersebut dalam melakukan
tugasnya.
Yang dimaksud dengan “lembaga internasional” adalah
lembaga dengan keanggotaan, cakupan pekerjaan, dan/atau
keberadaan yang bersifat internasional yang kegiatan
utamanya bersifat nirlaba, seperti International Monetary
Fund (IMF) dan Islamic Development Bank (IDB).
Huruf f
Kegiatan investasi di Indonesia termasuk di dalamnya reksa
dana saham, reksa dana obligasi, dan kombinasi keduanya.
Deposito, tabungan, dan lainnya yang sejenis di luar giro
milik bukan Penduduk yang digunakan untuk kegiatan
investasi tidak termasuk yang dikecualikan.
Yang dimaksud dengan “surat berharga yang diterbitkan
Bank Indonesia” adalah surat berharga yang diterbitkan
Bank Indonesia, yang dapat dimiliki oleh bukan Penduduk
antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan/atau
Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS).
Huruf g
Hasil penjualan kembali atau divestasi meliputi pokok dan
imbal hasil.
- 7 -
Deposito, tabungan, dan lainnya yang sejenis di luar giro
milik bukan Penduduk yang digunakan untuk menampung
dana hasil penjualan kembali atau divestasi tidak termasuk
yang dikecualikan.
Yang dimaksud dengan “surat berharga yang diterbitkan
Bank Indonesia” adalah surat berharga yang diterbitkan
Bank Indonesia, yang dapat dimiliki oleh bukan Penduduk
antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan/atau
Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS).
Huruf h
Penggunaan giro milik bukan Penduduk nonpemegang
saham pengendali Bank dalam penyaluran kredit ke proyek
infrastruktur meliputi:
1. untuk menampung sementara dana sebelum disalurkan
oleh pemilik rekening giro tersebut kepada debitur di
proyek infrastruktur; dan
2. untuk menerima pembayaran dari debitur di proyek
infrastruktur,
tidak termasuk kredit yang diberikan secara two step loan.
Cakupan proyek infrastruktur mengacu pada ketentuan
otoritas terkait yang mengatur mengenai tata cara
pelaksanaan kerja sama pemerintah dengan badan usaha
dalam penyediaan infrastruktur.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “lembaga supranasional” adalah
lembaga keuangan multilateral yang dibentuk oleh 2 (dua)
atau lebih negara dan dalam kegiatannya menyediakan
pembiayaan, hibah, dan/atau bantuan teknis untuk
mendorong pembangunan ekonomi negara anggotanya.
Contoh lembaga supranasional antara lain Asian
Development Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB),
dan World Bank Group yang terdiri atas International Bank
for Reconstruction and Development (IBRD) dan
International Finance Corporation (IFC).
Cakupan proyek infrastruktur mengacu pada ketentuan
otoritas terkait yang mengatur mengenai tata cara
- 8 -
pelaksanaan kerja sama pemerintah dengan badan usaha
dalam penyediaan infrastruktur.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “ketentuan OJK” adalah ketentuan
OJK yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal
minimum bank umum.
Giro atau deposito dapat berada di Bank yang akan
menerima setoran modal atau Bank lain yang ditunjuk oleh
OJK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “masuk pasar” adalah:
a. untuk ULN Bank dalam bentuk perjanjian pinjaman, yaitu
pada saat perjanjian pinjaman ditandatangani oleh kedua
belah pihak;
b. untuk surat utang yang diterbitkan di bursa, yaitu pada saat
dimulainya penawaran resmi di pasar (public expose);
c. untuk surat utang yang diterbitkan melalui private
placement, yaitu pada saat tanggal penerbitan surat utang;
dan
d. untuk TPR, yaitu pada saat tanggal efektif perjanjian TPR
antara participant dan grantor atas pengalihan risiko
individual kredit dan/atau fasilitas lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 9 -
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “rencana bisnis Bank” adalah rencana
bisnis sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK yang
mengatur mengenai rencana bisnis bank.
Rencana masuk pasar yang dicantumkan dalam rencana bisnis
Bank termasuk rencana Kewajiban Jangka Pendek yang jangka
waktunya diperpanjang lebih dari 1 (satu) tahun sehingga
menjadi Kewajiban Jangka Panjang.
Ayat (6)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pinjaman subordinasi (subordinated
loan)” adalah pinjaman yang dinyatakan memenuhi kriteria
subordinasi oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan OJK yang mengatur mengenai kewajiban
penyediaan modal minimum.
Huruf b
Permohonan persetujuan rencana masuk pasar untuk
Kewajiban Jangka Panjang yang sangat diperlukan dalam
mengatasi permasalahan Bank yang mendesak antara lain
untuk penyehatan bank.
Yang termasuk otoritas terkait yaitu LPS atau OJK. LPS
dapat memberikan informasi kepada Bank Indonesia dalam
hal Bank dalam resolusi dan LPS sebagai pemegang saham.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Syarat dan ketentuan (terms and condition) meliputi:
1. untuk ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam
valuta asing selain TPR, antara lain mata uang, jumlah
- 10 -
kewajiban, bentuk kewajiban, nama kreditur, hubungan
dengan kreditur, maturity profile untuk pokok dan
bunga, suku bunga atau kupon indikatif, biaya terkait,
dan debt covenant; dan
2. untuk TPR antara lain nama participant, hubungan
dengan participant, nama debitur, informasi pinjaman
yang menjadi dasar TPR, suku bunga TPR, dan dana
partisipasi yang diperjanjikan.
Khusus untuk kewajiban Bank berupa surat utang, juga
memperhatikan pembeli potensial atau target pembeli dan
underwriter atau lead manager.
Huruf c
Kondisi ekonomi makro antara lain berupa beban
pembayaran bunga dan cicilan pokok utang terhadap
penerimaan transaksi berjalan (debt service ratio) Indonesia,
kondisi solvabilitas secara nasional, komposisi utang
Indonesia, dan perkembangan perekonomian nasional.
Kondisi pasar keuangan antara lain berupa perkembangan
tingkat suku bunga, yield, nilai tukar, sovereign rating, dan
risiko.
Huruf d
Kondisi sistem keuangan antara lain tren leverage sektor
perbankan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “kondisi keuangan Bank” adalah
hasil analisis mengenai kondisi Bank yang mencerminkan
kemampuan dalam memenuhi kewajiban Bank kepada pihak
lainnya serta ketahanan permodalan, antara lain kondisi
likuiditas, solvabilitas, dan profitabilitas bank.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Rekomendasi OJK antara lain terkait profil risiko, analisis
proyeksi arus kas, dan kondisi keuangan Bank.
Pasal 12
Cukup jelas.
- 11 -
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “aksi korporasi” adalah penggabungan,
peleburan, pemisahan, atau pengambilalihan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perseroan terbatas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tanggal penyelesaian transaksi”
adalah tanggal pada saat transfer dana dan surat utang telah
diselesaikan oleh para pihak yang melakukan transaksi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “perbedaan syarat dan ketentuan”
antara lain perbedaan pada bentuk kewajiban, mata uang,
jumlah kewajiban, suku bunga atau kupon, maturity profile
pada pokok dan bunga, biaya terkait, dan debt covenants.
Penjelasan penyebab perbedaan syarat dan ketentuan Kewajiban
Jangka Panjang pada saat sebelum dan sesudah masuk pasar
dapat disertai dengan dokumen pendukung.
- 12 -
Ayat (6)
Informasi penyaluran dana meliputi sektor usaha penerima dana,
jangka waktu, pihak penerima dana, tujuan penggunaan oleh
penerima dana, dan informasi lainnya.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari pada saat Kantor Bank
Indonesia menyelenggarakan kegiatan kliring dan Sistem Bank
Indonesia - Real Time Gross Settlment.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari pada saat Kantor Bank
Indonesia menyelenggarakan kegiatan kliring dan Sistem Bank
Indonesia - Real Time Gross Settlment.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
- 13 -
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Perhitungan pelanggaran kedua kalinya dalam 1 (satu) tahun
terhitung sejak tanggal pelanggaran yang pertama.
Tanggal pelanggaran yaitu tanggal tercatatnya Kewajiban Jangka
Panjang dalam neraca Bank.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Masa sanksi larangan mengajukan permohonan
persetujuan rencana masuk pasar selama 1 (satu)
tahun terhitung sejak tanggal pengenaan sanksi
tersebut.
Ayat (3)
Pembuktian telah dibatalkannya perjanjian yang mendasari
masuk pasar dilakukan oleh Bank dengan cara menyampaikan
dokumen pendukung kepada Bank Indonesia.
Bukti pembatalan transaksi Kewajiban Jangka Panjang antara
lain berupa voucher pembatalan pencatatan transaksi dalam
General Ledger bank atau bukti lain yang dianggap memadai oleh
Bank Indonesia.
Pasal 23
Yang dimaksud dengan “otoritas terkait” adalah OJK dan Lembaga
Penjaminan Simpanan (LPS).
- 14 -
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Kewajiban Bank dalam perdagangan internasional antara lain
berupa letter of credit (L/C), usance L/C, red clause L/C, stand by
L/C, dan dokumen lainnya yang sejenis.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “fasilitas pembiayaan preshipment”
adalah fasilitas pembiayaan yang diberikan kepada eksportir
sebelum pengiriman barang dilakukan.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6297
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 21/1/PBI/2019 </reg_id>
<reg_title> UTANG LUAR NEGERI BANK DAN KEWAJIBAN BANK LAINNYA DALAM VALUTA ASING </reg_title>
<set_date> 7 Januari 2019 </set_date>
<effective_date> 1 Maret 2019 </effective_date>
<issued_date> 9 Januari 2019 </issued_date>
<replaced_reg> '16/7/PBI/2014', '13/7/PBI/2011', '7/1/PBI/2005', '10/20/PBI/2008', '15/6/PBI/2013' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 9/3/PBI/2007
TENTANG
LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah ditunjuk oleh Pemerintah sebagai
agen untuk melaksanakan lelang Surat Utang Negara di pasar
perdana;
b. bahwa Dealer Utama yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
memperoleh hak eksklusif untuk mengikuti lelang Surat Utang
Negara di pasar perdana dan lelang pembelian kembali
Obligasi Negara;
c. bahwa Pemerintah telah mengubah ketentuan pelaksanaan
lelang Surat Utang Negara di pasar perdana dan lelang
pembelian kembali Obligasi Negara;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu untuk menyusun
Peraturan Bank Indonesia tentang Lelang dan Penatausahaan
Surat Utang Negara;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182 ...
-2-
182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3790);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3608);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4357);
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4236);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LELANG DAN
PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Bank ...
-3-
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional.
2. Perusahaan Efek adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai
penjamin emisi efek, perantara pedagang efek, dan/atau manajer investasi.
3. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang
Surat Utang Negara, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan
Obligasi Negara.
4. Surat Perbendaharaan Negara adalah Surat Utang Negara yang berjangka
waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara
diskonto.
5. Obligasi Negara adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu lebih dari
12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara
diskonto.
6. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan Surat Utang Negara
untuk pertama kali.
7. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan Surat Utang Negara yang telah
dijual di Pasar Perdana.
8. Dealer Utama adalah lembaga keuangan (Bank dan Perusahaan Efek) yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia untuk menjalankan
kewajiban tertentu baik di Pasar Perdana maupun Pasar Sekunder Surat Utang
Negara dalam mata uang Rupiah dengan imbalan/hak (rights) tertentu.
9. Peserta Lelang adalah Dealer Utama yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
Republik Indonesia untuk mengikuti lelang Surat Utang Negara dan sedang
tidak dikenakan sanksi tidak boleh mengikuti lelang Surat Utang Negara.
10. Yield ...
-4-
10. Yield to Maturity atau Yield adalah tingkat imbal hasil (keuntungan) yang
diharapkan oleh investor dalam persentase per tahun.
11. Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) adalah pengajuan
penawaran pembelian dengan mencantumkan volume dan tingkat imbal hasil
(Yield) yang diinginkan penawar.
12. Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive Bidding) adalah
pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume tanpa tingkat
imbal hasil (Yield) yang diinginkan penawar.
13. Lelang Surat Utang Negara adalah penjualan Surat Utang Negara yang diikuti
oleh Peserta Lelang dan Bank Indonesia atau hanya diikuti oleh Peserta
Lelang, dengan cara mengajukan Penawaran Pembelian Kompetitif
(Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-
competitive Bidding) dalam suatu periode waktu penawaran yang telah
ditentukan dan diumumkan sebelumnya.
14. Lelang Pembelian Kembali Obligasi Negara (Buyback) adalah pembelian
kembali Obligasi Negara di Pasar Sekunder oleh Pemerintah sebelum jatuh
tempo dengan cara tunai dan/atau dengan cara penukaran (debt switching),
dalam suatu masa penawaran yang telah ditentukan dan diumumkan
sebelumnya.
15. Fasilitas Peminjaman Surat Utang Negara adalah fasilitas yang diberikan oleh
Menteri Keuangan Republik Indonesia kepada Dealer Utama untuk melakukan
peminjaman Surat Utang Negara sesuai tata cara yang ditetapkan dalam
Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku.
16. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi penatausahaan
surat berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan Bank, Sub-
Registry dan pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia.
17. Sub-Registry ...
-5-
17. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan kustodian,
yang disetujui Bank Indonesia untuk melakukan fungsi penatausahaan surat
berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan nasabah.
18. Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System yang untuk
selanjutnya disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia
termasuk penatausahaannya dan penatausahaan surat berharga secara
elektronik dan terhubung langsung antara peserta BI-SSSS, penyelenggara BI-
SSSS dan Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (BI-RTGS).
19. Delivery Versus Payment yang untuk selanjutnya disebut DVP adalah
setelmen transaksi Surat Utang Negara dengan cara setelmen surat berharga
melalui BI-SSSS dilakukan bersamaan dengan setelmen dana di Bank
Indonesia melalui Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (BI-
RTGS).
20. Free of Payment yang untuk selanjutnya disebut FoP adalah setelmen transaksi
Surat Utang Negara dengan cara setelmen surat berharga dilakukan melalui
BI-SSSS, sedangkan setelmen dana dilakukan tidak secara bersamaan dengan
setelmen surat berharga atau tanpa setelmen dana.
BAB II
FUNGSI BANK INDONESIA
DALAM LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA
Pasal 2
Dalam rangka membantu Pemerintah untuk mengelola Surat Utang Negara, Bank
Indonesia melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. memberikan masukan dalam rangka menetapkan ketentuan dan persyaratan
penerbitan Surat Utang Negara;
b. bertindak ...
-6-
b. bertindak sebagai agen lelang dalam penjualan Surat Utang Negara di Pasar
Perdana yang antara lain mengumumkan rencana Lelang Surat Utang Negara,
melaksanakan Lelang Surat Utang Negara, menyampaikan hasil penawaran
Lelang Surat Utang Negara, serta mengumumkan keputusan hasil Lelang Surat
Utang Negara;
c. menatausahakan Surat Utang Negara.
BAB III
KARAKTERISTIK SURAT UTANG NEGARA
Pasal 3
Surat Utang Negara yang ditatausahakan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf c mempunyai karakteristik sebagai berikut :
a. Surat Perbendaharaan Negara :
1. diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat (scripless);
2. diterbitkan dalam bentuk yang diperdagangkan atau dalam bentuk yang
tidak diperdagangkan di Pasar Sekunder;
3. diterbitkan dengan jangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dan
pembayaran bunga secara diskonto.
b. Obligasi Negara:
1. diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat (scripless);
2. diterbitkan dalam bentuk yang diperdagangkan atau dalam bentuk yang
tidak diperdagangkan di Pasar Sekunder;
3. diterbitkan dengan jangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan
kupon mengambang (variable rate), kupon tetap (fixed rate), dan/atau
pembayaran bunga secara diskonto.
BAB IV ...
-7-
BAB IV
LELANG SURAT UTANG NEGARA DI PASAR PERDANA
Pasal 4
(1) Orang perseorangan, atau kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum, atau
Bank Indonesia dapat membeli Surat Utang Negara di Pasar Perdana.
(2) Pembelian Surat Utang Negara di Pasar Perdana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) selain oleh Bank Indonesia, dilakukan dengan mengajukan penawaran
pembelian melalui Peserta Lelang kepada Bank Indonesia sebagai agen lelang.
(3) Dalam Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana, Peserta Lelang
mengajukan penawaran pembelian untuk dan atas nama diri sendiri dan/atau
atas nama pihak lain.
Pasal 5
(1) Bank Indonesia dapat membeli Surat Utang Negara di Pasar Perdana hanya
untuk jenis Surat Perbendaharaan Negara.
(2) Pembelian Surat Perbendaharaan Negara di Pasar Perdana oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan persyaratan sebagai
berikut:
a. Penawaran pembelian dilakukan secara langsung tanpa melalui Peserta
Lelang; dan
b. Pembelian dilakukan secara Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-
competitive Bidding).
Pasal 6 ...
-8-
Pasal 6
Bank Indonesia sebagai agen lelang melaksanakan Lelang Surat Utang Negara di
Pasar Perdana setelah menerima pemberitahuan dari Menteri Keuangan Republik
Indonesia mengenai:
a. Rencana Lelang Surat Utang Negara yang mencakup tanggal dan waktu
pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara, jenis dan jangka waktu Surat Utang
Negara, target indikatif Surat Utang Negara yang ditawarkan, tanggal
penerbitan, tanggal setelmen, tanggal jatuh tempo, mata uang, waktu
pengumuman hasil Lelang Surat Utang Negara dan persentase alokasi
Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitif Bidding) Surat Utang
Negara yang akan ditawarkan, dan informasi Peserta Lelang;
b. Keputusan hasil Lelang Surat Utang Negara yang mencakup kuantitas Lelang
Surat Utang Negara secara keseluruhan, nama pemenang, nilai nominal, dan
tingkat diskonto atau Yield;
c. Penolakan seluruh atau sebagian dari penawaran pembelian Surat Utang
Negara yang masuk selama pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara.
Pasal 7
(1) Penawaran pembelian dalam Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dapat
dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding)
atau dengan cara kombinasi Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive
Bidding) dan Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive Bidding).
(2) Dalam hal Peserta Lelang melakukan penawaran pembelian Surat Utang
Negara baik secara langsung maupun melalui Peserta Lelang lain untuk dan
atas nama diri sendiri maka penawaran pembelian hanya dapat dilakukan
dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding).
(3) Dalam ...
-9-
(3) Dalam hal Peserta Lelang melakukan penawaran pembelian Surat
Perbendaharaan Negara untuk dan atas nama pihak lain selain Bank Indonesia
maka penawaran pembelian hanya dapat diajukan dengan cara Penawaran
Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding).
(4) Dalam hal Peserta Lelang melakukan penawaran pembelian Obligasi Negara
untuk dan atas nama pihak lain maka penawaran pembelian dapat diajukan
dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau
Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive Bidding).
Pasal 8
(1) Bank Indonesia melakukan Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana sesuai
kebutuhan Pemerintah dan atas permintaan Menteri Keuangan Republik
Indonesia.
(2) Bank Indonesia melakukan lelang Surat Utang Negara secara elektronis dengan
menggunakan sarana BI-SSSS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku.
(3) Bank Indonesia mengumumkan rencana Lelang Surat Utang Negara di Pasar
Perdana berdasarkan pemberitahuan oleh Menteri Keuangan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a.
(4) Pengumuman rencana Lelang Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan melalui sarana BI-SSSS, Laporan Harian Bank Umum dan
atau sarana lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 9 ...
-10-
Pasal 9
(1) Penetapan harga Surat Utang Negara bagi pemenang Lelang Surat Utang
Negara dengan Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding)
dilakukan dengan metode harga beragam (multiple price).
(2) Penetapan harga Surat Utang Negara bagi pemenang Lelang Surat Utang
Negara dengan Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive
Bidding) dilakukan berdasarkan harga rata-rata tertimbang (weighted average
price) hasil Lelang Surat Utang Negara dengan Penawaran Pembelian
Kompetitif (Competitive Bidding).
Pasal 10
(1) Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang Surat Utang Negara di Pasar
Perdana kepada Peserta Lelang berdasarkan pemberitahuan Menteri Keuangan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b.
(2) Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang Surat Utang Negara di Pasar
Perdana secara keseluruhan kepada Peserta Lelang dan publik pada hari
pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara yang mencakup paling kurang
kuantitas lelang secara keseluruhan dan rata-rata tertimbang tingkat diskonto
atau Yield.
(3) Bank Indonesia mengumumkan penolakan seluruh atau sebagian penawaran
pembelian Surat Utang Negara berdasarkan pemberitahuan Menteri Keuangan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c.
BAB V
PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA
Pasal 11
(1) Bank ...
-11-
(1) Bank Indonesia melakukan penatausahaan Surat Utang Negara secara
elektronis dengan menggunakan sarana BI-SSSS sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
(2) Penatausahaan Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen, serta agen pembayar
bunga (kupon) dan pokok Surat Utang Negara.
Pasal 12
(1) Pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara dilakukan tanpa warkat
(scripless) dan secara book entry.
(2) Pencatatan kepemilikan Surat Utang Negara dilakukan secara two tier system
yang terdiri dari :
a. Central Registry yang melakukan pencatatan dan perubahan kepemilikan
Surat Berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan Bank,
Sub-Registry dan pihak lain yang disetujui Bank Indonesia; dan
b. Sub-Registry yang melakukan pencatatan dan perubahan kepemilikan
Surat Berharga termasuk Surat Utang Negara untuk kepentingan nasabah.
(3) Catatan kepemilikan Surat Utang Negara pada Central Registry dan Sub-
Registry merupakan bukti kepemilikan yang sah.
Pasal 13
(1) Setelmen transaksi Surat Perbendaharaan Negara di Pasar Perdana dilakukan
pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah hari pelaksanaan lelang Surat
Perbendaharaan Negara (T+1).
(2) Setelmen ...
-12-
(2) Setelmen transaksi Obligasi Negara di Pasar Perdana dilakukan paling lambat
pada 5 (lima) hari kerja berikutnya setelah pengumuman hasil pemenang
lelang Obligasi Negara (T+5).
(3) Setelmen Lelang Pembelian Kembali Obligasi Negara (Buyback) dilakukan
pada 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah hari pelaksanaan Lelang Pembelian
Kembali Obligasi Negara (T+3).
(4) Setelmen transaksi Surat Utang Negara baik di Pasar Perdana maupun di Pasar
Sekunder dilakukan atas dasar prinsip DVP atau FoP.
(5) Setelmen transaksi Surat Utang Negara secara DVP dilakukan atas dasar
sistem setelmen gross to gross atau kombinasi setelmen gross to gross dan
setelmen gross to net.
Pasal 14
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen atas pemberian Fasilitas Peminjaman
Surat Utang Negara oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia kepada
Dealer Utama.
(2) Setelmen Fasilitas Peminjaman Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan pada 2 (dua) hari kerja berikutnya setelah permohonan
Dealer Utama disetujui oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia (T+2).
(3) Setelmen pengembalian Fasilitas Peminjaman Surat Utang Negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada saat berakhirnya batas
waktu peminjaman.
Pasal 15
(1) Dalam rangka setelmen hasil Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana,
Bank Indonesia berwenang untuk :
a. mendebet ...
-13-
a. mendebet rekening giro Rupiah Bank dan/atau Bank pembayar di Bank
Indonesia dalam rangka pembelian Surat Utang Negara baik untuk dan
atas nama diri sendiri maupun untuk dan atas nama pihak lain;
b. mendebet rekening Surat Utang Negara milik Pemerintah dalam rangka
setelmen penjualan Surat Utang Negara.
(2) Dalam rangka setelmen hasil Lelang Pembelian Kembali Obligasi Negara
(Buyback), Bank Indonesia berwenang untuk :
a. mendebet rekening surat berharga pemilik rekening di Central Registry
yang melakukan penjualan Surat Utang Negara baik untuk dan atas nama
diri sendiri maupun untuk dan atas nasabah, dan/atau rekening giro Rupiah
Bank atau Bank Pembayar dalam rangka pembayaran selisih tunai;
b. mendebet rekening Surat Utang Negara milik Pemerintah dalam rangka
setelmen Obligasi Negara penukar, dan/atau mendebet rekening giro
Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia dalam rangka pelunasan Surat
Utang Negara secara tunai atau pembayaran selisih tunai.
(3) Dalam rangka setelmen Fasilitas Peminjaman Surat Utang Negara, Bank
Indonesia berwenang untuk:
a. mendebet rekening surat berharga Dealer Utama pemilik rekening di
Central Registry atau Sub-Registry atas nama Dealer Utama yang
melakukan peminjaman Surat Utang Negara;
b. mendebet rekening Surat Utang Negara milik Pemerintah yang
memberikan fasilitas peminjaman Surat Utang Negara.
(4) Dalam rangka pembebanan biaya Fasilitas Peminjaman Surat Utang Negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia dapat mendebet
rekening giro Rupiah Bank dan/atau Bank pembayar di Bank Indonesia.
Pasal 16 ...
-14-
Pasal 16
(1) Peserta Lelang yang memenangkan Lelang Surat Utang Negara harus
menjamin kecukupan dana pada rekening giro Rupiah Bank dan/atau Bank
pembayar yang ditunjuk sampai dengan batas akhir waktu setelmen dana yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Dalam hal Peserta Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melunasi
seluruh kewajibannya sampai dengan batas akhir waktu setelmen atau saldo
giro rupiah Bank dan/atau Bank yang ditunjuk sebagai Bank pembayar di
Bank Indonesia tidak mencukupi untuk setelmen,
Utang Negara yang setelmennya dilakukan melalui Bank tersebut dinyatakan
batal.
Pasal 17
(1) Peserta Lelang yang memenangkan Lelang Pembelian Kembali Obligasi
Negara (Buyback) harus menjamin kecukupan nilai Obligasi Negara sampai
dengan batas akhir waktu setelmen surat berharga yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(2) Dalam hal Peserta Lelang yang memenangkan Lelang Pembelian Kembali
Obligasi Negara (Buyback) tidak dapat menyerahkan Obligasi Negara sampai
dengan batas akhir waktu setelmen surat berharga maka Peserta Lelang harus
menyelesaikan transaksi yang gagal tersebut selambat-lambatnya 2 (dua) hari
kerja setelah tanggal setelmen awal.
(3) Dalam hal Peserta Lelang yang memenangkan Lelang Pembelian Kembali
Obligasi Negara (Buyback) tidak dapat menyelesaikan transaksi selama 2
(dua) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka transaksi tersebut
dinyatakan batal.
seluruh hasil Lelang Surat
Pasal 18 ...
-15-
Pasal 18
(1) Dealer Utama yang disetujui oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia
untuk memperoleh Fasilitas Peminjaman Surat Utang Negara harus menjamin
kecukupan nilai Surat Utang Negara yang dijaminkan.
(2) Dealer Utama yang memperoleh Fasilitas Peminjaman Surat Utang Negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus membayar biaya peminjaman
kepada Pemerintah.
(3) Dealer Utama yang memperoleh Fasilitas Peminjaman Surat Utang Negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengembalikan Surat Utang
Negara yang dipinjam sesuai batas waktu peminjaman.
(4) Dalam hal Dealer Utama tidak dapat mengembalikan Surat Utang Negara
yang dipinjam sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka Bank Indonesia
melakukan setelmen penyelesaian Surat Utang Negara yang dijaminkan
berdasarkan permintaan Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Direktur
Jenderal Pengelolaan Utang.
Pasal 19
(1) Bank Indonesia melakukan pembayaran bunga (kupon) dan pelunasan pokok
Surat Utang Negara sebesar nilai nominal pada saat jatuh waktu atas beban
Pemerintah.
(2) Atas permintaan Pemerintah, Bank Indonesia melakukan pelunasan pokok
Surat Utang Negara sebelum tanggal jatuh waktu atas beban Pemerintah.
(3) Pembayaran pokok dan bunga (kupon) Surat Utang Negara dilakukan oleh
Bank Indonesia berdasarkan posisi kepemilikan Surat Utang Negara yang
tercatat di Central Registry.
(4) Dalam ...
-16-
(4) Dalam rangka pembayaran bunga (kupon) dan pelunasan pokok Surat Utang
Negara, Bank Indonesia berwenang :
a. mendebet rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia untuk
melakukan pembayaran bunga (kupon) dan/atau pelunasan pokok Surat
Utang Negara;
b. mendebet rekening surat berharga pemilik rekening di Central Registry
terhadap Surat Utang Negara yang telah dinyatakan lunas oleh
Pemerintah.
Pasal 20
(1) Bank Indonesia dapat bekerjasama dengan pihak lain dalam rangka
penatausahaan Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(2) Bank Indonesia melakukan pengawasan langsung dan/atau tidak langsung
kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
BAB VI
BIAYA
Pasal 21
Bank Indonesia mengenakan biaya atas :
a. pelaksanaan Lelang Surat Utang Negara kepada Peserta Lelang; dan
b. biaya penatausahaan Surat Utang Negara kepada pemilik rekening Surat Utang
Negara di Central Registry.
BAB VII ...
-17-
BAB VII
PELAPORAN
Pasal 22
Bank Indonesia melaporkan kegiatan penatausahaan Surat Utang Negara secara
berkala kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 23
Peserta Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Lelang Pembelian
Kembali Obligasi Negara (Buyback) yang transaksinya dinyatakan batal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (3), dikenakan
sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 25
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/19/PBI/2005 tanggal 25 Juli 2005 tentang Penerbitan, Penjualan dan
Pembelian serta Penatausahaan Surat Utang Negara dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 26 ...
-18-
Pasal 26
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Maret 2007
a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA,
MIRANDA S. GOELTOM
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 45
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 9/3/ PBI /2007
TENTANG
LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA
UMUM
Dalam rangka membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas
penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam satu tahun anggaran
dan/atau mengelola portofolio utang negara, Pemerintah menerbitkan Surat Utang
Negara di dalam negeri. Untuk mendukung kesinambungan penerbitan Surat Utang
Negara, Pemerintah memandang perlu untuk menerapkan sistem Dealer Utama yang
berfungsi untuk memperlancar penyerapan penerbitan Surat Utang Negara di Pasar
Perdana juga untuk mendorong pengembangan pasar sekunder Surat Utang Negara.
Sehubungan dengan penerbitan Surat Utang Negara tersebut di atas, sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara,
Pemerintah menunjuk Bank Indonesia sebagai agen lelang yang dapat
menyelenggarakan kegiatan penjualan Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan
melakukan penatausahaan Surat Utang Negara yang mencakup pencatatan kepemilikan,
kliring dan setelmen, serta agen pembayar bunga (kupon) dan pokok Surat Utang
Negara.
Dalam rangka efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas Bank Indonesia yang
terkait dengan lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan penatausahaan Surat
Utang …
-2-
Utang Negara, Bank Indonesia menggunakan Bank Indonesia-Scripless Securities
Settlement System.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a
Masukan ini dimaksudkan agar tercapai keselarasan antara kebijakan
fiskal termasuk manajemen utang dengan kebijakan moneter yang
dilakukan oleh Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Obligasi Negara dengan pembayaran bunga secara diskonto (zero
coupon bond) adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu
lebih dari 12 (dua belas) bulan dan pembayaran bunganya tercermin
secara …
-3-
secara implisit di dalam selisih antara harga pada saat penerbitan dan
nilai nominal yang diterima pada saat jatuh tempo.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Kebutuhan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dituangkan
dalam kalender penerbitan (calendar of issuance) yang diumumkan oleh
Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Yang dimaksud dengan kalender penerbitan (calendar of issuance) adalah
rencana penerbitan Surat Utang Negara oleh Pemerintah pada periode
tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 9 …
-4-
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan harga beragam (multiple price) adalah harga yang
dibayarkan oleh masing-masing pemenang Lelang Surat Utang Negara
sesuai dengan harga penawaran yang diajukannya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan harga rata-rata tertimbang (weighted average
price) adalah harga yang dihitung dari hasil bagi antara jumlah dari
perkalian masing-masing volume Surat Utang Negara dengan harga yang
dimenangkan dan total volume Surat Utang Negara yang terjual.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan setelmen transaksi Surat Utang Negara adalah
setelmen yang terdiri dari setelmen surat berharga dan/atau setelmen dana.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan book entry adalah pencatatan kepemilikan dan
perpindahan kepemilikan tanpa warkat (scripless) dalam suatu jurnal
elektronis.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13 …
-5-
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Setelmen transaksi Surat Berharga secara FoP di Pasar Perdana dan di
Pasar Sekunder hanya dilakukan untuk perpindahan kepemilikan Surat
Utang Negara dalam rangka hibah, warisan, pelunasan kewajiban dari dan
kepada Bank Indonesia atau Pemerintah, dan atau tujuan lainnya.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan setelmen gross to gross adalah setelmen Surat
Utang Negara dimana setelmen surat berharga dan setelmen dana
dilakukan berdasarkan transaksi per transaksi (trade by trade).
Yang dimaksud dengan setelmen gross to net adalah setelmen Surat
Utang Negara dimana setelmen surat berharga dilakukan secara transaksi
per transaksi (trade by trade) sedangkan setelmen dana secara netting
sistem.
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17 …
-6-
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Bank Indonesia hanya melakukan pembayaran bunga (kupon) dan pokok
Surat Utang Negara yang jatuh waktu sepanjang tersedianya dana yang
cukup pada rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Biaya yang dimaksud adalah antara lain biaya komunikasi penggunaan sistem
BI-SSSS dan biaya administrasi penatausahaan Surat Utang Negara
Pasal 22
Pelaporan antara lain mencakup posisi Surat Utang Negara yang diterbitkan,
posisi kepemilikan Surat Utang Negara, kupon atau diskonto yang dibayarkan,
dan data transaksi perdagangan Surat Utang Negara.
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24 …
-7-
Pasal 24
Pokok-pokok ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia memuat
antara lain tata cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana, serta tata cara
persyaratan Sub-Registry dalam penatausahaan Surat Utang Negara.
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4710
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 9/3/PBI/2007 </reg_id>
<reg_title> LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT UTANG NEGARA </reg_title>
<set_date> 16 Maret 2007 </set_date>
<effective_date> 16 Maret 2007 </effective_date>
<replaced_reg> '7/19/PBI/2005' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '8/UU/1995', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '24/UU/2002' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 13/ 7 /PBI/2011
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dinamika perekonomian global terkini telah
berdampak terhadap kondisi pasar keuangan domestik;
b. bahwa perkembangan di pasar keuangan domestik perlu
disikapi secara tepat agar stabilitas pasar keuangan
domestik dan ketahanan ekonomi tetap terjaga;
c. bahwa ketentuan mengenai pinjaman luar negeri bank perlu
disesuaikan dengan perkembangan perbankan dan pasar
keuangan domestik dengan mengedepankan prinsip kehati-
hatian;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk
melakukan perubahan kedua atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank.
Mengingat …
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN …
- 3 -
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG
PINJAMAN LUAR NEGERI BANK.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005
tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4467) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/20/PBI/2008 (Lembaran Negara Republik Tahun 2008 Nomor 146, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4905) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 1 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 1
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor
cabangnya di luar negeri dan kantor cabang Bank asing di Indonesia,
serta Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Pinjaman Luar Negeri Bank yang untuk selanjutnya disebut PLN adalah
semua bentuk pinjaman atau kewajiban Bank kepada Bukan Penduduk
dalam valuta asing maupun rupiah dan surat berharga dalam valuta asing
yang diterbitkan oleh Bank.
3. Bukan Penduduk adalah orang, badan hukum atau badan lainnya yang
tidak berdomisili di Indonesia atau berdomisili di Indonesia kurang dari 1
(satu) …
- 4 -
(satu) tahun dan kegiatan utamanya tidak di Indonesia.
4. PLN Jangka Pendek adalah PLN dengan jangka waktu sampai dengan 1
(satu) tahun, serta giro, deposito, tabungan atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu.
5. PLN Jangka Panjang adalah PLN dengan jangka waktu lebih dari 1 (satu)
tahun.
6. Modal Bank adalah:
a. modal inti dan modal pelengkap bagi Bank yang berkantor pusat di
Indonesia; atau
b. dana bersih kantor pusat dan kantor lainnya di luar negeri (Net Head
Office Fund) bagi kantor cabang Bank asing,
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.
7. Dana Usaha adalah dana bersih kantor pusat Bank asing pada kantor
cabangnya di Indonesia yang merupakan komponen modal untuk kantor
cabang Bank asing sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
tentang Persyaratan dan Tatacara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor
Cabang Pembantu dan Kantor Perwakilan dari Bank Asing.
2. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 2 (dua) pasal yakni Pasal 3 A dan
3 B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3 A
Bank wajib membatasi posisi saldo harian PLN Jangka Pendek paling tinggi
30% (tiga puluh perseratus) dari Modal Bank.
Pasal 3 B
(1) Kewajiban Bank untuk membatasi posisi saldo harian PLN Jangka Pendek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 A, dikecualikan terhadap :
a. PLN …
- 5 -
a. PLN Jangka Pendek dari pemegang saham pengendali dalam rangka
mengatasi kesulitan likuiditas Bank dan penyaluran kredit ke sektor riil;
b. Dana Usaha kantor cabang Bank asing di Indonesia sampai dengan
paling tinggi 100% (seratus perseratus) dari Dana Usaha yang
dinyatakan (declared Dana Usaha);
c. giro, tabungan dan deposito milik perwakilan negara asing serta
lembaga internasional, termasuk anggota stafnya;
d. giro milik Bukan Penduduk yang digunakan untuk kegiatan investasi di
Indonesia, yang meliputi penyertaan langsung, pembelian saham
dan/atau obligasi korporasi Indonesia serta Surat Berharga Negara
(SBN).
(2) PLN Jangka Pendek yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib didukung dengan bukti-bukti yang memadai dan ditatausahakan
oleh Bank.
3. Ketentuan Pasal 14 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai
berikut :
Pasal 14
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 A
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu perseratus) per
tahun dari jumlah kelebihan per hari.
(2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu
perseratus) per tahun dari jumlah kekurangan per hari.
(3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 2%0
perseribu) dari jumlah pinjaman yang diterima.
(dua
(4) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (2) …
- 6 -
ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 2%0
(dua
perseribu) dari kelebihan jumlah yang telah disetujui oleh Bank
Indonesia.
(5) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah) per hari kerja dan setinggi-tingginya
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(6) Apabila menurut Bank Indonesia terdapat perubahan yang mendasar
berkaitan dengan terms and conditions sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (2) dan Bank tidak dapat memberikan penjelasan yang
memadai, maka Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif
berupa:
a. surat teguran; dan/atau
b. larangan melakukan PLN untuk jangka waktu tertentu.
4. Diantara Pasal 17 dan pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 17 A
yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 17 A
(1) Dalam hal Bank memiliki posisi saldo harian PLN Jangka Pendek
melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 A, Bank tidak
dapat menambah posisi saldo harian PLN Jangka Pendek dan harus
menurunkan posisi saldo harian PLN Jangka Pendek menjadi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 A paling lama 3 (tiga) bulan
terhitung sejak tanggal mulai berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Jangka waktu penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku terhadap perjanjian/perikatan PLN Jangka Pendek yang telah
ditandatangani sebelum tanggal mulai berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini sampai dengan perjanjian/perikatan tersebut berakhir.
Pasal II …
- 7 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Januari 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Januari 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 14
DInt/ DPNP
- 8 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 13/ 7 /PBI/2011
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK
I. UMUM
Dinamika perekonomian global terkini telah berdampak terhadap perkembangan
dan kondisi pasar keuangan domestik, sehingga perlu disikapi secara tepat agar
stabilitas pasar keuangan domestik dan ketahanan ekonomi tetap terjaga.
Oleh karena itu, diperlukan normalisasi kebijakan dalam bentuk penyesuaian
ketentuan Pinjaman Luar Negeri Bank dengan perkembangan perbankan dan
pasar keuangan domestik yang mengedepankan prinsip kehati-hatian.
Dalam hal ini, penyesuaian dilakukan dengan menerapkan kembali batasan posisi
saldo harian PLN Jangka Pendek terhadap Modal Bank, yang tetap memberikan
ruang untuk mendorong kegiatan perekonomian.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas
Angka 2 …
- 9 -
2
Angka 2
Pasal 3 A
PLN Jangka Pendek yang diperpanjang sampai dengan 1 (satu)
tahun tetap diperlakukan sebagai PLN Jangka Pendek.
PLN Jangka Pendek yang diperpanjang lebih dari 1 (satu) tahun
diperlakukan sebagai PLN Jangka Panjang baru dan harus
mengikuti prosedur pengajuan masuk pasar PLN Jangka Panjang.
Penarikan dan pelunasan PLN Jangka Panjang dalam jangka waktu
kurang dari 1 (satu) tahun dikategorikan sebagai PLN Jangka
Pendek.
Pasal 3 B
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pemegang saham
pengendali” adalah pemegang saham pengendali
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
tentang Bank Umum dan Bank Umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah.
Yang dimaksud dengan “kesulitan likuiditas” adalah
kesulitan memenuhi kewajiban jangka pendek karena
arus dana masuk lebih kecil dibandingkan dengan
arus dana keluar (mismatch) baik valuta asing
maupun rupiah.
Yang dimaksud dengan “penyaluran kredit ke sektor
riil” adalah pemberian pinjaman kepada debitur
entitas
Indonesia
dalam rangka
mendukung …
- 3 -
- 10 -
mendukung/mengembangkan usaha di Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Giro, tabungan dan deposito milik perwakilan negara
asing digunakan untuk pembiayaan operasional,
bersifat sementara, jumlahnya tidak signifikan dan
penempatan dana tidak untuk memperoleh
keuntungan.
Perwakilan pemerintah daerah negara asing yang
mewakili secara resmi pemerintah daerah negara
asing tersebut dalam melakukan tugasnya dianggap
sebagai perwakilan negara asing.
Yang dimaksud dengan “lembaga internasional”
adalah lembaga internasional yang kegiatannya
bersifat nirlaba, seperti IMF dan IDB.
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “bukti pendukung yang memadai”
adalah:
a. untuk pinjaman pemegang saham pengendali dalam
rangka mengatasi kesulitan likuiditas Bank antara lain
berupa laporan proyeksi arus kas dan laporan posisi
likuiditas.
b. untuk pinjaman pemegang saham pengendali dalam
rangka penyaluran kredit ke sektor riil antara lain berupa
analisa …
- 4 -
- 11 -
analisa pemberian kredit Bank, bukti mutasi penerimaan
dana dan realisasi kredit.
c. untuk penempatan Dana Usaha dari kantor pusat Bank
asing pada kantor cabangnya di Indonesia antara lain
berupa bukti penempatan/transfer dan laporan keuangan
Bank.
d. untuk giro, tabungan dan deposito milik perwakilan
negara asing serta lembaga internasional termasuk
anggota stafnya paling kurang berupa fotokopi identitas
pemilik rekening.
e. untuk penyertaan langsung paling kurang meliputi bukti
penyertaan lengkap termasuk nominal, identitas penyetor
dan identitas penerima penyertaan.
f. untuk pembelian surat-surat berharga paling kurang
meliputi bukti pembelian saham/obligasi yang tercatat di
lembaga kustodian/bursa efek.
g. untuk pembelian SBN paling kurang telah tercatat pada
BI-Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS).
Angka 3
Pasal 14
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 17 A
Yang dimaksud dengan “perjanjian/perikatan PLN Jangka Pendek
berakhir” tidak termasuk perpanjangan (roll over) atas
perjanjian/perikatan dimaksud
Pasal II …
- 12 -
- 5 -
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5193
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/7/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK </reg_title>
<set_date> 28 Januari 2011 </set_date>
<effective_date> 28 Januari 2011 </effective_date>
<issued_date> 28 Januari 2011 </issued_date>
<changed_reg> '7/1/PBI/2005' </changed_reg>
<extension_of> '10/20/PBI/2008' </extension_of>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '24/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 3 Pasal 14' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 2/ 5 /PBI/2000
TENTANG
PENYEDIAAN DANA OLEH BANK YANG DIJAMIN BANK LAIN
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka menggerakkan perekonomian nasional
diperlukan adanya penyediaan dana oleh bank-bank;
b. bahwa dalam rangka mengurangi risiko kredit, bank wajib
melaksanakan prinsip kehati-hatian secara sungguh-sungguh
dalam penyediaan dana;
c. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk mengatur
ketentuan tentang Penyediaan Dana oleh Bank Yang Dijamin
Bank Lain dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN:
MEMUTUSKAN …
-2-
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENYEDIAAN DANA OLEH BANK YANG DIJAMIN
BANK LAIN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing;
2. Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) adalah prosentase perbandingan
batas maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal Bank;
3. Modal adalah modal Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum;
4. Peringkat Investasi (Investment Grade) adalah peringkat yang diberikan oleh
lembaga pemeringkat terkemuka;
5. Penyediaan Dana adalah penanaman dana Bank baik dalam Rupiah maupun
valuta asing, dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antarbank,
termasuk komitmen dan kontinjensi.
Pasal 2
(1) Bagian Penyediaan Dana kepada pihak terkait untuk setiap peminjam atau kelompok
peminjam yang dijamin oleh bank lain tidak diperhitungkan dalam ketentuan Batas
Maksimum Pemberian Kredit dengan jumlah setinggi-tingginya sebesar 90% (sembilan
puluh perseratus) dari Modal Bank.
(2) Bagian Penyediaan Dana kepada pihak tidak terkait untuk setiap peminjam atau
kelompok peminjam yang dijamin oleh bank lain tidak diperhitungkan dalam ketentuan
Batas Maksimum Pemberian Kredit dengan jumlah setinggi-tingginya sebesar :
Setinggi- …
-3-
a. 70% (tujuh puluh perseratus) dari Modal Bank sampai dengan akhir tahun
2001;
b. 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari Modal Bank selama tahun 2002;
c. 80% (delapan puluh perseratus) dari Modal Bank sejak tanggal 1 Januari
2003.
(3) Bank lain yang menjamin Penyediaan Dana sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) wajib memenuhi persyaratan memiliki:
a. Peringkat Investasi; dan
b. total aset yang termasuk dalam peringkat 200 (dua ratus) besar dunia.
Pasal 3
(1) Jaminan yang diberikan oleh bank lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dan ayat (2) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. bersifat irrevocable;
b. harus dapat dicairkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diajukannya
klaim;
c. mempunyai jangka waktu sekurang-kurangnya sama dengan jangka waktu
Penyediaan Dana; dan
d. tidak dijamin oleh Bank.
(2) Bank wajib mengajukan klaim terhadap jaminan yang diterima selambat-
lambatnya :
a. 90 hari sejak terjadi tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga dan/atau
tagihan lainnya walaupun Penyediaan Dana belum jatuh tempo; atau
b. pada saat tidak diterimanya pembayaran pokok dan/atau bunga dan/atau
tagihan lainnya pada saat Penyediaan Dana jatuh tempo.
Pasal 4
Pasal 4 …
(1) Penyediaan Dana berupa penempatan pada bank lain yang tidak menjadi
peserta program penjaminan Pemerintah, tidak diperhitungkan dalam Batas
Maksimum Pemberian Kredit dengan jumlah setinggi-tingginya sebesar
Modal Bank.
-4-
(2) Bank lain yang menerima penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memenuhi persyaratan memiliki:
a. Peringkat Investasi; dan
b. total aset yang termasuk dalam peringkat 200 (dua ratus) besar dunia.
Pasal 5
Peringkat Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan Pasal 4 ayat
(2) huruf a ditetapkan dengan predikat minimal :
a. BBB atau setara dari lembaga pemeringkat Standard & Poors; dan
b. Baa atau setara dari lembaga pemeringkat Moody’s; atau
c. Setara dengan huruf a dan huruf b dari lembaga pemeringkat lain yang disetujui
Bank Indonesia.
Pasal 6
Penetapan mengenai Peringkat Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan
peringkat total aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dan Pasal 4 ayat
(2) huruf b dapat diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 7
(1) Bank yang memiliki Penyediaan Dana yang dijamin oleh bank lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 wajib melaporkan kepada Bank Indonesia setiap bulan sesuai
dengan format dalam Lampiran 1 dan Lampiran 2.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib ditandatangani oleh seorang
pejabat yang berwenang, anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris.
Indonesia…
(3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diterima oleh Bank Indonesia
sebagai satu kesatuan dengan laporan Batas Maksimum Pemberian Kredit.
Pasal 8
-5-
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit yang
berlaku.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 dikenakan sanksi yang sama dengan sanksi penyampaian
laporan sebagaimana diatur dalam ketentuan Batas Maksimum Pemberian
Kredit.
Pasal 9
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan melebihi Batas
Maksimum Pemberian Kredit dikenakan sanksi pelanggaran Batas Maksimum Pemberian
Kredit.
Pasal 10
Pasal 10 …
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal
Februari 2000
GUBERNUR BANK INDONESIA
-6-
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 18
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 2/ 5 /PBI/2000
TENTANG
-7-
PENYEDIAAN DANA OLEH BANK YANG DIJAMIN BANK LAIN
UMUM
Bahwa lembaga perbankan berperan dalam fungsi intermediasi yaitu
menghimpun dana dan menyalurkan dana kepada sektor usaha. Penyediaan dana
perbankan, antara lain melalui penyaluran kredit, secara langsung atau tidak
langsung akan mempengaruhi perkembangan usaha sektor riil yang memerlukan
pembiayaan tersebut. Penyediaan dana yang diterima oleh sektor usaha tersebut
diharapkan digunakan untuk kegiatan usaha produktif sehingga dapat memberikan
sumbangan dalam menggerakkan perekonomian nasional. Namun demikian
penyediaan dana oleh perbankan harus tetap dilakukan berdasarkan prinsip kehati-
hatian dan asas pengelolaan yang sehat.
Untuk mencapai hal tersebut maka lembaga perbankan dapat melakukan
penyediaan dana dengan cara penyebaran risiko kredit yang mungkin timbul
dengan bank-bank lain yang mempunyai Peringkat Investasi. Peringkat Investasi
tersebut ditentukan berdasarkan hasil peringkat yang diberikan oleh lembaga
pemeringkat terkemuka.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
PASAL ...
Angka 1
Ketentuan mengenai Bank Umum berpedoman pada ketentuan Bank
Indonesia tentang Bank Umum, dan ketentuan Bank Indonesia
tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah.
-8-
Ketentuan mengenai kantor cabang bank asing berpedoman pada
ketentuan Bank Indonesia tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu dan Kantor
Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri.
Angka 2
Ketentuan mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit
berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Batas
Maksimum Pemberian Kredit.
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Yang dimaksud dengan lembaga pemeringkat terkemuka antara lain
Moody’s, Standard & Poors, atau lembaga pemeringkat lain yang
disetujui oleh Bank Indonesia.
Angka 5
Yang dimaksud komitmen dan kontinjensi berupa warkat penerbitan
jaminan, akseptasi/endosemen, penjualan surat berharga dengan
syarat repo, letter of credit (L/C) yang masih berjalan, stand-by
L/C dan garansi lainnya serta risiko kredit dari transaksi derivatif.
Pasal 2
Ayat (1) dan Ayat (2)
Jaminan yang diterima dari bank lain dapat berasal lebih dari satu
bank penjamin.
Contoh ...
Contoh perhitungan :
a. Penyediaan Dana kepada pihak terkait
Kasus 1 :
- Modal Bank = Rp.100 Milyar
- Jumlah Penyediaan Dana = Rp.105 Milyar
- Jaminan yang diterima = Rp.97 Milyar
Ayat (2) …
-9-
- Jaminan yang diperhitungkan (maksimum 90%) = Rp. 90
Milyar
- BMPK Pihak Terkait (10%) = Rp. 10 Milyar
- Kelebihan limit BMPK = Rp.105 Milyar - (Rp.90
Milyar+Rp.10 Milyar) = Rp. 5 Milyar
Kasus 2 :
- Modal Bank = Rp.100 Milyar
- Jumlah Penyediaan Dana = Rp.105 Milyar
- Jaminan yang diterima = Rp.40 Milyar
- Jaminan yang diperhitungkan (maksimum 90%) = Rp. 40
Milyar
- BMPK Pihak Terkait (10%) = Rp. 10 Milyar
- Kelebihan limit BMPK = Rp.105 Milyar - (Rp.40 Milyar +
Rp.10 Milyar) = Rp. 55 Milyar
b. Penyediaan Dana kepada pihak tidak terkait
Kasus 1 :
- Modal Bank = Rp.100 Milyar
- Jumlah Penyediaan Dana = Rp.105 Milyar
- Jaminan yang diterima = Rp.103 Milyar
- Jaminan yang diperhitungkan (maksimum 70%) = Rp.70
Milyar
BMPK ...
- BMPK Pihak Tidak Terkait (30%) = Rp.30 Milyar
- Kelebihan limit BMPK = Rp.105 Milyar - (Rp.70 Milyar +
Rp. 30 Milyar) = Rp. 5 Milyar
Kasus 2. :
- Modal Bank = Rp.100 Milyar
-10-
- Jumlah Penyediaan Dana = Rp.105 Milyar
- Jaminan yang diterima = Rp.40 Milyar
- Jaminan yang diperhitungkan (maksimum 70%) = Rp.40
Milyar
- BMPK Pihak Tidak Terkait (30%) = Rp.30 Milyar
- Kelebihan limit BMPK = Rp.105 Milyar - (Rp.40 Milyar +
Rp. 30 Milyar) = Rp. 35 Milyar.
Ayat (3)
Penentuan total aset 200 (dua ratus) besar di dunia didasarkan atas
peringkat yang disusun oleh The Bankers' Almanac edisi tahun
terakhir yang telah tersedia.
Pasal 3
Ayat (1)
Jaminan yang diterbitkan oleh bank lain adalah dalam bentuk Stand-
by Letter of Credit berdasarkan Uniform Customs and Practice
for Documentary Credits (UCP) yang berlaku atau bentuk lain yang
dipersamakan dengan itu sepanjang disetujui oleh Direktorat
Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia, Jl.M.H.Thamrin No.2
Jakarta 10110.
Ayat (2)
Pengajuan klaim didasarkan pada kejadian yang terjadi lebih dahulu
antara huruf a dan huruf b.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penempatan adalah penanaman dana Bank
pada bank lainnya berupa giro, call money, deposito berjangka,
sertifikat deposito, kredit yang diberikan dan penempatan lainnya.
Contoh Perhitungan :
Pasal 4 ...
-11-
a. Modal Bank = Rp.100 Milyar
b. Penyediaan Dana:
- Kredit yang diberikan kepada pihak terkait Rp.100 Milyar
dengan jaminan bank lain sebesar Rp.97 Milyar;
- Surat-surat Berharga yang dimiliki dari pihak terkait Rp.5
Milyar;
- Penempatan pada bank lain yang merupakan pihak terkait
Rp.110 Milyar.
c. Jaminan yang diperhitungkan (maksimum 90%) = Rp.90 Milyar
d. BMPK Pihak Terkait (10%) = Rp.10 Milyar
e. Perhitungan pelanggaran BMPK= Jumlah Penyediaan Dana -
(Penempatan yang tidak diperhitungkan + Jaminan yang
diperhitungkan + BMPK ) = Rp.215 Milyar - (Rp.100 Milyar +
Rp.90 Milyar + Rp.10 Milyar) = Rp.15 Milyar
Ayat (2)
Penentuan total aset 200 (dua ratus) besar di dunia didasarkan atas
peringkat yang disusun oleh The Bankers' Almanac edisi tahun
terakhir yang telah tersedia.
Pasal 5
Pasal 5 ...
Peringkat Investasi yang digunakan adalah didasarkan atas jenis dan jangka
waktu Penyediaan Dana.
Apabila jangka waktu penyediaan dana bersifat jangka pendek, maka
peringkat yang digunakan adalah Peringkat Investasi jangka pendek.
Permohonan persetujuan penggunaan pemeringkat lain diajukan kepada
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia,
Jl.M.H.Thamrin No.2 Jakarta 10110.
-12-
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Laporan Batas Maksimum Pemberian Kredit adalah laporan Bank
kepada Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia
tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan
Batas Maksimum Pemberian Kredit adalah dapat berupa sanksi
Pelanggaran atau Pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
-13-
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3932
DPNP
-14-
LAPORAN PENYEDIAAN DANA OLEH BANK YANG DIJAMIN BANK LAIN
Nama Bank
Bulan laporan
:
:
(dalam juta Rp.)
Penyediaan Dana Yang Dijamin
No
Nama
Debitur
Jenis
Penyediaan
Dana
(1)
(2)
Terkait
(3)
Baki
Debet/
Outstandin
g
(4)
Jangka
Waktu
Kualitas
Bank
Penerbit
Jaminan
(5)
(6)
(7)
Peringkat/
Pemeringkat/
Tanggal
Pemeringkata
n
(8)
(9)
Nilai
Jaminan yang diterima
Tidak
Terkait
Total
............................, ........................... ...........
Mengetahui,
Ttd.
Anggota Dewan Komisaris
............................................
Nama
Ttd.
Anggota Direksi
............................................
Nama
Keterangan Kolom:
1. Kolom (3) diisi dengan jenis penyediaan dana yang diberikan, seperti kredit, surat berharga,
penempatan dana antarbank, komitmen dan kontinjensi.
2. Kolom (4) diisi dengan baki debet/outstanding pada akhir bulan laporan.
3. Kolom (5) diisi dengan tanggal awal dan tanggal jatuh tempo penyediaan dana.
4. Kolom (6) diisi dengan kualitas Penyediaan Dana sesuai dengan ketentuan dalam Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva Produktif.
5. Kolom (8) diisi dengan peringkat bank penerbit jaminan, lembaga yang melakukan pemeringkat
dan tanggal pemeringkatan dilakukan.
6. Kolom (10) diisi dengan tanggal dimulainya penjaminan dan tanggal berakhirnya penjaminan.
Ttd.
Pejabat Bank
............................................
Nama dan Jabatan
-15-
LAPORAN REALISASI JAMINAN
Nama Bank
Bulan laporan
:
:
(dalam juta Rp.)
Penyediaan Dana Yang Dijamin
No
Nama
Debitur
(1)
(2)
Terkait
Jenis
Penyediaan
Dana
(3)
Baki
Debet
(4)
Jangka
Waktu
(5)
Kualitas Bank Penerbit
Jaminan
(6)
(7)
Nilai
Pencairan
(8)
Tanggal
Pencairan
(9)
Realisasi Jaminan
Tidak
Terkait
............................, ........................... ...........
Mengetahui,
Ttd.
Anggota Dewan Komisaris
............................................
Nama
Ttd.
Anggota Direksi
............................................
Nama
Keterangan Kolom:
1. Kolom (3) diisi dengan jenis penyediaan dana yang diberikan, seperti kredit, surat berharga,
penempatan dana antarbank, komitmen dan kontinjensi yang akan direalisasikan jaminannya.
2. Kolom (4) diisi dengan baki debet/outstanding pada saat sebelum realisasi penjaminan.
3. Kolom (5) diisi dengan tanggal awal dan tanggal jatuh tempo penyediaan dana.
4. Kolom (6) diisi dengan kualitas Penyediaan Dana sesuai dengan ketentuan dalam Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva Produktif.
Ttd.
Pejabat Bank
............................................
Nama dan Jabatan
-16-
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/5/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> PENYEDIAAN DANA OLEH BANK YANG DIJAMIN BANK LAIN </reg_title>
<set_date> Februari 2000 </set_date>
<effective_date> Februari 2000 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB I Pasal 8', 'BAB I Pasal 9' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA per
NOMOR: 7/50/PBI/2005 pas
TENTANG pa
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA pa
NOMOR 3/22/PBI/2001 TENTANG TRANSPARANSI KONDISI
KEUANGAN BANK
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka mengakomodasi karakteristik bank yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yaitu
adanya Dewan Pengawas Syariah dalam struktur organisasi
bank yang berfungsi melakukan pengawasan dan memastikan
bahwa produk dan kegiatan operasional bank telah memenuhi
prinsip syariah ;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, maka diperlukan penyesuaian terhadap
ketentuan mengenai Transparansi Kondisi Keuangan Bank
dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia …
- 2 -
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:pass
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
3/22/PBI/2001 TENTANG TRANSPARANSI KONDISI
KEUANGAN BANK
Pasal I Passa
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 3/22/PBI/2001
tanggal 13 Desember 2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 150, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4159) diubah sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 19
(1) Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik yang melakukan audit
terhadap Laporan Keuangan Tahunan Bank wajib :
a. melakukan …
- 3 -
a. melakukan audit sesuai dengan Standar Profesional Akuntan
Publik, serta perjanjian kerja dan ruang lingkup audit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ;
b. memberitahukan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari kerja sejak ditemukannya :
1) pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang
keuangan dan perbankan ; dan
2) keadaan atau perkiraan keadaan yang dapat membahayakan
kelangsungan usaha Bank ;
c. menyampaikan laporan hasil audit dan Management letter
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf f angka 1)
dan angka 2) kepada Bank Indonesia ; dan
d. memenuhi ketentuan rahasia Bank sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998.
(2) Bagi Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik yang melakukan
audit terhadap Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah, selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(1), juga wajib memperoleh pendapat dari Dewan
Pengawas Syariah mengenai ketaatan Bank terhadap pelaksanaan
prinsip syariah sebelum menerbitkan Laporan Audit atas Laporan
Keuangan Bank.
(3) Dewan Pengawas Syariah harus memberikan pendapat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) kepada Akuntan Publik.
2. Pasal 39 …
- 4 -
2. Pasal 39 ayat (2) diubah sehingga Pasal 39 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 39
(1) Akuntan Publik atau Kantor Akuntan Publik yang secara material
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10
Tahun 1998 berupa :
a. penghapusan nama Akuntan Publik dari Daftar Akuntan Publik
di Bank Indonesia ;
b. penghapusan Kantor Akuntan Publik dari daftar Kantor Akuntan
Publik di Bank Indonesia, apabila pelanggaran dilakukan oleh 2
(dua) orang Akuntan Publik yang bertanggung jawab (partner in
charge) dalam audit Bank dari Kantor Akuntan Publik yang
sama, kecuali untuk instansi pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ; dan
c. penyampaian usul kepada instansi yang berwenang untuk
mencabut atau membatalkan izin usaha sebagai pemberi jasa bagi
Bank sesuai dengan ketentuan atau kode etik yang berlaku.
(2) Akuntan Publik atau Kantor Akuntan Publik yang tidak memenuhi
ketentuan rahasia Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(1) huruf d, selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), juga dapat dikenakan sanksi pidana
sebagaimana …
- 5 -
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
Pasal II
pasal
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) mulai
berlaku untuk laporan keuangan tahunan posisi akhir tahun 2006.
(2) Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 29 November 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 135
DPNP/DPbS
- 6 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/50/PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 3/22/PBI/2001 TENTANG TRANSPARANSI KONDISI
KEUANGAN BANK
UMUM
Salah satu pilar penting dalam pencapaian Good Corporate Governance
di perbankan Indonesia adalah aspek transparansi kondisi keuangan Bank
kepada publik. Bagi bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah terdapat aspek tanggung jawab untuk memberikan keyakinan kepada
stakeholders bahwa produk dan kegiatan operasional usahanya telah
dilaksanakan
secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan baik
pemenuhan prinsip manajemen usaha perbankan umum maupun pemenuhan
prinsip syariah, sehingga tidak ada keraguan bagi masyarakat untuk
menyimpan dana dan menyerahkan pengelolaan dananya kepada bank. Oleh
karena itu diperlukan adanya pihak yang dapat mengawasi dan memastikan
kesesuaian kegiatan operasional bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah dengan prinsip syariah
Sehubungan dengan hal tersebut, maka diperlukan penyesuaian
ketentuan yang mengatur tentang transparansi kondisi keuangan bank agar
dapat mengakomodasi peran Dewan Pengawas Syariah dalam bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
PASAL …
- 2 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 19 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Angka 1)
Cukup jelas
Angka 2)
Keadaan atau perkiraan keadaan yang dapat
membahayakan kelangsungan usaha Bank
termasuk namun tidak terbatas pada :
1. kekurangan Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum;
2. kekurangan pembentukan Penyisihan
Penghapusan Aktiva Produktif yang
material;
3. pelanggaran Batas Maksimum Pemberian
Kredit;
4. kekurangan Giro Wajib Minimum;
5. kecurangan (fraud) yang bernilai material.
Huruf c …
- 3 -
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 19 Ayat (2)
Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah dewan yang
melakukan pengawasan terhadap prinsip syariah dalam
kegiatan usaha Bank.
Dalam mengeluarkan pendapat mengenai ketaatan Bank
terhadap prinsip syariah, Dewan Pengawas Syariah harus
mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia tentang tugas
dan peran Dewan Pengawas Syariah. Pendapat dari
Dewan Pengawas Syariah ini merupakan bukti audit dan
tidak mempengaruhi pendapat Akuntan Publik
memberikan pendapat.
dalam
Angka 2
Pasal 39 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b …
- 4 -
Huruf b
Perhitungan pelanggaran ketentuan oleh 2 (dua)
orang Akuntan Publik yang bertanggung jawab
(partner in charge) dapat dilakukan pada periode
yang sama maupun pada periode yang berbeda
Huruf c
Instansi yang berwenang dalam ayat ini adalah
Departemen Keuangan dan Ikatan Akuntan
Indonesia
Pasal 39 Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4573
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/50/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/22/PBI/2001 TENTANG TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK </reg_title>
<set_date> 29 November 2005 </set_date>
<effective_date> 29 November 2005 </effective_date>
<changed_reg> '3/22/PBI/2001' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 2 Pasal 39' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 9/12/PBI/2007
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 8/17/PBI/2006 TENTANG INSENTIF
DALAM RANGKA KONSOLIDASI PERBANKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka upaya percepatan konsolidasi
perbankan diperlukan tambahan insentif bagi Bank agar
dapat lebih mendorong Bank melakukan Merger atau
Konsolidasi;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu untuk menyempurnakan ketentuan
mengenai insentif dalam rangka konsolidasi perbankan
dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-undang …
- 2 -
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Peraturan Bank Indonesia No. 7/15/PBI/2005 tanggal 1 Juli
2005 tentang Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4507);
4. Peraturan Bank Indonesia No. 8/14/PBI/2006 tanggal 5
Oktober 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good
Corporate Governance bagi Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Tahun 2006 Nomor 71, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4640);
5. Peraturan Bank Indonesia No. 8/17/PBI/2006 tanggal 5
Oktober 2006 tentang Insentif Dalam Rangka Konsolidasi
Perbankan (Lembaran Negara Republik Tahun 2006 Nomor
Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4643);
MEMUTUSKAN …
- 3 -
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
8/17/PBI/2006 TENTANG INSENTIF DALAM RANGKA
KONSOLIDASI PERBANKAN.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/17/PBI/2006
tanggal 5 Oktober 2006 tentang Insentif Dalam Rangka Konsolidasi Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 74, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4643) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Bank Indonesia memberikan insentif kepada Bank yang melakukan
Merger atau Konsolidasi.
(2) Bentuk insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Kemudahan dalam pemberian izin menjadi bank devisa;
b. Kelonggaran sementara atas kewajiban pemenuhan Giro Wajib
Minimum (GWM) Rupiah;
c. Perpanjangan jangka waktu penyelesaian pelampauan Batas
Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang timbul sebagai akibat
Merger atau Konsolidasi;
d. Kemudahan dalam pemberian izin pembukaan kantor cabang bank;
e. Penggantian …
- 4 -
e. Penggantian sebagian biaya konsultan pelaksanaan due diligence;
dan atau
f. Kelonggaran sementara atas pelaksanaan beberapa ketentuan dalam
Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Good
Corporate Governance bagi Bank Umum.
2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Kemudahan pemberian izin menjadi bank devisa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a berlaku dalam jangka waktu 2
(dua) tahun sejak berlakunya izin Merger atau Konsolidasi, dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. Bank hasil Merger atau Konsolidasi telah memiliki modal inti
paling kurang sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar
rupiah); dan
b. Bank hasil Merger atau Konsolidasi memiliki peringkat komposit
sekurang-kurangnya 2 (dua) dengan peringkat faktor manajemen
sekurang-kurangnya 3 (tiga) pada 2 (dua) posisi penilaian terakhir.
(2) Apabila Bank hasil Merger atau Konsolidasi tidak dapat memenuhi
persyaratan menjadi bank devisa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam kurun waktu 2 (dua) tahun sejak berlakunya izin Merger atau
Konsolidasi, maka untuk menjadi Bank devisa Bank harus memenuhi
persyaratan sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai
persyaratan Bank umum bukan bank devisa menjadi bank umum
devisa.
(3) Persyaratan …
- 5 -
(3) Persyaratan lain untuk menjadi bank devisa tetap mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai persyaratan bank
umum bukan bank devisa menjadi bank umum devisa.
(4) Berlakunya izin Merger atau Konsolidasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan (2) yaitu sejak:
a. Tanggal persetujuan perubahan Anggaran Dasar atau Akta
pendirian termasuk Anggaran Dasar oleh instansi yang berwenang;
atau
b. Tanggal pendaftaran Akta Merger dan perubahan Anggaran Dasar
dalam Daftar Perusahaan apabila perubahan Anggaran Dasar tidak
memerlukan persetujuan instansi berwenang.
3. Diantara Pasal 7 dan Pasal 8, disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 7A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7A
(1) Kelonggaran sementara atas pelaksanaan beberapa ketentuan dalam
Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Good Corporate
Governance bagi Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) huruf f berupa:
a. Penundaan pemenuhan komposisi 50% (lima puluh perseratus)
anggota Komisaris Independen, dengan syarat wajib memiliki
paling kurang 1 (satu) orang Komisaris Independen.
b. Pemberian kelonggaran ketentuan rangkap jabatan bagi Komisaris
Independen sebagai ketua pada 3 (tiga) Komite.
c. Penundaan pemenuhan Pihak Independen dalam keanggotaan
komite audit dan komite pemantau risiko.
(2) Kelonggaran pemenuhan ketentuan sementara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan paling lama 6 (enam) bulan sejak:
a. Tanggal …
- 6 -
a. Tanggal persetujuan perubahan Anggaran Dasar atau Akta
pendirian termasuk Anggaran Dasar oleh instansi yang berwenang;
atau
b. Tanggal pendaftaran Akta Merger dan perubahan Anggaran Dasar
dalam Daftar Perusahaan apabila perubahan Anggaran Dasar tidak
memerlukan persetujuan instansi berwenang.
4. Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 8
(1) Bank yang merencanakan Merger atau Konsolidasi wajib
menyampaikan permohonan rencana pemanfaatan insentif yang
diajukan oleh salah satu Bank peserta Merger atau Konsolidasi dan
ditandatangani oleh Direktur Utama seluruh Bank peserta Merger atau
Konsolidasi.
(2) Rencana pemanfaatan insentif oleh Bank wajib disampaikan kepada
Bank Indonesia sebelum Merger atau Konsolidasi dengan alamat :
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait bagi Bank yang berkantor
pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau
b. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di
luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
5. Pasal 9 dihapus.
Pasal II
Ketentuan Peralihan
Bank yang sudah mengajukan rencana pemanfaatan insentif sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini, dapat mengajukan tambahan rencana pemanfaatan
insentif sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal III…
- 7 -
Pasal III
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 September 2007
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 120
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 9/12/PBI/2007
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 8/17/PBI/2006 TENTANG INSENTIF DALAM RANGKA
KONSOLIDASI PERBANKAN
UMUM
Dalam rangka mempercepat konsolidasi perbankan sebagai salah satu upaya
memperkuat struktur dan permodalan bank, Bank Indonesia telah memberikan
insentif bagi bank-bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi. Sebagai
upaya dalam rangka lebih mendorong bank-bank untuk melakukan Merger atau
Konsolidasi, khususnya dalam rangka memenuhi modal inti minimum, Bank
Indonesia menganggap perlu memberikan tambahan insentif bagi bank-bank
yang melakukan Merger atau Konsolidasi.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 2 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku
mengenai persyaratan bank umum bukan bank devisa
menjadi bank umum devisa, bank harus memenuhi
persyaratan tingkat kesehatan, modal disetor, rasio modal
(capital adequacy ratio/CAR) dan persiapan pelaksanaan
kegiatan usaha dalam valuta asing untuk menjadi bank
umum devisa.
Peraturan Bank Indonesia No. 8/17/PBI/2006 sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia ini
mengecualikan persyaratan modal disetor dan tingkat
kesehatan, sementara persyaratan lain untuk mendapatkan
izin menjadi bank umum devisa tetap harus dipenuhi.
Persyaratan lain tersebut adalah persyaratan rasio modal
(CAR) dan persiapan pelaksanaan kegiatan usaha dalam
valuta asing sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku
mengenai persyaratan bank umum bukan bank devisa
menjadi bank umum devisa.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 3 …
- 3 -
Angka 3
Pasal 7A
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pemberian kelonggaran ketentuan rangkap jabatan
hanya dapat diberikan kepada bank hasil Merger atau
Konsolidasi yang hanya memiliki 1 (satu) orang
Komisaris Independen. Jabatan yang dapat dirangkap
oleh Komisaris Independen tersebut adalah sebagai
Ketua pada Komite Audit, Komite Pemantau Risiko
dan Komite Remunerasi dan Nomisasi.
Huruf c
Pihak Independen anggota komite yang karena proses
Merger atau Konsolidasi menjadi tidak memenuhi
kriteria sebagai pihak yang independen, diberikan
kelonggaran penundaan pemenuhan kriteria tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengajuan rencana pemanfaatan insentif yang disampaikan
kepada Bank Indonesia sebelum melakukan Merger atau
Konsolidasi…
- 4 -
Konsolidasi, dilakukan dengan mempertimbangkan
kewajaran waktu.
Angka 5
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup Jelas
Pasal III
Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4766
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 9/12/PBI/2007 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/17/PBI/2006 TENTANG INSENTIF DALAM RANGKA KONSOLIDASI PERBANKAN </reg_title>
<set_date> 21 September 2007 </set_date>
<effective_date> 21 September 2007 </effective_date>
<changed_reg> '8/17/PBI/2006' </changed_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/15/PBI/2005', '8/14/PBI/2006', '8/4/PBI/2006', '8/17/PBI/2006' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/17/PBI/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/4/PBI/2017 TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA
PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menerbitkan surat berharga
berupa Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu
instrumen operasi moneter;
b. bahwa dengan penerbitan Sukuk Bank Indonesia tersebut,
Bank Indonesia perlu menambahkan cakupan agunan
berkualitas tinggi dalam pemberian pembiayaan likuiditas
jangka pendek syariah berupa Sukuk Bank Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Bank Indonesia tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 19/4/PBI/2017 tentang Pembiayaan
Likuiditas Jangka Pendek Syariah bagi Bank Umum
Syariah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
-2-
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5872);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/4/PBI/2017 tentang
Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah bagi Bank
Umum Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2017 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6045);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/4/PBI/2017
TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK
SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH.
-3-
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/4/PBI/2017 tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek
Syariah bagi Bank Umum Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6045) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah dan ditambahkan 1 (satu) angka
baru, yakni angka 11 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai Bank Indonesia.
2. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut Bank
adalah bank umum syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
4. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat
GWM adalah giro wajib minimum dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib
minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank
umum konvensional, bank umum syariah, dan unit
usaha syariah.
5. Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek adalah keadaan
yang dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya
arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan
dengan arus dana keluar dalam rupiah yang dapat
-4-
membuat Bank tidak dapat memenuhi kewajiban
GWM.
6. Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah yang
selanjutnya disingkat PLJPS adalah pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia
kepada Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas
Jangka Pendek yang dialami oleh Bank.
7.
Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah Sertifikat Bank Indonesia
Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi
moneter.
8. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN, atau yang dapat disebut Sukuk
Negara adalah surat berharga negara yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai
bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN,
dalam mata uang rupiah, sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
surat berharga syariah negara.
9. Aset Pembiayaan adalah aset Bank berupa
pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah,
tidak termasuk pembiayaan dalam valuta asing.
10. Al-Muqaradhah bi Dhaman Ra’s al-Mal adalah akad
PLJPS dalam bentuk pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah dari Bank Indonesia kepada Bank
untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek
Bank, yang mewajibkan Bank untuk mengembalikan
pembiayaan sesuai dengan komitmen (iltizam),
dijamin dengan agunan, dan disertai nisbah bagi
hasil.
11. Sukuk Bank Indonesia yang selanjutnya disebut
SukBI adalah Sukuk Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai operasi moneter.
-5-
2. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (4) diubah serta
penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf a, huruf b, huruf d, huruf
e, huruf f, dan huruf h diubah sehingga Pasal 4 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Agunan berkualitas tinggi sebagai jaminan PLJPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf
c berupa:
a. surat berharga syariah; dan/atau
b. Aset Pembiayaan.
(2) Jenis surat berharga syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a berupa:
a. SBIS;
b. SukBI;
c. SBSN; dan/ atau
d. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh
badan hukum lain yang memenuhi persyaratan:
1. memiliki peringkat paling rendah peringkat
investasi;
2. aktif diperdagangkan; dan
3. memiliki sisa jangka waktu yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
(3) Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. merupakan pembiayaan dengan akad
mudharabah, akad musyarakah, dan/atau akad
ijarah nonjasa;
b.
kolektibilitas tergolong lancar selama 12 (dua
belas) bulan terakhir berturut-turut;
c. bukan merupakan pembiayaan konsumsi
kecuali pembiayaan pemilikan rumah;
d.
dijamin dengan agunan tanah dan bangunan
dan/atau tanah dengan nilai paling rendah
110% (seratus sepuluh persen) dari plafon
pembiayaan;
-6-
e. bukan merupakan pembiayaan kepada pihak
terkait Bank;
f.
g.
tidak pernah direstrukturisasi dalam waktu 3
(tiga) tahun terakhir;
sisa jangka waktu jatuh waktu pembiayaan
paling singkat 9 (sembilan) bulan sejak tanggal
penandatanganan perjanjian pemberian PLJPS;
h. saldo pokok pembiayaan tidak melebihi batas
maksimum penyaluran dana pada saat
diberikan dan tidak melebihi plafon pembiayaan;
i.
j.
memiliki akad pembiayaan serta pengikatan
agunan yang mempunyai kekuatan hukum;
telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan
atau audit oleh kantor akuntan publik terhadap
Bank paling lama 1 (satu) tahun terakhir;
k. dalam akad pembiayaan antara Bank dan
nasabah tercantum klausul bahwa pembiayaan
dapat dialihkan kepada pihak lain; dan
l.
telah tercantum dalam laporan daftar Aset
Pembiayaan terkini yang disampaikan secara
berkala kepada Bank Indonesia.
(4) Surat berharga syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf d hanya dapat digunakan sebagai
agunan PLJPS dalam hal:
a. Bank tidak memiliki surat berharga syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
sampai dengan huruf c; atau
b. Bank memiliki surat berharga syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
sampai dengan huruf c, namun tidak mencukupi
untuk menjadi agunan PLJPS.
(5) Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) hanya dapat digunakan sebagai agunan PLJPS
apabila pada saat permohonan PLJPS Bank tidak
memiliki surat berharga syariah yang memenuhi
persyaratan agunan PLJPS atau surat berharga
syariah yang memenuhi persyaratan agunan PLJPS
-7-
yang dimiliki oleh Bank tidak mencukupi untuk
menjadi agunan PLJPS.
(6) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat
meminta agunan lain setelah agunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencukupi.
(7) Agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilengkapi dengan dokumen yang terkait
dengan agunan PLJPS.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria agunan,
mekanisme pengagunan, dan dokumen agunan
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
3. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) diubah sehingga Pasal 5
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Nilai surat berharga syariah dan Aset Pembiayaan
sebagai agunan PLJPS ditetapkan sebagai berikut:
a.
nilai agunan berupa SBIS ditetapkan sebesar
100% (seratus persen) dari plafon PLJPS yang
dihitung berdasarkan nilai nominal SBIS;
b.
nilai agunan berupa SukBI ditetapkan sebesar
100% (seratus persen) dari plafon PLJPS yang
dihitung berdasarkan nilai jual SukBI;
c.
nilai agunan berupa SBSN ditetapkan paling
rendah sebesar 106,5% (seratus enam koma lima
persen) dari plafon PLJPS yang dihitung
berdasarkan nilai pasar SBSN;
d.
nilai agunan berupa surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh badan hukum lain ditetapkan
paling rendah sebesar 120% (seratus dua puluh
persen) dari plafon PLJPS yang dihitung
berdasarkan nilai pasar surat berharga syariah
yang diterbitkan oleh badan hukum lain
tersebut; dan
e.
nilai agunan berupa Aset Pembiayaan ditetapkan
paling rendah sebesar 200% (dua ratus persen)
-8-
dari plafon PLJPS yang dihitung berdasarkan
saldo pokok Aset Pembiayaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai nilai agunan dan
tata cara perhitungan nilai agunan diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
4. Ketentuan Pasal 6 ayat (3) diubah sehingga Pasal 6
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Agunan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
harus berada dalam kondisi bebas dari segala
perikatan, sengketa, sitaan, dan tidak sedang
dijaminkan kepada pihak lain atau Bank Indonesia,
yang dinyatakan dalam surat pernyataan kepada
Bank Indonesia.
(2) Bank tidak dapat memperjualbelikan dan/atau
menjaminkan kembali agunan PLJPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 yang masih dalam status
sebagai agunan PLJPS.
(3) Bank harus mengganti agunan PLJPS, apabila:
a. agunan PLJPS tidak memenuhi kondisi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau
ayat (2);
b. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh
badan hukum lain tidak lagi memenuhi
persyaratan peringkat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d angka 1;
c. terdapat pelunasan pembiayaan yang menjadi
agunan PLJPS oleh nasabah Bank; dan/atau
d. Aset Pembiayaan yang diagunkan tidak lagi
memenuhi persyaratan
kolektibilitas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf b,
sehingga nilai agunan PLJPS mengalami penurunan
dan secara keseluruhan tidak lagi memenuhi plafon
PLJPS.
-9-
(4) Penggantian agunan PLJPS diprioritaskan dengan
agunan berupa surat berharga syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).
(5) Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (3) dapat digunakan sebagai pengganti agunan
PLJPS apabila Bank tidak memiliki surat berharga
syariah yang memenuhi persyaratan agunan PLJPS
atau surat berharga syariah yang memenuhi
persyaratan agunan PLJPS yang dimiliki oleh Bank
tidak mencukupi untuk menjadi agunan PLJPS.
(6) Selama Bank Indonesia memproses penggantian
agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
pada periode pemberian PLJPS, Bank tetap dapat
mengajukan pencairan PLJPS sepanjang terdapat
plafon atau sisa plafon dan agunan PLJPS yang
mencukupi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penggantian agunan PLJPS diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
-10-
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2018
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 264
./.
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/17/PBI/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/4/PBI/2017 TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA
PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH
I. UMUM
Untuk memperkuat kerangka operasi moneter, Bank Indonesia
menerbitkan SukBI sebagai salah satu instrumen operasi moneter. Sebagai
instrumen operasi moneter, SukBI memenuhi kriteria sebagai salah satu
jenis surat berharga syariah berkualitas tinggi yang dapat digunakan
sebagai agunan untuk PLJPS.
Sehubungan dengan penerbitan SukBI tersebut, Bank Indonesia perlu
menyesuaikan cakupan agunan berkualitas tinggi sebagai jaminan dalam
pemberian PLJPS yang berupa surat berharga syariah yaitu dengan
menambahkan SukBI sebagai agunan PLJPS. Oleh karena itu, perlu
dilakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/4/PBI/2017 tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah
bagi Bank Umum Syariah.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
SBSN yang dapat digunakan sebagai agunan
PLJPS yaitu SBSN yang dapat diperdagangkan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "surat berharga syariah
yang diterbitkan oleh badan hukum lain" adalah
sukuk korporasi yang diterbitkan oleh badan
hukum Indonesia selain Bank yang mengajukan
permohonan PLJPS.
Angka 1
Peringkat investasi atau investment grade
mengacu pada hasil penilaian lembaga
pemeringkat yang diakui oleh OJK.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “akad mudharabah” adalah
akad kerja sama suatu usaha antara pihak
- 3 -
pertama (malik, shahibul mal, atau Bank) yang
menyediakan seluruh modal dan pihak kedua
(‘amil, mudharib, atau nasabah) yang bertindak
selaku pengelola dana dengan membagi
keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan
yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian
ditanggung sepenuhnya oleh Bank kecuali jika
pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja,
lalai, atau menyalahi perjanjian.
Yang dimaksud dengan “akad musyarakah” adalah
akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing
pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan
bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan
kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung
sesuai dengan porsi dana masing-masing.
Yang dimaksud dengan “akad ijarah nonjasa”
adalah akad penyediaan dana
untuk
memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu
barang berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan barang itu
sendiri atau dengan opsi pemindahan kepemilikan
barang.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kolektibilitas tergolong
lancar” adalah kualitas tergolong lancar
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai penilaian kualitas aset bank umum
syariah.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Nilai agunan yang digunakan yaitu nilai pasar
berdasarkan hasil penilai independen paling lama
2 (dua) tahun terakhir sebelum tanggal
permohonan PLJPS.
- 4 -
Huruf e
Yang dimaksud dengan "pihak terkait" adalah
pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai batas maksimum penyaluran
dana yang berlaku bagi bank umum syariah.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “restrukturisasi” adalah
restrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank
umum syariah.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Batas maksimum penyaluran dana mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai batas maksimum penyaluran
dana yang berlaku bagi bank umum syariah.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “kantor akuntan publik”
adalah kantor akuntan publik yang telah
tercantum dalam daftar kantor akuntan publik
yang diakui oleh OJK.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
- 5 -
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “agunan lain” antara lain:
a. saham Bank yang menerima PLJPS milik
pemegang saham pengendali;
b. personal guarantee dan/atau corporate guarantee
dari pemegang saham pengendali; dan/atau
c. aset tetap milik Bank yang menerima PLJPS.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan "dokumen yang terkait dengan
agunan PLJPS" antara lain akad pembiayaan antara
Bank dengan nasabah, bukti pengikatan agunan, bukti
kepemilikan atas aset yang menjadi agunan pembiayaan
Bank, dan dokumen pendukung lainnya.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "surat berharga syariah
yang diterbitkan oleh badan hukum lain" adalah
sukuk korporasi yang diterbitkan oleh badan
hukum Indonesia selain Bank yang mengajukan
permohonan PLJPS.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 6 -
Angka 4
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6290
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 20/17/PBI/2018 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/4/PBI/2017 TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH </reg_title>
<set_date> 27 Desember 2018 </set_date>
<effective_date> 31 Desember 2018 </effective_date>
<issued_date> 31 Desember 2018 </issued_date>
<changed_reg> '19/4/PBI/2017' </changed_reg>
<related_reg> '2/PERPPU/2008', '19/4/PBI/2017', '23/UU/1999', '6/UU/2009', '9/UU/2016' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/24/PBI/2016
TENTANG
PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG
PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU)
TAHUN EMISI 2016
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk menandai suatu era baru dalam
pengeluaran seluruh pecahan uang Rupiah kertas
sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia
sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2011 tentang Mata Uang maka perlu dikeluarkan uang
Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung;
b. bahwa pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam
bentuk bersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari
upaya Bank Indonesia untuk mengembangkan kegiatan
numismatika;
c. bahwa uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk
bersambung merupakan alat pembayaran yang sah di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Bersambung Pecahan
50.000 (Lima Puluh Ribu) Tahun Emisi 2016;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN
UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 50.000
(LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016.
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan
50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat
pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 2
Macam uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 merupakan uang Rupiah kertas khusus yang memiliki
ciri tertentu.
- 3 -
Pasal 3
(1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 berbentuk uang Rupiah kertas
bersambung yang meliputi:
a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar
(bilyet);
b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar
(bilyet); dan
c. 1 (satu) lembaran yang memuat 45 (empat puluh
lima) lembar (bilyet),
yang masing-masing lembaran merupakan satu
kesatuan.
(2) Bentuk lembaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah persegi panjang dengan ukuran sebagai berikut:
a. panjang 149 (seratus empat puluh sembilan)
milimeter dan lebar 130 (seratus tiga puluh)
milimeter untuk lembaran yang memuat 2 (dua)
lembar (bilyet);
b. panjang 298 (dua ratus sembilan puluh delapan)
milimeter dan lebar 130 (seratus tiga puluh)
milimeter untuk lembaran yang memuat 4 (empat)
lembar (bilyet); dan
c. panjang 745 (tujuh ratus empat puluh lima)
milimeter dan lebar 585 (lima ratus delapan puluh
lima) milimeter untuk lembaran yang memuat 45
(empat puluh lima) lembar (bilyet).
Pasal 4
(1) Harga setiap lembar (bilyet) uang Rupiah dalam lembaran
uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) merupakan nilai nominal pada
pecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu
sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).
(2) Dalam hal uang Rupiah kertas khusus digunakan
sebagai alat transaksi maka harga setiap lembar (bilyet)
sebesar nilai nominal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
- 4 -
Pasal 5
Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
terdapat pada bagian depan dan bagian belakang setiap
lembar (bilyet) dari uang Rupiah kertas bersambung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) meliputi:
a. ciri umum; dan
b. ciri khusus.
Pasal 6
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a, pada bagian depan terdapat:
a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”;
b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”;
c. sebutan pecahan dalam angka “50000” dan tulisan
“LIMA PULUH RIBU RUPIAH”;
d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta
tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri
Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan
“MENTERI KEUANGAN”;
e. tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”;
f. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional
Ir. H. Djuanda Kartawidjaja beserta tulisan
“Ir. H. DJUANDA KARTAWIDJAJA”;
g. gambar ornamen batik; dan
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan biru;
b.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f;
c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan
“BI” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu;
- 5 -
e. gambar tersembunyi (latent image) multiwarna
berupa angka “50” yang dapat dilihat dari sudut
pandang tertentu;
f. gambar perisai yang di dalamnya berisi logo Bank
Indonesia yang akan berubah warna apabila dilihat
dari sudut pandang berbeda (colour shifting);
g. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan
(tactile);
h. gambar raster berupa tulisan “NKRI” yang tertulis
utuh dan/atau sebagian;
i.
mikroteks yang memuat tulisan “BI50”, tulisan
“BI50000”, dan angka “50”, yang dapat dilihat
dengan bantuan kaca pembesar; dan
j.
hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau
beberapa warna apabila dilihat dengan sinar
ultraviolet berupa:
1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah
satunya berisi tulisan “BI”;
2. angka nominal “50000”;
3. ornamen batik; dan
4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 7
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a, pada bagian belakang terdapat:
a. angka nominal “50000”;
b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi
3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka;
c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI LIMA
PULUH RIBU RUPIAH”;
d. tulisan tahun cetak “TC 2016”;
e. gambar utama yaitu tari legong beserta tulisan “TARI
LEGONG”, pemandangan alam Taman Nasional
- 6 -
Komodo beserta tulisan “Taman Nasional Komodo”,
dan bunga jepun bali;
f. tulisan “BANK INDONESIA”;
g. gambar ornamen batik;
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan
i.
tulisan “PERURI”.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan biru;
b.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf c, dan huruf f;
c.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
gambar tari legong, tulisan “TARI LEGONG”, dan
tulisan “Taman Nasional Komodo”;
d. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
e. gambar tersembunyi (latent image) berupa angka
“50” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu;
f. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka
“50000”;
g. mikroteks yang memuat tulisan “BANKINDONESIA”,
tulisan “BI50000”, dan angka “50000”, yang dapat
dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan
h. hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau
beberapa warna apabila dilihat dengan sinar
ultraviolet berupa:
1. gambar bunga jepun bali;
2. gambar burung jalak bali;
3. bidang persegi empat yang berisi tulisan “BI”;
4. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan
5. nomor seri dengan bentuk asimetris yang
meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka.
- 7 -
Pasal 8
Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri
khusus sebagai berikut:
a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi:
1. terbuat dari serat kapas;
2. berwarna biru muda;
3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet;
4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar
Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan ornamen
tertentu; dan
5. terdapat benang pengaman berbentuk anyaman
yang memuat tulisan “BI 50000” secara berulang,
yang akan berubah warna apabila dilihat dari sudut
pandang berbeda (colour shifting); dan
b. ukuran yaitu panjang 149 (seratus empat puluh
sembilan) milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima)
milimeter.
Pasal 9
Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak:
a. 5.000 (lima ribu) lembaran yang masing-masing memuat
2 (dua) lembar (bilyet);
b. 5.000 (lima ribu) lembaran yang masing-masing memuat
4 (empat) lembar (bilyet); dan
c. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat
45 (empat puluh lima) lembar (bilyet).
Pasal 10
Harga jual lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh Bank Indonesia.
- 8 -
Pasal 11
Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dilengkapi dengan sertifikat keaslian
dari Bank Indonesia.
Pasal 12
(1) Pengedaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dengan cara menjual
secara langsung atau secara lelang kepada masyarakat.
(2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Pasal 13
(1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dapat ditukarkan kepada Bank Indonesia
atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
(2) Penukaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan penggantian untuk masing-masing lembar
(bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnya yang bukan
uang Rupiah khusus.
(3) Besarnya nilai penggantian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penukaran uang Rupiah.
Pasal 14
Uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016.
Pasal 15
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 9 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Oktober 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Oktober 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 207
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/24/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016 </reg_title>
<set_date> 25 Oktober 2016 </set_date>
<effective_date> 27 Oktober 2016 </effective_date>
<issued_date> 27 Oktober 2016 </issued_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011' </related_reg>
|
-1-
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 11/12/PBI/2009
TENTANG
UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa perkembangan alat pembayaran berupa uang
elektronik yang sebelumnya diatur sebagai kartu prabayar
tidak hanya diterbitkan dalam bentuk kartu namun juga
telah berkembang dalam bentuk lainnya;
b. bahwa seiring dengan perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi, alat pembayaran berupa uang elektronik
yang diterbitkan oleh bank maupun lembaga selain bank
saat ini semakin berkembang;
c. bahwa untuk meningkatkan kelancaran dan keamanan bagi
seluruh pihak dalam penyelenggaraan uang elektronik
diperlukan pengaturan yang lebih lengkap;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu mengatur
ketentuan mengenai uang elektronik (electronic money)
dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor …
-2-
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4191) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4324);
4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4756);
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4867);
M E M U T U S K A N: …
-3-
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG UANG
ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY).
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia dan Bank Umum Syariah
dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Lembaga Selain Bank adalah badan usaha bukan Bank yang berbadan
hukum dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia.
3. Uang Elektronik (Electronic Money) adalah alat pembayaran yang
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu oleh
pemegang kepada penerbit;
b. nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media seperti server
atau chip;
c. digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan
merupakan penerbit uang elektronik tersebut; dan
d. nilai …
-4-
d. nilai uang elektronik yang disetor oleh pemegang dan dikelola oleh
penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai perbankan.
4. Nilai Uang Elektronik adalah nilai uang yang disimpan secara elektronik
pada suatu media yang dapat dipindahkan untuk kepentingan transaksi
pembayaran dan/atau transfer dana.
5. Prinsipal adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang bertanggung jawab
atas pengelolaan sistem dan/atau jaringan antar anggotanya, baik yang
berperan sebagai penerbit dan/atau acquirer, dalam transaksi Uang
Elektronik yang kerjasama dengan anggotanya didasarkan atas suatu
perjanjian tertulis.
6. Penerbit adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang menerbitkan
Uang Elektronik.
7. Acquirer adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan kerja
sama dengan pedagang, yang dapat memproses data Uang Elektronik yang
diterbitkan oleh pihak lain.
8. Pemegang adalah pihak yang menggunakan Uang Elektronik.
9. Pedagang (merchant) adalah penjual barang dan/atau jasa yang menerima
transaksi pembayaran dari Pemegang.
10. Pengisian Ulang adalah penambahan Nilai Uang Elektronik pada Uang
Elektronik.
11. Dana Float adalah seluruh Nilai Uang Elektronik yang diterima Penerbit
atas hasil penerbitan Uang Elektronik dan/atau Pengisian Ulang yang masih
merupakan kewajiban Penerbit kepada Pemegang dan Pedagang.
12. Tarik Tunai adalah fasilitas penarikan tunai atas Nilai Uang Elektronik yang
dapat dilakukan setiap saat oleh Pemegang.
13. Penyelenggara …
-5-
13. Penyelenggara Kliring adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang
melakukan perhitungan hak dan kewajiban keuangan masing-masing
Penerbit dan/atau Acquirer dalam rangka transaksi Uang Elektronik.
14. Penyelenggara Penyelesaian Akhir adalah Bank atau Lembaga Selain Bank
yang melakukan dan bertanggungjawab terhadap penyelesaian akhir atas
hak dan kewajiban keuangan masing-masing Penerbit dan/atau Acquirer
dalam rangka transaksi Uang Elektronik berdasarkan hasil perhitungan dari
Penyelenggara Kliring.
BAB II
PRINSIPAL, PENERBIT, ACQUIRER, PENYELENGGARA KLIRING
DAN/ATAU PENYELENGGARA PENYELESAIAN AKHIR
Bagian Kesatu
Perizinan
Paragraf 1
Prinsipal
Pasal 2
(1) Kegiatan sebagai Prinsipal dapat dilakukan oleh Bank atau Lembaga Selain
Bank.
(2) Bank dan Lembaga Selain Bank yang akan bertindak sebagai Prinsipal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari Bank
Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk
memperoleh izin sebagai Prinsipal diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal …
-6-
Pasal 3
(1) Dalam melaksanakan kegiatannya, Prinsipal wajib:
a. menetapkan prosedur dan persyaratan yang obyektif dan transparan; dan
b. melakukan pengawasan terhadap keamanan dan keandalan sistem
dan/atau jaringan,
kepada seluruh Penerbit dan/atau Acquirer yang menjadi anggota Prinsipal
yang bersangkutan.
(2) Pengawasan terhadap keamanan dan keandalan sistem dan/atau jaringan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, harus dilakukan juga oleh
Prinsipal terhadap pihak lain yang bekerjasama dengan Penerbit dan/atau
Acquirer.
Pasal 4
(1) Prinsipal wajib menghentikan kerjasama dengan Penerbit dan/atau Acquirer
jika Bank Indonesia mengenakan sanksi pencabutan atas izin yang telah
diberikan kepada Penerbit dan/atau Acquirer sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Penghentian kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaksanakan oleh Prinsipal paling lambat pada hari kerja berikutnya sejak
tanggal diterimanya pemberitahuan tertulis dari Bank Indonesia mengenai
pencabutan atas izin yang telah diberikan kepada Penerbit dan/atau
Acquirer.
(3) Pelaksanaan penghentian kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
wajib diberitahukan secara tertulis oleh Prinsipal dan diterima oleh Bank
Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
pelaksanaan penghentian kerjasama.
Paragraf …
-7-
Paragraf 2
Penerbit
Pasal 5
(1) Kegiatan sebagai Penerbit dapat dilakukan oleh Bank atau Lembaga Selain
Bank.
(2) Bank yang akan bertindak sebagai Penerbit sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memperoleh izin sebagai Penerbit dari Bank Indonesia.
(3) Lembaga Selain Bank yang akan bertindak sebagai Penerbit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin sebagai Penerbit dari Bank
Indonesia jika:
a. Dana Float yang dikelola telah mencapai nilai tertentu; atau
b. Dana Float direncanakan akan mencapai nilai tertentu.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk
memperoleh izin sebagai Penerbit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3), termasuk ketentuan mengenai nilai Dana Float sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Paragraf 3
Acquirer
Pasal 6
(1) Kegiatan sebagai Acquirer dapat dilakukan oleh Bank atau Lembaga Selain
Bank.
(2) Bank dan Lembaga Selain Bank yang akan melakukan kegiatan sebagai
Acquirer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari
Bank Indonesia.
(3) Ketentuan …
-8-
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk
memperoleh izin sebagai Acquirer sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 7
(1) Acquirer wajib melakukan edukasi dan pembinaan terhadap Pedagang yang
bekerjasama dengan Acquirer.
(2) Acquirer wajib menghentikan kerjasama dengan Pedagang yang melakukan
tindakan yang merugikan.
(3) Acquirer dapat melakukan tukar-menukar informasi atau data dengan
Acquirer lainnya tentang Pedagang yang melakukan tindakan yang
merugikan dan dapat mengusulkan pencantuman nama Pedagang tersebut
dalam suatu daftar hitam Pedagang (merchant black list).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai klausul minimum yang harus dicantumkan
dalam perjanjian kerjasama antara Acquirer dan Pedagang diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Paragraf 4
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir
Pasal 8
(1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan melakukan kegiatan sebagai
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib
memperoleh izin dari Bank Indonesia.
(2) Dalam hal Bank atau Lembaga Selain Bank akan bertindak sebagai
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir, maka
kewajiban memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan untuk masing-masing kegiatan tersebut.
(3) Ketentuan …
-9-
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk
memperoleh izin sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Kegiatan Sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir
Pasal 9
(1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin dari Bank
Indonesia sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib melaksanakan
kegiatannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Bank atau Lembaga Selain Bank wajib menyampaikan pemberitahuan
secara tertulis kepada Bank Indonesia, apabila dalam jangka waktu yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank atau Lembaga Selain
Bank tersebut telah atau belum dapat melaksanakan kegiatannya.
(3) Penetapan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara
penyampaian pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Bentuk Badan Hukum dan Kerjasama
Pasal 10
Lembaga Selain Bank yang akan melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit,
Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir
yang …
-10-
yang beroperasi di wilayah Republik Indonesia harus berbadan hukum Indonesia
dalam bentuk perseroan terbatas.
Pasal 11
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia hanya dapat
bekerjasama dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang telah memperoleh izin dari
Bank Indonesia.
Pasal 12
(1) Dalam hal Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir bekerjasama dengan pihak lain, maka
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib:
a. melaporkan rencana dan realisasi kerjasama dengan pihak lain kepada
Bank Indonesia;
b. memiliki bukti mengenai keandalan dan keamanan sistem yang
digunakan oleh pihak lain dalam penyelenggaraan Uang Elektronik yang
antara lain dibuktikan dengan adanya:
1. hasil audit teknologi informasi dari auditor independen; dan
2. hasil sertifikasi yang dilakukan oleh Prinsipal, jika dipersyaratkan
oleh Prinsipal.
c. mensyaratkan kepada pihak lain dalam penyelenggaraan Uang
Elektronik untuk menjaga kerahasiaan data.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan rencana dan realisasi
kerjasama Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara …
-11-
Penyelenggara Penyelesaian Akhir dengan pihak lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB III
PENYELENGGARAAN KEGIATAN
Bagian Kesatu
Penerbitan dan Manajemen Risiko
Pasal 13
Penerbit dilarang menerbitkan Uang Elektronik dengan Nilai Uang Elektronik
yang lebih besar atau lebih kecil daripada nilai uang yang disetorkan oleh
Pemegang kepada Penerbit.
Pasal 14
(1) Bank Indonesia menetapkan batas paling banyak Nilai Uang Elektronik
yang disimpan pada media elektronik dan batas paling banyak total nilai
transaksi Uang Elektronik dalam periode tertentu.
(2) Penerbit wajib mematuhi batas paling banyak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas paling banyak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 15
Dalam hal media Uang Elektronik mempunyai masa berlaku (expiry date) maka
Penerbit dilarang untuk menghapus atau menghilangkan Nilai Uang Elektronik
ketika masa berlaku media Uang Elektronik tersebut berakhir.
Pasal …
-12-
Pasal 16
(1) Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin sebagai Penerbit dan
akan menyediakan fasilitas transfer dana melalui Uang Elektronik wajib
memperoleh izin sebagai penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang.
(2) Fasilitas Tarik Tunai hanya dapat diberikan oleh Penerbit yang
menyediakan fasilitas transfer dana melalui Uang Elektronik.
(3) Dalam hal Penerbit yang menyediakan fasilitas transfer dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) melakukan kerjasama dengan pihak lain untuk
penyediaan fasilitas Tarik Tunai, maka Penerbit hanya dapat bekerjasama
dengan pihak lain yang telah memperoleh izin sebagai penyelenggara
kegiatan usaha pengiriman uang.
(4) Dalam hal Penerbit menyediakan fasilitas transfer dana melalui Uang
Elektronik maka Penerbit wajib mencatat data identitas Pemegang.
(5) Penyediaan fasilitas transfer dana melalui Uang Elektronik oleh Penerbit
selain tunduk pada ketentuan ini wajib pula tunduk pada ketentuan terkait
lainnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas transfer dana dan Tarik Tunai
melalui Uang Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 17
(1) Penerbit wajib mencatat identitas Pedagang yang bekerjasama dengan
Penerbit dan mengadministrasikan seluruh dokumen yang terkait dengan
Pedagang.
(2) Penerbit wajib menerapkan manajemen risiko operasional dan risiko
keuangan.
(3) Dalam …
-13-
(3) Dalam rangka penerapan manajemen risiko keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Penerbit wajib:
a. menempatkan Dana Float dalam bentuk aset yang aman dan likuid;
b. menggunakan Dana Float sebagaimana dimaksud pada huruf a hanya
untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang dan Pedagang; dan
c. memenuhi kewajiban kepada Pemegang dan Pedagang secara tepat
waktu.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan manajemen risiko operasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penempatan Dana Float
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 18
(1) Penerbit wajib memberikan informasi secara tertulis kepada Pemegang
mengenai produk Uang Elektronik yang diterbitkannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian informasi secara tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 19
(1) Dalam hal Penerbit telah memperoleh izin dari Bank Indonesia dan akan
menerbitkan Uang Elektronik dengan jenis atau nama yang berbeda
dan/atau penambahan fasilitas baru, maka penerbitannya harus dilaporkan
secara tertulis oleh Penerbit kepada Bank Indonesia.
(2) Laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi
dengan informasi yang paling kurang meliputi:
a. rencana …
-14-
a. rencana bisnis; dan
b. penjelasan karakteristik tentang jenis atau nama yang berbeda dan/atau
penambahan fasilitas baru Uang Elektronik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian laporan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Bagian Kedua
Penggunaan Uang Rupiah
Pasal 20
(1) Uang Elektronik yang diterbitkan wajib menggunakan uang rupiah.
(2) Uang Elektronik yang digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia
wajib menggunakan uang rupiah.
BAB IV
PERALIHAN IZIN PENYELENGGARAAN KEGIATAN UANG
ELEKTRONIK
Pasal 21
(1) Peralihan izin penyelenggaraan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit,
Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir kepada pihak lain hanya dapat dilakukan oleh Bank atau Lembaga
Selain Bank dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemisahan.
(2) Peralihan izin penyelenggaraan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit,
Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu
memperoleh izin dari Bank Indonesia.
(3) Dalam …
-15-
(3) Dalam hal terjadi pengambilalihan, Bank atau Lembaga Selain Bank yang
telah memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan sebagai Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir wajib melaporkan secara tertulis kepada Bank
Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk
memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penyampaian
laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
BAB V
PENGAWASAN
Pasal 22
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Prinsipal, Penerbit,
Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir.
(2) Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia mengadakan pertemuan konsultasi (consultative meeting) dengan
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir.
(3) Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir wajib:
a. menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia secara tertulis dan/atau
on-line mengenai kegiatan Uang Elektronik;
b. memberikan …
-16-
b. memberikan keterangan dan/atau data yang terkait dengan
penyelenggaraan Uang Elektronik sesuai dengan permintaan Bank
Indonesia;
c. memberikan kesempatan kepada Bank Indonesia untuk melakukan
pemeriksaaan (on site visit) guna memperoleh informasi yang terkait
dengan penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik;
(4) Bank Indonesia dapat meminta kepada pihak lain yang bekerjasama dengan
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1), untuk menyampaikan laporan tertulis mengenai informasi tertentu.
(5) Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank
Indonesia dapat melakukan pembinaan dan/atau mengenakan sanksi
administratif.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian dan jenis laporan
yang disampaikan secara tertulis dan/atau on-line sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf a diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 23
Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Bank
Indonesia melaksanakan pemeriksaan (on site visit) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (3) huruf c.
BAB …
-17-
BAB VI
PENINGKATAN KEAMANAN TEKNOLOGI
Pasal 24
(1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib:
a. menggunakan sistem yang aman dan andal;
b. memelihara dan meningkatkan keamanan teknologi Uang Elektronik;
c. memiliki kebijakan dan prosedur tertulis (standard operating procedure)
penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik; dan
d. menjaga keamanan dan kerahasiaan data.
(2) Dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib melaksanakan audit teknologi
informasi secara berkala dan melaporkan hasil audit teknologi informasi
tersebut kepada Bank Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keamanan teknologi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan audit dan tata cara pelaporan hasil
audit teknologi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VII
LAIN-LAIN
Pasal 25
Penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik oleh Bank Umum Syariah atau Unit
Usaha Syariah tunduk kepada Peraturan Bank Indonesia ini dengan tetap
mengacu pada prinsip syariah yang berlaku.
Pasal …
-18-
Pasal 26
(1) Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dapat
menyelenggarakan kegiatan Uang Elektronik sepanjang tidak dilarang
dalam peraturan yang mengatur mengenai Bank Perkreditan Rakyat atau
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
(2) Dalam hal Bank Perkreditan Rakyat atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan kegiatan Uang Elektronik
maka seluruh ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku untuk
Bank Perkreditan Rakyat atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Pasal 27
(1) Prinsipal, Penerbit, dan/atau Acquirer harus menyediakan sistem yang dapat
dikoneksikan dengan sistem Uang Elektronik yang lain.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai keharusan penyediaan sistem yang dapat
dikoneksikan dengan sistem Uang Elektronik yang lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 28
(1) Dalam hal terdapat perubahan atas nama, alamat, dan/atau informasi pada
dokumen tertentu, Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir Uang Elektronik harus
melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan perubahan atas nama,
alamat dan/atau informasi pada dokumen tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal …
-19-
Pasal 29
Setiap laporan, keterangan dan/atau data yang disampaikan oleh Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir wajib disampaikan secara lengkap, benar dan akurat.
Pasal 30
(1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara
Penyelesaian Akhir dan pihak lain yang terkait dengan penyelenggaraan
Uang Elektronik dapat menyepakati pembentukan suatu forum atau institusi
yang bertujuan untuk mengatur sendiri hal-hal yang bersifat teknis dan
mikro, dengan melaporkan secara tertulis keberadaan forum atau institusi
tersebut kepada Bank Indonesia.
(2) Aturan-aturan yang dikeluarkan oleh forum atau institusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Bank
Indonesia dan tidak boleh bertentangan dengan aturan dan kebijakan Bank
Indonesia.
(3) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara
Penyelesaian Akhir dan pihak lain yang menjadi anggota dalam forum atau
institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengikuti dan tunduk
dengan aturan yang telah dikeluarkan dan menjadi kesepakatan forum atau
institusi tersebut.
Pasal 31
Bank Indonesia mencantumkan daftar nama Bank dan Lembaga Selain Bank
yang telah memperoleh izin dan telah efektif melakukan kegiatan sebagai
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir dalam website Bank Indonesia.
BAB …
-20-
BAB VIII
S A N K S I
Pasal 32
Bank atau Lembaga Selain Bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat
(2), Pasal 8 ayat (1), dan/atau Pasal 48, dikenakan sanksi administratif berupa:
a. penghentian kegiatan Uang Elektronik, bagi Bank; atau
b. penghentian kegiatan Uang Elektronik oleh instansi yang berwenang
berdasarkan permintaan Bank Indonesia, bagi Lembaga Selain Bank.
Pasal 33
(1) Prinsipal yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), dan/atau Pasal 4 ayat (3),
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Prinsipal tidak
memenuhi ketentuan Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2),
dan/atau Pasal 4 ayat (3), dikenakan teguran tertulis kedua.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Prinsipal
tidak memenuhi ketentuan Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat
(2), dan/atau Pasal 4 ayat (3), dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai
Prinsipal.
Pasal 34
(1) Penerbit yang melanggar ketentuan atau tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14 ayat (2), Pasal 15, Pasal 16
ayat …
-21-
ayat (1), Pasal 16 ayat (3), Pasal 16 ayat (4), Pasal 16 ayat (5), Pasal 17 ayat
(1), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 18 ayat (1), dan/atau Pasal 20
ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penerbit
melanggar ketentuan atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14 ayat (2), Pasal 15, Pasal 16 ayat (1),
Pasal 16 ayat (3), Pasal 16 ayat (4), Pasal 16 ayat (5), Pasal 17 ayat (1),
Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 18 ayat (1), dan/atau Pasal 20 ayat
(1), dikenakan teguran tertulis kedua.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Penerbit
melanggar ketentuan atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14 ayat (2), Pasal 15, Pasal 16 ayat (1),
Pasal 16 ayat (3), Pasal 16 ayat (4), Pasal 16 ayat (5), Pasal 17 ayat (1),
Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 18 ayat (1), dan/atau Pasal 20 ayat
(1), dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Penerbit.
Pasal 35
(1) Acquirer yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) dan/atau Pasal 7 ayat (2) dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Acquirer tidak
memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan/atau Pasal 7 ayat (2), dikenakan
teguran tertulis kedua.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Acquirer
tidak …
-22-
tidak memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan/atau Pasal 7 ayat (2),
dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Acquirer.
Pasal 36
(1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau Pasal 9 ayat (2),
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank atau
Lembaga Selain Bank tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 9 ayat (1)
dan/atau Pasal 9 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis kedua.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank atau
Lembaga Selain Bank tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 9 ayat (1)
dan/atau Pasal 9 ayat (2), dikenakan sanksi pembatalan izin sebagai
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir.
Pasal 37
(1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang melanggar Pasal 11, dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis dan perintah untuk
menghentikan kerjasamanya dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir lain.
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prinsipal,
Penerbit …
-23-
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir tidak menghentikan kerjasamanya dengan Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir, dikenakan teguran tertulis kedua.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir tidak menghentikan kerjasamanya dengan Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir lain, dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir.
Pasal 38
(1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir yang melanggar Pasal 12 ayat (1), dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis dan perintah untuk menghentikan
kerjasamanya dengan pihak lain.
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat
teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prinsipal, Penerbit,
Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir
tidak menghentikan kerjasamanya dengan pihak lain, dikenakan teguran
tertulis kedua.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat
teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir tidak menghentikan kerjasamanya dengan pihak lain,
dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir.
Pasal …
-24-
Pasal 39
Pelanggaran atas ketentuan Pasal 20 ayat (2), dikenakan sanksi berdasarkan Pasal
65 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009.
Pasal 40
(1) Bank atau Lembaga Selain Bank yang melanggar ketentuan atau tidak
memenuhi kewajiban Pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), dan/atau Pasal 21
ayat (3), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank atau
Lembaga Selain Bank melanggar ketentuan atau tidak memenuhi kewajiban
Pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), dan/atau Pasal 21 ayat (3), dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank atau
Lembaga Selain Bank melanggar ketentuan atau tidak memenuhi kewajiban
Pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), dan/atau Pasal 21 ayat (3), dikenakan
sanksi pencabutan izin atas kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir.
Pasal 41
(1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban
menyampaikan laporan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(3) huruf a setelah berakhirnya batas waktu penyampaian laporan,
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Apabila …
-25-
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir melanggar Pasal 22 ayat (3) huruf a, dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis kedua.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir melanggar Pasal 22 ayat (3) huruf a, dikenakan sanksi
pencabutan izin atas kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir.
(4) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban
menyampaikan laporan secara on-line sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 ayat (3) huruf a, dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Laporan Kantor Pusat Bank
Umum dan Peraturan Bank Indonesia tentang Laporan Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu oleh Bank
Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank.
Pasal 42
(1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) huruf b, Pasal 24 ayat (1),
dan/atau Pasal 24 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
(2) Apabila …
-26-
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (3) huruf b, Pasal 24 ayat (1), dan/atau Pasal 24 ayat
(2), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (3) huruf b, Pasal 24 ayat (1), dan/atau Pasal 24 ayat
(2), dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir.
Pasal 43
(1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) huruf c, dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(2) Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (3) huruf c, dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir.
Pasal 44
(1) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban
menyampaikan …
-27-
menyampaikan laporan on-line secara lengkap, benar dan akurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, dikenakan sanksi administratif
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan
kantor pusat Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia mengenai laporan
penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu oleh
Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank.
(2) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang tidak memenuhi kewajiban
menyampaikan laporan tertulis secara lengkap, benar dan akurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
Pasal 45
Bank atau Lembaga Selain Bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49, dikenakan sanksi teguran tertulis.
Pasal 46
(1) Lembaga Selain Bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50, dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
(2) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Selain
Bank tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50,
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
surat teguran tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga
Selain Bank tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50, dikenakan sanksi pencabutan izin atas kegiatan sebagai Prinsipal,
Penerbit …
-28-
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir.
BAB IX
PENGHENTIAN SEMENTARA, PEMBATALAN DAN PENCABUTAN IZIN
Pasal 47
Selain dalam rangka penerapan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32,
Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40, Pasal 41,
Pasal 42, Pasal 43, dan/atau Pasal 46, Bank Indonesia dapat menghentikan
sementara, membatalkan atau mencabut izin yang telah diberikan kepada Bank
atau Lembaga Selain Bank sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir, antara lain dalam hal:
a. terdapat putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang
memerintahkan Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan kegiatan
sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir untuk menghentikan kegiatannya;
b. terdapat rekomendasi dari otoritas pengawas yang berwenang antara lain
mengenai memburuknya kondisi keuangan dan/atau lemahnya manajemen
risiko Bank atau Lembaga Selain Bank;
c. terdapat permintaan tertulis atau rekomendasi dari otoritas pengawas yang
berwenang kepada Bank Indonesia untuk menghentikan sementara kegiatan
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir;
d. otoritas pengawas yang berwenang telah mencabut izin usaha dan/atau
menghentikan kegiatan usaha Bank atau Lembaga Selain Bank yang
melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir; atau
e. adanya permohonan pembatalan yang diajukan sendiri oleh Bank atau
Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia.
BAB …
-29-
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 48
Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah melakukan kegiatan sebagai
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir sebelum diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini dan
belum memperoleh izin atau penegasan dari Bank Indonesia, wajib memperoleh
izin dari Bank Indonesia sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Pasal 49
Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah melakukan kegiatan sebagai
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir sebelum diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini dan
telah memperoleh izin atau penegasan dari Bank Indonesia, wajib melaporkan
kegiatannya kepada Bank Indonesia dan melengkapi persyaratan sebagai
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 50
Lembaga Selain Bank yang telah melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit,
Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir di
wilayah Republik Indonesia sebelum diberlakukannya ketentuan ini dan belum
berbadan hukum Indonesia yang berbentuk perseroan terbatas maka wajib telah
berbadan hukum Indonesia yang berbentuk perseroan terbatas dalam jangka
waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 51
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar …
-30-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 April 2009.
GUBERNUR BANK INDONESIA
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 13 April 2009.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 65
DASP
-1-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 11/ 12 /PBI/2009
TENTANG
UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY)
I. UMUM
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini telah
mendorong perkembangan Uang Elektronik yang sebelumnya diatur sebagai
kartu prabayar berkembang tidak hanya dalam bentuk kartu namun juga
dalam bentuk lainnya. Di sisi lain, perkembangan Uang Elektronik dapat
digunakan sebagai alternatif alat pembayaran non tunai yang dapat
menjangkau masyarakat yang selama ini belum mempunyai akses kepada
sistem perbankan.
Berdasarkan media penyimpanannya, saat ini Uang Elektronik
dibedakan atas dua jenis:
1. Uang Elektronik yang Nilai Uang Elektroniknya selain dicatat pada
media elektronik yang dikelola oleh Penerbit juga dicatat pada media
elektronik yang dikelola oleh Pemegang. Media elektronik yang
dikelola oleh Pemegang dapat berupa chip yang tersimpan pada kartu,
stiker, atau harddisk yang terdapat pada personal computer milik
Pemegang. Dengan sistem pencatatan seperti ini, maka transaksi
pembayaran dengan menggunakan Uang Elektronik dapat dilakukan
secara off-line dengan mengurangi secara langsung Nilai Uang
Elektronik …
-2-
Elektronik pada media elektronik yang dikelola oleh Pemegang.
Sementara rekonsiliasi Nilai Uang Elektronik pada media elektronik
yang dikelola oleh Penerbit dilakukan kemudian pada saat terjadi
penagihan oleh Pedagang kepada Penerbit.
2. Uang Elektronik yang Nilai Uang Elektroniknya hanya dicatat pada
media elektronik yang dikelola oleh Penerbit. Dalam hal ini Pemegang
diberi hak akses oleh Penerbit terhadap penggunaan Nilai Uang
Elektronik tersebut. Dengan sistem pencatatan seperti ini, maka
transaksi pembayaran dengan menggunakan Uang Elektronik ini hanya
dapat dilakukan secara on-line dimana Nilai Uang Elektronik yang
tercatat pada media elektronik yang dikelola Penerbit akan berkurang
secara langsung.
Mengingat Uang Elektronik memiliki fungsi seperti uang, maka untuk
memberikan perlindungan kepada Pemegang, meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap instrumen pembayaran Uang Elektronik, dan
mendukung kelancaran tugas Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas
moneter, Bank Indonesia menetapkan persyaratan yang wajib dipenuhi oleh
Bank dan Lembaga Selain Bank dalam menyelenggarakan Uang Elektronik.
Selain itu untuk mendukung upaya pemerintah dalam mencegah terjadinya
tindak pidana pencucian uang dan pendanaan teroris, Bank Indonesia
menetapkan batasan-batasan tertentu dalam Uang Elektronik, antara lain
nilai nominal yang dapat disimpan dalam Uang Elektronik dan penerapan
prinsip mengenal nasabah (know your customer principles).
Penerbitan Uang Elektronik wajib menggunakan satuan uang rupiah.
Disamping itu, setiap penggunaan Uang Elektronik di wilayah Republik
Indonesia wajib menggunakan uang rupiah. Kewajiban penggunaan uang
rupiah ini merupakan amanat dari Undang-Undang tentang Bank Indonesia.
Selain …
-3-
Selain itu, kewajiban penggunaan satuan uang rupiah didasarkan pada
pertimbangan bahwa Nilai Uang Elektronik harus dapat dikonversi secara
penuh (fully convertible) sehingga nilai satu rupiah pada Nilai Uang
Elektronik harus sama dengan satu rupiah pada uang tunai.
Nilai Uang Elektronik yang disetorkan terlebih dahulu oleh Pemegang
kepada Penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Perbankan dan Undang-Undang tentang Perbankan
Syariah. Konsekuensi dari pengkategorian Nilai Uang Elektronik bukan
sebagai simpanan harus diketahui dari awal oleh Pemegang sehingga
membawa kewajiban Penerbit untuk memberitahukan kepada Pemegang.
Disamping itu, karena tidak termasuk simpanan maka Uang Elektronik yang
dimiliki oleh Pemegang tidak termasuk yang dijamin oleh Lembaga
Penjamin Simpanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang
Lembaga Penjamin Simpanan.
Untuk mendukung upaya Bank Indonesia dalam meningkatkan
efisiensi nasional, Prinsipal dan/atau Penerbit diharapkan dari awal tahap
pengembangan sudah mempersiapkan sistemnya agar dapat terkoneksi
dengan sistem Prinsipal dan/atau Penerbit lain.
Selain hal-hal tersebut di atas, untuk mendukung keamanan dan
kelancaran penyelenggaran Uang Elektronik, Bank Indonesia juga mengatur
kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh seluruh penyelenggara Uang
Elektronik seperti kewajiban penerapan manajemen risiko, pelaporan, dan
keamanan sistem dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Dalam beberapa hal dimungkinkan agar pengaturan-pengaturan yang
sifatnya teknis dan mikro dapat diatur dan disepakati sendiri oleh industri
untuk memberikan kesempatan agar industri dapat mengatur sendiri guna
melengkapi aturan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia (Self-
Regulation Organization/SRO). Namun pengaturan yang dikeluarkan oleh
SRO tersebut tidak boleh bertentangan dengan aturan yang bersifat makro
dan kebijakan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
II. PASAL …
-4-
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Pada prinsipnya baik Bank maupun Lembaga Selain Bank
mempunyai kesempatan yang sama untuk bertindak sebagai
Prinsipal, seperti mempunyai tanggung jawab yang sama
dalam pemenuhan keandalan sistem dan penetapan prosedur
serta persyaratan yang fair atau obyektif jika jaringannya
digunakan oleh Penerbit lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “obyektif” adalah sesuai dengan
persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh Prinsipal dan
menerapkan perlakuan yang setara (equal treatment) kepada
seluruh Penerbit dan/atau Acquirer.
Yang dimaksud dengan “transparan” adalah harus tersedia
informasi yang memadai kepada Penerbit dan/atau Acquirer
terhadap …
-5-
terhadap proses penyusunan, pelaksanaan prosedur dan
persyaratan yang ditetapkan oleh Prinsipal.
Pengawasan yang dilakukan Prinsipal terhadap keamanan dan
keandalan jaringan yang digunakan oleh Penerbit dan/atau
Acquirer dilakukan secara efektif baik melalui pemantauan
secara on-line atau dengan pemeriksaan di lokasi Penerbit
dan/atau Acquirer. Pelaksanaan pemeriksaan tersebut dapat
dilakukan secara rutin atau insidental tanpa harus menunggu
adanya suatu kejadian atau jika Penerbit dan/atau Acquirer
akan melakukan kerjasama dengan pihak lain.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pihak lain yang bekerjasama dengan
Penerbit dan/atau Acquirer” pada ayat ini adalah pihak selain
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir, seperti perusahaan
personalisasi dan/atau perusahaan yang menyediakan sarana
pemrosesan transaksi Uang Elektronik.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemberitahuan tertulis kepada Bank Indonesia paling
lambat …
-6-
lambat 10 (sepuluh) hari kerja dapat dibuktikan dengan
stempel tanggal dari perusahaan jasa pengiriman dokumen
atau stempel tanggal terima dari Bank Indonesia.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Dana Float yang
direncanakan akan mencapai nilai tertentu” adalah
apabila Lembaga Selain Bank merencanakan akan
mengelola atau meningkatkan nilai Dana Float hingga
mencapai nilai tertentu walaupun pada saat
mengajukan permohonan nilai Dana Float belum
mencapai nilai tertentu tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal …
-7-
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Termasuk dalam pengertian ”tindakan yang merugikan”
adalah tindakan Pedagang yang merugikan Prinsipal, Penerbit,
Acquirer dan/atau Pemegang, antara lain Pedagang diketahui
telah melakukan kerjasama dengan pelaku kejahatan
(fraudster).
Ayat (3)
Kegiatan tukar-menukar informasi antar Acquirer tentang
nama dan data Pedagang dapat ditindaklanjuti dengan
mengusulkan nama Pedagang dalam suatu daftar hitam
Pedagang (merchant black list). Daftar hitam Pedagang
dikelola oleh Acquirer atau asosiasi Acquirer.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat …
-8-
Ayat (2)
Bank atau Lembaga Selain Bank dinyatakan telah dapat
melaksanakan kegiatannya sebagai Prinsipal, Penerbit,
Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir jika jaringan atau sistemnya telah dapat
dioperasikan dan produknya telah dapat digunakan oleh
masyarakat luas sebagai Uang Elektronik.
Pemberitahuan tertulis mengenai belum dapat
dilaksanakannya kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit,
Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir harus disertai dengan bukti-bukti
pendukung yang memperkuat penjelasan mengenai alasan dan
kendala-kendala yang menyebabkan belum dapat
dilaksanakannya kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit,
Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang bekerjasama dalam pasal ini
adalah Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang beroperasi di Indonesia.
Pasal …
-9-
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak lain” pada ayat ini adalah
pihak selain Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir, seperti
perusahaan yang menyediakan sarana pemrosesan transaksi
Uang Elektronik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Larangan bagi Penerbit untuk menerbitkan Uang Elektronik dengan
Nilai Uang Elektronik yang lebih besar daripada nilai uang yang
disetorkan oleh Pemegang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
penerbitan Uang Elektronik dengan pemberian potongan harga Uang
Elektronik yang berpotensi terhadap penciptaan uang yang tidak
terkendali. Sebagai contoh bentuk potongan harga Uang Elektronik:
suatu Uang Elektronik dengan Nilai Uang Elektronik sebesar Rp
100.000,00 dijual oleh Penerbit melalui penyetoran uang/dana dari
Pemegang kepada Penerbit sebesar Rp 90.000,00.
Disamping itu, larangan penerbitan Uang Elektronik dengan Nilai
Uang Elektronik yang lebih kecil daripada nilai uang yang disetorkan
oleh Pemegang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan
Pemegang. Contoh: Nilai Uang Elektronik sebesar Rp 100.000,00
dijual oleh Penerbit melalui penyetoran uang/dana dari Pemegang
kepada Penerbit sebesar Rp 110.000,00.
Pasal …
-10-
Pasal 14
Ayat (1)
Pembatasan Nilai Uang Elektronik dan total nilai transaksi
dimaksudkan karena Uang Elektronik pada prinsipnya
digunakan untuk pembayaran yang bersifat ritel dan untuk
mencegah penyalahgunaan Uang Elektronik seperti untuk
tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 15
Karena masalah teknis, media penyimpan Uang Elektronik
mempunyai keterbatasan usia teknis yang harus diperbaharui dengan
penggantian media penyimpan Uang Elektronik tersebut. Mengingat
dalam penggantian media penyimpan tersebut terdapat kemungkinan
masih tersimpan Nilai Uang Elektronik dari Pemegang maka
penggantiannya tidak boleh menghapus atau menghilangkan Nilai
Uang Elektronik yang masih tersisa dan merupakan kewajiban
Penerbit atau masih merupakan milik Pemegang.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan transfer dana dalam ketentuan ini
adalah transfer Nilai Uang Elektronik antar Pemegang dan
tidak …
-11-
tidak termasuk pembayaran dari Pemegang kepada Pedagang.
Penerbit dari Bank yang akan menyediakan fasilitas transfer
dana melalui Uang Elektronik tidak memerlukan izin dari
Bank Indonesia sebagai penyelenggara kegiatan usaha
pengiriman uang mengingat kegiatan pengiriman uang telah
merupakan kegiatan usaha Bank sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang mengenai perbankan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pihak lain pada ayat ini seperti
Pedagang, agen Penerbit atau pihak sebagai koresponden di
dalam penyelenggaraan kegiatan pengiriman uang.
Ayat (4)
Pencatatan data identitas Pemegang dimaksudkan untuk
memenuhi prinsip mengenal nasabah (know your customer
principles) dan memudahkan dalam pelaksanaan kegiatan
pengiriman uang. Data identitas yang wajib dicatat sekurang-
kurangnya nama, alamat, tanggal lahir dan data lainnya
sebagaimana yang tercantum pada bukti identitas Pemegang
(fully registered).
Ayat (5)
Ketentuan terkait lainnya antara lain ketentuan yang mengatur
mengenai kegiatan usaha pengiriman uang dan/atau transfer
dana, prinsip mengenal nasabah (know your customer
principles) dan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan
terorisme.
Ayat …
-12-
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Kewajiban mencatat identitas Pedagang dimaksudkan agar
Penerbit mempunyai data untuk kepentingan pembayaran
maupun pemenuhan klaim kepada Pedagang setelah
dilakukannya transaksi antara Pedagang dan Pemegang.
Pencatatan identitas Pedagang sekurang-kurangnya meliputi
informasi mengenai nama, alamat, bentuk badan usaha, dan
bidang usaha dari Pedagang serta informasi nomor rekening
Pedagang untuk menampung kepentingan pembayaran.
Kepentingan pencatatan identitas Pedagang tersebut terkait
pula dengan kegiatan Penerbit dan penggunaan sistem
Penerbit jika Penerbit melakukan kerjasama dengan Pedagang
seperti untuk kegiatan Pengisian Ulang Uang Elektronik,
kegiatan Tarik Tunai dalam rangka mengakhiri penggunaan
Uang Elektronik (redeem), dan kegiatan Tarik Tunai dalam
rangka transfer dana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf …
-13-
Huruf b
Kewajiban kepada Pemegang antara lain berupa
pengembalian seluruh Nilai Uang Elektronik yang
tersisa pada Uang Elektronik pada saat Pemegang
mengakhiri penggunaan Uang Elektronik (redeem),
penarikan tunai dan kewajiban kepada Pedagang atas
transaksi pembayaran dari Pemegang kepada
Pedagang.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Kewajiban memberikan informasi secara tertulis pada ayat ini
dimaksudkan agar Penerbit menerapkan prinsip transparansi
produk dan melakukan edukasi kepada Pemegang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud Uang Elektronik dengan jenis atau nama yang
berbeda dalam ketentuan ini antara lain penerbitan Uang
Elektronik …
-14-
Elektronik dengan menggunakan media yang berbeda dengan
yang diterbitkan sebelumnya termasuk jika terdapat
perubahan nama produk.
Ayat (2)
Penjelasan karakteristik produk baru Uang Elektronik antara
lain meliputi alur transaksi, upaya peningkatan keamanan
sistem, dan perbedaan produk baru dengan produk
sebelumnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud menggunakan uang rupiah adalah satuan uang
rupiah sebagaimana yang telah digunakan dalam transaksi
pembayaran dengan alat pembayaran non tunai.
Ayat (2)
Penggunaan satuan uang rupiah dalam Nilai Uang Elektronik
sejalan dengan amanat Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009. Selain itu kewajiban penggunaan satuan uang rupiah
didasarkan pada pertimbangan bahwa Nilai Uang Elektronik
harus dapat dikonversi secara penuh (fully convertible)
sehingga nilai satu rupiah pada Nilai Uang Elektronik harus
sama dengan satu rupiah pada uang tunai.
Penggunaan …
-15-
Penggunaan Uang Elektronik di wilayah Republik Indonesia
dengan uang rupiah antara lain dapat ditunjukkan dengan
adanya bukti transaksi dalam uang rupiah, seperti yang
tercantum dalam sales draft atau bukti transaksi lainnya.
Pasal 21
Ayat (1)
Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh
satu Bank atau Lembaga Selain Bank atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan Bank atau Lembaga Selain Bank
lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva
dari Bank atau Lembaga Selain Bank yang menggabungkan
diri beralih karena hukum kepada Bank atau Lembaga Selain
Bank yang menerima penggabungan dan selanjutnya status
badan hukum Bank atau Lembaga Selain Bank yang
menggabungkan diri berakhir karena hukum.
Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua
Bank atau Lembaga Selain Bank atau lebih untuk meleburkan
diri dengan cara mendirikan Bank atau Lembaga Selain Bank
baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari
Bank atau Lembaga Selain Bank yang meleburkan diri dan
status badan hukum Bank atau Lembaga Selain Bank yang
meleburkan diri berakhir karena hukum.
Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh
Bank atau Lembaga Selain Bank untuk memisahkan usaha
yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Bank atau
Lembaga Selain Bank beralih karena hukum kepada dua atau
lebih Bank atau Lembaga Selain Bank atau sebagian aktiva
dan …
-16-
dan pasiva Bank atau Lembaga Selain Bank beralih karena
hukum kepada satu atau lebih Bank atau Lembaga Selain
Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan
oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk
mengambilalih saham Bank atau Lembaga Selain Bank yang
mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank atau
Lembaga Selain Bank tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf …
-17-
Huruf c
Dalam memberikan kesempatan kepada Bank
Indonesia untuk memperoleh informasi termasuk
memberikan akses pada sistem teknologi informasi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 23
Yang dimaksud dengan ”pihak lain” dalam pasal ini adalah pihak-
pihak yang oleh Bank Indonesia dinilai memiliki kemampuan untuk
melaksanakan pengawasan, antara lain Akuntan Publik dan
Konsultan Teknologi Informasi. Pengawasan oleh pihak lain dapat
dilakukan sendiri atau bersama-sama dengan pengawas dari Bank
Indonesia.
Pasal 24
Ayat (1)
Keamanan teknologi Uang Elektronik meliputi keamanan
dalam proses penerbitan Uang Elektronik, pengelolaan data,
keamanan pada Uang Elektronik, dan keamanan pada seluruh
sistem …
-18-
sistem yang digunakan untuk memproses transaksi Uang
Elektronik.
Yang dimaksud dengan ”aman” adalah sistem elektronik yang
digunakan terlindungi secara fisik dan non fisik.
Yang dimaksud dengan ”andal” adalah sistem elektronik
memiliki kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan
penggunaannya.
Ayat (2)
Pelaksanaan audit untuk teknologi informasi dapat dilakukan
oleh auditor independen.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Keharusan penyediaan sistem yang dapat dikoneksikan
dengan sistem Uang Elektronik yang lain antara lain
dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dalam kegiatan
Uang Elektronik.
Ayat …
-19-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Perubahan informasi pada dokumen tertentu yang harus
dilaporkan antara lain meliputi susunan pengurus atau pemilik
dari badan usaha yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Pengaturan sendiri oleh forum atau institusi (Self-Regulation
Organization/SRO) dimaksudkan untuk melengkapi atas
aturan yang bersifat makro dan kebijakan yang dikeluarkan
oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Untuk mencegah agar aturan yang dikeluarkan tidak
bertentangan dengan aturan dan kebijakan Bank Indonesia,
maka materi aturan yang akan dikeluarkan oleh forum atau
institusi tersebut dikonsultasikan kepada Bank Indonesia.
Ayat …
-20-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 31
Pencantuman daftar nama Bank atau Lembaga Selain Bank dalam
website Bank Indonesia dimaksudkan agar masyarakat luas
mengetahui Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang telah memperoleh
izin dari Bank Indonesia dalam penyelenggaraan Uang Elektronik.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal …
-21-
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal …
-22-
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Rekomendasi dari otoritas pengawas yang berwenang dapat
berasal dari pengawas bank, pengawas sistem pembayaran,
atau pengawas dari Lembaga Selain Bank yang bersangkutan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal …
-23-
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
5001
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/12/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY) </reg_title>
<set_date> 13 April 2009 </set_date>
<effective_date> 13 April 2009 </effective_date>
<issued_date> 13 April 2009 </issued_date>
<related_reg> '25/UU/2003', '23/UU/1999', '40/UU/2007', '7/UU/1992', '21/UU/2008', '10/UU/1998', '6/UU/2009', '15/UU/2002' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/23/PBI/2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
3/10/PBI/2001 TENTANG PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH
(KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLES)
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka penerapan Peraturan Bank Indonesia
tentang Prinsip Mengenal Nasabah secara lebih efektif,
dipandang perlu dilakukan penyempurnaan terhadap
ketentuan yang berlaku;
b. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas perlu dilakukan
perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor
3/10/PBI/2001 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah (Know Your Customer Principles);
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3790);
2. Undang …
- 2 -
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your
Customer Principles) (Lembaran Negara Tahun 2001
Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4107);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 3/10/PBI/2001 TENTANG PENERAPAN PRINSIP
MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER
PRINCIPLES).
Pasal I
1. Judul Bab V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
“BAB V
PENERAPAN DAN PELAPORAN”
2. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 13 …
- 3 -
“Pasal 13
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah oleh Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dilakukan sebagai berikut :
a. Menyusun kebijakan dan prosedur Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
yang dituangkan dalam Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah dengan mengacu kepada Pedoman Standar Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank
Indonesia;
b. Menetapkan dan menyampaikan Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 2 (dua)
bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini;
c. Setiap perubahan terhadap Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkannya perubahan tersebut;
d. Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
sebagaimana dimaksud dalam huruf b, Bank wajib menerapkan kebijakan
mengenal Nasabah bagi Nasabah baru sejak ditetapkannya pedoman
tersebut oleh Bank;
e. Menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Nasabah yang sudah ada,
termasuk pengkinian database Nasabah, selambat-lambatnya 6 (enam)
bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini;
f. Melaksanakan …
- 4 -
f. Melaksanakan program pelatihan kepada karyawan Bank mengenai
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 huruf e, selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sejak diberlakukannya
Peraturan Bank Indonesia ini;
g. Menerapkan sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,
selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak diberlakukannya Peraturan
Bank Indonesia ini.”
3. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 18
(1) Keterlambatan penyampaian pedoman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 huruf b dan huruf c serta laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1) dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 7 tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 tahun 1998 berupa kewajiban membayar sebesar
Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan dan paling
banyak Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11,
Pasal 12, Pasal 13 huruf a, huruf d, huruf e, huruf f dan huruf g, dan Pasal
16 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
ayat (2) huruf b, huruf c, huruf e, huruf f, dan atau huruf g Undang-
undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998.”
4. Ketentuan …
- 5 -
4. Ketentuan Pasal 19 dihapus.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Desember 2001
GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd
SYAHRIL SABIRIN
- 6 -
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 151
DPNP
- 7 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/23/PBI/2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
3/10/PBI/2001 TENTANG PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH
(KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLES)
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c …
- 8 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Nasabah yang
sudah ada, termasuk meminta dan melengkapi dokumen-
dokumen Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal
5, dan Pasal 6.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup Jelas
Pasal II
Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 4160
DPNP
- 9 -
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 3/23/PBI/2001 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/10/PBI/2001 TENTANG PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLES) </reg_title>
<set_date> 13 Desember 2001 </set_date>
<effective_date> 13 Desember 2001 </effective_date>
<changed_reg> '3/10/PBI/2001' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '3/10/PBI/2001', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 3 Pasal 18' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 10/9/PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN IZIN USAHA BANK UMUM MENJADI IZIN USAHA BANK
PERKREDITAN RAKYAT DALAM RANGKA KONSOLIDASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka mencapai sistem perbankan yang sehat, kuat,
dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dan
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang
berkesinambungan diperlukan perbankan yang kuat;
b. bahwa dalam rangka menciptakan struktur perbankan yang ideal
dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam jangka
panjang, dipandang perlu untuk mempercepat proses konsolidasi
perbankan di bidang permodalan bank yang mengarahkan bahwa
kegiatan usaha (operasional) bank harus diimbangi atau
disesuaikan dengan kemampuan permodalan yang dimiliki
sehingga operasional bank dapat berjalan sesuai dengan besar
modal dan karakteristiknya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk mengatur ketentuan
mengenai perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam rangka konsolidasi dalam
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat…
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4357);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/15/PBI/2005 tanggal 1 Juli
2005 tentang Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4507)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 9/16/PBI/2007 tanggal 3 Desember 2007 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 145, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4786);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
IZIN USAHA BANK UMUM MENJADI IZIN USAHA BANK
PERKREDITAN RAKYAT DALAM RANGKA KONSOLIDASI.
BAB I …
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah, tidak termasuk kantor cabang
bank asing.
2. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR, adalah Bank
Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah.
3. Kantor Cabang Bank adalah kantor Bank yang secara langsung bertanggung
jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha
yang jelas dimana Kantor Cabang tersebut melakukan usahanya.
4. Direksi:
a. bagi Bank Umum berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank Umum berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962
tentang Perusahaan Daerah.
5.Komisaris …
- 4 -
5. Komisaris:
a. bagi Bank Umum berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank Umum berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962
tentang Perusahaan Daerah.
6. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum, orang perseorangan dan/atau
kelompok usaha yang:
a. memiliki saham perusahaan atau Bank Umum atau BPR sebesar 25% (dua
puluh lima perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan
mempunyai hak suara;
b. memiliki saham perusahaan atau Bank Umum atau BPR kurang dari 25% (dua
puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai
hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan
pengendalian perusahaan atau Bank, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
BAB II
PERUBAHAN IZIN USAHA BANK UMUM MENJADI IZIN USAHA BPR
Pasal 2
(1) Perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR hanya dapat
dilakukan dengan izin dari Gubernur Bank Indonesia.
(2) Perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara sukarela atau mandatory.
(3) Perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR secara sukarela
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan apabila terdapat permohonan
dari …
- 5 -
dari pemegang saham Bank Umum dengan modal inti di bawah
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) atau pemegang saham Bank
Umum yang masih wajib membatasi kegiatan usaha.
(4) Perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR secara mandatory
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan kepada:
a. Bank Umum yang pada tanggal 31 Desember 2010 tidak memenuhi modal
inti minimum Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);
b. Bank Umum yang pada tanggal 31 Desember 2010 masih wajib membatasi
kegiatan usaha dan tidak mengajukan permohonan perubahan izin usaha
menjadi BPR secara sukarela; atau
c. Bank Umum yang telah mengajukan permohonan perubahan izin usaha
menjadi BPR secara sukarela namun sampai dengan tanggal 31 Desember
2010 belum menyelesaikan penyesuaian kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).
BAB III
PERUBAHAN IZIN USAHA BANK UMUM MENJADI IZIN USAHA BPR
SECARA SUKARELA
Bagian Kesatu
Rencana dan Tahapan
Perubahan Izin Usaha Bank Umum Menjadi Izin Usaha BPR Secara Sukarela
Pasal 3
Rencana perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) harus dicantumkan dalam rencana bisnis Bank
Umum.
Pasal 4 …
- 6 -
Pasal 4
Pemberian persetujuan perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR
secara sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dilakukan dalam 2
(dua) tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan perubahan
kegiatan usaha; dan
b. persetujuan perubahan izin usaha, yaitu persetujuan untuk melakukan kegiatan
usaha sebagai BPR setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
selesai dilaksanakan.
Bagian Kedua
Persetujuan Prinsip
Pasal 5
Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf a, diajukan oleh Direksi Bank Umum kepada Gubernur Bank
Indonesia, dan harus disertai dengan:
a. notulen Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang memutuskan perubahan
izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR;
b. rencana penyelesaian dan/atau pengalihan hak dan kewajiban Bank Umum
terhadap nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah BPR, pengumuman
perubahan kegiatan usaha dari Bank Umum menjadi BPR, serta rencana
sosialisasi perubahan kepada nasabah;
c. laporan keuangan terakhir;
d. alasan perubahan izin usaha menjadi BPR dan rencana kerja setelah menjadi
BPR;
e. rancangan akta perubahan anggaran dasar;
f. Daftar …
- 7 -
f. daftar anggota Direksi dan dewan Komisaris, disertai dengan dokumen paling
kurang:
1. surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan tidak
mempunyai hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai BPR atau BPR Berdasarkan Prinsip Syariah (BPRS);
2. surat pernyataan dari anggota Direksi mengenai kesediaan untuk tidak
merangkap jabatan melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai BPR atau BPRS;
3. surat pernyataan dari anggota dewan Komisaris mengenai kesediaan untuk
tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai BPR atau BPRS;
4. surat pernyataan dari anggota dewan Komisaris mengenai kesediaan untuk
mempresentasikan hasil pengawasan terhadap BPR kepada Bank Indonesia.
g. Khusus bagi Bank Umum yang berubah menjadi BPRS wajib menambah surat
pernyataan dari calon anggota Dewan Pengawas Syariah bahwa yang
bersangkutan tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan rangkap jabatan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai BPRS;
h. Rencana struktur organisasi dan susunan personalia;
i. Rencana sistem dan prosedur kerja; dan
j. Daftar pemegang saham:
1. dalam hal perorangan harus dilampiri dengan dokumen paling kurang surat
penyataan dari Pemegang Saham Pengendali yang menyatakan kesediaannya
untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi BPR
dalam menjalankan usahanya.
2. dalam hal badan hukum harus dilampiri dengan dokumen paling kurang:
a) surat pernyataan dari pengurus badan hukum yang menyatakan kesediaan
untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi BPR
dalam …
- 8 -
dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam hal badan hukum tersebut
merupakan Pemegang Saham Pengendali BPR;
b) surat pernyataan dari Pemegang Saham Pengendali terakhir (ultimate
shareholder) yang menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan
permodalan dan likuiditas yang dihadapi BPR dalam menjalankan kegiatan
usahanya; dan
c) surat pernyataan dari pengurus badan hukum yang menyatakan bahwa
yang bersangkutan telah menyampaikan informasi secara benar dan
lengkap mengenai struktur kelompok usaha BPR sampai dengan pemilik
terakhir, dalam hal badan hukum tersebut merupakan Pemegang Saham
Pengendali BPR.
Pasal 6
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 diberikan paling lambat 45 (empat puluh lima) hari
kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara
lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon
Pemegang Saham Pengendali, Direksi, dan Komisaris, dalam hal terdapat
perubahan; dan
c. penilaian terhadap analisis atas potensi dan kelayakan perubahan izin usaha
Bank Umum menjadi izin usaha BPR, dalam hal terdapat perubahan lokasi
usaha Kantor Pusat atau perubahan prinsip usaha dari Bank Umum
Konvensional menjadi BPRS.
(3) Pihak-pihak …
- 9 -
(3) Pihak-pihak yang mengajukan permohonan persetujuan prinsip harus
melakukan presentasi kepada Bank Indonesia mengenai keseluruhan rencana
penyesuaian kegiatan usahanya menjadi BPR.
Pasal 7
(1) Bank Umum yang telah mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), harus menyesuaikan kegiatan usahanya
menjadi BPR.
(2) Penyesuaian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang
mencakup beberapa aspek sebagai berikut:
a. perangkat hukum;
b. jenis kegiatan usaha;
c. infrastruktur;
d. pelaporan dan pemenuhan ketentuan pengawasan;
e. jaringan kantor; dan
f. kesiapan operasional.
(3) Bank Umum yang telah mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilarang melakukan kegiatan usaha dengan
mengatasnamakan diri sebagai BPR sebelum mendapat persetujuan perubahan
izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b.
Pasal 8
Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) berlaku untuk
jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip.
Bagian Ketiga
Persetujuan Perubahan Izin Usaha
Pasal 9
(1) Pengajuan …
- 10 -
(1) Pengajuan permohonan perubahan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf b diajukan oleh Direksi Bank Umum kepada Gubernur Bank
Indonesia sebelum jangka waktu persetujuan prinsip berakhir.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank belum
mengajukan permohonan perubahan izin usaha kepada Bank Indonesia maka
persetujuan prinsip yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku.
(3) Permohonan perubahan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilampiri dengan:
a. laporan penyesuaian kegiatan usaha dari Bank Umum menjadi BPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2);
b. akta perubahan anggaran dasar badan hukum yang telah disahkan oleh
instansi yang berwenang;
c. daftar susunan anggota Direksi dan Dewan Komisaris, struktur organisasi
dan susunan personalia, serta sistem dan prosedur kerja, dalam hal terjadi
perubahan; dan
d. bukti kesiapan operasional yang paling kurang mencakup:
1. daftar aktiva tetap dan inventaris;
2. bukti penguasan gedung kantor berupa bukti kepemilikan atau perjanjian
sewa menyewa gedung kantor yang didukung oleh bukti kepemilikan
dari pihak yang menyewakan;
3. contoh formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional BPR.
Pasal 10
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan izin usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diberikan paling lambat 25 (dua puluh lima)
hari kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima
secara lengkap.
(2) Dalam …
- 11 -
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. pemeriksaan terhadap bank yang bersangkutan untuk memastikan ketaatan
terhadap ketentuan penyesuaian kegiatan usaha dari Bank Umum menjadi
BPR sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2).
Pasal 11
(1) Bank Umum yang telah mendapat persetujuan perubahan izin usaha wajib
melaksanakan kegiatan usaha BPR paling lambat 1 (satu) hari setelah tanggal
izin kegiatan usaha diberlakukan.
(2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaporkan oleh Direksi BPR kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh)
hari setelah tanggal dimulainya pelaksanaan kegiatan usaha BPR.
Pasal 12
Bank Umum yang telah mendapat persetujuan perubahan izin usaha menjadi BPR
harus mencantumkan bentuk badan hukum dan kata “Bank Perkreditan Rakyat” atau
disingkat “BPR” atau mencantumkan secara jelas kata “Syariah” sesudah kata BPR
atau disingkat “BPRS”, sesuai dengan anggaran dasar BPR pada penulisan namanya.
Pasal 13
Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 9
disampaikan melalui surat yang ditujukan kepada Gubernur Bank Indonesia c.q.
Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, Bank Indonesia dengan alamat Jl.
M.H. Thamrin No. 2, Jakarta. 10350.
BAB IV…
- 12 -
BAB IV
PERUBAHAN IZIN USAHA BANK UMUM MENJADI IZIN USAHA BPR
SECARA MANDATORY
Pasal 14
(1) Perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) ditetapkan dalam Surat Keputusan Gubernur
Bank Indonesia yang akan diberitahukan kepada Bank Umum.
(2) Bagi Bank Umum yang telah terdaftar di pasar modal, salinan surat keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Badan Pengawas
Pasar Modal.
(3) Bank Umum yang ditetapkan menjadi BPR sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib:
a. menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) guna
memutuskan pelaksanaan perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin
usaha BPR;
b. melaksanakan penyesuaian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2) ; dan
c. menghentikan transaksi produk dan jasa Bank Umum yang dilarang
dilakukan oleh BPR, kecuali dalam rangka penyelesaian.
Pasal 15
(1) Jangka waktu pelaksanaan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(3) huruf a wajib dilakukan paling lambat 2 (dua) bulan sejak tanggal Surat
Keputusan Gubernur Bank Indonesia mengenai perubahan izin usaha Bank
Umum menjadi izin usaha BPR.
(2) Jangka waktu pelaksanaan penyesuaian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (3) huruf b wajib dilakukan paling lambat 12 (dua belas)
bulan …
- 13 -
bulan sejak tanggal perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR
dari Gubernur Bank Indonesia.
(3) Jangka waktu penghentian transaksi produk dan jasa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (3) huruf c wajib dilakukan sejak tanggal Surat Keputusan
Gubernur Bank Indonesia mengenai perubahan izin usaha Bank Umum menjadi
izin usaha BPR.
BAB V
SANKSI
Pasal 16
Bank yang melampaui batas waktu pelaksanaan kegiatan usaha sebagai BPR
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1), dan Bank yang melampaui
batas waktu pelaksanaan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1),
Bank yang melampaui batas waktu pelaksanaan penyesuaian kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) serta Bank yang melanggar pasal 15
ayat (3) dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 berupa:
a. kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,- (lima juta rupiah) per hari sampai
dengan Bank memenuhi ketentuan ini; dan atau
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan izin usaha Bank Umum menjadi izin
usaha BPR dalam rangka konsolidasi diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 18 …
- 14 -
Pasal 18
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 22 Februari 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 22 Februari 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 35
DPNP/DPbS/DPBPR
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 10/9/PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN IZIN USAHA BANK UMUM MENJADI IZIN USAHA BANK
PERKREDITAN RAKYAT DALAM RANGKA KONSOLIDASI
UMUM
Dalam rangka mencapai sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna
menciptakan kestabilan sistem keuangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi
nasional yang berkesinambungan, Bank Indonesia telah melakukan upaya-upaya
percepatan konsolidasi perbankan dan memberikan insentif bagi bank-bank yang
melakukan Merger atau Konsolidasi.
Dalam rangka menciptakan struktur perbankan yang ideal dipandang perlu
untuk mempercepat proses konsolidasi perbankan di bidang permodalan bank
yang mengarahkan bahwa kegiatan usaha bank harus disesuaikan dengan
kemampuan permodalan yang dimiliki sehingga operasional bank dapat berjalan
sesuai dengan karateristiknya. Salah satu upaya yang ditempuh oleh Bank
Indonesia untuk mencapai hal tersebut adalah dengan mengharuskan Bank
Umum yang tidak dapat memenuhi modal inti sebesar Rp100.000.000.000,00
(seratus milyar rupiah) pada tanggal 31 Desember 2010 dan Bank yang terkena
kewajiban pembatasan kegiatan usaha untuk menjadi Bank Perkreditan Rakyat
(BPR). Disamping itu, bagi Bank Umum yang belum memenuhi ketentuan modal
inti dan Bank yang terkena kewajiban pembatasan kegiatan usaha juga diberikan
opsi untuk menjadi BPR secara sukarela yang diajukan sebelum tanggal 31
Desember 2010.
PASAL …
- 2 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Yang dimaksud dengan “rencana bisnis” adalah sebagaimana dimaksud
pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku yang mengatur mengenai
rencana bisnis Bank Umum.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Persiapan perubahan kegiatan usaha dikatakan telah selesai apabila
Bank telah melakukan penyesuaian kegiatan usaha menjadi BPR,
antara lain:
1. memiliki akta perubahan anggaran dasar badan hukum yang telah
disahkan oleh instansi yang berwenang;
2. menghentikan transaksi produk dan jasa Bank Umum yang dilarang
dilakukan oleh BPR, menyelesaikan kewajiban kepada
kreditur/nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah BPR,
menyediakan dana sebesar kewajiban bank yang belum
diselesaikan;
3. menyelesaikan perubahan sistem dan prosedur kerja, teknologi
informasi, struktur organisasi dan susunan personalia;
4. menyelesaikan persiapan pelaporan Sistem Informasi Debitur, LBU
dan laporan lain ke Bank Indonesia yang mengacu pada ketentuan
yang berlaku bagi BPR;
5. menyelesaikan …
- 3 -
5. menyelesaikan penutupan jaringan kantor yang berada di luar
provinsi Kantor Pusat bank sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku mengenai BPR;
6. menyelesaikan persiapan beberapa dokumen seperti daftar aktiva
tetap, bukti penguasaan kantor, contoh formulir/warkat yang akan
digunakan untuk operasional BPR.
Pasal 5
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Laporan keuangan bulan terakhir sebelum pengajuan permohonan
perubahan izin usaha dari Bank Umum menjadi BPR.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Rancangan akta perubahan anggaran dasar hanya memuat hal-hal yang
mengalami perubahan, misalnya:
1. nama yang menegaskan adanya perubahan dari Bank Umum
menjadi BPR dan tempat kedudukan, contoh PT Bank “A” menjadi
PT BPR “A”.
2. penegasan adanya perubahan kegiatan usaha dari kegiatan usaha
Bank Umum menjadi kegiatan usaha BPR bahwa Bank akan
mengubah kegiatan dan izin usahanya menjadi BPR.
Huruf f
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2 …
- 4 -
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Ketentuan ini dimaksudkan agar anggota Komisaris secara
sungguh-sungguh memenuhi fungsinya dalam mengawasi BPR.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Rencana struktur organisasi dan susunan personalia antara lain
meliputi bagan organisasi, garis tanggung jawab horizontal dan
vertikal, serta jabatan paling rendah sampai dengan tingkatan Pejabat
Eksekutif.
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Angka 1
Dalam hal tidak terdapat Pemegang Saham Pengendali maka
surat pernyataan ditandatangani oleh pemegang saham yang
mewakili pemegang saham lain sehingga jumlah kepemilikan
saham paling sedikit mencapai 51% (lima puluh perseratus).
Angka 2
Huruf a)
Dalam hal tidak terdapat badan hukum yang merupakan
Pemegang Saham Pengendali maka surat pernyataan
ditandatangani oleh para pengurus yang mewakili badan
hukum tersebut sehingga jumlah kepemilikan saham paling
sedikit …
- 5 -
sedikit mencapai 51% (lima puluh perseratus). Surat
pernyataan dari badan hukum Pemerintah Daerah dibuat
oleh Gubernur, Bupati, atau Walikota.
Huruf b)
Surat pernyataan dibuat oleh pihak-pihak yang menurut
penilaian Bank Indonesia mengendalikan secara langsung
maupun tidak langsung atas seluruh kelompok usaha.
Huruf c)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Penilaian terhadap analisis atas potensi dan kelayakan perubahan
izin usaha Bank Umum menjadi izin usaha BPR antara lain
tingkat persaingan yang sehat dan tingkat kejenuhan.
Yang dimaksud dengan perubahan lokasi usaha Kantor Pusat
adalah pemindahan alamat Kantor Pusat yang bersifat lintas
propinsi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup …
- 6 -
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Penyesuaian kegiatan usaha dalam aspek perangkat hukum
mencakup antara lain dengan memastikan akta perubahan
anggaran dasar badan hukum telah disahkan oleh instansi yang
berwenang.
Huruf b
Penyesuaian kegiatan usaha dalam aspek jenis kegiatan usaha
mencakup antara lain dengan transaksi produk dan jasa Bank
Umum yang dilarang dilakukan oleh BPR (seperti transaksi giro,
transaksi Pasar Uang Antar Bank (PUAB), valuta asing (valas),
promes, surat utang, dan lain-lain), menyelesaikan kewajiban
kepada kreditur/nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah
BPR serta menyediakan dana sebesar kewajiban bank yang belum
diselesaikan.
Huruf c
Penyesuaian kegiatan usaha dalam aspek infrastruktur mencakup
antara lain dengan mempersiapkan perubahan sistem dan
prosedur kerja, teknologi informasi, struktur organisasi dan
susunan personalia.
Huruf d
Penyesuaian kegiatan usaha dalam aspek pelaporan dan
pemenuhan ketentuan pengawasan mencakup antara lain dengan
mempersiapkan pelaporan Sistem Informasi Debitur, LBU dan
laporan lain ke Bank Indonesia yang mengacu pada ketentuan
yang berlaku bagi BPR seperti mempersiapkan konversi
penghitungan kolektibilitas, Penyisihan Penghapusan Aktiva
(PPA) …
- 7 -
(PPA), Non Performing Loan menjadi Kualitas Aktiva Produktif,
Tingkat Kesehatan, Giro Wajib Minimum menjadi cash ratio,
Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (Capital Adequacy
Ratio), dan sebagainya.
Huruf e
dengan melakukan penutupan jaringan kantor yang berada di luar
provinsi Kantor Pusat bank sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku mengenai BPR.
Huruf f
dengan mempersiapkan beberapa dokumen seperti diantaranya
daftar aktiva tetap, bukti penguasaan kantor, contoh
formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional BPR.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d …
- 8 -
Huruf d
Angka 1
Yang dimaksud dengan aktiva tetap dan inventaris adalah
aktiva berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai
atau dibangun lebih dahulu, yang digunakan dalam
kegiatan operasional dan tidak dimaksudkan untuk dijual.
Daftar aktiva tetap dan inventaris disertai dengan harga
perolehan.
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia tersebut,
status Bank Umum berubah dan oleh karena itu hanya dapat beroperasi
sebagai BPR dan dilarang melakukan kegiatan-kegiatan usaha sebagai
Bank Umum seperti transaksi kliring, devisa, operasional kantor
cabang di luar provinsi, kecuali sebatas penyelesaian atas transaksi
dimaksud.
Ayat (2) …
- 9 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
ditujukan antara lain untuk memutuskan perubahan izin usaha
Bank Umum menjadi izin usaha BPR.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Antara lain menghentikan transaksi giro, transaksi Pasar Uang
Antar Bank (PUAB), valuta asing (valas), promes, surat utang,
dan lain-lain.
Pasal 15
Ayat (1)
Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) ditujukan untuk
memutuskan pula perubahan anggaran dasar dan ditindaklanjuti
dengan pengajuan perubahan anggaran dasar kepada Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia untuk dimintakan pengesahan.
Ayat (2)
Kewajiban lain yang harus diselesaikan terkait dengan transaksi
terdahulu sebagai Bank Umum antara lain meliputi:
1. penyelesaian kewajiban giro, sertifikat deposito, kliring, devisa;
2. penyesuaian pelaporan & pemenuhan ketentuan;
3. penutupan jaringan kantor yang berada di luar provinsi tempat
kedudukan kantor pusat BPR;
4. penyampaikan neraca akhir Bank Umum posisi Desember 2010;
5. perubahan Neraca akhir Bank Umum menjadi neraca awal BPR.
Ayat (3) …
- 10 -
Ayat (3)
Terhitung sejak tanggal Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia
tersebut, status Bank Umum berubah dan oleh karena itu hanya dapat
beroperasi sebagai BPR dan dilarang melakukan kegiatan-kegiatan
usaha sebagai Bank Umum, kecuali sebatas penyelesaian atas transaksi
dimaksud.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4823
DPNP/DPbS/DPBPR
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/9/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN IZIN USAHA BANK UMUM MENJADI IZIN USAHA BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM RANGKA KONSOLIDASI </reg_title>
<set_date> 22 Februari 2008 </set_date>
<effective_date> 22 Februari 2008 </effective_date>
<issued_date> 22 Februari 2008 </issued_date>
<related_reg> '7/15/PBI/2005', '23/UU/1999', '9/16/PBI/2007', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/18/PBI/2006
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM
BANK PERKREDITAN RAKYAT
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan Bank Perkreditan Rakyat
yang sehat, kuat, produktif dan berdaya saing, diperlukan
penguatan terhadap permodalan.
b. bahwa penguatan permodalan Bank
Perkreditan Rakyat
dilakukan antara lain melalui penyesuaian terhadap
komponen modal dan bobot risiko, sesuai dengan praktik dan
perkembangan kegiatan perbankan
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diperlukan
penyesuaian terhadap ketentuan tentang
Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Perkreditan Rakyat dalam
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: …
-2-
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN
PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK PERKREDITAN
RAKYAT.
Pasal 1 …
-3-
Pasal 1
Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR dalam Peraturan Bank
Indonesia ini adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional.
Pasal 2
BPR wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% (delapan perseratus) dari
aktiva tertimbang menurut risiko.
Pasal 3
(1) Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri dari:
a. modal inti; dan
b. modal pelengkap.
(2) Modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diperhitungkan setinggi-tingginya sebesar 100% (seratus perseratus) dari
modal inti.
Pasal 4
(1) Modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a terdiri
dari:
a. modal disetor;
b. agio …
-4-
b. agio;
c. dana setoran modal;
d. modal sumbangan;
e. cadangan umum;
f. cadangan tujuan;
g. laba ditahan setelah diperhitungkan pajak;
h. laba tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan pajak; dan
i. laba tahun berjalan, diperhitungkan sebesar 50% (lima puluh perseratus)
setelah taksiran pajak.
(2) Modal inti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperhitungkan dengan
faktor pengurang berupa pos:
a. goodwill;
b. disagio;
c. rugi tahun-tahun lalu; dan
d. rugi tahun berjalan;
(3) Dalam perhitungan laba atau rugi untuk pos-pos sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan (2) harus dikeluarkan pengaruh perhitungan pajak
tangguhan (deferred tax).
Pasal 5 ...
-5-
Pasal 5
Modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b terdiri
dari:
a. cadangan revaluasi aktiva tetap;
b. PPAP umum, setinggi-tingginya sebesar 1,25% (seratus dua puluh lima per
sepuluh ribu) dari aktiva tertimbang menurut risiko;
c. modal pinjaman (hybrid/quasi capital), dengan persyaratan:
1) tidak dijamin oleh BPR yang bersangkutan, dipersamakan dengan modal
dan telah dibayar penuh;
2) tidak dapat dilunasi atau ditarik atas inisiatif pemilik, tanpa persetujuan
Bank Indonesia;
3) mempunyai kedudukan yang sama dengan modal dalam hal jumlah
kerugian BPR melebihi laba yang ditahan dan cadangan-cadangan yang
termasuk modal inti, meskipun BPR belum dilikuidasi; dan
4) pembayaran bunga dapat ditangguhkan apabila BPR dalam keadaan rugi
atau labanya tidak mendukung untuk membayar bunga tersebut.
d. pinjaman subordinasi, setinggi-tingginya sebesar 50% (lima puluh perseratus)
dari modal inti, dengan persyaratan:
1) terdapat perjanjian tertulis antara BPR dengan pemberi pinjaman;
2) mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. Dalam
hubungan ini pada saat BPR mengajukan permohonan persetujuan, BPR
harus ...
-6-
harus menyampaikan program pembayaran kembali pinjaman subordinasi
tersebut;
3) tidak dijamin oleh BPR yang bersangkutan dan telah dibayar penuh;
4) paling singkat berjangka waktu 5 (lima) tahun;
5) pelunasan sebelum jatuh tempo harus mendapat persetujuan dari Bank
Indonesia dan dengan pelunasan tersebut permodalan BPR tetap sehat;
dan
6) hak tagihnya dalam hal terjadi likuidasi berlaku paling akhir dari segala
pinjaman yang ada (kedudukannya sama dengan modal).
Pasal 6
(1) BPR dapat melakukan tambahan setoran modal dalam bentuk aktiva tetap
berdasarkan persetujuan Bank Indonesia.
(2) Permohonan persetujuan setoran modal dalam
bentuk
aktiva tetap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia
dengan dilampiri dokumen sebagai berikut:
a. hasil penilaian aktiva tetap oleh lembaga penilai independen;
b. persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota; dan
c. bukti pengumuman paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian.
(3) Hasil penilaian oleh lembaga penilai independen sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a paling sedikit disertai rincian yang memuat nilai atau
harga, jenis atau macam, status dan tempat kedudukan.
(4) Jumlah…
-7-
(4) Jumlah aktiva tetap setelah tambahan setoran modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dan ditambah dengan inventaris, tunduk kepada ketentuan
yang berlaku mengenai BPR.
Pasal 7
BPR dilarang melakukan distribusi laba jika distribusi dimaksud mengakibatkan
kondisi permodalan BPR tidak mencapai rasio sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2.
Pasal 8
Aktiva tertimbang menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri
dari aktiva neraca BPR yang diberikan bobot sesuai dengan kadar risiko yang
melekat pada setiap pos aktiva.
Pasal 9
(1) BPR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku.
(2) BPR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan …
-8-
b. penurunan nilai kredit dalam perhitungan tingkat kesehatan; dan/atau
c. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-
pihak yang memperoleh predikat tidak
lulus dalam penilaian
kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini ditetapkan dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 11
Peraturan Bank Indonesia ini tidak diberlakukan bagi BPR eks Badan Kredit
Desa (BKD) yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 dan
Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9.
Pasal 12
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 26/20/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
bagi BPR.
Pasal 13 …
-9-
Pasal 13
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal 1 Desember 2006
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 5 Oktober 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 75
DPBPR
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/18/PBI/2006
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM
BANK PERKREDITAN RAKYAT
UMUM
Dalam
rangka mendorong serta meningkatkan kemampuan
dalam
menyediakan pelayanan bagi masyarakat, khususnya usaha mikro dan kecil,
perlu dilakukan upaya memperkuat permodalan Bank Perkreditan Rakyat antara
lain melalui pemenuhan kecukupan modal sesuai dengan risiko usahanya.
Sejalan dengan hal tersebut, perlu dilakukan penyesuaian terhadap
struktur permodalan BPR yang lebih mencerminkan kondisi permodalan yang
sehat, untuk mendukung kegiatan usaha di sektor riil dalam menggerakkan
pertumbuhan ekonomi nasional.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 …
-2-
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal modal inti negatif maka modal pelengkap
diperhitungkan sebesar 0 (nol).
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan modal disetor adalah modal yang
telah disetor secara riil dan efektif oleh pemiliknya serta
telah disetujui Bank Indonesia.
Bagi BPR yang berbentuk hukum Koperasi, modal disetor
terdiri atas simpanan pokok, simpanan wajib dan hibah
sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai
Perkoperasian.
Didalam komponen modal disetor tidak termasuk pengakuan
modal yang dipesan (subscribed capital stock) yang berasal
dari …
-3-
dari piutang pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang
berlaku.
Huruf b
Yang dimaksud dengan agio adalah selisih lebih tambahan
modal yang diterima BPR sebagai akibat harga saham yang
melebihi nilai nominalnya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan dana setoran modal adalah dana
yang telah disetor secara riil ke rekening BPR di bank umum
dan diblokir untuk tujuan penambahan modal, namun belum
didukung dengan kelengkapan persyaratan untuk dapat
digolongkan sebagai modal disetor seperti Rapat Umum
Pemegang Saham atau Rapat Anggota maupun pengesahan
anggaran dasar dari instansi yang berwenang.
Penggunaan dana setoran modal harus mendapat persetujuan
Bank Indonesia.
Dalam hal berdasarkan penelitian Bank Indonesia:
a. dana setoran modal yang berasal dari pemilik dan/atau
calon pemilik tidak memenuhi syarat, dan/atau
b. calon pemilik tidak memenuhi syarat sebagai pemegang
saham,
maka …
-4-
maka dana tersebut tidak dapat dianggap sebagai komponen
modal dan dapat ditarik kembali.
Huruf d
Yang dimaksud dengan modal sumbangan adalah modal
yang diperoleh kembali dari sumbangan saham, termasuk
modal yang berasal dari donasi pihak luar yang diterima
oleh bank yang berbentuk hukum koperasi.
Huruf e
Yang dimaksud dengan cadangan umum adalah cadangan
yang dibentuk dari penyisihan laba yang ditahan atau dari
laba setelah dikurangi pajak, dan mendapat persetujuan
Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf f
Yang dimaksud dengan cadangan tujuan adalah bagian laba
setelah dikurangi pajak yang disisihkan untuk tujuan tertentu
dan telah mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang
Saham atau Rapat Anggota sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Huruf g
Yang dimaksud dengan laba ditahan setelah diperhitungkan
pajak adalah saldo laba setelah dikurangi pajak, yang oleh
Rapat …
-5-
Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota
diputuskan untuk tidak dibagikan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan laba tahun-tahun lalu setelah
diperhitungkan pajak adalah laba tahun-tahun lalu dikurangi
pajak kecuali apabila diperkenankan untuk dikompensasi
dengan kerugian sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku
dan belum ditetapkan penggunaannya oleh Rapat Umum
Pemegang Saham atau Rapat Anggota.
Dalam hal BPR mempunyai saldo rugi tahun-tahun lalu,
maka seluruh kerugian tersebut menjadi faktor pengurang
dari modal inti.
Huruf i
Yang dimaksud dengan laba tahun berjalan adalah laba
setelah diperhitungkan dengan kekurangan pembentukan
penyisihan penghapusan aktiva produktif.
Perhitungan taksiran hutang pajak dikecualikan apabila
diperkenankan untuk dikompensasi dengan kerugian sesuai
ketentuan perpajakan yang berlaku.
Ayat (2) …
-6-
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan goodwill adalah aktiva tidak
berwujud yang merupakan selisih antara nilai perolehan
dengan nilai aktiva suatu perusahaan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan disagio adalah selisih kurang
tambahan modal yang diterima BPR sebagai akibat harga
saham yang dibawah nilai nominalnya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan rugi tahun berjalan adalah rugi
setelah diperhitungkan dengan kekurangan pembentukan
penyisihan penghapusan aktiva produktif.
Ayat (3)
Pajak tangguhan (deferred tax) merupakan transaksi yang timbul
sebagai akibat penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK) tentang Akuntansi Pajak Penghasilan.
Dengan dikeluarkannya dampak pajak tangguhan dari perhitungan
laba atau rugi maka aktiva pajak tangguhan tidak diperhitungkan
dalam …
-7-
dalam perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko yaitu dengan
diberi bobot risiko sebesar 0% (nol perseratus).
Pasal 5
Huruf a
Yang dimaksud dengan cadangan revaluasi aktiva tetap adalah
cadangan yang dibentuk dari selisih penilaian kembali aktiva tetap
yang telah mendapat persetujuan Direktorat Jenderal Pajak
Cadangan revaluasi aktiva tetap tidak dapat dikapitalisasi ke dalam
modal disetor dan atau dibagikan sebagai saham bonus dan atau
dividen.
Huruf b
Yang dimaksud dengan PPAP umum adalah PPAP yang memiliki
kualitas Lancar sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank
Rakyat.
Perkreditan
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Jangka waktu 5 (lima) tahun sebagai syarat pinjaman subordinasi
merupakan jangka waktu paling singkat pinjaman dapat digunakan
secara penuh dan efektif.
Pinjaman …
-8-
Pinjaman subordinasi yang dapat diperhitungkan sebagai modal
adalah pinjaman subordinasi dikurangi amortisasi yang dihitung
dengan menggunakan metode garis lurus (prorata).
Pinjaman subordinasi yang direstrukturisasi diperhitungkan sebesar
nilai wajar setelah restrukturisasi. Dampak restrukturisasi tersebut
diakui sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku.
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan aktiva tetap adalah aktiva berwujud yang
diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dengan dibangun terlebih
dahulu, yang
dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan usaha BPR dan
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penilai independen adalah perusahaan
penilai yang:
a. tidak merupakan pihak terkait dengan BPR;
b. tidak merupakan kelompok peminjam dengan debitur BPR;
c. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik profesi dan
ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan
berwenang;
d. menggunakan …
digunakan untuk kegiatan usaha BPR, tidak
oleh institusi yang
-9-
d. menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi
penilaian yang diterbitkan oleh institusi yang berwenang;
e. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk
beroperasi sebagai perusahaan penilai; dan
f. tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi yang
berwenang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan distribusi laba antara lain pembayaran dividen,
pembagian bonus kepada pengurus dan pembayaran insentif yang sifatnya
non operasional.
Contoh:
Apabila dalam suatu periode kepengurusan BPR menunjukkan kinerja
yang membaik namun kondisi permodalan tidak memungkinkan untuk
membayar bonus kepada pengurus maka pembayaran bonus tidak dapat
dilakukan sampai dengan kondisi permodalan BPR memungkinkan untuk
dilakukannya pembayaran bonus.
Pasal 8 …
-10-
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Termasuk dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku
antara lain ketentuan mengenai penilaian tingkat kesehatan BPR
dan tindak lanjut penanganan terhadap BPR dalam pengawasan
khusus.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4644
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/18/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title>
<set_date> 5 Oktober 2006 </set_date>
<effective_date> 1 Desember 2006 </effective_date>
<replaced_reg> '26/20/KEP/DIR|SKDIR-BI/1993' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 9' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/3/PBI/2013
TENTANG
TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN
BANK PERKREDITAN RAKYAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka menciptakan transparansi
kondisi keuangan dan kinerja Bank Perkreditan
Rakyat, Bank Perkreditan Rakyat mengumumkan
laporan keuangan dalam waktu dan bentuk yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b.
bahwa untuk meningkatkan transparansi kondisi
keuangan dan kinerja Bank Perkreditan Rakyat,
diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara
publikasi kondisi keuangan Bank Perkreditan Rakyat
dan informasi lainnya kepada publik secara berkala,
akurat, dan benar;
c. bahwa penyusunan laporan keuangan tahunan dan
laporan keuangan publikasi Bank Perkreditan Rakyat
sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan untuk
Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik bagi Bank
Perkreditan ...
-2-
Perkreditan Rakyat dan Pedoman Akuntansi Bank
Perkreditan Rakyat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang
Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan
Rakyat;
Mengingat: a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
b.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang–Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik ...
-3-
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSPARANSI
KONDISI KEUANGAN BANK PERKREDITAN RAKYAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1.
Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah Bank
Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Perbankan.
2.
Laporan Tahunan adalah laporan lengkap mengenai kinerja suatu BPR
dalam kurun waktu 1 (satu) tahun yang berisi Laporan Keuangan
Tahunan dan informasi umum.
3.
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku bagi BPR adalah Standar
Akuntansi Keuangan bagi Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK
ETAP) dan Pedoman Akuntansi BPR (PA BPR).
4.
Laporan Keuangan Tahunan adalah laporan keuangan akhir tahun
BPR yang disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan yang
berlaku bagi BPR.
5. Laporan ...
-4-
5. Laporan Keuangan Publikasi adalah laporan keuangan BPR yang
disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku bagi
BPR dan dipublikasikan setiap triwulan sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia.
6. Akuntan Publik adalah Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Akuntan Publik.
7. Kantor Akuntan Publik adalah Kantor Akuntan Publik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Akuntan Publik.
8.
9.
Tahun Buku adalah tahun takwim atau tahun yang dimulai dari bulan
Januari sampai dengan bulan Desember.
Surat Komentar (Management Letter) adalah komentar tertulis dari
Akuntan Publik kepada manajemen bank mengenai hasil kaji ulang
terhadap struktur pengendalian intern, pelaksanaan Standar
Akuntansi Keuangan atau masalah lain yang ditemui dalam
pelaksanaan audit, beserta saran-saran perbaikannya.
Pasal 2
(1) BPR wajib menyusun dan menyajikan laporan keuangan dengan
bentuk dan cakupan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini, yang terdiri dari:
a. Laporan Tahunan; dan
b. Laporan Keuangan Publikasi
(2) Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disusun dalam Bahasa Indonesia.
BAB II ...
-5-
BAB II
LAPORAN TAHUNAN
Pasal 3
(1) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf
a paling kurang memuat:
a. informasi umum yang meliputi antara lain:
1. kepengurusan;
2.
kepemilikan;
3. perkembangan usaha BPR;
4. strategi dan kebijakan manajemen; dan
5.
laporan manajemen;
b. Laporan Keuangan Tahunan yang terdiri dari:
1. Neraca;
2.
Laporan Laba Rugi;
3. Laporan Perubahan Ekuitas;
4.
Laporan Arus Kas; dan
5. Catatan atas laporan keuangan, termasuk informasi tentang
Komitmen dan Kontinjensi;
c. opini dari Akuntan Publik atas Laporan Keuangan Tahunan BPR
yang diaudit oleh Akuntan Publik;
d. Seluruh ...
-6-
d. seluruh aspek transparansi dan informasi yang diwajibkan untuk
Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (3) huruf b;
e. seluruh aspek pengungkapan (disclosure) sebagaimana diwajibkan
dalam Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku bagi BPR.
(2) Laporan Keuangan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b wajib disusun untuk 1 (satu) Tahun Buku dan disajikan
dengan perbandingan 1 (satu) Tahun Buku sebelumnya.
(3) Cakupan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 4
(1) BPR wajib menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a kepada Bank Indonesia.
(2) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
ditandatangani paling kurang oleh 1 (satu) anggota Direksi BPR
dengan mencantumkan nama secara jelas.
(3) Dalam hal seluruh anggota Direksi berhalangan, Laporan Tahunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditandatangani oleh
anggota Dewan Komisaris atau Pejabat yang ditunjuk oleh Rapat
Umum Pemegang Saham atau sesuai Anggaran Dasar, dengan
mencantumkan nama dan jabatan secara jelas.
(4) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
disampaikan paling lambat akhir bulan April setelah Tahun Buku
berakhir.
Pasal 5 ...
-7-
Pasal 5
(1) Bagi BPR yang mempunyai total aset lebih besar dari atau sama
dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), Laporan
Keuangan Tahunan yang disampaikan dalam Laporan Tahunan wajib
diaudit terlebih dahulu oleh Akuntan Publik.
(2) Bagi BPR yang mempunyai total aset lebih kecil dari
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), Laporan Keuangan
Tahunan yang disampaikan dalam Laporan Tahunan adalah Laporan
Keuangan Tahunan yang telah dipertanggungjawabkan dalam Rapat
Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota.
(3) Dalam hal Laporan Keuangan Tahunan BPR sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diaudit oleh Akuntan Publik, Laporan Keuangan
Tahunan yang disampaikan dalam Laporan Tahunan adalah Laporan
Keuangan Tahunan yang diaudit.
(4) Dalam hal pelaksanaan audit oleh Akuntan Publik sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan melewati batas waktu penyampaian
Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4),
maka selain menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), BPR tetap menyampaikan Laporan Keuangan Tahunan
yang telah diaudit oleh Akuntan Publik paling lambat 1 (satu) bulan
setelah diterimanya hasil audit atas Laporan Keuangan.
(5) Laporan Keuangan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) disusun sesuai Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku
bagi BPR.
Pasal 6 ...
-8-
Pasal 6
BPR yang telah menyampaikan Laporan Tahunan namun:
a. Laporan Keuangan Tahunan BPR tidak diaudit oleh Akuntan Publik
dan/atau Kantor Akuntan Publik yang terdaftar di Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1); atau
b.
Laporan Keuangan Tahunan BPR belum dipertanggungjawabkan oleh
Direksi atau Pengurus kepada Rapat Umum Pemegang Saham atau
Rapat Anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2),
dinyatakan belum menyampaikan Laporan Tahunan.
Pasal 7
(1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Tahunan, apabila
BPR menyampaikan Laporan Tahunan kepada Bank Indonesia setelah
batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (4), sampai dengan paling lama 1 (satu) bulan sejak
batas akhir waktu penyampaian laporan.
(2) BPR dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Tahunan, apabila BPR
belum menyampaikan Laporan Tahunan dalam kurun waktu
keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) BPR yang tidak menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tetap diwajibkan untuk menyampaikan
Laporan Tahunan sebelum tahun buku berikutnya.
BAB III ...
-9-
BAB III
LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI
Pasal 8
(1) BPR wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi triwulanan
untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September dan Desember sesuai
dengan bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Laporan Keuangan Publikasi untuk posisi bulan Desember disusun
berdasarkan Laporan Keuangan Tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5
(3) Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf b paling kurang memuat:
a. laporan keuangan yang terdiri dari:
1. Neraca;
2. Laporan Laba Rugi;
3. Laporan Komitmen dan Kontinjensi
b.
informasi lainnya yang paling kurang terdiri dari:
1. Kualitas Aktiva Produktif (KAP) untuk:
a) penempatan pada bank lain;
b) kredit yang diberikan, baik kepada pihak terkait maupun
pihak tidak terkait;
2. rasio keuangan, yang terdiri dari:
a) Kewajiban Penyediaan Modal Minimum;
b. Non Performing ...
-10-
b) Non Performing Loans (NPL) dan Penyisihan Penghapusan
Aktiva Produktif;
c) Return on Asset (ROA) dan Beban Operasional terhadap
Pendapatan Operasional (BOPO);
d) Cash Ratio; dan
e) Loan to Deposit Ratio (LDR)
c. Susunan Pengurus dan komposisi Pemegang Saham, termasuk
Pemegang Saham Pengendali.
(4) Laporan Keuangan Publikasi triwulanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib disajikan dalam bentuk perbandingan dengan Laporan
Keuangan Publikasi Triwulanan tahun sebelumnya.
Pasal 9
(1) BPR yang mempunyai total aset lebih besar dari atau sama dengan
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) wajib:
a. mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan
Maret, Juni, dan September dalam surat kabar harian lokal atau
menempelkannya pada papan pengumuman atau media lainnya
yang mudah dibaca oleh publik; dan
b. mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan
Desember dalam surat kabar harian lokal dan menempelkannya
pada papan pengumuman atau media lainnya yang mudah dibaca
oleh publik.
(2) BPR yang mempunyai total aset lebih kecil dari Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) wajib mengumumkan Laporan Keuangan
Publikasi ...
-11-
Publikasi posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember
pada surat kabar lokal atau menempelkannya pada papan
pengumuman atau media lainnya yang mudah dibaca oleh publik.
(3) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dilakukan paling lambat:
a. akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan untuk
Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Maret, Juni, dan
September; dan
b. akhir bulan keempat setelah berakhirnya bulan laporan untuk
Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember.
Pasal 10
(1) Dalam hal BPR mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi dengan
menempelkan pada papan pengumuman atau media lainnya yang
mudah dibaca oleh publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 maka
Laporan Keuangan Publikasi wajib:
a. ditempelkan di seluruh kantor BPR; dan
b. terus menerus ditempelkan sampai dengan jangka waktu pelaporan
berikutnya.
(2) BPR yang tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan
belum mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi.
Pasal 11
(1) BPR dinyatakan terlambat mengumumkan Laporan Keuangan
Publikasi, apabila mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi
setelah batas akhir waktu pengumuman laporan sebagaimana
dimaksud …
-12-
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) sampai dengan paling lama 1 (satu)
bulan sejak batas akhir pengumuman laporan.
(2) BPR dinyatakan tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi,
apabila BPR belum mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi
dalam kurun waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3) Apabila BPR telah mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi posisi
bulan Desember, namun:
a. Laporan Keuangan Tahunan untuk Laporan Publikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) tidak diaudit oleh Akuntan Publik
dan/atau Kantor Akuntan Publik yang terdaftar di Bank Indonesia;
atau
b. Laporan Keuangan Tahunan untuk Laporan Publikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) belum dipertanggungjawabkan
oleh Direksi atau Pengurus kepada Rapat Umum Pemegang Saham
atau Rapat Anggota,
BPR dinyatakan belum mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi
posisi bulan Desember.
Pasal 12
(1) Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
wajib ditandatangani paling kurang oleh 1 (satu) anggota Direksi BPR
dengan mencantumkan nama secara jelas.
(2) Dalam hal seluruh anggota Direksi berhalangan, Laporan Keuangan
Publikasi ditandatangani oleh anggota Dewan Komisaris atau Pejabat
yang ditunjuk oleh Rapat Umum Pemegang Saham atau sesuai
Anggaran Dasar …
-13-
Anggaran Dasar, dengan mencantumkan nama dan jabatan secara
jelas.
(3) Bagi BPR yang laporan keuangannya di audit oleh Akuntan Publik,
Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember, selain wajib
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) juga wajib mencantumkan nama Akuntan Publik yang bertanggung
jawab dalam audit (partner in charge) dan nama Kantor Akuntan
Publik yang mengaudit Laporan Keuangan Tahunan.
Pasal 13
BPR wajib menyampaikan bukti pengumuman kepada Bank Indonesia,
berupa:
a.
b. fotokopi Laporan Keuangan Publikasi yang ditempelkan pada papan
pengumuman atau media lainnya,
paling lambat tanggal 14 setelah batas akhir pengumuman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).
Pasal 14
(1) BPR wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia rekaman data
Laporan Keuangan Publikasi secara on-line, paling lambat tanggal 14,
setelah batas akhir pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (3).
halaman surat kabar yang memuat Laporan Keuangan Publikasi;
dan/atau
(2) Dalam …
-14-
(2) Dalam hal BPR tidak dapat menyampaikan rekaman data Laporan
Keuangan Publikasi secara on-line sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) karena:
a. BPR berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas jaringan
telekomunikasi;
b. BPR baru beroperasi dengan batas waktu paling lama 2 (dua) bulan
setelah melakukan kegiatan operasional;
c. BPR mengalami gangguan teknis; dan/atau
d. terjadi kerusakan dan/atau gangguan pada database atau jaringan
telekomunikasi di Bank Indonesia,
BPR menyampaikan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi secara
off-line.
Pasal 15
(1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan bukti pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan rekaman data Laporan
Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1),
apabila BPR menyampaikan bukti pengumuman atau rekaman data
Laporan Keuangan Publikasi setelah batas akhir waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) sampai dengan paling
lama 1 (satu) bulan sejak batas akhir penyampaian.
(2) BPR dinyatakan tidak menyampaikan bukti pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 atau rekaman data Laporan
Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1),
apabila BPR belum menyampaikan bukti pengumuman atau rekaman
data …
-15-
data Laporan Keuangan Publikasi dalam kurun waktu keterlambatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila BPR telah menyampaikan rekaman data Laporan Keuangan
Publikasi namun datanya tidak sesuai dengan Laporan Keuangan
Publikasi yang diumumkan maka BPR dinyatakan belum
menyampaikan rekaman data Laporan Keuangan Publikasi.
BAB IV
HUBUNGAN ANTARA BPR, AKUNTAN PUBLIK DAN
BANK INDONESIA
Pasal 16
(1) Dalam memberikan penugasan audit terhadap Laporan Keuangan
Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, BPR wajib menunjuk
Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik yang memenuhi kriteria:
a. terdaftar di Bank Indonesia; dan
b. tidak memiliki keterkaitan dengan BPR.
(2) Penugasan atau penunjukan Akuntan Publik dan/atau Kantor
Akuntan Publik yang sama oleh BPR hanya dapat dilakukan untuk
paling lama 3 (tiga) tahun buku berturut-turut.
Pasal 17
(1) Penunjukan atau penugasan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan
Publik dalam rangka audit Laporan Keuangan Tahunan BPR wajib
dilakukan dengan perjanjian kerja.
(2) Perjanjian …
-16-
(2) Perjanjian kerja antara BPR dan Kantor Akuntan Publik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup:
a. nama Kantor Akuntan Publik;
b. Akuntan Publik yang bertanggung jawab terhadap audit (partner in
charge);
c. kewajiban Akuntan Publik untuk melakukan audit sesuai Standar
Profesional Akuntan Publik, kode etik profesi dan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai Akuntan Publik;
d. pernyataan dari BPR untuk mengizinkan Kantor Akuntan Publik
menyampaikan secara langsung kepada Bank Indonesia:
1) laporan hasil audit;
2) Surat Komentar (Management Letter);
3) informasi yang dibutuhkan oleh Bank Indonesia setiap saat
apabila diperlukan; dan
4) informasi mengenai temuan audit terkait dengan pelanggaran
terhadap ketentuan perundang-undangan di bidang keuangan
dan/atau perbankan yang dapat membahayakan kelangsungan
usaha BPR;
5) ruang lingkup audit;
6) Jangka waktu penyelesaian audit;
7) kewajiban Akuntan Publik yang bertanggung jawab dalam
melakukan audit untuk melapor kepada Bank Indonesia sebelum
pelaksanaan audit; dan
8) kewajiban Kantor Akuntan Publik dan Akuntan Publik untuk
tidak menggunakan atau mengungkapkan data atau informasi
kepada …
-17-
kepada pihak lain tanpa seizin BPR sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ruang lingkup audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d
paling sedikit mencakup:
a. penilaian atas penggolongan kualitas aktiva produktif dan
kecukupan penyisihan penghapusan aktiva produktif yang dibentuk
BPR;
b. penilaian terhadap aset lain-lain dan agunan yang diambil alih BPR;
c. pendapat mengenai kewajaran atas transaksi dengan pihak yang
mempunyai hubungan istimewa maupun transaksi yang dilakukan
dengan perlakuan khusus;
d. jumlah dan kualitas penyediaan dana kepada pihak terkait;
e. rincian pelanggaran batas maksimum pemberian kredit yang
meliputi nama nasabah, kualitas penyediaan dana, persentase dan
jumlah pelanggaran batas maksimum pemberian kredit;
f. rincian pelanggaran batas maksimum pemberian kredit yang
meliputi nama nasabah, kualitas penyediaan dana, persentase dan
jumlah pelanggaran batas maksimum pemberian kredit;
g. perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM);
h. Loan to Deposit Ratio (LDR);
i. Perbandingan jumlah kredit bermasalah terhadap total kredit yang
diberikan serta penyebab utamanya.
j. Return on Asset (ROA) dan Beban Operasional terhadap Pendapatan
Operasional (BOPO).
k. keandalan …
-18-
k. keandalan sistem pelaporan BPR kepada Bank Indonesia dan
pengujian terhadap keandalan laporan-laporan yang disampaikan
oleh BPR kepada Bank Indonesia; dan
l. hal-hal lain yang diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan yang
berlaku, termasuk catatan atas Laporan Keuangan.
(4) Fotokopi perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan BPR kepada Bank Indonesia paling lambat 14 (empat
belas) hari sebelum pelaksanaan audit.
Pasal 18
Akuntan Publik dan/atau Kantor Akuntan Publik wajib memberikan data
dan informasi yang diminta Bank Indonesia terkait dengan BPR yang
diaudit, meskipun perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1) telah berakhir.
Pasal 19
Akuntan Publik yang melakukan audit terhadap Laporan Keuangan
Tahunan BPR wajib:
a. melakukan audit sesuai dengan standar profesional Akuntan Publik,
kode etik profesi, dan ketentuan perundang-undangan yang
mengatur mengenai Akuntan Publik, serta perjanjian kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
b. memberitahukan adanya pelanggaran terhadap ketentuan
perundang-undangan di bidang keuangan dan/atau perbankan yang
dapat ...
-19-
dapat membahayakan kelangsungan usaha BPR kepada Bank
Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditemukannya
pelanggaran;
c. menyampaikan laporan hasil audit dan Surat Komentar (Management
Letter) kepada Bank Indonesia paling lambat 4 (empat) bulan setelah
berakhirnya tahun buku yang bersangkutan; dan
d. mematuhi ketentuan rahasia bank sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang tentang Perbankan dan kerahasiaan informasi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Akuntan
Publik dan ketentuan perundang-undangan lainnya serta perjanjian
kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) huruf h.
BAB V
TANGGUNG JAWAB LAPORAN KEUANGAN
Pasal 20
Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi
sepenuhnya menjadi tanggung jawab Direksi atau pengurus BPR.
BAB VI
KEADAAN MEMAKSA
Pasal 21
(1) BPR yang mengalami keadaan memaksa yang dampaknya terhadap
BPR melampaui batas waktu seharusnya mengumumkan dan/atau
menyampaikan …
-20-
menyampaikan laporan, dikecualikan dari kewajiban mengumumkan
dan/atau menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (4), Pasal 9 ayat (3), Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1).
(2) Untuk memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), BPR harus menyampaikan permohonan secara tertulis kepada
Bank Indonesia disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya
keadaan memaksa yang dialami dan disertai keterangan pejabat yang
berwenang dari instansi terkait di daerah setempat.
(3) BPR yang memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) wajib mengumumkan dan/atau menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), Pasal 9 ayat (3), Pasal
13 dan Pasal 14 ayat (1), setelah BPR kembali melakukan kegiatan
operasional secara normal.
(4) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) hanya
diberikan hingga keadaan memaksa atau berdasarkan pertimbangan
Bank Indonesia telah dapat teratasi.
BAB VII
SANKSI
Bagian Kesatu
Laporan Tahunan
Pasal 22
(1) BPR yang terlambat menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban
membayar …
-21-
membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari
keterlambatan.
(2) BPR yang tidak menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
(3) BPR yang tidak menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) hingga periode penyampaian Laporan
Tahunan berikutnya dikenakan sanksi administratif sebagaimana
diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998, antara lain :
a. penurunan tingkat kesehatan bank; dan/atau
b. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham dalam daftar
pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dalam penilaian
kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai uji kemampuan dan
kepatutan.
Pasal 23
(1) BPR yang menyampaikan Laporan Tahunan yang penyusunan dan
penyajiannya tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dan Pasal 4 dan/atau Standar Akuntansi Keuangan
yang berlaku bagi BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5)
dikenakan:
a. sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah) apabila setelah diberi surat peringatan sebanyak 2 (dua)
kali oleh…
-22-
kali oleh Bank Indonesia dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu
untuk setiap surat peringatan, BPR tidak memperbaiki dan tidak
menyampaikan laporan dimaksud; dan
b. sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998, antara lain:
1) penurunan tingkat kesehatan bank; dan/atau
2) pencantuman pengurus dalam daftar pihak yang memperoleh
predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan
kepatutan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai uji kemampuan dan kepatutan.
(2) BPR yang menyampaikan Laporan Tahunan yang isinya secara
material tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 selain dikenakan sanksi kewajiban membayar
dan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
terhadap anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, pegawai BPR
maupun pihak terafiliasi lainnya dapat dikenakan sanksi pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Bagian kedua …
-23-
Bagian Kedua
Laporan Keuangan Publikasi
Pasal 24
(1) BPR yang terlambat mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi
pada surat kabar lokal dan/atau menempelkannya pada papan
pengumuman atau media lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (1), masing-masing dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan.
(2) BPR yang tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi pada
surat kabar lokal dan/atau menempelkannya pada papan
pengumuman atau media lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (2), masing-masing dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 25
(1) BPR yang terlambat menyampaikan bukti pengumuman dan/atau
rekaman data Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (1), masing-masing dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari
keterlambatan.
(2) BPR …
-24-
(2) BPR yang tidak menyampaikan bukti pengumuman dan/atau
rekaman data Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (2), masing-masing dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Bagian Ketiga
Hubungan Antara BPR, Akuntan Publik dan Bank Indonesia
Pasal 26
BPR yang tidak menyampaikan fotokopi perjanjian kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) dikenakan
sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa teguran tertulis.
Pasal 27
Akuntan Publik dan/atau Kantor Akuntan Publik yang melanggar
ketentuan dalam Pasal 18 dan/atau Pasal 19 dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa:
a. penghapusan …
-25-
a. penghapusan nama Akuntan Publik dan/atau Kantor Akuntan Publik
dari daftar Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik yang terdaftar
di Bank Indonesia; dan/atau
b.
penyampaian usulan kepada instansi yang berwenang untuk
mencabut atau membatalkan izin usaha sebagai pemberi jasa bagi
bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII
LAIN-LAIN
Pasal 28
BPR yang telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,
Pasal 23, Pasal 24 dan Pasal 25, tetap diwajibkan untuk memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 29
Pembebanan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 dan Pasal 25, dilakukan dengan cara transfer
atau tunai kepada Bank Indonesia.
Pasal 30
Apabila batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (4), Pasal 5 ayat (4), Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9 ayat (3),
Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (1)
dan ayat (2) . . .
-26-
dan ayat (2), Pasal 17 ayat (4), dan Pasal 19 jatuh pada hari Sabtu atau
hari libur, maka batas waktu kewajiban jatuh pada hari kerja berikutnya.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 32
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka Peraturan
Bank Indonesia Nomor 8/20/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang
Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 77, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4646), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku bagi BPR.
Pasal 33
Peraturan Bank Indonesia ini tidak diberlakukan bagi Bank Perkreditan
Rakyat eks Badan Kredit Desa (BKD) yang didirikan berdasarkan
Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 dan Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9.
Pasal 34 …
-27-
Pasal 34
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak Laporan Keuangan
Publikasi posisi akhir bulan September 2013 dan Laporan Tahunan posisi
akhir tahun 2013.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Mei 2013
GUBERNUR BANK INDONESIA
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 94
DKBU
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/3/PBI/2013
TENTANG
TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN
BANK PERKREDITAN RAKYAT
UMUM
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998, Bank Perkreditan Rakyat wajib menyampaikan kepada
Bank Indonesia dan mengumumkan laporan keuangan dalam bentuk
neraca, laporan laba rugi, dan penjelasannya, serta laporan berkala
lainnya dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat melalui
penerapan Good Corporate Governance, yang mana salah satu aspek
pentingnya adalah transparansi kondisi keuangan kepada publik,
maka laporan keuangan yang diumumkan harus diyakini dapat
diakses dengan mudah oleh para stakeholders untuk dapat melindungi
kepentingan masyarakat penyimpan dana, investor dan/atau pengguna
lainnya sehingga akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan publik
terhadap perbankan nasional.
Agar laporan keuangan dapat memberikan informasi yang akurat
dan benar serta dapat diperbandingkan maka laporan keuangan harus
disusun ...
-2-
disusun sesuai dengan standar akuntansi serta pedoman pencatatan
dan pelaporan yang berlaku bagi Bank Perkreditan Rakyat.
Dalam kaitan dengan kewajiban untuk diaudit oleh akuntan
publik, perlu penyempurnaan terhadap aturan mengenai ruang lingkup
audit, materi perjanjian antara akuntan publik dan Bank Perkreditan
Rakyat serta komunikasi akuntan publik dengan Bank Indonesia.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan Keuangan Tahunan yang
telah
dipertanggungjawabkan dalam Rapat Umum Pemegang
Saham atau Rapat Anggota dibuktikan dengan
penyampaian ...
-3-
penyampaian risalah Rapat Umum Pemegang Saham atau
Rapat Anggota.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Contoh:
Penyampaian Laporan Tahunan 2012 yang wajib diaudit
oleh Akuntan Publik dinyatakan terlambat apabila
disampaikan dalam kurun waktu 1 Mei sampai dengan 31
Mei 2013.
Ayat (2)
Contoh:
Laporan Tahunan 2012 yang wajib diaudit oleh Akuntan
Publik dinyatakan tidak disampaikan apabila disampaikan
setelah tanggal 31 Mei 2013.
Ayat (3) ...
-4-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “surat kabar harian lokal” adalah
surat kabar yang mempunyai peredaran di wilayah
kedudukan BPR.
Yang dimaksud dengan “media lainnya” termasuk segala
sarana yang digunakan oleh BPR untuk menempelkan
laporan keuangan, misalnya dinding depan gedung BPR.
Yang dimaksud dengan “mudah dibaca oleh publik” adalah
Laporan Keuangan Publikasi yang ditempelkan pada papan
pengumuman atau media lain di kantor BPR yang langsung
dapat dilihat dan dibaca oleh masyarakat umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Contoh:
Laporan ...
-5-
Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2013
ditempelkan pada papan pengumuman/media lainnya
hingga masuk periode pengumuman Laporan Keuangan
Publikasi bulan Juni 2013
Yang dimaksud dengan kantor BPR adalah Kantor Pusat,
Kantor Cabang dan Kantor Kas
Ayat (2)
Contoh:
Pada saat Pemeriksaan bulan Agustus 2013, BPR tidak
menempelkan Laporan Keuangan Publikasi pada papan
pengumuman/media lainnya yang mudah dibaca oleh
Publik pada salah satu kantor BPR untuk posisi akhir Juni
2013, maka BPR akan dikenakan sanksi tidak
mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi pada periode
Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir Juni 2013.
Pasal 11
Ayat (1)
Contoh:
Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2013, BPR
dinyatakan terlambat mengumumkan Laporan Keuangan
Publikasi jika diumumkan dalam kurun waktu 1 Mei
sampai dengan 31 Mei 2013.
Ayat (2)
Contoh:
Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2013, BPR
dinyatakan tidak mengumumkan Laporan Keuangan
Publikasi jika diumumkan setelah tanggal 31 Mei 2013.
Ayat (3) ...
-6-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Contoh:
Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir Maret 2013 wajib
diumumkan paling lambat tanggal 30 April 2013.
Selanjutnya, BPR wajib menyampaikan guntingan surat kabar
dan/atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan rekaman
data Laporan Publikasi paling lambat tanggal 14 Mei 2013.
Pasal 14
Ayat (1)
Penyampaian rekaman data Laporan Keuangan Publikasi
secara online dilakukan dengan cara mengirim atau
mentransfer rekaman data secara langsung melalui
fasilitas ekstranet Bank Indonesia atau sarana teknologi
lainnya.
Ayat (2)
Penyampaian rekaman data Laporan Keuangan Publikasi
secara off-line dilakukan dengan cara antara lain seperti
mengirimkan USB, compact disk, atau sarana rekaman
atau transfer data lainnya.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “daerah yang belum
tersedia fasilitas jaringan telekomunikasi” adalah
daerah yang tidak mempunyai sarana jaringan
telekomunikasi ...
-7-
telekomunikasi sesuai dengan sarana jaringan
telekomunikasi yang digunakan untuk sistem
Laporan Keuangan Publikasi kepada Bank
Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah
gangguan yang mengakibatkan BPR pelapor tidak
dapat menyampaikan Laporan Keuangan Publikasi
secara on-line, antara lain gangguan pada jaringan
telekomunikasi, kebakaran atau pemadaman
listrik.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Contoh:
Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2013,
BPR dinyatakan terlambat menyampaikan halaman surat
kabar dan/atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan
rekaman data Laporan Keuangan Publikasi, jika
disampaikan dalam kurun waktu 15 Mei sampai dengan
14 Juni 2013.
Ayat (2)
Contoh:
Untuk ...
-8-
Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2013,
BPR dinyatakan tidak menyampaikan halaman surat
kabar atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi yang
ditempelkan pada papan pengumuman dan rekaman data
Laporan Keuangan Publikasi, jika disampaikan setelah
tanggal 14 Juni 2013.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keterkaitan dengan BPR” adalah
keterkaitan kepemilikan, kepengurusan dan/atau
keuangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit
BPR.
Ayat (2)
Pembatasan penugasan atau penunjukan dimaksudkan
dalam rangka meningkatkan independensi dalam
pelaksanaan audit Laporan Keuangan Tahunan BPR.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b ...
-9-
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pihak yang mempunyai hubungan istimewa adalah
pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku bagi
BPR.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan penyebab kredit
bermasalah adalah kredit yang berpengaruh secara
signifikan terhadap NPL BPR.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Pengujian terhadap keandalan laporan termasuk
penilaian Akuntan Publik mengenai laporan yang
disampaikan ke Bank Indonesia telah disusun dan
sesuai dengan data yang ada di BPR.
Laporan ...
-10-
Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf ini
termasuk laporan bulanan BPR dan laporan batas
maksimum pemberian kredit.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pelanggaran terhadap ketentuan
perundang-undangan di bidang keuangan dan/atau
perbankan yang dapat membahayakan kelangsungan
usaha BPR”, antara lain:
a. kekurangan kewajiban penyediaan modal minimum;
b. kekurangan pembentukan penyisihan penghapusan
aktiva produktif yang material;
c. pelanggaran batas maksimum pemberian kredit;
dan/atau
d. kecurangan (fraud) yang bernilai material.
Huruf c
Laporan Hasil Audit dan Surat Komentar (Management
Letter) yang disampaikan kepada Bank Indonesia adalah
Laporan ...
-11-
Laporan Hasil Audit dan Surat Komentar yang telah
ditandatangani oleh Akuntan Publik yang in charge.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure)
adalah keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan
BPR tidak dapat mengumumkan dan/atau menyampaikan
laporan, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, perang,
sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan
banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari
instansi terkait di daerah setempat.
Contoh:
Apabila BPR mengalami kebakaran di bulan Februari 2013
yang menyebabkan BPR mengalami kerusakan
infrastruktur dan kehilangan data dan/atau informasi
secara permanen, sehingga tidak dapat menyampaikan
laporan atau mengumumkan laporan posisi Desember 2012
sampai dengan batas waktu penyampaian Laporan
Tahunan dan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi,
dikecualikan dari penyampaian pelaporan/pengumuman.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas ...
-12-
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Contoh:
a. Apabila BPR mengumumkan Laporan Keuangan
Publikasi sesuai ketentuan untuk posisi Maret 2013
pada tanggal 7 Mei 2013, maka BPR tersebut
dikenakan denda keterlambatan selama 6 hari
senilai Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah)
b. Untuk BPR dengan total aset lebih besar atau sama
dengan RP10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) wajib mengumumkan Laporan Keuangan
Publikasi posisi akhir bulan Desember 2012 pada
papan pengumuman atau media lainnya dan surat
kabar lokal. Apabila BPR mengumumkan Laporan
Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember
2012 pada tanggal 6 Mei 2013 baik di surat kabar
lokal maupun pada papan pengumuman, maka BPR
tersebut dikenakan denda sebesar Rp 500,000,00
(lima ratus ribu rupiah) dengan rincian sebagai
berikut:
1) Keterlambatan ...
-13-
1) Keterlambatan mengumumkan pada papan
pengumuman selama 5 hari sebesar Rp
250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah);
dan
2) Keterlambatan mengumumkan pada surat kabar
lokal selama 5 hari sebesar Rp 250.000,00 (dua
ratus lima puluh ribu rupiah)
Ayat (2)
Contoh:
a. Apabila BPR mengumumkan Laporan Keuangan
Publikasi sesuai ketentuan untuk posisi akhir bulan
Maret 2013 pada tanggal 5 Juni 2013, maka BPR
tersebut dikenakan denda tidak mengumumkan
laporan keuangan publikasi posisi akhir bulan
Maret 2013 sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta
rupiah)
b. Untuk BPR dengan total aset lebih besar atau sama
dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) wajib mengumumkan Laporan Keuangan
Publikasi posisi akhir bulan Desember 2012 pada
papan pengumuman atau media lainnya dan surat
kabar lokal. Apabila BPR mengumumkan Laporan
Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember
2012 pada tanggal 20 Juni 2013, maka BPR
tersebut dikenakan denda sebesar Rp6.000.000,00
(enam juta rupiah) dengan rincian sebagai berikut:
1) Denda tidak mengumumkan pada papan
pengumuman sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta
rupiah); dan
2) Denda ...
-14-
2) Denda tidak mengumumkan pada surat kabar
lokal sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 25
Ayat (1)
Contoh:
a. Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret
2013, BPR menyampaikan bukti pengumuman
laporan keuangan publikasi atau guntingan surat
kabar dan rekaman data sesuai ketentuan untuk
pada tanggal 21 Mei 2013, maka BPR tersebut
dikenakan denda keterlambatan menyampaikan
bukti pengumuman fotokopi Laporan Keuangan
Publikasi dan rekaman data senilai Rp600.000,00
(enam ratus ribu rupiah) yang terdiri dari:
1) Denda keterlambatan penyampaian bukti
pengumuman Laporan Keuangan Publikasi
selama 6 hari senilai Rp300.000,00 (tiga ratus
ribu rupiah); dan
2) Denda keterlambatan menyampaikan rekaman
data selama 6 hari senilai Rp300.000,00 (tiga
ratus ribu rupiah)
b. Khusus untuk BPR dengan total aset lebih besar
atau sama dengan RP10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah) wajib menyampaikan bukti
pengumuman Laporan Keuangan Publikasi posisi
akhir bulan Desember 2012 pada papan
pengumuman atau media lainnya, surat kabar lokal
dan rekaman data. Apabila BPR menyampaikan
bukti pengumuman Laporan Keuangan Publikasi,
guntingan ...
-15-
guntingan surat kabar, dan rekaman data posisi
akhir bulan Desember 2012 pada tanggal 21 Mei
2013, maka BPR tersebut dikenakan denda 6 hari
keterlambatan sebesar Rp 900,000,00 (sembilan
ratus ribu rupiah) dengan rincian sebagai berikut :
1) Denda keterlambatan penyampaian bukti
pengumuman Laporan Keuangan Publikasi
selama 6 hari senilai Rp300.000,00 (tiga ratus
ribu rupiah);
2) Denda keterlambatan penyampaian guntingan
halaman surat kabar selama 6 hari senilai
Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah);
3) Denda keterlambatan menyampaikan rekaman
data selama 6 hari senilai Rp300.000,00 (tiga
ratus ribu rupiah)
Ayat (2)
Contoh:
a. Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret
2013, apabila BPR menyampaikan bukti
pengumuman Laporan Keuangan Publikasi atau
guntingan surat kabar pada tanggal 20 Juni 2013,
maka BPR tersebut dikenakan denda tidak
menyampaikan bukti pengumuman fotokopi
Laporan Keuangan Publikasi atau guntingan surat
kabar dan rekaman data senilai Rp6.000.000,00
(enam juta rupiah) yang terdiri dari:
1) Denda tidak menyampaikan bukti pengumuman
Laporan Keuangan Publikasi senilai
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah); dan
2) Denda ...
-16-
2) Denda tidak menyampaikan rekaman data
senilai Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
b. Khusus BPR dengan total aset lebih besar atau
sama dengan RP10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan
Desember 2012, apabila BPR menyampaikan bukti
pengumuman laporan keuangan publikasi,
guntingan halaman surat kabar, dan rekaman data
sesuai ketentuan untuk posisi Desember 2012 pada
tanggal 20 Juni 2013 maka BPR tersebut dikenakan
denda sebesar Rp9.000.000,00 (Sembilan juta
rupiah) yang terdiri dari:
1) Denda tidak menyampaikan bukti pengumuman
Laporan Keuangan Publikasi senilai
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah);
2) Denda tidak menyampaikan guntingan halaman
surat kabar senilai Rp3.000.000,00 (tiga juta
rupiah); dan
3) Denda tidak menyampaikan rekaman data
senilai Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup Jelas ...
-17-
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5418
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 15/3/PBI/2013 </reg_id>
<reg_title> TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title>
<set_date> 21 Mei 2013 </set_date>
<effective_date> sejak Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan September 2013 dan Laporan Tahunan posisi akhir tahun 2013 </effective_date>
<replaced_reg> '8/20/PBI/2006' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII', 'BAB VII Pasal 29' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/15/PBI/2005
TENTANG
JUMLAH MODAL INTI MINIMUM BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai sistem perbankan yang
sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem
keuangan
serta mendorong pertumbuhan perekonomian
nasional yang berkesinambungan, dibutuhkan dukungan
perbankan yang kuat khususnya dari sisi permodalan;
b. bahwa penguatan permodalan bank merupakan salah satu
upaya untuk memperkuat
struktur perbankan Indonesia
sesuai dengan tujuan yang ditetapkan dalam Arsitektur
Perbankan Indonesia (API);
c. bahwa permodalan yang kuat diperlukan antara lain untuk
menyerap potensi kerugian (risiko) yang dihadapi dan
mengembangkan infrastruktur dalam rangka ekspansi usaha
bank serta mengantisipasi penerapan Basel Accord II
diwaktu yang akan datang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu untuk mengatur
jumlah modal inti minimum Bank Umum dalam suatu
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan
: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG JUMLAH
MODAL INTI MINIMUM BANK UMUM.
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tidak termasuk kantor cabang bank
asing.
2. Modal …
- 3 -
2. Modal Inti adalah modal disetor dan cadangan tambahan modal (disclosed
reserves) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.
Pasal 2
(1) Bank wajib memenuhi jumlah Modal Inti paling kurang sebesar
Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah) pada tanggal 31
Desember 2007.
(2) Bank yang telah memenuhi jumlah Modal Inti sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), selanjutnya wajib memenuhi jumlah Modal Inti paling kurang
sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) pada tanggal 31
Desember 2010.
Pasal 3
(1) Bagi Bank yang pada saat mulai berlakunya ketentuan ini belum memenuhi
jumlah Modal Inti minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Direksi
Bank wajib menyusun rencana pemenuhan Modal Inti minimum dengan
persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham.
(2) Rencana pemenuhan jumlah Modal Inti minimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dituangkan dalam bentuk action plans pemenuhan
Modal Inti minimum dan disampaikan kepada Bank Indonesia
lambat:
a. 6 (enam) bulan untuk Bank yang belum go public dan
b. 8 (delapan) bulan untuk Bank yang go public
setelah berlakunya ketentuan ini.
paling
(3) Rencana …
- 4 -
(3) Rencana pemenuhan jumlah Modal Inti minimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana bisnis Bank.
(4) Action plans sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Bank
Indonesia dengan alamat:
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl.M.H. Thamrin No. 2 Jakarta
10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat
Bank Indonesia; atau
b. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar
wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
Pasal 4
Bank yang tidak memenuhi jumlah Modal Inti minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, wajib membatasi kegiatan usahanya sebagai berikut :
a. tidak melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Umum devisa;
b. membatasi penyediaan dana per debitur dan atau per kelompok peminjam
dengan plafon atau baki debet paling tinggi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah), tidak termasuk Sertifikat Bank Indonesia, penyediaan dana kepada
Pemerintah dan Bank;
c. membatasi jumlah maksimum dana pihak ketiga yang dapat dihimpun Bank
sebesar 10 (sepuluh) kali Modal Inti; dan
d. menutup seluruh jaringan kantor Bank yang berada di luar wilayah propinsi
kantor pusat Bank.
Pasal 5
Pemenuhan kewajiban melakukan pembatasan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, wajib dilakukan paling lambat:
a. Tanggal …
- 5 -
a. Tanggal 31 Desember 2008, bagi Bank yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
b. Tanggal 31 Desember 2011, bagi Bank yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
Pasal 6
(1) Bank yang tidak menyampaikan action plans sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat
(2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari sampai dengan Bank memenuhi
ketentuan ini, dengan maksimum Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 antara lain
berupa:
a. kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per hari
sampai dengan Bank memenuhi ketentuan ini;
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan atau
c. larangan turut serta dalam kegiatan kliring.
Pasal 7
Bank yang dikenakan kewajiban pembatasan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, hanya dapat melakukan kegiatan usaha tanpa
pembatasan dimaksud sepanjang memenuhi modal disetor paling kurang:
a. sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah) bagi Bank
melakukan kegiatan usaha secara konvensional;
b. sebesar …
yang
- 6 -
b. sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) bagi Bank yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Pasal 8
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 9
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Juli 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 53
DPNP/DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/15/PBI/2005
TENTANG
JUMLAH MODAL INTI MINIMUM BANK UMUM
UMUM
guna menciptakan kestabilan
Dalam rangka mendukung industri perbankan yang sehat, kuat dan efisien
sistem keuangan,
dibutuhkan
permodalan
perbankan yang sehat dan kuat. Permodalan perbankan yang sehat dan kuat
tersebut sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional
dalam rangka menggerakkan kegiatan usaha di sektor riil.
Sampai saat ini, industri perbankan nasional masih belum sepenuhnya
mampu mendukung pertumbuhan ekonomi seperti yang diharapkan. Salah satu
faktor yang menjadi penghambat belum optimalnya peran perbankan dalam
mendukung pertumbuhan ekonomi maupun kegiatan usahanya disebabkan
karena masih lemahnya struktur permodalan Bank
yang ada sekarang.
Sementara itu, dengan jenis dan kompleksitas kegiatan usaha Bank yang semakin
meningkat berpotensi menyebabkan semakin tingginya risiko yang dihadapi oleh
Bank. Peningkatan risiko ini perlu diikuti oleh peningkatan modal yang
diperlukan oleh Bank untuk menanggung kemungkinan kerugian yang timbul. Di
sisi lain kebutuhan peningkatan modal Bank tersebut juga sejalan dengan rencana
penerapan Basel Accord II di waktu yang akan datang yang mempersyaratkan
kecukupan modal Bank sesuai dengan tingkat risiko yang dihadapi.
Sehubungan …
- 2 -
Sehubungan dengan itu Bank Indonesia menganggap perlu bahwa
peningkatan modal khususnya Modal Inti
merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Oleh karena itu,
Bank
wajib memiliki minimum Modal Inti yang
mendukung kegiatan usahanya.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Rencana bisnis adalah rencana bisnis sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia yang mengatur tentang Rencana Bisnis
Bank Umum.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 4 …
(Tier 1) bagi perbankan nasional
dipersyaratkan untuk
- 3 -
Pasal 4
Huruf a
Bank Indonesia akan mencabut
izin sebagai Bank Umum devisa
bagi Bank yang telah memperoleh izin sebagai Bank Umum devisa
tetapi tidak memenuhi persyaratan jumlah Modal Inti minimum
sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
Bank tersebut di atas tidak dapat mengajukan permohonan izin
menjadi Bank Umum devisa walaupun jumlah modalnya telah
memenuhi persyaratan untuk menjadi Bank Umum devisa.
Huruf b
Ketentuan dalam huruf ini tidak mengurangi kewajiban Bank untuk
memenuhi ketentuan kehati-hatian dalam penyediaan dana seperti
ketentuan mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”dana pihak ketiga” adalah dana pihak
ketiga sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang
Giro Wajib Minimum Bank Umum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “jaringan kantor” adalah Kantor Cabang,
Kantor Cabang Pembantu, Kantor Kas dan Kegiatan Kas di luar
kantor Bank.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7 …
- 4 -
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4507
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/15/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> JUMLAH MODAL INTI MINIMUM BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 1 Juli 2005 </set_date>
<effective_date> 1 Juli 2005 </effective_date>
<related_reg> '3/UU/2004', '7/UU/1992', '23/UU/1999', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 6' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/17/PBI/2014
TENTANG
TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH
ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai Rupiah;
b. bahwa kestabilan nilai Rupiah yang salah satunya
dipengaruhi oleh kestabilan nilai tukar Rupiah
memerlukan dukungan pasar keuangan yang sehat
khususnya pasar valuta asing domestik untuk
menjaga kelangsungan kegiatan ekonomi nasional;
c. bahwa untuk menjaga kelangsungan kegiatan
ekonomi nasional dibutuhkan upaya pendalaman
pasar valuta asing domestik dengan memberikan
fleksibilitas bagi pelaku ekonomi, termasuk pihak
asing, dalam melakukan transaksi valuta asing
terhadap Rupiah;
d. bahwa peran Bank Indonesia diperlukan untuk
mendorong pendalaman pasar valuta asing melalui
pengaturan yang komprehensif, khususnya terkait
dengan transaksi valuta asing terhadap Rupiah yang
dilakukan antara Bank dengan pihak asing;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf
d, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia
tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah
antara Bank dengan Pihak Asing;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI
VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK
DENGAN PIHAK ASING.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank
Umum …
- 3 -
Umum Syariah serta Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
termasuk kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri
namun tidak termasuk kantor Bank Umum dan Bank Umum Syariah
berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri.
2. Pihak Asing adalah:
a. warga negara asing;
b. badan hukum asing atau lembaga asing lainnya;
c. warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap
(permanent resident) negara lain dan tidak berdomisili di
Indonesia;
d. kantor Bank di luar negeri dari Bank yang berkantor pusat di
Indonesia;
e. kantor perusahaan di luar negeri dari perusahaan yang berbadan
hukum Indonesia.
3. Warga negara asing adalah orang yang memiliki kewarganegaraan
selain Indonesia, termasuk yang memiliki izin menetap atau izin tinggal
di Indonesia.
4. Badan Hukum Asing atau Lembaga Asing lainnya adalah badan hukum
atau lembaga asing yang didirikan di luar negeri, namun tidak
termasuk:
a. kantor cabang Bank asing di Indonesia;
b. perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA);
c. badan hukum asing atau lembaga asing yang memiliki kegiatan
yang bersifat nirlaba.
5. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah transaksi jual beli
valuta asing terhadap Rupiah dalam bentuk:
a.
b.
transaksi derivatif valuta asing terhadap Rupiah yang standar
(plain vanilla) dalam bentuk forward, swap, option, dan transaksi
lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu.
6. Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari pembelian atau
penjualan valuta asing terhadap Rupiah.
7. Kredit …
transaksi spot, termasuk transaksi yang dilakukan dengan valuta
today dan/atau valuta tomorrow;
- 4 -
7. Kredit atau Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan pemberian bunga atau imbalan, termasuk:
a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah
yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;
b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang;
atau
c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
8. Transfer Rupiah adalah pemindahan sejumlah dana Rupiah yang
ditujukan kepada penerima dana untuk kepentingan Bank ataupun
nasabah Bank, baik melalui setoran tunai maupun pemindahbukuan
antar rekening pada Bank yang sama atau Bank yang berbeda, yang
menyebabkan bertambahnya saldo rekening Rupiah penerima dana.
9. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi,
sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau
suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim
diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang, termasuk obligasi
yang diterbitkan oleh lembaga multilateral atau supranasional yang
seluruh dana hasil penerbitan obligasi tersebut digunakan untuk
kepentingan pembiayaan kegiatan ekonomi di Indonesia, termasuk
surat berharga yang berdasarkan prinsip syariah.
10. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli antara valuta asing
terhadap Rupiah dengan penyerahan dananya dilakukan 2 (dua) hari
kerja setelah tanggal transaksi. Termasuk dalam pengertian Transaksi
Spot adalah transaksi dengan penyerahan valuta pada hari yang sama
(today) atau dengan penyerahan 1 (satu) hari kerja setelah tanggal
transaksi (tomorrow).
11. Transaksi Derivatif adalah transaksi yang didasari oleh suatu kontrak
atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari
nilai tukar dalam bentuk transaksi forward, swap, option valuta asing
terhadap Rupiah, dan transaksi lainnya yang dapat dipersamakan
dengan itu.
12. Prime …
- 5 -
12. Prime Bank adalah bank yang memiliki peringkat investasi tertentu dari
lembaga pemeringkat dan total aset yang termasuk dalam 200 (dua
ratus) besar dunia berdasarkan informasi yang tercantum dalam
Banker’s Almanac.
BAB II
TRANSAKSI
Bagian Kesatu
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
Pasal 2
(1) Bank dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
dengan Pihak Asing atas dasar suatu kontrak.
(2) Dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib memiliki pedoman
internal tertulis.
Pasal 3
(1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan Bank dengan
Pihak Asing di atas jumlah tertentu (threshold) wajib memiliki
Underlying Transaksi.
(2) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
seluruh kegiatan:
a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri;
dan/atau
b.
investasi berupa foreign direct investment, portfolio investment,
pinjaman, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar
negeri.
(3) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
termasuk:
a. penggunaan …
- 6 -
a. penggunaan Sertifikat Bank Indonesia untuk Transaksi Derivatif;
dan
b. penempatan dana pada Bank (vostro) antara lain berupa
tabungan, giro, deposito, dan Negotiable Certificate of Deposit
(NCD).
Bagian Kedua
Transaksi Spot antara Bank dengan Pihak Asing
Pasal 4
(1) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing
kepada Bank melalui Transaksi Spot adalah USD100,000.00 (seratus
ribu dolar Amerika Serikat) per bulan per Pihak Asing atau
ekuivalennya.
(2) Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melebihi nilai nominal
Underlying Transaksi.
(3) Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar
Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi
dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan
USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat).
Bagian Ketiga
Transaksi Derivatif antara Bank dengan Pihak Asing
Pasal 5
(1) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) untuk Transaksi Derivatif jual antara Bank dengan Pihak Asing dan
Transaksi Derivatif beli antara Bank dengan Pihak Asing adalah
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) baik per transaksi
per Pihak Asing maupun per posisi (outstanding) masing-masing
Transaksi …
- 7 -
Transaksi Derivatif jual dan Transaksi Derivatif beli per Bank atau
ekuivalennya.
(2) Transaksi Derivatif jual antara Bank dengan Pihak Asing dan Transaksi
Derivatif beli antara Bank dengan Pihak Asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilarang melebihi nilai nominal Underlying Transaksi.
(3) Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar
Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi
dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan
USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat).
(4) Jangka waktu Transaksi Derivatif dilarang melebihi jangka waktu
Underlying Transaksi.
Pasal 6
(1) Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk pembelian valuta asing
terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank melalui Transaksi Spot
di atas USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) per bulan
per Pihak Asing atau ekuivalennya tidak berlaku untuk penyelesaian
Transaksi Derivatif awal yang dilakukan melalui:
a. perpanjangan transaksi (roll over), sepanjang jangka waktu
perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka
waktu Underlying Transaksi awal;
b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau
c. pengakhiran transaksi (unwind).
(2) Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk Transaksi Derivatif
antara Bank dengan Pihak Asing di atas USD1,000,000.00 (satu juta
dolar Amerika Serikat) per transaksi per Pihak Asing atau ekuivalennya
tidak berlaku untuk penyelesaian Transaksi Derivatif awal yang
dilakukan melalui:
a. perpanjangan transaksi (roll over), sepanjang jangka waktu
perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka
waktu Underlying Transaksi awal;
b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau
c. pengakhiran …
- 8 -
c. pengakhiran transaksi (unwind).
Pasal 7
Dalam hal Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif berupa investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b maka Transaksi
Derivatif wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a.
terdapat realisasi investasi;
b. nilai Transaksi Derivatif untuk investasi paling banyak sebesar nilai
realisasi investasi yang tercantum dalam dokumen Underlying
Transaksi;
c. penghasilan dari investasi yang akan diterima (future income) yang
belum dapat dipastikan jumlah dan waktu penerimaannya, tidak dapat
digunakan sebagai Underlying Transaksi; dan
d.
jangka waktu Transaksi Derivatif paling singkat 1 (satu) minggu yang
dihitung berdasarkan tanggal dimulainya Transaksi Derivatif sampai
dengan tanggal jatuh waktu Transaksi Derivatif dan paling lama sama
dengan jangka waktu investasi.
Pasal 8
(1) Persyaratan Transaksi Derivatif dengan jangka waktu paling singkat 1
(satu) minggu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d
dikecualikan untuk transaksi forward beli valuta asing terhadap
Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing dalam rangka penyelesaian
transaksi kegiatan investasi.
(2) Transaksi forward beli valuta asing terhadap Rupiah antara Bank
dengan Pihak Asing dalam rangka penyelesaian transaksi kegiatan
investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a.
jangka waktu transaksi forward beli valuta asing terhadap Rupiah
antara Bank dengan Pihak Asing sama dengan jangka waktu
penyelesaian transaksi kegiatan investasi; dan
b. tanggal …
- 9 -
b.
tanggal dimulainya transaksi forward beli valuta asing terhadap
Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing maupun berakhirnya
transaksi forward beli dimaksud sama dengan tanggal dimulainya
dan berakhirnya penyelesaian transaksi kegiatan investasi.
Pasal 9
Penghasilan dari investasi meliputi penghasilan yang telah diterima dan
penghasilan yang akan diterima (future income).
Pasal 10
Dalam hal terdapat penghasilan dari investasi yang akan diterima (future
income) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 yang jumlah dan waktu
penerimaannya dapat dipastikan maka apabila dilakukan Transaksi
Derivatif wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Transaksi Derivatif hanya dapat dilakukan melalui transaksi forward
jual valuta asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing;
b.
transaksi forward jual valuta asing terhadap Rupiah antara Bank
dengan Pihak Asing atas penghasilan dari investasi yang telah diterima
oleh Pihak Asing hanya dapat dilakukan dengan jangka waktu paling
singkat 1 (satu) minggu;
c.
transaksi forward jual valuta asing terhadap Rupiah antara Bank
dengan Pihak Asing atas penghasilan dari investasi yang akan diterima
(future income) oleh Pihak Asing hanya dapat dilakukan dengan jangka
waktu paling singkat 1 (satu) minggu dan paling lama sesuai dengan
jangka waktu penerimaan penghasilan; dan
d. nilai transaksi forward jual valuta asing terhadap Rupiah antara Bank
dengan Pihak Asing atas penghasilan dari investasi paling banyak
sebesar nilai penghasilan dari investasi yang tercantum dalam
dokumenUnderlying Transaksi.
Pasal …
- 10 -
Pasal 11
(1) Dalam hal penghasilan dari investasi yang akan diterima (future income)
yang belum dapat dipastikan jumlah dan waktu penerimaannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c berupa dividen,
terhadap dividen dimaksud dapat dilakukan Transaksi Derivatif
sebelum adanya kepastian jumlah dan waktu penerimaan.
(2) Dalam hal Transaksi Derivatif dilakukan atas future income berupa
dividen yang belum dapat dipastikan jumlah dan waktu penerimaannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Transaksi Derivatif wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Transaksi Derivatif hanya dapat dilakukan melalui transaksi
forward jual valuta asing terhadap Rupiah antara Bank dengan
Pihak Asing;
b. nilai Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud pada huruf a
paling banyak sebesar nilai estimasi dividen yang akan diterima
Pihak Asing berdasarkan dokumen Underlying Transaksi;
c. memiliki jangka waktu paling singkat 1 (satu) minggu dan paling
lama sampai dengan jangka waktu penerimaan dividen;
d. dalam hal selama periode Transaksi Derivatif terdapat keputusan
manajemen perusahaan yang dapat memberikan kepastian
mengenai jumlah dan waktu pembayaran dividen yang akan
diterima Pihak Asing, Bank memastikan bahwa Pihak Asing
melakukan penyesuaian atas jumlah Transaksi Derivatif Pihak
Asing menjadi paling banyak sesuai dengan jumlah dividen yang
sudah pasti akan diterima oleh Pihak Asing dan jangka waktu
Transaksi Derivatif menjadi sesuai dengan tanggal pembayaran
dividen; dan
e. Bank memastikan bahwa Pihak Asing tidak melakukan penjualan
saham yang dividennya digunakan sebagai Underlying Transaksi
dari Transaksi Derivatif sampai dengan batas waktu saham masih
memiliki hak atas dividen yang dijadikan Underlying Transaksi.
Pasal …
- 11 -
Pasal 12
Transaksi Derivatif dapat pula dilakukan oleh Bank dengan Pihak Asing
dalam rangka cover hedging Bank.
Bagian Keempat
Larangan Transaksi Bagi Bank
Pasal 13
Bank dilarang melakukan transaksi tertentu dengan Pihak Asing yang
meliputi:
a. pemberian Kredit atau Pembiayaan dalam Rupiah dan/atau valuta
asing;
b. penempatan dalam Rupiah;
c. pembelian Surat Berharga dalam Rupiah yang diterbitkan oleh Pihak
Asing;
d.
e.
tagihan antar kantor dalam Rupiah;
tagihan antar kantor dalam valuta asing dalam rangka pemberian
Kredit atau Pembiayaan di luar negeri; dan
f. penyertaan modal dalam Rupiah;
Pasal 14
(1) Bank dilarang melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
apabila transaksi atau potensi transaksi tersebut terkait dengan
structured product.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Bank
sebagai penerbit structured product maupun Bank sebagai agen penjual
(selling agent) structured product.
Pasal 15
(1) Larangan terhadap pemberian Kredit atau Pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 huruf a tidak berlaku terhadap:
a. Kredit …
- 12 -
a. Kredit atau Pembiayaan non tunai atau garansi yang terkait dengan
kegiatan investasi di Indonesia yang memenuhi persyaratan
berikut:
1. memperoleh counter guaranty (kontra garansi) dari Prime
Bank yang bukan merupakan:
a) kantor cabang Bank di luar negeri; dan
b) kantor cabang bank asing baik di dalam maupun di luar
negeri; atau
2.
adanya jaminan setoran sebesar 100% (seratus persen) dari
nilai garansi yang diberikan.
b. Kredit atau Pembiayaan dalam bentuk sindikasi yang memenuhi
persyaratan berikut:
1. mengikutsertakan Prime Bank sebagai lead bank;
2.
diberikan untuk pembiayaan proyek di sektor riil untuk
usaha produktif yang berada di wilayah Indonesia; dan
3.
kontribusi bank asing sebagai anggota sindikasi lebih besar
dibandingkan dengan kontribusi Bank di dalam negeri.
c. kartu kredit;
d. Kredit atau Pembiayaan konsumsi yang digunakan di dalam negeri;
e. cerukan intrahari dalam Rupiah atau valuta asing yang didukung
oleh dokumen-dokumen yang bersifat authenticated yang
menunjukkan konfirmasi akan adanya dana masuk ke rekening
bersangkutan pada hari yang sama dan memenuhi persyaratan
yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia;
f. cerukan dalam Rupiah atau valuta asing karena pembebanan biaya
administrasi; dan
g. pengambilalihan tagihan dari badan yang ditunjuk pemerintah
untuk mengelola aset-aset Bank dalam rangka restrukturisasi
perbankan Indonesia oleh Pihak Asing yang pembayarannya
dijamin oleh Prime Bank.
(2) Prime Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki peringkat investasi yang diberikan oleh lembaga
pemeringkat paling kurang:
1. BBB- …
- 13 -
1. BBB- dari lembaga pemeringkat Standard & Poors;
2. Baa3 dari lembaga pemeringkat Moody’s;
3. BBB- dari lembaga pemeringkat Fitch; atau
4. setara dengan angka 1, angka 2, dan/atau angka 3
berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat terkemuka lain
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
berdasarkan penilaian terhadap prospek usaha jangka panjang
(long term outlook) Bank tersebut; dan
b. memiliki total aset yang termasuk dalam 200 (dua ratus) besar
dunia berdasarkan informasi yang tercantum dalam Banker’s
Almanac.
Pasal 16
Larangan pembelian Surat Berharga dalam Rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 huruf c tidak berlaku terhadap:
a. pembelian Surat Berharga yang berkaitan dengan kegiatan ekspor
barang dari Indonesia dan impor barang ke Indonesia serta
perdagangan dalam negeri; dan
b. pembelian bank draft dalam Rupiah yang diterbitkan oleh bank di luar
negeri untuk kepentingan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di
luar negeri dan dana Rupiah tersebut diterima di dalam negeri oleh
bukan Pihak Asing.
Bagian Kelima
Transfer Rupiah
Pasal 17
Bank dilarang melakukan Transfer Rupiah ke luar negeri.
Pasal 18
(1) Bank dapat melakukan Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki
Pihak Asing dan/atau yang dimiliki secara gabungan (joint account)
antara …
- 14 -
antara Pihak Asing dengan bukan Pihak Asing pada Bank di dalam
negeri apabila:
a. nilai nominal Transfer Rupiah sampai dengan ekuivalen
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) per hari per
Pihak Asing; atau
b. dilakukan antar rekening Rupiah yang dimiliki oleh Pihak Asing
yang sama.
(2) Dalam hal Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki Pihak Asing yang
berasal dari selain Transaksi Derivatif dengan nilai nominal di atas
ekuivalen USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) per hari
per Pihak Asing, Bank penerima Transfer Rupiah wajib memastikan
bahwa Pihak Asing memiliki Underlying Transaksi.
(3) Dalam hal Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki Pihak Asing
dalam rangka penyelesaian Transaksi Derivatif awal melalui:
a. perpanjangan transaksi (roll over), sepanjang jangka waktu
perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka
waktu Underlying Transaksi awal;
b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau
c. pengakhiran transaksi (unwind),
Bank tidak wajib memintaUnderlying Transaksi kepada Pihak Asing.
(4) Bank penerima dari suatu Transfer Rupiah yang ditujukan kepada
Pihak Asing wajib melakukan verifikasi terhadap status pihak penerima
dana.
BAB III
PENYELESAIAN TRANSAKSI
Pasal 19
(1) Penyelesaian Transaksi Spot antara Bank dengan Pihak Asing wajib
dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh.
(2) Penyelesaian Transaksi Derivatif antara Bank dengan Pihak Asing
dapat dilakukan secara netting atau dengan pemindahan dana pokok
secara penuh.
(3) Penyelesaian …
- 15 -
(3) Penyelesaian Transaksi Derivatif antara Bank dengan Pihak Asing yang
dapat dilakukan secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
hanya berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over), percepatan
penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi
(unwind).
(4) Penyelesaian untuk penyesuaian Transaksi Derivatif atas pembayaran
dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d dapat
dilakukan secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Jangka waktu Transaksi Derivatif untuk penyelesaian perpanjangan
transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early
termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dalam rangka
investasi paling singkat 1 (satu) minggu yang dihitung berdasarkan
tanggal dimulainya Transaksi Derivatif sampai dengan tanggal jatuh
waktu Transaksi Derivatif, dan paling lama sama dengan jangka waktu
investasi.
Pasal 20
(1) Penyelesaian Transaksi Derivatif antara Bank dengan Pihak Asing
secara netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) dengan
nilai nominal paling banyak sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat) dapat dilakukan sepanjang didukung dengan
Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif awal.
(2) Dalam hal pada saat penyelesaian Transaksi Derivatif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Pihak Asing tidak dapat menyampaikan
dokumen Underlying Transaksi maka penyelesaian Transaksi Derivatif
dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh.
BAB …
- 16 -
BAB IV
DOKUMEN TRANSAKSI
Bagian Kesatu
Jenis Dokumen Underlying Transaksi
Pasal 21
(1) Jenis dokumen Underlying Transaksi ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Penetapan jenis dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Dokumen Transaksi Spot antara Bank dengan Pihak Asing
Pasal 22
(1) Dalam hal Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap
Rupiah kepada Bank melalui Transaksi Spot dengan nilai nominal di
atas USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) per bulan per
Pihak Asing atau ekuivalennya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1), Bank wajib memastikan Pihak Asing untuk menyampaikan
dokumen sebagai berikut:
a. dokumen
Underlying
Transaksi
yang
dapat
dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun yang
berupa perkiraan; dan
b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang
authenticated dari Pihak Asing yang berisi informasi mengenai:
1. keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
2. penggunaan dokumen Underlying Transaksi untuk pembelian
valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal
Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia.
3. jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal
penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying
Transaksi …
- 17 -
Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa
perkiraan.
(2) Dalam hal Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap
Rupiah kepada Bank melalui Transaksi Spot paling banyak sebesar
USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) per bulan per
Pihak Asing atau ekuivalennya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1), Bank wajib memastikan Pihak Asing untuk menyampaikan
dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang authenticated
yang menyatakan bahwa pembelian valuta asing terhadap Rupiah tidak
lebih dari USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) per
bulan per Pihak Asing atau ekuivalennya dalam sistem perbankan di
Indonesia.
Bagian Ketiga
Dokumen Transaksi Derivatif antara Bank dengan Pihak Asing
Pasal 23
(1) Dalam hal Bank melakukan Transaksi Derivatif dengan Pihak Asing di
atas USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) per transaksi
per Pihak Asing atau ekuivalennya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (1), Bank wajib memastikan Pihak Asing untuk menyampaikan
dokumen sebagai berikut:
a. dokumen
Underlying
Transaksi
yang
dapat
dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun yang
berupa perkiraan; dan
b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang
authenticated dari Pihak Asing yang berisi informasi mengenai:
1. keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
2. penggunaan dokumen Underlying Transaksi untuk Transaksi
Derivatif paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi
dalam sistem perbankan di Indonesia.
3. jumlah …
- 18 -
3. jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal
penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying
Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa
perkiraan pembelian valuta asing terhadap Rupiah.
4. sumber dana, jumlah penjualan, dan tanggal tersedianya
valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan
penjualan valuta asing terhadap Rupiah.
(2) Dalam hal Pihak Asing melakukan penyelesaian Transaksi Derivatif
dengan nilai nominal paling banyak sebesar USD1,000,000.00 (satu
juta dolar Amerika Serikat) secara netting sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (1) maka Pihak Asing wajib menyampaikan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Keempat
Dokumen Transfer Rupiah
Pasal 24
Dalam hal terdapat Transfer Rupiah kepada Pihak Asing yang berasal dari
selain Transaksi Derivatif di atas ekuivalen USD1,000,000.00 (satu juta
dolar Amerika Serikat) per hari per Pihak Asing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (2), Bank penerima Transfer Rupiah dimaksud wajib
memastikan Pihak Asing untuk menyampaikan dokumen Underlying
Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Bagian Kelima
Penyampaian Dokumen
Pasal 25
(1) Bank memastikan Pihak Asing menyampaikan dokumen Underlying
Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah
melalui Transaksi Spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan
Transaksi …
- 19 -
Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 pada
tanggal transaksi untuk setiap transaksi;
(2) Dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk Transaksi Spot wajib diterima oleh Bank
paling lambat pada tanggal valuta.
(3) Dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk Transaksi Derivatif wajib diterima oleh
Bank paling lambat pada 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi.
(4) Dalam hal Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
memiliki Underlying Transaksi berupa kegiatan perdagangan barang
dan jasa di dalam dan di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2) huruf a yang memiliki tanggal jatuh waktu kurang dari
5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi, dokumen Underlying
Transaksi dan dokumen pendukung Transaksi Derivatif dimaksud
wajib diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal jatuh waktu.
(5) Dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung Transaksi
Derivatif sampai dengan jumlah tertentu (threshold) yang
penyelesaiannya akan dilakukan secara netting wajib diterima oleh
Bank paling lambat:
a. pada tanggal valuta dalam hal perpanjangan transaksi (roll over),
percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan
pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Spot;
b. 5 (lima) hari kerja sejak tanggal transaksi dalam hal perpanjangan
transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early
termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan
melalui Transaksi Derivatif; atau
c. pada tanggal jatuh waktu dalam hal perpanjangan transaksi (roll
over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan
pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi
Derivatif yang memiliki Underlying Transaksi berupa kegiatan
perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri yang
memiliki tanggal jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja.
(6) Dokumen …
- 20 -
(6) Dokumen Underlying Transaksi dalam rangka Transfer Rupiah
sebagaimana dimaksud pada Pasal 24 wajib diterima oleh Bank paling
lambat pada saat terjadinya penambahan dana Rupiah Pihak Asing.
Pasal 26
(1) Bank dapat menerima dokumen pendukung Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah yang disampaikan oleh Pihak Asing secara berkala
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Dokumen Underlying Transaksi bersifat final; dan
b. Bank telah mengetahui track record Pihak Asing dengan baik.
(2) Dalam hal Bank melakukan fungsi kustodian dan memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokumen pendukung dapat
diterima dari Pihak Asing paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun kalender.
(3) Dalam hal Bank tidak melakukan fungsi kustodian dan Pihak Asing
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokumen
pendukung dapat diterima paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
bulan kalender.
(4) Bank dapat menerima dokumen pendukung yang disampaikan oleh
Pihak Asing atas pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui
Transaksi Spot paling banyak sebesar USD100,000.00 (seratus ribu
dolar Amerika Serikat) per bulan per Pihak Asing atau ekuivalennya
paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.
Pasal 27
(1) Bank wajib menatausahakan dokumen Underlying Transaksi dan/atau
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 23,
dan Pasal 24.
(2) Penatausahaan dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian
dari pedoman internal tertulis Bank dalam melakukan Transaksi
Valuta …
- 21 -
Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2).
BAB V
PELAPORAN TRANSAKSI
Pasal 28
Dalam rangka pelaporan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, Bank
berpedoman kepada ketentuan yang mengatur mengenai laporan harian
bank umum.
BAB VI
SANKSI
Pasal 29
Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2), Pasal 22 ayat (2), dan Pasal 27 ayat (1) dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
Pasal 30
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 5 ayat (4), Pasal 7, Pasal
8 ayat 2, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), Pasal
15 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18 ayat (2), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22 ayat
(1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24, Pasal 25 ayat (2),
Pasal 25 ayat (3), Pasal 25 ayat (4), Pasal 25 ayat (5), dan/atau Pasal
25 ayat (6) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan
sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari nilai
nominal transaksi yang dilanggar untuk setiap pelanggaran, dengan
jumlah sanksi paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
(2) Perhitungan …
- 22 -
(2) Perhitungan nilai nominal transaksi yang dilanggar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. selisih antara total nilai nominal transaksi valuta asing terhadap
Rupiah dengan jumlah tertentu (threshold) kewajiban pemenuhan
Underlying Transaksi; atau
b. total nilai nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang
tidak didukung dengan Underlying Transaksi dalam hal nilai
nominal transaksi di bawah jumlah tertentu (threshold) tetapi
dilakukan netting.
(3) Penghitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menggunakan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate
(JISDOR) pada tanggal terjadinya pelanggaran.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 31
(1) Bank yang telah melakukan Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah
dengan Pihak Asing sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini,
tetap dapat meneruskan transaksi dimaksud sampai dengan jatuh
waktu transaksi.
(2) Transaksi Derivatif yang dilakukan sebelum berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini dan jatuh waktu setelah berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini, penyelesaiannya dapat dilakukan secara netting
untuk:
a. perpanjangan transaksi (roll over), sepanjang jangka waktu
perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka
waktu Underlying Transaksi awal;
b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau
c. pengakhiran transaksi (unwind).
(3) Pengaturan penyelesaian transaksi secara netting sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mengacu pada Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB …
- 23 -
BAB VIII
PENUTUP
Pasal 32
Peraturan Pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 33
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan
Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 50 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4504);
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/10/PBI/2012 tentang Perubahan
Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/14/PBI/2005 tentang
Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh
Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 157
dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5335);
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/9/PBI/2014 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/14/PBI/2005 tentang
Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh
Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 70 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5525);
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 34
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 10 November
2014.
Agar …
- 24 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 September 2014
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 September 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 213
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/17/ PBI/ 2014
TENTANG
TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA
BANK DENGAN PIHAK ASING
I. UMUM
Sebagai bank sentral yang diamanatkan undang-undang untuk
mengemban tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai
Rupiah, Bank Indonesia merumuskan berbagai kebijakan yang
ditujukan bagi pencapaian tujuan tersebut termasuk upaya untuk
mendorong pendalaman pasar keuangan khususnya pasar valuta
asing domestik. Pendalaman pasar valuta asing domestik merupakan
suatu langkah yang perlu dilakukan melalui pemberian panduan
transaksi yang lebih jelas dan fleksibilitas bagi pelaku ekonomi
dalam melakukan transaksi valuta asing untuk mendukung kegiatan
ekonomi nasional. Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia perlu
melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan terkait dengan
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak
Domestik, melalui pengaturan yang komprehensif untuk
meminimalkan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang
bersifat spekulatif dan dengan tetap mendukung kelancaran aktivitas
di sektor riil.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kontrak” adalah konfirmasi tertulis
yang menunjukkan terjadinya transaksi yang antara lain
berupa …
- 2 -
berupa dealing conversation, SWIFT, atau konfirmasi
tertulis lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar
negeri antara lain berupa kegiatan usaha pedagang
valuta asing.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “foreign direct investment”
adalah investasi langsung Nasabah ke luar negeri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Huruf a
Yang dimaksud dengan “realisasi investasi” adalah
terjadinya aliran dana dari Pihak Asing untuk penyelesaian
kegiatan investasi, termasuk investasi yang dalam proses
penyelesaian.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang …
- 3 -
Yang dimaksud dengan “future income” antara lain capital
gain, dividen, kupon, dan bunga.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Penghasilan dari investasi yang telah diterima dan penghasilan
yang akan diterima antara lain capital gain, dividen, kupon, dan
bunga.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Untuk saham yang diperdagangkan di bursa saham,
yang dimaksud dengan “batas waktu saham masih
memiliki hak atas dividen” adalah cum date, yaitu
akhir periode perdagangan saham di bursa dengan hak
dividen.
Pasal 12
Yang dimaksud dengan “cover hedging” adalah apabila Bank
melakukan hedging kepada Pihak Asing berupa bank di luar
negeri atas hedging yang telah dilakukan nasabah Bank kepada
Bank …
- 4 -
Bank yang bersangkutan dengan Underlying Transaksi yang
dimiliki oleh nasabah Bank dimaksud.
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penempatan” adalah penanaman
dana Bank pada Bank lain dalam bentuk giro, interbank call
money, deposito berjangka, sertifikat deposito, Kredit atau
Pembiayaan, dan penanaman dana lainnya yang sejenis.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “tagihan antar kantor” adalah
semua tagihan yang dimiliki Bank terhadap kantor pusat
atau kantor cabang di luar negeri baik untuk kepentingan
Bank maupun nasabah, yaitu:
1. bagi kantor cabang bank asing di Indonesia, tagihan
adalah dari kantor cabang bank asing di Indonesia
terhadap kantor pusat dan/atau kantor cabang lain di
luar negeri;
2. bagi bank yang berkantor pusat di Indonesia, tagihan
adalah dari kantor pusat dan/atau kantor cabang di
Indonesia terhadap kantor cabang di luar negeri.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “penyertaan modal” adalah
penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada Bank
dan perusahaan di bidang keuangan lainnya sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,
seperti perusahaan sewa guna usaha, modal ventura,
perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring
penyelesaian dan penyimpanan, termasuk penanaman
dalam …
- 5 -
dalam bentuk surat utang konversi (convertible bond)
dengan opsi saham (equity option) atau jenis transaksi
tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki
saham pada Bank dan/atau perusahaan yang bergerak di
bidang keuangan lainnya.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan structured product adalah produk
yang dikeluarkan oleh Bank yang merupakan kombinasi
berbagai instrumen dengan Transaksi Derivatif valuta asing
terhadap Rupiah untuk tujuan mendapatkan tambahan
income (return enhancement) yang dapat mendorong
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk tujuan
spekulatif dan dapat menimbulkan ketidakstabilan nilai
Rupiah.
Ayat (2)
Termasuk Bank sebagai agen penjual structured product
luar negeri (offshore product) yang terkait dengan valuta
asing terhadap Rupiah.
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
1. Yang dimaksud dengan “lead bank” adalah bank
yang berperan sebagai koordinator bagi anggota
sindikasi;
2. Yang dimaksud dengan “sektor riil” adalah sektor
produksi dan perdagangan barang dan jasa,
namun tidak termasuk sektor jasa keuangan
seperti kegiatan jual beli Surat Berharga.
3. Cukup jelas.
Huruf c
Termasuk …
- 6 -
Termasuk jenis kartu kredit untuk pembelian barang
produksi (procurement card).
Huruf d
Yang dimaksud dengan “Kredit atau Pembiayaan
konsumsi” yaitu pemberian Kredit atau Pembiayaan
untuk keperluan konsumsi di dalam negeri dengan
cara membeli, menyewa, atau dengan cara lain,
termasuk di dalamnya Kredit atau Pembiayaan
Pemilikan Rumah, Apartemen, Ruko, dan Rukan serta
Kredit atau Pembiayaan pembelian kendaraan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan dokumen yang bersifat
authenticated adalah dokumen yang identitas pihak
pengirim, isi pesan atau perintah, serta kode rahasia
dokumen dimaksud telah disepakati para pihak
sehingga hanya dapat dikonfirmasi atau diverifikasi
oleh pihak penerima pesan atau penerima perintah
secara individual.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Ketentuan ini tunduk kepada ketentuan yang
dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang mengenai
prinsip kehati-hatian dalam rangka pembelian Kredit
atau Pembiayaan oleh Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pembelian Surat Berharga yang
berkaitan dengan kegiatan ekspor barang dari Indonesia
dan impor barang ke Indonesia” adalah pembelian Wesel
Ekspor dan Banker’s Acceptance atas dasar transaksi Letter
of Credit (L/C) maupun non-L/C.
Yang …
- 7 -
Yang dimaksud dengan “pembelian Surat Berharga yang
berkaitan dengan perdagangan dalam negeri” adalah
pembelian wesel atau Banker’s Acceptance atas dasar
transaksi Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN).
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “status pihak penerima dana”
adalah status penerima dana sebagai Pihak Asing atau
bukan Pihak Asing.
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemindahan dana pokok secara
penuh” untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
adalah penyerahan dana secara riil untuk masing-masing
transaksi jual dan/atau transaksi beli valuta asing terhadap
Rupiah sebesar nilai penuh nominal transaksi atau
ekuivalennya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup …
- 8 -
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying
Transaksi yang bersifat final” adalah dokumen yang
tidak akan mengalami perubahan dalam hal jumlah
dan/atau waktu pemenuhan kebutuhannya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”pernyataan yang
authenticated” adalah pernyataan yang telah
diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya secara
sistem.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”pernyataan yang authenticated”
adalah pernyataan yang telah diverifikasi atau dibuktikan
kebenarannya secara sistem.
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying
Transaksi yang bersifat final” adalah dokumen yang
tidak akan mengalami perubahan dalam hal jumlah
dan/atau waktu pemenuhan kebutuhannya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”pernyataan yang
authenticated” adalah pernyataan yang telah
diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya secara
sistem.
Ayat (2)
Cukup …
- 9 -
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5582
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 16/17/PBI/2014 </reg_id>
<reg_title> TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING </reg_title>
<set_date> 17 September 2014 </set_date>
<effective_date> 10 November 2014 </effective_date>
<issued_date> 17 September 2014 </issued_date>
<replaced_reg> '16/9/PBI/2014', '7/14/PBI/2005', '14/10/PBI/2012' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 9/6/PBI/2007
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA
BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka mendorong pergerakan sektor riil,
diperlukan peran yang lebih besar dari perbankan melalui
pembiayaan kepada dunia usaha;
b. bahwa dalam melaksanakan pembiayaan dimaksud, bank
harus tetap mengelola risiko kredit dan meminimalkan
potensi kerugian yaitu dengan menjaga kualitas aktiva dan
membentuk penyisihan penghapusan aktiva yang memadai;
c. bahwa penilaian kualitas aktiva bank dalam rangka
mendorong pergerakan sektor riil perlu dilakukan dengan
mempertimbangkan sistem pengendalian risiko untuk
risiko kredit, pemenuhan rasio kewajiban penyediaan
modal minimum, dan peringkat komposit tingkat
kesehatan bank;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, dan huruf c, diperlukan perubahan
terhadap …
- 2 -
terhadap Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian
Kualitas Aktiva Bank Umum;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang
Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4471)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8/2/PBI/2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4598);
MEMUTUSKAN …
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA
BANK UMUM.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005
tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4471) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/2/PBI/2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4598)
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 6 ayat (2) diubah sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 6
(1) Penetapan kualitas yang sama terhadap Aktiva Produktif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) berlaku pula
terhadap Aktiva Produktif yang diberikan oleh lebih dari 1 (satu) Bank
yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) debitur atau 1 (satu) proyek
yang sama.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk:
a. Aktiva …
- 4 -
a. Aktiva Produktif yang diberikan oleh setiap Bank dengan jumlah
lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) kepada
1 (satu) debitur atau 1 (satu) proyek yang sama;
b. Aktiva Produktif yang diberikan oleh setiap Bank dengan jumlah
lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai
dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) kepada 1
(satu) debitur, yang merupakan 50 (lima puluh) debitur terbesar
Bank tersebut; dan/atau
c. Aktiva Produktif yang diberikan berdasarkan perjanjian
pembiayaan bersama kepada 1 (satu) debitur atau 1 (satu) proyek
yang sama.
(3) Dalam hal terdapat perbedaan penetapan kualitas terhadap Aktiva
Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kualitas
yang ditetapkan oleh setiap Bank terhadap Aktiva Produktif tersebut
mengikuti kualitas Aktiva Produktif yang paling rendah.
(4) Tidak termasuk dalam pengertian kualitas Aktiva Produktif yang
paling rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah:
a. kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan dengan menggunakan
faktor penilaian tambahan berupa risiko negara (country risk)
Republik Indonesia; dan/atau
b. kualitas Aktiva Produktif yang telah dihapus tagih.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikecualikan
dalam hal Aktiva Produktif ditetapkan berdasarkan faktor penilaian
yang berbeda.
2. Diantara Pasal 6 dan Pasal 7, disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 6A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6A …
- 5 -
Pasal 6A
(1) Bank dapat tidak menetapkan kualitas yang sama untuk Aktiva
Produktif yang diberikan kepada 1 (satu) debitur yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) sepanjang debitur memenuhi persyaratan paling
kurang sebagai berikut:
a. debitur memiliki beberapa proyek yang berbeda; dan
b.
terdapat pemisahan yang tegas antara arus kas (cash flow) dari
masing-masing proyek.
(2) Bank yang tidak menetapkan kualitas yang sama untuk Aktiva
Produktif yang diberikan kepada 1 (satu) debitur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. menginformasikan kepada Bank Indonesia daftar yang memuat
nama debitur beserta rincian masing-masing debitur yang
meliputi proyek yang dibiayai, plafon dan baki debet Aktiva
Produktif, kualitas yang ditetapkan oleh Bank, kualitas yang
ditetapkan oleh Bank lain, dan alasan penetapan kualitas yang
berbeda; dan
b. mendokumentasikan hal-hal yang terkait dengan penetapan
kualitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia, diketahui
bahwa penilaian yang dilakukan Bank tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penilaian yang digunakan
adalah penilaian sesuai ketentuan yang berlaku.
3. Penjelasan …
- 6 -
3. Penjelasan Pasal 7 ayat (1) diubah sebagaimana tercantum dalam
Penjelasan, dan ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (4) sehingga Pasal 7
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Bank wajib menyesuaikan penilaian kualitas Aktiva Produktif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 paling kurang setiap 3 (tiga)
bulan yaitu untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan
Desember.
(2) Bank wajib menyampaikan informasi dan penjelasan secara tertulis
kepada Bank Indonesia dalam hal terdapat perbedaan penetapan
kualitas Aktiva Produktif yang disebabkan oleh faktor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) huruf a.
(3) Informasi dan penjelasan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (2)
disampaikan paling lambat tanggal 13 (tiga belas) setelah posisi
kewajiban penyesuaian penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Informasi dan penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat:
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. MH. Thamrin No. 2,
Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja
kantor pusat Bank Indonesia;
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat
di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
4. Pasal 8 dihapus.
5. Ketentuan …
- 7 -
5. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
(1) Kualitas Surat Berharga yang diterbitkan atau diendos oleh bank lain
ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk Surat Berharga yang memiliki peringkat dan atau aktif
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, ditetapkan
berdasarkan kualitas yang terendah antara:
1) hasil penilaian berdasarkan ketentuan kualitas Surat
Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; atau
2) hasil penilaian berdasarkan ketentuan kualitas Penempatan
pada bank penerbit atau bank pemberi endosemen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1).
b. untuk Surat Berharga yang berdasarkan karakteristiknya tidak
aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan tidak
memiliki peringkat, ditetapkan berdasarkan ketentuan kualitas
Penempatan pada bank penerbit atau bank pemberi endosemen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1).
(2) Dalam hal Surat Berharga yang diterbitkan oleh bank lain berbentuk
Surat Berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu
yang mendasari maka Bank tetap harus memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
6. Pasal 23 dihapus.
7. Ketentuan Pasal 24 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat baru yakni ayat (2),
sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24 …
- 8 -
Pasal 24
(1) Kualitas Penempatan ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila:
1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio kewajiban
penyediaan modal minimum (KPMM) paling kurang sama
dengan ketentuan yang berlaku; dan
2)
tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga.
b. Kurang Lancar, apabila:
1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM
paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan
2)
terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga
sampai dengan 5 (lima) hari kerja.
c. Macet, apabila:
1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM
kurang dari ketentuan yang berlaku;
2) bank yang menerima Penempatan telah ditetapkan dan
diumumkan sebagai bank dengan status dalam pengawasan
khusus (special surveillance) atau bank telah dikenakan
sanksi pembekuan seluruh kegiatan usaha;
3) bank yang menerima Penempatan ditetapkan sebagai bank
dalam likuidasi; dan atau
4)
terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga lebih
dari 5 (lima) hari kerja.
(2) Kualitas Penempatan berupa Kredit kepada Bank Perkreditan Rakyat
dalam rangka Linkage Program dengan pola executing ditetapkan
sebagai berikut:
a. Lancar …
- 9 -
a. Lancar, apabila:
1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM
paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan
tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga.
2)
b. Kurang Lancar, apabila:
1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM
paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan
2)
terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga
sampai dengan 30 (tiga puluh) hari.
c. Macet, apabila:
1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM
kurang dari ketentuan yang berlaku;
2) bank yang menerima Penempatan telah ditetapkan dan
diumumkan sebagai bank dengan status dalam pengawasan
khusus (special surveillance) atau bank telah dikenakan
sanksi pembekuan seluruh kegiatan usaha;
3) bank yang menerima Penempatan ditetapkan sebagai bank
dalam likuidasi; dan atau
4)
terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga lebih
dari 30 (tiga puluh) hari.
8. Ketentuan Pasal 25 huruf a diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
Kualitas Tagihan Akseptasi ditetapkan berdasarkan:
a. ketentuan kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (1) apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah bank lain;
atau
b. ketentuan …
- 10 -
b. ketentuan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah debitur.
9. Ketentuan Pasal 26 ayat (2) huruf a diubah sehingga Pasal 26 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 26
(1) Tagihan atas Surat Berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali
ditetapkan berdasarkan kualitas dari pihak yang menjual Surat
Berharga dengan janji dibeli kembali.
(2) Kualitas dari pihak yang menjual Surat Berharga dengan janji dibeli
kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan:
a. ketentuan kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (1) apabila pihak yang menjual Surat Berharga
adalah bank lain; atau
b. ketentuan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
apabila pihak yang menjual Surat Berharga adalah bukan bank.
(3) Tagihan atas Surat Berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali
dengan aset yang mendasari berupa SBI dan atau SUN ditetapkan
memiliki kualitas Lancar.
10. Ketentuan Pasal 27 huruf a diubah sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 27
Kualitas Tagihan Derivatif ditetapkan berdasarkan:
a. ketentuan …
- 11 -
a. ketentuan penetapan kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (1) apabila pihak lawan transaksi (counterparty)
adalah bank lain; atau
b. ketentuan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
apabila pihak lawan transaksi (counterparty) adalah bukan bank.
11. Ketentuan Pasal 31 huruf a diubah sehingga Pasal 31 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 31
Kualitas Transaksi Rekening Administratif ditetapkan berdasarkan:
a. ketentuan penetapan kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (1) apabila pihak lawan transaksi (counterparty)
Transaksi Rekening Administratif tersebut adalah bank lain; atau
b. ketentuan penetapan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 apabila pihak lawan transaksi (counterparty) Transaksi
Rekening Administratif tersebut adalah debitur.
12. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
(1) Penetapan kualitas dapat hanya didasarkan atas ketepatan pembayaran
pokok dan atau bunga, untuk:
a. Kredit dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap
Bank kepada 1 (satu) debitur atau 1 (satu) proyek dengan jumlah
kurang dari atau sama dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah);
b. Kredit …
- 12 -
b. Kredit dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap
Bank kepada debitur Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan
jumlah:
1) Lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai
dengan Rp20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah) bagi
Bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) memiliki predikat penilaian kecukupan sistem
pengendalian risiko (risk control system) untuk risiko
kredit “sangat memadai” (strong);
b) memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan
ketentuan yang berlaku; dan
c) memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan Bank
paling kurang 3 (PK-3).
2) Lebih dari Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar
rupiah) bagi Bank yang yang memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a) memiliki predikat penilaian kecukupan sistem
pengendalian risiko untuk risiko kredit “dapat
diandalkan” (acceptable);
b) memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan
ketentuan yang berlaku; dan
c) memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan Bank
paling kurang 3 (PK-3);
c. Kredit …
- 13 -
c. Kredit dan penyediaan dana lain kepada debitur dengan lokasi
kegiatan usaha berada di daerah tertentu dengan jumlah kurang
dari atau sama dengan Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko
kredit, rasio KPMM, dan peringkat komposit tingkat kesehatan Bank
yang digunakan dalam penilaian kualitas Kredit dan penyediaan dana
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b didasarkan pada
penilaian Bank Indonesia yang diberitahukan kepada Bank pada tiap
semester.
(3) Penggunaan predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko
untuk risiko kredit, rasio KPMM, dan peringkat komposit tingkat
kesehatan Bank dalam penilaian kualitas Kredit dan penyediaan dana
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan
sebagai berikut:
a. penilaian kualitas Kredit dan penyediaan dana lainnya bulan
Januari sampai dengan Juni menggunakan predikat penilaian
kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit, rasio
KPMM, dan peringkat komposit tingkat kesehatan Bank
selambat-lambatnya posisi bulan September; dan
b. penilaian kualitas Kredit dan penyediaan dana lainnya bulan Juli
sampai dengan Desember menggunakan predikat penilaian
kecukupan sistem pengendalian risiko untuk risiko kredit, rasio
KPMM, dan peringkat komposit tingkat kesehatan Bank
selambat-lambatnya posisi bulan Maret.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
tidak diberlakukan untuk Kredit dan penyediaan dana lainnya yang
diberikan …
- 14 -
diberikan kepada 1 (satu) debitur Usaha Kecil dan Menengah (UKM)
dengan jumlah lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
yang merupakan:
a. Kredit yang direstrukturisasi; dan atau
b. Penyediaan dana kepada 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank.
(5) Penetapan kualitas kredit yang direstrukturisasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) huruf a tetap dilakukan berdasarkan ketentuan dalam
Pasal 57, Pasal 58, dan Pasal 59.
(6) Dalam hal terdapat penyimpangan yang signifikan dalam prinsip
perkreditan yang sehat, Bank Indonesia dapat menetapkan penilaian
kualitas Aktiva Produktif yang diberikan oleh Bank kepada debitur
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b berdasarkan faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10.
13. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 46
Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan
PPA ditetapkan sebagai berikut:
a. Surat Berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia atau memiliki peringkat investasi dan diikat secara gadai;
tanah, gedung, dan rumah tinggal yang diikat dengan hak tanggungan;
b.
c. mesin yang merupakan satu kesatuan dengan tanah dan diikat dengan
hak tanggungan;
d. pesawat udara atau kapal laut dengan ukuran di atas 20 (dua puluh)
meter kubik yang diikat dengan hipotek;
e. kendaraan …
- 15 -
e. kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia; dan
atau
f.
resi gudang yang diikat dengan hak jaminan atas resi gudang.
14. Ketentuan Pasal 48 ayat (1) diubah sehingga Pasal 48 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 48
(1) Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam
pembentukan PPA ditetapkan sebagai berikut:
a. Surat Berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa
efek di Indonesia atau memiliki peringkat investasi, paling tinggi
sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari nilai yang tercatat di
bursa efek pada akhir bulan;
b.
tanah, gedung, rumah tinggal, mesin yang dianggap sebagai satu
kesatuan dengan tanah, pesawat udara, kapal laut, kendaraan
bermotor, persediaan, dan resi gudang, paling tinggi sebesar:
1) 70% (tujuh puluh perseratus) dari penilaian, apabila
penilaian dilakukan dalam 12 (dua belas) bulan terakhir;
2) 50% (lima puluh perseratus) dari penilaian, apabila penilaian
yang dilakukan telah melampaui jangka waktu 12 (dua
belas) bulan namun belum melampaui 18 (delapan belas)
bulan;
3) 30% (tiga puluh perseratus) dari penilaian, apabila penilaian
yang dilakukan telah melampaui jangka waktu 18 (delapan
belas) bulan namun belum melampaui 24 (dua puluh empat)
bulan;
4) 0% …
- 16 -
4) 0% (nol perseratus) dari penilaian, apabila penilaian yang
dilakukan telah melampaui jangka waktu 24 (dua puluh
empat) bulan.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh
penilai independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (7)
atau penilai intern Bank, sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49.
(3) Bank wajib menggunakan nilai yang terendah apabila terdapat
beberapa nilai dari penilai independen atau penilai intern.
15. Penjelasan Pasal 57 ayat (2) diubah sebagaimana tercantum dalam
Penjelasan, dan ketentuan Pasal 57 ayat (5) diubah, serta ditambah 1 (satu)
ayat, yakni ayat (6), sehingga Pasal 57 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 57
(1) Kualitas Kredit setelah dilakukan restrukturisasi ditetapkan sebagai
berikut:
a.
b. kualitas tidak berubah untuk Kredit yang sebelum dilakukan
restrukturisasi tergolong Lancar, Dalam Perhatian Khusus atau
Kurang Lancar.
(2) Kualitas Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:
a. menjadi Lancar, apabila tidak terdapat tunggakan selama 3 (tiga)
kali periode pembayaran angsuran pokok dan atau bunga secara
berturut-turut sesuai dengan perjanjian Restrukturisasi Kredit;
atau
b. kembali …
setinggi-tingginya Kurang Lancar untuk Kredit yang sebelum
dilakukan restrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet;
- 17 -
b. kembali sesuai dengan kualitas Kredit sebelum dilakukan
Restrukturisasi Kredit atau kualitas yang sebenarnya apabila lebih
buruk sesuai dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 jika debitur tidak memenuhi kriteria dan atau syarat-
syarat dalam perjanjian Restrukturisasi Kredit dan atau
pelaksanaan Restrukturisasi Kredit tidak didukung dengan
analisis dan dokumentasi yang memadai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56.
(3) Dalam hal periode pembayaran angsuran pokok dan atau bunga kurang
dari 1 (satu) bulan, peningkatan kualitas menjadi Lancar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilakukan secepat-cepatnya
dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak dilakukan Restrukturisasi Kredit.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
berlaku juga untuk restrukturisasi ulang terhadap Kredit.
(5) Kualitas tambahan Kredit sebagai bagian dari paket Restrukturisasi
Kredit ditetapkan sama dengan kualitas Kredit yang direstrukturisasi.
(6) Penetapan kualitas Kredit yang direstrukturisasi sampai dengan jumlah
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) didasarkan atas ketepatan
pembayaran pokok dan/atau bunga.
16. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 59
(1) Penilaian kualitas Kredit yang telah direstrukturisasi wajib dilakukan
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak penetapan kualitas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) dan Pasal 58 huruf b.
(2) Penilaian …
- 18 -
(2) Penilaian kualitas Kredit yang tidak memenuhi kriteria dan atau syarat-
syarat dalam perjanjian Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 ayat (2) huruf b wajib dilakukan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
17. Penjelasan Pasal 60 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan
sehingga Pasal 60 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 60
Penetapan kualitas Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
Pasal 6, dan Pasal 6A berlaku pula bagi Kredit yang direstrukturisasi.
18. Penjelasan Pasal 70 ayat (4) diubah sebagaimana tercantum dalam
penjelasan sehingga Pasal 70 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 70
(1) Hapus buku dan atau hapus tagih hanya dapat dilakukan terhadap
penyediaan dana yang memiliki kualitas Macet.
(2) Hapus buku tidak dapat dilakukan terhadap sebagian penyediaan dana
(partial write off).
(3) Hapus tagih dapat dilakukan baik untuk sebagian atau seluruh
penyediaan dana.
(4) Hapus tagih terhadap sebagian penyediaan dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dilakukan dalam rangka
Restrukturisasi Kredit atau dalam rangka penyelesaian Kredit.
19. Ketentuan ayat (1) diubah sehingga Pasal 73 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 73 …
- 19 -
Pasal 73
(1) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
diatur dalam Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal
13, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 22, Pasal 33 ayat (3), Pasal 34, Pasal 37,
Pasal 38, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 47, Pasal 49,
Pasal 50 ayat (2), Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55,
Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62,
Pasal 63, Pasal 64 ayat (2), Pasal 65, Pasal 66, Pasal 69, Pasal 70,
Pasal 71 dan Pasal 72 dapat dikenakan sanksi administratif antara lain
berupa:
a.
teguran tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
c. pencantuman pengurus dan atau pemegang saham Bank dalam
daftar orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan
pengurus Bank,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
(2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank yang
melakukan pelanggaran terhadap Pasal 17 dan Pasal 18 wajib
membentuk PPA sebesar 100% (seratus perseratus) terhadap Aktiva
dimaksud.
Pasal II
Bank Indonesia dapat mengatur kembali ketentuan Pasal I angka 1, angka 2, dan
angka 12 dengan memperhatikan perkembangan kondisi perekonomian dan
perkembangan kinerja perbankan.
Pasal III …
- 20 -
Pasal III
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 2 April 2007.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Maret 2007
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 54
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 9/6/PBI/2006
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA
BANK UMUM
UMUM
Sebagai suatu lembaga yang fungsi utamanya adalah menghimpun dan
menyalurkan dana masyarakat, peran perbankan untuk menunjang pergerakan
sektor riil melalui pembiayaan sangat diharapkan.
Dalam melaksanakan pembiayaan dimaksud, bank perlu tetap mengelola
eksposur risiko kredit pada tingkat yang memadai sehingga dapat meminimalkan
potensi kerugian dari penyediaan dana. Berkaitan dengan hal tersebut, penerapan
manajemen risiko kredit pada setiap tahapan penyediaan dana, termasuk menjaga
kualitas aktiva dan pembentukan penyisihan penghapusan yang cukup, perlu
dilakukan secara efektif.
Dalam rangka mengoptimalkan peran pembiayaan oleh perbankan dan
melihat perkembangan kondisi yang terjadi dewasa ini, dipandang perlu untuk
memberikan keringanan sementara terhadap beberapa ketentuan dalam penilaian
kualitas aktiva bank. Keringanan ini diharapkan dapat membantu percepatan
pergerakan penyaluran dana ke sektor riil. Namun demikian keringanan
ini diberikan dengan tetap memperhatikan faktor penerapan prinsip kehati-hatian
dan …
- 2 -
dan manajemen risiko pada bank. Faktor-faktor tersebut antara lain sistem
pengendalian risiko untuk risiko kredit, pemenuhan rasio kewajiban
penyediaan modal minimum, dan peringkat komposit tingkat kesehatan bank.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 6
Ayat (1)
Contoh 1:
Bank B dan Bank C memberikan fasilitas Kredit kepada
debitur A. Karena fasilitas diberikan kepada debitur yang
sama maka kualitas yang ditetapkan untuk fasilitas Kredit
tersebut, baik oleh Bank B maupun Bank C, wajib sama.
Contoh 2:
Bank B dan Bank C masing-masing memberikan fasilitas
Kredit kepada debitur D dan debitur E yang digunakan
untuk membiayai proyek yang sama yaitu proyek A.
Karena fasilitas diberikan kepada proyek yang sama maka
kualitas yang ditetapkan untuk fasilitas Kredit tersebut,
baik kepada debitur D oleh Bank B maupun kepada
debitur E oleh Bank C, wajib sama.
Ayat (2)
Huruf a
Batas jumlah (limit) sebagaimana dimaksud dalam
pengaturan …
- 3 -
pengaturan ini diperhitungkan terhadap seluruh
fasilitas yang diberikan (plafon) kepada setiap
debitur atau setiap proyek, baik untuk debitur
individual maupun Kelompok Peminjam dalam hal
Aktiva Produktif digunakan untuk membiayai
proyek yang sama.
Aktiva Produktif yang diberikan oleh setiap Bank
dengan jumlah lebih dari Rp10.000.000.000,00
(sepuluh milyar rupiah) kepada 1 (satu) debitur atau
1 (satu) proyek yang sama, tidak dipengaruhi oleh
kualitas Aktiva Produktif yang diberikan oleh Bank
lain kepada debitur atau proyek yang sama dengan
jumlah kurang dari atau sama dengan
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
Huruf b
Yang dimaksud dengan 50 (lima puluh) debitur
terbesar adalah 50 (lima puluh) debitur terbesar
Bank secara individual.
Batas jumlah (limit) sebagaimana dimaksud dalam
pengaturan ini diperhitungkan terhadap seluruh
fasilitas yang diberikan (plafon) kepada setiap
debitur.
Aktiva Produktif yang diberikan oleh Bank dengan
jumlah lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00
(sepuluh milyar rupiah) kepada 1 (satu) debitur yang
merupakan …
- 4 -
merupakan 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank
tersebut, tidak dipengaruhi oleh kualitas Aktiva
Produktif yang diberikan oleh Bank lain kepada
debitur atau proyek yang sama dengan jumlah
kurang dari atau sama dengan Rp10.000.000.000,00
(sepuluh milyar rupiah).
Huruf c
Termasuk dalam pengertian Aktiva Produktif yang
diberikan berdasarkan perjanjian pembiayaan
bersama adalah struktur pembiayaan seperti
sindikasi.
Dalam menetapkan kualitas yang sama terhadap
Aktiva Produktif yang diberikan berdasarkan
perjanjian pembiayaan bersama tidak terdapat
batasan jumlah minimum. Dengan demikian, Aktiva
Produktif yang diberikan kepada 1 (satu) debitur
atau 1 (satu) proyek yang sama berdasarkan
perjanjian pembiayaan bersama wajib ditetapkan
kualitas yang sama meskipun Aktiva Produktif yang
diberikan oleh setiap Bank kurang dari
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
Ayat (3)
Contoh:
Bank B dan Bank C memberikan fasilitas Kredit kepada
debitur A, dengan hasil penilaian pada masing-masing
Bank adalah sebagai berikut:
a. Dalam …
- 5 -
a. Dalam Perhatian Khusus, pada Bank B; dan
b. Kurang Lancar, pada Bank C
Karena Kredit digunakan untuk membiayai 1 (satu)
debitur, maka kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan
untuk Kredit kepada debitur A mengikuti kualitas Kredit
yang paling rendah yaitu Kurang Lancar.
Ayat (4)
Huruf a
Hasil penilaian kualitas Aktiva Produktif yang lebih
rendah yang semata-mata disebabkan oleh
penggunaan faktor penilaian tambahan berupa risiko
negara (country risk) Republik Indonesia, tidak
mempengaruhi hasil penilaian kualitas Aktiva
Produktif yang diberikan kepada debitur atau proyek
yang sama di Bank lain yang ditetapkan dengan
faktor penilaian sebagaimana telah ditetapkan dalam
Peraturan Bank Indonesia yang berlaku tentang
Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. Namun,
dalam hal kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan
dengan faktor penilaian tambahan berupa risiko
negara (country risk) Republik Indonesia
memberikan hasil penilaian yang lebih baik
dibandingkan penilaian Aktiva Produktif yang
dinilai dengan faktor penilaian dalam Peraturan
Bank Indonesia yang berlaku tentang Penilaian
Kualitas Aktiva Bank Umum, maka kualitas Aktiva
Produktif …
- 6 -
Produktif tetap mengikuti kualitas yang paling
rendah yaitu kualitas yang ditetapkan berdasarkan
faktor penilaian dalam Peraturan Bank Indonesia
tersebut.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (5)
Contoh:
Kualitas Kredit ditetapkan berdasarkan faktor penilaian
berupa prospek usaha, kinerja (performance) debitur, dan
kemampuan membayar.
Sedangkan kualitas Surat Berharga yang diakui
berdasarkan harga perolehan ditetapkan berdasarkan
faktor penilaian berupa peringkat, ketepatan pembayaran
kupon atau kewajiban lainnya yang sejenis dan saat jatuh
tempo.
Oleh karena terdapat perbedaan faktor penilaian untuk
penetapan kualitas Kredit dan Surat Berharga maka
kualitas Kredit dan Surat Berharga dapat ditetapkan secara
berbeda meskipun untuk debitur atau proyek yang sama.
Angka 2
Pasal 6A
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b …
- 7 -
Huruf b
Termasuk dalam pengertian pemisahan yang tegas
antara arus kas dari masing-masing proyek adalah
tidak terdapat keterkaitan yang signifikan dalam
arus kas antar proyek. Keterkaitan arus kas dianggap
signifikan antara lain apabila kelangsungan arus kas
suatu proyek akan terganggu secara signifikan
apabila arus kas proyek lain mengalami gangguan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dokumentasi antara lain mencakup dokumen
pendukung yang menjelaskan kondisi debitur
sehingga tidak perlu melakukan penetapan kualitas
yang sama dengan Bank lain. Dokumen pendukung
tersebut merupakan data atau informasi yang
mendukung penilaian dari aspek prospek usaha,
kinerja maupun kemampuan membayar debitur serta
pertimbangan Bank dalam melakukan penilaian,
yang dapat berupa namun tidak terbatas pada
dokumen mengenai sumber dana/cash flow.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 7
Ayat (1) …
- 8 -
Ayat (1)
Penyesuaian penilaian kualitas Aktiva Produktif untuk
posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember
dilakukan dengan mengacu pada penilaian kualitas bulan
sebelumnya.
Dalam melakukan penyesuaian penilaian kualitas Aktiva
Produktif, Bank yang mengikuti penetapan kualitas yang
lebih rendah di bank lain (Bank follower) perlu
menatausahakan secara khusus perubahan kualitas Aktiva
Produktif yang disebabkan oleh mekanisme sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6. Selanjutnya Bank follower
secara aktif melakukan monitoring setiap bulan terhadap
kualitas Aktiva Produktif yang ditatausahakan secara
khusus tersebut untuk melihat perkembangan kualitas
Aktiva Produktif debitur atau proyek dimaksud di Bank
lain (Bank initiator).
Bank yang tidak perlu melakukan penyesuaian kualitas
debitur (Bank initiator) dengan kualitas debitur yang sama
di Bank lain karena kualitas debitur tersebut sama atau
lebih buruk dengan kualitas di Bank lain dan kemudian
kondisi debitur dimaksud membaik pada bulan
berikutnya, maka Bank dimaksud harus segera
memperbaiki kualitas debitur tersebut tanpa perlu
menunggu penilaian kualitas debitur di Bank lain posisi
akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember.
Untuk …
- 9 -
Untuk posisi akhir bulan selain akhir bulan Maret, Juni,
September dan Desember, Bank follower dapat
melakukan perubahan kualitas kredit yang telah
disesuaikan karena penerapan UCS mengikuti perbaikan
kualitas aktiva yang telah dilakukan penyesuaian oleh
Bank initiator, sepanjang kualitas tersebut memang sesuai
dengan kualitas aktiva di Bank follower.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Dalam hal tanggal 13 (tiga belas) jatuh pada hari libur,
informasi dan penjelasan tertulis tersebut disampaikan
paling lambat pada hari kerja sebelumnya.
Informasi dan penjelasan serta laporan hanya wajib
disampaikan apabila terdapat penilaian kualitas Aktiva
Produktif yang tidak disamakan dengan penilaian di Bank
lain
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup Jelas.
Angka 5
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a …
- 10 -
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Surat Berharga yang berdasarkan karakteristiknya
tidak aktif diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia dan tidak memiliki peringkat antara lain
adalah medium term notes dan pengambilalihan
wesel ekspor.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup Jelas.
Angka 7
Pasal 24
Rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) sesuai
dengan ketentuan yang berlaku adalah rasio KPMM yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk bank di dalam negeri atau
otoritas yang berwenang untuk bank di luar negeri.
Rasio KPMM didasarkan pada laporan keuangan publikasi
terakhir sesuai dengan periode yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia untuk bank di dalam negeri atau otoritas yang
berwenang untuk bank di luar negeri. Apabila laporan keuangan
publikasi terakhir atau data KPMM pada laporan keuangan
publikasi terakhir tidak tersedia, bank dianggap memiliki
KPMM kurang dari ketentuan yang berlaku.
Yang …
- 11 -
Yang dimaksud dengan Linkage Program adalah kerja sama
antara Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam
menyalurkan kredit kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
Linkage Program dengan pola executing adalah pinjaman yang
diberikan dari Bank Umum kepada BPR dalam rangka
pembiayaan untuk diteruspinjamkan kepada nasabah Usaha
Mikro dan Usaha Kecil.
Angka 8
Pasal 25
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 26
Ayat (1)
Surat Berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali
(reverse repurchase agreement) adalah pembelian Surat
Berharga dari pihak lain yang dilengkapi dengan
perjanjian untuk menjual kembali kepada pihak lain
tersebut pada akhir periode dengan harga atau imbalan
yang telah disepakati sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 10 …
- 12 -
Angka 10
Pasal 27
Sesuai ketentuan yang berlaku, transaksi derivatif yang
diperkenankan adalah yang berkaitan dengan suku bunga atau
valuta asing.
Angka 11
Pasal 31
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 35
Ayat (1)
Batas jumlah (limit) sebagaimana dimaksud dalam
pengaturan ini diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas
yang diberikan (plafon) kepada setiap debitur atau proyek,
baik untuk debitur individual maupun Kelompok
Peminjam dalam hal Kredit dan penyediaan dana lainnya
digunakan untuk membiayai proyek yang sama.
Huruf a
Yang dimaksud dengan penyediaan dana lainnya
adalah penerbitan jaminan dan atau pembukaan
letter of credit.
Termasuk sebagai Kredit dan penyediaan dana
lainnya adalah semua jenis Kredit atau penyediaan
dana lainnya yang diberikan kepada semua golongan
debitur.
Huruf b …
- 13 -
Huruf b
Pengertian Usaha Kecil dan Menengah (UKM)
mengacu pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Definisi Usaha Kecil saat ini antara lain diatur
dalam Undang-Undang No.9 tahun 1995 tentang
Usaha Kecil, yaitu usaha yang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
c. milik Warga Negara Indonesia;
d. berdiri sendiri, bukan merupakan anak
perusahaan atau cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung
maupun tidak langsung dengan usaha
menengah atau usaha besar;
e. berbentuk usaha orang perseorangan, badan
usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan
usaha yang berbadan hukum, termasuk
koperasi.
Adapun definisi Usaha Menengah saat ini
antara lain diatur dalam Instruksi Presiden Republik
Indonesia …
- 14 -
Indonesia No.10 tahun 1999 tentang Pemberdayaan
Usaha Menengah, yaitu usaha yang memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih lebih besar dari
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
sampai
dengan
paling
banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah),
tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha;
b. milik warga negara Indonesia;
c. berdiri sendiri dan bukan merupakan anak
perusahaan atau cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, dan berafiliasi baik langsung
maupun tidak langsung dengan usaha besar;
d. berbentuk usaha orang perseorangan, badan
usaha yang tidak berbadan hukum dan atau
badan usaha yang berbadan hukum.
Angka 1)
Huruf a)
Kecukupan sistem pengendalian risiko
(risk control system) meliputi:
a. pengawasan aktif Komisaris dan
Direksi Bank;
b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan
penetapan limit;
c. kecukupan …
- 15 -
c. kecukupan identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan sistem informasi
manajemen risiko; dan
d. sistem pengendalian intern yang
komprehensif,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku mengenai
Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank
Umum.
Secara umum, predikat penilaian
kecukupan sistem pengendalian risiko
untuk risiko kredit yang sangat memadai
(strong) dicerminkan melalui penerapan
seluruh komponen sistem pengendalian
risiko tersebut di atas terhadap seluruh
risiko kredit yang efektif untuk
memelihara kondisi internal Bank yang
sehat. Apabila terdapat kelemahan dalam
penerapan pengendalian intern,
kelemahan tersebut tidak bersifat
material terhadap risiko kredit dan dapat
segera dilakukan tindakan korektif
sehingga tidak menimbulkan pengaruh
yang signifikan terhadap kondisi Bank.
Huruf b)
Cukup Jelas.
Huruf c) …
- 16 -
Huruf c)
Peringkat komposit adalah peringkat
komposit sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku
mengenai Sistem Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum.
Angka 2)
Huruf a)
Kecukupan sistem pengendalian risiko
(risk control system) meliputi:
a. pengawasan aktif Komisaris dan
Direksi Bank;
b. kecukupan kebijakan, prosedur dan
penetapan limit;
c. kecukupan identifikasi, pengukuran,
pemantauan dan sistem informasi
manajemen risiko; dan
d. sistem pengendalian intern yang
komprehensif,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku mengenai
Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank
Umum.
Secara umum, predikat penilaian
kecukupan sistem pengendalian risiko
untuk risiko kredit dapat diandalkan
(acceptable) …
- 17 -
(acceptable) dicerminkan melalui
penerapan seluruh komponen sistem
pengendalian risiko tersebut di atas
terhadap seluruh risiko kredit yang
cukup efektif untuk memelihara kondisi
internal Bank yang sehat. Apabila
terdapat kelemahan dalam penerapan
pengendalian intern terhadap risiko
kredit, kelemahan tersebut tidak bersifat
material terhadap risiko kredit dan
apabila tidak segera dilakukan tindakan
korektif dapat menimbulkan pengaruh
yang signifikan terhadap kondisi Bank.
Huruf b)
Cukup Jelas.
Huruf c)
Peringkat komposit adalah peringkat
komposit sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku
mengenai Sistem Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum.
Huruf c
Kredit dan penyediaan dana lain kepada debitur
dengan lokasi kegiatan usaha berada di
daerah tertentu adalah Kredit atau penyediaan
dana lain dari Bank untuk investasi dan atau modal
kerja …
- 18 -
kerja di daerah tertentu yang menurut penilaian
Bank Indonesia memerlukan penanganan khusus
untuk mendorong pembangunan ekonomi di daerah
yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain adalah
penerbitan jaminan atau pembukaan letter of credit.
Batas pemberian fasilitas Kredit dan penyediaan
dana lain akan diperhitungkan terhadap seluruh
fasilitas yang diterima oleh setiap debitur baik untuk
debitur individual maupun kelompok peminjam
yang diterima dari satu Bank.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan 50 (lima puluh) debitur
terbesar adalah 50 (lima puluh) debitur terbesar
Bank secara individual.
Aktiva Produktif yang diberikan oleh Bank dengan
jumlah lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00
(sepuluh milyar rupiah) kepada 1 (satu) debitur yang
merupakan …
- 19 -
merupakan 50 (lima puluh) debitur terbesar Bank
tidak dipengaruhi oleh kualitas Aktiva Produktif
yang diberikan oleh Bank lain kepada debitur atau
proyek yang sama dengan jumlah kurang dari atau
sama dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar
rupiah).
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Ayat (6)
Cukup Jelas.
Angka 13
Pasal 46
Huruf a
Kriteria aktif diperdagangkan di bursa efek adalah
terdapat volume transaksi yang signifikan dan wajar
(arms length transaction) di bursa efek di Indonesia
dalam 10 (sepuluh) hari kerja terakhir.
Peringkat investasi didasarkan pada peringkat yang
diterbitkan oleh lembaga pemeringkat dalam satu tahun
terakhir. Apabila peringkat yang diterbitkan oleh lembaga
pemeringkat dalam satu tahun terakhir tidak tersedia maka
Surat Berharga dianggap tidak memiliki peringkat.
Huruf b
Pengikatan agunan secara hak tanggungan harus
sesuai dengan ketentuan dan prosedur dalam peraturan
perundang-undangan …
- 20 -
perundang-undangan yang berlaku, termasuk namun tidak
terbatas pada masalah pendaftaran, sehingga Bank
memiliki hak preferensi terhadap agunan dimaksud.
Huruf c
Pengikatan agunan secara hak tanggungan harus sesuai
dengan ketentuan dan prosedur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk namun tidak
terbatas pada masalah pendaftaran, sehingga Bank
memiliki hak preferensi terhadap agunan dimaksud.
Pemasangan hak tanggungan atas tanah beserta mesin
yang berada diatasnya harus dicantumkan dengan jelas
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan.
Huruf d
Pengikatan agunan secara hipotek harus sesuai dengan
ketentuan dan prosedur dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas
pada masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak
preferensi terhadap agunan dimaksud.
Huruf e
Pengikatan agunan secara fidusia harus sesuai dengan
ketentuan dan prosedur dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas
pada masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak
preferensi terhadap agunan dimaksud.
Huruf f …
- 21 -
Huruf f
Yang dimaksud dengan resi gudang adalah resi gudang
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 9
tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang dan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Hak jaminan atas resi gudang adalah hak jaminan yang
dibebankan pada resi gudang untuk pelunasan utang, yang
memberikan kedudukan untuk diutamakan bagi penerima
hak jaminan terhadap kreditor yang lain, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 2006
tentang Sistem Resi Gudang dan peraturan perundang-
undangan lainnya.
Angka 14
Pasal 48
Yang dimaksud dengan penilaian adalah pernyataan tertulis
dari penilai independen atau penilai intern Bank mengenai
taksiran dan pendapat atas nilai ekonomis dari agunan
berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta obyektif dan relevan
menurut metode dan prinsip-prinsip yang berlaku umum yang
ditetapkan oleh asosiasi dan atau institusi yang berwenang.
Angka 15
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 22 -
Ayat (2)
Peningkatan kualitas Kredit dari Kurang Lancar hanya
dapat dilakukan apabila tidak terdapat tunggakan selama 3
(tiga) kali periode pembayaran angsuran pokok dan atau
bunga secara berturut-turut sesuai dengan perjanjian
Restrukturisasi Kredit. Apabila periode dimaksud belum
terpenuhi, kualitas Kredit tidak dapat ditingkatkan
meskipun debitur telah membayar satu atau dua kali
angsuran.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Kredit yang direstrukturisasi mencakup Kredit kepada
UKM maupun Non UKM.
Angka 16
Pasal 59
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 60
Kredit yang direstrukturisasi dengan jumlah
lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak
dipengaruhi …
- 23 -
dipengaruhi oleh kualitas Kredit yang diberikan oleh Bank lain
kepada debitur atau proyek yang sama dengan jumlah kurang
dari atau sama dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar
rupiah).
Angka 18
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pelaksanaan hapus buku dilakukan terhadap seluruh
penyediaan dana yang diberikan dan diikat dalam satu
perjanjian.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Hapus tagih dalam rangka Restrukturisasi Kredit dan
penyelesaian Kredit dimaksudkan untuk kepentingan
transparansi kepada debitur.
Restrukturisasi Kredit dengan skema hapus tagih terhadap
sebagian penyediaan dana hanya dapat dilakukan untuk
Kredit yang sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong
kualitas macet.
Penyelesaian Kredit dapat dilakukan melalui
pengambilalihan agunan atau pelunasan oleh debitur.
Angka 19 …
- 24 -
Angka 19
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
Pasal III
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4716
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 9/6/PBI/2007 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 30 Maret 2007 </set_date>
<effective_date> 2 April 2007 </effective_date>
<changed_reg> '7/2/PBI/2005' </changed_reg>
<extension_of> '8/2/PBI/2006' </extension_of>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '8/2/PBI/2006', '7/2/PBI/2005', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 19 Pasal 73' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/31/PBI/2005
TENTANG
TRANSAKSI DERIVATIF
GUBERNUR BANK INDONESIA
Menimbang: a. bahwa
dalam rangka mendukung upaya Bank Indonesia untuk
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah diperlukan
perbankan dan pasar keuangan yang sehat;
b. bahwa sistem devisa bebas yang diterapkan di Indonesia telah
mempercepat perkembangan dan terintegrasinya pasar
keuangan Indonesia dengan pasar keuangan global, termasuk
kegiatan transaksi derivatifnya;
c. bahwa transaksi derivatif valuta asing margin trading yang
mengandung unsur spekulatif dapat menjadi salah satu faktor
yang berpengaruh terhadap pergerakan nilai tukar rupiah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta memperhatikan
prinsip kehati-hatian bank, dipandang perlu untuk mengatur
kembali ketentuan mengenai transaksi derivatif oleh Bank
dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 …
- 2 -
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3844);
4. Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang
Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4292);
M E M U T U S K A N
Menetapkan
: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
TRANSAKSI DERIVATIF.
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang …
- 3 -
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing
di Indonesia.
2. Transaksi Derivatif adalah transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau
perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen
yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti dan indeks,
baik yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau
instrumen, namun tidak termasuk transaksi derivatif kredit.
3. Margin Trading adalah Transaksi Derivatif tanpa pergerakan dana pokok
(notional amount) sehingga yang bergerak hanya margin yang merupakan
hasil perhitungan notional amount dengan selisih kurs dan atau selisih suku
bunga yang mempersyaratkan atau tidak mempersyaratkan adanya margin
deposit untuk menjamin pelaksanaan transaksi tersebut.
4. Margin Deposit adalah dana yang khusus dicadangkan untuk menutup
kerugian-kerugian yang mungkin timbul karena Transaksi Margin Trading
selama berlakunya kontrak Transaksi Margin Trading.
5. Maintenance Margin adalah jumlah Margin Deposit minimum yang tetap
harus dipelihara selama berlakunya kontrak Transaksi Margin Trading.
6. Margin Call adalah pemberitahuan mengenai tambahan setoran untuk
memenuhi margin deposit minimum yang telah disepakati dalam kontrak.
7. Modal adalah modal inti dan modal pelengkap sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum Bank Umum
8. Posisi Terbuka (Open Position) adalah posisi valuta dasar ( base currency )
Transaksi Derivatif yang masih terbuka.
9. Mark to …
- 4 -
9. Mark to market adalah cara perhitungan yang didasarkan atas kurs pasar
yang telah disepakati pada setiap akhir hari kerja secara konsisten bagi posisi
terbuka untuk menentukan kerugian atau keuntungan.
10. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank.
Pasal 2
(1) Bank dapat melakukan Transaksi Derivatif baik untuk kepentingan
sendiri maupun untuk kepentingan nasabah.
(2) Dalam melakukan Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Bank wajib melakukan Mark to Market.
Pasal 3
Dalam melakukan Transaksi Derivatif Bank wajib menerapkan manajemen
risiko sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku
tentang Penerapan Manajemen Risiko Bank Umum.
Pasal 4
(1) Bank wajib memberikan penjelasan secara lengkap kepada nasabah yang
akan melakukan Transaksi Derivatif .
(2) Penjelasan secara lengkap kepada nasabah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) antara lain meliputi penjelasan atas :
a. risiko kredit (credit risk),
b. risiko penyelesaian (settlement risk), dan
c. risiko pasar (market risk).
d. adanya …
- 5 -
d. adanya kemungkinan saldo Margin Deposit dapat menjadi nihil dan
bahkan negatif sehingga Bank
dapat meminta nasabah untuk
menambah Margin Deposit apabila nasabah akan melanjutkan atau
menutup transaksi Margin Trading.
(3) Transaksi Derivatif untuk kepentingan nasabah wajib berdasarkan
kontrak.
(4) Kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib mencakup paling
sedikit :
a. pagu transaksi derivatif:
b. base currency yang digunakan;
c. jenis valuta atau instrumen yang dipertukarkan;
d. penyelesaian transaksi derivatif (settlement);
e. pembukuan laba atau rugi Transaksi Derivatif yang dilakukan;
f. pencatatan atas posisi laba atau rugi;
g. metode atau cara transaksi derivatif;
h. besarnya komisi;
i. penggunaan kurs konversi;
j. advis dan konfirmasi transaksi derivatif;
k. kerahasiaan; dan
l. domisili dan hukum yang berlaku.
(5) Khusus untuk kontrak transaksi Margin Trading, selain mencakup materi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) juga wajib memuat hal-hal sebagai
berikut :
a. jumlah ….
- 6 -
a. jumlah Margin Deposit;
b. Maintenance Margin yang ditentukan; dan
c. hak dan kewajiban nasabah.
(6) Kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) wajib dicetak
dalam ukuran huruf yang besar sehingga mudah dibaca.
Pasal 5
(1) Bank dilarang memelihara posisi atas Transaksi Derivatif yang dilakukan
oleh pihak terkait dengan Bank.
(2) Bank dianggap memelihara posisi atas Transaksi Derivatif yang
dilakukan oleh pihak terkait dengan Bank apabila Bank tidak meneruskan
(pass-on) transaksi pihak terkait dengan Bank pada waktu dan jumlah
yang sama secara simultan kepada Bank lain yang bukan pihak terkait.
(3) Pihak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengacu
pada pengertian Pihak Terkait dengan Bank sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Batas Maksimum
Pemberian Kredit Bank Umum.
Pasal 6
Bank dilarang memberikan fasilitas kredit dan atau cerukan (overdraft) untuk
keperluan Transaksi Derivatif kepada Nasabah termasuk pemenuhan Margin
Deposit dalam rangka Transaksi Margin Trading .
Pasal 7…
- 7 -
Pasal 7
(1) Bank
hanya dapat melakukan Transaksi Derivatif yang
merupakan turunan dari valuta asing dan atau suku bunga.
nilainya
(2)Transaksi Derivatif yang nilainya merupakan turunan dari valuta asing
dan atau suku bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi,
namun tidak terbatas pada :
a. transaksi forward, swap, option, currency futures, dan transaksi
dengan valuta today dan tomorrow yang disintetiskan sebagai
Transaksi Derivatif ; dan atau
b. interest rate swap, interest rate option, FRAs, dan interest rate
futures.
(3) Bank
rupiah baik
dilarang melakukan Margin Trading valuta
untuk
nasabah dan melakukan Transaksi
sebagaimana dimaksud
di
pada ayat (1).
Pasal 8
(1) Kerugian Bank karena Transaksi Derivatif paling banyak 10% (sepuluh
perseratus) dari Modal Bank secara kumulatif dalam tahun berjalan.
(2) Perhitungan batas kerugian Bank paling banyak 10% sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk kerugian dari Transaksi
Derivatif yang belum di set-off dengan keuntungan transaksi non
derivatif yang langsung terkait dengan Transaksi Derivatif dimaksud.
3. Dalam hal …
asing terhadap
kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan
Derivatif
luar
transaksi
- 8 -
(3) Dalam hal kerugian Bank mencapai lebih dari 10% (sepuluh perseratus)
dari Modal Bank, Bank dilarang melakukan Transaksi Derivatif baru serta
wajib melapor kepada Bank Indonesia mengenai tindakan yang akan
dilakukan untuk mengatasi kerugian paling lambat pada hari kerja
berikutnya.
Pasal 9
(1) Bank yang melakukan Transaksi Margin Trading untuk kepentingan
nasabah tanpa diikuti pergerakan dana atau instrumen wajib meminta
nasabah untuk memenuhi:
a. Margin Deposit paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari pagu
Transaksi Margin Trading;dan
b. Maintenance Margin paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari
Margin Deposit;
(2) Bank wajib melakukan Margin Call kepada nasabah dalam hal Margin
Deposit telah mencapai Maintenance Margin.
(3) Bank
wajib menghentikan kegiatan Transaksi Derivatif untuk
kepentingan nasabah apabila setelah dilakukan Margin Call nasabah
tidak melakukan setoran tambahan paling lambat pada hari
berikutnya.
kerja
(4) Bank wajib memberikan laporan kepada nasabah secara mingguan
mengenai posisi Transaksi Derivatif nasabah dan laporan khusus pada
saat posisi nasabah dianggap cukup membahayakan, yaitu apabila
Nasabah menghadapi kemungkinan kerugian, sehingga dapat
mengakibatkan …
- 9 -
mengakibatkan Margin Deposit yang tersedia tidak dapat menutup
kerugian.
Pasal 10
(1) Bank wajib menyampaikan laporan mingguan kepada Bank Indonesia
mengenai Transaksi Derivatif sesuai dengan Format Laporan Transaksi
Derivatif Bank-Bank sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 dan 2
yang mencakup :
a. kerugian/keuntungan; dan
b. posisi Transaksi
Derivatif, baik untuk kepentingan bank sendiri
maupun untuk kepentingan nasabah.
(2) Laporan mingguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
periode sebagai berikut :
a. masa laporan minggu pertama mulai tanggal 1 (satu) sampai dengan
tanggal 7 (tujuh).
b. masa laporan minggu kedua mulai tanggal 8 (delapan) sampai dengan
tanggal 15 (lima belas).
c. masa laporan minggu ketiga mulai tanggal 16 (enam belas) sampai
dengan tanggal 23 (dua puluh tiga).
d. masa laporan minggu keempat mulai tanggal 24 (dua puluh empat)
sampai dengan akhir bulan.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada
Bank Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya
periode laporan.
(4) Batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
termasuk masa untuk menyampaikan koreksi laporan.
Pasal 11…
- 10 -
Pasal 11
(1) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 2 ayat (2), Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10 dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar
sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari nilai nominal transaksi yang
dilanggar.
(2) Total kewajiban membayar untuk transaksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling banyak sebesar Rp.27.000.000.000 (dua puluh tujuh
milyar rupiah) dalam 1 tahun kalender.
Pasal 12
Bank yang pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini masih
memiliki posisi (outstanding) Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 dan belum jatuh tempo, maka 1 (satu) bulan setelah
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini Bank wajib menihilkan posisi
tersebut.
Pasal 13
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia No.28/119/KEP/DIR tanggal 29 Desember 1995
tentang Transaksi Derivatif dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 14 …
- 11 -
Pasal 14
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 15 September 2005.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 September 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 85
DPD
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/31/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> TRANSAKSI DERIVATIF </reg_title>
<set_date> 13 September 2005 </set_date>
<effective_date> 15 September 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '28/119/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '5/8/PBI/2003', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 11' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/ 15 /PBI/2014
TENTANG
KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a.
b.
c.
d.
bahwa penyelenggara kegiatan usaha penukaran
valuta asing sebagai penunjang sektor keuangan
memiliki peranan strategis dalam mendukung
pencapaian stabilitas nilai Rupiah;
bahwa untuk menciptakan tata kelola yang baik
dan mencegah dimanfaatkannya kegiatan usaha
penukaran valuta asing sebagai sarana
pencucian uang dan pendanaan terorisme, perlu
dilakukan pemurnian dan penguatan kegiatan
usaha penukaran valuta asing yang dilakukan
oleh penyelenggara bukan Bank;
bahwa dalam rangka memberikan kepastian dan
perlindungan kepada masyarakat, perlu
dilakukan penataan kembali terkait dengan
perizinan dan pengawasan kegiatan usaha
penukaran valuta asing yang dilakukan oleh
penyelenggara bukan Bank;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,
perlu mengatur kembali Peraturan Bank
Indonesia mengenai kegiatan usaha penukaran
valuta asing yang dilakukan oleh penyelenggara
bukan Bank;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia …
- 2 -
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang
Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3844);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5164);
4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5406);
MEMUTUSKAN …
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEGIATAN
USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Uang Kertas Asing (banknotes) yang selanjutnya disingkat UKA
adalah uang kertas dalam valuta asing yang resmi diterbitkan oleh
suatu negara di
pembayaran yang sah negara yang bersangkutan (legal tender).
2. Cek Pelawat (traveller’s cheque) adalah cek perjalanan dalam valuta
asing yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran.
3. Perseroan Terbatas adalah badan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Perseroan Terbatas.
4. Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing yang selanjutnya disingkat
KUPVA adalah kegiatan jual dan beli UKA, dan pembelian Cek
Pelawat.
5. Penyelenggara KUPVA Bukan Bank adalah perusahaan berbadan
hukum Perseroan Terbatas bukan Bank yang melakukan KUPVA
(money changer).
6. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank.
7. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai Perseroan Terbatas.
8. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Perseroan Terbatas.
luar Indonesia yang diakui sebagai alat
BAB …
- 4 -
BAB II
PENYELENGGARA KEGIATAN USAHA
PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK
Pasal 2
(1) Kegiatan usaha yang dilakukan oleh Penyelenggara KUPVA Bukan
Bank meliputi:
a. kegiatan penukaran yang dilakukan dengan mekanisme jual dan
beli UKA; dan
b. pembelian Cek Pelawat.
(2) Transaksi jual dan beli UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a diatur sebagai berikut:
a. penyerahan UKA wajib dilakukan secara fisik; dan
b. penyerahan Rupiah dilakukan secara fisik atau melalui transfer
intrabank atau antarbank sepanjang berasal dari atau ditujukan
kepada rekening Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
(3) Dalam melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib menerapkan
ketentuan mengenai anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme.
(4) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib melakukan pencatatan
transaksi sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku.
(5) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib menyimpan dokumen dan
warkat yang berhubungan dengan pencatatan transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 3
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dilarang:
a. bertindak sebagai agen penjual Cek Pelawat;
b. melakukan kegiatan margin trading, spot, forward, swap, dan
transaksi derivatif lainnya baik untuk kepentingan Nasabah maupun
kepentingan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank;
c. melakukan …
- 5 -
c. melakukan transaksi jual dan beli UKA serta pembelian Cek Pelawat
dengan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang tidak memiliki izin
dari Bank Indonesia;
d. melakukan kegiatan penyelenggaraan transfer dana atau kegiatan
usaha pengiriman uang; dan
e. melakukan kegiatan usaha lainnya di luar kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
Pasal 4
(1) Selain larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank dilarang:
a. menjadi pemilik penyelenggara KUPVA tidak berizin;
b. melakukan kerja sama dengan penyelenggara KUPVA tidak berizin;
dan
c. melakukan kegiatan usaha melalui penyelenggara KUPVA tidak
berizin.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula untuk
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank.
Pasal 5
Selain larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Direksi,
Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank dilarang:
a. melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) untuk kepentingan pribadi dengan menggunakan
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank sebagai sarana; dan/atau
b. melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) untuk kepentingan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
dengan atas nama pribadi.
Pasal …
- 6 -
Pasal 6
Dalam melakukan kegiatannya, Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
menetapkan kurs jual dan beli UKA, dan kurs beli Cek Pelawat sesuai
dengan mekanisme pasar.
BAB III
PERIZINAN PENYELENGGARA KEGIATAN USAHA
PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK
Pasal 7
(1) Badan usaha bukan Bank yang akan melakukan kegiatan usaha
sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib terlebih dahulu
memperoleh izin dari Bank Indonesia.
(2) Direksi, Dewan Komisaris, dan pemegang saham dari badan usaha
bukan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih
dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
(3) Untuk memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), badan usaha bukan Bank harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. berbadan hukum Perseroan Terbatas yang seluruh sahamnya
dimiliki oleh:
1. warga negara Indonesia; dan/atau
2. badan usaha yang seluruh sahamnya dimiliki oleh warga
negara Indonesia;
b. mencantumkan dalam anggaran dasar perseroan bahwa maksud
dan tujuan perseroan adalah melakukan kegiatan jual beli UKA
dan pembelian Cek Pelawat;
c. memenuhi jumlah modal disetor yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia; dan
d. modal disetor tidak berasal dari dan/atau untuk tujuan pencucian
uang (money laundering).
(4) Permohonan izin sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis
oleh Direksi.
(5) Ketentuan …
- 7 -
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
permohonan izin sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 8
(1) Dalam menerbitkan izin sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank,
Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (3);
b. pemeriksaan lokasi tempat usaha pemohon izin; dan
c. penyuluhan ketentuan kepada Direksi, Dewan Komisaris, dan
pemegang saham pemohon izin.
(2) Pemeriksaan lokasi tempat usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dilakukan setelah pemohon izin memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3).
(3) Penyuluhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dilakukan setelah lokasi tempat usaha dinyatakan layak oleh Bank
Indonesia berdasarkan pemeriksaan lokasi tempat usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(4) Penyuluhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
juga dilakukan dalam rangka pemberian persetujuan atas perubahan
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan lokasi tempat
usaha dan penyuluhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dan huruf c diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) Direksi, Dewan Komisaris, dan pemegang saham pemohon izin
sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank harus mengikuti
penyuluhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
huruf c.
(2) Dalam …
- 8 -
(2) Dalam hal Direksi, Dewan Komisaris, dan pemegang saham pemohon
izin tidak menghadiri penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sampai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
maka pemohon izin dinyatakan membatalkan permohonannya.
Pasal 10
Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan pembatasan perizinan
sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
Pasal 11
Izin sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang telah diperoleh dari
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dilarang
dialihkan kepada pihak lain atau digunakan oleh pihak lain.
Pasal 12
(1) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang telah memperoleh izin dari
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) wajib
melaksanakan kegiatannya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
sejak tanggal pemberian izin.
(2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilaporkan oleh Direksi kepada Bank Indonesia paling lambat
10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal dimulainya pelaksanaan
kegiatan usaha.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank belum melaksanakan kegiatan
usaha maka izin yang telah diberikan oleh Bank Indonesia menjadi
batal dan dinyatakan tidak berlaku.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin dan
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB …
- 9 -
BAB IV
PENYELENGGARAAN KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING
BUKAN BANK
Bagian Kesatu
Direksi, Dewan Komisaris, dan Pemegang Saham
Pasal 13
Direksi dan Dewan Komisaris Penyelenggara KUPVA Bukan Bank harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b.
tidak tercatat dalam daftar hitam nasional penarik cek dan/atau
bilyet giro kosong;
c.
d.
tidak memiliki kredit bermasalah sesuai data dalam sistem informasi
kredit;
tidak sedang dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di
bidang perbankan dan keuangan dalam 2 (dua) tahun terakhir
berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap;
e.
tidak sedang dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana
pencucian uang dan pendanaan terorisme dalam 2 (dua) tahun
terakhir berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap;
f.
tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota Direksi, atau
anggota Dewan Komisaris dari suatu Perseroan Terbatas dengan
kegiatan usaha KUPVA yang dicabut izin usahanya oleh Bank
Indonesia karena pelanggaran dalam jangka waktu 2 (dua) tahun
sebelum tanggal pengajuan permohonan;
g.
telah mengikuti penyuluhan ketentuan terkait dengan KUPVA yang
diadakan oleh Bank Indonesia; dan
h. memiliki komitmen untuk melaksanakan tugas dan kewajiban dalam
menjalankan kegiatan usaha berdasarkan ketentuan mengenai
kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan Bank dan perundang-
undangan lain yang berlaku.
Pasal …
- 10 -
Pasal 14
Pemegang saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia;
b.
tidak tercatat dalam daftar hitam nasional penarik cek dan/atau
bilyet giro kosong;
c.
d.
tidak memiliki kredit bermasalah sesuai data dalam sistem informasi
kredit;
tidak sedang dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di
bidang perbankan dan keuangan dalam 2 (dua) tahun terakhir
berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap;
e.
tidak sedang dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana
pencucian uang dan pendanaan terorisme dalam 2 (dua) tahun
terakhir berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap;
f.
tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota Direksi, atau
anggota Dewan Komisaris dari suatu Perseroan Terbatas dengan
kegiatan usaha KUPVA yang dicabut izin usahanya oleh Bank
Indonesia karena pelanggaran dalam jangka waktu 2 (dua) tahun
sebelum tanggal pengajuan permohonan;
g.
telah mengikuti penyuluhan ketentuan terkait dengan KUPVA yang
diadakan oleh Bank Indonesia; dan
h. memiliki komitmen untuk mematuhi ketentuan yang mengatur
mengenai kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan Bank dan
peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
Pasal 15
(1) Dalam hal Penyelenggara KUPVA Bukan Bank akan melakukan
perubahan terhadap Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang
saham maka calon Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang
saham …
- 11 -
saham wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank
Indonesia.
(2) Calon Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 dan Pasal 14.
(3) Pengangkatan Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang telah memperoleh
persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen
pendukung.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan persetujuan
dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 16
(1) Pemegang saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib
melakukan penggantian Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang
terlibat tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme,
dan/atau tindak pidana di bidang perbankan dan keuangan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap.
(2) Pemegang saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib
mengalihkan sahamnya kepada pihak lain, dalam hal pemegang
saham terlibat tindak pidana pencucian uang dan pendanaan
terorisme, dan/atau tindak pidana di bidang perbankan dan
keuangan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap.
(3) Penggantian Direksi dan/atau Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan pengalihan saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan
setelah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Bagian …
- 12 -
Bagian Kedua
Kewajiban Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
Pasal 17
(1) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib memasang:
a. logo Penyelenggara KUPVA berizin yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia;
b. sertifikat izin usaha yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; dan
c. tulisan “Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing
Berizin” (“Authorized Money Changer”), dan nama Perseroan
Terbatas Penyelenggara KUPVA, di tempat yang mudah terlihat
pada lokasi usaha.
(2) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib menggunakan tulisan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dalam setiap bentuk
dokumen, korespondensi, maupun bentuk lainnya.
(3) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dapat menggunakan nama
dagang dengan ketentuan sebagai berikut:
a. hanya memiliki 1 (satu) nama dagang; dan
b. nama dagang mencerminkan nama Perseroan Terbatas dari
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
Bagian Ketiga
Pembukaan Kantor Cabang dan Gerai (Counter)
Pasal 18
(1) Pembukaan kantor cabang Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib
terlebih dahulu memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
(2) Pembukaan kantor cabang Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan
permodalan, kelayakan lokasi, dan kesiapan pembukaan kantor
cabang serta pemenuhan kepatuhan terhadap ketentuan yang
berlaku.
(3) Ketentuan …
- 13 -
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
permohonan, serta prosedur pemberian persetujuan diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 19
(1) Pembukaan gerai (counter) di luar kantor Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank wajib terlebih dahulu dilaporkan kepada Bank Indonesia
untuk memperoleh penegasan.
(2) Pembukaan gerai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
untuk jangka waktu dan tujuan tertentu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan, jangka waktu,
dan tujuan pembukaan gerai oleh Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Pemindahan Alamat Kantor
Pasal 20
(1) Pemindahan alamat kantor Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib
terlebih dahulu memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
(2) Pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan kelayakan lokasi dan kesiapan
pemindahan alamat kantor.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan persetujuan,
persyaratan kelayakan lokasi, dan kesiapan pemindahan alamat
kantor diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian …
- 14 -
Bagian Kelima
Perubahan Nama dan Modal
Pasal 21
(1) Perubahan nama dan modal Perseroan Terbatas Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia setelah
perubahan tersebut memperoleh persetujuan dari otoritas yang
berwenang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan perubahan
nama dan modal Penyelenggara KUPVA Bukan Bank diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Keenam
Penghentian Kegiatan Usaha Kantor Pusat dan/atau Penutupan Kantor
Cabang
Pasal 22
(1) Penghentian kegiatan usaha kantor pusat dan/atau penutupan
kantor cabang Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dapat dilakukan
atas:
a. permintaan Bank Indonesia; atau
b. permintaan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank, berdasarkan
alasan tertentu.
(2) Penghentian kegiatan usaha kantor pusat dan/atau penutupan
kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib
terlebih dahulu memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
(3) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Penyelenggara KUPVA Bukan Bank menyampaikan permohonan
yang disertai dengan alasan penghentian kegiatan usaha kantor
pusat dan/atau penutupan kantor cabang dan dilengkapi paling
kurang dengan:
a. fotokopi risalah Rapat Umum Pemegang Saham mengenai
penghentian kegiatan usaha kantor pusat dan/atau keputusan
Direksi mengenai penutupan kantor cabang;
b. pernyataan …
- 15 -
b. pernyataan dari pemegang saham bahwa Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank telah menyelesaikan seluruh kewajiban dan akan
bertanggung jawab terhadap tuntutan di kemudian hari;
c. logo Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia; dan
d. sertifikat izin usaha Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dan
persetujuan pembukaan kantor cabang Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank.
(4) Atas penghentian kegiatan usaha kantor pusat dan/atau penutupan
kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka izin usaha
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank atau persetujuan pembukaan
kantor cabang Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
BAB V
PELAPORAN PENYELENGGARA KUPVA BUKAN BANK
Pasal 23
(1) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib menyampaikan laporan
kepada Bank Indonesia yang meliputi:
a. laporan berkala; dan
b. laporan insidental.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sesuai
dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
disampaikan secara online melalui sistem aplikasi pelaporan Bank
Indonesia.
(4) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
disampaikan kepada Bank Indonesia secara tertulis dan
ditandatangani oleh Direksi.
(5) Dalam hal terdapat gangguan terhadap sistem aplikasi pelaporan
atau terdapat alasan tertentu yang menyebabkan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat disampaikan secara
online …
- 16 -
online, Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib menyampaikan
laporan kepada Bank Indonesia secara tertulis dan ditandatangani
oleh Direksi.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu dan tata cara
penyampaian laporan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VI
PENGAWASAN PENYELENGGARA KUPVA BUKAN BANK
Pasal 24
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank.
(2) Pengawasan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. pengawasan langsung; dan
b. pengawasan tidak langsung.
(3) Dalam melakukan pengawasan terhadap Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
berwenang memberikan surat pembinaan dan mengenakan sanksi.
(4) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank wajib menindaklanjuti surat
pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 25
(1) Dalam melaksanakan pengawasan langsung terhadap Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2)
huruf a, Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan
atas nama Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaan terhadap
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
(2) Pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia untuk melakukan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. menjaga kerahasiaan data dan informasi yang diperoleh dari hasil
pemeriksaan; dan
b. menyampaikan …
- 17 -
b. menyampaikan laporan hasil pemeriksaan kepada Bank
Indonesia.
BAB VII
PERMINTAAN INFORMASI
Pasal 26
Dalam rangka memastikan pemenuhan ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini, Bank Indonesia berwenang meminta informasi kepada
otoritas atau instansi yang terkait.
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 27
(1) Pihak-pihak yang selama ini telah melakukan kegiatan penukaran
valuta asing tanpa izin Bank Indonesia, wajib mengajukan izin
sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dengan mengacu pada
Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Pengajuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaksanakan paling lambat tanggal 1 Januari 2015.
(3) Dalam hal Bank Indonesia mengetahui adanya Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank yang tidak memiliki izin dari Bank Indonesia, Bank
Indonesia dapat merekomendasikan kepada otoritas yang berwenang
untuk:
a. mencabut izin usaha; dan/atau
b. menghentikan kegiatan usaha.
BAB IX
SANKSI
Pasal 28
(1) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang melanggar ketentuan dalam
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 7 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12,
Pasal …
- 18 -
Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (1), Pasal
20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 23, dan/atau
Pasal 24 ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda;
c. pembatalan izin;
d. penghentian kegiatan usaha; dan/atau
e. pencabutan izin.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 29
(1) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dikenakan sanksi
berupa pencabutan izin.
(2) Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), dikenakan sanksi berupa larangan
untuk menjadi Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 30
(1) Pedagang Valuta Asing Bukan Bank yang telah memperoleh izin
berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/22/PBI/2010
tentang Pedagang Valuta Asing, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. izin sebagai Pedagang Valuta Asing Bukan Bank tetap berlaku dan
dinyatakan sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank; dan
b. tetap …
- 19 -
b. tetap dapat melakukan kegiatan sebagai Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank sesuai Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Pedagang Valuta Asing Bukan Bank yang telah memperoleh izin
sebagai penyelenggara Transfer Dana sebelum berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. memisahkan kegiatan sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
dengan kegiatan sebagai penyelenggara Transfer Dana; atau
b. menghentikan kegiatan sebagai penyelenggara Transfer Dana atau
kegiatan sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
(3) Pemisahan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dilakukan dengan membentuk badan usaha baru untuk melakukan
kegiatan sebagai penyelenggara Transfer Dana.
(4) Penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
mengacu pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
(5) Pemisahan atau penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib dilakukan paling lambat tanggal 1 Januari 2015.
(6) Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang tidak melakukan pemisahan
atau penghentian salah satu kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b dalam batas waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), maka izin sebagai penyelenggara Transfer Dana dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih
lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 32
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka :
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/22/PBI/2010 tentang Pedagang
Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor …
- 20 -
Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5177) sepanjang mengatur mengenai Pedagang Valuta Asing Bukan
Bank, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
b. Semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor
12/22/PBI/2010 tentang Pedagang Valuta Asing (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 146, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5177), dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 33
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 11 September 2014
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 11 September 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 206
DKSP
AMIR SYAMSUDIN
PENJELASAN
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/ 15 /PBI/2014
TENTANG
KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK
I. UMUM
Dalam rangka kesinambungan pengaturan terhadap pedagang valuta
asing yang meliputi kegiatan pemberian izin usaha, pengawasan, dan
pembinaan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sejak tahun 1967
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1965 tentang Tata
Tjara Penggunaan, Pembebanan dan Pemindahan Hak Atas Devisa Jang
Tidak Diharuskan Untuk Diserahkan Kepada Dana Devisa (Devisa
Pelengkap), dan upaya melindungi kepentingan publik agar tidak terjadi
distorsi (market failure) dalam kegiatan perekonomian nasional khususnya
transaksi jual beli uang kertas asing, Bank Indonesia mengatur kembali
Peraturan Bank Indonesia mengenai Kegiatan Usaha Penukaran Valuta
Asing (KUPVA), yang dahulu dikenal dengan kegiatan pedagang valuta
asing.
Dalam rangka untuk lebih memfokuskan kegiatan penukaran valuta
asing sehingga dapat lebih mendukung pencapaian stabilisasi nilai
Rupiah perlu dilakukan pemurnian kegiatan penukaran valuta asing.
Pemurnian kegiatan tersebut pada gilirannya dapat menciptakan iklim
usaha yang sehat dalam mendukung pertumbuhan industri penukaran
valuta asing dan meningkatkan efektifitas pengawasan sistem
pembayaran yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
Proses pemurnian kegiatan usaha Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
tersebut diberikan masa transisi sampai dengan tanggal 31 Desember
2014. Selain itu, masa transisi tersebut ditujukan pula kepada seluruh
pihak yang melakukan kegiatan penukaran valuta asing tanpa izin dari
Bank Indonesia untuk melakukan proses perizinan sebagai Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank.
II. PASAL …
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan mengenai anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme antara lain adalah Peraturan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penerapan program anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme pada
pedagang valuta asing bukan Bank dan peraturan perundang-
undangan lainnya mengenai penerapan anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “margin trading” adalah transaksi jual beli
mata uang (valuta) tanpa diikuti pergerakan dana, melainkan
hanya marjin selisih kurs.
Yang dimaksud dengan “spot” adalah transaksi jual beli tunai
antara 2 (dua) mata uang (valuta) dengan penyerahan dana
dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
Yang dimaksud dengan “forward” adalah transaksi jual beli
berjangka antara 2 (dua) mata uang (valuta) dengan penyerahan
dana …
- 3 -
dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal
transaksi.
Yang dimaksud dengan “swap” adalah transaksi pertukaran
antara 2 (dua) mata uang (valuta) melalui pembelian atau
penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau pembelian secara
berjangka (forward) yang dilakukan secara bersamaan.
Yang dimaksud “transaksi derivatif” adalah transaksi yang
didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang
nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari
seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti, dan indeks, baik
yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau
instrumen.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha lainnya” antara lain
kegiatan transaksi jual dan beli emas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Larangan untuk melakukan kegiatan usaha meliputi kegiatan usaha
yang dilakukan oleh Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang
saham Penyelenggara KUPVA Bukan Bank baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Cukup …
- 4 -
Cukup jelas.
Huruf b
Pemeriksaan lokasi tempat usaha pemohon izin antara lain
dilihat dari kesiapan sarana dan prasarana, serta
mekanisme dan prosedur dalam melakukan kegiatan
usaha.
Huruf c
Penyuluhan ketentuan yang terkait dengan KUPVA
bertujuan untuk:
1. menginformasikan ketentuan mengenai penyelenggara
KUPVA dan perundang-undangan terkait lainnya yang
berlaku; dan
2. meningkatkan pemahaman calon pelaku usaha dalam
menerapkan ketentuan dan menjalankan kegiatan
usaha.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Pembatasan perizinan KUPVA Bukan Bank didasarkan pada
pertimbangan antara lain efisiensi industri, menjaga kepentingan
publik, menjaga pertumbuhan industri yang sehat, dan/atau
persaingan usaha yang sehat. Pembatasan tersebut dapat dilakukan
dalam batas waktu tertentu dan/atau wilayah tertentu.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal …
- 5 -
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kredit bermasalah” adalah kredit yang
memiliki kualitas kurang lancar, diragukan, atau macet.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 14
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kredit bermasalah” adalah kredit yang
memiliki kualitas kurang lancar, diragukan, atau macet.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf …
- 6 -
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Pemindahan alamat kantor Penyelenggara KUPVA Bukan Bank
meliputi pemindahan alamat kantor pusat dan/atau kantor
cabang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Penutupan kantor cabang tidak mempengaruhi kegiatan kantor
pusat penyelenggara KUPVA. Penutupan kantor pusat secara
otomatis akan menghentikan juga seluruh kegiatan kantor
cabang penyelenggara KUPVA yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat …
- 7 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Laporan berkala antara lain berupa Laporan bulanan
penyelenggaraan KUPVA Bukan Bank.
Huruf b
Laporan insidental antara lain berupa laporan perubahan
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham,
laporan pemindahan alamat kantor, dan laporan lainnya
yang sewaktu-waktu diminta Bank Indonesia misalnya
laporan kurs valuta asing dan laporan transaksi keuangan
tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pengawasan …
- 8 -
Pengawasan langsung antara lain dilakukan melalui
pemeriksaan secara umum dan/atau khusus terhadap
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
Huruf b
Pengawasan tidak langsung antara lain dilakukan melalui
kegiatan analisis terhadap laporan, keterangan, dan
penjelasan yang disampaikan oleh Penyelenggara KUPVA
Bukan Bank dan/atau sumber atau pihak lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain kantor akuntan
publik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” antara lain
instansi pemerintah atau aparat penegak hukum.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal …
- 9 -
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5577
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 16/15/PBI/2014 </reg_id>
<reg_title> KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK </reg_title>
<set_date> 11 September 2014 </set_date>
<effective_date> 11 September 2014 </effective_date>
<issued_date> 11 September 2014 </issued_date>
<replaced_reg> '12/22/PBI/2010' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '9/UU/2013', '8/UU/2010' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/ 42 /PBI/2005
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH
PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa peningkatan kegiatan masyarakat dalam melakukan
transaksi tunai, perlu didukung dengan ketersediaan uang
rupiah yang memadai dan mudah dikenali ciri-ciri
keasliannya sebagai alat pembayaran;
b. bahwa ketersediaan uang rupiah yang memadai dan mudah
dikenali ciri-ciri keasliannya tersebut, dipandang perlu
untuk meningkatkan unsur pengaman pada uang rupiah
pecahan 50.000 (lima puluh ribu);
c. bahwa untuk meningkatkan unsur pengaman pada uang
rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu), dipandang perlu
untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas rupiah
pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2005;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang pengeluaran dan
pengedaran uang kertas rupiah pecahan 50.000 (lima puluh
ribu) Tahun Emisi 2005.
Mengingat …
-2-
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tanggal 22
Juni 2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan
Penarikan serta Pemusnahan Uang Rupiah
(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4388);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS
RUPIAH PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN
EMISI 2005.
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah pecahan 50.000
(lima puluh ribu) tahun emisi 2005 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah
negara Republik Indonesia.
Pasal …
-3-
Pasal 2
Macam uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan jenis uang
kertas yang terbuat dari bahan serat kapas.
Pasal 3
Harga uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mempunyai nilai
nominal Rp50.000 (lima puluh ribu rupiah).
Pasal 4
Ciri uang rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 adalah:
a. warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan biru;
b. gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai
dan di bawahnya dicantumkan tulisan “I GUSTI NGURAH RAI”;
b) di sebelah kiri gambar utama dengan arah vertikal terdapat gambar
ornamen daerah Bali berwarna biru yang akan memendar hijau di
bawah sinar ultra violet;
c) di sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat
tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut terdapat
tulisan “LIMA PULUH RIBU RUPIAH”;
d) di …
-4-
d) di sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan di
sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka nominal
“50000”;
e) di sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal “50000”
terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke
arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
f) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi
(latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi panjang berbentuk
ornamen daerah Bali yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu;
g) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara
Garuda Pancasila;
h) di sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam bidang
segi empat yang dicetak dengan tinta khusus (optically variable ink)
yang akan berubah warna dari magenta menjadi hijau apabila dilihat
dari sudut pandang berbeda;
i) di sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun emisi
“2005”, tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur
Bank Indonesia (Burhanuddin Abdullah) beserta tulisan
“GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia
(Maman H. Somantri) beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”;
j) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring,
dan
rangkaian
membentuk ornamen daerah Bali;
k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca
pembesar terdapat di:
1) sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal “50000”
berupa tulisan BI;
2) sebelah …
garis melengkung
yang
-5-
2) sebelah kiri gambar utama berupa tulisan BI sebagai latar belakang
ornamen daerah Bali;
3) tepi kiri ornamen daerah Bali berupa tulisan BI dan tepi kanan
ornamen daerah Bali berupa angka 50000 yang keduanya
membentuk garis vertikal;
4) sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berbentuk kotak-kotak
dengan kombinasi tulisan BI dan BI50000 yang tersusun horizontal
dan BANKINDONESIA dan BI50000 yang tersusun diagonal;
5) sebelah kanan gambar utama berupa tulisan BI yang membentuk
warna dasar dan gambar relief daerah Bali;
6) tepi kiri atas dan bawah serta tepi kanan atas dan bawah berupa
logo BI yang membentuk pola dasar uang;
l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa
tulisan BANKINDONESIA50000 yang berbentuk lengkungan dengan
warna dan ukuran teks yang berbeda.
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Danau Beratan, Bedugul, Bali;
b) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK
INDONESIA”;
c) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN
YANG SAH DENGAN NILAI LIMA PULUH RIBU RUPIAH”;
d) di sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan di sebelah kiri atas
dengan arah vertikal terdapat angka nominal “50000”;
e) nomor …
-6-
e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak
di sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam
yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet dan di sebelah
kanan atas di bawah tulisan “BANK INDONESIA” dicetak dengan
tinta berwarna merah yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra
violet;
f) di sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi
(rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat
logo Bank Indonesia secara utuh;
g) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar
siluet penari Bali yang akan memendar hijau kekuningan di bawah
sinar ultra violet;
h) di bagian kiri bawah gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat mata
berupa angka nominal “50000” dalam kotak persegi panjang yang
akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet;
i) di tepi kiri dan kanan bagian tengah uang, terdapat gambar ornamen
daerah Bali yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet;
j) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca
pembesar terdapat di:
1) tepi kiri atas dan bawah serta tepi kanan atas dan bawah berbentuk
kotak-kotak berupa tulisan BI yang tersusun horizontal serta tulisan
BI50000 dan BANKINDONESIA yang tersusun diagonal;
2) tepi kiri gambar utama berupa tulisan BANKINDONESIA yang
membentuk garis vertikal;
3) bagian kiri atas gambar utama berupa tulisan BI yang membentuk
ornamen daerah Bali;
4) sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi angka nominal
“50000” berupa tulisan BI;
k) miniteks …
-7-
k) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa
angka 50000 yang berbentuk garis melengkung dengan ukuran teks
yang berbeda.
c. bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 149 mm dan lebar 65 mm;
3. warna biru muda;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan
electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah Bali;
6. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan “BI50000”
berulang-ulang dan terbaca utuh atau terpotong sebagian serta akan
berubah warna dari magenta menjadi hijau apabila dilihat dari sudut
pandang berbeda.
Pasal 5
Uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan
mulai tanggal 20 Oktober 2005.
Pasal 6
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan …
-8-
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Oktober 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 102
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/42/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 </reg_title>
<set_date> 18 Oktober 2005 </set_date>
<effective_date> 18 Oktober 2005 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '6/14/PBI/2004' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/14/PBI/2013
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
11/10/PBI/2009 TENTANG UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa pengelolaan kelembagaan unit usaha syariah yang
baik merupakan salah satu faktor penting dalam
mewujudkan terciptanya industri perbankan yang sehat,
kuat, dan dipercaya masyarakat;
b. bahwa setiap pemenuhan sumber daya manusia,
pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat,
dan/atau penutupan kantor unit usaha syariah perlu
menerapkan tata kelola yang baik (good corporate
governance);
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b maka perlu dilakukan
perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti …
- 2 -
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4756);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
11/10/PBI/2009 TENTANG UNIT USAHA SYARIAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4992) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah
Bank Umum Konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Bank…
- 3 -
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah Bank
Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah Unit
Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
4. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan syariah berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh
Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia.
5. Kantor Cabang Syariah yang selanjutnya disingkat KCS adalah
kantor cabang UUS yang bertanggung jawab kepada UUS pada
BUK, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi
KCS tersebut melakukan usahanya, termasuk kantor cabang
pembantu syariah dari suatu bank yang berkedudukan di luar
negeri.
6. Kantor Cabang Pembantu Syariah yang selanjutnya disingkat KCPS
adalah kantor UUS yang kegiatan usahanya membantu KCS
induknya, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan
lokasi KCPS tersebut melakukan usahanya, termasuk kantor di
bawah kantor cabang pembantu syariah atau kantor kas dari
suatu bank yang berkedudukan di luar negeri.
7. Kantor Kas Syariah yang selanjutnya disingkat KKS adalah kantor
UUS yang kegiatan usahanya membantu KCS atau KCPS
induknya, kecuali melakukan penyaluran dana, dengan alamat
tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KKS tersebut
melakukan usahanya.
8. Kantor Fungsional Syariah yang selanjutnya disingkat KFS adalah
kantor UUS yang melakukan kegiatan operasional atau non
operasional secara terbatas dalam 1 (satu) kegiatan fungsional.
9. Layanan Syariah yang selanjutnya disingkat LS adalah kegiatan
penghimpunan dana, pembiayaan, dan pemberian jasa perbankan
lainnya berdasarkan Prinsip Syariah yang dilakukan di kantor
cabang…
- 4 -
cabang konvensional atau kantor cabang pembantu konvensional
untuk dan atas nama KCS pada bank yang sama.
10. Kegiatan Pelayanan Kas Syariah yang selanjutnya disingkat KPKS
adalah kegiatan kas dalam rangka melayani pihak yang telah
menjadi nasabah UUS meliputi antara lain:
a. Kas Keliling yaitu kegiatan pelayanan kas secara berpindah-
pindah dengan menggunakan alat transportasi atau pada
lokasi tertentu secara tidak permanen, antara lain kas mobil,
kas terapung, atau counter bank non permanen;
b. Payment Point yaitu kegiatan dalam bentuk penerimaan
pembayaran melalui kerjasama antara BUK yang memiliki
UUS dengan pihak lain pada suatu lokasi tertentu, seperti
untuk penerimaan pembayaran tagihan telepon, tagihan listrik
dan/atau penerimaan setoran dari pihak ketiga;
c. Perangkat Perbankan Elektronis yang selanjutnya disingkat
PPE yaitu kegiatan pelayanan kas atau non kas yang
dilakukan dengan menggunakan sarana mesin elektronis yang
berlokasi baik di dalam maupun di luar kantor UUS, yang
dapat melakukan pelayanan antara lain penarikan atau
penyetoran secara tunai, pembayaran melalui
pemindahbukuan, transfer antar bank dan/atau memperoleh
informasi mengenai saldo/mutasi rekening nasabah, baik
menggunakan jaringan dan/atau mesin milik BUK yang
memiliki UUS sendiri maupun melalui kerja sama BUK yang
memiliki UUS dengan pihak lain, antara lain Anjungan Tunai
Mandiri (ATM) termasuk dalam hal ini adalah Automatic
Deposit Machine (ADM), dan Electronic Data Capture (EDC).
11. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah
dewan yang bertugas memberikan nasehat dan saran kepada
Direksi serta mengawasi kegiatan UUS agar sesuai dengan Prinsip
Syariah.
12. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung
kepada Direktur UUS dan/atau mempunyai pengaruh terhadap
kebijakan…
- 5 -
kebijakan dan operasional UUS, antara lain kepala divisi, kepala
KCS, kepala KFS yang kedudukannya paling kurang setara dengan
kepala KCS, dan/atau pejabat lainnya yang setara.
13. Pemisahan (spin-off) adalah pemisahan usaha dari satu BUK
menjadi dua badan usaha atau lebih sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Ketentuan Pasal 3 ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga
Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Pembukaan UUS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank
Indonesia.
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam bentuk izin usaha.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan Bank Indonesia
dengan mempertimbangkan antara lain:
a. penilaian terhadap komitmen BUK dalam pendirian UUS;
b. analisis terhadap studi kelayakan pendirian UUS;
c. analisis yang mencakup antara lain tingkat kejenuhan jumlah
BUS dan UUS;
d. wawancara terhadap calon Direktur UUS dan calon anggota
DPS;
e. analisis terhadap kemampuan permodalan BUK; dan
f. analisis terhadap pemenuhan aspek hukum pemisahan UUS
menjadi BUS.
3. Ketentuan BAB III Bagian Ketiga diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Bagian Ketiga…
- 6 -
Bagian Ketiga
Pejabat Eksekutif
Pasal 15
BUK yang memiliki UUS wajib melakukan penelitian terhadap calon
Pejabat Eksekutif sebelum melakukan pengangkatan atau penggantian
Pejabat Eksekutif.
Pasal 15A
(1) Pejabat UUS harus memiliki pengetahuan dan pemahaman
terhadap kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
(2) BUK yang memiliki UUS harus mengangkat paling kurang 1 (satu)
Pejabat Eksekutif UUS yang bertanggung jawab langsung kepada
Direktur UUS dan memiliki tingkat jabatan sama dengan Pejabat
Eksekutif BUK yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur
BUK.
(3) Pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pejabat Eksekutif
wajib dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank
Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan kantor pusat bank umum.
(4) Bank Indonesia berwenang memerintahkan BUK yang memiliki
UUS untuk membatalkan pengangkatan Pejabat Eksekutif apabila
berdasarkan penelitian dan penilaian Bank Indonesia, Pejabat
Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memiliki rekam
jejak negatif.
(5) BUK yang memiliki UUS wajib membatalkan pengangkatan Pejabat
Eksekutif yang memiliki rekam jejak negatif sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
tanggal surat penegasan Bank Indonesia.
(6) Rekam jejak negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi
sebagai berikut:
a.
termasuk dalam daftar tidak lulus uji kemampuan dan
kepatutan (fit and proper test);
b. memiliki …
- 7 -
b. memiliki kredit atau pembiayaan macet; dan/atau
c.
tercatat pada data dan informasi negatif yang dimiliki oleh
Bank Indonesia yang berasal dari hasil pengawasan Bank
Indonesia atau sumber lainnya.
(7) BUK yang memiliki UUS wajib menatausahakan dokumen
pengangkatan, pemberhentian, dan/atau penggantian Pejabat
Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pengangkatan,
pemberhentian, dan/atau penggantian Pejabat Eksekutif
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 15B
Bank Indonesia berwenang meminta dokumen pengangkatan,
pemberhentian, dan/atau penggantian Pejabat Eksekutif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15A ayat (7).
4. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) UUS hanya dapat melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing
apabila memperoleh izin Bank Indonesia.
(2) UUS dapat melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dengan
memenuhi persyaratan paling kurang:
a. BUK yang memiliki UUS telah mendapat persetujuan untuk
melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;
b. memiliki sistem informasi teknologi yang memadai;
c. memiliki sumber daya manusia yang memahami aspek syariah
terkait kegiatan usaha dalam valuta asing; dan
d. memiliki daftar calon nasabah yang akan melakukan transaksi
dalam valuta asing.
5. Di…
- 8 -
5. Di antara BAB IV dan BAB V disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB IVA
sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB IVA
RENCANA PEMBUKAAN, PERUBAHAN STATUS, PEMINDAHAN ALAMAT,
DAN/ATAU PENUTUPAN KANTOR UNIT USAHA SYARIAH
Pasal 18A
(1) BUK yang memiliki UUS wajib mencantumkan rencana
pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau
penutupan kantor UUS setahun ke depan dalam rencana bisnis
UUS.
(2) Rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat,
dan/atau penutupan kantor UUS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib disertai dengan kajian yang paling kurang memuat:
a. analisis kondisi keuangan, kesesuaian dengan strategi bisnis
dan dampak terhadap proyeksi keuangan;
b. mekanisme pengawasan dan penilaian kinerja kantor UUS;
c. analisis secara menyeluruh mencakup antara lain kondisi
perekonomian nasional, analisis risiko, dan analisis keuangan;
dan
d. rencana persiapan operasional antara lain sumber daya
manusia, teknologi informasi, dan sarana penunjang lainnya.
(3) Dalam rangka pembukaan, perubahan status, dan/atau
pemindahan alamat kantor, UUS wajib memenuhi ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan
kantor berdasarkan modal inti.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan kajian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 18B
Bank Indonesia berwenang memerintahkan BUK yang memiliki UUS
untuk menunda rencana pembukaan, perubahan status, dan/atau
pemindahan alamat kantor UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18A…
- 9 -
18A ayat (1) apabila menurut penilaian Bank Indonesia antara lain
terdapat penurunan tingkat kesehatan, penurunan kondisi keuangan,
dan/atau peningkatan profil risiko UUS, serta mempertimbangkan
stabilitas sistem keuangan dan/atau kepentingan perekonomian
nasional.
6. Ketentuan BAB V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB V
PEMBUKAAN KANTOR UNIT USAHA SYARIAH
Bagian Kesatu
Pembukaan Kantor di Dalam Negeri
Paragraf 1
Pembukaan Kantor Cabang Syariah
Pasal 19
(1) Pembukaan KCS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank
Indonesia.
(2) KCS dapat beralamat yang sama dengan kantor cabang atau
kantor cabang pembantu BUK yang memiliki UUS, sepanjang
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
terdapat pemisahan kantor antara KCS dengan kantor cabang
atau kantor cabang pembantu BUK yang memiliki UUS;
b.
c.
tidak menimbulkan risiko operasional dan risiko reputasi bagi
UUS; dan
terdapat pengaturan yang jelas dalam pemanfaatan sarana
dan prasarana kerja serta penggunaan fasilitas gedung kantor,
yang memungkinkan adanya pembebanan biaya masing-
masing kantor dapat dilakukan dengan tepat.
(3) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia disertai
dengan dokumen pendukung.
(4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diberikan Bank Indonesia dengan
mempertimbangkan antara lain:
a. kelengkapan…
- 10 -
a. kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh BUK
yang memiliki UUS;
c. analisis atas kemampuan BUK yang memiliki UUS termasuk
tingkat kesehatan dan kecukupan permodalan, serta profil
risiko UUS; dan
d. analisis atas kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A
ayat (2).
(5) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan atas kebenaran
dokumen yang disampaikan dan persiapan pembukaan kantor.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 20
(1) Pelaksanaan pembukaan KCS wajib dilakukan paling lama 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal izin dari Bank Indonesia
diterbitkan.
(2) Pelaksanaan pembukaan KCS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank
Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan kantor pusat bank umum.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
BUK yang memiliki UUS tidak melaksanakan pembukaan KCS,
maka izin pembukaan KCS yang telah diberikan menjadi tidak
berlaku.
Paragraf 2
Pembukaan Kantor Cabang Pembantu Syariah
Pasal 21
(1) Pembukaan KCPS hanya dapat dilakukan apabila rencana
pembukaan telah dilaporkan dan mendapat surat penegasan dari
Bank Indonesia.
(2) Pembukaan…
- 11 -
(2) Pembukaan KCPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan dalam 1 (satu) wilayah kerja kantor Bank
Indonesia yang sama dengan dengan KCS induknya, kecuali
dengan persetujuan Bank Indonesia.
(3) KCPS dapat beralamat yang sama dengan kantor BUK yang
memiliki UUS dan/atau kantor lain sepanjang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a.
terdapat pemisahan kantor antara KCPS dengan kantor BUK
yang memiliki UUS dan/atau kantor lain;
b.
c.
tidak menimbulkan risiko operasional dan risiko reputasi bagi
UUS; dan
terdapat pengaturan yang jelas dalam pemanfaatan sarana
dan prasarana kerja serta penggunaan fasilitas gedung kantor,
yang memungkinkan adanya pembebanan biaya masing-
masing kantor dapat dilakukan dengan tepat.
(4) Laporan keuangan KCPS wajib digabungkan secara otomasi dan
online pada hari yang sama dengan laporan keuangan KCS yang
menjadi induknya.
Pasal 21A
(1) BUK yang memiliki UUS menyampaikan laporan rencana
pembukaan KCPS kepada Bank Indonesia disertai dengan
dokumen pendukung.
(2) Surat penegasan atas laporan rencana pembukaan KCPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia
dengan mempertimbangkan antara lain:
a. kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh BUK
yang memiliki UUS;
c. analisis atas kemampuan BUK yang memiliki UUS, termasuk
tingkat kesehatan dan kecukupan permodalan; dan
d. analisis atas kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A
ayat (2).
(3) Pelaksanaan…
- 12 -
(3) Pelaksanaan pembukaan KCPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal
surat penegasan dari Bank Indonesia.
(4) Pelaksanaan pembukaan KCPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank
Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan kantor pusat bank umum.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Paragraf 3
Pembukaan Kantor Kas Syariah
Pasal 22
(1) Pembukaan KKS hanya dapat dilakukan apabila rencana
pembukaan telah dilaporkan dan mendapat surat penegasan dari
Bank Indonesia.
(2) Pembukaan KKS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan dalam 1 (satu) wilayah kerja kantor Bank Indonesia yang
sama dengan dengan KCS induknya, kecuali dengan persetujuan
Bank Indonesia.
(3) KKS dapat beralamat yang sama dengan kantor BUK yang memiliki
UUS dan/atau kantor lain sepanjang memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a.
b.
c.
terdapat pemisahan kantor antara KKS dengan kantor BUK
yang memiliki UUS dan/atau kantor lain;
tidak menimbulkan risiko operasional dan risiko reputasi bagi
UUS; dan
terdapat pengaturan yang jelas dalam pemanfaatan sarana
dan prasarana kerja serta penggunaan fasilitas gedung kantor,
yang memungkinkan adanya pembebanan biaya masing-
masing kantor dapat dilakukan dengan tepat.
(4) Laporan…
- 13 -
(4) Laporan keuangan KKS wajib digabungkan secara otomasi dan
online pada hari yang sama dengan laporan keuangan KCS yang
menjadi induknya.
Pasal 22A
(1) BUK yang memiliki UUS menyampaikan rencana pembukaan KKS
kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung.
(2) Surat penegasan atas laporan rencana pembukaan KKS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia
dengan mempertimbangkan antara lain:
a. kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh BUK
yang memiliki UUS;
c. analisis atas kemampuan BUK yang memiliki UUS, termasuk
tingkat kesehatan dan kecukupan permodalan; dan
d. analisis atas kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A
ayat (2).
(3) Pelaksanaan pembukaan KKS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal
surat penegasan dari Bank Indonesia.
(4) Pelaksanaan pembukaan KKS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank
Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan kantor pusat bank umum.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Paragraf 4
Pembukaan Kegiatan Pelayanan Kas Syariah
Pasal 23
(1) Pembukaan KPKS hanya dapat dilakukan dalam 1 (satu) wilayah
kerja kantor Bank Indonesia yang sama dengan KCS induknya,
kecuali dengan persetujuan Bank Indonesia.
(2) Laporan…
- 14 -
(2) Laporan keuangan KPKS wajib digabungkan secara otomasi dan
online pada hari yang sama dengan laporan keuangan KCS yang
menjadi induknya, kecuali untuk kegiatan PPE.
(3) Kegiatan pemasaran yang dilakukan dalam rangka promosi, tidak
bersifat permanen, dan hanya menerima setoran awal/titipan kas
sesuai persyaratan setoran minimal pembukaan rekening tidak
termasuk KPKS.
(4) Pelaksanaan pembukaan KPKS wajib dilaporkan BUK yang
memiliki UUS kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank
umum.
Paragraf 5
Pembukaan Kantor Fungsional Syariah
Pasal 24
(1) Pembukaan KFS hanya dapat dilakukan apabila rencana
pembukaan telah dilaporkan dan mendapat surat penegasan dari
Bank Indonesia.
(2) Jenis KFS terdiri atas:
a. KFS yang melakukan kegiatan operasional; atau
b. KFS yang melakukan kegiatan non operasional.
(3) Laporan keuangan dari KFS sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a wajib digabungkan secara otomasi dan online pada hari
yang sama dengan laporan keuangan:
a. KCS yang berada dalam 1 (satu) wilayah kerja kantor Bank
Indonesia;
b. KCS terdekat atau kantor yang menjadi induk kegiatan usaha
UUS, apabila dalam wilayah kerja kantor Bank Indonesia
dimana KFS tersebut berada tidak terdapat KCS, dengan
persetujuan Bank Indonesia.
(4) Laporan…
- 15 -
(4) Laporan keuangan KFS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b wajib digabungkan secara otomasi dan online pada hari yang
sama dengan laporan keuangan kantor yang menjadi induk
kegiatan usaha UUS.
(5) KFS dapat beralamat yang sama dengan kantor BUK yang memiliki
UUS dan/atau kantor lain sepanjang memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a.
terdapat pemisahan kantor antara KFS dengan kantor BUK
yang memiliki UUS dan/atau kantor lain;
b.
c.
tidak menimbulkan risiko operasional dan risiko reputasi bagi
UUS; dan
terdapat pengaturan yang jelas dalam pemanfaatan sarana
dan prasarana kerja serta penggunaan fasilitas gedung kantor,
yang memungkinkan adanya pembebanan biaya masing-
masing kantor dapat dilakukan dengan tepat.
Pasal 24A
(1) BUK yang memiliki UUS menyampaikan rencana pembukaan KFS
kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung.
(2) Pelaksanaan pembukaan KFS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 ayat (1) wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia.
(3) Pelaksanaan pembukaan KFS sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank
Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan kantor pusat bank umum.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Paragraf 6…
- 16 -
Paragraf 6
Layanan Syariah
Pasal 25
(1) Kegiatan LS dapat dilaksanakan di kantor cabang atau kantor
cabang pembantu BUK yang memiliki UUS dengan persyaratan
sebagai berikut:
a.
lokasi kegiatan LS berada dalam 1 (satu) wilayah dengan KCS
yang menjadi induk LS, yaitu:
1. dalam 1 (satu) wilayah provinsi; atau
2. dalam 1 (satu) wilayah kerja kantor Bank Indonesia dalam
hal wilayah kerja kantor Bank Indonesia melebihi 1 (satu)
wilayah provinsi;
b. menggunakan sumber daya manusia yang telah memiliki
pengetahuan mengenai produk dan jasa bank syariah; dan
c. didukung oleh teknologi sistem informasi yang memadai.
(2) Laporan keuangan kegiatan LS wajib digabungkan secara otomasi
dan online pada hari yang sama dengan laporan keuangan KCS
yang menjadi induknya.
Pasal 26
Pelaksanaan pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan
LS wajib dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank
Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan kantor pusat bank umum.
Bagian Kedua
Pembukaan Kantor di Luar Negeri
Pasal 27
(1) Pembukaan KCS dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri
hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
(2)
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan
dalam waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak izin dari Bank
Indonesia diterbitkan, dan dapat diperpanjang dengan persetujuan
Bank Indonesia.
(3) Pembukaan…
- 17 -
(3) Pembukaan KCS dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri
hanya dapat dilakukan oleh BUK yang memiliki UUS sesuai
pengelompokan BUK yang memiliki UUS berdasarkan Bank Umum
berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan
usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti.
(4) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
diberikan apabila:
a. UUS telah memiliki izin untuk melakukan kegiatan dalam
valuta asing; dan
b. BUK yang memiliki UUS memenuhi persyaratan tingkat
kesehatan, kecukupan permodalan, dan profil risiko UUS.
(5) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia disertai
dengan dokumen pendukung.
(6) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diberikan Bank Indonesia dengan
mempertimbangkan antara lain:
a. kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis yang mencakup hasil studi kelayakan yang
disampaikan oleh BUK yang memiliki UUS;
c. analisis atas kemampuan BUK yang memiliki UUS, termasuk
tingkat kesehatan dan kecukupan permodalan, serta profil
risiko UUS; dan
d. analisis atas kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A
ayat (2).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 28
(1) Pembukaan kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 wajib memperoleh izin dari otoritas di negara setempat.
(2) Pelaksanaan…
- 18 -
(2) Pelaksanaan pembukaan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank
Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan kantor pusat bank umum.
(3) BUK yang memiliki UUS wajib menyampaikan salinan atau fotokopi
izin pembukaan kantor dari otoritas di negara setempat paling lama
10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan kantor.
7. Ketentuan BAB VI diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB VI
PERUBAHAN STATUS KANTOR UNIT USAHA SYARIAH
Pasal 29
(1) Peningkatan status KCPS atau KKS menjadi KCS wajib memenuhi
ketentuan mengenai pembukaan KCS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 dan Pasal 20.
(2) Peningkatan status KKS menjadi KCPS wajib memenuhi ketentuan
mengenai pembukaan KCPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 dan Pasal 21A.
Pasal 30
(1) Penurunan status KCS menjadi KCPS atau KKS hanya dapat
dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
(2) Penurunan status KCPS menjadi KKS hanya dapat dilakukan
apabila telah dilaporkan dan mendapat surat penegasan dari Bank
Indonesia.
(3) Permohonan persetujuan penurunan status kantor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau pelaporan rencana penurunan status
kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh BUK
yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia disertai dengan
dokumen pendukung.
(4) Pelaksanaan penurunan status kantor yang telah mendapat
persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau surat
penegasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
dilaksanakan…
- 19 -
dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal
persetujuan atau surat penegasan perubahan status.
(5) Pelaksanaan penurunan status kantor wajib dilaporkan oleh BUK
yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank
umum.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 30A
(1) Perubahan status kantor dari KFS menjadi KCS wajib memenuhi
ketentuan mengenai pembukaan KCS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 dan Pasal 20.
(2) Perubahan status kantor dari KFS menjadi KCPS wajib memenuhi
ketentuan mengenai pembukaan KCPS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 dan Pasal 21A.
(3) Perubahan status kantor dari KFS menjadi KKS dilakukan dengan
mengacu pada tata cara penurunan KCPS menjadi KKS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, kecuali ayat (1).
(4) Perubahan status kantor dari KCS menjadi KFS dilakukan dengan
mengacu pada tata cara penurunan KCS menjadi KCPS atau KKS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, kecuali ayat (2).
(5) Perubahan status kantor dari KCPS menjadi KFS dilakukan dengan
mengacu pada tata cara penurunan KCPS menjadi KKS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, kecuali ayat (1).
8. Ketentuan BAB VII diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB VII
PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR UUS
Pasal 31
(1) Pemindahan alamat kantor yang menjadi induk kegiatan usaha
UUS dan/atau KCS di dalam negeri hanya dapat dilakukan dengan
izin Bank Indonesia.
(2) Pemindahan…
- 20 -
(2) Pemindahan alamat KCS yang dilakukan ke luar wilayah kerja
kantor Bank Indonesia tempat kedudukan awal KCS, wajib
memenuhi ketentuan penutupan KCS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 dan Pasal 37 serta ketentuan pembukaan KCS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20.
Pasal 32
(1) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1)
diajukan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia
disertai dengan dokumen pendukung.
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia dengan
mempertimbangkan antara lain:
a. kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh BUK
yang memiliki UUS; dan
c. analisis atas kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A
ayat (2).
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak
berlaku untuk permohonan pemindahan alamat KCS yang
dilakukan dalam kota atau kabupaten yang sama dengan tempat
kedudukan awal KCS.
(4) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan atas kebenaran
dokumen yang disampaikan dan persiapan pemindahan alamat
kantor yang menjadi induk kegiatan usaha UUS dan/atau KCS.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 33
(1) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor yang menjadi induk
kegiatan usaha UUS atau KCS di dalam negeri wajib dilakukan
paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal izin dari
Bank Indonesia diterbitkan.
(2) Pemindahan…
- 21 -
(2) Pemindahan alamat kantor yang menjadi induk kegiatan usaha
UUS dan KCS wajib diumumkan oleh BUK yang memiliki UUS
dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat
kedudukan kantor UUS atau KCS paling lama 10 (sepuluh) hari
sebelum tanggal pelaksanaan pemindahan alamat kantor.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
BUK yang memiliki UUS tidak melaksanakan pemindahan alamat
kantor, maka izin pemindahan alamat kantor yang telah diberikan
menjadi tidak berlaku.
(4) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor yang menjadi induk
kegiatan usaha UUS atau KCS wajib dilaporkan oleh BUK yang
memiliki UUS kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank
umum.
Pasal 34
(1) Pemindahan alamat:
a. KCPS, KKS, dan KFS di dalam negeri; atau
b. KCS dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri,
hanya dapat dilakukan apabila rencana pemindahan telah
dilaporkan dan mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia.
(2) BUK yang memiliki UUS menyampaikan rencana pemindahan
alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank
Indonesia disertai dengan dokumen pendukung.
(3) Pemindahan alamat KCPS, KKS, atau KFS, yang dilakukan ke
luar wilayah kerja kantor Bank Indonesia tempat kedudukan awal
kantor UUS, wajib memenuhi ketentuan penutupan KCPS, KKS
atau KFS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan ketentuan
pembukaan KCPS, KKS, atau KFS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21, Pasal 21A, Pasal 22, Pasal 22A, Pasal 24, dan Pasal 24A.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 35…
- 22 -
Pasal 35
(1) Pelaksanaan pemindahan alamat KCPS, KKS, dan KFS,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a wajib
dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat
penegasan dari Bank Indonesia.
(2) Pelaksanaan pemindahan alamat KCPS, KKS, dan KFS yang
melakukan kegiatan operasional wajib diumumkan oleh BUK yang
memiliki UUS dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di
tempat kedudukan kantor induknya paling lama 10 (sepuluh) hari
sebelum tanggal pelaksanaan pemindahan alamat kantor.
(3) Pelaksanaan pemindahan alamat:
a. KCPS, KKS, dan KFS di dalam negeri; atau
b. KCS dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) wajib dilaporkan
oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia sesuai
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor
pusat bank umum.
(4) BUK yang memiliki UUS wajib menyampaikan kepada Bank
Indonesia salinan atau fotokopi izin otoritas negara setempat bagi
pelaksanaan pemindahan alamat KCS dan jenis-jenis kantor lainnya
di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf
b paling lama 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan
pemindahan alamat.
Pasal 35A
Pemindahan alamat KPKS wajib dilaporkan BUK yang memiliki UUS
kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum.
9. Ketentuan…
- 23 -
9. Ketentuan BAB VIII diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB VIII
PENUTUPAN KANTOR UNIT USAHA SYARIAH
Bagian Kesatu
Penutupan Kantor di Dalam Negeri
Paragraf 1
Penutupan Kantor Cabang Syariah
Pasal 36
(1) Penutupan KCS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank
Indonesia.
(2) Pemberian izin penutupan KCS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dalam 2 (dua) tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan
persiapan penutupan KCS; dan
b. persetujuan penutupan, yaitu persetujuan untuk melakukan
penutupan KCS.
(3) Permohonan untuk memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a diajukan oleh BUK yang memiliki
UUS kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung
berupa penjelasan mengenai langkah-langkah yang akan ditempuh
dalam rangka penyelesaian seluruh kewajiban KCS kepada
nasabah dan pihak lainnya.
(4) Permohonan untuk memperoleh persetujuan penutupan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diajukan oleh BUK
yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia setelah seluruh
kewajiban KCS kepada nasabah dan pihak lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diselesaikan dan dalam waktu paling lama
6 (enam) bulan setelah BUK yang memiliki UUS memperoleh
persetujuan prinsip, disertai dengan dokumen pendukung.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
BUK yang memiliki UUS tidak mengajukan permohonan
persetujuan penutupan KCS, maka persetujuan prinsip yang telah
diberikan menjadi tidak berlaku.
(6) Bank…
- 24 -
(6) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan kepada BUK yang
memiliki UUS terkait dengan penyelesaian seluruh kewajiban KCS
yang akan ditutup.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 37
(1) Pelaksanaan penutupan KCS wajib dilakukan paling lama 30 (tiga
puluh) hari setelah tanggal persetujuan penutupan dari Bank
Indonesia.
(2) Pelaksanaan penutupan KCS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib diumumkan oleh BUK yang memiliki UUS dalam surat kabar
yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan KCS paling
lama 10 (sepuluh) hari setelah tanggal persetujuan penutupan dari
Bank Indonesia.
(3) Pelaksanaan penutupan KCS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank
Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan kantor pusat bank umum.
Paragraf 2
Penutupan Kantor Cabang Pembantu Syariah, Kantor Kas Syariah,
Kantor Fungsional Syariah, dan Kantor Pelayanan Kas
Pasal 38
(1) Penutupan KCPS, KKS, dan KFS hanya dapat dilakukan apabila
rencana penutupan telah dilaporkan dan mendapat surat
penegasan Bank Indonesia.
(2) Rencana penutupan KCPS, KKS, dan KFS dilaporkan oleh BUK
yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia disertai dengan
dokumen pendukung berupa penjelasan mengenai langkah-
langkah yang akan ditempuh dalam rangka penyelesaian seluruh
kewajiban KCPS, KKS, dan KFS kepada nasabah dan pihak
lainnya.
(3) Pelaksanaan…
- 25 -
(3) Pelaksanaan penutupan KCPS, KKS, dan KFS wajib dilakukan
paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat penegasan
dari Bank Indonesia.
(4) Pelaksanaan penutupan KCPS, KKS, KFS, dan KPKS wajib
dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat
bank umum.
(5) Bank wajib menyampaikan dokumen penutupan KCPS, KKS, dan
KFS paling lama 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penutupan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dokumen penutupan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Penutupan Kantor di Luar Negeri
Pasal 39
(1) Penutupan KCS dan jenis-jenis kantor lainnya hanya dapat
dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
(2) Permohonan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diajukan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank
Indonesia disertai dengan dokumen pendukung.
(3) Penutupan kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib memperoleh izin dari otoritas di negara setempat.
(4) Pelaksanaan penutupan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilaporkan oleh BUK yang memiliki UUS kepada Bank
Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan kantor pusat bank umum.
(5) Dalam rangka penutupan KCS dan jenis-jenis kantor lainnya, BUK
yang memiliki UUS wajib menyampaikan dokumen penutupan
kepada Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari setelah
tanggal pelaksanaan penutupan.
(6) Ketentuan…
- 26 -
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan dokumen penutupan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
10. Ketentuan BAB XI diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB XI
PENCABUTAN IZIN USAHA UNIT USAHA SYARIAH
ATAS PERMINTAAN BANK UMUM KONVENSIONAL
YANG MEMILIKI UNIT USAHA SYARIAH
Pasal 55
Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha UUS atas permintaan BUK
yang memiliki UUS.
Pasal 56
(1) Pencabutan izin usaha atas permintaan BUK yang memiliki UUS
dilakukan dalam 2 (dua) tahap:
a. Persetujuan persiapan pencabutan izin usaha; dan
b. Keputusan pencabutan izin usaha.
(2) Permohonan persetujuan persiapan pencabutan izin usaha UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diajukan oleh Direksi
BUK yang memiliki UUS kepada Bank Indonesia disertai dengan
dokumen pendukung.
(3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disetujui, Bank Indonesia menerbitkan surat persetujuan
persiapan pencabutan izin usaha UUS, dan mewajibkan BUK yang
memiliki UUS untuk:
a. menghentikan seluruh kegiatan usaha UUS;
b. mengumumkan rencana penghentian kegiatan UUS dan
penyelesaian kewajiban UUS dalam 2 (dua) surat kabar harian
yang mempunyai peredaran luas paling lama 10 (sepuluh) hari
sejak tanggal surat persetujuan persiapan pencabutan izin
usaha UUS;
c. menyelesaikan seluruh kewajiban UUS; dan
d. menunjuk…
- 27 -
d. menunjuk kantor akuntan publik untuk melakukan verifikasi
atas penyelesaian kewajiban UUS.
(4) Permohonan pencabutan izin usaha UUS sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diajukan oleh Direksi BUK yang memiliki UUS kepada
Bank Indonesia, setelah seluruh kewajiban UUS diselesaikan,
disertai dengan dokumen pendukung.
(5) Berdasarkan permohonan pencabutan izin usaha UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank Indonesia menerbitkan
surat keputusan pencabutan izin usaha UUS.
(6) Kewajiban UUS yang belum diselesaikan dan ditemukan
dikemudian hari menjadi tanggung jawab BUK yang memiliki UUS.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
11. Ketentuan BAB XIII diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB XIII
KEGIATAN OPERASIONAL DI LUAR HARI KERJA OPERASIONAL
DAN/ATAU PADA HARI LIBUR SERTA TIDAK BEROPERASI
PADA HARI KERJA
Pasal 58
(1) Rencana UUS dan/atau sebagian kantor UUS untuk melakukan
kegiatan operasional di luar hari kerja operasional, pada hari libur
dan/atau tidak beroperasi pada hari kerja wajib dilaporkan kepada
Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari sebelum
pelaksanaan.
(2) Rencana UUS untuk tidak beroperasi pada hari kerja wajib
diumumkan kepada masyarakat.
Pasal 59
Dihapus.
12. Di…
- 28 -
12. Di antara BAB XV dan BAB XVI disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB XVA
sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB XVA
LAIN-LAIN
Pasal 61A
(1) Permohonan izin atau laporan yang disampaikan BUK yang
memiliki UUS kepada Bank Indonesia wajib menggunakan Bahasa
Indonesia.
(2) Petunjuk pelaksanaan dan dokumen operasional UUS wajib ditulis
paling kurang dalam Bahasa Indonesia.
Pasal 61B
(1) BUK yang memiliki UUS wajib menatausahakan dokumen
pendukung:
a. pembukaan kantor UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (3), Pasal 21A ayat (1), Pasal 22A ayat (1), Pasal 24A
ayat (1), Pasal 27 ayat (5), Pasal 28 ayat (3);
b. perubahan status kantor UUS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 ayat (3);
c. pemindahan alamat kantor UUS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (2),
Pasal 35 ayat (2), Pasal 35 ayat (4); dan
d. penutupan kantor UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (2) dan
ayat (5), Pasal 39 ayat (2) dan ayat (5).
(2) Bank Indonesia berwenang meminta dokumen pendukung
pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau
penutupan kantor UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 61C
Dalam rangka memberikan persetujuan, penolakan dan penegasan atas
permohonan pembukaan UUS serta permohonan pembukaan,
perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor
UUS…
- 29 -
UUS, Bank Indonesia mempertimbangkan stabilitas sistem keuangan
dan keselarasan dengan arah kebijakan pembangunan ekonomi
nasional.
Pasal 61D
Pelaksanaan pembukaan, pemindahan alamat, perubahan status, dan
penutupan KFS wajib dilaporkan secara offline setiap bulan paling lama
5 (lima) hari kerja pada awal bulan laporan berikutnya selama belum
dapat dilaporkan secara online melalui laporan kantor pusat bank
umum.
13. Ketentuan Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2) diubah sehingga Pasal 62
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 62
(1) BUK yang memiliki UUS yang melanggar ketentuan dalam Pasal 2
ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 8 ayat (3),
ayat (4) dan ayat (5), Pasal 9 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 15,
Pasal 15A ayat (7), Pasal 16, Pasal 18 ayat (1), Pasal 18A ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21
ayat (1), ayat (2) dan ayat (4), Pasal 21A ayat (3), Pasal 22 ayat (1),
ayat (2) dan ayat (4), Pasal 22A ayat (3), Pasal 23 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 24 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 24A ayat (2), Pasal
25 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 29, Pasal 30
ayat (1), ayat (2) dan ayat (4), Pasal 30A, Pasal 31, Pasal 33 ayat
(1), Pasal 34 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat
(1), Pasal 37 ayat (1), Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 39 ayat
(1) dan ayat (3), Pasal 40 ayat (1), Pasal 41 ayat (5), Pasal 42, Pasal
43 ayat (2), Pasal 44 ayat (2), Pasal 45 ayat (1) dan ayat (4), Pasal
48 ayat (3), Pasal 50 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 52 ayat (1), Pasal
53 ayat (1) dan (5), Pasal 57, Pasal 58 ayat (2), Pasal 60, Pasal 61,
Pasal 61A, Pasal 61B ayat (1), dan/atau Pasal 61D dikenakan
sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
(2) BUK…
- 30 -
(2) BUK yang memiliki UUS yang melanggar ketentuan dalam Pasal 6
ayat (2), Pasal 8 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 15A ayat
(5), Pasal 28 ayat (3), Pasal 33 ayat (2), Pasal 35 ayat (2) dan ayat
(4), Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (5), Pasal 39 ayat (5), Pasal 44
ayat (1) dan ayat (3), Pasal 48 ayat (2), Pasal 50 ayat (2), Pasal 51,
Pasal 52 ayat (2), Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 54, dan/atau
Pasal 58 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis dan denda uang sebesar Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah) per hari kelambatan untuk setiap laporan
dan/atau pengumuman dan paling banyak seluruhnya sebesar
Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah);
b. teguran tertulis dan denda uang paling banyak sebesar
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) apabila BUK atau
UUS tidak menyampaikan laporan dan/atau pengumuman.
(3) BUK yang memiliki UUS dinyatakan tidak menyampaikan laporan
dan/atau pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b apabila BUK yang memiliki UUS belum menyampaikan
laporan atau BUK yang memiliki UUS tidak menyampaikan laporan
secara lengkap, dan/atau belum melaksanakan pengumuman
setelah 30 (tiga puluh) hari sejak batas akhir penyampaian laporan
dan/atau pengumuman.
(4) Pengenaan sanksi teguran tertulis dan denda uang karena
dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau pelaksanaan
pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak
menghapus kewajiban BUK yang memiliki UUS untuk
menyampaikan laporan dan/atau pelaksanaan pengumuman.
(5) Dalam hal penyampaian laporan dan/atau pelaksanaan
pengumuman dilakukan secara gabungan maka apabila BUK yang
memiliki UUS dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), sanksi dimaksud dihitung per jumlah laporan dan/atau
pengumuman sebagaimana tercantum dalam laporan atau
pengumuman gabungan.
(6) BUK…
- 31 -
(6) BUK yang memiliki UUS yang tidak memenuhi ketentuan dalam
Pasal 17 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
berupa pencabutan izin usaha UUS.
Pasal II
1. Permohonan izin atau pelaporan rencana pembukaan, perubahan
status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan jaringan kantor yang
diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini ditindaklanjuti dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah.
2. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Desember 2013
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Desember 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 234
DPbS
PENJELASAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/14/PBI/2013
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
11/10/PBI/2009 TENTANG UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Salah satu faktor penting dalam mewujudkan terciptanya industri
perbankan yang sehat, kuat dan dipercaya masyarakat adalah
terciptanya pengelolaan kelembagaan UUS secara profesional baik
dalam pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia maupun dalam
perencanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat,
dan/atau penutupan kantor UUS sehingga mampu mendukung
pertumbuhan usaha secara sehat.
Untuk mencapai maksud tersebut maka UUS perlu menerapkan
prinsip tata kelola yang baik (good corporate governance) guna
memitigasi berbagai risiko yang mungkin terjadi serta memastikan
pemenuhan terhadap ketentuan yang berlaku.
Disamping itu, dalam upaya untuk senantiasa meningkatkan
efektivitas dan efisiensi, maka dipandang perlu untuk memanfaatkan
perkembangan teknologi informasi sehingga laporan pengangkatan,
penggantian atau pemberhentian Pejabat Eksekutif dan laporan
pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat,
dan/atau penutupan kantor UUS disampaikan secara online melalui
mekanisme laporan kantor pusat bank umum.
II. PASAL…
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “izin usaha” adalah izin
untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan
Prinsip Syariah.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Analisis terhadap permodalan BUK antara lain
bertujuan untuk mengukur kemampuan modal
BUK dalam rangka penyertaan modal pada
BUS hasil Pemisahan (spin off) UUS yang harus
dilakukan paling lambat Juli 2023.
Huruf f
Pemenuhan aspek hukum antara lain
mempertimbangkan ketentuan pemisahan
usaha yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor…
- 3 -
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
Angka 3
Pasal 15
Penelitian terhadap calon Pejabat Eksekutif yang
dilakukan oleh BUK yang memiliki UUS mencakup antara
lain meminta informasi, referensi dari tempat kerja
sebelumnya dan informasi mengenai kredit atau
pembiayaan macet.
Pasal 15A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Direktur UUS” adalah
anggota Direksi BUK yang memiliki UUS yang
bertanggungjawab penuh terhadap UUS.
Ayat (3)
Termasuk dalam pengertian pemberhentian adalah
pemberhentian Pejabat Eksekutif atas perintah Bank
Indonesia karena yang bersangkutan memiliki rekam
jejak negatif.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Huruf a
Pengertian “daftar tidak lulus” mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and
proper test).
Huruf b…
- 4 -
Huruf b
Pengertian “memiliki kredit atau pembiayaan
macet” mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and
proper test).
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 15B
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 18
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 18A
Ayat (1)
Kantor UUS meliputi:
a. kantor UUS di dalam negeri antara lain berupa
KCS, KCPS, KFS, KKS, KPKS, dan kegiatan LS;
dan
b. kantor UUS di luar negeri berupa KCS dan
jenis-jenis kantor lainnya.
Pencantuman rencana penutupan kantor UUS
dalam rencana bisnis UUS tidak termasuk
penutupan kantor UUS yang dilakukan karena
pengenaan sanksi dari Bank Indonesia.
Rencana…
- 5 -
Rencana bisnis UUS disajikan dan dilaporkan
tersendiri yang merupakan bagian atau lampiran
dari rencana bisnis BUK yang memiliki UUS.
Ayat (2)
Kajian ini merupakan pendukung rencana
pengembangan dan/atau perubahan jaringan
kantor sebagaimana yang dalam rencana bisnis
UUS.
Kajian dalam rangka rencana pembukaan,
perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau
penutupan kantor UUS dapat digabungkan dengan
kajian pembukaan, perubahan status, pemindahan
alamat, dan/atau penutupan kantor BUK yang
memiliki UUS.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Kondisi perekonomian nasional antara lain
perimbangan pembangunan daerah, perluasan
lapangan kerja, prioritas pengembangan sektor
ekonomi, perluasan akses keuangan bagi
masyarakat berpenghasilan rendah dan
produktif
(financial
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18B…
keberpihakan kepada kepentingan nasional.
inclusion), dan
- 6 -
Pasal 18B
Persyaratan pemenuhan tingkat kesehatan dan
kecukupan permodalan didasarkan pada penilaian tingkat
kesehatan BUK yang memiliki UUS.
Angka 6
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pemisahan dimaksudkan agar nasabah dapat
membedakan dengan jelas antara kantor syariah
dengan kantor konvensional.
Pemisahan dapat dilakukan dengan cara antara
lain pembedaan warna ruangan, pembuatan
sekat (partisi) dan/atau pemisahan ruangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dokumen pendukung yang disampaikan antara lain
hasil studi kelayakan pembukaan kantor.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21…
- 7 -
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kantor BUK yang memiliki
UUS” antara lain kantor cabang atau kantor cabang
pembantu.
Yang dimaksud dengan “kantor lain“ adalah kantor
dari bank lain atau perusahaan lain.
Huruf a
Pemisahan dimaksudkan agar nasabah dapat
membedakan dengan jelas antara kantor
syariah dengan kantor konvensional.
Pemisahan dapat dilakukan dengan cara antara
lain pembedaan warna ruangan, pembuatan
sekat (partisi) dan/atau pemisahan ruangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21A
Ayat (1)
Dokumen pendukung yang disampaikan antara lain
hasil studi kelayakan pembukaan kantor.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)…
- 8 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kantor BUK yang memiliki
UUS” antara lain kantor cabang, kantor cabang
pembantu, dan kantor kas.
Yang dimaksud dengan “kantor lain“ adalah kantor
dari bank lain atau perusahaan lain.
Huruf a
Pemisahan dimaksudkan agar nasabah dapat
membedakan dengan jelas antara kantor syariah
dengan kantor konvensional.
Pemisahan dapat dilakukan dengan cara antara
lain pembedaan warna ruangan, pembuatan
sekat (partisi) dan/atau pemisahan ruangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 22A
Ayat (1)
Dokumen pendukung yang disampaikan antara lain
hasil studi kelayakan pembukaan kantor.
Ayat (2)…
- 9 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kegiatan pemasaran yang dilakukan dalam rangka
promosi, tidak bersifat permanen, dan hanya
menerima setoran awal atau titipan kas sesuai
persyaratan setoran minimal pembukaan rekening
tidak termasuk dalam KPKS sehingga tidak perlu
dilaporkan kepada Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan “tidak bersifat permanen”
adalah kegiatan pemasaran yang dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari secara
berturut-turut.
Apabila kegiatan pemasaran dilakukan lebih dari 30
(tiga puluh) hari berturut-turut maka kegiatan
tersebut digolongkan sebagai KPKS.
Contoh:
Dalam hal persyaratan setoran awal minimal dalam
pembukaan rekening tabungan adalah sebesar
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), maka setoran
awal yang boleh diterima UUS adalah sebesar
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Apabila UUS
menerima…
- 10 -
menerima setoran awal
lebih besar dari
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) maka kegiatan
tersebut tidak dapat digolongkan sebagai kegiatan
pemasaran, tetapi sebagai KPKS.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Kegiatan operasional yang dilakukan oleh KFS
meliputi kegiatan penghimpunan dana dan/atau
penyaluran dana secara terbatas.
Contoh KFS yang melakukan kegiatan
operasional adalah penyaluran pembiayaan
kepada nasabah Usaha Mikro dan Kecil (UMK).
Huruf b
Contoh KFS yang melakukan kegiatan non
operasional adalah kantor perwakilan
pemasaran.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “kantor BUK yang memiliki
UUS” antara lain kantor cabang, kantor cabang
pembantu, dan kantor kas.
Yang dimaksud dengan “kantor lain“ adalah kantor
dari bank lain atau perusahaan lain.
Huruf a…
- 11 -
Huruf a
Pemisahan dimaksudkan agar nasabah dapat
membedakan dengan jelas antara kantor
syariah dengan kantor konvensional.
Pemisahan dapat dilakukan dengan cara antara
lain pembedaan warna ruangan, pembuatan
sekat (partisi) dan/atau pemisahan ruangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 24A
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “teknologi sistem
informasi yang memadai” adalah teknologi sistem
informasi yang memungkinkan adanya
pencatatan transaksi nasabah syariah secara
otomasi dan online dan terpisah dengan
pencatatan kantor konvensional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27…
- 12 -
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dokumen pendukung yang disampaikan antara lain
hasil studi kelayakan pembukaan kantor.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 29
Ayat (1)
Peningkatan status KCPS atau KKS menjadi KCS
dilakukan tanpa diikuti dengan penutupan KCPS
atau KKS.
Ayat (2)
Peningkatan status KKS menjadi KCPS dilakukan
tanpa diikuti dengan penutupan KKS.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 30A…
- 13 -
Pasal 30A
Ayat (1)
Perubahan status kantor KFS menjadi KCS dilakukan
tanpa diikuti dengan penutupan KFS.
Ayat (2)
Perubahan status kantor KFS menjadi KCPS
dilakukan tanpa diikuti dengan penutupan KFS.
Ayat (3)
Perubahan status kantor KFS menjadi KKS dilakukan
tanpa diikuti dengan penutupan KFS.
Ayat (4)
Perubahan status kantor KCS menjadi KFS dilakukan
tanpa diikuti dengan penutupan KCS.
Ayat (5)
Perubahan status kantor KCPS menjadi KFS
dilakukan tanpa diikuti dengan penutupan KCPS.
Angka 8
Pasal 31
Ayat (1)
Pemindahan alamat KCS perlu mempertimbangkan
kepentingan nasabah antara lain:
a.
jarak lokasi kantor lama dengan yang baru;
b. jumlah nasabah yang telah dibiayai; dan
c.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Dokumen pendukung yang disampaikan oleh BUK
yang memiliki UUS antara lain hasil studi kelayakan
pemindahan…
infrastruktur penunjang pada lokasi kantor
yang baru
- 14 -
pemindahan alamat di tempat kedudukan yang
baru.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 35A
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyelesaian kewajiban KCS kepada nasabah dan
pihak lainnya dapat dilakukan antara lain melalui
pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor UUS
lainnya dari UUS tersebut atau pihak lain dengan
persetujuan nasabah atau pihak lainnya.
Ayat (5)…
- 15 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dokumen penutupan antara lain dokumen terkait
penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak
lainnya.
Penyelesaian kewajiban tersebut dapat dilakukan
antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban
kepada kantor UUS atau pihak lain.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)…
- 16 -
Ayat (3)
Pengajuan permohonan izin kepada otoritas di
negara setempat dilakukan setelah adanya izin dari
Bank Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 55
Persetujuan atau penolakan atas permintaan pencabutan
izin usaha UUS diberikan oleh Bank Indonesia dengan
mempertimbangkan antara lain hasil analisis terhadap
penjelasan yang disampaikan oleh BUK yang memiliki
UUS mengenai alasan penutupan kegiatan usaha UUS
dan/atau dampaknya terhadap masyarakat. Penjelasan
rencana penutupan kegiatan usaha UUS dilakukan oleh
BUK yang memiliki UUS melalui presentasi di Bank
Indonesia.
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c…
- 17 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kewajiban UUS“
adalah kewajiban pembayaran gaji kepada
karyawan UUS, kewajiban pajak terutang, dan
kewajiban kepada nasabah penyimpan,
nasabah investor, nasabah penerima fasilitas
UUS baik yang tercatat pada neraca (on balance
sheet) atau pada rekening administratif (off
balance sheet).
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Surat keputusan pencabutan izin usaha UUS
diterbitkan dengan memperhatikan hasil
pemeriksaan terhadap UUS yang bersangkutan untuk
memastikan terpenuhinya persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “kewajiban UUS“ adalah
kewajiban pembayaran gaji kepada karyawan UUS,
kewajiban pajak terutang, dan kewajiban kepada
nasabah penyimpan, nasabah investor, nasabah
penerima fasilitas UUS baik yang tercatat pada
neraca (on balance sheet) atau pada rekening
administratif (off balance sheet).
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59…
- 18 -
Pasal 59
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 61A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sesuai dengan ayat ini maka petunjuk dan dokumen
operasional UUS dapat ditulis dengan lebih dari 1
(satu) bahasa dimana salah satunya adalah Bahasa
Indonesia.
Pasal 61B
Cukup jelas.
Pasal 61C
Arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional antara
lain terkait dengan upaya pengembangan ekonomi daerah,
perluasan lapangan kerja, kesesuaian dengan prioritas
sektor pembangunan, perluasan akses keuangan bagi
masyarakat berpenghasilan rendah dan produktif
(financial
inclusion), dan keberpihakan kepada
kepentingan nasional.
Pasal 61D
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia
apabila telah disampaikan secara lengkap dengan
memuat…
- 19 -
memuat data, informasi dan/atau dokumen yang
dipersyaratkan sesuai jenis laporannya.
Tanggal penerimaan laporan oleh Bank Indonesia
adalah tanggal:
a. Stempel pos (time stamp), apabila laporan
dikirimkan melalui P.T. Pos Indonesia atau jasa
pengiriman lainnya; atau
b. Penerimaan laporan di kantor Bank Indonesia,
apabila laporan disampaikan secara langsung
kepada Bank Indonesia.
Huruf a
Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung
sebagai berikut:
Jumlah kewajiban membayar =jumlah hari
keterlambatan x Rp1.000.000,00 x jumlah
laporan atau pengumuman.
Huruf b
Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung
sebagai berikut:
Jumlah kewajiban membayar =Rp30.000.000,00
x jumlah laporan atau pengumuman.
BUK atau UUS yang dikenakan sanksi tidak
menyampaikan laporan atau pengumuman,
tidak dikenakan sanksi keterlambatan
penyampaian laporan atau pengumuman.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)…
- 20 -
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5477
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 15/14/PBI/2013 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/10/PBI/2009 TENTANG UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 24 Desember 2013 </set_date>
<effective_date> 24 Desember 2013 </effective_date>
<issued_date> 24 Desember 2013 </issued_date>
<changed_reg> '11/10/PBI/2009' </changed_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '40/UU/2007' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 13 Pasal 62 Ayat (1)', 'Pasal I Angka 13 Pasal 62 Ayat (2)', 'Pasal I Angka 13 Pasal 62 Ayat (4)', 'Pasal I Angka 13 Pasal 62 Ayat (5)', 'Pasal I Angka 13 Pasal 62 Ayat (6)' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 11/ 16 /PBI/2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 2/25/PBI/2000 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN
UANG RUPIAH PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2000
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah
ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat
sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender);
b. bahwa untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen
pada desain uang kertas rupiah pecahan 1.000 (seribu)
sebagai legal tender di Negara Kesatuan Republik
Indonesia, diperlukan penyempurnaan desain uang
rupiah antara lain mengenai penandatanganan pada
uang, penempatan letak tahun pengeluaran atau tahun
emisi, dan tahun pencetakan uang;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu
untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang
Rupiah Pecahan 1.000 (Seribu) Tahun Emisi 2000;
Mengingat . . .
-2-
Mengingat
: 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004
tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan
Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4762);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 2/25/PBI/2000 TENTANG
PENGELUARAN ...
-3-
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH
PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2000.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/25/PBI/2000
tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Rupiah Pecahan 1.000 (Seribu)
Tahun Emisi 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
207) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
Ciri uang rupiah pecahan 1.000 (seribu) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 adalah:
1. Warna
a. bagian muka dicetak dengan warna biru, jingga, violet merah, dan
hijau;
b. bagian belakang dicetak dengan warna biru kemerahan, hijau, kuning,
biru, dan violet.
2. Gambar
a. bagian muka
1) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Kapitan
Pattimura, dan dibawahnya dicantumkan tulisan ”KAPITAN
PATTIMURA”;
2) pada sebelah kiri gambar utama terdapat angka nominal “1000”
arah horizontal, sebagian gambar rectoverso yang apabila
diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo “BI”, embossed
latent image yang memuat angka “1000” dan tulisan “BI” negatif
atau ...
-4-
atau positif, tulisan “BANK INDONESIA”, dan tulisan “SERIBU
RUPIAH”;
3) pada sebelah kanan gambar utama terdapat cetakan latent image
memuat logo ”BI” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu,
tulisan mikro “BI” yang disusun secara miring ke kiri dan
ke kanan bergantian membentuk garis-garis horizontal, gambar
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda
Pancasila, angka nominal “1000” arah vertikal, angka tahun
pencetakan “2009” (angka 2009 akan berubah sesuai dengan
tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda
tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”,
dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan
“DEPUTI GUBERNUR”, dan tulisan “PERUM PERCETAKAN
UANG RI IMP”, dan angka tahun pengeluaran atau tahun emisi
“2000”;
4) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari:
a) garis-garis lengkung yang membentuk hiasan;
b) garis-garis halus guilloche;
c) garis-garis vertikal dan horizontal yang membentuk hiasan
anak tangga;
d) belah ketupat yang membentuk hiasan teratai;
e) ornamen Maluku yang terpahat pada batu peninggalan zaman
Megalithicum;
b. bagian belakang
1) gambar utama berupa gambar Pulau Maitara dan Tidore, dan
di tengahnya terdapat gambar nelayan yang sedang menebarkan
jala ikan yang terbentuk dari tulisan modulasi “BI” yang utuh
atau terpotong sebagian;
2) pada ...
-5-
2) pada sebelah atas gambar utama terdapat tulisan “PULAU
MAITARA DAN TIDORE”, tulisan “BANK INDONESIA”,
tulisan mikro “BANKINDONESIA” yang berulang-ulang tanpa
spasi, dan nomor seri berwarna merah (terdiri dari 3 (tiga) huruf
dan 6 (enam) angka) yang akan memendar merah kekuningan
di bawah sinar ultra violet;
3) pada sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan ”DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN
YANG SAH DENGAN NILAI SERIBU RUPIAH”, angka
nominal “1000” arah horizontal, dan tulisan mikro
“BANKINDONESIA” yang berulang tanpa spasi;
4) pada sebelah kiri gambar utama terdapat angka nominal “1000”
arah vertikal, dan nomor seri berwarna hitam (terdiri dari 3 (tiga)
huruf dan 6 (enam) angka) yang akan memendar hijau
kekuningan di bawah sinar ultra violet;
5) pada sebelah kanan gambar utama terdapat sebagian gambar
rectoverso yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan
terlihat logo “BI”;
6) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari:
a) garis-garis halus guilloche;
b) hiasan roset;
c) garis-garis bergelombang, bulatan-bulatan dan titik-titik, garis
vertikal dan horizontal yang membentuk hiasan;
d) roncean bunga membentuk pagar.
3. Bahan
Jenis bahan terbuat dari 100% (seratus persen) serat kapas, dan memiliki
spesifikasi sebagai berikut:
a. ukuran panjang 141 mm dan lebar 65 mm;
b. warna ...
-6-
b. warna krem (putih kekuning-kuningan);
c. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
d. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Cut Nyak Meutia;
e. benang pengaman terbuat dari plastik tembus pandang yang memuat
tulisan mikro berwarna hitam “BANK INDONESIA” yang utuh atau
terpotong sebagian, dan memendar merah di bawah sinar ultra violet.
2. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 5 A,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5 A
Uang kertas rupiah pecahan 1.000 (seribu) yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap
berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan ...
-7-
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 April 2009.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 29 April 2009.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 70
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/16/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/25/PBI/2000 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2000 </reg_title>
<set_date> 29 April 2009 </set_date>
<effective_date> 29 April 2009 </effective_date>
<issued_date> 29 April 2009 </issued_date>
<changed_reg> '2/25/PBI/2000' </changed_reg>
<related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/14/PBI/2004', '23/UU/1999', '9/10/PBI/2007', '6/UU/2009' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/ 41 /PBI/2005
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KHUSUS
PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005
DALAM BENTUK UANG KERTAS BELUM DIPOTONG
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa uang kertas berfungsi sebagai alat pembayaran, dan
sekaligus merupakan sarana bagi perkembangan
numismatika di Indonesia;
b. bahwa dalam
rangka mendorong perkembangan
numismatika (koleksi uang) di Indonesia, dipandang perlu
untuk mengeluarkan uang kertas yang memiliki keunikan;
c. bahwa dalam upaya tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan
dan mengedarkan uang khusus pecahan 10.000 (sepuluh
ribu) tahun emisi 2005 dalam bentuk uang kertas belum
dipotong;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang pengeluaran dan
pengedaran uang khusus pecahan 10.000 (sepuluh ribu)
tahun emisi 2005 dalam bentuk uang kertas belum dipotong;
Mengingat …
-2-
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4357);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tanggal
22 Juni 2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan
dan Penarikan serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4388);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KHUSUS
PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005
DALAM BENTUK UANG UANG KERTAS BELUM
DIPOTONG.
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Uang adalah uang rupiah.
2. Uang Khusus adalah Uang yang dikeluarkan secara khusus dalam rangka
memperingati peristiwa atau tujuan tertentu dan memiliki nilai nominal yang
berbeda dengan nilai jualnya.
3. Uang …
-3-
3. Uang Kertas Belum Dipotong adalah uang bersambung atau lembaran Uang
terdiri dari 2 (dua) lembar (bilyet) atau 4 (empat) lembar (bilyet) atau 45
(empat puluh lima) lembar (bilyet) dan masih merupakan satu kesatuan.
Pasal 2
(1) Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan Uang Khusus pecahan
10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 dalam bentuk Uang Kertas Belum
Dipotong.
(2) Setiap lembaran Uang Khusus terdiri dari 2 (dua) lembar (bilyet) atau 4
(empat) lembar (bilyet) atau 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet) uang
kertas yang masih merupakan satu kesatuan.
Pasal 3
Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikeluarkan dan diedarkan
paling banyak:
a. 1.700 (seribu tujuh ratus) lembaran yang terdiri dari 2 (dua) lembar (bilyet);
b. 900 (sembilan ratus) lembaran yang terdiri dari 4 (empat) lembar (bilyet); dan
c. 20 (dua puluh) lembaran yang terdiri dari 45 (empat puluh lima) lembar
(bilyet).
Pasal 4
(1) Setiap lembar (bilyet) Uang dalam Uang Khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) mempunyai nilai nominal sebesar Rp10.000 (sepuluh
ribu rupiah).
(2) Setiap lembaran Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) yang terdiri dari :
a. 2 (dua) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar Rp20.000 (dua
puluh ribu rupiah);
b. 4 (empat) …
-4-
b. 4 (empat) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar Rp40.000
(empat puluh ribu rupiah);
c. 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet) mempunyai nilai nominal sebesar
Rp450.000 (empat ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 5
(1) Jenis lembaran Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 terdiri
dari:
a. lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet) dalam bentuk persegi
panjang dan berukuran 145 mm x 130 mm;
b. lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet) dalam bentuk persegi
panjang dan berukuran 290 mm x 130 mm;
c. lembaran yang memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet) dalam
bentuk persegi panjang dan berukuran 725 mm x 585 mm.
(2) Setiap lembaran Uang Khusus dilengkapi dengan sertifikat keaslian dari
Bank Indonesia.
(3) Bahan dan ciri setiap lembar uang yang terdapat pada Uang Khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah :
a. warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan
ungu;
b. gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud
Badaruddin II dan di bawahnya dicantumkan tulisan “SULTAN
MAHMUD BADARUDDIN II”;
b) di sebelah kiri gambar utama terdapat gambar ornamen daerah
Palembang berbentuk lingkaran berwarna oranye yang akan
memendar kuning di bawah sinar ultra violet;
c) di …
-5-
c) di sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal
terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan
tersebut terdapat tulisan “SEPULUH RIBU RUPIAH”;
d) di sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan di
sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka
nominal “10000”;
e) di sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal “10000”
terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan
ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
f) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi
(latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi panjang berbentuk
ornamen daerah Pelembang yang dapat dilihat dari sudut pandang
tertentu;
g) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang
Negara Garuda Pancasila;
h) di sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam
bidang segi delapan yang dicetak dengan tinta khusus (optically
variable ink) yang akan berubah warna dari hijau menjadi biru
apabila dilihat dari sudut pandang berbeda;
i) di sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun emisi
“2005”, tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur
Bank Indonesia (Burhanuddin Abdullah) beserta tulisan
“GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank
Indonesia (Bun Bunan E.J. Hutapea) beserta tulisan “DEPUTI
GUBERNUR”;
j) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang
membentuk ornamen daerah Palembang;
k) mikroteks …
-6-
k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca
pembesar terdapat di;
1) sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal
“10000” berupa tulisan BI;
2) sebelah kiri gambar utama di atas dan bawah gambar saling isi
(rectoverso) berupa angka 10000 yang membentuk garis
vertikal;
3) sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berupa tulisan
BANKINDONESIA sebagai latar belakang uang;
4) sebelah kanan gambar utama berupa tulisan
BANKINDONESIA10000 yang tersusun diagonal membentuk
warna dasar dan gambar ornamen daerah Palembang;
l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa tulisan BI10000 yang berbentuk lengkungan dengan ukuran
teks yang berbeda.
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Rumah Limas, Palembang;
b) di sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK
INDONESIA”;
c) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN
YANG SAH DENGAN NILAI SEPULUH RIBU RUPIAH”;
d) di sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan di sebelah kiri
atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “10000”;
e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka
terletak di sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta
berwarna …
-7-
berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra
violet dan di sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK
INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan
memendar oranye di bawah sinar ultra violet;
f) di sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling
isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan
terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
g) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar
siluet dari rumah limas yang akan memendar hijau kekuningan di
bawah sinar ultra violet;
h) di sebelah kiri bawah gambar utama terdapat cetakan tidak kasat
mata berupa angka nominal “10000” dalam kotak persegi panjang
yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet;
i) di sebelah kanan atas dan bawah gambar utama terdapat angka
10000 yang membentuk warna dasar;
j) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca
pembesar terdapat di:
1) sebelah kanan di atas atap rumah limas berupa angka 10000
yang membentuk daun-daun pepohonan;
2) sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi
nominal “10000” berupa tulisan BI;
angka
k) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di:
1) atas dan bawah tanda air berupa tulisan BANKINDONESIA
yang berbentuk garis melengkung dengan ukuran teks berbeda;
2) sebelah kanan di atas tulisan BANK INDONESIA dan di
bawah angka nominal “10000” berupa tulisan
BANKINDONESIA yang membentuk lingkaran.
c. bahan …
-8-
c. bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut :
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 145 mm dan lebar 65 mm;
3. warna ungu muda;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud
Badaruddin II dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah
Palembang;
6. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat
tulisan “BI10000” berulang-ulang dan akan memendar berwana merah
di bawah sinar ultra violet.
Pasal 6
Harga Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) adalah
sebagai berikut:
a. lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet) mempunyai harga sebesar
Rp70.000,00 (tujuh puluh ribu rupiah) per lembaran;
b. lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet) mempunyai harga sebesar
Rp140.000,00 (seratus empat puluh ribu rupiah) per lembaran;
c. lembaran yang memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet) mempunyai
harga sebesar Rp1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) per lembaran.
Pasal 7
(1) Pengedaran Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kepada
masyarakat dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara penjualan secara
langsung atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
(2) Pengedaran …
-9-
(2) Pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan oleh Bank
Indonesia dengan cara penjualan secara langsung, dilakukan dengan harga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(3) Dalam keadaan tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan penjualan secara
lelang dengan harga penawaran tertinggi dari harga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6.
(4) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain meliputi:
a. penjualan perdana (diawal periode pengeluaran);
b. apabila terjadi kelebihan permintaan;
c. kondisi tertentu untuk tujuan penggalangan dana guna sumbangan sosial.
(5) Pelaksanaan penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank
Indonesia.
Pasal
8
Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dijamin oleh Bank Indonesia
sebesar nilai nominal.
Pasal
9
(1) Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah alat pembayaran
yang sah di wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Dalam hal Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 digunakan
sebagai alat pembayaran maka nilai setiap lembar (bilyet) bernilai sebesar
nilai nominal.
Pasal …
-10-
Pasal 10
(1) Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dalam kondisi
rusak dapat dimintakan penggantian kepada Bank Indonesia.
(2) Penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk
uang bukan Uang Khusus.
(3) Besarnya penggantian sebagaimana ayat (1) dihitung atas dasar ukuran dari
masing-masing lembar (bilyet) dengan mengacu kepada ketentuan yang
berlaku.
Pasal 11
Uang Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikeluarkan dan diedarkan
mulai tanggal 20 Oktober 2005.
Pasal 12
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Oktober 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 101
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/41/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KHUSUS PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 DALAM BENTUK UANG KERTAS BELUM DIPOTONG </reg_title>
<set_date> 18 Oktober 2005 </set_date>
<effective_date> 18 Oktober 2005 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '6/14/PBI/2004' </related_reg>
|
-1-
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/5/PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 5/6/PBI/2003 TENTANG SURAT KREDIT BERDOKUMEN
DALAM NEGERI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas di bidang
moneter, perbankan dan sistem pembayaran perlu
didukung oleh ketersediaan informasi yang dapat
dijadikan dasar penetapan kebijakan moneter, perbankan
dan sistem pembayaran yang tepat, efektif dan terukur;
b. bahwa dengan implementasi Laporan Kantor Pusat Bank
yang terintegrasi secara On-Line dapat mendukung
ketersediaan informasi yang disampaikan bank secara
akurat, benar, dan lengkap yang dapat diakses secara
simultan;
c.
bahwa ketentuan pelaporan tentang Surat Kredit
Berdokumen Dalam Negeri yang berlaku saat ini perlu
disesuaikan agar sejalan dengan ketentuan mengenai
laporan kantor pusat bank yang berlaku;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, dan huruf c dipandang perlu untuk
menyempurnakan ketentuan mengenai Surat Kredit
Berdokumen …
-2-
Berdokumen Dalam Negeri, dalam suatu Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/6/PBI/2003 tentang
Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4289);
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/3/PBI/2008 tentang
Laporan Kantor Pusat Bank Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4810);
MEMUTUSKAN …
-3-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
5/6/PBI/2003 TENTANG SURAT KREDIT BERDOKUMEN
DALAM NEGERI.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/6/PBI/2003
tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4289) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27
Bank wajib menyampaikan laporan SKBDN setiap bulan dengan berpedoman
pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Laporan Kantor
Pusat Bank Umum yang berlaku.
2. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28
Bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai Laporan Kantor Pusat Bank Umum yang berlaku.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar …
-4-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 15 Februari 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 15 Februari 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 31
DInt/UKMI
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 10/5/PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 5/6/PBI/2003 TENTANG SURAT KREDIT BERDOKUMEN
DALAM NEGERI
UMUM
Dalam menjalankan tugas sebagai otoritas moneter, pengawasan bank, dan
sistem pembayaran nasional sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No. 23 tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 tahun 2004, diperlukan
dukungan ketersediaan data dan informasi yang akurat dan tepat waktu yang dapat
dijadikan Bank Indonesia sebagai dasar penetapan kebijakan moneter, perbankan, dan
sistem pembayaran yang tepat, efektif, dan terukur. Data dan informasi dimaksud
berupa kondisi keuangan bank yang disajikan dalam bentuk laporan keuangan maupun
kegiatan usaha bank.
Sejalan dengan upaya meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan
informasi di Bank Indonesia, maka diperlukan suatu sistem pelaporan bank yang
didukung oleh infrastruktur sistem informasi yang lebih memadai melalui Sistem
Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU). Implementasi sistem LKPBU
membawa konsekuensi pada perubahan metode penyampaian laporan yang selama ini
disampaikan bank secara manual dalam bentuk hardcopy. Salah satu laporan tersebut
adalah laporan transaksi Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN).
Dengan…
-2-
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, Bank Indonesia menganggap perlu
untuk menyempurnakan Peraturan Bank Indonesia tentang Surat Kredit Berdokumen
Dalam Negeri khususnya terkait dengan aturan penyampaian laporan berikut
pengenaan sanksinya.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 27
Format laporan SKBDN mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
mengenai Laporan Kantor Pusat Bank Umum yang berlaku,
sehingga Lampiran 1 mengenai Laporan Transaksi SKBDN dan
Lampiran 2 mengenai Laporan Pengambilalihan “Wesel
SKBDN” yang dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/6/PBI/2003 tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri
tidak digunakan lagi.
Angka 2
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4819....
DInt/UKMI
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/5/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/6/PBI/2003 TENTANG SURAT KREDIT BERDOKUMEN DALAM NEGERI </reg_title>
<set_date> 15 Februari 2008 </set_date>
<effective_date> 15 Februari 2008 </effective_date>
<issued_date> 15 Februari 2008 </issued_date>
<changed_reg> '5/6/PBI/2003' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '10/3/PBI/2008', '3/UU/2004', '5/6/PBI/2003', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 2 Pasal 28' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 22/1/PBI/2020
TENTANG
JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN
TAHUN 2019
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa salah satu tugas Bank Indonesia dalam pengelolaan
uang rupiah yaitu melakukan pemusnahan terhadap uang
rupiah;
b. bahwa sesuai dengan amanat Pasal 18 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, jumlah
dan nilai nominal uang rupiah yang dimusnahkan oleh
Bank Indonesia ditempatkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Bank Indonesia tentang Jumlah dan Nilai Nominal Uang
Rupiah yang Dimusnahkan Tahun 2019;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5223);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/10/PBI/2019 tentang
Pengelolaan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2019 Nomor 154, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6378);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG JUMLAH DAN NILAI
NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2019.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Uang Rupiah adalah rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai mata uang.
2. Uang Rupiah Tidak Layak Edar adalah Uang Rupiah yang
terdiri atas Uang Rupiah lusuh, Uang Rupiah cacat, dan
Uang Rupiah rusak.
- 3 -
3. Pemusnahan adalah suatu rangkaian kegiatan meracik,
melebur, atau cara lain memusnahkan Uang Rupiah
sehingga tidak menyerupai Uang Rupiah.
BAB II
PEMUSNAHAN UANG RUPIAH
Pasal 2
Uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia meliputi:
a. Uang Rupiah Tidak Layak Edar; dan
b. Uang Rupiah yang sudah tidak berlaku.
Pasal 3
Pemusnahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Uang Rupiah kertas diracik dengan menggunakan mesin
yang memiliki fungsi untuk meracik Uang Rupiah kertas
sehingga tidak lagi menyerupai Uang Rupiah kertas; dan
b. Uang Rupiah logam dilebur sehingga tidak lagi menyerupai
Uang Rupiah logam.
Pasal 4
(1) Jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan
oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
(2) Data jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang
dimusnahkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi jenis pecahan, jumlah bilyet atau
keping, dan nilai nominal.
(3) Data jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang
dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
periode tanggal 1 Januari 2019 sampai dengan
31 Desember 2019 tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bank
Indonesia ini.
- 4 -
BAB III
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 5
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Januari 2020
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Januari 2020
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 36
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 22/1/PBI/2020 </reg_id>
<reg_title> JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2019 </reg_title>
<set_date> 29 Januari 2020 </set_date>
<effective_date> 30 Januari 2020 </effective_date>
<issued_date> 30 Januari 2020 </issued_date>
<related_reg> '21/10/PBI/2019', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/ 17 /PBI/2016
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/12/PBI/2009 TENTANG
UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan penggunaan uang
elektronik sekaligus mendukung keuangan inklusif,
penggunaan uang elektronik melalui penyelenggaraan
layanan keuangan digital perlu ditingkatkan dan
diperlancar;
b. bahwa untuk meningkatkan dan memperlancar
penyelenggaraan layanan keuangan digital perlu
dilakukan penyempurnaan pengaturan mengenai pihak
yang dapat menyelenggarakan layanan keuangan digital;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Kedua
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009
tentang Uang Elektronik (Electronic Money);
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
- 2 -
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5164);
5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer
Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5204);
6. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 50, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5406);
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
11/12/PBI/2009
TENTANG
(ELECTRONIC MONEY).
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 65,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5001)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 16/8/PBI/2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5524) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 24D diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24D
(1) Penyelenggaraan LKD melalui Agen LKD individu
hanya dapat dilakukan oleh Penerbit berupa Bank.
(2) Penerbit berupa Bank sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. berbadan hukum Indonesia;
b. merupakan bank umum yang memenuhi
kriteria:
1. Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha
(BUKU) 3 dan 4; atau
2. Bank Pembangunan Daerah kategori Bank
Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU)
1 dan 2 yang memiliki sistem teknologi
informasi yang memadai, serta profil
UANG ELEKTRONIK
- 4 -
mandat penyaluran program bantuan
sosial; dan
c. memenuhi persyaratan operasional yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Penerbit berupa Bank yang memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang akan
menyelenggarakan LKD melalui Agen LKD individu
wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia
rencana penyelenggaraan kegiatan LKD melalui Agen
LKD individu.
(4) Bank Indonesia memberikan persetujuan terhadap
rencana penyelenggaraan kegiatan LKD melalui Agen
LKD individu yang disampaikan oleh Penerbit berupa
Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan,
penyampaian rencana penyelenggaraan LKD melalui
Agen LKD individu, dan persetujuan Bank Indonesia
diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
2. Di antara Pasal 24G dan Pasal 25 disisipkan 1 (satu)
Pasal, yakni Pasal 24H yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24H
(1) Penerbit dalam menyelenggarakan LKD wajib paling
kurang menerapkan prosedur Customer Due Diligence
(CDD) yang lebih sederhana.
(2) Penerapan prosedur Customer Due Diligence (CDD)
yang lebih sederhana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui pencatatan data identitas
Pemegang Uang Elektronik
registered yang
disederhanakan.
(3) Pencatatan data identitas Pemegang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling kurang mencakup
informasi:
a. nama;
b. tempat dan tanggal lahir;
c. alamat;
- 5 -
d. nomor dokumen identitas; dan
e. nama ibu kandung.
(4) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
didukung dengan dokumen identitas atau dokumen
lainnya sebagai pengganti dokumen identitas yang
dapat memberikan keyakinan kepada Penerbit
tentang profil calon Pemegang.
(5) Apabila dalam menyelenggarakan LKD, Penerbit
menemukan kondisi:
a. terdapat ketidaksesuaian profil calon Pemegang;
b. terdapat calon Pemegang yang merupakan
Politically Exposed Person (PEP); dan/atau
c. terdapat dugaan terjadi transaksi pencucian
uang dan/atau pendanaan terorisme,
Penerbit wajib melaksanakan prosedur Customer Due
Diligence (CDD) sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Pasal II
1. Penyampaian rencana penyelenggaraan LKD yang telah
dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia
ini tunduk pada Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic
Money) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5001) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic
Money) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5524) sampai dengan persetujuan
diberikan oleh Bank Indonesia.
2. Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 6 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Agustus 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Agustus 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 179
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/ 17 /PBI/2016
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/12/PBI/2009 TENTANG
UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY)
I. UMUM
Dalam rangka meningkatkan penggunaan Uang Elektronik sekaligus
mendukung keuangan inklusif di Indonesia, Bank Indonesia memandang
perlu untuk melakukan penyesuaian terhadap ketentuan Uang Elektronik
khususnya yang terkait dengan penyelenggaraan LKD. Penyelenggaraan
LKD yang dimulai sejak tahun 2014 dinilai masih dapat ditingkatkan.
Peningkatan penyelenggaraan LKD dilakukan melalui relaksasi
terhadap beberapa ketentuan terkait LKD antara lain perluasan terhadap
pihak yang dapat menyelenggarakan LKD melalui Agen LKD individu,
kemudahan operasionalisasi penyelenggaraan LKD, dan harmonisasi
dengan ketentuan lainnya yang terkait dengan keuangan inklusif.
Masih cukup tingginya jumlah masyarakat Indonesia yang belum
tersentuh jasa layanan keuangan menunjukkan bahwa penetrasi
penyelenggaraan LKD perlu ditingkatkan, salah satunya dengan
memperluas penyelenggara LKD melalui Agen LKD individu.
Penyelenggaraan LKD melalui Agen LKD individu kini tidak hanya dapat
dilakukan oleh Penerbit berupa Bank yang termasuk kategori Bank
Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4, namun juga dapat
dilakukan oleh Penerbit berupa Bank yang termasuk kategori Bank
Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 3, dan Bank Pembangunan
Daerah kategori Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 1 dan
- 2 -
2 yang memiliki sistem teknologi informasi yang memadai serta profil
mandat penyaluran program bantuan sosial. Melalui perluasan tersebut,
diharapkan terdapat penambahan jumlah penyelenggara LKD melalui
Agen LKD individu sehingga dapat memperluas jangkauan LKD untuk
melayani masyarakat yang belum tersentuh jasa sistem pembayaran dan
keuangan formal (unbankable).
Dalam rangka mempermudah akses masyarakat untuk
menggunakan Uang Elektronik, dilakukan penyederhanaan terhadap
minimum informasi yang diperlukan dalam melakukan pencatatan data
identitas Pemegang untuk Uang Elektronik registered yang digunakan
dalam penyelenggaraan LKD (Customer Due Dilligence (CDD)) dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian dan ketentuan yang mengatur
mengenai anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 24D
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “bank umum” adalah
bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan/atau berdasarkan
prinsip syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa
pembayaran.
Angka 1
Kategori Bank Umum berdasarkan
Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan 4
adalah sebagaimana diatur dalam
ketentuan yang mengatur mengenai
kegiatan usaha dan jaringan kantor
dalam lalu lintas
- 3 -
berdasarkan modal inti Bank.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Rencana penyelenggaraan kegiatan LKD melalui
Agen LKD Individu oleh Penerbit disampaikan pada
awal penyelenggaraan kegiatan LKD.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 24H
Ayat (1)
Kewajiban penerapan prosedur Customer Due
Diligence (CDD) secara umum telah diatur dalam
ketentuan yang mengatur mengenai anti pencucian
uang dan pencegahan pendanaan terorisme.
Ayat (2)
Customer Due Diligence (CDD) yang lebih sederhana
dalam hal ini dilakukan melalui pencatatan data
identitas yang menggunakan antara lain perangkat
teknologi dalam penyampaian dokumen dan proses
validasi dan persetujuan secara elektronik, dalam
rangka mempercepat proses identifikasi calon
Pemegang Uang Elektronik registered untuk tujuan
program keuangan inklusif.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
- 4 -
Huruf d
Dokumen identitas antara lain berupa kartu
tanda penduduk, surat izin mengemudi,
paspor, kartu pelajar yang disertai dengan
surat persetujuan dari orang tua, atau kartu
program pemerintah seperti kartu program
keluarga harapan atau kartu keanggotaan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Ketentuan yang berlaku antara lain ketentuan yang
mengatur mengenai anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5925
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/17/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/12/PBI/2009 TENTANG UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY) </reg_title>
<set_date> 29 Agustus 2016 </set_date>
<effective_date> 29 Agustus 2016 </effective_date>
<issued_date> 29 Agustus 2016 </issued_date>
<changed_reg> '11/12/PBI/2009' </changed_reg>
<extension_of> '16/8/PBI/2014' </extension_of>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '8/UU/2010', '9/UU/2013', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/32/PBI/2016
TENTANG
PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS
PECAHAN 2.000 (DUA RIBU)
TAHUN EMISI 2016
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis,
baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harus
dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara
Indonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sah
dalam kegiatan perekonomian nasional guna
mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia;
b. bahwa guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia dan dalam rangka
melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia perlu
mengeluarkan uang Rupiah dan mengedarkannya sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dalam jumlah nominal
yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan
dalam kondisi yang layak edar;
c. bahwa untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
uang Rupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan Bank
- 2 -
Indonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dan
keandalannya;
d. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Pecahan 2.000 (Dua
Ribu) Tahun Emisi 2016;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN
UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN
EMISI 2016.
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 2.000
(dua ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang
sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- 3 -
Pasal 2
Macam uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciri tertentu.
Pasal 3
Harga uang Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp2.000,00 (dua ribu
rupiah).
Pasal 4
Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
terdapat pada bagian depan dan bagian belakang meliputi:
a. ciri umum; dan
b. ciri khusus.
Pasal 5
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf a, pada bagian depan terdapat:
a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”;
b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”;
c. sebutan pecahan dalam angka “2000” dan tulisan
“DUA RIBU RUPIAH”;
d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta
tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri
Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan
“MENTERI KEUANGAN”;
e. tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”;
f. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Mohammad
Hoesni Thamrin beserta tulisan “MOHAMMAD
HOESNI THAMRIN”;
g. gambar ornamen batik; dan
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan abu-abu;
- 4 -
b.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f;
c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan
“BI” dan angka “2” yang dapat dilihat dari sudut
pandang tertentu;
e. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan
(tactile);
f. gambar raster berupa tulisan “BI” yang tertulis utuh
dan/atau sebagian;
g. mikroteks yang memuat tulisan “BI2”, tulisan
“BI2000”, dan angka “2”, yang dapat dilihat dengan
bantuan kaca pembesar; dan
h. hasil cetak yang akan memendar apabila dilihat
dengan sinar ultraviolet berupa:
1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah
satunya berisi tulisan “BI”;
2. angka nominal “2000”;
3. ornamen batik; dan
4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 6
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf a, pada bagian belakang terdapat:
a. angka nominal “2000”;
b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi
3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka;
c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI DUA RIBU
RUPIAH”;
d. tulisan tahun cetak “TC 2016”;
- 5 -
e. gambar utama yaitu tari piring beserta tulisan “TARI
PIRING”, pemandangan alam Ngarai Sianok beserta
tulisan “Ngarai Sianok”, dan bunga jeumpa;
f. tulisan “BANK INDONESIA”;
g. gambar ornamen batik;
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan
i.
tulisan “PERURI”.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan abu-abu;
b. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
c. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka
“2000”;
d. mikroteks yang memuat tulisan “BI2000” dan angka
“2000”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca
pembesar; dan
e.
hasil cetak yang akan memendar apabila dilihat
dengan sinar ultraviolet berupa:
1. gambar bunga jeumpa;
2. gambar sebagian pemandangan alam Ngarai
Sianok; dan
3. nomor seri dengan bentuk asimetris yang
meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka.
(3) Angka dalam tulisan tahun cetak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d akan berubah sesuai dengan tahun
cetak.
Pasal 7
Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri
khusus sebagai berikut:
a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi:
1. terbuat dari serat kapas;
2. berwarna abu-abu;
- 6 -
3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet;
4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar
Pahlawan Nasional Pangeran Antasari; dan
5. terdapat benang pengaman yang memuat tulisan “BI
2000” secara berulang, yang akan memendar apabila
dilihat dengan sinar ultraviolet; dan
b. ukuran yaitu panjang 141 (seratus empat puluh satu)
milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter.
Pasal 8
Uang Rupiah kertas pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi
2009 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat
pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari
peredaran.
Pasal 9
Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai
berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016.
Pasal 10
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 7 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Oktober 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 216
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/32/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2016 </reg_title>
<set_date> 26 Oktober 2016 </set_date>
<effective_date> 28 Oktober 2016 </effective_date>
<issued_date> 28 Oktober 2016 </issued_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/17/PBI/2008
TENTANG
PRODUK BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa perkembangan dan kelangsungan usaha bank tergantung
antara lain dari kemampuan bank dalam melakukan inovasi produk
dan jasa bank;
b. bahwa implementasi atas banyaknya inovasi produk dan jasa Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah harus tetap mengacu kepada Prinsip
Syariah dan prinsip kehati-hatian;
c. bahwa untuk memitigasi berbagai risiko dalam kaitan inovasi
produk dan jasa bank yang semakin berkembang perlu diimbangi
dengan mekanisme perizinan atau pelaporan dan penghentian
produk dan jasa bank yang lebih sesuai dengan upaya
pengembangan Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b dan huruf c, perlu diatur ketentuan tentang produk
Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dalam Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 3843)
sebagaimana …
- 2 -
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PRODUK BANK
SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
2. Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank
Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
3. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit
kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor
cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang
melaksanakan …
- 3 -
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau
unit syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
4. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.
5. Produk Bank, yang selanjutnya disebut Produk, adalah produk yang
dikeluarkan Bank baik di sisi penghimpunan dana maupun
penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank yang sesuai dengan
Prinsip Syariah, tidak termasuk produk lembaga keuangan bukan
Bank yang dipasarkan oleh Bank sebagai agen pemasaran.
6. Produk Non Bank adalah produk yang dikeluarkan lembaga
keuangan bukan Bank.
BAB II
PERIZINAN ATAU PELAPORAN PRODUK
Pasal 2
(1) Bank wajib melaporkan rencana pengeluaran Produk baru kepada
Bank Indonesia.
(2) Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Produk
sebagaimana ditetapkan dalam Buku Kodifikasi Produk
Perbankan Syariah yang diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
(3) Dalam hal Bank akan mengeluarkan Produk baru yang tidak
termasuk …
- 4 -
termasuk dalam Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
maka Bank wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
Pasal 3
(1) Laporan rencana pengeluaran Produk baru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) harus disampaikan paling lambat 15 (lima
belas) hari sebelum Produk baru dimaksud akan dikeluarkan.
(2) Bank Indonesia memberikan penegasan atas laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lambat 15 (lima belas) hari sejak
seluruh persyaratan dipenuhi dan dokumen pelaporan diterima
secara lengkap.
(3) Bank dilarang mengeluarkan Produk baru dalam jangka waktu 15
(lima belas) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila
belum memperoleh penegasan tidak keberatan dari Bank
Indonesia.
(4) Apabila dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari setelah seluruh
persyaratan dipenuhi dan dokumen pelaporan diterima secara
lengkap, Bank Indonesia tidak memberikan penegasan, maka
Bank dapat mengeluarkan Produk baru dimaksud.
Pasal 4
Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (3) paling lambat
15 (lima belas) hari sejak seluruh persyaratan dipenuhi dan dokumen
pelaporan diterima secara lengkap.
Pasal 5 …
- 5 -
Pasal 5
Bank wajib melaporkan realisasi pengeluaran Produk baru paling
lambat 10 (sepuluh) hari setelah Produk baru dimaksud dikeluarkan.
BAB III
PENJELASAN PRODUK
Pasal 6
(1) Bank wajib memberikan penjelasan kepada Bank Indonesia atas
Produk baru yang wajib mendapatkan persetujuan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3).
(2) Bank Indonesia dapat meminta kepada Bank untuk memberikan
penjelasan atas:
a. Produk baru yang wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
b. Produk yang telah dikeluarkan; atau
c. Produk Non Bank yang dipasarkan oleh Bank.
BAB IV
PENGHENTIAN PRODUK
Pasal 7
Bank wajib menghentikan kegiatan Produk dalam hal:
a. Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 atau Pasal 3 ayat (3);
b. Produk tersebut tidak sesuai dengan Prinsip Syariah; atau
c. Produk tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 8 …
- 6 -
Pasal 8
(1) Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menghentikan
kegiatan Produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(2) Penghentian kegiatan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat bersifat tetap atau sementara.
(3) Dalam hal Produk dikenakan penghentian sementara maka:
a. Bank wajib menyempurnakan Produk dimaksud dalam jangka
waktu yang ditetapkan Bank Indonesia.
b. Bank untuk sementara dilarang menjual Produk tersebut.
c. Penghentian sementara dapat dicabut apabila Bank telah
menyempurnakan Produk dimaksud.
d. Dalam hal Bank tidak dapat menyempurnakan Produk
dimaksud dalam jangka waktu yang ditetapkan Bank
Indonesia, maka atas Produk tersebut dapat dikenakan
penghentian tetap.
(4) Dalam hal Produk dikenakan penghentian tetap maka Bank wajib
menghentikan kegiatan Produk dan menyelesaikan hak dan
kewajiban nasabah Produk dimaksud dalam jangka waktu yang
ditetapkan Bank Indonesia.
BAB V
LAIN-LAIN
Pasal 9
(1) Dalam hal terdapat pengaturan secara khusus atas Produk atau
Produk Non Bank dalam ketentuan Bank Indonesia lainnya, maka
mekanisme penyampaian laporan atau permohonan persetujuan
atas Produk baru atau Produk Non Bank tetap mengacu kepada
ketentuan …
- 7 -
ketentuan Bank Indonesia terkait.
(2) Selain tetap mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib menyampaikan
dokumen sebagai berikut:
a. fatwa Majelis Ulama Indonesia terhadap Produk atau Produk
Non Bank; dan
b. pendapat syariah dari Dewan Pengawas Syariah Bank
terhadap Produk atau Produk Non Bank.
(3) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
bersamaan dengan penyampaian laporan atau permohonan
persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB VI
SANKSI
Pasal 10
(1) Bank Umum Syariah dan UUS yang tidak mematuhi ketentuan
dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu mengeluarkan Produk baru tanpa
melaporkan rencana pengeluaran Produk baru kepada Bank
Indonesia atau melaporkan rencana pengeluaran Produk baru
setelah Produk baru dikeluarkan, dapat dikenakan sanksi
administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, berupa teguran tertulis dan
denda uang paling banyak sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh
lima juta rupiah) untuk setiap produk.
(2) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang tidak mematuhi ketentuan
dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu mengeluarkan Produk baru tanpa
melaporkan rencana pengeluaran Produk baru kepada Bank
Indonesia …
- 8 -
Indonesia atau melaporkan rencana pengeluaran Produk baru
setelah Produk baru dikeluarkan, dapat dikenakan sanksi
administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, berupa teguran tertulis dan
denda uang paling banyak sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta
rupiah) untuk setiap produk.
(3) Bank Umum Syariah dan UUS yang tidak mematuhi ketentuan
dalam Pasal 2 ayat (3) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai
Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, berupa teguran tertulis dan denda uang paling
banyak sebesar Rp35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah)
untuk setiap produk.
(4) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang tidak mematuhi ketentuan
dalam Pasal 2 ayat (3) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai
Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, berupa teguran tertulis dan denda uang paling
banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk setiap
produk.
(5) Bank Umum Syariah dan UUS yang tidak mematuhi ketentuan
dalam Pasal 3 ayat (3) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai
Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, berupa teguran tertulis dan denda uang paling
banyak sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) untuk
setiap produk.
(6) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang tidak mematuhi ketentuan
dalam Pasal 3 ayat (3) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai
Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan …
- 9 -
Perbankan Syariah, berupa teguran tertulis dan denda uang paling
banyak sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) untuk setiap
produk.
(7) Bank Umum Syariah dan UUS yang tidak mematuhi ketentuan
dalam Pasal 5 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal
58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, berupa:
a. teguran tertulis dan denda uang sebesar Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak
seluruhnya sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk
setiap Produk apabila Bank menyampaikan laporan dalam 10
(sepuluh) hari sejak batas akhir penyampaian laporan.
b. teguran tertulis dan denda uang paling banyak sebesar
Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) untuk setiap Produk apabila
Bank tidak menyampaikan laporan setelah 10 (sepuluh) hari
sejak batas akhir penyampaian laporan.
(8) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang tidak mematuhi ketentuan
dalam Pasal 5 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal
58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, berupa:
a. teguran tertulis dan denda uang sebesar Rp25.000,00 (dua
puluh lima ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling
banyak seluruhnya sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima
puluh ribu rupiah) untuk setiap produk apabila Bank
menyampaikan laporan dalam 10 (sepuluh) hari sejak batas
akhir penyampaian laporan;
b. teguran tertulis dan denda uang sebesar Rp500.000,00 (lima
ratus …
- 10 -
ratus ribu rupiah) untuk setiap produk apabila Bank tidak
menyampaikan laporan setelah 10 (sepuluh) hari sejak batas
akhir penyampaian laporan.
Pasal 11
Bank yang tidak mematuhi ketentuan dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8
ayat (3) huruf a dan huruf b, Pasal 8 ayat (4), dan Pasal 9 ayat (2) dapat
dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Pasal 12
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (7) huruf
b atau Pasal 10 ayat (8) huruf b tidak mengurangi kewajiban Bank
untuk menyampaikan laporan realisasi pengeluaran Produk baru
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 13
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Produk baru yang
telah disampaikan permohonan persetujuannya kepada Bank Indonesia
tetapi belum mendapat persetujuan dari Bank Indonesia, tetap diproses
berdasarkan:
a. Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober
2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia …
- 11 -
Indonesia Nomor 4434); atau
b. Peraturan Bank Indonesia No. 8/3/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006
tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional
Menjadi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah oleh
Bank Umum Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4599); atau
c. Peraturan Bank Indonesia No. 8/25/PBI/2006 tanggal 5 Oktober
2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
No.6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan
Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4651).
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia
ini diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 15
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka :
1. Pasal 38, Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tanggal 14
Oktober 2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4434);
2. Pasal …
- 12 -
2. Pasal 35, Peraturan Bank Indonesia No. 8/25/PBI/2006 tanggal 5
Oktober 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
No.6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan
Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4651); dan
3. butir I.A.I.4., butir I.A.I.5., dan butir I.A.I.6., Surat Edaran Bank
Indonesia No.8/9/DPbS tanggal 1 Maret 2006 tentang Perubahan
Atas Surat Edaran Bank Indonesia No.7/5/DPbS Tanggal 8
Februari 2005 perihal Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 16
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 September 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan …
- 13 -
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 25 September 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 137
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 10/17/PBI/2008
TENTANG
PRODUK BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Seperti halnya bank konvensional, perkembangan usaha Bank Syariah dan
Unit Usaha Syariah juga tergantung antara lain dari kemampuannya untuk tetap
dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Kemampuan untuk memberikan
pelayanan perbankan syariah yang semakin beragam dengan tetap berpegang
kepada prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah khususnya melalui produk dan
jasa bank menjadi salah satu dasar dari keberlangsungan usaha Bank Syariah dan
Unit Usaha Syariah.
Sebagai bagian dari industri pelayanan jasa keuangan, pada dasarnya Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah memiliki fungsi utama yang tidak berbeda dengan
bank konvensional dengan prinsip, karakteristik, mekanisme dan jenis produk
yang berbeda.
Variasi produk dan jasa menjadi hal yang tak terhindarkan untuk
mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Di sisi lain, inovasi produk dan jasa juga
akan menimbulkan beragam risiko termasuk risiko reputasi. Dengan demikian,
mekanisme pengeluaran dan penghentian produk bagi Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah adalah salah satu kunci dari kemajuan perbankan syariah di
Indonesia, dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat sekaligus memitigasi
kemungkinan berbagai risiko yang akan timbul.
Berdasarkan hal-hal tersebut, dipandang perlu untuk melakukan pengaturan
kembali …
- 2 -
kembali tentang produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah yaitu berupa
Peraturan Bank Indonesia tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 6
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 4 …
- 3 -
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud memberikan penjelasan adalah termasuk melakukan
presentasi.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam rangka melakukan fungsi pengawasan perbankan terutama
pemenuhan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah, Bank
Indonesia dapat meminta Bank untuk memberikan penjelasan atas
Produk Non Bank antara lain produk asuransi atau produk pasar
modal (Reksa Dana), dimana Bank bertindak sebagai agen
pemasaran.
Pasal 7
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Produk harus sesuai dengan Prinsip Syariah yang mengacu pada fatwa
Majelis …
- 4 -
Majelis Ulama Indonesia dan ketentuan Bank Indonesia mengenai
pelaksanaan Prinsip Syariah dalam kegiatan usaha Bank Syariah dan
Unit Usaha Syariah.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan Bank untuk sementara dilarang untuk
menjual Produk adalah Bank dilarang menambah nasabah baru
dan/atau menambah eksposur nasabah lama atas Produk yang
terkena penghentian sementara.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9 …
- 5 -
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengaturan secara khusus atas Produk atau
Produk Non Bank dalam ketentuan Bank Indonesia lainnya, antara lain
ketentuan mengenai Electronic Banking, alat pembayaran dengan
menggunakan kartu, instrumen pasar uang antar bank berdasarkan
prinsip syariah, produk asuransi (Bancassurance), dan produk pasar
modal (reksa dana).
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia adalah fatwa
yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama
Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6) …
- 6 -
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4897
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/17/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> PRODUK BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 25 September 2008 </set_date>
<effective_date> 25 September 2008 </effective_date>
<issued_date> 25 September 2008 </issued_date>
<replaced_reg> '6/24/PBI/2004 | Pasal 38', '8/25/PBI/2006 | Pasal 35', '6/17/PBI/2004', '8/9/DPbS | butir I.A.I.4, butir I.A.I.5, butir I.A.I.6|SE-BI/2006', '7/5/DPbS|SE-BI/2005' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
-1-
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/11/PBI/2018
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/18/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI,
PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA, DAN SETELMEN DANA SEKETIKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa
untuk
segera memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan sistem pembayaran yang lebih lancar,
aman, efisien, dan andal diperlukan percepatan
implementasi ketentuan mengenai kewajiban penyediaan
dana yang cukup pada saat pengiriman instruksi setelmen
dana dan ketentuan mengenai fasilitas likuiditas intrahari;
b. bahwa untuk mendukung percepatan implementasi
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu penyesuaian
waktu pemberlakuan ketentuan mengenai kewajiban
penyediaan dana yang cukup pada saat pengiriman
instruksi setelmen dana dan ketentuan mengenai fasilitas
likuiditas intrahari;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Bank Indonesia tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat
Berharga, dan Setelmen Dana Seketika;
-2-
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat
Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4236);
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4852);
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer
Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5204);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KETIGA
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/18/PBI/2015
TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI, PENATAUSAHAAN
SURAT BERHARGA, DAN SETELMEN DANA SEKETIKA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi,
Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762)
yang telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia:
-3-
a. Nomor 18/6/PBI/2016 tentang Perubahan atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat
Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 77, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5877);
b. Nomor 19/14/PBI/2017 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat
Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 301, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6169),
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud
dengan:
1. Penyelenggara adalah Bank Indonesia yang
menyelenggarakan sistem dalam kegiatan transaksi,
penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana
seketika.
2. Surat Berharga adalah surat berharga yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia, Pemerintah,
dan/atau lembaga lain yang ditatausahakan pada
Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System.
3. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
surat utang negara.
4. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya
disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai surat berharga syariah negara.
-4-
5. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat
SBN adalah SUN dan SBSN.
6. Transaksi dengan Bank Indonesia adalah transaksi
yang dilakukan oleh peserta dengan Bank Indonesia
untuk kegiatan operasi moneter, transaksi SBN
untuk dan atas nama Pemerintah, dan transaksi
lainnya yang dilakukan dengan Bank Indonesia.
7. Transaksi Pasar Keuangan adalah transaksi Surat
Berharga dan transaksi pinjam meminjam
antarpeserta yang dilakukan secara konvensional
atau yang dipersamakan berdasarkan prinsip syariah
dalam transaksi pasar uang dan/atau transaksi
Surat Berharga di pasar sekunder.
8. Transaksi adalah Transaksi dengan Bank Indonesia
dan Transaksi Pasar Keuangan.
9. Penatausahaan adalah kegiatan yang mencakup
pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen, serta
pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan
pelunasan pokok/nominal atas hasil transaksi Surat
Berharga dan hasil transaksi tanpa Surat Berharga.
10. Setelmen adalah proses penyelesaian akhir transaksi
keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan
rekening setelmen dana, rekening surat berharga,
dan/atau rekening lainnya di Bank Indonesia.
11. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform
yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah
infrastruktur yang digunakan sebagai sarana
Transaksi yang dilakukan secara elektronik.
12. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah
infrastruktur yang digunakan sebagai sarana
Penatausahaan Transaksi dan Penatausahaan Surat
Berharga yang dilakukan secara elektronik.
-5-
13. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement
yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah
infrastruktur yang digunakan sebagai sarana
transfer dana elektronik yang setelmennya
dilakukan seketika per transaksi secara individual.
14. Peserta adalah pihak yang telah memenuhi
persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari
Penyelenggara sebagai peserta dalam
penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau
Sistem BI-RTGS.
15. Central Registry adalah Bank Indonesia yang
melakukan fungsi Penatausahaan bagi kepentingan
Peserta BI-SSSS.
16. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang
memenuhi persyaratan dan disetujui oleh
Penyelenggara sebagai Peserta BI-SSSS, untuk
melakukan fungsi penatausahaan bagi kepentingan
nasabah.
17. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya
disingkat FLI adalah fasilitas pendanaan yang
diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank Peserta
Sistem BI-RTGS baik secara konvensional maupun
berdasarkan prinsip syariah untuk mengatasi
kesulitan pendanaan yang terjadi selama jam
operasional Sistem BI-RTGS.
18. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta
Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah dan/atau
valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia
untuk pelaksanaan Setelmen dana.
19. Rekening Surat Berharga adalah rekening Peserta
BI-SSSS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta
asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk
pencatatan kepemilikan dan Setelmen transaksi
Surat Berharga, Transaksi dengan Bank Indonesia,
dan/atau Transaksi Pasar Keuangan.
-6-
20. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri dan bank umum
syariah termasuk unit usaha syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah.
21. Keadaan Tidak Normal adalah situasi atau kondisi
yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau
kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak,
jaringan komunikasi, aplikasi maupun sarana
pendukung yang memengaruhi kelancaran
penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau
Sistem BI-RTGS.
22. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang terjadi
di luar kekuasaan Penyelenggara dan/atau Peserta
yang menyebabkan kegiatan operasional Sistem BI-
ETP, BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS tidak dapat
diselenggarakan yang diakibatkan oleh kebakaran,
kerusuhan massa, sabotase, bencana alam seperti
gempa bumi dan banjir, dan/atau sebab lain, yang
dinyatakan oleh pihak penguasa atau pejabat yang
berwenang setempat, termasuk Bank Indonesia.
2. Di antara Pasal 80 dan Pasal 81 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 80A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 80A
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Pasal
46A, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 mulai
berlaku pada tanggal 1 November 2018.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
-7-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Oktober 2018
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Oktober 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 186
i
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/11/PBI/2018
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/18/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI,
PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA, DAN SETELMEN DANA SEKETIKA
I. UMUM
Untuk segera memenuhi kebutuhan penyelenggaraan sistem
pembayaran yang lebih lancar, aman, efisien, dan andal, diperlukan
percepatan implementasi ketentuan mengenai kewajiban penyediaan dana
yang cukup pada saat pengiriman instruksi Setelmen dana dan ketentuan
mengenai FLI. Percepatan implementasi ketentuan tersebut dilakukan
untuk mendorong agar Peserta menyediakan dana yang cukup pada saat
melakukan pengiriman instruksi Setelmen dana sehingga tidak terjadi
queue dan tercipta market discipline dalam pengiriman instruksi Setelmen
dana serta kelancaran sistem pembayaran. Berkenaan dengan hal tersebut
maka diperlukan dukungan melalui penyesuaian waktu pemberlakuan
ketentuan mengenai kewajiban penyediaan dana yang cukup pada saat
pengiriman instruksi Setelmen dana dan ketentuan mengenai FLI.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
-2-
Angka 2
Pasal 80A
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6256
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 20/11/PBI/2018 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/18/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI, PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA, DAN SETELMEN DANA SEKETIKA </reg_title>
<set_date> 19 Oktober 2018 </set_date>
<effective_date> 23 Oktober 2018 </effective_date>
<issued_date> 23 Oktober 2018 </issued_date>
<changed_reg> '17/18/PBI/2015' </changed_reg>
<extension_of> '18/6/PBI/2016', '19/14/PBI/2017' </extension_of>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '19/UU/2008', '24/UU/2002' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/28/PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/11/PBI/2004 TENTANG SUKU BUNGA PENJAMINAN
SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menetapkan suku bunga sebagai
sasaran operasional kebijakan moneter;
b.
bahwa penetapan suku bunga penjaminan merupakan kebijakan
yang dapat mempengaruhi pelaksanaan kebijakan moneter;
c. bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan
kebijakan moneter, diperlukan penyesuaian terhadap perhitungan
penetapan maksimum suku bunga penjaminan simpanan pihak
ketiga dalam Rupiah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b dan huruf c, dipandang perlu untuk melakukan
penyempurnaan atas ketentuan maksimum suku
bunga
penjaminan simpanan pihak ketiga dalam Rupiah sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/11/PBI tanggal
12 April 2004 Tentang Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak
Ketiga Dan Pasar Uang Antar Bank;
Mengingat ….
- 2 -
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
6/11/PBI/2004 TENTANG SUKU BUNGA PENJAMINAN
SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR
BANK.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/11/PBI/2004 Tahun
2004 tentang Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang
Antar ….
- 3 -
Antar Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 4383) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 1
4. Bank Indonesia Rate yang selanjutnya disebut BI Rate adalah tingkat suku
bunga dengan tenor 1 (satu) bulan yang ditetapkan secara periodik untuk
jangka waktu tertentu oleh Bank Indonesia serta diumumkan kepada publik
sebagai sinyal (stance) kebijakan moneter.
2. Ketentuan Pasal 2 Ayat (3) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 2
(3) Maksimum suku bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam Rupiah yang dijamin
Pemerintah ditetapkan sebesar BI Rate terakhir ditambah atau dikurangi
Marjin tertentu.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 September 2005 25
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 77
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/28/PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/11/PBI/2004 TENTANG SUKU BUNGA PENJAMINAN SIMPANAN
PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK
I. UMUM
Sesuai dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004, Bank
Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Dalam rangka pencapaian tujuan tersebut, Bank Indonesia melakukan salah satu
tugas yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter.
Sejak bulan Juli 2005, Bank Indonesia secara resmi menggunakan suku
bunga sebagai sasaran operasional pengendalian moneter menggantikan base
money. Suku bunga tersebut adalah BI Rate yang merupakan suku bunga dengan
tenor satu bulan yang diumumkan oleh Bank Indonesia secara periodik yang
berfungsi sebagai sinyal (stance) kebijakan moneter.
Dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan kebijakan moneter
khususnya kebijakan suku bunga maka Bank Indonesia memandang perlu untuk
melakukan penyesuaian terhadap dasar perhitungan penetapan maksimum suku
bunga penjaminan pihak ketiga dalam Rupiah. Penyesuaian tersebut dilakukan
dengan ….
- 2 -
dengan pertimbangan agar maksimum suku bunga penjaminan bergerak searah
dengan BI Rate.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4526
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/28/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/11/PBI/2004 TENTANG SUKU BUNGA PENJAMINAN SIMPANAN PIHAK KETIGA DAN PASAR UANG ANTAR BANK </reg_title>
<set_date> 1 September 2005 </set_date>
<effective_date> 1 September 2005 </effective_date>
<changed_reg> '6/11/PBI/2004' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/ 6 /PBI/2012
TENTANG
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST)
BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang
sehat, melindungi kepentingan stakeholders dan
meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku, diperlukan pelaksanaan good
corporate governance di industri perbankan syariah;
b. bahwa untuk mewujudkan good corporate governance
tersebut, industri perbankan syariah perlu dimiliki dan
dikelola oleh pihak yang senantiasa memenuhi
persyaratan kemampuan dan kepatutan;
c. bahwa sejalan dengan perkembangan industri perbankan
syariah yang dinamis diperlukan penyempurnaan
mekanisme uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon
pemilik dan calon pengelola perbankan syariah maupun
terhadap pemilik dan pengelola yang telah ada;
d. bahwa ...
- 2 -
d. bahwa agar industri perbankan syariah dimiliki dan
dikelola oleh pihak yang senantiasa memiliki kemampuan
dan kepatutan diperlukan pengenaan sanksi yang lebih
memberikan efek jera terhadap pemilik dan pengelola
yang tidak memenuhi persyaratan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu
mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang Uji
Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN ...
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG UJI KEMAMPUAN
DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BANK SYARIAH
DAN UNIT USAHA SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Syariah adalah Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah.
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut BUS adalah Bank
Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut BPRS
adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
4. Bank Umum Konvensional adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998, termasuk kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di
luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional.
5. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja
dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai
kantor ...
- 4 -
kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari
suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor
induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.
6. Kantor Perwakilan Bank Asing adalah kantor perwakilan dari bank
yang berkedudukan di luar negeri yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah.
7. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disebut dengan PSP
adalah badan hukum, orang perseorangan dan/atau kelompok usaha
yang:
a. memiliki saham perusahaan atau Bank Syariah sebesar 25% (dua
puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan
dan mempunyai hak suara; atau
b. memiliki saham perusahaan atau Bank Syariah kurang dari 25%
(dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan
mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat
dibuktikan telah melakukan pengendalian perusahaan atau Bank
Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung.
8. Pengendalian adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk
memengaruhi pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan, termasuk
Bank Syariah, dengan cara apapun, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
9. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah
RUPS sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas.
10. Dewan ...
- 5 -
10. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
11. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
12. Direktur UUS adalah anggota Direksi Bank Umum Konvensional atau
pimpinan kantor cabang bank asing yang mengelola dan bertanggung
jawab terhadap operasional UUS.
13. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung
kepada anggota Direksi dan/atau mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap kebijakan dan/atau operasional Bank Syariah atau UUS,
antara lain kepala divisi, kepala kantor wilayah, kepala kantor cabang,
kepala kantor fungsional yang kedudukannya paling kurang setara
dengan kepala kantor cabang, kepala satuan kerja manajemen risiko,
kepala satuan kerja kepatuhan, dan kepala satuan kerja audit internal
atau pejabat lainnya yang setara.
14. Daftar Tidak Lulus yang selanjutnya disebut DTL adalah daftar yang
ditatausahakan oleh Bank Indonesia yang memuat pihak yang
mendapat predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan
terhadap pemegang saham pengendali, anggota dewan komisaris,
anggota direksi, dan pejabat eksekutif.
15. Tindak Pidana Tertentu adalah tindak pidana asal yang disebut dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang.
Pasal 2 ...
- 6 -
Pasal 2
(1) Pihak yang termasuk sebagai pengendali Bank Syariah dan UUS wajib
tunduk pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Pihak yang termasuk sebagai pengendali Bank Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan, badan hukum atau
kelompok usaha yang melakukan Pengendalian terhadap Bank
Syariah, termasuk PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi,
dan Pejabat Eksekutif Bank Syariah.
(3) Pihak yang termasuk sebagai pengendali UUS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS.
(4) Pengendalian terhadap Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat dilakukan dengan cara antara lain sebagai berikut:
a. memiliki secara sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima
persen) atau lebih saham Bank Syariah;
b. secara langsung menjalankan manajemen dan/atau memengaruhi
kebijakan Bank Syariah;
c. memiliki hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham yang
apabila digunakan akan menyebabkan pihak tersebut memiliki
dan/atau mengendalikan secara sendiri atau bersama-sama 25%
(dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank Syariah;
d. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai
tujuan bersama dalam mengendalikan Bank Syariah (acting in
concert) dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain,
sehingga secara bersama-sama memiliki dan/atau mengendalikan
25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank Syariah, baik
langsung maupun tidak langsung dengan atau tanpa perjanjian
tertulis;
e. melakukan ...
- 7 -
e. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai
tujuan bersama dalam mengendalikan Bank Syariah (acting in
concert) dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain,
sehingga secara bersama-sama mempunyai hak opsi atau hak
lainnya untuk memiliki saham, yang apabila hak tersebut
dilaksanakan menyebabkan pihak tersebut memiliki dan/atau
mengendalikan secara bersama-sama 25% (dua puluh lima
persen) atau lebih saham Bank Syariah;
f. mengendalikan satu atau lebih perusahaan lain yang secara
keseluruhan memiliki dan/atau mengendalikan secara bersama-
sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank
Syariah;
g. mempunyai kewenangan untuk menyetujui dan/atau
memberhentikan anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan
Dewan Pengawas Syariah;
h. secara tidak langsung memengaruhi atau menjalankan
manajemen dan/atau kebijakan Bank Syariah;
i. melakukan Pengendalian terhadap perusahaan induk atau
perusahaan induk di bidang keuangan dari Bank Syariah;
dan/atau
j. melakukan Pengendalian terhadap pihak yang melakukan
Pengendalian sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan
huruf i.
Pasal 3 ...
- 8 -
Pasal 3
Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap:
a. calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, dan calon anggota Direksi
Bank Syariah, dan calon Direktur UUS, serta calon pemimpin Kantor
Perwakilan Bank Asing;
b. PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif
Bank Syariah, Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS, serta
pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing;
c. pihak yang sudah tidak menjadi atau sudah tidak menjabat sebagai
pihak sebagaimana dimaksud pada huruf b, yang diindikasikan terlibat
atau bertanggung jawab terhadap perbuatan atau tindakan yang
sedang dalam proses uji kemampuan dan kepatutan pada Bank
Syariah, UUS, atau Kantor Perwakilan Bank Asing.
Pasal 4
Pihak yang sedang menjalani proses hukum dan/atau sedang menjalani
proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu bank, tidak dapat
diajukan untuk menjadi calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, calon
anggota Direksi Bank Syariah, atau calon Direktur UUS.
BAB II
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP CALON PEMEGANG
SAHAM PENGENDALI BANK SYARIAH
Pasal 5
(1) Untuk menjadi PSP Bank Syariah, calon PSP wajib memperoleh
persetujuan dari Bank Indonesia.
(2) Dalam ...
- 9 -
(2) Dalam memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan terhadap
calon PSP.
(3) Calon PSP yang belum memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia,
namun telah memiliki saham Bank Syariah, dilarang melakukan
tindakan sebagai PSP.
Bagian Pertama
Faktor Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 6
Uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon PSP dilakukan untuk menilai
pemenuhan persyaratan:
a.
integritas; dan
b. kelayakan keuangan.
Pasal 7
Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a
meliputi:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik, antara lain ditunjukkan dengan
sikap mematuhi ketentuan yang berlaku, termasuk tidak pernah
dihukum karena terbukti melakukan Tindak Pidana Tertentu dalam
waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan;
b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
c. memiliki ...
- 10 -
c. memiliki komitmen terhadap pengembangan operasional Bank Syariah
yang sehat;
d.
tidak tercantum dalam DTL; dan
e. memiliki komitmen untuk tidak akan melakukan dan/atau mengulangi
perbuatan dan/atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
dan Pasal 29, bagi calon PSP yang pernah memiliki predikat Tidak
Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan dan telah menjalani sanksi
sebagaimana dimaksud Pasal 36 ayat (1), Pasal 38 huruf b, Pasal 41
ayat (4) huruf a dan Pasal 41 ayat (5).
Pasal 8
Persyaratan kelayakan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf b antara lain dibuktikan dengan:
a. memiliki kemampuan keuangan yang dapat mendukung
perkembangan bisnis Bank Syariah;
b.
c.
tidak memiliki kredit/pembiayaan macet dan/atau hutang jatuh tempo
dan bermasalah;
tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pemegang
saham, anggota dewan komisaris atau anggota direksi yang dinyatakan
bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit berdasarkan
ketetapan pengadilan dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum
dicalonkan; dan
d. memiliki komitmen untuk melakukan upaya-upaya yang diperlukan
dalam rangka mengatasi kesulitan permodalan maupun likuiditas yang
dihadapi Bank Syariah.
Bagian Kedua ...
- 11 -
Bagian Kedua
Tata Cara Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 9
(1) Permohonan untuk menjadi PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) diajukan oleh Bank Syariah kepada Bank Indonesia disertai
dengan dokumen persyaratan administratif.
(2) Dalam hal calon PSP melakukan pembelian saham Bank Syariah
melalui program divestasi saham negara atas penyertaan modal
sementara oleh lembaga yang berwenang maka permohonan untuk
menjadi PSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh
lembaga yang berwenang.
Pasal 10
Atas permohonan untuk menjadi PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9, Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan, yang
meliputi:
a. penelitian administratif; dan
b. wawancara.
Pasal 11
(1) Dalam hal calon PSP Bank Syariah berbentuk badan hukum, uji
kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
dilakukan terhadap badan hukum, anggota dewan komisaris dan
anggota direksi badan hukum yang bersangkutan, serta pihak yang
berdasarkan penilaian Bank Indonesia merupakan pemegang saham
pengendali terakhir (ultimate shareholders) dari badan hukum tersebut.
(2) Dalam ...
- 12 -
(2) Dalam hal ultimate shareholders adalah pemerintah negara lain, dan
hukum di negara yang bersangkutan tidak memperbolehkan ultimate
shareholders tersebut memberikan data dan dokumen, Bank Indonesia
menetapkan pihak lain yang secara langsung dikendalikan oleh
pemerintah negara lain tersebut sebagai ultimate shareholders
berdasarkan dokumen pendukung yang sah.
(3) Pelaksanaan wawancara terhadap calon PSP Bank Syariah berbentuk
badan hukum dilakukan terhadap anggota dewan komisaris dan
direksi yang ditunjuk oleh badan hukum yang bersangkutan dan pihak
yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia merupakan ultimate
shareholders.
(4) Selain pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank
Indonesia dapat menetapkan pihak lain yang dianggap melakukan
Pengendalian, untuk menyampaikan persyaratan administratif
dan/atau menjalani wawancara.
(5) Hasil uji kemampuan dan kepatutan terhadap pihak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) merupakan satu
kesatuan dan merupakan hasil uji kemampuan dan kepatutan
terhadap badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 12
Dalam hal calon PSP Bank Syariah adalah Pemerintah maka pelaksanaan
wawancara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b hanya
dilakukan apabila dianggap perlu.
Pasal 13 ...
- 13 -
Pasal 13
(1) Bank Indonesia berwenang untuk menghentikan uji kemampuan dan
kepatutan calon PSP, apabila pada saat uji kemampuan dan kepatutan
dilakukan calon tersebut sedang menjalani proses hukum dan/atau
sedang menjalani proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu
bank.
(2) Penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan
kepada Bank Syariah dan pihak yang diuji.
(3) Calon PSP yang dihentikan uji kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diajukan kembali kepada
Bank Indonesia untuk menjadi calon PSP, apabila yang bersangkutan
telah menjalani proses hukum dan/atau uji kemampuan dan
kepatutan pada suatu bank.
Bagian Ketiga
Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 14
(1) Berdasarkan penelitian administratif dan hasil wawancara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Bank Indonesia menetapkan
hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan dengan predikat:
a. Lulus; atau
b. Tidak Lulus.
(2) Calon PSP yang memperoleh predikat Tidak Lulus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b:
a. dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai PSP pada Bank
Syariah yang bersangkutan; dan
b. wajib ...
- 14 -
b. wajib mengalihkan kepemilikan saham yang telah dibeli kepada
pihak lain.
Pasal 15
(1) Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja setelah permohonan beserta dokumen persyaratan
administratif diterima secara lengkap.
(2) Bank Indonesia memberitahukan hasil uji kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis kepada Bank
Syariah dalam bentuk persetujuan atau penolakan.
(3) Selain kepada Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Bank Indonesia berwenang memberitahukan hasil uji kemampuan dan
kepatutan kepada pihak lain yang berkepentingan.
BAB III
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP CALON ANGGOTA DEWAN
KOMISARIS DAN CALON ANGGOTA DIREKSI BANK SYARIAH
Pasal 16
(1) Calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi Bank
Syariah wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum
menjalankan tugas dan fungsi dalam jabatannya.
(2) Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi Bank
Syariah yang belum mendapat persetujuan Bank Indonesia dilarang
melakukan tindakan sebagai anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota ...
- 15 -
anggota Direksi walaupun telah mendapat persetujuan dan diangkat
oleh RUPS.
Bagian Pertama
Faktor Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 17
Uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota Dewan Komisaris
dan calon anggota Direksi Bank Syariah dilakukan untuk menilai
pemenuhan persyaratan:
a.
integritas;
b. kompetensi; dan
c.
reputasi keuangan.
Pasal 18
Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a bagi
calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi meliputi:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik, antara lain ditunjukkan dengan
sikap mematuhi ketentuan yang berlaku, termasuk tidak pernah
dihukum karena terbukti melakukan Tindak Pidana Tertentu dalam
waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan;
b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
c. memiliki komitmen terhadap pengembangan operasional Bank Syariah
yang sehat;
d.
tidak tercantum dalam DTL; dan
e. memiliki ...
- 16 -
e. memiliki komitmen untuk tidak akan melakukan dan/atau mengulangi
perbuatan dan/atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
dan Pasal 29, bagi calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota
Direksi yang pernah memiliki predikat Tidak Lulus dalam uji
kemampuan dan kepatutan dan telah menjalani sanksi sebagaimana
dimaksud Pasal 36 ayat (1), Pasal 38 huruf b, Pasal 41 ayat (4) huruf a
dan Pasal 41 ayat (5).
Pasal 19
Persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b
meliputi:
a. bagi calon anggota Dewan Komisaris BUS meliputi antara lain:
1) memiliki pengetahuan, pemahaman dan/atau pengalaman di
bidang operasional perbankan syariah yang cukup;
2) memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengawasi kegiatan
usaha BUS agar sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan Prinsip
Syariah di bidang perbankan syariah; dan
3) memiliki pengetahuan dan pemahaman dalam penerapan
manajemen risiko;
b. bagi calon anggota Dewan Komisaris BPRS meliputi antara lain:
1) memiliki pengetahuan, pemahaman dan/atau pengalaman di
bidang operasional perbankan syariah yang cukup; dan
2) memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengawasi kegiatan
usaha BPRS agar sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan Prinsip
Syariah di bidang perbankan syariah;
c. bagi ...
- 17 -
c. bagi calon anggota Direksi BUS meliputi antara lain:
1) memiliki pengetahuan dan pemahaman di bidang operasional
perbankan syariah yang cukup;
2) memiliki pengalaman dan keahlian di bidang operasional
perbankan, perbankan syariah, bidang keuangan atau keuangan
syariah;
3) memiliki kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis
dalam rangka pengembangan BUS yang sehat dan tangguh; dan
4) memiliki pengetahuan, pemahaman dan kemampuan dalam
penerapan manajemen risiko;
d. bagi calon anggota Direksi BPRS meliputi antara lain:
1) memiliki pengetahuan dan pemahaman di bidang operasional
perbankan syariah yang cukup;
2) memiliki pengalaman dan keahlian di bidang operasional
perbankan, perbankan syariah, bidang keuangan atau keuangan
syariah; dan
3) memiliki kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis
dalam rangka pengembangan BPRS yang sehat dan tangguh.
Pasal 20
Persyaratan reputasi keuangan bagi calon anggota Dewan Komisaris dan
calon anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c
meliputi:
a.
tidak memiliki kredit/pembiayaan macet; dan
b.
tidak ...
- 18 -
b.
tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi atau komisaris
yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan
pailit, dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan.
Pasal 21
(1) Pemenuhan persyaratan pengalaman dan keahlian bagi calon Direksi
BUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c angka 2,
mencakup pula pemenuhan persyaratan bahwa mayoritas anggota
Direksi wajib memiliki pengalaman paling kurang 4 (empat) tahun
dengan jabatan paling rendah sebagai Pejabat Eksekutif di industri
perbankan dan paling kurang 1 (satu) tahun diantaranya menjabat
paling rendah sebagai Pejabat Eksekutif pada BUS dan/atau UUS.
(2) Bagi BUS yang didirikan melalui proses perubahan kegiatan usaha,
untuk pertama kalinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya diwajibkan bagi 1 (satu) calon anggota Direksi.
(3) Mayoritas anggota Direksi BUS hasil perubahan kegiatan usaha wajib
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama
2 (dua) tahun setelah izin perubahan kegiatan usaha diberikan.
Bagian Kedua
Tata Cara Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 22
(1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon anggota Dewan
Komisaris dan calon anggota Direksi diajukan oleh Bank Syariah
kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen persyaratan
administratif.
(2) Permohonan ...
- 19 -
(2) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon anggota Dewan
Komisaris dan calon anggota Direksi Bank Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh Pemerintah atau instansi
yang mewakili dalam hal seluruh atau mayoritas saham Bank Syariah
dimiliki oleh Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah.
(3) Dalam hal anggota Direksi Bank Syariah yang berwenang untuk
mengajukan permohonan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1),
tidak dapat menjalankan fungsinya atau mempunyai benturan
kepentingan dengan Bank Syariah, permohonan diajukan oleh:
a. anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan
kepentingan dengan Bank Syariah;
b. anggota Dewan Komisaris apabila seluruh anggota Direksi tidak
dapat menjalankan fungsinya atau mempunyai benturan
kepentingan dengan Bank Syariah; atau
c. pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS apabila seluruh anggota
Dewan Komisaris atau anggota Direksi tidak dapat menjalankan
fungsinya atau mempunyai benturan kepentingan dengan Bank
Syariah.
(4) Calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi yang
diajukan dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling banyak berjumlah 2 (dua) orang untuk setiap lowongan jabatan
dan penetapan calon yang diajukan telah dilakukan sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 23
Atas permohonan untuk memperoleh persetujuan calon anggota Dewan
Komisaris dan calon anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (1) ...
- 20 -
ayat (1), Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan, yang
meliputi:
a. penelitian administratif; dan
b. wawancara, apabila diperlukan.
Pasal 24
(1) Bank Indonesia berwenang untuk menghentikan uji kemampuan dan
kepatutan calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi
Bank Syariah, apabila pada saat uji kemampuan dan kepatutan
dilakukan calon tersebut sedang menjalani proses hukum dan/atau
sedang menjalani proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu
bank.
(2) Penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan
kepada Bank Syariah dan pihak yang diuji.
(3) Calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi Bank
Syariah yang dihentikan uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat diajukan kembali kepada Bank
Indonesia untuk menjadi calon anggota Dewan Komisaris dan anggota
Direksi Bank Syariah, apabila yang bersangkutan telah menjalani
proses hukum dan/atau telah menjalani proses uji kemampuan dan
kepatutan pada suatu bank.
Bagian Ketiga ...
- 21 -
Bagian Ketiga
Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 25
(1) Berdasarkan penelitian administratif dan hasil wawancara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Bank Indonesia menetapkan
hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan dengan predikat:
a. Lulus; atau
b. Tidak Lulus.
(2) Dalam hal calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi
memperoleh predikat Tidak Lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b namun telah mendapat persetujuan dan diangkat sebagai
anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi Bank Syariah sesuai
keputusan RUPS maka yang bersangkutan dilarang melakukan
tindakan sebagai anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi pada
Bank Syariah yang bersangkutan.
(3) Bank Syariah wajib menindaklanjuti konsekuensi Tidak Lulus
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 3 (tiga) bulan sejak
tanggal pemberitahuan dari Bank Indonesia.
(4) Bank Syariah wajib melaporkan tindak lanjut sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lama
7 (tujuh) hari kerja.
Pasal 26
(1) Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) paling lama 30 (tiga
puluh) ...
- 22 -
puluh) hari kerja setelah permohonan beserta dokumen persyaratan
administratif diterima dari Bank Syariah secara lengkap.
(2) Bank Indonesia memberitahukan hasil uji kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis kepada Bank
Syariah dalam bentuk persetujuan atau penolakan.
(3) Selain kepada Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Bank Indonesia berwenang memberitahukan hasil uji kemampuan dan
kepatutan kepada pihak lain yang berkepentingan.
Pasal 27
Ketentuan dan tata cara pengangkatan calon anggota Dewan Komisaris dan
calon anggota Direksi yang telah mendapat persetujuan dari Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) tunduk pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai BUS atau BPRS.
BAB IV
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP PEMEGANG SAHAM
PENGENDALI, ANGGOTA DEWAN KOMISARIS, ANGGOTA DIREKSI,
DAN PEJABAT EKSEKUTIF BANK SYARIAH
Bagian Pertama
Cakupan Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 28
Uji kemampuan dan kepatutan dalam rangka penilaian kembali terhadap
PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dilakukan dalam hal
terdapat indikasi permasalahan integritas dan/atau kelayakan keuangan
yang meliputi:
a. tindakan ...
- 23 -
a.
tindakan-tindakan baik secara langsung maupun tidak langsung
berupa:
1) memengaruhi dan/atau menyuruh anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi, Pejabat Eksekutif dan/atau pegawai Bank
Syariah untuk menyembunyikan dan/atau mengaburkan
pelanggaran dari suatu ketentuan atau kondisi keuangan
dan/atau transaksi yang sebenarnya;
2) memengaruhi dan/atau menyuruh anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi, Pejabat Eksekutif dan/atau pegawai Bank
Syariah untuk memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada
pemegang saham, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi,
Dewan Pengawas Syariah, Pejabat Eksekutif, pegawai, dan/atau
pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan
Bank Syariah; dan/atau
3) memengaruhi dan/atau menyuruh anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi, Pejabat Eksekutif dan/atau pegawai Bank
Syariah untuk melakukan perbuatan yang melanggar prinsip
kehati–hatian di bidang perbankan, asas-asas perbankan yang
sehat dan/atau Prinsip Syariah di bidang perbankan syariah;
b.
c.
terbukti melakukan Tindak Pidana Tertentu yang telah diputus oleh
pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap;
terbukti menyebabkan Bank Syariah mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usaha Bank Syariah dan/atau dapat
membahayakan industri perbankan;
d.
e.
terbukti tidak melaksanakan perintah Bank Indonesia untuk
melakukan dan/atau tidak melakukan tindakan tertentu;
terbukti memiliki kredit/pembiayaan macet;
f. terbukti ...
- 24 -
f.
terbukti dinyatakan pailit dan/atau menjadi pemegang saham, anggota
dewan komisaris atau anggota direksi yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit;
g.
h.
tidak mampu melakukan upaya-upaya yang diperlukan apabila Bank
Syariah menghadapi kesulitan permodalan maupun likuiditas; atau
terbukti menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi
komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia dan/atau
Pemerintah.
Pasal 29
Uji kemampuan dan kepatutan dalam rangka penilaian kembali terhadap
anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dilakukan dalam hal terdapat
indikasi permasalahan integritas, kompetensi dan/atau reputasi keuangan
yang meliputi:
a.
tindakan-tindakan baik secara langsung maupun tidak langsung
berupa:
1) menyembunyikan dan/atau mengaburkan pelanggaran dari suatu
ketentuan atau kondisi keuangan dan/atau transaksi yang
sebenarnya;
2) memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pemegang
saham, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Dewan
Pengawas Syariah, Pejabat Eksekutif, pegawai, dan/atau pihak
lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Bank
Syariah;
3) melanggar ...
- 25 -
3) melanggar prinsip kehati-hatian di bidang perbankan dan asas-
asas perbankan yang sehat; dan/atau
4) melanggar Prinsip Syariah di bidang perbankan syariah;
b.
c.
terbukti melakukan Tindak Pidana Tertentu yang telah diputus oleh
pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap;
terbukti menyebabkan Bank Syariah mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya atau dapat membahayakan
industri perbankan;
d.
e.
f.
terbukti tidak melaksanakan perintah Bank Indonesia untuk
melakukan dan/atau tidak melakukan tindakan tertentu;
terbukti memiliki kredit/pembiayaan macet;
terbukti dinyatakan pailit dan/atau menjadi anggota dewan komisaris
atau anggota direksi yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu
perseroan dinyatakan pailit;
g.
h.
tidak mampu melakukan pengelolaan strategis dalam rangka
pengembangan Bank Syariah yang sehat;
terbukti menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi
komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia dan/atau
Pemerintah; atau
i.
tidak melakukan perbuatan atau tindakan yang menjadi tugas dan
tanggung jawabnya sehingga mengakibatkan terjadinya pelanggaran
atau tindakan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf c dan/atau
huruf d.
Bagian Kedua ...
- 26 -
Bagian Kedua
Tata Cara Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 30
(1) Uji kemampuan dan kepatutan terhadap PSP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf b dilakukan untuk keseluruhan pihak yang
melakukan Pengendalian terhadap Bank Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) yang terkait dengan PSP yang akan
diuji.
(2) Hasil uji kemampuan dan kepatutan terhadap PSP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dan pihak yang melakukan
Pengendalian terhadap Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan satu kesatuan dan berlaku bagi PSP dan pihak yang
melakukan Pengendalian terhadap Bank Syariah yang terkait dengan
PSP yang dinilai tersebut, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
(3) Pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pihak
yang bersangkutan dalam langkah-langkah uji kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
Pasal 31
(1) Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan
berdasarkan bukti, data dan informasi yang diperoleh dari hasil
pengawasan maupun informasi lainnya.
(2) Uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. klarifikasi bukti, data dan informasi kepada pihak yang diuji;
b. penetapan ...
- 27 -
b. penetapan dan penyampaian hasil sementara uji kemampuan dan
kepatutan kepada pihak yang diuji;
c.
tanggapan dari pihak yang diuji terhadap hasil sementara uji
kemampuan dan kepatutan; dan
d. penetapan dan pemberitahuan hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan kepada pihak yang diuji.
(3) Pihak yang diuji diberikan kesempatan menyampaikan tanggapan atas
permintaan klarifikasi bukti, data dan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal permintaan klarifikasi dari Bank Indonesia.
(4) Dalam hal pihak yang diuji tidak menggunakan hak untuk
menyampaikan klarifikasi bukti, data dan informasi dalam jangka
waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka
Bank Indonesia akan melakukan langkah-langkah penilaian
selanjutnya.
(5) Pihak yang diuji diberikan kesempatan menyampaikan tanggapan atas
hasil sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal surat Bank
Indonesia.
(6) Dalam hal pihak yang diuji tidak menggunakan hak untuk
menyampaikan tanggapan terhadap hasil sementara dalam jangka
waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) maka
Bank Indonesia menetapkan hasil sementara uji kemampuan dan
kepatutan menjadi hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan.
Pasal 32 ...
- 28 -
Pasal 32
Bank Indonesia berwenang menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan dengan predikat Tidak Lulus tanpa melakukan sebagian atau
seluruh langkah–langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2),
apabila pihak yang diuji:
a. diputus bersalah dalam Tindak Pidana Tertentu oleh pengadilan dan
telah memiliki kekuatan hukum tetap; atau
b. dinyatakan pailit dan/atau menjadi pemegang saham, anggota dewan
komisaris atau anggota direksi yang dinyatakan bersalah menyebabkan
suatu perseroan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan
dan telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Bagian Ketiga
Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 33
(1) Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan
menjadi 2 (dua) predikat, yaitu:
a. Lulus; atau
b. Tidak Lulus.
(2) Penetapan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan tingkat keterlibatan
pihak yang diuji.
(3) Hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berlaku sejak tanggal surat penetapan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf d.
Pasal 34 ...
- 29 -
Pasal 34
(1) Bank Indonesia memberitahukan hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan secara tertulis kepada Bank Syariah dan pihak yang diuji.
(2) Selain kepada pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia berwenang memberitahukan hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan kepada pihak lain yang berkepentingan.
Bagian Keempat
Konsekuensi Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 35
(1) PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif
Bank Syariah yang ditetapkan predikat Lulus dinyatakan memenuhi
persyaratan untuk tetap menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif Bank Syariah.
(2) PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif
Bank Syariah yang ditetapkan predikat Tidak Lulus dilarang menjadi:
a. pemegang saham lebih dari 10% (sepuluh persen) dan/atau PSP
pada seluruh Bank Syariah;
b. pemegang saham pada Bank Umum Konvensional atau Bank
Perkreditan Rakyat; dan/atau
c. anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Direktur UUS, Pejabat
Eksekutif, atau pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing pada
industri perbankan.
Pasal 36 ...
- 30 -
Pasal 36
(1) Larangan terhadap pihak yang diberikan predikat Tidak Lulus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) ditetapkan sebagai
berikut:
a. selama jangka waktu 3 (tiga) tahun:
1) bagi PSP apabila terbukti melakukan tindakan–tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a angka 3,
Pasal 28 huruf d, Pasal 28 huruf e, Pasal 28 huruf g, atau
Pasal 28 huruf h; dan
2) bagi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat
Eksekutif apabila terbukti melakukan tindakan-tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a angka 3,
Pasal 29 huruf d, Pasal 29 huruf e, Pasal 29 huruf g, Pasal 29
huruf h, atau Pasal 29 huruf i;
b. selama jangka waktu 5 (lima) tahun:
1) bagi PSP apabila:
a)
terbukti melakukan tindakan-tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 huruf a angka 1 atau Pasal 28
huruf a angka 2; atau
b)
terbukti melakukan tindakan-tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 huruf a angka 3, Pasal 28
huruf d, Pasal 28 huruf e, Pasal 28 huruf g, atau Pasal
28 huruf h, dan perbuatan dimaksud:
i. dilakukan secara berulang;
ii. dilakukan secara kumulatif; atau
iii. terbukti ...
- 31 -
iii.
terbukti menguntungkan diri sendiri maupun pihak
lain;
2) bagi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat
Eksekutif apabila:
a)
terbukti melakukan tindakan-tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 huruf a angka 1 atau Pasal 29
huruf a angka 2; atau
b)
terbukti melakukan tindakan-tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 huruf a angka 3, Pasal 29
huruf d, Pasal 29 huruf e, Pasal 29 huruf g, Pasal 29
huruf h, atau Pasal 29 huruf i dan perbuatan dimaksud:
i. dilakukan secara berulang;
ii. dilakukan secara kumulatif; atau
iii.
terbukti menguntungkan diri sendiri maupun pihak
lain;
c. selama jangka waktu 20 (dua puluh) tahun:
1) bagi PSP apabila terbukti melakukan tindakan–tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b, Pasal 28
huruf c atau Pasal 28 huruf f; dan
2) bagi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat
Eksekutif apabila terbukti melakukan tindakan–tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf b, Pasal 29
huruf c atau Pasal 29 huruf f.
(2) Jangka waktu larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhitung
sejak tanggal surat penetapan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (2) huruf d.
Pasal 37 ...
- 32 -
Pasal 37
(1) Pihak yang dilarang menjadi PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 ayat (2) huruf a:
a. dilarang melakukan tindakan sebagai PSP;
b. hanya dapat menjalankan hak selaku pemegang saham dengan
jumlah hak suara yang diperhitungkan dalam kuorum RUPS
paling banyak 10% (sepuluh persen) dari seluruh saham Bank
Syariah; dan
c. wajib menurunkan kepemilikannya menjadi paling banyak 10%
(sepuluh persen) pada seluruh Bank Syariah dalam jangka waktu
6 (enam) bulan.
(2) Bank Syariah wajib mencantumkan penjelasan dalam daftar pemegang
saham Bank Syariah mengenai status PSP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Dalam hal pihak yang ditetapkan predikat Tidak Lulus merupakan PSP
dari Bank Syariah yang berada dalam penanganan/penyelamatan oleh
Lembaga Penjamin Simpanan maka jangka waktu kewajiban
penurunan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
mengacu kepada Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin
Simpanan dan peraturan pelaksanaannya.
(4) Bank Syariah wajib melaporkan realisasi penurunan kepemilikan
saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada Bank
Indonesia dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah
RUPS yang mengesahkan pengalihan kepemilikan saham tersebut.
Pasal 38 ...
- 33 -
Pasal 38
Dalam hal PSP tidak menurunkan kepemilikan sahamnya sesuai dengan
jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(1) huruf c maka:
a. PSP wajib menyerahkan surat kuasa menjual kepada pihak lain yang
ditunjuk atau disetujui oleh Bank Indonesia atau kepada Bank
Indonesia dengan hak substitusi, dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari
kerja sejak berakhirnya jangka waktu kewajiban penurunan
kepemilikan saham;
b.
jangka waktu larangan kepada PSP ditetapkan menjadi selama 20 (dua
puluh) tahun;
c. nama PSP diberitahukan kepada Otoritas Pengawasan Pasar Modal;
d. hak suara PSP tidak diperhitungkan dalam RUPS;
e. hak suara PSP tidak diperhitungkan sebagai penghitungan kuorum
atau tidaknya RUPS;
f. dividen yang dapat dibayarkan kepada PSP paling banyak 10%
(sepuluh persen) dan sisanya dibayarkan setelah PSP tersebut
mengalihkan kepemilikannya; dan
g. nama PSP yang bersangkutan diumumkan kepada publik melalui 2
(dua) media massa yang mempunyai peredaran luas.
Pasal 39
Bank Indonesia berwenang membentuk komite untuk menangani
penurunan kepemilikan saham PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
huruf a.
Pasal 40 ...
- 34 -
Pasal 40
(1) Perbuatan menurunkan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (1) huruf c dapat dilakukan melalui hibah maupun
melalui penjualan kepada pihak yang tidak memiliki hubungan
keluarga sampai dengan derajat kedua dengan PSP dan/atau pihak
yang tidak termasuk dalam kelompok usaha PSP.
(2) Dalam hal penurunan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan cara mengalihkan saham kepada pihak yang
memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua dan/atau
pihak yang merupakan kelompok usaha dari PSP yang ditetapkan
predikat Tidak Lulus maka:
a. pengalihan tersebut tidak dianggap sebagai penurunan
kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf
c;
b. Bank Syariah dilarang melakukan pencatatan atas pihak yang
menerima pengalihan tersebut dalam daftar pemegang saham
Bank Syariah; dan
c. pihak yang menerima pengalihan tidak memperoleh haknya
sebagai pemegang saham.
Pasal 41
(1) Pihak yang dilarang menjadi anggota Dewan Komisaris, anggota
Direksi, Direktur UUS, Pejabat Eksekutif, atau pemimpin Kantor
Perwakilan Bank Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)
huruf c:
a. dilarang ...
- 35 -
a. dilarang melakukan tindakan sebagai anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi, Direktur UUS, Pejabat Eksekutif, atau pemimpin
Kantor Perwakilan Bank Asing; dan
b. wajib berhenti sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi,
Direktur UUS, Pejabat Eksekutif, atau pemimpin Kantor
Perwakilan Bank Asing.
(2) Bank Syariah wajib menindaklanjuti konsekuensi Tidak Lulus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) bulan sejak
tanggal pemberitahuan dari Bank Indonesia.
(3) Bank Syariah wajib melaporkan tindak lanjut sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lama
7 (tujuh) hari kerja.
(4) Dalam hal anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Direktur UUS,
Pejabat Eksekutif, atau pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih melakukan tindakan
sebagai Komisaris, Direksi, Direktur UUS, Pejabat Eksekutif, atau
pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing, maka:
a.
b. ketidakpatuhan Bank Syariah diberitahukan kepada Otoritas
Pengawasan Pasar Modal.
(5) PSP yang tidak menindaklanjuti konsekuensi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), diberikan predikat Tidak Lulus dengan jangka waktu
larangan selama 20 (dua puluh) tahun.
(6) Penetapan sanksi Tidak Lulus selama 20 (dua puluh) tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) didahului dengan surat teguran
jangka waktu larangan kepada yang bersangkutan ditetapkan
menjadi selama 20 (dua puluh) tahun; dan
dari ...
- 36 -
dari Bank Indonesia sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu
masing-masing surat teguran adalah 5 (lima) hari kerja.
Pasal 42
Dalam hal seluruh atau sebagian anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Direksi ditetapkan Tidak Lulus dan menurut penilaian Bank
Indonesia kekosongan jabatan Direksi dan/atau Komisaris tersebut dapat
mengganggu kegiatan operasional Bank Syariah, Bank Indonesia berwenang
menunjuk pengganti sementara sampai RUPS mengangkat pengganti yang
tetap sesuai dengan ketentuan perundang–undangan yang berlaku.
Bagian Kelima
Permohonan Kembali untuk Menjadi PSP, Anggota Dewan Komisaris
dan Anggota Direksi Bank Syariah
Pasal 43
(1) Pihak yang ditetapkan predikat Tidak Lulus dan dikenakan larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dapat diajukan kembali
kepada Bank Indonesia untuk menjadi calon PSP, calon anggota Dewan
Komisaris dan calon anggota Direksi apabila jangka waktu pengenaan
sanksi larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), Pasal
38 huruf b, Pasal 41 ayat (4) huruf a, dan Pasal 41 ayat (5) telah
terlampaui.
(2) PSP yang berbentuk badan hukum yang ditetapkan predikat Tidak
Lulus dan dikenakan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (2) dapat diajukan kembali kepada Bank Indonesia untuk menjadi
calon PSP sebelum berakhirnya jangka waktu pengenaan sanksi
larangan ...
- 37 -
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), Pasal 38
huruf b, Pasal 41 ayat (4) huruf a dan Pasal 41 ayat (5) sepanjang
badan hukum yang bersangkutan telah mengganti pihak yang
melakukan Pengendalian terhadap badan hukum dimaksud yang
dalam uji kemampuan dan kepatutan memperoleh predikat Tidak
Lulus.
(3) Penilaian atas permohonan untuk kembali menjadi calon PSP, calon
anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi Bank Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam BAB II dan BAB III Peraturan
Bank Indonesia ini.
BAB V
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI
CALON DIREKTUR UNIT USAHA SYARIAH, DIREKTUR UNIT USAHA
SYARIAH, DAN PEJABAT EKSEKUTIF UNIT USAHA SYARIAH
Pasal 44
Direktur UUS wajib memiliki kompetensi di bidang perbankan syariah dan
komitmen dalam pengembangan UUS.
Pasal 45
Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon Direktur UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Bank Umum
Konvensional atau kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di
luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang
memiliki ...
- 38 -
memiliki UUS kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen persyaratan
administratif.
Pasal 46
(1) Pihak yang dicalonkan menjadi Direktur UUS dapat berasal dari:
a. salah satu anggota Direksi Bank Umum Konvensional atau kantor
cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang memiliki
UUS, yang ditugaskan merangkap jabatan sebagai Direktur UUS;
b. calon anggota Direksi Bank Umum Konvensional atau kantor
cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang memiliki
UUS, yang akan ditugaskan merangkap jabatan sebagai Direktur
UUS; atau
c. calon anggota Direksi Bank Umum Konvensional atau kantor
cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang memiliki
UUS dan telah ditetapkan sejak awal akan menjabat sebagai
Direktur UUS dengan wewenang dan tanggungjawab hanya untuk
mengelola kegiatan usaha UUS.
(2) Calon Direktur UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
mengikuti proses wawancara apabila diperlukan.
(3) Calon Direktur UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib
mengikuti uji kemampuan dan kepatutan berdasarkan ketentuan uji
kemampuan dan kepatutan yang berlaku bagi Bank Umum
Konvensional.
(4) Dalam ...
- 39 -
(4) Dalam hal calon Direktur UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dinilai:
a.
tidak memiliki kompetensi di bidang perbankan syariah, yang
bersangkutan dapat diajukan kembali oleh Bank Umum
Konvensional atau kantor cabang dari suatu bank yang
berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional yang memiliki UUS untuk dilakukan
penilaian ulang paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak surat
pemberitahuan Bank Indonesia; atau
b.
tidak memiliki komitmen dalam pengembangan UUS, yang
bersangkutan dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai Direktur
UUS.
(5) Apabila berdasarkan penilaian ulang sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf a, calon Direktur UUS dinilai masih tidak memiliki kompetensi
maka Bank Umum Konvensional atau kantor cabang dari suatu bank
yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional yang memiliki UUS wajib mengganti dengan calon
lain.
Pasal 47
(1) Tata cara uji kemampuan dan kepatutan bagi calon Direktur UUS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c, berpedoman
pada ketentuan BAB III Peraturan Bank Indonesia ini, kecuali Pasal 19
huruf a, Pasal 19 huruf b, Pasal 19 huruf d, Pasal 21, Pasal 22 ayat
(1), dan Pasal 27.
(2) Ketentuan dan tata cara pengangkatan calon Direktur UUS yang telah
mendapat persetujuan dari Bank Indonesia tunduk pada ketentuan
Bank ...
- 40 -
Bank Indonesia yang mengatur mengenai UUS.
Pasal 48
Tata cara uji kemampuan dan kepatutan bagi Direktur UUS dan Pejabat
Eksekutif UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b berpedoman
pada ketentuan BAB IV Peraturan Bank Indonesia ini, kecuali Pasal 28,
Pasal 30, Pasal 36 ayat (1) huruf a angka 1, Pasal 36 ayat (1) huruf b angka
1, Pasal 36 ayat (1) huruf c angka 1, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40,
dan Pasal 43 ayat (2).
BAB VI
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP
PEMIMPIN KANTOR PERWAKILAN BANK ASING
Pasal 49
(1) Tata cara uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon pemimpin
Kantor Perwakilan Bank Asing berpedoman pada BAB III Peraturan
Bank Indonesia ini.
(2) Tata cara uji kemampuan dan kepatutan terhadap pemimpin Kantor
Perwakilan Bank Asing berpedoman pada BAB IV Peraturan Bank
Indonesia ini.
(3) Uji kemampuan dan kepatutan terhadap pemimpin Kantor Perwakilan
Bank Asing dilakukan apabila terdapat indikasi bahwa yang
bersangkutan melakukan pelanggaran atau penyimpangan kegiatan
Kantor Perwakilan Bank Asing.
BAB VII ...
- 41 -
BAB VII
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN PADA BANK SYARIAH DAN BANK
UMUM KONVENSIONAL YANG MEMILIKI UUS DALAM PENYELAMATAN/
PENANGANAN OLEH LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS)
Bagian Pertama
Uji Kemampuan dan Kepatutan terhadap Calon Anggota Dewan Komisaris
dan Calon Anggota Direksi Bank Syariah serta Calon Direktur UUS
Pasal 50
(1) Dalam hal Bank Syariah berada dalam penanganan atau penyelamatan
oleh LPS maka uji kemampuan dan kepatutan hanya dilakukan
terhadap calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi.
(2) Dalam hal Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS berada dalam
penanganan atau penyelamatan oleh LPS maka uji kemampuan dan
kepatutan hanya dilakukan terhadap calon Direktur UUS.
(3) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon anggota Dewan
Komisaris dan calon anggota Direksi Bank Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan calon Direktur UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh LPS kepada Bank Indonesia.
Pasal 51
Persyaratan uji kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota Dewan
Komisaris dan calon anggota Direksi Bank Syariah, serta calon Direktur
UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 berpedoman pada Pasal 4,
Pasal 16, BAB III Bagian Pertama, Pasal 44 dan Pasal 46 Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 52 ...
- 42 -
Pasal 52
(1) Pelaksanaan uji kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota Dewan
Komisaris dan/atau calon anggota Direksi Bank Syariah, serta calon
Direktur UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. penelitian administratif berupa persyaratan tidak tercantum dalam
daftar kredit macet dan DTL;
b. penelitian administratif lainnya; dan
c. wawancara, apabila diperlukan.
(2) Calon Direktur UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1)
huruf a mengikuti proses wawancara apabila diperlukan.
(3) Calon Direktur UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1)
huruf b wajib mengikuti uji kemampuan dan kepatutan berdasarkan
ketentuan uji kemampuan dan kepatutan yang berlaku bagi Bank
Umum Konvensional.
Pasal 53
(1) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (1) huruf a pihak yang diuji tidak tercantum dalam daftar
kredit macet dan DTL, Bank Indonesia berwenang memberikan
persetujuan sementara kepada pihak yang diuji untuk menjalankan
tugas dan fungsi sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi,
dan Direktur UUS.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (1) huruf a pihak yang diuji tercantum dalam daftar
kredit ...
- 43 -
kredit macet dan/atau DTL, Bank Indonesia tidak memberikan
persetujuan dan:
a. pihak yang diuji dilarang melakukan tindakan sebagai anggota
Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan Direktur UUS; dan
b. LPS menyampaikan kembali permohonan calon anggota Dewan
Komisaris, calon anggota Direksi, dan calon Direktur UUS yang
baru untuk memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
(3) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
diberitahukan kepada LPS.
Pasal 54
(1) Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS wajib
menyampaikan dokumen persyaratan administratif lainnya mengenai
pihak yang diuji paling lama 1 (satu) bulan setelah persetujuan
sementara Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat
(1).
(2) Dalam rangka penelitian administratif lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b dan wawancara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (1) huruf c berlaku ketentuan sebagaimana diatur
dalam Pasal 4, Pasal 24, Pasal 27, dan Pasal 47 ayat (2) Peraturan
Bank Indonesia ini.
Pasal 55
(1) Berdasarkan penelitian administratif lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b dan wawancara sebagaimana dimaksud
dalam ...
- 44 -
dalam Pasal 52 ayat (1) huruf c, Bank Indonesia menetapkan hasil
akhir uji kemampuan dan kepatutan dengan predikat:
a. Lulus; atau
b. Tidak Lulus.
(2) Penetapan hasil akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
Bank Indonesia paling lama 6 (enam) bulan setelah persetujuan
sementara.
Pasal 56
(1) Bank Indonesia memberitahukan hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi
Bank Syariah secara tertulis kepada Bank Syariah, pihak yang diuji,
dan LPS.
(2) Bank Indonesia memberitahukan hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan calon Direktur UUS kepada Bank Umum Konvensional atau
kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang memiliki UUS,
pihak yang diuji, dan LPS.
Pasal 57
Konsekuensi dari hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) adalah:
a. berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4) Peraturan Bank Indonesia ini; dan
b. hasil persetujuan sementara yang telah diterbitkan menjadi batal
terhitung sejak tanggal penetapan Tidak Lulus, dalam hal hasil akhir
uji ...
- 45 -
uji kemampuan dan kepatutan pihak yang diuji ditetapkan predikat
Tidak Lulus.
Pasal 58
(1) Dalam hal anggota Direksi Bank Umum Konvensional yang memiliki
UUS yang dicalonkan sebagai Direktur UUS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (2) dinilai:
a.
tidak memiliki kompetensi di bidang perbankan syariah, yang
bersangkutan dapat diajukan kembali oleh Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS paling lama 90 (sembilan puluh)
hari sejak surat pemberitahuan Bank Indonesia; atau
b.
tidak memiliki komitmen dalam pengembangan UUS, yang
bersangkutan dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai Direktur
UUS.
(2) Apabila berdasarkan penilaian ulang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, calon Direktur UUS dinilai masih tidak memiliki
kompetensi maka Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS wajib
mengganti dengan calon lain.
Bagian Kedua
Uji Kemampuan dan Kepatutan Terhadap Anggota Dewan Komisaris,
Anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif Bank Syariah, serta Direktur UUS
dan Pejabat Eksekutif UUS
Pasal 59
Tata cara uji kemampuan dan kepatutan terhadap anggota Dewan
Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif Bank Syariah, serta
Direktur ...
- 46 -
Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS, berlaku ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam BAB IV Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB VIII
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP PIHAK YANG SUDAH
TIDAK MENJADI PSP ATAU SUDAH TIDAK MENJABAT SEBAGAI ANGGOTA
DEWAN KOMISARIS, ANGGOTA DIREKSI DAN PEJABAT EKSEKUTIF BANK
SYARIAH, SERTA DIREKTUR UUS DAN PEJABAT EKSEKUTIF UUS
Pasal 60
(1) Uji kemampuan dan kepatutan terhadap pihak yang sudah tidak
menjadi PSP atau sudah tidak menjabat sebagai anggota Dewan
Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif Bank Syariah, serta
Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf c, berpedoman pada BAB IV Peraturan Bank
Indonesia ini.
(2) Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
predikat Tidak Lulus namun masih menjadi PSP dan/atau menjabat
sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan/atau Pejabat
Eksekutif pada bank lain maka bank lain tersebut wajib melakukan
tindak lanjut sesuai dengan ketentuan Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3)
dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB IX ...
- 47 -
BAB IX
KETENTUAN LAIN–LAIN
Pasal 61
(1) Hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan bersifat rahasia dan
ditatausahakan serta digunakan oleh Bank Indonesia dalam rangka
pelaksanaan tugas pengawasan bank.
(2) Dalam hal Bank Syariah, Bank Umum Konvensional atau kantor
cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang memiliki UUS,
pihak yang diuji, dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15, Pasal 26, Pasal 34, Pasal 53 dan Pasal 56 memberitahukan hasil uji
kemampuan dan kepatutan kepada pihak lain maka segala akibat
hukum yang timbul sepenuhnya menjadi tanggung jawab yang
bersangkutan.
Pasal 62
(1) BUS wajib melaporkan rencana perubahan struktur kelompok usaha
yang terkait dengan BUS termasuk badan hukum pemilik BUS sampai
dengan ultimate shareholders kepada Bank Indonesia paling lama 1
(satu) bulan sebelum terjadinya perubahan.
(2) Dalam hal perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menurut penilaian Bank Indonesia
menyebabkan perubahan pengendali BUS atau terdapat pengendali
BUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 maka BUS wajib
mengajukan calon PSP untuk dilakukan uji kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud dalam BAB II Peraturan Bank
Indonesia ini.
(3) Uji ...
- 48 -
(3) Uji kemampuan dan kepatutan terhadap pengendali BUS yang
disebabkan adanya perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) merupakan satu kesatuan dan merupakan
hasil uji kemampuan dan kepatutan terhadap kelompok usaha.
Pasal 63
Bank Indonesia berwenang menolak perubahan pengendali BUS, apabila
berdasarkan penilaian Bank Indonesia perubahan tersebut dapat
menyebabkan atau diindikasikan dapat menghambat pelaksanaan
pengawasan BUS.
Pasal 64
BUS wajib mengungkapkan status PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37 ayat (2) dalam Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Laporan
Tahunan.
Pasal 65
Calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi Bank
Syariah, serta calon Direktur UUS selain wajib memenuhi persyaratan
integritas, kompetensi, dan kelayakan/reputasi keuangan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, juga wajib memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai kepemilikan dan kepengurusan.
BAB X ...
- 49 -
BAB X
SANKSI
Pasal 66
(1) Bank Syariah dan UUS yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), Pasal 37 ayat (2), Pasal 40 ayat (2)
huruf b, atau Pasal 41 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa:
a.
teguran tertulis; dan/atau
b. pemberhentian sebagai anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Direksi Bank Syariah, serta Direktur UUS dan selanjutnya
Bank Indonesia menunjuk dan mengangkat pengganti sementara
sampai RUPS mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan
Bank Indonesia.
(2) Bank Syariah yang melanggar kewajiban menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4), Pasal 37 ayat (4), Pasal
41 ayat (3) atau Pasal 62 ayat (1) dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebagai berikut:
a. bagi BUS:
1) Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kelambatan untuk
setiap laporan dengan jumlah paling banyak
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) apabila BUS belum
menyampaikan laporan sampai dengan 30 (tiga puluh) hari
kerja setelah batas waktu penyampaian laporan; atau
2) Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) apabila BUS tidak
menyampaikan atau menyampaikan laporan melebihi batas
waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah batas waktu
penyampaian laporan;
b. bagi ...
- 50 -
b. bagi BPRS:
1) Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kelambatan
untuk setiap laporan dengan jumlah paling banyak
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) apabila BPRS belum
menyampaikan laporan sampai dengan 30 (tiga puluh) hari
kerja setelah batas waktu penyampaian laporan; atau
2) Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) apabila BPRS tidak
menyampaikan atau menyampaikan laporan melebihi batas
waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah batas waktu
penyampaian laporan.
(3) Pemegang saham yang dengan sengaja tidak menaati ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), Pasal 37 ayat (1) huruf
a, Pasal 38 huruf a, atau Pasal 41 ayat (5) dikenakan sanksi sesuai
dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
(4) Anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif Bank
Syariah, serta Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS yang dengan
sengaja tidak menaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 ayat (2), Pasal 25 ayat (2) atau Pasal 41 ayat (1) dikenakan sanksi
sesuai dengan Pasal 63 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
BAB XI ...
- 51 -
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 67
(1) Hasil uji kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank
Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini
dinyatakan tetap berlaku.
(2) Terhadap uji kemampuan dan kepatutan bagi calon PSP atau PSP,
calon anggota Dewan Komisaris atau anggota Dewan Komisaris, calon
anggota Direksi atau anggota Direksi, dan/atau Pejabat Eksekutif Bank
Syariah serta calon Direktur UUS atau Direktur UUS dan/atau Pejabat
Eksekutif UUS yang sedang dilakukan pada saat berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini maka:
a. proses penilaian dan hasil penilaian tetap mengacu kepada
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/31/PBI/2009 tanggal 28
Agustus 2009 tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and
Proper Test) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah; dan
b. konsekuensi dan pengenaan jangka waktu sanksi mengacu
kepada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 68
Pihak yang telah dinyatakan sebagai pihak yang Tidak Lulus berdasarkan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/31/PBI/2009 tanggal 28 Agustus
2009 tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah, tetap dilarang menjadi PSP, anggota
Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi Bank Syariah serta Direktur
UUS sampai dengan jangka waktu pelarangan berakhir.
BAB XII ...
- 52 -
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 69
Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kemampuan dan kepatutan Bank
Syariah dan UUS diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 70
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/31/PBI/2009 tentang Uji
Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Syariah dan
Unit Usaha Syariah;
b. ketentuan dalam Pasal 8 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah; dan
c. ketentuan dalam Pasal 58 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good
Corporate Governance Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 71
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar ...
- 53 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Juni 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Juni 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 136
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/ 6 /PBI/2012
TENTANG
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST)
BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Upaya menciptakan sistem perbankan yang sehat, selain ditempuh
dengan cara perbaikan kondisi keuangan perbankan, juga ditempuh dengan
cara pemantapan sistem perbankan yang mengarahkan perbankan kepada
praktek good corporate governance serta pemenuhan prinsip kehati-hatian.
Bank Syariah sebagai lembaga intermediasi setiap saat harus
mempertahankan dan menjaga kepercayaan, oleh karena itu lembaga
perbankan syariah perlu dimiliki dan dikelola oleh pihak yang memenuhi
persyaratan kemampuan dan kepatutan.
Perkembangan industri perbankan syariah yang dinamis
membutuhkan pemilik yang selain memiliki integritas juga memiliki
komitmen dan kemampuan yang tinggi dalam mendukung pengembangan
operasional perbankan syariah yang sehat. Selain itu dalam pengelolaan
perbankan syariah diperlukan sumber daya manusia yang memiliki
integritas yang tinggi, berkualitas dan memiliki reputasi keuangan yang
baik.
Sehubungan ...
- 2 -
Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan proses uji kemampuan
dan kepatutan terhadap calon pemilik dan calon pengelola perbankan
syariah melalui penelitian administratif yang lebih efektif dan proses
wawancara yang lebih efisien, dengan tetap memperhatikan pemenuhan
persyaratan yang ditetapkan.
Selanjutnya sebagai pelaksanaan tugas pengawasan bank oleh Bank
Indonesia secara berkesinambungan, terhadap pihak yang telah mendapat
persetujuan dari Bank Indonesia, dilakukan penilaian kembali atas
kemampuan dan kepatutannya sebagai pemilik dan pengelola perbankan
syariah. Dalam rangka melindungi industri perbankan syariah dari pihak
yang diindikasikan tidak memenuhi persyaratan kemampuan dan
kepatutan, penilaian kembali dilakukan melalui proses yang lebih singkat
dan transparan tanpa mengabaikan azas keadilan bagi pihak yang diuji.
Mengingat tujuan uji kemampuan dan kepatutan adalah agar industri
perbankan syariah senantiasa dimiliki dan dikelola oleh pihak yang
memenuhi persyaratan maka sudah menjadi keharusan untuk tidak
memberikan ruang bagi pihak yang melakukan tindakan yang diindikasikan
tidak memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan. Sehubungan
dengan hal tersebut diperlukan penyempurnaan ketentuan yang berkaitan
dengan pengenaan sanksi yang lebih tegas dan dapat memberikan efek jera
terhadap pihak yang tidak mampu dan tidak patut dalam memiliki dan
mengelola perbankan syariah.
Berdasarkan hal–hal tersebut di atas, perlu diatur kembali ketentuan
mengenai uji kemampuan dan kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Syariah
dan UUS.
II. PASAL ...
- 3 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Pihak yang termasuk sebagai pengendali Bank Syariah dan UUS
termasuk pihak yang menjadi pengendali akibat dari berlakunya
peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam menghitung jumlah saham yang dimiliki dan/atau
dikendalikan secara bersama-sama oleh pihak yang melakukan
Pengendalian terhadap Bank Syariah, termasuk:
a. saham Bank Syariah yang dimiliki oleh pihak lain yang hak
suaranya dapat digunakan atau dikendalikan oleh pengendali
Bank Syariah;
b. saham Bank Syariah yang dimiliki oleh perusahaan yang
dikendalikan oleh pengendali Bank Syariah;
c. saham ...
- 4 -
c. saham Bank Syariah yang dimiliki oleh pihak terafiliasi dari
pengendali Bank Syariah;
d. saham Bank Syariah yang dimiliki oleh anak perusahaan dari
perusahaan yang dikendalikan oleh pengendali Bank Syariah;
e. saham Bank Syariah yang dimiliki oleh pihak lain untuk dan
atas nama pengendali Bank Syariah (saham nominee)
berdasarkan atau tidak berdasarkan suatu perjanjian
tertentu;
f.
saham Bank Syariah yang dimiliki oleh pihak lain yang
pemindahtanganannya memerlukan persetujuan dari
pengendali Bank Syariah; atau
g. saham Bank Syariah lainnya selain saham sebagaimana
dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf f, yang
dikendalikan oleh pengendali Bank Syariah.
Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi dari Pengendali Bank
Syariah sebagaimana dimaksud pada huruf c adalah:
a. anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau yang setara
atau kuasanya, pejabat, atau karyawan perusahaan
pengendali Bank Syariah;
b. pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat atau
karyawan perusahaan pengendali Bank Syariah, khusus bagi
perusahaan yang berbentuk hukum koperasi;
c. pihak yang memberikan jasa kepada perusahaan pengendali
Bank Syariah, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan
hukum dan konsultan lain yang terbukti dikendalikan oleh
pengendali Bank Syariah;
d. pihak ...
- 5 -
d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga dengan
pengendali Bank Syariah baik karena perkawinan maupun
karena keturunan sampai dengan derajat kedua baik secara
horizontal maupun vertikal, termasuk besan;
e. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta
memengaruhi pengelolaan perusahaan pengendali Bank
Syariah, antara lain keluarga pemegang saham, keluarga
komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, dan keluarga
pengurus.
Huruf a
Bank Syariah dapat memiliki 1 (satu) atau lebih PSP.
Termasuk dalam pengertian calon PSP antara lain adalah
pemegang saham yang menjadi PSP karena terjadinya
pengalihan saham Bank Syariah secara internal atau
eksternal, penambahan modal dari pemegang saham Bank
Syariah, right issue saham Bank Syariah dan/atau pengajuan
diri secara sukarela menjadi PSP.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f ...
- 6 -
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Uji kemampuan dan kepatutan dalam rangka penilaian kembali
dilakukan dalam hal terdapat indikasi permasalahan integritas,
kompetensi dan/atau reputasi keuangan yang bersangkutan
selaku PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau
Pejabat Eksekutif Bank Syariah, Direktur UUS, Pejabat Eksekutif
UUS, atau pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing. Dalam hal
kegiatan operasional UUS melibatkan proses pengambilan
keputusan yang melebihi batas wewenang Direktur UUS maka uji
kemampuan dan kepatutan terhadap pihak yang terlibat selain
Direktur UUS, tunduk kepada ketentuan yang mengatur
mengenai ...
- 7 -
mengenai uji kemampuan dan kepatutan yang berlaku bagi Bank
Umum Konvensional.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pihak yang sudah tidak menjadi atau
sudah tidak menjabat sebagai pihak sebagaimana dimaksud pada
huruf b” adalah:
1) PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat
Eksekutif Bank Syariah, Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif
UUS, serta pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing yang
sudah tidak menjadi PSP atau sudah tidak menjabat sebagai
anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat
Eksekutif Bank Syariah, Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif
UUS, serta pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing pada
Bank Syariah, UUS atau Kantor Perwakilan Bank Asing
dimana perbuatan yang dilakukan oleh yang bersangkutan
menjadi obyek uji kemampuan dan kepatutan, namun yang
bersangkutan masih menjadi PSP atau masih menjabat
sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan
Pejabat Eksekutif Bank Syariah, Direktur UUS dan Pejabat
Eksekutif UUS, serta pemimpin Kantor Perwakilan Bank
Asing di bank lain; atau
2) yang bersangkutan sudah tidak lagi menjadi PSP, atau sudah
tidak lagi menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif Bank Syariah, Direktur
UUS dan Pejabat Eksekutif UUS, serta pemimpin Kantor
Perwakilan Bank Asing pada industri perbankan.
Pasal 4 ... ...
- 8 -
Pasal 4
Yang dimaksud dengan “bank” adalah BUS, Bank Umum Konvensional,
Bank Perkreditan Rakyat, BPRS dan UUS.
Yang dimaksud dengan “proses hukum” adalah proses penyidikan,
penuntutan, atau persidangan di pengadilan dalam perkara Tindak
Pidana Tertentu.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kepemilikan saham Bank Syariah termasuk kepemilikan saham
yang diperoleh melalui transaksi di bursa efek, hibah atau waris.
Yang dimaksud dengan “belum memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia” adalah calon PSP yang belum memperoleh predikat
Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan.
Tindakan sebagai PSP antara lain adalah hadir dan/atau
memberikan suara dalam RUPS dalam kapasitas sebagai PSP.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7 ...
- 9 -
Pasal 7
Persyaratan integritas didasarkan antara lain dari catatan administrasi
Bank Indonesia, predikat hasil uji kemampuan dan kepatutan yang
pernah diberikan oleh Bank Indonesia kepada yang bersangkutan, atau
informasi mengenai telah dijalaninya sanksi oleh pihak yang diuji yang
pernah mendapat predikat Tidak Lulus.
Huruf a
Penilaian terhadap kriteria pada huruf ini dilakukan antara lain
berdasarkan informasi yang diperoleh Bank Indonesia atau
informasi yang diketahui oleh umum, bahwa yang bersangkutan
pernah dihukum karena melakukan Tindak Pidana Tertentu
dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan.
Yang dimaksud dengan “sebelum dicalonkan” adalah terhitung
sampai tanggal surat permohonan Bank Syariah kepada Bank
Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 8 ...
- 10 -
Pasal 8
Huruf a
Penilaian kemampuan keuangan bagi calon PSP berupa badan
hukum dilakukan antara lain berdasarkan pada analisis
kemampuan keuangan pada saat ini dan proyeksinya untuk
jangka waktu paling kurang 3 (tiga) tahun, yang disusun oleh
konsultan independen.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kredit/pembiayaan macet” adalah:
1) kredit/pembiayaan macet yang tercantum dalam Sistem
Informasi Debitur; atau
2) kredit/pembiayaan yang berdasarkan penelitian Bank
Indonesia digolongkan macet, namun oleh bank:
a) dilaporkan dalam Sistem Informasi Debitur namun
belum digolongkan macet; atau
b)
tidak dilaporkan dalam Sistem Informasi Debitur.
Calon PSP dinilai memiliki kredit/pembiayaan macet apabila:
1) mempunyai kredit/pembiayaan macet; dan/atau
2) merupakan pengendali, anggota dewan komisaris (pengawas),
atau anggota direksi (pengurus) dari badan hukum yang
mempunyai kredit/pembiayaan macet.
Yang dimaksud dengan “hutang jatuh tempo dan bermasalah”
adalah hutang yang telah jatuh tempo dan tidak memenuhi
persyaratan untuk dilakukan restrukturisasi.
Dalam ... ..
- 11 -
Dalam pengertian memiliki hutang jatuh tempo dan bermasalah
adalah apabila calon PSP:
1) mempunyai hutang jatuh tempo dan bermasalah; dan/atau
2) merupakan pengendali, anggota dewan komisaris (pengawas),
atau anggota direksi (pengurus) dari badan hukum yang
mempunyai hutang jatuh tempo dan bermasalah,
baik dalam industri perbankan maupun di luar industri
perbankan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “sebelum dicalonkan” adalah terhitung
sampai tanggal surat permohonan Bank Syariah kepada Bank
Indonesia.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Permohonan diajukan oleh anggota Direksi Bank Syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Penelitian ...
- 12 -
Penelitian administratif meliputi antara lain penelitian dokumen
persyaratan administratif, catatan administrasi Bank Indonesia,
penelitian kemampuan dan kelayakan keuangan, serta struktur
kepemilikan calon PSP.
Penelitian terhadap catatan administrasi Bank Indonesia termasuk
penelitian terhadap pihak yang pernah mendapat predikat Tidak
Lulus, namun dalam uji kemampuan dan kepatutan kembali telah
dinilai memenuhi persyaratan untuk kembali menjadi PSP.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Dalam hal badan hukum pemegang saham Bank Syariah dimiliki
dan dikendalikan oleh badan hukum lain secara berjenjang dalam
suatu kelompok usaha maka pemegang saham pengendali terakhir
(ultimate shareholders) adalah perorangan atau badan hukum
yang secara langsung ataupun tidak langsung memiliki saham
Bank Syariah dan merupakan pengendali terakhir keseluruhan
struktur kelompok usaha yang mengendalikan Bank Syariah.
Badan hukum terakhir dalam keseluruhan struktur kelompok
usaha ditetapkan sebagai ultimate shareholders apabila badan
hukum tersebut tidak memiliki pemegang saham pengendali.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) ...
- 13 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 12
Yang dimaksud dengan “Pemerintah” adalah Pemerintah Republik
Indonesia, baik tingkat Pusat maupun Daerah.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “telah menjalani proses hukum” adalah
apabila yang bersangkutan telah mendapatkan:
1) Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3);
2) Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP); atau
3) Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak
bersalah.
Yang ...
- 14 -
Yang dimaksud dengan “telah menjalani proses uji kemampuan
dan kepatutan pada suatu bank” adalah apabila yang
bersangkutan telah mendapatkan hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan dengan predikat Lulus.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Calon PSP yang memperoleh predikat Lulus dinyatakan
memenuhi persyaratan untuk menjadi PSP pada Bank
Syariah dimaksud.
Huruf b
Calon PSP yang memperoleh predikat Tidak Lulus dinyatakan
tidak memenuhi persyaratan menjadi PSP pada Bank Syariah
dimaksud.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “mengalihkan kepemilikan saham
yang telah dibeli” adalah mengalihkan:
1) Seluruh kepemilikan sahamnya bagi calon PSP yang
semula belum memiliki saham pada Bank Syariah yang
bersangkutan; atau
2) Tambahan ...
- 15 -
2) Tambahan kepemilikan sahamnya bagi calon PSP yang
semula sudah menjadi pemegang saham pada Bank
Syariah yang bersangkutan.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “persetujuan” adalah predikat Lulus yang
diberikan kepada pihak yang diuji, sedangkan yang dimaksud
dengan “penolakan” adalah predikat Tidak Lulus yang diberikan
kepada pihak yang diuji.
Ayat (3)
Pihak lain yang berkepentingan pada ayat ini antara lain adalah
Pemerintah dan/atau Lembaga Penjamin Simpanan.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “menjalankan tugas dan fungsi dalam
jabatannya” adalah bertindak mewakili Bank Syariah dalam
membuat keputusan yang secara hukum mengikat Bank Syariah
dan/atau mengambil keputusan penting yang memengaruhi
kondisi keuangan Bank Syariah.
Ayat (2) ...
- 16 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “belum mendapat persetujuan Bank
Indonesia” adalah anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota
Direksi Bank Syariah yang belum memperoleh predikat Lulus
dalam uji kemampuan dan kepatutan.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Persyaratan integritas didasarkan antara lain dari catatan administrasi
Bank Indonesia, predikat hasil uji kemampuan dan kepatutan yang
pernah diberikan oleh Bank Indonesia kepada yang bersangkutan, atau
informasi mengenai telah dijalaninya sanksi oleh pihak yang diuji yang
pernah mendapat predikat Tidak Lulus.
Huruf a
Penilaian terhadap kriteria pada huruf ini dilakukan antara lain
berdasarkan informasi yang diperoleh langsung oleh Bank
Indonesia atau melalui informasi yang diketahui oleh umum.
Yang dimaksud dengan “sebelum dicalonkan” adalah terhitung
sampai tanggal surat permohonan Bank Syariah kepada Bank
Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c ...
- 17 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Angka 1)
Yang dimaksud dengan “pengetahuan, pemahaman di bidang
operasional perbankan syariah” adalah berupa pengetahuan
dan pemahaman tentang peraturan dan operasional BUS
yang antara lain dibuktikan dengan memiliki sertifikat
pelatihan perbankan syariah dengan cakupan materi paling
kurang mengenai ketentuan perbankan syariah, produk bank
syariah dan analisa laporan keuangan bank syariah.
Yang dimaksud dengan “pengalaman di bidang operasional
perbankan syariah” antara lain berupa pengalaman dalam
mengelola bisnis utama Bank Syariah dan/atau UUS.
Angka 2)
Kemampuan untuk mengawasi kegiatan usaha BUS antara
lain ditunjukkan dengan memiliki pengetahuan dan
pemahaman mengenai pengawasan kegiatan usaha
perbankan syariah.
Angka 3 ...
- 18 -
Angka 3
Memiliki pengetahuan dan pemahaman manajemen risiko
antara lain dibuktikan dengan memiliki sertifikat manajemen
risiko yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang
telah memperoleh izin dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi
(BNSP).
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan “pengetahuan, pemahaman di bidang
operasional perbankan syariah” adalah berupa pengetahuan
dan pemahaman tentang peraturan dan operasional BPRS
yang antara lain dibuktikan dengan memiliki sertifikat
pelatihan perbankan syariah dengan cakupan materi paling
kurang mengenai ketentuan perbankan syariah, produk bank
syariah dan analisa laporan keuangan bank syariah.
Yang dimaksud dengan “pengalaman di bidang operasional
perbankan syariah” adalah antara lain memiliki pengalaman
dalam mengelola bisnis utama Bank Syariah dan/atau UUS.
Angka 2
Kemampuan untuk mengawasi kegiatan usaha BPRS antara
lain dibuktikan dengan memiliki pengetahuan dan
pemahaman mengenai pengawasan kegiatan usaha
perbankan syariah.
Huruf c
Angka 1
Yang dimaksud dengan “pengetahuan dan pemahaman di
bidang ...
- 19 -
bidang operasional perbankan syariah” adalah berupa
pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan dan
operasional BUS yang antara lain dibuktikan dengan memiliki
sertifikat pelatihan perbankan syariah dengan cakupan
materi paling kurang mengenai ketentuan perbankan syariah,
produk bank syariah, kegiatan operasional bank syariah dan
laporan keuangan bank syariah.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “pengalaman dan keahlian di bidang
operasional perbankan, perbankan syariah, bidang keuangan
dan/atau keuangan syariah” adalah antara lain berupa
pengalaman dan keahlian dalam mengelola bisnis utama
bank dan/atau lembaga keuangan.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “kemampuan untuk melakukan
pengelolaan strategis” antara lain kemampuan untuk
mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan dan
perbankan, menginterpretasikan visi dan misi BUS dan
analisis situasi industri perbankan.
Angka 4
Memiliki pengetahuan dan pemahaman yang antara lain
dibuktikan dengan memiliki sertifikat manajemen risiko yang
diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang telah
memperoleh izin dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi
(BNSP) serta memiliki kemampuan dalam penerapan
manajemen risiko pada kegiatan operasional BUS.
Huruf d ...
- 20 -
Huruf d
Angka 1
Yang dimaksud dengan “pengetahuan dan pemahaman di
bidang operasional perbankan syariah” antara lain berupa
pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan dan
operasional BPRS yang antara lain dibuktikan dengan
memiliki sertifikat pelatihan perbankan syariah dengan
cakupan materi paling kurang mengenai ketentuan
perbankan syariah, produk bank syariah, kegiatan
operasional bank syariah dan laporan keuangan bank
syariah.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “pengalaman dan keahlian di bidang
operasional perbankan atau perbankan syariah dan/atau
bidang keuangan atau keuangan syariah” adalah antara lain
berupa pengalaman dan keahlian dalam mengelola bisnis
utama bank dan/atau lembaga keuangan.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “kemampuan untuk melakukan
pengelolaan strategis” antara lain kemampuan untuk
mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan dan
perbankan, menginterpretasikan visi dan misi BPRS dan
analisis situasi industri perbankan.
Pasal 20
Huruf a
Yang ...
- 21 -
Yang dimaksud dengan “kredit/pembiayaan macet” adalah:
1) kredit/pembiayaan macet yang tercantum dalam Sistem
Informasi Debitur; atau
2) kredit/pembiayaan yang berdasarkan penelitian Bank
Indonesia digolongkan macet, namun oleh bank:
a) dilaporkan dalam Sistem Informasi Debitur dengan
kualitas yang belum digolongkan macet; atau
b)
tidak dilaporkan dalam Sistem Informasi Debitur.
Calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi dinilai
memiliki kredit/pembiayaan macet apabila:
1) mempunyai kredit/pembiayaan macet; dan/atau
2) merupakan pengendali, anggota dewan komisaris (pengawas),
atau anggota direksi (pengurus) dari badan hukum yang
mempunyai kredit/pembiayaan macet.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sebelum dicalonkan” adalah terhitung
sampai tanggal surat permohonan Bank Syariah kepada Bank
Indonesia.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “mayoritas” adalah lebih dari setengah
jumlah seluruh anggota Direksi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) ...
- 22 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “benturan kepentingan” adalah apabila
terdapat benturan kepentingan antara anggota Direksi yang
berwenang mengajukan permohonan dengan Bank Syariah.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “ketentuan perundang–undangan yang
berlaku” adalah antara lain peraturan perundang-undangan
tentang perseroan terbatas dan tentang ketenagakerjaan.
Pasal 23 ...
- 23 -
Pasal 23
Huruf a
Penelitian administratif meliputi antara lain penelitian dokumen
persyaratan administratif sebagaimana dipersyaratkan dalam
ketentuan yang berlaku, catatan administrasi Bank Indonesia, dan
penelitian reputasi keuangan calon anggota Dewan Komisaris atau
calon anggota Direksi Bank Syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “telah menjalani proses hukum” adalah
apabila yang bersangkutan telah mendapatkan:
1) Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3);
2) Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP); atau
3) Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak
bersalah.
Yang ...
- 24 -
Yang dimaksud dengan “telah menjalani proses uji kemampuan
dan kepatutan pada suatu bank” adalah apabila yang
bersangkutan telah mendapatkan hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan dengan predikat Lulus.
Pasal 25
Ayat (1)
Huruf a
Calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi
yang memperoleh predikat Lulus dinyatakan memenuhi
persyaratan untuk menjadi anggota Dewan Komisaris dan
anggota Direksi Bank Syariah dimaksud.
Huruf b
Calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi
yang memperoleh predikat Tidak Lulus dinyatakan tidak
memenuhi persyaratan untuk menjadi anggota Dewan
Komisaris dan anggota Direksi Bank Syariah dimaksud.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tindak lanjut yang harus dilakukan Bank
Syariah” adalah antara lain menyelenggarakan RUPS dengan
agenda pembatalan pengangkatan calon anggota Dewan Komisaris
dan calon anggota Direksi yang ditetapkan Tidak Lulus.
Ayat (4) ...
- 25 -
Ayat (4)
Jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja dihitung sejak pelaksanaan
tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “persetujuan” adalah predikat Lulus yang
diberikan kepada pihak yang diuji, sedangkan yang dimaksud
dengan “penolakan” adalah predikat Tidak Lulus yang diberikan
kepada pihak yang diuji.
Ayat (3)
Pihak lain yang berkepentingan pada ayat ini antara lain adalah
PSP, Pemerintah dan/atau Lembaga Penjamin Simpanan.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pegawai” adalah setiap orang yang
bekerja dan tercatat dalam administrasi kepegawaian Bank
Syariah.
Angka 1) ...
- 26 -
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Yang dimaksud dengan “merugikan atau mengurangi
keuntungan Bank Syariah” adalah merugikan atau
mengurangi keuntungan dalam bentuk keuangan.
Angka 3)
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “menyebabkan Bank Syariah mengalami
kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha Bank Syariah
dan/atau dapat membahayakan industri perbankan” adalah
antara lain:
1) memanfaatkan Bank Syariah untuk membiayai kepentingan
sendiri atau kelompok usahanya; dan/atau
2) melanggar ketentuan dan/atau komitmen kepada Bank
Indonesia atau Pemerintah, yang menyebabkan Bank Syariah
ditempatkan dalam pengawasan intensif atau pengawasan
khusus, diambilalih Pemerintah/Lembaga Penjamin
Simpanan, dibekukan kegiatan usahanya dan/atau dicabut
ijin usahanya.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e ...
- 27 -
Huruf e
Yang dimaksud dengan “kredit/pembiayaan macet” adalah:
1) kredit/pembiayaan macet yang tercantum dalam Sistem
Informasi Debitur; dan/atau
2) kredit/pembiayaan yang berdasarkan penelitian Bank
Indonesia digolongkan macet, namun oleh bank:
a) dilaporkan dalam Sistem Informasi Debitur namun
belum digolongkan macet; atau
b)
tidak dilaporkan dalam Sistem Informasi Debitur.
PSP dinilai memiliki kredit/pembiayaan macet apabila:
1) mempunyai kredit/pembiayaan macet; dan/atau
2) merupakan pengendali, anggota dewan komisaris (pengawas),
atau anggota direksi (pengurus) dari badan hukum yang
mempunyai kredit/pembiayaan macet.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 29
Huruf a
Angka 1) ...
- 28 -
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Yang dimaksud dengan “pegawai” adalah setiap orang yang
bekerja dan tercatat dalam administrasi kepegawaian Bank
Syariah.
Yang dimaksud dengan “merugikan atau mengurangi
keuntungan Bank Syariah” adalah merugikan atau
mengurangi keuntungan dalam bentuk keuangan.
Angka 3)
Cukup jelas.
Angka 4)
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “menyebabkan Bank Syariah mengalami
kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha Bank Syariah
atau dapat membahayakan industri perbankan” adalah antara
lain:
1) memanfaatkan Bank Syariah untuk membiayai kepentingan
sendiri atau kelompok usahanya; dan/atau
2) melanggar ketentuan dan/atau komitmen kepada Bank
Indonesia atau Pemerintah,
yang ...
- 29 -
yang menyebabkan Bank Syariah ditempatkan dalam pengawasan
intensif atau pengawasan khusus, diambil alih
Pemerintah/Lembaga Penjamin Simpanan, dibekukan kegiatan
usahanya dan/atau dicabut ijin usahanya.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “kredit/pembiayaan macet” adalah:
1) kredit/pembiayaan macet yang tercantum dalam Sistem
Informasi Debitur; dan/atau
2) kredit/pembiayaan yang berdasarkan penelitian Bank
Indonesia digolongkan macet, namun oleh bank:
a) dilaporkan dalam Sistem Informasi Debitur namun
belum digolongkan macet; atau
b)
tidak dilaporkan dalam Sistem Informasi Debitur.
Anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi dinilai memiliki
kredit/pembiayaan macet apabila:
1) mempunyai kredit/pembiayaan macet; dan/atau
2) merupakan pengendali, anggota dewan komisaris (pengawas),
atau anggota direksi (pengurus) dari badan hukum yang
mempunyai kredit/pembiayaan macet.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g ...
- 30 -
Huruf g
Penilaian didasarkan pada tugas dan tanggung jawab dari setiap
anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi, sesuai uraian
tugas yang ada pada Bank Syariah yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan “kemampuan untuk melakukan
pengelolaan strategis” adalah antara lain kemampuan untuk
menginterpretasikan visi dan misi Bank Syariah, mengantisipasi
perkembangan perekonomian, keuangan dan perbankan,
menganalisa situasi industri perbankan dan sektor-sektor industri
yang dibiayai.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “satu kesatuan dan berlaku bagi PSP dan
pihak yang melakukan Pengendalian” adalah apabila PSP
diberikan predikat Tidak Lulus, maka keseluruhan pihak yang
melakukan Pengendalian yang terkait dengan PSP juga diberikan
predikat Tidak Lulus.
Ketentuan ...
- 31 -
Ketentuan ini dimaksudkan agar masing-masing anggota PSP
dapat bertindak independen terhadap anggota yang lain dalam
kelompok PSP.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pelaksanaan klarifikasi dengan pihak yang diuji dapat
dilakukan melalui tatap muka yang dilengkapi dengan berita
acara dan/atau melalui surat.
Huruf b
Hasil sementara uji kemampuan dan kepatutan yang
disampaikan kepada pihak yang diuji memuat predikat hasil
sementara uji kemampuan dan kepatutan beserta alasannya.
Huruf c
Penyampaian tanggapan dari pihak yang diuji dilakukan
secara tertulis disertai dengan bukti-bukti pendukung yang
relevan.
Huruf d ...
- 32 -
Huruf d
Hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan disampaikan
secara tertulis, dengan memuat predikat hasil akhir uji
kemampuan dan kepatutan beserta alasannya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “tidak menggunakan hak” adalah
termasuk penyampaian klarifikasi namun tidak disertai dengan
bukti pendukung yang relevan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “tidak menggunakan hak” adalah
termasuk menyampaikan tanggapan namun tidak disertai dengan
bukti-bukti pendukung yang relevan.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) ...
- 33 -
Ayat (2)
Tingkat keterlibatan pihak yang diuji didasarkan atas peranan
masing–masing pihak yang diuji terhadap tindakan pelanggaran
yang dilakukan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pihak lain yang berkepentingan” adalah
antara lain pemegang saham termasuk PSP.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Huruf a ...
- 34 -
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1)
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Angka i
Cukup jelas.
Angka ii
Yang dimaksud dengan “kumulatif” adalah
gabungan paling kurang dari 2 (dua) perbuatan
Pasal 28 huruf a angka 3, Pasal 28 huruf d,
Pasal 28 huruf e, Pasal 28 huruf g dan/atau
Pasal 28 huruf h.
Angka iii
Cukup jelas.
Angka 2)
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Angka i
Cukup jelas.
Angka ii ...
- 35 -
Angka ii
Yang dimaksud dengan “kumulatif” adalah
gabungan paling kurang dari 2 (dua) perbuatan
Pasal 29 huruf a angka 3, Pasal 29 huruf d,
Pasal 29 huruf e, Pasal 29 huruf g, Pasal 29
huruf h dan/atau Pasal 29 huruf i.
Angka iii
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “hak selaku pemegang saham”
misalnya hak untuk menghadiri, mengeluarkan suara dalam
RUPS, dan hak untuk menerima deviden sesuai saham yang
dimiliki.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2) ...
- 36 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penjelasan” adalah penjelasan mengenai
status PSP yang mempunyai predikat Tidak Lulus bahwa jumlah
hak suara yang diakui dalam kuorum RUPS paling banyak 10%
(sepuluh persen) dari seluruh saham Bank Syariah, sampai
dengan saham dimaksud dialihkan kepada pihak lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 38
Huruf a
Surat kuasa menjual pada ayat ini paling kurang memuat
klausula memberikan kuasa kepada penerima kuasa untuk
menjual atau mengalihkan saham kepada pihak lain.
Selain surat kuasa, pemberi kuasa memberikan surat pernyataan
kepada Bank Indonesia yang paling kurang memuat:
1) menerima segala keputusan pengalihan saham yang
dilakukan oleh penerima kuasa; dan
2) membebaskan penerima kuasa atas segala akibat hukum
yang timbul dari penjualan atau pengalihan saham
dimaksud.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c ...
- 37 -
Huruf c
Ketentuan ini hanya berlaku bagi Bank Syariah yang telah go
public.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Pengumuman kepada publik melalui media massa dilakukan oleh
Bank Syariah.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga sampai dengan
derajat kedua” adalah hubungan baik vertikal maupun horizontal,
termasuk mertua, menantu, dan ipar, meliputi:
1. orang tua kandung/tiri/angkat;
2. saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istrinya;
3. anak kandung/tiri/angkat;
4. kakek ...
- 38 -
4. kakek/nenek kandung/tiri/angkat;
5. cucu kandung/tiri/angkat;
6. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami
atau istrinya;
7. suami/istri;
8. mertua;
9. besan;
10. suami/istri dari anak kandung/tiri/angkat;
11. kakek/nenek dari suami/istri;
12. suami/istri dari cucu kandung/tiri/angkat; dan/atau
13. saudara kandung/tiri/angkat dari suami/istri beserta suami
atau istrinya.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Larangan pencatatan atas kepemilikan saham tidak
memengaruhi pencatatan akuntansi maupun pencatatan
modal Bank Syariah sampai dengan yang bersangkutan
mengalihkan sahamnya.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 41 ...
- 39 -
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tindak lanjut yang harus dilakukan Bank Syariah adalah antara
lain menyelenggarakan RUPS atau keputusan pemberhentian
Pejabat Eksekutif oleh Direksi Bank Syariah.
Ayat (3)
Jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja dihitung sejak pelaksanaan
tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Ketentuan ini hanya berlaku bagi Bank Syariah yang telah go
public.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “tidak menindaklanjuti” antara lain
adalah:
1)
tidak hadir dalam RUPS sehingga mengakibatkan kuorum
penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak terpenuhi; atau
2)
tidak melakukan upaya-upaya untuk terselenggaranya RUPS
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perseroan Terbatas.
Ayat (6) ...
- 40 -
Ayat (6)
Penetapan sanksi Tidak Lulus pada ayat ini dilakukan secara
langsung tanpa mengikuti langkah-langkah penilaian kemampuan
dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2).
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penggantian pihak yang melakukan Pengendalian terhadap badan
hukum dimaksud harus dibuktikan dengan dokumen yang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46 ...
- 41 -
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Wawancara dilakukan semata-mata untuk menilai kompetensi di
bidang perbankan syariah dan komitmen dalam pengembangan
perbankan syariah dan bukan dimaksudkan untuk menguji
kembali kemampuan dan kepatutan direktur pada Bank Umum
Konvensional yang telah menjalani uji kemampuan dan kepatutan
sebelumnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49 ...
- 42 -
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Terhadap LPS sebagai calon PSP tidak dilakukan uji kemampuan
dan kepatutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang ...
- 43 -
Yang dimaksud dengan “melakukan tindakan sebagai anggota
Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan Direktur UUS” adalah
bertindak mewakili Bank Syariah atau UUS dalam membuat
keputusan yang secara hukum mengikat Bank Syariah atau
UUS dan/atau mengambil keputusan yang penting yang
memengaruhi kondisi keuangan Bank Syariah atau UUS.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58 ...
- 44 -
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bank Indonesia tidak bertanggung jawab terhadap
penyalahgunaan data yang telah diberikan kepada anggota Dewan
Komisaris, anggota Direksi, dan pihak lain yang berkepentingan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 26, Pasal 34, Pasal
53 dan Pasal 56.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63 ...
- 45 -
Pasal 63
Yang dimaksud dengan “menghambat pelaksanaan pengawasan BUS”
adalah antara lain apabila Bank Indonesia mengalami kesulitan atau
potensi kesulitan untuk mengakses data dan informasi termasuk
informasi sumber keuangan pengendali Bank Syariah.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Yang dimaksud dengan “ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kepemilikan dan kepengurusan” adalah antara lain
ketentuan mengenai:
1) BUS, UUS, BPRS;
2) perubahan kegiatan usaha bank konvensional menjadi bank
syariah;
3)
tata cara pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu,
dan kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar
negeri;
4) pembelian saham bank umum;
5) merger, konsolidasi dan akuisisi bank;
6)
7)
fungsi kepatuhan;
tenaga kerja asing; dan
8) pelaksanaan good corporate governance.
Pasal 66 ...
- 46 -
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan
kewajiban membayar, tidak menghilangkan kewajiban Bank
Syariah untuk menyampaikan laporan.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69 ...
- 47 -
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5322
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/6/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 18 Juni 2012 </set_date>
<effective_date> 18 Juni 2012 </effective_date>
<issued_date> 18 Juni 2012 </issued_date>
<replaced_reg> '11/31/PBI/2009', '11/10/PBI/2009| | Pasal 8 ayat (4), Pasal 8 ayat (5)', '11/33/PBI/2009 | Pasal 58 ayat (3), Pasal 58 ayat (4), Pasal 58 ayat (5)' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008', '21/UU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/15/PBI/2017
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA
DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk menjaga keamanan dan kelancaran
penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh
Bank Indonesia diperlukan penyediaan dana prefund;
b. bahwa untuk menjamin penyelenggaraan kliring
antarbank yang lebih lancar, aman, efisien, dan andal
diperlukan penyempurnaan atas prefund debit yang dapat
digunakan dalam penyelenggaraan kliring antarbank;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Bank Indonesia tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh
Bank Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
-2-
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer
Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5204);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER
DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan
Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 122, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5704)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 18/5/PBI/2016 tentang Perubahan atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang
Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5876) diubah sebagai berikut:
-3-
1. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
(1) Peserta wajib menyediakan Prefund Debit sesuai
dengan waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(2) Besarnya Prefund Debit sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Penyelenggara untuk masing-
masing Peserta.
(3) Prefund Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa dana tunai (cash Prefund).
(4) Dana tunai (cash Prefund) sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ditatausahakan pada Sistem BI-RTGS
dalam rekening milik Penyelenggara yang digunakan
khusus untuk menampung dana tunai (cash
Prefund).
(5) Penyelenggara menatausahakan dana tunai (cash
Prefund) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pada
SKNBI untuk masing-masing PLU.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyediaan Prefund Debit diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
2. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
(1) Peserta wajib melakukan penambahan Prefund Kredit
dalam hal total dana yang dimiliki Peserta tidak dapat
memenuhi kewajiban dalam Layanan Transfer Dana
dan/atau Layanan Pembayaran Reguler.
-4-
(2) Total dana yang dimiliki Peserta untuk memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersumber dari:
a. confirmed incoming yaitu DKE Transfer Dana
atau DKE Pembayaran masuk dari Peserta lain
yang dapat dipenuhi oleh dana yang dimiliki oleh
Peserta lain tersebut; dan/atau
b. dana tunai (cash Prefund) yang disediakan dalam
Prefund Kredit.
(3) Peserta wajib melakukan penambahan Prefund Debit
dalam hal total dana yang dimiliki Peserta tidak dapat
memenuhi kewajiban dalam Layanan Kliring Warkat
Debit dan/atau Layanan Penagihan Reguler.
(4) Total dana yang dimiliki Peserta untuk memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
bersumber dari:
a. confirmed outgoing yaitu DKE Warkat Debit atau
DKE Penagihan kepada Peserta lain yang tidak
diretur dan didukung oleh dana yang cukup dari
Peserta lain tersebut; dan/atau
b. dana tunai (cash Prefund) yang disediakan dalam
Prefund Debit.
3. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 20
(1) Penyelenggara akan mengembalikan dana tunai (cash
Prefund) yang telah disediakan untuk Prefund Kredit
dan/atau Prefund Debit ke Rekening Setelmen Dana
PLU dan/atau Rekening Setelmen Dana bank
pembayar sesuai periode waktu yang ditetapkan
Penyelenggara, dalam hal setelah perhitungan akhir
masih terdapat saldo dana tunai (cash Prefund) yang
tidak dipergunakan.
-5-
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembalian dana
tunai (cash Prefund) diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 2019.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2017
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2017...................
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 302
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/15/PBI/2017
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA
DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA
I. UMUM
Untuk mewujudkan penyelenggaraan SKNBI yang lancar, aman,
efisien, dan andal Bank Indonesia telah menerapkan prinsip bahwa
perhitungan kliring antar-Bank hanya dapat dilaksanakan apabila
didukung dengan dana yang cukup (no money no game). Oleh karena itu,
dalam penyelenggaraan kliring antar-Bank diatur mengenai kewajiban
penyediaan dana dalam bentuk Prefund.
Untuk meningkatkan kelancaran penyelenggaraan SKNBI dan efisiensi
pengelolaan dana oleh Peserta, dilakukan penyempurnaan Prefund Debit
yang semula berupa dana tunai (cash Prefund) dan surat berharga
(collateral Prefund) menjadi hanya berupa dana tunai (cash Prefund).
Selanjutnya, mekanisme penggunaan surat berharga untuk pemenuhan
Prefund dilakukan satu pintu melalui fasilitas likuiditas intrahari pada
Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga, dan setelmen dana seketika.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 17
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 18
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6170
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 19/15/PBI/2017 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 27 Desember 2017 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2019 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2017 </issued_date>
<changed_reg> '17/9/PBI/2015' </changed_reg>
<extension_of> '18/5/PBI/2016' </extension_of>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/19/PBI/2014
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
15/17/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA
BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai Rupiah;
b. bahwa untuk mendukung kestabilan nilai Rupiah
dibutuhkan pendalaman pasar valuta asing
domestik yang salah satunya dilakukan melalui
pengembangan transaksi swap dalam rangka
lindung nilai kepada Bank Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
melakukan perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 15/17/PBI/2013 tentang
Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank
Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun …
- 2 -
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang
Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
15/17/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI SWAP
LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/17/PBI/2013 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 237,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5480) diubah
sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Bank dapat melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia.
(2) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. dilakukan …
- 3 -
a. dilakukan berdasarkan Underlying Transaksi yang dimiliki
oleh Bank atau nasabah;
b.
jangka waktu Underlying Transaksi sama dengan atau lebih
panjang dari jangka waktu Kontrak Lindung Nilai Bank
kepada Bank Indonesia; dan
c. nilai nominal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia paling banyak sebesar nilai nominal Underlying
Transaksi.
(3) Dalam hal Underlying Transaksi dimiliki oleh Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, ruang lingkup Underlying
Transaksi meliputi:
a. Pinjaman Luar Negeri Bank dalam bentuk perjanjian kredit
dan/atau penerbitan surat utang; dan/atau
b. dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha).
(4) Dalam hal Underlying Transaksi dimiliki oleh nasabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, ruang lingkup
Underlying Transaksi meliputi transaksi swap jual antara Bank
dengan nasabah yang terkait Lindung Nilai atas:
a. Pinjaman Luar Negeri dalam bentuk perjanjian kredit
dan/atau penerbitan surat utang;
Investasi Langsung;
b.
c. devisa hasil ekspor;
d.
e.
f.
investasi pada infrastruktur pembangunan sarana umum
dan produksi;
investasi pada surat berharga yang diterbitkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia; dan/atau
investasi pada kegiatan ekonomi lainnya.
2. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Bank dapat mengajukan:
a. perpanjangan Kontrak Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia; dan/atau
b. perpanjangan …
- 4 -
b. perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia.
(2) Bank Indonesia menerima perpanjangan Kontrak Lindung Nilai
dan perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia yang diajukan oleh Bank.
(3) Jangka waktu perpanjangan Kontrak Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling
lama sama dengan sisa jangka waktu Underlying Transaksi,
dengan perpanjangan kontrak paling lama 3 (tiga) tahun.
(4) Jangka waktu perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b adalah 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, 12 (dua belas)
bulan, atau sesuai dengan sisa jangka waktu Kontrak Lindung
Nilai, dengan perpanjangan paling singkat 3 (tiga) bulan dan
paling lama 12 (dua belas) bulan.
(5) Bank wajib memenuhi persyaratan perpanjangan Kontrak
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a yang diatur sebagai berikut:
a. menggunakan jenis Underlying Transaksi yang sama sesuai
dengan underlying yang tercantum dalam Kontrak Lindung
Nilai awal;
b. dalam hal jenis Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada huruf a dimiliki oleh Bank maka nilai
nominal perpanjangan Kontrak Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia paling banyak sebesar nilai outstanding Pinjaman
Luar Negeri Bank atau dana usaha yang dinyatakan
(declared dana usaha) Bank; dan
c.
jangka waktu perpanjangan Kontrak Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia paling lama sama dengan sisa jangka
waktu Underlying Transaksi, dengan perpanjangan kontrak
paling lama 3 (tiga) tahun.
(6) Bank wajib memenuhi persyaratan perpanjangan Transaksi
Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang diatur sebagai berikut:
a. menggunakan …
- 5 -
a. menggunakan Kontrak Lindung Nilai yang masih berlaku;
b. menggunakan jenis Underlying Transaksi yang sama sesuai
dengan nomor referensi yang tercantum dalam Kontrak
Lindung Nilai;
c. dalam hal jenis Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada huruf b dimiliki oleh Bank maka nilai
nominal perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia paling banyak sebesar nilai
outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank atau dana usaha
yang dinyatakan (declared dana usaha) Bank; dan
d.
jangka waktu perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia adalah 3 (tiga) bulan, 6 (enam)
bulan, 12 (dua belas) bulan, atau sesuai dengan sisa jangka
waktu Kontrak Lindung Nilai dengan perpanjangan paling
singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan.
(7) Setelmen perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada
Bank Indonesia dapat dilakukan secara netting, termasuk pada
saat perpanjangan Kontrak Lindung Nilai.
3. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
Setelmen secara netting untuk perpanjangan Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, termasuk pada saat
perpanjangan Kontrak Lindung Nilai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (7) meliputi:
a. netting untuk nilai nominal yang sama pada setiap
perpanjangan;
b. netting untuk nilai nominal yang lebih kecil pada setiap
perpanjangan; atau
c. netting untuk nilai nominal yang sesuai dengan nilai outstanding
Pinjaman Luar Negeri Bank atau dana usaha yang dinyatakan
(declared dana usaha) Bank pada setiap periode perpanjangan.
4. Di …
- 6 -
4. Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal
14A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14A
Dalam hal Bank melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia, Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia dimaksud dapat dianggap sebagai penerusan (pass-on)
posisi transaksi derivatif Bank dengan pihak terkait Bank.
5. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2), Pasal 6 ayat (5), Pasal 6 ayat (6), dan/atau Pasal
7 dikenakan sanksi berupa:
a.
teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 1‰ (satu perseribu) dari nilai
Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
dalam denominasi Rupiah dengan menggunakan kurs
JISDOR pada tanggal transaksi dan paling banyak sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per Transaksi
Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia.
(2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 huruf c dan/atau Pasal 12 ayat (1) dikenakan sanksi
berupa teguran tertulis.
(3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 13 ayat (3) dikenakan sanksi berupa:
a.
teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar:
1.
rata-rata suku bunga Fed Fund yang berlaku selama
periode keterlambatan ditambah 200 (dua ratus) basis
point dikalikan nominal transaksi dikalikan hari
keterlambatan dibagi dengan 360 (tiga ratus enam
puluh) untuk penyelesaian kewajiban pembayaran
dalam valuta Dolar Amerika Serikat; dan
2.
rata …
- 7 -
2.
rata-rata suku bunga kebijakan Bank Indonesia (BI
rate) yang berlaku selama periode keterlambatan
ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal
transaksi dikalikan hari keterlambatan dibagi dengan
360 (tiga ratus enam puluh) untuk penyelesaian
kewajiban pembayaran dalam Rupiah.
(4) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui pendebetan
rekening giro Rupiah Bank yang bersangkutan pada Bank
Indonesia.
(5) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan melalui pendebetan
rekening giro valuta asing atau Rupiah Bank yang bersangkutan
pada Bank Indonesia.
6. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
Dalam hal ditemukan pelanggaran atas Pasal 2 ayat (2), Pasal 6 ayat (6),
Pasal 7, dan/atau Pasal 12 ayat (1) pada periode Kontrak Lindung Nilai
maka Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia tidak dapat
diperpanjang.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar …
- 8 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 September 2014
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 September 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 215
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/19/ PBI/ 2014
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/17/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI
KEPADA BANK INDONESIA
I. UMUM
Dalam upaya lebih mendorong transaksi derivatif di pasar valuta
asing domestik yang saat ini relatif belum berkembang dan tingginya
segmentasi akibat keterbatasan counterparty line serta sejalan
dengan dinamika perkembangan pasar valuta asing domestik, Bank
Indonesia memandang perlu melakukan penyempurnaan pengaturan
Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.
Penyempurnaan ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas
pelaksanaan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
dan akan memberikan dampak positif bagi upaya percepatan
pendalaman pasar valuta asing domestik.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Istilah …
- 2 -
Istilah dana usaha yang dinyatakan
(declared dana usaha) merupakan istilah
yang digunakan dalam ketentuan
mengenai kewajiban penyediaan modal
minimum bank umum yang diterbitkan
oleh otoritas yang berwenang dan/atau
ketentuan Bank Indonesia mengenai
Pinjaman Luar Negeri Bank.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 6
Cukup Jelas.
Angka 3
Pasal 14
Cukup Jelas.
Angka 4
Pasal 14A
Kewajiban penerusan (pass-on) transaksi derivatif
Bank dengan pihak terkait Bank mengacu kepada
ketentuan Bank Indonesia mengenai transaksi
derivatif.
Definisi pihak terkait mengacu kepada ketentuan
mengenai batas maksimum pemberian kredit
bank umum yang diterbitkan oleh otoritas yang
berwenang.
Angka 5
Pasal 15
Cukup Jelas.
Angka 6
Pasal …
- 3 -
Pasal 16
Cukup Jelas.
Pasal II
Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5583
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 16/19/PBI/2014 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/17/PBI/2013 TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 17 September 2014 </set_date>
<effective_date> 17 September 2014 </effective_date>
<issued_date> 17 September 2014 </issued_date>
<changed_reg> '15/17/PBI/2013' </changed_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 5 Pasal 15' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 5/11 /PBI/2003
TENTANG
PEMBAYARAN TRANSAKSI IMPOR
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a.
b.
bahwa salah satu faktor yang mendukung kelancaran arus
perdagangan internasional adalah tersedianya kebijakan
pembayaran transaksi impor yang sejalan dengan kebutuhan
perbankan dan dunia usaha;
bahwa pengaturan pembayaran transaksi impor yang ada saat
ini, masih belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan perbankan
dan dunia usaha;
c.
bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk
menyempurnakan ketentuan pembayaran transaksi impor
dalam suatu Peraturan Bank Indonesia.
Mengingat
: 1.
2.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472), sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
3. Undang …
- 2 -
3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3844);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: PERATURAN BANK
INDONESIA
PEMBAYARAN TRANSAKSI IMPOR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana
TENTANG
telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998 yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia
untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing dan atau
melakukan transaksi perbankan dengan pihak-pihak di luar negeri.
2. Impor adalah kegiatan memasukan barang ke wilayah pabean Republik Indonesia.
3. Letter of Credit untuk selanjutnya disebut L/C adalah janji membayar dari bank
penerbit kepada penerima jika penerima menyerahkan kepada bank penerbit
dokumen yang sesuai dengan persyaratan L/C.
Pasal 2…
- 3 -
Pasal 2
Pembayaran transaksi impor dilakukan dengan menggunakan L/C atau tanpa L/C.
BAB II
PEMBAYARAN TRANSAKSI IMPOR DENGAN L/C
Pasal 3
(1) Bank menerbitkan L/C dalam rangka pembayaran transaksi impor atas dasar
permintaan importir yang diajukan kepada Bank dengan mengisi formulir
permohonan penerbitan L/C.
(2) Bank hanya dapat mengubah L/C atas dasar permintaan importir yang diajukan
kepada Bank dengan mengisi formulir permohonan perubahan L/C.
Pasal 4
(1) Formulir permohonan penerbitan L/C sekurang-kurangnya memuat hal-hal
sebagai berikut :
a. nama jelas dan alamat importir;
b. nama jelas dan alamat eksportir;
c. nilai L/C;
d. syarat pembayaran atas unjuk, pembayaran kemudian atau berjangka,
akseptasi atau negosiasi;
e. jenis/rincian dokumen;
f. tanggal terakhir pengajuan dokumen;
g. tempat pengajuan dokumen;
h. tanggal penerbitan dan tanggal jatuh tempo L/C;
i. nomor dan tanggal surat ijin dari instansi yang berwenang untuk impor
barang yang diawasi dan diatur tata niaga impornya;
j. media…
- 4 -
j. media penerbitan L/C : surat, teleks, swift atau sarana lainnya;
k. uraian barang antara lain meliputi nama dan jenis barang, jumlah barang,
harga satuan, harga FOB/C&F/CIF;
l. tarif (Bea Masuk, Cukai, PPN, PPnBM & PPh impor);
m. nomor HS (Harmonized System) / pos tarif;
n. asuransi;
o. tanggal terakhir pengapalan barang;
p. negara tujuan pengapalan barang;
q. negara asal barang;
r. pencantuman pernyataan umum tunduk pada syarat-syarat umum Bank
untuk penerbitan L/C.
(2) Format dan jumlah lembar permohonan penerbitan atau perubahan L/C
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diserahkan kepada masing-masing Bank.
Pasal 5
Dalam hal Bank akan menerbitkan atau melakukan perubahan L/C, Bank wajib
melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. meneliti kelengkapan dan kebenaran pengisian data yang dicantumkan importir
dalam formulir permohonan penerbitan atau perubahan L/C;
b. memastikan bahwa importir telah memenuhi ketentuan Departemen Perindustrian
dan Perdagangan yang berlaku di bidang impor yang berkaitan dengan persyaratan
sebagai importir, dan barang yang diawasi dan diatur tata niaga impornya;
c. meneliti surat persetujuan impor barang dari Departemen Perindustrian dan
Perdagangan yang dicantumkan dalam formulir permohonan penerbitan L/C dalam
hal barang yang diimpor merupakan barang yang diawasi dan diatur tata niaga
impornya.
Pasal 6 …
- 5 -
Pasal 6
Bank dilarang menerbitkan atau melakukan perubahan L/C apabila importir tidak
memenuhi ketentuan Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang berlaku di
bidang impor yang berkaitan dengan persyaratan sebagai importir, dan barang yang
diawasi dan diatur tata niaga impornya.
Pasal 7
(1) L/C dapat diterbitkan dengan syarat pembayaran tunai dan atau berjangka.
(2) Dalam hal Bank melakukan penerbitan L/C dengan syarat pembayaran berjangka
atau melakukan perubahan jangka waktu penundaan pembayaran L/C, maka
jangka waktu penundaan pembayaran L/C tersebut didasarkan pada kesepakatan
para pihak terkait yaitu Bank, importir dan eksportir.
(3) Penerbitan dan atau perubahan L/C sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib
dilakukan dengan memenuhi ketentuan Bank Indonesia mengenai Pinjaman
Komersial Luar Negeri Bank.
BAB III
PEMBAYARAN TRANSAKSI IMPOR TANPA LC
Pasal 8
(1) Pembayaran transaksi impor tanpa L/C dapat dilaksanakan dengan cara :
a. Pembayaran dimuka (Advance Payment);
b. Pembayaran kemudian (Open Account);
c. Inkaso (Collection);
d. Konsinyasi (Consignment);
e. Pembayaran lainnya yang lazim dalam perdagangan internasional sesuai
kesepakatan antara penjual dengan pembeli.
(2) Pembayaran …
- 6 -
(2) Pembayaran transaksi impor tanpa L/C sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan Bank atas dasar permintaan dari importir dan mekanisme
pelaksanaannya sesuai dengan praktek dan kebiasaan perbankan yang berlaku
secara internasional.
Pasal 9
(1) Bank dapat melakukan hubungan koresponden dengan bank-bank di luar negeri
dengan memperhatikan ketentuan yang dikeluarkan pemerintah.
(2) Hubungan koresponden sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan kepada
kesepakatan antara pihak Bank dengan pihak lainnya.
BAB IV
SANKSI
Pasal 10
Dalam hal Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini maka Bank dikenakan sanksi dalam rangka pembinaan dan pengawasan
bank.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 11
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 29/33/KEP/DIR tanggal 4 Juni 1996 tentang Pelaksanaan
Pembayaran Transaksi Impor dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 12 …
- 7 -
Pasal 12
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Juni 2003
GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd.
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 71
DLN.
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 5/11 /PBI/2003
TENTANG
PEMBAYARAN TRANSAKSI IMPOR
UMUM
Dalam rangka mendukung perdagangan internasional dan memperlancar arus barang
yang masuk ke Indonesia, Bank Indonesia telah menetapkan ketentuan mengenai
pelaksanaan pembayaran transaksi impor sebagai pedoman bagi perbankan dan dunia
usaha dalam menyelesaikan pembayaran transaksi impor. Dalam perkembangannya
disadari bahwa ketentuan mengenai pelaksanaan pembayaran transaksi impor yang ada
saat ini kurang sejalan dengan ketentuan pemerintah di bidang impor dan belum mampu
memenuhi kebutuhan dunia usaha untuk mengimpor barang dengan jangka waktu
penundaan pembayaran lebih dari 360 hari setelah tanggal pengapalan.
Dengan adanya penyempurnaan terhadap ketentuan pelaksanaan pembayaran transaksi
impor ini diharapkan ketentuan Bank Indonesia dapat sejalan dengan ketentuan
pemerintah di bidang impor, dan mengakomodasi kebutuhan dunia usaha serta
meningkatkan peran perbankan sebagai lembaga yang memberikan jasa pembayaran
transaksi impor.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2…
- 2 -
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Bank dapat menambahkan hal-hal lain yang dipandang perlu untuk
dicantumkan dalam formulir permohonan penerbitan L/C diluar hal-hal
yang tercantum dalam pasal 4 ayat (1).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Huruf a.
Yang dimaksud dengan meneliti kelengkapan pengisian data adalah bank
meneliti apakah kolom - kolom dalam
formulir permohonan
penerbitan atau perubahan L/C yang perlu diisi telah dilengkapi oleh
pemohon. Yang dimaksud dengan meneliti kebenaran pengisian data
adalah kolom-kolom formulir penerbitan atau perubahan L/C telah diisi
sesuai peruntukannya.
Huruf b.
Cukup jelas.
Huruf c …
- 3 -
Huruf c.
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11…
- 4 -
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4298
DLN.
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 5/11/PBI/2003 </reg_id>
<reg_title> PEMBAYARAN TRANSAKSI IMPOR </reg_title>
<set_date> 23 Juni 2003 </set_date>
<effective_date> 23 Juni 2003 </effective_date>
<replaced_reg> '29/33/KEP/DIR|SKDIR-BI/1996' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '24/UU/1999', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/16/PBI/2004
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK
INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kebijakan pemberian jasa giro terhadap Rekening
Giro yang ditatausahakan di Bank Indonesia dilakukan
dengan memperhatikan kondisi perekonomian dan arah
kebijakan Bank Indonesia;
b. bahwa dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui
pengaturan likuiditas perbankan dengan kebijakan
peningkatan giro wajib minimum, diperlukan kebijakan
pemberian jasa giro bagi kelompok bank yang terkena
ketentuan kenaikan giro wajib minimum;
c. bahwa sesuai dengan Pasal 23 jo. Pasal 71 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4355) Pemerintah Pusat memperoleh jasa giro atas dana
yang disimpan pada bank sentral yang akan dilaksanakan
pada …
-2-
pada saat penggantian Sertifikat Bank Indonesia dengan
Surat Utang Negara sebagai instrumen moneter;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c dipandang perlu
untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan
Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak
Ekstern (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 205, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4025) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 3/11/PBI/2001 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 79, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4108);
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia …
-3-
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4357);
3. Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4355).
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS
INDONESIA
NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG
HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK
INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN.
Pasal I
Beberapa ketentuan dan penjelasan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan
Pihak Ekstern (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 205,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4025) sebagaimana
telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/11/PBI/2001 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4108)
diubah sebagai berikut :
PERATURAN BANK
1. Ketentuan …
-4-
1. Ketentuan Pasal 1 angka 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
“2. Rekening Giro adalah rekening pihak eksternal tertentu di Bank Indonesia
yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang
penarikannya dapat dilakukan setiap saat.”
2. Penjelasan Pasal 2 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan, dan
ketentuan Pasal 2 ditambah 6 (enam) ayat baru sehingga keseluruhan Pasal 2
berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 2
(1) Pihak yang dapat membuka Rekening Giro di Bank Indonesia adalah :
a. Bank;
b. Instansi pemerintah;
c. Lembaga keuangan internasional;
d. Lembaga lain yang menurut Bank Indonesia dipandang perlu untuk
mempunyai Rekening Giro di Bank Indonesia.
(2) Setiap Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a wajib
memiliki 1 (satu) Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.
(3) Bank yang melakukan kegiatan dalam valuta asing selain wajib memiliki
1 (satu) Rekening Giro Rupiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
juga wajib memiliki 1 (satu) Rekening Giro Valas pada Bank Indonesia.
(4) Dalam hal Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
juga melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, selain
wajib memiliki 1 (satu) Rekening Giro Rupiah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), juga wajib memiliki 1 (satu) Rekening Giro Rupiah
sebagaimana …
-5-
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah.
(5) Dalam hal Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
serta melakukan kegiatan
dalam valuta
asing
juga melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, selain wajib memiliki
1 (satu) Rekening Giro Rupiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dan 1 (satu) Rekening Giro Valas sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
juga wajib memiliki 1 (satu) Rekening Giro Rupiah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan 1 (satu) Rekening Giro Valas sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) untuk melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah.
(6) Bank yang dapat membuka Rekening Giro Rupiah maupun Rekening
Giro Valas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5) adalah kantor pusat Bank.
(7) Bagi Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri, kantor
Bank yang dapat membuka Rekening Giro sebagaimana dimaksud
dalam ayat (6) adalah kantor cabang Bank tersebut di Indonesia.
(8) Lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, dapat
membuka Rekening Giro di Bank Indonesia sepanjang :
a. Diperlukan dalam rangka transisi tugas Bank Indonesia di bidang
perbankan dan di bidang perkreditan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 74 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
3 Tahun 2004.
b. Terkait …
-6-
b. Terkait dengan tugas Bank Indonesia dalam bidang moneter,
perbankan, dan sistem pembayaran.”
3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 6
Dalam hal tertentu Bank Indonesia dapat memberikan jasa giro atas Rekening
Giro yang ditatausahakan di Bank Indonesia.”
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal, 1 Juli 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Ttd.
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
DASP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/16/PBI/2004
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA
BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan instansi pemerintah
meliputi pemerintah pusat dan pemerintah daerah
sepanjang
Rekening
Giro yang
bersangkutan
digunakan untuk menampung dan atau mengelola
dana …
-2-
dana yang terkait dengan pelaksanaan Anggaran
Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dan
Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD).
Khusus untuk instansi pemerintah pusat terdiri dari
departemen dan lembaga pemerintah non
departemen serta Badan Usaha Milik Negara
(BUMN).
Dalam pengertian instansi pemerintah ini tidak
termasuk
bendaharawan rutin dan bendahara
proyek.
Huruf c
Lembaga keuangan internasional sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan ini adalah lembaga-
lembaga yang
tujuan pembentukannya untuk
meningkatkan kerjasama internasional di bidang
ekonomi dan atau keuangan dimana Pemerintah
Republik Indonesia atau Bank Indonesia menjadi
anggota di dalamnya atau lembaga keuangan
tersebut memberi bantuan keuangan kepada
Pemerintah Republik Indonesia atau Bank
Indonesia dan lembaga tersebut mensyaratkan
pembukaan rekening pada Bank Indonesia.
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat …
-3-
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Pasal 6
Yang dimaksud dalam hal tertentu adalah:
a. adanya kebijakan khusus yang
diperlukan untuk
mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, seperti
kebijakan pengaturan likuiditas perbankan dengan
memberikan jasa giro atas pemenuhan giro wajib
minimum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur tentang giro wajib minimum
dalam rupiah dan valuta asing bank umum;
b. adanya amanat undang-undang yang mengatur pemberian
jasa giro atas dana yang disimpan pada Bank Indonesia.
Pasal …
-4-
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/16/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN </reg_title>
<set_date> 1 Juli 2004 </set_date>
<effective_date> 1 Juli 2004 </effective_date>
<changed_reg> '2/24/PBI/2000' </changed_reg>
<extension_of> '3/11/PBI/2001' </extension_of>
<related_reg> '23/UU/1999', '1/UU/2004', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
Nomor: 8/1/PBI/2006
TENTANG
FASILITAS PEMBIAYAAN DARURAT
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank dapat
mengalami
kesulitan likuiditas
yang membahayakan
kelangsungan usahanya dan berdampak sistemik sehingga
berpotensi mengakibatkan krisis
stabilitas sistem keuangan;
yang membahayakan
b. bahwa- berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, untuk mengatasi
kesulitan likuiditas
Indonesia sebagai
last
yang berdampak sistemik, Bank
lender of the
resort dapat
memberikan fasilitas pembiayaan darurat kepada Bank
Umum yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah;
c. bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 telah
ditandatangani Nota Kesepakatan antara Menteri Keuangan
dengan Gubernur Bank Indonesia tanggal 17 Maret 2004
mengenai ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan
terhadap …
- 2 -
terhadap kesulitan keuangan bank yang berdampak sistemik,
pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan
pendanaan yang berasal
Belanja Negara;
c,
sumber
dari Anggaran Pendapatan dan
d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, dan
huruf
mengenai fasilitas pembiayaan darurat bagi Bank Umum
dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia
Tahun
2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002
tentang Surat
Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4236);
4. Undang-Undang …
dipandang perlu untuk menyusun ketentuan
- 3 -
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4286);
5. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun
2004 tentang
Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS
PEMBIAYAAN DARURAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
2. Bank Bermasalah adalah Bank yang mengalami kesulitan keuangan dalam
bentuk
kesulitan likuiditas dan/atau
membahayakan kelangsungan usahanya.
kesulitan
solvabilitas yang
3. Kesulitan …
- 4 -
3. Kesulitan Likuiditas
adalah kesulitan pendanaan jangka pendek yang
dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih
kecil dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) yang diperkirakan
dapat mengakibatkan terjadinya saldo giro negatif.
4. Kesulitan Solvabilitas adalah kesulitan permodalan yang dialami Bank
sehingga tidak memenuhi Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM)
yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
5. Dampak Sistemik adalah potensi penyebaran masalah (contagion effect) dari
satu Bank Bermasalah yang dapat mengakibatkan kesulitan likuiditas bank-
bank lain sehingga berpotensi menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap
sistem perbankan dan dapat berdampak negatif terhadap stabilitas sistem
keuangan.
6. Fasilitas Pembiayaan Darurat yang selanjutnya disebut FPD adalah fasilitas
pembiayaan dari Bank Indonesia kepada Bank Bermasalah yang mengalami
Kesulitan Likuiditas,
tetapi masih memenuhi tingkat solvabilitas yang
ditetapkan Bank Indonesia, serta berdampak sistemik yang pemberiannya
didasarkan pada keputusan rapat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank
Indonesia dan pendanaannya menjadi beban Pemerintah.
7. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga
yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah yang dijamin
pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai
dengan masa berlakunya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara.
Pasal 2 …
- 5 -
Pasal 2
(1) Bank wajib melaksanakan kegiatan usahanya dengan berpedoman pada
prinsip kehati-hatian yang berlaku, termasuk dalam menjaga kecukupan
likuiditasnya.
(2) Bank yang mengalami Kesulitan Likuiditas wajib mencari sumber dana
untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas dimaksud.
Pasal 3
(1) Bank yang tidak dapat memperoleh dana untuk mengatasi Kesulitan
Likuiditas
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal
2
ayat
(2),
dapat
mengajukan permohonan untuk memperoleh FPD dari Bank Indonesia
apabila memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
(2) Persyaratan pemberian FPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a) Bank mengalami Kesulitan Likuiditas;
b) Bank berdampak sistemik;
c) rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) Bank paling
sedikit 5% (lima persen); dan
d) dijamin dengan agunan.
Pasal 4
FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tidak diberikan kepada kantor
cabang Bank yang berkedudukan di luar negeri.
BAB II …
- 6 -
BAB II
SUMBER PENDANAAN FPD
Pasal 5
(1) Sumber pendanaan FPD berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
(2) Untuk pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan
dapat menerbitkan SUN sesuai dengan ketentuan yang berlaku, apabila
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam kondisi sulit.
(3) SUN yang diterbitkan dalam rangka pemberian FPD adalah SUN yang
dapat diperdagangkan.
(4) Dalam kondisi
tertentu, Menteri Keuangan dapat menetapkan untuk
menunda perdagangan SUN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam
jangka waktu
tertentu berdasarkan
keputusan
Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia.
Pasal 6
(1) Dalam rangka pemberian FPD, Menteri Keuangan membuka rekening giro
khusus di Bank Indonesia.
(2) Rekening giro khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
digunakan dalam rangka pemberian FPD.
(3) Menteri Keuangan menerbitkan surat kuasa kepada Bank Indonesia untuk
melakukan pendebetan terhadap
dimaksud pada ayat (1).
rekening giro
khusus
sebagaimana
rapat
antara
Menteri
BAB III …
- 7 -
BAB III
PERMOHONAN DAN KEPUTUSAN PEMBERIAN FPD
Pasal 7
Permohonan FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib
dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan, yaitu:
a. Surat Pernyataan dari Pengurus Bank bahwa Bank telah mencari sumber
dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) sebelum mengajukan
FPD, yang dibubuhi meterai sesuai ketentuan yang berlaku;
b. Dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan FPD;
c. Akta notariil jaminan hutang berisi daftar aset yang akan dijadikan agunan
beserta nilai taksiran sementara dan dokumen asli bukti kepemilikan, yang
akan diikuti dengan pemasangan hak tanggungan, gadai, atau jaminan
fiducia;
d. Surat Pernyataan Kesanggupan Pemegang Saham Pengendali dan atau
Pengurus Bank untuk menyerahkan tambahan aset yang akan diagunkan
dalam hal aset sebagaimana dimaksud pada huruf c belum mencukupi, yang
dibubuhi meterai sesuai ketentuan yang berlaku;
e. Surat Kesanggupan untuk menerbitkan Personal Guarantee dan/atau
Corporate Guarantee dari Pemegang Saham Pengendali dan atau Pengurus
Bank yang dibuat di hadapan notaris, dan dilampiri daftar aset;
f.
Surat Pernyataan Kesanggupan Pemegang Saham Pengendali dan Pengurus
Bank untuk membayar kembali FPD, yang dibubuhi meterai
ketentuan yang berlaku;
g. Surat Pernyataan kesediaan Pemegang Saham Pengendali dan Pengurus
Bank untuk melakukan dan/atau
tidak melakukan
tindakan
sesuai
yang
diperintahkan oleh Bank Indonesia, yang dibubuhi meterai sesuai ketentuan
yang berlaku; dan
h. Surat …
- 8 -
h. Surat Pernyataan Pemegang Saham Pengendali dan Pengurus Bank bahwa
aset yang akan dijaminkan sebagaimana dimaksud pada huruf c, huruf d dan
huruf e harus bebas dari sitaan, tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain,
serta tidak tersangkut dalam suatu perkara atau sengketa.
Pasal 8
(1) Dalam hal Bank Indonesia mengindikasikan bahwa Bank yang mengajukan
permohonan FPD sebagaimana dimaksud
berdampak sistemik,
dalam Pasal
Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan rapat.
(2) Indikasi mengenai adanya Bank yang berdampak sistemik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didasarkan antara lain pada analisis Bank Indonesia
terhadap kondisi
perbankan.
Pasal 9
Rapat Menteri Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) membahas permasalahan dan prospek keuangan
Bank serta menetapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasinya.
Pasal 10
(1) Dalam hal rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 memutuskan untuk
memberikan FPD kepada Bank, keputusan tersebut sekurang-kurangnya
mencakup:
a. penetapan …
3 ayat (1)
Gubernur Bank Indonesia segera meminta kepada
keuangan Bank dan dampaknya terhadap sistem
- 9 -
a. penetapan Bank berdampak sistemik;
b. keputusan pemberian FPD;
c. pagu FPD;
d. jangka waktu FPD;
e. daftar aset yang akan dijadikan agunan FPD serta nilai sementara
berdasarkan taksasi bank; dan
f. langkah-langkah penanganan Bank penerima FPD.
(2) Dalam hal rapat Menteri Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia
memutuskan bahwa Bank tersebut tidak diberikan FPD, maka tindak lanjut
penanganan terhadap Bank dimaksud akan dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 11
(1) Pagu FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c
ditetapkan berdasarkan perkiraan Bank Indonesia
didasarkan pada data yang diberikan oleh Bank.
yang
antara
lain
(2) Jangka waktu FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d
ditetapkan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender dan hanya dapat
diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan
puluh) hari kalender.
BAB IV
AGUNAN FPD
Pasal 12
(1) Aset yang dapat dijadikan agunan oleh Bank adalah aset Bank yang
tersedia dengan prioritas dari aset yang paling likuid dan berkualitas dan
dapat …
- 10 -
dapat ditambah dengan aset lainnya termasuk namun tidak terbatas pada
aset pemegang saham pengendali dan/atau saham yang telah tercatat dari
pemegang saham pengendali bank.
(2) Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditambah dengan
Personal Guarantee dari pemegang saham pengendali dan/atau Corporate
Guarantee dari perusahaan milik pemegang saham pengendali yang
dilengkapi dengan daftar aset selain dari aset sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Personal Guarantee dan/atau Corporate Guarantee sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dibuat secara notariil dan harus diserahkan kepada Bank
Indonesia paling lambat pada saat FPD ditandatangani.
Pasal 13
(1) Aset yang dijadikan agunan oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (1) dan ayat (2) harus bebas dari sitaan, tidak sedang dijaminkan
kepada pihak lain, serta tidak tersangkut dalam suatu perkara atau sengketa.
dijadikan agunan oleh
(2) Aset yang
Bank tidak dapat dialihkan,
diperjualbelikan atau dijaminkan kembali oleh Bank.
(3) Bank wajib mengganti agunan FPD apabila tidak memenuhi kondisi-
kondisi sebagaimana diatur pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Apabila Bank tidak mengganti agunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) maka berdasarkan peraturan ini, Bank Indonesia dapat meminta kepada
Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan rapat dengan Gubernur Bank
Indonesia untuk
mengambil
penyelesaiannya.
Pasal 14 …
keputusan tentang
langkah-langkah
- 11 -
Pasal 14
(1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dinilai oleh penilai
independen yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan daftar
nominasi penilai independen yang disampaikan Bank.
(2) Seluruh biaya yang timbul dalam rangka penilaian agunan menjadi beban
Bank.
Pasal 15
Menteri Keuangan menetapkan nilai agunan berdasarkan nilai wajar menurut
penilai independen.
Pasal 16
(1) Pengikatan agunan dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk dan atas nama
Menteri Keuangan segera setelah penandatanganan perjanjian pemberian
FPD.
(2) Pengikatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara notariil
dengan mengacu pada nilai taksasi sementara agunan yang disampaikan
oleh Bank.
(3) Menteri Keuangan membuat surat kuasa kepada Gubernur Bank Indonesia
untuk menandatangani perjanjian pengikatan agunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Penatausahaan bukti kepemilikan agunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh Bank Indonesia.
(5) Pengurus Bank dan atau pemegang saham pengendali Bank bertanggung
jawab untuk memelihara fisik agunan yang diserahkan dalam rangka FPD.
Pasal 17 …
- 12 -
Pasal 17
Dalam hal setelah pengikatan agunan dan/atau penilaian agunan oleh penilai
independen ternyata nilai agunan lebih kecil dari pagu FPD, maka:
a. Bank penerima FPD dan/atau pemegang saham pengendali wajib menambah
jumlah aset yang diagunkan; dan
b. Gubernur Bank Indonesia segera meminta kepada Menteri Keuangan untuk
menyelenggarakan
rapat guna membahas permasalahan tersebut dan
menetapkan langkah-langkah penyelesaian yang dianggap perlu.
BAB V
PERJANJIAN FPD DAN REALISASI PEMBERIAN FPD
Pasal 18
(1) Perjanjian pemberian FPD dilakukan secara notariil dan ditandatangani
oleh Pemegang Saham Pengendali dan pengurus Bank penerima FPD
dengan Gubernur Bank Indonesia untuk dan atas nama Menteri Keuangan.
(2) Menteri Keuangan atau pejabat yang ditunjuk, membuat surat kuasa kepada
Gubernur Bank Indonesia untuk menandatangani perjanjian pemberian
FPD pada setiap perjanjian pemberian FPD.
(3) Menteri Keuangan atau pejabat yang ditunjuk, menandatangani perjanjian
pemberian FPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai pihak yang
mengetahui dan menyetujui.
Pasal 19
(1) Realisasi pemberian FPD dilakukan segera
perjanjian FPD.
setelah ditandatanganinya
(2) Realisasi …
- 13 -
(2) Realisasi pemberian FPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan mendebet rekening giro khusus Pemerintah di Bank Indonesia
dalam rangka FPD dan mengkredit rekening giro Bank penerima FPD di
Bank Indonesia.
(3) Realisasi pemberian FPD dilakukan
sebesar kebutuhan Bank untuk
memenuhi kebutuhan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 5% (lima
persen).
Pasal 20
FPD hanya dapat digunakan oleh Bank penerima FPD untuk mengatasi kesulitan
likuiditas.
Pasal 21
(1) FPD yang telah digunakan oleh Bank penerima FPD dikenakan bunga
sesuai suku bunga yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan Gubernur
Bank Indonesia.
(2) Suku bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) nilainya sebesar imbal
hasil (yield) SUN yang diterbitkan ditambah dengan marjin tertentu.
(3) Imbal hasil (yield) SUN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
berdasarkan quotasi harga pasar yang terjadi satu hari kerja sebelumnya
yang diterbitkan oleh media penyedia informasi harga yang mendapatkan
pengakuan otoritas pasar modal.
(4) Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dibebankan ke rekening
giro Bank penerima FPD di Bank Indonesia dan selanjutnya disetorkan
kepada Pemerintah dengan mengkredit rekening giro khusus Pemerintah
dalam rangka FPD yang ada di Bank Indonesia.
(5) Bank …
- 14 -
(5) Bank Indonesia melakukan perhitungan bunga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berdasarkan saldo akhir hari realisasi FPD.
(6) Pembebanan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan pada
saat FPD jatuh tempo atau dilunasi.
Pasal 22
(1) Jumlah realisasi pemberian FPD termasuk bunga dan biaya-biaya yang
timbul merupakan piutang negara kepada bank penerima FPD dimaksud.
(2) Ketentuan dan tata cara yang berkaitan dengan penanganan piutang negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 23
Penandatanganan perjanjian FPD, penyerahan SUN kepada Bank Indonesia
dan realisasi pemberian FPD oleh Bank Indonesia dilakukan pada hari yang
sama.
BAB VI
BIAYA-BIAYA PEMBERIAN FPD
Pasal 24
Biaya-biaya yang timbul berkaitan dengan :
a. biaya penilaian atas agunan yang dilakukan oleh penilai independen;
b. biaya pengikatan perjanjian FPD dan pengikatan agunan yang dilakukan oleh
notaris;
c. biaya lelang agunan jika dieksekusi; dan
d. biaya-biaya lain yang terkait dengan pemberian FPD;
sepenuhnya menjadi beban Bank penerima FPD.
BAB VII …
- 15 -
BAB VII
JATUH WAKTU DAN PELUNASAN FPD
Pasal 25
(1) Bank dapat melakukan pelunasan dan/atau pengurangan baki debet FPD
selama dalam jangka waktu pemberian FPD.
(2) Pelunasan dan/atau pengurangan baki debet sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan apabila saldo rekening giro rupiah Bank penerima FPD
di Bank Indonesia telah melebihi ketentuan GWM sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (3).
(3) Pelunasan dan/atau pengurangan baki debet sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dengan mendebet rekening giro rupiah Bank penerima
FPD oleh Bank Indonesia.
Pasal 26
(1) Bank Indonesia mendebet rekening giro Rupiah Bank Penerima FPD yang
bersangkutan dan mengkredit rekening giro khusus Pemerintah di Bank
Indonesia pada saat FPD jatuh tempo sebagai pelunasan FPD.
(2) Dalam hal saldo giro Rupiah Bank penerima FPD yang bersangkutan
di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk pelunasan FPD pada saat FPD
jatuh tempo, maka Gubernur Bank Indonesia segera meminta kepada
Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan rapat
guna membahas
permasalahan bank antara lain mengenai kondisi dan prospek keuangan
bank,
mengatasinya.
serta memutuskan langkah-langkah yang diperlukan untuk
(3) Langkah …
- 16 -
(3) Langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan bank
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah untuk memutuskan pemberian FPD
diperpanjang atau tidak.
(4) Perpanjangan dan perubahan perjanjian FPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) wajib memenuhi ketentuan Pasal 3 dan Pasal 5.
Pasal 27
Dalam hal Bank penerima FPD tidak mampu melunasi FPD pada saat jatuh
tempo dan/atau FPD tidak diperpanjang maka rapat Menteri Keuangan dengan
Gubernur Bank Indonesia memutuskan langkah-langkah penanganan Bank
penerima FPD.
Pasal 28
(1) Dalam hal Bank penerima FPD tidak mampu membayar FPD (default) dan
agunan akan dieksekusi, maka
eksekusi
Pemerintah selaku kreditur atau lembaga yang ditunjuk.
(2) Apabila hasil eksekusi agunan lebih kecil dari nilai FPD dan kewajiban
bunga yang harus dilunasi oleh Bank penerima FPD, maka kekurangan
pelunasan FPD merupakan tanggung jawab Pemegang Saham Pengendali
Bank kepada Pemerintah.
Pasal 29
(1) Dalam hal jumlah realisasi pemberian FPD lebih rendah dari jumlah pagu
FPD yang ditetapkan oleh rapat Menteri Keuangan dengan Gubernur Bank
Indonesia, Bank Indonesia mengembalikan bunga SUN atas selisih antara
jumlah pagu pemberian dan jumlah realisasi FPD.
(2) Bunga …
atas agunan dilakukan oleh
- 17 -
(2) Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bunga SUN yang
diterbitkan dalam rangka pemberian FPD.
(3) Pengembalian bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan
dengan mengkredit rekening giro khusus Pemerintah di Bank Indonesia
yang dibuka dalam rangka FPD pada saat FPD telah dilunasi oleh Bank
penerima FPD atau pada saat FPD jatuh tempo.
BAB VIII
PENGAWASAN
Pasal 30
(1) Bank penerima FPD ditetapkan sebagai Bank Dalam Pengawasan Khusus.
(2) Tindakan
pengawasan
terhadap
Bank Dalam
Pengawasan
Khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan Peraturan
Bank Indonesia yang berlaku.
(3) Status Bank Dalam Pengawasan Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berakhir apabila Bank penerima FPD telah menyelesaikan kewajiban
pelunasan FPD dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia yang berlaku mengenai Tindak Lanjut
Pengawasan dan Penetapan Status Bank.
Pasal 31
(1) Bank penerima FPD wajib menyusun action plan untuk menyelesaikan
masalah likuiditas dan rencana pengembalian FPD paling lambat 5 (lima)
hari kerja setelah realisasi FPD.
(2) Action …
- 18 -
(2) Action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan
kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada Menteri Keuangan.
(3) Bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) secara mingguan kepada Bank Indonesia dengan
tembusan kepada Menteri Keuangan.
(4) Bank penerima FPD wajib melaporkan kondisi likuiditasnya kepada Bank
Indonesia secara harian.
Pasal 32
(1) Bank penerima FPD dilarang mencairkan rekening simpanan pihak terkait
di Bank penerima FPD kecuali ditetapkan lain oleh
Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia.
(2) Bank penerima FPD dilarang membagikan dividen dalam bentuk apapun
selama kewajiban atas FPD belum lunas.
(3) Pemegang Saham Pengendali Bank penerima FPD dilarang mengalihkan
kepemilikan sahamnya kepada pihak lain tanpa seijin Bank Indonesia.
BAB IX
PENYAMPAIAN PERMOHONAN DAN LAPORAN
Pasal 33
(1) Permohonan FPD ditujukan kepada Gubernur Bank Indonesia dengan
alamat Jalan M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta Pusat 10110 dengan tembusan
kepada :
a. Menteri Keuangan Republik Indonesia dengan alamat Jalan Lapangan
Banteng No. 2-4 Jakarta Pusat.
b. Direktorat …
rapat Menteri
- 19 -
b. Direktorat Pengawasan Bank 1 dan Direktorat Pengawasan Bank 2
dengan alamat Jalan M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta Pusat 10110
untuk Bank yang berkantor pusat di Jakarta; atau
c. Direktorat Perbankan Syariah dengan alamat Jalan M.H. Thamrin
Nomor 2 Jakarta Pusat 10110 untuk Bank umum yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah yang berkantor pusat di
Jakarta.
d. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank umum konvensional dan
Bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
Syariah yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia.
(2) Bank penerima FPD wajib menyampaikan Realisasi Action Plan dan
Laporan Likuiditas Harian sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, c, dan d.
BAB X
SANKSI
Pasal 34
Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
Pasal 12, Pasal 13,
Pasal 16 ayat (5), Pasal 20 dan Pasal 32 dikenakan sanksi administratif berupa
pemberhentian pengurus bank dan atau larangan turut serta dalam kegiatan
kliring.
Pasal 35 …
- 20 -
Pasal 35
Tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Pengurus
Bank, Pemegang Saham Pengendali dan pejabat eksekutif Bank yang dengan
sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan
ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini, dikenakan
sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Pasal 36
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 3 Januari 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 1
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
Nomor: 8/1/PBI/2006
TENTANG
FASILITAS PEMBIAYAAN DARURAT
UMUM
Dalam menjalankan usahanya Bank menghadapi berbagai risiko antara
lain risiko likuiditas. Risiko likuiditas merupakan kesulitan pendanaan jangka
pendek yang timbul akibat ketidaksesuaian (mismatch) antara arus dana masuk
(cash inflow) dengan arus dana keluar (cash outflow). Kondisi tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya saldo giro negatif Bank pada Bank Indonesia. Apabila
tidak segera diatasi, kesulitan likuiditas tersebut dapat menimbulkan masalah
yang lebih besar bahkan dapat menimbulkan kesulitan likuiditas bagi bank-bank
lainnya.
Untuk mengatasi kesulitan likuiditas, pada dasarnya Bank pertama-tama
harus mengupayakan dana di pasar uang dengan menggunakan berbagai
instrumen pasar uang yang tersedia. Apabila Bank gagal memperoleh dana di
pasar uang, maka Bank Indonesia dalam fungsinya sebagai lender of the last
resort dapat memberikan pinjaman kepada Bank untuk mengatasi kesulitan
pendanaan jangka pendek tersebut.
Kebijakan lender of the last resort tersebut merupakan bagian dari jaring
pengaman keuangan (financial safety net) yang diperlukan dalam rangka
memelihara stabilitas sistem keuangan. Kerangka jaring pengaman keuangan
yang …
- 2 -
yang komprehensif memuat secara jelas mengenai peran masing-masing lembaga
terkait dan mekanisme koordinasi baik dalam pencegahan maupun penyelesaian
krisis. Stabilitas sistem keuangan tersebut mutlak dipelihara untuk mendukung
stabilitas moneter
dalam
rangka menunjang
pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan.
Fasilitas lender of the last resort yang diberikan bank sentral kepada bank,
baik untuk situasi normal maupun untuk penanganan krisis, secara umum dapat
dikategorikan kedalam beberapa jenis yakni:
(i) Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek (FPJP) baik kepada Bank yang
mengalami kesulitan likuiditas pada akhir hari (overnight) maupun kepada
Bank yang tidak dapat menyelesaikan Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI)
pada akhir hari. Pemberian FPJP harus didukung dengan agunan likuid dan
bernilai tinggi dari Bank kepada Bank Indonesia.
(ii) Fasilitas Pembiayaan Darurat
(FPD) kepada Bank Bermasalah yang
mengalami kesulitan likuiditas, tetapi masih memenuhi tingkat solvabilitas
yang
ditetapkan Bank Indonesia,
serta
berdampak sistemik yang
pemberiannya didasarkan pada keputusan rapat Menteri Keuangan dan
Gubernur Bank Indonesia dan pendanaannya menjadi beban Pemerintah.
FPJP merupakan fasilitas yang diberikan Bank Indonesia untuk mengatasi
kesulitan likuiditas dalam kondisi normal, sedangkan FPD merupakan fasilitas
untuk mengatasi dampak atau risiko sistemik dalam kondisi darurat untuk
mencegah dan mengatasi krisis. Oleh karena itu, sumber pendanaan FPD menjadi
beban APBN melalui penerbitan SUN oleh Pemerintah.
Untuk meyakinkan akuntabilitas dan transparansi, proses pengambilan
keputusan dalam penetapan dampak atau risiko sistemik dan pemberian FPD
kepada Bank dilakukan secara bersama (joint decision) oleh Menteri Keuangan
dan …
- 3 -
dan Gubernur Bank Indonesia. Keputusan pemberian FPD dilakukan berdasarkan
penilaian atas potensi risiko sistemik yang dapat terjadi terhadap stabilitas sistem
keuangan dan dampak negatif terhadap perekonomian jika FPD tersebut tidak
diberikan kepada Bank.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 7.
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan sumber dana antara lain adalah
Antar Bank, Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek (FPJP).
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b …
Pinjaman
Likuiditas Intrahari (FLI) dan Fasilitas
- 4 -
Huruf b
Dampak atau risiko sistemik dinilai dari dua aspek pokok yakni
penyebaran masalah (contagion) dan kerugian ekonomis
(degree of loss) yang
ditimbulkan.
Faktor-faktor yang
dipertimbangkan dalam penetapan dampak sistemik adalah:
a. Faktor internal yakni kesulitan
likuiditas yang dihadapi
satu atau lebih bank yang berdampak sistemik; dan/atau
b. Faktor eksternal seperti gangguan systemically important
payment system, krisis mata uang (currency crisis) dan/atau
bencana alam yang mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Agunan Bank berupa aktiva bank yang tersedia dengan prioritas
dari aktiva yang paling likuid dan berkualitas yang tersedia dan
dapat ditambah dengan aktiva lainnya termasuk namun tidak
terbatas pada aktiva pemegang saham pengendali Bank dan atau
saham yang telah tercatat dari pemegang saham pengendali
Bank sesuai dengan keputusan pemberian FPD.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 5 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kondisi tertentu adalah suatu kondisi apabila penjualan SUN oleh
Bank Indonesia
diperkirakan
dapat mengakibatkan gangguan
terhadap stabilitas pasar SUN dan program penerbitan SUN oleh
Menteri.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dokumen yang dibutuhkan dalam mendukung jumlah kebutuhan
FPD, antara lain perkiraan kebutuhan likuiditas, proyeksi arus dana
(cash flow), Laporan keuangan terakhir (neraca dan laba rugi),
laporan maturity profile 1 (satu) bulan terakhir.
Huruf c …
- 6 -
Huruf c
Daftar aset Bank yang akan diagunkan beserta dokumen asli bukti
kepemilikan yang harus disertai dengan harga taksiran sementara,
misalnya untuk aset
berupa tanah, nilai tersebut didasarkan pada
harga dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), surat berharga didasarkan
pada nilai pasar satu hari kerja sebelumnya.
Huruf d sampai Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d …
- 7 -
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Nilai taksasi untuk tanah dan bangunan didasarkan pada Nilai
Jual Obyek Pajak
(NJOP), sedangkan surat-surat berharga
berdasarkan nilai pasar satu hari kerja sebelumnya.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan aset Bank adalah aktiva tetap Bank, surat
berharga (saham, obligasi, dan surat berharga lainnya), serta tagihan
pada Bank lain.
Surat berharga yang diagunkan tidak boleh berasal dari surat berharga
yang diterbitkan oleh pihak terkait dengan Bank atau pihak-pihak
yang mengendalikan Bank.
Ayat (2) …
- 8 -
Ayat (2)
Daftar aset yang dilampirkan dalam Personal Guarantee dan/atau
Corporate Guarantee antara lain adalah aset yang akan diperoleh
kemudian dan atau aset yang pada saat perjanjian FPD dibuat tidak
dapat dijadikan agunan karena masih dalam penguasaan hukum pihak
lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Penyerahan aset yang akan dijadikan agunan FPD harus disertai
dengan keterangan dari Bank atau Pemegang Saham Pengendali Bank
mengenai kondisi dan status dari setiap aset yang akan diagunkan
tersebut.
Yang dimaksud dengan aset tidak sedang dijaminkan kepada pihak
lain meliputi: gadai, fiducia, atau hak tanggungan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14 …
- 9 -
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penilai independen adalah perusahaan penilai
yang :
a. tidak mempunyai keterkaitan dalam kepemilikan, kepengurusan
dan keuangan dengan Bank;
b. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan Kode Etik Penilai
Indonesia dan ketentuan-ketentuan lain yang ditetapkan
Dewan Penilai Indonesia; dan
oleh
c. memiliki izin usaha dari instansi berwenang untuk beroperasi
sebagai perusahaan penilai.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5) …
- 10 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21 …
- 11 -
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25 …
- 12 -
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 13 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud tentang Peraturan Bank Indonesia yang berlaku,
antara lain Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai tindak
lanjut pengawasan dan penetapan status Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Action plan paling sedikit memuat langkah-langkah Bank penerima
FPD untuk menyelesaikan permasalahan likuiditas dan rencana
pengembalian FPD.
Ayat (2) …
- 14 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35 …
- 15 -
Pasal 35
Yang dimaksud dengan pejabat eksekutif bank adalah pejabat yang
berpengaruh terhadap kebijakan operasional Bank dan bertanggungjawab
langsung kepada Direksi.
Pasal 36
Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4595
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/1/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> FASILITAS PEMBIAYAAN DARURAT </reg_title>
<set_date> 3 Januari 2006 </set_date>
<effective_date> 3 Januari 2006 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '24/UU/2002', '17/UU/2003', '1/UU/2004' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/9/PBI/2019
TENTANG
LAPORAN BANK UMUM TERINTEGRASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam pelaksanaan tugasnya, Bank Indonesia
memerlukan informasi yang disampaikan bank secara
lengkap, akurat, kini, utuh, dan tepat waktu;
b. bahwa informasi yang disampaikan bank sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, juga diperlukan oleh Otoritas
Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan sesuai
dengan fungsi, tugas, dan wewenangnya;
c. bahwa untuk mengurangi beban penyampaian laporan
bank serta meningkatkan kualitas data dan efektivitas
pelaporan, Bank Indonesia mengembangkan sistem
pelaporan terintegrasi dan berbasis metadata dengan
menjunjung tinggi prinsip kolaboratif, efisiensi, dan
konsistensi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Laporan Bank Umum
Terintegrasi;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
- 2 -
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN BANK
UMUM TERINTEGRASI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri, serta bank umum syariah dan unit usaha
syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perbankan syariah.
2. Pelapor adalah Bank yang menyampaikan laporan melalui
sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia.
3. Laporan Bank Umum Terintegrasi yang selanjutnya disebut
Laporan adalah informasi yang disusun dan disampaikan
oleh Pelapor kepada Bank Indonesia secara terintegrasi
dalam format dan definisi yang seragam sesuai dengan
metadata yang ditetapkan oleh otoritas.
4. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, tidak
termasuk hari yang ditetapkan Bank Indonesia untuk
melakukan kegiatan operasional terbatas.
- 3 -
BAB II
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PELAPOR
Pasal 2
(1) Pelapor wajib menyusun dan menyampaikan Laporan
kepada Bank Indonesia.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disusun dan disampaikan secara lengkap, akurat, kini,
utuh, dan tepat waktu.
Pasal 3
(1) Pelapor wajib menunjuk petugas dan penanggung jawab
Laporan.
(2) Penunjukan petugas dan penanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan perubahannya disampaikan
secara tertulis kepada Bank Indonesia.
(3) Penunjukan petugas dan penanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi dan/atau
menghilangkan tanggung jawab direksi Bank atau
pimpinan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses pendaftaran
petugas dan penanggung jawab diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
BAB III
PENYUSUNAN LAPORAN DAN
PENYAMPAIAN LAPORAN DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN
Bagian Kesatu
Penyusunan Laporan
Pasal 4
Penyusunan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
mengacu pada metadata yang ditetapkan oleh otoritas.
- 4 -
Pasal 5
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
terdiri atas 4 (empat) kelompok informasi yaitu:
a. kelompok informasi keuangan;
b. kelompok informasi risiko;
c. kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan
jasa keuangan; dan
d. kelompok informasi data pokok.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan
huruf d dilaporkan secara:
a.
individual per kantor cabang Pelapor;
b. gabungan seluruh kantor Pelapor; dan/atau
c.
konsolidasi bank dan perusahaan anak.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan
huruf c dilaporkan secara gabungan seluruh kantor
Pelapor.
Pasal 6
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan Laporan diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kedua
Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan
Pasal 7
(1) Penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) dilakukan oleh Pelapor yang memiliki kewajiban
penyampaian Laporan sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia.
(2) Penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan secara terpusat oleh Pelapor yang meliputi:
a. kantor pusat bank atau kantor koordinator yang
ditunjuk;
b. unit usaha syariah; dan
c. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri.
- 5 -
(3) Dalam hal Laporan belum dapat disampaikan oleh Pelapor
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Laporan
disampaikan oleh masing-masing kantor cabang Pelapor.
(4) Dalam hal Laporan disampaikan oleh masing-masing
kantor cabang Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), Pelapor wajib menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada Bank Indonesia disertai dengan rencana
tindak yang telah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 8
(1) Dalam hal terdapat kesalahan pada Laporan yang telah
disampaikan, Pelapor wajib menyampaikan koreksi
Laporan.
(2) Koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan atas dasar:
a.
inisiatif Pelapor;
b. hasil audit oleh akuntan publik; atau
c.
temuan Bank Indonesia, dan/atau otoritas lainnya.
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian Laporan
dan/atau koreksi Laporan diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
BAB IV
PERIODISASI LAPORAN
Pasal 10
Periode penyampaian untuk Laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 terdiri atas:
a. harian;
b. mingguan;
c. bulanan; dan
d. triwulanan.
- 6 -
Pasal 11
(1) Laporan yang disampaikan secara harian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 huruf a meliputi:
a. kelompok informasi keuangan;
b. kelompok informasi risiko; dan
c. kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan
jasa keuangan.
(2) Laporan yang disampaikan secara mingguan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 huruf b berupa kelompok
informasi risiko.
(3) Laporan yang disampaikan secara bulanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 huruf c meliputi:
a. kelompok informasi keuangan;
b. kelompok informasi risiko;
c. kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan
jasa keuangan; dan
d. kelompok informasi data pokok.
(4) Laporan yang disampaikan secara triwulanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 huruf d meliputi:
a. kelompok informasi keuangan;
b. kelompok informasi risiko; dan
c. kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan
jasa keuangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian kelompok
informasi untuk setiap periode penyampaian Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(4) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 12
Dalam hal terdapat perubahan informasi pada kelompok
informasi data pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) huruf d, Pelapor wajib menyampaikan perubahan tersebut
kepada Bank Indonesia.
- 7 -
BAB V
BATAS WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN
DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN
Pasal 13
Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan terdiri atas:
a. penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk
data akhir bulan Desember 2019 sampai dengan data akhir
bulan Agustus 2020; dan
b. penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sejak
data bulan September 2020.
Bagian Kesatu
Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan
untuk Data Akhir Bulan Desember 2019 sampai dengan Data
Akhir Bulan Agustus 2020
Pasal 14
(1) Pelapor harus menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan untuk data akhir bulan Desember 2019 sampai
dengan data akhir bulan Agustus 2020 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 huruf a dalam batas waktu yang
ditetapkan Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. batas waktu penyampaian Laporan secara harian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a yaitu
pukul 23.59 WIB, pada setiap hari kerja termasuk hari
yang ditetapkan Bank Indonesia untuk melakukan
kegiatan operasional terbatas;
b. batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi
Laporan secara mingguan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf b:
1.
tanggal 9, untuk data tanggal 24 sampai dengan
akhir bulan sebelumnya;
2. tanggal 16, untuk data tanggal 1 sampai dengan
tanggal 7;
- 8 -
3. tanggal 24, untuk data tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15; dan
4. tanggal 2 bulan berikutnya, untuk data tanggal
16 sampai dengan tanggal 23;
c. batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi
Laporan secara bulanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf c yaitu tanggal 20 bulan
berikutnya; dan
d. batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi
Laporan secara triwulanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf d yaitu tanggal 28 bulan
Januari, bulan April, dan bulan Juli.
(2) Dalam hal batas waktu penyampaian Laporan dan/atau
koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, dan huruf d jatuh pada hari Sabtu, hari
Minggu, hari libur nasional, dan/atau hari cuti bersama
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sehubungan dengan
perayaan hari raya keagamaan maka batas waktu
penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan yaitu Hari
Kerja berikutnya, kecuali ditetapkan lain oleh Bank
Indonesia.
(3) Penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a tidak berlaku dalam hal Pelapor tidak
beroperasi, dengan terlebih dahulu menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia.
Pasal 15
Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk data
akhir bulan Juni 2020 sampai dengan data akhir bulan Agustus
2020 berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan
dan/atau koreksi Laporan untuk 1 (satu) periode
penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf b, huruf c, dan huruf d dalam hal Laporan dan/atau
koreksi Laporan diterima oleh Bank Indonesia dalam
periode keterlambatan yaitu sampai dengan 2 (dua) hari
- 9 -
setelah batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d;
b. dalam hal batas akhir periode keterlambatan penyampaian
Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, atau
hari libur nasional maka batas akhir periode keterlambatan
penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan yaitu Hari
Kerja berikutnya, kecuali ditetapkan lain oleh Bank
Indonesia;
c. Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dalam
hal Bank Indonesia belum menerima Laporan sampai
dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan Pasal 14 ayat (1) huruf a;
d. Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan
Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a diberikan pemberitahuan tertulis; dan
e.
Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan
dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam
huruf c diberikan pemberitahuan tertulis.
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian Laporan
dan/atau koreksi Laporan untuk data akhir bulan Desember
2019 sampai dengan data akhir bulan Agustus 2020 diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kedua
Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan
sejak Data Bulan September 2020
Pasal 17
(1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan sejak data bulan September 2020 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 huruf b dalam batas waktu yang
ditetapkan Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. batas waktu penyampaian Laporan secara harian
- 10 -
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a:
1. pukul 10.30 WIB;
2. pukul 12.00 WIB;
3. pukul 18.00 WIB; dan
4. pukul 23.59 WIB,
pada setiap hari kerja termasuk hari yang ditetapkan
Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan
operasional terbatas;
b. batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi
Laporan secara mingguan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf b:
1.
tanggal 6, untuk data tanggal 24 sampai dengan
akhir bulan sebelumnya;
2. tanggal 13, untuk data tanggal 1 sampai dengan
tanggal 7;
3. tanggal 21, untuk data tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15; dan
4. tanggal 29, untuk data tanggal 16 sampai dengan
tanggal 23;
c. batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi
Laporan secara bulanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf c:
1.
tanggal 5 bulan berikutnya setelah berakhirnya
bulan Laporan yang bersangkutan untuk
kelompok informasi keuangan dan kelompok
informasi data pokok; dan
2. tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya
bulan Laporan yang bersangkutan untuk
kelompok informasi risiko serta kelompok
informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa
keuangan; dan
d. batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi
Laporan secara triwulanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf d:
1.
tanggal 10 bulan April, bulan Juli, bulan Oktober,
dan bulan Januari, untuk kelompok informasi
- 11 -
risiko dan kelompok informasi kegiatan sistem
pembayaran dan jasa keuangan; dan
2.
tanggal 23 bulan April, bulan Juli, bulan Oktober,
dan bulan Januari, untuk kelompok informasi
keuangan.
(2) Dalam hal batas waktu penyampaian Laporan dan/atau
koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, dan huruf d jatuh pada hari Sabtu, hari
Minggu, hari libur nasional, dan/atau hari cuti bersama
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sehubungan dengan
perayaan hari raya keagamaan maka batas waktu
penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan yaitu Hari
Kerja berikutnya, kecuali ditetapkan lain oleh Bank
Indonesia.
(3) Kewajiban penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a tidak berlaku dalam hal Pelapor tidak
beroperasi, dengan terlebih dahulu menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia.
Pasal 18
(1) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan
dan/atau koreksi Laporan untuk 1 (satu) periode
penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf b, huruf c, dan huruf d dalam hal Laporan dan/atau
koreksi Laporan diterima oleh Bank Indonesia dalam
periode keterlambatan yaitu sampai dengan 2 (dua) hari
setelah batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d.
(2) Dalam hal batas akhir periode keterlambatan penyampaian
Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, atau hari
libur nasional maka batas akhir periode keterlambatan
penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan yaitu Hari
Kerja berikutnya, kecuali ditetapkan lain oleh Bank
Indonesia.
- 12 -
Pasal 19
Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dalam hal
Bank Indonesia belum menerima Laporan sampai dengan batas
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a
dan Pasal 18.
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian Laporan
dan/atau koreksi Laporan sejak data bulan September 2020
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB VI
PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN
DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN
Pasal 21
Pelapor harus menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan secara online melalui sistem pelaporan terintegrasi
Bank Indonesia.
Pasal 22
(1) Dalam hal Pelapor:
a. mengalami gangguan teknis dalam menyampaikan
Laporan dan/atau koreksi Laporan; dan/atau
b.
tidak dapat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan yang disebabkan gangguan teknis dan/atau
gangguan lainnya pada sistem atau jaringan
telekomunikasi di Bank Indonesia,
yang terjadi pada batas waktu penyampaian Laporan
dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 maka Laporan dan/atau koreksi Laporan
disampaikan secara offline.
(2) Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara
offline sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan
dengan periode penyampaian Laporan secara harian
- 13 -
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a
disampaikan paling lambat:
1. pukul 10.45 WIB, untuk Laporan yang
disampaikan dengan batas waktu pukul 10.30
WIB;
2. pukul 14.00 WIB, untuk Laporan yang
disampaikan dengan batas waktu pukul 12.00
WIB;
3. pukul 20.00 WIB, untuk Laporan yang
disampaikan dengan batas waktu pukul 18.00
WIB; dan
4. pukul 10.00 WIB Hari Kerja berikutnya, untuk
Laporan yang disampaikan dengan batas waktu
pukul 23.59 WIB; dan
b. penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan
dengan periode penyampaian Laporan secara
mingguan, bulanan, dan triwulanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 huruf b, huruf c, dan huruf
d disampaikan pada Hari Kerja berikutnya setelah
batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(1) huruf b, huruf c, dan huruf d.
(3) Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara
offline sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan
surat pemberitahuan kepada Bank Indonesia yang
mewilayahi Pelapor.
(4) Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara
offline oleh Pelapor yang mengalami gangguan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus disertai
dengan bukti dan penjelasan mengenai gangguan teknis
tersebut.
(5) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis atau
melalui sarana lain kepada Pelapor mengenai terjadinya
gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian Laporan
dan/atau koreksi Laporan secara offline diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 14 -
Pasal 23
Dalam hal terjadi kerusakan pada Laporan dan/atau koreksi
Laporan yang diterima karena adanya gangguan pada sistem
database dan/atau jaringan komunikasi di Bank Indonesia
maka Bank Indonesia dapat meminta Pelapor untuk
menyampaikan ulang Laporan dan/atau koreksi Laporan.
Pasal 24
(1) Pelapor yang memiliki kewajiban penyampaian Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) namun tidak
memiliki data atau transaksi terkait pada periode Laporan,
tetap wajib menyampaikan Laporan dengan isian nihil.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian informasi
nihil diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 25
(1) Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan
dan/atau koreksi Laporan pada tanggal diterimanya
Laporan dan/atau koreksi Laporan oleh Bank Indonesia.
(2) Penerimaan Laporan dan/atau koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan
tanda terima penyampaian Laporan.
(3) Tanda terima penyampaian Laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam hal Laporan
dan/atau koreksi Laporan dinyatakan lolos validasi sistem
pelaporan terintegrasi Bank Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanda terima
penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 26
(1) Pelapor yang mengalami keadaan kahar sehingga
menyebabkan tidak tersedianya informasi, dikecualikan
dari kewajiban menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
- 15 -
(2) Pelapor yang mengalami keadaan kahar sehingga
menyebabkan terhambatnya penyampaian Laporan
dan/atau koreksi Laporan, dikecualikan dari kewajiban
menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan dalam
batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan
Pasal 18.
(3) Pelapor yang mengalami keadaan kahar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus segera
menyampaikan permohonan pengecualian secara tertulis
kepada Bank Indonesia dengan memberikan penjelasan
mengenai keadaan kahar yang dialami.
(4) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) berlaku dalam hal permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) telah disetujui oleh Bank Indonesia.
(5) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan setelah
Pelapor kembali melakukan kegiatan operasional secara
normal.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai keadaan kahar diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 27
(1) Bank Indonesia berwenang melakukan pengawasan
terhadap Laporan yang disampaikan oleh Pelapor melalui:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan langsung
kepada Pelapor; atau
b. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan bersama
Otoritas Jasa Keuangan terhadap Pelapor.
- 16 -
BAB VIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 28
(1) Pelapor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), Pasal 8 ayat (1),
Pasal 17 ayat (1), dan/atau Pasal 24 ayat (1) dikenai sanksi
administratif berupa:
a. teguran tertulis; dan/atau
b. kewajiban membayar.
(2) Pelapor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 7 ayat (4), dan/atau Pasal 12
dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Pasal 29
Bank Indonesia menginformasikan pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 30
(1) Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dikenai
sanksi kewajiban membayar untuk satu periode
penyampaian sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)
per Hari Kerja untuk setiap kelompok informasi.
(2) Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dikenai
sanksi kewajiban membayar untuk satu periode
penyampaian sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah)
per Hari Kerja untuk setiap kelompok informasi.
(3) Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dikenai sanksi
kewajiban membayar untuk satu periode penyampaian
sebesar:
a. Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) per kelompok
informasi untuk Laporan yang disampaikan secara
harian;
- 17 -
b. Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) per
kelompok informasi untuk Laporan yang disampaikan
secara mingguan;
c. Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) per
kelompok informasi untuk Laporan yang disampaikan
secara bulanan; dan/atau
d. Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) per
kelompok informasi untuk Laporan yang disampaikan
secara triwulanan.
(4) Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan di luar batas
periode keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 atas inisiatif Pelapor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2) huruf a, dikenai sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)
per baris dan paling banyak:
a. Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per kelompok
informasi yang disampaikan secara harian; dan/atau
b. Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per kelompok
informasi yang disampaikan secara mingguan,
bulanan, atau triwulanan.
(5) Pengenaan sanksi kewajiban membayar atas koreksi
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk lebih
dari satu periode Laporan, diberikan paling banyak 12 (dua
belas) periode Laporan sejak periode Laporan terakhir yang
dikoreksi.
(6) Dalam hal berdasarkan pengawasan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan/atau informasi
dari otoritas lainnya ditemukan kesalahan dalam Laporan
yang telah disampaikan oleh Pelapor maka Pelapor dikenai
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah) per baris dan paling banyak:
a. Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) per kelompok
informasi yang disampaikan secara harian; dan/atau
b. Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per kelompok
informasi yang disampaikan secara mingguan,
bulanan, atau triwulanan.
- 18 -
(7) Pengenaan sanksi kewajiban membayar atas kesalahan
dalam Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) untuk
lebih dari satu periode Laporan, diberikan paling banyak 12
(dua belas) periode penyampaian Laporan sejak periode
Laporan terakhir ditemukannya kesalahan.
Pasal 31
(1) Ketentuan pengenaan sanksi kewajiban membayar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 diberlakukan
kepada setiap kantor cabang Pelapor dalam hal Laporan
merupakan laporan individual per kantor cabang Pelapor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a.
(2) Ketentuan pengenaan sanksi kewajiban membayar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4) dan ayat (6)
diberlakukan kepada setiap kantor cabang Pelapor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak:
a. Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah), untuk
setiap Pelapor yang memiliki kantor cabang paling
banyak 30 (tiga puluh) kantor;
b. Rp125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta
rupiah), untuk setiap Pelapor yang memiliki kantor
cabang berjumlah 31 (tiga puluh satu) sampai dengan
100 (seratus) kantor; dan
c. Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), untuk
setiap Pelapor yang memiliki kantor cabang paling
sedikit 101 (seratus satu) kantor.
Pasal 32
(1) Pelapor yang telah dikenai sanksi kewajiban membayar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) tetap
diwajibkan untuk menyampaikan Laporan.
(2) Pelapor yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa
teguran tertulis.
- 19 -
Pasal 33
Dalam hal terdapat kesalahan informasi pada Laporan yang
telah disampaikan sehingga berdampak pada kesalahan
informasi lain maka kesalahan informasi lain tersebut tidak
dikenai sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (4) dan ayat (6).
Pasal 34
Ketentuan pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 dikecualikan bagi:
a. Pelapor yang melakukan koreksi Laporan atas dasar hasil
audit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2) huruf b;
b. Pelapor yang mengalami keadaan kahar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26; dan
c.
Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan dan/atau
koreksi Laporan yang disebabkan gangguan teknis
dan/atau gangguan lainnya pada sistem atau jaringan
telekomunikasi di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b.
Pasal 35
Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 dan Pasal 31 dilaksanakan dengan mendebit
rekening giro rupiah Pelapor di Bank Indonesia.
Pasal 36
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB IX
KORESPONDENSI
Pasal 37
(1) Penyampaian informasi dan/atau permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 7 ayat
(4), Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 26 ayat (3) ditujukan kepada
- 20 -
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Menara
Sjafruddin Prawiranegara, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2,
Jakarta 10350.
(2) Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara
offline sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ditujukan
kepada:
a. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan,
Menara Sjafruddin Prawiranegara, Jalan M.H.
Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350, bagi Pelapor yang
berkedudukan di wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia; atau
b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi
Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah
sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
(3) Dalam hal terdapat perubahan korespondensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia
memberitahukan perubahan tersebut kepada Pelapor
melalui surat atau sarana lain.
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 38
(1) Pelapor yang akan melakukan penggabungan, peleburan,
pengambilalihan, pemisahan, dan/atau konversi bank
umum konvensional menjadi bank umum syariah, tetap
wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian Laporan
dan/atau koreksi Laporan bagi Pelapor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
Pasal 39
(1) Bank Indonesia dapat menyediakan hasil olahan Laporan
kepada pihak lain dalam pelaksanaan ketentuan peraturan
- 21 -
perundang-undangan, perjanjian, dan/atau nota
kesepahaman dengan Bank Indonesia.
(2) Penyediaan hasil olahan Laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi kelompok informasi keuangan dan
kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa
keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme permintaan
dan cakupan hasil olahan Laporan diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 40
Pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Pelapor
tetap diwajibkan untuk menyampaikan laporan sampai dengan
data akhir bulan Agustus 2020 sebagaimana diatur dalam:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/12/PBI/2006 tentang
Laporan Berkala Bank Umum sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/19/PBI/2011
tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/12/PBI/2006 tentang Laporan Berkala Bank Umum;
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/40/PBI/2008 tentang
Laporan Bulanan Bank Umum sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 12/2/PBI/2010 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/40/PBI/2008 tentang
Laporan Bulanan Bank Umum;
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/8/PBI/2011 tentang
Laporan Harian Bank Umum;
d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/12/PBI/2012 tentang
Laporan Kantor Pusat Bank Umum; dan
e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/4/PBI/2013 tentang
Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
- 22 -
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Semua istilah Laporan Harian Bank Umum, Laporan Berkala
Bank Umum, Laporan Berkala Bank Umum Syariah, Laporan
Bulanan Bank Umum, Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem
Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah, dan Laporan Kantor Pusat Bank Umum yang sudah ada
dalam ketentuan Bank Indonesia sebelum Peraturan Bank
Indonesia ini berlaku, harus dimaknai sebagai Laporan Bank
Umum Terintegrasi sejak data bulan September 2020.
Pasal 42
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku,
ketentuan mengenai penyusunan dan penyampaian:
a. proyeksi arus kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (4) huruf f Peraturan Bank Indonesia Nomor
13/8/PBI/2011 tentang Laporan Harian Bank Umum;
b. batas maksimum pemberian kredit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (3) huruf e Peraturan Bank Indonesia
Nomor 13/19/PBI/2011 tentang Perubahan atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 8/12/PBI/2006 tentang Laporan
Berkala Bank Umum;
c. suku bunga dasar kredit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (3) huruf k Peraturan Bank Indonesia Nomor
13/19/PBI/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/12/PBI/2006 tentang Laporan Berkala
Bank Umum; dan
d. laporan keuangan publikasi bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf l Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/12/PBI/2012 tentang Laporan Kantor Pusat Bank
Umum,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- 23 -
Pasal 43
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku,
ketentuan mengenai penyusunan dan penyampaian:
a. kewajiban penyediaan modal minimum dengan
memperhitungkan risiko pasar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (3) huruf g Peraturan Bank Indonesia
Nomor 13/19/PBI/2011 tentang Perubahan atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 8/12/PBI/2006 tentang Laporan
Berkala Bank Umum; dan
b. aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf j
Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/19/PBI/2011 tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/12/PBI/2006 tentang Laporan Berkala Bank Umum,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak data bulan
September 2019.
Pasal 44
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku,
ketentuan mengenai penyusunan dan penyampaian
restrukturisasi kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (3) huruf f Peraturan Bank Indonesia Nomor
13/19/PBI/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/12/PBI/2006 tentang Laporan Berkala
Bank Umum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak data
bulan Januari 2020.
Pasal 45
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku,
ketentuan mengenai penyusunan dan penyampaian:
a. laporan pejabat eksekutif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf j Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/12/PBI/2012 tentang Laporan Kantor Pusat Bank
Umum, untuk bank umum konvensional; dan
b.
tenaga kerja perbankan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf n Peraturan Bank Indonesia Nomor
- 24 -
14/12/PBI/2012 tentang Laporan Kantor Pusat Bank
Umum,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak data bulan Juni
2020.
Pasal 46
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/12/PBI/2006 tentang
Laporan Berkala Bank Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 57, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4629) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
13/19/PBI/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/12/PBI/2006 tentang Laporan Berkala
Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5240);
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/40/PBI/2008 tentang
Laporan Bulanan Bank Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 205, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4950) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 12/2/PBI/2010 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/40/PBI/2008 tentang Laporan Bulanan Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5113);
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/8/PBI/2011 tentang
Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5194);
d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/12/PBI/2012 tentang
Laporan Kantor Pusat Bank Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 190, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5349); dan
- 25 -
e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/4/PBI/2013 tentang
Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 141,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5437),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak data bulan
September 2020.
Pasal 47
Ketentuan mengenai pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 mulai berlaku sejak
kewajiban penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
Pasal 48
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 26 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Agustus 2019
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Agustus 2019
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 153
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/9/PBI/2019
TENTANG
LAPORAN BANK UMUM TERINTEGRASI
I. UMUM
Sehubungan dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, menetapkan dan
melaksanakan kebijakan sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah,
serta menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang stabilitas sistem
keuangan termasuk makroprudensial untuk mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah, diperlukan informasi yang lengkap, akurat, kini,
utuh, dan tepat waktu.
Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan
memerlukan informasi serupa yang disampaikan Bank. Selanjutnya Bank
Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan
mengembangkan sistem pelaporan yang terintegrasi dan berbasis metadata
dengan prinsip kolaboratif, efisiensi, dan konsistensi. Bank Indonesia
memandang perlu untuk mengintegrasikan berbagai pelaporan yang
disampaikan Bank kepada Bank Indonesia melalui Laporan Bank Umum
Terintegrasi.
Pelaporan terintegrasi tersebut dibangun dengan tujuan
meningkatkan kualitas data, efektivitas pelaporan, dan mengurangi beban
penyampaian Laporan Bank kepada Bank Indonesia, Otoritas Jasa
Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan.
Sejalan dengan pengembangan pelaporan terintegrasi oleh Bank
Indonesia, dipandang perlu untuk menerbitkan Peraturan Bank Indonesia
- 2 -
tentang Laporan Bank Umum Terintegrasi yang antara lain mengatur
cakupan Laporan, periodisasi, batas waktu penyampaian Laporan, dan tata
cara penyampaian Laporan melalui sistem pelaporan terintegrasi Bank
Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “petugas dan penanggung jawab” adalah
petugas dan penanggung jawab di Bank yang diberi wewenang
dan tanggung jawab untuk menyusun, melakukan verifikasi, dan
menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 4
Yang dimaksud dengan “metadata” adalah penjelasan mengenai
informasi yang dilaporkan Pelapor antara lain definisi, aturan validasi,
format, dan ketentuan acuan.
Yang dimaksud dengan “otoritas” adalah Bank Indonesia, Otoritas
Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan.
- 3 -
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Kelompok informasi keuangan antara lain memuat laporan
posisi keuangan, rincian laporan posisi keuangan, transaksi
di pasar uang, dan transaksi di pasar valuta asing.
Huruf b
Kelompok informasi risiko antara lain memuat posisi devisa
neto, proyeksi arus kas, publikasi negatif, dan dana pihak
ketiga untuk giro wajib minimum (GWM).
Huruf c
Kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa
keuangan antara lain memuat alat pembayaran dengan
menggunakan kartu (APMK), uang elektronik, dan suku
bunga kredit.
Huruf d
Kelompok informasi data pokok antara lain memuat data
pokok Pelapor, data pihak lawan, dan agunan.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “individual per kantor cabang
Pelapor” adalah Laporan dari setiap kantor cabang Pelapor
termasuk kantor pusat yang melakukan kegiatan
operasional, unit usaha syariah, dan kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Rencana tindak memuat langkah Bank dalam persiapan dan
target implementasi penyampaian Laporan secara terpusat.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Hasil audit akuntan publik mencakup audit atas informasi
keuangan historis atau penelaahan terbatas, baik untuk
periode tahunan maupun interim.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “otoritas lainnya” adalah Otoritas
Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Perubahan pada kelompok informasi data pokok antara lain jumlah
kantor cabang, perubahan alamat kantor, dan perubahan status.
- 5 -
Pasal 13
Huruf a
Yang dimaksud dengan “data akhir bulan Desember 2019”
adalah:
1. untuk Laporan dan/atau koreksi Laporan yang disampaikan
secara harian yaitu data tanggal 31 Desember 2019;
2. untuk Laporan dan/atau koreksi Laporan yang disampaikan
secara mingguan yaitu data tanggal 24 Desember 2019
sampai dengan tanggal 31 Desember 2019;
3. untuk Laporan dan/atau koreksi Laporan yang disampaikan
secara bulanan yaitu data Desember 2019; dan
4. untuk Laporan dan/atau koreksi Laporan yang disampaikan
secara triwulanan yaitu data triwulan keempat 2019.
Yang dimaksud dengan “data akhir bulan Agustus 2020” adalah:
1. untuk Laporan dan/atau koreksi Laporan yang disampaikan
secara harian yaitu data tanggal 31 Agustus 2020;
2. untuk Laporan dan/atau koreksi Laporan yang disampaikan
secara mingguan yaitu data tanggal 24 Agustus 2020 sampai
dengan tanggal 31 Agustus 2020; dan
3. untuk Laporan dan/atau koreksi Laporan yang disampaikan
secara bulanan yaitu data Agustus 2020;
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Pelapor tidak beroperasi” antara lain
apabila Pelapor menjalankan hari libur di luar hari libur nasional
yang ditetapkan oleh Pemerintah.
- 6 -
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Contoh:
Bank C menyampaikan Laporan kelompok informasi risiko untuk
data tanggal 1 Juli 2020 sampai dengan tanggal 7 Juli 2020 pada
hari Jumat tanggal 17 Juli 2020. Batas waktu penyampaian
Laporan tersebut adalah tanggal 16 Juli 2020. Bank C dinyatakan
terlambat menyampaikan Laporan kelompok informasi risiko
untuk data tanggal 1 Juli 2020 sampai dengan tanggal 7 Juli 2020
selama 1 (satu) Hari Kerja, sehingga Bank C diberikan
pemberitahuan tertulis.
Huruf e
Contoh:
Batas waktu penyampaian Laporan pada kelompok informasi
risiko data tanggal 8 Agustus 2020 sampai dengan tanggal 15
Agustus 2020 adalah tanggal 24 Agustus 2020.
Sampai dengan tanggal 26 Agustus 2020, Bank L tidak
menyampaikan Laporan sehingga dinyatakan tidak
menyampaikan Laporan dan diberikan pemberitahuan tertulis.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal tahun penyampaian Laporan dan/atau koreksi
Laporan secara mingguan bukan merupakan tahun kabisat
maka batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi
- 7 -
Laporan data tanggal 16 Februari sampai dengan tanggal 23
Februari yaitu tanggal 28 Februari.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Laporan dan/atau koreksi Laporan data bulan November 2020
untuk kelompok informasi keuangan disampaikan paling lambat
pada tanggal 5 Desember 2020. Mengingat tanggal 5 Desember
2020 jatuh pada hari Sabtu maka batas akhir penyampaian
Laporan dan/atau koreksi Laporan menjadi Hari Kerja
berikutnya, yaitu hari Senin tanggal 7 Desember 2020.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Pelapor tidak beroperasi” antara lain
apabila Pelapor menjalankan hari libur di luar hari libur nasional
yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 18
Ayat (1)
Contoh:
Laporan dan/atau koreksi Laporan data tanggal 1 Oktober 2020
sampai dengan tanggal 7 Oktober 2020 untuk kelompok informasi
risiko dengan batas waktu penyampaian pada tanggal 13 Oktober
2020 dinyatakan terlambat apabila disampaikan sejak tanggal 14
Oktober 2020 sampai dengan tanggal 15 Oktober 2020.
Ayat (2)
Contoh:
Batas akhir periode keterlambatan penyampaian Laporan
dan/atau koreksi Laporan pada kelompok informasi keuangan
periode data bulan Oktober 2020 yaitu tanggal 7 November 2020.
Karena tanggal 7 November 2020 jatuh pada hari Sabtu maka
batas akhir periode keterlambatan penyampaian Laporan
dan/atau koreksi Laporan menjadi Hari Kerja berikutnya, yaitu
Senin tanggal 9 November 2020.
- 8 -
Pasal 19
Contoh:
Batas waktu penyampaian Laporan kelompok informasi risiko periode
data triwulan keempat 2021 yaitu tanggal 10 Januari 2022 dan batas
akhir periode keterlambatan Laporan tersebut yaitu tanggal 12
Januari 2022. Dalam hal Laporan tersebut belum diterima oleh Bank
Indonesia sampai dengan tanggal 12 Januari 2022 maka Pelapor
dinyatakan tidak menyampaikan Laporan.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “offline” adalah penyampaian Laporan ke
Bank Indonesia dengan menggunakan media antara lain compact
disk (CD) atau flash disk yang disampaikan pada jam kerja Bank
Indonesia yang mewilayahi Pelapor.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah
gangguan yang terjadi di Pelapor antara lain gangguan
jaringan data atau komunikasi dengan Bank Indonesia
namun tidak termasuk gangguan pada sistem
penyusunan Laporan di Pelapor.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”gangguan teknis dan/atau
gangguan lainnya pada sistem atau jaringan
telekomunikasi di Bank Indonesia” adalah gangguan
yang menyebabkan Bank Indonesia tidak dapat
menerima Laporan dan/atau koreksi Laporan yang
disampaikan secara online dari Pelapor antara lain
karena gangguan pada jaringan telekomunikasi
dan/atau penyebab lainnya.
- 9 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud “Laporan dengan isian nihil” adalah format
Laporan yang memuat paling sedikit informasi tentang sandi
Bank, tanggal Laporan, dan nama informasi.
Contoh:
Pelapor tidak memiliki transaksi valuta asing pada tanggal 13
Februari 2020 namun Pelapor tetap wajib menyampaikan isian
nihil untuk Laporan tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tanda terima penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan
yang disampaikan oleh Pelapor secara online atau offline dapat
diakses oleh Pelapor melalui sistem pelaporan terintegrasi Bank
Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 10 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan kahar” adalah keadaan yang
secara nyata berdampak tidak berfungsinya kegiatan operasional
Pelapor dan menyebabkan Pelapor tidak dapat menyusun dan
menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan, antara lain
kebakaran, kerusuhan massa, terorisme, bom, perang, serta
bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan
oleh pejabat instansi yang berwenang dari daerah setempat atau
pernyataan dari instansi yang berwenang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyampaian permohonan pengecualian secara tertulis mengenai
keadaan kahar tersebut, dapat dilakukan baik oleh Pelapor
maupun kantor lainnya yang ditunjuk.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Pengawasan secara tidak langsung antara lain dilakukan
melalui pemantauan, penelitian, analisis, dan evaluasi atas
Laporan yang disampaikan oleh Pelapor kepada Bank
Indonesia dan/atau informasi lain yang diperoleh Bank
Indonesia.
- 11 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pemeriksaan” adalah pengawasan
langsung yang dilakukan dengan cara melakukan
pemeriksaan kepada Pelapor.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Informasi pengenaan sanksi antara lain disampaikan melalui surat
atau media lainnya.
Pasal 30
Ayat (1)
Contoh:
Laporan kelompok informasi risiko untuk data tanggal 1 Oktober
2020 sampai dengan tanggal 7 Oktober 2020 wajib disampaikan
paling lambat hari Selasa tanggal 13 Oktober 2020. Bank C
menyampaikan Laporan tersebut pada hari Rabu tanggal 14
Oktober 2020. Oleh karena itu, Bank C dinyatakan terlambat
menyampaikan Laporan kelompok informasi risiko untuk data
tanggal 1 Oktober 2020 sampai dengan tanggal 7 Oktober 2020
selama 1 (satu) Hari Kerja sehingga dikenai sanksi kewajiban
membayar sebesar 1 (satu) Hari Kerja x Rp1.000.000,00 =
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Ayat (2)
Contoh:
Koreksi Laporan kelompok informasi risiko untuk data bulan
Laporan November 2020 seharusnya disampaikan paling lambat
hari Selasa tanggal 15 Desember 2020. Bank Y menyampaikan
koreksi Laporan tersebut pada hari Rabu tanggal 16 Desember
2020. Oleh karena itu, Bank Y dinyatakan terlambat
menyampaikan koreksi Laporan kelompok informasi risiko
selama 1 (satu) Hari Kerja sehingga dikenai sanksi kewajiban
- 12 -
membayar sebesar 1 (satu) Hari Kerja x Rp100.000,00 =
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
Ayat (3)
Contoh:
Bank H tidak menyampaikan Laporan pada kelompok informasi
risiko untuk data tanggal 15 Oktober 2020 sampai dengan pukul
23.59 WIB. Oleh karena itu, Bank H dinyatakan tidak
menyampaikan Laporan sehingga dikenai sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) untuk
kelompok informasi risiko periode penyampaian Laporan tanggal
15 Oktober 2020.
Ayat (4)
Contoh 1:
Bank S menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan pada
kelompok informasi keuangan sebanyak 7 (tujuh) baris untuk
data bulan Oktober 2020 pada hari Rabu tanggal 16 Desember
2020, sehingga Bank S dikenai sanksi kewajiban membayar
sebesar 7 (tujuh) baris x Rp50.000,00 = Rp350.000,00 (tiga ratus
lima puluh ribu rupiah).
Contoh 2:
Bank S menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan pada
kelompok informasi keuangan sebanyak 110 (seratus sepuluh)
baris untuk data bulan Oktober 2020 pada hari Rabu tanggal 16
Desember 2020. Berdasarkan hal tersebut, Bank S dikenai sanksi
kewajiban membayar sebesar 110 (seratus sepuluh) baris x
Rp50.000,00 = Rp5.500.000,00 (lima juta lima ratus ribu rupiah),
namun Bank S hanya dikenai sanksi kewajiban membayar paling
banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Ayat (5)
Contoh:
Bank Q menyampaikan koreksi Laporan pada bulan Desember
2022 untuk salah satu kantor cabangnya atas kesalahan isian
Laporan kelompok informasi keuangan sebanyak 14 (empat belas)
baris untuk data bulan Oktober 2020 sampai dengan bulan
Oktober 2022 (24 periode penyampaian Laporan). Atas kesalahan
tersebut, Bank Q seharusnya dikenai sanksi kewajiban membayar
sebesar 14 (empat belas) baris x Rp50.000,00 x 24 (dua puluh
- 13 -
empat) periode = Rp16.800.000,00 (enam belas juta delapan ratus
ribu rupiah), namun Bank Q hanya dikenai sanksi kewajiban
membayar paling banyak sebesar 12 (dua belas) periode
penyampaian Laporan yaitu sebesar 14 (empat belas) baris x
Rp50.000,00 x 12 (dua belas) periode = Rp8.400.000,00 (delapan
juta empat ratus ribu rupiah).
Ayat (6)
Contoh 1:
Berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia, terdapat
kesalahan dalam Laporan yang telah disampaikan oleh Bank U
pada kelompok informasi keuangan sebanyak 7 (tujuh) baris
untuk data bulan November 2020, sehingga Bank U dikenai
sanksi kewajiban membayar sebesar 7 (tujuh) baris x
Rp100.000,00 = Rp700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah).
Contoh 2:
Berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia, terdapat
kesalahan Laporan yang telah disampaikan oleh Bank V pada
kelompok informasi keuangan sebanyak 110 (seratus sepuluh)
baris untuk data bulan November 2020. Bank V seharusnya
dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar 110 (seratus
sepuluh) baris x Rp100.000,00 = Rp11.000.000,00 (sebelas juta
rupiah), namun Bank V hanya dikenai sanksi kewajiban
membayar paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Ayat (7)
Contoh:
Berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia pada bulan
Desember 2022, terdapat kesalahan Laporan yang telah
disampaikan oleh salah satu kantor cabang Bank R pada
kelompok informasi keuangan sebanyak 10 (sepuluh) baris untuk
data bulan Oktober 2020 sampai dengan bulan Oktober 2022 (24
periode penyampaian Laporan). Atas kesalahan tersebut, Bank R
seharusnya dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar 10
(sepuluh) baris x Rp100.000,00 x 24 (dua puluh empat) periode =
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah), namun Bank R
hanya dikenai sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar
12 (dua belas) periode penyampaian Laporan yaitu sebesar 10
- 14 -
(sepuluh) baris x Rp100.000,00 x 12 (dua belas) periode =
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 31
Ayat (1)
Contoh:
Bank P yang memiliki 30 (tiga puluh) kantor cabang,
menyampaikan Laporan kelompok informasi keuangan untuk
data bulan Desember 2020 dengan rincian sebagai berikut:
a. 20 (dua puluh) kantor cabang menyampaikan Laporan pada
hari Senin tanggal 4 Januari 2021; dan
b. 10 (sepuluh) kantor cabang lainnya menyampaikan Laporan
pada hari Rabu tanggal 6 Januari 2021.
10 (sepuluh) kantor cabang dari Bank P dinyatakan terlambat
menyampaikan Laporan selama 1 (satu) Hari Kerja karena telah
melewati batas waktu penyampaian Laporan yaitu hari Selasa
tanggal 5 Januari 2021. Atas keterlambatan tersebut, Bank P
dikenai sanksi kewajiban membayar untuk 10 (sepuluh) kantor
cabang sebesar 1 (satu) Hari Kerja x Rp1.000.000,00 x 10
(sepuluh) kantor cabang = Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah).
Ayat (2)
Huruf a
Contoh:
Bank N yang memiliki 30 (tiga puluh) kantor cabang
menyampaikan koreksi Laporan pada kelompok informasi
keuangan atas inisiatif Bank N sebanyak 100 (seratus) baris
per kantor cabang. Atas koreksi tersebut, Bank N seharusnya
dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar 100 (seratus)
baris x Rp50.000,00 x 30 (tiga puluh) kantor cabang =
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), namun
Bank N hanya dikenai sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) karena memenuhi
kriteria sebagai Pelapor yang memiliki kantor cabang paling
banyak 30 (tiga puluh) kantor.
Huruf b
Cukup jelas.
- 15 -
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Contoh:
Terdapat kesalahan Laporan pada kelompok informasi keuangan
bulanan yang telah disampaikan Bank E sehingga berdampak pada
kesalahan kelompok informasi keuangan triwulanan. Atas kesalahan
tersebut, kelompok informasi keuangan triwulanan tidak dikenai
sanksi.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hasil olahan” adalah hasil yang diperoleh
dari hasil pengolahan agregat atas informasi yang dilaporkan oleh
Pelapor.
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak selain Pelapor,
yang dapat memperoleh hasil olahan Laporan sesuai dengan
- 16 -
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6377
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 21/9/PBI/2019 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN BANK UMUM TERINTEGRASI </reg_title>
<set_date> 30 Agustus 2019 </set_date>
<effective_date> 30 Agustus 2019 </effective_date>
<issued_date> 30 Agustus 2019 </issued_date>
<replaced_reg> '12/2/PBI/2010', '15/4/PBI/2013', '13/19/PBI/2011 | Pasal 2 Ayat (3) huruf g, Pasal 2 Ayat (3) huruf j', '13/8/PBI/2011 | Pasal 2 Ayat (4) huruf f', '14/12/PBI/2012 | Pasal 4 huruf l', '10/40/PBI/2008', '8/12/PBI/2006 | Pasal 2 Ayat (3) huruf e, Pasal 2 Ayat (3) huruf k' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 2/ 7 /PBI/2000
TENTANG
GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
BAGI BANK UMUM YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa untuk mendukung kestabilan moneter dan prinsip
kehati-hatian perbankan, bank umum perlu memelihara giro
wajib minimum;
b. bahwa dengan telah berkembangnya sistem perbankan
berdasarkan prinsip syariah, kewajiban pemeliharaan giro
wajib minimum perlu diberlakukan pula bagi bank umum
yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
c. bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk
menetapkan ketentuan mengenai giro wajib minimum dalam
rupiah dan valuta asing bagi bank umum yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam suatu
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Mengingat …
-2-
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG GIRO WAJIB
MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI
BANK UMUM YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah, termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang bank asing yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
berdasarkan …
2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh surat penunjukan dari Bank
Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing
-3-
dan atau melakukan transaksi perbankan dengan pihak-pihak di luar negeri;
3. Unit Usaha Syariah adalah unit kerja di kantor pusat Bank yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah;
4. Dana Pihak Ketiga Bank yang untuk selanjutnya disebut DPK Bank, adalah
kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam rupiah dan valuta
asing;
5. Giro Wajib Minimum (statutory reserve), adalah simpanan minimum Bank
dalam bentuk giro pada Bank Indonesia, yang besarnya ditetapkan oleh Bank
Indonesia;
6. Saldo Giro Negatif adalah saldo rekening rupiah Bank di Bank Indonesia yang
menunjukkan angka negatif;
7. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang untuk selanjutnya
disebut PUAS adalah kegiatan investasi jangka pendek dalam rupiah antar
peserta pasar berdasarkan prinsip mudharabah;
8. Tingkat Indikasi Imbalan PUAS adalah rata-rata tertimbang tingkat indikasi
imbalan sertifikat investasi mudharabah antarbank yang terjadi di PUAS;
9. Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank yang untuk selanjutnya disebut
Sertifikat IMA adalah sertifikat yang digunakan sebagai sarana untuk
mendapatkan dana dengan prinsip mudharabah;
10. Pusat …
10. Pusat Informasi Pasar Uang yang untuk selanjutnya disebut PIPU adalah
sistem otomasi yang menyediakan informasi pasar uang yang diatur oleh Bank
Indonesia.
Pasal 2
-4-
(1) Bank wajib memelihara Giro Wajib Minimum dalam rupiah.
(2) Dalam hal Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berstatus sebagai Bank
Devisa maka selain wajib memelihara Giro Wajib Minimum dalam rupiah
wajib pula memelihara Giro Wajib Minimum dalam valuta asing.
Pasal 3
(1) Giro Wajib Minimum dalam rupiah ditetapkan sebesar 5% (lima perseratus)
dari DPK Bank dalam rupiah.
(2) Giro Wajib Minimum dalam valuta asing ditetapkan sebesar 3% (tiga
perseratus) dari DPK Bank dalam valuta asing.
(3) Pemenuhan persentase Giro Wajib Minimum sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) dilakukan secara harian pada saat Bank Indonesia
menutup sistem akunting.
Pasal 4 …
Pasal 4
Perubahan pengaturan mengenai persentase Giro Wajib Minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB II
-5-
REKENING GIRO BANK PADA BANK INDONESIA
Pasal 5
Bank hanya dapat memelihara 1 (satu) rekening giro dalam rupiah di kantor Bank
Indonesia setempat.
Pasal 6
(1) Dalam hal Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berstatus sebagai Bank
Devisa maka selain wajib memelihara rekening giro dalam rupiah wajib pula
memelihara 1 (satu) rekening giro dalam valuta asing di kantor pusat Bank
Indonesia.
(2) Rekening giro dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dalam valuta dollar Amerika Serikat.
BAB III …
BAB III
TATA CARA PERHITUNGAN GIRO WAJIB MINIMUM
Pasal 7
(1) Giro Wajib Minimum dihitung dengan membandingkan jumlah saldo giro dari
seluruh kantor Bank yang tercatat pada Bank Indonesia setiap hari dalam 1
(satu) masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam 1 (satu)
masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya.
-6-
(2) Perhitungan Giro Wajib Minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berlaku masing-masing untuk Giro Wajib Minimum dalam rupiah dan Giro
Wajib Minimum dalam valuta asing.
Pasal 8
Saldo giro Bank pada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1) terdiri dari:
a. jumlah saldo giro rupiah seluruh kantor Bank pada Bank Indonesia;
b. saldo giro valuta asing Bank pada kantor pusat Bank Indonesia.
.
Pasal 9
DPK Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) terdiri dari:
a. jumlah DPK Bank dalam rupiah pada seluruh kantor Bank di Indonesia;
b. jumlah DPK Bank dalam valuta asing pada seluruh kantor Bank di Indonesia.
Pasal 10
Pasal 10 …
(1) DPK Bank dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a
meliputi kewajiban kepada pihak ketiga bukan bank, yang terdiri dari giro,
tabungan, simpanan berjangka, dan kewajiban lainnya.
(2) DPK Bank dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b
meliputi kewajiban dalam valuta asing kepada pihak ketiga termasuk bank dan
Bank Indonesia, yang terdiri dari giro, simpanan berjangka, dan kewajiban
lainnya.
Pasal 11
-7-
Perubahan pengaturan mengenai tata cara perhitungan Giro Wajib Minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10 ditetapkan
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 12
(1) Bank wajib menyampaikan laporan secara berkala dan benar kepada Bank
Indonesia mengenai DPK Bank serta pos-pos aktiva dan pasiva dalam rupiah
maupun valuta asing.
(2) Tata cara mengenai penyusunan dan penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia mengenai
pelaporan bank.
BAB V …
BAB V
SANKSI
Pasal 13
Bank dinyatakan melanggar Giro Wajib Minimum apabila saldo rekening giro
harian Bank pada Bank Indonesia lebih kecil daripada Giro Wajib Minimum yang
seharusnya dipelihara.
Pasal 14
(1) Dalam hal terjadi pelanggaran Giro Wajib Minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 pada rekening giro rupiah, dan rekening giro rupiah dimaksud
-8-
bersaldo positif, maka Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
125% (seratus dua puluh lima perseratus) dari Tingkat Indikasi Imbalan PUAS
terhadap kekurangan Giro Wajib Minimum, untuk setiap hari pelanggaran.
(2) Dalam hal terjadi pelanggaran Giro Wajib Minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 pada rekening giro rupiah, dan rekening giro rupiah dimaksud
bersaldo negatif, maka Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar:
a. sebesar 125% (seratus dua puluh lima perseratus) dari Tingkat Indikasi
Imbalan PUAS terhadap Giro Wajib Minimum yang wajib dipelihara;
ditambah dengan
b. sebesar 150% (seratus lima puluh perseratus) dari Tingkat Indikasi
Imbalan PUAS terhadap saldo negatif,
untuk setiap hari pelanggaran.
Pasal 15…
Pasal 15
Dalam hal data mengenai Tingkat Indikasi Imbalan PUAS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 tidak tersedia, pengenaan sanksi dihitung berdasarkan rata-rata
tingkat imbalan deposito investasi mudharabah sebelum didistribusikan pada
bulan sebelumnya dari seluruh Bank.
Pasal 16
(1) Dalam hal terjadi pelanggaran Giro Wajib Minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 pada rekening giro valuta asing maka Bank dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar 0,04% terhadap kekurangan Giro Wajib
Minimum untuk setiap hari pelanggaran.
(2) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibayar
-9-
dalam valuta rupiah dengan menggunakan kurs transaksi Bank Indonesia pada
tanggal terjadinya pelanggaran.
Pasal 17
(1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
dan Pasal 16 dilaksanakan dengan pembebanan pada rekening giro rupiah Bank
pada Bank Indonesia.
(2) Dalam hal pembebanan rekening giro rupiah Bank sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) mengakibatkan rekening giro rupiah bersaldo negatif maka
Bank juga dikenakan sanksi atas saldo negatif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (2).
(2) Dalam …
Pasal 18
Perubahan pengaturan mengenai sanksi pelanggaran Giro Wajib Minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 16 ditetapkan dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
-10-
Pasal 19
Peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan Giro Wajib Minimum yang ada
sebelum Peraturan Bank Indonesia ini, sepanjang belum diperbarui dan tidak
bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku.
BAB VII …
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 2000.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Februari 2000
GUBERNUR BANK INDONESIA
-11-
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 22
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NO. 2/ 7 /PBI/2000
TENTANG
GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
BAGI BANK UMUM YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
I. UMUM
Dalam menciptakan dan menjaga stabilitas moneter, Bank Indonesia antara
lain melakukan pengendalian terhadap jumlah uang beredar, dimana salah satu
piranti yang digunakan untuk mengendalikan jumlah uang beredar tersebut adalah
-12-
dengan mengendalikan jumlah giro wajib minimum bank-bank pada Bank
Indonesia.
Disamping itu, dalam mewujudkan sistem perbankan yang sehat yang
mampu menghadapi tuntutan perkembangan dan dinamika perbankan nasional dan
internasional perlu diciptakan suatu sistem perbankan yang kuat yang dilandasi
pada prinsip kehati-hatian perbankan. Prinsip kehati-hatian perbankan dimaksud
meliputi prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan risiko likuiditas bank, yaitu
risiko atas ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajibannya yang harus
segera dilunasi secara tepat waktu.
Dalam melakukan penilaian terhadap risiko likuiditas tersebut
Dalam…
diperlukan indikator-indikator yang dapat digunakan untuk menilai dan
menjaga kemampuan bank dalam memenuhi pembayaran kewajiban
segeranya. Salah satu indikator tersebut dilakukan dengan membandingkan
saldo giro bank pada Bank Indonesia terhadap dana pihak ketiga yang
dimiliki bank yang disebut dengan giro wajib minimum.
Dewasa ini telah dikembangkan sistem perbankan yang dilandasi
oleh prinsip syariah. Berdasarkan sistem ini bank umum konvensional
dapat mengkonversikan seluruh atau sebagian dari kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah. Berkenaan dengan hal tersebut dirasakan
perlu untuk memberlakukan ketentuan mengenai Giro Wajib Minimum
kepada bank-bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah. Pemberlakuan ketentuan mengenai Giro Wajib Minimum kepada
bank-bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
tidak bertentangan dengan kaedah-kaedah fiqih.
-13-
Karakteristik bank umum syariah dan bank umum konvensional
berbeda, maka sangat dimungkinkan adanya perbedaan komponen dana
pihak ketiga dari kedua bank umum tersebut. Oleh karena perbankan
syariah masih dalam taraf pengembangan serta belum tersusunnya
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Syariah (PSAK Syariah), maka
untuk sementara waktu penentuan komponen dana pihak ketiga bagi bank
umum syariah diperlakukan sama dengan komponen dana pihak ketiga
bank umum konvensional.
Bagi bank umum konvesional yang memiliki Unit Usaha Syariah,
fungsi kantor induk dari kegiatan usaha syariahnya dilakukan oleh Unit
Usaha Syariah. Bagi bank umum konvesional yang memiliki Unit Usaha
Syariah diperkenankan untuk membuka 2 (dua) rekening giro pada Bank
Indonesia baik untuk mata uang rupiah maupun dalam valuta asing.
Rekening tersebut dikelola dan digunakan secara terpisah untuk kegiatan
usaha konvensional dan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 10
Cukup jelas
untuk…
-14-
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Dalam hal Bank mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor dalam suatu wilayah
Ayat (3)…
-15-
kerja Bank Indonesia maka Bank yang bersangkutan hanya dapat memelihara 1
(satu) rekening giro rupiah pada kantor Bank Indonesia setempat.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Formula perhitungan Giro Wajib Minimum adalah sebagai berikut:
Jumlah…
Jumlah harian saldo giro dari seluruh kantor Bank yang
tercatat di Bank Indonesia setiap hari dalam 1 (satu) masa
laporan.
Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam 1 (satu) masa laporan untuk
periode 2 (dua) masa laporan sebelumnya.
Persentase Giro Wajib Minimum Bank dalam rupiah atau valuta asing
didasarkan pada DPK Bank sebagai berikut:
a. Giro Wajib Minimum harian untuk masa laporan sejak tanggal 1
-16-
sampai dengan tanggal 7 adalah sebesar 5% (lima perseratus) atau 3%
(tiga perseratus) dari rata-rata DPK Bank dalam masa laporan sejak
tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 bulan sebelumnya;
b. Giro Wajib Minimum harian untuk masa laporan sejak tanggal 8
sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar 5% (lima perseratus) atau
3% (tiga perseratus) dari rata-rata DPK Bank dalam masa laporan
sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya;
c. Giro Wajib Minimum harian untuk masa laporan sejak tanggal 16
sampai dengan tanggal 23 adalah sebesar 5% (lima perseratus) atau
3% (tiga perseratus) dari rata-rata DPK Bank dalam masa laporan
sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan yang sama;
d. Giro Wajib Minimum harian untuk masa laporan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar 5% (lima
perseratus) atau 3% (tiga perseratus) dari rata-rata DPK Bank dalam
masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan yang
sama.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8…
Pasal 8
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 9
Huruf a
-17-
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan giro, tabungan, dan simpanan berjangka dalam
ketentuan ini antara lain berupa giro wadiah, tabungan mudharabah,
deposito investasi mudharabah.
DPK Bank dalam rupiah tidak termasuk dana yang diterima oleh Bank
dari Bank Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12…
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
-18-
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Data mengenai Tingkat Indikasi Imbalan PUAS yang digunakan adalah
rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan Sertifikat IMA yang tercatat
pada PIPU.
Perhitungan sanksi kewajiban membayar kekurangan Giro Wajib
Minimum dalam rupiah yaitu:
Kekurangan Giro Wajib Minimum x 125% x Tingkat Indikasi
Imbalan PUAS x 1/360
Contoh perhitungan:
a. Saldo giro rupiah Bank pada Bank Indonesia yang wajib dipelihara
untuk periode tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 adalah sebesar Rp10
miliar;
b. Saldo giro rupiah Bank yang tercatat pada Bank Indonesia pada
tanggal 1 adalah sebesar Rp1 miliar;
c. Tingkat Indikasi Imbalan PUAS tanggal 1 sebesar 12% (dua belas
perseratus);
d. Sanksi kewajiban membayar untuk tanggal 1 adalah sebesar:
[Rp10 miliar – Rp1 miliar] x 1,25 x 0,12 x 1/360
= Rp 3.750.000,00.
Ayat (2)
b. Saldo…
-19-
Contoh perhitungan:
Sanksi kewajiban membayar saldo negatif adalah:
Giro Wajib Minimum x 125% x Tingkat Indikasi
Imbalan PUAS x 1/360
ditambah dengan
Saldo Negatif x 150% x Tingkat Indikasi Imbalan
PUAS x 1/360
Contoh perhitungan:
a. Saldo giro rupiah Bank pada Bank Indonesia yang wajib dipelihara
untuk periode tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 adalah sebesar Rp10
miliar;
b. Saldo giro rupiah Bank yang tercatat pada Bank Indonesia pada
tanggal 2 adalah sebesar negatif Rp1 miliar;
c. Tingkat Indikasi Imbalan PUAS tanggal 2 sebesar 11% (sebelas
perseratus);
d. Sanksi kewajiban membayar untuk tanggal 2 adalah sebesar:
[Rp10 miliar x 1,25 x 0,11 x 1/360] + [Rp 1 miliar x 1,50 x 0,11 x
1/360]
= Rp3.819.444,44 + Rp458.333,33
= Rp4.277.777,77
= Rp3.819.444,44…
Dalam hal saldo giro Unit Usaha Syariah/kantor cabang syariah
menunjukkan angka negatif pada saat Bank Indonesia menutup sistem
akunting, maka Unit Usaha Syariah/kantor cabang syariah tetap dikenakan
sanksi kewajiban membayar meskipun penjumlahan saldo giro saldo giro
Unit Usaha Syariah/kantor cabang syariah dan kantor pusat/kantor cabang
-20-
konvensional masih positif.
Penjumlahan saldo giro tersebut dilakukan hanya untuk menentukan
penghentian keikutsertaan dalam kliring bagi bank yang memiliki Unit
Usaha Syariah sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No.2/4/PBI/2000
tanggal 11 Februari 2000 yang merupakan perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia No. 1/3/PBI/1999.
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kurs transaksi yang digunakan adalah kurs jual ditambah dengan kurs beli
dibagi dua.
Pasal 17
Pasal 17…
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
-21-
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Yang dimaksud dengan peraturan pelaksanaan Giro Wajib Minimum
antara lain meliputi:
a. Rincian DPK Bank;
b. Tata cara penyampaian laporan;
c. Formulir penyampaian laporan;
d. Sanksi penyampaian laporan,
e. Pedoman Penyusunan Laporan Mingguan Bank Umum,
sebagaimana diatur dalam:
• Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/113/KEP/DIR tanggal
14 Desember 1995 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank
Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing;
• Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 28/10/UPPB tanggal 14 Desember
1995 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia
dalam Rupiah dan Valuta Asing,
sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 20…
-22-
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3935
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/7/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 23 Februari 2000 </set_date>
<effective_date> 1 Maret 2000 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 13/ 3 /PBI/2011
TENTANG
PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung terciptanya stabilitas
sistem keuangan, diperlukan sistem perbankan yang sehat;
b. bahwa sebagai bagian dari upaya penyehatan perbankan,
Bank yang berpotensi atau mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya ditetapkan oleh
Bank Indonesia dalam status pengawasan intensif atau
pengawasan khusus;
c. bahwa tindakan pengawasan yang ditetapkan Bank
Indonesia dalam rangka penyehatan bank harus didukung
dan dilaksanakan oleh pengurus maupun pemegang saham
bank dalam batas waktu tertentu;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b dan huruf c, perlu ditetapkan
ketentuan tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut
Pengawasan Bank dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: …
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 8,
Tambahan …
- 3 -
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4963);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT
PENGAWASAN BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank Umum Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, termasuk kantor cabang bank asing.
2. Lembaga Penjamin Simpanan, yang selanjutnya disebut LPS, adalah badan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan …
- 4 -
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang.
3. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962
tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian;
d. bagi kantor cabang bank asing adalah pimpinan kantor cabang bank
asing yakni pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat dibawah
pemimpin kantor cabang.
4. Dewan Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962
tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.
Pasal 2…
- 5 -
Pasal 2
(1) Bank Indonesia berwenang menetapkan status pengawasan Bank.
(2) Status pengawasan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. pengawasan normal;
b. pengawasan intensif; atau
c. pengawasan khusus.
BAB II
BANK DALAM PENGAWASAN INTENSIF
Pasal 3
(1) Bank Indonesia menetapkan Bank dalam pengawasan intensif apabila
dinilai memiliki potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya.
(2) Bank dinilai memiliki potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi satu atau
lebih kriteria sebagai berikut:
a. rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) lebih dari 8%
(delapan persen) namun kurang dari
rasio KPMM yang
mempertimbangkan potensi kerugian sesuai profil risiko Bank yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. rasio modal inti (tier 1) kurang dari persentase tertentu yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia;
c. rasio Giro Wajib Minimum (GWM) dalam rupiah sama dengan atau
lebih besar dari rasio yang ditetapkan untuk GWM Bank, namun
memiliki permasalahan likuiditas mendasar;
d. rasio kredit atau pembiayaan bermasalah (non performing loan/
financing) secara neto lebih dari 5% (lima persen) dari total kredit atau
total …
- 6 -
total pembiayaan;
e. peringkat risiko Bank tinggi (high risk) berdasarkan hasil penilaian
terhadap keseluruhan risiko (composite risk);
f. peringkat komposit tingkat kesehatan Bank 4 (empat) atau 5 (lima);
g. peringkat komposit tingkat kesehatan Bank 3 (tiga) dengan peringkat
faktor manajemen 4 (empat) atau 5 (lima).
(3) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, berlaku
bagi Bank Umum Syariah sejak berlakunya ketentuan Bank Indonesia
mengenai kewajiban penyediaan modal minimum Bank Umum Syariah.
Pasal 4
(1) Bank Indonesia menetapkan Bank dalam pengawasan intensif paling lama 1
(satu) tahun sejak tanggal surat pemberitahuan Bank Indonesia.
(2) Dalam hal Bank ditetapkan dalam pengawasan intensif karena kredit atau
pembiayaan bermasalah yang penyelesaiannya bersifat kompleks maka
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang 1
(satu) kali dan paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 5
Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank yang ditetapkan
dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, disertai
dengan alasan penetapan serta langkah-langkah atau tindakan pengawasan yang
wajib dilakukan Bank.
Pasal 6
Bank dalam pengawasan intensif wajib melakukan tindakan pengawasan yang
diperintahkan Bank Indonesia (mandatory supervisory actions) yaitu:
a. mengganti …
- 7 -
a. mengganti Dewan Komisaris dan/atau Direksi Bank;
b. menghapusbukukan kredit atau pembiayaan yang tergolong macet dan
memperhitungkan kerugian Bank dengan modal Bank;
c. melakukan merger atau konsolidasi dengan Bank lain;
d. menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank kepada pihak
lain;
e. menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban Bank kepada bank
atau pihak lain; dan/atau
f. menjual Bank kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh
kewajiban Bank.
Pasal 7
Selain tindakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank
Indonesia berwenang:
a. melarang Bank melakukan distribusi modal;
b. melarang Bank melakukan transaksi tertentu dengan pihak terkait dan/atau
pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia, kecuali telah memperoleh
persetujuan Bank Indonesia;
c. membatasi pertumbuhan aset, pembatasan penyertaan, pembatasan
penyediaan dana baru, kecuali telah memperoleh persetujuan Bank
Indonesia;
d. membatasi pelaksanaan rencana ekspansi usaha atau produk dan aktivitas
baru, kecuali telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia;
e. membatasi pembayaran gaji, remunerasi atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu kepada anggota Dewan Komisaris dan/atau Direksi
Bank, atau kompensasi kepada pihak terkait, kecuali telah memperoleh
persetujuan Bank Indonesia; dan/atau
f. melarang …
- 8 -
f. melarang Bank melakukan pembayaran pinjaman subordinasi.
Pasal 8
Bank Indonesia mewajibkan Bank dan/atau pemegang saham Bank untuk
menyampaikan rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) guna
mengatasi permasalahan permodalan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2) huruf a dan huruf b.
Pasal 9
Bank dalam pengawasan intensif wajib:
a. menyampaikan rencana tindak (action plan) sesuai permasalahan yang
dihadapi dan realisasi rencana tindak;
b. menyampaikan daftar pihak terkait secara lengkap;
c. mengkinikan rencana bisnis (business plan); dan
d. melakukan tindakan lainnya dan/atau melaporkan hal-hal tertentu yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 10
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a dan huruf b
disampaikan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak Bank ditetapkan dalam
pengawasan intensif.
Pasal 11
(1) Rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a paling
kurang memuat rencana perbaikan sesuai dengan permasalahan yang
dihadapi Bank disertai jangka waktu penyelesaiannya.
(2) Bank …
- 9 -
(2) Bank Indonesia melakukan evaluasi atas rencana tindak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak
dokumen diterima secara lengkap.
(3) Dalam hal rencana tindak yang disampaikan ditolak Bank Indonesia,
Bank wajib mengajukan perbaikan rencana tindak paling lama 7 (tujuh)
hari kerja sejak tanggal pemberitahuan penolakan.
Pasal 12
(1) Rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 disampaikan secara tertulis kepada Bank Indonesia
paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak Bank ditetapkan dalam
pengawasan intensif.
(2) Rencana perbaikan permodalan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib menggambarkan kemampuan Bank untuk mencapai dan
memelihara rasio KPMM yang ditetapkan Bank Indonesia dalam jangka
waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
(3) Bank Indonesia menilai rencana perbaikan permodalan paling lama 15
(lima belas) hari kerja sejak dokumen diterima secara lengkap.
(4) Dalam hal rencana perbaikan permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditolak, Bank wajib mengajukan revisi rencana perbaikan permodalan
paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal penolakan.
Pasal 13
(1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan realisasi
rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a setiap akhir
bulan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja bulan berikutnya.
(2) Laporan …
- 10 -
(2) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat antara
lain:
a. permasalahan Bank;
b. tindakan perbaikan; dan
c. waktu pelaksanaan perbaikan.
Pasal 14
(1) Bank ditetapkan keluar dari pengawasan intensif apabila Bank sudah tidak
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank yang
ditetapkan keluar dari pengawasan intensif.
BAB III
BANK DALAM PENGAWASAN KHUSUS
Pasal 15
(1) Bank Indonesia menetapkan Bank dalam pengawasan khusus apabila dinilai
mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya.
(2) Bank dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi satu atau
lebih kriteria sebagai berikut:
a. rasio KPMM kurang dari 8% (delapan persen);
b. rasio GWM dalam rupiah kurang dari rasio yang ditetapkan untuk
GWM Bank dan berdasarkan penilaian Bank Indonesia:
1) Bank mengalami permasalahan likuiditas mendasar; atau
2) Bank mengalami perkembangan yang memburuk dalam waktu
singkat; atau
c. jangka …
- 11 -
c.
jangka waktu Bank dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 terlampaui.
Pasal 16
Bank Indonesia menetapkan Bank dalam pengawasan khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat
pemberitahuan Bank Indonesia.
Pasal 17
Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank yang ditetapkan
dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, disertai
dengan alasan penetapan serta langkah-langkah atau tindakan pengawasan yang
wajib dilakukan Bank.
Pasal 18
(1) Bank dan/atau pemegang saham dari Bank dalam pengawasan khusus wajib
melakukan penambahan modal.
(2) Penambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi
dalam jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16.
Pasal 19
Dalam rangka pengawasan khusus, Bank Indonesia berwenang:
a. melarang Bank menjual atau menurunkan jumlah aset tanpa persetujuan
Bank Indonesia kecuali untuk Sertifikat Bank Indonesia atau Sertifikat Bank
Indonesia …
- 12 -
Indonesia Syariah, Giro pada Bank Indonesia, tagihan antar Bank, dan Surat
Utang Negara atau Surat Utang Negara Syariah;
b. memerintahkan Bank untuk melaporkan setiap perubahan kepemilikan
saham Bank kurang dari 10% (sepuluh persen); dan/atau
c. melarang Bank mengubah kepemilikan dari:
1) pemegang saham yang memiliki saham sebesar sama dengan atau lebih
dari 10% (sepuluh persen); dan/atau
2) pemegang saham pengendali termasuk pihak-pihak yang melakukan
pengendalian terhadap Bank dalam struktur kelompok usaha Bank,
kecuali telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
Pasal 20
(1) Selain tindakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan
Pasal 19, Bank Indonesia berwenang memerintahkan Bank dalam
pengawasan khusus untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 7.
(2) Tindakan pengawasan yang ditetapkan pada saat Bank dalam pengawasan
intensif dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 21
Bank Indonesia membekukan kegiatan usaha tertentu Bank dalam pengawasan
khusus paling lama 1 (satu) bulan dalam periode pengawasan khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, apabila:
a. Bank Indonesia menilai kondisi Bank semakin memburuk; dan/atau
b. terjadi pelanggaran ketentuan perbankan yang dilakukan oleh Direksi,
Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham pengendali.
Pasal 22 …
- 13 -
Pasal 22
(1) Bank dalam pengawasan khusus wajib menyampaikan kepada Bank
Indonesia:
a.
laporan keuangan terkini berupa neraca dan laporan laba rugi serta
rekening administratif;
b. rincian aktiva produktif Bank terkini yang dikelompokkan berdasarkan
kualitasnya;
c. peringkat komposit tingkat kesehatan Bank terkini;
d. informasi dan dokumen mengenai:
1) daftar terkini mengenai simpanan nasabah secara agregat yang
dikelompokkan berdasarkan nilai nominal;
2) daftar rincian tagihan dan kewajiban Bank terkini kepada pihak
terkait;
3) informasi lainnya yang diperlukan Bank Indonesia;
e.
laporan keuangan terkini dari perusahaan yang memperoleh penyertaan
Bank selain penyertaan modal sementara dalam rangka restrukturisasi
kredit atau pembiayaan;
f. struktur terkini kelompok usaha terkait Bank, termasuk badan hukum
pemilik Bank sampai dengan ultimate shareholders;
g. laporan proyeksi arus kas untuk jangka waktu 1 (satu) bulan
mendatang, yang terinci secara harian atau berdasarkan frekuensi dan
periode pelaporan yang ditetapkan Bank Indonesia.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank
Indonesia paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak Bank ditetapkan dalam
pengawasan khusus.
Pasal 23 …
- 14 -
Pasal 23
(1) Bank Indonesia mengumumkan:
a. Bank dalam pengawasan khusus yang dibekukan kegiatan usaha
tertentu beserta alasan pembekuan dimaksud; dan
b.
tindakan perbaikan yang wajib dilakukan oleh Bank dan/atau larangan
yang diperintahkan oleh Bank Indonesia kepada Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 19 dan Pasal 20.
(2) Bank Indonesia mengumumkan pula Bank yang telah melakukan perbaikan
sehingga tidak memenuhi kriteria Bank dalam pengawasan khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan
pada 2 (dua) surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas dan pada
home page Bank Indonesia.
Pasal 24
(1) Bank wajib memberitahukan kepada seluruh jaringan kantornya mengenai
kegiatan usaha tertentu yang dibekukan dan perintah yang ditetapkan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 19 dan Pasal 20.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada
tanggal diterimanya pemberitahuan dari Bank Indonesia.
Pasal 25
(1) Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS mengenai Bank yang
ditetapkan dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15.
(2) Pemberitahuan kepada LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai
dengan …
- 15 -
dengan keterangan mengenai kondisi Bank yang bersangkutan.
Pasal 26
(1) Bank Indonesia memberitahukan kepada otoritas pengawas yang
berwenang terhadap perusahaan induk dan/atau perusahaan anak Bank
mengenai tindakan yang dilakukan Bank Indonesia terhadap Bank yang
ditetapkan dalam pengawasan khusus.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
kerjasama dengan Bank Indonesia.
Pasal 27
Bank dalam pengawasan khusus yang memenuhi kriteria:
a. rasio KPMM kurang dari 2% (dua persen);
b. rasio GWM dalam rupiah kurang dari 0% (nol persen); atau
c. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 terlampaui,
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai Bank yang tidak dapat disehatkan.
Pasal 28
Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank bahwa Bank tidak
dapat disehatkan.
BAB IV
BANK BERDAMPAK SISTEMIK
Pasal 29
(1) Dalam hal Bank Indonesia menengarai Bank dalam pengawasan khusus
berdampak sistemik, Bank Indonesia meminta kepada lembaga yang
berwenang …
- 16 -
berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk
memutuskan Bank yang bersangkutan berdampak sistemik atau tidak
berdampak sistemik.
(2) Selain meminta kepada lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia juga memberitahukan kepada LPS mengenai Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 30
Dalam hal lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 menetapkan sebagai
Bank berdampak sistemik dan Bank yang bersangkutan memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Bank Indonesia meminta lembaga
dimaksud untuk memutuskan langkah-langkah penanganan Bank yang
bersangkutan.
Pasal 31
Bank dan/atau pemegang saham Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
wajib melakukan langkah-langkah yang ditetapkan lembaga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 dalam penanganan permasalahan Bank yang
bersangkutan.
BAB V
BANK TIDAK BERDAMPAK SISTEMIK
Pasal 32
Dalam hal Bank dalam pengawasan khusus tidak berdampak sistemik memenuhi
kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Bank Indonesia memberitahukan
dan meminta keputusan LPS untuk melakukan penyelamatan atau tidak
melakukan penyelamatan terhadap Bank yang bersangkutan.
Pasal 33 …
- 17 -
Pasal 33
(1) Dalam hal LPS memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap
Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Bank Indonesia melakukan
pencabutan izin usaha Bank yang bersangkutan setelah memperoleh
pemberitahuan dari LPS.
(2) Penyelesaian lebih lanjut Bank yang telah dicabut izin usahanya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh LPS sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Pasal 34
(1) Dalam hal LPS memutuskan untuk melakukan penyelamatan terhadap Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Bank Indonesia menetapkan Bank
tersebut dalam pengawasan normal.
(2) Penempatan Bank dalam pengawasan normal sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan apabila tidak memenuhi kriteria:
a. Bank dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
dan
b. Bank dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15.
BAB VI
LAIN-LAIN
Pasal 35
Penyampaian laporan dan informasi yang wajib dilakukan oleh Bank
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini disampaikan kepada
Bank Indonesia dengan alamat:
a. Direktorat …
- 18 -
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350,
bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia; atau
b. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar
wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
BAB VII
SANKSI
Pasal 36
Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Pasal 58
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, antara lain
berupa pemberhentian Direksi dan/atau Dewan Komisaris Bank dan/atau
larangan turut serta dalam kegiatan kliring bagi Bank yang tidak melaksanakan
kewajiban sesuai perintah Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (3), Pasal 12 ayat (1), ayat (2)
dan ayat (4), Pasal 13, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, dan Pasal 24.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 37
Bank yang telah ditetapkan dalam pengawasan intensif sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini dan memiliki jangka waktu penyelesaian
melampaui tanggal 17 April 2012, wajib menyesuaikan jangka waktu
penyelesaian paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 38 …
- 19 -
Pasal 38
Bagi Bank yang telah ditetapkan dalam pengawasan khusus sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini dan memiliki jangka waktu penyelesaian
melampaui tanggal berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, tetap berpedoman
pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut
Pengawasan dan Penetapan Status Bank sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/27/PBI/2008.
BAB IX
PENUTUP
Pasal 39
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut
Pengawasan dan Penetapan Status Bank,
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/38/PBI/2005 tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut
Pengawasan dan Penetapan Status Bank; dan
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/27/PBI/2008 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004 tentang Tindak
Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 40
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) bulan sejak tanggal di
tetapkan.
Agar …
- 20 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 17 Januari 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 17 Januari 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 9
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 13/ 3 /PBI/2011
TENTANG
PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK
UMUM
Sistem perbankan yang sehat merupakan salah satu prasyarat untuk
mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan, pertumbuhan perekonomian
nasional serta terpeliharanya kepercayaan masyarakat terhadap industri
perbankan. Oleh karena itu setiap permasalahan Bank perlu diselesaikan dengan
cepat agar tidak mengganggu stabilitas sistem keuangan serta menurunkan
tingkat kepercayaan masyarakat.
Sebagai bagian dari upaya pemulihan kesehatan Bank, Bank Indonesia
menetapkan status pengawasan Bank dalam pengawasan intensif atau
pengawasan khusus sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari pendekatan pengawasan berdasarkan risiko
(risk based supervision).
Pemulihan kesehatan Bank dilakukan dengan
menetapkan tindakan pengawasan sesuai dengan permasalahan Bank dan wajib
diselesaikan dalam batas waktu tertentu yang ditetapkan Bank Indonesia.
Untuk itu, baik pengurus maupun pemegang saham Bank wajib berperan
serta secara aktif dalam upaya pemulihan kesehatan Bank karena pelanggaran
batas waktu penyelesaian permasalahan Bank akan menyebabkan peningkatan
status pengawasan Bank.
Dalam …
- 2 -
Dalam hal upaya-upaya perbaikan dalam rangka penyehatan Bank tidak
mencukupi sehingga Bank dinilai tidak dapat lagi disehatkan maka perlu
dilakukan langkah-langkah penyelesaian.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pengawasan normal” adalah
pengawasan terhadap Bank yang tidak memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 15.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pengawasan intensif” adalah suatu
peningkatan proses pengawasan terhadap Bank yang sebelumnya
berada dalam pengawasan normal, dengan tujuan untuk
memulihkan kondisi Bank.
Pemulihan tersebut dilakukan dengan menetapkan tindakan
pengawasan (supervisory actions) yang sesuai dengan
permasalahan Bank.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pengawasan khusus” adalah suatu
peningkatan proses pengawasan terhadap Bank yang sebelumnya
berada …
- 3 -
berada dalam pengawasan normal atau pengawasan intensif
dengan tujuan untuk memulihkan kondisi Bank.
Pemulihan tersebut dilakukan dengan menetapkan tindakan
pengawasan (supervisory actions) yang sesuai dengan
permasalahan Bank.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Bank Indonesia berwenang menetapkan rasio KPMM suatu
Bank lebih besar dari 8% (delapan persen) untuk mengantisipasi
potensi kerugian sesuai profil risiko Bank sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban
penyediaan modal minimum Bank.
Huruf b
Perhitungan modal inti (tier 1) adalah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban
penyediaan modal minimum Bank.
Pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, rasio modal
inti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai kewajiban penyediaan modal minimum Bank adalah
sebesar 5% (lima persen).
Huruf c
Yang dimaksud dengan “GWM” adalah Giro Wajib Minimum
Primer (Statutory Reserve) bagi Bank Umum atau Giro Wajib
Minimum …
- 4 -
Minimum bagi Bank Umum Syariah.
Ketentuan mengenai GWM dalam rupiah adalah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai giro wajib
minimum Bank.
Yang dimaksud dengan “permasalahan likuiditas mendasar”
antara lain adalah:
- perubahan posisi Bank di pasar uang dari posisi pemberi
pinjaman (net lender) menjadi posisi penerima pinjaman (net
borrower);
- posisi arus kas yang semakin buruk sebagai akibat maturity
mismatch yang besar, terutama pada skala waktu jangka
pendek;
- upaya Bank untuk memperoleh dana di pasar uang dengan
suku bunga atau tingkat imbalan yang lebih tinggi dari suku
bunga wajar (pasar);
- ketergantungan pada agunan untuk memperoleh dana;
dan/atau
- peningkatan pencairan deposito sebelum jatuh tempo.
Huruf d
Yang dimaksud dengan kredit atau pembiayaan bermasalah
adalah apabila memiliki kualitas kurang lancar, diragukan dan
macet sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai kualitas aktiva Bank.
Huruf e
Penilaian terhadap keseluruhan risiko (composite risk) dilakukan
secara periodik atau sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai manajemen risiko
Bank.
Huruf f …
- 5 -
Huruf f
Penilaian peringkat komposit tingkat kesehatan Bank adalah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank.
Huruf g
Penilaian peringkat faktor manajemen adalah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian
tingkat kesehatan Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Perhitungan jangka waktu Bank dalam pengawasan intensif paling
lama 1 (satu) tahun termasuk jangka waktu penyusunan dan revisi
rencana tindak.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penyelesaian yang bersifat kompleks” antara
lain kredit sindikasi dan/atau restrukturisasi kredit secara menyeluruh
yang mencakup kegiatan usaha dari hulu sampai dengan hilir.
Pasal 5
Termasuk dalam pengertian “langkah-langkah atau tindakan pengawasan
yang wajib dilakukan Bank” antara lain tindakan yang diperintahkan Bank
Indonesia (mandatory supervisory actions) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6.
Pasal 6 …
- 6 -
Pasal 6
Pilihan tindakan pengawasan yang akan ditetapkan oleh Bank Indonesia
kepada Bank disesuaikan dengan permasalahan Bank.
Pasal 7
Huruf a
Termasuk “distribusi modal” antara lain pembelian kembali saham
Bank, pembayaran deviden dan/atau pembayaran bonus atau yang
dipersamakan dengan bonus kepada Direksi dan/atau Dewan
Komisaris Bank.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “transaksi tertentu dengan pihak terkait”
antara lain pencairan dana, pemberian fasilitas penyediaan dana
seperti kredit, surat berharga, letter of credit, standby letter of credit,
atau yang sejenis dengan itu.
Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak terkait
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
batas maksimum pemberian kredit bagi Bank Umum atau batas
maksimum penyaluran dana bagi Bank Umum Syariah.
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah perorangan atau badan
hukum tertentu yang bukan pihak terkait.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “ekspansi usaha” antara lain penambahan
jaringan kantor, kerjasama pemasaran.
Huruf e …
- 7 -
Huruf e
Yang dimaksud dengan ”bentuk lain yang dipersamakan dengan
remunerasi” antara lain adalah tunjangan rutin dan tantiem.
Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak terkait
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
batas maksimum pemberian kredit bagi Bank Umum atau batas
maksimum penyaluran dana bagi Bank Umum Syariah.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13 …
- 8 -
Pasal 13
Ayat (1)
Termasuk dalam laporan realisasi ini adalah realisasi pelaksanaan
perbaikan permodalan (capital restoration plan) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Ketentuan mengenai KPMM adalah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban
penyediaan modal minimum Bank.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “GWM” adalah Giro Wajib Minimum
Primer (Statutory Reserve) bagi Bank Umum atau Giro Wajib
Minimum bagi Bank Umum Syariah.
Ketentuan mengenai GWM dalam rupiah adalah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai giro wajib
minimum Bank.
Yang …
- 9 -
Yang dimaksud dengan “mengalami permasalahan likuiditas
mendasar” antara lain adalah:
- perubahan posisi Bank di pasar uang dari posisi pemberi
pinjaman (net lender) menjadi posisi penerima pinjaman (net
borrower);
- posisi arus kas yang semakin buruk sebagai akibat maturity
mismatch yang besar, terutama pada skala waktu jangka
pendek;
- upaya Bank untuk memperoleh dana di pasar uang dengan
suku bunga atau tingkat imbalan yang lebih tinggi dari suku
bunga wajar (pasar);
- ketergantungan pada agunan untuk memperoleh dana;
dan/atau
- peningkatan pencairan deposito sebelum jatuh tempo.
Yang dimaksud dengan “Bank mengalami perkembangan yang
memburuk dalam waktu singkat” adalah apabila arah (trend)
rasio GWM Bank semakin menurun.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup Jelas
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18 …
- 10 -
Pasal 18
Ayat (1)
Penambahan modal Bank harus menjelaskan sumber dana pemenuhan
tambahan modal yang berasal dari pemegang saham Bank dan/atau
dari investor baru.
Ketentuan mengenai rasio KPMM adalah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan
modal minimum Bank .
Yang dimaksud dengan “rasio KPMM yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia” adalah rasio KPMM sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal
minimum Bank ditambah rasio tertentu untuk mengantisipasi potensi
kerugian sesuai profil risiko Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1)
Termasuk dalam pengertian memiliki adalah:
a. pemegang saham yang secara bersama-sama dengan
pemegang saham terkait lainnya;
b. pemegang saham yang bertindak atas nama pemegang saham
lain …
- 11 -
lain (acting in concert); atau
c. pemegang saham yang memiliki hak opsi atau hak lain untuk
memiliki saham yang apabila digunakan akan menyebabkan
pemegang saham tersebut,
memiliki sebesar sama atau lebih dari 10% (sepuluh persen)
saham Bank.
Angka 2)
Ketentuan mengenai pemegang saham pengendali dan
pengendalian adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai uji kemampuan dan kepatutan (Fit and
Proper Test) Bank.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Tindakan membekukan kegiatan usaha tertentu tersebut dimaksudkan
antara lain untuk meminimalisasi dampak kerugian, perlindungan nasabah
dan/atau minimalisasi gangguan terhadap stabilitas sistem keuangan.
Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha Bank” adalah kegiatan usaha Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, serta Pasal 19 dan Pasal 20
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kondisi Bank semakin memburuk” apabila:
a. KPMM …
- 12 -
a. KPMM Bank menurun dengan cepat dan dinilai tidak dapat
ditingkatkan menjadi 8% (delapan persen); dan/atau
b. GWM dalam rupiah Bank menurun dengan cepat dan tidak
dapat diselesaikan sesuai peraturan yang berlaku.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Laporan struktur kelompok usaha dalam ayat ini memuat pihak
perorangan dan/atau badan hukum yang memiliki 10% (sepuluh
persen) atau lebih saham badan hukum dimaksud, serta
menyebutkan pihak yang menjadi ultimate shareholders.
Huruf g …
- 13 -
Huruf g
Yang dimaksud dengan “laporan proyeksi arus kas” adalah
laporan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai penerapan manajemen risiko untuk risiko likuiditas
Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengumuman pada homepage Bank Indonesia dilakukan dengan
alamat http://www.bi.go.id
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 14 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Pemberitahuan terhadap otoritas pengawasan berwenang terhadap
perusahaan induk dan/atau perusahaan anak Bank dimaksudkan agar
otoritas pengawasan yang berwenang terhadap perusahaan
induk/perusahaan anak Bank mendapatkan informasi mengenai
tindakan Bank Indonesia dan dapat melakukan langkah-langkah
antisipasi yang diperlukan. Dalam hal Bank merupakan kantor cabang
bank asing maka yang dimaksud dengan perusahaan induk adalah
kantor pusat dari kantor cabang bank asing tersebut.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kerjasama” termasuk kerjasama pengawasan
Bank secara lintas batas (cross border supervision).
Pasal 27
Huruf a
Ketentuan mengenai KPMM adalah sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal
minimum Bank.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “GWM” adalah Giro Wajib Minimum Primer
(Statutory Reserve) bagi Bank Umum atau Giro Wajib Minimum bagi
Bank Umum Syariah.
Ketentuan …
- 15 -
Ketentuan mengenai GWM dalam rupiah adalah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai giro wajib
minimum Bank.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Mekanisme pemberitahuan kepada LPS dan batas waktu pengambilan
keputusan oleh LPS dituangkan dalam kesepakatan bersama antara Bank
Indonesia dengan LPS.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 16 -
Ayat (2)
Penyelesaian yang dilakukan oleh LPS meliputi antara lain
pembayaran klaim penjaminan simpanan dan likuidasi.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Yang dimaksud dengan “larangan turut serta kliring” dalam hal ini
termasuk larangan turut serta dalam Sistem BI-RTGS.
Pasal 37
Yang dimaksud dengan “berada dalam pengawasan intensif” adalah Bank
yang memenuhi kriteria Bank dalam pengawasan intensif sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004 tentang
Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/27/PBI/2008.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40 …
- 17 -
Pasal 40
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5190
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/3/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK </reg_title>
<set_date> 17 Januari 2011 </set_date>
<effective_date> setelah 3 (tiga) bulan sejak tanggal ditetapkan. </effective_date>
<issued_date> 17 Januari 2011 </issued_date>
<replaced_reg> '10/27/PBI/2008', '7/38/PBI/2005', '6/9/PBI/2004' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '24/UU/2004', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2009', '3/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 12/ 23 /PBI/2010
TENTANG
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
(FIT AND PROPER TEST)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan
yang sehat, melindungi kepentingan stakeholders dan
meningkatkan kepatuhan terhadap
peraturan
perundang-undangan yang berlaku, diperlukan pelaksanaan
good corporate governance di industri perbankan;
b. bahwa untuk mewujudkan good corporate governance
tersebut, industri perbankan perlu dimiliki dan dikelola
oleh pihak–pihak yang senantiasa memenuhi persyaratan
kemampuan dan kepatutan;
c. bahwa sejalan dengan perkembangan industri perbankan
yang dinamis diperlukan penyempurnaan mekanisme uji
kemampuan dan kepatutan terhadap calon pemilik dan
calon pengelola bank maupun dalam melakukan penilaian
kembali atas kemampuan dan kepatutan terhadap pemilik
dan pengelola yang telah ada;
d. bahwa . . .
- 2 -
d. bahwa agar industri perbankan dimiliki dan dikelola oleh
pihak-pihak yang senantiasa memiliki kemampuan dan
kepatutan diperlukan pengenaan sanksi yang lebih
memberikan efek jera terhadap pemilik dan pengelola yang
tidak memenuhi persyaratan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d di atas,
dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan tentang
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit And Proper
Test) dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962);
MEMUTUSKAN . . .
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG UJI
KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER
TEST).
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang
bank asing.
2. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR adalah
Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
3.
4.
Kantor Cabang Bank Asing adalah kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri.
Kantor Perwakilan Bank Asing adalah kantor perwakilan dari bank yang
berkedudukan di luar negeri.
5. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disebut dengan PSP adalah
badan hukum, orang perseorangan dan/atau kelompok usaha yang:
a. memiliki saham perusahaan atau Bank sebesar 25% (dua puluh lima
persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan
mempunyai hak suara; atau
b. memiliki . . .
- 4 -
b. memiliki saham perusahaan atau Bank kurang dari 25% (dua puluh
lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak
suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan
pengendalian perusahaan atau Bank, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
6. Pengendalian adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi
pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan, termasuk Bank, dengan cara
apapun, baik secara langsung maupun tidak langsung.
7.
Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut dengan RUPS:
a.
bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah RUPS
sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang tentang Perseroan
Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah
Rapat Pemegang Saham/Saham Prioritet dan Rapat Umum Pemegang
Saham (Prioritet dan Biasa) sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah;
c.
bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah Rapat Anggota
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian.
8. Dewan Komisaris:
a.
bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah
komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perusahaan Daerah;
c.
bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian.
9. Direksi . . .
- 5 -
9.
Direksi:
a.
bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan
Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang–Undang tentang Perusahaan
Daerah;
c.
bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perkoperasian;
d. bagi Kantor Cabang Bank Asing adalah pimpinan Kantor Cabang
Bank Asing yakni pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di
bawah pemimpin kantor cabang;
e.
bagi Kantor Perwakilan Bank Asing adalah pemimpin Kantor
Perwakilan Bank Asing.
10. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada
anggota Direksi atau mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
kebijakan dan/atau operasional Bank, antara lain kepala divisi, kepala
kantor wilayah, kepala kantor cabang, kepala kantor fungsional yang
kedudukannya paling kurang setara dengan kepala kantor cabang, kepala
satuan kerja manajemen risiko, kepala satuan kerja kepatuhan, dan kepala
satuan kerja audit intern dan/atau pejabat lainnya yang setara.
11. Daftar Tidak Lulus yang untuk selanjutnya disebut DTL adalah daftar yang
ditatausahakan oleh Bank Indonesia yang memuat pihak–pihak yang
mendapat predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan
terhadap pemegang saham, pemegang saham pengendali, anggota dewan
komisaris, anggota direksi, dan pejabat eksekutif.
12. Tindak . . .
- 6 -
12. Tindak Pidana Tertentu adalah tindak pidana asal yang disebut dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pasal 2
(1) Pihak-pihak yang termasuk sebagai pengendali Bank wajib tunduk pada
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Pihak-pihak yang termasuk sebagai pengendali Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan, badan hukum atau
kelompok usaha yang melakukan Pengendalian terhadap Bank, termasuk
namun tidak terbatas pada PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota
Direksi, dan Pejabat Eksekutif Bank.
(3) Pengendalian terhadap Bank dapat dilakukan dengan cara-cara, antara lain
sebagai berikut:
a. memiliki secara sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima
persen) atau lebih saham Bank;
b.
secara langsung menjalankan pengelolaan dan/atau mempengaruhi
kebijakan Bank;
c. memiliki hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham yang
apabila digunakan akan menyebabkan pihak tersebut memiliki
dan/atau mengendalikan secara sendiri atau bersama-sama 25% (dua
puluh lima persen) atau lebih saham Bank;
d. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai
tujuan bersama dalam mengendalikan Bank (acting in concert) dengan
atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain, sehingga secara
bersama-sama memiliki dan/atau mengendalikan 25% (dua puluh lima
persen) atau lebih saham Bank, baik langsung maupun tidak langsung
dengan atau tanpa perjanjian tertulis;
e. melakukan . . .
- 7 -
e. melakukan kerjasama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai
tujuan bersama dalam mengendalikan Bank (acting in concert) dengan
atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain, sehingga secara
bersama-sama mempunyai hak opsi atau hak lainnya untuk
memiliki saham, yang apabila hak tersebut dilaksanakan
menyebabkan pihak-pihak tersebut memiliki dan/atau mengendalikan
secara bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham
Bank;
f. mengendalikan satu atau lebih perusahaan lain yang secara
keseluruhan memiliki dan/atau mengendalikan secara bersama-sama
25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank;
g. mempunyai kewenangan untuk menyetujui dan/atau memberhentikan
anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi Bank;
h.
secara tidak langsung mempengaruhi atau menjalankan pengelolaan
dan/atau kebijakan Bank;
i. melakukan Pengendalian terhadap perusahaan induk;
j. melakukan Pengendalian terhadap pihak yang melakukan
Pengendalian sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan
huruf i.
Pasal 3
Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap:
a.
calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi;
b. PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif;
dan
c. Pihak . . .
- 8 -
c. Pihak-pihak yang sudah tidak menjadi atau menjabat sebagai pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada huruf b, namun yang bersangkutan ditengarai
terlibat atau bertanggung jawab terhadap perbuatan atau tindakan yang
sedang dalam proses uji kemampuan dan kepatutan pada Bank atau Kantor
Perwakilan Bank Asing.
Pasal 4
Pihak–pihak yang sedang menjalani proses hukum dan/atau sedang menjalani
proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu bank, tidak dapat diajukan untuk
menjadi calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi.
BAB II
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP CALON PSP
Pasal 5
(1) Untuk menjadi PSP Bank, calon PSP wajib memperoleh persetujuan dari
Bank Indonesia.
(2) Calon PSP yang belum memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia,
namun telah memiliki saham Bank, dilarang melakukan tindakan
sebagai PSP.
Bagian Pertama
Faktor Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 6
Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon PSP
memenuhi persyaratan:
a.
integritas; dan
b. kelayakan keuangan.
Pasal 7 . . .
- 9 -
Pasal 7
Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik, antara lain ditunjukkan dengan sikap
mematuhi ketentuan yang berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena
terbukti melakukan Tindak Pidana Tertentu dalam waktu 20 (dua puluh)
tahun terakhir sebelum dicalonkan;
b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
c. memiliki komitmen terhadap pengembangan operasional Bank yang sehat;
d.
tidak termasuk dalam DTL; dan
e. memiliki komitmen untuk tidak melakukan dan/atau mengulangi perbuatan
dan/atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28, bagi
calon PSP yang pernah memiliki predikat Tidak Lulus dalam uji
kemampuan dan kepatutan dan telah menjalani masa sanksi sebagaimana
dimaksud Pasal 35 ayat (1), Pasal 40 ayat (4) huruf a dan Pasal 40 ayat (5).
Pasal 8
Persyaratan kelayakan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b
antara lain dibuktikan dengan:
a. memiliki kemampuan keuangan yang dapat mendukung perkembangan
bisnis Bank;
b.
c.
d.
tidak memiliki kredit macet;
tidak memiliki hutang jatuh tempo dan bermasalah;
tidak pernah dinyatakan pailit dan tidak pernah menjadi pemegang saham,
anggota dewan komisaris atau anggota direksi yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan
pengadilan dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan; dan
e. memiliki . . .
- 10 -
e. memiliki komitmen kesediaan untuk melakukan upaya-upaya yang
diperlukan apabila Bank menghadapi kesulitan permodalan maupun
likuiditas.
Bagian Kedua
Tata Cara Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 9
(1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon PSP diajukan oleh Bank
kepada Bank Indonesia.
(2) Dalam hal calon PSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan
pembelian saham Bank melalui program divestasi saham negara dalam
rangka penyertaan modal sementara oleh instansi Pemerintah yang
berwenang, maka permohonan persetujuan diajukan oleh instansi
Pemerintah yang berwenang.
Pasal 10
Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Bank Indonesia melakukan uji
kemampuan dan kepatutan, yang meliputi:
a. penelitian administratif; dan
b.
wawancara.
Pasal 11
(1) Dalam hal calon PSP Bank berbentuk badan hukum, uji kemampuan dan
kepatutan terhadap badan hukum tersebut dilakukan dengan menilai badan
hukum . . .
- 11 -
hukum yang bersangkutan, anggota dewan komisaris dan anggota direksi
badan hukum yang bersangkutan, dan pihak-pihak yang berdasarkan
penilaian Bank Indonesia merupakan pemilik dan pengendali terakhir dari
badan hukum tersebut (ultimate shareholders).
(2) Dalam hal ultimate shareholders adalah pemerintah negara lain, dan hukum
di negara yang bersangkutan tidak memperbolehkan ultimate shareholders
tersebut memberikan data dan dokumen, Bank Indonesia menetapkan
ultimate shareholders lain yang secara langsung dikendalikan oleh
pemerintah negara lain tersebut berdasarkan dokumen pendukung yang sah.
(3) Pihak–pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
menyampaikan persyaratan administratif dan menjalani wawancara.
(4) Selain pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank
Indonesia dapat menetapkan pihak-pihak lain yang dianggap melakukan
Pengendalian, untuk menyampaikan persyaratan administratif dan/atau
menjalani wawancara.
(5) Hasil uji kemampuan dan kepatutan terhadap pihak-pihak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) merupakan satu kesatuan dan
merupakan hasil uji kemampuan dan kepatutan terhadap badan hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 12
Dalam hal calon PSP Bank adalah Pemerintah, maka pelaksanaan wawancara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b hanya dilakukan apabila dianggap
perlu.
Pasal 13 . . .
- 12 -
Pasal 13
(1) Bank Indonesia berwenang untuk menghentikan uji kemampuan dan
kepatutan calon PSP, apabila pada saat uji kemampuan dan kepatutan
dilakukan calon tersebut sedang menjalani proses hukum dan/atau sedang
menjalani proses uji kemampuan dan kepatutan pada suatu bank.
(2) Penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada
Bank dan pihak yang diuji.
(3) Calon PSP yang dihentikan uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat diajukan kembali kepada Bank Indonesia
untuk menjadi calon PSP, apabila yang bersangkutan telah selesai
menjalani proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Ketiga
Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 14
(1) Berdasarkan penelitian administratif dan hasil wawancara yang dilakukan
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Bank Indonesia
menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan menjadi 2 (dua)
predikat yaitu:
a. Lulus; atau
b. Tidak Lulus.
(2) Dalam hal calon PSP dinyatakan Tidak Lulus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b namun telah memiliki saham Bank, maka berlaku ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38.
Pasal 15 . . .
- 13 -
Pasal 15
(1) Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja setelah seluruh dokumen permohonan diterima secara
lengkap.
(2) Bank Indonesia memberitahukan hasil uji kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis kepada Bank dalam
bentuk persetujuan atau penolakan.
(3) Selain kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia
dapat memberitahukan hasil uji kemampuan dan kepatutan kepada
pihak-pihak lain yang berkepentingan.
BAB III
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP CALON ANGGOTA
DEWAN KOMISARIS DAN CALON ANGGOTA DIREKSI
Pasal 16
(1) Calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi wajib
memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum menjalankan tugas
dan fungsi dalam jabatannya.
(2) Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi Bank yang
belum mendapat persetujuan Bank Indonesia dilarang melakukan tugas
sebagai anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi walaupun telah
mendapat persetujuan dan diangkat oleh RUPS.
Bagian . . .
- 14 -
Bagian Pertama
Faktor Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 17
Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon anggota
Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi memenuhi persyaratan:
a.
integritas;
b. kompetensi; dan
c.
reputasi keuangan.
Pasal 18
Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a bagi calon
anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi meliputi:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik, antara lain ditunjukkan dengan sikap
mematuhi ketentuan yang berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena
terbukti melakukan Tindak Pidana Tertentu dalam waktu 20 (dua puluh)
tahun terakhir sebelum dicalonkan;
b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
c. memiliki komitmen terhadap pengembangan operasional Bank yang sehat;
d.
tidak termasuk dalam DTL; dan
e. memiliki komitmen untuk tidak akan melakukan dan/atau mengulangi
perbuatan dan/atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan
Pasal 28, bagi calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi
yang pernah memiliki predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan
kepatutan dan telah menjalani masa sanksi sebagaimana dimaksud Pasal 35
ayat (1), Pasal 40 ayat (4) huruf a dan Pasal 40 ayat (5).
Pasal 19 . . .
- 15 -
Pasal 19
Persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b meliputi:
a.
bagi calon anggota Dewan Komisaris:
1) pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan
jabatannya; dan/atau
2) pengalaman di bidang perbankan dan/atau bidang keuangan.
b. bagi calon anggota Direksi:
1) pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan
jabatannya;
2) pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan/atau bidang
keuangan; dan
3) kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka
pengembangan Bank yang sehat.
Pasal 20
Persyaratan reputasi keuangan bagi calon anggota Dewan Komisaris atau calon
anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c meliputi:
a.
b.
tidak memiliki kredit macet; dan
tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi atau komisaris yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, dalam
waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan.
Bagian . . .
- 16 -
Bagian Kedua
Tata Cara Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 21
(1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon anggota Dewan
Komisaris dan/atau anggota Direksi diajukan oleh Bank kepada Bank
Indonesia.
(2) Dalam hal anggota Direksi Bank yang berwenang untuk mengajukan
permohonan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), tidak dapat
menjalankan fungsinya atau mempunyai benturan kepentingan dengan
Bank, permohonan diajukan oleh:
a.
anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan
dengan Bank;
b. anggota Dewan Komisaris apabila seluruh anggota Direksi tidak dapat
menjalankan fungsinya atau mempunyai benturan kepentingan dengan
Bank; atau
c.
pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS apabila seluruh anggota Dewan
Komisaris atau anggota Direksi tidak dapat menjalankan fungsinya
atau mempunyai benturan kepentingan dengan Bank.
(3) Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi yang
diajukan dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
banyak berjumlah 2 (dua) orang untuk setiap lowongan jabatan, dan
penetapan calon yang diajukan telah dilakukan sesuai ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 22
Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1), Bank Indonesia melakukan uji
kemampuan dan kepatutan, yang meliputi:
a. penelitian . . .
- 17 -
a.
penelitian administratif; dan
b. wawancara, apabila diperlukan.
Pasal 23
(1) Bank Indonesia berwenang untuk menghentikan uji kemampuan dan
kepatutan calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi
Bank, apabila pada saat uji kemampuan dan kepatutan dilakukan calon
tersebut sedang menjalani proses hukum dan/atau sedang menjalani proses
uji kemampuan dan kepatutan pada suatu bank.
(2) Penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada
Bank dan pihak yang diuji.
(3) Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi Bank yang
dihentikan uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dapat diajukan kembali kepada Bank Indonesia untuk menjadi calon
anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi Bank, apabila yang
bersangkutan telah selesai menjalani proses sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Bagian Ketiga
Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 24
(1) Berdasarkan penelitian administratif dan wawancara yang dilakukan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Bank Indonesia
menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan menjadi 2 (dua)
predikat, yaitu:
a. Lulus; atau
b. Tidak Lulus.
(2) Dalam . . .
- 18 -
(2) Dalam hal calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi
yang memperoleh predikat Tidak Lulus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b namun telah mendapat persetujuan dan diangkat sebagai
anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi Bank sesuai keputusan
RUPS, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2),
Pasal 34 ayat (3), Pasal 34 ayat (4), dan Pasal 40.
Pasal 25
(1) Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja setelah seluruh dokumen permohonan dari Bank
telah diterima secara lengkap.
(2) Bank Indonesia memberitahukan hasil uji kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis kepada Bank dalam
bentuk persetujuan atau penolakan.
(3) Selain kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia
dapat memberitahukan hasil uji kemampuan dan kepatutan kepada
pihak-pihak lain yang berkepentingan.
Pasal 26
(1) Terhadap calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi yang
telah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (2), wajib diangkat oleh RUPS paling lambat 6 (enam)
bulan setelah tanggal surat persetujuan dari Bank Indonesia.
(2) Dalam . . .
- 19 -
(2) Dalam hal jangka waktu 6 (enam) bulan berakhir dan calon anggota Dewan
Komisaris atau calon anggota Direksi yang telah memperoleh persetujuan
dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), belum diangkat
oleh RUPS, maka persetujuan yang telah diberikan menjadi tidak berlaku.
BAB IV
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP PSP,
ANGGOTA DEWAN KOMISARIS,
ANGGOTA DIREKSI DAN PEJABAT EKSEKUTIF
Bagian Pertama
Cakupan Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 27
Uji kemampuan dan kepatutan dalam rangka penilaian kembali terhadap PSP
dilakukan dalam hal terdapat indikasi permasalahan integritas dan/atau kelayakan
keuangan yang meliputi:
a. Tindakan-tindakan baik secara langsung maupun tidak langsung berupa:
1) mempengaruhi dan/atau menyuruh anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi, Pejabat Eksekutif dan/atau pegawai Bank untuk
menyembunyikan dan/atau mengaburkan pelanggaran dari suatu
ketentuan atau kondisi keuangan dan/atau transaksi yang sebenarnya;
2) mempengaruhi dan/atau menyuruh anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi, Pejabat Eksekutif dan/atau pegawai Bank untuk
memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pemegang saham,
anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, pegawai, dan/atau pihak
lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Bank;
dan/atau
3) mempengaruhi . . .
- 20 -
3) mempengaruhi dan/atau menyuruh anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi, Pejabat Eksekutif dan/atau pegawai Bank untuk
melakukan perbuatan yang melanggar prinsip kehati–hatian di bidang
perbankan dan/atau asas-asas perbankan yang sehat;
b.
c.
terbukti melakukan Tindak Pidana Tertentu yang telah diputus oleh
pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap;
terbukti menyebabkan Bank mengalami kesulitan yang membahayakan
kelangsungan usaha Bank dan/atau dapat membahayakan industri
perbankan;
d.
e.
f.
terbukti tidak melaksanakan perintah Bank Indonesia untuk melakukan
dan/atau tidak melakukan tindakan tertentu;
terbukti memiliki kredit macet;
terbukti dinyatakan pailit dan/atau menjadi pemegang saham, anggota
dewan komisaris atau anggota direksi yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit;
g.
h.
tidak mampu melakukan upaya-upaya yang diperlukan apabila Bank
menghadapi kesulitan permodalan maupun likuiditas; atau
terbukti menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi
komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia dan/atau
Pemerintah.
Pasal 28
Uji kemampuan dan kepatutan dalam rangka penilaian kembali terhadap anggota
Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif dilakukan dalam hal
terdapat indikasi permasalahan integritas, kompetensi dan/atau reputasi keuangan
yang meliputi:
a. tindakan . . .
- 21 -
a.
tindakan-tindakan baik secara langsung maupun tidak langsung berupa:
1) menyembunyikan dan/atau mengaburkan pelanggaran dari suatu
ketentuan atau kondisi keuangan dan/atau transaksi yang sebenarnya;
2) memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pemegang saham,
anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, pegawai, dan/atau pihak
lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Bank;
dan/atau
3) melanggar prinsip kehati-hatian di bidang perbankan dan asas-asas
perbankan yang sehat;
b.
c.
d.
e.
f.
terbukti melakukan Tindak Pidana Tertentu yang telah diputus oleh
pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap;
terbukti menyebabkan Bank mengalami kesulitan yang membahayakan
kelangsungan usahanya atau dapat membahayakan industri perbankan;
terbukti tidak melaksanakan perintah Bank Indonesia untuk melakukan
dan/atau tidak melakukan tindakan tertentu;
terbukti memiliki kredit macet;
terbukti dinyatakan pailit dan/atau menjadi anggota dewan komisaris atau
anggota direksi yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan
dinyatakan pailit;
g.
h.
tidak mampu melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan
Bank yang sehat; atau
terbukti menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi
komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia dan/atau
Pemerintah.
Bagian . . .
- 22 -
Bagian Kedua
Tata Cara Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 29
(1) Uji kemampuan dan kepatutan terhadap PSP dilakukan untuk keseluruhan
pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) yang terkait dengan PSP yang akan diuji.
(2) Hasil uji kemampuan dan kepatutan terhadap PSP dan pihak-pihak yang
melakukan Pengendalian terhadap Bank sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan satu kesatuan dan berlaku bagi PSP dan pihak-pihak
yang melakukan Pengendalian terhadap Bank yang terkait dengan PSP yang
dinilai tersebut, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
(3) Pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
pihak-pihak yang bersangkutan dalam langkah-langkah uji kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
Pasal 30
(1) Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan berdasarkan
bukti, data dan informasi yang diperoleh dari hasil pengawasan maupun
informasi lainnya.
(2) Uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. klarifikasi bukti, data dan informasi kepada pihak-pihak yang diuji;
b.
c.
penetapan dan penyampaian hasil sementara uji kemampuan dan
kepatutan kepada pihak-pihak yang diuji;
tanggapan dari pihak-pihak yang diuji terhadap hasil sementara uji
kemampuan dan kepatutan; dan
d. penetapan . . .
- 23 -
d.
penetapan dan pemberitahuan hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan kepada pihak-pihak yang diuji.
(3) Pihak-pihak yang diuji diberikan kesempatan menyampaikan tanggapan
atas permintaan klarifikasi bukti, data dan informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal permintaan klarifikasi dari Bank Indonesia.
(4) Dalam hal pihak-pihak yang diuji tidak menggunakan hak untuk
menyampaikan klarifikasi bukti, data dan informasi dalam jangka waktu
yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka Bank
Indonesia akan melakukan langkah-langkah penilaian selanjutnya.
(5) Pihak-pihak yang diuji diberikan kesempatan menyampaikan tanggapan
atas hasil sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal surat Bank Indonesia.
(6) Dalam hal pihak-pihak yang diuji tidak menggunakan hak untuk
menyampaikan tanggapan terhadap hasil sementara dalam jangka waktu
yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), maka Bank
Indonesia menetapkan hasil sementara uji kemampuan dan kepatutan
menjadi hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan.
Pasal 31
Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan secara
langsung tanpa mengikuti seluruh langkah–langkah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (2), apabila pihak yang diuji:
a.
diputus bersalah dalam Tindak Pidana Tertentu yang telah diputus oleh
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
b. terbukti . . .
- 24 -
b.
terbukti dinyatakan pailit dan/atau menjadi pemegang saham, anggota
dewan komisaris atau anggota direksi yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit.
Bagian Ketiga
Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 32
(1) Bank Indonesia menetapkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan
menjadi 2 (dua) predikat, yaitu:
a. Lulus; atau
b. Tidak Lulus.
(2) Penetapan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan berdasarkan tingkat keterlibatan pihak-pihak yang
diuji.
(3) Hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berlaku sejak tanggal surat penetapan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf d.
Pasal 33
(1) Bank Indonesia memberitahukan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan
secara tertulis kepada Bank dan pihak yang diuji.
(2) Selain kepada pihak–pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia dapat memberitahukan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan
kepada pihak–pihak lain yang berkepentingan.
Bagian . . .
- 25 -
Bagian Keempat
Konsekuensi Hasil Uji Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 34
(1) Pihak-pihak yang ditetapkan predikat Lulus dinyatakan memenuhi
persyaratan untuk tetap menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota
Direksi atau Pejabat Eksekutif.
(2) Pihak-pihak yang ditetapkan predikat Tidak Lulus dilarang menjadi:
a. PSP atau memiliki saham pada industri perbankan; dan/atau
b. anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat Eksekutif
pada industri perbankan.
(3) Pengenaan sanksi larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga
berlaku bagi pihak-pihak yang pada saat penilaian ditetapkan Tidak Lulus,
yang bersangkutan telah menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota
Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada bank lain.
(4) Terhadap pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku
konsekuensi Tidak Lulus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 35
(1) Pengenaan jangka waktu larangan terhadap pihak-pihak yang diberikan
predikat Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2)
ditetapkan:
a.
selama jangka waktu 3 (tiga) tahun:
1) bagi PSP apabila terbukti melakukan tindakan–tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a angka 3), huruf d,
huruf e, huruf g, atau huruf h.
2) bagi . . .
- 26 -
2) bagi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan/atau
Pejabat Eksekutif apabila terbukti melakukan tindakan-tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a angka 3), huruf d,
huruf e, huruf g, atau huruf h.
b.
selama jangka waktu 5 (lima) tahun:
1) bagi PSP apabila:
a)
terbukti melakukan tindakan-tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 huruf a angka 1) atau angka 2);
atau
b)
terbukti melakukan tindakan-tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 huruf a angka 3), huruf d,
huruf e, huruf g atau huruf h, dan perbuatan dimaksud:
i.
dilakukan secara berulang;
ii.
dilakukan secara kumulatif; atau
iii. terbukti menguntungkan diri sendiri maupun pihak
lain.
2) bagi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan/atau
Pejabat Eksekutif apabila:
a) terbukti melakukan tindakan-tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 huruf a angka 1) atau angka 2);
atau
b) terbukti melakukan tindakan-tindakan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 huruf a angka 3), huruf d,
huruf e, huruf g, atau huruf h dan perbuatan dimaksud:
i.
dilakukan secara berulang;
ii.
dilakukan secara kumulatif; atau
iii. terbukti menguntungkan diri sendiri maupun pihak
lain.
c. selama . . .
- 27 -
c.
selama jangka waktu 20 (dua puluh) tahun:
1) bagi PSP apabila terbukti melakukan tindakan–tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf b, huruf c atau
huruf f.
2) bagi anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan/atau
Pejabat Eksekutif apabila terbukti melakukan tindakan–tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b, huruf c atau
huruf f.
(2) Jangka waktu larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhitung
sejak tanggal surat penetapan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (2) huruf d.
Pasal 36
(1) Pihak–pihak yang dilarang menjadi PSP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (2) huruf a:
a.
b.
dilarang melakukan tindakan sebagai PSP;
tidak dapat menjalankan hak selaku pemegang saham dan saham
tersebut tidak diperhitungkan dalam kuorum RUPS sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
perseroan terbatas; dan
c.
wajib mengalihkan seluruh kepemilikan sahamnya dalam jangka
waktu paling lambat 6 (enam) bulan.
(2) Bank wajib mencantumkan penjelasan dalam daftar pemegang saham Bank
mengenai status PSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal pihak-pihak yang ditetapkan predikat Tidak Lulus adalah PSP
dari Bank yang berada dalam penanganan/penyelamatan oleh Lembaga
Penjamin . . .
- 28 -
Penjamin Simpanan, maka jangka waktu kewajiban pengalihan kepemilikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c mengacu kepada ketentuan
yang dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
(4) Bank Indonesia dapat menetapkan jangka waktu kewajiban pengalihan
kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c secara tersendiri
apabila menurut penilaian Bank Indonesia langkah-langkah dimaksud perlu
disesuaikan dengan program penyehatan Bank sebagaimana diatur dalam
ketentuan yang berlaku.
(5) Bank wajib melaporkan pengalihan kepemilikan saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah RUPS mengesahkan pengalihan
kepemilikan saham.
Pasal 37
Dalam hal pihak–pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c,
ayat (3) dan ayat (4) tidak mengalihkan seluruh kepemilikan sahamnya sesuai
dengan jangka waktu yang ditetapkan, maka:
a. pihak yang bersangkutan wajib menyerahkan surat kuasa menjual kepada
Bank Indonesia dengan hak substitusi atau kepada pihak lain yang ditunjuk
atau disetujui oleh Bank Indonesia dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja
sejak berakhirnya batas waktu pengalihan kepemilikan saham;
b.
jangka waktu larangan kepada pihak yang bersangkutan ditetapkan menjadi
selama 20 (dua puluh) tahun;
c. pihak yang bersangkutan diberitahukan kepada Otoritas Pengawasan Pasar
Modal; dan
d. pembayaran . . .
- 29 -
d. pembayaran deviden ditunda sampai dengan yang bersangkutan
mengalihkan kepemilikan sahamnya.
Pasal 38
Bank Indonesia dapat membentuk Komite untuk menangani pengalihan saham
PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a.
Pasal 39
(1) Perbuatan mengalihkan kepemilikan saham dimaksud dalam Pasal 36
ayat (1) huruf c dapat dilakukan melalui hibah maupun melalui penjualan
kepada pihak selain pihak yang memiliki hubungan keluarga sampai dengan
derajat kedua termasuk kepada kelompok usahanya.
(2) Dalam hal pengalihan kepemilikan dilakukan dengan cara mengalihkan
saham kepada pihak yang memiliki hubungan keluarga sampai dengan
derajat kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau kelompok
usaha dari PSP yang ditetapkan predikat Tidak Lulus, maka:
a. pengalihan tersebut tidak dianggap sebagai pengalihan kepemilikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c;
b. Bank dilarang melakukan pencatatan atas pihak-pihak yang menerima
pengalihan tersebut dalam daftar pemegang saham Bank; dan
c. pihak-pihak yang menerima pengalihan tidak memperoleh
hak-haknya sebagai pemegang saham.
Pasal 40 . . .
- 30 -
Pasal 40
(1) Pihak–pihak yang dilarang menjadi anggota Dewan Komisaris, anggota
Direksi atau Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (2) huruf b:
a.
dilarang untuk melakukan tindakan sebagai anggota Dewan
Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif; dan
b.
wajib berhenti sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi,
atau Pejabat Eksekutif.
(2) Bank wajib menindaklanjuti konsekuensi Tidak Lulus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal
pemberitahuan dari Bank Indonesia.
(3) Bank wajib melaporkan tindaklanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh)
hari kerja.
(4) Dalam hal anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat
Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih melakukan tindakan
sebagai Komisaris, Direksi atau Pejabat Eksekutif, maka:
a.
jangka waktu larangan kepada yang bersangkutan ditetapkan menjadi
selama 20 (dua puluh) tahun; dan
b. Bank diberitahukan kepada Otoritas Pengawasan Pasar Modal.
(5) PSP yang dengan sengaja membiarkan anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Direksi yang Tidak Lulus untuk melakukan tindakan sebagai
anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi, diberikan predikat Tidak
Lulus dengan jangka waktu larangan selama 20 (dua puluh) tahun.
(6) Penetapan . . .
- 31 -
(6) Penetapan sanksi Tidak Lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
didahului dengan surat teguran dari Bank Indonesia sebanyak 2 (dua) kali
dengan tenggang waktu masing-masing surat teguran adalah 5 (lima) hari
kerja.
Pasal 41
Dalam hal seluruh atau sebagian anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota
Direksi ditetapkan Tidak Lulus dan menurut penilaian Bank Indonesia
kekosongan jabatan Direksi dan/atau Komisaris tersebut dapat mengganggu
kegiatan operasional Bank, maka Bank Indonesia menunjuk pengganti sementara
sampai RUPS mengangkat pengganti yang tetap sesuai dengan ketentuan
perundang–undangan yang berlaku.
Bagian Kelima
Permohonan Kembali untuk menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris
dan/atau anggota Direksi
Pasal 42
(1) Pihak-pihak yang dikenakan larangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (2) dapat diajukan kembali kepada Bank Indonesia untuk
menjadi calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon
anggota Direksi apabila jangka waktu pengenaan sanksi larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) , Pasal 40 ayat (4) huruf a,
dan Pasal 40 ayat (5) telah terlampaui.
(2) PSP . . .
- 32 -
(2) PSP yang berbentuk badan hukum yang dikenakan larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) dapat diajukan kembali kepada Bank
Indonesia untuk menjadi calon PSP sebelum berakhirnya jangka waktu
pengenaan sanksi larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (1) , Pasal 40 ayat (4) huruf a dan Pasal 40 ayat (5) sepanjang badan
hukum yang bersangkutan telah mengganti pihak–pihak yang melakukan
Pengendalian terhadap badan hukum dimaksud yang dalam uji kemampuan
dan kepatutan memperoleh predikat Tidak Lulus.
(3) Penilaian atas permohonan untuk kembali menjadi calon PSP, calon
anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi Bank sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam BAB II dan BAB III Peraturan Bank Indonesia
ini.
BAB V
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP PEMIMPIN
KANTOR PERWAKILAN BANK ASING
Pasal 43
(1) Tata cara uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon Pemimpin Kantor
Perwakilan Bank Asing, berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam BAB
III Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Tata cara uji kemampuan dan kepatutan terhadap Pemimpin Kantor
Perwakilan Bank Asing berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam
BAB IV Peraturan Bank Indonesia ini.
(3) Uji . . .
- 33 -
(3) Uji kemampuan dan kepatutan terhadap Pemimpin Kantor Perwakilan Bank
Asing dilakukan apabila terdapat indikasi bahwa yang bersangkutan
memiliki peranan atas pelanggaran atau penyimpangan kegiatan Kantor
Perwakilan Bank Asing.
BAB VI
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN TERHADAP BANK
DALAM PENYELAMATAN/PENANGANAN OLEH
LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS)
Bagian Pertama
Uji Kemampuan dan Kepatutan Terhadap
Calon Anggota Dewan Komisaris dan Calon Anggota Direksi
Pasal 44
(1) Dalam hal Bank berada dalam penanganan atau penyelamatan oleh LPS,
maka uji kemampuan dan kepatutan hanya dilakukan terhadap calon
anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi.
(2) Permohonan persetujuan calon anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota
Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh LPS.
Pasal 45
Persyaratan uji kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota Dewan Komisaris
dan/atau calon anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, berlaku
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4, Pasal 16 dan Bagian Pertama BAB
III Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 46 . . .
- 34 -
Pasal 46
Uji kemampuan dan kepatutan calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon
anggota Direksi dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. penelitian administratif berupa persyaratan tidak tercantum dalam daftar
kredit macet dan DTL;
b.
penelitian administratif lainnya; dan
c. wawancara, apabila diperlukan.
Pasal 47
(1) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 huruf a pihak yang diuji tidak tercantum dalam daftar kredit macet
dan DTL maka Bank Indonesia memberikan persetujuan sementara
sehingga pihak yang diuji berwenang menjalankan tugas dan fungsinya
sebagai anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 huruf a pihak yang diuji tercantum dalam daftar kredit macet dan/atau
DTL, maka Bank Indonesia tidak memberikan persetujuan sementara dan:
a.
pihak yang diuji dilarang melakukan tindakan sebagai anggota Dewan
Komisaris atau anggota Direksi; dan
b. LPS menyampaikan kembali calon anggota Direksi atau calon anggota
Dewan Komisaris yang baru.
(3) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf a
diberitahukan kepada LPS.
Pasal 48 . . .
- 35 -
Pasal 48
(1) Bank wajib menyampaikan dokumen administratif lainnya mengenai
pihak-pihak yang diuji paling lambat 1 (satu) bulan setelah persetujuan
sementara Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat 1.
(2) Dalam rangka melakukan penelitian administratif lainnya dan wawancara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf b dan huruf c, berlaku
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan Bagian Ketiga BAB III
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 49
(1) Berdasarkan penelitian administratif lainnya dan wawancara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 huruf b dan huruf c, Bank Indonesia menetapkan
hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan menjadi 2 (dua) predikat:
a. Lulus; atau
b. Tidak Lulus
(2) Penetapan hasil akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan Bank
Indonesia paling lambat 6 (enam) bulan setelah persetujuan sementara.
Pasal 50
Bank Indonesia memberitahukan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan secara
tertulis kepada Bank, pihak yang diuji dan LPS.
Pasal 51 . . .
- 36 -
Pasal 51
(1) Konsekuensi dari hasil akhir uji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49
ayat (1), berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Bagian Keempat
BAB IV Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Dalam hal hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan pihak yang diuji
ditetapkan Tidak Lulus, maka hasil persetujuan sementara yang telah
diterbitkan menjadi batal terhitung sejak tanggal penetapan Tidak Lulus.
Bagian Kedua
Uji Kemampuan dan Kepatutan Terhadap
Anggota Dewan Komisaris, Anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif
Pasal 52
Tata cara uji kemampuan dan kepatutan terhadap anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam BAB IV Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB VII
KETENTUAN LAIN–LAIN
Pasal 53
(1) Hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan bersifat rahasia dan
ditatausahakan serta digunakan oleh Bank Indonesia dalam rangka
pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan Bank.
(2) Dalam . . .
- 37 -
(2) Dalam hal Bank, pihak-pihak yang diuji dan pihak–pihak lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 25, Pasal 33, Pasal 47 dan Pasal 50
memberitahukan hasil uji kemampuan dan kepatutan kepada pihak lain,
maka segala akibat hukum yang timbul sepenuhnya menjadi tanggung
jawab yang bersangkutan.
Pasal 54
(1) Bank wajib melaporkan rencana perubahan struktur kelompok usaha yang
terkait dengan Bank termasuk badan hukum pemilik Bank sampai dengan
ultimate shareholders kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan
sebelum terjadinya perubahan.
(2) Dalam hal perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menurut penilaian Bank Indonesia menyebabkan perubahan
pengendali Bank atau apabila menurut penilaian Bank Indonesia terdapat
pengendali Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka Bank wajib
mengajukan calon PSP dan Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan
kepatutan sebagaimana diatur dalam BAB II Peraturan Bank Indonesia ini.
(3) Uji kemampuan dan kepatutan terhadap pengendali Bank yang disebabkan
karena adanya perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) merupakan satu kesatuan dan merupakan hasil uji kemampuan
dan kepatutan terhadap kelompok usaha.
Pasal 55
Bank Indonesia berwenang menolak perubahan pengendali Bank, apabila
berdasarkan penilaian Bank Indonesia perubahan tersebut dapat menyebabkan
atau diindikasikan dapat menghambat pelaksanaan pengawasan Bank.
Pasal 56 . . .
- 38 -
Pasal 56
Bank wajib mengungkapkan penjelasan mengenai status PSP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) dalam Laporan Keuangan Publikasi Bank
Triwulanan dan Laporan Tahunan Bank.
Pasal 57
Calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi
selain
wajib memenuhi persyaratan integritas, kompetensi, dan
kelayakan/reputasi keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini, juga wajib memenuhi persyaratan mengenai kepemilikan dan
kepengurusan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku
beserta perubahan dan/atau penggantinya.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 58
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
ayat (2), Pasal 39 ayat (2) huruf b, atau Pasal 40 ayat (2), dikenakan
sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 ayat (2) Undang–Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa:
a.
teguran tertulis; dan/atau
b. pemberhentian . . .
- 39 -
b. pemberhentian sebagai anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota
Direksi Bank dan selanjutnya Bank Indonesia menunjuk dan
mengangkat pengganti sementara sampai RUPS mengangkat
pengganti tetap dengan persetujuan Bank Indonesia.
(2) Bank yang melanggar kewajiban menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5), Pasal 40 ayat (3) atau Pasal 54 ayat (1)
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban
membayar sebesar:
a.
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kelambatan untuk setiap
laporan dengan jumlah paling tinggi Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta
rupiah) apabila Bank belum menyampaikan laporan sampai dengan
30 (tiga puluh) hari kerja setelah batas waktu penyampaian laporan;
atau
b. Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) apabila Bank tidak
menyampaikan atau menyampaikan laporan melebihi batas waktu
30 (tiga puluh) hari kerja setelah batas waktu penyampaian laporan.
(3) Pemegang saham yang dengan sengaja tidak menaati ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 36 ayat (1) huruf a,
Pasal 37 huruf a atau Pasal 40 ayat (5), dikenakan sanksi sesuai dengan
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
(4) Anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan/atau Pejabat Eksekutif
yang dengan sengaja tidak menaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (2) atau Pasal 40 ayat (1) dikenakan sanksi sesuai Pasal 49
ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
BAB IX . . .
- 40 -
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 59
(1) Hasil uji kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia
sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku.
(2) Terhadap pihak yang ditetapkan Lulus Bersyarat berdasarkan Peraturan
Bank Indonesia No. 5/25/PBI/2003 tanggal 10 November 2003 tentang
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) maka yang
bersangkutan dinyatakan Lulus sepanjang telah memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia No. 5/25/PBI/2003
tanggal 10 November 2003.
(3) Terhadap uji kemampuan dan kepatutan bagi calon PSP atau PSP, calon
anggota Dewan Komisaris atau anggota Dewan Komisaris, calon anggota
Direksi atau anggota Direksi, dan/atau Pejabat Eksekutif yang sedang
dilakukan pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka:
a. proses penilaian dan hasil penilaian tetap mengacu kepada
PBI No. 5/25/PBI/2003 tanggal 10 Nopember 2003 tentang Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test).
b. dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah
Lulus Bersyarat, maka yang bersangkutan dinyatakan Lulus setelah
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam PBI
No. 5/25/PBI/2003 tanggal 10 Nopember 2003 tentang Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test).
c. dalam . . .
- 41 -
c.
dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah
Lulus atau Tidak Lulus, maka konsekuensi dan pengenaan jangka
waktu sanksi mengacu kepada ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 60
Pihak–pihak yang berasal dari Bank Umum dan telah dinyatakan sebagai
pihak–pihak yang Tidak Lulus berdasarkan PBI No. 5/25/PBI/2003 tanggal
10 Nopember 2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and
Proper Test), tetap dilarang menjadi Pemegang Saham, anggota Dewan
Komisaris dan/atau anggota Direksi sampai dengan jangka waktu pelarangan
berakhir.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 61
Ketentuan pelaksanaan tentang uji kemampuan dan kepatutan akan diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 62
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/25/PBI/2003 tanggal 10 November 2003 tentang Penilaian Kemampuan
dan Kepatutan (Fit and Proper Test) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 63 . . .
- 42 -
Pasal 63
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 12/ 23 /PBI/2010
TENTANG
UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
(FIT AND PROPER TEST)
UMUM
Upaya menciptakan sistem perbankan yang sehat, selain ditempuh
dengan cara perbaikan kondisi keuangan perbankan, juga ditempuh dengan
cara pemantapan sistem perbankan yang mengarahkan perbankan kepada
praktek-praktek good corporate governance serta pemenuhan prinsip
kehati-hatian.
Bank sebagai lembaga intermediasi setiap saat harus mempertahankan dan
menjaga kepercayaan, oleh karena itu lembaga perbankan perlu dimiliki dan
dikelola oleh pihak-pihak yang memenuhi persyaratan kemampuan dan
kepatutan.
Perkembangan industri perbankan yang dinamis membutuhkan pemilik
yang selain memiliki integritas juga memiliki komitmen dan kemampuan yang
tinggi dalam mendukung pengembangan operasional bank yang sehat. Selain itu
dalam pengelolaan bank diperlukan sumber daya manusia yang memiliki
integritas yang tinggi, berkualitas dan memiliki reputasi keuangan yang baik.
Sehubungan . . .
- 2 -
Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan proses uji kemampuan dan
kepatutan terhadap calon pemilik dan calon pengelola bank melalui penelitian
administratif yang lebih efektif dan proses wawancara yang lebih efisien, dengan
tetap memperhatikan pemenuhan persyaratan yang ditetapkan.
Selanjutnya sebagai pelaksanaan tugas pengawasan Bank oleh Bank
Indonesia secara berkesinambungan, terhadap pihak–pihak yang telah mendapat
persetujuan dari Bank Indonesia, dilakukan penilaian kembali atas kemampuan
dan kepatutannya sebagai pemilik dan pengelola Bank. Dalam rangka
melindungi industri bank dari pihak-pihak yang diindikasikan tidak memenuhi
persyaratan kemampuan dan kepatutan, penilaian kembali dilakukan melalui
proses yang lebih singkat dan transparan tanpa mengabaikan azas keadilan bagi
pihak yang diuji.
Mengingat tujuan uji kemampuan dan kepatutan adalah agar industri
perbankan senantiasa dimiliki dan dikelola oleh pihak-pihak yang memenuhi
persyaratan maka sudah menjadi keharusan untuk tidak memberikan ruang bagi
pihak yang melakukan tindakan yang diindikasikan tidak memenuhi persyaratan
kemampuan dan kepatutan. Berkaitan dengan hal tersebut diperlukan
penyempurnaan ketentuan yang berkaitan dengan pengenaan sanksi yang lebih
tegas dan dapat memberikan efek jera terhadap pihak yang tidak mampu dan
tidak patut dalam memiliki dan mengelola bank.
Berdasarkan hal–hal tersebut di atas, ketentuan yang mengatur mengenai
penilaian kemampuan dan kepatutan (Fit and Proper Test) perlu dilakukan
penyempurnaan dalam suatu ketentuan tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan
(Fit and Proper Test).
PASAL . . .
- 3 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud pihak pihak yang termasuk sebagai pengendali Bank
termasuk pihak pihak yang menjadi pengendali akibat dari
berlakunya peraturan perundangan terkait lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam menghitung jumlah saham yang dimiliki dan/atau dikendalikan
secara bersama-sama oleh pihak-pihak yang melakukan Pengendalian
terhadap Bank, termasuk:
a. saham Bank yang dimiliki oleh pihak lain yang hak suaranya
dapat digunakan atau dikendalikan oleh pengendali Bank;
b. saham Bank yang dimiliki oleh perusahaan yang dikendalikan
oleh pengendali Bank;
c. saham Bank yang dimiliki oleh pihak terafiliasi dari pengendali
Bank;
d. saham Bank yang dimiliki oleh anak perusahaan dari perusahaan
yang dikendalikan oleh pengendali Bank;
e. saham . . .
- 4 -
e. saham Bank yang dimiliki oleh pihak lain untuk dan atas nama
pengendali Bank (saham nominee) berdasarkan atau tidak
berdasarkan suatu perjanjian tertentu;
f.
saham Bank yang dimiliki oleh pihak lain yang
pemindahtanganannya memerlukan persetujuan dari pengendali
Bank;
g. saham Bank lainnya selain saham sebagaimana dimaksud pada
huruf a sampai dengan huruf f, yang dikendalikan oleh
pengendali Bank.
Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi dari pengendali Bank
sebagaimana dimaksud pada huruf c adalah:
a.
anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau yang setara atau
kuasanya, pejabat, atau karyawan perusahaan pengendali Bank;
b. pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat atau
karyawan perusahaan pengendali Bank, khusus bagi perusahaan
yang berbentuk hukum koperasi;
c.
pihak yang memberikan jasa kepada perusahaan pengendali
Bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan
konsultan lain yang terbukti dikendalikan oleh pengendali Bank;
d.
pihak yang mempunyai hubungan keluarga dengan pengendali
Bank baik karena perkawinan maupun karena keturunan sampai
dengan derajat kedua baik secara horizontal maupun vertikal,
termasuk besan;
e.
pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta
mempengaruhi pengelolaan perusahaan pengendali Bank, antara
lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris,
keluarga pengawas, keluarga direksi, dan keluarga pengurus.
Huruf a . . .
- 5 -
Huruf a
Bank dapat memiliki 1 (satu) atau lebih PSP. Termasuk dalam
pengertian calon PSP antara lain adalah pemegang saham yang
menjadi PSP karena terjadinya pengalihan saham Bank secara
internal atau eksternal, penambahan modal dari pemegang saham
Bank, right issue saham Bank dan/atau pengajuan diri secara
sukarela menjadi PSP.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 3 . . .
- 6 -
Pasal 3
Huruf a
Calon anggota Direksi Bank yang hanya bertanggungjawab terhadap
Unit Usaha Syariah, tunduk kepada ketentuan mengenai Uji
Kemampuan dan Kepatutan pada Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pihak–pihak yang dimaksud pada huruf ini adalah pihak-pihak yang
sudah tidak berada pada Bank atau Kantor Perwakilan Bank Asing
dimana perbuatannya menjadi objek uji kemampuan dan kepatutan
dilakukan, termasuk yang sudah keluar dari industri perbankan.
Pasal 4
Yang dimaksud dengan bank dalam Pasal ini adalah bank umum atau BPR
baik konvensional maupun syariah.
Yang dimaksud dengan proses hukum pada ayat ini adalah proses
penyidikan atau peradilan dalam perkara Tindak Pidana Tertentu.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 7 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan telah memiliki saham Bank termasuk
kepemilikan saham yang diperoleh melalui transaksi di bursa efek,
hibah atau waris.
Yang dimaksud belum memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia
adalah calon PSP yang belum memperoleh predikat Lulus dalam uji
kemampuan dan kepatutan.
Yang dimaksud dengan tindakan sebagai PSP pada ayat ini antara lain
adalah mempengaruhi kebijakan Bank, hadir dan/atau memberikan
suara dalam RUPS dalam kapasitas sebagai PSP.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Persyaratan integritas pihak yang diuji didasarkan antara lain dari catatan
administrasi Bank Indonesia, predikat hasil uji kemampuan dan
kepatutan yang pernah diberikan kepada yang bersangkutan, atau pihak
yang pernah mendapat predikat Tidak Lulus namun telah disetujui oleh
Bank Indonesia untuk kembali menjadi PSP.
Huruf a
Penilaian terhadap kriteria pada huruf ini dilakukan antara lain
berdasarkan informasi yang diperoleh Bank Indonesia atau informasi
yang diketahui oleh umum, bahwa yang bersangkutan pernah
dihukum karena melakukan Tindak Pidana Tertentu dalam waktu
20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan.
Yang . . .
- 8 -
Yang dimaksud dengan sebelum dicalonkan adalah terhitung sejak
tanggal surat permohonan Bank kepada Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 8
Huruf a
Penilaian terhadap kriteria pada huruf ini dilakukan antara lain
berdasarkan analisa kemampuan keuangan pada saat ini dan
proyeksinya untuk jangka waktu paling kurang 3 (tiga) tahun yang
disusun oleh konsultan independen.
Huruf b
Yang dimaksud dengan kredit macet pada huruf ini adalah:
1) kredit macet yang tercantum dalam Sistem Informasi Debitur;
dan/atau
2) kredit macet yang belum dilaporkan oleh bank dalam Sistem
Informasi Debitur, namun berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan Bank Indonesia, kredit tersebut telah memenuhi
kriteria yang tergolong macet sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai kualitas aktiva.
Dalam . . .
- 9 -
Dalam pengertian memiliki kredit macet adalah apabila calon PSP:
1) mempunyai kredit macet; dan/atau
2) merupakan pengendali, anggota dewan komisaris (pengawas),
atau anggota direksi (pengurus) dari badan hukum yang
mempunyai kredit macet.
Huruf c
Yang dimaksud dengan hutang jatuh tempo dan bermasalah pada
huruf ini adalah hutang yang telah jatuh tempo dan tidak memenuhi
persyaratan untuk dilakukan restrukturisasi.
Dalam pengertian memiliki hutang jatuh tempo dan bermasalah adalah
apabila calon PSP:
1) mempunyai hutang jatuh tempo dan/atau bermasalah; dan/atau
2) merupakan pengendali, anggota dewan komisaris (pengawas),
atau anggota direksi (pengurus) dari badan hukum yang
mempunyai hutang jatuh tempo dan/atau bermasalah,
baik dalam industri perbankan maupun diluar industri perbankan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan sebelum dicalonkan adalah terhitung sejak
tanggal surat permohonan Bank kepada Bank Indonesia.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon PSP diajukan oleh
anggota Direksi.
Ayat (2) . . .
- 10 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Penelitian administratif meliputi antara lain penelitian dokumen
persyaratan administratif sebagaimana dipersyaratkan dalam
ketentuan yang berlaku, catatan administrasi Bank Indonesia,
penelitian kemampuan dan kelayakan keuangan, serta struktur
kepemilikan calon PSP.
Penelitian terhadap catatan administrasi Bank Indonesia termasuk
penelitian terhadap pihak yang pernah mendapat predikat Tidak Lulus,
namun dalam uji kemampuan dan kepatutan kembali telah dinilai
memenuhi persyaratan untuk kembali menjadi PSP.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Dalam hal badan hukum pemegang saham Bank dimiliki dan
dikendalikan oleh badan hukum lain secara berjenjang dalam suatu
kelompok usaha maka pemegang saham pengendali terakhir (ultimate
shareholders) adalah perorangan atau badan hukum yang secara
langsung ataupun tidak langsung memiliki saham Bank dan
merupakan pengendali terakhir keseluruhan struktur kelompok usaha
yang mengendalikan Bank.
Badan . . .
- 11 -
Badan hukum terakhir dalam keseluruhan struktur kelompok usaha
ditetapkan sebagai ultimate shareholders apabila badan hukum
tersebut tidak memiliki pengendali.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 12
Yang dimaksud dengan Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia,
baik tingkat Pusat maupun Daerah.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan telah selesai menjalani proses hukum adalah
apabila yang bersangkutan telah mendapatkan:
1) Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3); atau
2) Putusan . . .
- 12 -
2)
Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Yang dimaksud dengan telah selesai menjalani proses uji kemampuan
dan kepatutan pada suatu bank adalah apabila yang bersangkutan telah
mendapatkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Calon PSP yang memperoleh predikat Lulus dinyatakan
memenuhi persyaratan untuk menjadi PSP pada Bank dimaksud.
Huruf b
Calon PSP yang memperoleh predikat Tidak Lulus dinyatakan
tidak memenuhi persyaratan menjadi PSP pada Bank dimaksud.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “persetujuan” adalah predikat Lulus yang
diberikan kepada pihak yang diuji, sedangkan yang dimaksud dengan
“penolakan” adalah predikat Tidak Lulus yang diberikan kepada
pihak yang diuji.
Ayat (3) . . .
- 13 -
Ayat (3)
Pihak-pihak lain yang berkepentingan pada ayat ini antara lain adalah
Pemerintah dan/atau Lembaga Penjamin Simpanan.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tugas dan fungsi dalam jabatannya adalah
bertindak mewakili Bank dalam membuat keputusan yang secara
hukum mengikat Bank dan/atau mengambil keputusan penting yang
mempengaruhi kondisi keuangan Bank.
Ayat (2)
Yang dimaksud belum mendapat persetujuan Bank Indonesia adalah
anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi Bank yang belum
memperoleh predikat Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Persyaratan integritas pihak yang diuji didasarkan antara lain dari catatan
administrasi Bank Indonesia, predikat hasil uji kemampuan dan
kepatutan yang pernah diberikan kepada yang bersangkutan, atau pihak
yang pernah mendapat predikat Tidak Lulus namun telah disetujui oleh
Bank Indonesia untuk kembali menjadi anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Direksi.
Huruf a . . .
- 14 -
Huruf a
Penilaian terhadap kriteria pada huruf ini dilakukan antara lain
berdasarkan informasi yang diperoleh Bank Indonesia atau informasi
yang diketahui oleh umum, bahwa yang bersangkutan pernah
dihukum karena melakukan Tindak Pidana Tertentu dalam waktu 20
(dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan. Yang dimaksud
dengan sebelum dicalonkan adalah terhitung sejak tanggal surat
permohonan Bank kepada Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Angka 1)
Yang dimaksud dengan pengetahuan di bidang perbankan antara
lain meliputi pengetahuan tentang peraturan dan operasional
Bank termasuk pengetahuan/pemahaman mengenai manajemen
risiko.
Angka 2) . . .
- 15 -
Angka 2)
Yang dimaksud pengalaman dan keahlian di bidang perbankan
dan/atau bidang keuangan antara lain adalah pengalaman dan
keahlian di bidang operasional, pemasaran, akuntansi, audit,
pendanaan, perkreditan, pasar uang, pasar modal, hukum atau
pengalaman dan keahlian dibidang pengawasan perbankan
dan/atau keuangan.
Huruf b
Angka 1)
Yang dimaksud dengan pengetahuan di bidang perbankan antara
lain meliputi pengetahuan tentang peraturan dan operasional
Bank termasuk pengetahuan/pemahaman mengenai manajemen
risiko.
Angka 2)
Yang dimaksud pengalaman dan keahlian di bidang perbankan
dan/atau bidang keuangan antara lain adalah pengalaman dan
keahlian di bidang operasional, pemasaran, akuntansi, audit,
pendanaan, perkreditan, pasar uang, pasar modal, hukum atau
pengalaman dan keahlian dibidang pengawasan perbankan
dan/atau keuangan.
Selain itu, persyaratan pengalaman dan keahlian di bidang
perbankan dan/atau bidang keuangan bagi anggota Direksi harus
mempertimbangkan bahwa mayoritas (lebih dari 50%) anggota
Direksi wajib berpengalaman dalam operasional Bank paling
kurang 5 (lima) tahun sebagai Pejabat Eksekutif.
Angka 3) . . .
- 16 -
Angka 3)
Yang dimaksud dengan kemampuan untuk melakukan
pengelolaan strategis antara lain kemampuan untuk
mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan dan
perbankan, menginterpretasikan visi, misi Bank dan analisa
situasi industri perbankan.
Pasal 20
Huruf a
Yang dimaksud dengan kredit macet pada huruf ini adalah:
1) kredit macet yang tercantum dalam Sistem Informasi Debitur;
dan/atau
2) kredit macet yang belum dilaporkan oleh bank dalam Sistem
Informasi Debitur, namun berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan Bank Indonesia, kredit tersebut telah memenuhi
kriteria yang tergolong macet sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai kualitas aktiva.
Dalam pengertian memiliki kredit macet adalah apabila calon anggota
Dewan Komisaris atau anggota Direksi:
1) mempunyai kredit macet; dan/atau
2) merupakan pengendali, anggota dewan komisaris (pengawas),
atau anggota direksi (pengurus) dari badan hukum yang
mempunyai kredit macet.
Huruf b
Yang dimaksud dengan sebelum dicalonkan adalah terhitung sejak
tanggal surat permohonan Bank kepada Bank Indonesia.
Pasal 21 . . .
- 17 -
Pasal 21
Ayat (1)
Dalam hal seluruh atau mayoritas saham Bank dimiliki oleh
Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, atau lembaga lain yang
diberikan tugas oleh Pemerintah untuk menyelamatkan Bank, maka
permohonan persetujuan calon anggota Dewan Komisaris /calon
anggota Direksi Bank dapat diajukan oleh Pemerintah atau instansi
yang mewakili.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan benturan kepentingan adalah apabila terdapat
benturan kepentingan antara anggota Direksi yang berwenang
mengajukan permohonan dengan Bank.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ketentuan perundang–undangan yang berlaku
antara lain peraturan perundang-undangan tentang Perseroan Terbatas
dan tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 22 . . .
- 18 -
Pasal 22
Huruf a
Penelitian administratif meliputi antara lain penelitian dokumen
persyaratan administratif sebagaimana dipersyaratkan dalam
ketentuan yang berlaku, catatan administrasi Bank Indonesia serta
penelitian reputasi keuangan calon anggota Dewan Komisaris atau
calon anggota Direksi Bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan telah selesai menjalani proses hukum adalah
apabila yang bersangkutan telah mendapatkan:
1) Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3); atau
2) Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Yang dimaksud dengan telah selesai menjalani proses uji kemampuan
dan kepatutan pada suatu bank adalah apabila yang bersangkutan telah
mendapatkan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan.
Pasal 24 . . .
- 19 -
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi
yang memperoleh predikat Lulus dinyatakan memenuhi
persyaratan untuk menjadi anggota Dewan Komisaris atau
anggota Direksi Bank dimaksud.
Huruf b
Calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi
yang memperoleh predikat Tidak Lulus dinyatakan tidak
memenuhi persyaratan untuk menjadi anggota Dewan Komisaris
atau anggota Direksi Bank dimaksud.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “persetujuan” adalah predikat Lulus yang
diberikan kepada pihak yang diuji, sedangkan yang dimaksud dengan
“penolakan” adalah predikat Tidak Lulus yang diberikan kepada
pihak yang diuji.
Ayat (3)
Pihak-pihak lain yang berkepentingan pada ayat ini antara lain adalah
Pemerintah dan/atau Lembaga Penjamin Simpanan.
Pasal 26 . . .
- 20 -
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pegawai” adalah setiap orang yang bekerja
dan tercatat dalam administrasi kepegawaian Bank.
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Yang dimaksud dengan merugikan atau mengurangi keuntungan
Bank adalah merugikan atau mengurangi keuntungan dalam
bentuk keuangan.
Angka 3)
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan menyebabkan Bank mengalami kesulitan
yang membahayakan kelangsungan usaha Bank atau dapat
membahayakan industri perbankan, antara lain adalah:
1) memanfaatkan Bank untuk membiayai kepentingan sendiri atau
kelompok usahanya; dan/atau
2) melanggar ketentuan dan/atau komitmen kepada Bank Indonesia
atau Pemerintah,
yang . . .
- 21 -
yang menyebabkan Bank ditempatkan dalam pengawasan intensif atau
khusus, diambilalih Pemerintah/Lembaga Penjamin Simpanan,
dibekukan kegiatan usahanya dan/atau dicabut ijin usahanya.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan kredit macet pada huruf ini adalah:
1)
2)
kredit macet yang tercantum dalam Sistem Informasi Debitur;
dan/atau
kredit macet yang belum dilaporkan oleh bank dalam Sistem
Informasi Debitur, namun berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan Bank Indonesia, kredit tersebut telah memenuhi
kriteria yang tergolong macet sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai kualitas aktiva.
Dalam pengertian memiliki kredit macet adalah apabila PSP:
1) mempunyai kredit macet; dan/atau
2) merupakan pengendali, anggota dewan komisaris (pengawas),
atau anggota direksi (pengurus) dari badan hukum yang
mempunyai kredit macet.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 28 . . .
- 22 -
Pasal 28
Huruf a
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Yang dimaksud dengan “pegawai” adalah setiap orang yang
bekerja dan tercatat dalam administrasi kepegawaian Bank.
Yang dimaksud dengan “merugikan atau mengurangi
keuntungan Bank” adalah merugikan atau mengurangi
keuntungan dalam bentuk keuangan.
Angka 3)
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan menyebabkan Bank mengalami kesulitan
yang membahayakan kelangsungan usaha Bank atau dapat
membahayakan industri perbankan, antara lain adalah:
1) memanfaatkan Bank untuk membiayai kepentingan sendiri atau
kelompok usahanya; dan/atau
2) melanggar ketentuan dan/atau komitmen kepada Bank Indonesia
atau Pemerintah,
yang menyebabkan Bank ditempatkan dalam pengawasan intensif atau
khusus, diambilalih Pemerintah/Lembaga Penjamin Simpanan,
dibekukan kegiatan usahanya dan/atau dicabut ijin usahanya.
Huruf d . . .
- 23 -
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan kredit macet pada huruf ini adalah:
1) kredit macet yang tercantum dalam Sistem Informasi Debitur;
dan/atau
2) kredit macet yang belum dilaporkan oleh bank dalam Sistem
Informasi Debitur, namun berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan Bank Indonesia, kredit tersebut telah memenuhi
kriteria yang tergolong macet sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai kualitas aktiva.
Dalam pengertian memiliki kredit macet adalah apabila anggota
Dewan Komisaris atau anggota Direksi:
1) mempunyai kredit macet; dan/atau
2) merupakan pengendali, anggota dewan komisaris (pengawas),
atau anggota direksi (pengurus) dari badan hukum yang
mempunyai kredit macet.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Penilaian didasarkan pada tugas dan tanggung jawab dari setiap
anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi, sesuai uraian tugas
yang ada pada Bank yang bersangkutan.
Yang . . .
- 24 -
Yang dimaksud dengan kemampuan untuk melakukan pengelolaan
strategis antara lain adalah kemampuan untuk menginterpretasikan
visi dan misi Bank, mengantisipasi perkembangan perekonomian,
keuangan dan perbankan, menganalisa situasi industri perbankan dan
sektor-sektor industri yang dibiayai.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud satu kesatuan dan berlaku bagi PSP dan pihak-pihak
yang melakukan Pengendalian adalah apabila PSP diberikan predikat
Tidak Lulus, maka keseluruhan pihak-pihak yang melakukan
Pengendalian yang terkait dengan PSP juga diberikan predikat Tidak
Lulus.
Ketentuan ini dimaksudkan agar masing-masing anggota PSP dapat
bertindak independen terhadap anggota yang lain dalam kelompok
PSP.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 25 -
Ayat (2)
Huruf a
Pelaksanaan klarifikasi dengan pihak–pihak yang diuji dapat
dilakukan melalui tatap muka yang dilengkapi dengan berita
acara dan/atau melalui surat.
Huruf b
Hasil sementara uji kemampuan dan kepatutan yang
disampaikan kepada pihak–pihak yang diuji memuat predikat
hasil sementara uji kemampuan dan kepatutan beserta alasannya.
Huruf c
Penyampaian tanggapan dari pihak-pihak yang diuji dilakukan
secara tertulis disertai dengan bukti-bukti pendukung yang
relevan.
Huruf d
Hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan disampaikan secara
tertulis, dengan memuat predikat hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan beserta alasannya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan tidak menggunakan hak pada ayat ini adalah
termasuk penyampaian klarifikasi yang tidak disertai dengan bukti
pendukung yang relevan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6) . . .
- 26 -
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan tidak menggunakan hak pada ayat ini
termasuk menyampaikan tanggapan namun tidak disertai dengan
bukti-bukti pendukung yang relevan.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tingkat keterlibatan pihak-pihak yang diuji didasarkan atas peranan
masing–masing pihak yang diuji terhadap tindakan pelanggaran yang
dilakukan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pihak-pihak lain yang berkepentingan pada ayat ini antara lain adalah
pemegang saham termasuk pemegang saham pengendali.
Pasal 34 . . .
- 27 -
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku pada ayat ini adalah
ketentuan yang mengatur tentang uji kemampuan dan kepatutan bagi
bank umum atau BPR baik konvensional maupun syariah bank umum,
bank syariah dan BPR.
Pasal 35
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1)
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf ii . . .
- 28 -
Huruf ii
Yang dimaksud dengan kumulatif pada huruf ini
adalah gabungan paling kurang dari 2 (dua)
perbuatan Pasal 27 huruf a angka 3), huruf d,
huruf e, huruf g dan/atau huruf h.
Huruf iii
Cukup jelas.
Angka 2)
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf ii
Yang dimaksud dengan kumulatif pada huruf ini
adalah gabungan paling kurang dari 2 (dua)
perbuatan Pasal 28 huruf a angka 3), huruf d,
huruf e, huruf g dan/atau huruf h.
Huruf iii
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Cukup jelas.
Huruf c . . .
- 29 -
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan hak selaku pemegang saham pada huruf
ini misalnya, hak untuk menghadiri dan mengeluarkan suara
dalam RUPS namun tidak termasuk hak untuk menerima
deviden yang dibagikan.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penjelasan dalam daftar pemegang saham
Bank” adalah penjelasan mengenai status PSP yang mempunyai
predikat Tidak Lulus sehingga saham yang dimiliki oleh PSP tersebut
menjadi tidak memiliki hak suara dalam RUPS dan tidak
diperhitungkan dalam kuorum, sampai dengan saham dimaksud
dialihkan kepada pihak lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) . . .
- 30 -
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku adalah ketentuan
yang mengatur mengenai Tindaklanjut Pengawasan dan Penetapan
Status Bank.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 37
Huruf a
Surat kuasa menjual pada ayat ini paling kurang memuat klausula
memberikan kuasa kepada penerima kuasa untuk menjual atau
mengalihkan saham kepada pihak lain.
Selain surat kuasa, pemberi kuasa memberikan surat pernyataan
kepada Bank Indonesia yang paling kurang memuat:
1) menerima segala keputusan pengalihan saham yang dilakukan
oleh penerima kuasa; dan
2) membebaskan penerima kuasa atas segala akibat hukum yang
timbul dari penjualan atau pengalihan saham dimaksud.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ketentuan ini hanya berlaku bagi Bank yang telah go public.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 38 . . .
- 31 -
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat
kedua adalah hubungan baik vertikal maupun horizontal, termasuk
mertua, menantu, dan ipar, meliputi:
1. Orang tua kandung/tiri/angkat;
2. Saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istrinya;
3. Anak kandung/tiri/angkat;
4. Kakek/nenek kandung/tiri/angkat;
5. Cucu kandung/tiri/angkat;
6. Saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami atau
istrinya;
7. Suami/istri;
8. Mertua;
9. Besan;
10. Suami/istri dari anak kandung/tiri/angkat;
11. Kakek/nenek dari suami/istri;
12. Suami/istri dari cucu kandung/tiri/angkat;
13. Saudara kandung/tiri/angkat dari suami/istri beserta suami atau
istrinya.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 32 -
Huruf b
Larangan pencatatan atas kepemilikan saham tidak
mempengaruhi pencatatan akuntansi maupun pencatatan modal
Bank sampai dengan yang bersangkutan mengalihkan sahamnya.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan melakukan tindakan sebagai anggota
Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada
ayat ini adalah bertindak mewakili Bank dalam membuat
keputusan yang secara hukum mengikat Bank dan/atau
mengambil keputusan yang mempengaruhi kondisi keuangan
Bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tindaklanjut yang harus dilakukan Bank pada
ayat ini antara lain adalah penyelenggaraan RUPS.
Ayat (3)
Jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja antara lain terhitung sejak
penyelenggaraan RUPS.
Ayat (4) . . .
- 33 -
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Ketentuan ini hanya berlaku bagi Bank yang telah go public.
Ayat (5)
Dengan diberikannya predikat Tidak Lulus bagi PSP maka berlaku
konsekuensi Tidak Lulus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (2) huruf a.
Ayat (6)
Penetapan sanksi Tidak Lulus pada ayat ini dilakukan secara langsung
tanpa mengikuti langkah-langkah penilaian kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2).
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penggantian pihak-pihak yang melakukan Pengendalian terhadap
badan hukum dimaksud harus dibuktikan dengan dokumen yang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 43 . . .
- 34 -
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Terhadap LPS sebagai calon PSP tidak dilakukan uji kemampuan dan
kepatutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan melakukan tindakan sebagai anggota
Dewan Komisaris atau anggota Direksi pada ayat ini adalah
bertindak mewakili Bank dalam membuat keputusan yang secara
hukum mengikat Bank dan/atau mengambil keputusan yang
penting yang mempengaruhi kondisi keuangan Bank.
Huruf b . . .
- 35 -
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 36 -
Ayat (2)
Bank Indonesia tidak bertanggung jawab terhadap penyalahgunaan
data yang telah diberikan kepada anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Direksi dan pihak-pihak lain yang berkepentingan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 25, Pasal 33, Pasal 47
dan Pasal 50.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Dalam hal pihak pengendali berbentuk badan hukum maka pihak yang diuji
adalah badan hukum dan pengurus badan hukum tersebut. Yang dimaksud
dengan menghambat pelaksanaan pengawasan Bank antara lain apabila
Bank Indonesia mengalami atau melihat potensi adanya kesulitan untuk
mengakses data dan informasi termasuk informasi sumber keuangan
pengendali Bank.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57 . . .
- 37 -
Pasal 57
Yang dimaksud dengan ketentuan mengenai kepemilikan dan kepengurusan
yang berlaku dalam ayat ini antara lain adalah ketentuan mengenai bank
umum, tata cara pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu,
dan kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar negeri,
pembelian saham bank umum, dan merger, konsolidasi dan akusisi bank,
fungsi kepatuhan, tenaga kerja asing, dan pelaksanaan good corporate
governance.
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban
membayar, tidak menghilangkan kewajiban Bank untuk
menyampaikan laporan.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 59 . . .
- 38 -
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 12/23/PBI/2010 </reg_id>
<reg_title> UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) </reg_title>
<replaced_reg> '5/25/PBI/2003' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
- 1 -
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 4/ 1/PBI/2002
TENTANG
PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK UMUM KONVENSIONAL
MENJADI BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
DAN
PEMBUKAAN KANTOR BANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
OLEH BANK UMUM KONVENSIONAL
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan
jasa pelayanan perbankan syariah yang semakin meningkat,
diperlukan jaringan kantor bank yang melakukan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
mudah dijangkau;
yang lebih luas dan
b. bahwa ketentuan mengenai Bank Umum yang melakukan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah yang saat ini
berlaku perlu disempurnakan untuk mendorong
perkembangan jaringan kantor bank yang melakukan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang
perlu untuk menetapkan ketentuan tentang Perubahan
Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank
Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor
Bank Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum
Konvensional dalam suatu Peraturan Bank Indonesia
tersendiri;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3790);
2. Undang …
- 2 -
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
M E M U T U S K A N
Menetapkan : PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK UMUM
KONVENSIONAL MENJADI BANK UMUM
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DAN
PEMBUKAAN KANTOR BANK BERDASARKAN
PRINSIP SYARIAH OLEH BANK UMUM
KONVENSIONAL
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang
melakukan kegiatan usaha secara konvensional;
2. Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah adalah kegiatan usaha
perbankan yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998;
3. Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 13 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998;
4. Kantor Cabang adalah kantor Bank yang secara langsung bertanggung
jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat
usaha yang jelas dimana Kantor Cabang tersebut melakukan usahanya;
5. Unit …
- 3 -
5. Unit Usaha Syariah adalah unit kerja di kantor pusat Bank yang berfungsi
sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah;
6. Kantor Cabang Syariah adalah Kantor Cabang Bank yang melakukan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah;
7. Kantor di bawah Kantor Cabang adalah Kantor Cabang Pembantu atau
Kantor Kas yang kegiatan usahanya membantu Kantor Cabang induknya;
8. Kantor di bawah Kantor Cabang Syariah adalah Kantor Cabang Pembantu
Syariah atau Kantor Kas Syariah yang melakukan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah dalam rangka membantu Kantor Cabang
Syariah induknya;
9. Unit Syariah adalah satuan kerja khusus dari Kantor Cabang atau Kantor
Cabang Pembantu Bank yang kegiatan usahanya melakukan penghimpunan
dana, penyaluran dana, dan pemberian jasa perbankan lainnya Berdasarkan
Prinsip Syariah dalam rangka persiapan perubahan menjadi Kantor Cabang
Syariah;
10. Kegiatan Kas di luar Kantor Bank adalah kegiatan pelayanan kas
Berdasarkan Prinsip Syariah terhadap pihak yang telah menjadi nasabah
Bank, meliputi antara lain:
a. Kas Mobil atau Kas Terapung yaitu kegiatan kas dengan menggunakan
alat transportasi darat atau air;
b. Payment Point yaitu kegiatan pelayanan pembayaran melalui kerjasama
antara Bank dengan pihak lain yang merupakan nasabah Bank;
c. Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yaitu kegiatan kas yang dilakukan
secara elektronis untuk memudahkan nasabah, antara lain dalam rangka
menarik atau menyetor secara tunai, atau melakukan pembayaran
melalui pemindahbukuan, dan memperoleh informasi mengenai
saldo/mutasi rekening nasabah;
11. Dewan Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama
Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan
fatwa tentang produk, jasa, dan kegiatan bank yang melakukan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah;
12. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang keanggotaannya
direkomendasikan oleh Dewan Syariah Nasional dan ditempatkan pada
Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah,
dengan tugas dan kewenangan yang diatur oleh Dewan Syariah Nasional;
13. Direksi …
- 4 -
13. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian;
14. Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian;
15. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang mempunyai pengaruh terhadap
kebijakan dan operasional Bank serta bertanggungjawab langsung kepada
Direksi;
16. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum dan atau perorangan dan
atau kelompok usaha yang:
a. memiliki saham Bank sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau
lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak
suara; atau
b. memiliki saham Bank kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari
jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara namun
dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian Bank baik secara
langsung maupun tidak langsung.
BAB II …
- 5 -
BAB II
PERIZINAN PERUBAHAN KEGIATAN USAHA
BANK UMUM KONVENSIONAL MENJADI
BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
Pasal 2
(1) Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional hanya dapat
mengubah kegiatan usahanya menjadi Bank yang melakukan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dengan izin dari Dewan Gubernur Bank
Indonesia.
(2) Rencana perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank.
(3) Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam dua
tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan
perubahan kegiatan usaha; dan
b. izin perubahan kegiatan usaha, yaitu izin untuk melakukan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah setelah persiapan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan.
Pasal 3
(1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a, diajukan oleh Bank kepada
Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan:
a. rancangan perubahan anggaran dasar yang secara tegas mencantumkan
bahwa Bank melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
serta penempatan dan tugas-tugas Dewan Pengawas Syariah;
b. data kepemilikan berupa:
1. daftar calon pemegang saham berikut rincian
besarnya masing-
masing kepemilikan saham bagi Bank yang berbentuk hukum
Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah;
2. daftar …
- 6 -
2. daftar calon anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan
simpanan wajib, serta daftar hibah bagi Bank yang berbentuk hukum
Koperasi;
dalam hal terjadi perubahan;
c. daftar calon anggota dewan Komisaris dan Direksi yang memenuhi
persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia
tentang Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah yang berlaku, disertai
dengan:
1. contoh tanda tangan dan paraf;
2. identitas dan dokumen sebagai berikut:
i. pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm;
ii. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP)
atau paspor;
iii. riwayat hidup;
iv. surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah
melakukan tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan dan
usaha lainnya, tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana kejahatan dan tidak sedang dalam masa pengenaan
sanksi untuk dilarang menjadi pengurus bank dan atau Bank
Perkreditan Rakyat sebagaimana diatur dalam ketentuan
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia;
v. surat pernyataan pribadi yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan tidak pernah dinyatakan pailit dan tidak pernah
menjadi pemegang saham, anggota Direksi atau Komisaris yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan
pailit berdasarkan ketetapan pengadilan dalam waktu 5 (lima)
tahun sebelum tanggal pengajuan permohonan; dan
vi. surat keterangan atau bukti tertulis dari Bank tempat bekerja
sebelumnya mengenai pengalaman operasional di bidang
perbankan bagi calon anggota Direksi atau bagi calon anggota
dewan Komisaris yang telah berpengalaman;
3. fotokopi Kartu Izin Menetap Sementara (KIMS) dan fotokopi surat
izin bekerja dari instansi berwenang, bagi warga negara asing:
i. untuk …
- 7 -
i. untuk Direksi; dan atau
ii. untuk anggota dewan Komisaris yang bermaksud menetap di
Indonesia;
4. surat pernyataan tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan:
i. sebagai anggota dewan Komisaris sebanyak-banyaknya pada 1
(satu) bank lain atau Bank Perkreditan Rakyat; atau
ii. sebagai anggota dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat
Eksekutif yang memerlukan tanggung jawab penuh sebanyak-
banyaknya pada 2 (dua) lembaga/perusahaan lain bukan bank
atau bukan Bank Perkreditan Rakyat.
bagi anggota dewan Komisaris;
5. surat pernyataan tidak merangkap jabatan bagi anggota Direksi
sebagai anggota dewan Komisaris, Direksi atau Pejabat Eksekutif
pada lembaga perbankan, perusahaan atau lembaga lain.
6. surat pernyataan dari anggota dewan Komisaris bahwa yang
bersangkutan tidak mempunyai hubungan keluarga dengan mayoritas
anggota dewan Komisaris sampai dengan derajat kedua dengan
sesama anggota dewan Komisaris lainnya.
7. surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan
tidak mempunyai hubungan keluarga dengan mayoritas anggota
dewan Direksi sampai dengan derajat kedua termasuk besan dengan
sesama anggota Direksi atau anggota dewan Komisaris lainnya.
8. surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan baik
secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama tidak memiliki saham
melebihi 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal disetor pada
suatu perusahaan lain.
dalam hal terjadi perubahan;
d. rencana susunan dan struktur organisasi serta personalia;
e. rencana strategis jangka menengah dan panjang (corporate plan);
f. rencana kerja (business plan) tahun pertama yang sekurang-kurangnya
memuat:
1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi yang
berkaitan dengan perbankan syariah;
2. rencana …
- 8 -
2. rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan
penyaluran dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan
dalam mewujudkan rencana dimaksud; dan
3. proyeksi neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas bulanan
selama 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak Bank akan
melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah;
g. pedoman manajemen risiko, rencana sistem pengendalian intern,
rencana sistem teknologi informasi yang digunakan dan skala
kewenangan;
h. sistem dan prosedur kerja mengenai Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah;
i. rencana penyelesaian seluruh hak dan kewajiban Bank terhadap nasabah
yang tidak bersedia menjadi nasabah Bank berdasarkan Prinsip Syariah;
j. daftar calon anggota Dewan Pengawas Syariah disertai dengan dokumen
identitas berupa fotokopi KTP, pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran
4x6 cm, riwayat hidup, surat keterangan atau bukti tertulis dari bank
tempat bekerja sebelumnya mengenai pengalaman operasional di bidang
perbankan bagi calon anggota Dewan Pengawas Syariah yang telah
berpengalaman;
(2) Daftar calon pemegang saham atau daftar calon anggota sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b:
a. dalam hal perorangan wajib disertai dengan:
1. dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c angka 2 i, 2
ii, 2 iii dan 2 v;
2. surat pernyataan dari calon Pemegang Saham Pengendali yang
menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan
maupun likuiditas yang dihadapi Bank dalam menjalankan kegiatan
usahanya; dan
3. surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah melakukan
tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan dan usaha lainnya,
tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana
kejahatan dan tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi untuk
dilarang menjadi pemilik, pemilik dengan kepemilikan di atas 10%
(sepuluh perseratus) dan atau Pemegang Saham Pengendali dari bank
dan atau Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana diatur dalam
ketentuan …
- 9 -
ketentuan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper
Test) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. dalam hal badan hukum wajib disertai dengan:
1. akta pendirian badan hukum, yang memuat anggaran dasar berikut
perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari instansi
berwenang termasuk bagi badan hukum asing sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di negara asal badan hukum tersebut;
2. dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c angka 2 i, 2
ii, 2 iii, 2 iv dan 2 v dari seluruh dewan Komisaris dan Direksi badan
hukum yang bersangkutan;
3. rekomendasi dari instansi berwenang di negara asal bagi badan
hukum asing;
4. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing
kepemilikan saham bagi badan hukum Perseroan
Terbatas/Perusahaan Daerah, atau daftar anggota berikut rincian
jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, serta daftar hibah bagi
badan hukum Koperasi;
5. laporan keuangan badan hukum yang telah diaudit oleh akuntan
publik dengan posisi paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal
pengajuan permohonan persetujuan prinsip;
6. seluruh struktur kelompok usaha yang terkait dengan Bank dan
badan hukum pemilik Bank sampai dengan pemilik terakhir; dan
7. surat pernyataan dari calon Pemegang Saham Pengendali yang
menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan
maupun likuiditas yang dihadapi Bank dalam menjalankan kegiatan
usahanya.
Pasal 4
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diberikan selambat-lambatnya dalam
jangka waktu 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima
secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis …
- 10 -
b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat
kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melakukan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat kejenuhan jumlah
bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan
peluang pasar; dan
c. wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, anggota
dewan Komisaris dan Direksi.
(3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Bank yang
mengajukan permohonan perubahan kegiatan usaha wajib melakukan
presentasi kepada Bank Indonesia mengenai keseluruhan rencana perubahan
kegiatan usaha Bank.
Pasal 5
(1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) berlaku
untuk jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal
persetujuan prinsip dikeluarkan.
(2) Bank yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilarang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah sebelum mendapat izin perubahan kegiatan usaha.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Bank
belum mengajukan permohonan izin perubahan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b, Dewan Gubernur
Bank Indonesia membatalkan persetujuan prinsip yang telah dikeluarkan.
Pasal 6
Permohonan untuk mendapatkan izin perubahan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b, diajukan oleh Bank kepada Dewan
Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan:
a. perubahan anggaran dasar, yang secara tegas mencantumkan bahwa Bank
melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah serta penempatan
dan tugas Dewan Pengawas Syariah, yang telah disahkan oleh instansi yang
berwenang;
b. data kepemilikan dan surat pernyataan dari pemegang saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dan ayat (2), dalam hal terjadi
perubahan;
c. daftar …
- 11 -
c. daftar susunan dan surat pernyataan dari dewan Komisaris dan Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, dalam hal terjadi
perubahan;
d. daftar calon anggota Dewan Pengawas Syariah disertai dengan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf j, dalam hal terjadi
perubahan;
e. dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf
f, huruf g, dan huruf h, dalam hal terjadi perubahan;
f. bukti kesiapan operasional berupa:
1. daftar sarana dan prasarana pendukung;
2. contoh formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional; dan
3. Nomor Pokok Wajib Pajak dan Tanda Daftar Perusahaan;
g. laporan realisasi dan rencana tindak lanjut penyelesaian hak dan kewajiban
Bank terhadap nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah Bank
berdasarkan Prinsip Syariah.
Pasal 7
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin perubahan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
izin perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank
Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. wawancara terhadap Pemegang Saham Pengendali, anggota dewan
Komisaris dan anggota Direksi dalam hal terdapat penggantian atas
calon yang diajukan sebelumnya.
Pasal 8
(1) Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha dari Dewan
Gubernur Bank Indonesia wajib melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal izin
perubahan kegiatan usaha dikeluarkan.
(2) Pelaksanaan …
- 12 -
(2) Pelaksanaan perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya
10 (sepuluh) hari setelah tanggal dimulainya pelaksanaan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal izin
perubahan kegiatan usaha, Bank belum melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah, Dewan Gubernur Bank Indonesia
membatalkan izin perubahan kegiatan usaha yang telah dikeluarkan.
(4) Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha wajib
menyelesaikan seluruh hak dan kewajiban debitur dan kreditur dari kegiatan
konvensional selambat-lambatnya 360 (tiga ratus enam puluh) hari sejak
tanggal izin perubahan kegiatan usaha dikeluarkan.
(5) Bank Indonesia dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) untuk tujuan penyelesaian aktiva produktif
secara konvensional yang telah dihapus buku.
kegiatan usaha
(6) Permohonan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(5) diajukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum berakhirnya
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), disertai dengan alasan
perpanjangan jangka waktu dan bukti-bukti pendukung.
(7) Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha dilarang
melakukan kegiatan usaha secara konvensional, kecuali dalam rangka
penyelesaian transaksi-transaksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan
ayat (5).
Pasal 9
Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha dari Dewan Gubernur
Bank Indonesia wajib mencantumkan secara jelas kata “Syariah” sesudah kata
“Bank” pada penulisan namanya.
Pasal 10
Bank yang semula memiliki izin usaha sebagai Bank yang melakukan kegiatan
usaha secara konvensional dan telah memperoleh izin perubahan kegiatan
usaha menjadi bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah, dilarang untuk mengubah Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah menjadi kegiatan usaha secara konvensional.
BAB III …
- 13 -
BAB III
UNIT USAHA SYARIAH
DAN PEMBUKAAN KANTOR CABANG SYARIAH
Bagian Pertama
Unit Usaha Syariah
Pasal 11
(1) Bank yang akan melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
wajib membentuk Unit Usaha Syariah di kantor pusat Bank.
(2) Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan unit
kerja di kantor pusat Bank yang berfungsi sebagai kantor induk dari Kantor
Cabang Syariah dan atau Unit Syariah, yang mempunyai tugas:
a. mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan Kantor Cabang Syariah dan
atau Unit Syariah;
b. menempatkan dan mengelola dana yang bersumber dari Kantor Cabang
Syariah dan atau Unit Syariah;
c. menerima dan menatausahakan laporan keuangan dari Kantor Cabang
Syariah dan atau Unit Syariah; dan
d. melakukan kegiatan lain sebagai kantor induk dari Kantor Cabang
Syariah dan atau Unit Syariah.
(3) Pada Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib
ditempatkan Dewan Pengawas Syariah yang telah disetujui oleh Dewan
Syariah Nasional.
(4) Pemimpin Unit Usaha Syariah wajib memenuhi persyaratan:
a. sekurang-kurangnya merupakan Pejabat Eksekutif;
b. memiliki komitmen dalam menjalankan operasional Bank berdasarkan
Prinsip Syariah;
c. memiliki integritas dan moral yang baik; dan
d. berpengalaman dalam operasional Bank Syariah dan atau telah
mengikuti pelatihan operasional Bank Syariah baik di dalam maupun di
luar negeri.
Bagian Kedua …
- 14 -
Bagian Kedua
Pembukaan Kantor Cabang Syariah Pertama Kali
Pasal 12
(1) Bank yang telah membuka Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11, dapat membuka Kantor Cabang Syariah dengan cara:
a. membuka Kantor Cabang Syariah yang baru;
b. mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang yang melakukan kegiatan
usaha secara konvensional menjadi Kantor Cabang Syariah;
c. meningkatkan status kantor di bawah Kantor Cabang yang melakukan
kegiatan usaha secara konvensional menjadi Kantor Cabang Syariah;
d. mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang yang melakukan kegiatan
usaha secara konvensional yang sebelumnya telah membuka Unit
Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah; dan atau
e. meningkatkan status Kantor Cabang Pembantu yang melakukan
kegiatan usaha secara konvensional yang sebelumnya telah membuka
Unit Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah.
(2) Bank hanya dapat membuka Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dengan izin dari Dewan Gubernur Bank Indonesia.
(3) Rencana pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank.
(4) Pemberian izin pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c dilakukan dalam dua tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan
pembukaan Kantor Cabang Syariah;
b. izin pembukaan Kantor Cabang Syariah, yaitu izin untuk melakukan
kegiatan usaha Kantor Cabang Syariah setelah persiapan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan.
(5) Pemberian izin pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf d dan huruf e dilakukan dengan pemberian izin
pembukaan Kantor Cabang Syariah.
Pasal 13 …
- 15 -
Pasal 13
Bank yang membuka Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1) wajib menyediakan modal kerja sekurang-kurangnya sebesar:
a. Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk setiap pembukaan Kantor
Cabang Syariah yang berkedudukan di wilayah Jabotabek; atau
b. Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk setiap pembukaan Kantor
Cabang Syariah yang berkedudukan di luar wilayah Jabotabek.
Pasal 14
Kantor Bank yang telah mendapat izin pembukaan Kantor Cabang Syariah
wajib mencantumkan kata “Kantor Cabang Syariah” pada setiap penulisan
nama kantornya.
Pasal 15
(1) Kantor Bank yang telah mendapat izin pembukaan Kantor Cabang Syariah
dilarang untuk mengubah kegiatan Kantor Cabang Syariah menjadi Kantor
Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
(2) Bank Indonesia mencabut izin pembukaan Kantor Cabang Syariah yang
terbukti melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
Pasal 16
(1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip pembukaan Kantor
Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) huruf a
untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah yang baru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a, diajukan oleh Bank kepada Dewan
Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan:
a. laporan keuangan gabungan dan rincian kualitas aktiva produktif 2 (dua)
bulan terakhir sebelum tanggal surat permohonan;
b. rencana persiapan operasional dalam rangka pembukaan Kantor Cabang
Syariah;
c. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, d dan f;
d. dokumen dan identitas pemimpin Kantor Cabang Syariah berupa:
1. pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm;
2. fotokopi …
- 16 -
2. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau
paspor;
3. riwayat hidup;
4. contoh tanda tangan dan paraf; serta
5. bukti pengalaman dalam operasional bank Syariah dan atau surat
keterangan dari lembaga pelatihan mengenai pelatihan perbankan
syariah yang telah diikuti di dalam maupun di luar negeri;
e. dokumen mengenai identitas calon anggota Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf j, untuk pembukaan
Kantor Cabang Syariah yang pertama kali;
f. dokumen dan identitas pemimpin Unit Usaha Syariah, untuk pembukaan
Kantor Cabang Syariah yang pertama kali berupa:
1. pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm;
2. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau
paspor;
3. riwayat hidup;
4. contoh tanda tangan dan paraf; serta
5. bukti pengalaman dalam operasional bank Syariah dan atau surat
keterangan dari lembaga pelatihan mengenai pelatihan perbankan
syariah yang telah diikuti di dalam maupun di luar negeri;
g. bukti setoran modal kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13;
h. hasil studi kelayakan tentang tingkat persaingan yang sehat antar bank
yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan
tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah.
(2) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) huruf a, untuk mengubah kegiatan usaha
Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional
menjadi Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1) huruf b dan atau untuk meningkatkan status kantor di bawah Kantor
Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi
Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1)
huruf c, diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan
wajib disertai dengan:
a. dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1); dan
b. rencana …
- 17 -
b. rencana penyelesaian seluruh hak dan kewajiban kantor Bank terhadap
nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah Kantor Cabang Syariah.
Pasal 17
(1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16, Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat
kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melakukan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat kejenuhan jumlah
bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan
peluang pasar.
(2) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk
meneliti persiapan pembukaan kantor dan kebenaran dokumen yang
disampaikan.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan selambat-lambatnya dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima
secara lengkap termasuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) apabila dilakukan pemeriksaan.
Pasal 18
(1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) berlaku
untuk jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal
persetujuan prinsip dikeluarkan.
(2) Bank dan atau kantor Bank yang telah mendapat persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang melakukan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah sebelum mendapat izin pembukaan Kantor
Cabang Syariah.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Bank
dan atau kantor Bank yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) belum mengajukan permohonan izin pembukaan
Kantor Cabang Syariah, Dewan Gubernur Bank Indonesia membatalkan
persetujuan prinsip yang telah dikeluarkan.
Pasal 19 …
- 18 -
Pasal 19
(1) Permohonan untuk mendapatkan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) huruf b untuk pembukaan
Kantor Cabang Syariah yang baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1) huruf a, diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank
Indonesia dan wajib disertai dengan:
a. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d, huruf e,
huruf f, huruf g dan huruf h, dalam hal terjadi perubahan; dan
b. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dan huruf f.
(2) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan pembukaan Kantor Cabang
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) huruf b untuk
mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha
secara konvensional menjadi Kantor Cabang Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b dan atau untuk meningkatkan
status kantor di bawah Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha
secara konvensional menjadi Kantor Cabang Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c, diajukan oleh Bank kepada
Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan:
a. dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1); dan
b. laporan realisasi penyelesaian seluruh hak dan kewajiban kantor Bank
terhadap nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah Kantor Cabang
Syariah.
Pasal 20
(1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, Bank Indonesia melakukan penelitian atas
kelengkapan dan kebenaran dokumen.
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin pembukaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diberikan selambat-lambatnya dalam jangka waktu
30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(3) Bank dan atau kantor Bank yang telah mendapat izin pembukaan Kantor
Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), wajib melakukan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal izin pembukaan dikeluarkan.
(4). Pelaksanaan …
- 19 -
(4) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan.
(5) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Kantor
Cabang Syariah belum melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah, Dewan Gubernur Bank Indonesia membatalkan izin pembukaan
Kantor Cabang Syariah yang telah dikeluarkan.
(6) Kantor Cabang Syariah yang berasal dari pembukaan dengan cara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b dan huruf c wajib
menyelesaikan seluruh hak dan kewajiban debitur dan kreditur dari kegiatan
usaha secara konvensional selambat-lambatnya 360 (tiga ratus enam puluh)
hari sejak tanggal izin pembukaan dikeluarkan.
(7) Kantor Cabang Syariah dilarang melakukan kegiatan usaha perbankan
secara konvensional, kecuali dalam rangka penyelesaian transaksi-ransaksi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (6).
Bagian Ketiga
Pembukaan Kantor Cabang Syariah Melalui Pembukaan Unit Syariah
Pasal 21
(1) Pembukaan Unit Syariah di dalam negeri hanya dapat dilakukan dengan
izin Dewan Gubernur Bank Indonesia.
(2) Pembukaan Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat dilakukan dalam rangka mengubah Kantor Cabang dan atau
meningkatkan status Kantor Cabang Pembantu Bank menjadi Kantor
Cabang Syariah.
(3) Rencana pembukaan Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank.
(4) Pembukaan Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat dibuka setelah Bank memiliki Unit Usaha Syariah.
Pasal 22
(1) Bank yang membuka Unit Syariah dalam rangka pengubahan Kantor
Cabang dan atau peningkatan status Kantor Cabang Pembantu Bank
menjadi …
- 20 -
menjadi Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (2), wajib menyediakan modal kerja minimum sebesar:
a. Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk setiap pembukaan Unit
Syariah yang berkedudukan di wilayah Jabotabek; atau
b. Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk setiap pembukaan Unit
Syariah yang berkedudukan di luar wilayah Jabotabek.
(2) Pemenuhan modal kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dilakukan secara bertahap selambat-lambatnya dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun, dengan setoran modal kerja awal pada tahun pertama minimum
sebesar:
a. Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk setiap pembukaan Unit
Syariah yang berkedudukan di wilayah Jabotabek; atau
b. Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) untuk setiap
pembukaan Unit Syariah yang berkedudukan di luar wilayah Jabotabek.
Pasal 23
(1) Permohonan izin pembukaan Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank
Indonesia dan wajib disertai dengan:
a. hasil studi kelayakan tentang tingkat persaingan yang sehat antar bank
yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan
tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah;
b. rencana persiapan operasional yang meliputi kesiapan sumber daya
manusia, sistem akuntansi dan pelaporan serta persiapan teknis lainnya;
c. perubahan anggaran dasar yang secara tegas mencantumkan bahwa
Bank melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah serta
penempatan dan tugas-tugas Dewan Pengawas Syariah;
d. rencana kerja (business plan) tahun pertama yang sekurang-kurangnya
memuat:
1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi yang
berkaitan dengan perbankan syariah;
2. rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan
penyaluran dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan
dalam mewujudkan rencana dimaksud; dan
3. proyeksi …
- 21 -
3. proyeksi neraca, laporan laba-rugi dan laporan arus kas bulanan
selama 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak Unit Syariah
melakukan kegiatan operasional;
e. rencana struktur organisasi dan susunan
kegiatan Unit Syariah;
personalia yang menangani
f. bukti pengalaman di bidang operasional bank Syariah dan atau sertifikat
pelatihan operasional bank Syariah bagi Pemimpin Kantor Cabang atau
Kantor Cabang Pembantu Bank;
g. dokumen mengenai identitas calon anggota Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf j, untuk pembukaan
Unit Syariah yang pertama kali;
h. dokumen dan identitas pemimpin Unit Usaha Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf f, untuk pembukaan Unit
Syariah yang pertama kali;
i. bukti setoran modal kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(2).
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan analisis
yang mencakup tingkat kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar bank
yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan tingkat
kejenuhan jumlah bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah.
(3) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk
meneliti persiapan pembukaan Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
(4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diberikan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap termasuk hasil
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) apabila dilakukan
pemeriksaan.
(5) Pelaksanaan pembukaan Unit Syariah yang telah mendapat persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) wajib dilaksanakan selambat-
lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
persetujuan pembukaan.
(6). Pelaksanaan …
- 22 -
(6) Pelaksanaan pembukaan Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(5) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya
dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan.
(7) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) Bank
tidak melaksanakan pembukaan Unit Syariah, Dewan Gubernur Bank
Indonesia membatalkan izin pembukaan Unit Syariah yang telah
dikeluarkan.
Pasal 24
Kantor Cabang dan atau Kantor Cabang Pembantu Bank yang telah mendapat
izin membuka Unit Syariah wajib mencantumkan kata “Unit Syariah” pada
tempat kegiatan usaha Unit Syariah berada.
Pasal 25
(1) Kantor Cabang dan atau Kantor Cabang Pembantu Bank yang telah
membuka Unit Syariah selambat-lambatnya dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun sejak tanggal persetujuan pembukaan Unit Syariah wajib diubah dan
atau ditingkatkan statusnya menjadi Kantor Cabang Syariah.
(2) Dengan diubahnya Kantor Cabang Bank menjadi Kantor Cabang Syariah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka seluruh kantor di bawah
Kantor Cabang Bank tersebut dapat:
a. diubah menjadi kantor yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah; atau
b. dipindahkan dengan menginduk kepada Kantor Cabang lain dalam satu
wilayah kliring; atau
c. ditutup.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Bank
tidak dapat mengubah Kantor Cabang dan atau meningkatkan status Kantor
Cabang Pembantu menjadi Kantor Cabang Syariah, Bank Indonesia
mencabut izin Unit Syariah dan Kantor Cabang atau Kantor Cabang
Pembantu dimana Unit Syariah tersebut bertempat.
Pasal 26 …
- 23 -
Pasal 26
(1) Permohonan untuk mendapatkan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf d dan e, diajukan oleh
Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia selambat-lambatnya dalam
jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebelum berakhirnya batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan wajib disertai dengan:
a. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, huruf e, huruf f,
huruf g dan huruf h;
b. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf f;
c. dokumen dan identitas pemimpin Kantor Cabang Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d;
d. bukti setoran modal kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(1); dan
e. laporan penyelesaian seluruh hak dan kewajiban Kantor Cabang dan
atau Kantor Cabang Pembantu Bank.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan
penelitian atas:
a. kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. kecukupan pemenuhan modal kerja.
(3) Apabila diperlukan Bank Indonesia melakukan pemeriksaan untuk meneliti
persiapan pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
(4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diberikan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap termasuk
hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) apabila dilakukan
pemeriksaan.
Bagian …
- 24 -
Bagian Keempat
Pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya
Pasal 27
(1) Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan telah
memiliki Kantor Cabang Syariah hanya dapat membuka Kantor Cabang
Syariah berikutnya dengan izin Dewan Gubernur Bank Indonesia.
(2) Rencana pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan
Bank.
(3) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh Bank
kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya yang dilakukan
dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a,
wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf d dan huruf f, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15; serta Pasal 16
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, huruf g dan huruf h;
b. untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya yang dilakukan
dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b dan
huruf c, wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan Pasal 16 ayat (2) huruf b;
c. untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya yang dilakukan
dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf d dan
huruf e, wajib mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26.
(4) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a dan huruf b, Bank Indonesia
melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat
kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melakukan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat kejenuhan jumlah
bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan
peluang pasar.
(5) Apabila …
- 25 -
(5) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk
meneliti persiapan pembukaan kantor dan kebenaran dokumen yang
disampaikan.
(6) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) huruf a dan huruf b diberikan selambat-lambatnya dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara
lengkap termasuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5).
(7) Pelaksanaan atas persetujuan permohonan sebagai dimaksud dalam ayat (6),
wajib dilakukan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari sejak tanggal izin dari Dewan Gubernur Bank Indonesia dikeluarkan.
(8) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (7) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan.
(9) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) Bank
tidak melaksanakan pembukaan Kantor Cabang Syariah, Dewan Gubernur
Bank Indonesia membatalkan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah yang
telah dikeluarkan.
BAB IV
PEMBUKAAN KANTOR DI BAWAH KANTOR CABANG SYARIAH
DAN KEGIATAN KAS DI LUAR KANTOR BANK DI DALAM NEGERI
Bagian Pertama
Pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah
Pasal 28
(1) Rencana pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah di dalam
negeri wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank.
(2) Pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat dilakukan:
a. apabila berada dalam satu wilayah kerja Kantor Bank Indonesia dengan
Kantor Cabang Syariah Induknya; dan
b. memperhatikan hasil studi kelayakan yang memuat tingkat kejenuhan
jumlah bank yang melakukan Kegiatan Usaha.
(3). Pembukaan …
- 26 -
(3) Pembukaan Kantor di bawah Kantor Cabang Syariah dapat bertempat di
alamat yang sama dengan Kantor Cabang dan atau kantor di bawah Kantor
Cabang Bank.
(4) Laporan keuangan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah wajib
digabungkan dengan laporan keuangan Kantor Cabang Syariah induknya
pada hari yang sama.
Pasal 29
Bank yang akan membuka kantor di bawah Kantor Cabang Syariah wajib
menyediakan modal kerja minimum sebesar:
a. Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk setiap pembukaan kantor
di bawah Kantor Cabang Syariah yang berkedudukan di wilayah Jabotabek;
atau
b. Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) untuk setiap
pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah yang berkedudukan di
luar wilayah Jabotabek.
Pasal 30
(1) Bank wajib menyampaikan rencana pembukaan kantor di bawah Kantor
Cabang Syariah kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan pembukaan kantor, disertai:
a. hasil studi kelayakan yang memuat tingkat kejenuhan jumlah bank yang
melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; dan
b. bukti setoran modal kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
(2) Bank hanya dapat membuka kantor di bawah Kantor Cabang Syariah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mendapat surat penegasan
dari Bank Indonesia.
(3) Surat penegasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan selambat-
lambatnya dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari setelah dokumen
diterima secara lengkap.
(4) Pelaksanaan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib dilakukan selambat-lambatnya
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat penegasan
dari Bank Indonesia.
(5) Pelaksanaan …
- 27 -
(5) Pelaksanaan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), wajib dilaporkan kepada Bank
Indonesia selambat-lambatnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari
setelah tanggal pelaksanaan pembukaan.
Bagian Kedua
Kegiatan Kas di luar Kantor Bank
Pasal 31
(1) Rencana Kegiatan Kas di luar Kantor Bank wajib dicantumkan dalam
rencana kerja tahunan Bank.
(2) Bank wajib menyampaikan laporan rencana Kegiatan Kas di luar Kantor
Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Bank Indonesia
selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum
pelaksanaan kegiatan.
(3) Bank hanya dapat membuka kegiatan kas di luar kantor bank sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) setelah mendapat surat penegasan dari Bank
Indonesia.
(4) Surat penegasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan selambat-
lambatnya dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari setelah dokumen
diterima secara lengkap.
(5) Pelaksanaan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) wajib dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
setelah tanggal penegasan dari Bank Indonesia.
(6) Pelaksanaan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank wajib dilaporkan oleh Bank
kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah
tanggal pelaksanaan kegiatan.
BAB V
PENUTUPAN KANTOR
Pasal 32
(1) Penutupan Kantor Cabang Syariah di dalam negeri hanya dapat dilakukan
dengan izin Dewan Gubernur Bank Indonesia.
(2) Pemberian …
- 28 -
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam dua
tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan
penutupan Kantor Cabang Syariah; dan
b. persetujuan penutupan, yaitu persetujuan untuk melakukan penutupan
Kantor Cabang Syariah.
(3) Permohonan untuk memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf a diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank
Indonesia dan wajib disertai dengan:
a. alasan penutupan; dan
b. langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka penyelesaian seluruh
kewajiban Kantor Cabang Syariah kepada nasabah dan pihak lainnya.
(4) Permohonan untuk memperoleh persetujuan penutupan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf b diajukan oleh Bank kepada Dewan
Gubernur Bank Indonesia setelah Bank memperoleh persetujuan prinsip,
dan wajib disertai dengan:
a. bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya; dan
b. surat pernyataan dari Direksi Bank bahwa langkah-langkah penyelesaian
seluruh kewajiban Kantor Cabang Syariah kepada nasabah dan pihak
lainnya telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari
menjadi tanggung jawab Direksi untuk dan atas nama Bank.
(5) Apabila dipandang perlu, Bank Indonesia melakukan pemeriksaan kepada
Bank dalam rangka meneliti penyelesaian seluruh kewajiban Kantor
Cabang Syariah yang akan ditutup.
(6) Persetujuan atau penolakan permohonan persetujuan prinsip dan
persetujuan penutupan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) dan ayat (4) masing-masing diberikan dalam batas waktu
selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah dokumen permohonan
diterima secara lengkap termasuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (5).
(7) Pelaksanaan penutupan kantor yang telah mendapat persetujuan penutupan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) wajib dilaksanakan selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal persetujuan penutupan.
(8). Penutupan …
- 29 -
(8) Penutupan kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diumumkan
oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat
kedudukan kantor Bank selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah
tanggal persetujuan penutupan dari Dewan Gubernur Bank Indonesia.
(9) Pelaksanaan penutupan kantor yang telah mendapat persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) wajib dilaporkan oleh Bank kepada
Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
penutupan.
(10) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (7), Bank
tidak melaksanakan penutupan Kantor Cabang, Dewan Gubernur Bank
Indonesia membatalkan persetujuan penutupan Kantor Cabang yang telah
dikeluarkan.
Pasal 33
(1) Rencana penutupan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah wajib
dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari sebelum pelaksanaan penutupan kantor dimaksud dan disertai
dengan:
a. alasan penutupan; dan
b. langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka penyelesaian kewajiban
kantor di bawah Kantor Cabang Syariah kepada nasabah dan pihak
lainnya.
(2) Rencana penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank wajib dilaporkan
oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
sebelum pelaksanaan penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank dan
disertai dengan alasan penutupan.
(3) Pelaksanaan penutupan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah wajib
dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10
(sepuluh) hari setelah tanggal penutupan dan wajib disertai dengan:
a. bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya; dan
b. surat pernyataan dari pemimpin Kantor Cabang Syariah induknya bahwa
langkah-langkah penyelesaian seluruh kewajiban kantor di bawah
Kantor Cabang Syariah kepada nasabah dan pihak lainnya telah
diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi
tanggung jawab pemimpin Kantor Cabang induk untuk dan atas nama
Bank.
(4) Pelaksanaan …
- 30 -
(4) Pelaksanaan penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank wajib
dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10
(sepuluh) hari setelah tanggal penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor
Bank.
Pasal 34
(1) Penutupan Unit Syariah dan Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu
Bank dimana Unit Syariah bertempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 ayat (3) hanya dapat dilakukan dengan izin Dewan Gubernur Bank
Indonesia.
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam dua
tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan
penutupan Unit Syariah dan Kantor Cabang atau Kantor Cabang
Pembantu Bank dimana Unit Syariah bertempat; dan
b. persetujuan penutupan, yaitu persetujuan untuk melakukan penutupan
Unit Syariah dan Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu Bank
dimana Unit Syariah bertempat.
(3) Permohonan untuk memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf a diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank
Indonesia dan wajib dilampiri dengan:
a. alasan penutupan; dan
b. langkah-langkah yang akan dilakukan dalam rangka penyelesaian
seluruh kewajiban Unit Syariah dan Kantor Cabang atau Kantor Cabang
Pembantu Bank dimana Unit Syariah bertempat kepada nasabah dan
pihak lainnya;
(4) Permohonan untuk memperoleh persetujuan penutupan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf b diajukan oleh Bank kepada Dewan
Gubernur Bank Indonesia setelah Bank memperoleh persetujuan prinsip,
dan wajib dilampiri dengan:
a. bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya; dan
b. surat pernyataan dari Direksi Bank bahwa langkah-langkah penyelesaian
seluruh kewajiban kepada nasabah dan pihak lain telah diselesaikan dan
apabila terdapat tuntutan dikemudian hari menjadi tanggungjawab
Direksi Bank untuk dan atas nama Bank.
(5) Apabila …
- 31 -
(5) Apabila dipandang perlu Bank Indonesia melakukan pemeriksaan kepada
kantor Bank dalam rangka meneliti penyelesaian seluruh kewajiban Unit
Syariah dan Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu Bank yang akan
ditutup.
(6) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip dan
persetujuan penutupan Unit Syariah dan Kantor Cabang atau Kantor
Cabang Pembantu Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4)
masing-masing diberikan dalam batas waktu selambat-lambatnya 15 (lima
belas) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap termasuk
hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) apabila dilakukan
pemeriksaan.
(7) Pelaksanaan penutupan Unit Syariah dan Kantor Cabang atau Kantor
Cabang Pembantu Bank yang telah mendapat persetujuan penutupan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) wajib dilaksanakan selambat-
lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
persetujuan penutupan.
(8) Penutupan kantor dimaksud dalam ayat (1) wajib diumumkan oleh Bank
dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas ditempat kedudukan
Kantor Bank selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
persetujuan penutupan dari Dewan Gubernur Bank Indonesia.
(9) Pelaksanaan penutupan Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (7)
wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya dalam jangka
waktu 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penutupan.
BAB VI
PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR
Pasal 35
(1) Pemindahan alamat Kantor Cabang Syariah hanya dapat dilakukan dengan
izin Dewan Gubernur Bank Indonesia.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh Bank
kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia sebelum pemindahan alamat
dilaksanakan.
(3) Permohonan izin pemindahan alamat Kantor Cabang Syariah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib disertai dengan:
a. alasan …
- 32 -
a. alasan pemindahan alamat dan rencana persiapan operasional Kantor
Cabang Syariah;
b. rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban Kantor
Cabang Syariah; dan
c. hasil studi kelayakan di tempat kedudukan baru yang sekurang-
kurangnya memuat potensi ekonomi, peluang pasar, tingkat persaingan
yang sehat antar bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah dan tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
(4) Pemindahan alamat Kantor Cabang Syariah yang dilakukan:
a. di jalan yang sama atau lokasi yang berdekatan wajib memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a;
b. dalam satu wilayah kerja Kantor Bank Indonesia wajib memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a dan huruf b;
c. di luar wilayah kerja Kantor Bank Indonesia sebelumnya, wajib
memenuhi ketentuan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 dan pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27.
(5) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat antar
bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah,
tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah dan pemerataan pembangunan ekonomi
nasional.
(6) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk
meneliti persiapan pemindahan alamat kantor dan kebenaran dokumen yang
disampaikan.
(7) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) diberikan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap termasuk
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6).
(8) Pemindahan …
- 33 -
(8) Pemindahan alamat kantor yang telah mendapat persetujuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (7) wajib dilaksanakan selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal pemberian izin dari Dewan Gubernur Bank
Indonesia.
(9) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat
(8) wajib diumumkan oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai
peredaran luas di tempat kedudukan Kantor Cabang Syariah selambat-
lambatnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal
pelaksanaan pemindahan alamat kantor.
(10) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor wajib dilaporkan oleh Bank kepada
Bank Indonesia selambat-lambatnya selambat-lambatnya dalam jangka
waktu 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pemindahan alamat.
(11) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), Bank
tidak melaksanakan pemindahan alamat kantor, Dewan Gubernur Bank
Indonesia membatalkan izin yang telah dikeluarkan.
Pasal 36
(1) Rencana pemindahan alamat kantor di bawah Kantor Cabang Syariah dan
Kegiatan Kas di luar Kantor Bank di dalam negeri wajib dilaporkan oleh
Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan pemindahan alamat kantor.
(2) Laporan rencana pemindahan alamat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib disertai dengan:
a. alasan pemindahan alamat dan rencana persiapan operasional kantor di
bawah Kantor Cabang Syariah dan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank;
b. rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban kantor di
bawah Kantor Cabang Syariah dan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank;
dan
c. hasil studi kelayakan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah dan
Kegiatan Kas di luar Kantor Bank di tempat kedudukan baru yang
sekurang-kurangnya memuat tingkat kejenuhan jumlah bank yang
melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
(3) Pemindahan alamat kantor di bawah Kantor Cabang Syariah di dalam
negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang dilakukan:
a. di jalan yang sama atau lokasi yang berdekatan wajib memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a;
b. dalam …
- 34 -
b. dalam satu wilayah kerja Kantor Bank Indonesia wajib memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan huruf b;
c. di luar wilayah kerja Kantor Bank Indonesia sebelumnya wajib
memenuhi ketentuan penutupan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan pembukaan kantor di bawah
Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, 29 dan
30.
(4) Pemindahan alamat Kegiatan Kas di luar Kantor Bank di dalam negeri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang dilakukan:
a. di jalan yang sama atau lokasi yang berdekatan wajib memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a;
b. dalam satu wilayah kerja Kantor Bank Indonesia wajib memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan b;
c. di luar wilayah kerja Kantor Bank Indonesia sebelumnya wajib
memenuhi ketentuan penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan pembukaan Kegiatan Kas di
luar Kantor Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
(5) Pemindahan alamat kantor di bawah Kantor Cabang Syariah dan Kegiatan
Kas di luar Kantor Bank di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) wajib dilaksanakan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari setelah tanggal penegasan dari Bank Indonesia.
(6) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor di bawah Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c wajib diumumkan oleh Bank
dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan
Kantor Cabang induknya selambat-lambatnya dalam jangka waktu 10
(sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan pemindahan alamat kantor.
(7) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor di bawah Kantor Cabang dan
Kegiatan Kas di luar Kantor Bank di dalam negeri wajib dilaporkan oleh
Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya dalam jangka waktu 10
(sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pemindahan alamat.
BAB VII …
- 35 -
BAB VII
PENINGKATAN DAN PENURUNAN STATUS KANTOR
Pasal 37
(1) Peningkatan status dari kantor di bawah Kantor Cabang Syariah menjadi
Kantor Cabang Syariah hanya dapat dilakukan dengan cara menutup kantor
di bawah Kantor Cabang Syariah dengan memenuhi ketentuan Pasal 33 dan
diikuti dengan membuka Kantor Cabang Syariah dengan memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
(2) Peningkatan status dari Kegiatan Kas diluar kantor Bank Syariah menjadi
kantor di bawah Kantor Cabang Syariah hanya dapat dilakukan dengan cara
menghentikan Kegiatan Kas diluar kantor Bank Syariah dengan memenuhi
ketentuan Pasal 33 dan diikuti dengan membuka kantor di bawah Kantor
Cabang Syariah dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28, Pasal 29 dan Pasal 30.
Pasal 38
(1) Penurunan status dari Kantor Cabang Syariah menjadi kantor di bawah
Kantor Cabang Syariah hanya dapat dilakukan dengan cara menutup Kantor
Cabang Syariah dengan memenuhi ketentuan Pasal 32 dan diikuti dengan
membuka kantor di bawah Kantor Cabang Syariah dengan memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, 29 dan 30.
(2) Penurunan status dari kantor di bawah Kantor Cabang Syariah menjadi
Kegiatan Kas di luar Kantor Bank Syariah hanya dapat dilakukan dengan
cara menutup kantor di bawah Kantor Cabang Syariah dengan memenuhi
ketentuan Pasal 33 dan diikuti dengan membuka Kegiatan Kas di luar
Kantor Bank Syariah dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31.
BAB VIII …
- 36 -
BAB VIII
LAIN-LAIN
Bagian Pertama
Pejabat Eksekutif, pemimpin Unit Usaha Syariah,
pemimpin Kantor Cabang Syariah dan Dewan Pengawas Syariah
Pasal 39
(1) Pengangkatan atau penggantian Pejabat Eksekutif, pemimpin Unit Usaha
Syariah atau Kantor Cabang Syariah wajib dilaporkan oleh Bank kepada
Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
pengangkatan efektif dan disertai dengan dokumen dan identitas
sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf d dan huruf f.
(2) Pengangkatan atau penggantian Dewan Pengawas Syariah wajib dilaporkan
secara tertulis kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari
setelah tanggal pengangkatan efektif dan disertai dengan dokumen identitas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf j dan surat persetujuan
Dewan Syariah Nasional.
(3) Apabila berdasarkan penilaian dan penelitian Bank Indonesia, Pejabat
Eksekutif, pemimpin Unit Usaha Syariah atau pemimpin Kantor Cabang
Syariah termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi
pemegang saham, Pemegang Saham Pengendali, pengurus, Pejabat
Eksekutif bank dan atau Bank Perkreditan Rakyat maka Bank wajib segera
memberhentikan yang bersangkutan.
Bagian Kedua
Akuntansi dan Pelaporan
Pasal 40
(1) Sistem akuntansi Kantor Cabang Syariah mengacu kepada Standar
Akuntansi Keuangan Syariah.
(2) Dalam hal Standar Akuntansi Keuangan Syariah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) belum diberlakukan, Kantor Cabang Syariah wajib
menggunakan …
- 37 -
menggunakan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku sepanjang sejalan
dengan Prinsip Syariah.
(3) Bank yang memiliki Kantor Cabang Syariah wajib:
a. memiliki pencatatan dan pembukuan tersendiri untuk Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah;
b. menyusun laporan keuangan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah; dan
c. memasukkan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b
ke dalam laporan keuangan konsolidasi.
Pasal 41
(1) Unit Syariah wajib menggunakan Standar Akuntansi Keuangan Syariah.
(2) Dalam hal Standar Akuntansi Keuangan Syariah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) belum diberlakukan, Unit Syariah wajib menggunakan
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku sepanjang sejalan dengan
Prinsip Syariah.
(3) Unit Syariah wajib:
a memiliki pencatatan dan pembukuan yang terpisah dari kantor Bank
dimana Unit Syariah berada; dan
b. menyusun laporan keuangan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah.
Bagian Ketiga
Administrasi Dokumen
Pasal 42
(1) Bank wajib mengadministrasikan dengan tertib:
a. daftar pemegang saham dan perubahannya bagi Bank yang berbentuk
hukum Perseroan Terbatas/ Perusahaan Daerah; atau
b. buku daftar anggota dan perubahannya bagi Bank yang berbentuk
hukum Koperasi.
(2) Bank …
- 38 -
(2) Bank yang telah terdaftar di pasar modal wajib memperbaharui daftar
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a.
Pasal 43
Bank Indonesia tidak memberikan persetujuan atas permohonan izin yang tidak
sesuai dengan ketentuan, tata cara dan persyaratan yang diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini.
Pasal 44
(1) Bank wajib menyampaikan perubahan dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e, huruf g dan huruf h, pada:
a. setiap akhir tahun apabila terjadi perubahan; dan
b. setiap saat apabila terjadi perubahan yang bersifat material.
(2) Penyampaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari sejak jangka waktu yang ditetapkan.
Pasal 45
Bank wajib menjamin kebenaran dokumen atau identitas yang dikeluarkan
oleh instansi terkait atau pihak ketiga yang disampaikan kepada Bank
Indonesia.
BAB IX
SANKSI
Pasal 46
(1) Bank yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 5 ayat (2), Pasal 8 ayat (1), ayat (4), ayat (6) dan ayat (7), Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 ayat (3), Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 ayat (1),
Pasal 18 ayat (2), Pasal 20 ayat (3), ayat (6) dan ayat (7), Pasal 21, Pasal 22,
Pasal 23 ayat (5), Pasal 24, Pasal 25 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4), Pasal 31 ayat (1),
ayat (2) dan ayat (5), Pasal 32 ayat (1) dan ayat (7), Pasal 33 ayat (1) dan
ayat (2) …
- 39 -
ayat (2), Pasal 34 ayat (1) dan ayat (7), Pasal 35 ayat (1), ayat (2) dan ayat
(4), Pasal 36 ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), Pasal 37, Pasal 38,
Pasal 39 ayat (3), Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 44 ayat (1) dan Pasal
45 dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
(2) Bank yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (6),
Pasal 20 ayat (4), Pasal 23 ayat (6), Pasal 27 ayat (8), Pasal 30 ayat (5),
Pasal 31 ayat (6), Pasal 32 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 33 ayat (3) dan ayat
(4), Pasal 34 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 35 ayat (9) dan ayat (10), Pasal 36
ayat (6) dan ayat (7), Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 44 ayat (2)
dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa:
a. teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp 1.000.000,00 (satu
juta rupiah) per hari kelambatan untuk setiap laporan dan atau
pengumuman;
b. teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp 30.000.000,00
(tiga puluh juta rupiah) apabila Bank tidak menyampaikan laporan dan
atau pengumuman.
(3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan atau pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b apabila Bank belum
menyampaikan laporan dimaksud setelah 30 (tiga puluh) hari sejak batas
akhir penyampaian laporan dan atau pengumuman.
(4) Setiap pihak yang tidak menaati ketentuan Pasal 12 ayat (2), Pasal 21 ayat
(1) dan Pasal 27 ayat (1) dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal
46 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 47
Permohonan izin yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia
ini wajib disesuaikan dengan persyaratan dan dokumen sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB XI …
- 40 -
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 48
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka semua ketentuan yang
mengatur tentang Bank Umum Konvensional yang melakukan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank
Indonesia No. 2/27/PBI/2000 tanggal 15 Desember 2000 dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 49
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 27 Maret 2002
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2002 NOMOR 14
BPS
- 41 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 4/1/PBI/2002
TENTANG
PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK UMUM KONVENSIONAL
MENJADI BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
DAN
PEMBUKAAN KANTOR BANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
OLEH BANK UMUM KONVENSIONAL
UMUM
Sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun
1998, perkembangan bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah cukup menggembirakan walaupun secara persentase pangsa
pasarnya terhadap bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional
masih relatif kecil.
Berdasarkan hasil penelitian atas potensi dan preferensi masyarakat
terhadap bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah,
diketahui potensi pasar bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah sangat besar, mengingat terdapat sebagian masyarakat
Indonesia yang tidak bersedia menggunakan jasa Bank yang kegiatan usahanya
berdasarkan suku bunga.
Disamping itu mengingat perkembangan bank Berdasarkan Prinsip
Syariah ini masih dalam tahap awal, maka perlu dilakukan penyesuaian
terhadap kebijakan yang mengatur mengenai Bank Umum Konvensional yang
melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah
diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia No. 2/27/PBI/2000 tanggal 15
Desember 2000 tentang Bank Umum. Perubahan-perubahan dimaksud antara
lain persyaratan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah,
pemindahan alamat kantor Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah dan pembukaan Kantor Cabang Syariah melalui pembukaan
Unit Syariah terlebih dahulu oleh kantor Bank.
Kebijakan …
- 42 -
Kebijakan tersebut dimaksudkan sebagai upaya Bank Indonesia untuk
mendorong percepatan pertumbuhan jaringan kantor Bank Umum
Konvensional yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
dalam rangka memperluas jangkauan layanan kepada masyarakat.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Termasuk dalam pengertian Kantor Kas adalah kantor Bank yang
melakukan kegiatan pelayanan kas dengan alamat tempat usaha
yang jelas dan tetap serta memberikan pelayanan terhadap
nasabah baru, selain kegiatan pameran untuk promosi yang
bersifat tidak tetap.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10 …
- 43 -
Angka 10
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan kegiatan pelayanan pembayaran
adalah kegiatan pembayaran maupun penyetoran transaksi
tertentu antara lain meliputi pembayaran gaji pegawai,
penerimaan setoran biaya listrik dan biaya telepon.
Huruf c
Termasuk dalam pengertian ATM adalah pembukaan
jaringan ATM yang dilakukan dengan pemanfaatan
teknologi melalui kerjasama dengan Bank lain.
Angka 11
Cukup jelas.
Angka 12
Cukup jelas.
Angka 13
Cukup jelas.
Angka 14
Cukup jelas.
Angka 15
Yang dimaksud Pejabat Eksekutif adalah pejabat satu tingkat di
bawah Direksi.
Angka 16
Termasuk dalam pengertian perorangan adalah beberapa orang
dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua dan
besan yang secara bersama-sama memiliki saham Bank.
Yang dimaksud dengan kelompok usaha adalah:
a. perorangan dan badan hukum;
b. beberapa orang; atau
c. beberapa badan hukum
yang …
- 44 -
yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan atau
hubungan keuangan.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a dan b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 4
Tidak termasuk dalam rangkap jabatan bagi
anggota dewan Komisaris apabila:
a. menjalankan tugas fungsional dari pemilik Bank
yang berbentuk badan hukum; atau
b. merangkap jabatan pada organisasi atau
lembaga nirlaba,
sepanjang yang bersangkutan tidak mengabaikan
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai
anggota dewan Komisaris Bank.
Yang dimaksud dengan bank dalam ayat ini adalah
bank umum konvensional dan syariah.
Angka 5
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar setiap
anggota Direksi tidak melakukan kegiatan yang
dapat menganggu pelaksanaan tugas dan tanggung
jawab sebagai Direksi Bank.
Angka 6 …
- 45 -
Angka 6
Hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua
adalah hubungan baik dalam garis lurus maupun
garis ke samping, termasuk mertua, menantu dan
ipar, sehingga yang dimaksud dengan keluarga
meliputi sebagai berikut:
1. orang tua kandung/tiri/angkat;
2. saudara kandung/tiri/angkat;
3. suami/istri;
4. anak kandung/tiri/angkat;
5. suami/istri dari anak kandung/tiri/angkat;
6. kakek/nenek kandung/tiri/angkat;
7. cucu kandung/tiri/angkat;
8. saudara kandung/tiri/angkat dari suami/istri;
9. suami/istri dari saudara kandung/tiri/angkat;
10. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua;
11. mertua.
Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari
50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah
anggota dewan Komisaris.
Angka 7
Hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua
adalah hubungan baik dalam garis lurus maupun
garis ke samping, termasuk mertua, menantu dan
ipar, sehingga yang dimaksud dengan keluarga
meliputi sebagai berikut:
1. orang tua kandung/tiri/angkat;
2. saudara kandung/tiri/angkat;
3. suami/istri;
4. anak kandung/tiri/angkat;
5. suami/istri dari anak kandung/tiri/angkat;
6. kakek/nenek kandung/tiri/angkat;
7. cucu …
- 46 -
7. cucu kandung/tiri/angkat;
8. saudara kandung/tiri/angkat dari suami/istri;
9. suami/istri dari saudara kandung/tiri/angkat;
10. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua;
11. mertua.
Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari
50% (lima puluh perseratus) dari seluruh
anggota Direksi.
Angka 8
Yang dimaksud dengan perusahaan lain antara lain
meliputi perusahaan-perusahaan lain di luar Bank
yang bersangkutan seperti lembaga keuangan bank
dan non-bank, lembaga pembiayaan atau
perusahaan.
Huruf d
Susunan dan struktur organisasi serta personalia antara
lain meliputi organization chart, garis tanggung jawab
horizontal dan vertikal serta jabatan dan nama-nama
personalia sekurang-kurangnya sampai dengan tingkatan
Pejabat Eksekutif.
Huruf e
Corporate Plan antara lain meliputi rencana-rencana
strategis Bank jangka menengah (tiga tahunan) dan jangka
panjang (lima tahunan) dalam rangka pencapaian tujuan
perubahan kegiatan usaha dari Bank konvensional menjadi
Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah.
Huruf f
Cukup Jelas.
Huruf g
Pedoman manajemen risiko antara lain memuat teknik dan
metode yang digunakan Bank untuk mengidentifikasi,
menganalisis, mengukur, memantau dan mengendalikan
risiko-risiko yang timbul sebagai akibat operasional Bank
berdasarkan …
jumlah
- 47 -
berdasarkan Prinsip Syariah. Pedoman manajemen risiko
tidak hanya didasarkan atas data historis namun mencakup
juga proyeksi risiko yang akan datang (forward looking).
Huruf h
Termasuk dalam sistem dan prosedur kerja adalah buku
pedoman (manual) yang lengkap dan komprehensif yang
akan digunakan untuk Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah.
Huruf i
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah yang tidak
bersedia menjadi nasabah Bank berdasarkan Prinsip
Syariah dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan
seluruh kewajiban kepada Bank lain atau pihak lain
dengan persetujuan nasabah.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Angka 1 sampai dengan angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Yang dimaksud dengan kelompok usaha adalah:
a. perorangan dan badan hukum;
b. beberapa orang; atau
c. beberapa badan hukum,
yang memiliki keterkaitan kepengurusan,
kepemilikan atau hubungan keuangan.
Kewajiban menyampaikan data mengenai struktur
kelompok usaha dikecualikan dalam hal pemilik
Bank adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah
atau Badan Khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal …
- 48 -
Pasal 37A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
Apabila terdapat pemilik lain maka kewajiban
menyampaikan struktur kelompok usaha
diberlakukan bagi pemilik lain tersebut.
Angka 7
Surat pernyataan Pemegang Saham Pengendali
berbentuk badan hukum dibuat dan disampaikan
oleh pengurus yang mempunyai wewenang untuk
mewakili badan hukum yang bersangkutan.
Dalam hal Bank merupakan bagian dari
kepemilikan suatu kelompok usaha maka surat
pernyataan disampaikan oleh pihak-pihak yang
berdasarkan penilaian Bank Indonesia
mengendalikan baik secara langsung maupun tidak
langsung atas seluruh kelompok usaha.
Kewajiban menyampaikan surat pernyataan dalam
angka ini dikecualikan dalam hal Pemegang Saham
Pengendali adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah atau Badan Khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan dalam rangka penelitian atas
kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c …
- 49 -
Huruf c
Wawancara dilakukan terhadap:
a. pihak-pihak yang belum pernah bekerja dan atau
menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga
perbankan yang melakukan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah; atau
b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi
Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan
yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah yang masih diperlukan keterangan lebih lanjut
mengenai integritas dan atau kompetensi yang
bersangkutan.
Materi wawancara antara lain meliputi masalah
integritas dan atau kompetensi.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank
yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah berbentuk badan hukum atau yayasan maka
wawancara dilakukan terhadap anggota pengurus
badan hukum atau yayasan atau pejabat yang diberikan
wewenang mewakili badan hukum atau yayasan yang
bersangkutan.
Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan
suatu kelompok usaha maka wawancara terhadap calon
Pemegang Saham Pengendali dilakukan terhadap
pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank
Indonesia mengendalikan baik secara langsung
maupun tidak langsung atas seluruh kelompok usaha.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali adalah
Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak
dilakukan wawancara terhadap calon Pemegang Saham
Pengendali.
Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham
Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap
pemegang saham pendiri tertentu berdasarkan
penilaian Bank Indonesia.
Ayat (3) …
- 50 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan dalam rangka penelitian atas
kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan.
Huruf b
Wawancara dilakukan terhadap:
a. pihak-pihak yang belum pernah bekerja dan atau
menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga
perbankan yang melakukan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah; atau
b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi
Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan
yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah yang masih diperlukan keterangan lebih lanjut
mengenai integritas dan atau kompetensi yang
bersangkutan.
Materi …
- 51 -
Materi wawancara antara lain meliputi masalah
integritas dan atau kompetensi.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank
yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah berbentuk badan hukum atau yayasan maka
wawancara dilakukan terhadap anggota pengurus
badan hukum atau yayasan atau pejabat yang diberikan
wewenang mewakili badan hukum atau yayasan yang
bersangkutan.
Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan
suatu kelompok usaha maka wawancara terhadap calon
Pemegang Saham Pengendali dilakukan terhadap
pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank
Indonesia mengendalikan baik secara langsung
maupun tidak langsung atas seluruh kelompok usaha.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali adalah
Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak
dilakukan wawancara terhadap calon Pemegang Saham
Pengendali.
Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham
Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap
pemegang saham pendiri tertentu berdasarkan
penilaian Bank Indonesia.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam rangka memperoleh persetujuan nasabah untuk
penyelesaian seluruh hak dan kewajiban debitur dan kreditur
sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, Bank dapat melakukan
pemberitahuan/pengumuman kepada kreditur dan debitur secara
langsung …
- 52 -
langsung dan atau melalui media massa mengenai konversi hak
dan kewajiban dari kegiatan usaha konvensional menjadi
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Bukti pendukung sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dapat
berupa bukti kesanggupan pembayaran dari debitur sampai
dengan jangka waktu tertentu.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 53 -
Ayat (3)
Bank hanya dapat melakukan pembukaan Kantor Cabang Syariah
sesuai dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana kerja
tahunan Bank sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi
keuangan yang bersifat material antara rencana kerja dengan
realisasi rencana kerja pada saat pembukaan kantor, antara lain
seperti terjadi penurunan permodalan Bank yang material.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan modal kerja dalam Pasal ini adalah dana yang
disisihkan oleh kantor pusat Bank pada rekening tersendiri atas nama
Unit Usaha Syariah dan yang dipergunakan semata-mata sebagai modal
dalam Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Pada pembukuan kantor pusat Bank, dana yang disisihkan untuk modal
kerja tersebut diperlakukan sebagai penempatan antar kantor.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang
disewa, maka untuk sementara dokumen rencana
persiapan …
- 54 -
persiapan operasional gedung kantor dapat berupa nota
kesepakatan sewa menyewa gedung kantor. Perjanjian
sewa disampaikan pada saat Bank melaporkan
pelaksanaan pembukaan kantor.
Huruf c sampai dengan huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah yang tidak
bersedia menjadi nasabah Bank berdasarkan Prinsip
Syariah dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan
seluruh kewajiban kepada Bank lain atau pihak lain
dengan persetujuan nasabah.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20 …
- 55 -
Pasal 20
Ayat (1)
Apabila diperlukan dalam rangka penelitian kebenaran dokumen,
Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan.
Ayat (2)
Dalam hal Kantor Cabang Syariah berasal dari konversi Kantor
Cabang dan atau peningkatan status kantor di bawah Kantor
Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional
maka izin pembukaan Kantor Cabang Syariah menggantikan izin
dan status keberadaan kantor Bank sebelumnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Dalam rangka memperoleh persetujuan nasabah untuk
penyelesaian seluruh hak dan kewajiban debitur dan kreditur
sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, Bank dapat melakukan
pemberitahuan/pengumuman kepada kreditur dan debitur secara
langsung dan atau melalui media massa mengenai konversi hak
dan kewajiban dari kegiatan usaha konvensional menjadi
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 56 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1) dan Ayat (2)
Yang dimaksud dengan modal kerja adalah dana yang disisihkan
oleh kantor pusat Bank pada rekening tersendiri atas nama Unit
Usaha Syariah dan dipergunakan semata-mata sebagai modal
kerja dalam Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Pada pembukuan kantor pusat Bank, dana yang disisihkan untuk
modal kerja tersebut diperlakukan sebagai penempatan antar
kantor.
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kesiapan sumberdaya manusia adalah adanya petugas
yang ditunjuk secara khusus oleh Bank untuk menangani
kegiatan operasional Unit Syariah.
Sistem akuntansi yang diterapkan dapat memisahkan
laporan kantor Bank dengan laporan Unit Syariah.
Huruf c sampai dengan huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) …
- 57 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat
dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban
kepada kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah
atau pihak lain.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan kecukupan pemenuhan modal
kerja yaitu persyaratan pemenuhan modal kerja untuk
Kantor Cabang Syariah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) …
- 58 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bank hanya dapat melakukan pembukaan Kantor Cabang Syariah
sesuai dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana kerja
tahunan Bank sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi
keuangan yang bersifat material antara rencana kerja dengan
realisasi rencana kerja pada saat pembukaan kantor, antara lain
seperti terjadi penurunan permodalan Bank yang material.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Dalam hal Kantor Cabang Syariah berasal dari konversi Kantor
Cabang dan atau peningkatan status kantor di bawah Kantor
Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional
maka izin pembukaan Kantor Cabang Syariah menggantikan izin
dan status keberadaan kantor Bank sebelumnya.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 28 …
- 59 -
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 29
Yang dimaksud dengan modal kerja adalah dana yang disisihkan oleh
kantor pusat Bank pada rekening tersendiri atas nama Unit Usaha
Syariah dan di pergunakan semata-mata sebagai modal kerja dalam
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Pada pembukuan kantor pusat Bank, dana yang disisihkan untuk modal
kerja tersebut diperlakukan sebagai penempatan antar kantor.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Sebelum surat penegasan dikeluarkan oleh Bank Indonesia, Bank
Indonesia melakukan penelitian terhadap tingkat kecukupan
modal Bank, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat persaingan
antar bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 31 …
- 60 -
Pasal 31
Ayat (1)
Tidak termasuk dalam Kegiatan Kas di luar Kantor Bank adalah
kegiatan pameran yang dilakukan dalam rangka promosi, tidak
bersifat permanen dan tidak melakukan kegiatan kas.
Ayat (2)
Kewajiban pelaporan hanya dilakukan satu kali pada saat pertama
kali Kegiatan Kas di luar Kantor Bank diajukan di lokasi tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Sebelum surat penegasan dikeluarkan oleh Bank Indonesia, Bank
Indonesia melakukan penelitian terhadap tingkat kecukupan
modal Bank, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat persaingan
antar bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat
dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban
kepada kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah
atau pihak lain.
Ayat (4) …
- 61 -
Ayat (4)
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat
dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban
kepada kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah
atau pihak lain.
Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah berupa
neraca Kantor Cabang Syariah yang menunjukkan seluruh
kewajiban Kantor Cabang Syariah kepada nasabah dan pihak lain
telah selesai.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan tanggal persetujuan penutupan dalam
ayat ini adalah tanggal rencana penutupan yang disetujui oleh
Bank Indonesia.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat
dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban
kepada kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah
atau pihak lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 62 -
Ayat (3)
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat
dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban
kepada kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah
atau pihak lain.
Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah berupa
neraca Kantor
Cabang Syariah
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat
dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban
kepada kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah
atau pihak lain.
Ayat (4)
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat
dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban
kepada kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah
atau pihak lain.
Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah berupa:
1. neraca Kantor Cabang Bank dimana Unit Syariah berada; atau
2. neraca Kantor Cabang Bank yang menjadi induk dari Kantor
Cabang Pembantu dimana Unit Syariah berada,
yang menunjukkan seluruh kewajiban dari kantor Bank tersebut
telah selesai.
Ayat (5) …
kewajiban kantor di bawah Kantor Cabang Syariah kepada
nasabah dan pihak lain telah selesai.
yang menunjukkan seluruh
- 63 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan tanggal persetujuan penutupan adalah
tanggal rencana persetujuan penutupan yang disetujui oleh Bank
Indonesia.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang
disewa maka untuk sementara dokumen rencana persiapan
operasional gedung kantor dapat berupa nota kesepakatan
sewa menyewa gedung kantor. Perjanjian sewa
disampaikan pada saat Bank melaporkan pelaksanaan
pemindahan alamat kantor.
Huruf b dan huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6) …
- 64 -
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang
disewa maka untuk sementara dokumen rencana persiapan
operasional gedung kantor dapat berupa nota kesepakatan
sewa menyewa gedung kantor. Perjanjian sewa
disampaikan pada saat Bank melaporkan pelaksanaan
pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam
ayat (7).
Huruf b dan huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) …
- 65 -
Ayat (5)
Ketentuan dalam Undang-undang tentang Perbankan yang
berlaku mewajibkan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang
dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia, namun
penegasan dari Bank Indonesia tetap diperlukan mengingat sesuai
dengan Undang-undang tentang Perbankan tersebut, Bank
Indonesia juga akan melakukan penelitian terhadap tingkat
kejenuhan jumlah bank yang melakukan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat persaingan antar bank yang
melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan
pemerataan pembangunan ekonomi nasional.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Pejabat Eksekutif dalam Pasal ini adalah
Pejabat Eksekutif yang memiliki peranan dalam pelaksanaan
kebijakan dan operasional Bank antara lain dalam kegiatan kredit,
treasury, penghimpunan dana, dan kegiatan operasional lainnya.
Yang dimaksud dengan tanggal pengangkatan efektif adalah
sejak yang bersangkutan secara efektif memangku jabatannya.
Ayat (2) …
- 66 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tanggal pengangkatan efektif adalah
sejak yang bersangkutan secara efektif memangku jabatannya.
Ayat (3)
Penilaian dan penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia
tidak dimaksudkan untuk menunda pengangkatan atau
penggantian Pejabat Eksekutif, pemimpin Unit Usaha Syariah
atau pemimpin Kantor Cabang Syariah.
Yang dimaksud dengan bank dalam ayat ini adalah bank umum
konvensional dan bank syariah.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Huruf a dan b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 43 …
- 67 -
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung berdasarkan
keterlambatan laporan.
Huruf b
Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung berdasarkan
laporan yang tidak disampaikan.
Dalam hal Bank dikenakan sanksi tidak menyampaikan
laporan, tidak lagi dikenakan sanksi keterlambatan
penyampaian laporan.
Ayat (3)
Batas waktu penyampaian laporan 30 (tiga puluh) hari termasuk
batas waktu penyampaian laporan koreksi.
Termasuk dalam penyampaian laporan adalah data, informasi dan
dokumen yang dipersyaratkan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48 …
- 68 -
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4177
- 69 -
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 4/1/PBI/2002 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK UMUM KONVENSIONAL MENJADI BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DAN PEMBUKAAN KANTOR BANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH OLEH BANK UMUM KONVENSIONAL </reg_title>
<set_date> 27 Maret 2002 </set_date>
<effective_date> 27 Maret 2002 </effective_date>
<replaced_reg> '2/27/PBI/2000' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 12/ 12 /PBI/2010
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/2/PBI/2008 TENTANG
BANK INDONESIA - SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menghadapi dan mengantisipasi
perkembangan ekonomi, keuangan dan moneter,
efektivitas pelaksanaan operasi moneter perlu
ditingkatkan;
b. bahwa dalam rangka mendukung peningkatan efektivitas
pelaksanaan operasi moneter, Bank Indonesia melakukan
penyempurnaan ketentuan mengenai Bank Indonesia-
Scripless Securities Settlement System;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b, perlu melakukan perubahan
terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor:
10/2/PBI/2008 tentang Bank Indonesia–Scripless
Securities Settlement System;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3790);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
3. Undang-Undang ...
-2-
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat
Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4236);
5. Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran
Negara republik Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
10/2/PBI/2008 TENTANG BANK INDONESIA – SCRIPLESS
SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/2/PBI/2008 tentang
Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4809) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 1, angka 2, angka 3, angka 4, angka 5, angka 6,
angka 10 dan angka 21 diubah, dan di antara angka 1 dan angka 2 disisipkan
1 (satu) angka yakni angka 1.a, di antara angka 2 dan angka 3 disisipkan 1
(satu) angka yakni angka 2.a, serta di antara angka 5 dan angka 6 disisipkan 1
(satu) angka yakni angka 5.a, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal ...
-3-
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor
cabang bank asing di Indonesia dan Bank Umum Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
1.a. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank
Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui Operasi Pasar
Terbuka dan Koridor Suku Bunga (Standing Facilities).
2. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT adalah kegiatan
transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan
Bank dan/atau pihak lain dalam rangka Operasi Moneter.
2.a. Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) yang selanjutnya disebut
Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana rupiah (lending
facility) dari Bank Indonesia kepada peserta Standing Facilities dan
penyediaan penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh peserta
Standing Facilities di Bank Indonesia dalam rangka Operasi Moneter.
3.
Instrumen Operasi Moneter adalah instrumen yang digunakan dalam
rangka OPT dan Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) serta
ditatausahakan pada Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System.
4. Fasilitas Pendanaan adalah penyediaan dana yang dapat berupa
pemberian kredit atau pembiayaan dari Bank Indonesia kepada Bank
yang penatausahaannya dilakukan melalui Bank Indonesia-Scripless
Securities Settlement System.
5. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga
yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun
valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara
Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku.
5.a. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disebut SBSN, atau
dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan
prinsip syariah, sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN, baik
dalam mata uang rupiah maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang berlaku.
6. Surat ...
-4-
6. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disebut SBN adalah Surat Utang
Negara dan Surat Berharga Syariah Negara.
7. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia, pemerintah dan/atau lembaga lain, yang ditatausahakan dalam
Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System.
8. Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement yang selanjutnya
disebut Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik
antar peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang Rupiah yang
penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara
individual.
9. Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya
disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia
termasuk penatausahaannya dan penatausahaan Surat Berharga secara
elektronik dan terhubung langsung antara Peserta, Penyelenggara dan
Sistem BI-RTGS.
10. Transaksi Dengan Bank Indonesia adalah transaksi yang dilakukan oleh
Bank Indonesia dalam rangka kegiatan Operasi Moneter, Fasilitas
Pendanaan, transaksi SBN untuk dan atas nama pemerintah dan/atau
transaksi lainnya melalui BI-SSSS.
11. Penatausahaan Surat Berharga adalah kegiatan yang mencakup
pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen serta pembayaran kupon
(bunga) atau imbalan dan nilai pokok/nominal Surat Berharga.
12. Penyelenggara BI-SSSS yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah
pihak pengelola BI-SSSS yang menyelenggarakan kegiatan Transaksi
Dengan Bank Indonesia dan penatausahaannya serta Penatausahaan
Surat Berharga.
13. Peserta BI-SSSS yang selanjutnya disebut Peserta adalah pengguna BI-
SSSS yang memenuhi persyaratan dan/atau disetujui oleh Bank
Indonesia untuk melakukan kegiatan Transaksi Dengan Bank Indonesia
dan/atau Penatausahaan Surat Berharga.
14. Peserta Lelang SBN adalah Bank dan/atau lembaga keuangan lain yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai dealer utama untuk dapat ikut
serta dalam lelang SBN.
15. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi
Penatausahaan Surat Berharga untuk kepentingan Peserta yang memiliki
rekening Surat Berharga di BI-SSSS.
16. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan
kustodian yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Bank Indonesia
melakukan ...
-5-
melakukan fungsi Penatausahaan Surat Berharga untuk kepentingan
nasabah.
17. Setelmen Surat Berharga adalah kegiatan pendebetan dan pengkreditan
rekening Surat Berharga melalui BI-SSSS dalam rangka penatausahaan
Transaksi Dengan Bank Indonesia dan Penatausahaan Surat Berharga.
18. Setelmen Dana adalah kegiatan pendebetan dan pengkreditan rekening
giro dan/atau rekening lainnya di Bank Indonesia melalui Sistem BI-
RTGS dalam rangka penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia
dan Penatausahaan Surat Berharga melalui BI-SSSS.
19. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disebut DVP adalah setelmen
transaksi Surat Berharga dengan cara Setelmen Surat Berharga dilakukan
bersamaan dengan Setelmen Dana.
20. Free of Payment yang selanjutnya disebut FoP adalah setelmen transaksi
Surat Berharga dengan cara Setelmen Surat Berharga dilakukan melalui
BI-SSSS, sedangkan Setelmen Dana dilakukan tidak secara bersamaan
dengan Setelmen Surat Berharga atau tanpa Setelmen Dana.
21. Rekening Surat Berharga adalah rekening milik Peserta tertentu di BI-
SSSS untuk mencatat kepemilikan Surat Berharga dan/atau Instrumen
Operasi Moneter.
22. Rekening Giro adalah rekening dalam mata uang Rupiah yang
ditatausahakan di Bank Indonesia yang digunakan dalam rangka
pelaksanaan BI-SSSS.
2. Penjelasan Pasal 2 ayat (2) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan.
3. Ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf b dan ayat (2) diubah sehingga Pasal 3
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Pihak-pihak yang dapat menjadi Peserta adalah:
a. Bank Indonesia.
b. Kementerian Keuangan.
c. Bank.
d. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
e. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing.
f. Perusahaan Efek.
g. Pialang pasar modal.
h. Lembaga lain yang disetujui oleh Bank Indonesia.
(2) Pihak-pihak ...
-6-
(2) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak sebagai:
a. Penerbit Surat Berharga;
b. Peserta Operasi Moneter;
c. Lembaga perantara dalam kegiatan Operasi Moneter;
d. Peserta Fasilitas Pendanaan;
e. Peserta Lelang SBN; dan/atau
f. Pemilik Rekening Surat Berharga di Central Registry.
(3) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi Peserta
setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
4. Penjelasan Pasal 4 huruf a angka 1 diubah sebagaimana tercantum dalam
penjelasan.
5. Penjelasan Pasal 14 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan.
6. Penjelasan Pasal 15 ayat (1) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan.
7. Ketentuan Pasal 16 ayat (2) diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Penyelenggara melakukan penatausahaan Transaksi Dengan Bank
Indonesia.
(2) Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencakup kegiatan penatausahaan Instrumen
Operasi Moneter, penatausahaan Fasilitas Pendanaan, penatausahaan
transaksi SBN untuk dan atas nama pemerintah serta penatausahaan
transaksi lainnya melalui BI-SSSS.
(3) Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia terdiri dari
penatausahaan transaksi yang terkait Surat Berharga dan tanpa Surat
Berharga.
(4) Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia yang terkait Surat
Berharga dilakukan sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 17 sampai
dengan Pasal 31.
8. Penjelasan Pasal 20 ayat (5) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan.
9. Penjelasan Pasal 37 huruf e diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan.
Pasal ...
-7-
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 4 Agustus 2010.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Agustus 2010
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Agustus 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 93
DASP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 12/ 12 /PBI/2010
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/2/PBI/2008 TENTANG
BANK INDONESIA - SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (2)
Dalam rangka menjaga kelancaran
penyelenggaraan BI-SSSS, Penyelenggara antara
lain menyediakan aplikasi BI–SSSS, Help Desk
terkait dengan operasional BI–SSSS, dan sistem
layanan informasi, serta ketentuan dan prosedur
baik dalam keadaan normal, keadaaan tidak
normal maupun keadaan darurat.
Angka 3
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf ...
-2-
Huruf d
Yang dimaksud “Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian” adalah pihak yang
menyelenggarakan kegiatan kustodian
sentral bagi Bank Kustodian, Perusahaan
Efek, dan pihak lain, sebagaimana diatur
dalam perundang-undangan yang
berlaku.
Huruf e
Yang dimaksud “Perusahaan Pialang
Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing”
adalah perusahaan yang didirikan khusus
untuk melakukan kegiatan jasa perantara
bagi kegiatan nasabahnya di bidang pasar
uang Rupiah dan valuta asing dengan
memperoleh imbalan atas jasanya.
Huruf f
Yang dimaksud “Perusahaan Efek”
adalah pihak yang melakukan kegiatan
usaha sebagai penjamin emisi efek,
perantara pedagang efek dan/atau
manajer investasi.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Persetujuan oleh Bank Indonesia antara
lain didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang terkait,
pertimbangan pengembangan pasar surat
berharga di Indonesia, dan/atau
pertimbangan teknis.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Peserta Operasi Moneter terdiri dari
peserta OPT dan peserta Standing
Facilities ...
-3-
Facilities sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Bank Indonesia yang mengatur
tentang Operasi Moneter.
Huruf c
Lembaga perantara dalam kegiatan
Operasi Moneter antara lain pialang
pasar uang rupiah dan valuta asing,
dan/atau pialang pasar modal
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Bank Indonesia yang mengatur tentang
Operasi Moneter.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 4
Huruf a
1. Pelaksanaan Operasi Moneter oleh Bank Indonesia
sesuai ketentuan yang berlaku;
Angka 5
Pasal 14
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 15
Ayat (1)
Transaksi Dengan Bank Indonesia secara
langsung hanya dapat dilakukan oleh Peserta yang
terdaftar ...
-4-
terdaftar pada Penyelenggara untuk dapat
mengikuti Transaksi Dengan Bank Indonesia.
Transaksi Dengan Bank Indonesia yang harus
dilakukan oleh Peserta secara langsung antara lain
transaksi Fasilitas Pendanaan dan transaksi jual
beli secara bersyarat (repo).
Yang dimaksud dengan “broker” antara lain
pialang pasar uang rupiah dan valuta asing
sebagai lembaga perantara dalam rangka OPT,
serta Bank dan perusahaan efek sebagai peserta
lelang SBN.
Angka 7
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penatausahaan Instrumen Operasi Moneter
mencakup antara lain kegiatan Setelmen Dana,
Setelmen Surat Berharga, pencatatan
penerbitan/kepemilikan/penempatan, perhitungan
diskonto, pembayaran bunga atau imbalan, nilai
pokok/nominal Surat Berharga, dan/atau
kewajiban membayar karena kegagalan setelmen.
Penatausahaan Fasilitas Pendanaan mencakup
antara lain kegiatan Setelmen Dana, pencatatan
agunan Surat Berharga, perhitungan dan
pembayaran bunga atau imbalan atas penggunaan
fasilitas, pelunasan fasilitas saat jatuh waktu
dan/atau pelaksanaan eksekusi agunan dalam hal
Bank tidak dapat melunasi kewajiban.
Penatausahaan SBN untuk dan atas nama
pemerintah seperti kegiatan setelmen hasil lelang
penerbitan SBN yang antara lain mencakup
pencatatan penerbitan dan kepemilikan, Setelmen
Dana dan Setelmen Surat Berharga.
Ayat ...
-5-
Ayat (3)
Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia
yang terkait dengan Surat Berharga antara lain
terdiri dari penatausahaan transaksi SBI, jual beli
secara bersyarat (repo dan reverse repo) dengan
Surat Berharga sebagai underlying transaksi, SBN
untuk dan atas nama pemerintah dan Fasilitas
Pendanaan dengan jaminan Surat Berharga.
Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia
tanpa Surat Berharga antara lain terdiri dari
penempatan berjangka (term deposit) dan deposit
facility.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 20
Ayat (5)
Salah satu ketentuan penatausahaan Surat
Berharga yang wajib dipenuhi oleh Sub-Registry
adalah ketentuan kewajiban Sub-Registry untuk
melakukan penatausahaan SBI sesuai ketentuan
one month holding period bagi pemilik SBI.
Angka 9
Pasal 37
e.
sanksi kewajiban membayar terkait ketentuan
Operasi Moneter;
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5146
DASP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 12/12/PBI/2010 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/2/PBI/2008 TENTANG BANK INDONESIA - SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM </reg_title>
<set_date> 4 Agustus 2010 </set_date>
<effective_date> 4 Agustus 2010 </effective_date>
<issued_date> 4 Agustus 2010 </issued_date>
<changed_reg> '10/2/PBI/2008' </changed_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '8/UU/1995', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
Nomor: 7/27/PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 3/17/PBI/2001 TENTANG LAPORAN BERKALA BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam
kebijakan moneter dan pengawasan bank
berdasarkan risiko
informasi bank yang akurat serta tepat waktu;
b. bahwa dalam memperoleh informasi yang akurat dan
tepat waktu secara efisien diperlukan penyesuaian
terhadap tata cara penyusunan dan sistem penyampaian
beberapa laporan bank
umum, sehingga informasi
tersebut dapat diperoleh secara harian;
c. bahwa dalam menyesuaikan tata cara penyusunan dan
sistem penyampaian terhadap beberapa laporan bank
umum telah diberlakukan Peraturan Bank
Indonesia
tentang Laporan Harian Bank Umum;
d. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk
mengatur kembali ketentuan tentang Laporan Berkala
Bank Umum dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: …
rangka penetapan dan pelaksanaan
yang
diperlukan dukungan data dan
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4357);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/17/PBI/2001 tentang
Laporan Berkala Bank Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4143);
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/10/PBI/2005 tentang
Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 25, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4483), sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor:
7/12/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun …
- 3 -
Tahun 2005 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4499);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 3/17/PBI/2001 TENTANG LAPORAN BERKALA
BANK UMUM.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/17/PBI/2001
tentang Laporan Berkala Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4143) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 ayat (3) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 2
(3) Penyusunan LBBU sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi data
mengenai:
a. dana pihak ketiga;
b. pos-pos neraca mingguan;
c. maturity profile;
d. batas maksimum pemberian kredit, yang terdiri dari:
1. pelanggaran …
- 4 -
1. pelanggaran batas maksimum pemberian kredit;
2. pelampauan batas maksimum pemberian kredit;
3. penyediaan dana kepada pihak terkait;
4. penyediaan dana oleh Bank yang dijamin Bank lain; dan
5. realisasi jaminan.”
2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 5
Data LBBU berupa data dana pihak ketiga, pos-pos neraca mingguan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan huruf b, disusun
untuk 4 (empat) masa laporan setiap bulan yaitu:
a. masa laporan minggu pertama, meliputi tanggal 1 sampai dengan
tanggal 7;
b. masa laporan minggu kedua, meliputi tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15;
c. masa laporan minggu ketiga, meliputi tanggal 16 sampai dengan
tanggal 23;
d. masa laporan minggu keempat, meliputi tanggal 24 sampai dengan
akhir bulan.”
3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 6
Data LBBU berupa maturity profile sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (3) huruf c disusun untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap
bulan.”
4. Ketentuan …
- 5 -
4. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 7
Data LBBU berupa data batas maksimum pemberian kredit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d disusun untuk posisi laporan tanggal
akhir bulan pada setiap bulan.”
5. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 9
Data LBBU yang
wajib disampaikan untuk masing-masing
periode
penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ditetapkan sebagai
berikut:
a. periode penyampaian I, meliputi data mengenai:
1. dana
pihak ketiga
sebelumnya;
2. pos-pos neraca mingguan untuk masa laporan minggu keempat bulan
sebelumnya; dan
3. maturity profile untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya.
b. periode penyampaian II, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk masa laporan minggu pertama bulan yang
bersangkutan; dan
2. pos-pos neraca mingguan untuk masa laporan minggu pertama bulan
yang bersangkutan.
c. periode penyampaian III, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk masa laporan minggu kedua bulan yang
bersangkutan;
2. pos-pos neraca mingguan untuk masa laporan minggu kedua bulan
yang bersangkutan; dan
3. batas …
untuk masa laporan minggu
keempat
bulan
- 6 -
3. batas maksimum pemberian kredit untuk posisi tanggal akhir bulan
sebelumnya.
d. periode penyampaian IV, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk masa laporan minggu ketiga bulan yang
bersangkutan; dan
2. pos-pos neraca mingguan untuk masa laporan minggu ketiga bulan
yang bersangkutan.”
6. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut
“Pasal 10
Dalam hal ditemukan kesalahan pada LBBU yang telah disampaikan, Bank
wajib melakukan koreksi atas kesalahan tersebut dan menyampaikannya
kepada Bank Indonesia dalam periode penyampaian LBBU yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.”
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 26 Agustus 2005.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Agustus 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 75
DPNP/UKMI/DSM/DPIP
PENJELASAN
PERATURAN BANK INDONESIA
Nomor : 7/27/PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 3/17/PBI/2001 TENTANG LAPORAN BERKALA BANK UMUM
UMUM
Dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004, ditegaskan bahwa bank wajib menyampaikan laporan, keterangan,
dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Data dan atau informasi dalam laporan, keterangan, dan penjelasan dimaksud
lebih lanjut digunakan antara lain dalam menyusun statistik perbankan untuk
analisis ekonomi moneter serta pengawasan dan pembinaan bank.
Dalam kaitannya dengan penyusunan statistik perbankan dalam rangka
pengawasan dan pembinaan bank, dirasakan perlu dilakukan penyesuaian
terhadap tata cara penyusunan dan sistem penyampaian beberapa laporan bank
umum, yaitu laporan mengenai posisi devisa neto dan laporan proyeksi arus kas,
sehingga data-data yang terkait dengan eksposur bank terhadap valuta asing
maupun proyeksi mismatch yang dapat terjadi antara arus kas masuk dan arus kas
keluar, dapat diperoleh secara harian.
Dengan diberlakukannya ketentuan tentang Laporan Harian Bank Umum,
maka penyesuaian terhadap laporan posisi devisa neto dan laporan proyeksi
arus kas sebagaimana dimaksud di atas telah dilakukan. Oleh karena itu untuk
mencegah …
- 2 -
mencegah duplikasi laporan, data dan informasi mengenai posisi devisa neto dan
proyeksi arus kas yang sebelumnya disampaikan melalui Laporan Berkala Bank
Umum perlu disesuaikan sehingga sepenuhnya berpedoman kepada tata cara
penyusunan dan sistem penyampaian laporan sebagaimana telah diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia tentang Laporan Harian Bank Umum.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 2
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan dana pihak ketiga adalah
dana pihak ketiga dalam rupiah dan valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku tentang giro wajib minimum
bank umum pada Bank Indonesia dalam rupiah dan
valuta asing.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pos-pos neraca mingguan
adalah neraca yang disusun secara mingguan sesuai
dengan rincian pos-pos neraca sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku tentang laporan bulanan bank umum.
Huruf c …
- 3 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan maturity profile adalah
gambaran atas pos-pos neraca Bank yang akan jatuh
tempo sesuai kontraknya atau asumsi lainnya yang
jatuh temponya tidak dinyatakan dalam kontrak
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku tentang pemantauan likuiditas
bank umum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan batas maksimum pemberian
kredit adalah persentase perbandingan batas
maksimum penyediaan dana yang diperkenankan
terhadap modal Bank sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang batas
maksimum pemberian kredit bank umum.
Angka 2
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 6
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 7
Cukup jelas.
Angka 5 …
- 4 -
Angka 5
Pasal 9
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 10
Sebagai contoh, koreksi atas kesalahan data dana pihak
ketiga masa laporan minggu ketiga wajib disampaikan
dalam periode penyampaian yang sama dengan periode
penyampaian yang ditetapkan untuk data dana pihak ketiga
masa laporan minggu ketiga.
Kesalahan LBBU antara lain disebabkan adanya temuan
Bank, Bank Indonesia, maupun akuntan publik.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4525
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/27/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/17/PBI/2001 TENTANG LAPORAN BERKALA BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 24 Agustus 2005 </set_date>
<effective_date> 26 Agustus 2005 </effective_date>
<changed_reg> '3/17/PBI/2001' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/12/PBI/2005', '3/UU/2004', '3/17/PBI/2001', '7/10/PBI/2005', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/11/PBI/2019
TENTANG
PENYELENGGARAAN CENTRAL COUNTERPARTY
UNTUK TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA
DAN NILAI TUKAR OVER-THE-COUNTER
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah yang dilakukan dengan
cara menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter,
makroprudensial,
serta
pengelolaan uang rupiah, yang salah satunya didukung
oleh pasar keuangan yang berintegritas dan efisien;
b. bahwa untuk mencapai pasar keuangan yang berintegritas
dan efisien, tertib, teratur, serta transparan diperlukan
lembaga central counterparty yang menyelenggarakan
kliring dan novasi atas transaksi derivatif suku bunga dan
nilai tukar yang dilakukan secara over-the-counter;
c. bahwa untuk mewujudkan terbentuknya lembaga central
counterparty yang memiliki integritas, tata kelola yang baik,
serta manajemen risiko yang efektif sehingga dapat
mengurangi risiko sistemik di pasar keuangan, diperlukan
peran Bank Indonesia dalam pengaturan, perizinan, dan
pengawasan lembaga central counterparty;
sistem pembayaran dan
- 2 -
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggaraan Central
Counterparty untuk Transaksi Derivatif Suku Bunga dan
Nilai Tukar Over-the-Counter;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
Menetapkan : PERATURAN
MEMUTUSKAN:
BANK
INDONESIA
TENTANG
PENYELENGGARAAN CENTRAL COUNTERPARTY UNTUK
TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA DAN NILAI TUKAR OVER-
THE-COUNTER.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Transaksi Derivatif Suku Bunga adalah transaksi yang
didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran
yang nilainya merupakan turunan dari suku bunga.
- 3 -
2. Transaksi Derivatif Nilai Tukar adalah transaksi yang
didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran
yang nilainya merupakan turunan dari nilai tukar.
3. Transaksi Derivatif Suku Bunga dan Nilai Tukar Over-the–
Counter yang selanjutnya disebut Transaksi Derivatif SBNT
adalah Transaksi Derivatif Suku Bunga dan Transaksi
Derivatif Nilai Tukar yang dilakukan secara over-the-
counter.
4. Central Counterparty untuk Transaksi Derivatif Suku
Bunga dan Nilai Tukar Over-the-Counter yang selanjutnya
disebut CCP SBNT adalah lembaga yang menempatkan
dirinya di antara para pihak yang melakukan Transaksi
Derivatif SBNT sehingga bertindak sebagai pembeli bagi
penjual dan sebagai penjual bagi pembeli.
5. Novasi atau Pembaharuan Utang yang selanjutnya disebut
Novasi adalah proses pengakhiran kontrak awal antara
pembeli dan penjual kemudian menggantikannya dengan
dua kontrak baru yaitu antara CCP SBNT dan pembeli serta
CCP SBNT dan penjual.
6. Kliring adalah proses yang dilakukan setelah terjadinya
transaksi yang mencakup kegiatan merekonsiliasi,
mengonfirmasi, dan menghitung hak dan kewajiban para
pihak termasuk penghitungan secara netting, yang
menunjukkan posisi akhir hak dan kewajiban para pihak
sebelum setelmen dilakukan.
7. Anggota CCP SBNT yang selanjutnya disebut Anggota
adalah pihak yang memenuhi persyaratan untuk
menggunakan layanan jasa Kliring berdasarkan kriteria
yang ditetapkan oleh CCP SBNT.
8. Infrastruktur Pasar Keuangan (Financial Market
Infrastructure)
adalah sistem multilateral yang
menyediakan jasa untuk melakukan perdagangan, Kliring,
setelmen, pelaporan, dan pencatatan sehubungan dengan
transaksi pembayaran, surat berharga, derivatif, dan
transaksi keuangan lainnya.
- 4 -
9. Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan serta
bank umum yang menjalankan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri namun tidak termasuk kantor
Bank yang beroperasi di luar negeri.
10. Default Fund Contribution adalah dana yang disetorkan oleh
Anggota kepada CCP SBNT sebagai bagian dari mitigasi
risiko apabila terjadi wanprestasi Anggota.
11. Initial Margin adalah dana dan/atau surat berharga yang
disetorkan oleh Anggota pada saat akan melakukan
Transaksi Derivatif SBNT untuk memitigasi potensi
perubahan posisi Anggota dalam hal terjadi wanprestasi.
12. Variation Margin adalah dana dan/atau surat berharga
yang disetorkan oleh Anggota atas eksposur yang
diakibatkan oleh perubahan harga pasar (mark-to-market)
Transaksi Derivatif SBNT.
BAB II
FUNGSI CCP SBNT
Pasal 2
CCP SBNT melakukan fungsi:
a. Novasi;
b. penyelenggaraan Kliring; dan
c. pengelolaan risiko,
atas Transaksi Derivatif SBNT.
- 5 -
BAB III
PERIZINAN CCP SBNT
Bagian Kesatu
Persyaratan CCP SBNT
Pasal 3
(1) Setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai CCP
SBNT wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank
Indonesia.
(2) Pihak yang mengajukan permohonan izin menjadi CCP
SBNT harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berbentuk perseroan terbatas;
b. memenuhi modal minimum;
c. memenuhi komposisi kepemilikan saham; dan
d. memiliki infrastruktur yang andal dan aman.
Pasal 4
(1) Perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2) huruf a harus memiliki paling sedikit:
a. 1 (satu) orang komisaris independen; dan
b. 1 (satu) orang direktur yang membidangi CCP SBNT.
(2) Direktur yang membidangi CCP SBNT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat merangkap bidang
lainnya dengan persetujuan Bank Indonesia.
(3) Persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan ukuran dan
kompleksitas kegiatan usaha CCP SBNT.
Pasal 5
(1) Modal minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2) huruf b sebesar Rp400.000.000.000,00 (empat
ratus miliar rupiah).
(2) Perhitungan modal minimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didasarkan atas karakteristik usaha dan risiko CCP
SBNT.
- 6 -
(3) Pemenuhan modal minimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pada saat permohonan persetujuan prinsip, modal
disetor mencapai paling sedikit 50% (lima puluh
persen) dari modal minimum; dan
b. pada saat permohonan izin usaha, modal minimum
mencapai 100% (seratus persen).
Pasal 6
(1) Bank Indonesia dapat meninjau kembali jumlah modal
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
(2) Bank Indonesia dapat meminta pemegang saham CCP
SBNT untuk menyesuaikan permodalan CCP SBNT dengan
mempertimbangkan profil risiko dan/atau kondisi kegiatan
CCP SBNT.
(3) Dalam hal modal CCP SBNT menjadi berkurang di bawah
modal minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1), CCP SBNT wajib:
a. memenuhi kekurangan modal minimum dalam waktu
paling lambat 1 (satu) tahun sejak penurunan modal
minimum; dan
b. menyampaikan laporan kondisi terkini terkait modal
minimum beserta rencana aksi pemenuhan modal
minimum kepada Bank Indonesia.
(4) Rencana aksi
terkait pemenuhan modal minimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b harus
memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
Pasal 7
Sumber dana yang digunakan untuk pemenuhan modal
dilarang berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam
bentuk apapun dan/atau dari dan untuk tujuan pencucian
uang.
- 7 -
Pasal 8
(1) Komposisi kepemilikan saham sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c wajib memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. sepenuhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia
dan/atau badan hukum Indonesia; atau
b.
dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan
hukum Indonesia dengan warga negara asing
dan/atau badan hukum asing, dengan batasan
kepemilikan warga negara asing dan/atau badan
hukum asing paling banyak 49% (empat puluh
sembilan persen) dari modal disetor.
(2) Perhitungan kepemilikan warga negara asing dan/atau
badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi kepemilikan secara langsung dan secara
tidak langsung sesuai dengan penilaian Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) Persyaratan infrastruktur yang andal dan aman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d
paling sedikit meliputi:
a. memiliki kapasitas pemrosesan Kliring Transaksi
Derivatif SBNT yang memadai;
b. memiliki tingkat keamanan yang memenuhi standar
keamanan nasional dan/atau internasional; dan
c. memiliki manajemen risiko yang memadai.
(2) Wilayah penempatan infrastruktur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengacu pada peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai informasi dan
transaksi elektronik.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan CCP SBNT diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 8 -
Bagian Kedua
Tata Cara Pemberian Izin
Pasal 11
Pemberian izin CCP SBNT sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (1) dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu:
a.
persetujuan prinsip; dan
b. izin usaha.
Bagian Ketiga
Persetujuan Prinsip
Pasal 12
(1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a diajukan
oleh salah satu anggota direksi secara tertulis kepada Bank
Indonesia.
(2) Pihak yang mengajukan permohonan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki akta pendirian badan hukum termasuk
anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi
berwenang;
b. memiliki modal disetor paling sedikit 50% (lima puluh
persen) dari modal minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1);
c. memiliki struktur kepemilikan saham;
d. terdapat paling sedikit 1 (satu) orang komisaris
independen;
e.
f.
terdapat paling sedikit 1 (satu) orang calon direktur
yang akan membidangi CCP SBNT;
memiliki susunan dan struktur organisasi, serta
rencana sumber daya manusia;
g. memiliki rencana bisnis untuk 3 (tiga) tahun pertama;
h. memiliki rencana strategis perusahaan jangka
panjang;
- 9 -
i.
j.
memiliki konsep pedoman manajemen risiko, rencana
sistem pengendalian intern, rencana sistem teknologi
informasi yang digunakan, dan konsep pedoman
mengenai pelaksanaan tata kelola;
memiliki sistem dan prosedur kerja; dan
k. memenuhi persyaratan administratif lain yang
ditetapkan Bank Indonesia.
Pasal 13
(1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut:
a.
b.
c.
hasil penelitian atas kelengkapan dan kesesuaian
dokumen;
hasil analisis terhadap persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2); dan
hasil konfirmasi dan/atau keterangan dari instansi
terkait yang berwenang, dalam hal diperlukan.
(3) Bank Indonesia dapat meminta pihak yang mengajukan
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(1) untuk melakukan presentasi mengenai keseluruhan
rencana penyelenggaraan CCP SBNT.
Pasal 14
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan
prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)
diberikan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kerja
setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap dan
sesuai.
(2) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak
tanggal persetujuan prinsip diterbitkan.
- 10 -
(3) Apabila sampai dengan berakhirnya jangka waktu
berlakunya persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) pihak yang telah memperoleh persetujuan
prinsip belum mengajukan permohonan izin usaha kepada
Bank Indonesia, persetujuan prinsip yang telah
dikeluarkan oleh Bank Indonesia dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 15
Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) yang telah
memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) dilarang melakukan kegiatan usaha sebagai
CCP SBNT sebelum mendapat izin usaha.
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, dokumen
pendukung, dan tata cara pengajuan permohonan persetujuan
prinsip diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Keempat
Izin Usaha
Pasal 17
(1) Permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 huruf b diajukan oleh salah satu
anggota direksi secara tertulis kepada Bank Indonesia.
(2) Pihak yang mengajukan permohonan izin usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki persetujuan prinsip yang masih berlaku dari
Bank Indonesia;
b. memiliki modal minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1);
c. memiliki rancangan ketentuan CCP SBNT (rule book);
d. memiliki bukti kesiapan operasional;
e. memiliki anggaran dasar yang memuat:
1. persyaratan bahwa pengangkatan komisaris
independen dan direktur yang membidangi CCP
- 11 -
SBNT harus memperoleh persetujuan Bank
Indonesia terlebih dahulu; dan
2. struktur organisasi yang memuat komposisi
dewan komisaris dan direksi paling sedikit 1
(satu) orang komisaris independen dan 1 (satu)
orang direktur yang membidangi CCP SBNT;
f. memenuhi persyaratan integritas, kompetensi,
dan/atau aspek keuangan bagi komisaris independen
dan direktur yang membidangi CCP SBNT; dan
g. memiliki data kepemilikan saham beserta dokumen
pendukung dalam hal terdapat perubahan.
Pasal 18
(1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1).
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut:
a.
b.
hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap:
1. komisaris independen; dan
2. direktur yang membidangi CCP SBNT; dan
c.
hasil konfirmasi dan/atau keterangan dari instansi
terkait yang berwenang, dalam hal diperlukan.
(3) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b ditujukan untuk
memastikan pemenuhan persyaratan
kompetensi dan/atau aspek keuangan.
integritas,
(4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling
lambat 90 (sembilan puluh) hari kerja setelah dokumen
permohonan diterima secara lengkap dan sesuai.
hasil penelitian atas kelengkapan dan kesesuaian
dokumen;
- 12 -
Pasal 19
(1) Pihak yang telah mendapat izin usaha CCP SBNT
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) wajib
melakukan kegiatan usaha paling lambat 60 (enam puluh)
hari kerja terhitung sejak tanggal izin usaha diterbitkan.
(2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilaporkan oleh CCP SBNT kepada Bank
Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah
tanggal pelaksanaan kegiatan operasional.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) CCP SBNT belum melakukan kegiatan usaha, izin
usaha yang telah diterbitkan oleh Bank Indonesia
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, dokumen
pendukung, dan tata cara pengajuan permohonan izin usaha
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kelima
Perubahan Komisaris Independen
dan Direktur yang Membidangi CCP SBNT serta Aksi Korporasi
Pasal 21
(1) CCP SBNT wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia
dalam hal akan melakukan perubahan atas komisaris
independen dan/atau direktur yang membidangi CCP
SBNT.
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut:
a.
hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap:
1. komisaris independen; dan/atau
2. direktur yang membidangi CCP SBNT; dan
b.
hasil konfirmasi dan/atau keterangan dari instansi
terkait yang berwenang, dalam hal diperlukan.
- 13 -
(3) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a ditujukan untuk
memastikan pemenuhan persyaratan integritas,
kompetensi dan/atau aspek keuangan.
(4) CCP SBNT wajib memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia dalam hal akan melakukan aksi korporasi
berupa penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan
pemisahan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, dokumen
pendukung, dan tata cara pengajuan permohonan
persetujuan atas perubahan komisaris independen dan
direktur yang membidangi CCP SBNT serta aksi korporasi
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB IV
TUGAS, WEWENANG, DAN KEWAJIBAN CCP SBNT
Bagian Kesatu
Tugas CCP SBNT
Pasal 22
(1) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, CCP SBNT memiliki tugas:
a. melakukan Novasi atas kontrak Transaksi Derivatif
SBNT antar-Anggota;
b. menyelenggarakan Kliring atas Transaksi Derivatif
SBNT secara multilateral;
c. mengelola risiko dengan menetapkan standar operasi
prosedur manajemen risiko;
d. menatausahakan portofolio Transaksi Derivatif SBNT
Anggota secara benar, tepat waktu, konsisten, dan
transparan;
e. menatausahakan Default Fund Contribution, Initial
Margin, dan Variation Margin;
f. menyusun dan mengembangkan ketentuan CCP SBNT
(rule book) yang berlaku bagi Anggota;
- 14 -
g. melakukan interkoneksi dengan Infrastruktur Pasar
Keuangan (Financial Market Infrastructure) dan/atau
penyelenggara transaksi; dan
h. melakukan pemantauan, evaluasi, dan pengendalian
secara rutin terhadap portofolio Transaksi Derivatif
SBNT.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas CCP SBNT diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kedua
Wewenang CCP SBNT
Pasal 23
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22, CCP SBNT berwenang:
a. menyetujui, menolak, dan menghentikan Anggota;
b. mengenakan sanksi kepada Anggota;
c. menetapkan besaran Default Fund Contribution, Initial
Margin, Variation Margin, dan biaya;
d. menetapkan metode valuasi atas Initial Margin dan
Variation Margin yang diserahkan Anggota;
e. melakukan pengelolaan Default Fund Contribution,
Initial Margin, dan Variation Margin sesuai dengan
kriteria dan persyaratan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia;
f. mengeksekusi Default Fund Contribution, Initial
Margin, dan Variation Margin dalam hal Anggota
mengalami wanprestasi;
g. melakukan close-out netting, pengakhiran awal (early
termination), dan lelang atas transaksi Anggota yang
mengalami wanprestasi; dan
h. menyusun dan menetapkan ketentuan CCP SBNT (rule
book).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang CCP SBNT
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 15 -
Bagian Ketiga
Kewajiban CCP SBNT
Pasal 24
CCP SBNT wajib memiliki tata kelola perusahaan yang jelas dan
transparan, yang memenuhi prinsip keamanan, efisiensi, dan
mendukung stabilitas sistem keuangan.
Pasal 25
(1) CCP SBNT wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko secara efektif.
(2) Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit terdiri atas:
a. pedoman etika bisnis sebagai CCP SBNT atau
pedoman lain yang sejenis;
b. transparansi dan keterbukaan informasi;
c. mekanisme penyelesaian sengketa; dan
d. perlindungan konsumen.
(3) Dalam menerapkan manajemen risiko yang efektif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), CCP SBNT paling
sedikit memiliki:
a. kerangka pengelolaan risiko yang memadai;
b. rencana pemulihan bencana;
c.
jaringan komunikasi yang memenuhi prinsip
kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan; dan
d. manajemen risiko terkait teknologi informasi.
Pasal 26
CCP SBNT wajib menerapkan manajemen risiko kredit dan
risiko likuiditas secara efektif.
Pasal 27
Penerapan manajemen risiko kredit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 dilakukan paling sedikit dengan cara:
a. mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengelola
risiko kredit;
- 16 -
b. memiliki prosedur dan mekanisme yang memadai
mengenai urutan penggunaan sumber dana (default
waterfall) dalam hal terdapat Anggota yang mengalami
wanprestasi;
c. mengalokasikan persentase tertentu dari modal CCP SBNT
sebagai bagian dari urutan penggunaan sumber dana
(default waterfall);
d. memelihara sumber keuangan yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan likuiditas atas eksposur kredit
kepada Anggota;
e. meminta Initial Margin dan Variation Margin dalam bentuk
dana dan/atau surat berharga dengan kualitas tinggi;
f. menerapkan metode valuasi dan haircut atas Initial Margin
dan Variation Margin dalam bentuk surat berharga
berdasarkan prinsip kehati-hatian;
g. menerapkan concentration limit untuk Initial Margin dan
Variation Margin dalam bentuk surat berharga; dan
h. menerapkan sistem Initial Margin dan Variation Margin yang
efektif.
Pasal 28
Penerapan manajemen risiko likuiditas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 dilakukan paling sedikit dengan cara:
a. mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengelola
risiko likuiditas;
b. menjaga kecukupan likuiditas untuk melakukan setelmen;
dan
c. melakukan stress test secara berkala.
Pasal 29
(1) CCP SBNT wajib menerapkan manajemen risiko bisnis,
risiko custody, risiko investasi, dan risiko operasional
secara efektif.
- 17 -
(2) Penerapan manajemen risiko bisnis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit dengan
cara:
a. mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan
mengelola risiko bisnis; dan
b. memiliki kecukupan aset bersih yang likuid untuk
mengantisipasi potensi kerugian bisnis.
(3) Penerapan manajemen risiko custody sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit dengan
cara:
a. mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan
mengelola risiko custody; dan
b. melindungi aset CCP SBNT dan aset Anggota yang
diserahkan kepada CCP SBNT.
(4) Penerapan manajemen risiko investasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit dengan
cara:
a. mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan
mengelola risiko investasi CCP SBNT; dan
b. melakukan investasi pada instrumen yang memiliki
risiko kredit, risiko pasar, dan risiko likuiditas yang
rendah sesuai dengan kriteria investasi yang
ditetapkan Bank Indonesia.
(5) Penerapan manajemen risiko operasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit dengan
cara:
a. mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan
mengelola risiko operasional;
b. memiliki sistem yang memadai untuk mendukung
kegiatan operasional CCP SBNT; dan
c. memiliki manajemen keberlangsungan bisnis.
Pasal 30
(1) CCP SBNT wajib memastikan proses setelmen Transaksi
Derivatif SBNT dilakukan secara final.
- 18 -
(2) Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan menggunakan dana CCP SBNT dalam mata uang
rupiah yang terdapat pada rekening CCP SBNT di Bank
Indonesia (central bank money).
(3) Dalam hal setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam valuta asing, CCP SBNT harus memiliki
mitigasi risiko setelmen.
(4) Dalam hal disepakati untuk melakukan physical delivery
settlement, CCP SBNT wajib mencantumkan kewajiban CCP
SBNT di dalam kontrak.
(5) CCP SBNT harus mengidentifikasi, mengukur, memantau,
dan mengelola risiko yang berpotensi timbul atas physical
delivery settlement.
Pasal 31
Dalam hal terdapat kewajiban timbal balik (two-linked
obligation), CCP SBNT wajib meminimalisir risiko setelmen
berupa principal risk yang timbul dari Transaksi Derivatif SBNT
melalui mekanisme:
a. delivery versus payment (DvP);
b. payment versus payment (PvP);
c. delivery versus delivery (DvD); atau
d. mekanisme lainnya yang dapat meminimalisir risiko
setelmen.
Pasal 32
CCP SBNT wajib memiliki kebijakan dan prosedur yang jelas
mengenai:
a. penanganan wanprestasi Anggota; dan
b. segregasi dan portabilitas atas posisi transaksi, Default
Fund Contribution, Initial Margin, dan Variation Margin dari
Anggota.
Pasal 33
CCP SBNT wajib menetapkan kriteria dan persyaratan untuk
menjadi Anggota secara objektif, berbasis risiko, dan
transparan.
- 19 -
Pasal 34
(1) CCP SBNT harus memberikan layanan Transaksi Derivatif
SBNT bagi Anggota secara efektif dan efisien.
(2) CCP SBNT wajib menggunakan sarana dan prosedur
komunikasi yang lazim untuk memfasilitasi proses
pembayaran, Kliring, setelmen, dan pendokumentasian.
Pasal 35
(1) CCP SBNT wajib menyampaikan informasi secara lengkap
dan transparan kepada Anggota mengenai ketentuan CCP
SBNT (rule book), biaya, data Transaksi Derivatif SBNT, dan
informasi lainnya terkait dengan keanggotaan dalam CCP
SBNT.
(2) Penyampaian informasi data Transaksi Derivatif SBNT
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan prinsip kerahasiaan data individual
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 36
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban CCP SBNT diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB V
SEGREGASI BISNIS
Pasal 37
Dalam hal CCP SBNT memberikan jasa lain di luar Transaksi
Derivatif SBNT, CCP SBNT wajib:
a. memisahkan Default Fund Contribution, Initial Margin, dan
Variation Margin yang diterima atas Transaksi Derivatif
SBNT dengan default fund contribution, initial margin, dan
variation margin atas jasa lain tersebut; dan
b. memisahkan mekanisme urutan penggunaan sumber dana
(default waterfall) atas Transaksi Derivatif SBNT dengan
urutan penggunaan sumber dana (default waterfall) atas
jasa lain tersebut.
- 20 -
Pasal 38
CCP SBNT dapat memisahkan mekanisme urutan penggunaan
sumber dana (default waterfall) atas Transaksi Derivatif SBNT
berdasarkan kelas aset dan/atau jenis transaksi.
Pasal 39
(1) CCP SBNT wajib memisahkan aset, piutang, dan kewajiban
milik CCP SBNT dengan aset, piutang, dan kewajiban milik
Anggota.
(2) CCP SBNT wajib memisahkan rekening Default Fund
Contribution, Initial Margin, dan Variation Margin, masing-
masing Anggota.
(3) CCP SBNT wajib memperlakukan Default Fund
Contribution, Initial Margin, dan Variation Margin milik
Anggota termasuk tambahan aset hasil Transaksi Derivatif
SBNT Anggota yang bersangkutan sebagai milik Anggota.
(4) Apabila CCP SBNT dinyatakan pailit, aset milik Anggota
yang berada dalam penguasaan CCP SBNT tidak dapat
digunakan untuk memenuhi kewajiban CCP SBNT
terhadap pihak ketiga atau krediturnya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai segregasi bisnis CCP
SBNT diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB VI
KONEKTIVITAS CCP SBNT
Pasal 40
(1) CCP SBNT wajib melakukan interkoneksi dengan
Infrastruktur Pasar Keuangan (Financial Market
Infrastructure), penyelenggara transaksi, dan/atau
infrastruktur lainnya sesuai permintaan Bank Indonesia.
(2) Dalam hal CCP SBNT melakukan interkoneksi dengan
Infrastruktur Pasar Keuangan (Financial Market
Infrastructure), penyelenggara transaksi, dan/atau
infrastruktur lainnya berdasarkan inisiatif CCP SBNT, CCP
SBNT wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
- 21 -
(3) CCP SBNT wajib mengidentifikasi, mengukur, memantau,
dan mengelola risiko yang timbul dari transaksi dan/atau
hubungan kerja sama dengan Infrastruktur Pasar
Keuangan (Financial Market Infrastructure), penyelenggara
transaksi, dan/atau infrastruktur lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai konektivitas CCP SBNT
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB VII
PENERBITAN KETENTUAN CCP SBNT (RULE BOOK)
Pasal 41
(1) Penyusunan ketentuan CCP SBNT (rule book) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c wajib dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. memperhatikan prinsip Infrastruktur Pasar Keuangan
(Principles for Financial Market
Infrastructure)
dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang
terkait dengan CCP SBNT;
b. meminta pendapat dan masukan dari pelaku pasar
dan pihak yang berkepentingan lainnya; dan
c. memperoleh persetujuan dari dewan komisaris CCP
SBNT.
(2) CCP SBNT wajib menyampaikan ketentuan CCP SBNT (rule
book) kepada Bank Indonesia paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja setelah ketentuan CCP SBNT (rule book)
berlaku.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai ketentuan CCP SBNT (rule
book) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 22 -
BAB VIII
ANGGOTA CCP SBNT
Pasal 42
(1) Anggota CCP SBNT merupakan anggota Kliring langsung
yang terdiri atas:
a. Anggota Kliring umum; dan
b. Anggota Kliring individual.
(2) Anggota Kliring umum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a berupa Bank yang dapat bertindak untuk
kepentingan sendiri dan/atau atas nama nasabahnya.
(3) Anggota Kliring individual sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b berupa Bank yang bertindak untuk
kepentingan sendiri.
(4) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan
Anggota Kliring tidak langsung yang dapat berbentuk:
a. Bank;
b.
lembaga keuangan non-Bank; dan
c. pihak lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 43
(1) CCP SBNT wajib mengidentifikasi, memantau, dan
mengelola risiko yang timbul dari Anggota dan nasabah
yang merupakan anggota Kliring tidak langsung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (4) (tiered
participation arrangements).
(2) Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terhadap nasabah yang merupakan anggota Kliring
tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat
(4) dapat dilakukan oleh CCP SBNT baik secara langsung
atau melalui anggota Kliring umum.
Pasal 44
Ketentuan lebih lanjut mengenai Anggota diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 23 -
BAB IX
INITIAL MARGIN DAN VARIATION MARGIN
Pasal 45
(1) Dalam melakukan kegiatan usahanya, CCP SBNT dapat
meminta Initial Margin dan Variation Margin kepada
Anggota.
(2) Dalam hal Initial Margin dan/atau Variation Margin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk surat
berharga, surat berharga tersebut harus likuid dengan
risiko kredit, risiko pasar, dan risiko likuiditas yang rendah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Initial Margin dan
Variation Margin diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
BAB X
JENIS DAN KRITERIA TRANSAKSI
Pasal 46
(1) Bank Indonesia menetapkan jenis dan kriteria Transaksi
Derivatif SBNT yang wajib di-Kliringkan melalui CCP SBNT.
(2) Transaksi Derivatif SBNT sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan untuk transfer risiko.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jenis dan
kriteria Transaksi Derivatif SBNT yang wajib dilakukan
Kliring melalui CCP SBNT diatur dengan ketentuan Bank
Indonesia.
BAB XI
LAPORAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Laporan
Pasal 47
(1) CCP SBNT wajib menyampaikan laporan kepada Bank
Indonesia melalui sistem pelaporan Bank Indonesia.
- 24 -
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.
b.
laporan berkala; dan
laporan insidental.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
secara offline dalam hal sistem pelaporan secara online
belum tersedia.
Pasal 48
(1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
ayat (2) huruf a terdiri atas:
a.
laporan operasional harian dan bulanan terkait
Transaksi Derivatif SBNT;
b.
laporan keuangan triwulanan dan laporan keuangan
tahunan;
c. laporan hasil rapat umum pemegang saham (RUPS)
tahunan;
d.
e.
laporan hasil stress test; dan
laporan evaluasi tahunan kepatuhan terhadap prinsip
Infrastruktur Pasar Keuangan (Principles for Financial
Market Infrastructure).
(2) Laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
ayat (2) huruf b terdiri atas:
a.
laporan wanprestasi Anggota;
b. laporan hasil rapat umum pemegang saham (RUPS)
luar biasa;
c. laporan perubahan keanggotaan CCP SBNT;
d. laporan pengenaan sanksi oleh CCP SBNT terhadap
Anggota;
e. laporan mengenai peristiwa khusus;
f.
laporan mengenai pembukaan layanan atau jasa
tambahan kepada Anggota yang telah mendapatkan
persetujuan dari otoritas terkait; dan
g. laporan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai format dan tata cara
penyampaian laporan diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
- 25 -
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 49
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan kepada CCP
SBNT.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui:
a. pengawasan tidak langsung; dan
b. pemeriksaan.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan
otoritas lain yang berwenang.
(4) Untuk keperluan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), CCP SBNT wajib memberikan data, informasi,
dan/atau keterangan yang diperlukan Bank Indonesia.
(5) CCP SBNT wajib bertanggung jawab atas kebenaran data,
informasi, dan/atau keterangan yang disampaikan kepada
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan
atas nama Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.
(7) Pihak yang ditugaskan melakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib menjaga
kerahasiaan data, informasi, dan keterangan yang
diperoleh dari hasil pemeriksaan.
Pasal 50
Dalam hal hasil pengawasan Bank Indonesia menunjukkan
bahwa CCP SBNT tidak dapat melaksanakan tugas dan
kewajibannya secara memadai, Bank Indonesia berwenang:
a. meminta CCP SBNT untuk:
1. melakukan atau tidak melakukan sesuatu; dan
2. menghentikan sebagian atau seluruh kegiatan;
dan/atau
b. mencabut izin usaha CCP SBNT.
- 26 -
Pasal 51
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB XII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 52
(1) CCP SBNT yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), Pasal 7, Pasal 8 ayat (1),
Pasal 15, Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 21 ayat (1)
dan ayat (4), Pasal 24, Pasal 25 ayat (1), Pasal 26, Pasal 29
ayat (1), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 31, Pasal 32,
Pasal 33, Pasal 34 ayat (2), Pasal 35 ayat (1), Pasal 37, Pasal
39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 40 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 43 ayat (1),
Pasal 47 ayat (1), dan/atau Pasal 49 ayat (4) dan ayat (5)
dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) CCP SBNT yang dikenai sanksi administratif berupa
teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk:
a. pelanggaran ketentuan yang sama sebanyak 3 (tiga)
kali berturut-turut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
kalender; atau
b. pelanggaran beberapa ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sebanyak 5 (lima) kali dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun kalender,
dikenai sanksi penghentian sementara atas kegiatan
sebagai CCP SBNT.
(3) CCP SBNT dikenai sanksi pencabutan izin usaha apabila
tidak melaksanakan sanksi penghentian sementara atas
kegiatan sebagai CCP SBNT sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
- 27 -
Pasal 53
Pihak lain yang ditugaskan Bank Indonesia untuk melakukan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (6)
yang melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (7) dikenai sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
Pasal 54
Pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai CCP SBNT tanpa
memiliki izin dari Bank Indonesia dikenai sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juni
2020.
- 28 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 September 2019
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 September 2019
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 159
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/11/PBI/2019
TENTANG
PENYELENGGARAAN CENTRAL COUNTERPARTY
UNTUK TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA
DAN NILAI TUKAR OVER-THE-COUNTER
I. UMUM
Pembentukan central counterparty (CCP) di Indonesia merupakan
suatu inisiatif yang sejalan dengan komitmen Indonesia dalam memenuhi
rekomendasi The Group of Twenty (G20) yang diadopsi dari Financial
Stability Board (FSB) dan International Organization of Securities
Commissions (IOSCO) untuk memitigasi risiko akibat Transaksi Derivatif
SBNT yang dilakukan secara over-the-counter. Selain memenuhi
rekomendasi G20, pendirian CCP SBNT ini juga bertujuan untuk
mengurangi risiko sistemik dimana CCP bertindak sebagai manajemen
risiko yang independen, mempercepat proses pengembangan pasar derivatif
Indonesia, serta memperkuat infrastruktur di pasar keuangan.
Di sisi lain, pembentukan CCP SBNT di Indonesia perlu segera
dilaksanakan mengingat saat ini di negara-negara seperti Uni Eropa,
Amerika Serikat, dan Jepang telah memberlakukan pengaturan kewajiban
margin yang lebih tinggi (global margin requirement) untuk transaksi
derivatif yang tidak di-Kliringkan melalui CCP.
Atas dasar hal tersebut, Bank Indonesia berinisiatif untuk mengatur
mengenai CCP SBNT di Indonesia sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan stabilitas sistem keuangan, mempercepat proses
pengembangan, dan pendalaman pasar keuangan domestik, sekaligus
sebagai respons terhadap rekomendasi G20.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “modal” adalah modal disetor, saldo
laba (rugi), dan komponen modal lainnya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “komisaris independen” adalah
anggota dewan komisaris yang tidak memiliki hubungan
keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham, dan/atau
hubungan keluarga dengan anggota dewan komisaris
lainnya, direksi, dan/atau pemegang saham pengendali atau
hubungan lain yang dapat memengaruhi kemampuannya
untuk bertindak independen.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 3 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh kepemilikan langsung dan tidak langsung yaitu:
PT “ABC” dimiliki oleh PT “X” sebesar 30% (tiga puluh persen), PT
“Y” sebesar 20% (dua puluh persen), dan PT “Z” sebesar 50% (lima
puluh persen).
PT “X” dimiliki oleh “QRS” Ltd sebesar 40% (empat puluh persen).
Kepemilikan PT “X” pada PT “ABC” dikategorikan sebagai
kepemilikan secara langsung, sedangkan kepemilikan “QRS” Ltd
pada PT “ABC” dikategorikan sebagai kepemilikan secara tidak
langsung.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “infrastruktur” adalah sistem Kliring,
pusat data, dan pusat pemulihan bencana.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
- 5 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Pelaksanaan tugas menatausahakan Default Fund
Contribution, Initial Margin, dan Variation Margin dilakukan
oleh CCP SBNT dengan cara melakukan perhitungan,
pengumpulan, dan penatausahaan.
Huruf f
Penyusunan ketentuan CCP SBNT (rule book) dilakukan
dengan mengacu kepada standar dan prinsip Infrastruktur
Pasar Keuangan (Principles for Financial Market
Infrastructure).
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
- 6 -
Huruf g
Yang dimaksud dengan “close-out netting” adalah proses
pengakhiran seluruh Transaksi Derivatif SBNT dan transaksi
derivatif lainnya dalam satu perjanjian induk dan dengan
menghitung nilai bersih (netting) dari nilai atau jumlah hak
atau kewajiban dengan pihak yang mengalami wanprestasi
(defaulting party).
Netting dapat dilakukan dengan mengacu pada harga pasar
(mark-to-market).
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Risiko yang dikelola oleh CCP SBNT antara lain risiko hukum,
risiko kredit, risiko likuiditas, risiko operasional, dan risiko
lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
- 7 -
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Initial Margin dan Variation Margin dalam bentuk surat berharga
dengan kualitas tinggi harus memiliki risiko kredit, risiko pasar,
dan risiko likuiditas yang rendah.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “concentration limit” adalah suatu batasan
yang ditetapkan oleh CCP SBNT untuk membatasi penerbit surat
berharga dan/atau jenis surat berharga yang diterima sebagai
Initial Margin dan Variation Margin tertentu.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “efektif” adalah sistem Initial Margin dan
Variation Margin yang tepat untuk setiap produk, portofolio, dan
pasar keuangan sesuai kelas aset yang di-Kliringkan.
Pasal 28
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pelaksanaan stress testing paling sedikit memperhitungkan
skenario wanprestasi Anggota beserta afiliasinya yang berpotensi
memunculkan kewajiban besar yang harus ditanggung oleh CCP
SBNT dalam kondisi pasar yang ekstrem namun masih terukur.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
- 8 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “aset bersih” adalah aset CCP SBNT
yang bersumber dari modal dan laba ditahan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “final” adalah setelmen tidak dapat
dibatalkan dan tidak dapat ditarik kembali.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “mitigasi risiko setelmen” adalah dengan
menggunakan sarana yang aman dan handal seperti payment
versus payment atau continuous linked settlement system.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 31
Contoh kewajiban timbal balik (two-linked obligation):
Bank A sebagai Anggota melakukan transaksi FX forward jual yang
dilakukan Kliring melalui CCP SBNT. Pada saat setelmen, Bank A wajib
menyerahkan valuta asing sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat) kepada CCP SBNT dan berhak menerima dana
sebesar Rp14.000.000.000,00 (empat belas miliar rupiah) dari CCP
SBNT. Penyelesaian hak dan kewajiban tersebut harus diselesaikan
melalui mekanisme payment versus payment (PvP).
Yang dimaksud dengan “principal risk” adalah risiko kehilangan
seluruh dana yang ditransaksikan.
- 9 -
Contoh principal risk:
Penjual dalam suatu transaksi aset finansial telah mengirimkan aset
kepada pembeli namun tidak memperoleh pembayaran.
Pasal 32
Kebijakan dan prosedur dituangkan dalam prosedur operasional
standar internal dan ketentuan CCP SBNT (rule book).
Huruf a
Kebijakan dan prosedur yang jelas mengenai penanganan
wanprestasi yang dialami Anggota merupakan pedoman bagi CCP
SBNT untuk mengambil langkah guna menghindari kerugian dan
tekanan likuiditas serta memastikan kemampuan CCP SBNT
dalam memenuhi kewajibannya.
Contoh kebijakan dan prosedur penanganan wanprestasi yaitu
kebijakan dan prosedur mengenai mekanisme urutan
penggunaan sumber dana (default waterfall) yang dicadangkan
untuk memitigasi risiko finansial akibat adanya Anggota yang
mengalami wanprestasi.
Huruf b
Penerapan segregasi dan portabilitas antara lain dituangkan
dalam perjanjian mengenai segregasi dan portabilitas yang
melindungi posisi Anggota dan kliennya serta melindungi Default
Fund Contribution, Initial Margin, dan Variation Margin dari
kejadian wanprestasi Anggota tersebut.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "efektif” adalah kemampuan CCP SBNT
dalam memenuhi kewajibannya secara tepat waktu dan
memenuhi prinsip keamanan (security) dalam melaksanakan
kegiatannya.
Yang dimaksud dengan “efisien” adalah kemampuan CCP SBNT
untuk memperhitungkan cost and benefit yang efisien atas
layanan yang diberikan antara lain pilihan jenis Kliring dan
- 10 -
setelmen (gross, net, atau hybrid), jenis produk yang di-
Kliringkan, dan penggunaan teknologi komunikasi.
Ayat (2)
Contoh sarana dan prosedur komunikasi yang lazim antara lain
penggunaan Society for Worldwide Interbank Financial
Telecommunication (SWIFT).
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Huruf a
Contoh:
CCP SBNT memisahkan Default Fund Contribution, Initial Margin,
dan Variation Margin untuk Transaksi Derivatif SBNT dengan
default fund contribution dan margin untuk transaksi derivatif
saham.
Huruf b
Contoh:
CCP SBNT memisahkan urutan penggunaan sumber dana
(default waterfall) untuk Transaksi Derivatif SBNT dengan urutan
penggunaan sumber dana (default waterfall) untuk transaksi
derivatif saham.
Pasal 38
Contoh:
CCP SBNT memisahkan urutan penggunaan sumber dana (default
waterfall) berdasarkan kelas aset suku bunga dan nilai tukar. CCP
SBNT juga dapat memisahkan urutan penggunaan sumber dana
(default waterfall) berdasarkan jenis transaksi domestic non-deliverable
forward dan FX swap.
Pasal 39
Cukup jelas.
- 11 -
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Principles for Financial Market
Infrastructure” adalah prinsip Infrastruktur Pasar Keuangan
yang diterbitkan oleh Bank for International Settlements
(BIS).
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan
lain yang terkait dengan CCP SBNT” antara lain ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta
asing terhadap rupiah, transaksi derivatif suku bunga
rupiah, dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang
mengatur mengenai kegiatan pasar modal.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pihak yang berkepentingan lainnya”
antara lain Anggota, pihak yang memiliki kepentingan
karena adanya hubungan keuangan, hubungan
transaksional, dan/atau hubungan kepemilikan dengan CCP
SBNT.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Anggota Kliring umum” adalah
Anggota yang berhak melakukan Transaksi Derivatif SBNT
yang di-Kliringkan melalui CCP SBNT, baik untuk keperluan
diri sendiri dan/atau nasabahnya.
- 12 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Anggota Kliring individual” adalah
Anggota yang berhak melakukan Transaksi Derivatif SBNT
yang di-Kliringkan melalui CCP SBNT untuk keperluan diri
sendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud “Anggota Kliring tidak langsung” adalah Anggota
yang membuka keanggotaan melalui Anggota Kliring umum.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Huruf a
Laporan operasional harian antara lain laporan hasil Kliring
dan laporan penyelesaian transaksi.
Laporan operasional bulanan antara lain rekapitulasi
kegiatan selama periode bulan terkait dilengkapi dengan
statistik perkembangan volume Kliring dan penyelesaian
- 13 -
transaksi, termasuk laporan mengenai kondisi urutan
penggunaan sumber dana (default waterfall).
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Termasuk dalam laporan mengenai peristiwa khusus antara
lain laporan mengenai pelanggaran hukum, perselisihan
dengan anggota, pengenaan sanksi oleh otoritas lain,
kejadian yang memengaruhi kelancaran operasional,
penurunan rating, dan penurunan modal.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Pelaksanaan pengawasan Bank Indonesia kepada CCP SBNT
ditujukan antara lain untuk memastikan kondisi kecukupan
modal dan ketahanan CCP SBNT.
- 14 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia antara lain
akuntan publik dan penilai publik.
Dalam menugaskan pihak lain untuk melakukan pemeriksaan,
Bank Indonesia mengeluarkan surat perintah kerja dan
menetapkan terms of reference.
Ayat (7)
Kewajiban merahasiakan data, informasi, dan keterangan yang
diperoleh dari pemeriksaan berlaku untuk seluruh komisaris,
direksi, dan pegawai yang terkait dengan pemeriksaan.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
- 15 -
Pasal 56
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6381
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 21/11/PBI/2019 </reg_id>
<reg_title> PENYELENGGARAAN CENTRAL COUNTERPARTY UNTUK TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA DAN NILAI TUKAR OVER-THE-COUNTER </reg_title>
<set_date> 5 September 2019 </set_date>
<effective_date> 1 Juni 2020 </effective_date>
<issued_date> 09 September 2019 </issued_date>
<related_reg> '24/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/2/PBI/2015
TENTANG
SUKU BUNGA PENAWARAN ANTARBANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa untuk mendukung stabilitas moneter dan
sistem keuangan dibutuhkan efisiensi transaksi di
pasar uang;
b. bahwa efisiensi transaksi di pasar uang perlu
ditunjang oleh pasar uang yang likuid dan dalam;
c. bahwa pasar uang yang likuid dan dalam
membutuhkan suku bunga penawaran antarbank yang
kredibel;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Suku
Bunga Penawaran Antarbank;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-…
- 2 -
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG SUKU BUNGA
PENAWARAN ANTARBANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Suku Bunga Penawaran Antarbank adalah Jakarta Interbank Offered
Rate dan Jakarta Interbank Bid Rate.
2. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disebut JIBOR
adalah rata-rata dari suku bunga indikasi pinjaman tanpa agunan
(unsecured) yang ditawarkan dan dimaksudkan untuk ditransaksikan
oleh Bank Kontributor kepada Bank Kontributor lain untuk
meminjamkan rupiah untuk tenor tertentu di Indonesia.
3. Jakarta Interbank Bid Rate yang selanjutnya disebut JIBID adalah
rata-rata dari suku bunga indikasi pinjaman tanpa agunan
(unsecured) yang diminta dan dimaksudkan untuk ditransaksikan
oleh Bank Kontributor kepada Bank Kontributor lain untuk
meminjam rupiah untuk tenor tertentu di Indonesia.
4. Bank…
- 3 -
4. Bank adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri.
5. Bank Kontributor adalah Bank yang menyampaikan suku bunga
indikasi kepada Bank Indonesia untuk digunakan dalam penetapan
Suku Bunga Penawaran Antarbank.
6. Asking Bank adalah Bank Kontributor yang meminta Quoting Bank
untuk melakukan transaksi dengan Asking Bank.
7. Quoting Bank adalah Bank Kontributor yang menerima permintaan
Asking Bank untuk melakukan transaksi dengan Asking Bank.
BAB II
PENETAPAN SUKU BUNGA PENAWARAN ANTARBANK
Pasal 2
(1) Suku Bunga Penawaran Antarbank ditetapkan oleh Bank Indonesia
berdasarkan suku bunga indikasi yang disampaikan oleh Bank
Kontributor.
(2) Bank Kontributor ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Suku Bunga Penawaran
Antarbank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 3
(1) Bank Kontributor wajib menyampaikan kuotasi suku bunga indikasi
kepada Bank Indonesia.
(2) Suku bunga indikasi sebagaimana dimaksud pada ayat
memperhatikan spread antara offer rate dan bid rate.
(1)
(3) Tata…
- 3 -
(3) Tata cara penyampaian suku bunga indikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai laporan harian bank umum.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai spread antara offer rate dan bid rate
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 4
(1) Bank Kontributor dapat bertindak sebagai Asking Bank atau Quoting
Bank.
(2) Asking Bank dapat meminta Quoting Bank untuk:
a. meminjam rupiah dari Asking Bank; atau
b. meminjamkan rupiah kepada Asking Bank,
pada tingkat suku bunga sesuai suku bunga indikasi yang
disampaikan oleh Quoting Bank.
(3) Quoting Bank wajib memenuhi permintaan transaksi (deal) dari
Asking Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sepanjang
memenuhi batasan waktu dan batasan tertentu.
(4) Dalam hal Bank Kontributor yang bertindak sebagai Quoting Bank
tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Bank Kontributor yang bertindak sebagai Asking Bank harus
menyampaikan informasi mengenai penolakan tersebut secara
tertulis kepada Bank Indonesia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai batasan waktu dan batasan tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
BAB III…
- 5 -
BAB III
SANKSI
Pasal 5
(1) Bank Kontributor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum.
(2) Bank Kontributor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 6
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 7
Semua istilah JIBOR yang tercantum dalam ketentuan Bank Indonesia
yang sudah ada sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, harus
dibaca sebagai JIBOR sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 8
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Pasal 5 dan Pasal
22 ayat (1) huruf b Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/8/PBI/2011
tentang…
- 6 -
tentang Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5194), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 9
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2015.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Maret 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 Maret 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 68
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/2/PBI/2015
TENTANG
SUKU BUNGA PENAWARAN ANTARBANK
I. UMUM
Suku Bunga Penawaran Antarbank berperan penting dalam
mendukung stabilitas moneter dan sistem keuangan yaitu dengan
meningkatkan efisiensi transaksi di pasar uang.
Penetapan Suku Bunga Penawaran Antarbank akan mengurangi
kompleksitas kontrak keuangan dengan mendorong standardisasi
penggunaan suku bunga acuan pada surat utang dan/atau pinjaman
dengan suku bunga mengambang, derivatif suku bunga rupiah dan juga
untuk valuasi instrumen keuangan.
Pengaturan Suku Bunga Penawaran Antarbank bertujuan untuk
memastikan bahwa proses penetapan Suku Bunga Penawaran Antarbank
dilakukan secara terpercaya dan akurat dalam rangka menjaga integritas
dan kredibilitas dari suku bunga yang disampaikan oleh Bank
Kontributor.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Suku bunga indikasi yang disampaikan adalah suku bunga
pinjaman tanpa agunan (unsecured) dimana Bank Kontributor
bersedia untuk:
a. meminjamkan…
- 2 -
a. meminjamkan rupiah kepada Bank Kontributor lain (offer
rate); dan
b. meminjam rupiah dari Bank Kontributor lain (bid rate).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5681
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 17/2/PBI/2015 </reg_id>
<reg_title> SUKU BUNGA PENAWARAN ANTARBANK </reg_title>
<set_date> 26 Maret 2015 </set_date>
<effective_date> 1 April 2015 </effective_date>
<issued_date> 26 Maret 2015 </issued_date>
<replaced_reg> '13/8/PBI/2011 | Pasal 5 dan Pasal 22 Ayat (1) Huruf b' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/34/PBI/2005
TENTANG
TINDAK LANJUT PENANGANAN TERHADAP BANK PERKREDITAN
RAKYAT DALAM STATUS PENGAWASAN KHUSUS
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa upaya penyehatan terhadap Bank Perkreditan Rakyat
merupakan kegiatan yang
berkelanjutan dalam
rangka
mendorong tumbuhnya industri Bank Perkreditan Rakyat
yang sehat;
b. bahwa tumbuhnya industri Bank Perkreditan Rakyat yang
sehat akan dapat memelihara kepercayaan masyarakat;
c. bahwa sebagai bagian dari upaya penyehatan, Bank
Perkreditan Rakyat yang mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya ditetapkan oleh
Bank Indonesia dalam status pengawasan khusus, dan
apabila tidak dapat disehatkan lagi akan dibekukan kegiatan
usahanya;
d. bahwa ...
- 2 -
d. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang
Lembaga
Penjamin
Simpanan,
Lembaga
tentang
Penjamin
Simpanan memiliki tugas untuk menyelesaikan bank yang
telah ditetapkan dalam status pengawasan khusus
dinyatakan tidak
serta
dapat disehatkan
lagi
oleh Lembaga
Pengawas Perbankan sesuai dengan kewenangan yang
dimilikinya;
e. bahwa berhubung dengan itu, perlu diatur kembali
ketentuan tentang tindak lanjut penanganan terhadap Bank
Perkreditan Rakyat dalam status Pengawasan Khusus;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik …
- 3 -
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4420);
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : TINDAK LANJUT PENANGANAN TERHADAP BANK
PERKREDITAN RAKYAT DALAM STATUS
PENGAWASAN KHUSUS
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR, adalah Bank
Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998.
2. Lembaga …
- 4 -
2. Lembaga Penjamin Simpanan, yang selanjutnya disebut LPS, adalah badan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
3. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, yang selanjutnya disebut
dengan Rasio KPMM, adalah perbandingan antara modal bank terhadap
aktiva tertimbang menurut risiko sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank
Perkreditan Rakyat, dan perubahannya.
4. Cash Ratio, yang selanjutnya disebut dengan CR, adalah perbandingan
antara alat likuid terhadap hutang lancar sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan
Bank Perkreditan Rakyat, dan perubahannya.
BAB II
BPR DALAM PENGAWASAN KHUSUS
Pasal 2
(1) Dalam hal Bank Indonesia menilai suatu BPR mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya maka BPR tersebut
dalam status pengawasan khusus Bank Indonesia;
ditetapkan
(2) Bank Indonesia menetapkan BPR dalam status pengawasan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi 1 (satu) atau lebih
kriteria sebagai berikut:
a. Rasio KPMM kurang dari 4% (empat perseratus);
b. CR …
- 5 -
b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tiga
perseratus).
Pasal 3
(1) Dalam rangka pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
Bank Indonesia dapat memerintahkan BPR dan/atau pemegang saham
untuk:
a. menambah modal,
b. menghapusbukukan kredit yang tergolong macet dan memperhitungkan
kerugian BPR dengan modalnya,
c. mengganti anggota direksi dan/atau dewan komisaris BPR,
d. melakukan merger atau konsolidasi dengan BPR lain,
e. menjual BPR kepada pembeli yang bersedia mengambilalih seluruh
kewajiban BPR,
f. menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan BPR kepada
pihak lain,
g. menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban BPR kepada
pihak lain, dan/atau
h. menghentikan kegiatan usaha tertentu dalam waktu yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
(2) Bank
Indonesia memberitahukan kepada LPS mengenai BPR yang
ditetapkan dalam status pengawasan khusus.
(3) Pemberitahuan kepada LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai
dengan keterangan mengenai kondisi BPR yang bersangkutan.
(4) Bank …
- 6 -
(4) Bank Indonesia mengumumkan BPR yang
ditetapkan dalam status
pengawasan khusus paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak
tanggal penetapan BPR dalam status pengawasan khusus.
Pasal 4
(1) Dalam rangka pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Bank Indonesia dapat menempatkan petugas Bank Indonesia untuk
melakukan pemantauan secara langsung terhadap kegiatan operasional
BPR.
(2) Penempatan petugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak mengurangi tanggungjawab pengurus dan/atau pemegang saham BPR
terhadap kegiatan operasional dan kewajiban BPR.
Pasal 5
(1) Jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal pemberitahuan
penetapan status BPR dalam pengawasan khusus dari Bank Indonesia.
(2) Apabila dalam jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pemegang
saham dan/atau BPR melakukan tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 maka jangka waktu dimaksud tidak
termasuk jangka waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan
dalam proses hukum sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 6 ...
- 7 -
Pasal 6
Selama jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1), BPR dapat dikeluarkan dari status pengawasan khusus apabila
memenuhi kriteria:
a. Rasio KPMM paling sedikit sebesar 4% (empat perseratus), dan
b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling sedikit sebesar 3% (tiga
perseratus).
Pasal 7
Pada saat berakhirnya jangka waktu pengawasan khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1), BPR dapat dikeluarkan dari status pengawasan khusus
apabila memenuhi kriteria:
a. Rasio KPMM paling sedikit sebesar 4% (empat perseratus), dan
b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling sedikit sebesar 3% (tiga
perseratus).
Pasal 8
(1) BPR yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus, dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan sejak pengawasan khusus wajib memperbaiki kondisi keuangan
sehingga:
a. Rasio KPMM meningkat paling sedikit 25% (dua puluh lima perseratus)
dari selisih untuk mencapai Rasio KPMM sebesar 4 % (empat
perseratus); dan
b. Rasio ...
- 8 -
b. Rasio KPMM sebagaimana dimaksud pada huruf a lebih besar dari 0%
(nol perseratus).
(2) BPR yang tidak dapat memenuhi ketentuan pada ayat (1) dilarang melakukan
kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana dan Bank Indonesia akan
mengumumkannya kepada masyarakat.
BAB III
PEMBERITAHUAN KEPADA LPS DAN PENCABUTAN IZIN USAHA
Pasal 9
(1) Dalam hal BPR yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus:
a. tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, atau
b. tidak dapat meningkatkan Rasio KPMM menjadi lebih besar dari 0%
(nol perseratus) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak ditetapkan
dalam status pengawasan khusus, bagi BPR yang pada saat ditetapkan
dalam status pengawasan khusus memiliki rasio KPMM sama dengan
atau lebih kecil dari 0% (nol perseratus); atau
c. memiliki Rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% (nol
perseratus) dan/atau memiliki CR rata-rata selama 6 (enam) bulan
terakhir kurang dari 1% (satu perseratus) dalam jangka waktu 3 (tiga)
bulan sejak ditetapkan dalam status pengawasan khusus, bagi BPR yang
pada saat ditetapkan dalam status pengawasan khusus memiliki rasio
KPMM lebih besar dari 0% (nol perseratus); atau
d. memiliki …
- 9 -
d. memiliki Rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% (nol
perseratus) dan/atau memiliki CR rata-rata selama 6 (enam) bulan
terakhir kurang dari 1% (satu perseratus) setelah jangka waktu 3 (tiga)
bulan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan c, sampai dengan 1
(satu) hari sebelum berakhirnya jangka waktu pengawasan khusus,
Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS dan meminta LPS untuk
memberikan keputusan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan BPR
yang bersangkutan.
(2) Dalam hal LPS memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap
BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mencabut izin
usaha BPR yang bersangkutan setelah memperoleh pemberitahuan dari LPS
Pasal 10
(1) Bank Indonesia memberitahukan keputusan pencabutan izin usaha BPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) kepada BPR yang
bersangkutan dan kepada LPS serta mengumumkannya kepada masyarakat.
(2) Penyelesaian lebih lanjut BPR yang telah dicabut izin usahanya oleh Bank
Indonesia dilakukan oleh LPS sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
BAB V …
- 10 -
BAB IV
SANKSI
Pasal 11
Bank Indonesia dapat mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
antara lain berupa larangan menjadi pengurus BPR dan/atau pemegang saham
BPR apabila tidak melaksanakan kewajiban sesuai perintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 12
Tindak lanjut terhadap BPR yang telah ditetapkan dalam status pengawasan
khusus sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dilakukan sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 13
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia
No.3/15/PBI/2001 tentang Penetapan Status BPR dalam Pengawasan Khusus dan
Pembekuan …
- 11 -
Pembekuan Kegiatan Usaha sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia No.3/24/PBI/2001, beserta ketentuan pelaksanaanya, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 14
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 22 September 2005
a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA
MIRANDA S. GOELTOM
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 88
DPBPR/DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/34/PBI/2005
TENTANG
TINDAK LANJUT PENANGANAN TERHADAP BANK PERKREDITAN
RAKYAT DALAM STATUS PENGAWASAN KHUSUS
UMUM
Dalam rangka memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri Bank
Perkreditan Rakyat, diperlukan upaya penyehatan terhadap Bank Perkreditan
Rakyat yang bersifat sistematis dan berkelanjutan dalam mendorong tumbuhnya
industri Bank Perkreditan Rakyat yang sehat.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan, penyelesaian bank yang telah ditetapkan dalam
status pengawasan khusus serta dinyatakan tidak dapat disehatkan lagi oleh
Lembaga Pengawas Perbankan dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan
sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.
Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
dalam melindungi kepentingan publik, khususnya nasabah atau calon nasabah
penyimpan, Bank Indonesia akan mengumumkan Bank Perkreditan Rakyat yang
ditetapkan dalam status pengawasan khusus, dan mengumumkan larangan
penghimpunan …
- 2 -
penghimpunan dan penyaluran dana setelah memberikan kesempatan kepada
Bank Perkreditan Rakyat untuk memperbaiki kondisi keuangannya.
Sehubungan dengan hal tersebut perlu diatur kembali ketentuan tentang
lanjut penanganan terhadap Bank Perkreditan Rakyat dalam status
pengawasan khusus dalam suatu Peraturan Bank Indonesia.
tindak
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Penilaian Bank Indonesia dilakukan berdasarkan penelitian yang
mendalam atas laporan dan/atau pemeriksaan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir dihitung
berdasarkan posisi laporan bulanan BPR selama 6 (enam)
bulan terakhir.
Pasal 3 …
- 3 -
Pasal 3
Ayat (1)
Pelaksanaan perintah Bank Indonesia didasarkan atas ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 37 dan Pasal 52 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h …
- 4 -
Huruf h
Penghentian kegiatan usaha tertentu dapat meliputi antara
lain penghentian penghimpunan dan penyaluran dana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pengumuman ini merupakan transparansi dari kebijakan Bank
Indonesia sebagai bagian dari akuntabilitas publik
terhadap
pelaksanaan tugas mengatur dan mengawasi Bank yang dilakukan
oleh Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-
Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
Tahun 2004.
Pengumuman dilakukan pada papan pengumuman di kantor BPR
atau di kelurahan/kecamatan tempat kedudukan BPR yang
bersangkutan.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5 …
- 5 -
Pasal 5
Ayat (1)
Pemberitahuan mengenai penetapan status BPR dalam pengawasan
khusus antara lain dapat dilakukan secara langsung
pertemuan dengan pengurus dan/atau pemegang saham BPR,
secara tertulis melalui surat atau sarana lain.
Ayat (2)
Peningkatan Rasio KPMM dapat dibuktikan antara lain dengan
adanya tambahan setoran modal yang ditempatkan dalam escrow
account pada bank umum, yang
penarikannya hanya dapat
dilakukan dengan persetujuan Bank Indonesia.
Proses hukum yang menyertai tambahan setoran modal dimaksud
tidak diperhitungkan dalam jangka waktu pengawasan khusus
sepanjang BPR telah menyampaikan bukti pengurusan untuk
memenuhi persyaratan dalam proses hukum.
Bukti pengurusan meliputi tanda terima pengurusan proses hukum,
antara lain dari notaris dan/atau pejabat dari instansi yang
berwenang.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8 …
dalam
- 6 -
Pasal 8
Ayat (1)
Contoh:
Apabila pada saat ditetapkan dalam status pengawasan khusus BPR
memiliki Rasio KPMM sebesar -1% (negatif satu perseratus), maka
selisih untuk mencapai Rasio KPMM sebesar 4% (empat
perseratus) adalah 5% (lima perseratus).
Dalam hal ini, BPR wajib meningkatkan Rasio KPMM paling
sedikit 25% (dua puluh lima perseratus) sehingga menjadi 0,25%
(nol koma dua puluh lima perseratus).
Ayat (2)
Contoh:
Apabila BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya mampu
meningkatkan Rasio KPMM menjadi sebesar 0,24% (nol koma dua
puluh empat perseratus) maka BPR dilarang melakukan
penghimpunan dan penyaluran dana.
Pasal 9
Ayat (1)
Mekanisme pemberitahuan kepada LPS dan batas waktu
pengambilan keputusan oleh LPS
Kesepakatan Bersama antara Bank Indonesia dan LPS.
akan dituangkan dalam
Ayat 2 …
- 7 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Pengumuman dilakukan pada papan pengumuman di kantor BPR
yang bersangkutan, kelurahan/kecamatan tempat kedudukan BPR
atau surat kabar harian setempat.
Ayat (2)
Penyelesaian yang
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
dilakukan oleh LPS meliputi antara lain
pembayaran klaim penjaminan simpanan dan likuidasi.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4534
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/34/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> TINDAK LANJUT PENANGANAN TERHADAP BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM STATUS PENGAWASAN KHUSUS </reg_title>
<set_date> 22 September 2005 </set_date>
<effective_date> 22 September 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '3/15/PBI/2001', '3/24/PBI/2001' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '24/UU/2004', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|